Materi 3 - Jual Beli Terlarang
Materi 3 - Jual Beli Terlarang
ABSTRAK
Artikel ini disusun dalam rangka membahas fikih muamalah, khususnya terkait
bab jual beli yang terlarang di dalam ekonomi Islam. Ada beberapa hal yang
1)
menyebabkan suatu aktivitas jual beli menjadi terlarang, antara lain: Sebab
2) 3) 4)
Ahliyah, Sebab Shighat, Sebab Ma‟qud Alaih, dan Sebab Syara. Metode
penulisan yang digunakan dalam artikel ini adalah studi pustaka (library
research). Artikel ini harapannya dapat membantu memahami apa saja jual beli
yang terlarang menurut syariat Islam.
Kata Kunci: Ekonomi Islam, Jual Beli, Jual Beli Terlarang.
PENDAHULUAN
Jual beli merupakan suatu bentuk aktivitas di bidang ekonomi yang paling
sering dilakukan oleh masyarakat. Hampi r setiap hari masyarakat secara umum
melakukannya, baik rumah tangga konsumen, rumah tangga produsen, bahkan
hingga di tingkat pemerintahan dan antarnegara. Jual beli adalah aktivitas inti di
dalam perkonomian. Perputaran uang di dalam suatu perekonomian banyak
ditopang oleh adanya aktivitas jual beli. Di dalam perekonomian konvensional,
aktivitas jual beli merupakan sebuah aktivitas yang amat sangat dibebaskan. Tidak
ada batasan di dalamnya, bahkan mekanisme penentuan aturannya diserahkan
kepada kesepakatan-kesepakatan di antara pelaku-pelakunya.
Jual beli menurut Islam adalah suatu aktivitas yang halal untuk dilakukan.
Sebagaimana yang tercantum di dalam Al-Qur‟an:
PEMBAHASAN
1. Jual Beli Terlarang Sebab Ahliyah (Pelaku Akad)
Terdapat syarat-syarat sahnya jual beli yang telah ditetapkan para ahli
fikih yaitu jual beli yang dilakukan oleh orang yang berakal, baligh, tamyiz
dan dapat melakukan tindakan dengan bebas. Adapun orang-orang yang tidak
sah ketika melakukan jual beli adalah sebagai berikut (Az-Zuhaili, 2011):
a. Orang Gila
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila dianggap tidak
sah berdasarkan kesepakatan ulama karena tidak memiliki sifat ahliyah
(kemampuan) sama seperti orang mabuk, pingsan atau dibius.
b. Anak Kecil
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak kecil dianggap tidak
sah karena belum tamyiz menurut kesepakatan ulama, kecuali dalam
sesuatu yang sepele. Menurut ulama syafi‟iyah dan hanabilah, transaksi
jual beli oleh anak kecil tidaklah sah, karena tidak memiliki sifat ahliyah.
Sedangkan menurut ulama hanafiyah dan malikiyah jual beli anak kecil
adalah sah, dengan syarat anak kecil tersebut mendapatkan izin dari
walinya dan diperbolehkan.
c. Orang Buta
Terdapat dua pendapat dalam hal ini. Pertama, transaksi jual beli
yang dilakukan oleh orang buta dianggap sah menurut jumhur ulama,
ketika sifat barang yang akan dibeli dijelaskan kepadanya. Kedua,
menurut ulama Syafi‟iyah jual beli tersebut tidaklah sah karena orang
buta tersebut tidak mengetahui dengan baik objek transaksinya.
d. Orang yang Dipaksa
Menurut ulama Hanafiyah, transaksi jual beli yang dilakukan oleh
orang karena terpaksa bersifat menggantung dan tidak berlaku, seperti
jual beli fudhuli (jual beli tanpa pemilik barang). Sedangkan menurut
ulama Malikiyah jual beli karena terpaksa ini adalah transaksi jual beli
yang tidak mengikat (ghair laazim), dan dia diperkenankan memilih
antara memfasakh (membatalkan) akad atau melanjutkan akad. Menurut
Imam Syafi‟i dan Hambali transaksi jual beli ini tidak sah karena tidak
adanya sifat kerelaan ketika penetapan akad.
e. Fudhuli
Bai‟ul fudhuli adalah transaksi jual beli yang akadnya dilakukan
oleh orang lain sebelum ada izin dari pemilik (Sabiq, 1988). Menurut
ulama Hanafiyah dan malikiyah, transaksi jual beli ini sah dan berlaku,
tergantung pada persetujuan pemilik barang yang sebenarnya. Karena
persetujuan yang terjadi kemudian adalah sama seperti ijin yang
diperbolehkan dahulu. Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah dan
hanabilah, transaksi jual beli ini tidak sah karena adanya larangan jual
beli sesuatu yang tidak dimiliki seseorang.
f. Orang yang Dilarang Membelanjakan Hartanya (Mahjur ‘Alaih)
Karena Kebodohan (Cacat Mental), Bangkrut, Sakit
Pertama, Orang bodoh atau cacat mental jual belinya menjadi
tergantung menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan pendapat yang rojih
dalam ulama Hanabilah. Sedangkan, menurut ulama Syafi‟iyah jual beli
ini tidaklah sah, karena tidak adanya sifat ahliyah dan ucapannya tidak
dianggap. Kedua, Orang yang bangkrut karena keputusan bangkrut dari
pengadilan demi menjaga hak orang-orang yang berpiutang kepadanya.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah tindakan dalam jual beli ini
menjadi tergantung dan tidak sah menurut ulama Syafi‟iyah dan
Hanabilah. Ketiga, orang sakit dengan sakit yang mematikan maka
sedekah-sedekahnya terlaksana dengan batasan sepertiga warisan, ini
adalah pendapat jumhur ulama selain ulama Malikiyah.
g. Mulja
Mulja yaitu orang yang terpaksa menjual barangnya guna
menyelamatkan hartanya dari orang yang lalim. Jual beli ini fasid
menurut ulama Hanafiyah dan batil menurut ulama Hanabilah.
2. Jual Beli Terlarang Sebab Shighat
Jumhur ulama telah menyepakati bahwa transaksi jual beli bisa
dianggap sah adalah jika terdapat keridhloan atau kerelaan di antara pelaku
aqad dan adanya kesesuaian antara ijab dengan qabul. Seperti sesuai ijab-
qabul barang dagangannya, ijab-qabul harganya, dan juga yang lainnya.
Kemudian selain itu, ijab dan qabul transaksi jual-beli juga harus terjadi di
dalam satu majelis tanpa adanya pemisah di antara penjual dan pembeli (Az-
Zuhaili, 2011). Transaksi jual-beli dapat dianggap tidak sah dalam beberapa
hal, antara lain sebagai berikut:
a. Jual Beli Mu’athah
Jual-beli mu'athah yaitu jual-beli dimana terjadi kesepakatan dua
orang pelaku akad atas harga dan barang yang ditransaksikan, kemudian
keduanya saling bertukar tanpa ada pelafalan ijab dan qabul, atau hanya
pelafalan salah satu saja dari keduanya. Menurut sebagian ulama,
sebenarnya jual-beli semacam ini sah-sah saja, karena sudah ada unsur
kerelaan di dalamnya, meskipun tanpa pelafalan ijab-qabul antara penjual
dan pembeli (yang mana sudah merupakan „urf di masyarakat). Namun
menurut ulama Syafi‟iyah, jual beli mu‟athah ini tidaklah sah, karena
pelafalan ijab-qabul adalah syarat mutlak dalam semua akad, baik jual-
beli, ijarah, rahn, hibah, maupun muamalah lainnya, dan di dalam jual-
beli mu‟athah syarat pelafalan ijab-qabul ini tidak terpenuhi.
Tanpa adanya pelafalan ijab-qabul, aspek kerelaannya masihlah
samar. Padahal jual-beli sangat bergantung pada kerelaan, sebagaimana
firman Allah Ta‟ala:
ِ ٰٰۤيـاَيُّ َٓا انَّز ِۡيٍَ ٰا َيُُ ٕۡا ََل تَ ۡا ُكهُ ٰٕۡۤا اَيۡ َٕانَـ ُك ۡى َب ۡيَُ ُك ۡى ِب ۡان َب
ٌَٕۡ اط ِم ا َّ َِٰۤل اَ ٌۡ تَ ُك
ّٰلل َكاٌَ ِب ُك ۡى َس ِِ ۡي ًًا
َ َكُ ۡىؕ ا ٌَِّ ه َ ُُاض ِّي ُۡ ُك ۡى ۚ َٔ ََل تَ ُُۡۡهُ ٰٕۡۤا اَ َۡـ
ٍ اسةً َع ٍۡ تَ َش َ تِ َج
﴾۹۲ : ﴿انَُاء
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu”
(Q.S. An-Nisaa': 29).
Begitupula apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam salah
satu haditsnya:
ع ٍِ اب ٍِْ عُ ًَ َش ُّ ب ْانَُحْم –ملسو هيلع هللا ىلص –قَا َل ََ َٓى انَُّ ِب
َ – ى –سضى هللا عًُٓا َ ٍْ ع
ِ َْ ع َ
Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, dia berkata, “Nabi shallallahu „alaihi
wa sallam melarang (jual beli) sperma pejantan.” (HR. Bukhari, no. 2284).
PENUTUP
Kesimpulan dari pembahasan disini adalah bahwa di dalam konsep
perekonomian Islam, jual beli bukanlah suatu aktivitas ekonomi yang sangat
bebas. Terdapat batasan-batasan yang sangat jelas di dalam jual beli Islami. Ada
beberapa konsep jual beli yang terlarang menurut syariat dan menurut jumhur
ulama. Pembahasan di dalam artikel ini memperinci transaksi-transaksi apa saja
yang termasuk ke dalam jual beli terlarang dari empat sudut pandang, yaitu 1)Jual
beli terlarang sebab ahliyah, 2)Jual beli terlarang sebab ma‟qud alaih, 3)Jual beli
terlarang sebab shighat, dan 4)Jual beli terlarang sebab syara‟. Harapannya sebagai
seorang muslim kita bisa terhindar dari jual beli yang terlarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟anul Karim.
Asqalani, Ibnu Hajar. (2009). Fathul Barri, jilid 6 (terjemah). Dar Ath-Thaibah:
Riyadh.
Az-Zuhaili, Wahbah. (2011). Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 5 (terjemah).
Penerbit Gema Insani: Jakarta.
Sabiq, Sayyid. (1988). Fiqih Sunnah jilid 12. Penerbit Al-Ma‟arif: Bandung.
Sarwat, Ahmad. (2018). Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Suhendi, Hendi. (2008). Fiqih Muamalah. Penerbit PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta.