Anda di halaman 1dari 14

JUAL BELI TERLARANG

Achmad Fadlil Abidillah, Baitul Hamdi, Ihdina Sabilal Haq


Departemen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
achmad.abidillah@gmail.com

ABSTRAK
Artikel ini disusun dalam rangka membahas fikih muamalah, khususnya terkait
bab jual beli yang terlarang di dalam ekonomi Islam. Ada beberapa hal yang
1)
menyebabkan suatu aktivitas jual beli menjadi terlarang, antara lain: Sebab
2) 3) 4)
Ahliyah, Sebab Shighat, Sebab Ma‟qud Alaih, dan Sebab Syara. Metode
penulisan yang digunakan dalam artikel ini adalah studi pustaka (library
research). Artikel ini harapannya dapat membantu memahami apa saja jual beli
yang terlarang menurut syariat Islam.
Kata Kunci: Ekonomi Islam, Jual Beli, Jual Beli Terlarang.

PENDAHULUAN
Jual beli merupakan suatu bentuk aktivitas di bidang ekonomi yang paling
sering dilakukan oleh masyarakat. Hampi r setiap hari masyarakat secara umum
melakukannya, baik rumah tangga konsumen, rumah tangga produsen, bahkan
hingga di tingkat pemerintahan dan antarnegara. Jual beli adalah aktivitas inti di
dalam perkonomian. Perputaran uang di dalam suatu perekonomian banyak
ditopang oleh adanya aktivitas jual beli. Di dalam perekonomian konvensional,
aktivitas jual beli merupakan sebuah aktivitas yang amat sangat dibebaskan. Tidak
ada batasan di dalamnya, bahkan mekanisme penentuan aturannya diserahkan
kepada kesepakatan-kesepakatan di antara pelaku-pelakunya.
Jual beli menurut Islam adalah suatu aktivitas yang halal untuk dilakukan.
Sebagaimana yang tercantum di dalam Al-Qur‟an:

ّ ِ ‫ّٰللاُ ۡالبَ ۡي َع َو َح َّر َم‬


ؕ ‫الر ٰبوا‬ ‫َواَ َح َّل ه‬
Artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S.
Al-Baqoroh: 275). Melalui ayat ini Allah Ta‟ala menjelaskan hukum bolehnya
aktivitas jual beli sekaligus menegaskan keharaman riba (Sarwat, 2018).
Jual beli dalam bahasa Arab sering disebut dengan kata al-bay‟, atau at-
tijarah, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah Ta‟ala dalam Al-Qur‟an
surat Faathir ayat 29, yang artinya: “Mereka mengharapkan perdagangan yang
tidak akan merugi” (Q.S. Faathir: 29). Menurut Az-Zuhaili (2011) jual beli secara
sederhana merupakan aktivitas menukar antara sesuatu dengan sesuatu.
Sedangkan An-Nawawi (dalam Sarwat, 2018) mengartikan jual beli dengan istilah
tukar menukar harta dengan harta dari sisi kepemilikan.
Di dalam transaksi jual beli, Islam memberikan aturan-aturan yang sangat
jelas, sehingga kemudian ada bermacam-macam proses jual beli di masyarakat
umum yang sebenarnya dilarang di dalam Islam. Para ulama sepakat tentang
keharaman jual beli terlarang sehingga pelakunya diancam dengan dosa dan juga
siksa (Sarwat, 2018). Oleh karena itu, di dalam artikel kali ini, penulis mencoba
memperinci transaksi-transaksi jual beli yang terlarang menurut syariat Islam.

PEMBAHASAN
1. Jual Beli Terlarang Sebab Ahliyah (Pelaku Akad)
Terdapat syarat-syarat sahnya jual beli yang telah ditetapkan para ahli
fikih yaitu jual beli yang dilakukan oleh orang yang berakal, baligh, tamyiz
dan dapat melakukan tindakan dengan bebas. Adapun orang-orang yang tidak
sah ketika melakukan jual beli adalah sebagai berikut (Az-Zuhaili, 2011):
a. Orang Gila
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila dianggap tidak
sah berdasarkan kesepakatan ulama karena tidak memiliki sifat ahliyah
(kemampuan) sama seperti orang mabuk, pingsan atau dibius.
b. Anak Kecil
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak kecil dianggap tidak
sah karena belum tamyiz menurut kesepakatan ulama, kecuali dalam
sesuatu yang sepele. Menurut ulama syafi‟iyah dan hanabilah, transaksi
jual beli oleh anak kecil tidaklah sah, karena tidak memiliki sifat ahliyah.
Sedangkan menurut ulama hanafiyah dan malikiyah jual beli anak kecil
adalah sah, dengan syarat anak kecil tersebut mendapatkan izin dari
walinya dan diperbolehkan.
c. Orang Buta
Terdapat dua pendapat dalam hal ini. Pertama, transaksi jual beli
yang dilakukan oleh orang buta dianggap sah menurut jumhur ulama,
ketika sifat barang yang akan dibeli dijelaskan kepadanya. Kedua,
menurut ulama Syafi‟iyah jual beli tersebut tidaklah sah karena orang
buta tersebut tidak mengetahui dengan baik objek transaksinya.
d. Orang yang Dipaksa
Menurut ulama Hanafiyah, transaksi jual beli yang dilakukan oleh
orang karena terpaksa bersifat menggantung dan tidak berlaku, seperti
jual beli fudhuli (jual beli tanpa pemilik barang). Sedangkan menurut
ulama Malikiyah jual beli karena terpaksa ini adalah transaksi jual beli
yang tidak mengikat (ghair laazim), dan dia diperkenankan memilih
antara memfasakh (membatalkan) akad atau melanjutkan akad. Menurut
Imam Syafi‟i dan Hambali transaksi jual beli ini tidak sah karena tidak
adanya sifat kerelaan ketika penetapan akad.
e. Fudhuli
Bai‟ul fudhuli adalah transaksi jual beli yang akadnya dilakukan
oleh orang lain sebelum ada izin dari pemilik (Sabiq, 1988). Menurut
ulama Hanafiyah dan malikiyah, transaksi jual beli ini sah dan berlaku,
tergantung pada persetujuan pemilik barang yang sebenarnya. Karena
persetujuan yang terjadi kemudian adalah sama seperti ijin yang
diperbolehkan dahulu. Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah dan
hanabilah, transaksi jual beli ini tidak sah karena adanya larangan jual
beli sesuatu yang tidak dimiliki seseorang.
f. Orang yang Dilarang Membelanjakan Hartanya (Mahjur ‘Alaih)
Karena Kebodohan (Cacat Mental), Bangkrut, Sakit
Pertama, Orang bodoh atau cacat mental jual belinya menjadi
tergantung menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan pendapat yang rojih
dalam ulama Hanabilah. Sedangkan, menurut ulama Syafi‟iyah jual beli
ini tidaklah sah, karena tidak adanya sifat ahliyah dan ucapannya tidak
dianggap. Kedua, Orang yang bangkrut karena keputusan bangkrut dari
pengadilan demi menjaga hak orang-orang yang berpiutang kepadanya.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah tindakan dalam jual beli ini
menjadi tergantung dan tidak sah menurut ulama Syafi‟iyah dan
Hanabilah. Ketiga, orang sakit dengan sakit yang mematikan maka
sedekah-sedekahnya terlaksana dengan batasan sepertiga warisan, ini
adalah pendapat jumhur ulama selain ulama Malikiyah.
g. Mulja
Mulja yaitu orang yang terpaksa menjual barangnya guna
menyelamatkan hartanya dari orang yang lalim. Jual beli ini fasid
menurut ulama Hanafiyah dan batil menurut ulama Hanabilah.
2. Jual Beli Terlarang Sebab Shighat
Jumhur ulama telah menyepakati bahwa transaksi jual beli bisa
dianggap sah adalah jika terdapat keridhloan atau kerelaan di antara pelaku
aqad dan adanya kesesuaian antara ijab dengan qabul. Seperti sesuai ijab-
qabul barang dagangannya, ijab-qabul harganya, dan juga yang lainnya.
Kemudian selain itu, ijab dan qabul transaksi jual-beli juga harus terjadi di
dalam satu majelis tanpa adanya pemisah di antara penjual dan pembeli (Az-
Zuhaili, 2011). Transaksi jual-beli dapat dianggap tidak sah dalam beberapa
hal, antara lain sebagai berikut:
a. Jual Beli Mu’athah
Jual-beli mu'athah yaitu jual-beli dimana terjadi kesepakatan dua
orang pelaku akad atas harga dan barang yang ditransaksikan, kemudian
keduanya saling bertukar tanpa ada pelafalan ijab dan qabul, atau hanya
pelafalan salah satu saja dari keduanya. Menurut sebagian ulama,
sebenarnya jual-beli semacam ini sah-sah saja, karena sudah ada unsur
kerelaan di dalamnya, meskipun tanpa pelafalan ijab-qabul antara penjual
dan pembeli (yang mana sudah merupakan „urf di masyarakat). Namun
menurut ulama Syafi‟iyah, jual beli mu‟athah ini tidaklah sah, karena
pelafalan ijab-qabul adalah syarat mutlak dalam semua akad, baik jual-
beli, ijarah, rahn, hibah, maupun muamalah lainnya, dan di dalam jual-
beli mu‟athah syarat pelafalan ijab-qabul ini tidak terpenuhi.
Tanpa adanya pelafalan ijab-qabul, aspek kerelaannya masihlah
samar. Padahal jual-beli sangat bergantung pada kerelaan, sebagaimana
firman Allah Ta‟ala:

ِ ‫ٰٰۤيـاَيُّ َٓا انَّز ِۡيٍَ ٰا َيُُ ٕۡا ََل تَ ۡا ُكهُ ٰٕۡۤا اَيۡ َٕانَـ ُك ۡى َب ۡيَُ ُك ۡى ِب ۡان َب‬
ٌَٕۡ ‫اط ِم ا َّ َِٰۤل اَ ٌۡ تَ ُك‬
‫ّٰلل َكاٌَ ِب ُك ۡى َس ِِ ۡي ًًا‬
َ ‫َكُ ۡىؕ ا ٌَِّ ه‬ َ ُُ‫اض ِّي ُۡ ُك ۡى ۚ َٔ ََل تَ ُُۡۡهُ ٰٕۡۤا اَ َۡـ‬
ٍ ‫اسةً َع ٍۡ تَ َش‬ َ ‫تِ َج‬
﴾۹۲ : ‫﴿انَُاء‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dalam
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu”
(Q.S. An-Nisaa': 29).
Begitupula apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam salah
satu haditsnya:

ٍ ‫ِإََّ ًَا ْانبَ ْي ُع َع ٍْ تَ َش‬


‫اض‬
Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu dengan kerelaan” (H.R. Ibnu
Majjah: 2185). Sehingga dapat dipahami bahwa kerelaan adalah hal
samar yang tidak bisa diketahui, maka keberadaannya tergantung pada
sebab yang jelas yaitu shighat.
b. Jual Beli Dengan Tulisan (Surat Menyurat)
Jual-beli ini sejatinya sah berdasarkan kesepakatan ulama. Namun
terlarangnya jual-beli ini adalah apabila antara ijab dan qabulnya tidak
berada di tempat dimana surat tersebut sampai di tangan penerima surat
(pengqabul). Dengan kata lain ijab qabulnya (transaksi dengan surat
menyurat tersebut) tidak berada di satu tempat yang sama. Jika terjadi
keadaan seperti ini, maka jual-belinya dianggap tidak sah.
c. Jual Beli Orang Tunawicara/Bisu
Apabila jual-beli ini dilakukan dengan isyarat yang tidak bisa
dipahami, atau orang tersebut tidak bisa menulis (dengan jelas), maka
dapat dikatakan jual-belinya tidak sah dan terlarang. Jual beli
menggunakan isyarat yang bisa dipahami atau menggunakan tulisan,
dalam kondisi yang darurat adalah sah pada dasarnya. Karena menurut
kesepakatan ulama, jual-beli dengan isyarat atau dengan tulisan oleh
orang tunawicara ini adalah sama dengan jual-beli yang dilakukan
dengan lisan, sebab isyarat tersebut menunjukkan apa yang ada di dalam
hati dari pelaku jual-beli. Sehingga jual-beli dari seorang tunawicara
haruslah dilakukan dengan isyarat yang jelas, mudah dipahami, ataupun
dengan tulisan yang jelas.
d. Jual Beli Orang yang Tidak Hadir di Tempat Akad
Jual beli dengan orang yang tidak hadir ditempat akad adalah jual
beli yang tidak sah menurut kesepakatan ulama, dikarenakan tempat
merupakan syarat sah jual beli. Misalnya saat kita mendatangi toko yang
kebetulan ditinggal oleh penjual, maka membelinya kita di toko tersebut
adalah terlarang, sekalipun kita memahami harga barang di toko tersebut.
e. Jual Beli Tanpa Kesesuaian Ijab Qabul
Jual beli tanpa adanya kesesuaian antara ijab dengan qabul adalah
jual-beli yang tidak sah dan terlarang menurut kesepakatan para ulama,
kecuali jika perubahan kesepakatan ijab-qabulnya menunjukan pada hal
yang baik. Misalnya seperti pembeli menambah harga yang telah
disepakati, atau penjual menambah jumlah barang yang sudah disepakati,
maka akad ini sah menurut ulama Hanafiyah, namun tetap tidak sah
menurut ulama Syafi‟iyah.
f. Jual Beli Tidak Sempurna
Jual beli tak sempurna ini ialah jual beli yang dikaitkan pada syarat
atau disandarkan pada waktu yang akan datang, sehingga menyebabkan
akadnya memiliki unsur ketidakjelasan. Jual beli ini fasid menurut ulama
Hanafiyah dan batil menurut jumhur ulama.
3. Jual Beli Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Objek Transaksi)
Ma‟qud Alaih secara umum memiliki arti yaitu harta yang dikeluarkan
dari kedua pelaku akad, dimana salah satu harta tersebut dinamakan barang
dagangan dan yang lainnya disebut harga. Para fuqaha sepakat bahwa jual
beli sah jika ma‟qud alaih-nya berbentuk harta yang bernilai, tertentu, ada,
dapat diserahkan, bisa diketahui oleh kedua pelaku akad, tidak berkaitan
dengan hak orang lain, dan tidak dilarang oleh syara. Wahbah Az-Zuhaili
(2011) dalam Fiqih Islam Wa Adilatuhu menyebutkan para fuqaha berselisih
pendapat dalam sifat sebagian jual beli yang dilarang adalah sebagai berikut:
a. Jual Beli Barang Yang Tidak Ada Atau Beresiko Hilang
Contoh dari jual beli ini seperti jual beli madhaamiin (sperma dari
pejantan), malaaqiih (sel telur dari betina), dan hablul habalah (anak dari
anaknya). Dalam jual beli ini dikatakan tidak sah menurut kesepakatan
dari ke empat mazhab karena terdapat larangan dalam hadits sahih.

‫ع ٍِ اب ٍِْ عُ ًَ َش‬ ُّ ‫ب ْانَُحْم –ملسو هيلع هللا ىلص –قَا َل ََ َٓى انَُّ ِب‬
َ – ‫ى –سضى هللا عًُٓا‬ َ ٍْ ‫ع‬
ِ َْ ‫ع‬ َ

Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, dia berkata, “Nabi shallallahu „alaihi
wa sallam melarang (jual beli) sperma pejantan.” (HR. Bukhari, no. 2284).

Dalam kitab Fathul Barri, Ibnu Hajar (2009) menjelaskan bahwa


memperjualbelikan sperma pejantan, dan menyewakan pejantan itu haram,
karena kita tidak bisa mengukur dan mengetahui jumlah sperma yang
dikeluarkan dan tidak bisa diserah terimakan.
b. Jual Beli Barang Yang Tidak Dapat Diserahkan
Contohnya, seperti burung yang terbang di udara atau ikan yang
ada di dalam air, dalam jual ini tidak sah menurut kesepakatan para
mazhab, dikarenakan terdapat larangan dalam sunnah.
c. Jual Beli Utang Dengan Nasi’ah (Tidak Tunai)
Jual beli ini yaitu jual beli utang dengan utang dalam jual beli ini
bathil menurut kesepakatan ulama dikarenakan di larang dalam syariat.
Menjual utang pada orang yang berhutang secara kontan diperbolehkan
menurut kesepakatan ulama, sedangkan menjual hutang pada selain
orang yang berhutang secara kontan itu bathil menurut ulama hanfiyah,
hanabilah, dan zhahiriyah, serta boleh dalam mazhab-mazhab lainnya.
d. Jual Beli Yang Mengandung Unsur Penipuan (Gharar)
Jual beli ini tidak sah menurut kesepakatan ulama karena terdapat
larangan mengenai hal itu. Akan tetapi diantaranya ada yang bathil
menurut kesepakatan ulama seperti jual beli madhaamiin (sperma dari
pejantan), malaaqiih (sel telur dari betina). Terdapat pula yang fasid
menurut istilah ulama hanafiah dan bathil menurut ulama yang
lainnya.yaitu jual beli dharbatul qaanish wal ghaaish, muzabanah
(menjual buah yang basah dengan buah yang kering sepertimnjual padi
kering dengan bayaran padi basah sehingga takarannya aka nerugikan
pemilik padi kering), muhaqalah (jual beli gandum yang masih di
bulirnya dengan gandum yang masih di bulirnya juga, dengan perkiraan
dan penaksiran), mulamasah (melaksanakan jual beli dengan sebab
menyentuhnya saja), munabadzah (mengesahkan jual beli dengan sebab
melemparkan barang pada pembeli atau dengan salah satu barang
dagangannya), hashaat (barang yang terkenal lemparan batu).
e. Jual Beli Sesuatu Yang Najis Dan Yang Terkena Najis
Jual beli ini tidak sah menurut kesepakatan ulama contoh jual beli
ini seperti khamar, babi, bangkai, dan darah. Menurut mayoritas ulama
berpendapat bahwa jual beli ini juga tidak sah jual beli sesuatu yang
terkena najis yang tidak bisa disucikan contohnya seperti mentega,
minyak, dan madu yang kejatuhan najis sepeti tikus. Sedangkan ulama
malikiah membolehkan menggunakan lampu dan membuat sabun dengan
minyak yang najis. Ulama hanafiah juga membolehkan jual beli ssuatu
barang yang terkena najis selain makanan seperti bahan penyamak, cat,
dan penerangan dalam selain masjid, kecuali lemak pada bangkai dimana
ia tidak halal untuk dimanfaatkan. Begitu juga dengan jual beli alat music
yang tidak sah menurut jumhur ulama dikarenakan dilarang
memanfaatkannya. Sedangkan ulama zahiriyah dan sebagian dari ulama
malikiah memperbolehkan untuk menjualnya dikarenakan terdapat
hadits-hadits yang menunjukan dibolehkannya memukul rabbana dan
sejenisnya.
‫ فَ ِۡي َم يَا‬. » ‫صُ َِاو‬ ْ َ ‫يش َٔاأل‬ِ ‫ّٰلل َٔ َسسُٕنَُّ َِ َّش َو بَ ْي َع ْانخ ًَْ ِش َٔ ْان ًَ ْيُ َ ِت َٔ ْان ِخ ُْ ِز‬ َ َّ ٌَّ ‫ِإ‬
، ُ ‫ َٔيُ ْذ ٍَُْ ِب َٓا ْان ُجهُٕد‬، ٍَُُُُّ ‫ُطهَى ِب َٓا ان‬ ْ ‫ٕو ْان ًَ ْيُ َ ِت فَإََِّ َٓا ي‬
َ ‫ أ َ َسأَيْتَ شُ ُح‬، ‫ّٰلل‬ِ َّ ‫َسسُٕ َل‬
‫ّٰلل – صهى‬ ِ َّ ‫ ث ُ َّى َقا َل َسسُٕ ُل‬. » ‫ ْ َُٕ َِ َشا ٌو‬، ‫َل‬ َ « ‫ َف َۡا َل‬. ‫اس‬ ُ َُّ‫ص ِب ُح ِب َٓا ان‬
ْ َ َُْ َ‫َٔي‬
َ َّ ٌَّ ‫ ِإ‬، َ‫ّٰللُ ْانيَ ُٕٓد‬
ُُِٕ‫ّٰلل نَ ًَّا َِ َّش َو شُ ُحٕ َي َٓا َج ًَه‬ َّ ‫هللا عهيّ ٔسهى – ِع ُْذَ رَنِكَ « قَاتَ َم‬
ًََُُّ َ ‫ث ُ َّى بَاعُُِٕ فَأ َ َكهُٕا ث‬

“Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar,


bangkai, babi, dan patung.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa
pendapatmu mengenai jual beli lemak bangkai, mengingat lemak
bangkai itu dipakai untuk menambal perahu, meminyaki kulit, dan
dijadikan minyak untuk penerangan?” Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak boleh! Jual beli lemak bangkai itu haram.”
Kemudian, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Semoga
Allah melaknat Yahudi. Sesungguhnya, tatkala Allah mengharamkan
lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu menjual minyak dari lemak
bangkai tersebut, kemudian mereka memakan hasil penjualannya.” (HR.
Bukhari no. 2236 dan Muslim, no. 4132).
f. Jual Beli Air, Air Sungai, Air Laut, Mata Air Dan Hujan
Semua ini adalah milik manusia bersama, tak ada seorangpun yang
berwenang lebih utama dari yang lainnya, tidak boleh dijual dan dibeli
selama masih berada di tempat aslinya. Menurut para ulama dari ke
empat mazhab memperbolehkan menjual air yang dimiliki, atau yang
telah di simpan dalam wadah-wadah, atau air dari mata air atau air
sumur. Sedangkan ulama zahiriyah berpendapat bahwa menjual air itu
tidak halal sama sekali. Para ulama pun sepakat bahwa tidak sah menjual
air mubah, dimana air umum yang dimiliki bersama oleh masyarakat
karna masyarakat adalah mitra dari kepemilikan air tersebut.
g. Jual Beli Sesuatu Yang Tidak Diketahui
dalam jual beli ini merupakan jual beli yang mengandung unsur
ketidak tahuan atau ketidak jelasan yang besar (jahaalah faahisyah) baik
dalam barang dagangan, harga, waktu, jenis yang digadaikan, maupun
orang yang menjamin. Adalah fasid menurut ulama Hanafiah, dan batil
menurut jumhur ulama. Karena hal tersebut dapat menimbulkan
perselisihan dan permusuhan.
h. Jual Beli Sesuatu Sebelum Ada Serah Terima
Menurut ulama Hanafiyah tidak boleh menjual harta bergerak
sebelum ada serah terima, karena terdapat larangan atasnya. Akan tetapi,
boleh menjual harta tidak bergerak sebelum ada serah terima, karena
biasanya terjaga dari perubahan. Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah
hal itu tidak boleh secara mutlak, karena keumuman larangan yang
terdapat dalam hadist bahwa Nabi saw melarang menjual barang
dagangan di tempat barang itu dibeli sampai dibawa para pedagang ke
kafilah mereka. Sedangkan ulama Malikiyah mengkususkan larangan ini
dalam jenis makanan, baik barang itu barang ribawi atau bukan. Adapun
ulama Hambali membatasi larangan ini pada makanan yang ditakar,
ditimbang atau dihitung satuannya, karena hadits “apabila kamu membeli
makanan , maka jangan menjualnya sampai kamu menerimanya”.
i. Jual Beli Dengan Muhaqallah Dan Mukhadarah
Muhaqallah adalah menjual tanaman yang masih di sawah atau di
lading. Hal ini dlarang dikhawatir mengandung unsur riba. Mukhadarah
adala jual beli buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen. Seperti
menjual rambutan yang hijau, manga yang masih berputik dan lain-lain.
Hal ini dilarang karena barang ini masih samar, maksudnya tidak ada
yang tahu apa yang akan terjadi pada pohon itu sampai layak panen, bisa
saja jatuh tertiup angin, dimakan oleh kelelawar, busuk dan lain-lain
sebelum diambil oleh pembelinya (Hendi Suhendi, 2008:79).
4. Jual Beli Terlarang Sebab Syara’
Menurut kesepakatan para ulama jual beli dikatakan sah apabila
memenuhi rukun dan syaratnya. Tidak mengandung sesuatu yang bertentang
dengan ketentuan akad atau hal-hal lain yang keluar dari akad, seperti (Az-
Zuhaili, 2011):
a. Jual Beli ‘Arbun
Menurut mayoritas ulama jual beli ini tidak diperbolehkan karena
terdapat larangan dalam sunnah. Menurut ulama hanafiyah jual beli ini
dianggap fasid, dan menurut ulama malikiyah dan syafi‟iyah batil jika
penjual tidak harus mengembalikan „arbun kepada pembeli jika jual beli
tidak disempurnakan. Tapi jika jual beli tidak terlaksana dan penjual
mengembalikan kepada pembeli maka ini diperbolehkan.
b. Jual Beli Riba
Riba nasi‟ah dan riba fadl adalah fasid menurut ulama hanafiyah,
dan batil menurut jumhur ulama, karena jelas keharamannya di dalam Al-
Qur‟an dan As-Sunnah sekaligus. Sehingga secara mutlaq jual beli ini
terlarang.
c. Jual Beli Inah
Jual beli ini dilarang karena dalam jual ini terdapat rekayasa untuk
mengelabuhi akad riba. Ulama malikiyah dan hanabilah melarang dan
membatilkan jual beli ini. Sedangkan menurut ulama hanafiyah jual beli
ini fasid jika tidak terdapat perantara orang ketiga. Kemudian menurut
ulama Syafi‟iyah dan Zahiriyah hukumnya adalah sah akan tetapi
makruh.
d. Jual Beli Talaqqi Rukbaan
Jual beli ini yakni dengan mencegat pedagang dalam perjalanannya
menuju tempat yang dituju (pasar) sehingga orang yang mencegatnya
akan mendapat keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu
makruh tahrim. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli
boleh khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu
termasuk fasid.
e. Jual Beli Najasy
Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa najasy adalah sebuah barang
dagangan yang di keluarkan untuk dijual, lalu seseorang memberikan
tawaran padahal dia tidak ingin membeli barang tersebut hanya saja
supaya para penawar yang lainnya mengikutinya untuk membeli barang
tersebut dengan tawaran yang lebih tinggi. Dengan kata lain najasy
adalah memberikan tambahan harga pada barang dagangan dengan cara
berpura-pura menawar barang d agang tersebut yang mana hal tersebut
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok yang bersekutu dengan
penjual.
f. Jual Beli Waktu Adzan Jum’at
Jual beli ini yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan
shalat Jum‟at. Menurut ulama Hanafiyah tepatnya pada waktu adzan
yang pertama. Sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketika khatib
sudah berada di mimbar (adzan kedua). Ulama Hanafiyah menghukumi
makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi‟iyah menghukumi shahih haram.
Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah dan
tidak sah menurut ulama Hanabilah.
g. Jual Beli Anggur Untuk Dijadikan Khamr
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah zhahirnya shahih tetapi
makruh. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah
batal, karena bertujuan untuk menutup jalan keharaman (saddudz
dzariah), seperti menjual senjata pada masa kekacauan atau kepada para
penyamun dan jual beli 'inah yang dijadikan sebagai alat untuk
melakukan riba. Hal itu karena sesuatu yang bisa menyampaikan pada
keharaman adalah haram, walaupun hanya sebatas maksud atau niat.
h. Jual Beli Induk Tanpa Anaknya Yang Masih Kecil Atau Sebaliknya
Hal itu dilarang menurut jumhur ulama sampai anaknya besar dan
dapat mandiri. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bawa jual beli
tersebut sah.
i. Jual Beli Barang Yang Sedang Dibeli Oleh Orang Lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih
dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk
membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga yang lebih
tinggi. Para ulama sepakat mengharamkan jual beli sejenis ini, hal ini
didasarkan pada hadits: “janganlah seseorang diantara kamu melakukan
jual beli diatas jual beli saudaranya”. Terdapat perbedaan pendapat dari
para ulama, menurut ulama hambali dan syafi‟i jual beli seperti ini boleh
akan tetapi berdosa. Sedangkan ulama hambali ibnu hazm dan ulama
maliki berpendapat bahwa jual belinya tidak sah.
j. Jual Beli Memakai Syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti,
“Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit
dulu”. Begitu pula menurut ulama Malikiyah, membolehkannya jika
bermanfaat. Menurut ulama Syafi‟iyah dibolehkan jika merupakan syarat
maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan
menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi
salah satu yang akad.
k. Penimbunan
Penimbunan ialah membeli sesuatu dan menyimpannya agar
barang tersebut berkurang dimasyarakat sehingga harganya menjulang
tinggi, dan dengan demikian akan menimbulkan kesulitan pada
masyarakat. Sebagian ulama memperkecil bahan yang dapat ditimbun.
Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan
penimbunan yakni pada hal-hal yang berkaitan dengan pangan, karena
merupakan kebutuhan pokok manusia (Sabiq, 1988).

PENUTUP
Kesimpulan dari pembahasan disini adalah bahwa di dalam konsep
perekonomian Islam, jual beli bukanlah suatu aktivitas ekonomi yang sangat
bebas. Terdapat batasan-batasan yang sangat jelas di dalam jual beli Islami. Ada
beberapa konsep jual beli yang terlarang menurut syariat dan menurut jumhur
ulama. Pembahasan di dalam artikel ini memperinci transaksi-transaksi apa saja
yang termasuk ke dalam jual beli terlarang dari empat sudut pandang, yaitu 1)Jual
beli terlarang sebab ahliyah, 2)Jual beli terlarang sebab ma‟qud alaih, 3)Jual beli
terlarang sebab shighat, dan 4)Jual beli terlarang sebab syara‟. Harapannya sebagai
seorang muslim kita bisa terhindar dari jual beli yang terlarang ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟anul Karim.
Asqalani, Ibnu Hajar. (2009). Fathul Barri, jilid 6 (terjemah). Dar Ath-Thaibah:
Riyadh.
Az-Zuhaili, Wahbah. (2011). Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 5 (terjemah).
Penerbit Gema Insani: Jakarta.
Sabiq, Sayyid. (1988). Fiqih Sunnah jilid 12. Penerbit Al-Ma‟arif: Bandung.
Sarwat, Ahmad. (2018). Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Suhendi, Hendi. (2008). Fiqih Muamalah. Penerbit PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai