Anda di halaman 1dari 18

Kerangka Dasar Penyusunan & Penyajian Laporan Keuangan Syariah 

TUJUAN UTAMA BERBISNIS SYARIAH

Manfaat besar berbisnis berdasarkan prinsip Islam di antaranya:

 Di dalam bisnis banyak pengalaman akan diperoleh baik di segi manajemen, mengenal
tempat, mengenal barang dan lain-lain lagi. Di dalam Islam mencari ilmu dan pengalaman
sangat dituntut.

 Keberlangsungan. Target yang telah dicapai dengan pertumbuhan setiap tahunnya harus


dijaga keberlangsungannya agar perusahaan dapat exis dalam kurun waktu yang lama.

 Keberkahan. Semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada
keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena
ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi
bukti bahwa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat rida dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bernilai ibadah.

 Pertumbuhan. Jika profit materi dan profit non materi telah diraih, perusahaan harus
berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus
selalu dalam koridor syariah, bukan menghalalkan segala cara.

 Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri. Artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk
mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat
memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada
internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana
persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.

 Benefit. Yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat kebendaan, tetapi juga


dapat bersifat nonmateri. Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak
hanya berorientasi pada keuntungan semata. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni

 Pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat kemanusiaan


melaluikesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan bantuan lainnya.

 Nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu keharusan yang harus muncul dalam setiap
aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekadar
hubungan fungsional atau profesional.

 Aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu


wa Ta’ala.

Azas transaksi syariah yang telah ditetapkan (IAI, 2007) adalah seperti berikut ini:

Transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:

 persaudaraan (ukhuwah);
 keadilan (’adalah);
 kemashalatan (maslahah);
 keseimbangan (tawazun); dan
 universalisme (syumuliyah).

Lebih lanjut ke 5 azas / prinsip tersebut dijelaskan seperti berikut ini:

Prinsip persaudaraan (ukhuwah) esensinya merupakan nilai universal yang


menata interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan
secara umum dengan semangat saling tolong-menolong. Transaksi syariah
menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat (sharing
economic) sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan diatas kerugian
orang lain. Ukhuwah dalam transaksi syariah berdasarkan prinsip saling mengenal
(ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saling menjamin
(takaful), saling bersinergi dan beraliansi (tahaluf).

Prinsip keadilan (’adalah) esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatna


dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu
sesuai dengan posisinya. Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa
aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur :

1. riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik


riba nasiah maupun fadhl);
2. kezaliman (unsur yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan);
3. maysir (unsur judi dan sifat spekulatif);
4. gharar (unsur ketidakjelasan); dan
5. haram (unsur haram baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas
operasional yang terkait).

Esensi riba adalah setiap tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam


transaksi pinjam-meminjam serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya, dan
setiap tambahan yang dipersyaratkan dalam transaksi pertukaran antar barang-
barang ribawi termasuk pertukaran uang (money exchange) yang sejenis secara
tunai maupun tangguh dan yang tidak sejenis secara tidak tunai.

Esensi kezaliman (dzulm) adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya,


memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponya, mengambil
sesuatu yang bukan haknya, dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai posisinya.
Kezaliman dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat secara keseluruhan,
bukan hanya sebagian, atau membawa kemudharatan bagi salah satu pihak atau
pihak-pihak yang melakukan transaksi.

Esensi masyir adalah setiap transaksi yang bersifat spekulatif dan tidak berkaitan


dengan produktivitas serta bersifat perjudian (gambling).
Esensi gharar adalah setiap transaksi yang berpotensi merugikan salah satu pihak
karena mengandung unsur ketidakjelasan, manipulasi dan eksploitasi informasi
serta tidak adanya kepastian pelaksanaan akad. Bentuk-bentuk gharar antara lain :

1. tidak adanya kepastian penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu
terjadi akad baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada;
2. menjual sesuatu yang belum berada di bawah kekuasaan penjual;
3. tidak adanya kepastian kriteria kualitas dan kualitas barang/jasa;
4. tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat
pembayaran;
5. tidak danya ketegasan jenis dan obyek akad;
6. kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang
ditentukan dalam transaksi;
7. adanya unsur eksploitasi salah satu pihak karena informasi yang kurang atau
dimanipulasi dan ketidak tahuan atau ketidakpahaman yang ditransaksikan.

Esensi haram adalah segala jenis unsur yang dilarang secara tegas dalam Al-Qur’an
dan As Sunah.

Prinsip kemaslahatan (mashlahah) esensinya merupakan segala bentuk kebaikan


dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta
individual dan kolektif. Kemashlahatan yang diakui harus memenuhi dua unsur yakni
kepatuhan syariah (halal) serta bermanfaat dan membawa kebaikan (thayib) dalam
semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudharatan. Transaksi
syariah yang dianggap bermashlahat harus memenuhi secara keseluruhan unsur-
unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa
pemeliharaan terhadap :

1. akidah, keimanan dan ketakwaan (dien);


2. intelek (’aql);
3. keturunan (nasl);
4. jiwa dan keselamatan (nafs); dan
5. harta benda (mal).

Prinsip keseimbangan (tawazun) esensinya meliputi keseimbangan aspek material


dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan
sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian. Transaksi syariah
tidak menekankan pada maksimalisasi keuntungan perusahaan semata untuk
kepentingan pemilik (shareholder). Sehingga manfaat yang didapatkan tidak hanya
difokuskan pada pemegang saham, akan tetapi pada semua pihak yang dapat
merasakan adanya suatu kegiatan ekonomi.

Prinsip universalisme (syumuliah) esensinya dapat dilakukan oleh, dengan, dan


untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku,
agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta
(rahmatan lil alamin).
Transaksi syariah terikat dengan nilai-nilai etis meliputi aktivitas sektor keuangan
dan sektor riil yang dilakukan secara koheren tanpa dikotomi serta keberadaan dan
nilai uang merupakan cerminan aktivitas investasi dan perdagangan.

Pertanyaan
Bagaimana jika kontrak tidak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, bisakah nantinya menyelesaikan sengketa lewat jalur arbitrase?

Ulasan Lengkap
 
Arbitrase
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”) adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata
maupun hukum publik.[1]
 
Adapun yang disebut dengan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan
berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[2]
 
UU 30/1999 mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak
dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase
yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang
timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan
dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.[3]
 
Selain itu Pasal 7 UU 30/1999 mengatur bahwa para pihak
dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
 
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka
arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban
para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka. Persetujuan untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang
ditandatangani oleh para pihak.[4]
 
Selain itu apabila disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam
bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau
dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan
penerimaan oleh para pihak.[5]
 
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.[6] Sedangkan
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian

Menyelesaikan Sengketa dengan Perjanjian Arbitrase


Jadi menjawab pertanyan Anda, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat
dilakukan apabila telah ada suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa. Artinya selama ada perjanjian arbitrase sengketa dapat
diselesaikan melalui arbitrase, baik itu berupa klausula suatu perjanjian sebelum
timbul sengketa maupun perjanjian khusus arbitrase yang dibuat setelah ada
sengketa.
 
Hal serupa juga disampaikan oleh Husseyn Umar, Ketua Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dalam artikel Makin "Ngetrend", Ini 5 Kelebihan Penyelesaian
Sengketa Melalui Arbitrase, nyawa dari arbitrase adalah perjanjian arbitrase.
Perjanjian arbitrase akan menentukan apakah suatu sengketa bisa diselesaikan
melalui arbitrase, di mana diselesaikannya, hukum mana yang digunakan, dan lain-
lain. Perjanjian arbitrase bisa berdiri sendiri atau terpisah dari perjanjian pokonya.
 
Lanjut Umar mengatakan, tidak ada keharusan dalam UU 30/1999 yang
menentukan perjanjian arbitrase harus dibuat dalam akta notaris perjanjian arbitrase
harus disusun secara cermat, akurat, dan mengikat. Tujuannya untuk menghindari
perjanjian arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu pihak sebagai kelemahan
yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut ke jalur pengadilan.
Maka sejalan dengan pendapat di atas, menurut hemat kami meskipun tidak
terdapat klausula arbitrase di dalam kontrak, para pihak tetap dapat menyelesaikan
permasalahannya melalui arbitrase. Dengan catatan para pihak membuat perjanjian
arbitrase tersendiri setelah timbul sengketa. Tentunya perjanjian ini harus dibuat
atas dasar kesepakatan dan iktikad baik.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa

 Putusan arbitrase final dan mengikat

Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999: Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak

Menurut Husseyn, terdapat beberapa kelebihan yang dimiliki oleh arbitrase sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa di bidang perdata. Kelebihan arbitrase tersebut antara lain:

1.  Aspek kerahasiaan/Confidentiality
Sifatnya yang konfidensial membuat arbitrase dipandang sebagai alternatif penyelesaian yang
sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Hal ini dikarenakan arbitrase diselenggarakan secara
tertutup. Tidak seperti metode penyelesaian sengketa di peradilan umum yang terbuka, arbitrase
hanya dihadiri oleh para pihak yang berkepentingan atau dengan kata lain pihak yang
bersengketa

Hal ini,menurut Husseyn,membuat para pihak yang bersengketa merasa lebih nyaman. Dia
mengingatkandi dalam dunia bisnis, pemberitaan terkait sengketa bisnis dari sebuah
perusahaan akan berakibat pada munculnya preseden terhadap para salah satu atau kedua
belah pihak yang bersengketa

2. Fleksibilitas dalam prosedur dan persyaratan administratif

Prosedur arbitrase sebagaimana yang telah diatur dalam Bab IV UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam penerapannya bisa lebih fleksibel dengan
memperhatikan kesepakatan para pihak. Sedapat mungkin arbiter yang ditunjuk
mempertemukan kepentingan para pihak yang bersengketa.

“Prosedurnya dijalankan tidak terlalu formalistis, walaupun tetap memperhatikan pedoman-


pedoman penting yang telah ditentukan dan disepakati,” terang Husseyn

3.  Hak pemilihan/penunjukan arbiter berada di tangan para pihak

Ada kebebasan para pihak untuk memilih siapa orang yang akan menjadi arbiter. Hal seperti ini
tidak bisa ditemukan dalam pengadilan umum lainnya. Menurut Husseyn, pada pengadilan
arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter sesuai dengan latar belakang
sengketa yang sedang dihadapi. Hal ini bertujuan agar proses penyelesaian sengketa dengan
ranah yang berbeda-beda dapat ditangani oleh arbiter yang sesuai dengan ranah sengketa
terkait

“Oleh karena itu, seorang arbiter tidak mesti selalu memiliki latar belakang keilmuan hukum,”
kataHusseyn.

Menurut Husseyn, di BANI, terdapat 60-70 orang arbiter dengan latar belakang keilmuan yang
berbeda-beda. “Ada ekonomi, keuangan, perpajakan, perkapalan, pidana, dan segala macam.
Jadi biasanya, arbiter itu ada suatu majelis yang terdiri dari berbagai latar belakang
keahlianl,”tuturnya.

Husseyn menekankan, oleh karena keberadaan arbiter dalam penyelesaian sengketa berasal
dari pilihan para pihak sendiri, sehingga harus bisa memilih arbier yang bisa bersikap netral
sehingga tidak ada konflik kepentingan dalam penyelesaian sengketa.

“Arbiter itu tugas dan fungsinya untuk memperjuangkan kebenaran secara obyektif. Dia harus
bisa mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa,” tegas Husseyn.

 
4.  Pilihan hukum, forum, dan prosedur penyelesaian berada di tangan para pihak dan
dituangkan dalam perjanjian/klausula arbitrase
Nyawa dari arbitrase adalah perjanjian arbitrase. perjanjian arbitrase akan menentukan apakah
suatu sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase, di mana diselesaikannya, hukum mana yang
digunakan, dan lain-lain. Perjanjian arbitrase bisa berdiri sendiri atau terpisah dari perjanjian
pokonya. Tidak ada keharusan dalam UU Arbitrase yang menentukan perjanjian arbitrase harus
dibuat dalam akta notaris.

Perjanjian arbitrase harus disusun secara cermat, akurat, dan mengikat. Tujuannya untuk
menghindari perjanjian arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu pihak sebagai kelemahan
yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut ke jalur pengadilan.

6.Putusan arbitrase final dan mengikat

Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999: Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak.

CASH BASIC DAN AKRUAL BASIC

Pada cash basis, pendapatan dicatat pada saat menerima kas, sedangkan biaya dicatat pada
saat mengeluarkan kas. Sebagai contoh, pada metode cash basis ini, pendapatan belum dicatat
meskipun barang atau jasa sudah diberikan kepada pelanggan.

Pada akrual basis, pendapatan dicatat pada saat terjadi penjualan meskipun kas belum diterima,
sedangkan biaya dicatat pada saat biaya tersebut dipakai atau digunakan, meskipun belum
mengeluarkan kas. Dengan demikian, pada metode akrual basis, pendapatan dicatat pada saat
terjadi penjualan, meskipun kas belum diterima.

LAPORAN KEANGAN SYARIAH

Jika entitas syariah merupakan lembaga keuangan maka selain komponen laporan keuangan 
yang diuraikan dalam Laporan keuangan entitas syariah  , entitas syariah tersebut juga  harus
menyajikan  komponen laporan keuangan  tambahan yang menjelaskan karakteristik utama
entitas tersebut jika substansi informasinya belum tercakup

Komponen tambahan dan penyajian pos-pos laporan yang mencerminkan  karakteristik khusus
untuk industry teertentu akan diatur dalam lampiran  Pernyataan ini yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan.

2. PERTIMBANGAN MENYELURUH

Pertimbangan menyeluruh yang harus dilaksanakan oleh entitas syariah dalam penyusunan dan
penyajian laporan keuangan syariah meliputi: penyajian secara wajar, kebijakan akuntansi,
kelangsungan usaha, dasar akrual, materialitas dan agregasi, saling hapus (offsetting), dan
informasi komparatif. Berikut ini PSAK no. 101 (2007) mengatur hal-hal tersebut.

a. Penyajian Secara Wajar

Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus
kas entitas syariah dengan menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan secara benar
disertai pengungkapan yang diharuskan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dalam
Catatan atas Laporan Keuanga. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan penyajian
yang wajar walaupun pengungkapan tersebut tidak diharuskan  oleh Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan.(paragraph 16, PSAK no. 101, 2007).

Apabila Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan belum mengatur masalah pengakuan,


pengukuran, penyajian dan pengungkapan  dari suatu transaksi atau peristiwa, maka penyajian
secara wajar dapat dicapai melalui pemilihan dan kebijakan akuntansi sesuai paragraph 20
PSAK no. 101, serta menyajikan jumlah yang dihasilkan sedemikian rupa sehingga  memberikan
informasi yang relevan, andal, dapat dibandingkan, dan dapat dipahami. (paragraph 17, PSAK
no. 101, 2007).

b. Kebijakan Akuntansi

Dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan syariah, diperlukan kebijakan akuntansi 
tertentu yang terkait dengan traksaksi dan pos-pos di laporan keuangan agar menghasilkan
informasi yang dapat diandalkan dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi para
pemakai laporan keuangan tersebut. 

Kebijakan akuntansi adalah prinsip khusus, dasar, konvensi, peraturan, dan praktik yang
diterapkan entitas syariah dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan. (paragraph 21,
PSAK no. 101, 2007). Atas kebijakan akuntansi ini, PSAK no. 101 (2007) telah mengaturnya
berikut ini.

Manajemen memilih dan  menerapkan kebijakan akuntansi agar laporan keuangan memenuhi
ketentuan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Jika belum diatur dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan, maka manajemen harus menetapkan kebijakan untuk
memastikan  bahwa laporan keuangan menyajikan informasi:

a)      Relevan  terhadap kebutuhan para pengguna laporan untuk pengambilan keputusan; dan

b)      Dapat diandalkan , dengan pengertian:

(i)                 Mencerminkan kejujuran penyajian hasil dan posisi keuangan entitas syariah;

(ii)               Menggambarkan substansi ekonomi dari suatu kejadian atau transaksi dan tidak
semata-semata bentuk hukumnya;

(iii)             Netral yaitu bebas dari keberpihakan;

(iv)             Mencerminkan kehati-hatian; dan

(v)               Mencakup semua hal yang material. (paragraph 20, PSAK no. 101, 2007).

Apabila belum ada pengaturan oleh PSAK, maka manajemen menggunakan pertimbangannya
untuk menetapkan kebijakan akuntansi yang memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pengguna laporan keuangan. Dalam melakukan pertimbangan tersebut menajemen
memperhatikan:

a)      Persyaratan dan pedoman PSAK yang mengatur hal-hal yang mirip dengan masalah
terkait;

b)      Definisi, criteria pengakuan dan pengukuran asset, kewajiban, dana syirkah temporer,
penghasilan dan beban yang ditetapkan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan Syariah; dan
c)      Pernyataan yang dibuat oleh badan pembuat standar lain dan praktik industry yang lazim
sepanjang konsisten dengan huruf a) dan b) paragraph ini. (paragraph 22, PSAK no. 101, 2007).

 c. Kelangsungan Usaha

Dalam penyusunan laporan keuangan,  manajemen harus menilai (assessment) kemampuan


kelangsungan usaha entitas syariah. Laporan keuangan harus disusun berdasarkan asumsi
kelangsungan usaha, kecuali manajemen bermaksud  untuk melikuidasi atau menjual, atau tidak
mempunyai alternatif  selain melakukan hal tersebut. Dalam penilaian kelangsungan usaha,
ketidakpastian yang bersifat material yang terkait dengan kejadian atau kondisi yang bias
menyebabkan keraguan atas kelangsungan usaha harus diungkapkan. Apabila laporan keungan
tidak disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha, maka kenyataan tersebut harus
diungkapkan bersama dengan dasar lain yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan
serta alas an mengapa asumsi kelangsungan usaha entitas syariah tidak dapat digunakan.
(paragraph 23, PSAK no. 101, 2007).

d. Dasar Akrual

Entitas syariah harus menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali Laporan Arus Kas
dan penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha. Dalam penghitungan
pembagian hasil usaha didasarkan pada pendapatan yang telah direalisasikan menjadi kas
(dasar kas). (paragraph 25, PSAK no. 101, 2007).

Dapat dijelaskan di sini, bahwa laporan keuangan selain Laporan Arus Kas dan penghitungan
bagi hasil, PSAK mengharuskan menyajikan berdasarkan basis akrual. Untuk pendapatan diakui
pada saat terjadinya transaksi bukan pada saat pendapatan telah direalisasikan menjadi kas.
Sedangkan untuk penghitungan bagi hasil PSAK mengaturnya dengan dasar kas (cash basis).
Untuk keperluan ini, PSAK no. 101 mengaturnya dengan sebuah laporan keuangan tersendiri
yang disebut dengan Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil.(bentuk laporan terdapat
di bagian belakang bab ini).

Ada praktisi entitas syariah yang berpendapat bahwa pengakuan pendapatan sebaiknya juga
menggunakan dasar kas dengan pertimbangan kepastian kinerja setelah kas dapat
direalisasikan menjadi kas. Dengan demikian celah penyelewengan dasar akrual untuk
kepentingan entitas yang cenderung menguntungkan entitas tetapi merugikan pembaca laporan
keuangan dapat diminimalisir. Dalam praktik, dasar akrual dapat digunakan untuk manajemen
laba, seperti perataan laba (income smoothing). Apabila menggunakan dasar kas dalam
pengakuan pendapatan, maka secara teknis kemungkinan akan terjadi penggeseran pengakuan
pendapatan di tahun berikutnya, tetapi di tahun berjalan juga ada kas masuk dari penerimaan
pelunasan piiutang pendapatan dari tahun sebelumnya. Apabila kita berikan contoh bagaimana
cara pengakuan pendapatan menurut akrual dan dasar kas, maka secara teknis jurnal tidak
terjadi kesulitan. Berikut ini ilustrasinya.

Dasar akrual pengakuan pendapatan

Penjualan kredit, akan dicatat :

Debit: Piutang usaha;   Rp xx  --

Kredit: Penjualan;             --        Rp xx

Debit: Harga Pokok Penjualan;   Rp xx            --


Kredit: Persediaan Barang Dagang.  --           Rp xx

Penerimaan pelunasan piutang usaha, akan dicatat:

Debit: Kas;                  Rp xx  --

Kredit: Piutang Usaha.    --     Rp xx

Sedangkan pada dasar kas pengakuan pendapatan, yang memenuhi Al Baqarah:282 dan


Surat Luqman:34, transaksi tersebut dapat dicatat:

Debit: Piutang Usaha;                         Rp xx  --

Kredit: Persediaan Barang Dagang;       --      Rp xx

Kredit: Laba tangguhan                           --    Rp xx

Penerimaan pelunasan piutang usaha, akan dicatat:

Debit   :  Kas                                       Rp  xx             --

Kredit  :  Piutang Usaha                                  --          Rp  xx

Debit   : Harga Pokok Penjualan         Rp xx             --

Debit   : Laba tangguhan                     Rp xx           --

Kredit  : Penjualan.                                  --                Rpxx.

Mengapa dalam dasar kas piutang usaha juga dicatat? Hal ini didasarkan pada Surat Al
Baqarah, ayat 282, yang mewajibkan melakukan pencatatan atas transaksi (muamalah) yang
tidak tunai (kredit) yang telah ditentukan waktunya. Jadi, dari segi teknis penjurnalan, baik dasar
akrual maupun dasar kas tidak mengalami kesulitan sama sekali, hanya saja kemungkinan
perbedaan jumlah pendapatan yang diakui pada tahun berjalan antara dasar akrual dan dasar
kas. Untuk yang lebih memilih dasar kas dalam pengakuan pendapatan sering didasarkan pada
asumsi dasar ‘konservatisme’ dan surat Lukman, ayat 34, yang menyatakan bahwa ’untuk masa
yang akan datang manusia tidak tahu secara pasti akan hasil usaha yang mereka usahakan
(dalam usaha apapun)’, dan ini sesuai dengan kenyataan bahwa di waktu yang akan datang
tidak seorangpun yang tahu dengan pasti  hasil usaha yang dikerjakannya, termasuk kapan
manusia akan meninggal dan di mana mereka akan meninggal dan dikuburkannya.

 e.Konsistensi Penyajian

Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar periode harus konsisten ,
kecuali:

a)      Terjadi perubahan yang signifikan terhadap sifat operasi entitas syariah atau perubahan
penyajian akan menghasilkan penyajian yang lebih tepat atas suatu transaksi atau peristiwa;
atau
b)      Perubahan tersebut diperkenankan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan  atau
Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. (paragraph 26, PSAK no. 101, 2007).

 f. Materialitas dan Agregasi

Pos-pos yang material disajikan terpisah dalam laporan keuangan sedangkan yang tidak
material digabungkan dengan jumlah yang memiliki sifat atau fungsi yang sejenis. (paragraph
28, PSAK no. 101, 2007). Dapat dijelaskan di sini, informasi dianggap material jika dengan tidak
diungkapkannya informasi tersebut dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan dalam
pengambilan keputusan ekonomi. Untuk menentukan materialitas suatu pos  maka besaran dan
sifat unsur tersebut harus dianalisis  dimana masing-masing dapat menjadi faktor penentu.

Sebagai contoh sederhana mengenai materialitas adalah seperti berikut ini. Dalam perhitungan
Kas harian oleh kasir, yaitu mencocokkan antara uang kas yang diterima secara fisik dan catatan
dalam cash register, terdapatlah angka, misalnya, kas tunai fisik yang diterima = Rp 5.750.500,-
sedangkan menurut cash register tercatat Rp 5.750.000,-. Berdasarkan perbanidngan ini
terdapat selisih kas sebesar Rp 500.—yang melebihi catatan. Apakah Rp 500,-- sebagai selisih
ini dapat dikatakan material? Saya kira, jumlah Rp 500,- bila dibandingkan dengan catatan kas
sebesar Rp  5.750.000,- adalah tidak material, karena dilihat dari % selisih tersebut tidak ada
1%, bahkan 1 per mil pun tidak ada. Jadi, materialitas memerlukan standar selisih yang
disepakati bersama, misalnya, selisih 2% ke atas dianggap materialitas, tetapi kalau di bawah
prosentasi tersebut di anggap tidak material. Apabila selisih Rp 500,- yang dianggap tidak
material bila tidak dilaporkan dalam laporan keuangan tidak akan mempengaruhi keputusan
yang akan diambil oleh pembacanya. Jadi, materialitas memerlukan perbandingan dan tolok
ukur kuantitatif.

g. Saling Hapus (Offsetting)

Asset, kewajiban, dana syirkah temporer, penghasilan dan beban disajikan secara terpisah,
kecuali saling hapus diperkenankan dalan Pernyataan atau Interpretasi Standar Akuntansi
Keuangan. (paragraph 30, PSAK no. 101, 2007).  Dapat dijelaskan di sini, bahwa asset dan
kewajiban disajikan secara terpisah dan tidak diperkenankan saling hapus. Sebagai contoh,
entitas syariah memiliki Piutang Murabahah di sisi asetnya dan juga mempunyai Utang
Murabahah di sisi kewajibannya, maka antara Piutang Murabahah dan Utang Murabahah tidak
diperbolehkan untuk saling hapus. Misal, Piutang Murabahah Rp 10.000.000,-- sedangkan
Utang Murabahah Rp 6.000.000,- maka Piutang Murabahah neto =Rp 4.000.000,--. Saling
hapus seperti ini tidak diperbolehkan oleh PSAK ini karena informasinya akan menyesatkan
pembaca laporan keuangan entitas syariah tersebut. Dengan saling hapus ini pembaca akan
dapat memperoleh pemahaman bahwa Piutang Murabahah entitas tersebut adalah Rp
4.000.000,- sementara entitas tidak memiliki Utang Murabahah. Jadi, di sini terjadi kehilangan
informasi penting, yaitu entitas tidak memiliki Utang Murabahah padahal pada kenyataannya
entitas memiliki Utang Murabahah Rp 6.000.000,--. Asset yang dilaporkan sebesar nilai, setelah
dikurangi dengan penyisihan, tidak termasuk kategori saling hapus.

 h. Informasi Komparatif

Pada paragraph 33 (PSAK No.101,2007) dijelaskan, bahwa informasi kuantitatif harus


diungkapkan secara komparatif dengan periode sebelumnya, kecuali dinyatakan lain oleh
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Informasi komparatif yang bersifat naratif dan
deskriptif dari laporan keuangan periode sebelumnya diungkapkan kembali apabila relevan
untuk pemahaman laporan keuangan periode berjalan.

 3. STRUKTUR DAN ISI


 a. Identifikasi Laporan Keuangan

Paragraph 38 (PSAK No.101,2007) mengatur, bahwa laporan keuangan diidentifikasikan dan


dibedakan secara jelas dari informasi lain dalam dokumen publikasi yang sama. Selanjutnya,
Laporan keuangan sering disajikan sebagai bagian dari suatu dokumen seperti laporan tahunan
atau prospectus. PSAK hanya berlaku untuk laporan keuangan dan tidak berlaku untuk informasi
lain yang disajikan dalam laporan tahunan atau dokumen lainnya. Oleh karena itu, sangat
penting bagi pengguna untuk mampu membedakan laporan keuangan yang disusun seseuai
dengan PSAK dari informasi lain yang juga bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan tetapi
tidak perlu disjikan sesuai dengan PSAK. (paragraph 39,PSAK No.101,2007)

Setiap komponen laporan keuangan harus diidentifikasi secara jelas. Di samping itu, informasi
berikut ini disajikan dan diulangi, bilamana perlu, pada setiap halaman laporan keuangan:

a)      Nama entitas syariah pelapor atau edentitas lain;

b)      Cakupan laporan keuangan, apakah mencakup hanya satu entitas atau beberapa entitas;

c)      Tanggal atau periode yang dicakup oleh laporan keuangan, mana yang lebih tepat bagi
setiap komponen laporan keuangan;

d)     Matauang pelaporan; dan

e)      Suatu angka yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan. (paragraph 40, PSAK
No.101,2007)

b. Periode Laporan

Apakah laporan keuangan entitas syariah harus disajikan secara enam bulanan, tahunan, atau
tiga bulanan? PSAK No.101,2007, telah mengatur tentang periode laporan keuangan entitas
syariah berikut ini. Laporan keuangan setidaknya disajikan secara tahunan. Apabila tahun buku
entitas syariah berubah dan laporan keuangan tahunan disajikan untuk periode yang lebih
panjang atau pendek daripada periode satu tahun, maka sebagai tambahan terhadap periode
cakupan laporan keuangan, entitas syariah harus mengungkapkan:

a)      Alas an penggunaan periode pelaporan selain periode satu tahunan; dan

b)      Fakta bahwa jumlah komparatif dalam Laporan  Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas,
Laporan Arus Kas,  Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Laporan Sumber dan
Penggunaan Dana Kebajikan, serta catatan yang terkait tidak dapat diperbandingkan.(paragraph
42).

4.  NERACA

Ketentuan mengenai Pembagian Lancar dengan Tidak Lancar  dan Jangka Pendek dengan
Jangka Panjang. Paragraph-paragraph  berikut ini mengatur tentang pembagian tersebut.

Entitas syariah menyajikan asset lancer  terpisah dari asset tidak lancer  dan kewajiban jangka
pendek  terpisah dari kewajiban  jangka panjang kecuali untuk  industry tertentu yang diatur 
dalam Standar Akuntansi Keuangan  khusus.  Asset lancer disajikan menurut ukuran likuiditas
sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh temponya. Entitas syariah harus
mengungkapkan informasi mengenai jumlah setiap asset yang akan diterima dan kewajiban
yang akan dibayarkan sebelum dan sesudah 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca.
(paragraph 44-45, PSAK No.101,2007)
a. Aset Lancar

Suatu asset diklasifikasikan sebagai asset lancar, jika asset tersebut:

a)      Diperkirakan akan direalisasi  atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu
siklus operasi normal  entitas syariah; atau

b)      Dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek dan diharapkan akan
direalisasi dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca; atau

c)      Berupa kas atau setara kas yang penggunaannya  tidak dibatasi.

Asset yang tidak termasuk kategori tersebut di atas diklasifikasikan sebagai asset tidak lancer.
(paragraph 47, PSAK No.101,2007)

 b. Kewajiban Jangka Pendek

Suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek, jika:

a)      Diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi entitas syariah;
atau

b)      Jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca.

f)       Semua kewajiban lainnya harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang.
(paragraph 49, PSAK No.101,2007)

 c. Informasi yang Disajikan dalam Neraca

Neraca entitas syariah disajikan sedemikian rupa yang menonjolkan berbagai unsur posisi
keuangan yang diperlukan bagi penyajian secara wajar. Neraca,  minimal mencakup pos-pos
berikut:

a)      Kas dan setara kas;

b)      Asset keuangan;

c)      Piutang usaha dan piutang lainnya;

d)      Persediaan;

e)      Investasi yang diperlakukan menggunakan metode ekuitas;

f)       Asset tetap;

g)      Asset tidak berwujud;

h)     Hutang usaha dan hutang lainnya;

i)        Hutang pajak;

j)        Dana syirkah temporer;


k)      Hak minoritas; dan

l)        Modal saham dan pos ekuitas lainnya.

g)      Pos, judul, dan sub-jumlah lain disajikan dalam neraca apabila diwajibkan oleh Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan atau apabila penyajian tersebut diperlukan untuk menyajikan
posisi keuangan  entitas syariah secara wajar. (paragraph 52, PSAK No.101,2007)

Berdasarkan aturan tersebut, maka unsur-unsur neraca entitas syariah meliputi aktiva,
kewajiban, dana syirkah temporer, hak minoritas, dan ekuitas. Berdasarkan unsur-unsur neraca
tersebut apabila dibuat persamaan akuntansi untuk neraca menjadi sebagai berikut:

AKTIVA = KEWAJIBAN + DANA SYIRKAH TEMPORER+ HAK MINORITAS + EKUITAS

 Yang membedakan dengan neraca jenis organisasi konvensional adalah terletak pada “Dana
syirkah temporer”. Dana syirkah temporer bukan merupakan kewajiban dan juga bukan ekuitas.
Dana syirkah temporer adalah dana pihak ketiga yang dititipkan/diserahkan kepada entitas
syariah untuk dikelola tanpa ikatan dari penitip dana atau dikelola secara bebas sesuai syariah.
Dengan memperhatikan ketentuan dalam PSAK lainnya penyajian dalam neraca mencakup,
tetapi tidak terbatas pada, pos-pos aktiva, kewajiban, investasi tidak terikat, dan ekuitas adalah
sebagai berikut: Contoh Neraca Bank Syariah

BANK SYARIAH

NERACA
PER 31 DESEMBER 20XX
 

AKTIVA

Kas   Rp xx

Penempatan pada Bank Indonesia   Rp xx

Giro pada bank lain   Rp xx

Penempatan pada bank lain   Rp xx

Efek-efek   Rp xx

Piutang   Rp xx

piutang murabahah Rp xx  
piutang salam Rp xx  

piutang istishna Rp xx  

piutang pendapatan ijarah Rp xx  

Pembiayaan mudharabah   Rp xx

Pembiayaan musyarakah   Rp xx

Persediaan (aktiva yang dibeli untuk dijual kepada klien)   Rp xx

Aktiva yang diperoleh untuk ijarah   Rp xx

Aktiva istihna dalam penyelesaian (setelah dikurangi termin istishna)   Rp xx

Penyertaan   Rp xx

Investasi lain   Rp xx

Aktiva tetap   Rp xx

Akumulasi penyusutan   Rp xx

Aktiva lain-lain   Rp xx

     

TOTAL AKTIVA Rp xx

KEWAJIBAN    

Kewajiban segera   Rp xx

Simpanan :   Rp xx

giro wadiah Rp xx  

tabungan wadiah Rp xx  

Simpanan bank lain :   Rp xx

giro wadiah Rp xx  

tabungan wadiah Rp xx  
Kewajiban lain :   Rp xx

utang salam Rp xx  

utang istishna Rp xx  

Kewajiban kepada bank lain   Rp xx

Pembiayaan yang diterima   Rp xx

Keuntungan yang sudah diumumkan tetapi belum dibagikan   Rp xx

Hutang pajak   Rp xx

Estimasi kerugian dan komitmen kontinjensi   Rp xx

Pinjaman yang diterima   Rp xx

Hutang lainnya   Rp xx

Pinjaman subordinasi   Rp xx

TOTAL KEWAJIBAN   Rp xx

Dana Syirkah Temporer    

Syirkah temporer dari bukan bank :   Rp xx

tabungan mudharabah Rp xx  

deposito mudharabah Rp xx  

Syirkah Temporer dari bank :   Rp xx

tabungan mudharabah Rp xx  

deposito mudaharabah Rp xx  

Musyarakah   Rp xx

TOTAL DANA SYIRKAH TEMPORER   Rp xx

EKUITAS    

Modal disetor   Rp xx
Tambahan modal disetor   Rp xx

Saldo laba (rugi)   Rp xx

TOTAL EKUITAS   Rp xx

TOTAL KEWAJIBAN, DANA SYIRKAH TEMPORER DAN EKUITAS   Rp xx

Untuk selengkapnya, silahkan dapat dibaca di buku "Memahami Akuntansi Syariah di


Indonesia" oleh Slamet Wiyono.

Tren Keuangan Syariah di Negara Non


Muslim
Jakarta, CNBC Indonesia (Consumer News and Business Channel Indonesia)
Keuangan Syariah secara tradisional didominasi oleh Negara Mayoritas
Muslim di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Saat ini banyak negara lain yang
mulai tertarik untuk mengikuti aturan tersebut.

Data Dealogic menyebutkan, didasari oleh persepsi kondisi pasar yang lebih
aman dan latar belakang aturan yang membaik, penerbitan surat utang Islam
oleh negara-negara non-Muslim melambung tinggi dalam 3 tahun terakhir
pada 2017.

Keuangan syariah tunduk pada syariah, atau hukum Islam, dan tunduk pada
aturan pembagian risiko dan keuntungan. Syariah melarang adanya bunga,
dan kegiatan pendanaan yang melibatkan alkohol, babi, pornografi atau
perjudian.

Nilai dari sukuk global, atau obligasi syariah, di luar pencapaian Timur Tengah
dan Asia Tenggara serta Negara non-muslim mencapai US$ 2,25 miliar dalam
sebelas bulan 2017.
Angka tersebut, lebih tinggi dari pencapaian 2016 sebesar US$ 2 miliar dan
dua kali lipat lebih dari pencapaian 2015 yang hanya mencapai US$ 1 miliar.

Keuangan syariah bermetamorfosis dari pinggiran, menjadi sumber


pertumbuhan pendanaan dunia yang dibantu oleh daftar para pembeli dan
penjual sukuk beberapa tahun terakhir.

Pemerintah Singapura adalah negara non-Muslim pertama yang bergabung,


diikuti oleh Inggris Raya, Luxemburg dan Hongkong, yang baru saja
meluncurkan sukuk pertama mereka pada 2014 lalu.
Baru-baru ini, Negara-negara Afrika seperti Afrika Selatan, Nigeria dan Pantai
Gading telah membuat perubahan undang-undang dan pajak, di antara yang
lainnya, membuat peminjam lebih mudah memperoleh sukuk.

Perusahaan-perusahaan belum jauh ketinggalan, dengan terjunnya GE


Capital milik Goldman Sachs dan General Electric yang juga mulai menjual
obligasi syariah beberapa tahun terakhir.

Entitas Cina seperti Country Garden dan Beijing Enterprises Water Group
juga telah menerbitkan obligasi syariah melalui anak perusahaan Malaysia
mereka masing-masing pada tahun 2015 dan 2017.

Perusahaan menggunakan dana tersebut untuk membiayai proyek di negara


Asia Tenggara. Para Ahli mengatakan krisis keuangan global mendorong
pemerintah dan perusahaan untuk membedakan pilihan pendanaan mereka.

Keuangan syariah dianggap sebagai alternatif yang lebih stabil


dibandingkan sistem perbankan konvensional dan karena itu menarik
minat peminjam yang masih dihantui oleh pergolakan di pasar obligasi
dan ekuitas global saat gelembung perumahan A.S. meledak.

"Daya tarik yang tinggi untuk investasi yang berkelanjutan dan bertanggung
jawab juga dapat mendorong pertumbuhan keuangan syariah karena
kesamaan nilai dan prinsip bersama," demikian dijelaskan  Kepala Keuangan
Syariah di lembaga pemeringkat kredit Malaysia RAM, Ruslena Ramli kepada
CNBC

Anda mungkin juga menyukai