PENJELASAN Kerangka Dasar Penyusunan
PENJELASAN Kerangka Dasar Penyusunan
Di dalam bisnis banyak pengalaman akan diperoleh baik di segi manajemen, mengenal
tempat, mengenal barang dan lain-lain lagi. Di dalam Islam mencari ilmu dan pengalaman
sangat dituntut.
Keberkahan. Semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada
keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena
ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi
bukti bahwa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat rida dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bernilai ibadah.
Pertumbuhan. Jika profit materi dan profit non materi telah diraih, perusahaan harus
berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus
selalu dalam koridor syariah, bukan menghalalkan segala cara.
Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri. Artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk
mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat
memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada
internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana
persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.
Nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu keharusan yang harus muncul dalam setiap
aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan sekadar
hubungan fungsional atau profesional.
Azas transaksi syariah yang telah ditetapkan (IAI, 2007) adalah seperti berikut ini:
persaudaraan (ukhuwah);
keadilan (’adalah);
kemashalatan (maslahah);
keseimbangan (tawazun); dan
universalisme (syumuliyah).
1. tidak adanya kepastian penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu
terjadi akad baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada;
2. menjual sesuatu yang belum berada di bawah kekuasaan penjual;
3. tidak adanya kepastian kriteria kualitas dan kualitas barang/jasa;
4. tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat
pembayaran;
5. tidak danya ketegasan jenis dan obyek akad;
6. kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang
ditentukan dalam transaksi;
7. adanya unsur eksploitasi salah satu pihak karena informasi yang kurang atau
dimanipulasi dan ketidak tahuan atau ketidakpahaman yang ditransaksikan.
Esensi haram adalah segala jenis unsur yang dilarang secara tegas dalam Al-Qur’an
dan As Sunah.
Pertanyaan
Bagaimana jika kontrak tidak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, bisakah nantinya menyelesaikan sengketa lewat jalur arbitrase?
Ulasan Lengkap
Arbitrase
Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”) adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata
maupun hukum publik.[1]
Adapun yang disebut dengan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan
berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.[2]
UU 30/1999 mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak
dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase
yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang
timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan
dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.[3]
Selain itu Pasal 7 UU 30/1999 mengatur bahwa para pihak
dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka
arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban
para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka. Persetujuan untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang
ditandatangani oleh para pihak.[4]
Selain itu apabila disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam
bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau
dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan
penerimaan oleh para pihak.[5]
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.[6] Sedangkan
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian
Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999: Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak
Menurut Husseyn, terdapat beberapa kelebihan yang dimiliki oleh arbitrase sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa di bidang perdata. Kelebihan arbitrase tersebut antara lain:
1. Aspek kerahasiaan/Confidentiality
Sifatnya yang konfidensial membuat arbitrase dipandang sebagai alternatif penyelesaian yang
sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Hal ini dikarenakan arbitrase diselenggarakan secara
tertutup. Tidak seperti metode penyelesaian sengketa di peradilan umum yang terbuka, arbitrase
hanya dihadiri oleh para pihak yang berkepentingan atau dengan kata lain pihak yang
bersengketa
Hal ini,menurut Husseyn,membuat para pihak yang bersengketa merasa lebih nyaman. Dia
mengingatkandi dalam dunia bisnis, pemberitaan terkait sengketa bisnis dari sebuah
perusahaan akan berakibat pada munculnya preseden terhadap para salah satu atau kedua
belah pihak yang bersengketa
Prosedur arbitrase sebagaimana yang telah diatur dalam Bab IV UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam penerapannya bisa lebih fleksibel dengan
memperhatikan kesepakatan para pihak. Sedapat mungkin arbiter yang ditunjuk
mempertemukan kepentingan para pihak yang bersengketa.
Ada kebebasan para pihak untuk memilih siapa orang yang akan menjadi arbiter. Hal seperti ini
tidak bisa ditemukan dalam pengadilan umum lainnya. Menurut Husseyn, pada pengadilan
arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter sesuai dengan latar belakang
sengketa yang sedang dihadapi. Hal ini bertujuan agar proses penyelesaian sengketa dengan
ranah yang berbeda-beda dapat ditangani oleh arbiter yang sesuai dengan ranah sengketa
terkait
“Oleh karena itu, seorang arbiter tidak mesti selalu memiliki latar belakang keilmuan hukum,”
kataHusseyn.
Menurut Husseyn, di BANI, terdapat 60-70 orang arbiter dengan latar belakang keilmuan yang
berbeda-beda. “Ada ekonomi, keuangan, perpajakan, perkapalan, pidana, dan segala macam.
Jadi biasanya, arbiter itu ada suatu majelis yang terdiri dari berbagai latar belakang
keahlianl,”tuturnya.
Husseyn menekankan, oleh karena keberadaan arbiter dalam penyelesaian sengketa berasal
dari pilihan para pihak sendiri, sehingga harus bisa memilih arbier yang bisa bersikap netral
sehingga tidak ada konflik kepentingan dalam penyelesaian sengketa.
“Arbiter itu tugas dan fungsinya untuk memperjuangkan kebenaran secara obyektif. Dia harus
bisa mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa,” tegas Husseyn.
4. Pilihan hukum, forum, dan prosedur penyelesaian berada di tangan para pihak dan
dituangkan dalam perjanjian/klausula arbitrase
Nyawa dari arbitrase adalah perjanjian arbitrase. perjanjian arbitrase akan menentukan apakah
suatu sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase, di mana diselesaikannya, hukum mana yang
digunakan, dan lain-lain. Perjanjian arbitrase bisa berdiri sendiri atau terpisah dari perjanjian
pokonya. Tidak ada keharusan dalam UU Arbitrase yang menentukan perjanjian arbitrase harus
dibuat dalam akta notaris.
Perjanjian arbitrase harus disusun secara cermat, akurat, dan mengikat. Tujuannya untuk
menghindari perjanjian arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu pihak sebagai kelemahan
yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut ke jalur pengadilan.
Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999: Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak.
Pada cash basis, pendapatan dicatat pada saat menerima kas, sedangkan biaya dicatat pada
saat mengeluarkan kas. Sebagai contoh, pada metode cash basis ini, pendapatan belum dicatat
meskipun barang atau jasa sudah diberikan kepada pelanggan.
Pada akrual basis, pendapatan dicatat pada saat terjadi penjualan meskipun kas belum diterima,
sedangkan biaya dicatat pada saat biaya tersebut dipakai atau digunakan, meskipun belum
mengeluarkan kas. Dengan demikian, pada metode akrual basis, pendapatan dicatat pada saat
terjadi penjualan, meskipun kas belum diterima.
Jika entitas syariah merupakan lembaga keuangan maka selain komponen laporan keuangan
yang diuraikan dalam Laporan keuangan entitas syariah , entitas syariah tersebut juga harus
menyajikan komponen laporan keuangan tambahan yang menjelaskan karakteristik utama
entitas tersebut jika substansi informasinya belum tercakup
Komponen tambahan dan penyajian pos-pos laporan yang mencerminkan karakteristik khusus
untuk industry teertentu akan diatur dalam lampiran Pernyataan ini yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan.
2. PERTIMBANGAN MENYELURUH
Pertimbangan menyeluruh yang harus dilaksanakan oleh entitas syariah dalam penyusunan dan
penyajian laporan keuangan syariah meliputi: penyajian secara wajar, kebijakan akuntansi,
kelangsungan usaha, dasar akrual, materialitas dan agregasi, saling hapus (offsetting), dan
informasi komparatif. Berikut ini PSAK no. 101 (2007) mengatur hal-hal tersebut.
Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus
kas entitas syariah dengan menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan secara benar
disertai pengungkapan yang diharuskan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dalam
Catatan atas Laporan Keuanga. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan penyajian
yang wajar walaupun pengungkapan tersebut tidak diharuskan oleh Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan.(paragraph 16, PSAK no. 101, 2007).
b. Kebijakan Akuntansi
Dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan syariah, diperlukan kebijakan akuntansi
tertentu yang terkait dengan traksaksi dan pos-pos di laporan keuangan agar menghasilkan
informasi yang dapat diandalkan dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi para
pemakai laporan keuangan tersebut.
Kebijakan akuntansi adalah prinsip khusus, dasar, konvensi, peraturan, dan praktik yang
diterapkan entitas syariah dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan. (paragraph 21,
PSAK no. 101, 2007). Atas kebijakan akuntansi ini, PSAK no. 101 (2007) telah mengaturnya
berikut ini.
Manajemen memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi agar laporan keuangan memenuhi
ketentuan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Jika belum diatur dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan, maka manajemen harus menetapkan kebijakan untuk
memastikan bahwa laporan keuangan menyajikan informasi:
a) Relevan terhadap kebutuhan para pengguna laporan untuk pengambilan keputusan; dan
(i) Mencerminkan kejujuran penyajian hasil dan posisi keuangan entitas syariah;
(ii) Menggambarkan substansi ekonomi dari suatu kejadian atau transaksi dan tidak
semata-semata bentuk hukumnya;
(v) Mencakup semua hal yang material. (paragraph 20, PSAK no. 101, 2007).
Apabila belum ada pengaturan oleh PSAK, maka manajemen menggunakan pertimbangannya
untuk menetapkan kebijakan akuntansi yang memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pengguna laporan keuangan. Dalam melakukan pertimbangan tersebut menajemen
memperhatikan:
a) Persyaratan dan pedoman PSAK yang mengatur hal-hal yang mirip dengan masalah
terkait;
b) Definisi, criteria pengakuan dan pengukuran asset, kewajiban, dana syirkah temporer,
penghasilan dan beban yang ditetapkan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan Syariah; dan
c) Pernyataan yang dibuat oleh badan pembuat standar lain dan praktik industry yang lazim
sepanjang konsisten dengan huruf a) dan b) paragraph ini. (paragraph 22, PSAK no. 101, 2007).
c. Kelangsungan Usaha
d. Dasar Akrual
Entitas syariah harus menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali Laporan Arus Kas
dan penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha. Dalam penghitungan
pembagian hasil usaha didasarkan pada pendapatan yang telah direalisasikan menjadi kas
(dasar kas). (paragraph 25, PSAK no. 101, 2007).
Dapat dijelaskan di sini, bahwa laporan keuangan selain Laporan Arus Kas dan penghitungan
bagi hasil, PSAK mengharuskan menyajikan berdasarkan basis akrual. Untuk pendapatan diakui
pada saat terjadinya transaksi bukan pada saat pendapatan telah direalisasikan menjadi kas.
Sedangkan untuk penghitungan bagi hasil PSAK mengaturnya dengan dasar kas (cash basis).
Untuk keperluan ini, PSAK no. 101 mengaturnya dengan sebuah laporan keuangan tersendiri
yang disebut dengan Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil.(bentuk laporan terdapat
di bagian belakang bab ini).
Ada praktisi entitas syariah yang berpendapat bahwa pengakuan pendapatan sebaiknya juga
menggunakan dasar kas dengan pertimbangan kepastian kinerja setelah kas dapat
direalisasikan menjadi kas. Dengan demikian celah penyelewengan dasar akrual untuk
kepentingan entitas yang cenderung menguntungkan entitas tetapi merugikan pembaca laporan
keuangan dapat diminimalisir. Dalam praktik, dasar akrual dapat digunakan untuk manajemen
laba, seperti perataan laba (income smoothing). Apabila menggunakan dasar kas dalam
pengakuan pendapatan, maka secara teknis kemungkinan akan terjadi penggeseran pengakuan
pendapatan di tahun berikutnya, tetapi di tahun berjalan juga ada kas masuk dari penerimaan
pelunasan piiutang pendapatan dari tahun sebelumnya. Apabila kita berikan contoh bagaimana
cara pengakuan pendapatan menurut akrual dan dasar kas, maka secara teknis jurnal tidak
terjadi kesulitan. Berikut ini ilustrasinya.
Mengapa dalam dasar kas piutang usaha juga dicatat? Hal ini didasarkan pada Surat Al
Baqarah, ayat 282, yang mewajibkan melakukan pencatatan atas transaksi (muamalah) yang
tidak tunai (kredit) yang telah ditentukan waktunya. Jadi, dari segi teknis penjurnalan, baik dasar
akrual maupun dasar kas tidak mengalami kesulitan sama sekali, hanya saja kemungkinan
perbedaan jumlah pendapatan yang diakui pada tahun berjalan antara dasar akrual dan dasar
kas. Untuk yang lebih memilih dasar kas dalam pengakuan pendapatan sering didasarkan pada
asumsi dasar ‘konservatisme’ dan surat Lukman, ayat 34, yang menyatakan bahwa ’untuk masa
yang akan datang manusia tidak tahu secara pasti akan hasil usaha yang mereka usahakan
(dalam usaha apapun)’, dan ini sesuai dengan kenyataan bahwa di waktu yang akan datang
tidak seorangpun yang tahu dengan pasti hasil usaha yang dikerjakannya, termasuk kapan
manusia akan meninggal dan di mana mereka akan meninggal dan dikuburkannya.
e.Konsistensi Penyajian
Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar periode harus konsisten ,
kecuali:
a) Terjadi perubahan yang signifikan terhadap sifat operasi entitas syariah atau perubahan
penyajian akan menghasilkan penyajian yang lebih tepat atas suatu transaksi atau peristiwa;
atau
b) Perubahan tersebut diperkenankan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau
Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. (paragraph 26, PSAK no. 101, 2007).
Pos-pos yang material disajikan terpisah dalam laporan keuangan sedangkan yang tidak
material digabungkan dengan jumlah yang memiliki sifat atau fungsi yang sejenis. (paragraph
28, PSAK no. 101, 2007). Dapat dijelaskan di sini, informasi dianggap material jika dengan tidak
diungkapkannya informasi tersebut dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan dalam
pengambilan keputusan ekonomi. Untuk menentukan materialitas suatu pos maka besaran dan
sifat unsur tersebut harus dianalisis dimana masing-masing dapat menjadi faktor penentu.
Sebagai contoh sederhana mengenai materialitas adalah seperti berikut ini. Dalam perhitungan
Kas harian oleh kasir, yaitu mencocokkan antara uang kas yang diterima secara fisik dan catatan
dalam cash register, terdapatlah angka, misalnya, kas tunai fisik yang diterima = Rp 5.750.500,-
sedangkan menurut cash register tercatat Rp 5.750.000,-. Berdasarkan perbanidngan ini
terdapat selisih kas sebesar Rp 500.—yang melebihi catatan. Apakah Rp 500,-- sebagai selisih
ini dapat dikatakan material? Saya kira, jumlah Rp 500,- bila dibandingkan dengan catatan kas
sebesar Rp 5.750.000,- adalah tidak material, karena dilihat dari % selisih tersebut tidak ada
1%, bahkan 1 per mil pun tidak ada. Jadi, materialitas memerlukan standar selisih yang
disepakati bersama, misalnya, selisih 2% ke atas dianggap materialitas, tetapi kalau di bawah
prosentasi tersebut di anggap tidak material. Apabila selisih Rp 500,- yang dianggap tidak
material bila tidak dilaporkan dalam laporan keuangan tidak akan mempengaruhi keputusan
yang akan diambil oleh pembacanya. Jadi, materialitas memerlukan perbandingan dan tolok
ukur kuantitatif.
Asset, kewajiban, dana syirkah temporer, penghasilan dan beban disajikan secara terpisah,
kecuali saling hapus diperkenankan dalan Pernyataan atau Interpretasi Standar Akuntansi
Keuangan. (paragraph 30, PSAK no. 101, 2007). Dapat dijelaskan di sini, bahwa asset dan
kewajiban disajikan secara terpisah dan tidak diperkenankan saling hapus. Sebagai contoh,
entitas syariah memiliki Piutang Murabahah di sisi asetnya dan juga mempunyai Utang
Murabahah di sisi kewajibannya, maka antara Piutang Murabahah dan Utang Murabahah tidak
diperbolehkan untuk saling hapus. Misal, Piutang Murabahah Rp 10.000.000,-- sedangkan
Utang Murabahah Rp 6.000.000,- maka Piutang Murabahah neto =Rp 4.000.000,--. Saling
hapus seperti ini tidak diperbolehkan oleh PSAK ini karena informasinya akan menyesatkan
pembaca laporan keuangan entitas syariah tersebut. Dengan saling hapus ini pembaca akan
dapat memperoleh pemahaman bahwa Piutang Murabahah entitas tersebut adalah Rp
4.000.000,- sementara entitas tidak memiliki Utang Murabahah. Jadi, di sini terjadi kehilangan
informasi penting, yaitu entitas tidak memiliki Utang Murabahah padahal pada kenyataannya
entitas memiliki Utang Murabahah Rp 6.000.000,--. Asset yang dilaporkan sebesar nilai, setelah
dikurangi dengan penyisihan, tidak termasuk kategori saling hapus.
h. Informasi Komparatif
Setiap komponen laporan keuangan harus diidentifikasi secara jelas. Di samping itu, informasi
berikut ini disajikan dan diulangi, bilamana perlu, pada setiap halaman laporan keuangan:
b) Cakupan laporan keuangan, apakah mencakup hanya satu entitas atau beberapa entitas;
c) Tanggal atau periode yang dicakup oleh laporan keuangan, mana yang lebih tepat bagi
setiap komponen laporan keuangan;
e) Suatu angka yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan. (paragraph 40, PSAK
No.101,2007)
b. Periode Laporan
Apakah laporan keuangan entitas syariah harus disajikan secara enam bulanan, tahunan, atau
tiga bulanan? PSAK No.101,2007, telah mengatur tentang periode laporan keuangan entitas
syariah berikut ini. Laporan keuangan setidaknya disajikan secara tahunan. Apabila tahun buku
entitas syariah berubah dan laporan keuangan tahunan disajikan untuk periode yang lebih
panjang atau pendek daripada periode satu tahun, maka sebagai tambahan terhadap periode
cakupan laporan keuangan, entitas syariah harus mengungkapkan:
a) Alas an penggunaan periode pelaporan selain periode satu tahunan; dan
b) Fakta bahwa jumlah komparatif dalam Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas,
Laporan Arus Kas, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Laporan Sumber dan
Penggunaan Dana Kebajikan, serta catatan yang terkait tidak dapat diperbandingkan.(paragraph
42).
4. NERACA
Ketentuan mengenai Pembagian Lancar dengan Tidak Lancar dan Jangka Pendek dengan
Jangka Panjang. Paragraph-paragraph berikut ini mengatur tentang pembagian tersebut.
Entitas syariah menyajikan asset lancer terpisah dari asset tidak lancer dan kewajiban jangka
pendek terpisah dari kewajiban jangka panjang kecuali untuk industry tertentu yang diatur
dalam Standar Akuntansi Keuangan khusus. Asset lancer disajikan menurut ukuran likuiditas
sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh temponya. Entitas syariah harus
mengungkapkan informasi mengenai jumlah setiap asset yang akan diterima dan kewajiban
yang akan dibayarkan sebelum dan sesudah 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca.
(paragraph 44-45, PSAK No.101,2007)
a. Aset Lancar
a) Diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu
siklus operasi normal entitas syariah; atau
b) Dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek dan diharapkan akan
direalisasi dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca; atau
c) Berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi.
Asset yang tidak termasuk kategori tersebut di atas diklasifikasikan sebagai asset tidak lancer.
(paragraph 47, PSAK No.101,2007)
a) Diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi entitas syariah;
atau
b) Jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca.
f) Semua kewajiban lainnya harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang.
(paragraph 49, PSAK No.101,2007)
Neraca entitas syariah disajikan sedemikian rupa yang menonjolkan berbagai unsur posisi
keuangan yang diperlukan bagi penyajian secara wajar. Neraca, minimal mencakup pos-pos
berikut:
b) Asset keuangan;
d) Persediaan;
f) Asset tetap;
i) Hutang pajak;
g) Pos, judul, dan sub-jumlah lain disajikan dalam neraca apabila diwajibkan oleh Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan atau apabila penyajian tersebut diperlukan untuk menyajikan
posisi keuangan entitas syariah secara wajar. (paragraph 52, PSAK No.101,2007)
Berdasarkan aturan tersebut, maka unsur-unsur neraca entitas syariah meliputi aktiva,
kewajiban, dana syirkah temporer, hak minoritas, dan ekuitas. Berdasarkan unsur-unsur neraca
tersebut apabila dibuat persamaan akuntansi untuk neraca menjadi sebagai berikut:
Yang membedakan dengan neraca jenis organisasi konvensional adalah terletak pada “Dana
syirkah temporer”. Dana syirkah temporer bukan merupakan kewajiban dan juga bukan ekuitas.
Dana syirkah temporer adalah dana pihak ketiga yang dititipkan/diserahkan kepada entitas
syariah untuk dikelola tanpa ikatan dari penitip dana atau dikelola secara bebas sesuai syariah.
Dengan memperhatikan ketentuan dalam PSAK lainnya penyajian dalam neraca mencakup,
tetapi tidak terbatas pada, pos-pos aktiva, kewajiban, investasi tidak terikat, dan ekuitas adalah
sebagai berikut: Contoh Neraca Bank Syariah
BANK SYARIAH
NERACA
PER 31 DESEMBER 20XX
AKTIVA
Kas Rp xx
Efek-efek Rp xx
Piutang Rp xx
piutang murabahah Rp xx
piutang salam Rp xx
piutang istishna Rp xx
piutang pendapatan ijarah Rp xx
Pembiayaan mudharabah Rp xx
Pembiayaan musyarakah Rp xx
Penyertaan Rp xx
Investasi lain Rp xx
Aktiva tetap Rp xx
Akumulasi penyusutan Rp xx
Aktiva lain-lain Rp xx
TOTAL AKTIVA Rp xx
KEWAJIBAN
Kewajiban segera Rp xx
Simpanan : Rp xx
giro wadiah Rp xx
tabungan wadiah Rp xx
giro wadiah Rp xx
tabungan wadiah Rp xx
Kewajiban lain : Rp xx
utang salam Rp xx
utang istishna Rp xx
Hutang pajak Rp xx
Hutang lainnya Rp xx
Pinjaman subordinasi Rp xx
TOTAL KEWAJIBAN Rp xx
Dana Syirkah Temporer
tabungan mudharabah Rp xx
deposito mudharabah Rp xx
tabungan mudharabah Rp xx
deposito mudaharabah Rp xx
Musyarakah Rp xx
TOTAL DANA SYIRKAH TEMPORER Rp xx
EKUITAS
Modal disetor Rp xx
Tambahan modal disetor Rp xx
TOTAL EKUITAS Rp xx
Data Dealogic menyebutkan, didasari oleh persepsi kondisi pasar yang lebih
aman dan latar belakang aturan yang membaik, penerbitan surat utang Islam
oleh negara-negara non-Muslim melambung tinggi dalam 3 tahun terakhir
pada 2017.
Keuangan syariah tunduk pada syariah, atau hukum Islam, dan tunduk pada
aturan pembagian risiko dan keuntungan. Syariah melarang adanya bunga,
dan kegiatan pendanaan yang melibatkan alkohol, babi, pornografi atau
perjudian.
Nilai dari sukuk global, atau obligasi syariah, di luar pencapaian Timur Tengah
dan Asia Tenggara serta Negara non-muslim mencapai US$ 2,25 miliar dalam
sebelas bulan 2017.
Angka tersebut, lebih tinggi dari pencapaian 2016 sebesar US$ 2 miliar dan
dua kali lipat lebih dari pencapaian 2015 yang hanya mencapai US$ 1 miliar.
Entitas Cina seperti Country Garden dan Beijing Enterprises Water Group
juga telah menerbitkan obligasi syariah melalui anak perusahaan Malaysia
mereka masing-masing pada tahun 2015 dan 2017.
"Daya tarik yang tinggi untuk investasi yang berkelanjutan dan bertanggung
jawab juga dapat mendorong pertumbuhan keuangan syariah karena
kesamaan nilai dan prinsip bersama," demikian dijelaskan Kepala Keuangan
Syariah di lembaga pemeringkat kredit Malaysia RAM, Ruslena Ramli kepada
CNBC