PEMBAHASAN
Biaya Bahan Baku adalah salah satu unsur biaya produksi selain biaya tenaga kerja langsung dan
biaya overhead pabrik (BOP).
Pengelolaan biaya bahan baku sangat penting, karena akan mempengaruhi harga produk yang
dijual. Dan pada akhirnya akan mempengaruhi laba rugi perusahaan.
A. Sistem Pembelian
Transaksi pembelian lokal bahan baku melibatkan bagian-bagian produksi, gudang, pembelian,
penerimaan barang, dan akuntansi.
Dokumen sumber dan dokumen pendukung yang dibuat dalam transaksi pembelian lokal bahan
bahan baku adalah:
Prosedur standar permintaan pembelian bahan baku dimulai jika persediaan bahan baku yang
ada di gudang sudah mencapai jumlah tingkat minimum pemesanan kembali (reorder point).
Bagian Gudang kemudian membuat surat permintaan pembelian (purchase requisition) untuk
dikirimkan ke Bagian Pembelian.
Dan berikut ini contoh surat permintaan pembelian:
Setelah pemasok yang dianggap baik dipilih, Bagian Pembelian kemudian membuat surat order
pembelian untuk dikirimkan kepada pemasok yang dipilih.
Ga
mbar: contoh surat order pembelian
Bagian Penerimaan yang bertugas menerima barang, mencocokkan kualitas, kuantitas, jenis serta
spesifikasi bahan baku yang diterima dari pemasok dengan tembusan surat order pembelian.
Bila bahan baku yang diterima telah sesuai dengan surat order pembelian, Bagian Penerimaan
membuat laporan penerimaan barang untuk dikirimkan kepada Bagian Akuntansi.
Bagian Gudang menyimpan bahan baku tersebut dan mencatat jumlah bahan baku yang diterima
dalam kartu gudang (stock card) pada kolom barang masuk.
Kartu ini digunakan oleh Bagian Gudang untuk mencatat mutasi tiap-tiap jenis barang gudang.
Kartu gudang hanya berisi informasi kuantitas tiap-tiap jenis barang yang disimpan di gudang
dan tidak berisi informasi mengenai harganya.
Catatan dalam kartu gudang ini diawasi dengan catatan yang diselenggarakan oleh Bagian
Akuntansi yang berupa kartu persediaan (sebagai rekening pembantu persediaan).
Bagian gudang di samping mencatat mutasi barang gudang dalam kartu gudang, juga mencatat
barang dalam kartu barang yang ditempelkan atau digantungkan pada tempat penyimpanan
masing-masing barang.
Perbedaan kartu gudang, kartu barang dan kartu persediaan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Prosedur ini dimulai ketika Bagian Pembelian menerima faktur pembelian dari pemasok.Bagian
Pembelian memberikan tanda tangan di atas faktur pembelian, sebagai tanda persetujuan bahwa
faktur dapat dibayar.Karena pemasok telah memenuhi syarat-syarat pembelian yang ditentukan
oleh perusahaan.Faktur pembelian yang telah ditandatangani oleh Bagian Pembelian tersebut
diserahkan kepada Bagian Akuntansi.
Dalam transaksi pembelian bahan baku, Bagian Akuntansi memeriksa ketelitian perhitungan
dalam faktur pembelian.Dan mencocokannya dengan informasi dalam tembusan surat order
pembelian yang diterima dari Bagian Pembelian.Dan laporan penerimaan barang yang diterima
dari Bagian Penerimaan.
Faktur pembelian yang dilampiri dengan tembusan surat order pembelian dan laporan
penerimaan barang dicatat oleh Bagian Akuntansi dalam jurnal pembelian.Setelah dicatat dalam
jurnal pembelian, faktur pembelian beserta dokumen pendukungnya tersebut dicatat dalam kartu
Faktur pembelian dan dokumen pendukungnya kemudian dicatat dalam kartu utang (sebagai
rekening pembantu utang), untuk mencatat timbulnya utang kepada pemasok yang bersangkutan.
B. Biaya yang diperhitungkan dalam harga pokok bahan baku yang dibeli
Menurut prinsip akuntansi yang lazim semua biaya yang terjadi untuk memperoleh bahan
baku.Dan untuk menempatkannya dalam keadaan siap untuk diolah adalah unsur harga pokok
bahan baku yang dibeli.Oleh karena itu, harga pokok bahan baku yang hanya berupa harga yang
tercantum dalam faktur pembelian saja.
Sedangkan biaya-biaya:
Di dalam praktik, pada umumnya harga pokok bahan baku hanya dicatat sebesar harga beli
menurut faktur dan pemasok.Hal ini dilakukan karena pembagian biaya pembelian pada masing-
masing jenis bahan baku dalam faktur seringkali memerlukan biaya akuntansi yang mungkin
lebih besar.Bila dibandingkan dengan manfaat ketelitian perhitungan harga pokok yang
diperoleh. Sebagai akibatnya, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh bahan baku dan
untuk menjadikan bahan baku dalam keadaan siap untuk diolah, pada umumnya diperhitungkan
sebagai unsur biaya overhead pabrik.
Bila dalam pembelian bahan baku, pemasok memberikan potongan tunai, maka potongan tunai
ini diperlakukan sebagai pengurangan terhadap harga pokok bahan baku yang dibeli. Seringkali
dalam pembelian bahan baku, perusahaan membayar biaya angkutan untuk berbagai macam
bahan baku yang dibeli. Hal ini menimbulkan masalah tentang pengalokasian biaya angkutan
tersebut pada masing-masing jenis bahan baku yang diangkut. Perlakuan terhadap biaya
angkutan ini dapat dibedakan sebagai berikut:
Bila biaya angkutan diperlakukan sebagai tambahan harga pokok bahan baku yang dibeli, maka
alokasi biaya angkutan pada masing-masing jenis bahan baku yang dibeli dapat didasarkan pada:
Pembagian biaya angkutan atas dasar perbandingan kuantitas tiap jenis bahan baku yang
dibeli hanya dapat dilakukan jika bahan baku tersebut mempunyai satuan ukuran yang
sama atau satuan ukurannya dapat disamakan
b) Perbandingan Harga Faktur Tiap Jenis Bahan Baku yang Dibeli
Contoh 2
Perusahaan membeli 4 macam bahan baku dengan harga faktur tiap-tiap jenis bahan
sebagai berikut: bahan baku A Rp 100.000, bahan baku B Rp 150.000, bahan baku C Rp
225.000, dan bahan baku D Rp 125.000. Biaya angkutan yang dikeluarkan untuk keempat
jenis bahan baku tersebut adalah sebesar Rp 48.000. Jika biaya angkutan tersebut
dibagikan atas dasr perbandingan harga faktur tiap-tiap jenis bahan baku trsebut, harga
pokok tiap jenis bahan baku akan dibebani denagn tambahan biaya angkutan sebesar Rp
0,08 (yaitu Rp 48.000 : Rp 600.000). Pembagian biaya angkutan sebesar Rp 48.000
tersebut disajikan dalam Gambar
c) Biaya Angkutan Diperhitungkan Dalam Harga Pokok Bahan Baku Yang Dibeli
Berdasarkan Tarif yang Ditentukan Dimuka
Contoh 3
Untuk menyederhanakan peritungan harga pokok bahan baku, biaya angkutan
dibebankan kepada bahan baku yang dibeli atas dasar tarif yang ditentukan dimuka
(predetermined rate). Penghitungan tarif dilakukan dengan menaksir biaya angkutan yang
akan dikeluarkan dalam tahun anggaran tertentu. Taksiran biaya angkutan ini kemudia
dibagi dengan dasar yang akan digunakan untuk mengalokasiakan biaya angkutan
tersebut. Pada saat terjadi pembelian bahan baku, harga faktur bahan baku harus
ditambah dengan biaya angkutan sebesar tarif yang telah ditentukan. Biaya angkutan
yang sesunggguhnya dikeluarkan dicatat dalam rekening biaya angkutan yang
sesungguhnya terjadi adalah sebagai berikut:
Contoh 4
Biaya angkutan yang diperkirakan akan dikeluarkan dalam tahun 20X1 adalah sebesar
Rp 2.500.000, dan jumlah bahan baku yang diangkut diperkirakan sebanyak 50.000 kg.
Jadi tarif biaya angkutan untuk tahun 20X1 adalah sebesar Rp 50 per kg bahan baku
yang diangkut. Dalam tahun 20X1 jumlah bahan baku yang dibeli dan alokasi biaya
angkutam atas dasar tariff disajikam dalam gambar
2. Biaya Angkutan Tidak Diperhitungkan Sebagai Tambahan Harga
Pokok Bahan Baku Yang Dibeli, Tapi Diperlakukan Sebagai Unsur
Biaya Overhead Pabrik (BOP).
Dengan cara ini, biaya angkutan tidak diperhitungkan sebagai tambahan harga pokok bahan baku
yang dibeli. Namun diperlakukan sebagai unsur biaya overhead pabrik. Pada awal tahun
anggaran, jumlah biaya angkutan yang akan dikeluarkan selama satu tahun ditaksir. Jumlah
taksiran biaya angkutan ini diperhitungkan sebagai unsur biaya overhead pabrik dalam
penentuan tarif biaya overhead pabrik. Biaya angkutan yang sesungguhnya dikeluarkan
kemudian dicatat dalam sebelah debit rekening Biaya Overhead Pabrik (BOP) Sesungguhnya.
Ada dua macam metode pencatatan biaya bahan baku yang dipakai dalam produksi.
Definisi metode persediaan fisik adalah metode pencatatan biaya bahan baku di mana hanya
tambahan persediaan bahan baku dari pembelian saja yang dicatat. Sedangkan mutasi
berkurangnya bahan baku karena pemakaian tidak dicatat dalam kartu persediaan.
Untuk mengetahui berapa biaya bahan baku yang dipakai dalam produksi, harus dilakukan
dengan cara menghitung sisa persediaan bahan baku yang masih ada di gudang pada akhir
periode akuntansi. Harga pokok persediaan awal bahan baku ditambah dengan harga pokok
bahan baku yang dibeli selama periode. Dikurangi dengan harga pokok persediaan harga pokok
persediaan bahan baku yang masih ada pada akhir periode adalah biaya bahan baku yang dipakai
dalam produksi selama periode yang bersangkutan.
Metode persediaan fisik adalah cocok digunakan dalam penentuan biaya bahan baku dalam
perusahaan yang harga pokok produksinya dikumpulkan dengan metode harga pokok proses.
Metode mutasi persediaan adalah cocok digunakan dalam perusahaan yang harga pokok
produksinya dikumpulkan dengan metode harga pokok persediaan.
Kesulitan yang timbul dari penggunaan metode ini adalah terletak dalam penyimpanan
bahan baku di gudang. Meskipun bahan bakunya sama, namun jika harga pokok per satuannya
berbeda, bahan baku tersebut harus disimpan secara terpisah, agar mudah dalam
mengidentifikasikan pada saat pemakaiannya nanti. Metode identifikasi khusus adalah metode
yang paling teliti dalam penentuan harga pokok bahan baku yang dipakai dalam produksi.
Namun seringkali kurang praktis. Metode ini sangat efektif dipakai bila bahan baku yang dibeli
bukan merupakan barang standar dan dibeli untuk memenuhi pesanan tertentu. Perusahaan yang
menggunakan metode harga pokok pesanan seringkali menggunakan metode identifikasi khusus
untuk bahan baku yang tidak disediakan dalam persediaan gudang. Yang secara insidental dibeli
untuk memenuhi spesifikasi pemesan. Dan memakai metode penentuan harga pokok yang lain
untuk bahan baku yang biasa digunakan untuk produksi..
Metode masuk pertama, keluar pertama (metode MPKP) adalah metode untuk menentukan biaya
bahan baku. Dengan anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan baku yang pertama masuk
dalam gudang, digunakan untuk menentukan harga bahan baku yang pertama kali dipakai. Perlu
ditekankan bahwa untuk menentukan biaya bahan baku, anggapan aliran biaya tidak harus sesuai
dengan aliran fisik bahan baku dalam produksi. Mutasi persediaan bahan baku yang terjadi
karena transaksi pembelian dicatat dalam jurnal pembelian dengan jurnal sebagai berikut:
Contoh
Perediaan bahan baku A pada tanggal 1 January 20X3 terdiri dari:
Transaksi pembelian dan pemakainan bahan baku selama bulan Januari 20X3 disajikan dalam
gambar
Mutasi persediaan bahan baku yang terjadi karena transaksi pembelian, dicatat dalam jurnal
pembelian denagn jurnal sebagai berikut:
Utang dagang xx
Data transaksi pembelian dan pemakaian bahan baku selama bulan januari tersebut diatas,
jika dicatat dalam kartu persediaan dengan metode MPKP, tamapak dalam gambar berikut
Caranya adalah dengan membagi total harga pokok dengan jumlah satuannya.
Setiap kali terjadi pembelian yang harga pokok satuannya berbeda dengan harga pokok rata-rata
persediaan yang ada di gudang, harus dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata per satuan
yang baru.
Bahan baku yang dipakai dalam proses produksi dihitung harga pokoknya dengan mengalikan
jumlah satuan bahan baku yang dipakai dengan harga pokok rata-rata per satuan bahan baku
yang ada di gudang.
Karena dalam menghitung rata-rata harga pokok persediaan bahan baku menggunakan kuantitas
bahan baku sebagai angka penimbangnya.
Pengertian metode biaya standar adalah metode penentuan harga pokok bahan baku dengan cara
mencatat bahan baku yang dibeli dalam kartu persediaan sebesar harga standar (standard price).
Yaitu harga taksiran yang mencerminkan harga yang diharapkan akan terjadi di masa yang akan
datang.
Jurnal yang dibuat pada saat pembelian bahan baku adalah sebagai berikut:
#1: Untuk mencatat bahan baku yang dibeli sebesar harga standar:
[Debit] Persediaan Bahan Baku (Kuantitas x harga standar per satuan) Rp xxx
[Kredit] Selisih Harga Rp xxx
#2: Untuk mencatat harga sesungguhnya bahan baku yang dibeli:
Setiap akhir bulan saldo rekening Selisih Harga dibiarkan tetap terbuka, dan disajikan
dalam Laporan Keuangan bulanan.
Hal ini dilakukan karena saldo rekening selisih harga setiap akhir bulan mungkin saling
mengkompensasi, sehingga hanya pada akhir tahun saja saldo rekening Selisih Harga perlu
ditutup ke rekening lain.
Pemakaian bahan baku dalam produksi dicatat sebesar hasil kali kuantitas bahan baku
sesungguhnya yang dipakai dengan harga standarnya dan dijurnal sebagai berikut:
Jika saldo rekening selisih harga tidak material, saldo tersebut langsung ditutup ke rekening
Harga Pokok Penjualan (HPP).
Jurnal yang dibuat pada saat pemakaian bahan baku adalah sebagai berikut:
Dalam metode ini pada tiap akhir bulan dilakukan penghitungan harga pokok rata-rata per satuan
tiap jenis persediaan bahan baku yang ada di gudang.
Harga pokok rata-rata per satuan ini kemudaian digunakan untuk menghitung harga pokok bahan
baku yang dipakai dalam produksi pada bulan berikutnya.
Dalam bagian ini, kita akan membahas akuntansi biaya bahan baku, jika dalam proses produksi
terjadi sisa bahan (scrap materials), produk cacat (defective goods), dan produk rusak (spoiled).
Mari ikuti urainya secara rinci satu-per-satu…
A: Sisa Bahan Baku (Scrap Materials)
#1: Perlakuan Sisa Bahan
Dalam proses produksi, tidak semua bahan baku dapat menjadi bagian produk jadi.
Bahan yang mengalami kerusakan dalam proses pengerjaannya disebut sisa bahan.
Perlakuan terhadap sisa bahan tergantung dari harga jual sisa bahan itu sendiri.
Jika harga jual sisa bahan rendah, biasanya tidak dilakukan pencatatan jumlah dan harganya
sampai saat penjualannya.
Tapi jika harga jual sisa bahan tinggi, maka perlu dicatat jumlah dan harga jual sisa bahan
tersebut dalam kartu persediaan pada saat sisa bahan diserahkan oleh Bagian Produksi ke Bagian
Gudang.
Jika dalam proses produksi terdapat sisa bahan, masalah yang timbul adalah bagaimana
perlakuan akuntansi hasil penjualan sisa bahan tersebut.
1: Pengurang biaya bahan baku yang dipakai dalam pesanan yang menghasilkan sisa
bahan tersebut.
Hasil Penjualan Sisa Bahan Diperlakukan Sebagai Pengurang Biaya Bahan Baku yang Dipakai
Dalam Pesanan yang Menghasilkan Sisa Bahan Baku tersebut.
Jika sisa bahan terjadi karena karakteristik proses pengolahan pesanan tersebut, maka
perlakuan akuntansi biaya dari hasil penjualan sisa bahan baku dapat diidentifikasikan dengan
pesanan tersebut.
Jurnal yang dibuat pada saat penjualan sisa bahan baku adalah sebagai berikut:
[Debit] Kas / PiutangDagang Rp xxx
[Kredit] Barang dalam Proses – Biaya Bahan Baku Rp xxx
Hasli penjualan sisa bahan ini juga dicatat dalam kartu harga pokok pesanan yang bersangkutan
dalam kolom “biaya bahan baku” sebagai pengurang biaya bahan baku pesanan tersebut.
Hasil penjualan sisa bahan diperlakukan sebagai pengurang terhadap biaya overhead pabrik yang
sesungguhnya terjadi.
Jika sisa bahan baku tidak dapat diidentifikasikan dengan pesanan tertentu, dan sisa bahan adalah
hal yang biasa terjadi dalam proses pengerjaan produk.
Maka hasil penjualannya dapat diperlakukan sebagai pengurang biaya overhead pabrik yang
sesungguhnya terjadi.
Jurnal yang dibuat pada saat penjualan sisa bahan baku adalah sebagai berikut:
Dalam dua perlakuan terhadap sisa bahan tersebut di atas. Hasil penjualan sisa bahan digunakan
untuk mengurangi biaya produksi.
Hasil penjualan sisa bahan baku dapat pula diperlakukan sebagai penghasilan di luar usaha dan
tidak sebagai pengurang biaya produksi.
Jurnal yang dibuat pada saat penjualan sisa bahan adalah sebagai berikut:
[Debit] Kas/ Piutang Rp xxx
[Kredit] Hasil Penjualan Sisa Bahan Rp xxx
Hasil penjualan sisa bahan disajikan dalam laporan laba rugi dalam kelompok penghasilan di
luar usaha (other income).
Jika jumlah dan nilai sisa bahan relatif tinggi, maka diperlukan pengawasan terhadap persediaan
sisa bahan.
Pemegang kartu persediaan di Bagian Akuntansi perlu mencatat mutasi persediaan sisa bahan
yang ada di gudang.
Cara pencatatan persediaan sisa bahan dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut ini:
Bagian akuntansi persediaan menyelenggarakan catatan mutasi persediaan sisa bahan dalam
kartu persediaan.
Pada saat sisa bahan ditransfer dari Bagian Produksi ke Bagian Gudang, Bagian Akuntansi
Persediaan menerima laporan jumlah sisa bahan dari Bagian Gudang.
Bagian Akuntansi Persediaan mencatat kuantitas sisa bahan baku ke dalam kartu persediaan.
Bagian Akuntansi Persediaan melakukan pencatatan mutasi persediaan sisa bahan dalam
kuantitasnya saja, tanpa nilai rupiahnya.
Jika bagian akuntansi persediaan menyelenggarakan catatan mutasi persediaan sisa bahan, baik
dalam kuantitas maupun nilai rupiahnya.
Pencatatan persediaan sisa bahan dan penjualannya dapat dilakukan dengan salah satu dari dua
metode berikut ini:
Metode #1:
Bagian Produksi menyerahkan 2.000 kg sisa bahan ke Bagian Gudang. Sisa bahan tersebut
ditaksir dapat laku dijual Rp 5.000 per kg.
Sampai dengan akhir periode akuntansi sisa bahan tersebut telah laku dijual sebanyak 1.250 kg
dengan harga jual Rp 6.000 per kg.
Pembahasan:
Jurnal penyerahan sisa bahan dari bagian produksi ke bagian gudang, jika hasil penjualan sisa
bahan diperlakukan sebagai penghasilan di luar usaha, adalah sebagai berikut:
Jika hasil penjualan sisa bahan diperlakukan sebagai pengurang terhadap biaya bahan baku
pesanan tertentu.
Maka yang dikredit dalam jurnal tersebut di atas adalah rekening barang dalam proses – biaya
bahan baku.
Tapi bila hasil penjualan sisa bahan diperlakukan sebagai pengurang terhadap biaya overhead
pabrik yang sesungguhnya.
Maka yang dikredit dalam jurnal tersebut di atas adalah rekening Biaya Overhead Pabrik (BOP)
Sesungguhnya.
Dengan jurnal pertama telah dicatat hasil penjualan 2.000 kg sisa bahan, padahal kenyataan yang
telah direalisasikan baru 1.250 kg.
Oleh karena itu hasil penjualan sisa bahan sebesar Rp 10.000.000 tersebut harus dikurangi
sebesar:
= 750 x Rp 5.000
= Rp 3.750.000
Jurnal penyesuaian yang dibuat pada akhir periode akuntansi adalah sebagai
berikut:
= Rp 6.000 – Rp 5.000
= Rp 1.000 per kg
Padahal jumlah sisa bahan yang telah terjual sebanyak 1.250 kg.
= 1.250 kg x Rp 1.000
= Rp 1.250.000
Jumlah selisih harga jual yang terjadi dalam suatu periode akuntansi digunakan untuk
menyesuaikan rekening yang semula dikredit pada jurnal pertma di atas.
Jurnal penyesuaian karena adanya selisih harga jual adalah sebagai berikut:
Jadi neraca yang disajikan pada akhir periode akuntansi akan berisi persediaan sisa bahan
sebesar Rp 3.750.000 di kelompok aset dengan penghasilan yang belum direalisasikan sebesar
Rp 3.750.000 di kelompok utang lancar.
Hal ini berarti bahwa meskipun dalam kelompok aset terdapat kekayaan berupa sisa bahan
sebesar Rp 3.750.000, namun kekayaan tersebut belum direalisasikan sampai dengan tanggal
neraca tersebut.
Sehingga dengan kata lain perusahaan pada saat tersebut tidak mempunyai apa-apa.
Laporan Laba Rugi untuk periode akuntansi tersebut menyajikan hasil penjualan bahan sebesar:
= Rp 10.000.000 + Rp 1.250.000 – Rp 3.750.000
= Rp 7.500.000
Yaitu jumlah hasil penjualan sisa bahan yang sesungguhnya direalisasikan dari penjualan sisa
bahan.
Metode #2:
Perbedaan metode #1 dan #2 terletak pada jurnal yang dibuat pada saat sisa bahan diserahkan ke
gudang dan penjualannya.
Jurnal penyerahan sisa bahan dari bagian produksi ke bagian gudang adalah sebagai berikut:
Neraca dan laporan laba rugi yang dibuat pada akhir periode dengan metode #2 ini akan
menyajikan informasi yang sama dengan yang disajikan dengan metode #1.
Pengertian Produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standar mutu yang telah diterapkan
yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi produk yang baik.
Produk rusak berbeda dengan sisa bahan, karena sisa bahan adalah bahan yang mengalami
kerusakan dalam proses produksi.
Sehingga belum sempat menjadi produk, sedangkan produk rusak adalah produk yang telah
menyerap biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik.
Perlakuan terhadap produk rusak adalah tergantung dari sifat dan sebab terjadinya:
Perlakuan #1:
Jika produk rusak terjadi karena sulitnya pengerjaan pesanan tertentu atau faktor luar biasa yang
lain, maka harga pokok produk rusak dibebankan sebagai tambahan harga pokok produk yang
baik dalam pesanan yang bersangkutan.
Jika produk rusak tersebut masih laku dijual, maka hasil penjualannya diperlakukan sebagai
pengurang biaya produksi pesanan yang menghasilkan produk rusak tersebut.
Perlakuan #2:
Jika produk adalah hal yang normal terjadi dalam proses pengolahn produk.
Maka kerugian yang timbul sebagai akibat terjadinya produk rusak dibebankan kepada produksi
secara keseluruhan.
Dengan cara memperhitungkan kerugian tersebut ke dalam tarif biaya overhead pabrik.
Oleh karena itu, anggaran biaya overhead pabrik yang akan digunakan untuk menentukan tarif
biaya overhead pabrik terdiri dari komponen-komponen berikut ini:
Biaya Bahan Penolong
Biaya tenaga kerja tak langsung
Biaya reparasi dan pemeliharaan
Biaya asuransi
Biaya overhead pabrik lain
Rugi produk rusak (hasil penjualan – harga pokok produk rusak)
Dan tarif biaya overhead pabrik dihitung dengan rumus berikut ini:
#2: Pencatatan Produk Rusak – Jika Produk Rusak Dibebankan Kepada Pesanan Tertentu
PT Milenia Jaya berproduksi atas dasar pesanan. Dalam bulan Januari 20XX perusahaan
menerima pesanan pembuatan 1.000 satuan produk A.
Karena pesanan ini adalah pesanan yang membutuhkan ketepatan spesifikasi yang ditentukan
pemesan, maka produk rusak yang terjadi dibebankan kepada pesanan tersebut.
Pembahasan:
Untuk memebuhi pesanan tersebut perusahaan memproduksi 1.100 satuan produk A dengan
biaya produksi sebagai berikut:
Jurnal untuk mencatat biaya produksi untuk mengolah 1.100 satuan produk A adalah sebagai
berikut:
[Debit] Barang Dalam Proses – Biaya Bahan Baku Rp 75.000
[Debit] Barang Dalam Proses – Biaya TK Langsung Rp 175.000
[Debit] Barang Dalam Proses – Biaya Overhead Pabrik Rp 262.500
[Kredit] Persediaan Barang Baku Rp 75.000
[Kredit] Gaji dan Upah Rp 175.000
[Kredit] Biaya Overhead yang dibebankan Rp 262.500
Seandainya 100 satuan produk rusak, maka harga pokok produk A adalah:
= Rp 512.500 : 1.100
= Rp 466 per satuan
Harga pokok produk rusak dibebankan pada produk yang baik, sehingga harga pokok produk A
yang baik adalah:
= Rp 512.500 : 1.000
= Rp 513
Jika produk rusak tersebut masih laku dijual, maka hasil penjualan produk rusak dikurangkan
dari biaya produksi yang seluruhnya telah dibebankan pada produk yang baik.
Jurnal untuk mencatat nilai jual produk rusak dan pengurangan biaya produksi pesanan yang
bersangkutan adalah sebagai berikut:
#3: Pencatatan Produk Rusak – Jika Kerugian Produk Rusak Dibebankan Pada Seluruh
Produk
Karena produk rusak merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses pengolahan produk, maka
kerugian karena adanya produk rusak sudah diperhitungkan dalam penentuan tarif biaya
overhead pabrik (BOP) pada awal tahun.
Tarif biaya overhead pabrik adalah sebesar 160% dan biaya tenaga kerja langsung.
Pada bulan Januari 20XX, perusahaan menerima pesanan produk B sebanyak 2.000 kg.
Jurnal untuk mencatat biaya produksi untuk mengolah pesanan produk B tersebut adalah:
Produk tersebut secara ekonomis dapat disempurnakan lagi menjadi produk jadi yang baik.
Masalah yang timbul dalam produk cacat adalah bagaimana memperlakukan biaya tambahan
untuk pengerjaan kembali (rework cost) produk cacat tersebut.
Perlakuan terhadap biaya pengerjaan kembali produk cacat adalah mirip dengan yang telah
dibahas pada produk rusak (spoiled goods).
Jika produk cacat bukan merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses produksi, tapi karena
karakteristik pengerjaan pesanan tertetu.
Maka biaya pengerjaan kembali produk cacat dapat dibebankan sebagai tambahan biaya
produksi pesanan yang bersangkutan.
Jika produk cacat adalah hal yang biasa terjadi dalam proses pengerjaan produk.
Maka biaya pengerjaan kembali dapat dibebankan pada seluruh produksi dengan cara
memperhitungkan biaya pengerjaan kembali tersebut ke dalam tarif biaya overhead pabrik.
Biaya pengerjaan kembali produk cacat yang sesungguhnya terjadi didebitkan dalam rekening
biaya overhead pabrik sesungguhnya.
Biaya-biaya pengerjaan kembali 10 satuan produk cacat tersebut terdiri dari biaya tenaga kerja
langsung Rp 5.000 dan biaya overhead pabrik pada tarif yang biasa dipakai.
Jurnal pencatatan produksi pesanan tersebut dan biaya pengerjaan kembali produk cacat tersebut
adalah sebagai berikut:
1: Jurnal pencatatan biaya produksi 100 satuan produk X adalah sebagai berikut:
Di dalam proses PT Milenia Jaya selalu terjadi produk cacat, yang secara ekonomis masih dapat
diperbaiki dengan cara mengeluarkan biaya pengerjaan kembali.
Oleh karena itu, pada waktu menentukan tarif biaya overhead pabrik (BOP) dalam anggaran
diperhitungkan ditaksiran biaya pengerjaan kembali produk cacat yang akan dikeluarkan selama
periode anggaran.
Tarif biaya overhead pabrik ditentukan sebesar 150% dari biaya tenaga kerja langsung.
Perusahaan dalam periode anggaran tersebut menerima pesanan pembuatan 500 satuan produk
Y.
Baaya pengerjaan kembali 50 satuan produk cacat tersebut terdiri dari biaya tenaga kerja
langsung Rp 10.000.
1: Jurnal pencatatan biaya produksi 500 satuan produk adalah sebagai berikut:
2: Jurnal pencatatan biaya pengerjaan kembali produk cacat, jika biaya tersebut
dibebankan pada produk secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
Kesimpulan
Menurut Prinsip Akuntansi yang lazim, semua biaya yang terjadi untuk memperoleh bahan
baku dan untuk menempatkannya dalam keadaan siap untuk diolah, adalah elemen harga pokok
bahan baku yang dibeli.
Harga pokok bahan baku terdiri dari harga beli yang tercantum dalam faktur dari penjual
ditambah biaya angkutan, biaya-biaya pembelian lain.
Serta biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan bahan baku tersebut dalam keadaan siap untuk
diolah.
1. Diperhitungkan sebagai tambahan harga pokok bahan baku yang dibeli, atau
2. Diperlakukan sebagai elemen biaya overhead pabrik
Biaya angkutan diperhitungkan sebagai tambahan harga pokok bahan baku yang dibeli dengan
dasar perbandingan kuantitas, harga faktur, atau tarif yang ditentukan di muka.
Dalam memperhitungkan biaya-biaya unit organisasi yang terkait dalam perolehan bahan baku,
perusahaan membuat tarif pembebanan biaya pembelian untuk dibebankan pada bahan baku
yang dibeli.
Pencatatan persediaan bahan baku dapat dilakukan dengan metode mutasi persediaan atau
metode persediaan fisik.