Anda di halaman 1dari 12

1.

MENGENAL MANUSIA PURBA SANGIRAN DAN TRINIL

Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia.
Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di desa
krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen).  

Gambar Peta Lokasi Sangiran


Pada awalnya Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak
kubah ini kemudian melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi itulah
dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau.
Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga
merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia,
bahkan dunia.

Gambar Gapura Museum Sangiran


Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola
kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan
seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula,
untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu
spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koenigswald.
Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di laipsan-lapisan tersebut berasosiasi dengan
fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampu merupakan kawasan subur tempat sumber
makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah katulistiwa, pada jaman
fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba untuk
mendapatkan sumber penghidupan.
Adapun manusia purba yang di temukan di Sangiran yaitu :
a. Meganthropus Palaeojavanicus

Fosil Meganthropus Paleojavanicus di temukan oleh Von Koenigswald di Sangiran


lembah bengawan Solo pada tahun 1936-1941. Dari namanya kita sudah bisa
membayangkan, Megan artinya besar dan anthropus artinya manusia, dan paleo artinya kata
sifat tua dan javanicus artinya Jawa.
Jenis dari manusia purba yang satu ini, di perkirakan hidup sekitar satu sampai dua juta
tahun yang lalu. Ciri–ciri Meganthropus Paleojavanicus:
 Memiliki tubuh yang tinggi dan tegap
 Memiliki tulang pipi yang tebal
 Otot rahang yang kuat
 Bentuk tubuh yang tegap
 Tulang kening yang menonjol
 Tidak memiliki dagu
 Memiliki bentuk kepala dengan tonjolan di belakang yang tajam
 Berbadan besar
 Mirip manusia tetapi lebih mendekati kera
b. Pithecanthropus Soloensis

Manusia purba jenis ini, termasuk dalam kategori Homo karena termasuk dalam
manusia purba yang cerdas. Homo Soloensis hidup sekitar 900,000 sampai 300,000 tahun
yang lalu. Di perkirakan, makhluk satu ini adalah evolusi dari Pithecanthropus Mojokertensis.
Ciri-ciri Pithecanthropus Soloensis:
 Memiliki volume otak antara 1000 sampai 1200 cc
 Tinggi badan antara 130 sampai 210 cm
 Otot tengkuk mengalami penyusutan
 Muka tidak menonjol ke depan
 Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna
 Rahang bawah yang kuat
 Hidungnya lebar
 Tulang pipi yang kuat dan menonjol
 Pemakan tumbuhan dan hewan yang di jadikan santapan
c. Pithecanthropus Mojokertensis

Adapun ciri-ciri Pithecanthropus Mojokertensis:


 Memiliki tulang tengkorak yang tebal
 Tingginya sekitar 165 sampai 180 cm
 Tidak memiliki dagu
 Memiliki badan yang tegap
 Hidung lebar
 Memiliki otot kunyah
 Tonjolan di kening melintang sepanjang pelipis
 Makanannya hewan dan tumbuhan hasil buruan
 Hidup sekitar 30,000 sampai 2 juta tahun
d. Homo Erectus

 Homo Erectus adalah hal yang paling penting dalam sebuah tahap, sebelum memasuki
Homo Sapiens, yaitu manusia modern. Manusia purba ini, memiliki arti nama yang berarti,
manusia kera yang dapat berdiri. Fosil homo erectus yang di temukan di Indonesia ada 50%
dari populasi Homo erectus di dunia. Ciri-ciri Homo Erectus:
 Tulang kening menonjol
 Orbit mata persegi
 Pipi lebar menonjol
 Mulut menjorok ke depan
 Tengkuk dan geraham gigi yang kuat
 Tubuhnya belum tegap sempurna
 Hidungnya tebal
 Dahinya lebih menonjol dan lebar
 Tingginya 165 cm sampai 180 cm
 Volume otak 750 cc sampai 1350 cc
Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi
kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh
sebelum vonkoenigswald menemukan sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh
Eogene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat
berharga bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluviar
Bengawan Solo dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak pithecantheropus erectus, dan
beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukan oemiliknya telah berjalan
tegak.

Gambar Peta Lokasi Trinil


Tengkorak pithecantheropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang
kebelakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, diantara otak kera (600 cc) dan otak manusia
modern (1200–1400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata,
terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada
bagian belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan
perempuan.
Ciri-ciri manusia purba di trinil yaitu sebagai berikut:
 Tinggi tubuhnya kira-kira 165-180 cm.
 Badan tegap, namun tidak setegap Meganthropus.
 Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis.
 Otot kunyah tidak sekuat Meganthropus. volume otaknya 900 cc.
 Hidung lebar dan tidak berdagu.
 Makanannya bervariasi,yaitu tumbuhan dan daging hewan buruan.
 Tulang rahang dan geraham kuat serta bagian kening menonjol.
 Wajah tidak mempunyai dagu
 Bentuk graham besar dengan rahang yang sngat kuat.
Manusia Jawa (Homo erectus paleo javanicus) adalah jenis Homo erectus yang
pertama kali ditemukan. Pada awal penemuan, makhluk mirip manusia ini diberi nama
ilmiah Pithecanthropus erectus oleh Eugene Dubois, pemimpin tim yang berhasil
menemukan fosil tengkoraknya di Trinil pada tahun 1891.
Nama Pithecanthoropus erectus sendiri berasal dari akar bahasa Yunani dan latin dan
memiliki arti manusia-kera yang dapat berdiri.

2. ASAL USUL PERSEBARAN NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA


Nenek moyang bangsa Indonesia yang datang pertama kali ke Nusantara adalah bangsa 
proto melayu  yang membawa kebudayaan neolitikum menggunakan perahu bercadik satu.
Mereka datang dari Yunan ke Indonesia melalui jalur barat dan timur. Migrasi jalur barat di
lakukan dari Yunan ke semenanjung Malaysia, Kalimantan , menuju Jawa dan Nusa Tenggara
dengan membawa kebudayaan kapak persegi. Penyebaran jalur timur di mulai dari Teluk
Tonkin menyusuri pantai Asia timur menuju Taiwan, Filipina, Sulawesi, Maluku, hingga ke
Papua, sampai Australia dengan membawa kebudayaan kapak lonjong. Kebudayaan kapak
lonjong yang di sebut Neolitikum papua ini banyak di temukan di Minahasa, Seram,
Kalimantan, dan Papua. Gelombang ke dua kedatangan nenek moyang bnagsa Indonesia
terjadi sekitar 500 SM yang di bawa oleh rumpun bangsa Deutro melayu menggunakan
perahu bercadik dua.
a. Kedatangan Proto-Melayu
        Sekitar 2000 SM, penduduk dan ras Melayu Austronesia dan Teluk Tonkin bermigrasi ke
Kepulauan Indonesia. Mereka biasa disebut Proto melayu atau Melayu Tua. Kedatangan
mereka itu mendesak penduduk dan ras Austromelaneoid ke pedalaman, bahkan ke Indonesia
bagian timur. Penduduk ras itu menjadi nenek moyang menduduk Papua sekarang.
Memasuki Kepulauan Indonesia, Proto-Melayu menempuh dua jalur, sesuai dengan
jenis kebudayaan yang dibawa.
1. Jalur pertama menyebar ke Sulawesi, Maluku, dan Papua. Masyarakat Proto Melayu yang
menempuh jalur ini membawa kebudayaan Neolithikum berupa kapak lonjong. Itulah
sebabnya, di bagian timur Indonesia banyak ditem ukan artefak Neohithikum berupa
kapak lonjong. Keturunan Proto-Melayu yang menempuh jalur ini antara lain masyarakat
Toraja.
2. Jalur kedua menyebar ke Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Masyarakat Proto-Melayu yang menempuh jalur ini membawa kebudayaan Neolithikum
berupa beliung persegi. Itulah sebabnya, di bagian barat Indonesia banyak ditemukan
artefak 
3. Neolithikum berupa beliung persegi. Keturunan Proto-Melayu yang menempuh jalur ini
antara lain masyarakat Nias, Batak, Dayak, dan Sasak.
b. Kedatangan Deutero-Melayu
Sekitar 500 SM, datang lagi gelombang migrasi penduduk dan ras Melayu Austronesia
dan Teluk Tonkin ke Kepulauan Indonesia. Mereka biasa disebut Deutero-Melayu atau
Melayu Muda. Kedatangan mereka mendesak penduduk keturunan Proto-Melayu yang telah
lebih dahulu menetap. Memasuki Kepulauan Indonesia, masyarakat Deuto-Melayu menyebar
ke sepanjang pesisir. Ada juga di antara mereka yang masuk ke pedalaman. Keturunan
Deutero-Melayu antara lain masyarakat Minang, Jawa, dan Bugis.
           Masyarakat Deutero-Melayu membawa kebudayaan perunggu, yang dikenal dengan
sebutan Kebudayaan Dong Son. Donon son adalah tempat di Teluk Tonkin tempat asal
kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Artefak perunggu yang ditemukan di Indonesia
serupa dengan artefak perunggu dan Dong Son.

3. CORAK HIDUP MASYARAKAT PRAAKSARA


a. Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat awal, manusia Indonesia saat
itu hidup sangat sulit karena keadaan alam masih belum stabil. Letusan gunung berapi masih
sering terjadi, aliran sungai kadang-kadang berpindah sejalan dengan perubahan bentuk bumi.
Karena sulitnya untuk mencari makanan, pertumbuhan populasi Manusia Indonesia sangat
sedikit dan banyak yang meninggal dan akhirnya punah.
Manusia Indonesia pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-
pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup. Pada umumnya
mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai- sungai, danau atau sumber-sumber air yang
lain, karena binatang buruan selalu berkumpul di dekat sumber air. Selain itu, sungai dan
danau juga merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Selain di
sumber-sumber air, ada juga yang memilih gua-gua sebagai tempat sementara berdasarkan
penemuan kerangka manusia yang dikuburkan, rupanya mereka sudah mengenal semacam
sistem kepercayaan. Lama kelamaan kelompok manusia berburu dan mengumpulkan
makanan menunjukkan tanda hidup menetap, suatu perkembangan ke arah masa bercocok
tanam.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjutan, mereka telah mulai
lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di
daerah pantai, ada pula yang memilih tempat tinggal di daerah pedalaman. Mereka yang
tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang dan ikan laut. Bekas tempat
tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dijumpai sejumlah besar kulit-kulit kerang
yang menyerupai bukit kulit kerang serta alat-alat yang mereka gunakan. Sisa-sisa makanan
yang berupa timbunan atau gugusan kulit kerang itu, yang artinya sampah dapur. Ada pun
sisa alat-alat yang ditemukan dalam gugusan kulit kerang antara lain berupa anak panah atau
mata tombak yang berbentuk khusus untuk menangkap ikan.
Kelompok yang memilih bertempat tinggal di daerah pedalaman pada umumnya
memilih tempat tinggal di tepian sungai-sungai. Selain dari binatang buruan, mereka juga
hidup dari ikan di sungai. Kelompok yang bergerak lebih ke pedalaman lagi, sisa-sisa
budayanya sering ditemukan di dalam gua-gua yag mereka singgahi dan untuk tempat
tinggal sementara dalam pengembaraan mereka. Gua-gua ini letaknya pada lereng-lereng
bukit yang cukup tinggi, sehingga untuk memasuki gua-gua itu diperlukan tangga-tangga
yang dapat ditarik ke dalam gua, jika ada bahaya yang mengancam. Untuk menghadapi
berbagai ancaman, manusia itu hidup berkelompok dan jumlahnya tidak terlalu banyak.
Biasanya mereka berada agak lama di daerah yang mengandung cukup banyak bahan
makanan, terutama umbi- umbian dan dedaunan, dekat sumber air, serta dekat dengan
tempat-tempat mangkal binatang buruan. Mereka kemudian akan melakukan pengembaraan
atau berpindah ke tempat lain. Di tempat sementara ini, kelompok berburu biasanya tersusun
dari keluarga kecil dengan jumlah kurang lebih 20 sampai 50 orang. Tugas berburu binatang
dilakukan oleh orang laki-laki sedangkan orang perempuan bertugas mengumpulkan
makanan, mengurus anak, dan mengajari anaknya dalam meramu makanan. Ikatan
kelompok pada masa ini sangat penting untuk mendukung berlangsungnya kegiatan
bersama.
b. Bercocok Tanam
Kelompok-kelompok kecil pada masa bercocok tanam makin bertambah besar, karena
masyarakat telah mulai menetap dan hidup lebih teratur. Kelompok-kelompok
perkampungan tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar misalnya klan, marga
dan sebagainya yang menjadi dasar masyarakat Indonesia sekarang. Kehidupan masyarakat
menjadi semakin kompleks setelah mereka tidak saja tinggal di goa-goa, tetapi juga
memanfaatkan lahan-lahan terbuka sebagai tempat tinggal.
Dengan bertempat tinggal menetap mereka mempunyai kesempatan yang lebih banyak
untuk mengembangkan teknologi pembuatan alat dari batu. Perubahan cara hidup dari
mengembara ke menetap akhirnya berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya.
Cara hidup berburu dan meramu secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Mereka
memasuki tahapan baru yaitu bercocok tanam ini merupakan peristiwa penting dalam
sejarah perkembangan dan peradaban manusia.
Pada tahapan berikutnya, kegiatan pertanian membutuhkan satu organisasi yang lebih
luas yang berfungsi untuk mengelola dan mengatur kegiatan pertanian tersebut. Dari
organisasi itu kemudian menumbuhkan organisasi masyarakat yang bersifat chiefdoms atau
masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Dalam masyarakat yang demikian itu sudah
dapat dibedakan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pengakuan terhadap pemimpin tidak
sekadar karena faktor keturunan, tetapi juga dianggap mempunyai kekuatan yang lebih dan
berkedudukan tinggi. Para pemimpin tersebut sesudah meninggal arwahnya tetap dihormati
karena kelebihan yang dimilikinya itu.
Untuk menghormati sang arwah, dibangunlah tempat-tempat pemujaan seperti tampak
pada peninggalan-peninggalan punden berundak. Selain dapat menunjukan tempat pemujaan
arwah, keberadaan punden berundak juga dapat menjadi bukti adanya masyarakat yang
sudah berkepemimpinan. Punden berundak merupakan bangunan tempat melakukan upacara
bersama. Dalam melaksanakan upacara itu, juga dipimpin oleh seorang pemimpin yang
disegani oleh masyarakatnya.
c. Masa Perundagian
Pada masa perundagian, masyarakat telah hidup di desa-desa di daerah pegunungan,
dataran rendah dan tepi pantai. Susunan masyarakatnya makin teratur dan terpimpin. Masyarakat
dipimpin oleh ketua adat yang merangkap sebagai kapala daerah. Ketua adat dipilih oleh
masyarakat, yaitu orang tua yang banyak pengetahuan dan pengalamannya mengenai adat dan
berwibawa terhadap masyarakat. Kepala daerah yang besar wibawanya kemudian membawahi
kepala-kepala daerah lainnya dan makin besar kekuasaannya. Ia bertindak seperti seorang raja
dan itulah permulaan timbulnya raja-raja di Indonesia.
Adanya norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pada masa perundagian
menunjukan bahwa pada masa ini terdapat hasil-hasil kebudayaan berupa norma-norma. Bila
dilihat dari hasil kebudayaan yang berwujud peraturan. Pada masa perundagian masyarakat telah
mengenal suatu peraturan yang harus ditaati oleh semuanya. Salah satunya adalah peraturan
dalam penguburan mayat di tempayan. Penguburan dalam tempayan ini hanya dilakukan terhadap
orang-orang yang berkedudukan penting dalam masyarakat. Selain itu, terdapat juga aturan dalam
penggunaan harta kekayaan. Pada masa perundagian, manusia purba sangat taat kepada adat
diantaranya adat gotong-royong, tolong menolong, sambat-sinambat. Kebiasaan hidup
berkelompok berkembang menjadi lebih luas dalam kehidupan masyarakat desa secara bergotong
royong. Gotong royong merupakan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat. Hal ini dapat di
lihat dalam pembuatan alat-alat, dimana semuanya dilakukan secara bergotong royong.

4. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PADA ZAMAN PRA AKSARA


Manusia pada zaman praaksara meskipun belum mengenal tulisan, tetapi mereka
sudah mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi pada zaman praaksara
bermula dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan.
Perkembangan teknologi pada masa pra aksara di Indonesia dibagi menjadi empat yaitu,
Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum sedangkan zaman logam di bagi
menjadi zaman perunggu dan besi.
a. Antara Batu dan Tulang (Paleolitikum)
Zaman paleolitikum disebut juga zaman batu tua diperkirakan berlangsung kira-kira
600.000 tahun yang lalu. Pada zaman ini alat yang di hasilkan masih sangat kasar dan
sederhana. Kebudayaan pada zaman ini secara umum terbagi menjadi 2 yaitu : Kebudayaan
Pacitan (kapak genggam atau kapak perimbas. Selain kapak genggam, di Pacitan ditemukan
juga alat-alat serpih yang disebut dengan flakes) dan Kebudayaan Ngandong (di temukan
alat-alat dari bebatuan dan juga dari tulang-tulang binatang atau tanduk rusa).
b. Antara Pantai dan Gua (Mesolitikum)
Zaman mesolitikum terjadi pada masa Holosen setelah zaman es berakhir. Pendukung
kebudayaan pada zaman ini adalah Homo Sapiens. Secara garis besar kebudayaan
mesolitikum terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Kebudayaan Kjokkenmoddinger
(kapak genggam) dan Kebudayaan Abris Sous Roche (ujung panah, flakes, batu
penggilingan).
c. Sebuah Revolusi (Neolitikum)
Zaman neolitikum juga disebut dengan zaman batu muda yang diperkirakan
berlangsung kira-kira tahun 2000 SM. Pada zaman ini alat-alat yang ditemukan terbuat dari
batu yang sudah dihaluskan serta bentuknya lebih sempurna dari zaman sebelumnya. Alat-
alat yang di temukan pada zaman neolitikum yaitu: kapak persegi, kapak lonjong, perhiasan
dan tembikar.
d. Zaman Batu Besar (Megalitikum)
Hasil kebudayaannya meliputi :
1. Menhir
Menhir adalah tiang atau tugu yang terbuat dari batu yang didirikan sebagai tanda
peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pujaan. Di
temukan didaerah Sumatra Selatan dan Kalimantan.
2. Dolmen
Dolmen adalah meja batu yang berkakikan menhir. Dolmen berfungsi sebagai tempat
sesajen dan pemujaan kepada nenek moyang. Di temukan di daerah Sumba, Sumatra Selatan
dan Bondowoso, Jawa Timur.
3. Punden Berundak
Punden berundak adalah bangunan dari batu yang disusun bertingkat-tingkat. Punden
berundak berfungsi sebagai kuburan.
4. Kubur Batu
Kubur batu adalah peti mati yang terbuat dari batu. Kubur batu banyak di temukan di
Kuningan, Jawa Barat.
5. Waruga
Waruga adalah kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat. Banyak di temukan di
daerah Sulawesi Utara.
6. Sarkofagus (Keranda)
Sarkofagus adalah peti mati tempat menyimpan mayat. Berbentuk seperti lesung yang
terbuat dari batu utuh dan diberi penutup. Sarkofagus ditemukan di Bali.
7. Arca
Arca-arca megalitikum merupakan bangunan batu besar berbentuk binatang atau
manusia yang banyak ditemukan di dataran tinggi pasemah, Sumatra Selatan.

Anda mungkin juga menyukai