Anda di halaman 1dari 5

ALAT BUKTI DAN BARANG BUKTI

Aturan hukum acara pidana Indonesia, yakni KUHAP menganut sistem


pembuktian negatif berdasarkan undang-undang, yang berarti bahwa KUHAP mengatur
secara limitatif alat bukti apa yang dapat digunakan dalam proses pembuktian. 1 Sistem
pembuktian ini berarti bahwa seseorang hanya dapat dijatuhkan pidana apabila
ketentuan mengenai syarat pembuktian telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan undang-
undang. Terkait dengan hal ini, terdapat ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP yang
menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”2 Berdasarkan ketentuan tersebut, penjatuhan pidana selain harus
didasarkan pada keyakinan hakim, harus pula berdasarkan adanya dua alat bukti. Alat
bukti yang sah sendiri dalam KUHAP terdiri atas beberapa jenis berdasarkan Pasal 184
ayat (1) KUHAP, yakni:3

1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat;
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.

Terkait dengan alat bukti keterangan saksi, KUHAP telah memberikan definisi
terkait hal tersebut, yakni dalam Pasal 1 angka 27 yang menyatakan bahwa “Keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Untuk dapat dikatakan
sebagai alat bukti yang sah, saksi tersebut haruslah disumpah sesuai dengan ketentuan
Pasal 161 ayat (2) KUHAP. Ketentuan mengenai sumpah tersebut pada dasarnya adalah
mutlak.4 Kemudian, terdapat dua klasifikasi saksi, yakni saksi a charge yang

1
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983), hlm. 19.
2
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, Ps. 183.
3
Ibid., Ps. 184 ayat (1)
4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika: 2018), hlm. 263.
membuktikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, serta saksi a de charge yang membela
terdakwa atau mematahkan dakwaan penuntut umum.5

Selanjutnya, terkait dengan keterangan ahli, KUHAP telah memberikan definisi


terkait hal tersebut, yakni dalam Pasal 1 angka 28 yang menyatakan bahwa “Keterangan
ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.”6 Seseorang dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia
mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang
memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang terkait dengan
keterangannya.7 Cara pemeriksaan saksi dan ahli pada persidangan pada dasarnya sama,
yang mana keduanya harus disumpah agar alat bukti keterangannya dianggap sebagai
alat bukti yang sah.8

Kemudian, terkait dengan surat, ketentuannya terdapat dalam Pasal 187 KUHAP
yang menyatakan bahwa:9

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
5
Aristo Pangaribuan, dkk., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Depok: Rajawali Pers,
2017), hlm. 299.
6
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, Ps.1 angka 28.
7
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika: 2018), hlm. 274.
8
Aristo Pangaribuan, dkk., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Depok: Rajawali Pers,
2017), hlm. 310.
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, Ps. 184 ayat (1)
Dalam hal ini, surat yang dimaksud lebih terkait dengan pengertian dokumen secara
umum.10 Kekuatan pembuktian surat pada dasarnya tidak serta merta sempurna, tetapi
tetap mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.11

Terkait dengan alat bukti petunjuk, ketentuannya diatur dalam Pasal 188
KUHAP yang menyatakan bahwa “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya,”12 Kemudian, ketentuan Pasal 188 ayat (2) mengatur bahwa petunjuk hanya
dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. 13 Dengan
demikian, alat bukti petunjuk bukanlah alat bukti yang dapat berdiri sendiri, tetapi
merupakan penyiasatan hakim terhadap minimum pembuktian.14 Alat bukti petunjuk ini
dapat disandingkan dengan istilah pengamatan hakim.15

Terkait dengan alat bukti keterangan terdakwa, ketentuan Pasal 189 KUHAP
menyatakan bahwa “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” 16
Sejatinya, alat bukti keterangan terdakwa harus tetap menghormati prinsip non self-
incrimination yang menjamin hak-hak terdakwa untuk tidak merugikan dirinya
sendiri.17 Sesuai dengan aturan dari Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
67/PUU/2011, terdakwa tidak disumpah dalam memberikan keterangannya sebagai
bentuk pengejawantahan dari prinsip non self-incrimination.18 Terdapat pula
pembatasan dalam hal ini, yakni keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri sesuai ketentuan Pasal 189 ayat (3) KUHAP.19 Biar bagaimana juga,
10
Aristo Pangaribuan, dkk., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Depok: Rajawali Pers,
2017), hlm. 311.
11
M. Yahya Harahap, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,
(Jakarta: Sinar Grafika. 2014),, hlm. 312.
12
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, Ps. 188.
13
Ibid.
14
Aristo Pangaribuan, dkk., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Depok: Rajawali Pers,
2017), hlm. 313.
15
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika: 2018), hlm. 277.
16
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, Ps. 189.
17
Aristo Pangaribuan, dkk., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Depok: Rajawali Pers,
2017), hlm. 314.
18
Ibid.
19
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, Ps. 189 ayat (3).
keterangan terdakwa tetap harus memenuhi syarat minimal dua alat bukti sebagaimana
telah dijabarkan sebelumnya

Dalam hukum pembuktian di Indonesia, alat bukti yang sah telah ditetapkan
secara limitatif oleh ketentuan undang-undang. Alat bukti yang dimaksud tersebut pun
harus dibedakan dengan apa yang disebut sebagai barang bukti. Terkait dengan barang
bukti, definisinya dapat merujuk pada Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan
Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan
bahwa “Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan
dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.20 Konsep
barang bukti di beberapa negara lain memiliki kesamaan dengan corpus delicti atau
facts of crime, yakni keseluruhan fakta yang menunjukkan bahwa tindak pidana telah
dilakukan.21 sering Dengan demikian, barang bukti adalah apa saja yang dapat dilakukan
penyitaan terhadapnya.22Pasal 39 KUHAP telah menggariskan ketentuan mengenai
barang apa saja yang dapat disita, yakni:23

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak
pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.

20
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Perkapolri No. 10 Tahun 2010, Ps. 1 angka 5.
21
Richard Lokas, Barang Bukti Dan Alat Bukti Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana,” Lex et Societatis 3 (2015), hlm. 125.
22
Aristo Pangaribuan, dkk., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Depok: Rajawali Pers,
2017), hlm. 296.
23
Indonesia, Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8
Tahun 1981, Ps. 39.
Barang bukti tidaklah memiliki kekuatan pembuktian, kecuali kemudian dapat
diidentifikasi oleh alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau
keterangan terdakwa untuk memperkuat keyakinan hakim.24

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika: 2018.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar
Grafika, 2014.

Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kepala Kepolisian Negara


Republik Indonesia tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkapolri No. 10 Tahun 2010

Indonesia. Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU


No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209.

Richard Lokas, “Barang Bukti Dan Alat Bukti Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana,” Lex et Societatis 3 (2015). hlm. 124-129.

Pangaribuan, Aristo, dkk. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Depok:


Rajawali Pers, 2018.

Prodjohamidjojo, Martiman. Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti. Cet. 1. Jakarta:


Ghalia Indonesia, 1983..

24
Aristo Pangaribuan, dkk., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Depok: Rajawali Pers,
2017), hlm. 296.

Anda mungkin juga menyukai