Anda di halaman 1dari 17

ORANG ARAB DI NUSANTARA

(SEJARAH DAN PEMIKIRAN SERTA KONTRIBUSI BAGI


BANGSA INDONESIA)

OLEH
NURUL JANNAH

Email : nurfiljannah@gmail.com

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh para pedagang dari
Arab. Mereka datang ke Indonesia dari pesisir pantai dan bermukim disana
selama beberapa bulan. Jika barang dagangan mereka habis, mereka akan
kembali ke negeri asal mereka lalu kembali lagi ke Indonesia untuk
berdagang, begitu seterusnya. Namun ada juga orang Arab tersebut
memilih menetap di Indonesia dan hanya sesekali kembali ke negeri
asalnya untuk mengunjungi sanak saudra amereka. Tujuan mereka ke
Indonesia bukan hanya untuk berdagang, namun tujuan lain yang tak kalah
penting ialah untuk menyebarkan Islam melaui lisan ataupun perbuatan
mereka.
Peran orang Arab sangatlah penting dalam proses masuknya Islam
ke Indonesia. Mereka meyebarkan Islam sembari berdagang. Namun ada
juga di antara mereka yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan Islam.
Maka dari itu makalah ini akan mengungkap sejarah dan pemikiran orang
Arab serta kontribusinya di Indonesia.

1
PEMBAHASAN

A. Sejarah Orang Arab di Indonesia


Orang Arab di Indonesia sudah masuk berabad-abad tahun yang lalu.
Tujuan orang Arab masuk ke Indonesia adalah untuk berdagang. Namun, bukan
hanya berdagang saja, mereka juga menyebaran agama Islam melaui perdagangan
mereka. Misalnya dalam dagang adanya akad jual beli. Jadi Islam masuk ke
Indonesia melalui jalur perdagangan oleh orang Arab yang berasal dari Persia dan
India (dari daerah yang bernama Gujarat). Daerah Gujarat merupakan wilayah
penganut dan pengamal madzhab Syafi’i, karena hal inilah mayoritas masyarakat
Indonesia bermazhab Syafi’i.1
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India sampai ke
kepulauan Indonesia untuk berdagang pada abad ke 7 M – 16 M. Ketika sampai di
Indonesia, mereka mendirikan masjid yang mana masyarakat Indonesia saat itu
masih beragama Hindu. Selain mendirikan masjid, mereka juga mendatangkan
mullah-mullah dari luar sehingga jumlah pendatang muslim menjadi banyak, dan
karena itu perdagangan menjadi pesat dan membuat mereka menjadi kaya, yang
mana membuat masyarakat asli Indonesia bersedia untuk menikah dengan
mereka.2
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa orang Arab erat kaitannya
dengan penyebaran Islam dan bahasa Arab di Indonesia. Menurut pendapat
tersebut, orang Arab adalah pelopor Islam dan bahasa Arab di Indonesia, mereka
datang ke negeri-negeri Melayu pada abad ke 7 M- 8 M atau pada tahun pertama
Islam. Dengan demikian, sejarah masuknya Islam ke Indonesia dan
perkembangan bahasa Arab di Indonesia tidak terlepas dari sejarah masuknya
perantau Arab di Indonesia. Hal inilah yang memperkuat dugaan bahwa agama
Islam masuk ke Indonesia secara suka rela dibawa oleh pedagang-pedagang Arab
yang pada awalnya mereka datang untuk membeli rempah-rempah yang
diperlukan untuk dijual kembali ke negeri asal. Mereka membawa barang
1
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Padang: Pustaka Pelajar,
2010), h. 14.
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Depok: PT. Raja Grafindo, 2017), h. 201.

2
dagangan dari Arab dan pulangnya membawa rempah-rempah dari Indonesia.
Fakta ini juga yang menunjukkan bahwa peran bahasa Arab di Indonesia sangat
penting dalam kebudayaan dan masyarakat Indonesia sebelum bahasa asing lain
dan pengaruh-pengaruhnya. Kehadiran bahasa Arab di Indonesia memberikan
sumbangan yang berpengaruh dalam memperkaya perbendaharaan kosa kata
bahasa Indonesia.3
Para pedagang Arab dari Hadramaut adalah orang pertama yang
menyebarkan agama Islam ke Indonesia. Dalam waktu singkat orang Arab
Hadramaut berubah menjadi da’i untuk menyebarkan Islam ke seluruh negeri
yang mereka singgahi, baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil haal, sampai ke
pesisir pantai timur Afrika, India dan Indonesia.
Orang-orang Arab yang bermukim di Nusantara sebagian besar berasal dari
Hadramaut, Yaman, Maskat, tepian Teluk Persia, Hijaz, Mesir atau dari Pantai
Timur Afrika. Mereka datang ke Nusantara dengan menjadi pedagang perantara,
pedagang kecil, pemilik toko, penyedia barang dan jasa, dan juga kegiatan
peminjaman uang yang mana hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh pedagang
Eropa pada saat itu.4 Orang Arab di Nusantara terdiri dari golongan sayyid dan
non sayyid. Golongan sayyid merupakan orang Arab keturunan sayyidina Husain,
yakni dalam diri mereka mengalir darah Rasulullah SAW. Namun, bukan hanya
kata sayyid, kata “habib” juga menjadi sebutan populer dan sering digunakan
untuk menyebut orang Arab yang bergelar sayyid. Sedangkan golongan non
sayyid merupakan orang Arab yang tidak memiliki pertalian darah dengan Nabi
Muhammad SAW atau orang Arab yang bukan keturunan langsung dari
Rasulullah. Orang Arab golongan sayyid mendapat penghormatan lebih
dibandingkan dengan orang Arab golongan non Sayyid. Apabila Orang Arab non
sayyid berpapasan dengan orang Arab golongan Sayyid haruslah mencium tangan

3
Faisal Mubarak Seff, Dinamika Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia dalam konteks
Persainagn Global (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2019) h. 3-4.
4
Budi Sulistiono, “Kontribusi Komunitas Arab di Jakarta Abad 19 dan Awal Abad 20
Masehi,” Seminar Rabithah Alawiyah, 2012, 1–12.

3
orang Arab golongan Sayyid. Hal ini dilakukan sebagai pernghormatan kepada
golongan sayyid yang memiliki ikatan darah dengan Rasulullah.5
Alasan utama orang-orang Arab datang ke nusantara adalah mencari
keuntungan ekonomi, khususnya komunitas Hadrami yang bermigrasi ke
Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena di negara mereka sangatlah tandus dan
gersang. Intensitas hujan yang sangat rendah menyebabkan tanah di negara
mereka sangat sulit untuk ditanami. Maka dari itulah mereka memilih untuk
berdagang ke luar negara untuk mencari keuntungan yang lebih besar.6 Pengaruh
komunitas Arab menjadi semakin intensif pada abad ke 19, hal itu ditandai
dengan jumlah mereka yang semakin meningkat. Mereka membangun
perkampungan di jalur-jalur perdagangan. Wilayah Aceh menjadi perkampungan
Arab pertama di Nusantara, dan dari sanalah mereka bergerak ke Palembang dan
Pontianak, kemudian Batavia dan pusat-pusat perdagangan penting di daerah
Jawa.
Ketika mereka berbaur dengan masyarakat lokal di Nusantara, tradisi yang
mereka bawa dari kampung halaman mereka menjadi ciri khas tersendiri, sebagian
dari tradisi itu tetap terpelihara namun ada juga yang telah usang dimakan waktu
ataupun tetap bertahan sampai saat ini. Tetapi hal yang pasti dari sebagian di
antara mereka adalah membawa misi dakwah untuk menyebarkan Islam di
Nusantara hingga membentuk lembaga pendidikan formal dan non formal.
Ada beberapa faktor yang memudahkan kaum Hadramaut untuk bermukim
di kawasan Samudera Hindia, yaitu adanya kegiatan perdagangan, sebagian besar
dari mereka bermadzhab Syafi’i, penguasaan terhadap bahasa dan sastra Arab
akan menjamin penghormatan para penguasa kepada mereka, dan terbukanya
masyarakat Nusantara yang sangat memudahkan mereka untuk berinteraksi
dengan masyarakat setempat tanpa harus dicap sebagai golongan asing. Mereka
mampu berbaur dengan masyarakat lokal dengan berperan sebagai komunitas

5
Abdul Wahid Hasyim, Pauzan Haryono, “Jamiat Kheir dan Al-Irsyad: Kajian Komunitas
Arab dalam Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad XX di Jakarta,” Buletin At-Turas, Vol. 25,
No. 2 (2019): 165.
6
Adam Malik, “Jam’iyyah Al-Irsyad Al-Islamiah (Napak Tilas Sejarah Pergulatan Identitas
Kebangsaan Kaum Hadrami di Indonesia,” Tesis UIN Alauddin, 2019, h. 49.

4
muslim di Nusantara tanpa adanya dinding yang mejadi pemisah antara
masyarakat pribumi dan orang Arab. Namun walaupun mereka mampu berbaur
dengan masyarakat pribumi, sebagian di antara mereka tetap mempertahankan
kemurniah silsilah keluarga yaitu dengan tidak menikahkan anak perempuan
mereka dengan pribumi. Mereka mampu memasuki ruang sosial dan membentuk
komunitas muslim Arab dan memberikan kontribusi yang mewarnai dinamika
sosial ekonomi, politik dan pendidikan di Nusantara.7
Para perantau Arab mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun
terakhir di abad ke-18, tetapi setelah tahun 1820 merela mulai banyak menetap di
Pulau Jawa. Menurut data statistik yang tercatat tahun 1858 jumlah penduduk
keturunan Arab yang menetap di Indonesia sebanyak 1662 atau sekitar 30% dari
jumlah masyarakat Arab yang merantau pada tahun itu.
Para pedagang Muslim akan menghabiskan waktu selama berbulan-bulan di
Nusantara untuk menjual barang dagangannya sampai habis agar mereka bisa
membeli barang dagangan setempat dan membawanya kembali ke negaranya
masing-masing. Selain itu pelayaran yang mereka lakukan untuk kembali ke
negara asalnya juga tergatung pada musim, yang mana jarak antara Indonesia
dengan Jazirah Arab memakan waktu yang lama dan sangat ditentukan oleh
cuaca. Para pedagang Arab meratau ke Indonesia tanpa membawa istri-istri
mereka dan smaoritasnya terdiri dari laki-laki, baik tua ataupun muda. Biasanya
mereka akan menetap secara berkelompok di perkampungan dekat pelabuhan.
Kondisi itulah yang menyebabkan pedangan Arab menikahi perempuan pribumi,
beranak pinak dan tidak kembali lagi ke negara asal mereka. Kalaupun ada yang
kembali ke negara asal, mereka hanya sekedar menjenguk sanak saudara dan
keluarga mereka. Hal inilah yang menunjukkan bahwa hubungan sosial antara
orang-orang Arab dengan penduduk setempat nampak sekali dengan hubungan
perkawinan, bagi golongan bangsawan dan pedagang besar akan sangat bangga
jika mereka dapat mengambil menantu atau ipar dari kalangan Arab terutama dari
Kalangan sayyid. Dari hubungan perkawinan ini banyak di natara orang-orang

7
Wardiah Hamid, “Peran Orang Arab Dalam Pendidikan Keagaman di Kabupaten Maros,”
Jurnal Pusaka, Vol. 5, No. 2 (2017): 258–259.

5
Arab yang kemudian diangkat menjadi penguasa daerah seperti Pontianak,
Demak, Cirebon, dan Mataram. Hal inilah yang membuktikan bahwa mereka
bukan hanya berperan sebagai pedangan, tapi juga melakukan aktifitas sebagai
ulama dan da’i serta memasuki dunia politik dan kerajaan di Nusantara pada saat
itu.8
Contoh aktifitas sebagai ulama dan da’i yaitu strategi yang pernah
dilakukan oleh Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus. Beliau terlebih dahulu
membangun masjid yang kini lebih dikenal dengan nama masjid Luar Batang.
Masjid ini didirikan sekitar abah ke-18 di kota Jakarta. Langkah ini memiliki
peran yang strategis antara lain masjid didirikan sebagai tempat beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT, beri’tikaf, membersihkan diri, tempat untuk
membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman keagamaan sehingga selalu
terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan pribadi, tempat
bermusyawarah kaum muslimin untuk memecahkan persoalan-persoalan di
masyarakat, tempat berkonsultasi, meminta bantuan dan pertolongan, tempat
membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotong royongan dalam mewujudkan
kesejahteraan, tempat pembinaan dan pengembangan kader pemimpin, tempat
kegiatan sosial. Strategi lainnya ialah dengan mempertemukan masyarakat
pribumi sekitar dengan keturunan Arab seperti dalam pelaksanaan salat jumat
dimana pada momen tersebut terjadi interaksi yang cukup intensif oleh keduanya.9

B. Pelapisan Sosial dan Terbentuknya Komunitas Arab


a. Golongan Sada (jamak dari sayyid) yaitu golongan tertinggi dan
terpandang bagi kalangan Arab. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
orng Arab yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Golongan
ini dapat disebut juga Ba’alawi atau Alawi (keturunan Ali bin Abi Thalib).
Diantara fam mereka adalah Alatas, Al-Haddad, Bafagih, Assegaf,
Alaydrus, Bahasyim, Al-Kaff, dan lain-lain.

8
Budi Sulistiono, “Kontribusi Komunitas....., h. 2.”
9
Ibid., h. 3.

6
b. Golongan Qabail, adalah golongan ningrat, karena golongan ini
merupakan penduduk asli Hadramaut yang biasanya memanggul senjata.
Diantara fam mereka adalah Al-Katiri, bin Thalib, bin Mahri, dan Al-
Makarim, dan lain-lain.
c. Golongan as-Syaikh/ Masyayikh adalah golongan yang bergerak di bidang
pendidikan. Diantara fam mereka adalah Al-Bafadhal, Al-Bawazir, Al-
Bajabir, Al-Baqis, Al-Barras, dan lain-lain.
Namun berdasarkan statifikasi sosial, masyarakat Arab hanya terbagi
menjadi dua golongan utama yaitu sayyid dan non sayyid.10

C. Peran dan Kontribusi orang Arab di Indonesia


1. Peran orang Arab di Indonesia
Jasa ulama Arab sangat berperanan penting dalam proses dan
perkembangan Islam di nusantara, hal ini ditandai dengan tersebarnya
majlis ta’lim yang diikuti oleh masyarakat pribumi. Jasa lainnnya adalah
dengan menetapnya orang Arab di Indonesia dan mereka berbaur dengan
masyarakat setempat sehingga melahirkan kebudayaan Indoseia yang
bernafaskan Islami seperti kesenian musik gambus yang mana pada zaman
dahulu dalam setiap acara perkawinan selalu ditampilkan untuk
memeriahkan acara tersebut. Di zaman sekarang, gambus melahirkan
sebuah seni musik yang disebut dengan Marawis, disebut marawis karena
komponen alat musiknya terdiri dari gendang-gendang kecil (Marwas)
yang dipakai dalam seni musik gambus. Seni rebana dan tari Zapin juga
tidak ketinggalan muncul di tengah masyarakat Indonesia.
Budaya Arab lainnya yang biasa digunakan yaitu pemakaina gamis
yang berupa jubah panjang berwarna putih dengan iqal (igal) yang
dikaitkan dikepala yang dignakan saat acara ritual keagamaan, penggunaan
bahasa Arab pasaran yang terlepas dari gramatika bahasa Arab juga
menjadi budaya Arab di Nusantara. Terkadang bahasa Indonesia dalam

10
Elita Galuh Buana, “Peran Hamid Al-Gadri Keturun Arab dalam Dinamika Politik
Kemerdekaan Indonesia 1931-1978,” Skripsi Universitas Negeri Sunan Ampel, 2019, h. 23–25.

7
percakapannya disisipi dengan bahasa Arab seperti kata “ente (kamu) mau
dibikinin qahwah (kopi)”, kata harim ditunjukkan kepada wanita yang
sudah menjadi istri atau yang belum, kata syahi yang berarti teh telah
menjadi bahasa percakapan keseharian yang dipadu-padankan dengan
bahasa Indonesia. Suasana harmonis juga ditunjukkan dalam acara haul.
Haul dapat diartikan dengan makna setahun. Jadi maksudnya peringatan
haul ini ialah suatu peringatan yang diadakan setahun sekali yang
bertepatan dengan wafatnya seseorang ataupun orang yang ditokohkan
oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama.
Peringatan haul ini diadakan dengan tujuan untuk mengenang jasa dan
perjuangan para tokoh tertentu terhadap tanah air, bangsa serta umat dan
kemajuan agama seperti peringatan haul wali songo, para habaib, dan
ulama besar lainnya yang dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus
bangsa. Sampai sekarang, ulama-ulama Arab Hadramaut masih sangat
dihormati. Hal tersebut dikarenakan beberapa sebab. Pertama, karena
keilmuan dan pengetahuan mereka tentang Islam yang hakiki, dan peranan
tersebut sangat penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di
Indonesia. Kedua, karena masyarakat Indonesia menganggap bahwa orang
Arab menyebrakan Islam yang murni karena mereka berasal dari negara
kelahiran Islam yaitu Timur Tengah, dan kebanyakan masyarakat
Indonesia mengatakan mereka lebih menguasai ilmu-ilmu agama dan lebih
mengenal Islam. Walaupun lambat laun masyarakat Indoseia sendiri mulai
menyadari bahwa tidak semua orang Arab menguasai ilmu agama dan
memahami Islam. Bahkan mereka juga menyadari bahwa tidak hanya
orang-orang Arab saja yang mampu menguasai ilmu-ilmu agama dan
memahami Islam, namun mereka juga bisa menguasai dan memahami
Islam. Walaupun demikian, orang Arab yang biasa dikenal dengan sebutan
sayyid dan habaib tetap menempati status sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dengan masyaakat Indonesia yang menguasai ilmu agama.
Ketiga, ada anggapan bahwa habib mempunyai garis keturunan langsung
kepada Nabi Muhammad SAW dari cucunya Husein. Penghormatan

8
masyarakat Indonesia tidak hanya sebatas haul, melainkan dengan
memajang foto-foto habaib dan ulama-ulama di rumah mayarakat
Indonesia. Pola interaksi inilah yang menjadi warisan berharga bagi para
penerusnya. Melalui keteladanan para habaib dan ulama-ulama yang
memberikan dorongan dan inspirasi bagi para generasi penerus hingga
menjadi ulama di lingkungan masyarakat Indonesia.11
2. Kontribusi Orang Arab di Indonesia
a. Dalam keagamaan
Orang Arab di Nusantara telah mendirikan madrasah-madrasah
dan pesantren-pesantren khusus untuk belajar ilmu agama, juga
membangun masjid-masjid sebagai tempat ibadah di berbagi tempat
yang mereka singgahi.

b. Bahasa
Aspek kebahasaan ditularkan melalui surat yang ditulis oleh
seorang ibu di Hadramaut kepada anaknya yang berada di Hindia
Belanda. Contoh kata yang terdapat dalam surat tersebut adalah

‫ الكريتة‬alkaritah (kereta atau mobil), ‫ التمور‬at-timur (timur), ‫الفرنكو‬

alfaranku (prangko), ‫ الفركرات‬alfarkarat (perkara/masalah), ‫كنفون‬

kanfun (kampung), ‫النومر‬ an-numar (nomor), ‫بناكو‬ banaku

(bangku).12
Namun demikian, sebenarnya bahasa Arab sudah dipelajari di
sekolah-sekolah yang non-pemerintahan seperti madrasah, pesantren,
atau lembaga kursus yang sifatnya bukan formal melainkan non
formal. Lambat laun bahasa Arab semakin diminati di berbagai

11
Sulistiono, “Kontribusi Komunitas ....., h. 5-6.”
12
Saifudin Ahmad Husin, “Interpretasi Leksikon Bahasa Melayu Terhadap Bahasa Arab
(Kajian atas Surat-Surat Orang Arab Hadrami di Nusantara Pada Abad ke-19,” Prosiding, 2008, h.
155.

9
kalangan. Tujuan mereka beragam, ada yang tujuan belajar bahasa
Arab untuk mempelajari agama Islam, pendidikan, ekonomi, politik,
dan budaya.13
Salah satu kemudahan yang diperoleh oleh masyarakat
Indonesia saat mempelajari bahasa Arab adalah banyaknya kata
bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti kata
musyawarah, khusus, nikmat, manfaat, paham, tawakkal, dan lain-
lain. Sedangkan perbedaannya hanya terletak pada bunyi pengucapan
yang tentunya berbeda dengan orang Arab.14
c. Politik
Peran orang Arab dalam politik dimulai dengan beridirnya PAI
(Partai Persatuan Arab Indonesia).
d. Sosial
Orang-orang Arab memperkenalkan Islam yang mana agama
Islam mengajarkan toleransi dan persamaan derajat di antara sesama
manusia, sebagaimana kita ketahui ajaran Hindu-Jawa menekankan
perbedaan derajat manusia, sehingga ajaran Islam dapat menarik
perhatian para penduduk Indonesia. Karena hal itulah Islam mudah
diterima dan tersebar di Indonesia dengan damai. Juga dengan
berdirinya organisasi-organisasi Islam yang tidak hanya berfokus pada
pendidikan namun juga pada sosial kemasyarakatan. Di antara
kegiatannya adalah menghimpun dana dalam berbagai kegiatan dan
panitia untuk amal-amal sosial dalam bentuk pembangunan masjid
dan rumah sakit, membentuk panitia palang merah bagi orang-orang
yang tertimpa bencana seperti korban bencana merapi dan korban
bencana perang dunia II, mendirikan rumah-rumah khusus bagi anak
yatim piatu yag tersebar di berbagai daerah di Indoneia.15

13
Sofyan Sauri, “Sejarah Perkembangan Bahasa Arab Dan Lembaga Islam Di Indnesia,”
Insancita, Journal Of Islamic Studies In Indonesia and Southeas Asia, Vol. 5, No. 1, 2020, h. 75.
14
Muhammad Zainuri, “Perkembangan Bahasa Arab Di Indonesia,” Jurnal Tanling, Vol.
2, No. 2, 2019, h. 237.
15
Buana, “Peran Hamid Al-Gadri Keturun Arab dalam Dinamika Politik Kemerdekaan
Indonesia 1931-1978.”

10
e. Pendidikan
1) Jami’at Kheir
Pada zaman penjajahan dahulu, mayoritas rakyat Indonesia
masih buta huruf. Walaupun Sekolah Dasar didirikan dan resmi
dibuka untuk umum, namun hanya sekitar 8% anak yang mendapat
pendidikan. Hal itu dikarenakan banyaknya kalangan Arab dan
Muslim enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda.
Hal ini disebabkan oleh anggapan mereka bahwa dalam sekolah
tersebut tidak mengajarkan tentang keislaman. Dalam situasi itulah,
seorang tokoh alim ulama, habib Abu Bakar bin Ali bin Abu Bakar
bin Umar Shahab berinisiatif mendirikan sebuah perguruan Islam
yang bernama Jamiat Kheir.
Organisasi ini didirikan secara diam-diam pada tahun 1901.
Pada awalnya organisasi ini tidak berfokus pada pendidikan namun
pada lembaga sosial saja. Karena pada masa itu kolonial Belanda
melarang umat Islam mendirikan lembaga pendidikan. Namun
berkat perjuangan keras para tokoh Jamiat Kheir, mereka berhasil
meyakinkan bahwa organisasi ini hanya berfokus pada dunia
pendidikan dan tidak akan menyentuh ranah politik. Karena hal
yang ditakutkan pemerintah kolonial adalah organisasi ini menjadi
wadah penentang pemerintah dan pemicu pemberontakan.
Namun setelah mendapat pengakuan secara hukum dari
pemerintah kolonial Belanda, lembaga ini juga memberikan
penidikan umum, bukan hanya pendidikan agama saja. Keberadaan
Jami’at Khair ini merupakan lembaga yang memulai oganisasi
dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam (disusun anggaran
dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat berkala) dan
mendirikan suatu sekolah dengan modern. Organisasi ini mendapat
pengakuan secara hukum dari pemerintah Belanda pada 17 Juli
1905. Organisasi ini meluas dengan didirikannya Panti Asuhan
Piatu Daarul Aitam di Jakarta bersama sejumlah Alawiyyin (para

11
habaib), mendirikan sekolah untuk putra. Organisasi ini juga
dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam seperti KH. Ahmad
Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (Pendiri
Syarikat Islam), H. Samanhudi (Pendiri tokoh Syarekat Dagang
Islam/SDI), dan H. Agus Salim. Juga beberapa tokoh perintis
kemerdekaan mempunyai hubungan dekat dengan Jami’at Kheir.
Hal tersebut membuktikan bahwa organisasi ini terbuka bagi setiap
Muslim tanpa perbedaan asal usul.pada akhirnya organisasi ini
bergerak dalam bidang keagamaan, sosial dan pendidikan.16
Organisasi ini merupakan wujud dari pengabdian masyarakat
Arab di dunia pendidikan Islam di Nusantara. Institusi pendidikan
Islam di Indonesia sendiri pada awalmya hanya terdiri dari
pesantren, masjid atau surau. Lembaga Jami’at Kheir menjadi
pelopor awal berdirinya lembaga pendidikan Islam modern di
Indonesia. Kerena sebelumnya lembaga pendidikan Islam di
Indonesia sangat erat kaitannya dengan lembaga-lembaga
pendidikan tradisional seperti masjid, surau, dan pesantren. Namun
organiasi ini mampu membangun madrasah dan memberikan warna
baru dalam pendidikan Indoensia. Madrasah ini mempunyai sistem
klasikal. Sistem klasikal merupakan sistem pendidikan yang
menggunakan tingkatan-tingkatan kelas dengan kemampuan murid
yang berbeda-beda, murid akan dikelompokkan dalam kelas yang
berbeda berdasarkan usia. Tidak hanya itu, kurikulum madrasah
pun tidak sepenuhnya menerapkan mata pelajaran Islam layaknya
pada pendidikan Islam tradisional. Namun juga dengan
memadukan mata pelajaran umum seperti ilmu bumi, sejarah, dan
ilmu berhitung. Selanjutnya organisasi ini mengembangkan
sayapnya dengan mendirikan perpustakaan yang memuat banyak
koleksi buku, surat kabar, dan majalah.

16
Sulistiono, “Kontribusi Komunitas Arab di Jakarta Abad 19 dan Awal Abad 20
Masehi.”

12
Organiasai ini didominasi oleh orang Arab golongan sayyid
yang cukup mapan, maka dari itu dalam bidang ekonomi akan
disisihkan untuk mengabdi kepada masyarakat melalui organisasi
yang dipimpin oleh Sayyid Muhammad Al-Fachir bin
Abdurrahman Al-Mahsyur, Sayyid Muhammad bin Abdul bin
Sjihab, Sayyid Idrus bin Ahmad bin Sjihab, dan Sayyid Sjehan bin
Sjihab.17
Organisasi ini berkembang dengan sangat lambat, pada tahun
1915 Jamiat Kheir tetap merupkan organisasi kecil dan hanya
memiliki 1000 orang anggota. Selain itu Jamiat Kheir juga enggan
membuka cabang, sekalipun para alumninya membuka sekolah
namun manajemennya tidak satu atap dengan Jamiat Kheir.18
2) Jam’iyah Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah
Pada tahun 1913 bersama beberapa tokoh Arab non Sayyid,
Syekh Ahmad Surkati mendirikan organisasi baru yang diberi nama
Jam’iyah Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah (Organisasi Arab
untuk Perbaikan dan Pembimbingan) yang lebih dikenal dengan
Al-Irsyad. Organisasi ini didirikan bukan tanpa sebab, yaitu karena
ketidakpuasan Syeikh Manggus dan sahabat-sahabatnya terhadap
Jamiat Kheir yang dianggap kaku dalam menyikapi berbagai
persoalan. Lalu didirikanlah Al-Irsyad sebagai lembaga Islam yang
modern yang menyaingi Jamiat Kheir. Organisasi ini didirikan oleh
orang-orang Arab non sayyid yang dipelopori oleh kapten Arab
Syaikh Umar Manggus bersama beberapa sahabatnya Saleh bin
Ubed Abbad, Saleh bin Salim, Masjhabi, Salim bin Umar Balfas,
Abdullah Harharrah, dan Umar bin Saleh Nahdi. Pendirian lembaga
ini baru diakui oleh pemerintah kolonial Belanda pada 11 Agustus
1915. Al-Irsyad didirikan dengan berfokus untuk mengabdi di
duinia pendidikan Nusantara. Maka dari itu anggaran dasarnya

17
Abdul Wahid Hasyim, Haryono, “Jamiat Kheir dan Al-Irsyad....., h. 5-6.”
18
Ibid., h. 7.

13
yaitu pendidikan akan menjadi agenda utama dalam pergerakan
organisasi ini. Kurikulum Al-Irsyad pun tidak jauh berbeda dengan
kurikulum yang diterapkan Jami’at Kheir dan sistem
pendidikannya terbilang sudah modern. Al-Irsyad juga memadukan
ilmu-ilmu umum dengan ilmu agama.19
Organisasi ini sangat cepat berkembang dan telah mendapat
pengakuan pemerintahan Belanda pada 6 September 1914. Pada
awalnya pusat perhatian Al-Irsyad hanya pada bidang pendidikan
dan memberikan perhatian kalangan masyarakat non Arab saja.
Lambat laun, dengan bekerja sama dengan organisasi Islam lainnya
seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Organisasi ini
memperluas pusat perhatiannya pada permasalahan umum di
Indonesia.
Sejak didirikan, Al-Irsyad telah banyak mengalami
perkembangan dengan berbagai masalah yang dihadapinya baik
secara intern maupun ekstern. Hal ini dapat dlihat hingga saat ini
Al-Irsyad telah memiliki 49 cabang di 20 propinsi yang tersebar di
seluruh Indonesia.
3) Persatuan Arab Indonesia (PAI)
Persatua Arab Indonesia (PAI) didirikan pada tahun 1934
yang diketuai oleh Abdurrahman Baswedan atau yang lebih akrab
dipanggil A.R Baswedan. Fokus utama organisasi ini adalah untuk
memperbaiki keadaan dan keudukan keturunan Arab dan
masyarakat Arab, juga mempererat hubungan antar sesama
keturunan Arab dan etnis lain di Indonesia. Pada tahun 1940
melalui kongres akhirnya PAI berubah menjadi sebuah orgaisasi
yang bersifat politik, kata “Persatuan” dirubah menjadi “Partai”.
Tujuannya adalah untuk menyatakan bahwa PAI akan mendidik
keturunan Arab supaya menjadi putera-puteri Indonesia yang
berbakti kepada Tanah Air dan masyarakat. Bekerja membantu

19
Ibid.,h. 8-9.

14
politik ekonomi dan sosial menuju keselamatan rakyat dan tanah
air di Indonesia.20

Kehadiran sejumlah ormas Islam di atas yang dipelopori oleh komunitas


Arab membuktikan bahwa selain aktifitas perdagangan dan dakwah Islam, banyak
di antara mereka memasuki ranah politik dan menduduki posisi penting di
dalamnya. Keyataan inilah yang mepercepat terjadinya asimilasi dan percepatan
proses dakwah di Indonesia.21

20
Budi Sulistiono, “Kontribusi Komunitas Arab....., h. 10.”
21
Ibid., h. 11.

15
PENUTUP
SIMPULAN
Kedatangan orang Arab ke Indonesia memberikan kontribusi yang sangat
bnayak bagi masyarakat Indonesia. Bukan hanya berdagang, mereka juga
berpencar ke seluruh penjuru negeri ini untuk berdakwah mengajarkan Islam.
Orang-orang Arab yang bermukim di Nusantara sebagian besar berasal dari
Hadramaut, Yaman dan sebagian besar lainnya berasal dari Maskat, tepian Teluk
Persia, Hijaz, Mesir atau dari Pantai Timur Afrika. Mereka datang ke Nusantara
dengan menjadi pedagang perantara, pedagang kecil, pemilik toko, penyedia
barang dan jasa, juga melakukan kegiatan meminjamkan uang yang mana hal
tersebut tidak dilakukan pedagang Eropa pada saat itu. Kontribusinya bagi
masyarakat Indonesia adalah hadirnya kesenian maarawis, rebana, tari Zapin dan
acara haul untuk mengenang jasa-jasa orang terdaulu, dari segi pakaian yaitu
adanya gamis dan iqal yang biasanya dipakai orang Arab.
Kontribusi orang Arab bagi masyarakat Indonesia ada dalam segi agama,
bahasa, politi, sosial, pendidikan yang masih melekat hingga sekarang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid Hasyim, and Pauzan Haryono. “Jamiat Kheir dan Al-Irsyad: Kajian
Komunitas Arab dalam Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad XX di
Jakarta.” Buletin At-Turas 25, no. 2 (2019): 163–76.
Buana, Elita Galuh. “Peran Hamid Al-Gadri Keturun Arab dalam Dinamika
Politik Kemerdekaan Indonesia 1931-1978.” Skripsi Universitas Negeri
Sunan Ampel, 2019, 23–25.
Hamid, Wardiah. “Peran Orang Arab Dalam Pendidikan Keagaman di Kabupaten
Maros.” Jurnal Pusaka 5, no. 2 (2017): 258–59.
https://doi.org/10.31969/pusaka.
Husin, Saifudin Ahmad. “Interpretasi Leksikon Bahasa Melayu Terhadap Bahasa
Arab (Kajian atas Surat-Surat Orang Arab Hadrami di Nusantara Pada
Abad ke-19.” Prosiding, 2008, 155.
Malik, Adam. “Jam’iyyah Al-Irsyad Al-Islamiah (Napak Tilas Sejarah Pergulatan
Identitas Kebangsaan Kaum Hadrami di Indonesia.” Tesis UIN Alauddin,
2019, 1–171.
Mubarak Seff, Faisal. Dinamika Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia dalam
konteks Persainagn Global. Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2019.
Saifullah. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Padang: Pustaka
Pelajar, 2010.
Sauri, Sofyan. “Sejarah Perkembangan Bahasa Arab Dan Lembaga Islam Di
Indnesia.” Insancita, Journal Of Islamic Studies In Indonesia and
Southeas Asia 5, no. 1 (2020): 73–88.
Sulistiono, Budi. “Kontribusi Komunitas Arab di Jakarta Abad 19 dan Awal Abad
20 Masehi.” Seminar Rabithah Alawiyah, 2012, 1–12.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Depok: PT. Raja Grafindo, 2017.
Zainuri, Muhammad. “Perkembangan Bahasa Arab Di Indonesia.” Jurnal Tanling
2, no. 2 (2019): 231–48.

Anda mungkin juga menyukai