Anda di halaman 1dari 67

KATA PENGANTAR

Dengan berjalannya waktu semua bangunan beton akan


mengalami penurunan kekuatan (strength degradation) akibat
adanya interaksi antara bangunan dengan lingkungan korosif yang
ada di sekitarnya. Penurunan kekuatan ini bila dibiarkan saja akan
dapat membahayakan integritas bangunan, yang selanjutnya
dapat membahayakan keselamatan pengguna bangunan.
Pengetahuan mengenai mekanisme dan penyebab kerusakan
bangunan perlu dipahami dengan baik agar pihak perancang
(konsultan perencana) dan kontraktor dapat mengantisipasi hal-
hal yang mungkin terjadi pada bangunan di masa-masa yang akan
datang sejak tahap perancangan dan pembangunan (misalnya
setelah bangunan berfungsi 10 s.d 20 tahun).

Informasi mengenai perkiraan kondisi bangunan sangat


bermanfaat bagi pemilik dan atau pengelola bangunan untuk
menentukan kebijakan yang perlu dilakukan terhadap bangunan
yang dibawah pengelolaannya. Sebagai contoh PT. Pelindo sebagai
pemilik dan pengelola dermaga dan bangunan pantai di berbagai
lokasi di Indonesia, memerlukan informasi yang tepat agar dapat
merencanakan anggaran untuk keperluan biaya perawatan dan
perbaikan bangunan yang dikelolanya. Perawatan bangunan di
lingkungan yang tidak bersahabat diperlukan agar bangunan dapat
berfungsi sesuai dengan umur rencananya, bahkan diharapkan
tetap dapat berfungsi melebihi batas umur rencananya.

Kerusakan bangunan beton pada umumnya disebabkan adanya


interaksi antara bangunan dengan zat-zat yang bersifat korosif
yang berasal dari lingkungan dimana bangunan berada. Bangunan
yang berada di pantai atau di laut pada umumnya tidak bisa
terhindar dari pengaruh korosi yang disebabkan adanya serangan
garam (NaCl) dari air laut. Korosi pada bangunan beton terjadi
akibat adanya reaksi kimia antara besi tulangan dengan unsur
Chlorida (Cl-) yang terdapat pada garam. Reaksi kimia tersebut
akan menyebabkan pengurangan luasan tulangan, yang
selanjutnya akan berakibat turunnya kekuatan bangunan

i
tersebut. Demikian pula bangunan yang berada di lingkungan
asam dan sulfat akan mengalami kondisi yang serupa dengan
bangunan yang berada di lingkungan air laut.

Dengan berjalannya proses industrialisasi di Indonesia, maka


lingkungan yang bersifat korosif dan agresif semakin bertambah
banyak. Adanya polusi udara akibat peningkatan jumlah
kendaraan dan pabrik sering dibarengi dengan terjadinya hujan
yang bersifat asam. Hujan asam ini bersifat merusak bangunan
seperti halnya garam merusak bangunan yang berada di
lingkungan air laut. Demikian pula adanya penggunaan air tanah
yang berlebihan akan menyebabkan intrusi air laut. Intrusi air laut
dapat berpengaruh pada umur bangunan yang sebenarnya berada
jauh dari laut dan tidak direncanakan berada di lingkungan yang
korosif dari sejak awal. Bila tidak dilakukan antisipasi (do-nothing),
kerusakan bangunan akan berjalan terus dan akan semakin
meningkat daya rusaknya bila dibiarkan saja.

Korosi pada beton sulit untuk diketahui secara dini hingga


ditemukan adanya bercak-bercak kuning dan coklat (stain) dan
retak (cracking) pada permukaan beton. Sebenarnya bila pada
saat kerusakan awal terjadi segera dilakukan tindakan (intervensi)
oleh pemilik bangunan dengan mengadakan perawatan maka
biaya yang dibutuhkan tidak akan terlalu banyak. Namun karena
kurangnya pemahaman atas proses kerusakan yang terjadi maka
kerusakan awal pada umumnya kurang mendapat perhatian dan
cenderung diabaikan. Akibatnya kerusakan semakin bertambah
dan meluas sehingga pada saat dilakukan tindakan, biaya yang
dibutuhkan menjadi sangat besar.

Dari berbagai data yang diperoleh dari literatur, biaya yang


ditanggung oleh pemilik bangunan untuk kebutuhan merawat dan
memperkuat bangunan yang telah berumur cukup besar. Di
negara-negara Industri, biaya tahunan yang dikeluarkan akibat
adanya korosi mencapai 3-4% dari Gross National Product
(Schmitt, 2009 ). Biaya perawatan dan perkuatan akan meningkat
dengan usia saat pekerjaan perawatan atau perkuatan dilakukan.

ii
Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala pada
bangunan untuk memastikan kondisi “kesehatan” dari bangunan.

Buku kecil ini disusun dengan urutan sebagai berikut:

1. Bab 1 menggambarkan proses inisiasi korosi pada bangunan


beton di lingkungan air laut.
2. Bab 2 menjelaskan proses propagasi korosi pada bangunan
beton di lingkungan air laut.
3. Bab 3 menerangkan proses retak yang terjadi pada bangunan
akibat adanya proses korosi.

Agar buku ini mudah dipahami dan dapat dijadikan acuan untuk
keperluan yang bersifat praktis maka pada Bab 2 dan 3 diberikan
contoh perhitungan.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................vii
BAB 1. PROSES INISIASI KOROSI BANGUNAN BETON DI LINGKUNGAN AIR
LAUT .................................................................................................. 1
1.1. Pendahuluan ..................................................................................... 1
1.2. Penyebab Korosi Pada Beton Bertulang ........................................... 4
1.3. Pemodelan Korosi Pada Struktur Beton ........................................... 4
1.4. Inisiasi Korosi..................................................................................... 6
1.3.1. Kadar chlorida di permukaan beton (Co)...................................... 8
1.3.2. Kadar chlorida kritis (Cth)............................................................ 11
1.3.3. Koefisien Difusi Beton (D) .......................................................... 12
1.3.4. Tebal Selimut Beton (dc)............................................................. 15
BAB 2. ROPAGASI KOROSI BANGUNAN BETON DI LINGKUNGAN AIR LAUT
……………………………………………………………………………………………….17
2.1. Pendahuluan ................................................................................... 17
2.2. Propagasi Korosi.............................................................................. 17
2.3. Kecepatan Korosi (icorr) .................................................................... 21
2.4. Aplikasi Perhitungan Pengaruh Korosi Terhadap Kapasitas Lentur
Balok................................................................................................ 25
BAB 3. RETAK AKIBAT KOROSI................................................................. 32
3.1. Pendahuluan ................................................................................... 32
3.2. Penampilan Bangunan Beton akibat Korosi.................................... 35

iv
3.3. Retak akibat Korosi ......................................................................... 36
3.4. Aplikasi Perhitungan Retak akibat Korosi ....................................... 44
DAFTAR NOTASI ...................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 53
INDEKS..................................................................................................... 56

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1-1: Berbagai nilai kadar kritis chlorida (Stewart and Faber,
2003).......................................................................................12
Tabel 2-1: Klasifikasi kecepatan korosi .........................................24
Tabel 2-2: Mn untuk umur beton s.d 50 tahun .............................29

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1: Keruntuhan akibat korosi pada The Saint Stefano


Bridge in Sicily, Italy (Proverbio and Ricciardi, 2000). ..............2
Gambar 1.2: Keruntuhan akibat korosi pada Pedestrian Bridge at
Lowe’s Motor Speedway in North Carolina (CNN, 2000). ........3
Gambar 1.3: Jembatan Wai Batu Gantong Ambon, umur 41 tahun
(Roberth, 2011).........................................................................3
Gambar 1.4: Proses masuknya Chlorida pada beton bertulang (FIP,
1996).........................................................................................5
Gambar 1.5: Penurunan kapasitas penampang struktur beton
bertulang akibat korosi (Vu and Stewart, 2000). .....................6
Gambar 1.6: Hubungan antara kadar chlorida di permukaan beton
Co dan jarak dari laut. ...............................................................9
Gambar 1.7: Core-drill untuk pengambilan benda uji silinder. .....10
Gambar 1.8: Hasil uji kadar chlorida pada beton. .........................11
Gambar 1.9: Koefisien difusi D untuk berbagai mutu beton f c’.....14
Gambar 1.10: Alat uji ketebalan selimut beton (Covermeter). .....15
Gambar 1.11: Pengaruh tebal selimut beton terhadap waktu
inisiasi korosi (Ti).....................................................................16
Gambar 2.1: Proses korosi pada beton bertulang. ........................18
Gambar 2.2: Model Korosi Seragam (Uniform Corrosion). ...........19
Gambar 2.3: Model Korosi Setempat (Pitting Corrosion)..............19
Gambar 2.4: Pengurangan diameter tulangan akibat korosi
seragam. .................................................................................20
Gambar 2.5: Pengukuran kecepatan korosi memakai alat (Millard).
................................................................................................22
Gambar 2.6: Pengaruh tebal cover dan w/c rasio pada kecepatan
korosi untuk suhu 30oC...........................................................24
Gambar 2.7: Balok dan beban yang bekerja..................................25
Gambar 2.8: Detail penulangan balok. ..........................................26
Gambar 2.9: Mn untuk umur 0 s.d 50 tahun. .................................30

vii
Gambar 3.1: Retak akibat korosi....................................................33
Gambar 3.2: Perkembangan retak akibat korosi ...........................34
Gambar 3.3: Bercak akibat korosi pada struktur dermaga............35
Gambar 3.4: Bercak akibat korosi pada struktur tangga
(http://www.nachi.org/visual-inspection-concrete.htm,
2006).......................................................................................36
Gambar 3.5: Proses terjadinya retak akibat korosi .......................36
Gambar 3.6: Proses terjadinya retak akibat korosi (Vu, 2003)......37
Gambar 3.7: Waktu inisiasi retak (Tcr-i) untuk berbagai kecepatan
korosi dan tebal selimut beton...............................................40
Gambar 3.8: Waktu inisiasi dan propagasi retak (Vu dkk, 2005)...41
Gambar 3.9: Waktu propagasi retak untuk lebar retak maksimum
................................................................................................43
Gambar 3.10: Waktu propagasi retak untuk lebar retak maksimum
1.0 mm....................................................................................44
Gambar 3.11: Waktu inisiasi korosi dan waktu retak untuk lebar
retak maksimum 0.5 dan 1.0 mm...........................................49

viii
BAB 1. PROSES INISIASI KOROSI BANGUNAN BETON DI
LINGKUNGAN AIR LAUT

1.1. Pendahuluan
Pada bab ini akan dijelaskan proses terjadinya korosi pada
bangunan beton di lingkungan air laut. Pemahaman yang benar
atas proses ini diperlukan agar para pemangku kepentingan
(stake holder) seperti pemilik, perancang dan pelaksana,
mempunyai sikap yang benar dalam menentukan kebijakan
dan tindakan yang diperlukan. Adanya sikap meremehkan dan
tidak perduli (ignorance) atas proses terjadinya kerusakan pada
bangunan umumnya disebabkan ketidak-pahaman atas proses
yang dihadapinya. Hal ini diperburuk lagi bila tidak ada
komitmen moral pada para pemangku kepentingan yang
terlibat dalam proyek untuk melaksanakan proyek sesuai
dengan spesifikasi dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan


mempunyai garis pantai terpanjang keempat di dunia. Oleh
sebab itu kemungkinan terjadinya kerusakan bangunan beton
di Indonesia akibat serangan air laut cukup besar, khususnya
untuk bangunan pantai dan bangunan laut. Proses kerusakan
bangunan beton pada umumnya ditandai dengan urutan
kejadian sebagai berikut :

a) Timbul bercak-bercak coklat dan kuning pada


permukaan beton (stainning)
b) Terjadi retak (cracking) pada permukaan beton
c) Retak terus bertambah dalam jumlah dan pada saat
bersamaan retak yang telah ada akan bertambah
panjang dan semakin lebar (crack growth in length and
width)
d) Retak yang berdekatan akan mengakibatkan
pengelupasan beton (spalling) dan delamination.

1
e) Dengan terkelupasnya beton, besi tulangan akan
terbuka dan tanpa pelindung dari zat-zat yang bersifat
korosif
f) Besi tulangan yang terkorosi selanjutnya akan
mengalami proses pengurangan luasan. Luas tulangan
yang berkurang akan mengakibatkan penurunan
kekuatan penampang beton. Lekatan antara baja dan
beton juga akan berkurang akibat korosi. Bila proses ini
dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan
mengakibatkan kegagalan elemen struktur dalam
memikul beban
g) Kegagalan beberapa elemen struktur selanjutnya dapat
mengakibatkan fungsi bangunan terganggu, bahkan
tidak berfungsi sama sekali (misal dermaga tidak bisa
dipakai untuk proses bongkar muat, jembatan tidak bisa
dilewati)
h) Pada kasus tertentu kegagalan satu atau beberapa
elemen dapat menjadi penyebab terjadinya kegagalan
struktur secara keseluruhan (total collapse), seperti
terjadi pada struktur jembatan beton pratekan (lihat
Gambar 0.1 dan Gambar 0.2.

Gambar 0.1: Keruntuhan akibat korosi pada The Saint Stefano Bridge
in Sicily, Italy (Proverbio and Ricciardi, 2000).

2
Gambar 0.2: Keruntuhan akibat korosi pada Pedestrian Bridge at
Lowe’s Motor Speedway in North Carolina (CNN, 2000).

Pada umumnya orang menganggap bahwa terjadinya bercak-


bercak coklat pada permukaan beton merupakan “tahap
permulaan” proses kerusakan pada bangunan. Padahal
munculnya bercak ini merupakan tanda bahwa proses korosi
sudah berlangsung cukup lama. Bercak-bercak yang timbul
adalah akibat adanya karat (rust) yang keluar dari dalam beton
akibat proses korosi pada tulangan. Gambar 0.3 menunjukkan
bercak-bercak coklat akibat proses korosi pada struktur
jembatan.

Gambar 0.3: Jembatan Wai Batu Gantong Ambon, umur 41 tahun


(Roberth, 2011).

3
1.2. Penyebab Korosi Pada Beton Bertulang
Korosi pada baja tulangan bisa terlihat bila baja tulangan
dibiarkan di udara terbuka atau terendam di dalam air. Pada
kondisi ini kecepatan korosi yang terjadi relatif sangat rendah.
Bila baja tulangan diletakkan di tempat yang terpengaruh
proses siklus basah dan kering, maka baja akan mengalami
korosi dengan kecepatan yang lebih tinggi. Demikian pula bila
baja terletak pada lingkungan yang korosif (misalnya
lingkungan garam atau asam) maka kecepatan korosinya akan
meningkat. Bila baja tulangan ditanam didalam beton maka
kemungkinan terjadinya korosi seyogyanya akan berkurang.
Akan tetapi pada kenyataannya korosi baja tulangan pada
beton bertulang tidak dapat dihindarkan sama sekali. Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab awal terjadinya korosi
pada beton bertulang di lingkungan korosif, yaitu

a) Tebal selimut beton kurang dari ketebalan minimum


yang disyaratkan
b) Campuran beton tidak memenuhi persyaratan (antara
lain faktor air semen maksimum, kadar semen
minimum, mutu beton minimum)
c) Pemadatan dan perawatan beton tidak maksimal
d) Kualitas tenaga kerja masih rendah, terutama untuk
pelaksana dan pengawas lapangan

1.3. Pemodelan Korosi Pada Struktur Beton


Selimut beton (concrete cover) berfungsi untuk memberikan
perlindungan pada baja tulangan terhadap bahaya korosi.
Selimut beton dengan ketebalan yang cukup, kualitas yang baik
dan padat merupakan pelindung fisik tulangan (dinding
pembatas) terhadap serangan langsung garam. Sedangkan
kondisi beton yang bersifat alkalin tinggi (pH> 13.0) merupakan
pelindung yang bersifat kimiawi dari baja tulangan terhadap
zat-zat yang korosif. Kondisi alkalin (basa) akan menyebabkan
terbentuknya lapisan pelindung pasif pada permukaan baja

4
tulangan. Korosi hanya akan terjadi bila lapisan pelindung ini
rusak dan tersedia air dan oksigen dalam jumlah yang cukup
pada permukaan logam. Lapisan ini akan rusak bila ada ion
chlorida dalam jumlah yang cukup banyak pada permukaan
baja tulangan.

Proses korosi baja tulangan pada struktur beton dapat


dibedakan menjadi 2 (dua) tahapan, yaitu

a) Inisiasi korosi (corrotion initiation)


b) Propagasi korosi (corrotion propagation)

Proses inisiasi korosi diawali dengan masuknya unsur chlorida


(Cl-) kedalam beton melalui berbagai mekanisme (antara lain
permeasi, difusi, absorpsi, isapan/aksi kapiler) dan mencapai
posisi dimana baja tulangan berada. Dengan berjalannya
waktu, konsentrasi chlorida pada baja tulangan akan semakin
bertambah, hingga mencapai nilai konsentrasi kritis yang
diperlukan untuk merusak lapisan pelindung pasif pada
permukaan baja tulangan. Bila tersedia oksigen (O2) dan air
(H2O) pada permukaan logam dalam jumlah yang cukup maka
akan terjadi proses korosi. Proses ini disajikan pada Gambar
0.4.

Gambar 0.4: Proses masuknya Chlorida pada beton bertulang (FIP,


1996).

5
Waktu yang diperlukan hingga terjadi permulaan proses korosi
pada besi tulangan disebut waktu inisiasi korosi. Tahap
selanjutnya dari proses korosi adalah proses pengurangan luas
penampang tulangan akibat proses korosi. Tahap ini disebut
propagasi korosi. Pada tahap ini mulai terjadi penurunan
kapasitas penampang struktur beton bertulang. Secara
skematis kedua tahap korosi dapat diterangkan pada Gambar
0.5 sebagai berikut:

Gambar 0.5: Penurunan kapasitas penampang struktur beton


bertulang akibat korosi (Vu and Stewart, 2000).

1.4. Inisiasi Korosi


Mekanisme inisiasi korosi yang sesungguhnya cukup rumit dan
tidak mudah untuk dirumuskan. Pada saat ini pendekatan yang
banyak dipakai oleh para ahli korosi untuk menjelaskan
mekanisme inisiasi korosi adalah pendekatan empiris
berdasarkan hukum Fick kedua. Hukum ini menggunakan
proses difusi sebagai dasar perumusannya dan menggunakan
anggapan-anggapan sebagai berikut:

a) Beton material yang seragam (homogen)


b) Beton dalam keadaan jenuh air
c) Permukaan dianggap semi-tak terhingga
d) Koefisien difusi dianggap tetap
e) Pengaruh retak tidak diperhitungkan

6
Meskipun anggapan-anggapan diatas berbeda dengan kondisi
beton yang sesungguhnya, pendekatan memakai cara ini
banyak dipilih karena mudah dalam pemakaiannya dan
menghasilkan nilai yang paling mendekati (best fit) dengan
data di lapangan. Waktu inisiasi korosi (Ti) dapat diperkirakan
dengan persamaan sebagai berikut:

dc 2
Ti (C o , C th ,D, dc )  2
  C  (0-1)
4Derf 1  1  th 
  C o 

dimana

Co = kadar garam pada permukaan beton


Cth = kadar garam kritis pada permukaan besi tulangan
yang diperlukan agar korosi terjadi
D = koefisien difusi beton
dc = tebal selimut beton (concrete cover atau dekking)
erf = fungsi kesalahan (the error function).

Peneliti lainnya (Zhang and Lounis, 2006) membuat


pendekatan untuk menyelesaikan persamaan (0-1) dengan
memakai fungsi polinomial pangkat dua belas sebagai berikut:

i
d 2 12  C 
Ti (C o , C th ,D, dc )  c  A i  th  (0-2)
4D i0  C o 

dimana Ai adalah koefisien polinomial fungsi pangkat dua belas


tersebut diatas dengan A0=1.78, A1=-7.59E+1, A2=1.85E+3, A3=-
2.4E+4, A4=1.95E+5, A5=-1.04E+6, A6=3.87E+6, A7=-9.9E+6,
A8=1.75E+7, A9=-2.11E+7, A10=1.66E+7, A11=-7.45E+6,
A12=1.5E+6.
7
Dari persamaan (0-1) atau (0-2) maka ada empat variabel yang
menentukan besarnya waktu korosi inisiasi Ti, yaitu

a) Kadar chlorida di permukaan beton (Co)


b) Kadar chlorida kritis pada tulangan (Cth)
c) Koefisien difusi beton (D)
d) Tebal selimut beton (dc)

Perlu diketahui bahwa keempat variabel diatas tidak tersedia


dengan mudah dan bersifat setempat (site specific) dan
mempunyai variasi yang cukup besar. Hanya variabel tebal
selimut yang tersedia sejak tahap disain, meskipun nilai
sebenarnya tebal selimut di lapangan akan berbeda dengan
nilai pada tahap disain. Namun demikian sudah ada beberapa
penelitian yang telah dilakukan untuk mendapatkan nilai dari
ketiga variabel diatas secara empiris.

1.3.1. Kadar chlorida di permukaan beton (Co)


Selanjutnya, (Mc Gee, 1999) telah melakukan uji lapangan
terhadap 1158 jembatan di Tasmania Australia untuk
mendapatkan perumusan kadar chlorida di permukaan beton
(Co) sebagai fungsi jarak dari pantai (d dalam km) sebagai
berikut:

Co (d) = 3.05 kg/m3 d < 0.1 km

Co (d) = 1.24-1.81 log (d) 0.1 km < d < 2.84 km


(0-3)
Co (d) = 0.42 kg/m3 d > 2.84 km

Hasil perhitungan Co (d) memakai persamaan (0-3) disajikan


pada Gambar 0.6.

8
3.5

3.0

2.5

3
C (kg/m )
o 2.0

1.5

1.0

0.5

0.0
0.0 0.50 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0

jarak dari laut (km)

Gambar 0.6: Hubungan antara kadar chlorida di permukaan beton Co


dan jarak dari laut.

Gambar 0.6 menunjukkan bahwa makin dekat jarak bangunan


dari pantai, makin tinggi nilai kadar chlorida di permukaan
betonnya (Co). Ini berarti untuk bangunan yang jaraknya dekat
dengan pantai maka makin pendek waktu inisiasi korosi dan
sebaliknya untuk bangunan yang araknya jauh dari pantai maka
makin panjang pula waktu inisiasi korosinya.

Kadar chlorida di permukaan dan di dalam beton dapat juga


ditentukan dengan melakukan tes kimia pada benda uji beton
yang diambil di lapangan. Benda uji ini biasanya diambil
dengan melakukan core-drill di lokasi yang ingin diketahui
kadar chloridanya, lihat Gambar 0.7. Benda uji yang berupa
silinder kemudian diuji di Laboratorium untuk mendapatkan
kadar chlorida pada kedalaman yang diinginkan. Contoh hasil
pengujian kadar chlorida yang dilakukan oleh Laboratorium Uji
Material Program Diploma Teknik Sipil ITS disajikan pada
Gambar 0.8.

9
Gambar 0.7: Core-drill untuk pengambilan benda uji silinder.

10
Kadar Cl ( % )

0.20

C1
C3
0.15 C6
C9
C11
C15

0.10

0.05

0.00
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0

Kedalaman (cm)

Gambar 0.8: Hasil uji kadar chlorida pada beton.

1.3.2. Kadar chlorida kritis (Cth)


Nilai kadar chlorida kritis (Cth) pada besi tulangan agar terjadi
korosi dapat dilihat pada Tabel 0-1. Tabel tersebut merupakan
hasil kajian dari beberapa penelitian (Stewart and Faber, 2003).
Kajian tersebut menunjukkan bahwa nilai Co yang diusulkan
oleh peneliti pertama (Val and Stewart, 2001) dan keempat
(Faber and Rostam, 2001) mendekati satu dengan yang lain.
Perlu diperhatikan bahwa nilai Co pada Tabel tersebut
didapatkan dari penelitian di luar Indonesia yang mempunyai
kondisi yang berbeda dengan kondisi di Indonesia. Dengan
demikian penggunaan nilai-nilai tersebut untuk kondisi disini
tidak bisa dilakukan secara langsung dan perlu diteliti lebih
lanjut kesahihannya.

11
Tabel 0-1: Berbagai nilai kadar kritis chlorida (Stewart and Faber,
2003)

Nilai Rata-rata COV


3
(Koefisien Distribusi Sumber
(kg/m )
Variasi)
a
3.35 0.375 Normal (Val and Stewart, 2001)

Uniform (Stewart and Rosowsky,


0.9 0.19
[0.6-1.2] 1998)

(Thoft-Christensen et al.,
1.4 0.125 Normal
1997)

3.6 0.33 Normal (Faber and Rostam, 2001)

3.4 0.59 Lognormal (Karlsson, 1995 )

1.2 - Deterministik (Mc Gee, 1999)

0.83 - Deterministik (Frangopol et al., 1997))

(Middleton and Hogg,


2.4 - -
1998)
a 3
dipotong pada 0.35 kg/m

1.3.3. Koefisien Difusi Beton (D)


Kecepatan masuknya zat-zat korosif tergantung pada nilai
koefisien difusi beton (D). Makin baik kualitas beton maka
makin rendah nilai koefisien difusi betonnya dan makin kecil
kecepatan masuknya zat-zat korosif dalam beton. Koefisien ini
dapat diperkirakan dengan memakai perumusan yang
diusulkan oleh (Papadakis et al., 1996) sebagai
3
w  w 
1  c   c  0.85  2
c  c  D Cl ,H2O (m /s)
D  0.15
w  a w 
(0-4)
1   c  c  1   c 
c a c  c 

12
dimana

c = kepadatan massa dari semen


a = kepadatan massa dari agregat
w/c = water-cement rasio (dalam satuan berat)
a/c = aggregate-cement rasio (dalam satuan berat)
DCl,H2O = koefisien difusi chlorida larutan tak hingga
(1.6x10-9 m2/s).

Nilai w/c rasio dapat ditentukan dengan memakai rumus


Bolomey sebagai berikut :

27
w /c  ' (0-5)
f  13.5
cyl

f 'cyl  fc'  7.5 (0-6)

dimana f’c adalah kuat tekan beton karakteristik dan f’cyl adalah
kuat tekan beton benda uji silinder, keduanya dalam satuan
MPa. Nilai a/c rasio selanjutnya dapat ditentukan dari

a/c = s/c + g/c (0-7)

dimana

s / c  6.703( w / c)  0.984 (0-8)

dan

g / c  6.364( w / c)  0.258 (0-9)

dimana s/c dan g/c adalah sand-cement ratio dan gravel-


cement rasio. Persamaan (0-7) s.d (0-9) diperoleh dari
penelitian yang dilakukan oleh (Stewart, 1996).

13
Sebagai alternatif persamaan (0-4) dapat dipakai perumusan
lain yang jauh lebih sederhana (Stewart and Rosowsky, 1998)
untuk menghitung koefisien difusi beton (D) sebagai

D  10 10 (4.66 w / c) (0-10)

dimana w/c dapat ditentukan dengan persamaan (0-5).

Hasil perhitungan koefisien difusi (cm2/s) dengan memakai


persamaan (0-10) untuk berbagai mutu beton disajikan pada
Gambar 0.9. Gambar ini menunjukkan makin tinggi mutu beton
makin rendah nilai koefisien difusinya.

-11
1.2 10

-11
1 10
D (Koefisien Difusi) m /s
2

-12
8 10

-12
6 10

-12
4 10

-12
2 10

0
15 20 25 30 35 40 45 50
'
f (MPa)
c

Gambar 0.9: Koefisien difusi D untuk berbagai mutu beton fc’.

14
1.3.4. Tebal Selimut Beton (dc)
Tebal selimut beton (dc) yang tercapai di lapangan pada
persamaan (2) dapat ditentukan dengan memakai alat
covermeter seperti terlihat pada Gambar 0.10.

Gambar 0.10: Alat uji ketebalan selimut beton (Covermeter).

Untuk ketebalan selimut beton antara 10 s.d 70 mm, Co=3.5


kg/m3, D=10-11 m2/detik (fc’  22 MPa) dan Cth = 1.2 kg/m3 maka
dengan memakai persamaan (0-2) didapatkan waktu inisiasi
korosi Ti seperti disajikan pada Gambar 0.11. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa dengan ketebalan selimut beton sekitar
40 mm akan didapatkan perlindungan dari korosi sekitar 60
tahun. Sebaliknya bila ketebalan beton hanya sebesar 20 mm,
maka perlindungan korosi hanya berkisar sekitar 15 tahun.

15
200

Waktu Inisiasi Korosi T (Tahun)


150

i
100

50

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Tebal Selimut Beton (mm)

Gambar 0.11: Pengaruh tebal selimut beton terhadap waktu inisiasi


korosi (Ti).

16
BAB 2. ROPAGASI KOROSI BANGUNAN BETON DI
LINGKUNGAN AIR LAUT

2.1. Pendahuluan
Pada bab 1 telah diuraikan tahap pertama korosi, yaitu inisiasi
korosi. Setelah tahap inisiasi korosi, maka proses korosi
memasuki tahap kedua korosi, yaitu propagasi korosi. Pada
tahap ini mulai terjadi pengurangan luasan tulangan akibat
proses korosi. Pengurangan tulangan pada gilirannya akan
mengakibatkan penurunan kekuatan penampang balok yang
mengalami korosi. Pada bagian ini akan diuraikan proses
terjadinya pengurangan luasan dan efeknya pada kekuatan
penampang akibat lentur.

2.2. Propagasi Korosi


Pada saat chlorida yang masuk dalam beton mencapai
tulangan dan dengan waktu chlorida bertambah banyak hingga
mencapai kadar batas kritis (Cth) yang diperlukan untuk
merusak perlindungan pasif pada tulangan maka pada kondisi
ini korosi mulai terjadi. Korosi merupakan kombinasi proses
kimia dan listrik yang melibatkan aliran ion dan elektron.
Proses ini merupakan gabungan 2 (dua) proses turunan yang
seimbang, yaitu reaksi anodik dan katodik. Kedua proses ini
hanya bisa terjadi bila ada larutan penghantar (elektrolit) yang
berupa cairan pori. Pada bagian yang mengalami reaksi anodik,
logam akan mengalami korosi dan melepaskan elektron dan
elektron ini akan ditangkap oleh logam yang mengalami reaksi
katodik, lihat Gambar 2.1. Pada tahap ini, kehilangan luasan
tulangan sudah mulai terjadi pada bagian anoda. Sebagai
akibatnya kapasitas penampang juga mulai mengalami
penurunan kapasitas.

17
Gambar 0.1: Proses korosi pada beton bertulang.

Reaksi kimia yang terjadi saat korosi dapat dijelaskan sebagai


berikut:

Anoda: 2Fe → 2 Fe2+ + 4e-


(0-1)

Katoda: O2 + H2O+ 4e-→ 4OH-


(0-2)

Ada 2 (dua) tipe korosi yang dijadikan dasar untuk penentuan


pengaruh korosi pada struktur beton yaitu

a) Korosi seragam (uniform corrosion)


b) Korosi setempat (pitting corrosion)

Perbedaan korosi seragam dan setempat dapat dilihat pada


Gambar 0.2 dan Gambar 0.3. Pada korosi seragam kehilangan
luasan permukaan tulangan dianggap terjadi secara merata,
sementara pada korosi setempat kehilangan luasan terpusat
pada satu titik tertentu. Model korosi setempat disajikan pada
Gambar 0.2 (Val and Melchers, 1997). Meskipun pada
umumnya korosi akibat serangan garam berupa korosi
setempat, untuk perhitungan penurunan kapasitas penampang
beton lebih banyak dipakai anggapan korosi seragam. Hal ini
disebabkan perhitungan korosi seragam lebih mudah dilakukan

18
dibanding korosi setempat dan juga menghasilkan perkiraan
kapasitas penampang yang lebih aman (konservatif).

Gambar 0.2: Model Korosi Seragam (Uniform Corrosion).

Gambar 0.3: Model Korosi Setempat (Pitting Corrosion).

Bila korosi seragam yang dipakai, maka pengurangan diameter


tulangan ΔD, pengurangan luas penampang ΔA untuk
kecepatan korosi icorr (μA/cm2) dan lama korosi To (tahun)
dihitung setelah inisiasi korosi Ti dapat ditentukan dari
perumusan sbb:

D(To )  0.0232  icorr To


(0-3)


A(To )  Do  0.0232 icorr To 2 (0-4)
4

dimana Do adalah diameter (mm) sebelum ada korosi, lihat


Gambar 0.4. Bila A(To) dapat ditentukan maka kapasitas
penampang terhadap lentur atau geser pada saat To dapat
dihitung. Kecepatan korosi sebesar 1 μA/cm2 adalah kecepatan

19
korosi yang menyebabkan kehilangan permukaan logam
sedalam 11.6 μm/tahun secara seragam.

ΔD(To)/2

ΔD(To)/2 Do

Gambar 0.4: Pengurangan diameter tulangan akibat korosi seragam.

Sebagai contoh kapasitas lentur (Mn) balok bertulangan


tunggal pada saat To dapat diperkirakan dengan perumusan
sederhana sbb:

Mn (To )  A(To )  fy  0.8  h


(0-5)

dimana

Mn(To) = kapasitas lentur pada saat To yang dihitung setelah


inisiasi korosi
fy = tegangan leleh baja tulangan
h = tinggi penampang

Bila diinginkan hasil yang lebih akurat untuk perhitungan


kapasitas lentur (Mn) maka dapat dipakai perumusan lain yang
lebih lengkap, misalnya dengan memperhitungkan pengaruh
tulangan tekan. Namun untuk keperluan perhitungan pada
buku ini, sengaja dipakai cara pendekatan agar pembaca dapat
memahami penurunan kekuatan akibat korosi dengan lebih
mudah dan cepat.

20
2.3. Kecepatan Korosi (icorr)
Dari persamaan (0-3) diperlukan nilai kecepatan korosi icorr
untuk menentukan besarnya pengurangan diameter tulangan
akibat korosi. Riset yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti
(Broomfield, 1997) dan (A. Bentur et al., 1997) menunjukkan
bahwa tahanan listrik beton, ketersedian oksigen di permukaan
logam, faktor air-semen, tebal selimut beton, kadar garam dan
temperatur berpengaruh pada kecepatan korosi. Untuk
keperluan praktis, kecepatan korosi dapat diperkirakan dengan
2 (dua) pendekatan, yaitu

a) Pengukuran di lapangan
b) Perumusan empiris

Pengukuran korosi di lapangan dilakukan dengan memakai alat


yang diproduksi oleh Geocisa Gecor (lihat Gambar 0.5). Alat ini
bekerja berdasarkan teknik polarisasi linier (Linear Polarization
Resitance Method/LPRM), dimana perubahan kecil arus pada
logam yang mengalami korosi di larutan ion akan
menyebabkan perubahan potensial dari logam tersebut.
Meskipun metoda LPRM sudah banyak dipakai, metoda ini
sebaiknya divalidasi dengan cara pengukuran kehilangan berat
(Weight Loss Method) tulangan dari contoh tulangan yang
diambil di area yang mengalami korosi (ASTM-G1-90, 1999).
Pengambilan tulangan untuk penentuan kecepatan korosi
perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengganggu
integritas struktur secara berlebihan.

21
Gambar 0.5: Pengukuran kecepatan korosi memakai alat (Millard).

Kecepatan korosi dapat diperkirakan dengan memakai


perumusan empiris dari (Vu and Stewart, 2000) sebagai
berikut:

27.01  w / c 1.64
icorr  μA/cm2
dc (0-6)

dimana icorr adalah kecepatan korosi, w/c adalah faktor air-


semen dan dc adalah tebal selimut beton dalam mm.
Perumusan (0-6) diturunkan untuk kondisi lingkungan dengan
tingkat kelembaban sekitar 80% dan suhu 20 oC. Untuk
Indonesia dengan suhu rata-rata mendekati 30oC, penggunaan
rumus diatas perlu penyesuaian agar menghasilkan prediksi
kecepatan korosi yang lebih tepat. Seperti diketahui kecepatan
korosi meningkat dengan bertambahnya suhu lingkungan
dimana beton berada. (DuraCrete, 2000) memberikan
perumusan untuk memperhitungkan pengaruh suhu dengan
perumusan sbb:

22
icorr (t) = icorr−20 [1 + 0.073(t − 20)]
(0-7)

dimana

icorr (t) = kecepatan korosi pada suhu t > 20oC


icorr−20 = kecepatan korosi pada suhu 20oC
t = suhu dimana kecepatan korosi diperhitungkan (oC)

Dengan memakai persamaan (0-7) diperoleh kecepatan korosi


pada suhu 30oC sebesar 1.73 kali kecepatan korosi pada suhu
20oC (kecepatan korosi meningkat sebesar 73%).

Hasil perhitungan korosi pada suhu 30oC untuk berbagai nilai


faktor air-semen dan tebal selimut beton dengan memakai
persamaan (14) dan (15) disajikan pada Gambar 0.6. Gambar
tersebut menunjukkan pentingnya spesifikasi w/c rasio
maksimum dan tebal selimut beton minimum agar beton
mempunyai ketahanan yang cukup terhadap korosi. Nilai w/c
rasio berhubungan dengan sifat kekedapan air beton. Makin
kecil w/c rasio maka beton makin kedap air asalkan pemadatan
beton juga dilakukan dengan baik.

23
5.0
w/c = 0.6
4.0 w/c = 0.5

2
w/c = 0.4

(1) in A/cm
3.0
w/c = 0.3

corr 2.0
i

1.0

0.0
20 40 60 80 100 120 140
cover (mm)

Gambar 0.6: Pengaruh tebal cover dan w/c rasio pada kecepatan
korosi untuk suhu 30oC.

Tabel 0-1 menunjukkan klasifikasi kecepatan korosi menurut


tiga versi yang berbeda. Klasifikasi berdasarkan peneliti kedua
(BRITE/EURAM, 1995) dan ketiga (Middleton and Hogg, 1998)
mempunyai kesamaan satu dengan yang lainnya. Sedangkan
klasifikasi korosi tinggi dari peneliti pertama (Dhir et al., 1994)
sangat berbeda bila dibandingkan dengan kedua versi yang
lainnya.

Tabel 0-1: Klasifikasi kecepatan korosi

Klasifikasi Kecepatan korosi Kecepatan korosi Kecepatan korosi


Dhir dkk (1994) BRITE/EURAM Middleton dan
(1995) Hog (1998)
2
Tidak berarti - < 0.1 μA/cm -
2 2 2
Rendah 0.1 μA/cm 0.1 – 0.5 μA/cm 0.1 – 0.2 μA/cm
2 2 2
Sedang 1.0 μA/cm 0.5 – 1.0 μA/cm 0.2 – 1.0 μA/cm
2 2 2
Tinggi 10 μA/cm > 1.0 μA/cm > 1.0 μA/cm

24
2.4. Aplikasi Perhitungan Pengaruh Korosi
Terhadap Kapasitas Lentur Balok
Untuk memahami penggunaan berbagai perumusan korosi
pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini akan diberikan
contoh perhitungan balok yang terkena pengaruh korosi. Data
balok dan pembebanannya dijelaskan dibawah ini.

4 meter
q

L = 8 (meter)

Gambar 0.7: Balok dan beban yang bekerja.

Spesifikasi
fc’ = 20 MPa
fy = 400 MPa

Tebal selimut beton rencana 50 mm. Namun karena kurangnya


pengawasan di lapangan, selimut beton terpasang hanya
sebesar 30 mm. Balok terletak di tepi pantai dengan suhu rata-
rata 30oC.

Beban merata
qd (mati) = 2.0 t/m (belum termasuk berat sendiri balok); BJ
beton = 2.4 t/m3
ql (hidup) = 2.0 t/m

Beban terpusat
P (hidup) = 2 t

25
Ditanyakan :
a) Hitung penulangan lentur balok dengan cara (SNI-03-2847,
2002) dan gambarkan penulangannya
b) Hitung kapasitas lentur (Mn) balok pada saat belum
terkorosi
c) Hitung koefisien difusi (D)
d) Hitung waktu inisiasi korosi (Ti)
e) Hitung kecepatan korosi (icorr)
f) Hitung kapasitas lentur balok tersebut setelah 20 tahun, 30
tahun, 40 tahun dan 50 tahun

Jawab :

a) Perhitungan kuat lentur ultimate (Mu) dan kuat lentur


perlu (Mn)

Dengan mengacu ketentuan menurut (SNI-03-2847, 2002)


didapatkan Mu = 57.65 ton-m dan Mn perlu = 72.06 ton-m.
Gambar penulangan akibat lentur disajikan pada Gambar
2.7.

Gambar 0.8: Detail penulangan balok.

26
b) Perhitungan kapasitas lentur nominal Mn sebelum
terkorosi (T=0)

Dengan mengabaikan kontribusi tulangan tekan pada Mn



A(0)  252  490mm2
4
n = jumlah tulangan = 7

Mn (To )  A(To )  fy  0.8  h

Mn (0)  7  490  400  0.8  800  878080000Nmm  87.81ton - m

c) Perhitungan koefisien difusi (D)

f 'cyl  fc'  7.5  20  7.5  27.5MPa


27 27
w/c  '
  0.66
f  13.5 27.5  13.5
cyl

D  1010(4.66w / c)  1010(4.660.66)  1.17  107 cm2 / s


D  1.17  1011 m2 / s

d) Perhitungan inisiasi korosi (Ti)

i
d 2 12  C 
Ti (C o , C th ,D, dc )  c  A i  th 
4D i0  C o 

Co (d)= 2.95 kg/m3 untuk d < 0.1 km (lokasi di tepi pantai).

Cth =0.35 kg/m3 (diambil dari Tabel 1.1 dan dipakai nilai yang
paling konservatif).

Ai adalah koefisien polinomial fungsi pangkat dua belas


tersebut diatas dengan A0=1.78, A1=-7.59E+1, A2=1.85E+3,
A3=-2.4E+4, A4=1.95E+5, A5=-1.04E+6, A6=3.87E+6, A7=-

27
9.9E+6, A8=1.75E+7, A9=-2.11E+7, A10=1.66E+7, A11=-
7.45E+6, A12=1.5E+6.

Ti  11.09 tahun

Hasil perhitungan Ti menunjukkan bahwa korosi baru mulai


menurunkan kapasitas lentur (Mn) setelah umur struktur
melebihi 11.09 tahun.

e) Perhitungan kecepatan korosi (icorr)

27.01  w / c 1.64 27.01  0.66 1.64


icorr    5.24 μA/cm2
dc 30

Faktor pengali kecepatan korosi untuk suhu 30oC

K= [1 + 0.073(t − 20)] = [1+0.073(30-20)]=1.73


2
icorr  5.24  1.73  9.07 μA/cm

f) Perhitungan kapasitas lentur setelah umur 20 tahun

To = dihitung setelah waktu korosi inisiasi (T i)


= 20 -11.09 = 8.91 tahun

Anggapan yang dipakai pada perhitungan disini adalah


ketujuh tulangan mengalami korosi dengan kecepatan yang
sama. Pada kenyataannya masing-masing tulangan
mungkin mengalami korosi dengan kecepatan yang
berbeda.


A(0)  252  490mm2 (pada saat belum terkorosi)
4
 
A(To )  Do  0.0232icorr To 2  25  0.0232 9.07  8.912
4 4
2
A(To )  420mm

28
A(8.91)  420mm2

n = jumlah tulangan = 7
Mn (To )  A(To )  fy  0.8  h

Mn (8.91)  7  420  400  0.8  800  752640000Nmm


Mn (8.91)  75.26ton- m

Mn (8.91) 75.26
  86 % (setelah 20 tahun kekuatan lentur
Mn (0) 87.81
sudah berkurang 14% dibanding kuat lentur awal).

Dengan cara perhitungan yang sama, akan didapatkan M n


untuk umur 30, 40 dan 50 tahun. Hasil perhitungan
disajikan pada Tabel 2.2 dan disajikan secara grafis pada
Gambar 2.9.
Tabel 0-2: Mn untuk umur beton s.d 50 tahun
Umur (T) To=T-Ti Mn Mn(T)/ Mn(0)
Tahun Tahun Ton-m
0 s.d 11.09 Belum terkorosi 87.81 100%
20 8.91 75.27 86%
30 18.91 62.19 71%
40 28.91 50.36 57%
50 38.91 39.78 45%

29
Inisiasi korosi Propagasi korosi

90

80
M perlu = 72 ton-meter
n

70
M (T) ton-meter

M = 57.65 ton-m
u
60
n

50
M = 41.38 ton-m
service

40

30
0 10 20 30 40 50 60

Umur (T) Tahun

Gambar 0.9: Mn untuk umur 0 s.d 50 tahun.

Gambar 0.9 menunjukkan bentuk dan kecenderungan yang


sama dengan Gambar 1.5. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa waktu korosi inisiasi korosi berlangsung selama sekitar
11 tahun. Pada periode ini belum ada penurunan kekuatan
lentur balok Mn (T). Namun setelah periode ini terlewati, maka
balok mulai mengalami pengurangan luasan tulangan dan
kekuatan lentur balok Mn (T). Setelah balok mencapai umur
sekitar 23 tahun, balok secara teoritis sudah dibawah kapasitas
lentur yang ditetapkan dalam SNI 03-2847-2002. Pada umur ini
balok masih belum runtuh. Namun demikian angka keamanan
balok akan terus berkurang akibat proses korosi pada tulangan.
Menurut teori balok akan runtuh pada saat angka
keamanannya dibawah 1.0. Kondisi ini terjadi pada saat balok
mencapai umur 50 tahun, yaitu ketika kapasitas momen balok
Mn (T) sudah dibawah momen akibat beban yang kerja (service

30
load). Yang dimaksud dengan beban kerja adalah beban yang
sesungguhnya bekerja pada struktur tanpa dikalikan dengan
faktor beban (load factor).

31
BAB 3. RETAK AKIBAT KOROSI

3.1. Pendahuluan
Pada awalnya korosi hanya mengakibatkan perubahan pada
tampilan beton. Karat yang dihasilkan akan menyebabkan
permukaan beton berubah warna menjadi kuning kecoklatan.
Meskipun sesungguhnya pada tahap ini telah terjadi
kehilangan luasan tulangan, pengaruhnya belum
mengakibatkan penurunan kekuatan penampang beton secara
berlebihan. Dengan berjalannya waktu, karat akibat korosi
berakumulasi pada permukaan tulangan dan mulai mendesak
kulit beton (concrete cover). Karat mempunyai volume yang
besarnya antara 4 s.d 6 kali volume awal besi tulangan.
Penambahan volume akibat karat akan menimbulkan
terjadinya desakan dan tarikan di dalam beton. Bila tegangan
tarik yang terjadi sudah melebihi kekuatan tarik beton, maka
akan terjadi retak (cracking).

Retak secara individu akan bertambah lebar dan bertambah


panjang dan pada waktu yang bersamaan akan terbentuk
retak-retak baru. Bila terjadi retak yang berdekatan dalam
jumlah yang cukup banyak maka akan terjadi pengelupasan
beton (spalling) dan delamination, seperti digambarkan pada
Gambar 0.1 dan Gambar 0.2. Beton yang terkelupas akan
menyebabkan tulangan terbuka dan tidak terlindung dari
lingkungan yang korosif. Kondisi ini akan semakin
meningkatkan kecepatan korosi, yang pada gilirannya akan
meningkatkan kecepatan penurunan kekuatan penampang.

32
Gambar 0.1: Retak akibat korosi
(http://www.corrosion-club.com/concretecorrosion.htm, 2001).

Pengelupasan kulit beton akibat korosi akan mengakibatkan


luas penampang beton berkurang secara drastis dan secara
otomatis kekakuan (momen inersia) penampang juga akan
berkurang. Kondisi ini akan mengakibatkan peningkatan
lendutan (deflection). Lendutan yang berlebihan akan
menimbulkan kerusakan pada bagian bangunan yang berada
diatas, dibawah atau didekat balok yang mengalami korosi
(misalnya dinding retak, plafond melendut dll). Bila korosi ini
dibiarkan saja maka tidak tertutup kemungkinan elemen
struktur yang terkena korosi akan mengalami kegagalan dalam
memikul beban yang bekerja. Bila elemen struktur yang gagal
merupakan elemen struktur utama atau jumlah elemen
struktur yang gagal semakin bertambah banyak, maka
kegagalan struktur secara keseluruhan mungkin terjadi (total
collapse).

33
Gambar 0.2: Perkembangan retak akibat korosi
(http://www.cmc-concrete.com/steel%20corrosion.htm, 2007).

Berdasarkan uraian diatas, maka pengaruh korosi pada


bangunan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu

1. Penampilan (Appearance)
 Bercak-bercak pada permukaan beton
(Stainning)
2. Pelayanan (Serviceability)
 Retak (Cracking)
 Pengelupasan (Spalling)
 Delamination

34
 Peningkatan lendutan (Deflection)
3. Kekuatan (Strength)
 Kegagalan elemen struktur
 Kegagalan struktur secara total (Collapse)

3.2. Penampilan Bangunan Beton akibat Korosi


Bangunan yang terkena korosi akan mengalami perubahan
warna pada permukaan betonnya. Untuk bangunan
arsitektural yang memakai beton exposed, perubahan warna
tidak diharapkan terjadi selama masa pelayanannya karena
akan mengurangi aspek keindahannya. Pada Gambar 0.3 dan
Gambar 0.4 menunjukkan perubahan warna permukaan beton
akibat korosi.

Gambar 0.3: Bercak akibat korosi pada struktur dermaga.

35
Gambar 0.4: Bercak akibat korosi pada struktur tangga
(http://www.nachi.org/visual-inspection-concrete.htm, 2006).

3.3. Retak akibat Korosi


Retak akibat korosi (crack induced corrosion) terjadi ketika
tegangan tarik akibat akumulasi karat dalam beton telah
melebihi kekuatan tarik beton. Dengan berjalannya waktu,
retak akan bertambah lebar dan bertambah panjang dan pada
saat yang bersamaan retak-retak baru akan terbentuk. Proses
terjadinya retak dapat ditunjukkan pada Gambar 0.5.

Gambar 0.5: Proses terjadinya retak akibat korosi


(http://www.frpdistributors.com/gfrp-vs-steel/gfrp-vs-galvinized-
steel).

Secara skematis proses terjadinya retak akibat korosi dapat


dimodelkan seperti pada Gambar 0.6 (Vu, 2003).

36
Korosi akan menghasilkan karat dalam beton dan dengan
berjalannya waktu karat akan bertambah banyak. Pada
awalnya karat ini akan mengisi ruang-ruang kosong (pori-pori)
yang ada di sekitar permukaan pertemuan beton dan tulangan.
Ketika jumlah karat masih belum banyak maka tidak akan
terjadi retak (free expansion). Akan tetapi ketika karat semakin
banyak dan pori-pori beton sudah terisi penuh, maka di dalam
beton terjadi desakan dan tarikan (stress initiated). Ketika
tegangan tarik akibat desakan karat melampaui kekuatan tarik
beton, maka akan terjadi retak pada beton (concrete cracking).

Concrete Steel Concrete/steel interfacial Corrosion products


porous zone

D
a. Corrosion initiated do
ds

WT < W P
b. Free Expansion

Wcrit > W T> W P WT > Wcrit


c. Stress initiated d. Concrete cracking

Gambar 0.6: Proses terjadinya retak akibat korosi (Vu, 2003).

37
Liu dan Weyers (1998) mengusulkan perumusan untuk
memperkirakan jumlah karat yang diperlukan untuk terjadinya
retak pertama sekali (Wcrit) sebagai berikut:

Wcrit 
 
rust  ds  do  D
10001    (0-1)

  cf a2  b2  
rust    t ( 2 2  c )  do   D 
Wcrit    Eef b  a   (0-2)
10001   

dimana

Wcrit = jumlah berat karat yang diperlukan untuk


terjadinya retak (kg/m)
 rust = berat jenis karat (kg/m3)  3605 kg/m3
c = tebal selimut beton (mm)
ft = kuat tarik beton (MPa)
Jc = rasio Poisson = 0.2
D = diameter tulangan (mm)
ds = tebal lapisan karat yang diperlukan untuk
menghasilkan tegangan tarik
do = tebal zona pori di sekitar pertemuan besi tulangan
dan beton  12.5mm (lihat Gambar 3.6)
a = 0.5(D+2do)
b = c+a =c + 0.5(D+2do)
Ec
Eef = modulus elastis beton efektif (MPa) =
1  cr
Ec = modulus elastis beton (MPa) = 4700 f '
c

cr = koefisien rangkak beton  2.0

38
Waktu yang diperlukan sampai terjadi retak pertama kali (Tcr-i)
disebut juga sebagai waktu inisiasi retak (crack initiation).
Lebar retak pada periode ini sekitar 0.05 mm dan pada
umumnya hanya bisa dilihat dengan memakai kaca pembesar.
Waktu inisiasi retak (Tcr-i) dihitung dengan perumusan yang
diusulkan Liu dan Weyers (1998) sbb:

Tcr i 
W 
crit
2

2k p (0-3)

1
k p  0.098 D  icorr
 (0-4)

dimana

 = koefsien yang tergantung tipe karat yang terjadi, nilainya


diantara 0.523 s.d 0.622
D = diameter tulangan (mm)
icorr = kecepatan korosi rata-rata tahunan (μA/cm2)

Gambar 0.7 menunjukkan perhitungan Tcr-i memakai


persamaan (0-1) s.d (0-4) untuk kecepatan korosi dan tebal
selimut beton yang bervariasi antara 30 mm s.d 60 mm serta
mutu beton fc’ 30 MPa. Gambar tersebut menunjukkan bahwa
untuk kecepatan korosi sebesar 1 μA/cm2 (  11.6μm/tahun)
waktu terjadinya inisiasi retak berubah dari 2 tahun menjadi 7
tahun dengan merubah tebal selimut beton dari 30 mm
menjadi 60 mm.

39
7

6 Tebal cover (mm)

5 30 mm
40 mm
50 mm
4 60 mm
(tahun)
3
cr-i
T

0
0 1 2 3 4 5 6
2
Kecepatan Korosi (mA/cm )

Gambar 0.7: Waktu inisiasi retak (Tcr-i) untuk berbagai kecepatan


korosi dan tebal selimut beton.

Setelah retak terjadi maka dengan berjalannya waktu, retak


akan semakin bertambah lebar dan panjang. Periode ini
disebut dengan propogasi retak (crack propagation). Retak
akan bertambah lebar hingga mencapai lebar retak yang
diijinkan. Lebar retak yang diijinkan tergantung pada
lingkungan dimana beton berada. Model pertumbuhan retak
akibat korosi dapat digambarkan sebagai berikut :

40
Gambar 0.8: Waktu inisiasi dan propagasi retak (Vu dkk, 2005).

Waktu propagasi retak (Tcr-p) dapat dihitung dengan


perumusan usulan (Vu et al., 2006) sbb:

w lim  0.05  0.0114 


Tcr p  k R
k crcrack  icorr (real)  (0-5)

1.7cp
rcrack  0.0008 e
(0-6)

c
 CP 
Dft (0-7)

  0.3icorr(exp)  i 
k R  0.95exp    corr(exp)  0.3
 (0-8)
  icorr(real)  2500icorr(real) 

41
dimana

c = tebal selimut beton (mm)


D = diameter tulangan (mm)
ft = kuat tarik beton (MPa)
icorr(exp) = kecepatan korosi saat percobaan dilakukan  100
μA/cm2
icorr(real) = kecepatan korosi yang terjadi
wlim = lebar retak yang diijinkan
rcrack = kecepatan pertumbuhan retak = mm/h
kc = faktor kekangan dari tulangan

serta

c
0.1   CP   1.0 , 0.15 k R  1.0 , k C  1.0
Dft

Hasil perhitungan waktu propagasi retak (T cr-p) untuk tebal


cover 30 s.d 50 mm, mutu beton 30 s.d 60 MPa, diameter
tulangan 22 mm dan lebar retak maksimum 0.5 mm dan 1.0
mm serta kecepatan korosi sebesar 1.0 μA/cm2 dapat dilihat di
Gambar 0.9 dan Gambar 0.10. Kedua gambar tersebut
menunjukkan bahwa semakin tebal cover beton maka waktu
propagasi retak akan meningkat. Selain itu makin tinggi mutu
beton maka waktu propagasi retak makin cepat. Hal ini
disebabkan pada mutu beton tinggi jumlah pori-pori jauh lebih
sedikit dibandingkan pada beton mutu rendah sehingga jumlah
karat yang diperlukan untuk terjadinya propagasi retak lebih
sedikit pada beton mutu tinggi dibandingkan pada beton mutu
rendah. Akibatnya waktu propagasi retak pada beton mutu
tinggi juga lebih cepat.

42
Lebar retak maksimum 0.5 mm, D = 22 mm
9

8
30 MPa
40 MPa
50 MPa
7 60 MPa

(tahun)
6
cr-p
T

3
25 30 35 40 45 50 55

Tebal cover (mm)

Gambar 0.9: Waktu propagasi retak untuk lebar retak maksimum


0.5 mm.

43
Lebar retak maksimum 1 mm, D = 22 mm
20

18
30 MPa
40 MPa
16 50 MPa
60 MPa

(tahun) 14

12
cr-p
T

10

6
25 30 35 40 45 50 55

Tebal cover (mm)

Gambar 0.10: Waktu propagasi retak untuk lebar retak maksimum


1.0 mm.

3.4. Aplikasi Perhitungan Retak akibat Korosi


Untuk memahami penggunaan berbagai perumusan retak pada
bagian sebelumnya, maka pada bagian ini akan diberikan
contoh perhitungan waktu terjadinya inisiasi dan propagasi
retak. Balok yang akan dihitung adalah balok yang dipakai pada
bagian 2.4.

Spesifikasi

Bila dipakai mutu beton fc’ 20 MPa, tebal cover 30 mm dan


diameter tulangan 25 mm

Ditanyakan :

g) Hitung waktu terjadinya inisiasi korosi

44
h) Hitung waktu terjadinya inisiasi retak Tcr-i
i) Hitung waktu terjadinya propagasi retak Tcr-i bila lebar
retak maksimum yang diijinkan 0.5 mm
j) Hitung waktu terjadinya propagasi retak Tcr-i bila lebar
retak maksimum yang diijinkan 1.0 mm

Jawab :

a) Waktu inisiasi korosi sudah dihitung sebelumnya pada


bagian 2.4

Ti = 11.09 tahun

b) Perhitungan Tcr-i

  cf a2  b 2  
rust    t ( 2 2  c )  do   D 
Wcrit    E ef b  a  
10001   

 rust = berat jenis karat (kg/m3)  3605 kg/m3

c = tebal selimut beton = 40 mm


'
ft = kuat tarik beton = 0.4 fc = 0.4 20 = 1.79 MPa

Jc = rasio Poisson = 0.2

D = diameter tulangan = 25 mm

do = tebal zona pori di sekitar pertemuan besi tulangan


dan beton  12.5mm (lihat Gambar 3.6)

a = 0.5(D+2do) = 0.5(25+2x12.5x10-6) = 12.5 mm

b = c+a =c + 0.5(D+2do) = 40 + 12.5 = 52.5 mm


'
Ec = modulus elastis beton (MPa) = 4700 fc = 4700 20
Ec = 21019 MPa

45
cr = koefisien rangkak beton  2.0

Ec
Eef = modulus elastis beton efektif (MPa) = = 7006
1  cr
MPa

 = koefsien yang tergantung tipe karat yang terjadi,


nilainya diantara 0.523 s.d 0.622

 untuk keperluan perhitungan diambil nilai rata-rata sebesar


0.57.

Wcrit  9.14 kg/m

Nilai w/c rasio dapat ditentukan dengan memakai rumus


Bolomey sebagai

f ' cyl  fc '  7.5  20  7.5  27.5

27 27 27
w /c  '
   0.675
f  13.5 27.5  13.5 40
cyl

27.01  w / c 1.64
icorr 
dc

dc = tebal cover

27.01  w / c 1.64 27(1  0.675) 1.64


icorr    5.69 μA/cm2
dc 30
1  1 
k p  0.098 Dicorr  0.098   25  5.69  76.87
  0.57 

Tcr i 
W crit
2


9.142
= 0.54 tahun
2k p 2  76.87

46
c) Perhitungan Tcr-p untuk wlim = 0.5 mm

c 30
 CP    0.67
Dft 25  1.79

1.7  cp
rcrack  0.0008 e  0.0008 e 1.70.67  0.000256

icorr(exp) = 100 μA/cm2

icorr(real) = 5.69 μA/cm2

kc = 1.0

  0.3icorr(exp)  i 
k R  0.95exp    corr(exp)  0.3  0.28

  icorr(real)  2500icorr(real) 

w lim  0.05  0.0114 


Tcr p  k R  1.0 tahun
k crcrack  icorr(real) 

d) Perhitungan Tcr-p untuk wlim = 1.0 mm

c 30
 CP    0.67
Dft 25  1.79

1.7  cp
rcrack  0.0008e  0.0008e 1.7.0.67  0.000256

icorr(exp) = 100 μA/cm2

icorr(real) = 5.69 μA/cm2

kc = 1.0

  0.3icorr(exp)  i 
k R  0.95exp    corr(exp)  0.3  0.28

  icorr(real)  2500icorr(real) 

47
w lim  0.05  0.0114 
Tcr p  k R  2.11 tahun
k crcrack  icorr (real) 

Untuk wlim = 0.5 mm

Tcr  Tcr i  Tcr p  0.54  1  1.54 tahun

Untuk wlim = 1.0 mm

Tcr  Tcr i  Tcr p  0.54  2.11  2.65 tahun

Hasil perhitungan selanjutnya disajikan pada Gambar 0.11.


Gambar tersebut menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan
terjadinya retak dihitung mulai dari awal berfungsinya
bangunan sekitar 13.74 tahun, yang terdiri atas waktu inisiasi
korosi selama 11.09 tahun dan waktu retak selama 2.65 tahun.
Gambar ini menunjukkan bahwa waktu retak jauh lebih singkat
bila dibandingkan dengan waktu yang diperlukan oleh chlorida
untuk mencapai tulangan dan berakumulasi dengan waktu
hingga mencapai kadar kritisnya agar korosi mulai terjadi.
Dengan demikian hanya diperlukan waktu yang sangat singkat
untuk terjadi retak segera setelah proses inisiasi korosi selesai.

48
15

Waktu retak = 2.65 tahun

10

Waktu (Tahun)
T = 11.09 tahun
i

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Lebar retak (mm)

Gambar 0.11: Waktu inisiasi korosi dan waktu retak untuk lebar retak
maksimum 0.5 dan 1.0 mm

49
DAFTAR NOTASI

Bab 1
a/c = aggregate-cement rasio (dalam satuan berat)
Co = kadar garam pada permukaan beton
Co (d) = kadar garam pada permukaan beton pada jarak d km
dari tepi pantai
Cth = kadar garam kritis pada permukaan besi tulangan yang
diperlukan agar korosi terjadi
D = koefisien difusi beton
dc = tebal selimut beton (concrete cover atau dekking)
erf = fungsi kesalahan (the error function).
DCl,H2O = koefisien difusi chlorida larutan tak hingga (1.6x10-9
m2/s)
f’cyl = kuat tekan beton hasil uji benda uji silinder

fc = kuat tekan beton karakteristik (MPa)
w/c = water-cement rasio (dalam satuan berat)
a = kepadatan massa dari agregat
c = kepadatan massa dari semen

Bab 2
dc = tebal selimut beton dalam mm
fy = tegangan leleh baja tulangan
h = tinggi penampang
icorr = kecepatan korosi (μA/cm2)
icorr (t) = kecepatan korosi pada suhu t > 20oC
icorr−20 = kecepatan korosi pada suhu 20oC
Mn(To) = kapasitas lentur pada saat To yang dihitung setelah
inisiasi korosi
To = waktu dihitung setelah inisiasi korosi Ti (tahun)
t = suhu dimana kecepatan korosi diperhitungkan (oC)
w/c = faktor air-semen
ΔA = pengurangan luas penampang untuk kecepatan korosi
ΔD = pengurangan diameter tulangan

50
Bab 3
a = 0.5(D+2do)
b = c+a =c + 0.5(D+2do)
c = tebal selimut beton (mm)
D = diameter tulangan (mm)
ds = tebal lapisan karat yang diperlukan untuk menghasilkan
tegangan tarik
do = tebal zona pori di sekitar pertemuan besi tulangan dan
beton  12.5mm
'
Ec = modulus elastis beton (MPa) = 4700 fc
Ec
Eef = modulus elastis beton efektif (MPa) =
1  cr
ft = kuat tarik beton (MPa)

icorr = kecepatan korosi rata-rata tahunan (μA/cm2)

icorr(exp) = kecepatan korosi saat percobaan dilakukan  100


μA/cm2
icorr(real) = kecepatan korosi yang terjadi

Jc = rasio Poisson = 0.2


kc = faktor kekangan dari tulangan
rcrack = kecepatan pertumbuhan retak = mm/h
Tcr-i = waktu yang diperlukan sampai terjadi retak pertama
kali
Tcr-p = waktu propagasi retak

Wcrit = jumlah berat karat yang diperlukan untuk terjadinya


retak (kg/m)
wlim = lebar retak yang diijinkan

 = koefsien yang tergantung tipe karat yang terjadi,


nilainya diantara 0.523 s.d 0.622
cr = koefisien rangkak beton  2.0

51
 rust = berat jenis karat (kg/m3)  3605 kg/m3

52
DAFTAR PUSTAKA

A. Bentur, Diamond, S., and Berke, N. S. (1997). "Steel Corrosion in


Concrete," E&FN SPON, UK.
ASTM-G1-90 (1999). Standard Practice for Preparing, Cleaning, and
Evaluating Corrosion Test Specimens.
BRITE/EURAM (1995). "The Residual Service Life of Reinforced
Concrete Structures."
Broomfield, J. P. (1997). "Corrosion of Steel in Concrete:
Understanding, Investigation and Repair," E&FN Spon,
London.
CNN (2000). Engineer Finds Signs of Corrosion in Collapsed Bridge at
North Carolina USA.
Dhir, R. K., Jones, M. R., and McCarthy, M. J. (1994). PFA Concrete:
Chloride-Induced Reinforcement Corrosion. Magazine of
Concrete Research 46, 269-277.
DuraCrete (2000). "Probabilistic Performance based Durability
Design of Concrete Structures."
Faber, M. H., and Rostam, M. (2001). Durability and Service Life of
Concrete Structures – The owner’s Perspective, Safety, Risk,
Reliability – Trends in Engineering. IABSE, pp.369-374.
FIP (1996). "Corrosion Protection of Prestressing Steel- FIP
Recommendations, Federation Internationale de la
Precontrainte," Thomas Telford, Ltd., London.
Frangopol, D. M., Lin, K., and Estes, A. C. (1997). Reliability of
Reinforced Concrete Girders Under Corrosion Attack. ASCE
Journal of Structural Engineering Vol. 123, No. 3, pp. 286-
297.
http://www.cmc-concrete.com/steel%20corrosion.htm (2007).
Corrosion of steel in concrete.
http://www.corrosion-club.com/concretecorrosion.htm (2001).
Rebar Corrosion.
http://www.nachi.org/visual-inspection-concrete.htm (2006).
Corrosion typical of inadequate cover.
Karlsson, M. a. P., E. (1995 ). "Design of Rebar Concrete Covers in
Marine Concrete Structures-Probabilistic Approach,

53
Proceedings of the RILEM International Workshop on
Chloride Penetration into Concrete," RILEM, France.
Mc Gee, R. W. (1999). "Modelling of Durability Performance of
Tasmanian Bridges, Application of Statistics and Probability,"
ICAPS8.
Middleton, C. R., and Hogg, V. (1998). "Review of Deterioration
Models Used to Predict Corrosion in Reinforced Concrete
Structures." Cambridge University.
Papadakis, V. G., Roumeliotis, A. P., Fardis, M. N., and Vagenas, C. G.
(1996). "Mathematical Modelling of Chloride Effect on
Concrete Durability and Protection Measures, Concrete
Repair, Rehabilitation and Protection," E & FN Spon. ,
London.
Proverbio, E., and Ricciardi, G. (2000). Failure of a 40 Year old post-
tensioned bridge near seaside. In "Proc. Int. Conf. Eurocorr
2000", London
Roberth, H. (2011). Studi pengaruh Korosi Terhadap Kekuatan Balok
Beton Bertulang Dengan Menggunakan Teori Kemungkinan,
ITS, Surabaya.
Schmitt, G. (2009 ). "Global needs for knowledge dissemination,
research, and development in materials deterioration and
corrosion control," New York.
SNI-03-2847 (2002). Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk
Bangunan Gedung.
Stewart, M. G. (1996). Serviceability Reliability Analysis of Reinforced
Concrete Structures. Journal of Structural Engineering, ASCE
Vol. 122,, 794-803.
Stewart, M. G., and Faber, M. H. (2003). Probabilistic modelling of
deterioration mechanisms for concrete structures. In "9th
International Conference on Applications of Statistics and
Probability in Civil Engineering," San Francisco.
Stewart, M. G., and Rosowsky, D. V. (1998). Structural Safety and
Serviceability of Concrete Bridges Subject to Corrosion.
Journal of Infrastructure System, ASCE Vol. 4, No. 4, 146-155.
Thoft-Christensen, P., Jensen, F. M., Middleton, C. R., and Blackmore,
A. (1997). Assessment of the Reliability of Concrete Slab
Bridges. In "Reliability and Optimization of Structural
Systems" (R. B. C. a. R. R. E. D. M. Frangopol, ed.), pp. 321-
328. . Pergamon, Oxford.

54
Val, D. V., and Melchers, R. E. (1997). Reliability of deteriorating
reinforced concrete slab bridges. Journal of Structural
Engineering, ASCE 123, 1638-1644.
Val, D. V., and Stewart, M. G. (2001). Reliability-Based Life-Cycle Cost
Analysis of Reinforced Concrete Structures in Marine
Environments. In "Proceedings of ICOSSAR’01-Eighth
International Conference on Structural Safety and
Reliability,(CD-ROM)". R. B. Corotis, G. I. Schueller, M.
Shinozuka (Eds), A. A. Balkema, Rotterdam
Vu, K. A. T. (2003). Corrosion-induced Cracking and Spatial Time-
Dependent Reliability Analysis of RC Structures, The
University of Newcastle, Newcastle, Australia.
Vu, K. A. T., and Stewart, M. G. (2000). Structural Reliability of
Concrete Bridges Including Improved Chloride-induced
Corrosion Models. Structural Safety 22, 313-333.
Vu, K. A. T., Stewart, M. G., and Mullard, J. (2006). Corrosion-Induced
Cracking: Experimental Data and Predictive Models. ACI
Structural Journal September-October, 719-726.
Zhang, J., and Lounis, Z. (2006). Sensitivity analysis of simplified
diffusion-based corrosion initiation model of concrete
structures exposed to chlorides. Journal of Cement and
Concrete Research 36, 1312–1323.

55
INDEKS

absorpsi, 4 kecepatan korosi, vi, vii, viii,


aksi kapiler, 4 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26,
alkalin, 4 28, 32, 40, 42
anoda, 19 koefisien difusi, 7, 13, 14, 26,
anodik, 18 27
batas kritis, 18 korosi, 1
Bolomey, 13, 46 KOROSI, 18, 32
cairan pori, 18 korosi seragam, vii, 19, 20, 21
chlorida, iv, vi, vii, 4, 8, 9, 11, larutan ion, 22
12, 13, 18, 48 lentur, 18, 20, 21, 26, 27, 28,
concrete cover, 4 29, 30
core-drill, 9 Linear Polarization Resitance
corrotion initiation, 4 Method, 22
corrotion propagation, 4 LPRM, 22
covermeter, 15 mutu beton, vii, 14, 15, 40, 42,
crack growth in length and 44
width, 1 perlindungan pasif, 18
cracking, 1 permeasi, 4
delamination, 2 pitting corrosion, 19
difusi, 4 proses kimia, 18
dinding pembatas, 4 rust, 3
elektrolit, 18 serangan garam, i, 19
elektron, 18 site specific, 8
faktor air-semen, 21, 23, 24 spalling, 2
Geocisa Gecor, 22 stainning, 1
hukum Fick, 6 tegangan leleh, 21
inisiasi korosi, iii, vii, viii, 4, 5, total collapse, 2
6, 7, 9, 16, 17, 18, 20, 21, uniform corrosion, 19
26, 28, 30, 44, 45, 48, 49 water-cement rasio, 13
isapan, 4 Weight Loss Method, 22
katodik, 18

56
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Ir. Muhammad Sigit Darmawan MEngSc., PhD
Sigit dilahirkan di Purworejo pada tahun 1963.
Penulis menyelesaikan program S-1 di ITS pada tahun
1988 dan selanjutnya menjadi dosen di Program D-III
Teknik Sipil FTSP ITS. Pada tahun 1992, penulis
melanjutkan studi S-2 di University of Melbourne dan
pada tahun 2001 studi S-3 di University of Newcastle, Australia. Pada
tahun 2008, penulis menjadi Kepala Laboratorium Uji Material
Program D-III Teknik Sipil dan pada tahun 2012 menjabat Kaprodi
Program Diploma Teknik Sipil FTSP ITS. Penulis cukup aktif
melakukan penelitian di bidang korosi pada beton bertulang dan
sering melakukan kegiatan konsultansi di bidang struktur beton.

Ridho Bayuaji, ST., MT., PhD


Ridho dilahirkan di kota Bayuangga, Probolinggo pada
tahun 1973. Pendidikan tinggi yang telah ditempuhnya
meliputi: S-1 ITS lulus tahun 1997, S-2 UGM lulus tahun
2005 dan S-3 di Universiti Teknologi Petronas Malaysia
lulus tahun 2010. Sejak tahun 1998 sampai sekarang,
penulis menjadi dosen di Program D-III Teknik Sipil dan pada tahun
2012 menjabat Sekprodi Program Diploma Teknik Sipil FTSP ITS.
Penulis cukup aktif melakukan penelitian di bidang teknologi beton
dan bahan bangunan dengan material penyusun yang berkelanjutan.

Nur Ahmad Husin, ST., MT.


Husin dilahirkan di Sumenep pada tahun 1972. Penulis
menyelesaikan pendidikan S-1 di ITS pada tahun 1997.
Selanjutnya penulis menjadi dosen di Program D-III
Teknik FTSP-ITS Sipil pada tahun 1998. Pada tahun
2002 penulis melanjutkan studi S-2 di ITS Surabaya.
Pada tahun 2008 penulis menjadi Kepala Seksi Beton Laboratorium
Uji Material Program D-III Teknik Sipil FTSP-ITS dan pada tahun 2012
menjabat Koordinator Bidang Keuangan dan Rumah Tangga Program
Diploma Teknik Sipil FTSP ITS. Penulis cukup aktif menangani
permasalahan di bidang evaluasi struktur dan penanganan perkuatan
struktur dan sering melakukan kegiatan konsultansi di bidang
struktur beton.

57

Anda mungkin juga menyukai