Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiografi Regional Daerah Penelitian

Secara umum Hamilton (1979), Sukamto (1975), dan Smith (1983) telah membagi

wilayah Sulawesi ke dalam tiga bagian fisiografi (Gambar 2.1) yaitu:

Daerah Penelitian

Gambar 2.1 Pembagian Jalur Fisiografi Sulawesi (Smith, 1983)

1. Busur Vulkanik Neogen (Neogene Volcanic Arc)

Terdiri dari kompleks basement Paleozoikum Akhir dan Mesozoikum

Awal pada bagian utara dan tengahnya, batuan melange pada awal Kapur Akhir

di bagian selatan, sedimen flysch berumur Kapur Akhir hingga Eosen yang

kemungkinan diendapkan pada fore arc basin (cekungan muka busur)

(Sukamto, 1975) pada bagian utara dan selatan, volcanic arc (busur vulkanik)

berumur Kapur Akhir hingga pertengahan Eosen, sekuen batuan karbonat

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Eosen Akhir sampai Miosen Awal dan volcanic arc (busur vulkanik) Miosen

Tengah hingga Kuarter (Silver dkk, 1983). Batuan plutonik berupa granitik dan

diorit berumur Miosen Akhir hingga Pleistosen, sedangkan batuan vulkanik

berupa alkali dan kalk-alkali berumur Paleosen sampai Pleistosen. Sulawesi

bagian barat memiliki aktifitas vulkanik kuat yang diendapkan pada

lingkungan submarine sampai terestrial selama periode Pliosen hingga Kuarter

Awal di bagian selatan, namun pada Sulawesi Utara aktifitas vulkanik masih

berlangsung hingga saat ini.

2. Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi (Central Schist Belt)

Tersusun atas fasies metamorfik sekis hijau dan sekis biru. Bagian barat

merupakan tempat terpisahnya antara sekis tekanan tinggi dengan sekis

temperatur tinggi, genes, dan batuan granitik (Silver dkk, 1983). Fasies sekis

biru mengandung glaukofan, krosit, lawsonit, jadeit, dan aegerine.

3. Kompleks Ofiolit (Ophiolite)

Merupakan jalur ofiolit dan sedimen terimbrikasi serta molasse. Pada

lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh batuan ultramafik

(van Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; dan Smith, 1983), harzburgit dan

serpentin harzburgit (Silver dkk, 1983), sedangkan pada lengan Timur

Sulawesi (segmen utara) merupakan segmen ofiolit lengkap, berupa

harzburgit, gabro, sekuen dike diabas dan basalt, yang merupakan hasil dari

tumbukan antara platform Sula dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai

Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smith, 1983), serta batuan sedimen pelagos

dan klastik yang berhubungan dengan batuan ultramafik (Silver dkk, 1983).

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Berdasarkan pembagian di atas, maka daerah penelitian terletak pada Jalur

Sekis dan Batuan Terdeformasi (Central Schist Belt). Jalur ini merupakan

fasies metamorfik sekis hijau dan sekis biru yang penyebarannya mulai dari

Sulawesi Tengah memanjang hingga Sulawesi Tenggara.

2.2 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian

Daerah penelitian yang berada di daerah Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan

Asinua, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara regional batuan yang

tersingkap pada wilayah sekitar daerah penelitian ini mempunyai kisaran umur mulai

dari Paleozoikum sampai dengan Kuarter yang terdiri dari beberapa Formasi (Gambar

2.2).

Gambar 2.2 Stratigrafi Regional Daerah penelitian (E. Rusmana, Sukido,

D.Sukarna, E. Haryono dan T.O Simandjuntak, 1993)

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Stratigrafi batuan penyusun pada daerah penelitian lembar Lasusua-Kendari

(Gambar 2.3) dari yang paling muda sampai yang paling tua adalah sebagai berikut:

1. Aluvium (Qa)

Terdiri atas kerikil, kerakal, pasir lempung dan lumpur. Satuan ini

merupakan hasil dari endapan sungai, rawa dan endapan pantai. Umur satuan

ini adalah holosen.

2. Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm)

Terdiri atas sekis, gneis, filit, batusabak dan sedikit pualam. Satuan ini

diperkirakan berumur karbon sampai perem dan mempunyai hubungan

menjemari dengan satuan pualam paleozoikum (Pzmm).

2.3 Struktur dan Tektonik Regional Daerah Penelitian

Struktur geologi yang dijumpai di daerah Sulawesi Tenggara adalah sesar, lipatan

dan kekar. Sesar dan kelurusan umumnya berarah Barat Laut - Tenggara searah dengan

Sesar Lasolo, Sesar Lasolo berupa sesar geser jurus mengiri yang diduga masih giat

hingga kini, yang dibuktikan dengan adanya mata air panas di batugamping terumbu

yang berumur Holosen pada jalur sesar tersebut di tenggara Tinobu.

Sesar naik ditemukan di daerah Wawo, sebelah barat Tampakura dan di Tanjung

Labuandala di selatan Lasolo, yaitu beranjaknya batuan ofiolit ke atas batuan

Metamorf Mekonga, Formasi Meluhu dan Formasi Matano. Jenis sesar lain yang

dijumpai adalah sesar bongkah, atau mungkin sesar listrik (listric fault).

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Gambar 2.3 Peta Geologi Regional Lembar Lususua-Kendari, Sulawesi (E. Rusmana, Sukido, D.Sukarna, E.Haryono dan

T.O Simandjuntak, 1993

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Jenis lipatan pada batuan ini berupa lipatan tertutup, setempat dijumpai lipatan rebah

dan lipatan terbalik. Lipatan pada batuan Tersier termasuk jenis lipatan terbuka, berupa

lipatan yang landai dengan kemiringan lapisan berkisar antara 150 dan 300.

Kekar terdapat pada semua jenis batuan. Pada batugamping kekar ini tampak teratur

yang membentuk kelurusan, seperti yang terlihat jelas pada foto udara. Kekar pada batuan

beku umumnya menunjukkan arah tak beraturan. Gejala pengangkatan terdapat di pantai

timur dan tenggara, yang ditunjukkan oleh undak - undak pantai dan sungai, dan

pertumbuhan koral.

2.4 Definisi Geoteknik

Geoteknik merupakan perangkat lunak (ilmu) untuk kepentingan manusia dalam

mencapai keberhasilan pembangunan fisik infrastruktur melalui penyediaan bangunan

(termasuk prasarana transportasi/jalan) yang kuat dan aman dari ancaman kerusakan.

Ruang lingkup kajian dalam geoteknik berhubungan dengan studi: 1) batuan atau tanah

sebagai material bangunan (construction material), 2) massa batuan (rock mass) yang

langsung berkaitan dengan tubuh bangunan, 3) massa batuan yang tidak langsung

berkaitan dengan tubuh bangunan tetapi sebagai penyusun bangunan alami di lingkungan

sekitarnya, misalnya gunung, lereng, tebing, maupun dataran limpah banjir yang luas,

sehingga dapat saja memendam atau berpotensi ancaman bagi keselamatan bangunan

tersebut.

10

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Aspek manfaat dari kajian tersebut:

1. Sebagai material bangunan atau tanah digunakan untuk mengisi atau menyusun

bangunan.

2. Sebagai massa batuan yang terkait langsung dengan bangunan. Batuan berfungsi

sebagai landasan atau pondasi ataupun tumpuan bangunan. Selanjutnya, sebagai

massa batuan, batuan pun berfungsi sebagai media tempat bangunan dibuat,

sehingga batuan berfungsi sebagai penyusun bangunan tersebut termasuk sebagai

lingkungan bangunan yang bersangkutan.

3. Sebagai massa batuan penyusun bangunan alami di lingkungan bangunan

Salah satu ilmu penunjang dalam geoteknik adalah geologi teknik, Geologi Teknik

adalah aplikasi geologi untuk kepentingan keteknikan, yang menjamin pengaruh faktor-

faktor geologi terhadap lokasi, desain, konstruksi, pelaksanaan pembangunan (operation)

dan pemeliharaan hasil kerja keteknikan atau engineering works (American Geological

Institute dalam Attewell & Farmer, 1976).

2.5 Rumah Pembangkit

Rumah pembangkit adalah bangunan termasuk semua mesin dan peralatan

pembangkit tenaga listrik berada di dalamnya (Gambar 2.4). Di dalam rumah pembangkit

inilah tenaga air (tenaga potensial) diubah menjadi tenaga gerak (tenaga kinetik) melalui

turbin, dan tenaga gerak ini diubah menjadi tenaga listrik melalui generator. Komponen-

11

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
komponen utama pada rumah pembangkit adalah turbin, generator, beserta panel-panel

listrik dan sistem kontrol.

Rumah pembangkit didesain untuk melindungi mesin pembangkit dan peralatan

lainnya dari perubahan cuaca. Dalam pembangunan rumah pembangkit harus diperhatikan

kekuatan pondasi, terutama pondasi turbin yang akan menahan gaya potensial dan kinetik

dari air yang mengalir melalui pipa pesat dan turbin. Standar minimal dalam bangunan

rumah pembangkit harus dilengkapi dengan ruang mesin, ruang operator, dan kantor.

Gambar 2.4 Skema Cara Kerja PLTA (Howstuffworks, 2001)

2.6 Pondasi

Pondasi adalah bagian dari elemen bangunan yang berfungsi meletakkan dan

meneruskan beban ke dasar tanah yang kuat mengimbangi dan mendukung (merespon)

12

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
serta dapat menjamin kestabilan bangunan, paling tidak terhadap beratnya sendiri, beban

yang bekerja dan beban gempa. Pondasi dapat digolongkan menjadi dua jenis:

1. Pondasi Dangkal: Disebut pondasi dangkal karena kedalaman masuknya

ke tanah relatif dangkal, hanya beberapa meter masuknya ke dalam tanah.

biasanya pondasi dangkal dibuat dekat dengan permukaan tanah,

umumnya kedalaman pondasi didirikan kurang 1/3 dari lebar pondasi

sampai dengan kedalaman kurang dari 3 m. Pada dasarnya, permukaan

pembebanan atau kondisi permukaan lainnya akan mempengaruhi

kapasitas daya dukung pondasi dangkal. Pondasi dangkal biasanya

digunakan ketika tanah permukaan yang cukup kuat dan kaku untuk

mendukung beban yang dikenakan dimana jenis struktur yang

didukungnya tidak terlalu berat dan juga tidak terlalu tinggi, pondasi

dangkal umumnya tidak cocok dalam tanah kompresif yang lemah atau

sangat buruk, seperti tanah urug dengan kepadatan yang buruk, pondasi

dangkal juga tidak cocok untuk jenis tanah gambut, lapisan tanah muda

dan jenis tanah deposito aluvial, dll. Pondasi dangkal terdiri dari di

dalamnya terdiri dari pondasi setempat, pondasi menerus dan pondasi

pelat.

2. Pondasi Dalam: Pondasi dalam adalah pondasi yang didirikan permukaan

tanah dengan kedalam tertentu dimana daya dukung dasar pondasi

dipengaruhi oleh beban struktural dan kondisi permukaan tanah, pondasi

13

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
dalam biasanya dipasang pada kedalaman lebih dari 3 m di bawah elevasi

permukaan tanah. Pondasi dalam dapat dijumpai dalam bentuk pondasi

tiang pancang, dinding pancang dan caissons atau pondasi kompensasi.

Pondasi dalam dapat digunakan untuk mentransfer beban ke lapisan yang

lebih dalam untuk mencapai kedalam yang tertentu sampai didapat jenis

tanah yang mendukung daya beban struktur bangunan sehingga jenis tanah

yang tidak cocok di dekat permukaan tanah dapat dihindari.

2.7 Klasifikasi Derajat Pelapukan Batuan

Klasifikasi derajat pelapukan batuan merupakan suatu parameter yang digunakan

untuk mengetahui apakah suatu daerah mempunyai kualitas batuan yang bagus atau tidak

sebagai lapisan yang akan menjadi dasar pondasi pada suatu pembangunan. Klasifikasi

derajat pelapukan batuan yang digunakan adalah klasifikasi British Standards Insitution

(BSI), 1981 (Tabel 2.1). Setelah batuan diklasifikasikan sesuai dengan derajat

pelapukannya maka batuan tersebut dikorelasikan antar log bor perpenampang. Kemudian

setelah derajat pelapukannya dikorelasi antar log bor data klasifikasi derajat pelapukan di

gabung dengan hasil analisis klasifikasi massa batuan untuk menentukan penanganan apa

yang cocok untuk dasar pondasi pembangunan rumah pembangkit pada PLTA X.

2.8 Klasifikasi Massa Batuan

Di dalam geoteknik, klasifikasi massa batuan yang pertama diperkenalkan sekitar 60

tahun yang lalu yang ditujukan untuk terowongan dengan penyanggaan menggunakan

14

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Pelapukan Batuan British Standards Insitution (BSI), 1981

15

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
penyangga baja. Kemudian klasifikasi dikembangkan untuk penyangga non-baja

untuk terowongan, lereng, dan pondasi.

Klasifikasi massa batuan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang

timbul di lapangan secara cepat dan tidak ditujukan untuk mengganti studi analitik,

observasi lapangan, pengukuran, dan engineering judgement.

Tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah untuk:

• Mengidentifikasi parameter-parameter yang mempengaruhi kelakuan atau

sifat massa batuan.

• Membagi massa batuan ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai

kesamaan sifat dan kualitas.

• Menyediakan pengertian dasar mengenai sifat karakteristik setiap kelas

massa batuan.

• Menghubungkan berdasarkan pengalaman kondisi massa batuan di suatu

tempat dengan kondisi massa batuan di tempat lain.

• Memperoleh data kuantitatif dan acuan untuk desain teknik.

• Menyediakan dasar acuan untuk komunikasi antara geologist dan engineer.

Keuntungan dari digunakannya klasifikasi massa batuan:

• Meningkatkan kualitas penyelidikan lapangan berdasarkan data masukan

sebagai parameter klasifikasi.

• Menyediakan informasi kuantitatif untuk tujuan desain.

• Memungkinkan kebijakan teknik yang lebih baik dan komunikasi yang

lebih efektif pada suatu proyek.

16

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Dikarenakan kompleksnya suatu massa batuan, beberapa penelitian berusaha

untuk mencari hubungan antara desain galian batu dengan parameter massa batuan.

Banyak dari metode-metode tersebut telah dimodifikasi oleh yang lainnya dan

sekarang banyak digunakan untuk penelitian awal atau bahkan untuk desain akhir.

Beberapa klasifikasi massa batuan yang dikenal saat ini adalah:

1. Metode klasifikasi beban batuan (rock load)

2. Klasifikasi stand-up time

3. Rock Quality Designation (RQD)

4. Rock Structure Rating (RSR)

5. Rock Mass Rating (RMR)

6. Q-system

Pada daerah penelitian didominasi oleh batuan maka hal yang diteliti lebih

difokuskan kepada massa batuan untuk pembangunan pondasi rumah pembangkit

PLTA X. Penulis menggunakan klasifikasi massa batuan untuk mengetahui kelas

massa batuan pada daerah penelitian. Metode klasifikasi massa batuan yang penulis

gunakan adalah metode RMR. Data yang diperlukan untuk metode RMR ini adalah

Uniaxial Compressive Strength (UCS), Rock Designing Quality (RQD), jarak

diskontinuitas, kondisi diskontinuitas, kondisi air tanah dan parameter tambahan yaitu

orientasi diskontinuitas.

2.9 Rock Mass Rating

Rock Mass Rating (RMR) atau juga dikenal dengan Geomechanics Classification

dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1972-1989. Metode Rating dipergunakan

17

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
pada klasifikasi ini. Metode ini telah dikenal luas dan banyak di aplikasikan pada

keadaan dan lokasi yang berbeda-beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan,

tambang batubara, kestabilan lereng, dan kestabilan pondasi. Penjabaran dari metode

RMR dapat dilihat pada (Tabel 2.2). Klasifikasi ini didasarkan pada enam parameter,

antara lain sebagai berikut:

1. Kekuatan batuan (Rock strength)

Kekuatan suatu batuan secara utuh dapat diperoleh dari Point Load Strength Index

atau Uniaxial Compressive Strength. Bieniawski menggunakan klasifikasi Uniaxial

Compressive Strength (UCS) yang telah diusulkan oleh Deere & Miller, 1968

(Bieniawski, 1984). Kekuatan batuan utuh adalah kekuatan suatu batuan untuk

bertahan menahan suatu gaya hingga pecah. Kekuatan batuan dapat dibentuk oleh

suatu ikatan adhesi antar butir mineral atau tingkat sementasi pada batuan tersebut,

serta kekerasan mineral yang membentuknya. Hal ini akan sangat berhubungan dengan

genesa, komposisi, tekstur, dan struktur batuan.

2. Rock Quality Designation (RQD)

Menurut Deere et al., (1967) kualitas massa batuan dapat dinilai dari harga RQD,

RQD yaitu suatu pedoman secara kuantitatif berdasarkan pada perolehan inti yang

mempunyai panjang 100 mm atau lebih tanpa rekahan (Gambar 2.5). RQD didasarkan

pada penghitungan persentase inti terambil yang mempunyai panjang 10 cm atau lebih.

Dalam hal ini, inti terambil yang lunak atau tidak keras tidak perlu dihitung walaupun

mempunyai panjang lebih dari 10 cm. Diameter inti optimal yaitu 47.5 mm. Nama lain

dari RQD adalah suatu penilaian kualitas batuan secara kuantitatif berdasarkan

18

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
kerapatan kekar. Saat ini RQD sebagai parameter standar dalam pemerian inti

pemboran dan merupakan salah satu parameter dalam penentuan klasifikasi massa

batuan RMR dan Q-system.

Gambar 2.5 Cara Pengukuran dan perhitungan RQD (Deere & Deere, 1988)

3. Jarak diskontinuitas (Spacing of discontinuities)

Diskontinuitas adalah bentuk-bentuk ketidakmenerusan massa batuan, seperti

kekar, bedding atau foliasi, shear zones, sesar minor, atau bidang lemah lainnya. Jarak

diskontinuitas dapat diartikan sebagai jarak rekahan bidang-bidang yang tidak sejajar

dengan bidang-bidang lemah lain. Sedangkan spasi bidang diskontinuitas adalah jarak

antar bidang yang diukur secara tegak lurus dengan bidang diskontinuitas.

4. Kondisi diskontinuitas (Condition of discontinuities)

Kondisi diskontinuitas merupakan suatu parameter yang terdiri dari beberapa sub-sub

parameter, yakni kemenerusan bidang diskontinuitas (persistence), lebar rekahan

19

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
bidang diskontinuitas (aperture), kekasaran permukaan bidang diskontinuitas

(roughness), material pengisi bidang diskontinuitas (infilling), dan tingkat pelapukan

dari permukaan bidang diskontinuitas (weathered).

5. Kondisi Air Tanah (Groundwater condition)

Air tanah sangat berpengaruh terhadap lubang bukaan suatu terowongan, sehingga

posisi muka air tanah terhadap posisi lubang bukaan sangat perlu diperhatikan. Kondisi

air tanah dapat dinyatakan secara umum, yaitu kering (dry), lembab (damp), basah

(wet), menetes (dripping), dan mengalir (flowing).

6. Orientasi diskontinuitas (Orientation of discontinuities)

Orientasi diskontinuitas merupakan strike/dip diskontinuitas (dip/dip direction).

Parameter ini merupakan parameter tambahan dari kelima parameter yang ada. Bobot

yang diberikan untuk parameter ini sangat tergantung pada hubungan antara orientasi

kekar-kekar yang ada dengan metode penggalian yang dilakukan. Oleh karena itu

dalam perhitungannya, bobot parameter ini biasanya diperlakukan terpisah dari lima

parameter lainnya.

Orientasi ketidakmenerusan mempunyai efek yang sangat penting terhadap

kemantapan lereng, pondasi maupun dalam pekerjaan bukaan bawah tanah

(tunneling). Dalam hal yang terakhir arah-arah dari pembuatan terowongan/bukaan

dan orientasi ketidakmenerusan sangat penting dalam menetapkan sistem

penyanggaan yang harus diterapkan.

20

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
2.10 Penanganan pada Kontruksi Bangunan

Menurut Bhardwaj, S., Sharma, M., & Bhau S.D.S (2015). Penanganan untuk

suatu kontruksi bangunan terdiri dari beberapa metode:

1. Penggalian: Suatu proses penghilangan beberapa bagian yang ada dibumi

seperti tanah, batu dll untuk tujuan konstruksi.

2. Lapisan Shotcrete: Suatu istilah teknis yang digunakan untuk menentukan

mortar semen yang diterapkan di bawah tekanan melalui nosel pada saluran

permukaan. Shotcrete adalah suatu penanganan yang diterapkan agar bagian

permukaan lebih baik, shotcrete biasanya digunakan dengan alasan sebagai

berikut:

 Untuk melindungi permukaan yang tidak dilakukan suatu penanganan,

yeng segera akan tererosi (atau sudah tererosi).

 Memberikan penunjang struktural untuk batuan yang dirusak oleh

erosi atau yang tidak stabil (karena kerusakan orinetasi atau tingkat

rekahan)

3. Rock Bolt: Suatu baut panjang yang digunakan untuk menstabilkan penggalian

batu. Rock Bolt digunakan dalam pembangunan terowongan atau pemotongan

batuan. Tujuan utama rock bolt adalah untuk memindahkan beban dari bagian

batuan yang tidak stabil ke bagian batuan yang kuat dan stabil.

4. Dewatering: Pekerjaan sipil yang bertujuan untuk dapat mengendalikan air (air

tanah/permukaan) agar tidak mengganggu/menghambat proses pelaksanaan

suatu pekerjaan konstruksi, terutama untuk pelaksanaan bagian struktur yang

berada dalam tanah dan di bawah muka air tanah.

21

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
Tabel 2.2 Pembobotan Massa Batuan (Rock Mass Rating) Berdasarkan Klasifikasi

Geomekanika (Bieniawski, 1989)

a. Parameter Klasifikasi dan Pembobotannya

Parameter Selang Nilai

Untuk nilai yang


PLI
Kuat > 10 4 - 10 2–4 1-2 kecil di pakai
(MPa)
Tekan hasil UCS
1 Batuan
UCS
Utuh > 250 100 – 200 50 – 100 25 – 50 5-25 1-5 <1
(MPa)

Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0

RQD (%) 90 – 100 75 – 90 50 – 75 25 - 50 25


2
Pembobotan 20 17 13 8 3

Jarak Diskontinuitas > 200 cm 60 – 200 cm 20 - 60 cm 6 – 20 cm < 6 cm


3
Pembobotan 20 15 10 8 5

Permukaan
sangat kasar,
Agak kasar, Agak kasar, Slikensided/gouge < Gouge lunak > 5
tidak
Kondisi separasi < 1 separasi < 1 5 mm, atau mm, atau
menerus,
Diskontinuitas mm, agak mm, sangat separasi 1 – 5 mm, separasi > 5 mm,
4 tidak
lapuk lapuk menerus menerus
renggang,
tidak lapuk

Pembobotan 30 25 20 10 0

Aliran /
10 m
panjang Tidak ada < 10 10 – 25 25 – 125 > 125
tunnel
(L/min)
Kondisi
Air Tekanan
pori dibagi
5 Tanah 0 < 0,1 0,1 – 0,2 0,2 – 0,5 > 0,5
tegangan
utama

Keadaan
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Umum

Pembobotan 15 10 7 4 0

22

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
b. Pengaruh Orientasi Diskontinuitas

Arah jurus tegak lurus sumbu pondasi


Arah jurus
Mengabaikan
sejajar sumbu pondasi
Jurus
Maju Melawan
Maju Searah Kemeringan
Kemiringan

Dip Dip Dip Dip Dip Dip Dip


45o – 90o 20o – 45o 45o – 90o 20o – 45o 45o – 90o 20o – 45o 0o – 20o

Sangat Tidak Sangat tidak


Mengun-
Mengun- Sedang Mengun- Mengun- Sedang Sedang
tungkan
tungkan tungkan tungkan

c. Penyesuaian Pembobotan Untuk Orientasi Diskontinuitas Pada Beberapa

keperluan

Sangat Tidak
Jurus dan Kemiringan Mengun- Sangat tidak
Mengun- Sedang Mengun-
Orientasi Diskontinuitas tungkan Menguntungkan
tugkan tungkan

Terowongan 0 -2 -5 -10 -12

Pembobotan Pondasi 0 -2 -7 -15 -25

Lereng 0 -5 -25 -50 -60

d. Kelas Pembobotan Massa Batuan (RMR, Rock Mass Rating) Total

Pembobotan 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 - 21 < 20

No. Kelas I II III IV V

Sangat
Deskripsi Baik Sedang Jelek Sangat Jelek
baik

23

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara
5. Pondasi: Suatu bagian dari konstruksi bangunan yang berfungsi untuk

menempatkan bangunan dan meneruskan beban yang disalurkan dari struktur

atas ke tanah dasar pondasi yang cukup kuat menahannya tanpa terjadinya

differential settlement pada sistem strukturnya. Untuk memilih tipe pondasi

yang memadai, perlu diperhatikan apakah pondasi itu cocok untuk berbagai

keadaan di lapangan dan apakah pondasi itu memungkinkan untuk diselesaikan

secara ekonomis sesuai dengan jadwal kerjanya. Hal-hal yang perlu

dipertimbangkan dalam pemilihan tipe pondasi adalah keadaan tanah pondasi,

batasan-batasan akibat konstruksi di atasnya (upper structure), keadaan daerah

sekitar lokasi, waktu dan biaya pekerjaan, kokoh dan kuat. Pondasi terdiri dari

beberapa jenis yaitu pondasi tiang pancang, pondasi batu kali, pondasi batu

bata, pondasi telapak dan pondasi sumuran

24

Analisis dasar pondasi rumah pembangkit dengan menggunakan klasifikasi massa batuan metode RMR, pada PLTA X, daerah
Asinua Jaya dan sekitarnya, kecamatan Asinua, kabupaten Konawe, provinsi Sulawesi Tenggara
Lisha Azuwara

Anda mungkin juga menyukai