Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Salahuddin Husein1*
Moch. Nukman2
1
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2
Prodi Geofisika, Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
*corresponding author: shddin@gmail.com
SARI
Berdasarkan analisis kandungan zirkon pada batuan volkanik berumur Miosen, Pegunungan Selatan
Jawa Timur (PSJT) dianggap sebuah fragmen Gondwana yang terpisah dari mikrokontinen Jawa
Timur – Sulawesi Barat. Kajian tomografi seismik juga berhasil menunjukkan sebaran mikrokontinen
PSJT tersebut. Model rekonstruksi tektonik yang ada selama ini menempatkan kolisi dan amalgamasi
Pegunungan Selatan terhadap Sundaland terjadi pada akhir Kapur. Meski demikian, studi
paleomagnetisme mengindikasikan posisi paleolatitude PSJT pada umur Eosen masih berada pada
jarak sekitar 16o selatan dari posisinya saat ini. Dengan asumsi posisi Sundaland tidak banyak
berubah semenjak akhir Kapur, hal ini memunculkan pertanyaan kapan sebenarnya kolisi PSJT
terhadap tepian tenggara Sundaland. Makalah ini mengusulkan kolisi tersebut terjadi secara
menyerong di akhir Oligosen dan berlangsung hingga Miosen Tengah, yang diakomodir oleh subduksi
ganda dan patahan transform yang kelak menjadi Patahan Progo-Muria, serta memerangkapkan
kerak samudera di bawah Cekungan Kendeng.
beberapa kontinen mikro yang berasal dari tinggi yang berasosiasi dengan subduksi, namun
Gondwana dan Laurasia di sepanjang Perioda penelitian termutakhir dari Setiawan et al.
Kapur (Metcalfe et al., 1996; Hall, 2002). (2013) menunjukkan keberadaan fasies tersebut
Pegunungan Selatan Jawa Timur dianggap yang ditandai dengan kehadiran sekis
sebagai bagian dari kontinen mikro Jawa Timur glaukopan-epidot, sekaligus dapat
– Sulawesi Barat (Argo) yang bergabung dengan menempatkan Bayat sebagai salah satu fosil
Sundaland di Kala Kapur Akhir, yang dibawa subduksi Jawa.
oleh lajur subduksi Samudera Keno-Tetis Sejarah geologi Kenozoikum Pulau Jawa
berarah timurlaut-baratdaya. Akibat adalah sejarah busur gunungapi (van Bemmelen,
amalgamasi tersebut, terjadi perpindahan lajur 1949). Terdapat dua lajur gunungapi, yaitu
subduksi menjadi berarah timur-barat seperti busur gunungapi Oligo-Miosen yang
sekarang ini terjadi di awal Paleogen (Hall, membangun Pegunungan Selatan, dan busur
2002). gunungapi modern yang aktif semenjak Miosen
Identifikasi luasan kontinen mikro Jawa Akhir dan menempati bagian tengah Pulau Jawa,
Timur – Sulawesi Barat dan lajur subduksi Kapur dimana kedua busur tersebut terpisah jarak 50
Akhir yang berarah timurlaut-baratdaya km. Penelitian Smyth (2005) mengindikasikan
dianggap bersifat spekulatif, karena hanya Busur Pegunungan Selatan telah aktif semenjak
ditentukan dengan korelasi kompleks subduksi Eosen Tengah. Secara fisiografis, busur
di Karangsambung, Jawa Tengah dan Meratus, gunungapi modern menempati bagian selatan
Kalimantan Selatan (Metcalfe et al., 1996; Zona Kendeng yang merupakan suatu cekungan
Parkinson et al., 1998). Litologi berumur Kapur sedimenter yang dalam.
yang tersingkap di Karangsambung memiliki
karakter ofiolit, mencakup lava basal 2.2. Kemagnetan Purba
berstruktur bantal, rijang, batugamping, sekis,
Rekonstruksi tektonik untuk Sundaland
dan batuan metasedimen (Wakita, 2000). Bukti-
selama ini berdasarkan pada asumsi-asumsi
bukti adanya fosil subduksi ditunjukkan oleh
regional yang dibangun atas posisi
kehadiran batuan metamorfik tekanan tinggi
paleogeografi Eurasia dan Australia (Hall,
yang membawa glaukopan-kuarsa-jadeit serta
2002,2012). Sundaland dianggap mengalami
eklogit (Miyazaki et al., 1998). Umur Perioda
rotasi berlawanan arah jarum jam (counter-
Kapur ditentukan dengan kandungan radiolaria
clockwise) berdasarkan pada rotasi yang dialami
di dalam rijang (Wakita et al., 1994) dan
oleh Sumatera dan Kalimantan (Ngkoimani et al.,
penanggalan K-Ar pada muskovit dari sekis mika
2006). Penelitian yang mendukung terhadap
yang menunjukkan rentang umur 110 hingga
rekonstruksi tektonik adalah kajian kemagnetan
124 juta tahun silam (Parkinson et al., 1998;
purba (Tauxe, 1998), yang dapat memberikan
Miyazaki et al., 1998).
informasi mendasar tentang posisi geografis
Diluar jalur Karangsambung-Meratus,
suatu lempeng di waktu geologi tertentu.
terdapat singkapan batuan Kapur lainnya di
Adapun kemagnetan purba Pegunungan Selatan
Jawa Tengah, yaitu di Bayat. Di daerah ini,
sejauh ini pernah diteliti dua kali, oleh Mahfi
batuan metamorfik derajat rendah tersingkap,
(1984) dan Ngkoimani et al. (2006). Menarik
seperti filit, sekis, dan marmer. Penanggalan K-
mencermati kedua hasil penelitian tersebut,
Ar pada sekis mika menunjukkan umur 98 juta
yang berdasarkan pada rentang sampel
tahun silan (Prasetyadi, 2007). Keberadaan
berumur Eosen hingga Miosen, memiliki
Bayat sebagai bagian penting dalam menyusun
persamaan dan perbedaan.
proses amalgamasi tektonik Jawa Timur –
Mahfi (1984) mengambil sampel dari
Sulawesi Selatan menjadi perdebatan cukup
berbagai jenis batuan, yaitu batuan beku,
panjang. Meskipun Parkinson et al. (1998)
batuan piroklastika, dan batugamping kristalin
melaporkan ketiadaan fasies sekis biru sebagai
(Table 1). Umur sampel ditentukan secara relatif,
indikator proses metamorfisme bertekanan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
patahan transform 90-East mengambil peran Di sepanjang Miosen tengah hingga awal
dalam percepatan pergeseran India ke utara Miosen akhir, rotasi Sundaland tetap
menuju Eurasia (Gambar 5). Memasuki awal berlangsung, seiring dengan pegerakan
Paleogen ketika Australia mulai menekan ke Australia ke utara. Di sisi tenggara Sundaland
utara yang menyebabkan tepian pasif di selatan terjadi pemunduran subduksi (roll-back) di
Sundaland didominasi oleh tektonik patahan sepanjang palung Jawa Timur yang mampu
transform (Gambar 6). Posisi mikrokontinen menarik Sumba untuk bergeser ke arah
Jawa Timur masih berada di sekitar lintang 20o tenggara (Gambar 10). Proses ini juga memicu
selatan, sebagaimana yang diindikasikan oleh munculnya busur gunungapi modern di
pengukuran kemagnetan purba (Mahfi, 1984; sepanjang Jawa Timur hingga ke Sunda Kecil.
Ngkoimani et al., 2006). Semenjak Pliosen hingga Resen roll-back
Pada pertengahan Eosen Australia mulai palung Jawa semakin menggeser Sumba ke arah
bergerak ke utara dan menyebabkan proses tenggara dan menghasilkan peregangan di Laut
subduksi kembali terjadi di tepi selatan Banda Selatan yang menerus ke arah barat
Sundaland. Pergeseran mikrokontinen Jawa hingga di utara Sumbawa (Gambar 11). Di ujung
Timur ke utara diakomodasi oleh dua patahan barat, tekanan subduksi mengakibatkan inversi
transform dan subduksi ganda (Gambar 7). Di Pulau Jawa, membentuk fisiografi sebagaimana
sepanjang awal Oligosen Australia mendekati yang tampak saat ini. Deformasi tektonik
Sundaland dengan cepat, dan di akhir Oligosen terbesar selama inversi Plio-Pleistocene dialami
Awal mikrokontinen Jawa Timur mulai oleh Cekungan Kendeng, kemungkinan
mengalami kolisi terhadap Sundaland, dimulai disebabkan oleh sifat asalmula batuan dasarnya
dari ujung timurnya terhadap Sulawesi Barat yang berupa kerak samudera yang terperangkap.
(Gambar 8).
Di penghujung Oligosen hingga memasuki V. KESIMPULAN
Miosen awal, ujung utara Australia (Sula Spur) Rekonstruksi tektonik mikrokontinen Jawa
mengalami kolisi terhadap busur Sulawesi Utara. Timur dalam makalah ini dilakukan secara
Akibat dorongan Australia tersebut, rotasi palinspatik dengan memasukkan hasil kajian
berlawanan arah jarum jam (counter-clockwise) kemagnetan purba dari dua peneliti terdahulu,
Sundaland dimulai (Gambar 9). Di sisi lain, Mahfi (1984) dan Ngkoimani et al. (2006).
mikrokontinen Jawa Timur mulai merapatkan Hasilnya menunjukkan bahwa pergeseran
jejak subduksinya terhadap Sundaland dalam mikrokontinen Jawa Timur difasilitasi oleh
pegerakan rotasi searah jarum jam (clockwise), patahan transform dan subduksi ganda selama
membentuk Cekungan Kendeng di atas kerak Eosen – Miosen Awal, dari posisi awal yang
samudera yang terperangkap. Patahan berada di lintang 20 o Selatan. Posisi geometri
transform yang mengakomodasi pergeseran mikrokontinen Jawa Timur yang relatif
mikrokontinen Jawa Timur sebelah barat menyerong terhadap tepian Sundaland
menjadi cikal-bakal dari Patahan Progo-Muria. menyebabkan rotasi searah jarum jam
Posisi mikrokontinen Jawa Timur telah berada (clockwise) dialami oleh mikrokontinen ini
di sekitar posisinya saat ini (lintang 8o selatan), ketika kolisi mulai terjadi semenjak Oligosen
sebagaimana yang diindikasikan oleh Akhir. Penutupan kerak samudera di utara
pengukuran kemagnetan purba (Mahfi, 1984; mikrokontinen Jawa Timur pada Miosen Awal
Ngkoimani et al., 2006). Pembalikan polaritas membentuk asalmula Cekungan Kendeng, yang
subduksi Jawa Timur diduga terjadi saat ini, semenjak itu mengalami sedimentasi yang
dimana subduksi ke utara berkembang di cepat akibat pasokan sedimen yang tinggi dari
selatan mikrokontinen Jawa Timur untuk busur gunungapi Pegunungan Selatan Jawa
mengakomodasi pergeseran Samudera Hindia Timur. Penutupan Cekungan Kendeng
ke utara. disempurnakan saat inversi Plio-Pleistosen,
dimana jejak kerak samudera yang
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
terperangkap dapat diketahui dari kontaminasi Selatan terhadap Kendeng, yang merupakan
jejak isotop radiogenik magma Jollis et al. kunci dalam memahami dinamika kerak
(2012) dan studi tomografi Haberland et al. samudera yang menjadi batuan dasar Kendeng,
(2014). dan (c) Kendeng terhadap Randublatung-
Rembang, sebagai kunci untuk memahami
VI. SARAN hubungan kerak samudera Kendeng dan
Implikasi dari model rekonstruksi ini adalah paparan benua Rembang.
penelitian lanjutan yang harus melengkapi Diluar Jawa Timur, kajian tektonik yang
persyaratan rekonstruksi tektonik lempeng sama harus diberlakukan kepada Sumba dan
lainnya menurut (Hochard & Stampfli, 2008), Sulawesi Selatan, karena keduanya membangun
yaitu distribusi fasies batuan dan konstrain mikrokontinen Jawa Timur bersama-sama
umurnya. Pekerjaan ini harus dimulai dengan dengan Pegunungan Selatan Jawa Timur
mengkaji kembali petrotektonik kelompok sebelum kemudian menjadi terpisah semenjak
batuan metamorfik di Bayat, dimana fasies inisiasi kolisi di Oligosen Awal hingga
metamorfisme dan analisis struktur geologinya menempati posisinya seperti saat ini.
akan menjadi kunci utama.
Selanjutnya korelasi fasies sedimenter dan VII. UCAPAN TERIMA KASIH
analisis struktur geologi antara Pegunungan Penulis sangat mengapresiasi atas diskusi
Selatan Jawa Timur ke berbagai cekungan dan masukan yang diberika oleh para kolega di
sekitarnya juga dilakukan kembali, terutama Departemen Teknik Geologi FT UGM sehingga
pada area kunci berikut: (a) Pegunungan Selatan model rekonstruksi tektonik Jawa Timur ini
terhadap Kulonprogo – Serayu Selatan, yang dapat terwujud, yaitu Moch. Indra Novian,
merupakan kunci dalam memahami sifat M.Eng., Dr. Didit Hadi Barianto, dan Nugroho
tektonik Patahan Progo-Muria, (b) Pegunungan Imam Setiawan, Ph,D.
DAFTAR PUSTAKA
Haberland, C., M. Bohm, and G. Asch (2014) Accretionary nature of the crust of Central and East Java
(Indonesia) revealed by local earthquake travel-time tomography. Journal of Asian Earth Sciences,
96, pp. 287-295.
Hall, R. (2002) Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW Pacific:
computer-based reconstructions, model and animations, Journal of Asian Earth Science, 20, pp.
353-434.
Hall, R. (2012) Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean,
Tectonophysics, 570–571, pp. 1-41.
Hamilton, W. (1979) Tectonics of the Indonesian Region, USGS Professional Paper, vol. 1078, 345 p.
Hochard, C. and G. Stampfli (2008) Dynamic Plate boundaries: A method of reconstructing the past
(abstract). Proceedings of the 33rd International Geological Congress, Oslo, 1 p.
Jolis, E.M., V. Troll, F. Deegan, L. Blythe, C. Harris, C. Freda, D. Hilton, J. Chadwick, and M. Van Helden
(2012) Tracing crustal contamination along the Java segment of the Sunda Arc, Indonesia.
Geophysical Research Abstracts, 14, EGU2012-9291, EGU General Assembly 2012.
Mahfi, A. (1984) A Paleomagnetic Study of Miocene and Eocene Rocks from Central Java, Indonesia.
Unpublished M.A. Thesis, University of California, Santa Barbara
Metcalfe, I. (1996) Gondwanaland dispersion, Asian accretion and evolution of eastern Tethys, in: Z.X.
Li, I. Metcalfe, C.M. Powell (eds.), Breakup of Rodinia and Gondwanaland and Assembly of Asia,
43, pp. 605-624.
Miyazaki, K., J. Sopaheluwakan, I. Zulkarnain, K. Wakita (1998) A jadeite–quartz–glaucophane rock
from Karangsambung, central Java, Indonesia, Island Arc, 7, pp. 223-230.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Nishimura, S., K.H. Thio, and F. Hehuwat (1980) Fission-Track Ages of Tephras and Tuffs from Bayat
and Karansambung, Central Jawa. Physical Geology of Indonesian Island Arcs, Kyoto University,
Kyoto, pp. 81-87.
Parkinson, C.D., K. Miyazaki, K. Wakita, A.J. Barber, D.A. Carswell (1998) An overview and tectonic
synthesis of the pre-Tertiary very-high-pressure metamorphic and associated rocks of Java,
Sulawesi and Kalimantan, Indonesia, Island Arc, 7, pp. 184-200.
Prasetyadi, C. (2007) Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur, Tesis S3, Institut Teknologi
Bandung, Indonesia.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Satyana, A.H. (2014) New Consideration on The Cretaceous Subduction Zone of Ciletuh-Luk Ulo-
Bayat-Meratus: Implications for Southeast Sundaland Petroleum Geology. Proceedings of 38th
Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, IPA14-G-129, 41 p.
Setiawan, N.I., Osanai, Y., Prasetyadi, C. (2013) A preliminary view and importance of metamorphic
geology from Jiwo Hills in Central Java, Proceedings Seminar Nasional Kebumian ke-6, Jurusan
Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, pp. 11-23.
Seubert, B.W., and F. Sulistianingsih (2008) A Proposed New Model for the Tectonic Evolution of
South Java. Proceedings of 32nd Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum
Association, IPA08-G-034, 22 p.
Smyth, H. (2005) Eocene to Miocene Basin History and Volcanic Activity in East Java, Indonesia. PhD-
Thesis University of London, 2005, 476 pp.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R. C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polve, M. (1994), Tertiary Magmatic
Belt in Java, Journal of Southeast Asian Earth Sciences, 12, pp. 13-27.
Surono, B. Toha, dan I. Sudarno (1992) Peta Geologi Lembar Surakarta - Giritontro, Jawa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Tauxe, L. (1998) Paleomagnetic Principles and Practice. Kluwer Academic Publishers, Boston, 299 p.
Wakita, K. and B.W. Munasri (1994) Cretaceous radiolarians from the Luk-Ulo Melange Complex in
the Karangsambung area, Central Java, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Science, 9, pp.
29-43.
Wakita, K. (2000) Cretaceous accretionary - collision complexes in central Indonesia. Journal of Asian
Earth Science, 18, pp. 739-749.
van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia. Government Printing Office, Nijhoff, The
Hague, 730 p.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
TABEL
Tabel 1. Lokasi sampel paleomagnetisme Pegunungan Selatan (Mahfi, 1984; Ngkoimani et al., 2006). Umur relatif mengacu
pada peta geologi regional P3G (Surono et al., 1992; Rahardjo et al., 1995). Umur mutlak di lokasi ITR mengacu
pada penganggalan fission track Nishimura et al. (1980). Umur mutlak di lokasi GSR, GIJ, KLB, KSG, dan PRA
mengacu pada penanggalan K-Ar Soeria-Atmadja et al. (1994).
Mahfi, 1984
Umur Paleo-
Lokasi Lintang Bujur Litologi Umur relatif Kisaran
mutlak (jtl) lintang
Kulonprogo
IGM -7.7361 110.1941 Andesit Oligo-Miosen -8 ±2
Yogyakarta
IGA -7.8046 110.3202 Batugamping Eosen - - -
IWA -7.8084 110.4595 Basalt Oligo-Miosen -11.6 ± 4.3
Bayat
ITR -7.8102 110.6433 F. Kebobutak Oligo-Miosen 17 – 12 Mya - -
IGT -7.7667 110.6785 F. Oyo Miosen Tengah - - -
IWP -7.7669 110.6712 Batugamping Eosen - -22.9 ± 9.2
IPD -7.7748 110.6691 Diorit Plio-Pleistosen - -22.1 ± 3.3
Ngkoimani et el., 2016
Kulonprogo
GSR -7.8625 110.0759 F. Andesit Tua Oligo-Miosen 25.35 ± 0.65 -13.4 (-9.4) – (-17.7)
GIJ -7.8055 110.0825 Andesit Miosen Awal 25.98 ± 0.55 -12.0 (-9.2) – (-14.9)
KLB -7.8236 110.0878 Andesit Miosen Awal 29.63 ± 2.26 -21.4 (-15.7) – (-28.1)
GPW -7.7825 110.0988 Andesit Miosen Awal 75.87 ± 4.06 -19.8 (-17.6) – (-22.0)
SKP -7.7807 110.1001 Andesit Miosen Awal 47.42 ± 3.19 -15.8 (-13.9) – (-17.7)
PWH -7.6899 110.1863 F. Andesit Tua Oligo-Miosen 11.35 ± 4.96 -10.4 (-8.2) – (-12.7)
KSG -7.7384 110.1973 F. Andesit Tua Oligo-Miosen 28.31 ± 3.46 12.2 (24.2) – (18.4)
Yogyakarta
WTA -7.8084 110.4595 F. Semilir Oligo-Miosen 56.3 ± 3.8 - 11.1 (-9.4) – (-17.0)
PRA -8.0172 110.3244 F. Nglanggran Miosen Awal 26.44 ± 0.83 -13.1 (-9.2) – (-14.9)
Gunung Kidul
WDR -7.8717 110.582 F. Nglanggran Miosen Awal 6.69 ± 6.89 -9.2 (-7.2) – (-11.4)
GAMBAR
Gambar 1. Sebaran
lokasi pengukuran
paleomagnetisme di
Pegunungan Selatan
dan Kulonprogo
(Mahfi, 1984;
Ngkoimani et al.,
2006).
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 2. Rekonstruksi 160 jtl (Oxfordian – awal Yura Akhir), dimana bagian barat Australia mengalami pemekaran
menjadi berbagai kontinen mikro, termasuk PSJT; dan 140 jtl (Valanginian – awal Kapur Awal) ketika
pemekaran samudera Keno-Tetis telah memisahkan berbagai kontinen mikro tersebut, dibantu dengan tarikan
penunjaman ke arah utara.
Gambar 3. Rekonstruksi 130 jtl (Berremian – tengah Kapur Awal) ketika kontinen mikro Argo mengalami pemekaran yang
menghasilkan dua sliver kontinen; dan 120 jtl (Aptian – akhir Kapur Awal) dimana salah satu sliver Argo
mengalami kolisi dengan timur kontinen mikro Jawa Timur, yang diduga menghasilkan metamorfisme
Bantimala.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 4. Rekonstruksi 110 – 100 jtl (Albian – akhir Kapur Awal) dimana sliver Argo lainnya mengalami kolisi dengan
bagian barat mikrokontinen Jawa Timur, menghasilkan metamorfisme Bayat. Mengikuti kolisi Bayat tersebut
terjadi sumbu pemekaran samudera baru di sebelah barat mikrokontinen Jawa Timur sebagai perkembangan
dari pemekaran India dan Australia. Di ujung Sundaland, mikrokontinen Banda, Argo, dan Mangkalihat mulai
mengalami kolisi dengan mikrokontinen Luconia yang bergerak dari Eurasia timur. Di sisi barat, Busur Woyla
juga mulai mengalami kolisi dengan Sumatera.
Gambar 5. Rekonstruksi 91 – 89 jtl (Turonian – awal Kapur Akhir) dimana sutur-sutur utama Sundaland telah terbentuk
akibat rangkaian kolisi Albian, dan bagian timur Samudera Keno-Tetis berubah menjadi tepian pasif akibat arah
pemekaran yang tegak lurus Sundaland. Di bagian barat Keno-Tetis patahan transform 90-East mengambil
peran dalam percepatan pergeseran India ke utara menuju Eurasia.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 6. Rekonstruksi 65 – 50 jtl (awal Paleogen) ketika Australia mulai akan bergerak ke utara. Tepian pasif di selatan
Sundaland didominasi oleh tektonik patahan transform.
Gambar 7. Rekonstruksi 45 – 40 jtl (Eosen tengah) saat Australia mulai bergerak ke utara dan menyebabkan proses
subduksi kembali terjadi di tepi selatan Sundaland. Pergeseran mikrokontinen Jawa Timur ke utara diakomodasi
oleh dua patahan taransform dan subduksi ganda.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 8. Rekonstruksi 35 – 30 jtl (Oligosen awal) ketika Australia mendekati Sundaland dengan cepat. Mikrokontinen
Jawa Timur mulai mengalami kolisi terhadap Sundaland, dimulai dari ujung timurnya terhadap Sulawesi Barat.
Gambar 9. Rekonstruksi 25 – 20 jtl (Oligosen akhir – Miosen awal) saat ujung utara Australia (Sula Spur) mengalami kolisi
terhadap busur Sulawesi Utara. Akibat dorongan Australia tersebut, rotasi berlawanan arah jarum jam
(counter-clockwise) Sundaland dimulai. Mikrokontinen Jawa Timur mulai merapatkan jejak subduksinya
terhadap Sundaland, membentuk Cekungan Kendeng di atas kerak samudera yang terperangkap. Subduksi di
Jawa Timur beralih polaritasnya untuk mengakomodasi pergerakan Samudera Hindia ke utara.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8
Academia-Industry Linkage
15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 10. Rekonstruksi 15 – 10 jtl (Miosen tengah – awal Miosen akhir) ketika pemunduran subduksi (roll-back)
mendominasi palung Jawa yang mampu menarik Sumba untuk bergeser ke arah tenggara. Proses ini juga
memicu munculnya busur gunungapi modern di sepanjang Jawa Timur hingga ke Sunda Kecil.
Gambar 11. Rekonstruksi 5 – 0 jtl (Pliosen – Resen) ketika pemunduran subduksi (roll-back) palung Jawa semakin
menggeser Sumba ke arah tenggara dan menghasilkan peregangan di Laut Banda Selatan yang menerus ke arah
barat hingga di utara Sumbawa. Di ujung barat, tekanan subduksi mengakibatkan inversi Pulau Jawa, dengan
inversi terbesar dialami oleh Cekungan Kendeng.