Anda di halaman 1dari 3

Asal Usul Telaga Sarangan 

Magetan
 
Pada zaman dahulu kala, di lereng Gunung Lawu bagian timur, hiduplah sepasang suami
istri bernama Kiai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di sebuah pondok kecil. Mereka hanya
tinggal berdua karena selama bertahun-tahun menikah tidak dikaruniai seorang anak pun.
Tempat tinggal mereka juga sangat jauh dari permukiman warga. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari, mereka menanam umbi-umbian di sekitar pondok .Kadang-kadang, Kiai
Pasir berburu binatang untuk lauk Kadang-kadang Kiai Pasir pergi ke pasar desa yang terdekat
untuk menukar barang seperti garam dan beras.
Pada suatu hari, Kiai Pasir pergi ke hutan untuk menebang pohon. Pagi-pagi sekali
setelah menyantap ubi bakar, ia pamit pada istrinya hendak ke hutan yang agak jauh dari
pondoknya
Tiba di tengah hutan, Kiai Pasir mencari-cari pohon yang cukup besar dan berbatang
lurus supaya kuat dijadikan tiang. Tidak lama kemudian, ia pun menemukan pohon yang sesuai
dengan keinginannya. Karena semak belukar di sekitar pohon itu sangat lebat, Kiai Pasir terlebih
dahulu membersihkannya. Saat ia sedang menyibak dan membersihkan semak itu, dilihatnya ada
sebutir telur berukuran cukup besar tergeletak di atas tumpukan dedaunan seperti sarang. Kiai
Pasir teringat istrinya yang tentu akan sangat senang mendapat telur untuk santapan. diambilnya
telur itu
Nyai Pasir sudah menanti dengan cemas di depan pondok karena hari mulai gelap.
Alangkah senangnya ketika dilihat Kiai Pasir pulang dengan selamat, apalagi saat suaminya
menyerahkan wadah bambu.
“Apa ini?” tanya Nyai Pasir.
“Buka saja, Nyai, nanti kau akan tahu,” jawab Kiai Pasir sambil meletakan kapaknya di sudut
luar pondok. ;
“Wooowww, besar sekali telur ini. Kau dapat di mana, Ki?” tanya istrinya
“Di bawah pohon. Sudah lama kita tidak makan telur,” kata Kiai Pasir
“Sebentar Ki … sepertinya ini bukan telur ayam hutan. Telur ayam hutan tidak akan sebesar ini,”
kata Nyai Pasir tiba-tiba menjadi cemas.
“Sudahlah, Nyai … mungkin saja ayam hutannya besar, jadi telurnya juga besar,” kata Kiai Pasir
“Kalau telur ular bagairnana? Induknya pasti akan mencari,” kata Nyai Pasir lagi. •
“Aku tidak melihat ular di sana, Nyai. Itu rezeki kita hari ini. Sudah … sudah tak usah berpikir
macam-macam, siapkan saja makananku. Aku sudah lapar.”
“Tidak menunggu kurebuskan telur ini dulu?” tanya Nyai Pasir.
“Telurnya buat sarapan besok saja, untuk menambah tenaga. Besok aku harus melanjutkan
menebang pohon,” jawab Kiai Pasir.
Nyai Pasir tidak bertanya lagi. Ia segera menyalakan perapian untuk menjerang air,
menuruti kata suaminya. Sambil menunggu aimya mendidih, Nyai Pasir menyiapkan ubi rebus
dan sayur. Kiai Pasir pergi ke pancuran di belakang pondok untuk membersihkan diri.
Keesokan harinya Kiai Pasir bangun lebih pagi karena akan melanjutkan menebang
pohon. Saat Kiai Pasir menyiapkan peralatan di samping pondok, Nyai Pasir menghidangkan
minuman, ubi rebus, sayur, dan telur rebus.
“Ki, sarapan sudah siap,” kata Nyai Pasir memanggil suarninya.
”Ya, sebentar,” jawab Kiai Pasir.
“Hhhmmmm, enak sekali Nyai. Mudah-mudahan tenagaku bertambah hari ini,” kata Kiai Pasir.
“Iya Ki, rasanya lebih lezat dari telur ayam yang pemah kita makan,” kata Nyai Pasir
Selesai bersantap, Kiai Pasir berangkat ke hutan dengan membawa peralatan seperti
biasanya.Kiai Pasir bergegas menyusuri jalan yang telah dilaluinya kemarin karena ingin segera
mencapai hutan. Dalam perjalanan itu, Kiai Pasir merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia
merasa sehat dan segar ketika meninggalkan pondok, tetapi kini badannya terasa panas dan sakit.
Tak kuasa melanjutkan perjalanan, ia pun berhenti dan meletakkan seluruh peralatan yang
dibawanya. Sekujur tubuhnya seperti ditarik-tarik, kulitnya bergerak-gerak membentuk tonjolan-
tonjolan yang makin lama makin besar dan terasa sangat gatal. Semakin lama rasa gatal itu
semakin tidak tertahankan. Ia pun cepat berguling-guling ke tanah dengan harapan rasa gatalnya
akan hilang. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Rasa gatal semakin menjadi dan tubuhnya
serasa kian membengkak dan memanjang.
“Apa yang tetjadi denganku?” gumam Kiai Pasir.
Tidak lama kemudian tubuhnya sudah berubah menjadi ular naga yang sangat besar. Ular
jelmaan Kiai Pasir itu terus berguling-guling di tanah menuju arah pondoknya untuk melihat
keadaan Nyai Pasir. Tempat sepanjang ular naga berguling menjadi cekung dan makin lama
makin luas.
Tanpa diketahui Kiai Pasir, di pondoknya, Nyai Pasir juga mengalami hal yang sama.
Setelah suarninya pergi, Nyai Pasir merasakan tubuhnya sangat panas, sakit, dan gatal-gatal.
Karena tidak tahan menahan sakit dan gatal, Nyai Pasir juga rebah dan berguling-guling di tanah.
Tubuhnya kian memanjang dan membesar hingga bernbah menjadi ular naga yang sangat besar.
Ular naga jelmaan Nyai Pasir itu berguling-guling terus ke luar halaman pondok ke arah
perginya Kiai Pasir. Tempat bergulingnya ular naga Nyai Pasir itu juga membentuk cekungan
yang kian luas dan dalam.
“Apa yang tetjadi denganku. Apakah suamiku juga berubah?” gumam Nyai Pasir sambil terus
berguling.
Nyi Pasir teringat telur yang dibawa pulang suaminya. Dugaannya bahwa telur itu adalah
telur ular mungkin benar. Ia merasa menyesal telah memakan telur itu. Tetapi, nasi sudah
menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi dan tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula.Naga
jelmaan Kiai Pasir dan Nyai Pasir akhimya bertemu. Mereka berada di tengah-tengah cekungan
yang luas bekas mereka berguling. Tak kuasa mereka menahan air mata karena menyesal telah
memakan telur yang bukan miliknya. Rasa gatal pun tak kunjung hilang hingga mereka terus
berguling-guling menyebabkan cekungan di tengah kian lama kian dalam. Tiba-tiba cekungan
terdalam itu menyemburkan air yang sangat deras hingga dalam waktu yang tidak terlalu lama,
cekungan besar dan luas itu penuh terisi air dan menjadi telaga yang sangat besar. Ular naga
jelmaan Kiai Pasir dan Nyai Pasir hilang bersamaan dengan berubahnya cekungan itu menjadi
telaga.
Penduduk sekitar yang mengetahui peristiwa terbentuknya telaga itu menamainya Telaga
Pasir, diambil dari nama Kiai Pasir dan Nyai Pasir. Lambat taut masyarakat menyebutnya
dengan Telaga Sarangan karena telaga itu berada di Desa Sarangan.

Anda mungkin juga menyukai