Anda di halaman 1dari 21

PENDAPAT IMAM MADZAB TENTANG TINDAK

HUKUMAN PIDANA PEMBUNUHAN, PERAMPOKAN


DAN ZINA

Disusun guna memenuhi tugas terstruktur


Mata Kuliah: Perbandigan Madzab Dalam Hukum Islam
Dosen Pengampu: Agus Sunaryo. M.S.I

Disusun oleh:
1. Ahmad Rifqi Masfuf A 1717301050
2. Dinar Mawarni 1717301056
3. Lutfi Wahyunungsih 1717301068
4. Muhammad irfa’i 1617301030

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM PURWOKERTO
202
A. Pendahuluan
Islam adalah suatu agama yang disampaikan oleh nabi-nabi
berdasarkan wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyu
Allah pada nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. 1 Yang
menjadikan islam sebagai rahmat seluruh alam, Sehingga dalam islam
segala aspek yang dilakukan oleh manusia semuanya telah diatur
didalamnya, termasuk ketika seseorang melakukan suatu kesalahan maka
akan mendapatkan suatu hukuman yang diatur dalam hukum islam, yang
bertujuan untuk ketertiban dan kemaslahatan hidup manusia, baik jasmani
maupun rokhani, individual dan social.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai
kehormatan dan harta benda umat manusia. Maka dari itu untuk
menciptakan ketertiban maka bagi para pelaku kejahatan akan dikenakan
berupa Tindakan kriminal. Tindakan criminal adalah tindakan-tindakan
kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan
peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist.
Hukum Pidana Islam merupakan syari’at Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia maupun akhirat.2
Karenanya Islam memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan
secara tegas untuk bisa melindungi nilai kehormatan dan harta benda umat
manusia. Diantaranya adalah mengenai hirabah atau perampokan,
pembunuhan, pembunuhan, zina.
Ketiga perbuatan tercela tersebut bertentangan dengan syariat isam
sehingga pelakunya dapat dikenai sanksi hukuman pidana. Para Imam
Madzab berbenda pedapat mengenai hukuman tersebut, yang akan
dipaparkan dalam makalah ini.
B. Perampokan atau Hirabah
Menurut buku Fiqh Jinayah, hirabah adalah tindak kejahatan yang
dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.3 Para fuqaha

1
Syaidus Syahar, Asas-asas Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 6.
2
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2007), hlm. 1.
3
Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), hlm.86.
berbeda pendapat dalam mendefinisikan jarimah perampokan (hirabah),
diantaranya4:
1. Hanafiyah, mengatakan bahwa adalah perbuatan mengambil harta
secara terang-terangan dari orang-orang yang melintasi jalan dengan
syarat memiliki kekuatan.
2. Malikiyah, bahwa hirabah adalah mengambil harta dengan cara
penipuan baik menggunakan kekuatan maupun tidak.
3. Syafiiyyah, bahwa hirabah adalah mengambil harta, membunuh atau
menakut-nakuti yang dilakukan dengan senjata di tempat yang jauh dari
pertolongan.
4. Hanabilah, bahwa hirabah adalah mengambil harta orang lain secara
terang-terangan di padang pasir menggunakan senjata.
5. Zhahiriyah, bahwa hirabah adalah perbuatan orang yang melakukan
kekerasan, menakut-nakuti pengguna jalan dan membuat onar atau
kerusakan di bumi.
Mengenai hukuman tindak pidana hirabah sudah dijelaskan oleh syara
dan terdapat dalam surat al-Maidah ayat 33:
‫ا أَ ۡو‬Cْ‫لَّب ُٓو‬C‫ُص‬ ‫أۡل‬ ٰٓ
َ ‫و ْا أَ ۡو ي‬Cٓ Cُ‫ أَن يُقَتَّل‬C‫ا ًدا‬C‫ض فَ َس‬
ِ ‫ َع ۡونَ فِي ٱ َ ۡر‬C‫ولَهۥُ َويَ ۡس‬C‫اربُونَ ٱهَّلل َ َو َر ُس‬C
ِ C‫ َزؤ ُْا ٱلَّ ِذينَ يُ َح‬C‫إِنَّ َما َج‬
‫ َر ِة‬CC‫ي فِي ٱل ُّد ۡنيَ ۖا َولَهُمۡ فِي ٱأۡل ٓ ِخ‬ٞ ‫ض ٰ َذلِكَ لَهُمۡ ِخ ۡز‬ ‫أۡل‬
ِ ۚ ‫ف أَ ۡو يُنفَ ۡو ْا ِمنَ ٱ َ ۡر‬ٍ َ‫تُقَطَّ َع أَ ۡي ِدي ِهمۡ َوأَ ۡر ُجلُهُم ِّم ۡن ِخ ٰل‬
‫َع َذابٌ َع ِظي ٌم‬
sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan …
rasulnya dan membuat kerusakan dimuka bumi, mereka dibunuh atau disalib
atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau dibuang  dari negeri
tempat mereka tinggal. Yang demikian itu sebagai penghinaan bagi mereka
…didunia dan diakhirat mereka mendapat siksaan yang besar

Dari ayat diatas, bentuk hukumannya adalah hukuman mati,hukuman


mati dan salib, pemotongan tangan dan kaki secara bersilang ,dan pengasingan
keluar wilayah.

Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah;Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Bandung:
4

Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.151-152.


Menurut imam Malik dan Zahiriyah, sanksi hirabah diserahkan kepada
penguasa untuk memilih hukuman mana yang sesuai dengan perbuatannya
sesuai yang tersedia didalam al-qur’an sesuai dengan kemaslahatan. Hanya saja
Imam Malik membatasi pemilihan hukuman untuk tindak pidana
pembunuhan , antara hukuman mati dan salib. Adapun imam Asy Syafii dan
Abu Hanifah berpendapat  bahwa hukuman harus disesuaikan dengan hirabah
itu sendiri. Perselisihan pendapat para ulama dalam menentukan jenis hukuman
bagi pelaku jarimah ini,disebabkan perbedaan mereka dalam memahami kata aw (
ْ‫ ( اَو‬yang berarti atau. Dalam bahasa arab, kata aw ( ْ‫ ( اَو‬biasa diartikan sebagai
penjelasan dan uraian atau dalam istilah arab bayan wattafshil. Menurut versi ini
(imam As-Syafi’i dan kawan-kawan) aw ( ْ‫ ( اَو‬merupakan penjelasan dari rincian,
dalam kaitannya dengan ayat hirabah bahwa jumlah hukuman tersebut adalah
empat dengan rincian seperti yang telah dijelaskan diatas. Versi lain yang
dimotori imam Malik,kata aw ( ْ‫( اَو‬yang berarti atau itu bermakna littaksyir untuk
memilih. Oleh karena itu,beliau memilih arti yang kedua sehingga mengartikan
jumlah hukuman yang empat macam tersebut sebagai alternatif dan penguasa
akan menjatuhkannya sesuai dengan kemaslahatan.
Apabila pelaku perampokan membunuh korban dan mengambil hartanya
menurut Imam Asy Syafii, Imam Ahmad, Syiah Zahidiyah , Imam Abu Yusuf dan
Imam Muhammad dari kelompok Hanafiyah hukuman hirabah adalah hukuman
mati dan salib tanpa dipotong tangan dan kaki. Sedangkan menurut Abu Hanifah,
dalam hal ini hakim diperbolehkan untuk memilih salah satu dari tiga alternatif
hukuman, Pertama apakah dipotong dulu tangan dan kakinya secara bersilang,
kemudian dihukum mati dan disalib. Kedua dihukum mati saja tanpa disalib dan
tanpa potong tangan kaki secara silang. Ketiga disalib kemudian dibunuh.5
Penerpan hukuman adalah sebagai berikut:
1. Hukuman mati dan salib
Hukuman mati dan salib dijatuhkan bagi pelaku pembunuhan dan
pencurian yang dilakukan pada saat yang bersamaan. Mengenai pelaksanaan
hukuman mati dan sekaligus hukuman salib ini, para ulama berbeda pendapat.

5
Djazuli, Fiqh Jinayah...,hlm.91.
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam pelaksanaan mendahulukan
hukuman salib kemudian hukuman mati. Menurut mereka penyaliban
merupakan suatu bentuk hukuman yang harus dirasakan pelaku adan itu
hanya dapat dirasakan kalau pelaku masih hidup. Karena itu,harus
didahulukan sebelum dilakukan hukuman mati. Karena kalau hukuman mati
yang didahulukan,maka hukuman salib tidak berpengaruh apa-apa bagi si
terhukum. Adapun Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat
sebaliknya,yaitu mendahulukan hukuman mati kemudian disalib dengan
alasan sesuai redaksi dalam ayat yaitu hukumn mati disebutkan terlebih dulu
sebelum hukuman salib.6
Mengenai lamanya penyaliban tidak ada ketentuan yang pasti dan oleh
karenanya para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut Hanabilah
lamanya penyaliban tergantung pada penyebarluasan berita penyaliban itu di
kalangan masyarakat. Akan tetapi, menurut Syafiiyyah dan Hanafiyah,
penyaliban itu dibatasi maksimal hanya tiga hari. Pembatasan waktu tiga hari
ini sangat tepat karena manusia yang telah meninggal dunia apabila lebih dari
tiga hari, ia akan membusuk dan tentunya akan menimbulkan angguan dan
bahaya bagi yang masih hidup.7
2. Hukuman potong tangan dan kaki bersilang.
Hukuman ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan perampokan yang
dilakukan dijalan umum. Dalam hal ini si pelaku hanya mengambil harta
korban tanpa berusaha membunuh korban. Hukuman potong tangan dan kaki
bersilang adalah memotong tangan kanan pembuat sekaligus kaki kirinya.
Pemotongan tangan dan kaki sekaligus ini, dinisbatkan pada orang yang
melakukan dua kali pencurian. Sebagaimana ulama mengatakan hukuman
potong kaki pelaku pada pencurian yang kedua kali.
Menurut Syiah Zaidiyah, hukumn potong tangan bisa gugur apabila
dimaafkan oleh korban.
3. Hukuman pengasingan

6
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),hlm.103.
7
Ibid.,hlm.104.
Ulama fiqh memberikan berbagai pendapat mengenai hukuman ini.
Menurut Malikiyah, maksud pengasingan disini adalah dipenjarakan, tetapi
tidak selalu di luar daerah terjadinya perampokan. Pendapat yang rajih dalam
madzab Syafii pengasingan ini dengan penahanan baik di daerahnya sendiri
tetapi lebih utama di daerah lain. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa
pengasingan ini dilakakukan pengusiran pelaku dari daerahnya dan ia tidak
diperbolehkan kembali sampai ia jelas telah bertaubat.8
Lamanya penahanan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan
Imam Syafii tidak terbatas, artinya tidak ada batas waktu tertentu untuk
penahanan pelaku perampokan. Oleh karena itu, ia tetap dipenjara sampai
benar-benar bertaubat. Pendapat itu merupakan pendapat yang rajih di
kalangan Hanabilah. Sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa masa
pengasingan selama satu tahun, dengan mengqiyaskan hukuman dalam
jarimah zina.
C. Pembunuhan
1. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan (al-qatl) adalah salah satu tindak pidana menghilangkan
nyawa seseorang dan termasuk dosa besar. Dalam fikih, tindak pidana
pembunuhan (al-qatl) disebut juga dengan aljinayah ‘ala an-nafs al-insaniyyah
(kejahatan terhadap jiwa manusia). Ulama fikih mendefinisikan pembunuhan
dengan “Perbuatan manusia yang berakibat hilangnya nyawa seseorang”
(Audah, 1992 Juz 2:6). Menurut Wakban Zuhaili pembunuhan adalah
perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang (Zuhaili,
1984:2:7).
Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembunuhan adalah
perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan hilangnya
nyawa, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Apabila dilihat
dari segi hukumnya, pembunuhan dalam Islam ada dua bentuk, yaitu
pembunuhan yang diharamkan, seperti membunuh orang lain dengan sengaja

8
Ahmad Syarif Abdillah, Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dengan
Kekerasan, al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam, Vol.1 Nomor 2,2015, hlm.288.
tanpa sebab, dan pembunuhan yang dibolehkan, seperti membunuh orang
yang murtad jika ia tidak mau tobat atau membunuh musuh dalam
peperangan. 9
2. Dasar Hukum
Dasar keharaman membunuh banyak sekali ayat al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah saw. yang menyatakan keharaman membunuh tanpa suatu sebab
yang dihalalkan syara’. Diantara ayat-ayat tersebut adalah:
Q.S Al- Isra’: 31:
ْ ‫ق ۖ نَحْ ُن نَرْ ُزقُهُ ْم َوإِيَّا ُك ْم ۚ إِ َّن قَ ْتلَهُ ْم َكانَ ِخ‬
‫طئًا‬ ٍ ‫َواَل تَ ْقتُلُوا أَوْ اَل َد ُك ْم خَ ْشيَةَ إِ ْماَل‬
‫َكبِيرًا‬
… Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan, kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar…

Q.S Al- Isra’: 33:


ْ ‫ق ۗ َو َمن قُتِ َل َم‬
‫ظلُو ًما فَقَ ْد َج َع ْلنَا لِ َولِيِّ ِهۦ‬ ِّ ‫س ٱلَّتِى َح َّر َم ٱهَّلل ُ إِاَّل بِ ْٱل َح‬ ۟ ُ‫َواَل تَ ْقتُل‬
َ ‫وا ٱلنَّ ْف‬
‫ْرف فِّى ْٱلقَ ْت ِل ۖ إِنَّ ۥهُ َكانَ َمنصُورًا‬ ٰ
ِ ‫س ُْلطَنًا فَاَل يُس‬
….. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan. . .

Q.S Maidah: 32.

‫س أَوْ فَ َسا ٍد فِى‬ َ ‫ك َكتَ ْبنَا َعلَ ٰى بَنِ ٓى إِ ْس ٰ َٓر ِء‬


ٍ ‫يل أَنَّ ۥهُ َمن قَت ََل نَ ْف ۢ ًسا بِ َغي ِْر نَ ْف‬ َ ِ‫ِم ْن أَجْ ِل ٰ َذل‬
َ َّ‫اس َج ِميعًا َو َم ْن أَحْ يَاهَا فَ َكأَنَّ َمٓا أَحْ يَا ٱلن‬
‫اس َج ِميعًا ۚ َولَقَ ْد‬ َ َّ‫ض فَ َكأَنَّ َما قَتَ َل ٱلن‬ ِ ْ‫ٱأْل َر‬
ٰ ِ َ‫َجٓا َء ْتهُ ْم ُر ُسلُنَا بِ ْٱلبَيِّ ٰن‬
َ‫ْرفُون‬
ِ ‫ض لَ ُمس‬ِ ْ‫ت ثُ َّم إِ َّن َكثِيرًا ِّم ْنهُم بَ ْع َد َذلِكَ فِى ٱأْل َر‬
….. Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya…

9
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Nuraini Vol. 13
No. 2, 2013, hlm. 1-2
QS. Al Baqarah: 178.

‫صاصُ فِي ْالقَ ْتلَى ۖ ْالحُرُّ بِ ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع ْب ِد‬ َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬َ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ٍ ‫ُوف َوأَدَا ٌء إِلَ ْي ِه بِإِحْ َس‬
ۗ ‫ان‬ ِ ‫ع بِ ْال َم ْعر‬ ٌ ‫َواأْل ُ ْنثَ ٰى بِاأْل ُ ْنثَ ٰى ۚ فَ َم ْن ُعفِ َي لَهُ ِم ْن أَ ِخي ِه َش ْي ٌء فَاتِّبَا‬
َ ُ‫يف ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َرحْ َمةٌ ۗ فَ َم ِن ا ْعتَد َٰى بَ ْع َد ٰ َذلِكَ فَلَه‬
ٌ‫ع َذابٌ أَلِيم‬ ٌ ِ‫ٰ َذلِكَ ت َْخف‬
… Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat
suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula) …
QS. Al Maa’idah: 45

‫ق بِ ِه فَهُ َو َكفَّا َرةٌ لَهُ ۚ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما‬ َ ‫صاصٌ ۚ فَ َم ْن ت‬


َ ‫َص َّد‬ َ ِ‫ُوح ق‬ َ ‫َوالس َِّّن بِال ِّسنِّ َو ْال ُجر‬
َ‫أَ ْنزَ َل هَّللا ُ فَأُو ٰلَئِكَ هُ ُم الظَّالِ ُمون‬
… Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qisasnya…
Berdasarkan ayat-ayat yang melarang menghilangkan nyawa orang lain yang
disebutkan di atas, Ulama sepakat menyatakan bahwa perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain tersebut hukumnya haram.
3. Macam-macam Pembunuhan
Jumhur Ulama fikih, termasuk ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali,
membagi tindak pidana pembunuhan tersebut kepada tiga macam sebagai berikut:
a) Pembunuhan Sengaja yaitu, suatu pembunuhan yang disengaja, dibarengi
dengan rasa permusuhan, dengan menggunakan alat yang biasanya dapat
menghilangkan nyawa, baik secara langsung maupun tidak, seperti
menggunakan senjata, kayu atau batu besar, atau melukai seseorang yang
berakibat pada kematian.
b) Pembunuhan Semi Sengaja, yaitu suatu pembunuhan yang disengaja,
dibarengi dengan rasa permusuhan, tetapi dengan menggunakan alat yang
biasanya tidak mematikan, seperti memukul atau melempar seseorang
dengan batu kecil, atau dengan tongkat atau kayu kecil.
c) Pembunuhan Tersalah, yaitu suatu pembunuhan yang terjadi bukan dengan
disengaja, seperti seseorang yang terjatuh dari tempat tidur dan menimpa
orang yang tidur di lantai sehingga ia mati, atau seseorang melempar buah
di atas pohon, ternyata batu lemparan itu meleset dan mengenai seseorang
yang mengakibatkannya tewas.
Dalam menetapkan perbuatan mana yang termasuk unsur kesengajaan
dalam membunuh, terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Menurut ulama
Mazhab Hanafi, suatu pembunuhan dikatakan dilakukan dengan sengaja
apabila alat yang digunakan untuk membunuh itu adalah alat yang dapat
melukai dan memang digunakan untuk menghabisi nyawa seseorang, seperti
senjata (pistol, senapan, dan lain-lain), pisau, pedang, parang, panah, api, kaca,
dan alat-alat tajam lainnya.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, alat yang
digunakan dalam pembunuhan sengaja itu adalah alat-alat yang biasanya dapat
menghabisi nyawa seseorang, sekalipun tidak melukai seseorang dan
sekalipun alat itu memang bukan digunakan untuk membunuh.
Menurut ulama Mazhab Maliki, suatu pembunuhan dikatakan sengaja
apabila perbuatan dilakukan dengan rasa permusuhan dan mengakibatkan
seseorang terbunuh, baik alatnya tajam, biasanya digunakan untuk membunuh
atau tidak, melukai atau tidak. Bahkan apabila seseorang menendang orang
lain dan mengenai jantungnya, lalu wafat, maka perbuatan ini dinamakan
pembunuhan sengaja. Dasar perbedaan pendapat ulama Mazhab Maliki
dengan ulama fikih lainnya adalah karena ulama Mazhab Maliki tidak
mengakui adanya pembunuhan semi sengaja, karena menurut mereka
pembunuhan yang terdapat dalam al- Qur’an dan diancam dengan hukuman
hanya dua, yaitu pembunuhan sengaja dan pembunuhan tersalah (QS. 4: 92-
93).
Oleh karena itu, untuk membedakan pembunuhan sengaja dengan
tersalah, menurut mereka cukup dilihat dari unsur permusuhan, kesengajaan,
dan akibatnya, tanpa melihat kepada alat yang digunakan. Akan tetapi, ulama
fikih yang lain, di samping melihat kepada rasa permusuhan, kesengajaan, dan
akibatnya, juga melihat kepada alat yang digunakan. Alasan mereka adalah
persoalan sengaja atau tidak adalah persoalan tersembunyi dalam hati, dan
hanya akan dapat dilihat dari cara dan alat yang digunakan, dan adanya
pengakuan dari pelaku.
Sumber perbedaan pendapat ulama Mazhab Hanafi disatu pihak
dengan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali di pihak lain dalam
menetapkan pembunuhan sengaja adalah bahwa ulama Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa pembunuhan sengaja itu adalah suatu pembunuhan yang
dikenakan hukuman qishas, sehingga untuk membuktikannya tidak boleh ada
keraguan, baik dari segi niat/tujuan maupun dari segi alat yang digunakan.
Alat yang digunakan itu, menurut mereka, haruslah alat yang memang
disediakan/digunakan untuk menghilangkan nyawa. Di samping itu,
perbedaan mendasar antara pembunuhan sengaja dan semi sengaja menurut
mereka terletak pada niat/tujuan membunuh.
Oleh sebab itu, dalam menetapkan pembunuhan sengaja diperlukan
kepastian dan kehati-hatian, sehingga tidak ada yang meragukannya, baik dari
segi niat/tujuan maupun dari segi alat yang digunakan. Akan tetapi, ulama
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali berpendirian bahwa untuk membu
ktikan suatu pembunuhan itu disengaja cukup dengan alat yang digunakan,
yakni alat yang biasanya (bukan pasti) membawa kematian kepada korban,
apapun jenis alat yang digunakan, benda tajam, ataupun benda tumpul, asalkan
berakibat kepada kematian. 10
4. Unsur-unsur Pembunuhan
a. Unsur Pembunuhan sengaja

10
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”. hlm. 2-8
1) Yang dibunuh itu manusia yang diharamkan Allah SWT darahnya
(membunuhnya) atau yang dalam istilah fikih disebut ma’sum ad-
dam (terpelihara darahnya).
2) Perbuatan kejahatan itu membawa kematian seseorang, jika
perbuatan kejahatan yang dilakukannya itu tidak berakibat
wafatnya korban, atau kematiannya bukan karena perbuatan
tersebut. Maka perbuatan itu tidak bisa dinamakan dengan
pembunuhan sengaja. Jenis perbuatan yang membawa kepada
kematian tersebut bisa berupa pemukulan, pelukaan,
penyembelihan, dibenamkan di air, dibakar, digantung, diberi
racun, dan lain sebagainya.
bertujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang. Suatu pembunuhan sengaja,
menurut jumhur ulama, selain Mazhab Maliki adalah bahwa pelaku memang
bertujuan untuk menghilangkan nyawa korban. Jika tujuan pelaku bukan untuk
membunuh, maka perbuatan itu tidak dinamakan dengan perbuatan itu dinamakan
dengan pembunuhan sengaja. Karena persoalan niat/tujuan adalan persoalan batin,
maka ulama fikih mengemukakn kriteria niat/tujuan pembunuhan ini melalui alat
yang digunakan, sebagaimana yang dikemukakan di atas. Akan tetapi, ulama
Mazhab Maliki tidak mensyaratkan adanya tujuan/niat pelaku pidanan dalam
membunuh. Unsur kesengajaan, menurut mereka, bisa dilihat dari sifat tindak
pidana tersebut, yaitu adanya unsur permusuhan. Jika tindak pidana itu dilakukan
dengan sikap permusuhan, dan berakibat kepada hilangnya nyawa seseorang,
maka pembunuhan itu disebut dengan pembunuhan sengaja.
b. Unsur-unsur Pembunuhan Semi Sengaja
1) Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.
2) Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.
3) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan
kematian korban.
Perbuatan yang mengakibatkan kematian itu tidak ditentukan bentuknya,
dapat berupa pemukulan, pelukan, penusukan, dan sebagainya. Disyaratkan
korban adalah orang yang terpelihara darahnya.
Dalam hal unsur kedua, persyaratan kesengajaan pelaku melakukan perbuatan
yang mengakibatkan dengan tidak ada niat membunuh korban adalah satu-satunya
perbedaan antara pembunuhan sengaja dengan pembunuhan semi sengaja. Dalam
pembunuhan sengaja, si pelaku memang sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kematian, sedangkan, dalam pembunuhan semi sengaja, pelaku
tidak bermaksud melakukan pembunuhan, sekalipun ia melakukan penganiayaan.
Sehubungan dengan unsur ketiga, disyaratkan adanya hubungan sebab akibat
antara perbuatan penganiayaan, yaitu penganiayaan itu menyebabkan kematian
korban secara langsung atau merupakan sebab yang membawa kematiannya. Jadi,
tidak dibedakan antara kematian yang terjadi seketika.
c. Unsur-unsur Pembunuhan Kesalahan
1) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian.
2) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan. Adanya hubungan
sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban.
Perbuatan yang menyebabkan kematian itu disyaratkan tidak
disengaja dilakukan oleh pelaku atau karna kelalaiannya. Akan
tetapi, tidak disyaratkan macam perbuatannya, boleh jadi dengan
menyalakan api di pinggir rumah orang lain, membuat lubang di
pinggir jalan, melempar batu ke jalan dan sebagainya.
Adapun unsur kedua, pada prinsipnya, kesalahan itu merupakan perbuatan
yang prinsipal antara pembunuhan kesalahan dengan pembunuhan lainnya. Tidak
ada sanksi terhadap orang yang melakukan kesalahan. Sanksi hanya dijatuhkan,
jika memang menimbulkan kemadharatan bagi orang lain. Ukuran kesalahan
dalam syariat Islam adalah adanya kelalaian atau kurang hati-hati atau merasa
tidak akan terjadi apa-apa. Dengan demikian, kesalahan tersebut dapat terjadi
karena kelalaian dan mengakibatkan kemadharatan atau kematian orang lain.
ketiga, yaitu adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan
kematian, artinya kematian korban merupakan akibat dari kesalahan pelaku.
Dengan kata lain, kesalahan pelaku itu menjadi sebab bagi kematian korban.
Dalam hal ini pun, berlaku prinsip sebab akibat dan kaidah al- ‘adah muhakamah
apabila terjadi kumulasi sebab.
5. Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Pembunuhan Sengaja.
Ulama fikih mengemukakan bahwa ada beberapa bentuk hukuman
yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan dengan sengaja,
yaitu hukuman pokok hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. Hukuman
pokok dari tindak pembunuhan sengaja adalah Qisas. Yang dimaksud dengan
qisas adalah memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana
sebagaimana ia melakukannya (terhadap korban). Hukuman qisas ini
disyariatkan berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah (5) ayat
45 artinya: “Dan kami telah tetapkan kepada mereka didalamnya (Taurat)
bahwasannya jiwa dibalas dengan jiwa…” alasannya dalam sunah Rasulullah
SAW di antaranya adalah “… Siapa yang membunuh dengan sengaja, maka
dibalas dengan membunuh (pelaku)nya…” (HR. Abu Dawud).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda bahwa di antara orang-
orang yang boleh dibunuh adalah seseorang yang melakukan pembunuhan
(HR. Ahmad). Atas dasar ayat-ayat dan hadits di atas, ulama fikih sepakat
mengatakan bahwa hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan sengaja
adalah Qisas.
Syarat-syarat berlakunya Qisas, Ulama fikih mengemukakan beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku pembunuhan yang akan dikenai
hukuman qisas (Zuhaili: 265). Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai
berikut :
a) Pelaku seorang mukalaf (baligh atau berakal). Oleh sebab itu, qisas
tidak dapat dilaksanakan pada anak kecil atau orang gila. Adapun
terhadap orang yang membunuh dalam keadaan mabuk, ulama mazhab
yang empat berpendapat bahwa jika orang yang mabuk itu melakukan
pembunuhan sengaja, maka ia tetap dikenai qisas, tidak ada pengaruh
keadaan mabuknya tersebut terhadap tindak pembunuhan yang
dilakukannya.
b) Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja
c) Unsur kesengajaan dalam pembunuhan tidak diragukan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, pelaku pembunuhan itu melakukannya
dengan kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari orang lain. Akan tetapi, jumhur
ulama fikih menyatakan bahwa sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh
orang yang terpaksa di bawah ancaman, tetap dikenai hukuman qisas.
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan orang yang terbunuh dalam
pembunuhan sengaja:
1) Orang yang diharamkan membunuhnya (ma’sum ad-dam)
2) Antara pembunuh dan korban tidak ada hubungan keturunan.
Rasulullah SAW bersabda: “Ayah tidak boleh dibunuh (qisas) karena
membunuh anaknya” (HR. An Nasa’i) (Al Kahlani III: 233), (3)
menurut jumhur ulama fikih, orang yang terbunuh dan pembunuh
sepadan dari sisi agama dan kemerdekaannya.
Untuk bisa diterapkannya hukum qisas bagi pelaku disyaratkan
perbuatan pembunuhan harus perbuatan langsung, bukan perbuatan tidak
langsung. Apabila perbuatannya tidak langsung hukumannya adalah diat. Ini
menurut pendapat ulama Hanafiah. Akan tetapi, selain ulama Hanafiah
berpendapat bahwa pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan
hukuman qisas (Zuhaili: 273).
6. Teknik Pelaksanaan Qisas
Ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan cara pelaksanaan
qisas. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali qisas hanya bisa dilakukan
dengan pedang dan senjata, baik pembunuhan itu dilakukan dengan pedang
atau tidak. Alasan mereka adalah sabda Nabi SAW: “kisas itu hanya dilakukan
dengan pedang” (HR. Ibnu Majah). Mazhab Maliki dan Syafii berpendapat
bahwa qisas itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan
pembunuh.
Hukuman qisas untuk pembunuhan sengaja merupakan hukuman
pokok, bila hukuman tersebut tidak bisa dilaksanakan, karena sebab-sebab
yang dibenarkan oleh syara’ maka hukuman penggantinya adalah hukuman
diyat. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jenis diyat.
Menururt Imam Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i dalam Qaul Qosim,
diyat dapat dibayar dengan salah satu tiga jenis, yaitu unta, emas atau perak,
alasannya: “Sesungguhnya barang siapa yang membunuh seorang mukmin
tanpa alasan yang sah dan ada saksi, ia harus di qisas, kecuali apabila keluarga
korban merelakan (memaafkannya) dan sesungguhnya dalam menghilangkan
nyawa harus membayar diyat, berupa seratus ekor unta. (As Syou’ani 7:
212).11

D. Zina Dalam Pandangan Ulama Mazhab


1. Pengertian zina
Zina menurut etimologi adalah perbuatan bersetubuh yang tidak
sah. Sedangkan menurut terminologi diartikan sebagai perbuatan seorang
laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seoran perempuan
yang menurut naluriah kemanusian perbuatan itu dianggap wajar, namun
diharamkan oleh syara. 12
Konsep hukum islam yang dimaksud dengan zina meliputi semua
persetubuan yang dilakukan oleh lawan jenis pria dan wanita diluar
perkawinan yang sah, atau tidak terikat dalam perkawinan yang sah.
Para ulama mazhab yang empat dalam mendevinisikan zina itu
beragam. Syafi`iyah mendefinisikan dengan redaksi sebagai berikut:

13
‫حمرم لعينه خال من الشبهة مشتهى طبعا‬
ّ ‫إيالج الذكر بفرج‬
Artinya: Memasukkan zakar ke dalam farji yang haram lidzatihi yang di
syahwati, dalam keadaan tidak syubhat (keliru).
Seks disini diartikan seks antara alat kelamin laki-laki dan perempuan
yang saling bertemu walaupun tidak mengeluarkan seperma. Hal ini
mengecualikan perbuatan seks terhadap vagina selain manusia seperti

11
Imaning Yusuf, “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”. hlm 5-10
12
Risalah Nasikun, Tafsir Ahkam; Beberapa Perbuatan Pidana Dalam Hukum Islam,
(Yogyakarta: Bina Ilmu, 1994), hlm. 44.
13
Abdul Qodir Audah, al-Tasyri` al-Jina`I, Juz. III, (Beirut: Dar al-kutub al-Islamiyah),
hlm. 380.
kambing atau sejenisnya. Dan juga mengecualikan perbuatan seks yang
yang dilakukan dalam keadaan samar seperti dalam situasi gelap tanpa
sedikitpun penerangan sehingga memungkinkan terjadinya salah
melakukan hubungan seksual dengan wanita selain istrinya.
Sedangkan Hanabilah memberi devinisi sebagai beriku:
‫* فعل الفاحشة ىف قبل أو دبر‬:‫ويعرفه احلانبلة بأنه‬14

Menurut ulama Hanabilah zina diartikan sebagai perbuatan kotor terhadap


kemaluan maupun anus. Batasan fahisyah dalam kitab at-Ta`rifat adalah:

‫اليت توجب احلد ىف الدنيا والعذاب ىف االخرة‬15


Sesuatu perbuatan yang menyebabkan adanya had di dunia dan siksa di
akhirat.
Kemudian ulama Malikiyah memberikan devinisi sebagai berikut:

‫ وطء مكلف فرج أدمى ال ملك له فيه با تفاق تعمذا‬:‫يعرف الزنا عند املالكني بأنه‬16
Malikiyah memberikan devinisi bahwa zina adalah perlakuan seks oleh seorang
mukallaf terhadap vagina wanita yang belum dimiliki dengan dinikah secara
sengaja.
Pendapat yang disampaikan oleh kalangan Malikiyah tidak jauh beda
dengan golongan Syafi’iyah, hanya saja redaksi ta’ammudan mengindikasikan
harus adanya unsur kesengajaan, suka sama suka, tanpa paksaan sehingga dalam
kasus seorang wanita yang diperkosa, hanya laki-laki yang dihukumi zina.
Kemudian ulam Hanafiah memberikan devinisi zina sebagai berikut:

‫ ؤطء الرجل املرأة ىف القبل ىف غري امللك وشبهة امللك‬:‫ؤيعرفه احلنفيون بأنه‬17
Hanafiyah memberikan devinisi : zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan
wanita pada vagina diluar kepemilikan nikah dan keserupaan dalam kepemilikan.

14
Abdul Qodir Audah, al-Tasyri` al-Jina`i ..., hlm. 380.
15
Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.,
juz. II), hlm. 160.
16
Abdul Qodir Audah, al-Tasyri` al-Jina`i..., hlm. 380.
17
Abdul Qodir Audah, al-Tasyri` al-Jina`i ..., hlm. 381.
Dengan demikian Nampak jelas pengertian zina dalam berbagai devinisi,
sebagaimana pandangan dari ulama mazhab diatas, yang sedikitnya harus
memiliki dukungan tiga unsur yaitu; Al-„Amil, Al-Ma‟mul„Alaih dan dengan
tidak adanya nikah yang sah.
Al-Amil artinya seorang yang melakukan perzinaan, baik laki-laki maupun
perempuan. Sedangkan Al-Mamul Alaih artinya alat fital yang digunakan untuk
berzina, baik milik laki-laki (penis) maupun perempuan (vagina). tidak dilakukan
dengan pernikahan yang sah maksudnya melakukan persetubuan yang bukan
merupakan pasangan suami istri bagi masing-masing pihaknya atau dengan kata
lain senggama diluar perkawinan. 18
1. Macam-macam Zina dan kriteria zina dalam hukum islam
a) Macam-macam zina
Terlepas dari perbedaan terkait esensi dari zina tersebut, Perbuatan
zina dari sisi subyeknya dapat dibedakan menjadi dua, Muhsan dan Gairu
Muhsan.
b) Hukuman zina
Orang yang berzina adakalanya bersetatus muhsan, sehingga
hukuman hadnya adalah rajam, atau tidak bersetatus muhsan sehingga
hukumannya adalah dera. Maka ulama memerinci hukuman bagi pelaku
zina ghoiru muhsan sebagai berikut.
1. Hukuman bagi pezina yang masih lajang yang tidak bersetatus
muhsan
Dalam islam perbuatan zina dianggap perbuatan terkutuk, oleh
karena itu hukum Islam telah memberikan sangsi yang sangat berat
terhadap pelakunya. Semua agama yang ada di dunia ini, tanpa
19
terkecuali memandang zina sebagai perbuatan yang tidak terpuji.
Dalam melihat konteks surat An-Nur: 2, dijelaskan bahwa
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina dengan tiap-tiap

18
Asyhari Abul Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil,
(Jakarta: Andes Utama, 1996), Cet. III, hlm. 3
19
Syafiq Hasim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuan Dalam
Islam, (Bandung: Mijan, 2001), hlm. 599.
seseorang dari keduanya seratus kali dera. Jadi hukuman bagi para pelaku
zina dikenakan hukuman seratus kali dera sebagai sanksi atas perbuatan
yang mereka lakukan. Kemudian ditambah hukuman dengan diasingkan
atau dibuang, hal ini berdasar sabda Rasululloh SAW yang artinya:
“Sesunggunya Allah telah menentukan hukuman bagi wanita-wanita tang
melakukan perzinaan apabila perzinaan di lakukan oleh sesama orang yang
belum pernah kawin, maka hukumannya dera seratus kali dan di buang
selama satu tahun, sedangkan janda dengan duda di kenakan hukuman
dera seratus kali dan di rajam (H.R. Muslim.)”
Menurut ulama hanafiyah hukuman pengasingan tidak dapat ditambahka
kepada hukuman dera. Sebab Allah SWT menjadikan dera sebagai sebagai
keseluruhan hukum had zina. Sehingga jika kita mewajibkan hukuman
pengasingan disamping hukuman dera, itu berarti hukuman dera adalah hanya
sebagian dari hukum had, sehingga hal ini merupakan bentuk pertambahan terha
dap nash, sementara penambahan seperti ini berarti sebuah bentuk penasakhan,
padahal penasakhan nash tidak dapat dilakukan dengan khabar aahaad. Selain itu
pengasingan menjadikan pelaku zina berpotensi melakukan perzinaan lagi, karena
ia berada ditempat pengasingan jauh dari keluarga, kerabat, dan kenalan, sehingga
ia tidak khawatir kena malu.
Menurut ulama Hanafiah, pengasingan bukan termasuk hukum had zina. Akan
tetapi, kewenangan menjatuhkan hukuman pengasingan diserahkan kepada
kebijakan imam, sehingga jika dia adanya kebaikan dan kemaslahatan untuk
menjatuhkan hukuman pengasingan kepada pelaku, maka ia mengasingkannya,
sebagaimana imam juga bisa mengambil kebijakan untuk memenjarakan orang
tersebut sehingga bertobat.
Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah mengatakan, pelaku
dihukum dera dan sekaligus dihukum dengan diasingkan selama satu tahun
kesuatu kawasan dengan jarak yang sudah memperbolehkan untuk mengqashar
solat. Hal ini berdasar sabda Rasulullah SAW,
‫الثيّب‬
ّ ‫الثيّب با‬
ّ ‫هلن سبال ألبكر بلبكر جلد ما ئة و نّفي سنة و‬
ّ ‫خدوا عيّن خدوا عيّن قد جعل اهلل‬
‫جلد ما ئة و الرجم‬
“Ambillah (hukum) itu dariku Ambillah (hukum) itu dariku. Sungguh
Allah telah menentukan jalan bagi mereka (perempuan) yaitu, perempuan lajang
(yang berzina dengan lelaki lajang) sama-sama didera seratus kali dan diasingkan
setahun, sedangkan perempuan yang sudah menikah (yang berzina) dengan lelaki
yang sudah menikah harus didera sebanyak seratus kali dan dirajam”.
2. Hukuman bagi pezina yang bersetatus muhsan
Para ulama selain Khawarij bersepakat bahwasannya hukuman
bagi pezina yang bersetatus muhsan adalah rajam. Hal ini berdasarkan
sejumlah dalil dari assunah yang mutawatir, dalil ijma, serta dalil logika .20
E. Penutup
Syariat islam mengatur manusia untuk berbuat baik dengan
sesama tidak saling menyakiti atapun melukai. Sehingga segala perbuatan
yang tercela dapat dikenai sanksi berupa hukuman yang pantas dengan
perbuataanya. Diantaranya hirabah atau perampokan, adalah tindak
kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan dan disertai dengan
kekerasan. Pembunuhan (al-qatl), adalah salah satu tindak pidana
menghilangkan nyawa seseorang dan termasuk dosa besar. Dalam fikih,
tindak pidana pembunuhan (al-qatl) disebut juga dengan aljinayah ‘ala an-
nafs al-insaniyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia). Zina adalah
perbuatan bersetubuh yang tidak sah. perbuatan seorang laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan seoran perempuan yang menurut
naluriah kemanusian perbuatan itu dianggap wajar, namun diharamkan
oleh syara. Dari Ketika perbuatan tersebut berbeda pendapat mengenai
pengertian dan hukuman tindak pidananya.

20
Wahbah Az-zuhaili, Fiqhi Islam wa Adillatuhu, Sistem Ekonomi Islam, Pasar
Keuangan, Hukum Hadd Zina, Qadzf, Pencurian, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 315-317.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Ahmad Syarif. “Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian


Dengan Kekerasan”. al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam. Vol. 1, no. 2,
2015, 288.
Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. 2007.
Al-Jurjawi, Ali Ahmad. Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Beirut : Dar al-Fikr,
t.t., juz. II
Audah, Abdul Qodir. al-Tasyri` al-Jina`I, Juz. III. Beirut: Dar al-kutub al-
Islamiyah.
Az-zuhaili, Wahbah. Fiqhi Islam wa Adillatuhu, Sistem Ekonomi Islam, Pasar
Keuangan, Hukum Hadd Zina, Qadzf, Pencurian. Jakarta: Gema Insani.
2011
Djazuli. Fiqh Jinayah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Faizal ,Enceng Arif. Kaidah Fiqh Jinayah;Asas-Asas Hukum Pidana Islam.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004.
Ghafar, Asyhari Abul. Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah
Hamil. Jakarta: Andes Utama. 1996.
Hasim, Syafiq. Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuan
Dalam Islam. Bandung: Mijan. 2001.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Nasikun, Risalah. Tafsir Ahkam; Beberapa Perbuatan Pidana Dalam Hukum
Islam. Yogyakarta: Bina Ilmu, 1994.
Syahar, Syaidus. Asas-asas Hukum Islam. Bandung: Penerbit Alumni. 1983.
Yusuf, Imaning . “Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Nuraini.
Vol. XIII, no. 2, 2013, 1-2

Anda mungkin juga menyukai