Disusun Oleh:
CHRISTIENA NATALIA ALUNG
NIM: P2002008
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai respon normal fisiologis yang terjadi
akibat suatu stimulus kuat kimiawi, termal atau mekanik yang terkait dengan
pembedahan, trauma atau penyakit akut (Tanra, 2016). Nyeri akut adalah nyeri yang
trejadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang
cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan berlangsung dalam
waktu yang singkat. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, dengan
intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) serta berlangsung singkat (kurang dari
enam bulan) dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada
area yang rusak (Andarmoyo, 2013).
Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur maupun
cedera kepala. Klien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukkan gejala respirasi
meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat (Andarmoyo, 2013). Nyeri
yang dirasakan oleh pasien dengan CKS biasanya nyeri seperti tertekan, tajam dan nyeri
berdenyut. Dari penelitian dikatakan sebanyak 85,7% pasien dengan CKS mengeluh
merasakan nyeri lebih dari satu tipe nyeri (Concentrations, dkk., 2016). Nyeri pada
cedera kepala timbul berhubungan dengan adanya gumpalan darah ataupun cairan pada
tengkorak kepala. Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dengan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri tersebut pada kulit dan mukosa dimana reseptor nyeri
memberikan respon jika adanya stimulasi atau rangsangan (Potter & Perry, 2010, dalam
Putri, 2020).
Secara verbal klien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya
ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakan. Klien yang mengalami nyeri
akut biasanya juga akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis,
mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai (Andarmoyo, 2013).
Nyeri yang parah dan serangan mendadak bila tidak segera diatasi akan
berpengaruh pada peningkatan tekanan darah, takikardi, pupil melebar, diaphoresis dan
sekresi adrenal medula (Potter & Perry, 2010). Dampak nyeri akut pada bagian kepala
yang dialami oleh pasien CKS apabila tidak diatasi segera dapat menimbulkan masalah
keperawatan lainnya yaitu gangguan pola tidur, ansietas dan gangguan aktivitas fisik
(Andarmoyo, 2013).
Pengkajian pada pasien cedera kepala sedang (CKS) menggunakan pengkajian
mendalam mengenai nyeri akut, dengan kategori psikologis dan subkategori nyeri dan
kenyamanan. Pengkajian dilakukan sesuai dengan gejala dan tanda mayor nyeri akut
yaitu dilihat dari data subjektifnya pasien mengeluh nyeri. Dilihat dari data objektif
yaitu tampak meringis, bersiap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur). Sedangkan gejala dan tanda minor nyeri
akut yaitu dilihat dari data subjektifnya tidak tersedia. Dilihat dari data objektif yaitu
tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan berubah, proses berpikir
terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri, diaforesis (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017).
Diagnosa keperawatan yang difokuskan pada penelitian ini adalah nyeri akut
berhubungan dengan (b.d) agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik belebihan)
dibuktikan dengan (d.d) mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif (mis.
Waspada, posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur,
tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan berubah, proses berpikir
terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri, diaforesis (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017).
Klasifikasi intervensi keperawatan nyeri akut termasuk dalam kategori fisiologi
yang merupakan intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mendukung fungsi fisik
dan regulasi homeostatis. Dan termasuk ke dalam subkategori nutrisi dan cairan yang
memuat kelompok intervensi yang memulihkan fungsi gastrointestinal, metabolisme
dan regulasi cairan dan elektrolit (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Penatalaksanaan untuk mengatasi nyeri dapat dilakukan secara farmakologi dan
non farmakologi. Terapi farmakologi dilakukan dengan memberikan obat-obatan
analgetik sedangkan terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan bermacam cara
antara lain stimulasi dan masase, kompres dingin dan hangat, distraksi, teknik relaksasi,
dan hipnotis (Smeltzer & Bare, 2002, dalam Utami, 2014). Telah banyak terapi yang
dilakukan untuk mengatasi PTH, umumnya nyeri kepala di atasi dengan terapi
farmakologik dengan pemberian analgetik yang sesuai dengan jenis nyeri kepala itu
sendiri, akan tetapi penggunaan analgetik yang lama tentunya juga akan mempengaruhi
pasien itu sendiri (Huang et al., 2013).
Penelitian yang dilakaukan oleh Hakim dan kawan-kawan tahun 2020, dengan
judul monitoring nyeri dengan kamera termal pada pasien cedera kepala dengan terapi
es batu di rsup dr. Wahidin sudirohusodo makassar tentang penggunaan titik akupunktur
telah digunakan, terutama di china dalam mengobati berbagai masalah kesehatan seperti
sakit kepala. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi es batu pada
titik feng fu gv 16 terhadap penurunan nyeri pada pasien dengan cedera kepala yang
menderita post traumatic headache di rsup dr wahidin sudirohusodo makassar dengan
indikator pemantauan kamera termal dan vrs. Pemberian es batu pada titik Feng Fu GV
16 tidak signifikan terhadap pengurangan nyeri pada pasien Cidera Kepala yang
mengalami Sakit Kepala Pasca Trauma dengan indikator VRS dan suhu wajah dengan
pemantauan kamera termal dibandingkan dengan kelompok kontrol. Oleh karena itu,
bagi para praktisi di rumah sakit untuk dapat meningkatkan pengetahuan terkait dengan
terapi es batu di titik Feng Fu GV 16 dalam mengurangi rasa sakit.
Penelitian selanjutnya dari Innez, tahun 2017 dengan judul Kombinasi Guided
Imagery and Music (Gim) dan Relaksasi Autogenik Terhadap Nyeri pada Cedera
Kepala tentang Cedera kepala adalah cedera mekanik yang mengenai kepala yang
mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput
otak, dan kerusakan jaringan otak serta mengakibatkan gangguan neurologis
sehingga terjadi nyeri kepala. Guided Imagery and Music (GIM) dan relaksasi
autogenik dapat mengurangi respon nyeri. Dengan hasil penelitian ini didapatkan
ada perbedaan yang bermakna rata-rata nyeri kepala sebelum dan sesudah
tindakan Guided Imagery and Music (GIM) dan relaksasi autogenik (p value 0,000,
α < 0,05). Disarankan kepada perawat di rumah sakit untuk menggunakan
Guided Imagery and Music (GIM) dan relaksasi autogenik dalam penatalaksanaan
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri pada pasien cedera kepala.
Penelitian yang dilakukan oleh Khalilati, 2019 tentang pengaruh terapi murottal
al-qur’an terhadap penurunan skala nyeri pada pasien cedera kepala di ruang bedah
umum rsud ulin banjarmasin. Adapun tindakan untuk mengatasi nyeri pada cedera
kepala dapat dibedakan dalam dua kelompok utama,yaitu tindakan pengobatan
(farmakologi) dan tindakan non farmakologi (tanpa pengobatan). Metode
penatalaksanaan non far-makologis tindakan distraksi dilakukan dengan mengalihkan
perhatian pasien dari rasa nyeri.Teknik distraksi yang dapat dilakukan antara lain:
bernapas dengan lambat dan berirama secara teratur, menyanyi berirama dan
menghitung ketukannya, mendengarkan musik, mendengarkan murottal Al-Qur’an dan
massage (pijatan). Disini peneliti menggunakan teknik distraksi dengan mendengarakan
murottal Al-Qur’an. Terapi mendengarkan murottal Al-Qur’an memiliki pengaruh
terhadap penurunan rasa nyeri di karenakan kemampuan berupa adaptasi kognitif yang
mampu mengontrol rasa nyeri hingga pada batas yang dapat ditoleransi. Al-Qur’an
memberikan pengaruh positif bagi psikologis yang mana kesadaran seseorang terhadap
Tuhan akan meningkat, kepasrahan dengan ketentuan Allah baik orang tersebut tahu arti
Al quran ataupun tidak.
Penelitian yang dilakukan oleh Ginting, 2020 dengan judul pengaruh pemberian
oksigen dan elevasi kepala 30º terhadap tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala
sedang. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada pasien cedera kepala
membutuhkan oksigenasi dan elevasi kepala 30º dalam peningkatan kesadaran dan
mengurangi nyeri kepala. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada
sentral otak dan batang otak. Pemberian oksigenasi membantu otak mendapatkan
oksigen. Oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi O2 > 92%.
Pemberian elevasi kepala 30º dapat mengurangi nyeri kepala sehingga
menurunkan tekanan intra kranial pada pasien cedera kepala.
DAFTAR PUSTAKA