Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

a. Definisi Trauma Kepala

Trauma kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat

mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosianal, dan sosial.Trauma

tenaga dari luar yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status

kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional

(Judha & Rahil, 2011).

Trauma kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan

bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan

perlambatan yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh

perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan,

serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai

akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012).

2.1.1 Klasifikasi Trauma Kepala

Tabel 2.1 Klasifikasi trauma kepala berdasarkan kerusakan


jaringan otak

No Jenis Pengertian
1 Komosio serebri Gangguan fungsi neurologi ringan tanpa adanya kerusakan
otak yang terjadi hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit
atau tanpa disertai amnesia retograd, mual, muntah
2 Kontusio serebri Gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan jaringan otak
tetapi kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesadaran lebih
dari 10 menit
3 Laserio serebri Gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan otak yang berat
dengan fraktur tengkorak terbuka

Tabel 2.2 Klasifikasi trauma kepala berdasarkan tingkat keparahan


Ringan Tidak ada fraktur tulang tengkorak, tidak ada kontusio serebri,
hematom, GCS antara 13 – 15 serta kehilangan kesadaran kurang
dari 30 menit
Sedang Kehilangan kesadaran lebih dari 30 menit, muntah, GCS antara 9-12
dan dapat mengalami fraktur pada tengkorak
Berat GCS 3-8 dan hilang kesadaran lebih dari 24 jam serta adanya
kontusio serebri dan laserasi

Tabel 2.3 Klasifikasi trauma kepala berdasarkan jenisnya


Terbuka Menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak jaringan otak
Tertutup Seperti keluhan gagar otak ringan dan odem serebral yang luas

2.1.1 Etiologi Trauma Kepala

1. Trauma tajam

Trauma oleh benda tajam menyebabkan trauma setempat dan

menimbulkan trauma lokal kerusakan lokal meliputi Contusio

serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang

disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

2. Trauma tumpul

Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan trauma menyeluruh

kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk :

cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembekakan otak

menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena

cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-

duanya.

Akibat trauma tergantung pada

a. Kekuatan benturan

b. Akselerasi dan deselerasi

c. Cup dan kontra cup

Trauma cup adalah kerusakan pada daerah dekat terbentur

Trauma kontra cup adalah kerusakan trauma yang berlawanan

pada sisi desakan benturan

1. Lokasi benturan

2. Rotasi meliputi pengubahan posisi rotasi pada kepala

menyebabkan trauma regangan dan robekan substansia alba dan

batang otak
3. Depresi fraktur yaitu kekuatan yang mendorong fragmen tulang

turun menekan otak lebih dalam yang mengakibatkan CSS

mengalir keluar ke hidung ,telinga.

2.1.2 Faktor Resiko Terjadinya Trauma Kepala

1. Faktor pemakai jalan

Pemakai jaan merupaakn unsure yang terpenting dalam lalu lintas

karena manusia sebagai pemakai jalan.

2. Faktor pengemudi

Tingkah laku pribadi pengemudi di dalam arus lalu lintas adalah

faktor yang menentukan karakteristik lalu lintas yang terjadi serta

pengemudi yang mengkonsumsi alcohol atau obat-obatan saat

mengendarai mobil atau motor.

3. Faktor pejalan kaki

Pejalan kaki sangat mudah mengalami cidera serius atau kematian

jika di tabrak oleh kendaraan bermotor.

4. Faktor kendaraan

Sebab–sebab kecelakaan yang disebabkan faktor kendaran yaitu

kecelakaan lalu lintas karena perlengkapan, penerangan,

pengamanan, dan mesin kendaraan.

5. Faktor jalan

Jalan sebagai landasan bergeraknya kendaraan harus di rencanaakn

sedemikian rupa agar memnuhi syarat keamanan dan kenyamanan

bagi pemakainya.

6. Faktor lingkungan

Faktor lungkungan juga sangat mempengaruhi termasuk


pengemudi dalam mengatur kecepatan.

2.1.3 Patofisiologi Trauma Kepala

Adanya trauma dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan stuktur

misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan

odema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosine tripospat dalam

mitokondria, perubahan permebilitas vaskuler.

Perdarahan otak menimbulkan hematom, misalnya pada epidural hematom

yaitu berkumpulnya darah antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater,

subdural hematom di akibatkan berkumpulnya darah pada ruang antara dura mater

dengan subarahnoid dan intraserebral hematom adalah berkumpulnya darah pada

jaringan.
2.1.1 WOC Trauma Kepala

Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial intrakranial

Terputusnya Terputusnya Jaringan otak rusak


kontinuitas jaringan kontinuitas jaringan
kulit otot tulang

Perubahan autoregulasi
Nyeri akut oedem serebral
Perdarahan hemastom

Perubahan sirkulasi
Kejang
CSS

Resiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
Peningkatan
Hipoksia tekanan Ketidakefektifan
intrakranial brsihan jalan nafas

Gambar 2.1 WOC Trauma Kepala Nanda (Kusuma & Nurarif, 2015

2.1.1 Manifestasi Klinis Trauma Kepala

1. Perdarahan epidural / hematoma epidural

a. Suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang

tengkorak bagian dalam dan meningen paling luar.

b. Gejala penurunan kesadaran ringan, gangguan

neurologis, kacau mental sampai koma

c. Peningkatan tekanan intrakranial yang

mengakibatkan gangguan pernafasan, bradikardi,

penurunan ttv.

d. Herniasi otak yang menimbulkan dilatasi pupil

dan reaksi cahaya hilang, isokor dan anisokor,

ptosis.

2. Hematoma subduralakumulasi darah antara durameter dan

araknoid karena robekan dengan gejaka sakit kepala

letargi dan kejang.

3. Hematoma subdural akut dengan gelaja 24- 48 jam

setelah cedera, sub akut gejala terjadi 2 hari sampai 2

minggu , kronis 2 minggu sampai denagn 3-4 bulan

setelah trauma

4. Hematoma intrakranial

a. Pengumpulan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak

b. Penyebab fraktur depresi tulang tengkorak, trauma

penetrasi peluru, gerakan akselerasi dan deselerasi

secara tiba – tiba.


5. Fraktur tengkorak

a. Fraktur liner melibatkan os temporal dan parietal,

jika garis fraktur meluas kearah orbita / sinus

paranasal.

b. Fraktur basiler fraktur pada dasar tengkorak, bisa

menimbulkan CSS dengan sinus dan memungkinkan

bakteri masuk.

2.1.2 Pemeriksaan penunjang Trauma Kepala

1. Pemeriksaan diagnostik

a. CT scan

b. MRI dengan / tanpa menggunakan kontras

c. Angiografi serebral menunjukan kelainan

sirkulasi serebral

d. EEG memperlihatkan keadaan atau

berkembangnya gelombang patologis

e. BAER menentukan fungsi korteks dan batang otak

f. PET menunjukan perubahan aktivitas metabolisme

pada otak

2. Pemeriksaan laboratorium

a. AGD (PO²,PH,HCO³) untuk mengkaji keadekuatan

ventilisasi agar AGD dalam rentang normal untuk

menjamin aliran darah serebral adekuat atau dapat juga

untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat

meningkatkan tekanan intrakrnial

b. Elektrolit serum
c. Hematologi meliputi leukosit, Hb, albumin, globulin,

protein serum

d. CSS untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan

subarachnoid (warna, komposisi, tekanan)

e. Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang

mengakibatkan penurunan kesadaran

f. Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat

terapinyang cukup efektif untuk mengatasi kejang

2.1.3 Komplikasi Trauma Kepala

1. Defisit neurologi lokal

2. Kejang

3. Pneumonia

4. Perdarahan gastrointestinal

5. Disritmia jantung

6. Syndrom of inappropriate secretion of antidiuretic hormone

7. Hidrosepalus

8. Kerusakan kontrol respirasi

9. Inkontinensiabladder dan bowel

2.1.4 Penatalaksanaan Trauma Kepala

1. Penatalaksana
an umum

a. Monitor
respirasi

b. Monitor tekanan intrakranial

c. Atasi syok bila ada

d. Kontrol tanda vital


e. Keseimbangan cairan dan ekektrolit
2. Operasi

Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral,

debridemen luka, kranioplasti, prosedur shunting pada

hidrocepalus, kraniotomi.

3. Pengobatan

a. Diuretik untuk mengurangi edema serebral misalnya

monitol 20%, furodemid (lasik).

b. Antikonvulson untuk menghentikan kejang misalnya

dengan dilantin, tegretol, valium.

c. Kortokosteroid untuk menghambat pembentukan

edema misalnya deksametason.

d. Antagonis histamin untuk mencegah terjadinya iritasi

lambung karena hipersekresi akibat efek trauma kepala

misalnya dengan cemetidin, ranitidine

e. Antibiotik jika terjadi luka yang besar.

2.1.5 Penanganan pertama untuk kasus Trauma Kepala

Pertolongan pertama dengan trauma kepala yaitu

mengikuti standart yang telah ditetapkan dalam ATLS yang

meliputi anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara

seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi airway,

breathing, circulasi, disability (ATLS, 2000). Pada

pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan

cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah,

adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, imobilisasi,

cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi.


Semua

penderita trauma kepala yang tidak sadar harus di anggap

disertai cedera vertebra cervical sampai terbukti tidak

adanya trauma cervical pasang collar barce. Jika sudah

stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya di atas

90%, jika tidak usahakan dilakukan intubasi dan support

pernafasan. Setelah jalan nefas sudah terbebas sedapat

mungkin pernafasan nya diperhatikan frekuensinya normal

antara 16-18x/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika

tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa lakukan

monitor terhadap gas darah dan petahankan PCO² antara

28-35 mmhg karena jika lebih dari 35 mmhg kan terjadi

vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri

2.2 Konsep Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak

2.2.1 Definisi dari resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak

Menurut NANDA (2015–2017), resiko ketidakefektifan

perfusi jaringan otak yaitu rentan mengalami penurunan sirkulasi

jaringan otak yang dapat mengganggu kesehatan.

Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak adalah

penurunan kadar oksigen sebagai akibat dari kegagalan dalam

memelihara jaringan di tingkat kapiler (Saputro, 2007).

Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak adalah resiko

gangguan perfusi jaringan yang beresiko mengalami penurunan

sirkulasi otak yang dapat mengganggu kesehatan.Sehingga pada

masalah keperawatan resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak


dapat berhubungan dengan aliran arteri terhambat, reduksi

mekanis dari aliran

vena/arteri, kerusakan transportasi oksigen melewati

kapiler/alveolar (Herdman, 2014).

Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak meliputi

1. Agens farmaseutikal

2. Aterosklerosis aortik

3. Diseksi arteri

4. Embolisme

5. Endokarditis infektif

6. Neoplasma otak dan lainnya

7. Massa tromboplastin parsial abnormal

8. Massa protombin abnormal

9. Baru terjadi infark miokardium

10. Fibrilasi atrium

11. Hiperkolesterolemia

12. Hipertensi

13. Kardiomiopati dilatasi

14. Katup prostetik mekanis

15. Koagulasi intravaskular diseminata

16. Koagulopati miksoma atrium

17. Penyalahgunaan zat

18. Segmen ventrikel kiri akinetik

19. Sindrom sick sinus

20. Stenosis karatoid


2.3 Konsep Askep Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak

2.3.1 Pengkajian

1. Identitas Klien

a. Jenis kelamin laki-laki lebih rentan mengalami trauma

kepala di bandingkan perempuan karena laki-laki lebih

sering berada di luar rumah yang berkaitan dengan

pekerjaan

b. Pekerjaan sebagai pegawai, buruh, wiraswasta di

perkantoran kerap mengalami trauma kepala bahkan petani

atau nelayan juga bisa mengalami trauma kepala

c. Usia 15 - 44 tahun rentan mengalami trauma kepala

yang di akibatkan oleh kecelakaan di waktu bekerja atau

bahkan kecelakaan lalu lintas di jalan raya

d. Tempat kejadian trauma kepala terjadi di area bisnis

dan industri bahkan pertanian di pedesaan juga mengalami

trauma kepala yang rentan (Tana, 2016)

2. Riwayat Kesehatan Sekarang

a. Keluhan Utama

Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah,

sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis,

perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit

menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bisa

beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium

bau, sulit mencerna/menelan makanan.

b. Riwayat kesehatan dahulu


Pasien pernah mengalami penyakit sistem persyarafan,

riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat

penyakit sistemik / pernafasan kardiovaskuler dan

metabolik

c. Riwayat kesehatan

keluarga Adanya riwayat

penyakit menular

2.3.2 Pemeriksaan fisik

Setelah dilakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan

klien sebaiknya dilakukan pemeriksaan fisik dengan per

sistem.

1. Kedaan umum

Secara umum keadaan umum pasien dapat di nyatakan

dalam tiga kriteria yaitu ringan, sedang, berat.Ringan terdiri

dari kesadaran penuh, tanda-tanda vital stabil, pemenuhan

kebutuhan mandiri. Sedang terdiri dari kesadaran penuh s/d

apatis, tanda-tanda vital stabil, memerlukan tindakan

medis, memerlukan observasi, pemenuhan kebutuhan di

bantu sebagian s/d sepenuhnya. Berat terdiri dari kesadaran

penuh s/d somnolen, tanda-tanda vital tidak stabil,

memakai alat bantu organ vital, melakukan tindakan

pengobatan yang intensif.

2. Tingkat kesadaran

a. Penilaian kesadaran dengan


kuantitatif Tabel 2.4 Nilai normal
Glasgow Coma Scale
No Komponen Nilai Hasil
1 Verbal 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti
3 Bicara kacau atau kata-kata tidak tepat
4 Bicara membingungkan
5 Orientasi baik
2 Motorik 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Flexi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi membuka 1 Tidak berespon
mata 2 Rangsang nyeri
3 Dengan perintah
4 Spontan

Tabel 2.5 Nilai Motorik


Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

b. Penilaian kesadaran dengan kualitatif

1) Composmentis yaitu tingkat kesadaran sepenuhnya

baik terhadap diri maupun lingkungan sekitarnya.

Pasien dapat menjawab dengan baik pertanyaan -

pertanyaan pemeriksaan yang ditunjukan kepadanya.

2) Apatis yaitu tingkat kesadarn dimana pasien tampak

acuh tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya.

Respon verbal masih baik.

3) Somnolen yaitu penurunan kesadaran dimana

pasien tampak lemah, mengantuk, respon verbal masih

baik dan dapat

sadar atau menjawab pertanyaan bila dirangsang, akan

tetapi pasien akan kembali tertidur bila rangsangan

dihentikan.
4) Delirium yaitu penurunan kesadaran dimana pasien

tampak gaduh gelisah, berbicara tidak menentu dan

disorientasi terhadap waktu dan tempat.

5) Sopor yaitu keadaan kesadaran dimana pasien

dalam keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih

dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat

misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun

sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal

yang baik.

6) Koma yaitu penurunan kesadaran yang dalam.

Tidak ada pergerakan spontan dan tidak memberikan

respon terhadap rangsang nyeri.

3. Sistem kardiovaskuler

Palpasi denyut nadi dalam rentang normal atau terjadi

bradikardi dan takikardi

Auskultasi apa terjadi perubahan tensi darah

4. Sistem neurologi

a. Inspeksi kaji LOC (level of consiousness) atau tingkat


kesadaran : dengan melakukan pertanyaan tentang kesadaran
pasien terhadap waktu, tempat dan orang,kaji status mental,
kaji adanya kejang atau tremor
b. Palpasi kaji tingkat kenyamanan, adanya nyeri dan termasuk
lokasi, durasi, tipe dan pengobatannya, kaji fungsi sensoris dan
tentukan apakah normal atau mengalami gangguan
Dapat juga di lakukan pemeriksaan pada saraf cranial :

1) Saraf 1 olfaktorius pada beberapa keadaan trauma kepala

didaerah yang merusak anatomis dan fisiologis saraf ini


klien akan mengalami kelainan pada fungsi

penciuman/anosmia unilateral atau bilateral.

2) Saraf II optik hematoma palpebra pada klien trauma kepala

akan menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu

fungsi dari nervus optikus.Perdarahan diruang intrakranial,

terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan

perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah didalam otak

dapat bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala

macam kalainan didalam ruang intrakranial, tekanan

intrakranial dapat dicerminkan pada fundus.

3) Saraf III, IV, VI okulomotor, toklearis, abdusen gangguan

mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan

trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus

trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus

dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak

bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium

adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran.

Paralisis otot – otot okular akan menyusul pada tahap

berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria

dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan

miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada

sisi yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal.

Miosis ini disebabkan oleh

lesi dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat

siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal


menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi

melainkan berkonstriksi.

4) Saraf V trigeminus pada beberapa keadaan trauma kepala

menyebabkan paralisis nervus trigenimus, didapatkan

penurunan kemampuan koordinasi gerakan menguyah.

5) Saraf VII fasialis persepsi pengecapan mengalami perubahan.

6) Saraf VII festibuloklearis perubahan fungsi pendengaran

pada klien cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan

penurunan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan

sarafvestibulokoklearis.

7) Saraf IX dan X glosofaringeus dan vagus kemampuan

menealn kurang baik, kesukaran membuka mulut.

8) Saraf XI aksesorius bila tidak melibatkan trauma pada

leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot

sternokleidomastoideus dan trapezius.

9) Saraf XII hipoglosus indra pengecapan mengalami perubahan


5. Sistem perkemihan

Sistem genitourinaria meliputi disuria (nyeri saat berkemih),

frekuensi, kencing menetes, hematuria, poliuria, oliguria,

nokturia, inkontinensia, infeksi saluran kemih. Pengkajian pada

genetalia pria antara lain : lesi, rabas, nyeri testikuler, massa

testikuler, masalah prostat, penyakit kelamin, perubahan hasrat

seksual, impotensi, masalah aktivitas sosial. Sedangkan

pengkajian pada genetalia wanita antara lain : lesi, rabas,

dispareunia, perdarahan pasca senggama, nyeri pelvis, sistokel,

penyakit kelamin, infeksi saluran kemih, masalah aktivitas


seksual,

riwayat menstruasi (menarche, tanggal periode menstruasi

terakhir), tanggal dan hasil pap smear terakhir.

6. Sistem pencernaan

Konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi askultasi bising

usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, nyeri tekan

abdomen.

7. Sistem muskuloskeletal

Nyeri berat tiba – tiba atau bahkan mungkin terlokalisasi pada

area jaringan yang dapat berkurang untuk imobilisasi.

8. Sistem endokrin

Adanya pembesaran pankreas, adanya lesi atau luka dan bisa

juga terjadinya memar, perubahan warna kulit dan kuku

seperti pucat atau sianosis, kulit kering dan kasar.

9. Sistem pernafasan

Perubahan pola nafas, irama atau frekuensi kedalaman bunyi

nafasronchi mengi positif.

2.4 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai

status kesehatan atau masalah aktual atau resiko

mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan untuk

mengurangi, mencegah atau menghilangkan masalah kesehatan

klien yang ada pada tanggung jawabnya (Tarwoto & Wartonah,

2011).

Contoh diagnosa keperawatan trauma kepala yang muncul


a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma benda tumpul

b. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan

dengan trauma kepala

Anda mungkin juga menyukai