Anda di halaman 1dari 1

BUMI MANUSIA

Semua Manusia Adalah Setara


“Saya hanya ingin menjadi manusia bebas, Bu. Tidak diperintah, dan tidak juga
memerintah, Bu,” tutur Minke pada ibunya. Kata-kata Minke sangat menggema dalam diri saya.
Bebas bukan sebuah kata yang terdengar istimewa untuk sekarang. Akan tetapi, kata ini sangat
istimewa sebelum Indonesia dapat mengumandangkan Indonesia Raya dengan leluasa. Kata
ini menjadi istimewa karena mampu menggerakkan seluruh bangsa untuk berjuang. Indonesia
yang bebas dari penjajahan pernah menjadi cita-cita seluruh bangsa.
Latar dalam film ini menceritakan saat-saat Indonesia dijajah oleh Belanda. Sempat
menilai bahwa kisah seperti ini bukan hal yang asing, saya beberapa kali tertegun ketika
menonton. Saya belum pernah menonton film dengan tema seperti ini. Namun, saya sudah
belajar mengenai penjajahan oleh Belanda sejak SD sehingga tidak menyangka akan bereaksi
seperti ini. Saya pertama dikejutkan oleh sikap Robert Mellema yang merendahkan Minke
secara terang-terangan. Kemudian, saya juga terkejut melihat bagaimana perbedaan perlakuan
yang didapat oleh orang Eropa dan pribumi. Sedih rasanya melihat orangtua yang rela menjual
anaknya hanya demi uang seperti yang dilakukan oleh ayah dari Nyai Ontosoroh kepadanya.
Penindasan, kesewenang-wenangan, peraturan yang tidak manusiawi, kesengsaraan yang tiada
habisnya, hal-hal inilah yang digambarkan dari awal hingga akhir film.
Penjajahan yang tergambar dalam film memang sangat mengejutkan saya. Akan tetapi,
saya juga terkagum saat menonton film ini. Salah satu yang membuat saya kagum adalah
karakter dari Nyai Ontosoroh. Dalam film ini, saya melihat Nyai Ontosoroh bagaikan
superhero yang ada dalam film-film animasi. Dijual oleh ayahnya saat kecil, Nyai Ontosoroh
tumbuh menjadi seorang yang pandai, kuat, dan berdiri tegak dalam menghadapi dunia yang
keji. Dengan sikap terbuka untuk menerima didikan dari Herman Mellema, Nyai Ontosoroh
tetap dapat berdiri teguh walaupun pada akhirnya Herman Mellema tidak berperilaku baik
kepadanya. Bahkan ketika Annelies pergi ke Eropa, Nyai Ontosoroh dapat melepaskannya
karena Annelies sudah membuat keputusan. Hatinya yang besar sangat menginspirasi saya.
Selain itu, Minke, Annelies, dan Jan Dapperste juga membuat saya kagum dan tersadar.
Kecintaan mereka kepada bangsa Indonesia, bangga dan ingin menjadi seorang pribumi yang
saat itu masih dijajah. Terlintas sedikit perasaan malu ketika saya melihat semangat dan
kebanggaan mereka terhadap Indonesia. Saya, yang sudah hidup dalam kemerdekaan, masih
belum memiliki rasa bangga yang sebesar itu terhadap Indonesia. Mereka menyadarkan saya
bahwa bangsa Indonesia tidak lemah. Bangsa Indonesia setara dengan bangsa lain. Bukan
monyet, tetapi manusia yang berakal budi dan mampu berjuang menegakkan kebenaran.
Sebagai seseorang yang lahir setelah kemerdekaan, saya sangat bersyukur dengan para
pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Mungkin bukan seperti penjajahan
kolonial, tetapi sesungguhnya penindasan masih terjadi di sekitar kita. Penindasan antara ras,
suku, agama, bahkan fisik masih sering ditemui. Meskipun tidak dikekang penjajah, namun
kebebasan hati seseorang masih terkekang. Inilah yang perlu kita perjuangkan pada saat ini.
Semua manusia pada hakikatnya adalah setara. Film “Bumi Manusia” telah membuka mata
saya. Semoga film ini dapat menumbuhkan semangat kesetaraan dan kebanggaan terhadap
Indonesia dalam diri orang-orang yang menontonnya.

Anda mungkin juga menyukai