Anda di halaman 1dari 22

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal penelitian
ini, guna memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian studi untuk
melakukan penelitian di program studi peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Mahaputra Muhammad Yamin Solok dengan judul penelitian
“Kualitas semen beku sapi limousin produksi BIB Tuah Sakato
Payakumbuh yang di simpan di PKH Peternakan (UPT Pembibitan
Aripan) dengan waktu thawing yang berbeda”.
Dengan selesainya penulisan proposal ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. John Hendri, MP selaku dosen pembimbing
I dan Bapak Harissatria S.Pt, MP selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan petunjuk, saran dan bimbingan dalam menyelesaikan proposal ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian,
Ketua Jurusan Peternakan, seluruh staf pengajar dan tenaga kependidikan
Fakultas Pertanian. Serta rekan-rekan mahasiswa Fakultas Pertanian UMMY
Solok.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran guna
penyempurnaan proposal ini. Penulis berharap proposal ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri dan perkembangan ilmu peternakan umumnya dimasa
yang akan datang.

29 Januari 2021

Rafi Suryade Putra


171000454231005
2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring jumlah penduduk Indonesia yang meningkat dan peningkatan

kesadaran masyarakat terhadap pentingnya protein hewani menyebabkan

konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga. Permintaan

daging sapi dari tahun ketahun terus meningkat . Tahun 2019 konsumsi daging di

Indonesia sebanyak 686.270 ton yang dipasok dari ternak lokal sebanyak 58% dan

42% diimpor dari Negara lain. Populasi sapi potong di seluruh Indonesia pada

tahun 2019 sebanyak 18,12 juta ekor (Ditjennak, 2019). Di sisi lain, pemerintah

berkeinginan menyediakan kebutuhan konsumsi daging dari produksi peternakan

sapi dalam negeri secara mandiri. Untuk itu salah satu kebijakan penting

pemerintah, melalui Kementerian Pertanian yaitu swasembada daging sapi

berbasis sumberdaya domestik (Ditjennak, 2010b).

Peningkatan produktivitas ternak sapi telah dilakukan melalui berbagai

upaya, salah satunya adalah teknologi inseminasi buatan. Melalui teknologi

inseminasi buatan akan dapat memperbaiki mutu genetik ternak sapi dengan cara

membuat semen beku yang berasal dari pejantan unggul. Inseminasi buatan

merupakan suatu cara atau teknik memasukkan semen yang telah dicairkan dan

telah diproses terlebih dahulu. Semen yang didapat berasal dari ternak jantan

unggul yang bebas dari penyakit dan dimasukkan ke dalam saluran alat kelamin

betina dengan menggunakan alat insemination gun.

Teknologi inseminasi buatan diharapkan mampu mengoptimalkan

penggunaan semen karena semen dari seekor pejantan yang unggul dapat

digunakan untuk membuahi sel telur pada banyak betina. Inseminasi buatan
3

merupakan salah satu cara meningkatkan efisiensi reproduksi (Hafez, 2000).

Banyak kekurangan dan kelebihan IB pada ternak, proses pembekuan dan

pencairan semen beku dapat menyebabkan kerusakan spermatozoa, pada saat

proses thawing (pencairan kembali), harus dilakukan dengan benar jika tidak

dilakukan dengan benar maka akan menyebabkan kerusakan dari spermatozoa itu

sendiri, sehingga menyebabkan kualitas dan daya fertilitas menurun, oleh karena

itulah spermatozoa harus tetap terjaga kualitasnya agar dapat menembus sel telur

sehingga fertilisasi dapat terjadi. Salah satu kerusakan spermatozoa akibat

thawing adalah rusaknya Akrosom dari spermatozoa. Akrosom merupakan bagian

penting yang terdapat pada kepala spermatozoa. Di bagian akrosom terdapat

enzim spesifik yaitu hyaluronidase, corona penetrating enzyme (CPE), dan

akrosin (Hardijanto, 2010).

Daerah X Koto Singkarak termasuk daerah yang cukup banyak ternak

yang di kawinkan secara inseminasi buatan, dengan menggunakan bibit semen

beku dari BIB Tuah Sakato Payakumbuh. Lalu bibit yang dibawa dari BIB Tuah

Sakato Payakumbuh ini di simpan di PKH Peternakan (UPT Pembibitan Aripan).

Dalam melakukan inseminasi buatan di daerah Kecematan X Koto Singkarak ini

maksimal dalam sebulan melakukan 30-40 sektor dalam 1 orang petugas

inseminasi buatan. Namun pelaksanaan IB di Kecematan X Koto Singkarak

belum optimal, dengan indikator setiap ternak betina yang di IB rata-rata dalam

pelaksanaan IB terjadi 3 kali IB barualah ternak betina bunting.

Kebanyakan di daerah X Koto Singkarak peternak banyak memilih bibit

semen beku sapi Limousin. Dengan permasalahan tersebut banyak dugaan

penyebab kegagalan IB mungkin saja dari, petugas IB yang kurang trampil, atau
4

semen beku yang di IB kan tidak bagus lagi dan mungkin saja pelaksaan IB

seperti thawing semen beku yang tidak tepat pelaksanaannya. Sepeti yang

diketahui proses thawing semen beku sebelum di IB merupakan hal penting yang

harus dilakukan oleh Inseminator, thawing merupakan pengenceran kembali

semen beku dari suhu -1960C ke suhu tubuh. Proses lama dan suhu thawing

sangat mempengaruhi kualitas semen beku, atau bisa menurunkan kualitas semen

beku.

Banyak petugas IB di daerah X Koto Singkarak yang belum

memperhatikan waktu dan suhu pada saat thawing. Biasanya Inseminator hanya

mengkisarkan waktu pada suhu tertentu pada saat thawing. Hal ini merupakan

penyebab rusak nya semen beku yang mengakibatkan kegagalan pada saat IB.

Perubahan temperatur lingkungan akan mempengaruhi daya hidup spermatozoa,

temperatur terlalu tinggi atau terlalu rendah akan merusak pertumbuhan dan

kemampuan spermatozoa untuk membuahi (Yatim, 1982). Penyimpanan semen

beku dalam nitrogen cair 196°C lebih baik dibanding pada dry ice dengan

temperatur -79°C karena pada temperatur -79°C terjadi perubahan pada sperma

dan terbentuknya kristal elektrolit (Cupps et al, 1969; Toelihere, 1993).

Keberhasilan IB tergantung pada kemampuan fertilisasi spermatozoa,

penanganan semen sebelum inseminasi, waktu inseminasi dan deposisi semen

yang tepat (Foote, 1969). Semen beku harus disimpan dalam temperatur dan

kondisi tertentu untuk mempertahankan spermatozoa agar tetap hidup. Perubahan

temperatur lingkungan akan mempengaruhi daya hidup spermatozoa, temperatur

terlalu tinggi atau terlalu rendah akan merusak pertumbuhan dan kemampuan

spermatozoa untuk membuahi (Yatim, 1982).


5

Kegagalan reproduksi pada ternak bersumber pada faktor yaitu : (1) faktor

manusia, kegagalan reproduksi terletak pada kesalahan tatalaksana, (2) faktor

hewan jantan karena kegagalan menghasilkan sel spermatozoa atau kegagalan

melakukan kopulasi secara normal, (3) faktor hewan betina karena kelainan

anatomik – fisiologik, kelainan-kelainan patologik, kegagalan reproduksi karena

penyakit kelamin (Toelihere, 1985). Faktor lain pada umumnya ditemukan sangat

sporadis misalnya : distokia, torsio uteri dan faktor hewan betina pada umumnya

nampak jelas misalnya adanya kasus corpus luteum persisten yang dapat

menyebabkan kematian pada ternak sehingga pemilik ternak menjadi rugi

(Partodihardjo, 1992).

Dengan uraian diatas, maka semen beku yang di simpan di PKH

Peternakan (UPT Pembibitan Aripan) masi beragam penanganan waktu thawing

yang dilakukan Inseminator, maka kualitas dari semen beku sebelum di IB juga

beragam, maka dari itu, perlu dilakukan penelitian dengan judul “Kwalitas semen

beku sapi limosin produksi BIB Tuah Sakato Payakumbuh yang di simpan di

PKH Peternakan (UPT Pembibitan Aripan) dengan waktu thawing yang

berbeda”.

1.2 Perumusan Masalah

Untuk menjaga kualitas semen beku tetap baik, maka perlu penangan

semen selama penyimpanan di unit-unit pelaksanaan IB. Selanjutnya pada saat

inseminasi buatan waktu thawing sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan

perkawinan IB, karena belum diketahui manajemen penyimpanan semen beku di

PKH Peternakan (UPT Pembibitan Aripan) dan proses thawing oleh petugas IB di

Kecamatan X Koto Singkarak maka bagaimana kualitas semen beku produksi BIB
6

Tuah Sakato Payakumbuh yang di simpan PKH Peternakan (UPT Pembibitan

Aripan) setelah dilakukan thawing?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh waktu thawing terhadap kualitas semen beku

sapi Limousin produksi di BIB Tuah Sakato Payakumbuh yang disimpan di PKH

Peternakan (UPT Pembibitan Aripan).

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi kepada instansi terkait

dan pertenakan mengenai hal-hal yangharus diperbaiki oleh pemerintah untuk

pengambilan keputusan secara teknis operasional dalam rangka peingkatan kinerja

pelaksanaan program IB ditinjau dari aspek kualitas spermatozoa dan pengaruh

waktu thawing, terutama pada semen beku sapi Limosin produksi BIB Tuah

Sakato Payakumbuh yang di simpan di PKH Peternakan (UPT Pembibitan

Aripan).

1.5 Hipotesis Penelitian

Lama waktu thawing semen beku sapi Limosin yang disimpan di PKH

Peternakan (UPT Pembibitan Aripan) berpengaruh terhadap persentase hidup,

presentase motilitas, presentase abnormalitas.


7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Limosin

Sapi limousin merupakan keturunan Bos taurus yang berkembang di

Prancis. Karakteristik dari sapi limousin adalah pertambahan badan yang cepat

perharinya sekitar 1,1 kg, tinggi mencapai 1,5 m, bulu tebal yang menutupi

seluruh tubuh warnanya mulai dari kuning sampai merah keemasan, tanduknya

berwarna cerah, bobot lahir tergolong kecil sampai medium (sapi betina dewasa

mencapai 575 kg dan pejantan dewasa mencapai berat 1100 kg), fertilitasnya

cukup tinggi, mudah melahirkan, mampu menyusui, dan mengasuh anak dengan

baik serta pertumbuhannya capat (Blakely dan Bade, 1994).

Sapi Limousin dapat berproduksi secara optimal pada daerah yang

beriklim temperatur dengan suhu antara 4-150C dengan mendapat hijauan serta

konsentrat yang bernilai tinggi (Meyn, 1991). Menurut Thomas (1991), Sapi

Limousin memiliki berat lahir rata-rata 39,95 kg dengan berat sapih pada umur

205 hari yaitu 198 kg. Sapi Limousin termasuk ternak potong berkualitas baik,

bentuk tubuhnya panjang, dan tingkat pertumbuhannya tinggi (Suharyati dan

Madi, 2011).

2.2 Fisiologi Spermatozoa

Semen adalah cairan suspensi seluler yang mengandung gamet jantan atau

spermatozoa dan merupakan sekresi kelenjar asesoris pada saluran reproduksi

jantan. Cairan dari suspensi yang terbentuk saat ejakulasi disebut seminal plasma

(Hafez, 2000). Seminal plasma merupakan sekresi epididimis dan kelenjar

kelamin asesori yaitu vesica seminalis, prostata dan bulbourethralis. Sekresi

tersebut berfungsi sebagai buffer dan medium bagi spermatozoa agar daya
8

hidupnya dapat dipertahankan secara normal setelah ejakulasi (Hafez, 2000;

Partodihardjo, 1982).

Spermatozoa dibentuk di tubuli seminiferi di dalam testis. Tubuli

seminiferi tersebut berisi serangkaian komplek perkembangan germ sel yang

akhirnya membentuk gamet jantan. Bentuk spermatozoa adalah sel lonjong yang

terdiri dari kepala yang berisi nukleus dan ekor yang berisi aparatus yang

dibutuhkan untuk mergerakan spermatozoa. Panjang spermatozoa pada sapi 50 m

dan panjang bagian kepala adalah 8-10 m, lebar 4 m dan tebal 0,5 m (Hafez,

2000).

Garner dan Hafez (1993) menyatakan bahwa semen Sapi Limousin

mempunyai karakteristik yaitu volume ejakulasi 5-8 ml, konsentrasi 800x10 6

2000x106/ml, jumlah spermatozoa per ejakulasi 5x109-15x109, spermatozoa

motil 40-75%, morfologi normal 65-95% dan pH 6,4-7,8. Spermatozoa yang

mampu membuahi oosit merupakan spermatozoa yang memiliki kualitas

bagus. Akan tetapi, permasalahan yang sering terjadi apabila menggunakan

semen beku adalah kualitas semen beku sesudah thawing sering mengalami

penurunan, sebagai akibat kerusakan membran sel selama pembekuan.

2.3 Semen beku

Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai

prosedur teknis pengawasan mutu bibit ternak kemudian dimasukkan ke dalam

straw dan dibekukan dengan suhu -1960C. Semen beku tersebut berasal dari

pejantan terpilih dimana pejantan tersebut sudah melewati seleksi pejantan unggul

berdasarkan kemampuan produksi dan reproduksi keturunannya (progeny test)

atau garis keturunannya (Direktorat Perbibitan, 2000). Peningkatan kualitas semen


9

dapat dipengaruhi oleh penanganan semen mulai dari penampungan, pengenceran

sampai dengan pembekuan (Gunawan et al., 2004)

2.4 Thawing

Thawing (pengenceran produk beku) atau proses pencairan kembali semen

beku mempengaruhi kualitas spermatozoa, karena dengan faktor ini menentukan

jumlah spermatozoa yang hidup dan mati serta dapat membuahi sel telur yang

telah diovulasikan Robbins dkk (1976) dalam Frandson (1996). Semen beku yang

di thawing pada suhu yang tidak tepat akan mempengaruhi kualitas spermatozoa

dan mempengaruhi frtilitas. Oleh karena itu perlu diperhatikan suhu thawing agar

tingkat kematian spermatozoa yang tinggi sesudah thawing melalui pengaruh

panas yang berlebihan dapat dihindarkan.

Thawing semen beku menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan

karena menurut Evarns dan Maxwell (1976), thawing semen beku merupakan

prosedur yang paling penting dalam inseminasi buatan. Hal ini dikarenakan

penggunaan metode thawing yang tidak tepat akan menyebabkan kerusakan

spermatozoa sehingga menurunkan kualitas semen spai perah. Suhu thawing

diatas 37˚C akan meningkatkan daya hidup spermatozoa, tetapi bila melebihi

batas waktu kritis akan bersifat fatal pada sel spermatozoa (Evarns dan Maxwell,

1987).

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Semen

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas semen diantaranya adalah

umur, bangsa ternak, sifat genetik, suhu dan musim, libido dan frekuensi

ejakulasi serta makanan.


10

2.5.1 Umur Pejantan

Faktor yang mempengaruhi kualitas semen salah satunya adalah umur

pejantan, karena perkembangan testis dan spermatogenesis dipengaruhi oleh

umur. Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa yang terjadi

dalam tubuli seminiferi. Proses spermatogenesis pada sapi berlangsung selama

55 hari dan berlangsung pertama kali ketika sapi berumur 10-12 bulan

(Nuryadi, 2000).

Hafez (2000) menyatakan bahwa produksi semen dapat meningkat

sampai umur 7 tahun. Pada saat pebertas spermatozoa banyak yang abnormal,

masih muda, dan banyak mengalami kegagalan pada waktu dikawinkan.

Menurut Mathevon, Buhr dan Dekkers (1998) volume, konsentrasi, motilitas

dan total spermatozoa sapi jantan dewasa lebih banyak daripada sapi jantan

muda. Volume, konsentrasi dan jumlah spermatozoa motil per ejakulat

cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur pejantan mencapai 5

tahun.

2.5.2 Bangsa Ternak

Bangsa sapi Bos taurus mengalami dewasa kelamin lebih cepat

dibandingkan bangsa sapi Bos indicus. Persilangan dari dua bangsa sapi

tersebut akan mencapai pubertas pada umur yang sama dengan induknya

(Sprott, Thrift dan Carpenter, 1998). Bangsa sapi perah mempunyai libido

lebih tinggi dan menghasilkan spermatozoa lebih banyak dibandingkan

dengan sapi potong (Hafez, 2000). Coulter, Cook dan Kastelic (1997) dan

Sprott, et al., (1998) menyatakan bahwa bangsa juga berpengaruh terhadap

lingkar skrotum yang berkorelasi positif dengan produksi dan kualitas


11

spermatozoa. Chandolia, Reinersten dan Hansen (1999) menyatakan bahwa

pengaruh heat shock pada persentase spermatozoa yang motil pada Sapi

Holstein lebih rendah dibandingkan bangsa sapi lain.

2.5.3 Sifat Genetik

Coulter, et al. (1997) dan Sprott, et al. (1998) menyatakan bahwa

produksi spermatozoa berkorelasi positif dengan ukuran testis yang dapat

diestimasi dengan panjang, berat dan lingkar skrotum. Bearden dan Fuquay

(1984) menyatakan bahwa ukuran testis dipengaruhi oleh genetik, umur,

bangsa ternak dan individu. Chandolia, et al. (1999) menyebutkan bahwa

genetik juga mempengaruhi ketahanan sel spermatozoa terhadap heat shock

pada saat thawing.

2.5.4 Suhu dan Musim

Suhu lingkungan yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat

mempengaruhi organ reproduksi hewan jantan. Hal ini mengakibatkan fungsi

thermoregulatoris skrotum terganggu sehingga terjadi kegagalan pembentukan

spermatozoa dan penurunan produksi spermatozoa. Pejantan yang

ditempatkan pada ruangan yang panas mempunyai tingkat fertilitas yang

rendah. Hal ini disebabkan memburuknya kualitas semen dan didapatkan 10%

spermatozoa yang abnormal (Susilawati, dkk, 1993).

Pond and Pond (1999) menyatakan jika suhu lingkungan terlalu panas

spermatozoa yang diproduksi tidak bertahan hidup dan mengakibatkan

sterilitas sapi jantan, sehingga manajemen saat stress perlu dilakukan untuk

menjaga fertilitas spermatozoa. Suhu normal di daerah testis berkisar 3-7°C di

bawah suhu tubuh.


12

Musim dapat mempengaruhi kualitas semen pada ternak-ternak di daerah sub

tropis. Di Indonesia, musim kurang berpengaruh karena perbedaan lama

penyinaran cahaya hampir tidak ada (Susilawati, dkk, 1993). Perubahan

musim karena perbedaan lamanya siang hari atau lamanya penyinaran dapat

menghambat produksi FSH yang dapat menghambat produksi spermatozoa

oleh testis (Hafez, 2000). Hasil penelitian Mathevon, et al. (1998)

menunjukkan bahwa konsentrasi, jumlah semen dan motilitas per ejakulat

pada pejantan Holstein lebih baik pada musim dingin dan semi dibandingkan

pada musim gugur. Musim saat penampungan dilaksanakan tidak

mempengaruhi persentase spermatozoa motil pada sapi jantan dewasa.

2.5.5 Libido dan Frekuensi Ejakulasi

Libido yang tinggi tidak menjamin kualitas dan kuantitas semen akan lebih

baik, tetapi paling tidak lebih berperan terhadap percepatan dalam proses

penampungan (Anonimus, 1992).

Panjang interval penampungan berpengaruh pada kualitas semen sapi

jantan muda dan sapi jantan dewasa. Frekuensi ejakulasi yang terlalu sering dapat

menurunkan jumlah spermatozoa, volume semen per ejakulasi dan konsentrasi

semen. Koleksi semen sebaiknya tidak lebih dari dua kali dalam sehari atau

interval 4-7 hari pada pejantan muda dan 5 hari pada pejantan dewasa. (Mathevon,

et al., 1998).

2.6 Parameter Kualitas Semen

Parameter yang digunakan untuk menilai kualitas semen sapi secara

umum sama dengan ternak lainnya yaitu meliputi volume, warna, pH,

konsistensi, konsentrasi, motilitas, viabilitas dan abnormalitas spermatozoa.


13

2.6.1 Motilitas Spermatozoa

Evaluasi motilitas spermatozoa post thawing adalah salah satu

parameter yang banyak digunakan untuk menentukan kualitas semen sapi

yang akan digunakan untuk inseminasi buatan. Syarat minimal motilitas

individu semen post thawing agar semen dapat dipergunakan dalam

inseminasi buatan adalah 40% (Garner dan Hafez, 1993). Susilawati, Srianto,

Hermanto dan Yuliani (2003) menyatakan proses fertilisasi membutuhkan

spermatozoa motil sekitar sepuluh juta spermatozoa, maka syarat spermatozoa

sebagai standar inseminasi adalah 2,5x10 7 spermatozoa per straw dengan

motilitas 40%.

2.6.2 Viabilitas Spermatozoa

Pengamatan hidup mati spermatozoa atau viabilitas dapat dilakukan

dengan metode pewarnaan diferensial menggunakan zat warna eosin saja atau

dengan kombinasi eosin-nigrosin. Eosin adalah zat warna khusus untuk

spermatozoa, sedangkan nigrosin hanya dipakai untuk pewarnaan dasar untuk

memudahkan melihat perbedaan antara spermatozoa yang berwarna dan tidak

berwarna. Prinsip metode pewarnaan eosin-nigrosin adalah terjadinya penyerapan

zat warna eosin pada spermatozoa yang mati pada saat pewarnaan tersebut

dilakukan. Hal ini terjadi karena membran pada spermatozoa yang mati tidak

permeabel terhadap zat warna atau memiliki afinitas yang rendah sehingga

menyebabkan spermatozoa yang mati berwarna merah (Bearden dan Fuquay,

1984; Toelihere, 1993; Partodihardjo, 1982).


14

2.6.3 Abnormalitas Spermatozoa

Semen dari berbagai pejantan mengandung beberapa bentuk spermatozoa

yang abnormal. Hal ini tidak menunjukkan fertilitas yang rendah sampai jumlah

spermatozoa abnormal lebih dari 20%. Demikian juga tipe-tipe abnormalitas tidak

berhubungan dengan infertilitas. Jumlah spermatozoa abnormal dapat dideteksi

dengan sampel saat menghitung persentase viabilitas spermatozoa (Pena, et al,

1998).

Abnormalitas morfologi spermatozoa dibedakan menjadi tiga yaitu primer,

sekunder dan tersier. Abnormalitas primer adalah abnormalitas karena kegagalan

spermatogenesis dan abnormalitas sekunder terjadi selama spermatozoa melalui

epididimis. Kerusakan spermatozoa setelah ejakulasi atau penanganan yang salah

pada saat inseminasi buatan disebut abnormalitas tersier (Hafez, 2000).

Pada kondisi tropis musim memberikan pengaruh yang signifikan pada

karakteristik semen bangsa sapi eksotis (Bos taurus) yang terlihat pada

abnormalitas sel spermatozoa yang tinggi, persentase hidup spermatozoa yang

rendah dan konsentrasi spermatozoa yang rendah selama musim panas (Salah,

ElNouty dan Al-Hajri, 1992). Sekoni dan Gustafsson (1987) melaporkan bahwa

puncak abnormalitas spermatozoa terjadi selama musim panas. Frekuensi

abnormalitas yang tinggi berhubungan dengan fertilitas pejantan.


15

BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal .......................... sanpai

dengan tanggal ..........................., bertempat di

Laboratorium .................................

3.2 Materi Penelitian

Materi dalam penelitian ini adalah semen beku sapi Limosin Peoduksi

BIB Tuah Sakato yang disimpan di PKH Peternakan (UPT Pembibitan Aripan)

sebanyak 16 straw, dari jenis umur dan kode straw yang sama.

3.3 Alat dan Bahan

1. Alat

Peralatan yang digunakan adalah termometer, mikroskop, cover glass,

objek glass, kamar hitung, petridish, mikro pippet, gunting, pingset,

tabung reaksi, api bunsen, stopwatch.

2. Bahan

Aquadestilata, eosin 2%, NaCl 0,9% (fisiologis), NaCl 3%.

3.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen di

Laboratorium dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

waktu thawing sebagai perlakuan yaitu P0 (0 menit), P1 (15 menit), P2 (30

menit), P3 (45 menit) pada suhu 38oC dan 4 pengambilan semen beku sebagai

ulangan.
16

Model rancangan yang digunakan menurut Model rancangan yang

digunakan menurut Steel and Torrie (1995) adalah:

Yij = µ + σi + ∑ij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan yang mendapat perlakuan ke-i

dan ulangan ke-j

µ = Nilai tengah rata-rata umum dari seluruh perlakuan

σi = Pengaruh perlakuan ke-i

∑ij = Pengaruh sisa dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

i = Banyak perlakuan (P0, P1, P2, P3)

j = Banyak ulangan (1, 2, 3, 4)

Bila F hitung perlakuan besar dari F tabel 5%, maka dilanjutkan dengan uji lanjut

Duncan’s New Multiple Range Test (Steel and Torrie, 1980).

3.5 Prosedur Penelitian

a. Semen beku dari sapi Simmental dalam bentuk straw 0,25 ml yang diperoleh

PKH Peternakan (UPT Pembibitan Aripan) dibawa ke laboratorium

menggunakan termos atau container 5 liter yang berisi N2 Cair, sebanyak 16

straw semen beku sapi Limosin kemudian dibagi menjadi 4 perlakuan

thawing, yakni 4 straw dithawing dalam air 38°C selama 0 menit, 4 straw di

thawing dalam air 38°C selama 15 menit, 4 straw lainnya di thawing dalam air

38°C selama 30 menit dan 4 straw di thawing dalam air 38°C selama 45 menit.

b. Selanjutnya masing-masing straw dan perlakuan dilakukan pemeriksaan

terhadap persentase hidup dengan cara mengambil beberapa tetes semen

dengan pipet tetes, diteteskan di atas gelas obyek kemudian ditambah dengan
17

beberapa tetes eosin 2% dan dibuat preparat dan ditutup dengan gelas penutup

dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x yang terkoneksi

kepada komputer. Penghitungan persentase hidup spermatozoa dilakukan

dengan cara menghitung persentase spermatozoa yang tidak menyerap zat

warna dalam satu bidang pandang di bagi 200 dikali 100% (Hafez 2000)

dengan rumus sebagai berikut :

jumlah sperma yang tidak terwarnai


Persentase (%) sperma hidup = X
jumlah sperma yang diamati

100%

c. Pengamatan motilitas dilakukan dan dilihat dibawah mikroskop elektrik

berdasarkan gerakan spermatozoa yang hidup dan bergerak maju/progresif.

Data diperoleh dengan cara meneteskan sampel semen pada kamar hitung

kemudian ditutup dengan cover glass lalu diamati di bawah mikroskop dengan

perhitungan sebagai berikut : ....... : Bergerak sangat aktif atau cepat,

gelombang besar dan bergerak cepat ; ........... : Bergerak aktif/cepat, ada

gelombang besar dengan gerakan massa yang cepat. ......... : Bergerak agak

aktif/agak cepat, terlihat gelombang tipis dan jarang serta gerakan massa yang

lambat. ......... : Bergerak kurang aktif/ kurang cepat, tidak terlihat gelombang,

hanya gerakan individual sperma. ...... : Gerakan individual sperma (sedikit

sekali gerakan individual sperma atau tidak ada gerakan sama sekali (mati)

dengan rumus menurut Partodiharjo, 1992 sebagai berikut :

jumlah sperma yang proregsif


Persentase (%) motilitas = X 100%
jumlah sperma yang diamati

d. Pengamatan abnormalitas spermatozoa dilakukan dengan cara meneteskan satu

tetes semen di atas gelas obyek, dan tambahkan beberapa tetes eosin 2%
18

kemudian di buat preparat selanjutnya semen disebarkan, kemudian difiksasi

diangin-anginkan dengan menggunakan api bunsen supaya cepat pengeringan.

Setelah kering dilakukan pengamatan abnormalitas spermatozoa. Abnormalitas

yang dihitung adalah abnormalitas kepala terlalu besar, kepala terlalu kecil,

kepala ganda (duplicate head ), ekor melingkar dan ekor ganda (Hafez, 2000)

dengan rumus :

jumlah sperma yang abnormal


Persentase (%) abnormalitas = X 100%
jumlah sperma yang diamati

3.6 Parameter yang di Ukur

Sesuai dengan pengamatan mikroskopis spermatozoa di prosedur penelitian

tersebut maka parameter yang di ukur dalam penelitian ini adalah :

1. Persentase hidup

2. Persentase motilitas

3. Persentase abnormalitas

3.7 Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman

seperti terlihat pada Tabel 1 berikut :

4. Tabel 1. Daftar Analisis Keragaman Rancangan Acak Lengkap


(RAL)
Sumber F Tabel
KT F
keraga Db JK 5% 1
P Hitung
man %
Perlakua ...... JKP KTP KTP ..... ....
n KTS ..... ....
..
Sisa ....... JKS KTS
Total ...... JKT

Keterangan:

Db : Derajat Bebas
19

JK : Jumlah Kuadrat

KT : Kuadrat Tengah

P : Perlakuan

U : Ulangan
20

DAFTAR PUSTAKA

. 2000. Spermatozoa and Seminal


Plasma in Reproduction In Farm Animals. Edited by E. S. E. Hafez.
7th edition. Lippincott Wiliams and Wilkins. Maryland, USA.

Anonimus. 2009. Laporan Pembangunan Peternakan Jawa Timur. Dinas


Peternakan Provinsi Tingkat I Jawa Timur. Wonocolo, Surabaya.

Bearden, H. J. and J. W Fuquay. 1984. Applied Animal Reproduction. 2nd edition.

Blakely dan Bade, (1994). Ilmu Peternakan (terjemahan). Yogyakarta: Gajah


Mada University Pres.

Blakely, J and D. H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. 4th edition. Terjemahan


Srigandono, B. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Chandolia, R. K., E. M. Reinersten dan P. J. Hansen. 1999. Lack of Breed


Differences in Responses of Bovine Spermatozoa to Heat Shock. J.
Dairy Sci. 82 : 2617-2619. www.dps.ufl.edu. Tanggal akses : 8
September 2008.

Coulter, G. H., R. B. Cook dan J. P. Kastelic. 1997. Effects of Dietary Energy


on Scrotal Surface Temperature, Seminal Quality and Sperm
Production In Young Beef Bulls. J. Animal Science 75 (6) : 1048-
1052.

Cupps, P. T., anderson, L. L. and Cole, H. H., (1969) The Oestrus Cycle, in H. H
Cole and P.T Cupps: Reproduction in Domestic Animal, Second Edition,
Academic Press, New York, Page : 332.

Ditjennak. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta:
Direktorat Jenderal Peternakan, Kementan RI

Ditjennak. 2010b. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta:
Direktorat Jenderal Peternakan, Kementan RI.

Foote, R. H. (1969) Physiological Aspect of Artificial Insemination, in H. H Cole


and P. T Cupps : Reproduction in Domestic Animal, 2nd Edition,
Academic Press, New York, USA. Page : 342, 345.
21

Garner, D. L. and E. S. E. Hafez. 1993. Spermatozoa and Seminal Plasma in


Reproduction In Farm Animals. Edited by E. S. E. Hafez. 6th edition.
Lea and Febiger.

Hafez, E.S.E. 2000. Preservation and Cryopreservation of Gamet Embryo. In:


Reproduction in Farm Animal. 7th ed. Lea & Febinger. Philadelphia. 165-
168.

Hardijanto., S. Susilowati., T. Hernawati., T. Sardjito dan T.W. Suprayogi. 2010.


Buku Ajar Inseminasi Buatan. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga. Surabaya. 39-53.

Mathevon, M., M. Buhr and J. C. M. Dekkers. 1998. Environmental,


Management and Genetic Factors Affecting Semen Production in
Holstein Bulls. Journal Dairy Science 81 :3321-3330.

Meyn, K. 1991. The contribution of european cattle breeding to cattle production


in the third world. Animal Research and Development. Vol 34. Institute
for Wissen Schaftliche Zusam Menarbeit. Federal Republic of Germany.

Meyn, K. 1991. The Contribution of European Cattle Breeding to Cattle


Production in The Third World. Animal Research and Development.
Vol 34. Institute for Wissen Schaftliche Zusam Menarbeit. Federal
Republic of Germany.

Nuryadi. 2000. Dasar-Dasar Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan


Universitas Brawijaya, Malang.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ketiga. Mutiara Sumber


Widya. Jakarta.

Pond, K. dan W. Pond. 1999. Introduction to Animal Science. John Willey &
Sons, Inc. USA.

Reston Publishing Company, Inc, Virginia.


Sprott, L. R., T. A. Thrift dan B. B Carpenter. 1998. Breeding Soundness of
Bulls.

Agricultural Communications. The Texas A & M University System.


www.jas.fass.org. Tanggal akses : 8 September 2008.

Steel, C.J. dan J.H. Torrie.1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia.
Jakarta.
Sugeng, B. 1998. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. 60-64.
22

Suharyati, S. dan H. Madi. 2011. Preservasi dan Kriopreservasi Semen sapi


Limousin Dalam Berbagai bahan Pengencer. Universitas Lampung.
Lampung.

Susilawati, T., Suyadi, Nuryadi, N. Isnaini dan S. Wahyuningsih. 1993.


Kualitas Semen Sapi Fries Holland dan Sapi Bali Pada Berbagai
Umur dan Berat Badan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, Malang.

Thomas, V. M. 1991. Beef Cattle Production. Wafeland Press, Montana


University, USA.

Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.

Yatim, W. (1982) Reproduksi dan Embriologi, Penerbit Tarsito, Bandung.

Frandsson, R. D.1993. Hubungan antara deposisi semen dalam


uterus dengan tingkat keberhasilan inseminasi buatan pada ternak sapi.
Media 21(4): 8 – 12.

Frandsson, R. D.1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak (Anatomy and Physiologi of


Farm Animal). Terjemahan Srigandono, B dan Praseno, K. Gajah Mada
University Press.

Anda mungkin juga menyukai