Anda di halaman 1dari 3

CASE STUDY

Calving Interval sapi Peranakan Ongol akseptor Inseminasi Buatan di Kecamatan Wajak Kabupaten Malang
Rendah sehingga peternak rugi. Induk-induk sapi PO di sini beranaknya 2 tahun sekali. Bagaimana caranya
agar hal itu tidak terjadi?
Program IB merupakan salah satu teknologi reproduksi yang mampu dan telah berhasil meningkatkan
perbaikan mutu genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas baik
dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul sebanyak-banyaknya (Susilawati,
2013).

CI merupakan selang beranak pada sapi betina antara satu dengan kelahiran berikutnya. Jarak
waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi
reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi dapat menghasilkan satu pedet dalam satu
tahun.
Tapi hal ini tidak terjadi pada sapi PO di kecamatan wajak, dimana sapi PO tersebut memiliki CL 2
tahun. Hal ini pastinya membawa kerugian yang amat besar bagi peternak, kira2 apa sih penyebab
dari panjangnya mas CL tersebut ?

Penyebab :
1. Suhu lingkungan yang tidak memenuhi kebutuhan baik itu terlalu dingin atau terlalu panas
sehngga terjadi cekaman panas/cekaman dingin maka akan membuat sapi menjadi stress dan
kinerja hormon2 pertumbuhan maupun reproduksi menjadi terhambat dan kurang optimal.
Kemudian, kualitas pakan yang kurang bagus dan jumlah yang kurang dapat mengganggu
proses reproduksi ternak sehingga selain penundaan umur kawin pertama,
2. Semakin gemuk tubuh sapi PO akan memperpanjang jarak beranak. Kegemukan pada sapi
akan menyebabkan penimbunan lemak dalam hati sehingga sapi mudah stres dan terinfeksi
penyakit, disamping itu terjadi penimbunan lemak pada saluran reproduksi terutama ovarium
sehingga akan menyebabkan gangguan siklus estrus. Apabila sapi dara belum dikawinkan
pada umur 4 tahun, cenderung terjadi siklus birahi yang tidak teratur dan cenderung
menyebabkan penurunan prestasi reproduksi.
3. CI ditentukan oleh lama bunting dan lama kosong, sehingga semakin panjang masa kosong
(DO) maka nilai CI juga akan semakin tinggi.
4. umur pertama beranak yang dipengaruhi oleh ketepatan deteksi estrus dan keberhasilan IB
yang ditunjukkan oleh nilai Service per Conception. Apabila deteksi estrus dari peternak
sendiri tidak tepat maka akan berpeluang besar terjadinya kegagalan IB dan menyebabkan
nilai Service per Conception menjadi tinggi.
5. Hal ini karena peternak tidak fokus ke ternak saja dan peternak tidak mau mengambil resiko
karena penyapihan pedet yang cepat memerlukan perhatian khusus dan memerlukan asupan
nutrisi yang baik. Lambatnya penyapihan yang dilakukan mengakibatkan tertundanya estrus
yang berdampak pada panjangnya jarak kawin kembali setelah beranak. Padahal Jika
penyapihan tidak dilakukan maka pedet akan mengalami terhambatnya pertumbuhan bahkan
mengakibatkan kematian

1. Perbaikan pakan  pakan dengan nutrisi yang tinggi akan memenuhi kebutuhan produksi
ternak, sehingga hormon2 dapat bekerja dengan optimal dan bobot badan yang diinginkan
bisa cepat tercapai.
2. Deteksi Estrus  Selang beranak yang pendek dapat terjadi apabila penanganan deteksi
birahi dan inseminasi buatan dilakukan dengan tepat.
3. memperpendek waktu penyapihan pedet yaitu 40 hari setelah melahirkan  karena aktifitas
reproduksi sesudah beranak akan tertunda dengan adanya pedet yang menyusu yaitu melalui
penekanan pembebasan gonadotrophin dari kelenjar pituitary.
4. tidak menunda perkawinan  sapi di Indonesia (daerah tropis) sebaiknya dikawinkan pada
umur 2-2,5 tahun sebab bangsa sapi tropis tergolong lambat dewasa.

5. sapi induk harus dikawinkan 60 hari setelah beranak  waktu ini cukup untuk sapi melakukan
involusi uteri, dimana organ2 reproduksi seperti ovarium, uterus, dsb telah siap untuk
melakukan kebuntingan selanjutnya
6. jumlah perkawinan (S/C) tidak lebih dari dua kali.
Ke 6 hal tersebut dapat memperpendek CL karena selang beranak yang pendek akan
mempercepat proses masa kosong dan masa kering sehingga produksi susu untuk periode
selanjutnya tetap maksimal. Selang beranak yang lebih pendek menyebabkan produksi susu
perhari menjadi lebih tinggi dan jumlah anak yang dilahirkan pada periode produktif menjadi lebih
banyak.

Diharapkan terdapat perbaikan manajemen pemeliharaan oleh peternak, yakni perbaikan pakan,
lebih
memperhatikan deteksi birahi serta melaporkan lebih awal kepada inseminator,
Udin (1993) menjelaskan bahwa aktifitas reproduksi sesudah beranak tertunda dengan
adanya pedet yang menyusu yaitu melalui penekanan pembebasan gonadotrophin dari
kelenjar pituitary.

DAFTAR PUSTAKA :
Setiawan, H., Suharyati, S., Siswanto, S., & Hartono, M. (2021). Faktor-faktor yang mempengaruhi calving interval sapi
peranakan ongole (PO) di desa Wawasan Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Riset dan Inovasi
Peternakan (Journal of Research and Innovation of Animals), 5(3), 133-139.

Nuryadi, N., & Wahjuningsih, S. (2012). Penampilan reproduksi sapi peranakan ongole dan peranakan limousin di
Kabupaten Malang. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production, 12(1), 76-81.

Wicaksana, K., & Arifin, D. N. (2020, November). Hubungan Calving Interval terhadap Skor BCS dan Umur Pertama
Dikawinkan Sapi PO di Kecamatan Tanjung Sari. In Prosiding Seminar Nasional Pembangunan dan Pendidikan Vokasi
Pertanian (Vol. 1, No. 1, pp. 124-129).

Dakhlan, A., A. Qisthon, dan M.D.I. Hamdani. 2022. Genetic Evaluation and Selection Response of Birth
Weight and Weaning Weight in Male Saburai Goats. Jurnal Agripet. 22(1):17-25.
Hamdani, M., K. Adhianto, dan S. Sulastri. 2020. Estimasi Korelasi Genetik antara Bobot Lahir dengan Bobot
Sapih pada Kambing Saburai di Sentra Pembibitan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Dan
Teknologi Peternakan Tropis, 7(3), 247-251.
Hidayati, S., E. Kurnianto, & S. Johari. 2015. Analisis Ragam dan Peragam Bobot Badan Kambing Peranakan
Etawa.  Jurnal Veteriner. 16(1): 107-116.

Anda mungkin juga menyukai