Anda di halaman 1dari 29

GANGGUAN-GANGGUAN PSIKOLOGIS

“Gangguan makan dan tidur

Dosen :

Dian Misrawati, S.Psi, M.Psi, Psikolog

Penyusun :

A.Rengga Dermawan (46116110108)


Avizal Anantama (46116110107)
Putri Ayu ( 46116110057 )
Weldina Mutia ( 46115010004 )

Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana 2017/2018
A. Gangguan Makan (Eating Disorder)

1. Gejala Gangguan Makan

Gangguan makan merupakan kebiasaan makan yang abnormal dimana

ditandai dengan kekurangan atau kelebihan konsumsi makanan sehingga

menyebabkan penurunan kesehatan fisik dan emosional individu. Hal ini semakin

banyak dijumpai dan menjadi masalah di seluruh dunia. Penyebab ganguan makan

adalah kompleks dan masih tidak dipahami sepenuhnya dan mencakup banyak

individu terutama golongan remaja perempuan (Fairburn dan Harrison, 2003).

Jumlah penderita obesitas dunia yang kian bertambah telah meningkatkan

kesadaran orang untuk menjadi kurus dan membuat mereka melakukan berbagai

cara agar mendapat tubuh yang ideal (Patton et al, 1999). Para ahli kesehatan telah

mengupayakan untuk memberitahu masyarakat umum tentang akibat buruk

daripada obesitas dengan menekankan tentang kepentingan untuk menjadi kurus.

Walaupun demikian, program edukasi kesehatan seperti ini telah disalahartikan

sehingga menimbulkan hasil yang kurang baik terhadap beberapa populasi,

khususnya remaja perempuan (Kaneko et al, 1999) yang memiliki keinginan

untuk kurus yang tinggi dibandingkan dengan kelompok populasi yang lain.

1.1. Anorexia Nervosa

Anoreksia berasal dari bahasa Yunani “an-“ yang “tanpa” dan “Orexis”,

artinya “hasrat untuk”. Anoreksia memiliki arti “tidak memiliki hasrat untuk

(makanan)”. Anoreksia nervosa berkembang pada tahap remaja awal dan

akhir, antara usia 12 dan 18 tahun, namun kemunculan pada usia yang lebih

awal atau lebih tua juga terkadang ditemukan. Anoreksia nervosa adalah suatu
gangguan makan yang ditandai oleh adanya usaha untuk mempertahankan

berat badan di bawah standar normal.

Anorexia Nervosa dapat dijelaskan sebagai gangguan dimana seseorang

berusaha membuat dirinya menjadi sekurus mungkin. Karakterisitik utama dari

gangguan ini adalah seorang individu secara signifikan ingin memiliki berat badan

dibawah normal. Dalam DSM V-TR disebutkan bahwa diagnosis tehadap

gangguan anoreksia ini apabila berat badan seseorang kurang dari 15% dari berat

badan normal.

Adapun gejala-gejala yang ditimbulkan oleh seseorang yang mengalami

gangguan anorexia nervosa berdasarkan DSM V-TR (Bennet,2006) adalah:

a. Menolak untuk mempertahankan atau memiliki berat badan normal sesuai

dengan usia dan tinggi badan.

b. Merasa ketakukan bertambah berat badan, meskipun sebenarnya berat

badan selalu menurun

c. Terganggunya persepsi terhadap tubuh berkaitan dengan pandangan yang

berlebihan terhadap berat badan dan bentuk tubuh saat melakukan evaluasi

diri, atau menyangkal rendahnya berat badan sendiri

d. Berhentinya siklus menstruasi

Paul Bennet (2006) menyebutkan dalam bukunya bahwa orang-orang yang

memiliki gangguan anorexia nervosa memang menghindari untuk makan, tetapi

mereka terbayang-bayang oleh kegiatan berkaitan dengan makanan. Gupta dan

Jhonson (dalam Bennet,2006) mengungkapkan bahwa kebanyakan orang


penderita anorexia nervosa memiliki pandangan yang negatif terhadap body

image mereka. Seringkali mereka melebih-lebihkan berat badan dan bentuk tubuh

mereka. Selain itu mereka juga bisa mengalami masalah psikologis sepeti depresi

ringan, gangguan kecemasan, serta obsessive compulsive (Bennet,2006).

Dalam artikel mengenai anorexia nervosa yang ditulis oleh Melinda Smith,

M.A dan Jeanne Segal, Ph.D. (2013) disebutkan bahwa gejala serta tanda-tanda

ketika seseorang mengalami anorexia nervosa meliputi tiga kategori berikut ini :

a. Perilaku Makan

 Melakukan diet untuk menjadi lebih kurus : Melakukan beberapa diet ketat

untuk mengurangi kalori dan menjauhi karbohidrat.

 Obsesi terhadap kalori, jumlah lemak dan nutrisi : Membaca label komposisi

makanan, mengukur porsi makanan, membuat diary tentang makanan,

membaca buku mengenai diet.

 Berpura-pura untuk makan atau berbohong mengenai makanan :

Bersembunyi, bermain atau membuang makanan untuk menolak makanan.

Membuat pemakluman untuk tidak makan.

 Kesenangan dengan makanan : Secara terus menerus memikirkan makanan.

Memasak untuk orang lain, mengkoleksi resep maupun majalah makanan

atau membuat rencana makan meskipun hanya makan sangat sedikit.

 Memiliki ritual makan yang aneh dan rahasia : Menolak untuk makan

bersama orang lain atau di tempat umum. Makan dengan cara tertentu,

seperti memotong makanan kecil-kecil, mengunyah makanan kemudian

mengeluarkannya kembali dengan menggunakan piring lain.


b. Penampilan dan Gambaran Diri (Body Image)

 Kehilangan berat badan secara dramatis: Mengalami penurunan berat badan

secara cepat dan drastis bukan disebabkan oleh masalah medis.

 Merasa gemuk meskipun kekurangan berat badan : Merasa kelebihan berat

badan dibeberapa bagian tubuh seperti perut, paha atau pinggul.

 Fiksasi terhadap gambaran tubuh : Terobsesi dengan berat badan, bentuk

tubuh atau ukuran baju, serta sering menimbang berat badan.

 Mengkritik penampilan secara kasar : Sering berdiri di depan cermin untuk

melihat kekurangan, mengkritik penampilan dan tidak pernah merasa kurus.

 Menyangkal bahwa diri sendiri kurus : Menyangkal memiliki berat badan

yang rendah, menyembunyikannya dengan cara menggunakan pakaian yang

longgar atau terlalu besar.

c. Melakukan Purging (mencuci perut)

 Menggunakan obat diet, obat pencahar ataupun diuretic : Menyalahgunakan

penggunaan obat herbal penahan nafsu makan, sirup ipecac serta obat lain

untuk menurunkan berat badan.

 Membuang makanan setelah makan : Secara berkala membuang makanan

atau pergi ke kamar mandi untuk memuntahkan makanan.

 Compulsive Exercising : Menjalani serangkaian latihan yang menyiksa

untuk membakar kalori dalam tubuh. Tetap berolahraga ataupun melakukan

latihan meskipun sedang mengalami luka, sakit ataupun dalam keadaan


cuaca yang buruk. Bekerja ekstra keras setelah makan sebanyak-banyaknya

atau memakan sesuatu yang “buruk”.

1.2. Bulimia Nervosa

McKenzie (1993 dalam Bennet 2006) menyebutkan bahwa sebagian besar

orang yang mengalami bulimia merasa bahwa dirinya tidak menarik, mengalami

ketakutan menjadi gemuk, dan selalu berpikir untuk menjadi lebih kurus dari

keadaan dirinya yang sebenarnya. Seseorang yang mengalami bulimia nervosa

melakukan usaha penurunan berat badan yang lebih keras dari penderita anorexia

nervosa. Orang yang mengalami gangguan bulimia nervosa pada awalnya akan

makan sebanyak-banyaknya atau makan dalam jumlah yang besar pada periode

tertentu. Setelah makan, hampir 80 hingga 90 persen penderita bulimia akan

memuntahkan makananya sebagai usaha untuk mengendalikan berat badan,

sebagian lainnya akan menggunakan obat pencahar ataupun melakukan latihan

atau olahraga secara berlebihan (Anderson dan Maloney dalam Bennet, 2006).

Berat badan orang yang mengalami bulimia nervosa biasanya berada pada kisaran

normal meskipun bisa berubah-ubah setiap waktu (Bennet,2006).

Dalam DSM V-TR (Bennet,2006) disebutkan beberapa gejala dari

gangguan bulimia nervosa yaitu :

 Melakukan perilaku kompensatori yang tidak pantas secara berulang, seperti

muntah setelah makan dalam rangka mencegah kenaikan berat badan.

 Perilaku kompensatori terjadi rata-rata minimal dua kali dalam seminggu

selama tiga bulan


 Terpengaruh secara berlebihan berkaitan dengan masalah bentuk tubuh dalam

melakukan evaluasi diri.

Sedangkan dalam artikel yang ditulis oleh  Melinda Smith, M.A. and

Jeanne Segal, Ph.D menyebutkan bahwa gejala serta tanda-tanda dari gangguan

bulimia nervosa meliputi tiga hal, yaitu :

a. Makan berlebihan

 Kurangnya kontrol atas makan : Tidak memiliki kemampuan untuk

berhenti makan. Makan hingga merasakan ketidaknyamanan secara

fisik atau sakit.

 Kerahasiaan seputar makan : Menginginkan makan secara pribadi,

seperti pergi ke dapur ketika semua orang telah tidur atau pergi keluar

seorang diri untuk mencari makanan yang tidak terduga.

 Makan dalam jumlah besar : Secara tidak biasa makan dalam porsi yang

besar tanpa perubahan yang nyata pada berat badan.

 Menghilangkan makanan : Menyimpan banyak bungkus kosong atau

wadah makanan disampah atau menyembunyikan banyak junk food.

 Melakukan puasa dan banyak makan secara bergantian, serta jarang

memakan makanan yang normal.

b. Purging ( Mencuci Perut)

 Pergi kekamar mandi setelah makan : Sering pergi ke kamar mandi

setelah makan untuk memuntahkan makanan.


 Menggunakan obat pencahar, diuretics atau mengkonsumsi pil diet untuk

mengurangi nafsu makan.

 Melakukan olahraga berlebihan seperti bekerja terlalu keras, terutama

setelah makan.

c. Gejala Fisik

 Terdapat kapalan atau bekas luka di kuku atau buku-buku jari atau tangan

karena digunakan atau dimasukan kedalam tenggorokan untuk memicu

muntah.

 Memiliki pipi yang bengkak seperti tupai karena seringkali muntah secara

berulang.

 Warna gigi berubah, terlihat kuning, kusam atau bening akibat asam

lambung yang dihasilkan ketika muntah.

 Tidak kekurangan berat badan : Penderita bulimia biasanya memiliki

berat badan normal atau kelebihan berat badan.

 Frekuensi berat badan yang fluktuatif : Berat badan yang fluktuatif atau

berubah-ubah seperti meningkat 4,5 kilogram (10 pounds) atau lebih

tergantung seberapa seringnya perilaku makan berlebihan dan muntah.

2. Etiologi Gangguan Makan

Beberapa bidang penelitian seperti genetik, peran otak, tekanan

sosiokultural untuk menjadi langsing, kepribadian, peran keluarga, dan peran stes
lingkungan, menunjukkan bahwa gangguan makan terjadi karena beberapa faktor

yang berpengaruh kehidupan seseorang.

2.1. Faktor-faktor Biologis

1. Genetik

Anoreksia nervosa dapat terjadi dalam satu keluarga. Penelitian juga

menunjukkan bahwa ciri-ciri penting gangguan makan, seperti ketidakpuasan atas

bentuk tubuh, keinginan yang kuat untuk menjadi langsing, makan berlebihan,

dan preokupasi dengan berat badan dapat diturunkan dalam keluarga (Klump dkk

dalam Bennet, 2006).

2. Gangguan makan dan otak

Terdapat hormon dalam hipotalamus sebagai pengatur rasa lapar.

Hormone yang berpengaruh terhadap rasa lapar dan kenyang terkait dengan

gangguan makan adalah Opioid edogenus dan serotonim. Rendahnya kadar kedua

cairan kimia otak tersebut ditemukan pada pasien gangguan makan, namun

terdapat keterbatasan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut

menyebabkan gangguan makan.

2.2. Faktor lain yang mempengaruhi etiologi gangguan makan

a. Pengaruh kepribadian

Beberapa penelitian ini menjelaskan bahwa orang dengan anoreksia

memiliki kepribadian yang perfeksionis, pemalu, dan patuh sebelum

terjadinya gangguan.

b. Karakteristik keluarga
Hubungan yang bermasalah dalam keluarga menimbulkan rendahnya

dukungan terhadap anak. Kebanyakan keluarga penderita gangguan makan

memiliki permasalahan psikopatologis lain seperti depresi dan gangguan

kepribadian.

c. Kekerasan pada anak dan gangguan makan

Penderita gangguan makan terutama bulimia nervosa sebagian besar

pernah mengalami kekerasaan atau pelecehan seksual pada masa kanak-

kanak. Namun, pelecehan seksual di masa kanak-kanak dalam etiologi

gangguan makan masih belum pasti.

3. Intervensi Gangguan Makan

3.1. Intervensi Anorexia Nervosa

Beberapa penanganan dari Anorexia Nervosa mencakup terapi kognitif-

perilaku, terapi keluarga, psikoterapi insight-oriented. Dimana, setiap intervensi

ini tidak berlawanan, namun saling melengkapi. Terdapat dua tahap penanganan

Anorexia. Penanganan jangka pendek (awal), biasanya dilakukan di Rumah Sakit

dan bertujuan untuk meningkatkan berat badan. Penanganan jangka panjang

bertujuan untuk mempertahankan perubahan perilaku dan kognitif.

a. Promosi Peningkatan Berat badan

Intervensi biasanya dilakukan berdasarkan prinsip operant, yaitu dengan

memberikan reward untuk pasien yang berhasil meningkatkan berat badan

mereka. Penanganan dimulai dengan membuat kesepakatan dari terapis

dan klien untuk menetapkan reward apa yang akan diberikan dengan
target berat badan tertentu. Perawat di Rumah Sakit dapat memberi

pengetahuan seputar anorexia kepada klien dan memberi dukungan

informal kepada klien.

b. Pendekatan Kognitif – Perilaku

Pendekatan ini berusaha mencapai tujuan jangka panjang yaitu untuk

mempertahan perubahan perilaku individu. Tahap pertama pendekatan ini

dimaksudkan untuk membentuk kerjasama dengan individu. Terapis harus

membantu individu keyakinannya agar tidak langsung menantang dan

menarik diri dari terapi. Misalnya, meyakinkan individu bahwa

pengendalian berat badan adalah untuk kepentingan tubuh individu dan

menghargai usaha individu sejauh ini.

c.Pendekatan Terapi Keluarga

Terapi keluarga dibagi menjadi dua yaitu, structural family therapy dan

behavioral family therapy. Pendekatan struktural keluarga ini menyatakan

bahwa simtom-simtom gangguan makan dipahami dengan bagaimana hal

tersebut tertanam dalam struktur keluarga yang disfungsional (Minuchin

dalam Gerald and John, 2004). Oleh karena itu, melibatkan keluarga

dalam proses terapi penting untuk mendefenisikan ulang bahwa gangguan

tersebut bersifat interpersonal (konflik keluarga) bukan individual.

Pendekatan ini memiliki tiga tugas. Pertama, melibatkan keluarga dalam

proses terapi disebut sebagai fase refeeding. Tugas kedua, keluarga diajak

makan bersama untuk mengidentifikasikan hubungan, komunikasi

dukungan dan aturan keluarga mengenai cara makan. Tugas terakhir


adalah tahap perubahan dalam sistem keluarga, seperti kontrol orangtua

terhadap waktu makan anak dan kerjasama orangtua untuk memperhatikan

anak mereka.

Tahap kedua, memiliki tiga elemen.

 Mengatur ulang kognisi mengenai body image dan padangan

mengenai makanan yang salah.

 Membangun kerjasama untuk memperbaiki hirarki keluarga yang

tidak tepat.

 Secara bertahap mengontrol kelebihan makan anggota keluarga

yang mengalami gangguan makan.

Tahap terakhir adalah mengajarkan ketrampilan pemecahan masalah dan

komunikasai.

d. Intervensi dengan obat-obatan

Penderita anorexia biasanya diterapi dengan menggunakan obat fluoxetine

dan memakai kontrol placebo. Pemberian fluoxetine menghasilkan respon

yang cukup baik untuk mencapai keseimbangan berat tubuh,

menghilangkan symptom utama dari gangguan makan dan memperbaiki

mood.

3.2. Intervensi Bulimia Nervosa

a. Terapi perilaku-kognitif

Perbedaan terapi ini pada penderita anorexia adalah pada bulimia terapi

lebih terstruktur dan memiliki prognosis yang lebih baik. Fairbun (1997)
dalam Bennet (2006) menyatakan tiga tahap terapi yang tidak jauh berbeda

dengan penanganan anorexia.

 Tahap awal

Dalam tahap ini, terdapat dua tujuan yaitu meberikan klien alasan

pentingnya pengobatan dan menganti binging (pesta makan)

dengan pola makan yang teratur. Mengontrol makan cukup tiga

kali sehari, dengan tambahan dua kali camilan dan tidak diikuti

dengan perilaku muntah. Hal ini tidak serta merta menaikkan berat

badan, bahkan cenderung menurunkan. Namun, setelah pasien

merasa makanan yang ia makan telah cukup, keinginan untuk

muntah akan berkurang secara alami.

 Tahap kedua

Tahap ini bertujuan untuk melawan kekuatiran mengenai bentuk

dan berat bedan serta distorsi kognitif yang lain. Terapi perilaku

dilakukan dengan memilih makanan yang penting untuk asupan

energi dan makanan yang lain bisa dihindari. Sehingga klien bisa

mengurangi kecemasan dan keinganan untuk muntah. terapis

mendorong klien untuk mengidentifikasi asumsi negatif mengenai

berat dan bentuk badan mereka dan menantang mereka untuk

melawan asumsi tersebut.

 Tahap Ketiga

Tahap ini bertujuan untuk mempertahankan pencapaian pada tahap

pertama dan kedua pada saat terapi sudah selesai.


b. Intervensi Farmakologis

Penggunaan obat dalam intervensi bulimia tidak sepenuhnya berhasil.

Jimerson dalam Bennet (2006) menyatakan bahwa obat antidepresan dapat

mengurangi binging rata-rata 56%, sedangkan pengobatan dengan

menggunakan placebo mengalami penurunan rata-rata 11%. Namun,

kebanyakan orang bulimia berhenti mengonsumsi antidepresan karena

efek samping yang mereka alami. Setelah mereka berhenti mengonsumsi

obat, maka binging akan kambuh rata-rata pada bulan keempat.

Pengobatan yang lebih efektif didapat dari penggunaan SSRI (fluoxetine)

bagi penderita yang tidak mau menggunakan pendekatan kognitif.

B. Gangguan Tidur (Sleeping Disorder)

1. Gejala Gangguan Tidur

Gangguan tidur merupakan gangguan yang dapat menyebabkan perubahan

pada pola tidur dan menjadi penghambat bagi seseorang untuk melakukan

aktivitasnya. Dalam DSM-IV-TR disebutkan bahwa gangguan tidur diklasifikasi

ke dalam 4 jenis, yaitu Primary Sleep Disorders, Sleep Disorder Related to

Another Mental Disorder, Sleep Disorder Due to a General Medical Condition

dan Substance-Induced Sleep Disorder.

1.1. Primary Sleep Disorders

a. Dyssomnia
Dyssomnia merupakan gangguan tidur yang berkaitan dengan jumlah,

kualitas atau waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal emosional (dalam PPDGJ-

III). Gangguan tidur yang termasuk dalam dyssomnia antara lain Insomnia,

Hipersomnia, Narkolepsi, Breathing Related Sleep Disorder dan Gangguan Irama

Tidur Sikardian.

1. Insomnia

Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan memulai tidur, mempertahankan

tidur, merasa tidak fresh pada waktu bangun pagi dan mengalami kualitas tidur

yang buruk.

Diagnosis Insomnia dalam DSM-IV-TR :

a. Kesulitan untuk memulai, mempertahankan tidur, dan tidak dapat

memperbaiki tidur selama sekurangnya satu bulan merupakan

keluhan yang paling banyak terjadi.

b. Insomnia ini menyebabkan penderita menjadi stres sehingga dapat

mengganggu fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting yang

lain.

c. Insomnia karena faktor psikologis ini bukan termasuk narkolepsi,

gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritme

sirkadian atau parasomnia.

d. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena gangguan mental

lain seperti gangguan depresi, delirium.


e. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena efek fisiologis

yang langsung dari suatu zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi

medis yang umum.

2. Hipersomnia

Pada hypersomnia, penderita memiliki rasa kantuk yang terjadi setiap hari

selama lebih dari satu bulan atau berulang dalam kurun waktu yang lebih pendek,

menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam

social dan pekerjaan (dalam PPDGJ-III).

Diagnosis Hipersomnia menurut PPDGJ-III:

a. Rasa kantuk pada siag hari yang berlebihan atau adanya serangan

tidur/sleep attack (tidak disebabkan oleh jumlah tidur yang kurang), dan

atau transisi yang panjang dari saat mulai bangun tidur sampai sadar

sepenuhnya;

b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari satu bulan atau

berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek, menyebabkan

penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam social

dan pekerjaan;

c. Tidak ada gejala tambahan “narcolepsy” atau bukti klinis untuk “sleep

apnea”;

d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala rasa

kantuk pada siang hari.


3. Narkolepsi

Diagnosis pada gangguan ini diberikan ketika orang tersebut mendapat

serangan tidur mendadak yang muncul setiap hari selama 3 bulan atau lebih dan

diiringi dengan adanya salah satu atau dua kondisi, yaitu cataplexy dan gangguan

tidur REM (APA, 2000 dalam Nevid, dkk, 2005).

Diagnosis Narkolepsi berdasarkan DSM-IV-TR antara lain:

a. Mengalami serangan tidur mendadak setiap hari, sekurang-kurangnya

selama tiga bulan;

b. Keberadaannya diiringi dengan adanya salah satu atau dua kondisi:

(1) cataplexy

(2) rapid eye movement (REM)

c. Gangguan ini tidak terjadi karena efek fisiologis yang langsung dari

suatu zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis yang umum.

4. Breathing Related Sleep Disorder

Tipe yang paling umum adalah obstructive sleep apnea yang melibatkan

episode berulang dari gangguan pernapasan secara menyeluruh maupun sebagian

selama tidur (Zwilich, 2000 dalam Nevid, dkk, 2005).

Dalam kasus gangguan menyeluruh, seseorang dengan gangguan ini akan

dapat berhenti bernapas selama 15 sampai 90 detik sebanyak 500 kali sepanjang

malam. Saat hal itu terjadi, seseorang itu dapat mendadak duduk, tersedak,

mengambil napas dalam beberapa kali, dan kembali tertidur tanpa menyadari

bahwa pernapasannya telah terganggu (dalam Nevid, dkk, 2005). Gangguan


akibat apnea yang sering muncul saat tidur normal dapat membuat orang merasa

mengantuk pada keesokan harinya seingga penderita akan mengalami gangguan

untuk melakukan pekerjaannya secara efektif.

Diagnosis dalam DSM-IV-TR:

a. Gangguan tidur yang disebabkan oleh adanya episode berulang dari

gangguan pernapasan secara menyeluruh maupun sebagian selama tidur

b. Gangguan ini tidak terjadi karena efek fisiologis yang langsung dari

suatu zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis yang umum.

(selain breathing-related disorder).

5. Gangguan Irama Tidur Sirkadian (Cicardian Sleep Disorder)

Pada circadian rhythm sleep disorder, irama tidur menjadi sangat

terganggu karena adanya ketidakcocokan yang ditetapkan oleh seseorang antara

tuntutan jadwal tidur dengan siklus internal bangun dan tidur orang tersebut.

Gangguan pada pola tidur ini juga dapat menyebabkan insomnia ataupun

hypersomnia.

Diagnosis Circadian Rhythm Sleep Disorder dalam DSM-IV-TR:

a. Gangguan pola tidur yang tetap atau berulang yang dapat berbentuk

tidur berlebihan atau insomnia yang disebabkan oleh ketidaksesuaian

jadwal tidur sebelumnya yang dibutuhkan karena tuntutan lingkungan

atau pola tidur-bangun sirkadian.

b. Gangguan tidur ini dapat menyebabkan stres dan juga penurunan pada

fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi-fungsi lainnya.


c. Gangguan tidur ini tidak terjadi pada saat penderita mengalami

gangguan tidur atau gangguan mental lainnya.

d. Gangguan tidur ini tidak terjadi karena efek psikologis, atau obat-

obatan, atau kondisi medis umum.

b. Parasomnia

Gangguan yang menunjukkan adanya aktivitas psikologis pada waktu

yang tidak sesuai dengan siklus tidur-bangun. Gangguan ini ditunjukkan dengan

aktivasi sistem saraf otonom, sistem motorik, atau proses kognitif ketika tidur atau

transisi tidur-bangun (dalam DSM-IV-TR).

1. Gangguan Mimpi Buruk (Nightmares disorder)

Gangguan mimpi buruk atau nightmare disorder merupakan proses terjaga

dari tidur secara berulang-ulang karena mimpi buruk. Mimpi buruk biasanya

melibatkan cerita panjang dimana terdapat ancaman akan adanya bahaya fisik

yang dekat dengan individu, seperti dikejar, diserang, atau dilukai. Orang yang

mengalami biasanya dapat mengingat mimpi buruk ini dengan jelas pada saat

bangun, meskipun demikian, kecemasan dan ketakutan tetap bertahan dan

menghalangi mereka untuk tidur kembali (dalam Nevid, dkk, 2005).

Gejala Nightmares Disorder dalam PPDGJ-III:

a. Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mimpi

yang menakutkan yang data diingat kembali dengan rini dan jelas,

biasanya perihal ancaman kelangsungan hidup, keamanan, dan harga


diri; terbangunnya bias kapan saja selama periode tidur, tetapi yang

khas adalah pada paruh kedua masa tidur:

b. Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera sadar

penuh dan mampu mengenali lingkungannya;

c. Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu,

menyebabkan penderitaan cukup berat bagi individu.

2. Gangguan Teror Tidur (Night Terrors Disorder)

Gangguan ini biasanya diawali dengan tangisan atau teriakan yang keras di

malam hari oleh penderita. Kemudian penderita (yang sebagian besar adalah anak)

tertunduk, terlihat ketakutan dan menunjukkan tanda-tanda dari proses terjaga

yang ekstrem. Anak tersebut juga akan bercerita yang aneh-aneh namun tetap

tertidur. Jika anak itu benar-benar terbangun, reaksi pertama mungkin ia tidak

akan mengenali orang tuanya dan akan mendorong orang tuanya saat mereka

masuk ke dalam kamar anaknya (dalam Nevid, dkk, 2005).

Gejala Night Terrors Disorder dalam PPDGJ-III:

a. gejala utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tidur, mulai

dari berteriak karena panik, disertai anxietas yang hebat, seluruh tubuh

bergetar, dan hiperaktivitas otonomik seperti jantung berdebar-debar,

napas cepat, pupil melebar, dan berkeringat;

b. episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya berkisar 1-10 menit,

dan biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur malam;


c. secara relatif tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain untuk

mempengaruhi keadaan terror tidurnya, dan kemudian dalam beberapa

menit setelah bangun biasanya terjadi disorientasi dan gerakan-gerakan

berulang;

d. ingatan terhadap kejadian, kalaupun ada sangat minimal (biasanya

terbatas atas satu atau dua bayangan-bayangan yang terpilah-pilah);

e. tidak ada bukti adanya gangguan mental organik.

3. Gangguan Berjalan saat Tidur (Sleepwalking)

Gangguan berjalan saat tidur melibatkan episode berulang di mana orang

yang sedang tidur bangkit dari tempat tidur dan berjalan di sekitar rumah sambil

tetap tertidur. Episode ini tidak melibatkan kehadiran mimpi. Orang yang berjalan

sambil tidur cenderung memiliki tatapan kosong pada wajah mereka. Umumnya

mereka menjadi tidak responsif terhadap orang lain dan sulit terbangun. Ketika

terjaga pada keesokan harinya, mereka biasanya dapat mengingat sedikit dari

pengalaman mereka semalam. Jika mereka terjaga pada saat episode ini terjadi,

mereka mungkin akan mengalami kebingungan untuk beberapa saat, tetapi dapat

segera mengalami kesadaran penuh (dalam Nevid, dkk, 2005).

Gejala Sleepwalking dalam PPDGJ-III:

a. Gejala yang utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tempat

tidur, biasanya pada sepertiga awal tidur malam, dan terus berjalan-

jalan; (kesadaran berubah)


b. Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong (blank,

staring face), relative tak memberi respon terhadap upaya orang lain

untuk mempengaruhi keadaan atau berkomunikasi dengan penderita,

dan hanya dapat disadarkan/ dibangunkan dari tidurnya dengan susah

payah;

c. Pada waktu sadar/ bangun ( setelah satu episode atau besok paginya),

individu tidak ingat apa yang terjadi;

d. Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode

tersebut, tidak ada gangguan aktivitas mental, walaupun bias dimulai

dengan sedikit bingung dan disorientasi dalam waktu singkat.

e. Tidak ada bukti adanya gangguan mental organic.

1.2. Sleep Disorder Related to Another Mental Disorder

Pada Sleep Disorder Related to Another Mental Disorder, yang termasuk

di antaranya adalah Insomnia yang berkaitan dengan gangguan mental lain

(Insomnia Related to Another Mental Disorder) dan Hipersomnia yang berkaitan

dengan gangguan mental lain (Hypersomnia Related to Another Mental Disorder).

Gejala Insomnia yang berkaitan dengan gangguan mental lain, dalam

DSM-IV-TR disebutkan antara lain:

a. Kesulitan tidur atau mempertahankan tidurnya, ataupun tidur yang

tidak menyegarkan, paling tidak selama 1 bulan yang berkaitan dengan

kelelahan di siang hari atau gangguan dalam beraktivitas di siang hari.


b. Gangguan tidur tersebut menyebabkan penderitaan secara klinis atau

ketidakmampuan yang cukup signifikan dalam bidang sosial,

perkerjaan maupun bidang lainnya.

c. Insomnia yang di derita dinilai berhubungan dengan gangguan lain

pada Axis I atau Axis II (misalnya Gangguan Depresi Mayor,

Gangguan Kecemasan, Gangguan Penyesuaian dengan Kecemasan).

d. Gangguan yang diderita bukan termasuk gangguan tidur lainnya

seperti Narkolepsi, Gangguan Tidur berkaitan dengan Pernafasan dan

Parasomnia.

e. Gangguang yang diderita bukan karena efek fisiologis langsung dari

suatu zat seperti penyalahgunaan obat-obatan maupun kondisi medis

umum.

Gejala Hipersomnia yang berkaitan dengan gangguan mental lain, dalam

DSM V-TR disebutkan antara lain:

a. Rasa kantuk yang berlebihan selama kurang lebih satu bulan yang

dibuktikan dengan waktu tidur yang lama ataupun waktu tidur di siang

hari yang terjadi hampir setiap hari.

b. Kantuk yang berlebihan tersebut menyebabkan penderitaan secara

klinis dan ketidakmampuan dalam bidang sosial, pekerjaan atau bidang

lain.

c. Hypersomnia yang diderita berhubungan dengan gangguan lain pada

Axis I atau Axis II (misalnya Gangguan Depresi Mayor)


d. Gangguan yang diderita bukan termasuk gangguan tidur lainnya seperti

Narkolepsi, Gangguan Tidur berkaitan dengan Pernafasan dan

Parasomnia.

e. Gangguang yang diderita bukan karena efek fisiologis langsung dari

suatu zat seperti penyalahgunaan obat-obatan maupun kondisi medis

umum.

3. Sleep Disorder Due to a General Medical Condition

Gejala gangguan tidur yang berkaitan dengan kondisi medis umum, dalam

DSM-IV-TR dijelaskan seperti berikut:

a. Keluhan gangguan tidur yang cukup berat hingga membutuhkan

perhatian secara klinis

b. Terdapat bukti-bukti riwayat, temuan fisik atau laboratorium yang

menyatakan bahwa gangguan tidur tersebut merupakan konsekuensi

fisiologis dari kondisi medis.

c. Gangguan yang diderita tidak berkaitan dengan gangguan mental lain.

d. Gangguan yang diderita tidak terjadi selama mengalami delirium.

e. Gangguan yang diderita tidak memenuhi kriteria gangguan tidur yang

berkaitan dengan pernafasan ataupun narkolepsi.

f. Gangguan tidur yang diderita menyebabkan penderitaan klinis ataupun

ketidakmampuan sosial, bekerja maupun bidang lain.

4. Substance-Induced Sleep Disorder.


Gejala gangguan tidur yang disebabkan oleh penggunaan zat, disebutkan

dalam DSM-V-TR, yaitu:

a. Keluhan pada gangguan tidur yang cukup parah hingga membutuhkan

perhatian medis

b. Terdapat riwayat, uji fisik maupun temuan laboratorium mengenai:

1. Gejala yang terjadi berkembang dalam satu bulan selama

penggunaan zat ataupun penghentian penggunaan.

2. Penggunaan obat yang menjadi penyebab dari gangguan pada

tidur

c. Gangguan tidak berkaitan dengan gangguan tidur yang tidak terkait

dengan penggunaan zat.

d. Gangguan tidak terjadi selama mengalami delirium.

e. Gangguan tidur yang diderita menyebabkan penderitaan klinis ataupun

ketidakmampuan sosial, bekerja maupun bidang lain.

f. Gangguan tidur yang diderita menyebabkan penderitaan klinis ataupun

ketidakmampuan sosial, bekerja maupun bidang lain.

2. Etiologi Gangguan Tidur

Etiologi Gangguan Tidur dalam DSM-IV-TR dibagi berdasarkan empat

jenis gangguan, yaitu:

2.1. Primary Sleep Disorders

Gangguan tidur yang termasuk dalam Primary Sleep Disorders dibagi ke

dalam dua kategori, yaitu Dyssomnia dan Parasomnia. Penyebab dari gangguan
ini adalah ketidaknormalan hormon pada mekanisme tidur-jaga, dan seringnya

semakin diperburuk oleh faktor pembiasaan (conditioning factors). Contohnya,

pada individu yang pernah mengalami sakit berat dan harus selalu istirahat di

tempat tidur serta memiliki kesulitan untuk tidur dapat memiliki asosiasi negatif

terhadap tidur. Asosiasi negatif ini yang menjadi sebuah pembiasaan hingga

menjadi penyebab gangguan tidur.

2.2. Sleep Disorder Related to Another Mental Disorder

Gangguan ini disebabkan oleh hasil diagnosis gangguan mental, seperti

gangguan suasana perasaan (mood) atau kecemasan. Contohnya, seseorang yang

mengalami gangguan kecemasan yang mengakibatkan dirinya sulit untuk tidur.

Sehingga, gangguan tidur yang dialami merupakan pengaruh dari gejala gangguan

kecemasan.

2.3. Sleep Disorder Due to a General Medical Condition

Gangguan ini disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari kondisi medis

pada sistem tidur-jaga. Contohnya, gangguan ini dapat dikatakan ada dalam diri

seseorang yang mengalami dementia ketika gangguan tidur menjadi penyebab

langsung dari proses patologis yang menyebabkan terjadinya dementia.

2.4. Substance-Induced Sleep Disorder

Gangguan tidur yang dihasilkan dari penggunaan obat-obatan secara

bersamaan, penghentian substansi-substansi atau obat-obatan yang baru saja

digunakan. Gangguan tidur ini disebabkan oleh penggunaan zat biasanya terjadi

selama penggunaan beberapa zat tertentu, seperti alcohol, amphetamine, kafein,

kokain, opioids dan obat penenang, hipnotik, dan anxiolytic. Contohnya,


seseorang yang secara rutin mengkonsumsi alkohol akan mengalami peningkatan

rasa kantuk dan kondisi terjaga berkurang 3 hingga 4 jam.

3. Intervensi Gangguan Tidur

3.1. Pendekatan Biologis (Farmakologis)

Kebanyakan penangan tercepat untuk gangguan sulit tidur adalah dengan

obat tidur. Terdapat intervensi lain dengan menggunakan pemberian hormon.

Hormon melatonin yang diproduksi oleh kelenjar pineal berperan penting dalam

mengatur tidur dan diketahui berkurang seiring terjadinya penuaan. Oleh karena

itu, hormon tersebut digunakan untuk menangani gangguan tidur pada orang

lanjut usia.

3.2. Pendekatan Psikologis ( Nonfarmakologis)

Dalam Bennet (2006), intervensi dengan penanganan nonfarmakologis

merupakan intervensi kognitif behavioral untuk masalah tidur. Intervensi ini

menekankan pada penanganan jangka pendek dan berfokus pada penurunan

langsung kondisi fisiologis yang muncul, memodifikasi kebiasaan tidur yang

maladaptif, dan mengubah pemikiran yang disfungsional (Nevid dkk., 2005).

Intervensi nonfarmakologis untuk gangguan tidur lainnya berupa

pengaturan
sleep hygiene, terapi pengontrolan stimulus, sleeprestriction therapy,

terapi relaksasi dan biofeedback


 Sleep Hygiene bertujuan untuk memberikan lingkungan dan kondisi yang

kondusif untuk tidur, dan merupakan aspek yang mutlak dimanipulasi

pada tatalaksana gangguan tidur. Merubah kebiasaan sehari hari yang

dapat mengganggu jam tidur. Kurang efektif dibandingkan stimulus

control sih.

 Terapi pengontrolan stimulus bertujuan untuk memutus siklus masalah

ini
yang sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur. cocok

buat adult yg susah tidur. Jadi klien diinstruksikan untuk hanya

menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur, sex, dan tidak untuk kerja

atau kegiatan yang menstimuluskan atau meningkatkan kecemasan( nnton

berita di tv, main tab)

 Sleep Restriction Therapy merupakan pembatasan waktu di tempat tidur

yang dapat membantu mengkonsolidasikan tidur. Terapi ini bermanfaat

untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya

diinstruksikan untuk membatasi waktu di tempat tidur sekitar 4 jam dari

waktu tidur.

 Terapi relaksasi dan biofeedback merupakan terapi hipnosis diri, relaksasi

progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi Keadaan relaks cukup

efektif untuk memperbaiki tidur. Bentuknya berupa bangun pada jam yang

sama setiap hari, menghindari berbagai aktivitas menjelang tidur yang

tidak sejalan dengan tidur itu sendiri, dan hanya merebahkan diri di tempat

tidur bila sudah mengantuk, dan jika tidak dapat tidur, bangun dan pergi ke

ruangan lain.
Daftar Pustaka :

Nevid S, Jeffrey., Rathus A, Spencer., dan Greene, Beverly. 2005. Psikologi 

                            Abnormal Jilid 2.  Jakarta: Penerbit Erlangga.

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental


Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing.
Washinton DC

Anda mungkin juga menyukai