Anda di halaman 1dari 84

STASE KEPERAWATAN JIWA

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI


HALUSINASI

Oleh : Master Samson Rio


NIM : 00320032

PRESEPTOR AKADEMIK PRESEPTOR KLINIK

Ns. Mira Agustia, S.Kep, M.Kep Ns. Aulya Akbar M.Kep, S.Kep. J

PROGRAM STUDI PROFESI


NERS STIKes AWAL BROS
BATAM TAHUN AKADEMIK
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

I. KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien
merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada ( Keliat & Akemat, 2018 ).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu
(Maramis, 2007).
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksternal (persepsi palsu).
Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap
stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus
eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai sesutu yang
nyata ada oleh klien. (Wahyudi, Oktaviani, Dianesti dkk. 2018).

B. RENTANG RESPON
Respon perilaku klien dapat diidentifikasi sepanjang rentang respon
yang berhubungan dengan fungsi neurobiologik. Perilaku yang dapat
diamati dan mungkin menunjukkan adanya halusinasi, respon yang terjadi
dapat berada dalam rentang adaptif sampai maladaptif yang dapat
digambarkan sebagai berikut disajikan dalam tabel berikut:
Rentang respon neurobiologik
Respon adaptif Respon maladaptive

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Waham


2. Persepsi akurat 2. Ilusi 2. Halusinasi
3. Emosi konsisten 3. Menarik diri 3. Sulit berespon
4. Perilaku sesuai 4. Reaksi emosi 4.Perilaku disorganisasi
5. Hubungan sosial 5. Perilaku tidak biasa 5. Isolasi sosial

1. Respon adaptif
a. Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang dapat
diterima akal.
b. Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang suatu
peristiwa secara cermat dan tepat sesuai perhitungan.
c. Emosi konsisten berupa kemantapan perasaan jiwa sesuai
dengan peristiwa yang pernah dialami.
d. Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang
berkaitan dengan individu tersebut diwujudkan dalam bentuk
gerak atau ucapan yang tidak bertentangan dengan moral.
e. Hubungan sosial dapat diketahui melalui hubungan seseorang
dengan orang lain dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat
2. Respon transisi
a. Distorsi pikiran berupa kegagalan dalam mengabstrakan dan
mengambil kesimpulan.
b. Ilusi merupakan persepsi atau respon yang salah terhadap
stimulus sensori.
c. Menarik diriyaitu perilaku menghindar dari orang lain baik
dalam berkomunikasi ataupun berhubungan sosial dengan orang-
orang disekitarnya.
d. Reaksi Emosi berupa emosi yang diekspresikan dengan sikap
yang tidak sesuai.
e. Perilaku tidak biasa berupa perilaku aneh yang tidak enak
dipandang, membingungkan, kesukaran mengolah dan tidak
kenal orang lain.
3. Respon maladaptif
a. Gangguan pikiran atau waham berupa keyakinan yang salah
yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh
orang lain dan bertentangan dengan realita sosial.
b. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi
yang salah terhadap rangsangan.
c. Sulit berespon berupa ketidakmampuan atau menurunnya
kemampuan untuk mengalami kesenangan, kebahagiaan,
keakraban dan kedekatan.
d. Perilaku disorganisasi berupa ketidakselarasan antara perilaku
dan gerakan yang ditimbulkan.
e. Isolasi sosial merupakan suatu keadaan kesepian yang dialami
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam.
(Stuart, 2007).

C. FAKTOR PENYEBAB
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Wahyudi, Oktaviani,
Dianesti dkk (2018), faktor-faktor yang menyebabkan klien gangguan jiwa
mengalami halusinasi adalah sebagai berikut:
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-
kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa
yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang
masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki
kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah
satunya mengalami skizofrenia, sementara jika dizigote,
peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu orang
tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka
peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan
fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan
tidak normal, khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter. Dopamin berlebihan,
tidak seimbang dengan kadar serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan
dapat menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor
predisposisi skizofrenia antara lain anak yang
diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu melindungi,
dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang
mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
a. Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang
menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal
otak.
b. Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
c. Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
sistem syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan.
d. Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis
masalah di rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup,
perubahan kebiasaan hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran
dalam hubungan dengan orang lain, isolasi social, kurangnya
dukungan sosial, tekanan kerja, kurang ketrampilan dalam
bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan mendapat
pekerjaan.
e. Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri
rendah, putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan
kendali diri, merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang,
bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun
kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku agresif,
ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan
gejala.

D. PROSES TERJADINYA HALUSINASI


Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2016).
Menurut Townsend, M.C suatu keadaan dimana seseorang melakukan
sesuatu tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik pada diri
sendiri maupuan orang lain.
Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada
diri sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku :
1. Muka merah
2. Pandangan tajam
3. Otot tegang
4. Nada suara tinggi
5. Berdebat
6. Memaksakan kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak
senang
E. JENIS-JENIS HALUSINASI
Beberapa jenis halusinasi ini sering kali menjadi gejala penyakit
tertentu,seperti skizofrenia.Namun terkadang juga dapat disebabkan oleh
penyalahgunaan narkoba ,demam,depresi atau demensia,berikut ini jenis
jenis halusianasi yang mungkin saja mengintai pikiran manusia. (Wahyudi,
Oktaviani, Dianesti dkk. 2018)
1. Halusinasi Pendengaran (Audio) 70%
Ini adalah jenis halusinasi yang menunjukan persepsi yang salah
dari bunyi, musik, kebisingan atau suara. Mendengar suara ketika
tidak ada stimulus pendengaran adalah jenis yang paling umum dari
halusinasi audio pada penderita gangguan mental.Suara dapat
didengar baik di dalam kepala maupun di luar kepala seseorang dan
umumnya dianggap lebih parah ketika hal tersebut datang dari luar
kepala, suara bisa datang berupa suara wanita maupun suara pria yang
akrab atau tidak akrab. Pada penderita skizofrenia gejala umum adalah
mendengarkan suara suara dua orang atau lebihyang berbicara pada
satu sama lain, ia mendengar suara berupa kritikan atau komentar
tentang dirinya, prilaku atau pikirannya.
2. Halusinasi penglihatan (Visual) 20%
Ini adalah sebuah persepsi yang salah pada pandangan isi dari
halusinasi dapat berupa apa saja tetapi biasanya orang atau tokoh
seperti manusia. Misalnya seseorang merasa ada orang berdiri di
belakangnya.
3. Halusinasi Pengecapan (Gustatorius)
Ini adalah sebuah persepsi yang salah mengenai rasa biasanya
pengalaman ini tidak menyenangkan. Misalnya seorang individu
mungkin mengeluh telah mengecap rasa logam secara terus menerus.
Jenis halusinasi ini sering terlihat di beberapa gangguan medis seperti
epilepsi dibandingkan pada gangguan mental.
4. Halusinasi penciuman (Olfaktori)
Halusinasi ini melibatkan berbagai bau yang tidak ada.bau ini
biasanya tidak menyenangkan seperti mau muntah, urin, feses asap
atau daging busuk. Kondisi ini juga sering disebut sebagai Phantosmia
dan dapat diakibatkan oleh adanya kerusakan saraf di bagian indra
penciuman.Kerusakan mungkin ini mungkin disebabkan oleh virus,
trauma, tumor otak atau paparan zat zat beracun atau obat obatan
5. Halusinasi sentuhan (Taktil)
Ini adalah sebuah persepsi atau sensasi palsu terhadap sentuhan
atau suatu yang terjadi di dalam atau pada tubuh. Halusinasi sentuhan
ini umumnya merasa seperti ada suatu yang merangkak di bawah atau
pada kulit.
6. Halusinasi somatic
Ini mengacu pada saat seseorang mengalami perasaan tubuh
mereka merasakan nyeri yang parah misalnya akibat mutilasi atau
pergeseran sendi.pasien juga melaporkan bahwa ia juga mengalami
penyerahan oleh hewan pada tubuh mereka seperti ular merayap
dalam perut.

F. TAHAP-TAHAP HALUSINASI
Pada gangguan jiwa,Halusinasi pendengaran merupakan hal yang
paling sering terjadi, dapat berupa suara suara bising atau kata kata yang
dapat mempengaruhi perilaku sehingga dapat menimbulkan respon tertentu
seperti berbicara sendiri,marah,atau berespon lain yang membahayakan diri
sendiri orang lain dan lingkungan. Tahap-tahap halusinasi sebagai berikut
(Wahyudi, Oktaviani, Dianesti dkk. 2018):
1. Sleep disorder
Sleep desorder adalah halusinasi tahap awal seseorang sebelum
muncul halusinasi.
a. Karakteristik : Seseorang merasa banyak masalah, ingin
menghindar dari lingkungan takut diketahui orang lain bahwa
dirinya banyak masalah.
b. Perilaku : Klien susah tidur dan berlangsung terus menerus
sehingga terbiasa menghayal dan menganggap hayalan awal
sebagai pemecah masalah
2. Comforthing
Comforthing adalah halusinasi tahap menyenangkan: pasien cemas
sedang.
a. Karakteristik : Klien mengalami perasaan yang mendalam
seperti cemas, kesepian, rasa bersalah, takut, dan mencoba untuk
berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan
cemas.
b. Perilaku : Klien terkadang tersenyum, tertawa sendiri,
menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat
respon verbal yang lambat, diam dan berkonsentrasi
3. Condeming
Condeming adalah tahap halusinasi menjadi menjijikan: pasien cemas
berat.
a. Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.
Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk
mengambil jarak dirinya dengan sumber yang presepsikan.Klien
mungkin merasa dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain
b. Perilaku : Ditandai dengan meningkatnya tanda tanda sistem
syaraf otonom akibat ansietas otonom seperti peningkatan
denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah,rentang perhatian
dengan lingkungan berkurang dan terkadang asyik dengan
pengalaman sendiri dan kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dan realita.
4. Controling
Controling adalah tahap pengalaman halusinasi yang berkuasa: pasien
cemas berat
a. Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan
terhadap halisinasi dan menyerah pada halusinasi trsebut.
b. Perilaku : Perilaku klien taat pada perintah halusinasi, sulit
berhubungan dengan orang lain, respon perhatian terhadap
lingkungan berkurang, biasanya hanya beberapa detik saja.
5. Conquering
Concuering adalah tahap halusinasi panik umumnya menjadi melebur
dalam halusinasi
a. Karakteristik : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika
mengikuti perintah halusinasi.
b. Perilaku : Perilaku panik, resiko tinggi mencederai, bunuh diri
atau membunuh orang lain.

G. MEKANISME KOPING PENDERITA GANGGUAN HALUSINASI


Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor: pada halusinasi terdapat 3 mekanisme koping yaitu (Wahyudi,
Oktaviani, Dianesti dkk. 2018):
1. With Drawal : Menarik diri dan klien sudah asik dengan pelaman
internalnya
2. Proyeksi : Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang
membingungkan
3. Regresi : Terjadi dalam hubungan sehari hari untuk memproses
masalah dan mengeluarkan sejumlah energi dalam mengatasi
cemas.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara (Wahyudi, Oktaviani,
Dianesti dkk. 2018):
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan
pasien akibat halusinasi sebaiknya pada permulaan dilakukan secara
individu dan usahakan terjadi kontak mata jika perlu pasien di sentuh
atau dipegang
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang diberikan sehubungan
dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan
sebaiknya secara persuasif tapi instruktif. Perawat harus mengamati
agar obat yang diberikan betul ditelannya serta reaksi obat yang
diberikan.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin).
Untuk itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat
mengatasi halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat secara
tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan
kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam
pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan
secara tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana
penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan
kemampuan keluarga. Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan.
Pertama keluarga adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap
keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien. Klien
mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak
didukung secara kuat, klien bisa mengalami kegagalan, dan halusinasi
bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala
psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang ke
rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi. Dengan mendidik
keluarga tentang cara penanganan halusinasi, diharapkan keluarga
dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke rumah. Latih pasien
menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan
gejala-gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita
skizofrenia, manik depresi, gangguan personalitas, psikosa
involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan
intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan
satu kali pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari.
Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara
perlahan – lahan sampai 600 – 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma,
keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita
yang hipersensitif terhadap derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi
orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore
pada wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala
ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non psikosa
dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala penurunan
kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan
gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali
menimbulkan intoksikasi.
b. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi:
Manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la
tourette pada anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan
perilaku yang berat pada anak – anak.
Cara pemberian
Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6
– 15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -
5 mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi:
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit
parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah,
gejala ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping
yang jarang adalah nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi,
hipotensi, gejala gangguan otonomik. Efek samping yang sangat
jarang yaitu alergi, reaksi hematologis. Intoksikasinya adalah
bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis terapeutik dapat
timbul kelemahan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi, sedasi,
koma, depresi pernapasan.
c. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah (
12,5 mg ) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan,
dosis ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3
– 6 mg setiap kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila
pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya
peningkatan perlahan – lahan.
Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif
terhadap fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap
phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi gejala – gejala sesuai
dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis
dan suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol hindari
menggunakan ephineprine ISO, (2008) dalam Pambayun (2015).

3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi


masalah yang ada.
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat
menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya
halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.
4. Memberi aktifitas kepada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,
misalnya berolahraga, bermain, atau melakukan kegiatan untuk
menggali potensi keterampilan dirinya
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang
data pasien agar ada kesatuan pendapat kesinambungan dalam
asuhan keperawatan.

II. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa menurut (Wahyudi,
Oktaviani, Dianesti dkk. 2018) berisi tentang hal-hal dibawah ini :
1. Identitas klien
2. Keluhan utama atau alasan masuk
3. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi sangat erat kaitannya dengan faktor etiologi
a. Hubungan sosial
Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka
melamun, dan berdiam diri.
b. Spiritual
Aktivitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran pasien.
4. Status mental menurut Hartono (2010) :
a. Pembicaraan klien meliputinada suara rendah, lambat, kurang
bicara, apatis.
b. Penampilan diri meliputi pasien tampak lesu, tak bergairah,
rambut acak-acakan.
c. Aktivitas motorik klien meliputi kegiatan yang dilakukan tidak
bervariatif, kecenderungan mempertahankan pada satu posisi
yang dibuatnya.
d. Emosi klien berupa emosi dangkal (mudah tersinggung)
e. Afek pada klien meliputi dangkal, tak ada ekspresi wajah.
f. Interaksi selama wawancara klien meliputi cenderung tidak
kooperatif, kontak mata kurang, tidak mau menatap lawan
bicara, diam.
g. Persepsi klien meliputi tidak terdapat halusinasi atau waham
h. Proses berpikir klien meliputi gangguan proses berpikir jarang
ditemukan.
i. Kesadaran pada klien dapat berubah, tidak sesuai dengan
kenyataan.
j. Memori atau ingatan pada klien tidak ditemukan gangguan
spesifik, orientasi tempat, waktu dan orang.
k. Kemampuan penilaian kien dapat berupa tidak dapat
mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu
keadaan, selalu memberikan alasan meskipun alasan tidak jelas
atau tidak tepat.
l. Tilik diri tak ada yang khas
5. Kebutuhan sehari-hari
Seperti makan, BAK/BAB, mandi, berpakaian, dan istirahat tidur.

B. DAFTAR MASALAH
1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
3. Isolasi sosial : menarik diri
C. POHON MASALAH
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan Akibat

Core Problem
Halusinasi

Menarik diri Penyebab


(Stuart, 2007).

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan sensori persepsi : halusinasi
2. Isolasi sosial : menarik diri

E. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa I : Perubahan sensori persepsi halusinasi
Tujuan umum : Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dasar untuk
kelancaran hubungan interaksi seanjutnya Tindakan :
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik dengan cara :
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. ujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar
klien
2. Klien dapat mengenal halusinasinya Tindakan :
a. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya:
bicara dan tertawa tanpa stimulus memandang ke kiri/ke kanan/
kedepan seolah-olah ada teman bicara
c. Bantu klien mengenal halusinasinya
1) Tanyakan apakah ada suara yang didengar
2) Apa yang dikatakan halusinasinya
3) Katakan perawat percaya klien mendengar suara itu ,
namun perawat sendiri tidak mendengarnya.
4) Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti itu
5) Katakan bahwa perawat akan membantu klien
d. Diskusikan dengan klien :
1) Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
2) Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi,
siang, sore,malam)
e. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi
halusinasi (marah, takut, sedih, senang) beri kesempatan klien
mengungkapkan perasaannya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya Tindakan :
a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika
terjadi halusinasi ( tidur, marah, menyibukkan diri dll)
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat
ber pujian
c. Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol
timbulnya halusinasi:
1) Katakan “ saya tidak mau dengar”
2) Menemui orang lain
3) Membuat jadwal kegiatan sehari-hari
4) Meminta keluarga/teman/perawat untuk menyapa jika
klien tampak bicara sendiri
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus
halusinasinya secara bertahap.
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih
f. Evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil.
g. Anjurkan klien mengikuti TAK, orientasi, realita, stimulasi
persepsi.
4. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
halusinasinya Tindakan :
a. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami
halusinasi.
b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat
kunjungan rumah):
1) Gejala halusinasi yang dialami klien.
2) Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk
memutus halusinasi
3) Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah,
diberi kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan
bersama, bepergian Bersama
4) Beri informasi waktu follow up atau kenapa perlu
mendapat bantuan : halusinasi tidak terkontrol, dan resiko
mencederai diri atau orang lain.
5. Klien memanfaatkan obat dengan baik Tindakan :
a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis,
frekuensi dan manfaat minum obat
b. Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat dan
merasakan manfaatnya.
c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek
samping minum obat yang dirasakan
d. Diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi
e. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.
Diagnosa II : isolasi sosial menarik diri
Tujuan umum : klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi:
halusinasi
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik,
memperkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan
lingkungan yang tenang, buat kesepakatan dengan jelas
tentang topik, tempat dan waktu.
b. Beri perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak
menjawab.
c. Dengarkan dengan empati: beri kesempatan bicara, jangan
terburu-buru, tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan
klien.
2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri Tindakan :
a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya
b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri atau mau bergaul.
c. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-
tanda serta penyebab yang muncul
d. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain. Tindakan :
a. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan
berhubungan dengan orang lain
1) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan prang
lain
2) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan
dengan orang lain
3) Berireinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan orang lain
b. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain
1) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaan dengan orang lain
2) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain
3) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain
4. Klien dapat melaksanakan hubungan social Tindakan :
a. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
b. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain
melalui tahap :
 K–P
 K – P – P lain
 K – P – P lain – K lain
 K – Kel/Klp/Masy
c. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah
dicapai
d. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam
mengisi waktu
f. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan.
g. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan
ruangan
5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan
orang lain Tindakan :
a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila
berhubungan dengan orang lain
b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat
berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien
mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan
oranglain
6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
 Salam, perkenalan diri
 Jelaskan tujuan
 Buat kontrak
 Eksplorasi perasaan klien
b. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
 Perilaku menarik diri
 Penyebab perilaku menarik diri
 Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak
ditanggapi
 Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
c. Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada
klien untuk berkomunikasi dengan orang lain
d. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian
menjenguk klien minimal satu kali seminggu
e. Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai
oleh keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2018. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan
Jiwa Berat bagi Program S-1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Keliat, B.A., Panjaitan, R.U. (2017). Manajemen Keperawatan Jiwa Komunitas Desa Siaga:
CMHN (Intermediate Course). Jakarta: EGC
Maramis, W.F.(2018). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Ketujuh. Surabaya : Airlangga
Universitas Press
Stuart, GW.( 2017). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari Pocket Guide to
Psychiatric Nursing Alih bahasa Kapoh. Jakarta: EGC
Wahyudi, A, I., Oktaviani, C., Dianesti, E, N., dkk..2018. Strategi Pelaksanaan dengan
Halusinasi. E-Journal Universitas Rustida Banyuwangi
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL (MENARIK DIRI)

Oleh : Master Samson Rio


NIM : 00320032

PRESEPTOR AKADEMIK PRESEPTOR KLINIK

Ns. Mira Agustia, S.Kep, M.Kep Ns. Aulya Akbar M.Kep, S.Kep. J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes AWAL BROS BATAM
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

I. KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Isolasi sosial menurut Townsend, dalam Kusumawati F dan Hartono Y


(2018) adalah suatu keadaan kesepian yang dirasakan seseorang karena
orang lain menyatakan negatif dan mengancam. Sedangkan Menarik diri
adalah usaha menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa
kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi
perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalanya (Depkes, 2017 dalam
Dermawan D dan Rusdi, 2017).
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain di sekitarnya. Pasin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain disekitarnya
(Keliat, 2019).
Jadi isolasi sosial Menarik diri adalah suatu keadaan kesepian yang
dialami seseorang karena merasa ditolak, tidak diterima, dan bahkan pasien
tidak mampu berinteraksi untuk membina hubungan yang berarti dengan
orang lain disekitarnya.

B. RENTANG RESPON

Menurut Stuart (2017). Gangguan kepribadian biasanya dapat dikenali


pada masa remaja atau lebih awal dan berlanjut sepanjang masa dewasa.
Gangguan tersebut merupakan pola respon maladaptive, tidak fleksibel, dan
menetap yang cukup berat menyababkan disfungsi prilaku atau distress yang
nyata.
Respon Adatif Respon Maldatif

Menyendiri Otonomi Kebersamaan


Kesepian Menarik Diri Ketergantungan
Manipulasi Impulsif Narsisisme
Saling Ketergantungan

Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan


cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Riyardi S
dan Purwanto T. (2019) respon ini meliputi :
1. Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa
yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri
dalam menentukan rencana-rencana.
2. Otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial, individu
mampu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan diri.
3. Kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling
member, dan menerima dalam hubungan interpersonal.
4. Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung
antar individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal. Respon maladaptif adalah respon individu dalam
menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan
norma-norma agama dan masyarakat. Menurut Riyardi S dan
Purwanto
T. (2019) respon maladaptive tersebut adalah:
a. Manipulasi
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan
orang lain sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi
pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai
pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi
alat untuk berkuasa pada orang lain.
b. Impulsif
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak
mampu merencanakan tidak mampu untuk belajar dari
pengalaman dan miskin penilaian.
c. Narsisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
ogosentris,harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak
mendapat dukungan dari orang lain.
d. Isolasi sosial
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain.

C. ETIOLOGI

Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan faktor


presipitasi.
1. Faktor predisposisi
Menurut Fitria (2019) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah
isolasi sosial yaitu:
a. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas
perkembangan yang harus terpenuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial. Apabila tugas tersebut tidak terpenuhi
maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya
dapat menimbulkan suatu masalah.

Tabel 1. Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan


interpersonal (Stuart dan Sundeen, dalam Fitria,2019).
Tahap perkembangan Tugas
Masa bayi Menetapkan rasa percaya
Masa bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri
Masa prasekolah Melajar menunjukan inisiatif, rasa tanggung jawab, dan hati
Nurani
Masa sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan berkompromi
Masa praremaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis kelamin
Masa dewasa muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan teman, mencari
pasangan, menikah dan mempunyai anak
Masa tenga baya Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah dilalui
Masa dewasa tua Berduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan
ketertarikan dengan budaya

b. Faktor komunikasi dalam keluarga


Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam
teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan
dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk hubungan
dengan lingkungan diluar keluarga.
c. Faktor sosial budaya
Norma-norma yang salah didalam keluarga atau lingkungan
dapat menyebabkan hubungan sosial, dimana setiap anggota
keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, berpenyakit
kronis dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan
sosialnya.
d. Faktor biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh
yang dapat mempengaruhi gangguan hubungan sosial adalah
otak, misalnya pada klien skizfrenia yang mengalami masalah
dalam hubungan memiliki struktur yang abnormal pada otak
seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel
dalam limbic dan daerah kortikal.
2. Faktor presipitasi
Menurut Herman Ade (2019) terjadinya gangguan hubungan sosial
juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor
stressor presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:
a. Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang terjadi
akibat kecemasan atau ansietas yang berkepanjangan dan terjadi
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk
mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhi kebutuhan
individu.
D. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan Pada setiap tahapan tumbuh kembang
individu ada tugas perkembangan yang harus dilalui individu
dengan sukses agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan
sosial. Apabila tugas ini tidak terpenuhi, akan mencetuskan
seseorang sehingga mempunyai masalah respon sosial
maladaptif. (Damaiyanti, 2017)
b. Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif
c. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan
berhubungan. Hal ini diakibatkan oleh norma yang tidak
mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak
menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti
lansia, orang cacat, dan penderita penyakit kronis.
d. Faktor komunikasi dalam keluarga
Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang
dalam gangguan berhubungan, bila keluarga hanya
menginformasikan hal-hal yang negative dan mendorong anak
mengembangkan harga diri rendah. Seseorang anggota keluarga
menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang
menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar
keluarga.
2. Stressor presipitasi
a. Stressor sosial budaya
Stres dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain
dan faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga
dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya,
misalnya karena dirawat di rumah sakit.
b. Stressor psikologis
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan
untuk berpisah dengan orang dekat atau kegagalan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan
kecemasan tingkat tinggi. (Prabowo, 2016: 111)

E. MANIFESTASI KLINIK

Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan isolasi sosial: menarik diri
menurut Dermawan D dan Rusdi (2018) adalah sebagai berikut:
1. Gejala Subjektif
a. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh
orang lain
b. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Respon verbal kurang atau singkat
d. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
e. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
f. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
g. Klien merasa tidak berguna
h. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
i. Klien merasa ditolak
2. Gejala Objektif
a. Klien banyak diam dan tidak mau bicara
b. Tidak mengikuti kegiatan
c. Banyak berdiam diri di kamar
d. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat
e. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
f. Kontak mata kurang
g. Kurang spontan
h. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
i. Ekpresi wajah kurang berseri
j. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
k. Mengisolasi diri
l. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
m. Memasukan makanan dan minuman terganggu
n. Retensi urine dan feses
o. Aktifitas menurun
p. Kurang enenrgi (tenaga)
q. Rendah diri
r. Postur tubuh berubah,misalnya sikap fetus/janin (khusunya pada
posisi tidur).

F. MEKANISME KOPING

Individu yang mengalami Isolasi Sosial sering kali beranggapan


bahwa sumber/penyebab Isolasi sosial itu berasal dari lingkunganya.
Padahalnya rangsangan primer adalah kebutuhan perlindungan diri secara
psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan rasa bersalah, marah,
sepi dan takut dengan orang yang dicintai, tidak dapat dikatakan segala
sesuatu yang dapat mengancam harga diri (self estreem) dan kebutuhan
keluarga dapat meningkatkan kecemasan. Untuk dapat mengatasi masalah-
masalah yang berkaitan dengan ansietas diperlukan suatu mekanisme koping
yang adekuat. Sumber-sumber koping meliputi ekonomi, kemampuan
menyelesaikan masalah, tekhnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi.
Sumber koping sebagai model ekonomi dapat membantu seseorang
mengintregrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi
strategi koping yang berhasil. Semua orang walaupun terganggu prilakunya
tetap mempunyai beberapa kelebihan personal yang mungkin meliputi:
aktivitas keluarga, hobi,
seni, kesehatan dan perawatan diri, pekerjaan kecerdasan dan hubungan
interpersonal. Dukungan sosial dari peningkatan respon psikofisiologis yang
adaptif, motifasi berasal dari dukungan keluarga ataupun individu sendiri
sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan diri pada individu (Stuart &
Sundeen, 1998).
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme
yang sering digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi.
(Damaiyanti, 2018: 84)
1. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
2. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat
diterima secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
3. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan
timbulnya kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan
motivasi atau bertentangan antara sikap dan perilaku.
Mekanisme koping yang muncul yaitu:
a. Perilaku curiga : regresi, represi
b. Perilaku dependen: regresi
c. Perilaku manipulatif: regresi, represi
d. Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi
(Prabowo, 2018:113)

G. PENATALAKSANAAN

Menurut dalami, dkk (2019) isolasi sosial termasuk dalam kelompok


penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis
yang bisa dilakukan adalah:
1. Electro Convulsive Therapy (ECT) Adalah suatu jenis pengobatan
dimana arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2
elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan
kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang
berlangsung 25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan
listriknya di otak menyebabkan terjadinya perubahan faal dan
biokimia dalam otak.
2. Psikoterapi Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan
bagian penting dalam proses terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini
meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan
yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya,
memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara
verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
3. Terapi Okupasi Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan
partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang
sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, dan
meningkatkan harga diri seseorang.
(Prabowo, 2018: 113)

II. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. PENGKAJIAN
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa menurut (Wahyudi,
Oktaviani, Dianesti dkk. 2018) berisi tentang hal-hal dibawah ini :
1. Identitas klien
2. Keluhan utama atau alasan masuk
3. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi sangat erat kaitannya dengan faktor etiologi
a. Hubungan sosial
Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka
melamun, dan berdiam diri.
b. Spiritual
Aktivitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran pasien.
4. Status mental menurut Hartono (2017) :
a. Pembicaraan klien meliputinada suara rendah, lambat, kurang
bicara, apatis.
b. Penampilan diri meliputi pasien tampak lesu, tak bergairah,
rambut acak-acakan.
c. Aktivitas motorik klien meliputi kegiatan yang dilakukan tidak
bervariatif, kecenderungan mempertahankan pada satu posisi
yang dibuatnya.
d. Emosi klien berupa emosi dangkal (mudah tersinggung)
e. Afek pada klien meliputi dangkal, tak ada ekspresi wajah.
f. Interaksi selama wawancara klien meliputi cenderung tidak
kooperatif, kontak mata kurang, tidak mau menatap lawan
bicara, diam.
g. Persepsi klien meliputi tidak terdapat halusinasi atau waham
h. Proses berpikir klien meliputi gangguan proses berpikir jarang
ditemukan.
i. Kesadaran pada klien dapat berubah, tidak sesuai dengan
kenyataan.
j. Memori atau ingatan pada klien tidak ditemukan gangguan
spesifik, orientasi tempat, waktu dan orang.
k. Kemampuan penilaian kien dapat berupa tidak dapat
mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu
keadaan, selalu memberikan alasan meskipun alasan tidak jelas
atau tidak tepat.
l. Tilik diri tak ada yang khas
5. Kebutuhan sehari-hari
Seperti makan, BAK/BAB, mandi, berpakaian, dan istirahat tidur.

B. DAFTAR MASALAH
1. Isolasi sosial : menarik diri
2. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
3. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
C. POHON MASALAH

Perubahan presepsi sensori : Halusinasi Effect

Isolasi sosial : Menarik Diri Core Problem

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah Causa

Pohon masalah (Gail W Stuart, 2017).

D. KEMUNGKINAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Perubahan persepsi sensori halusinasi b/d menarik diri


2. Isolasi sosial : menarik diri b/d harga diri rendah.

E. RENCANA KEPERAWATAN

DX. TUJUAN RENCANA TINDAKAN KEPEAWATAN


KEPERAW TUM TUK KRITIA HASIL INTERVENSI
ATAN
Diagnosa Pasien dapat TUK 1 : Setelah ...x Bina hubungan saling percaya
keperawatan: berinteraksi Dapat pertemuan, pasien dengan prinsip komunikasi
Isolasi sosial dengan membina dapat menerima terapeutik
menarik diri orang lain hubungan kehadiran 1. Sapa pasien dengan ramah
b/d harga diri saling perawat. Pasien baik verbal maupun non
rendah percaya dapat verbal
Mengungkapkan
perasaan dan 2. Perkenalkan diri dengan
keberadaannya sopan
saat ini secara 3. Tanyakan nama lengkap
verbal: pasien dan nama kesukaan
1. Mau pasien
menjawab 4. Jelaskan tujuan pertemuan
salam 5. Buat kontrak interaksi yang
2. Ada jelas
kontak 6. Jujur dan menepati janji
mata 7. Tunjukkan sikap empati
3. Mau dan menerima pasien apa
berjabat tangan adanya
4. Mau 8. Ciptakan lingkungan yang
berkenalan tenang dan bersahabat
5. Mau 9. Beri perhatian dan
menjawab penghargaan : temani
pertanyaan pasien walau tidak
6. Mau menjawab
duduk 10. Dengarkan dengan empati
berdampingan beri kesempatan bicara,
dengan perawat jangan buruburu,
7. Mau tunjukkan bahwa perawat
mengungkapkan mengikuti pembicaraan
perasaannya pasien
11. Beri perhatian dan
perhatikan kebutuhan dasar
pasien
TUK 2 : Setelah ...x 1. Tanyakan pada pasien
Pasien pertemuan, pasien tentang
dapat dapat
menyebut Menyebutkan
kan minimal satu a. Orang yang tinggal
penyebab penyebab menarik serumah/teman
menarik diri yang berasal sekamar pasien
diri dari: b. Orang terdekat pasien
1. Diri sendiri dirumah/ diruang
2. Orang lain perawatan
3. Lingkungan c. Apa yang membuat
pasien dekat dengan
orang tersebut
d. Hal-hal yang
membuat pasien
menjauhi orang
tersebut
e. Upaya yang telah
dilakukan untuk
mendekatkan diri
dengan orang lain
2. Kaji pengetahuan pasien
tentang perilaku menarik
diri dan tanda-tandanya
3. Beri kesemapatan pada
pasien untuk
mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri
tidak mau bergaul
4. Diskusikan pada pasien
tentang perilaku menarik
diri, tanda serta penyebab
yang muncul
5. Berikan reinforcement
(penguatan) positif
terhadap kemampuan
pasien dalam
mengungkapkan
perasaannya.
TUK 3 : Setelah ...x 1. Kaji pengetahuan pasien
Pasien pertemuan, pasien tentang manfaat dan
dapat dapat keuntungan berhubungan
menyebut menyebutkan dengan dengan orang lain
kan keuntungan serta kerugiannya bila
keuntunga berhubungan tidak berhubungan dengan
n dengan orang orang lain
berhubung lain, misal: 2. Beri kesempatan pada
an dengan 1. Banyak teman pasien untuk
orang lain 10 mengungkapkan
dan 2. Tidak perasaannya tentang
kerugian kesepian berhubungan dengan
bila tidak 3. Bisa diskusi orang lain
berhubung 4. Saling 3. Beri kesempatan pada
an dengan menolong pasien untuk
orang lain Setelah ...x mengungkapkan
pertemuan, perasaannya tentang
pasien dapat kerugian bila tidak
menyebutkan berhubungan dengan
kerugian tidak orang lain
berhubungan 4. Diskusikan bersama
dengan orang tentang keuntungan
lain, misal: berhubungan dengan orang
a. Sendiri lain dan kerugian tidak
b. Tidak punya berhubungan dengan orang
teman, lain
kesepian
c. Tidak ada 5. Beri reinforcement positif
teman terhadap kemampuan
ngobrol mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan
berhubungan dengan orang
lain dan kerugian bila tidak
berhubungan dengan orang
lain
TUK 4: Setelah ...x 1. Observasi perilaku pasien
Pasien interaksi, pasien saat berhubungan dengan
dapat dapat orang lain
melaksana mendemonstrasik 2. Beri motivasi dan bantu
kan an hubungan pasien untuk berkenalan/
hubungan sosial secara berkomunikasi dengan
sosial bertahap orang lain melalui: pasien-
secara perawat, pasien-perawat-
bertahap perawat lain, pasien-
perawat-perawat lain- 11
pasien lain, pasien-
perawat-perawat lain-
pasien lainmasyarakat
3. Beri reinforcement positif
atas keberhasilan yang
telah dicapai
4. Bantu pasien untuk
mengevaluasi manfaat
berhubungan dengan orang
lain
5. Beri motivasi dan libatkan
pasien dalam terapi
aktivitas kelompok
sosialisasi
6. Diskusikan jadwal harian
yang dapat dilakukan
bersama pasien dalam
mengisi waktu luang
7. Memotivasi pasien untuk
melakukan kegiatan sesuai
dengan jadwal yang telah
dibuat
8. Beri reinforcement atas
kegiatan pasien dalam
memperluas pergaulan
melalui aktivitas yang
dilaksanakan
TUK 5 : Setelah ...x 1. Dorong pasien untuk
Pasien interaksi, pasien mengungkapkan
dapat dapat perasaannya bila
mengungk mengungkapkan berhubungan denganorang
apkan perasaan setelah lain/kelompok
perasaann berhubungan 2. Diskusikan dengan pasien
ya setelah dengan orang lain tentang perasaan manfaat
berhubung untuk diri sendiri berhubungan dengan orang
an dengan dan orang lain lain
orang lain untuk untuk: 3. Beri reinforcement atas
1. Diri sendiri kemampuan pasien
2. Orang lain mengungkapkan
3. Kelompok perasaannya berhubungan
dengan orang lain
TUK 6 : Setelah ...x 1. Bina hubungan saling
Pasien pertemuan percaya dengan keluarga:
dapat keluarga dapat salam, perkenalkan diri,
memberda menjelaskan sampaikan tujuan, buat
yakan tentang kontrak eksplorasi
system 1. Pengertian perasaan keluarga
pendukun menarik diri 2. Diskusikan pentingnya
g atau dan tanda peranan keluarga sebagai
keluarga gejalanya pendukung untuk
mampu 2. Penyebab dan mengatasi perilaku
mengemba akibat menarik menarik diri
ngkan diri 3. Diskusikan dengan
kemampua 3. Cara merawat anggota keluarga tentang:
n pasien pasien dengan perilaku menarik diri ,
untuk menarik diri penyebab perilaku menarik
berhubung diri, akibat yang akan
an dengan terjadi jika perilaku
orang lain menarik diri tidak
ditanggapi, cara keluarga
menghadapi pasien
menarik diri
4. Diskusikan potensi
keluarga untuk membantu
mengatasi pasien menarik
diri
5. Latih keluarga merawat
pasien menarik diri
6. Tanyakan perasaan
keluarga setelah mencoba
cara yang dilatih
7. Anjurkan anggota
keluarga untuk memberi
dukungan kepada pasien
untuk berkomunikasi
dengan orang lain
8. Dorong anggota keluarga
secara rutin dan bergantian
menjenguk pasien minimal
satu kali seminggu
9. Beri reinforcement atas
hal-hal yang telah
dicapai keluarga
TUK 7 : Setelah ...x 1. Diskusikan dengan pasien
Pasien interaksi, pasien tentang kerugian dan
dapat menyebutkan: keuntungan tidak minum,
mengguna 1. Manfaat serta karakteristik obat
kan obat minum obat yang diminum (nama,
dengan 2. Kerugian tidak dosis, frekuensi, efek
benar dan minum obat samping minum obat)
tepat 3. Nama, warna, 2. Bantu dalam
dosis, efek menggunakan obat dengan
samping obat prinsip 5 benar (benar
13 Setelah ...x pasien, obat, dosis, cara,
interaksi, waktu)
pasien mampu 3. Anjurkan pasien minta
mendemonstra sendiri obatnya kepada
sikan perawat agar pasien dapat
penggunaan merasakan manfaatnya
obat dan 4. Beri reinforcement positif
menyebutkan bila pasien menggunakan
akibat berhenti obat dengan benar
minum obat 5. Diskusikan akibat berhenti
tanpa minum obat tanpa
konsultasi konsultasi dengan dokter
dokter 6. Anjurkan pasien untuk
konsultasi dengan
dokter/perawat apabila
terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan

F. IMPLEMENTASI

Menurut Efendy dalam Nurjanah (2019) implementasi adalah


pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun
pada tahap perencanaan. Sebelum melakukan tindakan keperwatan yang
telah direncanakan perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah
rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan
kondisinya saat ini atau here and now. Perawat yang menilai sendiri, apakah
mempunyai kamampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal yang
diperlukan untuk melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali
apakah tindakan aman bagi klien. Setelah tidak ada hambatan maka tindakan
keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan melakukan tindakan
keperawatan, perawat membuat kontrak dengan klien yang isinya
menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta yang diharapkan dari
klien. Dokumentasi tindakan yang telah dilakukan berserta respon klien.
Menurut Keliat (2018) implementasi tindakan keperawatan
disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata
implentasi seringkali jauh berbeda dengan rencana. Hal itu terjadi karena
perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan
tindakan keperawatan. Yang sering dilakukan perawat adalah menggunakan
rencana tidak tertulis, yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang
dilaksanakan. Hal itu sangat membahayakan klien dan perawat jika tindakan
berakibat fatal, dan
juga tidak memenuhi aspek legal. Penulis tidak menggunakan Strategi
Pelaksanaan (SP) terbaru tahun 2017 karena rincian tidakan keperawatan
pada SP terbaru berbeda dalam pelaksanaanya, yaitu harus dibarengi dengan
kegiatan. Penulisan menggunakan implementasi dengan pendekatan Strategi
Pelaksanaan (SP) yang ditulis oleh Dermawan D dan Rusdi (2018).

G. EVALUASI

Evaluasi merupakan proses berkelanjutan untuk menilai efek dari


tindakan keperawatan yang dilakukam pada klien. Evaluasi dilakukan terus
menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan. Evaluasi dibagi dua, yaitu evaluasi proses dan formatif yang
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi
hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon
klien dan tujuan khusus serta umum yang telah dilakukan. (Keliat, 2018).
Dalam kasus ini penulis menggunakan evaluasi hasil sumatif serta
menggunakan pendekatan SOAP karena evaluasi hasil sumatif dilakukan
pada akhir tindakan perawatan klien dan SOAP terdiri dari respon subjektif,
respon objektif, analisi dan perencanaan. Evaluasi ini dilakukan setiap hari
setelah interaksi dengan klien
DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2018). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Kemenkes Ri. 2017. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes Ri
Dermawan D Dan Rusdi. 2018. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen
Publishing
Fitria, Nita. 2019. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP).
Jakarta: Salemba Medika
Herman, Ade. 2017. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika Keliat, B.A, dkk. 2017. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHM
(Basik
Course). Jakarta: EGC
Keliat, B.A, dkk. 2018. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Kusumawati F dan Hartono Y. 2019. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika
Nurjanah, Intan Sari. 2018. Komunitas Keperawatan. Yogyakarta: Moco Medika
Rusman.2009.Keperawatan Kesehatan Mental Terintegrasi dengan Keluarga.
Jakarta:
Sagung Seto
Riyardi S dan Purwanto T. 2017. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
GRAHA LMU Suliswati. 2017. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: EGC Surtiningrum, Anjas. 2019. Pengaruh Terapi
Suportif Terhadap Kemampuan
Bersosialisasi Pada Klien Isolasi Sosial Di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Dr Amino Gondohutomo Semarang. Thesis. Depok: FIK UI
Stuart, Gail W. 2017. Buku Saku Keperatan Jiwa. Jakarta: EGC
Stuart, G.w & Sundeen, S.J. 2018. Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Ed. 3.
Jakarta: EGC
Townsend, M.C. 2018. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan
Psikiatri (terjemahan). Ed. 3. Jakarta: EGC
Yosep, Igus. 2017. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: Refika Adiutama
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA DENGAN PERILAKU KEKERASAN

PERILAKU KEKERASAN

OLEH :
MASTER SAMSON RIO
NIM : 00320032

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns. Mira Agusthia, S.Kep, M.Kep) (Ns. Aulya Akbar M.Kep S.Kep J)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes AWAL BROS BATAM
TA 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Masalah Utama:
Perilaku kekerasan/amuk.

B. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal
tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.

C. Proses Terjadinya Masalah


1. Pengertian
Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau
intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat
diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan
perhatian dan ketergantungan pada orang lain.
Gejala klinis
Gejala klinis yang ditemukan pada klien dengan perilaku kekerasan didapatkan melalui
pengkajian meliputi : muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi,
berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas makanan,
memukul jika tidak senang.
2. Penyebab
Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa
disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian
individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai
dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan
negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Gejala Klinis
 Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit
(rambut botak karena terapi)
 Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
 Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
 Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
 Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
3. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya bagi
dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain, memecahkan
perabot, membakar rumah dll.

D. 1. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perilaku Kekerasan/amuk
Core Problem

Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah

2. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji


a. Masalah keperawatan:
1). Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2). Perilaku kekerasan / amuk
3). Gangguan harga diri : harga diri rendah
b. Data yang perlu dikaji:
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data Subyektif :
 Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
 Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang
kesal atau marah.
 Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Objektif :
 Mata merah, wajah agak merah.
 Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri
sendiri/orang lain.
 Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
 Merusak dan melempar barang-barang.
2. Perilaku kekerasan / amuk
1). Data Subyektif :
 Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
 Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang
kesal atau marah.
 Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Obyektif
 Mata merah, wajah agak merah.
 Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
 Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
 Merusak dan melempar barang-barang.
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah
1). Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
2). Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan,
ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.
D. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan/amuk.
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah.

E. Rencana Tindakan
Diagnosa I : Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan
a. Tujuan Umum : Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b. Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Rasional :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran interaksi
Tindakan:
1.1 Bina hubungan saling percaya :
- Sapa klien dengan ramah
- Perkenalkan diri
- Tanyakan nama dan nama panggilan
- Jelaskan tujuan interaksi
- Buat kontrak setiap interaksi (topik, waktu, tempat )
- Bicara dengan rileks dan tenang tanpa menantang
1.2 Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Rasional :
Setelah diketahui penyebabnya, maka dapat dijadikan titik awal penanganan
Tindakan:
2.1 Beri kesempatan mengungkapkan perasaan jengkel / kesal
2.2 Bantu klien mengidentifikasi penyebab jengkel
2.3 Dengarkan ungkapanrasa marah dan perasaan bermusuhan dengan sikap tenang
3. Klien mampu mengenali perasaan marahnya.
Rasional :
Meningkatkan insight
Tindakan :
3.1. Bantu klien untuk mengidentifikasi tanda-tanda marah
3.2. Bantu klien untuk mengidentifikasi perasaaannya saat marah
3.3. Tanyakan pada klien apakah dengan marah bisa menyelesaikan persoalan
3.4. Katakan pada klien bahwa marah itu normal dirasakan setiap orang tetapi
perlu cara-cara yang konstruktif
. Klien mampu menilai efek perilaku agresif terhadap diri sendiri dan orang lain
Rasional :
Klien menyadari efek perilaku agresif terhadap diri sendiri dan orang lain yang telah
dilakukannya
Tindakan:
4.1. Tanyakan pendapat klien tentang efek perilaku agresif terhadap diri sendiri
dan orang lain
4.2. Beri reinforcement positif terhadap pendapat klien yang benar.
4.3. Beri penjelasan lebih lanjut pada klien tentang efek perilaku agresif
terhadap diri sendiri dan orang lain
5. Klien dapat mengetahui cara menyalurkan rasa marah yang sehat
Rasional :
Penyaluran rasa marah yang konstruktif dapat menghindari perilaku kekerasan
Tindakan:
5.1. Gali pendapat klien tentang cara untuk menyalurkan marah dengan cara
yang sehat (tidak merusak lingkungan dan mengganggu lingkungan, tidak
menyebabkan cedera pada diri sendiri dan orang lain).
5.2. Beri reinforcement positif terhadap pendapat klien yang benar.
5.3. Sampaikan kepada klien cara sehat yang ain untuk menyalurkan marah :
menyatakan kalimat baik tanpa menyakitit, membersihkan rumah, jalan-jalan dan
berdoa
6. Klien dapat memilih/menentukan cara yang sehat untuk menyalurkan energi marah
yang digunakan bila marahnya timbul.
Rasional :
Bila klien memilih sendiri cara yang akan digunakan saat marah, maka diharapkan
klien akan melakukannya secara iklas.
Tindakan :
6.1. Dorong klien untuk menentukan sendiri cara yang sehat untuk menyalurkan
energi saat marah.
6.2. Jelaskan pada klien manfaat dari penggunaan cara tersebut
6.3. Motivasi klien untuk melakukan cara yang sehat untuk menyalurkan rasa
marah yang dipilih klien sendiri
6.4. libatkan klien dalam terapi aktifitas kelompok
6.5. Tanyakan perasaan klien setelah menggunakan cara marah yang dipilihnya.
Mampu mengungkapkan marah secara asertif.
Tindakan :
6.6. Gali pendapat klien tentang pengungkapan marah secara asertif
6.7. Beri reinforcement positif atas pendapat klien yang benar
6.8. Jelaskan pada klien tentang cara pengungkapan marah yang sehat
6.9. Lakukab latihan asertif secara individual (antara perawat dengan klien)
6.10. Motivasi klien untuk menerapkan cara marah yang asertif pada situasi yang
nyata
6.11. Libatkan klien dalam terapi aktifitas kelompok
6.12. beri umpan balik positif pada setiap kali klien mencoba melakukan marah
yang sehat
7. Keluarga mampu membantu klien untuk berperilaku adaptif
Keluarga adalah orang yang terdekat dengan klien, dengan melibatkan keluarga, maka
mencegah klien kambuh.
Tindakan:
7.1. Disksikan dengan keluarga tentang tanda-tanda marah, penyebab marah
dan cara menghadapi klien saat marah
7.2. Beri reinforcement positif pada hal-hal yang dicapai keluarga
Diagnosa II: Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan konsep diri : harga diri
rendah
c. Tujuan Umum : Klien tidak melakukan kekerasan
d. Tujuan Khusus:
1. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang dimiliki.
Rasional :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran interaksi
Tindakan:
1.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
1.2 Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien
1.3 Utamakan pemberian pujian yang realitas
2. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan untuk diri sendiri dan
keluarga
Rasional :
Setelah diketahui penyebabnya, maka dapat dijadikan titik awal penanganan
Tindakan:
2.1 Diskusikan kemampuan positif yang dapat digunakan untuk diri sendiri dan
keluarga
3. Klien dapat merencanakan kegiatan yang bermanfaat sesuai kemampuan yang dimiliki
Rasional :
Setelah pulang ke rumah, klien siap melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan
dan norma
Tindakan :
3.1. rencanakan aktifitas yang dapat dilakukan klien setiap hari
. Keluarga mampu memeberikan dukungan pada klien untuk memenuhi kebutuhan
klien
Tindakan:
4.1 Diskusikan dengan keluarga cara merawat klien dan memberikan dukungan pada
klien
DAFTAR PUSTAKA

1. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2017
2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 2019
3. Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 2019
4. Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis
Mosby Year Book, 2019
5. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP
Bandung, 2020
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA DENGAN GANGGUAN CITRA TUBUH

OLEH :
MASTER SAMSON RIO
NIM : 00320032

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns. Mira Agusthia, S.Kep, M.Kep) (Ns. Aulya Akbar M.Kep S.Kep J)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes AWAL BROS BATAM
TA 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN CITRA TUBUH

a. Pengertian

Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik


secara internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan
sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi oleh
pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik oleh
persepsi dan pandangan orang lain. Citra tubuh dipengaruhi oleh
pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Perubahan perkembangan
yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek
penampakan yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan aspek
lainnya dari konsep diri. (Perry & Potter, 2016)

Body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk

dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan

memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap

ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana ‘kira-kira penilaian

orang lain terhadap dirinya. (Melliana, 2016)

Menambahkan citra raga merupakan sebagian dari konsep diri

yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik. Konsep diri adalah evaluasi

individu mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Aspek

utama dalam konsep diri adalah citra raga yaitu suatu kesadaran individu

dan penerimaan terhadap physical self. Citra raga dikembangkan selama

hidup melalui pola interaksi dengan orang lain. Perkembangan citra raga

tergantung pada hubungan sosial dan merupakan proses yang panjang

dan sering kali tidak menyenangkan, karena citra raga yang selalu

diproyeksikan tidak selalu positif. (Hardy dan Hayes,2016)


Citra tubuh adalah integrasi persepsi, pikiran dan perasaan individu

tentang bentuk, ukuran, berat tubuh dan fungsi tubuh serta bagian-

bagiannya yang digambarkan dalam bentuk penampilan fisik (Fontaine,

2018).

Citra tubuh adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan

tidak disadari terhadap tubuhnya termasuk persepsi masa lalu dan

sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi

tubuh (Stuart-Laraia, 2017).

Gangguan citra tubuh adalah perasaan tidak puas terhadap

perubahan bentuk, struktur dan fungsi tubuh karena tidak sesuai dengan

yang diinginkan (Stuart-Laraia, 2017).

Gangguan Citra tubuh adalah kebingungan diri dalam cara

memandang dan menerima gambaran tubuh (Nanda, 2017).

Gangguan Citra tubuh adalah kebingungan secara mental dalam

memandang fisik diri sendiri (Nanda, 2018).

b. Tanda dan Gejala

Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat menunjukan tanda

dan gejala, seperti:

1) Syok Psikologis

Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak

perubahan dan dapat terjadi pada saat pertamatindakan.syok

psikologis digunakan sebagai reaksi terhadap ansietas. Informasi

yang terlalu banyak dan kenyataan perubahan tubuh membuat klien

menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti mengingkari,

menolak dan proyeksi untuk mempertahankan keseimbangan diri.


2) Menarik diri

Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan , tetapi

karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara

emosional. Klien menjadi pasif, tergantung , tidak ada motivasi dan

keinginan untuk berperan dalam perawatannya.

3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap

Setelah klien sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau

berduka muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi

dengan gambaran diri yang baru.

c. Rentang Respon
1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang kosnep diri yang

positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan

dapat diterima

2. Konsep diri positif apabila individu mempunyai pengalaman yang

positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif

maupun yang negatif dari dirinya.

3. Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya

negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.

4. Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-

aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek

psikososial kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.

5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing

terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan,

kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain.

d. Faktor Predisposisi

1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi perilaku yang objektif

dan teramati serta bersifatsubjektif dan dunia dalam pasien sendiri.

Perilaku berhubungan dengan harga diri yang rendah, keracuan

identitas, dan deporsonalisasi.

2) Faktor yang mempengaruhi peran adalah streotipik peran seks,

tuntutan peran kerja, dan harapan peran kultural.

3) Faktor yang mempengaruhi identitas personal meliputi

ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan

perubahan dalam struktur sosial.


e. Faktor Presipitasi

1) Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau

menyaksikan kejadian mengancam kehidupan

2) Ketegangan peran hubugnan dengan peran atau posisi yang

diharapkan dimana individu mengalaminya sebagai frustasi. ada tiga

jenis transisi peran :

1. Transisi peran perkembangan

2. Transisi peran situasi

3. Transisi peran sehat /sakit

f. Sumber Koping

Setiap orang mempunyai kelebihan personal sebagai sumber koping,

meliputi

1) Aktifitas olahraga dan aktifitas lain diluar rumah

2) Hobby dan kerajinan tangan

3) Seni yang ekspresif

4) Kesehatan dan perawan diri

5) Pekerjaan atau posisi

6) Bakat Tertentu

7) Kecerdasan

8) Imajinasi dan kreativitas

9) Hubungan interpersonal dengan orang lain.

10) Support dari keluarga, teman dan masyarakat dan jaringan sosial.

11) Keyakinan diri yang positif.


g. Mekanisme Koping

1) Konstruktif

1. Berfokus pada masalah : negosiasi, konfrontasi dan meminta

nasehat/saran.

2. Berfokus pada kognitif : perbandingan yang positif, penggantian

rewards, antisipasi.

2) Destruktif

1. Berfokus pada emosi : Denial, Proyeksi, Represi, Kompensasi,

Isolasi.

B. Pohon Masalah

Harga Diri Rendah

Gangguan Citra Tubuh

Penyakit Fisik

C. Masalah Keperawatan yang Mungkin Terjadi

1) Gangguan Citra Tubuh : Perubahan bentuk tubuh

2) Harga Diri Rendah

3) Penyakit Fisik
D. Data yang Perlu Dikaji

Masalah Keperawatan Data Yang Perlu Dikaji


Gangguan Citra Tubuh : Subyektif :

a. Menolak perubahan anggota tubuh


Perubahan bentuk
saat ini, misalnya tidak
tubuh
puas dengan hasil operasi.

b. Mengatakan hal negatif tentang

anggota tubuhnya yang tidak

berfungsi.

c. Menolak berinteraksi dengan

orang lain.

d. Mengungkapkan keinginan yang

terlalu tinggi terhadap bagian tubuh

yang terganggu.

e. Sering mengulang-ulang

mengatakan kehilangan yang terjadi.

f. Merasa asing terhadap bagian

tubuh yang hilang.

Obyektif :

a. Perubahan anggota tubuh baik

bentuk maupun fungsi.

b. Menyembunyikan atau

memamerkan bagian tubuh yang terganggu.

c. Menolak melihat bagian tubuh.

d. Menolak menyentuh bagian

tubuh.

b. Aktifitas sosial menurun.

E. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Citra Tubuh

F. Rencana Tindakan

Keperawatan Tujuan :

a. Klien dapat berorientasi terhadap realitas secara bertahap

b. Klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan

c. Klien menggunakan obat dengan prinsip enam benar

Tindakan keperawatan untuk klien

a. Membina Hubungan Saling Percaya

Sebelum memulai pengkajian pada klien dengan waham, saudara

harus membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar klien

merasa aman dan nyaman saat interaksi. Tindakan yang harus saudara

lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah :

1) Mengucapkan salam terapetik, perkenalan diri

2) Berjabat tangan

3) Jelaskan tujuan interaksi,

4) Ciptakan lingkungan yang tenang,

5) Buat kontrak yang jelas pada tiap pertemuan (topic, tempat dan

waktu)

b. Jangan membantah dan mendukung klien

c. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman

d. Observasi pengaruh citra tubuh terhadap aktivitas sehari-hari

e. Diskusikan kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi karena dapat

menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah.

f. Jika klien terus menerus membicaarkan citra tubuhnya, dengarkan tanpa


memberikan dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti

membicarakannya.

g. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi klien sesuai dengan realitas.

h. Diskusikan dengan klien kemampuan realitas yang dimilikinya pada saat

yang lalu dan saat ini

i. Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang

dimilikinya

j. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional

klien

k. Berbicara dalam kontek realita

l. Berikan pujian yang sesuai.

m. Jelaskan pada klien tentang program pengobatannya (manfaat, dosis obat,

jenis, dan efek samping obat yang diminum serta cara meminum obat

yang benar)

n. Diskusikan akibat yang terjadi bila klien behenti meminum obat tanpa

konsultasi.

Tindakan Keperawatan pada Individu


a. Tujuan

1) Pasien dapat mengidentifikasi citra tubuhnya.

2) Paien dapat meningkatkan penerimaan terhadap citra tubuhnya

3) Pasien dapat mengidentifikasi potensi (aspek positif) dirinya.

4) Pasien dapat mengetahui cara-cara untuk meningkatkan citra tubuh.

5) Pasien dapat melakukan cara-cara untuk meningkatkan citra tubuh.

6) Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa terganggu.

b. Tindakan Keperawatan

1) Diskusikan persepsi pasien tentang citra tubuhnya ; dulu dan saat ini,

perasaan tentang citra tubuhnya dan harapan terhadap citra tubuhnya

saat ini.

2) Motivasi pasien untuk melihat bagian yang hilang secara bertahap,

bantu pasien menyentuh bagian tersebut.

3) Diskusikan potensi bagian tubuh yang lain.

4) Bantu pasien untuk meningkatkan fungsi bagian tubuh yang

terganggu.

5) Ajarkan pasien meningkatkan citra tubuh dengan cara :

a) Gunakan protesa, wig, kosmetik atau yang lainnya sesegera

mungkin, gunakan pakaian yang baru.

b) Motivasi pasien untuk melakukan aktifitas yang mengarah pada

pembentukan tubuh yang ideal

6) Lakukan interaksi secara bertahap dengan cara :


a) Susun jadwal kegiatan sehari-hari.

b) Dorong melakukan aktifitas sehari-hari dan terlibat dalam aktifitas

keluarga dan sosial.

c) Dorong untuk mengunjungi teman atau orang lain yang

berarti/mempunyai peran penting baginya.

d) Beri pujian terhadap keberhasilan pasien melakukan interaksi.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

a. Tujuan :

1) Keluarga dapat mengenal masalah gangguan citra tubuh.

2) Keluarga mengetahui cara mengatasi masalah gangguan citra tubuh.

3) Keluarga mampu merawat pasien gangguan citra tubuh.

4) Keluarga mampu mengevaluasi kemampuan pasien dan memberikan

pujian atas keberhasilannya.

b. Tindakan Keperawatan :

1) Jelaskan dengan keluarga tentang gangguan citra tubuh yang terjadi

pada pasien.

2) Jelaskan kepada keluarga cara mengatasi masalah gangguan citra

tubuh.
3) Ajarkan kepada keluarga cara merawat pasien :

a) Menyediakan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan pasien di

rumah.

b) Memfasilitasi interaksi di rumah.

c) Melaksanakan kegiatan di rumah dan sosial.

d) Memberikan pujian atas kegiatan yang telah dilakukan pasien.

4) Bersama keluarga susun tindakan yang akan dilakukan keluarga dalam

gangguan citra tubuh.

5) Beri pujian yang realistis terhadap keberhasilan keluarga


DAFTAR PUSTAKA

Aprilyadi, Nadi. 2018. Askep Jiwa Gangguan Konsep Diri. Dalam

(http://adithmaulana.blogspot.com/2013/06/askep-jiwa-gangguan- konsep-

diri.html?m=1

Juwita, Elvi. 2018. Laporan Pendahuluan Gangguan Citra Tubuh. Dalam

(http://elvijuwita.wordpress.com/2013/04/12/laporan- pendahuluan-body-

image/

Susanto, Agung. 2017. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada

Klien Gangguan Citra Tubuh. Dalam

(http://agungsusanto0112.blogspot.com/2013/09/laporan- pendahuluan-

asuhan-keperawatan.html
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA DENGAN GANGGUAN ANSIETAS

OLEH :
MASTER SAMSON RIO
NIM : 00320032

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns. Mira Agusthia, S.Kep, M.Kep) (Ns. Aulya Akbar M.Kep S.Kep J)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes AWAL BROS BATAM
TA 2020/2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUAN ANSIETAS/ KECEMASAN
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Ansietas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini
tidak memiliki obyek yang spesifik. Kondisi dialami secara subyektif dan dikomunikasikan
dalam hubungan interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan
penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Ansietas adalah respon emosional
terhadap penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup,
tetapi tingkat ansietas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan (Stuart dan Sundeen, 1990,
hal 75).
Tingkat ansietas sebagai berikut:
1. Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan
dalam kehidupan sehari- hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
menghasilkan lahan persepsinya. Ansietas dapat memotivasi bekpar dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreatifitas.
2. Ansietas sedang, memungkinkan seseorang untuk
memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
3. Ansietas berat, sangat mengurangi lahan persepsi
seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan
spesifik dan tidak dapat berfikir pada hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada satu area lain.
4. Tingkat panik dari ansietas, berhubungan dengan
terperangah, ketakutan dari orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian.
Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik,menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran
yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan juga berlangsung
terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat, bahkan kematian.
B. Rentang Respon Ansietas (Stuart & Sundeen, 1990)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

2
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
C. Faktor Predisposisi
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas :
1. Dalam pandangan psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara
dua elemen kepribadian, id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls
primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan
dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi
hambatan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan
ego bahwa ada bahaya.
2. Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak
adanya penerimaan dari hubungan interpersonal. Ansietas juga berhubungan dengan
perkembangan, trauma seperti perpisahan dan kehilangan sehingga menimbulkan
kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan
ansietas yang berat.
3. Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu
yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Daftar tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam kehidupan
dininya dihadapkan pada ketakutan yng berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas
pada kehidupan selanjutnya.
4. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa
ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara
gangguan ansietas dengan depresi.
5. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus benzodiazepine.
Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas penghambat dalam aminobutirik.
Gamma neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama dalam
mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya endorfin. Selain
itu telah dibuktikan kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai
predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan
selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.
D. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stressor pencetus
dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori :
1. Ancaman terhadapintegritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan
datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari- hari.
2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan
fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.

3
E. Sumber Koping
Individu dapat mengalami stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping tersebut
di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal ekonomok, kemampuan penyelesaian
masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping
yang berhasil.
F. Mekanisme Koping
Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk
mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif
merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Ansietas tingkat ringan sering
ditanggulang tanpa yang serius.

Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan 2 jenis mekanisme koping:


1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realitis tuntutan situasi stress.
2. Mekanisme pertahanan ego, membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang, tetapi jika
berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas, maka
mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptif terhadap stress.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku.
Secara tidaklangsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk
melawan ansietas.intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat
ansietas.
Masalah yang sering muncul pada gangguan ansietas adalah sebagai berikut:
a. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b. Gangguan perilaku; kecemasan
c. Koping individu tak efektif
Pohon Masalah:

Resiko mencederai diri


sendiri, orang lain dan
lingkungan

Gangguan prilaku : kecemasan Core Problem

4
Koping individu tak efektif

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
gangguan perilaku; kecemasan
2. Gangguan perilaku; kecemasan berhubungan dengan koping individu tak efektif ditandai
dengan klien tampak gelisah, tegang

5
C. Perencanaan
Diagnosa Perencanaan
Keperawatan Tujuan Intervensi
Resiko mencederai TUM: Klien tidak mencederai diri a. BHSP dengan klien
diri sendiri, orang sendiri, orang lain dan lingkungan  Memperkenalkan diri dengan sopan dan ekspresi wajah
lain dan lingkungan bersahabat
berhubungan TUK: Klien mampu mengontrol  Tanyakan nama klien
dengan gangguan rasa cemasnya  Jabat tangan klien
perilaku ;
kecemasan b. Pasien akan terlindung dari bahaya
 Terima dan dukung pertahanan klien
 Kenalkan realita yang berhubungan dengan mekanisme koping
klien
 Berikan umpan balik pada klien tentang perilaku, stressor dan
sumber koping

c. Ciptakan lingkungan tenang dan jauh dari kegaduhan

d. Jauhkan klien dari benda yang berbahaya seperti benda tajam


Gangguan perilaku; TUM: Klien dapat mengurangi dan a. Libatkan klien dalam aktivitas sehari- hari
kecemasan mengontrol kecemasannya  Beri aktivitas pada klien dan penguatan perilaku
berhubungan produktif.Berikan beberapa jenis latihan fisik
dengan koping TUK: Klien mengenal cara- cara  Rencanakan jadwal atau daftar aktivitas yang dapat
individu tak efektif untuk mengurangi kecemasannya dilakukan setiap hari.
ditandai dengan  Libatkan keluarga dan sistem pendukung lain sebanyak
klien tampak mungkin
gelisah, tegang
b. Klien dapat mengidentifikasi dan menguraikan perasaan tentang ansietas
 Bantu klien mengidentifikasi dan
menguraikan perasaan yang mendasar.
 Kaitkan perilaku klien dengan perilaku
dan perasaan tersebut.
 Gunakan pertanyaan terbuka untuk
menghindari konflik

c. Klien dapat menguraikan rencana koping maladaptif dan adaptif


 Gali cara pasien menurunkan
ansietasnya dimasa lalu
 Tunjukkan efek maladaptif dan
destruktif dari respon koping sekarang.
 Dorong klien menggunakan respon
adaptif yang efektif dimasa lalu.

1
D. Pelaksanaan
Pelaksanaan disesuaikan dengan kondisi dan respon klien

E. Evaluasi
1. Sudahkah ancaman terhadap integritas kulit atau sistem dari pasien berkurang dalam sifat, jumlah,
asal dan waktunya ?
2. Apakah perilaku klien mencerminkan ansietas tingkat ringan atau lebih ringan ?
3. Sudahkah sumber koping klien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?
4. Apakah klien mengenali ansietasnya sendiri dan mempunyai pandangan terhadap perasaan tersebut?
5. Apakah klien menggunakan respon koping adaptif?
6. Sudahkan klien belajar strategi adaptif baru untuk mengurangi ansietas?
7. Apakah klien menggunakan ansietas ringan untuk meningkatkan pertumbuhan atau perubahan
personal?

DAFTAR PUSTAKA
2
Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

LAPORAN PENDAHULUAN

3
KEPERAWATAN JIWA DENGAN WAHAM

OLEH :
MASTER SAMSON RIO
NIM : 00320032

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns. Mira Agusthia, S.Kep, M.Kep) (Ns. Aulya Akbar M.Kep S.Kep J)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes AWAL BROS BATAM
TA 2020/2021

4
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

1. Masalah Utama :
Perubahan isi pikir : waham
2. Proses terjadinya masalah
a. Pengertian
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan
klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien (1).
Manifestasi klinik waham yaitu berupa : klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya
( tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya ) berulang kali secara berlebihan
tetapi tidak sesuai kenyataan, klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan,
merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan / realitas, ekspresi wajah tegang, mudah tersinggung (2).
b. Penyebab
Penyebab secara umum dari waham adalah gannguan konsep diri : harga diri rendah. Harga diri rendah
dimanifestasikan dengan perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal mencapai keinginan.(3)
c. Akibat
Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikasi verbal yang ditandai dengan pikiran
tidak realistic, flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak mata
yang kurang. Akibat yang lain yang ditimbulkannya adalah beresiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan.

3. a. Pohon masalah

Resiko tinggi mencederai


Kerusakan komunikasi diri, orang lain dan
verbal lingkungan

5
Perubahan isi pikir :
waham

Gangguan konsep diri :


harga diri rendah

b. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


1. Masalah keperawatan :
a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Kerusakan komunikasi : verbal
c. Perubahan isi pikir : waham
d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
2.Data yang perlu dikaji :
a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data subjektif
Klien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal pada seseorang, klien
suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal, atau
marah, melukai / merusak barang-barang dan tidak mampu mengendalikan diri
2). Data objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras, bicara menguasai,
ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan melempar barang-barang.
b. Kerusakan komunikasi : verbal
1). Data subjektif
klien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik
2). Data objektif
Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak
mata kurang
c. Perubahan isi piker : waham ( ………….)
1). Data subjektif :

6
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
2). Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang
lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung
d. Gangguan harga diri rendah
1). Data subjektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri
sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
2). Data objektif
klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternative tindakan, ingin
mencedaerai diri/ ingin mengakhiri hidup

4. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
b. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan waham
c. Perubahan isi pikir : waham(……………..)berhubungan
dengan harga diri rendah.

5. Rencana Keperawatan
Diagnosa 1
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
a. Tujuan umum : Klien tidak terjadi kerusakan komunikasi verbal
b. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Rasional : hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan
interaksinya
Tindakan :

7
1.1. Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan tujuan
interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas topik, waktu,
tempat).
1.2. Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat menerima
keyakinan klien "saya menerima keyakinan anda" disertai ekspresi menerima, katakan
perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak membicarakan isi
waham klien.
1.3. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan perawat akan
menemani klien dan klien berada di tempat yang aman, gunakan keterbukaan dan
kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
1.4. Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki


Rasional : dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki klien, maka akan memudahkan
perawat untuk mengarahkan kegiatan yang bermanfaat bagi klien dari pada
hanya memikirkannya
Tindakan :
2.1. Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
2.2. Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan
saat ini yang realistis.
2.3. Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk
melakukannya saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari - hari dan perawatan diri).
2.4. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan
waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.

3. Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi


Rasional : dengan mengetahui kebutuhan klien yang belum terpenuhi perawat dapat
merencanakan untuk memenuhinya dan lebih memperhatikan kebutuhan kien
tersebut sehungga klien merasa nyaman dan aman
Tindakan :
3.1. Observasi kebutuhan klien sehari-hari.

8
3.2. Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di
rumah maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah).
3.3. Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
3.4. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan
memerlukan waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
3.5. Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan
wahamnya.

4. Klien dapat berhubungan dengan realitas


Rasional : menghadirkan realitas dapat membuka pikiran bahwa realita itu lebih benar dari
pada apa yang dipikirkan klien sehingga klien dapat menghilangkan waham yang
ada
Tindakan :
4.1. Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang
lain, tempat dan waktu).
4.2. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi
realitas.
4.3. Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan
klien

5. Klien dapat menggunakan obat dengan benar


Rasional : Penggunaan obat yang secara teratur dan benar akan mempengaruhi proses
penyembuhan dan memberikan efek dan efek samping obat
Tindakan :
5.1. Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis,
frekuensi, efek dan efek samping minum obat.
5.2. Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5
benar (nama pasien, obat, dosis, cara dan waktu).
5.3. Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping
obat yang dirasakan.
5.4. Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.
6. Klien dapat dukungan dari keluarga
Rasional : dukungan dan perhatian keluarga dalam merawat klien akan mambentu proses
penyembuhan klien
9
Tindakan :
6.1. Diskusikan dengan keluarga melalui
pertemuan keluarga tentang: gejala waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga
dan follow up obat.
6.2. Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga

DAFTAR PUSTAKA
10
1. Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino Gondoutomo. 2013
2. Keliat Budi A. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC. 2019
3. Tim Direktorat Keswa. Standart asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Bandung: RSJP.2019
4. Townsend M.C. Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri; pedoman untuk pembuatan rencana
keperawatan. Jakarta: EGC. 2019

11

Anda mungkin juga menyukai