Hukum Administrasi Negara (Word)
Hukum Administrasi Negara (Word)
Fakultas Hukum
Universita Maarif Hasyim Latif
2017
Bab 1
Pengertian Hukum Administrasi Negara
Teori Kedaulatan :
1. Teori Kedaulatan Tuhan (Gods-souvereinited)) abad ke V s/d XV. Teori ini sangat
erat hubungannya dengn perkembangan agama baru, yakni Kristen. Timbul dua
organisasi kekuasaan, yakni kekuasaan Negara yg diperintah oleh raja, dan
kekuasaan agama yang dikepalai oleh Paus. Tokohnya : a. Augustinus; b.
Thomas Aquinas; c. Marsilius. Augustinus berpendapat bahwa yang mewakili
Tuhan di dunia ini adalah Paus, Thomas Aquinas berpendapat bahwa
kekuasaan Raja dan Paus itu sama, hanya saja raja dalam lapangan
keduniawian, sedang Paus di lapangan keagamaan. Marsilius menitik beratkan
pada kekuasaan itu pada Negara atau raja.
2. Teori Kedaulatan Negara (Staats-souvereinited). Teori ini menyatakan, bahwa
kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada
negara. Negara di sini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan
peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya Negara, dan
tidak ada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh Negara.
Tokohnya : a. Jean Bodin; b. Georg Jellinek. Jean Bodin berpendapat,
bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warga Negara dan
rakyatnya, tanpa suatu pembatasan apapun dari undang-undang, raja tidak
terikat oleh undang-undang (hukum positif), karena raja yang menetapkan
undang-undang. Kedaulatan itu adalah juga kekuasaan tertinggi untuk membuat
hukum di dalam suatu Negara. Kedaulatan memiliki sifat: Tunggal, Asli, Abadi,
Tidak dapat dibagi-bagi; Georg Jellinek juga berpendapat, bahwa hukum itu
merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan Negara. Jadi juga
negaralah yang menciptakan hukum, maka Negara dianggap satu-satunya
sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan.
3. Teori Kedaulatan Hukum (Rechts-souvereinited). Teori ini menyatakan, bahwa
yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara itu adalah hukum itu
sendiri. Tokohnya : a. Krabbe, berpendapat bahwa yang menjadi sumber
hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Rasa
hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana, jadi yang masih bersifat
primitive atau yang tingkatannya masih rendah disebut instink hukum. Sedang
dalam bentuknya yang lebih luas atau dalam tingkatnya yang lebih tinggi disebut
kesadaran hukum. Hukum tidak timbul dari kehendah Negara, dia memiliki
kepribadian tersendiri. Krabbe banyak terpengaruh aliran Historis, yang
berkembang setelah revolusi Prancis, yang dipelopori oleh Von Savigny, yang
menyatakan bahwa hukum itu harus tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri,
berdasarkan kesadaran hukum yang terdapat dalam masyarakat. Aliran ini
menolak hukum yang dikodifikasi oleh Napoleon, oleh karena hukum tersebut
adalah hukum asing, yaitu hukum Romawi.
4. Teori Kedaulatan Rakyat. Tokohnya adalah J. J. Rousseau, menurutnya rakyat
bukanlah penjumlahan individu-individu dalam nagara, melainkan kesatuan yang
dibentuk oleh individu-individu tersebut melalui perjanjian masyarakat, yang
disebut kehendak umum atau volunte generale, yang dianggap mencerminkan
kemauan atau kehendak umum. Kedaulatan Rakyat, menurut Rousseau, pada
prinsipnya adalah cara atau system tertentu yang memenuhi kehendak umum.
Jadi kehendak umum itu hanyalah khayalan saja bersifat abstrak, dan kedaulatan
itu adalah kehendak umum itu.
Klasifikasi Negara:
1. Klasifikasi Negara Klasik-tradisonal : Monarki, Aristokrasi, Demokrasi.
2. Klasifikasi Negara Modern : Republik dan Monarki.
Republik dg system pemerintahan rakyat secara langsung (system
referendum);
Republik dg system pemerintahan perwakilan rakyat (system
parlementer);
Republik dengan system pemisahan kekuasaan (system presidensil).
Dan :
Monarki dengan system pemerintahan absolutisme;
Monarki terbatas;
Monarki Konstitusional.
Susunan Negara:
1. Negara yang bersusunan tunggal, yang disebut Negara Kesatuan/Negara Unitaris.
Negara ini memang tidak tersusun dari beberapa Negara, namun hanya terdiri dari atas
satu Negara, sehingga tidak ada Negara di dalam Negara. Dengan demikian dalam
Negara kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai
kekuasaan serta wewenang tetinggi dalam bidang pemerintahan Negara, menetapkan
kebijaksanaan pemeritahan dan melaksanakan pemerintahan Negara baik di pusat
maupun di daerah-daerah.
Pada jaman purba, abad pertengahan, renaissance, hukum alam abad XVII maupun
XVIII, kekuasaan para penguasa pada umumnya bersifat absolute, dan masih
dilaksanakan asan sentralisasi dan asas konsentrasi.
Asas Sentralisasi, adalah asas yang menghendaki bahwa segala kekuasaan serta
urusan pemerintahan itu milik pemerintah pusat.
Asas Konsentrasi, adalah asas yang menghendaki bahwa segala kekuasaan serta
urusan pemerintahan itu dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, baik yang ada
di pusat pemerintahan maupun yang ada di daerah-daerah.
Lalu memasuki abad perkembangan hukum alam, abad XVII dan XVIII, berkembang
usaha-usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa Negara, antara lain:
a. John Locke, dengan ajarannya hak asasi manusia;
b. Montesquieu, dengan ajarannya Trias Politika;
c. J.J. Rousseau dengan ajarannya Negara hukum; dan
d. Maurice Duverger, dengan ajarannya pemilihan dan pengangkatan para penguasa
Negara yang akan memegang dan melaksanakan kekuasaan Negara.
Dalam perkembangannya, karena Negara mengalami perkembangan, baik warga
Negara, wilayah, maupun urusan pemerinatahannya, maka dilaksanakanlah asas
dekonsentrari dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah,
untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan Pemerintahan Pusat yang ada di
daerah-daerah.
Dalam perkembangannya sampai dewasa ini pelaksanaan asas dekonsentrasi tersebut
melahirkan pembagian wilayah Negara dalam wilayah-wilayah administratif beserta
wilayahnya.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, dilaksanakan pula asas desentralisasi, yaitu
penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau daerah otonom tingkat
atasnya kepada daerah otonom menjadi urusan rumah tangganya.
Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang malahirkan atau dibentuknya Daerah-
daerah Otonom, yaitu suatu kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas
wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
Selain asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi, juga dikenal asas Tugas
Pembantuan, yakni tugas untuk turut serta dalam melaksanakan pemerintahan yang
ditugaskan kepada Pemerintah Daerah Otonom oleh Pemerintah Pusah atau Daerah
Otonom tingkat atasnya dengan kewajiban memepertanggung-jawabkan kepada yang
menugaskannya.
Ketiga asas ini pada umumnya dilaksanakan di Negara-negara kesatuan.
2. Negara yang bersusunan jamak, yang disebut Negara Federasi, maksudnya Negara
ini tersusun dari beberapa Negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai Negara
yang merdeka dan berdaulat, mempunyai Undang-undang sendiri serta pemerintahan
sendiri. Tetapi kemudian karena sesuatu kepentingan, entah kepentingan politik,
ekonomi atau kepentingan lainnya, Negara-negara tersebut saling menggabungkan diri
untuk membentuk ikatan kerja sama yang efektif. Namun disamping itu, Negara-negara
saling menggabungkan diri tersebut yang kemudian disebut Negara bagian, masih
ingin mempunyai urusan-urusan pemerintahan yang berwenang dan dapat diatur dan
diurus sendiri di samping urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurus
bersama-sama oleh ikatan kerja samanya tersebut.
Hakekat Negara
Negara dengan system autokrasi disebut memiliki hakekat suatu organisme, suatu
kesatuan yang mempunyai dasar-dasar hidup, serta kehidupan, kepentingan dan
kepribadian sendiri. Jika terjadi pertentangan antara kepentingan rakyat dan Negara,
maka rakyat yang dikalahkan.
Sedang Negara dengan system Demokrasi, berpandangan bahwa Negara itu pada
hakekatnya adalah suatu kumpulan atau kesatuan daripada individu. Jadi Negara
sifatnya sekunder, sedang individu primer.
Tujuan Negara
Tujuan Negara autokrasi adl menghimpun kekuasaan sebesar-besarnya pada Negara,
c.q. kepala Negara.
Sedang Sistem demokrasi dengan rumusan singkat bertujuan untuk mengusahakan
serta menyelenggarakan kebahagiaan serta kesejahteraan rakyatnya.
Susunan badan perwakilan rakyat pada Negara autokrasi modern bersifat korporatif,
bukan wakil individu tapi wakil kesatuan social yang syah diakui Negara.
Di Negara demokrasi modern bersifat atoomistis, karena badan perwakilan rakyat adal
wakil dari rakyat pemilih.
Sifat kekuasaan badan perwakilan rakyat Negara autokrasi modern hanya pendukung
saja terhadap keputusan-keputusan badan eksekutif. Kekuasaan sebenarnya ada pada
badan eksekutif, yang sesungguhnya ada pada satu orang. Seperti pernah di Jerman
pada pemerintahan Nazi, pimpinan eksekutif (fuhrer), di jaman pemerintahan Hitler.
Maurice Duverger menamakan dua Weltanschaung itu dengan istilah: Individualisme
dan kolektivisme.
Pengertian Administrasi (Kamus Umum Bahasa Indonesia, J.S. Badudu & Sutan M.
Zain): tata usaha, urusan pemerintahan negeri atau suatu perusahaan; melakukan
administrasi, mengurus tata usaha.
Secara etimologis, Administrasi yg bahasa inggrisnya “Administration”, berasal dari kata
latin, yaitu: “Ad+ministrare” dan “Administratio”.
“Ad+Ministrare”: melayani, membantu atau memenuhi. Sedang “ Administratio”:
pemberian bantuan, pelaksanaan, pimpinan, pemerintahan. Jadi dpt diambil pengertian:
“bahwa Administrasi pada hakekatnya adalah usaha untuk menolong, usaha untuk
membantu, usaha untuk memimpin atau mengarahkan semua kegiatan dalam
pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Dalam arti sempit, Administrasi, merupakan kegiatan pencatatan, penyimpanan,
pengiriman dan reproduksi daripada surat-surat, data-data, informasi, berdasarkan
sistem dan cara kerja tertentu. Sekarang istilah yang tepat adalah: Ketata-usahaan.
Istilah Administrasi dlm hub dg aktivitas kenegaraan mempunyai arti luas sekali, yaitu:
semua aktivitas pemerintah mengenai tugasnya, menyelenggarakan kepentingan
umum.
Adapun dlm pengertian sehari-hari, memiliki arti pelaksanaan surat-menyurat mengenai
segala sesuatu dlm organisasi.
1. Dalam arti luas, dari kata “administration”:
a. Memimpin, menguasai, mengendalikan, malaksanakan hukum;
b. Melayani/mengatur kepentingan dengan berpedoman kepada peraturan hukum,
sebagai kekuasaan pemerintah guna mengatur kepentingan umum dan negara.
2. Fungsi Administrasi pada sebuah organisasi:
1. Fungsi Perencanaan;
2. Fungsi Pengorganisasian;
3. Fungsi Pengkoordinasian.
3 Pengertian Administrasi (kenegaraan), C.S.T. Kansil:
1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, atau instansi politik (kenegaraan)
artinya meliputi organ yg berada di bawah pemerintah, mulai dari Presiden,
Menteri (termasuk Sekjen, Irjen, Gubernur, Bupati dsb) pokoknya semua organ
yg menjalankan administrasi negara;
2. Sebagai fungsi atau sebagai aktivitas, yaitu sebagai kegiatan pemerintahan
artinya sebagai kegiatan mengurus kepentingan negara;
3. Sebagai proses teknis penyelenggaraan UU meliputi tindakan aparatur negara
dalam menjalankan UU.
Tujuan HAN:
1. Memberikan batasan dan kewenangan terhadap pejabat administrasi negara;
2. Memberikan perlindungan terhadap rakyat atau badan hukum perdata dari
tindakan sewenang-wenang pejabat administrasi negara.
Tujuan UU No. 30/2015 ttg Administrasi Pemerintahan:
a. Menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
b. Menciptakan kepastian hukum;
c. Mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang;
d. Menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan;
e. Memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur
pemerintahan;
f. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan
AUPB; dan
g. Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.
D.
Bab 2
Hubungan HAN dg Ilmu lainnya
A. HAN dg HTN.
Persamaan dan Perbedaan HTN dan HAN:
HTN:
1. HTN adl sekumpulan peraturan hukum yg menentukan badan-badan kenegaraan
serta memberikan wewenang itu kepada badan-badan tsb dr yg tertinggi sampai
yg terendah kedudukannya (C.V.Vollen Hoven);
2. HTN ialah keseluruhan aturan hk yg mengadakan alat-alat perlengkapan dan
mengatur kekuasaannya(J. Oppenheim);
3. HTN mengatur negara dlm keadaan pasif (Fritz Flener).
HAN:
1. HAN adl keseluruhan peraturan yg mengatur ttg aparatur pemerintah dlm
melakukan berbagai aktivitas atau tugas-tugas negara, guna mencapai tujuan yg
telah ditentukan;
2. HAN adl keseluruhan aturan-aturan hk yg menjalankan kekuasaannya, jd pd
asasnya mengatur negara dlm keadaan bergerak (staat in beweging);
3. HAN mengatur negara dlm keadaan bergerak (Fritz Flener).
Hoetink mengatakan bahwa ilmu politik adalah semacam sosiologi dari Negara.
Ilmu Negara dan HTN menyelidiki kerangka yuridis dari Negara, sedangkan ilmu
politik menyelidiki bagiannya yang ada di sekitar kerangka itu. Ilmu Negara
menggunakan metode yuridis, sedangkan ilmu politik menggunakan metode
sosiologis.
Barents menggambarkan ilmu politik dan HTN dengan perumpamaan HTN adalah
kerangkanya, sedangkan Ilmu Politik adalah daging yang ada disekitarnya.
Perbedaan antara ilmu Negara dengan ilmu politik adalah ilmu Negara
menitikberatkan pada sifat-sifat teoritis tentang asas-asas pokok dan pengertian-
pengertian pokok tentang Negara. Oleh karena itu, ilmu Negara kurang dinamis.
Sementara itu, ilmu plitik lebih menitikberatkan pada factor-faktor yang konkret,
terutama berpusat kepada gejala-gejala kekuasaan, baik mengenai organisasi
Negara maupun yang memengaruhi pelaksanaan tugas-tugas Negara. Oleh karena
itu, ilmu politik lebih dinamis dan hidup.
a) Undang-undang
UU yg dimaksud adl UU dlm arti materiil atau UU dlm arti yg luas, yakni setiap
keputusan pemerintah yang berdasarkan materinya mengikat langsung etiap penduduk
yg berdasarkan materinya mengikat penduduk pada suatu daerah, sebagaimana yg
dikenal dlm tata urutan peraturan per-UU-an, yakni: UUD Negara RI Tahun 1945,
Ketetapan MPR, UU/Perpu, PP, Perda Prov, Perda Kab/Kot.
c) Yurisprudensi
Yakni suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan peradilan yg sdh mempunyai
kekuatan hukum tetap. Hal ini berkaitan dg prinsip bahwa hakim tdk boleh menolak
mengadili perkara yg diajukan dg alasan blm ada peraturan per-UU-an, sehingga hakim
harus melihat keputusan hakim terdahulu.
d). Doktrin/Pendapat para ahli HAN
Seperti ajaran functionare de fait, yaitu suatu ajaran yg dianggap sah keputusan-
keputusan yg dihasilkan atau dikeluarkan oleh seorang alat administrai negara yg
sebetulnya secara yuridis formil kewenangannnya tidak sah.
e). Traktat
Perjanjian yg dilakukan oleh dua negara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah bahwa
pihak-pihak yg bersangkutan terikan pd perjanjian yg mereka adakan itu. Hal ini disebut
Pacta Sun Servanda, yg berarti bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yg mengadakan
atau setiap perjanjian hrs ditaati dan ditepati oleh kedua belah pihak.
Sebagai sumber hukum formal dari sumber HAN ini berasal dari perjanjian
internasional, perjanjian internasional yg telah diratifikasi tentunya oleh pemerintah
untuk dilaksanakan di negara yg telah meratifikasi perjanjian tersebut.
Bab 4
Subjek HAN
Adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum, yakni
orang dan dan badan hukum.
Subjek hukum dlm lapangan HAN:
1) Pegawai Negeri;
2) Jabatan-jabatan;
3) Jawatan Publik, dinas-dinas publik, badan usaha milik negara/daerah;
4) Daerah kabupaten/kota dan propinsi; 5) Negara.
1. Pegawai Negeri
Mereka yg telah memenuhi syarat-syarat yg ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yg berlaku diangkat oleh pejabat yg berwenang dan
diserahi tugas negara lainnya yg ditetapkan berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yg
berlaku.
Pengangkatan seorang WNI menjadi pegawai negeris sdh ditentukan dg tegas.
Ia tdk dibenarkan menerima keuntunga-keuntungan lain dr haknya selain yg
diperkenankan menurut peraturan perundang-undangan. PNS disini terlihat sbg
pendukung hak dan kewajiban.
Contoh:
1. Hak menerima gaji dan tunjangan lain yg sah, memperoleh cuti;
2. Hak utk memangku suatu jabatan;
3. Kewajiban utk membayar pajak;
4. Kewajiban utk melaksanakan tugas sesuai aturan perundang-undangan yg
bersumber dr lapangan hukum publik.
2. Jabatan.
Jabatan adl kedudukan yg menunjukkan tugas, tanggung-jawab, wewenang, dan
hak seseorang dlm rangka susunan suatu satuan organisasi. Kalau kedudukan itu
berada dlm lingkungan pemerintah, maka jabatan adl jabatan negeri yg mewakili
pemerintah.
Maksud badan negara misalnya karena keanggotaan seseorang di dalam
lembaga negara di bidang eksekutif, disebut departemen, atau lembaga
pemerintah non departemen pada tingkat tertinggi dan jabatan-jabaan di
bawahnya. Di bidang lainnya hrs dilihat dlm fungsi politik dan yudikatif, seperti
keanggotaan pada kelembagaan negara. Jabatan-jabatan yg demikian adl
jabatan negara yaitu jabatan yg mewakili negara.
Jabatan dapat dipandang dr segi struktural dan fungsional.
BUMN/BUMD
BUMN/BUMD adl sama kedudukannya dg jawatan dan dinas, hanya saja
BUMN/BUMD ini lebih diarahkan pd tugas-tugas fungsional yg bukan saja
menyelenggarakan kepentingan umum, akan tetapi disertai dg upaya perolehan
keuntungan..
Dalam praktek ternyata ada juga yayasan-yayasan pemerintah, perusahaan-
perusahaan negara, partisipasi negara dalam perusahaan-perusahaan swasta
dan yayasan-yayasan partikelir dg suatu macam pengendalian oleh pihak
pemerintah yg cukup besar.
Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi
Daerah ini adalah suatu kesatuan wilayah dalam organisasi negara yg karena
kelahirannya disebabkan atas hak swapraja yg diakui atau krn hak otonom yg
diperolehnya.
Sebagai suatu wilayah di dalam perkembangannya ia berhak mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri dlm wilayah kekuasaan negara. Dengan
haknya demikian ia berkewajiban menyelenggarakan kepentingan umum.
Negara
Negara adalah organisasi dari sekumpulan rakyat yg mendiami wilayah ttt dan
diselenggarakan oleh pemerintah berdasarkan kedaulatan yg diperolehnya dan
dimilikinya. Dalam kedudukannya sbg subjek hukum maka negara berhak
melindungi, mengurus dan mengatur dirinya sbg organisasi sehingga pada
gilirannya ia berkewajiban mencapai tujuan yg ditetapkan.
Sebagai subjek hukum maka sumber hak dan kewajibannya bersumber dari
lapangan hukum publik, sehingga cakupannya luas dan menyeluruh dalam hal-
hal yang menyangkut kepentingan umum.
Bab 5
Negara dan Warga Negara
A. Pengertian Negara
Negara adl persekutuan bangsa dg wilayah yg ttt batas-batasnya serta
berpemerintahan yg sah (Kamus Besar B. Indonesia).
Negara adalah organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yg memenuhi
persyaratan ttt yaitu ada: Pemerintahan yg berdaulat, wilaya ttt dan rakyat yg hidup
teratur shg merupakan suatu nation (bangsa) (G. Priggodigdo).
a. Negara Hukum.
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum lahir dan berkembang dalam
situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep Negara hukum dianggap sebagai
konsep universal, tetapi pada dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik
beragam.
Secara embrionik, gagasan Negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia
mengintrodusir konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya,
sementara dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah
negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara
yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. 1 Gagasan Plato
tentang Negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles,
yang menuliskannya dalam buku politica. Manurut Aristoteles, suatu Negara yang baik
ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga
unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu: pertama, pemerintahan dilaksanakan
untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan
berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan
berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. Dalam kaitannya
dengan konstitusi, Aristoteles mengatakan, konstitusi merupakan penyusunan jabatan
dalam suatu Negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan
pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-
aturan dan penguasa harus mengatur Negara menurut aturan-aturan tersebut. 2
Gagasan Negara hukum ini masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu
yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19,
yaitu dengan munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl. Menurut
Stahl, unsur-unsur Negara hukum (rechsstaat) konsep Eropa Kontinental adalah
sebagai berikut:
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep Negara hukum (rule of law)
sebagai berikut:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa
seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
1
Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm 66.
2
Dikutip dari Azhari, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm 20-21.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil
ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat;
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain oleh undang-
undang dasar) serta keputusan –keputusan pengadilan. 3
Perumusan unsur-unsur Negara hukum ini tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik
yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme, yang
menempatkan individu atau warga Negara sebagai primus interpares dalam kehidupan
bernegara. Oleh karena itu, unsure pembatasan kekuasaan Negara untuk melindungi
hak-hak individu menempati posisi yang signifikan. Semangat membatasi kekuasaan
Negara ini semakin kental segera setelah lahirnya adagium yang begitu popular dari
Lord Acton: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely” (manusia
yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, tetapi kekuasaan
yang tak terbatas pasti disalahgunakan). Model Negara hukum seperti ini berdasarkan
catatan sejarah dikenal dengan sebutan demokrasi konstitusional, dengan ciri bahwa
pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-
pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu
sering disebut “pemerintah berdasarkan konstitusi” (constitutional government).6
Meskipun tidak semua Negara yang memiliki konstitusi diilhami oleh semangat
individualisme, namun semangat untuk melindungi kepentingan individu melalui
konstitusi dianggap paling memungkinkan, terlepas dari falsafah Negara yang
bersangkutan. Dengan kata lain, esensi dari Negara berkonstitusi adalah perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia. Atas dasar itu, keberadaan konstitusi dalam suatu
Negara conditio sine quanon. Menurut Sri Soemantri, tidak ada suatu Negara pun di
dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan
konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. 7
Bila Negara hukum diidentikkan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu Negara,
maka benar apa yang dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang mengatakan
bahwa dalam abad ke-20 ini hampir tidak suatu Negara pun yang menganggap sebagai
6
Miriam Budiardjo, op. cit., hlm.52
7
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 2-3
Negara modern tanpa menyebutkan dirinya “Negara berdasar atas hukum”. 8 Dengan
demikian, dalam batas-batas minimal, Negara hukum identik dengan Negara yang
berkonstitusi, yang di dalam konstitusinya memuat unsur-unsur Negara hukum
sebagaimana tersebut diatas.9
Telah disebutkan bahwa pada dataran implementasi Negara hukum itu memiliki
karakteristik dan model yang beragam. Terlepas dari berbagai model Negara hukum
tersebut, Budiono mencatat bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan
hukum secara bertahap menuju kearah kesimpulan bahwa, Negara merupakan Negara
yang akan mewujudkan harapan para warga Negara akan kehidupan yang tertib,
adil,dan sejahtera jika Negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan
main.10 Lebih lanjut Budiono mengatakan sebagai berikut:
“Pada babak sejarah sekarang adalah sukar untuk membayangkan Negara tidak
sebagai Negara hukum. Setiap Negara yang tidak mau dikucilkan dari pergaulan
masyarakat internasionalmenjelang abad XXI paling sedikit secara formal akan
memaklumkan dirinya sebagai Negara hukum. Dalam Negara hukum, hukum menjadi
aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik.
Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam
perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan
politik tadi. Hukum dengan demikian tidak mengabdi kepada kepentingan politik
sektarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka
kenegaraan”.11
Pada zaman pertengahan (abad IV sampai abad XV) di Eropa Barat, seluruh
pemerintahan dalam artinya yang luas terpusat di tangan raja (monarch), kemudian
dalam tangan birokrasi (alat pemerintah) kerajaan yang waktu itu belum mengenal
adanya pembagian fungsi dan kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) seperti
yang ada sekarang ini. Jadi pada zaman pertengahan ini kekuasaan raja amat luas
sebab ia sekaligus menjadi pemegang kekuasaan legislative, eksekutif dan
yudikatif.13Tetapi lama kelamaan pemusatan kekuasaan dalam bentuk Political State ini
dipersoalkan dan pada akhir abad pertengahan kekuasaan kehakiman diambil dari
tangan raja sehingga raja tinggal memegang kekuasaan eksekutif dan legislative.
Keadaan inipun pada abad 17 dan 18 dipersoalkan lagi dengan timbulnya pemikiran
bahwa kekuasaan legislatif-pun harus diambil dari tangan raja. Ada kecenderungan
bahwa raja dengan kekuasaan absolutnya suka berbuat sewenang-wenang dan tidak
mengindahkan hak azasi manusia. Pada waktu itu konsep tentang “Kontrak Sosial”
(perjanjian masyarakat) yang pernah dirumuskan oleh Thomas Hobbes, John Locke dan
J.J. Rousseau sedang tumbuh dan berkembang kembali, sehingga pemikiran tentang
pengurangan kekuasaan dari tangan raja sangat berpengaruh.
Pengaruh teori Locke tentang pemisahan kekuasaan dalam Negara itu memang tidak
sebesar pengaruh teori Montesguieu (1689-1755), seorang ahli hokum berkbangsaan
Perancis yang pada tahun 1748 menerbitkan buku yang sangat terkenal dengan
13
E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, NV. Penerbitan dan Balai Buku Indonesia,
Jakarta, cetakan II, 1957, hlm. 5.
“L’Esprit des Lois” (jiwa dari Undang-undang). Montesguieu seperti halnya John Locke
mengemukakan satu pembagian kekuasaan-kekuasaan (fungsi) di dalam Negara itu
dibagi ke dalam kekuasaan legislative (membuat Undang-undang), eksekutif
(melaksanakan Undang-undang) dan yudikatif (mengadili atas pelanggaran terhadap
Undang-undang). Teori Montesquieu ini oleh Emmanuel Kant disebut “Trias Politika”.
Perbedaan pembagian kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu ialah, bahwa
menurut John Locke kekuasaan yudikatif itu menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif
sedangkan kekuasaan federatif berdiri sendiri; sebaliknya menurut Montesquieu
kekuasaan federative itulah yang menjadi bagian kekuasaan eksekutif sedangkan
yudikatif berdiri sendiri.
Tipe Negara “Legal State” ini pemerintah mendapat porsi kekuasaan yang sempit dan
tugas pemerintahan yang bersifat pasif artinya Negara hanya menjadi wasit dan
melaksanakan berbagai keinginan masyarakat yang disepakati bersama secara
demokratis-liberal, pemertah hanya sebagai penjaga malam atau penjamin keamanan.
Ada juga yang menyebut dengan “Negara Pluralis”, 14 yakni Negara yang
pemerintahannya netral dan hanya hanya menjadi alat dan pelaksana dari keinginan
masyarakat. Ada juga yang menyebut dengan istilah “Negara Hukum Formal”.
Dalam konsep Negara hokum yang lama ini dikemukakan cirri-ciri Negara hokum oleh
Fredrich Julius Stahl, yakni:
1. Adanya perlindungan hak-hak azasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak azasi
manusia itu (Trias Politika);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;
4. Peradilan administrasi Negara dalam perselisihan. 15
14
Arief Budiman, Bentuk Negara dan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan, Prisma No. 7, 1982, hlm. 4-6.
15
Oemar Seno Adji, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa, 1966, hlm. 24.
ekonomis, sedangkan mereka yang secara ekonomi lemah (golongan miskin) selalu
menjadi golongan yang dirugikan karena dalam memperjuangkan keinginan-
keinginannya mereka tidak mempunyai fasilitas, sehingga selalu kalah dalam
persaingan bebas itu. Dengan kekayaannya golongan
16
Disarikan dari J.B.J.M. ten Berge. Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996,
hlm. 34-38.
8. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum
harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah
harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrument yuridis
penegakan hukm. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar
hukum melalui system peradilan Negara. Memaksakan hukum public
secara prinsip merupakan tugas pemerintah;
9. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat
ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ
pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap Negara hukum diperlukan
pengawasan oleh hakim yang merdeka.
b. Prinsip-prinsip demokrasi;
1. Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu Negara dan dalam
masyarakat diputuskan oleh badan perwakilan, yang dipilih melalui pemilihan
umum;
2. Petanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan
fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yaitu kepada lembaga
perwakilan;
3. Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu
organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu
kewenangan badan-badan public itu harus dipencarkan pada organ-organ yang
berbeda;
4. Pengawasan dan control. (Penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat
dikontrol;
5. Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum;
6. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.
a. Peristilahan :
Di negeri Belanda terdapat dua istilah mengenai hukum ini, yaitu bestuurrecht dan
administratief recht, kata administratie sering diterjemahkan tata usaha, tata usaha
pemerintahan, tata pemerintahan, tata usaha Negara, dan administrasi. Sedang
bestuur diterjemahkan dengan pemerintahan. Perbedaan terjemahan ini berakibat pada
perbedaan penamaan terhadap cabang hukum ini, yakni seperti Hukum Administrasi
Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Pemerintahan, Hukum Tata
Usaha, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Hukum
Administrasi Negara Indonesia, dan Hukum Administrasi. Adanya keragaman istilah ini
berkembang kecenderungan menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara, karena
20
J.B.J.M. ten Berge, op. cit., hlm. 24-25
lebih luas pengetiannnya, sehingga membuka ke arah pengembangan hukum lebih
lanjut.
a.2. Pemerintah/Pemerintahan
Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas pemerintah, sedangkan
pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan. Pemerintah
dalam arti luas mencakup semua alat kelengkapan Negara, yang pada pokoknya terdiri
dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudisial atau alat-alat
kelengkapan Negara lain yang bertindak untuk dan atas nama Negara. Dalam
pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif. 22 Pemerintah dalam
arti sempit adalah organ/alat perlengkapan Negara yang diserahi tugas pemerintahan
atau melaksanakan undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencakup semua
badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam Negara baik kekuasaan
eksekutif maupun kekuasaan legislative dan yudikatif. 23
Dalam berbagai kepustakaan, istilah pemerintahan disebutkan memiliki dua pengertian
yaitu sebagai fungsi dan sebagai organisasi, pemerintahan sebagai fungsi – yakni
aktivitas memerintah – adalah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Dalam istilah
Donner; ‘penyelenggaraan kepentingan umum oleh dinas publik’. Pemerintahan
(umum) sebagai organ adalah kumpulan organ-organ dari organisasi pemerintahan
yang dibebani dengan pelaksanaan tugas pemerintah.
21
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 11
22
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,
1997, hlm. 158-159
23
SF. Marbun dan Moh. Mahfud, op. cit. hlm. 8
b. Pengertian Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara adalah:
Seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi Negara menjalankan
fungsinya yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi
Negara, dan melindungi administrasi Negara itu sendiri. 24
Menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat
(ambtsdrager) administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus. Utrecht
menyebutkan bahwa HAN adalah hukum yang mengatur sebagian lapangan pekerjaam
administrasi Negara. Bagian lain diatur oleh Hukum Tata Negara (hukum Negara dalam
arti sempit), Hukum Privat, dan sebagainya. 25
Berdasarkan beberapa definisi tampak bahwa dalam HAN terkandung dua aspek yaitu;
pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat
perlengkapan Negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturan-aturan hukum yang
mengatur hubungan antara alat perlengkapan adiministrasi Negara dengan para warga
negaranya. Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam
ajaran welfare state, yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi
Negara termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan
hukum dalam hukum administrasi Negara di samping dibuat oleh lembaga legislative,
juga ada peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi Negara.
Dengan demikian maka hukum administrasi Negara adalah hukum dan peraturan-
peraturan yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau administrasi
Negara, peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislative untuk
mengatur tindakan pemerintahan dalam hubungannnya dengan warga Negara, dan
sebagian peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi Negara.
24
Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung,1992, hlm. 4
25
E, Utrecht, op. cit.., hlm. 8-9
2. Kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan di bidang public
tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan
bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; penggunaan
kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrument hukum, karena itu diatur
pula tentang pembuatan dan penggunaan instrument hukum;
3. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan
pemerintah itu;
4. Penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang pemerintah.
Sehubungan dengan adanya hukum administrasi tertulis, yang tertuang dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, dan hukum administrasi tidak tertulis, yang lazim
disebut asas-asas umum pemerintahan yang layak, maka keberadaan dan sasaran dari
hukum adminstrasi adalah sekumpulan peraturan hukum tentang pemerintahan dalam
berbagai dimensinya untuk terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang layark
dalam suatu Negara.
Pada abad 19 hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara merupakan satu
kesatuan, dan hukum administrasi Negara dianggap sebagai tambahan dari hukum tata
Negara (aanhangsel van het staatsrecht) atau sebagai bagian dari hukum tata Negara
(al seen deelgebied van het staatsrecht).
Keterkaitan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara, dapat dilihat dari
beberapa pendapat di bawah ini :
Van Vollenhoven mengatakan : “Badan pemerintah tanpa aturan hukum Negara akan
lumpuh, oleh karena badan ini tidak mempunyai wewenang apapun atau wewenangnya
tidak berketentuan, dan badan pemeritah tanpa hukum administrasi Negara akan bebas
sepenuhnya, oleh karena badan ini dapat menjalankan wewenangnya menurut
kehendaknya sendiri”.
J.B.J.M ten Berge mengatakan : “hukum administrasi Negara adalah sebagai
perpanjangan dari hukum negara atau hukum sekunder dari hukum tanta Negara”.
Bahsan Mustafa mengatakan : “hukum tata negara dan hukum administrasi Negara
itu merupakan dua jenis hukum yang dapat dibedakan akan tetapi tidak dapat
dipisahkan yang satu dari yang lainnya”.
Kranenburg mengatakan : “kita tidak mungkin mempelajari hukum administrasi,
tanpa didahului (dengan pelajaran) hukum tata Negara”.
Adapun objek kajian dari kedua hukum sulit untuk melihat garis batasnya, beberapa
pendapat di bawah ini :
Oppenheim menyatakan : hukum tata Negara mempelajari Negara dalam keadaan
diam (staat in rust) dan hukum administrasi Negara mempelajari Negara dalam
keadaan bergerak (staat in beweging).
H.J. Romeijn mengatakan : hukum tata Negara itu statis, sedangkan hukum
administrasi Negara itu dinamis.
Perbedaan hukum tata Negara dengan hukum administrasi Negara menurut Bagir
Manan : Secara keilmuan hukum yang mengatur tingkah laku Negara (alat
perlengkapan Negara) dimasukkan ke dalam kelompok tata Negara, sedangkan hukum
yang mengatur tingkah laku pemerintah (dalam arti administrasi Negara) masuk ke
dalam kelompok hukum administrasi Negara. 26
b. Sumber Hukum Formal ialah sebagai tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hokum itu formal berlaku. Terdiri dari:
27
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm 69.
28
N.E. Algra, ejjt.al., Mula Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, hlm. 16
29
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud, loc.cit., hlm. 21
30
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 70
31
P.J.P. Tak, op. cit., hlm 53
1/ Peraturan Perundang-undangan, yakni peraturan hukum bilamana peraturaan itu
mengikat setiap orang dank arena itu ketaatannya dapat dipaksakan oleh hakim;
2/ Praktek Administrasi Negara/Hukum Tidak Tertulis. Tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh administrasi Negara ini akan melahirkan hukum tidak tertulis atau
konvensi, jika dilakukan secara teratur dan tanpa keberatan;
3/ Yurisprudensi, dalam arti sempit adalah ajaran hukum yang tersusun dari dan dalam
peradilan, yang kemudaian dipakai sebagai landasan hukum. Juga diartikan sebagai
himpunan putusan-putusan pengadilan yang disusun secara sistematik; 32
4/ Doktrin. Meskipun ajaran hukum atau pendapat para sarjana hukum tidak memiliki
kekuatan mengikat, namun pendapat sarjana hukum ini begitu penting bahkan dalam
sejarah pernah terdapat ungkapan bahwa orang tidak boleh menyimpang dari pendapat
umum para ahli hukum.33
32
N.E. Algra en H.C.J.G. Jansen, op. cit., hlm. 55
33
L.J. van Apeldoorn, op. cit., hlm. 135
1. Mahkamah Agung RI: lembaga tinggi negara dlm sistem ketatanegaraan RI yg
memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dg Mahkamah Konstitusi. MA
membawahi badan peradilan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
2. Mahkamah Konstitusi RI: lembaga tinggi negara dlm sistem ketatanegaraan RI yg
memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dg MA (Ps. 1 UU No. 24/2004);
3. Komisi Yudisial RI: berdasar UU No. 22/2004 berfungsi mengawasi perilaku hakim
dan mengusulkan nama calon hakim agung.
4. Komisi Pemberantasan Korupsi: berdasar UU 30/2002 yg memiliki tugas melakukan
penyidikan, penyelidikan dan pentuntutan thd pelaku tipikor.
5. Pengadilan HAM: berdasar UU 26/2000 merupakan pengadilan khusus thd hak asasi
manusia yg berat
C. Warga Negara
Warga negara merupakan bagian terpenting dlm suatu negara. Diatur khusus dalam UU
12/2006 tentang Kewarganegaraan RI.
Ps. 2 UU 12/2006 menyatakan: “yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-
orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yg disahkan dg UU sbg warga
negara”.
Kehilangan Kewarganegaraan RI
Ps 23 UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI menyatakan, warga negara RI
kehilangan kewarganegaraannya jk yg bersangkutan:
a/ Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b/ Tidak menolak atau tdk melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan org yg
bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu;
c/ Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonan sendiri,
yang bersangkutan sdh berusia 18 (delapan belas)tahun atau sudah kawin, bertempat
tinggal di luar negeri, dan dg dinyatakaan hilang Kewarganegaraan RI tdk menjadi
tanpa kewarganegaraan;
d/ Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;
e/ Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yg jabatan dlm dinas semacam itu
di Indonesia sesuai dg ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dpt dijabat
oleh WNI;
f/ Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara
asing atau bagian dr negara asing tsb.
g/ Tidak diwajibkan ttp turut serta dlm pemilihan sst yg bersifat ketatanegaraan utk
suatu negara asing;
h/ Mempunyai paspor atau surat yg bersifat paspor dr negara asing atau surat yg dpt
diartikan sbg tanda kewarganegaraan yg msh berlaku dr neg lain atas namanya; atau
i/ Bertempat tinggal di luar wilayah RI selama 5 (lima) tahun terus menerus bkn dlm
rangka dinas negara, tanpa alasan yg sah dan dg -
Sengaja tdk menyatakan keinginannya utk tetap menjadi WNI sbl jangka waktu 5 (lima)
th itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yg bersangkutan tdk mengajukan
pernyataan utk ttp menjadi WNI Kepada Perwakilan RI yg wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal yg bersangkutan padahal Perwakilan Ri tsb telah memberitahukan scr
tertulis kpd yg bersangkutan, sepanjang yg bersangkutan tdk menjadi tanpa
kewarganegaraan.
Ps 24 UU 12/2006 tdk berlaku utk mereka yg mengikuti program pendidikan di negara
lain yg mengharuskan mengikuti wajib militer.
Ps 25 UU 12/2006:
(1) Kehilangan Kewarganegaraan RI bg seorang ayah tdk dg sendirinya berlaku thd
anaknya yg mempunyai hub hk dg ayahnya sampai dg anak tsb berusia 18 th atau
sdh kawin;
(2) Kehilangan Kewarganegaraan RI bg seorang ibu tdk dg sendirinya berlaku thd
anaknya yg tdk mempunyai hub hk dg ayahnya sampai dg anak tsb berusia 18 th
atau sdh kawin;
(3) Kehilangan Kewarganegaraan RI krn memperoleh kewarganegaraan lain bg
seorang ibu yg putus perkawinannya, tdk dg sendirinya berlaku thd anaknya sampai
dg anak tsb berusia 18 th atau sdh kawin;
(4) Dalam hal status Kewarganegaraan RI thd anak sbgmn dimaksud pd ay (1), ay
(2), dan ay (3) berakibat anak berkewarganegaraan ganda, seelah berusia 18 th
atau sdh kawinanak tsb hrs menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya
sbgmn dimaksud dlm Ps. 6.
Ps 26 UU 12/2006
(1) Perempuan WNI yg kawin dg laki-laki warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sbg akibat perkawinan
tsb;
(2) Laki-laki WNI yg kawin dg perempuan warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan
suami mengikuti kewarganegaraan istri sbg akibat perkawinan tsb;
(3) Perempuan sbgmn dimaksud pd ay (1) atau laki-laki sbgmn dimaksud pd ay (2)
jk ingin tetap menjadi WNI dpt mengajukan surat pernyataan mengenai
keinginannya kpd Pejabat atau Perwakilan RI yg wilayahnya meliputi tempat
tinggal perempuanatau laki-laki tsb, kecuali pengajuan tsb mengakibatkan
kewarganegaraan gand;
(4) Surat pernyataan sbgmn dimakud pd ay (3) dpt diajukan oleh perempuan sbgmn
dimaksud pd ay (1) atau laki-laki sbgmn dimaksud pd ay (2) stl 3 (tiga) th sejak
tanggal perkawinannya berlangsung.
Ps 27 UU 12/2006:
“Kehilangan Kewarganegaraan bg suami atau istri yg terikat perkawinan yg sah tdk
menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dr istri atau suami.”
Ps 28 UU 12/2006:
“Setiap org yg memperoleh Kewarganegaraan RI berdasarkan keterangan yg kemudian
hr dinyatakan palsu atau dipalsukan, tdk benar, atau terjadi kekeliruan mengenai
orangnya oleh instansi yg berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya”.
Ps 29 UU 12/2006
“Menteri mengumumkan nama orang yg kehilangan Kewarganegaraan RI dlm Berita
Negara RI”.
Bab 6
Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Pemerintah Dilihat dari Segi HAN
1. Kedudukan Hukum (Rechtspositie) Pemerintah
Pembagian hukum ke dalam hukum publik dan hukum privat dilakukan oleh ahli
hukum Romawi, Ulpianus, mengatakan :”hukum publik adalah hukum yang
berkenaan dengan kesejahteraan Negara Romawi, sedangkan hukum privat
adalah hukum yang mengatur hubungan kekeluargaan”, memiliki pengaruh
besar, termasuk dalam mengkaji keberadaan pemerintah dalam melakukan
pergaulan hukum.
Pemerintah melaksanakan kegiatan dalam hukum publik sebagai wakil jabatan
(ambt). Sedang dalam hukum privat sebagai wakil dari badan hukum
(rechtspersoon).
Dalam perspektif hukum publik, Negara adalah organisasi jabatan. Logeman
mengatakan : “Dalam bentuk kenyataan sosialnya, Negara adalah organisasi
yang berkenaan dengan berbagai fungsi, Yang dimaksud dengan fungsi adalah
lingkungan kerja yang terperinci dalam hubungannya secara keseluruhan.
Fungsi-fungsi ini dinamakan jabatan. Negara adalah organisasi jabatan.” 34
“Jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkungan pekerjaan sendiri yang
dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang.” 35
Bagir Manan menyatakan, jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap yang
berisi fungsi-fungsi tertentu yang secara keseluruhan mencerminkan tujuan dan
tata kerja suatu organisasi. Negara berisi berbagai jabatan atau lingkungan kerja
tetap dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan Negara. 36
Berdasarkan ajaran hukum keperdataan dikenal istilah subyek hukum, yaitu
pendukung hak dan kewajiban, yang terdiri dari manusia dan badan hukum.
Badan hukum ini terdiri dari dua bagian yaitu badan hukum privat dan badan
hukum publik. Menurut Chidir Ali, ada tiga kriteria untuk menentukan status
34
Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954, hlm. 88.
35
N.E. Algra en H.C.J.G Janssen, op. cit., hlm. 175.
36
Bagir Manan, Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung, Makalah, hlm. 1
badan hukum publik yaitu; Pertama, dilihat dari pendiriannya, badan hukum itu
diadakan dengan konstruksi hukum publik yang didirikan oleh penguasa dengan
undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; Kedua, lingkungan kerjanya
yaitu melaksanakan perbuatan-perbuatan publik; ketiga, badan hukum itu diberi
wewenang public seperti membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang
mengikat umum. Termasuk dalam kategori badan hukum publik yaitu Negara,
Propinsi, Kabupaten dan Kotapraja, dan lain-lain. 37
37
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm.62
bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukum, yang dilakukan
melalui perwakilan (vertegenwoordiging) yaitu pejabat (ambtsdrager).
Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun di antara
keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah
dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan dan pejabat diatur dan tunduk
pada hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata Negara dan hukum
administrasi, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian.
Bila berdasarkan hukum publik Negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan
dari organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan,
maka berdasarkan hukum perdata, Negara adalah kumpulan dari badan-badan
38
S.F. Marbun, op. cit., hlm. 141
39
Dikutip dari Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, BAndung, hlm. 21.
hukum, yang di dalamnya terdapat badan (lichaam) pemerintahan. Tindakan
hukum badan pemerintahan dilakukan oleh pemeintah.
2. Kewenangan Pemerintah
b. Wewenang Pemerintah
Substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum tertentu. H.D. Stout mengatakan bahwa, wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subyek hukum public
di dalam hubungan hukum public.42
40
Sjachran Basah, Perlindungan… op. cit. hlm. 2
41
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum
Nasional, Armico, Bandung, 1987, hlm. 16
42
H.D. Stout, op. cit., hlm. 102
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichten).43
43
Bagir Manan, Wewenang Propinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada
Seminar Nasional, Fakultas Hukum Umpat, Bandung, 13 Mei 2000, hlm 1-2
44
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op. cit. hlm. 129.
5. delegans dapat memberikan instruksi tentang penggunaan wewenang tersebut
kepada delegataris.
Salah satu prinsip dalam Negara hukum, yaitu: tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban. Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat
pemeintahan tertentu, tersirat di dalamnya pertanggungjawaban dari pejabat
yang bersangkutan. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa
wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari
peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan
memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang
dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah
ada, dengan tanggungjawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
diatribusikan sepenuhnya kepada penerima wewenang (atributraris). Pada
delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan
wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab
yuridis tidak lagi beri pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih pada
penerima delegasi (delegataris). Sementara pada mandate, penerima mandate
(mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandate
(mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap
berada pada mandas. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandate ini bukan
pihak lain dari pemberi mandate. Perbedaan antara delegasi dan mandate:
1. Delegasi: pelimpahan wewenang; Mandat: Perintah untuk melaksanakan.
2. Delegasi: kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang
memiliki wewenang asli; Mandat: Kewenangan dapat sewaktu-waktu
dilaksanakan oleh mandans.
3. Delegasi: terjadi peralihan tanggungjawab; Mandat: Tidak terjadi peralihan
tanggung jawab.
4. Delegasi: harus berdasarkan UU; Mandat: Tidak harus berdasarkan UU.
5. Delegasi: harus tertulis; Mandat: Dapat tertulis, dapat pula lisan.
Sifat wewenang pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu: terikat, fakultatif, dan
bebas, terutama dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-
keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingen) oleh organ
pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan yang bersifat
terikat dan bebas. Indroharto45 mengatakan bahwa; pertama, wewenang
pemerintahan yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya
menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut
dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi
dari keputusan yang harus diambil, dengan kata lain, terjadi apabila peraturan
dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci,
maka wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat;
kedua, wewenang fakultatif, terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha
Negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit
banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-
hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
dasarnya; ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya
memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha Negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau
peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata
usaha Negara yang bersangkutan.
D. Tindakan Pemerintah
Pemerintah atau administrasi Negara adalah sebagai subyek hukum, sebagai
dragger van de rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan kewajiban-
kewajiban. Sebagai subyek hukum, pemerintah sebagaimana subyek hukum
lainnya melakukan berbagai tindakan baik tindakan nyata (feitelijkhandelingen)
maupun tindakan hukum (rechtshandelingen). Tindakan nyata adalah tindakan-
tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum, sedangkan tindakan hukum menurut
45
Disarikan dari Indroharto, op. cit., hlm. 99-101
R.J.H.M. Huisman, tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu, atau tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban. Sedang tindakan hukum administrasi menurut
H.J. Romeijn, adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ
administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum dalam bidang hukum administrasi.
Tindakan hukum pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari
organ pemerintahan dan membawa akibat pada hubungan hukum atau keadaan
hukum yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat
seperti kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), paksaan (dwang), dan lain-lain
yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang tidak sah. Di samping itu, karena
setiap tindakan hukum itu harus didasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka dengan sendirinya tindakan tersebut tidak boleh
menyimpang atau bertentangan dengan peraturan yang bersangkutan, yang
dapat menyebabkan akibat-akibat hukum yang muncul itu batal (nietig) atau
dapat dibatalkan (nietigbaar).
46
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negra di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 18-19.
F. Macam-macam Tindakan Hukum Pemerintahan.
Ada dua macam tindakan hukum pemerintah yaitu tindakan hukum publik dan
tindakan hukum privat. Tindakan hukum publik berarti tindakan hukum yang
dilakukan tersebut didasarkan pada hukum publik atau yaitu tindakan hukum
yang dilakukan berdasarkan hukum public, sedangkan tindakan hukum privat
adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan. 47
Bab 7
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak
50
Jazim Hamidi, Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di
Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 24.
51
Philipun M. Hadjon, et.al., op. cit., hlm. 270.
52
Ateng Syafrudin, Asas-asas Pemerintahan yang Layak Pegangan bagi Pengabdian Kepala Daerah, vide
Paulus E. Lotulung, op. cit., hlm.65
53
SF. Marbun, pembentukan, Pemberlakuan, dan Peranan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak
dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Bak dan Bersih di Indonesia. Disertasi, Universitas Padjadjaran,
Bandung, 2001, hlm. 72
yang layak dapat dimaknakan sebagai asas hukum yang bahannya digali dan
ditemukan dari unsur susila, didasarkan pada moral sebagai hukum riil, bertalian
erat dengan etika, kesopanan, dan kepatutan berdasarkan norma yang
berlaku.54Berdasarkan keterangan ini tampak, sebagaimana juga disebutkan Jazim
Hamidi,55bahwa sebagian AAUPL masih merupakan asas hukum, dan sebagian
lainnya telah menjadi norma hukum atau kaidah hukum.
57
Sebagian besar rincian tentang asas-asas ini merujuk pada Koentjoro Purbopranoto, op. cit. hlm. 29-39.
vermoeden van rechmatigheid atau presumtio justea causa (praduga rechtmatig),
yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang
dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya
atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim
administrasi.
2/ Asas Keseimbangan.
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian
atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang
jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang
dilakukan seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus
yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian
hukum. Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang
yang berbeda akan dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada,
contoh: Ps. 6 PP No. 30/1980 ttg. Peraturan Disiplin Pegawai, ditentukan adanya: a.
Hukuman disiplin ringan, b. Hukuman disiplin sedang, 3. Hukuman disiplin berat.
A. Pemerintah
Pemerintahan dari kata pemerintah, sedang pemerintah dr kata perintah. W.Y.S.
Poerwadarminta berpendapat:
1. Perintah ialah perkataan yg bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;
2. Pemerintah ialah kekuasaan memerintah sesuatu Negara (daerah Negara) atau
badan yg tertinggi yg memerintah sesuatu Negara (seperti cabinet merupakan
suatu pemerintah);
3. Pemerintahan ialah perbuatan (cara, hal urusan dan sebagainya) memerintah.
B. Fungsi Pemerintah:
1. Primer, adalah fungsi yg terus menerus berjalan dan berhubungan positif dg kondisi
yg diperintah (masyarakat). Artinya, fungsi ini tdk akan berkurang dg situasi dan
kondisi dr masyarakat, baik dr segi ekonomi, politik, social, dan budaya. Semakin
meningkat kondisi yg diperintah maka fungsi ini akan lebih meningkat lagi. Jadi,
fungsi ini tdk terpengaruh oleh apapun. Pemerintah akan tetap konsisten dlm
menjalankan fungsinya.
2. Fungsi Sekunder:
Fungsi yg berhubungan negative dg situasi dan kondisi di masyarakat. Artinya iala
semakin tinggi taraf hidup yg diperintah, maka semakin kuat bargaining position.
Sedangkan apabila semakin integrative masyarakat, maka fungsi sekundrnya akan
berkurang.
Yang termasuk dalam fungsi sekunder:
a. Fungsi Pembangunan (development);
b. Fungsi Pemberdayaan (Empowerment)
4 Ciri Administrasi Publik dlm Pemerintahan yang Baik:
a. Akuntabilitas;
b. Transparan;
c. Keterbukaan (mengajukan tanggapan atau kritik);
d. Aturan Hukum.
C. Perbuatan Pemerintah
Aparat pemerintah dlm melaksanakan tugas, pokok dan fungsinya, mengadakan
hubungan-hubungan hukum baik hubungan itu antara Aparat pemerintah dengan
Aparat Pemerintah, atau hubungan antara Aparat Pemerintah dengan Badan
Hukum, atau hubungan antara Aparat Pemerintah dengan Orang Perseorangan,
dimana dlm hub tsb terbentuklah aktivitas dr Aparat Pemerintah yg dpt kita lihat
disana yg berunsurkan perbuatan-perbuatan Aparat Pemerintah tersebut disebut
Perbuatan Pemerintah (bestuurhandeling).
Syarat-syarat “Keputusan”:
Syarat-syarat materiil:
1. Alat pemerintahan yg membuat keputusan hrs berwenang (berhak);
2. Dalam kehendak alat pemerintahan yg gmembuat keputusan tdk boleh ada
kekurangan yuridis;
3. Keputusan hrs diberi bentuk yg ditetapkan dlm peraturan yg menjadi dasarnya
dan pembuatnya bilamana prosedur itu ditetapkan dg tegas dlm peraturan itu
(rechmatig);
4. Isi dan tujuan keputusan itu hrs sesuai dg isi dan tujuan yg hendak dicapai
(doelmatig).
Syarat-syarat Formil:
1. Syarat-syarat yg ditentukan berhubungan dg persiapan dibuatnya keputusan dan
berhubung dg cara dibuatnya keputusan hrs terpenuhi;
2. Harus diberi bentuk yg telah ditentukan;
3. Syarat-syarat, berhubung dg pelaksanaan keputusan itu;
4. Jangka waktu hrs ditentukan, antara timbulnya hal-hal yg menyebabkan dibuatnya
dan diumumkannya keputusan itu, dan tdk boleh dilupakan.
Bab 9
Instrumen Pemerintah
2. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan adalah merupakan hukum yang in abstracto atau generale norm yang
sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal
yang bersifat umum (generale). 58
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan
dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;
2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang
akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat
dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja;
58
SF.Marbun dan Moh. Mahfud, op. cit., hlm. 94
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah
lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat
kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. 59
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah, yang juga mengikat umum.
a. Pengertian Ketetapan
Ketetapan tata usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman,
Otto Meyer,dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di negeri
Belanda dengan nama beschikking oleh van vollenhoven dan C.W. van der Pot,
yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D. van
Wijk/Willemkonijnenbelt, dan lain-lain, dianggap sebagai “de vader van het
modern beschikkingsbegrip”60 (bapak dari konsep beschikking yang modern).
Di Indonesia istilah beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Istilah
bischikking ini ada yang menerjemahkannya dengan “ketetapan”, seperti E.
Utrecht, Bagir Manan, Sjahran Basah, Indroharto, dll. Dan dengan
“Keputusan”, seperti WF. Prins, Philipus M. Hadjon, SF. Marbun, dll.
Meskipun penggunaan istilah keputusan dianggap lebih tepat, namun digunakan untuk
membedakan dengan penerjemahan “besluit” (keputusan) yang sudah memiliki
pengertian khusus yaitu sebagai keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau
sabagai peraturan perundang-undangan.
Definisi beschikking dari salah satu sarjana, sebagai: suatu tindakan hukum yang
bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan
pemerintah berdasarkan wewenang yuang luar biasa.61
59
A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan,
Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK ke 46, Jakarta 17 Juni 1992, hlm. 3
60
F.C.M.A. Michiels, De Arob – Beschikking, Vuga Uitgeverij B.V., s, Gravenhage, 1987, hlm. 23
61
W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op. cit., hlm. 42
b. Unsur-unsur Ketetapan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5/1986, ketetapan didefinisikan sebagai : “Suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata”. Berdasarkan definisi ini tampak bahwa KTUN memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
- Penetapan tertulis;
- Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
- Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Bersifat konkret, individual, dan final;
- Menimbulkan akibat hukum;
- Seseorang atau badan hukum perdata.
4. Peraturan Kebijaksanaan.
Di dalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi Negara, pemerintah banyak
mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam bentuk seperti beleidslijnen
(garis-garis kebijaksanaan), het beleid (kebijaksanaan), voorschriften (peraturan-
peraturan), richtlijnen (pedoman-pedoman), regelingen (petunjuk-petunjuk),
circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi), aanschrijvingen (instruksi-
instruksi), beleidsnota’s (nota kebijaksanaan), reglement ministriele (peraturan-
peraturan menteri,beschikkingen (keputusan-keputusan), en bekenmakingen
(pengumuman-pengumuman). Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai
bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, karenanya
tidak dapat merubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan.
Peraturan ini adalah semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum.
Oleh karena itu peraturan ini disebut pula dengan istilah pseudo-wetgeving
(perundang-undangan semu) atau spigelsrecht (hukum bayangan/cermin).
Ciri-ciri peraturan kebijaksanaan, menurut Bagir Manan, sebagai berikut:
a. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-
undangan.
b. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan
kebijaksanaan .
c. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid,
karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan
untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut.
d. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freis Ermessen dan
ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat
peraturan perundang-undangan.
e. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan
pada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas
umum pemerintahan yang layak.
f. Dalam praktek diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis
aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman
dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.
5.Rencana-rencana
Sebagai organisasi, pemerintahan memiliki tujuan yang hendak dicapai, yang tidak
berbeda dengan organisasi pada umumnya terutama dalam hal kegiatan yang akan
diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan, yakni dituangkan dalam bentuk
rencana-rencana. Bahkan dapa dikatakan bahwa menjalankan (pemerintahan)
adalah merencanakan (kegiatan pemerintahan), besturen is plannen, besturen is
vanouds plannen maken, vooruitzien, geweest, (sejak dahulu, menjalankan
{pemerintahan} adalah membuat rencana-rencana, dengan pandangan jauh ke
depan).
Tujuan Negara Indonesia tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yang
mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan Negara hukum yang menganut
konsepsi welfare state. Sebagai Negara hukum yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan umum.
Perencanaan ini terdiri dari prognoses (estimasi yang akan terjadi), beleidsvoornemens
(rancangan kebijakan yang akan ditempuh), voorzieningen (perlengkapan
persiapan), afspraken (perjanjian lisan), beschikkingen (ketetapan-ketetapan), dan
regelingen (peraturan-peraturan).
Perencanaan terbagi dalam tiga kategori yaitu; pertama, perencanaan informative
(informatieve planning) yaitu rancangan estimasi mengenai perkembangan
masyarakat yang dituangkan dalam alternative-alternatif kebijakan tertentu.
Rencana seperti ini tidak memiliki akibat hukum bagi warga Negara; kedua,
perencanaan indikatif (indicatieve planning) adalah rencara-rencana yang memuat
kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dan mengindikasikan bahwa kebijakan itu
akan dilaksanakan. Kebijakan ini masih harus diterjemahkan ke dalam keputusan-
keputusan operasional atau normative. Ketiga, perencanaan operasional atau
normative merupakan rencana-rencana yang terdiri dari persiapan-persiapan,
perjanjian-perjanjian, dan ketetapan-ketetapan. Rencana tata ruang, pencana
pengembangan perkotaan, rencana pembebasan tanah, rencana peruntukan,
rencana pemberian subsidi, dan lain-lain adalah contoh-contoh dari rencana
operasional atau normative.
Disamping pembagian tersebut, perencanaan juga dibagi berdasarkan waktu, tempat,
bidang hukum, sifat, metode, dan sarana. Berdasarkan waktu: panjang, menengah,
dan pendek. Berdasarkan tempat: pusat, propinsi, dan kabupaten, ataupun
rencana-rencana sektoral. Berdasarkan hukum, seperti: rencana tata ruang,
ekonomi, sosial, kesehatan dll. Berdasarkan sifatnya: perencanaan sektoral,
bidangnya, dan perencanaan integral. Berdasarkan metodenya: perencanaan akhir
dan proses. Berdasarkan sarananya: memerlukan instrument yuridis, financial dan
organisasi.
Unsur-unsur rencana:
a/ tertulis; b/ keputusan atau tindakan terkandung pilihan; c/ oleh organ pemerintahan;
d/ ditujukan pada waktu yang akan datang; e/ seringkali berbentuk tindakan-
tindakan atau keputusan-keutusan; f/ memiliki sifat yang tidak sejenis, beragam; g/
keterkaitan, seringkali secara programatis; h/ untuk jangka waktu tertentu; i/
gambaran tertulis.
6.Perizinan
N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan
sempit yaitu sebagai berukut:
Izin adalah salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum
adiministrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
mengemudikan tingkah laku para warga.
Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan
larangan perundangan.
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut
perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan
pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin.
Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada
umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai
suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.
Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang
tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat
melakukan pengawasan sekedarnya.
Yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang,
terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang
disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu
bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan dalam
keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang
diperkenankan dilakukan dengancara tertentu (dicantumkan ketentuan-
ketentuannya).
Unsur-unsur Perizinan terdiri dari: a/ instrument yuridis; b/ peraturan perundang-
undangan; c/ organ pemerintah; d/ peristiwa konkret; e/ prosedur dan persyaratan.
Fungsi Izin selaku ujung tombak instrument hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan
perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan.
Tujuan Izin secara umum adalah:
a/ Mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu; b/ Mencegah bahaya bagi lingkungan; c/
Melindungi obyek-obyek tertentu; d/ Membagi benda-benda yang sedikit (izin
penghuni di daerah padat benduduk0; e/ Pengarahan, dengan menyeleksi orang-
orang dan aktivitas-aktivitas.
Bentuk izin sesuai dengan sifatnya, yang merupakan bagian dari ketetapan, selalu
dibuat dalam bentuk tertulis.
Isi izin memuat:
a/ Organ yang berwenang; b/ Yang dialamatkan; c/ diktum; d/ Ketentuan-ketentuan,
pembatasan-pembatasan dan syarat-syarat; e/ pemberian alasan; f/
pemberitahuan-peberitahuan tambahan.
Bav 10
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige overheids daad)
Pengertian PMH tdk statis, putusan Hoge Raad (Pengadilan Tinggi Nederland) tgl 31
Januari 1919, bahwa “onrechtmatige” tdk sj perbuatan yg melanggar UU atau hak
orang lain, ttp jg tiap perbuatan yg berlawanan dg “kepatutan yg hrs diindahkan
dlm pergaulan masy. Thd pribadi atau benda org lain”.
Putusan MA tanggal 3 Maret 1970 Reg No.838/K/Sip/1970 mempertimbangkan
antara lain: “Bahwa soal perbuatan melawan hukum oleh Penguasa hrs diukur
dg UU dan peraturan-peraturan formal yg berlaku dan kepatutan dalam
masyarakat”.
Jadi tidak hanya melanggar UU (Onwetmatig) saja.
Apabila perbuatan aparat pemerintah itu jelas bertentangan dg undang-undang
(onwetmatig), maka dialah secara individu yg bertanggung jawab. Hal ini wajar,
karena justru dalam melaksanakan fungsinya aparat pemerintah harus benar-
benar memperhatikan UU sbg dasar dari perbuatannya;
Apabila perbuatan aparat pemerintah yg menimbulkan kerugian pihak
administrable (pihak yg dikenai keputusan) itu sbg akibat sbg akibat dr
perbuatan yg melanggar hak org lain, bertentangan dg sikap hati-hati, ataupun
bertentangan dg kelayakan yg terjadi di masyarakat, tg jwb mgkn dibebankan
kepada negara, namun dpt jg dibebankan kpd individu aparat pemerintah itu
sendiri;
Apabila jelas perbuatan itu dilakukan dg kesengajaan ataupun sepatutnya dia
menduga bahwa perbuatan itu dpt menimbulkan kerugian pd pihak
administrabele (yg dikenai keputusan), maka tg jwb ada pd individu aparat
pemerintah itu sendiri;
Apabila dlm perbuatan tsb ternyata tdk ada unsur kesengajaan negara yg hrs
memikul tg jwb;
Terhadap perbuatan yg “rechtmatig” akan tetapi menimbulkan kerugian jg
administrabele, sepenuhnya menjadi tg jwb negara.
Bab 10
Pengawasan Terhadap Perbuatan Pemerintah/Alat Administrasi Negara
Struktur organisasi dari instansi pemerintah secara umum ialah Eselon I, Eselon
II, Eselon III, Eselon IV, dan ada juga yang sampai Eselon V (Staff/Fungsional
Umum).
Semua Eselon wajib diikutkan Pendidikan dan Latihan (Diklat) untuk melakukan
sinkronisasi, sosialisasi dan memberikan penafsiran yang sama antar aparatur
pemerintah sebelum melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi).
Semua aparatur pemerintah perlu memahami peraturan perundang-undangan
yang dijadikan dasar bagi Eselon I (Badan/Pejabat Tata Usaha Negara) dlm
mengeluarkan KTUN, agar semua memahan peraturan dasar utk mengeluarkan
keputusan yang menjadi Tupoksi mereka.
Ada 2 Proses Pengawasan terhadap Aparatur Pemerintah:
1. Pengawasan sebelum mengeluarkan keputuasan, yakni dilakukan secara internal
instansi. Misal: nasehat, arahan, koreksi, petunjuk dan arahan;
2. Pengawasan sesudah mengeluarkan keputusan, yakni dilakukan secara internal
dan eksternal. Bila KTUN melanggar UU, maka harus dikembalikan thd perat per-
UU-an yg memberi kewenangan dan dasar hk nya
3. Jika dlm perat per-UU-an yg mengatur ttg sanksi, maka pejabat TUN hrs diberi
sanksi. Hal ini merup bentk pengawasan sbg efek jera dan tdk mengulangi
perbuatannya.
Bab 11
Penegakan Hukum
4. Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang ditegakkan tidak multi tafsir, terang dan
jelas, sehingga aparat penegak hukum tidak kesulitan dan bias dalam
menegakkan hukum.
Bab 12
Pertanggungjawaban Pemerintah
Penguasa melakukan PMH krn melanggar hak subjektif org lain apabila:
1. Penguasa melakukan perbuatan yg bersumber pd hubungan hukum perdata
serta melanggar ketentuan dlm hukum tsb;
2. Penguasa melakukan perbuatan yg bersumber pd hukum publik serta melanggar
ketentuan kaidah hukum tsb
3 Kategori PMH:
1. PMH krn kesengajaan;
2. PMH tanpa kesengajaan;
3. PMH krn kelalaian.
Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi: “Seseorang atau badan hokum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha
negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
64
SF. Marbun, Peradilan…, op. cit., hlm. 79-80
berisi tuntutan agar keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau
rehabilitasi”. Di dalam Pasal 53 ayat (2)disebutkan mengenai tolok ukur untuk menilai
keputusan tata usaha Negara yang digugat yaitu sebagai berikut:
a. Keputusan tata usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimadsud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut.
Pasal 53 ayat (2) diatas kini telah diubah dengan UU no. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, menjadi berbunyi:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Di dalam penjelasannya disebutkan secara terinci alasan-alasan tersebut, yaitu:
Pertama, keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai “bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang bersangkutan itu”
a. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat procedural/formal. Contoh, sebelum keputusan
pemberhentian dikeluarkan seharunya pegawai yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri;
b. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat materiil/substansial. Contoh, keputusan di tingkat
banding administrative, yang telah salah menyatakan gugatan penggugat
diterima atau tidak diterima;
c. Dikeluarkan oleh Badan atu Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang.
Contoh, peraturan dasarnya telah menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk
mengambil keputusan.
Kedua, dasar pembatalan ini sering dapat disebut penyalahgunaan wewenang. Setiap
penentuan norma-norma hokum di dalam tiap peraturan itu tentu dengan tujuan dan
maksud tertentu. Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut harus seuai dengan
tujuan dan maksud khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Dengan
demikian, peraturan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan guna
mencapai hal-hal yang di luar maksud tersebut. Dengan begitu wewenang materiil
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam mengeluarkan
keputusan tata usaha Negara juga terbatas ruang lingkup maksud bidang khusus yang
telah dibentukan dalam peraturan dasarnya.
Ketiga, dasar pembatalan ini sering disebut larangan berbuat sewenang-wenang.
Suatu peraturan dasar yang memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara adakalanya mengatur secara sangat terperinci dan ketat apa yang harus
dilaksanakan dan mengikat Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan
urusan pemerintahan.
D. Petanggungjawaban Pemerintah.
Pemerintah adalah subyek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban hukum,
dengan dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum dan wakil dari
jabatan pemerintaha. Sebagai subyek hukum, pemerintah dapat melakukan perbutan
hukum, yakni perbuatan hukum yang ada relevansinya dengan hukum atau perbuatan
yang dapat menimbulkan akibat-akibat hukum. Akibat hukum yang positive tidak
relevan dengan pertanggungjawaban, sedang akibat hukum negative memiliki relevansi
dengan pertanggungjawaban karena dapat memunculkan tuntutan dari piha yang
terkena akibat hukum yang negative. Dalam Negara hukum, setiap subyek hukum baik
itu pemerintah maupun wara Negara yang melanggar hukum atau subyek hukum yang
tindakannya menimbulkan akibat hukum, maka subyek hukum itu harus
mengembalikan pada keaadaan semula (herstel in den vorige toestand).
Penentuan tanggung jawab atas kerugian adalah melalui proses peradilan dan telah ada
putusan (vonnis) hakim yang berkekuatan hukum (rechtskrachtig) tetap.
Ada beberapa asas hukum administrasi yang menghambat, yaitu:
1. asas bahwa terhadap benda-benda publik tidak dapat diletakkan sita
jaminan;
2. asas “rechtmatigheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi asas ini
adalah kewenangan. Pejabat atasan tidak dibenarkan menerbitkan KTUN
yang seharusnya menjadi wewenang pejabat tertentu di bawahnya.
Dengan demikian andaikata pejabat atasan memerintahkan pejabat di
bawahnya untuk menerbitkan sebuah KTUN dan ternyata tidak
dilakukan, pejabat atasan tidak bisa menerbitkan KTUN tersebut;
3. asas bahwa kebebasan pejabat pemerintahan tidak bisa dirampas.
Kemungkinan dari asas ini misalnya tidak mungkin seorang pejabat
dikenai tahanan rumah karena tidak melaksanakan putusan pengadilan
TUN;
4. asas bahwa Negara (dalam hal ini) pemerintah selalu harus dianggap
“solvable” (mampu membayar).66
Apakah pejabat yang bersangkutan –secara pribadi sebagai natuurlijke persoon- bebas
dari tanggung jawab hukum?
65
Ridwan H.R., op. cit. hlm. 237,
66
Philipus M. Hadjon, et.al., op. cit. hlm. 369.
Ada dua teori; pertama, teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa
kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena
tindakannya itu telah menimbulkan kerugian; Kedua, teori fautes de services, yaitu
teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada
instansi dari pejabat yang bersangkutan. 67
Agaknya teori kedua yang banyak dianut, karena teori pertama sukar untuk diterapkan
dalam praktek, terutama kesukaran dalam membuktikan kesalahan subyektif pejabat
pemerintah ketika ia menjalankan tugas-tugas publik. Hukum positif di Indonesia juga
menganut teori yang kedua. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 43 Tahun
1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada PTUN disebutkan bahwa
“Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”, dan “Ganti rugi yang menjadi
tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Dengan demikian, tampak bahwa pejabat
pemerintah atau administrai Negara itu tidak dibebani tanggung jawab hokum secara
pribadi, ketika KTUN yang dibuat dan diterbitkan oleh pejabat yang bersangkutan
menimbulkan kerugian pada pihak ketiga.
67
Kranenburg dan Vegting, op, cit., hlm. 171.