Anda di halaman 1dari 123

Jendela Ilmu Publishing

Judul:

MARI BELAJAR

Edisi 4

Penulis:
Abu Ibrohim Ari bin Salimin

Penerbit:
Jendela Ilmu Publishing
Buayan, Buayan, Kebumen, Jateng

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2
MUQADDIMAH............................................................................................................ 4
MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT ............................................................................. 5
KEUTAMAAN DUA KALIMAT SYAHADAT .................................................................. 16
SYARAT-SYARAT KALIMAT LAA ILAAHA ILLALLAAH .................................................. 22
AMALAN YANG DITERIMA ........................................................................................ 30
WAJIBNYA MENELADANI RASULULLAH DALAM BERIBADAH .................................. 38
MAKNA SUNNAH ....................................................................................................... 46
KEDUDUKAN SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM ...................................................... 52
BERPEGANG TEGUH DENGAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH SESUAI
PEMAHAMAN SAHABAT NABI ADALAH KUNCI KESELAMATAN .............................. 57
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH ................................................................................ 62
MAKNA BID’AH .......................................................................................................... 69
CONTOH-CONTOH BID’AH ........................................................................................ 75
BAHAYA BID’AH ......................................................................................................... 79
KEMULIAAN PARA ULAMA........................................................................................ 85
KETIKA KITA MENDAPAT NASEHAT .......................................................................... 88
KATA HATI SEORANG DA’I......................................................................................... 91
SHALATMU SHALATMU............................................................................................. 92
LEBIH BAIK DARI DUNIA DAN SEISINYA, MAU? ........................................................ 95
MENDIDIK DENGAN KETELADANAN ......................................................................... 96
AKU PULANG PAK… AKU PULANG BU... ................................................................... 99
PAHAMILAH KADAR DIRIMU................................................................................... 103
KETIKA KITA MENULIS ............................................................................................. 105
TERIMAKASIH KITA UNTUK MEREKA ...................................................................... 108
DI BALIK NASEHAT MEREKA .................................................................................... 110

2
KAKIMU AURATMU ................................................................................................. 112
SIBUKLAH MEMBICARAKAN TAUHID, JANGAN SIBUK MEMBICARAKAN
POLITIK..................................................................................................................... 114
MENCATATLAH ........................................................................................................ 116
DI ANTARA KETELADANAN ULAMA ........................................................................ 117
PELAJARILAH BAHASA ARAB ................................................................................... 118
PESAN UNTUK PARA PEROKOK............................................................................... 119
AKHLAK MULIA ........................................................................................................ 120
PENUTUP ................................................................................................................. 121

3
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah, semoga shalawat serta salam senantiasa
terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, buku “Mari Belajar Agama Islam” kini kami lanjutkan
dengan edisi yang keempat. Di edisi ini kami lebih banyak menyajikan tema
akidah (keyakinan) dan manhaj (cara beragama), dimana kedua tema ini
memang sangat penting lagi mendasar dan sangat dibutuhkan oleh setiap
muslim, apalagi bagi yang baru awal-awal ingin memperdalam belajar
agama Islam. Sesungguhnya kebenaran itu telah jelas, dan kebatilan pun
telah jelas. Jika kita benar-benar mencari hidayah, maka insyaallah pasti
Allah tunjuki kita ke jalan hidayah itu, sesuai dengan janji Allah ta'ala yang
telah berfirman:

‫َّه ْم ُسبُػلَنَا‬ ِ ِ ِ َّ‫وال‬


ُ ‫اى ُدوا فينَا لَنَػ ْهديَػنػ‬
َ ‫ين َج‬‫ذ‬
َ َ
"Orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS al-
Ankabut [29]: 69)
Selain itu juga masih kami sajikan tema lainnya yang menarik dan
penting untuk kita simak bersama insyaallahu ta’ala.
Semoga kami tetap bisa berbagi ilmu dan mengedepankan kepada
pembaca sekalian tema-tema yang menarik lainnya pada kesempatan yang
lain. Segala kritik dan saran yang membangun insyaallah akan kami terima
agar semakin memperbaiki buku ini.
Harapan kami semoga apa yang kami tulis ini Ikhlas dan bermanfaat
untuk diri kami pribadi, kedua orang tua kami, dan kaum muslimin.
__________________________________
Selasa, 18 Dzul Hijjah 1440 H
Karangduwur, Petanahan, Kebumen
Abu Ibrohim Ari bin Salimin

4
MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT
Sebagai seorang muslim atau sebagai orang yang mengucapkan dua
kalimat syahadat, kita haruslah mengetahui maknanya agar bisa
mengamalkannya, sehingga kita menjadi muslim sejati yang akan
mendapatkan keutamaan dua kalimat syahadat yang telah kita ucapkan.
Yang mana dua kalimat syahadat ini adalah syarat mutlak seseorang bisa
meraih kebahagiaan di akhirat berupa surga.
Makna Syahadat Laa Ilaaha Illallaah
Sesungguhnya kalimat laa ilaaha illallaah adalah kalimat tauhid,
maksudnya bahwa kalimat ini mengandung makna yang agung berupa
keharusan mengesakan Allah subhanahu wa ta'ala, yaitu menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan dengan memurnikan ibadah hanya
kepada-Nya saja dan meninggalkan perbuatan menjadikan tandingan bagi
Allah (kesyirikan) dengan segala macam bentuknya. Kalimat laa ilaaha
ُ ‫ق ِإ اَل‬
illallaah mengandung makna ‫للا‬ ٍّ ّ ‫( اَل ام ْعب ُْودا ِب اح‬tidak ada sesembahan yang
berhak diibadahi dengan benar selain Allah).
Para ulama telah menjelaskan bahwa kalimat laa ilaaha illallah
memiliki dua rukun, yaitu an-Nafyu (peniadaan) dan al-Itsbat (penetapan).
Rukun pertama ada pada kalimat “laa ilaaha” (tidak ada
sesembahan), yang mengandung makna peniadaan sesembahan selain
Allah. Artinya ketika kita telah mengucapkan laa ilaaha illallaah, maka kita
harus meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa semua yang diibadahi dan
dianggap tuhan selain Allah adalah bukan tuhan, semuanya adalah tuhan
yang palsu. Sehingga kita harus meniadakan dan berlepas diri dari seluruh
peribadahan kepada selain Allah, karena itu adalah kesyirikan. Sehingga kita
pun harus membencinya, meninggalkannya, dan menjauhinya sejauh-
jauhnya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
ِ ‫َف ما ي ْدعو َف ِمن دونِِو ىو الْب‬
‫اط ُل‬ َّ ‫أ‬
‫و‬ ‫ق‬
ُّ ‫اْل‬
ْ ‫و‬‫ى‬ ‫اَّلل‬
َّ َّ
‫َف‬ ِ
‫ِب‬ ‫ك‬ ِ‫َذل‬
َ َُ ُ ْ ُ َ َ َ َ َُ َ َ

5
“Demikianlah (kebesaran Allah), karena Allah Dialah (Tuhan) Yang Haq
(benar). Dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah tuhan yang batil
(palsu).” (QS. al-Hajj [22]: 62)
Allah ta'ala juga telah berfirman:

‫ك ِِبلْعُْرَوِة الْ ُوثْػ َقى ََل‬ ِ ‫َّلل فَػ َق‬


َِّ ‫وت ويػؤِمن ِِب‬
ِ ُ‫فَمن ي ْك ُفر ِِبلطَّاغ‬
َ ‫استَ ْم َس‬
ْ ‫د‬ ْ
ْ َُ ْ َ َْ
‫ص َاـ ََلَا‬ ِ ْ‫ان‬
‫ف‬
َ
“Barangsiapa yang kufur (ingkar) kepada thaghut (berhala) dan beriman
kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang teguh kepada buhul tali
yang sangat kokoh dan tidak akan putus.” (QS. al-Baqarah [2]: 256)
Rukun yang kedua ada pada kalimat “illallaah” (kecuali Allah), yang
mengandung makna penetapan bahwasanya satu-satunya Tuhan yang
berhak diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa ta'ala saja, sehingga kita
harus menujukan ibadah kita hanya untuk Allah ta'ala saja, tidak kepada
yang lain-Nya. Allah 'azza wa jalla telah berfirman:

ُ‫ك أَََّل تَػ ْعبُ ُدوا إََِّل إِ ََّّيه‬


َ ُّ‫ضى َرب‬
َ َ‫َوق‬
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain
Dia.” (QS. al-Isra’ *17+: 23)
Allah ta'ala juga telah berfirman:

ََّ ‫اب تَػ َعالَْوا إِ ََل َكلِ َم ٍة َس َو ٍاء بَػْيػنَػنَا َوبَػْيػنَ ُك ْم أَََّل نَػ ْعبُ َد إََِّل‬
‫اَّلل‬ ِ َ‫قُل َّي أ َْىل الْ ِكت‬
َ َ ْ
َِّ ‫وف‬
‫اَّلل‬ ِ ‫ضا أَرِبِب ِمن د‬ ‫ع‬ ‫ػ‬‫ب‬ ‫ا‬ ‫ن‬‫ض‬ ‫ع‬ ‫ػ‬‫ب‬ ‫ذ‬َ ِ ‫وََل نُ ْش ِرَؾ بِِو َشيػئا وََل يػت‬
‫َّخ‬
ُ ْ ً َْ ْ َ ْ َ َ َ ًْ ً َ ُ َ
“Katakanlah (wahai Nabi Muhammad): ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah kita
menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kalian,
bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan ktia tidak mempersekutukan-

6
Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain
tuhan-tuhan selain Allah.” (QS. Ali Imran *3+: 64)
Jadi makna syahadat laa ilaaha illallaah (persaksian bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah) adalah
seseorang mengucapkan dengan lisannya dan meyakini dengan hatinya
bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah, mengingkari seluruh
peribadahan kepada selain Allah dan menetapkan bahwa peribadahan
hanyalah hak Allah semata, kemudian ia berpegang teguh dengan kalimat ini
beserta kandungannya hingga ajal menjemputnya.
Maksud berpegang teguh yaitu tetap meyakini bahwa tidak ada yang
berhak diibadahi selain Allah dengan seyakin-yakinnya, meskipun mendapat
sesuatu yang tidak disukai, baik berupa musibah, dicela, disiksa, bahkan
dibunuh sekalipun, maka selamanya keyakinannya tidak akan pernah
berubah, sebagaimana hal ini diamalkan oleh para sahabat Nabi terdahulu
terutama di awal-awal kemunculan agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman tentang seorang Nabi
teladan yang sangat berpegang teguh dengan kalimat laa ilaaha illallaah ini,
beliau adalah Nabi Ibrahim 'alaihissalam:

‫َوإِ ْذ قَ َاؿ إِبْػَر ِاى ُيم ِِلَبِ ِيو َوقَػ ْوِم ِو إِنَِِّن بَػَراءٌ ِّمَّا تَػ ْعبُ ُدو َف إََِّل الَّ ِذي فَطََرِِن فَِإنَّ ُو‬
‫َسيَػ ْه ِدي ِن َو َج َعلَ َها َكلِ َم ًة َِبقِيَةً ِِف َع ِقبِ ِو لَ َعلَّ ُه ْم يَػْرِجعُو َف‬
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya,
‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali
(kalian menyembah) Allah yang menciptakanku; karena sungguh Dia akan
memberiku petunjuk.’ Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat
yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali kepada (kalimat tauhid
itu).” (QS. az-Zukhruf [43]: 26-28)

7
Catatan:
Ada yang memaknai kalimat laa ilaaha illallaah dengan tidak ada
tuhan selain Allah, yaitu tidak ada yang menciptakan, memberi rizki,
mengatur alam semesta kecuali Allah. Maka makna ini tidaklah tepat,
karena seandainya maknanya demikian, tentulah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tidak akan memerangi orang-orang Quraisy yang
menyembah berhala, karena mereka juga mengakui hal tersebut,
sebagaimana Firman Allah:

‫س َوالْ َق َمَر لَيَػ ُقولُ َّن‬ ‫َّم‬


‫الش‬ ‫ر‬ ‫خ‬
َّ ‫س‬ ‫و‬ ‫ض‬ ‫َر‬‫اِل‬
ْ ‫و‬ ِ ‫السماو‬
‫ات‬ َّ ‫ق‬ ‫ل‬
َ ‫خ‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ػ‬‫ت‬ ‫ل‬
َْ‫أ‬‫س‬ ‫ن‬ ِ‫ولَئ‬
َ ْ َ َ َ َ ْ َ ََ َ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ
ُ‫اَّلل‬
َّ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang
menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu
mereka akan menjawab: ‘Allah’.” (QS. al-Ankabut [29]: 61)
Namun ternyata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi
mereka, kenapa? karena mereka masih beribadah kepada selain Allah. Hal
ini menunjukkan bahwa orang-orang yang meyakini tidak ada yang
menciptakan, memberi rizki, mengatur alam semesta selain Allah, tapi
masih beribadah kepada selain Allah, belumlah cukup menjadikannya
sebagai seorang muslim. Oleh karena itulah, makna yang benar dari kalimat
laa ilaaha illallaah adalah tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali Allah.
Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Syahadat yang kedua adalah syahadat Muhammad Rasulullah
(persaksian bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah). Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan rasul (utusan) Allah
yang mendapat wahyu dari-Nya. Allah mengutus beliau untuk
menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat manusia, dan beliau

8
adalah utusan Allah yang terakhir, beliau adalah penutup para Nabi dan
Rasul 'alaihimussalam.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
َِّ ‫وؿ‬َ ‫َح ٍد ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم َولَ ِك ْن َر ُس‬
َ ِّ‫اَّلل َو َخ َاَتَ النَّبِي‬
‫ي‬ َ ‫َما َكا َف ُُمَ َّم ٌد أ ََِب أ‬
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kalian, tetapi dia
adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. al-Ahzab [33]: 40)
Allah 'azza wa jalla juga telah berfirman:

‫َّاس بَ ِش ًريا َونَ ِذ ًيرا‬


ِ ‫اؾ إََِّل َكافَّةً لِلن‬
َ َ‫َوَما أ َْر َسْلن‬
“Dan Kami tidak mengutus engkau (wahai Nabi Muhammad), melainkan
kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan.” (QS. Saba’ *34+: 28)
Ketika seseorang menyatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam adalah Rasulullah, maka konsekuensinya (keharusannya)
adalah:
1. Mentaati apa yang beliau perintahkan
Alhamdulillah semua yang diperintahkan baik oleh Allah ta'ala maupun
oleh rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kebaikan. Oleh
karenanya jika ada perintah Allah dan Rasul-Nya, maka kita harus
mentaatinya meskipun hal itu bertentangan dengan hawa nafsu kita,
karena di dalamnya pasti mengandung kebaikan, dan kita harus yakini itu
meskipun kita belum tahu kebaikan apakah itu. Allah ta'ala berfirman:

‫ين‬ِ
‫ر‬ ِ‫ب الْ َكاف‬
ُّ ُِ ‫اَّلل ََل‬
‫ُي‬ َّ َّ
‫ف‬ َِ‫وؿ فَِإ ْف تَػولَّوا ف‬
‫إ‬ َ ‫س‬ ‫الر‬
َّ ‫و‬ ‫اَّلل‬
َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫يع‬ ِ ‫قُل أ‬
‫َط‬
َ َ َْ ُ ََ ُ ْ
“Katakanlah (wahai Nabi Muhammad); ‘Taatilah Allah dan Rasul.’ Jika
mereka berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang
kafir.” (QS. Ali Imran *3+: 32)

9
‫وؾ فِ َيما َش َجَر بَػْيػنَػ ُه ْم ُُثَّ ََل ََِي ُدوا ِِف‬ َ ‫ك ََل يػُ ْؤِمنُو َف َح ََّّت ُُيَ ِّك ُم‬
َ ِّ‫فَ ََل َوَرب‬
‫ت َويُ َسلِّ ُموا تَ ْسلِ ًيما‬ ‫ي‬‫ض‬ ‫ق‬ ‫ا‬َّ
‫ّم‬ِ ‫أَنْػف ِس ِهم حرجا‬
َ َْ َ ً ََ ْ ُ
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sebelum mereka
menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa’ *4+: 65)
2. Membenarkan apa yang beliau kabarkan
Apa yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika
datang dari hadits-hadits yang telah tetap berasal dari beliau, maka kita
harus mempercayainya dan mengimaninya. Ini adalah kewajiban, karena
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah berkata kecuali berdasarkan
wahyu dari Allah 'azza wa jalla. Allah ta'ala berfirman:

‫وحى‬‫ي‬ ‫ي‬ ‫ح‬‫و‬ َّ


‫َل‬ ِ‫إ‬ ‫و‬‫ى‬ ‫ف‬
ْ ِ
‫إ‬ ‫ى‬‫و‬ ‫َل‬
ْ ‫ا‬ ِ
‫ن‬ ‫ع‬ ‫ق‬‫ط‬ِ ‫وما يػْن‬
َ ُ ٌَْ َ ُ ََ َ ُ َ ََ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. an-Najm [53]: 3-4)
Dan banyak perkara-perkara ghaib yang telah beliau kabarkan; seperti
tentang Malaikat, Jin, kehidupan setelah kematian, hari Kiamat, nikmat
surga, siksa neraka dan yang lainnya, maka kita harus mempercayai
kebenarannya tanpa keraguan sedikitpun.
3. Menjauhi apa yang beliau larang
Alhamdulillah semua yang dilarang baik oleh Allah ta'ala maupun oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah keburukan. Oleh
karenanya jika ada larangan Allah dan Rasul-Nya, maka kita harus
meninggalkannya dan menjauhinya meskipun hawa nafsu kita
menginginkannya, karena di dalamnya pasti mengandung keburukan,

10
dan kita harus yakini itu meskipun kita belum tahu keburukan apakah itu.
Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman:

‫وؿ فَ ُخ ُذوهُ َوَما نَػ َها ُك ْم َعْنوُ فَانْػتَػ ُهوا‬


ُ ‫الر ُس‬
َّ ‫آَت ُك ُم‬
َ ‫َوَما‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr [59]: 7)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫استَطَ ْعتُ ْم فَِإََّّنَا‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ن‬


ْ ِ ‫ما نَػهيػتُ ُكم عْنو فَاجتَنِبوه وما أَمرتُ ُكم بِِو فَافْػعلُوا‬
‫م‬
ْ َُ َ ْ َْ َ َ ُ ُ ْ ُ َ ْ َْ َ
‫اختَِلَفُػ ُه ْم َعلَى أَنْبِيَائِ ِه ْم‬‫و‬ ‫م‬ ِ
‫ه‬ ِ‫أَىلَك الَّ ِذين ِمن قَػبلِ ُكم َكثْػرةُ مسائِل‬
ْ َْ ََ َ ْ ْ ْ َ َ ْ
“Apa yang aku larang bagi kalian maka jauhilah, dan apa yang aku
perintahkan pada kalian maka laksanakanlah semampu kalian,
sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena
banyaknya pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap nabi-
nabi mereka.” (HR. Muslim 1337)
Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
ِ ‫وؿ‬
‫ َوَم ْن ََيْ َب؟‬،‫هللا‬ َ ‫ ََّي َر ُس‬:‫اْلَنَّةَ إََِّل َم ْن أ ََب قَالُْوا‬
ْ ‫ُك ُّل أ َُّم ِ ْت يَ ْد ُخلُْو َف‬
ِ َ ‫ َوَم ْن َع‬،َ‫اْلَنَّة‬
‫اِن فَػ َق ْد أ ََب‬ ْ ‫اع ِ ِْن َد َخ َل‬
َ َ‫ َم ْن أَط‬:‫قَ َاؿ‬
ْ ‫ص‬
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?” beliau menjawab:
“Siapa yang mentaatiku maka ia masuk surga, dan siapa yang tidak mau
mentaatiku maka ia telah enggan.” (HR. Bukhari 7280)
4. Tidak beribadah kepada Allah kecuali hanya dengan mengikuti
tuntunan (syari’at) beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
Sebagai manusia, kita diciptakan untuk beribadah kepada Allah ta'ala,
sedangkan kita tidak tahu cara beribadah kepada Allah ta'ala tanpa

11
bimbingan wahyu dari-Nya. Maka Allah pun mengutus Rasul-Nya dengan
membawa wahyu untuk menjelaskan bagaimana cara kita beribadah
kepada Allah ta'ala. Oleh karena itulah kita tidak boleh beribadah kecuali
hanya dengan mengikuti tuntunan/ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam. Bahkan ketika seseorang beribadah tanpa ada tuntunan dari
beliau shallallahu 'alaihi wa sallam maka ibadahnya tertolak dan tidak
akan diterima oleh Allah 'azza wa jalla.

‫س‬ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫ى‬
َ ‫َن‬
َ‫ر‬ِ ‫ث ِ ِْف أ َْم‬
َ ‫د‬
َ ‫َح‬
ْ ‫أ‬ ‫ن‬
ْ ‫م‬
َ :‫اؿ‬
َ ‫ق‬
َ ‫ملسو هيلع هللا ىلص‬ ِ‫َع ْن َعائِ َشةَ اهنع هللا يضر َع ِن الن‬
‫َّب‬
ِ
َ ّ
‫ِمْنوُ فَػ ُه َو َرّّد‬
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan
agama kami ini yang tidak ada tuntunannya, maka amalan tersebut
tertolak.” (HR. Bukhari 7349 dan Muslim 1718)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah bersabda:

ُّ ‫ين ََتَ َّس ُك ْوا ِِبَا َو َع‬


‫ض ْوا‬ ِ ‫اْللَ َف ِاء الْمه ِديِي الَّر ِاش‬
‫د‬ ْ ِ ‫فَػعلَي ُكم بِسن َِّت وسن‬
‫َّة‬
َ َ ّ ْ َ ُ َُ ْ ُ ْ َْ
‫َعلَْيػ َها ِِبلنػ ََّو ِاج ِذ َوإِ ََّّي ُك ْم َوُُْم َد ََث ِت اِل ُُموِر فَِإ َّف ُك َّل ُُْم َدثٍَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل‬
ٌ‫ضَلَلَة‬ ٍ ‫بِ ْدع‬
‫ة‬
َ َ
“Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnahnya al-
Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah ia erat-erat dan
gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh kalian perkara yang
diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan itu adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.’” (HR. Abu Dawud 4609,
Ahmad 17144, Ibnu Majah 42, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahihul Jami’is Shaghir 2549)

12
Jadi makna syahadat Muhammad Rasulullah (persaksian bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah) yaitu seseorang mengucapkan dengan
lisannya dan meyakini seyakin-yakinnya dengan hatinya, bahwa Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan utusan-
Nya kepada seluruh umat manusia, dan bahwa beliau adalah penutup para
Nabi dan Rasul, tidak ada lagi Nabi ataupun Rasul sesudah beliau shallallahu
'alaihi wa sallam. Seorang muslim harus mengamalkan konsekuensi dari
syahadat ini sebagai perwujudan dari mentaati, mengikuti (ittiba’), dan
mencintai beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab Syarh Ushulil
Iman halaman 9-10 mengatakan: “Kesaksian bahwa tidak ada yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba
dan utusan Allah, merupakan keyakinan yang mantap yang diungkapkan
dengan lisan dalam persaksian (dua syahadat) ini, seakan-akan dengan
kemantapannya itu orang yang bersaksi dapat menyaksikannya.
Syahadat (persaksian) ini dijadikan satu rukun padahal yang
dipersaksikan itu ada dua hal, ini dikarenakan rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah penyampai dari Allah, sehingga kesaksian bahwa Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan utusan-
Nya merupakan kesempurnaan dari persaksian laa ilaaha illallaah, tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Bisa juga
dikarenakan kedua syahadat ini adalah dasar bagi benar dan diterimanya
setiap amalan. Maka sebuah amalan tidak akan benar dan tidak akan
diterima kecuali dengan keikhlasan hanya karena Allah dan juga mutaba’ah
(mengikuti) tuntunan rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka dengan keikhlasan terwujudlah syahadat laa ilaaha illallaah
(persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali Allah), dan dengan mengikuti tuntunan rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam terwujudlah syahadat Muhammad ‘abduhu warasuluh
(persaksian bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah).”

13
Saudara dan saudariku kaum muslimin dan muslimah, ketika kita telah
memahami dua kalimat syahadat ini dan mengamalkan konsekuensi dari
kandungannya serta berpegang teguh dengannya, maka ketahuilah
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
ِ ‫وؿ‬
‫هللا ِص ْدقًا ِم ْن قَػْلبِ ِو‬ َّ َّ‫َح ٍد يَ ْش َه ُد أَ ْف َلَ إِلَوَ إَِل‬
َّ ‫اَّللُ َوأ‬
ُ ‫َف ُُمَ َّم ًدا َر ُس‬ ‫أ‬ ‫ن‬‫م‬ِ ‫ما‬
َ ْ َ
َّ ُ‫إَِلَّ َحَّرَمو‬
‫اَّللُ َعلَى النَّا ِر‬
“Tidaklah seseorang bersaksi dengan jujur dari dalam hatinya bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah, melainkan Allah haramkan ia dari
api neraka.” (HR. Bukhari 128)
Salah seorang ulama salaf yang bernama Sufyan bin Uyainah
rahimahullah pernah mengatakan:

‫ فَِإ َّف ََل إِلَ َو‬،ُ‫ض َل ِم ْن َم ْع ِرفَتِ ِه ْم ََل إِلَوَ إََِّل هللا‬ ِِ ِ
َ ْ‫َما أَنْػ َع َم هللاُ َعلَى العبَاد ن ْع َمةً أَف‬
ُّ ‫اآلخَرِة َكالْ َم ِاء ِ ِْف‬
‫الدنْػيَا‬ ِ ‫إََِّل هللا ََلم ِِف‬
ْ ُْ ُ
“Tidaklah Allah memberi nikmat yang lebih besar kepada seorang hamba
melebihi pengetahuannya tentang laa ilaaha illallaah, karena sesungguhnya
laa ilaaha illallaah bagi mereka di akhirat kelak seperti air di dunia.”
(Hilyatul Auliya 7/272, lihat Mawa’idzush Shalihina wash Shalihat karya
Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah hal. 58)
Semoga Allah 'azza wa jalla memudahkan kita dalam mengamalkan
dan berpegang teguh dengan dua kalimat syahadat ini hingga akhir hayat
kita. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.
Referensi:
- Al-Qur’anul Kariim dan terjemahnya.

14
- Aqiidatuka Ayyuhal Muslim karya Syaikh Abdurrahman bin Muhammad
Musa Alu Nashr hafidzahullahu warahima abihi.
- Syarh Ushulil Iman karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah
- Syarh Tsalatsatil Ushul karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah
- Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah karya ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas hafidzahullah
- Penjelasan Tiga Landasan Utama karya Syaikh Shalih al-Fauzan
hafidzahullah, disusun oleh Ustadz Muflih Safitra hafidzahullah
- Mawa’idzush Shalihina wash Shalihat karya Syaikh Hani al-Hajj
hafidzahullah

Mutiara Qur’an
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

‫اَّللَ يػَ ْغ ِف ُر‬


َّ ‫اَّللِ إِ َّف‬
َّ ‫َسَرفُوا َعلَى أَنْػ ُف ِس ِه ْم ََل تَػ ْقنَطُوا ِم ْن َر ْْحَِة‬
ْ ‫ين أ‬‫ذ‬ِ َّ‫قُل َّي ِعب ِادي ال‬
َ َ َ َْ
‫الرِحيم‬ ِ ِ َ ُ‫الذن‬
ُ ‫وب ََج ًيعا إنَّوُ ُى َو الْغَ ُف‬
َّ ‫ور‬ ُّ
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”
(QS. al-Zumar [39]: 53)

15
KEUTAMAAN DUA KALIMAT SYAHADAT
“Asyhadu allaa ilaaha illallaah wa`asyhadu anna muhammadan
rasuulullaah (saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah).” Ini adalah dua kalimat syahadat (persaksian) yang merupakan inti
ajaran Islam dan selalu kita baca dalam shalat-shalat kita. Dua kalimat
syahadat ini memiliki banyak keutamaan yang akan didapatkan oleh orang-
orang yang meyakininya, mengucapkannya, dan mengamalkan
kandungannya. Keutamaan inti dan yang paling besar adalah bahwa dua
kalimat syahadat ini menjadi penyebab mutlak keselamatan seseorang
dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Karena kalimat
syahadat adalah kalimat tauhid, barangsiapa tidak bertauhid maka ia adalah
orang musyrik atau kafir dan tidak akan pernah bisa masuk ke dalam surga
selama-lamanya. Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman:
َِّ ُ‫إِ َّف الَّ ِذين َك َفروا وماتُوا وىم ُك َّفار أُولَئِك علَي ِهم لَعنة‬
ِ ‫اَّلل َوالْ َم ََلئِ َك ِة َوالن‬
‫َّاس‬ َْ ْ ْ َ َ ٌ ْ َُ ََ ُ َ
‫اب َوََل ُى ْم يػُْنظَُرو َف‬ ‫ذ‬ ‫ع‬ ‫ل‬‫ا‬ ‫م‬‫ه‬‫ػ‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ف‬ َّ
‫ف‬ ‫ِي‬ ‫َل‬ ‫ا‬ ‫يه‬ِ‫ََجعِي خالِ ِدين ف‬
َ ْ
ُ َ ُُ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ َ َْ ‫أ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir,
mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya.
Mereka kekal di dalamnya (laknat), tidak akan diringankan adzabnya, dan
mereka tidak diberi penangguhan.” (QS. al-Baqarah [2]: 161-162)

‫ي ِم ْن‬ ِِ ِ ِ ‫اَّلل علَي‬ َِّ ‫إِنَّو من ي ْش ِرْؾ ِِب‬


َ ‫َّار َوَما للظَّالم‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫اه‬
‫و‬ ْ
‫أ‬ ‫م‬‫و‬ ‫ة‬
َ
ُ ُ َ ََ َ ْ ُ َ ََّ
‫ن‬ ‫اْل‬
ْ ‫و‬ َ َّ ‫ـ‬‫ر‬
َّ ‫ح‬ ‫د‬
ْ ‫ق‬
َ ‫ػ‬
َ‫ف‬ ‫َّلل‬ ُ َْ ُ
‫صا ٍر‬
َ ْ‫أَن‬
“Sesungguhnya barangsiapa berbuat kesyirikan, maka Allah mengharamkan
baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Maidah [5]: 72)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda:

16
‫ي َوََل‬ ّّ ‫َح ٌد ِم ْن َى ِذ ِه اِل َُّم ِة يَػ ُه ْوِد‬ ‫أ‬ ‫ب‬ِ
َ ْ ََُْ ‫ع‬ ‫م‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫َل‬ َ ِ ‫والَّ ِذي نَػ ْفس ُُم َّم ٍد بِي ِد‬
‫ه‬ َ َ ُ ْ َ
‫اب النَّا ِر‬ِ ‫َصح‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫نَصرِاِنّّ ُُثَّ َّيُوت وََل يػ ْؤِمن ِِبلَّ ِذي أُرِسْلت بِِو إََِّل َكا َف‬
َْ ْ ُ ْ ْ ْ َُْ ُ ْ َْ
“Demi yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, tidak ada seorangpun
dari umat ini yang mendengar aku telah diutus, baik itu Yahudi ataupun
Nashrani, kemudian ia mati dan belum beriman kepada apa yang aku diutus
dengannya, kecuali ia akan termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim 153)
Berikut ini di antara keutamaan dua kalimat syahadat yang datang
dari hadits-hadits yang telah tetap berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, semoga kita termasuk orang-orang yang bisa meraihnya:
Terjaganya Darah dan Harta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫وؿ‬
ُ ‫َف ُُمَ َّم ًدا َر ُس‬ َّ ‫َّاس َح ََّّت يَ ْش َه ُد ْوا أَ ْف َلَ إِلَوَ إََِّل‬
َّ ‫ َوأ‬،ُ‫اَّلل‬ ‫ن‬‫ال‬ ‫ل‬ِ‫أ ُِمرت أَ ْف أُقَات‬
َ َ ُْ
‫ص ُموا ِم ِِّْن ِد َماءَ ُى ْم‬ ‫ع‬
َ َ َ َْ‫ك‬ِ‫ فَِإذَا فَػعلُوا َذل‬،‫الزَكا َة‬ َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫ػ‬
ُ‫ت‬‫ؤ‬
ْ ُْ َ‫ػ‬‫ي‬‫و‬ ‫ة‬
َ ‫َل‬
َ ‫الص‬
َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ق‬ِ ‫هللا وي‬
ُ ْ َُ
ِ
ِ ‫ و ِحسابػهم علَى‬،‫وأَموا ََلم إََِّل ِِب ِق ا ِلسَلَِـ‬
‫هللا‬ َ ْ ُ ُ َ َ ْ ّ َ ُْ َ ْ َ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi
bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka
telah melaksanakannya, terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali
dengan cara yang dibenarkan Islam, sedangkan perhitungannya di sisi
Allah.” (HR. Bukhari 25 dan Muslim 22)
Sebab Keberuntungan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdakwah mengajak
orang-orang masuk Islam di pasar Dzil Majaz, beliaupun bersabda:

‫ تػُ ْفلِ ُح ْوا‬،ُ‫ ََل إِلَوَ إََِّل هللا‬:‫َّاس قُػ ْولُْوا‬


ُ ‫ََّي أَيػُّ َها الن‬
17
“Wahai manusia, ucapkanlah laa ilaaha illallaah, niscaya kalian akan
beruntung.” (HR. Ahmad 16023, dinyatakan shahih lighairihi oleh Syaikh
Syu’aib al-Arnauth rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap al-Musnad)
Sebab Diampuni Dosa-dosa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ يَػْرِج ُع‬،‫هللا‬
ِ ‫وؿ‬ ِ
ِّ‫ َوأ‬،ُ‫وت َوى َي تَ ْش َه ُد أَ ْف ََل إِلَوَ إََِّل هللا‬
ُ ‫َِن َر ُس‬ ُ ُ‫س ََت‬ ٍ ‫َما ِم ْن نَػ ْف‬
‫ إََِّل َغ َفَر هللاُ ََلَا‬،‫ب ُم ْوقِ ٍن‬
ٍ ‫ذَ َاؾ إِ ََل قَػْل‬
“Tidak ada satu jiwapun yang mati dan ia bersaksi bahwa bahwa tidak ada
yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah
disertai dengan keyakinan dalam hati, kecuali Allah pasti mengampuninya.”
(HR. Ahmad 21998, dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth
rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Ahmad)
Berbahagia dengan Syafa’at Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫صا ِم ْن قَػْلبِ ِو‬ِ‫اَّلل خال‬ َّ


‫َل‬ ِ‫إ‬ ‫و‬ ‫ل‬ِ‫إ‬ ‫َل‬ :‫اؿ‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫م‬ ِ ‫َّاس بِ َش َفاع ِت يػوـ الْ ِقيام‬
‫ة‬ ِ ‫َس َع ُد الن‬
ً َ ُ َّ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َْ ْ َ ْ‫أ‬
‫أ َْو نَػ ْف ِس ِو‬
“Orang yang paling bahagia dengan syafa’at (pertolongan)ku di hari Kiamat
adalah yang mengucapkan laa ilaaha illallaah ikhlas dari dalam hatinya atau
dirinya.” (HR. Bukhari 99)
Dilindungi dari Siksa Api Neraka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

18
ِ ‫اَّلل يػبػتغِي بِِو وجو‬
‫هللا إََِّل َحَّرَـ‬ َّ َّ
‫َل‬ ِ‫إ‬ ‫و‬ ‫ل‬
َِ‫إ‬ ‫َل‬
َ ‫وؿ‬
ُ ‫ق‬ُ ‫ػ‬‫ي‬ ِ ‫لَن يػو ِاِف عب ٌد يػوـ الْ ِقيام‬
‫ة‬
َ
َ ْ َ ْ َْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ َْ َ َ ُ ْ
‫َّار‬
‫ن‬ ‫ال‬ ِ ‫اَّلل علَي‬
‫و‬
َ ْ َ َُّ
“Tidak akan datang seorang hambapun di hari Kiamat yang mengucapkan
laa ilaaha illallaah karena mengharap wajah Allah (ikhlas), melainkan Allah
haramkan api neraka atasnya.” (HR. Bukhari 6423)

‫َّار‬
‫ن‬ ‫ال‬ ِ ‫اَّلل علَي‬
‫و‬ َّ ‫ـ‬‫ر‬َّ ‫ح‬ َِّ ‫وؿ‬
‫اَّلل‬ ُ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫د‬ ‫م‬
َّ ‫ُم‬
ُ َّ
‫َف‬ ‫أ‬
‫و‬ ‫اَّلل‬
َّ َّ
‫َل‬ ِ‫من َش ِه َد أَ ْف ََل إِلَوَ إ‬
َ ْ َ ُ َ َ ُ َ ً َ َُ َْ
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
Allah haramkan api neraka atasnya.” (HR. Muslim 29)
Dimasukkan ke Dalam Surga
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ‫اْلَنَّة‬ َّ ‫ات َوُى َو يَػ ْعلَ ُم أَنَّوُ ََل إِلَوَ إََِّل‬


ْ ‫اَّللُ َد َخ َل‬ َ ‫َم ْن َم‬
“Siapa yang meninggal dunia dan ia mengilmui bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, maka ia
masuk surga.” (HR. Muslim 27)

ٍّ ‫اَّلل ِبِِما عب ٌد َغيػر َش‬


‫اؾ‬ ‫ى‬ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫ػ‬‫ي‬ ‫َل‬ َِّ ‫وؿ‬
‫اَّلل‬ ِ َّ ‫أَ ْش َه ُد أَ ْف ََل إِلَوَ إََِّل‬
ُ ‫َِن َر ُس‬
َ ْ َْ َ َ َّ َ ْ َ َ ّْ ‫اَّللُ َوأ‬
‫اْلَن َِّة‬
ْ ‫ب َع ِن‬
َ ‫فَػيُ ْح َج‬
“‘Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali Allah dan bahwa aku (Nabi Muhammad) adalah utusan Allah.’
Tidak ada seorang hambapun yang bertemu Allah dengan dua syahadat ini
tanpa ragu-ragu, kemudian ia dihalangi masuk surga.” (HR. Muslim 26)

19
َّ ‫ َوأ‬،ُ‫يك لَو‬
،ُ‫َف ُُمَ َّم ًدا َعْب ُدهُ َوَر ُسولُو‬ َّ ‫َم ْن َش ِه َد أَ ْف َلَ إِلَوَ إََِّل‬
َ ‫اَّللُ َو ْح َدهُ ََل َش ِر‬
ْ ‫وح ِمْنوُ َو‬
‫اْلَنَّةُ َح ّّق‬ ِ َ ‫هللا ورسولُوُ وَكلِمتُوُ أَلْ َق‬ ِ ‫َف ِعيسى عب ُد‬
َْ َ َّ ‫َوأ‬
ٌ ‫اىا إ ََل َمْرََيَ َوُر‬ َ َ ُ ََ
‫اْلَنَّةَ َعلَى َما َكا َف ِم َن الْ َع َم ِل‬
ْ ُ‫اَّلل‬
َّ ُ‫َّار َح ّّق أ َْد َخلَو‬
ُ ‫َوالن‬
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya, Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta
kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, surga
adalah benar, dan neraka adalah benar, maka Allah memasukkannya ke
dalam surga apapun amalannya.” (HR. Bukhari 3435)
Dalam riwayat Imam Muslim Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

‫اء‬ ‫ش‬ ِ ‫اْلن َِّة الثَّمانِي‬


‫ة‬ ِ ‫اَّلل ِمن أَ ِي أَبْػو‬
‫اب‬
َ َ َ َ َْ َ ّ ْ َُّ ُ‫أ َْد َخلَو‬
“Allah memasukkannya melalui pintu surga mana saja dari delapan pintu
surga yang ia kehendaki.” (HR. Muslim 28)
Demikianlah di antara keutamaan dua kalimat syahadat ini. Setiap
orang yang meninggal dunia dalam keadaan bertauhid memiliki peluang
besar mendapatkan semua keutamaan tersebut, namun perlu diketahui
bahwa ada juga orang-orang yang bertauhid namun ia terluput dari
keutamaan-keutamaaan ini dan masuk neraka, tapi ia tak akan kekal di
dalam neraka, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ َوَِيُْر ُج‬،‫اَّللُ َوِِف قَػْلبِ ِو َوْز ُف َشعِ َريٍة ِم ْن َخ ٍْري‬


َّ ‫ ََل إِلَوَ إََِّل‬:‫َِيُْر ُج ِم َن النَّا ِر َم ْن قَ َاؿ‬
‫ َوَِيُْر ُج ِم َن‬،‫اَّللُ َوِِف قَػْلبِ ِو َوْز ُف بػَُّرٍة ِم ْن َخ ٍْري‬ َّ ‫ ََل إِلَوَ إََِّل‬:‫ِم َن النَّا ِر َم ْن قَ َاؿ‬
‫اَّللُ َوِِف قَػْلبِ ِو َوْز ُف ذَ َّرٍة ِم ْن َخ ٍْري‬
َّ ‫ ََل إِلَوَ إََِّل‬:‫النَّا ِر َم ْن قَ َاؿ‬
20
“Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan di
hatinya terdapat kebaikan (hanya) sebesar gandum kasar. Akan keluar dari
neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan di hatinya terdapat
kebaikan (hanya) sebesar gandum halus. Akan keluar dari neraka orang yang
mengucapkan laa ilaaha illallaah dan di hatinya terdapat kebaikan (hanya)
seukuran benda yang paling kecil.” (HR. Bukhari 44 dan Muslim 193)
Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Musa Alu Nashr hafidzahullahu
warahima abihi menjelaskan: “Keutamaan-keutamaan ini hanya didapatkan
oleh orang-orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dengan memenuhi
tujuh syaratnya (ilmu, yakin, ikhlas, jujur, cinta, tunduk patuh, dan
menerima), serta menjauhi hal-hal yang membatalkannya dan
menghilangkan keutamaan-keutamaannya. Tidak semua yang membacanya
mendapatkan keutamaan tersebut, karena banyak hadits dari rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan masuknya sebagian orang
yang mengucapkan laa ilaaha illallaah ke dalam neraka kemudian
dikeluarkan karena syafa’at. Mereka masuk ke dalam neraka, padahal
mereka mengucapkan laa ilaaha illallaah, hal ini entah karena mereka
mengucapkannya belum begitu yakin dengan keyakinan yang sempurna
hingga mereka menjauhi keburukan-keburukan, atau karena mereka
mengucapkannya kemudian berbuat berbagai keburukan dan maksiat
sehingga melemahkan kejujuran dan keyakinan mereka terhadap kalimat
syahadat ini, akhirnya dosa-dosa mereka mengalahkan kebaikan-kebaikan
mereka.” (Aqidatuka Ayyuhal Muslim hal. 16-17)
Demikian, semoga Allah menghidupkan dan mewafatkan kita di atas
tauhid dan menjauhkan kita dari kesyirikan, serta semoga Allah menjadikan
kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan
keutamaan-keutamaan dua kalimat syahadat ini. Allahumma aamiin.

21
SYARAT-SYARAT KALIMAT LAA ILAAHA ILLALLAAH
Kalimat laa ilaaha illallaah memiliki syarat-syarat yang harus
dilaksanakan oleh orang yang mengucapkannya agar bisa mendapatkan
keutamaan yang begitu agung, yaitu masuk ke dalam surga dan dijauhkan
dari neraka. Barangsiapa yang hilang darinya satu atau lebih dari syarat-
syarat yang ada, maka kalimat tauhid ini tidak memberi manfaat baginya.
Berdasarkan al-Qur’an dan hadits, para ulama menjelaskan bahwa syarat-
syarat kalimat laa ilaaha illallaah ada tujuh, yaitu: ilmu, yakin, ikhlas, jujur,
cinta, tunduk patuh, dan menerima. Sebagaimana hal ini diungkapkan dalam
sebuah sya`ir oleh ulama yang bernama Hafidz bin Ahmad al-Hakami
rahimahullah dalam Mandzumah Sullamul Wushul di bait yang ke 92-95:
ٍ ٍ
ْ ‫ص الْ َو ْح ِي َح ِّقا َوَرَد‬
‫ت‬ ِ ‫ص ْو‬ ُ ُ‫َوِ ِْف ن‬ ‫ت‬ْ ‫َوبِ ُش ُرْوط َسْبػ َعة قَ ْد قُػيِّ َد‬
‫ث يَ ْستَ ْك ِملُ َها‬ ُ ‫ِِبلنُّطْ ِق إََِّل َحْي‬ ‫فَِإنَّوُ ََلْ يَػْنػتَ ِف ْع قَائِلَ َها‬
‫اد فَ ْاد ِر َما أَقُػ ْو ُؿ‬ ِِ ِ ِ
ُ َ‫َو ْاَلنْقي‬ ‫ي َوالْ َقبُػ ْو ُؿ‬ُ ْ ‫العْل ُم َواليَق‬
‫ك هللاُ لِ َما أَ َحبَّ ْو‬َ ‫َوفَّػ َق‬ ‫ص َوالْ َم َحبَّ ْو‬ ُ ‫ال ْخ ََل‬ ِْ ‫الص ْد ُؽ و‬
َ
ِ ‫و‬
ّ َ
“Dengan tujuh syarat kalimat laa ilaaha illallaah itu diikat. Dalil-dalilnya telah
datang dalam teks wahyu (al-Qur’an dan Sunnah).
Sesungguhnya laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat bagi yang
mengucapkannya, kecuali jika ia memenuhi syarat-syaratnya dengan
sempurna.
(Yaitu) ilmu, yakin, menerima, dan tunduk patuh, maka ketahuilah apa yang
aku katakan.
(Serta) jujur, Ikhlas, dan cinta. Semoga Allah melimpahkan taufik
kepadamu kepada apa yang Dia cintai.”

22
Kunci Surga Adalah Laa ilaaha illallaah Beserta Syaratnya
Tentang syarat-syarat laa ilaaha illallaah ini ada sebuah riwayat dari
salah seorang ulama yang bernama Wahb bin Munabbih rahimahullah:

‫ بَػلَى! َولَ ِك ْن‬:‫اح اْلَنَّ ِة ََل إِلَوَ إََِّل هللاُ؟ قَ َاؿ‬ ‫ت‬ ‫ف‬
ْ ِ ‫ أَلَيس‬:‫ب ب ِن منَػبِ ٍو‬
‫م‬ ِ ‫ى‬ ‫و‬ِ‫قِيل ل‬
ُ َ َ ْ ّ ُ ْ ْ َ َْ
‫ َوَم ْن ََْل‬،ُ‫اب ِِبَ ْسنَانِِو فُتِ َح لَو‬
َ َ‫الب‬ ‫ى‬ ‫ت‬
ََ‫أ‬ ‫ن‬ ‫م‬
َْ ،‫ف‬ٌ ‫ا‬ ‫ن‬
َ ‫س‬ َ
‫أ‬
ْ َ ‫و‬
ٌ ‫ل‬
َ‫و‬ ‫َل‬َِّ‫إ‬ ‫اح‬
ٍ ‫ت‬
َ ‫ف‬ْ ِ ‫لَيس ِمن‬
‫م‬ ْ َ ْ
‫اب ِِبَ ْسنَانِِو ََلْ يػُ ْفتَ ْح لَ ُو‬ ‫الب‬ ‫ت‬ِ ْ‫َي‬
َ َ َ
Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah: “Bukankah kunci surga
itu laa ilaaha illallaah?” Beliau menjawab: “Benar, tapi bukankah setiap
kunci itu ada geriginya? Barangsiapa mendatangi pintu dengan kuncinya
yang ada geriginya maka pintu akan terbuka untuknya, dan siapa yang
mendatangi pintu dengan kuncinya tapi tak ada geriginya maka pintu itupun
tak akan bisa terbuka untuknya.” (Hilyatul Auliya 4/66, lihat Mawa’idhush
Shalihina wash Shalihat karya Syaikh Hani al-Hajj hal. 252)
Yang dimaksudkan oleh Wahb bin Munabbih rahimahullah dengan
kunci adalah kalimat laa ilaaha illallaah, dan yang dimaksud dengan gerigi
adalah syarat-syarat laa ilaaha illallaah dan tentunya termasuk dua
rukunnya. Artinya setiap orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah
memang berkesempatan masuk surga, namun ia baru akan masuk surga jika
memenuhi syarat-syarat dari kalimat laa ilaaha illallaah, jika syarat-syarat ini
tidak terpenuhi maka ia belum bisa dikatakan meraih kesempatan masuk
surga dan dijauhkan dari neraka.
Oleh karena itulah betapa pentingnya kita mengetahui syarat-syarat
laa ilaaha illallaah yang tujuh ini, lalu bagaimanakah penjelasannya? Semoga
pembahasan berikut ini bisa membuat kita paham sehingga kita bisa
mengamalkannya dan memperoleh keutamaannya.

23
Pertama: Ilmu
Yang pertama adalah mengilmui kalimat laa ilaaha illallaah, yaitu
mengetahui makna yang terkandung di dalam kalimat ini dan
mengamalkannya. Maka makna laa ilaaha illallaah adalah tidak ada yang
berhak diibadahi selain Allah. Sehingga kalimat ini mengandung konsekuensi
mengesakan Allah ta'ala dalam peribadahan kita dan meninggalkan segala
bentuk kesyirikan.
Inilah yang terkandung dalam dua rukun laa ilaaha illallaah, yaitu
meniadakan (an-Nafyu) dan menetapkan (al-Itsbat). Maksudnya adalah
meniadakan seluruh peribadahan kepada selain Allah dan menetapkan
ibadah hanyalah hak Allah semata, tidak kepada selain-Nya.
Lawan dari ilmu adalah bodoh (tidak tahu), maka orang yang tidak
tahu makna laa ilaaha illallaah bagaimana ia bisa mengamalkan keharusan
dari kalimat laa ilaaha illallaah ini dengan benar?! Bahkan kemungkinan
terbesarnya ia pasti terjatuh ke dalam berbagai macam bentuk kesyirikan.
Tentang syarat pertama ini, para ulama membawakan dalil:

َُّ ‫اعلَ ْم أَنَّوُ ََل إِلَوَ إََِّل‬


‫اَّلل‬ ْ َ‫ف‬
“Ketahuilah bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah.”
(QS. Muhammad [47]: 19)

‫إََِّل َم ْن َش ِه َد ِِب ْْلَِّق َوُى ْم يَػ ْعلَ ُمو َف‬


“Akan tetapi (orang yang dapat memberikan syafa’at ialah) orang yang
mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengilmuinya.” (QS. az-Zukhruf
[43]: 86)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ‫اْلَنَّة‬ َّ ‫ات َوُى َو يَػ ْعلَ ُم أَنَّوُ ََل إِلَوَ إََِّل‬


ْ ‫اَّللُ َد َخ َل‬ َ ‫َم ْن َم‬

24
“Siapa yang meninggal dunia dan ia mengilmui bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, maka ia
masuk surga.” (HR. Muslim 27)
Kedua: Yakin tanpa ragu-ragu
Maksudnya yaitu kita harus yakin seyakin-yakinnya tanpa keraguan
sedikitpun bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali Allah ta'ala. Siapa yang ragu-ragu dengan keyakinan ini maka
ucapan laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat baginya. Allah ta'ala berfirman:

‫َّلل َوَر ُسولِِو ُُثَّ ََلْ يَػْرََتبُوا‬


َِّ ‫إََِّّنَا الْمؤِمنو َف الَّ ِذين آمنوا ِِب‬
َُ َ ُ ُْ
“Sesungguhnya orang-orang beriman yang sebenarnya adalah mereka yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.”
(QS. al-Hujurat [49]: 15)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ يَػْرِج ُع‬،‫هللا‬
ِ ‫وؿ‬ ِّ‫ َوأ‬،ُ‫وت َوِىي تَ ْش َه ُد أَ ْف ََل إِلَوَ إََِّل هللا‬
ُ ‫َِن َر ُس‬ َ ُ ُ‫َت‬
َ ‫س‬ٍ ‫ف‬
ْ ‫ػ‬
َ‫ن‬ ‫ن‬
ْ َ‫م‬ِ ‫ما‬
‫ إََِّل َغ َفَر هللاُ ََلَا‬،‫ب ُم ْوقِ ٍن‬ ٍ ‫َذ َاؾ إِ ََل قَػْل‬
“Tidak ada satu jiwapun yang mati dan ia bersaksi bahwa bahwa tidak ada
yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah
disertai dengan keyakinan dalam hati, kecuali Allah pasti mengampuninya.”
HR. Ahmad 21998, dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth
rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Ahmad)
Ketiga: Ikhlas tanpa berbuat kesyirikan
Ikhlas yaitu meniatkannya hanya karena Allah ketika mengucapkan
dan mengamalkan laa ilaaha illallaah tanpa sedikitpun mencampurinya
dengan kesyirikan, baik syirik kecil seperti riya (beramal agar dilihat manusia
karena ingin dipuji) dan sum’ah (beramal agar didengar manusia karena
ingin dipuji), ataupun syirik besar dengan menujukan amalan kepada selain

25
Allah; seperti berdoa, menyembelih, meminta rizki, dan meminta
keselamatan dari bencana kepada selain Allah. Allah ta'ala telah berfirman:

‫اء‬ ‫ف‬
َ ‫ػ‬‫ن‬ ‫ح‬ ‫ين‬‫د‬ِّ ‫صي لَو ال‬
ِ ِ‫اَّلل ُِْمل‬
َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫د‬ ‫ب‬‫ع‬ ‫ػ‬‫ي‬ِ‫وما أ ُِمروا إََِّل ل‬
َ
َ ُ َ ُ َ َ ُ ُْ َ ُ ََ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus.” (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫اَّلل يػبػتغِي بِِو وجو‬
‫هللا إََِّل َحَّرَـ‬ َّ َّ
‫َل‬ ِ‫إ‬ ‫و‬ ‫ل‬
َِ‫إ‬ ‫َل‬
َ ‫وؿ‬
ُ ‫ق‬ُ ‫ػ‬‫ي‬ ِ ‫لَن يػو ِاِف عب ٌد يػوـ الْ ِقيام‬
‫ة‬
َ
َ ْ َ ْ َْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ َْ َ َ ُ ْ
‫َّار‬ ِ َّ
َ ‫اَّللُ َعلَْيو الن‬
“Tidak akan datang seorang hambapun di hari Kiamat yang mengucapkan
laa ilaaha illallaah karena mengharap wajah Allah (ikhlas), melainkan Allah
haramkan api neraka atasnya.” (HR. Bukhari 6423)
Siapa yang berbuat kesyirikan, maka ia belum memenuhi syarat
ikhlas, kalimat laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat baginya, dan ia diancam
tidak bisa masuk ke dalam surga kecuali jika bertaubat sebelum
meninggalnya. Allah 'azza wa jalla berfirman:

‫ي ِم ْن‬ ِ ِ‫اْلنَّةَ ومأْواه النَّار وما لِلظَّال‬


‫م‬ ْ ِ ‫اَّلل علَي‬
‫و‬ َّ ‫ـ‬‫ر‬
َّ ‫ح‬ ‫د‬
ْ ‫ق‬
َ ‫ػ‬
َ‫ف‬ َِّ ‫إِنَّو من ي ْش ِرْؾ ِِب‬
‫َّلل‬
َ ََ ُ ُ َ ََ َ ْ ُ َ َ َ ُ َْ ُ
‫صا ٍر‬
َ ْ‫أَن‬
“Sesungguhnya barangsiapa berbuat kesyirikan, maka Allah mengharamkan
baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Maidah [5]: 72)
Keempat: Jujur
Jujur adalah seseorang berucap sesuai dengan apa yang ada di dalam
hatinya, sedangkan dusta adalah apabila tidak sama antara lisan dan
hatinya. Siapa yang tidak jujur, maka ia terluput dari keutamaan laa ilaaha

26
illallaah, sebagaimana orang-orang munafik di zaman Nabi, mereka berdusta
dengan persaksiannya. Allah telah berfirman tentang mereka:
َِّ ‫وؿ‬ ِ
َ َّ‫اَّللُ يَػ ْعلَ ُم إِن‬
‫ك لََر ُسولُ ُو‬ َّ ‫اَّلل َو‬ َ َّ‫إِ َذا َجاءَ َؾ الْ ُمنَاف ُقو َف قَالُوا نَ ْش َه ُد إِن‬
ُ ‫ك لََر ُس‬
‫ي لَ َك ِاذبُو َف‬ ِ ِ‫اَّلل ي ْشه ُد إِ َّف الْمناف‬
‫ق‬
َ َُ َ َ َُّ ‫َو‬
“Apabila orang-orang munafik datang kepada engkau (Muhammad),
mereka berkata: ‘Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah.’ Dan
Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah
menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS.
al-Munafiqun [63]: 1)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫وؿ‬
‫هللا ِص ْدقًا ِم ْن قَػْلبِ ِو‬ َّ ‫َح ٍد يَ ْش َه ُد أَ ْف ََل إِلَوَ إََِّل‬
َّ ‫اَّللُ َوأ‬
ُ ‫َف ُُمَ َّم ًدا َر ُس‬ ‫أ‬ ‫ن‬‫م‬ِ ‫ما‬
َ ْ َ
َّ ُ‫إََِّل َحَّرَمو‬
‫اَّللُ َعلَى النَّا ِر‬
“Tidaklah seseorang bersaksi dengan jujur dari dalam hatinya bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah, melainkan Allah haramkan ia dari
api neraka.” (HR. Bukhari 128)
Kelima: Cinta
Yaitu mencintai kalimat tauhid ini dan apa yang menjadi kandungan
dan konsekuensinya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan
kandungannya. Dalil syarat ini adalah Firman Allah ta'ala:
َِّ ‫ب‬
‫اَّلل‬ َِّ ‫وف‬
ِ ‫اَّلل أَنْ َد ًادا ُُِيبُّونَػ ُهم َك ُح‬ ِ ‫َّخ ُذ ِمن د‬
ِ ‫َّاس من يػت‬
ِ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ن‬‫م‬ِ‫و‬
ّ ْ ُ ْ َ َْ َ َ
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah selain Allah sebagai
tandingan. Mereka mencintainya seperti mereka mencintai Allah. Adapun

27
orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. al-
Baqarah [2]: 165)
Keenam: Tunduk patuh
Yaitu tunduk dan mematuhi segala hukum yang terkandung dalam
kalimat syahadat, dengan beribadah kepada Allah semata, melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta menjalankan syari’at
agama-Nya. Dalilnya adalah Firman Allah ta'ala:

‫ك ِِبلْعُْرَوِة الْ ُوثْػ َقى‬ ‫س‬ ‫م‬‫ت‬‫اس‬ ِ ‫اَّلل وىو ُُم ِسن فَػ َق‬
‫د‬ َِّ ‫ومن يسلِم وجهو إِ ََل‬
َ َ َْْ ْ
ٌ َُ َ ُ َ ْ َ ْ ْ ُ ْ ََ
“Dan barangsiapa tunduk berserah diri kepada Allah, dan ia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul
(tali) yang kokoh.” (QS. Lukman *31+: 22)
Ketujuh: Menerima
Yaitu menerima dengan sepenuh hati kalimat laa ilaaha illallaah,
dengan mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah dan meninggalkan
peribadahan kepada selain-Nya, serta berpegang teguh dan ridha dengan
kalimat ini. Karena ada orang-orang yang mengakui kebenaran Islam dan
kebenaran kalimat laa ilaaha illallaah namun ia menolak untuk masuk Islam;
baik karena fanatik pada ajaran nenek moyangnya, seperti paman Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam Abu Thalib; atau karena sombong; ambisi
kekuasaan; takut kehilangan harta dunia; dan semisalnya. Siapa yang
mengucapkan kalimat tauhid tapi tidak mau menerima dan mentaati
konsekuensi kalimat ini, maka ia adalah orang yang sombong. Allah ta'ala
berfirman:

‫اَّللُ يَ ْستَ ْكِِبُو َف َويَػ ُقولُو َف أَئِنَّا لَتَا ِرُك ْوا ِآَلَتِنَا‬
َّ ‫يل ََلُْم ََل إِلَوَ إََِّل‬
َ
ِ‫إِنػَّهم َكانػُوا إِ َذا ق‬
ْ ُْ
ِ ‫لِ َش‬
ٍ ُ‫اع ٍر ََْمن‬
‫وف‬

28
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa
ilaaha illallaah’ mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: ‘Apakah
sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami
karena seorang penyair gila?!’” (QS. ash-Shaffat [37]: 35-36)
Demikian ketujuh syarat dari kalimat laa ilaaha illallaah, ada juga
ulama yang menambahkan syarat-syarat ini satu lagi sehingga menjadi
delapan, yaitu berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan. Semoga kita bisa
mendapatkan keutamaan masuk ke dalam surga dan dijauhkan dari siksa api
neraka sejauh-jauhnya.
Referensi:

- Aqiidatuka Ayyuhal Muslim karya Syaikh Abdurrahman bin Muhammad


Musa Alu Nashr hafidzahullahu warahima abihi
- Aqidatut Tauhid karya Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah
- Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah karya ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas hafidzahullah
- Penjelasan Tiga Landasan Utama karya Syaikh Shalih al-Fauzan
hafidzahullah, disusun oleh Ustadz Muflih Safitra hafidzahullah
- Sullamul Wushul karya Hafidz bin Ahmad al-Hakami rahimahullah
- Mawa’idzush Shalihina wash Shalihat karya Syaikh Hani al-Hajj
hafidzahullah

Mutiara Hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ب ْاِلَ ْع َم ِاؿ إِ ََل هللاِ تَػ َع‬


‫اَل أ َْد َوُم َها َوإِ ْف قَ َّل‬ ُّ ‫َح‬
َ‫أ‬
“Amalan yang paling dicintai Allah ta’ala adalah yang rutin meskipun
sedikit.”
(HR. Bukhari 6464 dan Muslim 783)

29
AMALAN YANG DITERIMA
Sebagai seorang muslim, pastilah kita ingin agar amalan ibadah kita
diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala, sehingga menjadi amalan yang
berpahala dan bisa memasukkan kita ke dalam surga. Bayangkan saja,
betapa ruginya seseorang yang telah lelah beramal, namun amalannya itu
tak diterima oleh Allah ta'ala sedikitpun. Ibarat orang yang lelah bekerja,
namun ketika tiba masa gajian, ternyata ia tak mendapat gaji sepeserpun.
Oleh karena itulah orang-orang yang takut kepada Allah khawatir kalau-
kalau amalannya tidak diterima.
Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad rahimahullah berkata:

‫ أَيػُ ْقبَ ُل‬،‫َعلَْي ِه ُم ا َْلَُّم‬ ‫ َوإِ َذا فَػ َعلُ ْوهُ َوقَ َع‬،‫الصالِ ِح‬ َ ‫أ َْد َرْكتُػ ُه ْم ََْيتَ ِه ُد ْو َف ِ ِْف‬
َّ ‫الع َم ِل‬
‫ِمْنػ ُه ْم أ َْـ ََل‬
“Aku mendapati mereka para Salafush Shalih bersungguh-sungguh dalam
amal shalih, dan apabila mereka telah selesai beramal, muncullah dalam
diri-diri mereka rasa bimbang bahwasanya apakah amalan mereka itu
diterima ataukah tidak.” (Lathaiful Ma’arif hal. 376)
Dari Fudhalah bin ‘Ubaid rahimahullah, beliau berkata:

‫ل ِم َن‬
ََّ ِ‫ب إ‬ ٍ ٍِ ِ ِ
َ ‫َف هللاَ قَ ْد تَػ َقبَّ َل م ِِّْن مثْػ َق َاؿ َحبَّة م ْن َخْرَدؿ أ‬
ُّ ‫َح‬ َّ ‫َِلَ ْف أَ ُك ْو َف أ َْعلَ ُم أ‬
ِ ‫اَّلل ِمن الْمت‬ َِّ َّ ِ ،‫الدنْػيا وما فِيػها‬
{‫ي‬ ‫َّق‬
َ ُ َ ُ ُ ََ َّ ‫ل‬ ‫ب‬
َّ ‫ق‬
َ ‫ػ‬‫ت‬‫ػ‬‫ي‬ ‫ا‬َ‫َّن‬ ‫إ‬} :‫ؿ‬ ُ ‫و‬ ‫ق‬
ُ
ْ ََ ‫ػ‬‫ي‬ ‫هللا‬ ‫َف‬ ‫ِل‬ َ ْ َ َ َ ُّ
“Seandainya aku tahu dengan pasti, bahwa Allah telah menerima dariku
satu amalan kebaikan sebesar biji sawi saja, tentulah hal itu lebih aku sukai
daripada dunia dan seisinya, karena sesungguhnya Allah ta’ala berfirman:
‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang
bertakwa.’ (QS. Al Ma-idah *5+: 27).” (Lathaiful Ma’arif hal. 375)
Ketahuilah wahai saudara-saudariku yang semoga senantiasa dijaga
oleh Allah ta'ala, bahwa sesungguhnya sebuah amalan akan diterima oleh
Allah ketika terpenuhi syarat-syaratnya. Maka para ulama menjelaskan

30
bahwa syarat diterimanya amalan itu ada tiga, jika syarat ini terpenuhi dan
tidak ada penghalangnya, maka insyaallah sebuah amalan akan diterima
oleh Allah ta'ala, dan jika tiga syarat ini tidak terpenuhi maka sebuah
amalan tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
Keimanan Pelaku
Syarat yang pertama adalah adanya keimanan pada diri orang yang
beramal. Orang yang tidak beriman atau orang kafir jika beramal kebaikan,
maka amalannya tidak akan diterima oleh Allah ta'ala. Dia telah berfirman:

‫َّلل َوبَِر ُسولِِو‬


َِّ ‫وما منػعهم أَ ْف تػُ ْقبل ِمْنػهم نَػ َف َقاتػُهم إََِّل أَنػَّهم َك َفروا ِِب‬
ُ ُْ ُْ ُْ ََ ْ ُ َ ََ َ َ
“Dan tidak ada yang menghalangi infak mereka diterima kecuali karena
mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. at-Taubah [9]: 5)
Dalam ayat lain Allah 'azza wa jalla berfirman:

‫ورا‬‫ث‬
ُ ‫ػ‬‫ن‬ْ ‫م‬ ‫اء‬ ‫ب‬‫ى‬ ‫اه‬َ‫ن‬‫ل‬ْ ‫ع‬ ‫ج‬َ‫ف‬ ٍ
‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ن‬‫م‬ِ ‫وقَ ِدمنَا إِ ََل ما ع ِملُوا‬
ً َ ً ََ ُ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu akan
kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan
[25]: 23)

‫ف ََل‬ ِ ‫الريح ِِف يػوٍـ ع‬


ٍ ‫اص‬ ِ ِِ‫مثَل الَّ ِذين َك َفروا بِرِّبِِم أ َْعما َُلم َكرم ٍاد ا ْشتَدَّت ب‬
‫و‬
َ َْ ُ ّ ْ َ َ ُْ َ ْ َ ُ َ ُ َ
‫يد‬ ِ
‫ع‬ ‫ب‬‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫ؿ‬ُ ‫َل‬
َ ‫الض‬
َّ ‫و‬ ‫ى‬ ‫ك‬ ِ‫ل‬‫ذ‬
َ ٍ ‫يػ ْق ِدرو َف ِّمَّا َكسبوا علَى شي‬
‫ء‬
ُ َ َ ُ َ ْ َ َ َُ ُ َ
“Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah
seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin
kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang
telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang
jauh.” (QS. Ibrahim *14]: 18)

31
Ikhlas
Syarat kedua adalah keikhlasan, yaitu meniatkan atau menujukan
amalannya hanya untuk Allah 'azza wa jalla saja, hanya untuk mengharap
pahala dari-Nya. Jika seseorang meniatkan atau menujukan ibadahnya untuk
selain Allah ta'ala, maka amalan tersebut tidak akan diterima, karena ia
telah menjadikan sekutu/tandingan bagi Allah, ini adalah kesyirikan. Allah
'azza wa jalla telah berfirman:

ُ‫ك أَََّل تَػ ْعبُ ُدوا إََِّل إِ ََّّيه‬


َ ُّ‫ضى َرب‬
َ َ‫َوق‬
“Dan Rabbmu memerintahkan agar kalian jangan beribadah kecuali hanya
kepada-Nya saja.” (QS. al-Isra [17]: 23)

‫اء‬ ‫ف‬
َ ‫ػ‬‫ن‬ ‫ح‬ ‫ين‬‫د‬ِّ ‫صي لَو ال‬ِ ِ‫اَّلل ُِْمل‬
َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫د‬ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫ػ‬‫ي‬ِ‫وما أ ُِمروا إََِّل ل‬
َ َ ُ َ ُ َ َ ُ ُ ْ َ ُ ََ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus.” (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda:
ِ
ِّ ‫ أ َََن أَ ْغ ََن الشَُّرَكاء َع ِن‬:‫قَ َاؿ هللاُ تَػبَ َارَؾ َوتَػ َع َاَل‬
‫ َم ْن َع ِم َل َع َم ًَل أَ ْشَرَؾ‬،‫الشْر ِؾ‬
ِ ِ ِِ
ُ‫ تَػَرْكتُوُ َوشْرَكو‬،‫فْيو َمع ْي َغ ِْري ْي‬
“Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: ‘Aku sama sekali tidak membutuhkan
sekutu, barangsiapa beramal yang di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan
selain-Ku, maka Aku tinggalkan ia dan sekutunya.” (HR. Muslim 2985)
Bahkan orang yang berbuat kesyirikan, selain amalannya tidak
diterima, ia juga diancam akan kekal di dalam api neraka jika tidak bertaubat
hingga meninggalnya. Allah 'azza wa jalla berfirman:

32
‫ي ِم ْن‬ ِ ِ‫اْلنَّةَ ومأْواه النَّار وما لِلظَّال‬
‫م‬ ْ ِ ‫اَّلل علَي‬
‫و‬ َّ ‫ـ‬‫ر‬
َّ ‫ح‬ ‫د‬
ْ ‫ق‬
َ ‫ػ‬
َ‫ف‬ َِّ ‫إِنَّو من ي ْش ِرْؾ ِِب‬
‫َّلل‬
َ ََ ُ ُ َ ََ َ ْ َ ُ َ َ ُ َْ ُ
‫صا ٍر‬
َ ْ‫أَن‬
“Sesungguhnya barangsiapa berbuat kesyirikan, maka Allah mengharamkan
baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi
orang-orang yang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Maidah [5]: 72)
Termasuk ke dalam kesyirikan adalah beramal karena mengharap
harta, kedudukan, atau pujian manusia. Meskipun para ulama
menggolongkan ini sebagai syirik kecil.
Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam)
Syarat yang ketiga adalah ittiba’, yaitu hanya mengikuti tuntunan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah ta'ala.
Yang demikian itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda:

‫س َعلَْي ِو أ َْم ُرََن فَػ ُه َو َرّّد‬


َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫َل‬
ً ‫م‬‫ع‬ ‫ل‬‫م‬ِ ‫من ع‬
َ َ َ َْ
َ
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim 1718)

ُّ ‫الر ِاش ِديْ َن ََتَ َّس ُك ْوا ِِبَا َو َع‬ ِ ِ ْ ‫فَػعلَي ُكم بِسن َِّت وسن َِّة‬
‫ض ْوا َعلَْيػ َها‬ َّ ‫ي‬ َ ِّْ‫اْلُلَ َفاء الْ َم ْهدي‬ َُ ْ ُ ْ َْ
ٍ ٍ ِ ِِ
ٌ‫ضَلَلَة‬ َ ‫ َوإِ ََّّي ُك ْم َوُُْم َد ََثت اِل ُُم ْوِر فَِإ َّف ُك َّل ُُْم َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َعة‬،‫ِِبلنػ ََّواجذ‬
“Berpegang teguhlah dengan sunnah (ajaran)ku dan sunnahnya al-
Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk, penganglah ia erat-erat dan
gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh kalian perkara yang diada-
adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud 4609, Ahmad 17144,

33
Ibnu Majah 42, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’is
Shaghir 2549)
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

‫ور‬‫ف‬ُ ‫غ‬
َ ‫اَّلل‬
َّ ‫و‬ ‫م‬‫ك‬ُ ‫وب‬‫ن‬
ُ ‫ذ‬
ُ ‫م‬‫ك‬ُ ‫ل‬
َ ‫ر‬ ِ ‫اَّلل ويػ ْغ‬
‫ف‬ َّ ‫م‬‫ك‬ُ ‫ب‬ِ
‫ب‬ ‫ُي‬
ُ ِ
‫وِن‬ ‫ع‬ِ‫ب‬َّ
‫ت‬ ‫ا‬َ‫ف‬ ‫اَّلل‬
َّ ‫ف‬
َ ‫و‬‫ب‬
ُّ ُِ ‫قُل إِ ْف ُكْنػتُم‬
‫ُت‬
ٌ ُ َ ْ َ ْ ْ ََ ُ ُ ْ ْ ُ َ ْ ْ
‫َرِح ٌيم‬
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31)
Dari sini kita mengetahui bahwa setiap amalan yang tidak ada
tuntunannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka amalan
tersebut tidaklah diterima, meskipun pelakunya menganggap itu sebagai
sebuah kebaikan, bahkan meskipun diamalkan oleh banyak orang.
Penghalang Diterimanya Amal
Perlu diketahui di sini, bahwa selain hal-hal yang bertentangan
dengan syarat-syarat diterimanya amal (kekafiran, tidak ikhlas, dan tidak
mengikuti tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), ternyata ada juga
hal-hal yang harus diwaspadai dan dijauhi agar amalan kita diterima oleh
Allah ta'ala. Karena ada amal ibadah yang meskipun itu dikerjakan dengan
ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
namun amalan tersebut tidak diterima oleh Allah ta'ala jika ada
penghalangnya. Apa saja itu? Berikut ini kami sebutkan di antaranya:
Anak yang Durhaka, Mengungkit-ungkit Kebaikan Disertai Menyakiti Hati
Orang yang Diberi Kebaikan, dan Mendustakan Takdir
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ب ِِبلْ َق ْد ِر‬ ِّ ‫ وم َك‬،‫ ومنَّا ٌف‬،‫اؽ‬


‫ذ‬ ّّ ‫ع‬ :‫َل‬
ً ‫د‬
ْ ‫ع‬ ‫َل‬
‫و‬
َ ‫ا‬ً‫ف‬
‫ر‬ ‫ص‬ ‫م‬‫ه‬‫ػ‬‫ن‬ْ ِ ‫ثَََلثةٌ ََل يػ ْقبل هللا‬
‫م‬
ٌ َُ ََ َ َ َ َْ ْ ُ ُ ُ َ َ
“Ada tiga golongan yang Allah tidak menerima amal ibadah mereka baik
yang wajib maupun yang sunnah: anak yang durhaka, orang yang

34
mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang mendustakan takdir.”
(HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah 323 dan ath-Thabrani dalam al-
Mu’jamul Kabir 7547, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-
Ahadits ash-Shahihah 1785)
Budak yang Kabur, Perempuan yang Bermalam Sementara Suaminya
Marah padanya, dan Pemimpin yang Dibenci Kaumnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِ
ْ َ‫ َو ْامَرأَةٌ َِبت‬،‫ ا َلعْب ُد اآلبِ ُق َح ََّّت يَػْرج َع‬:‫صَلَتػُ ُه ْم آ َذانَػ ُه ْم‬
‫ت‬ َ ‫ثََلَثَةٌ َلَ ُُتَا ِوُز‬
‫ َوإِ َم ُاـ قَػ ْوٍـ َوُى ْم لَوُ َكا ِرُىو َف‬،‫ط‬ ِ ‫وزوجها علَيػها س‬
ٌ ‫اخ‬ َ َ ْ َ َ ُ ََْ
“Ada tiga golongan yang shalat mereka tidak melebihi telinga mereka (tidak
diterima oleh Allah): budak yang kabur sampai ia kembali, perempuan yang
melewati malamnya dalam keadaan suaminya marah kepadanya, dan orang
yang memimpin suatu kaum sedangkan mereka membencinya.” (HR. at-
Tirmidzi 360, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat
Tarhib 487)
Meninggalkan Shalat Ashar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ص ِر فَػ َق ْد َحبِ َط َع َملُو‬


ْ ‫صَلََة الْ َع‬
َ ‫َم ْن تَػَرَؾ‬
“Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, terhapuslah amalannya.” (HR.
Bukhari 553)
Mendatangi Dukun
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ي لَْيػلَ ًة‬ ِ‫من أَتَى عَّرافًا فَسأَلَو عن َشى ٍء ََل تُػ ْقبل لَو ص ََلةٌ أَربع‬
َ ْ َْ َ ُ ْ َ ْ ْ ْ َ ُ َ َ َْ

35
“Siapa yang mendatangi peramal, kemudian bertanya kepadanya tentang
sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam.”
(HR. Muslim 2230)
Ini jika hanya sekedar bertanya, jika sampai percaya padanya maka
Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ فَػ َق ْد َك َفَر ِِبَا أُنْ ِزَؿ َعلَى ُُمَ َّم ٍد‬،‫وؿ‬


ُ ‫ص َّدقَوُ ِِبَا يَػ ُق‬
َ ‫ف‬
َ ،‫ا‬ً‫ف‬ ‫ا‬
‫ر‬َّ ‫ع‬
َ ‫َو‬
ْ ‫أ‬ ‫ا‬ً‫ن‬ ِ ‫من أَتَى َك‬
‫اى‬ َْ
“Siapa yang mendatangi dukun atau peramal, kemudian ia mempercayainya,
maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad 9536, dinilai hasan oleh Syaikh
Syu’aib al-Arnauth pada tahqiq beliau terhadap hadits ini dalam Musnad
Imam Ahmad)
Kesimpulan
Jadi amal ibadah yang diterima oleh Allah adalah amalan seorang
muslim yang ikhlas dan mengikuti rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini
secara umum, sebagaimana terkandung dalam surat al-Kahfi ayat 110, Allah
subhanahu wa ta'ala berfirman:

‫َح ًدا‬
‫أ‬ ‫و‬ ِ ‫فَمن َكا َف يػرجو لَِقاء ربِِو فَػْليػعمل عم ًَل ص‬
ِِ‫اْلا وََل ي ْش ِرْؾ بِعِباد ِة رب‬
َ َّ َ َ ُ َ ً َ َ َ ْ َ ْ َ َّ َ ُ ْ َ َْ
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini
mengatakan: “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih” yaitu
yang sesuai syari’at Allah, “janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadah kepada Tuhannya” yaitu yang hanya mengharapkan wajah
Allah saja tanpa mempersekutukan-Nya. Inilah dua rukun amalan yang
diterima (dari seorang muslim -penj.). Harus ikhlas hanya untuk Allah dan
benar-benar menurut tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”
(Tafsir Al-Qur’anil Adhim hal. 1753)

36
Selain itu kita juga harus waspada terhadap perbuatan-perbuatan
dosa yang bisa membuat amalan kita terhapus atau tidak diterima oleh Allah
'azza wa jalla meskipun telah ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana hal ini telah dijelaskan.
Demikian, maka hendaknya kita jangan sampai tertipu dengan
banyaknya amalan yang telah dikerjakan, tapi hendaknya kita sibuk untuk
meperbaiki dan mengoreksi amalan-amalan kita; sudahkah ia benar-benar
ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ataukah
belum. Semoga Allah melimpahkan kepada kita hidayah taufik-Nya untuk
beramal shalih, dan semoga Allah menerima amal-amal ibadah kita.

Mutiara Hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

،‫ب إِلَْي ِو ِّمَّا ِس َو ُاُهَا‬


َّ ‫َح‬ ‫أ‬ ‫و‬
ُ ‫ل‬
ُ‫و‬
َ ُ ََ ُ ْ َ‫س‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫هللا‬ ‫ف‬َ ‫و‬‫ك‬ُ ‫ي‬ ‫ف‬ْ َ
‫أ‬ : ِ َ‫الّْي‬
‫اف‬ ِ ْ ‫ة‬
َ‫و‬َ َ‫َل‬
َ ‫ح‬ ‫ن‬َّ ِِ‫ث من ُك َّن فِي ِو وج َد ِب‬
ََ ْ ْ َ ٌ َ‫ثََل‬
‫ِف الْ ُك ْف ِر بػَ ْع َد أَ ْف أَنْػ َق َذهُ ا ََّّللُ ِمنْوُ َك َما‬ ِِ ِ َّ ‫َوأَ ْف ُُِي‬
َ ‫ َوأَ ْف يَ ْكَرَه أَ ْف يػَ ُع‬،‫ب الْ َم ْرءَ ََل ُُيبُّوُ إََِّل ََّّلل‬
ْ ِ ‫ود‬
‫ِف النَّا ِر‬
ِْ ‫ؼ‬ َ ‫يَ ْكَرهُ أَ ْف يػُ ْق َذ‬
“Ada tiga perkara, yang barangsiapa pada dirinya ada ketiga hal ini, maka
dia akan merasakan manisnya keimanan: Allah dan Rasul-Nya lebih dia
cintai daripada selain keduanya; mencintai seseorang hanya karena Allah;
dan benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya
darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api neraka .”
(HR. Bukhari 16 dan Muslim 43)

37
WAJIBNYA MENELADANI RASULULLAH DALAM
BERIBADAH
Saudara-saudariku kaum muslimin dan muslimah yang semoga
senantiasa dirahmati oleh Allah ta'ala.
Tujuan Hidup Kita Adalah untuk Beribadah
Sebagai seorang manusia, kita menjalani kehidupan di dunia ini
semenjak dilahirkan hingga kita meninggal dunia. Kita pun menjalani
aktifitas kehidupan sebagaimana makhluk hidup yang lainnya. Hanya saja
Allah membedakan kita dengan makhluk lainnya, Allah subhanahu wa ta'ala
menciptakan kita untuk satu tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk
mentauhidkan-Nya, dengan beribadah hanya kepada-Nya saja. Dalam ayat
yang insyaallah tak asing lagi bagi kita, Allah ta'ala berfirman:

ِ ‫النْس إََِّل لِيػعب ُد‬ ِْ ‫وما خلَ ْقت‬


‫وف‬ ُْ َ َ ِْ ‫اْل َّن َو‬ ُ َ ََ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)
Sehingga hendaknya setiap diri melihat kepada masing-masing
perbuatannya selama ini, sudahkah ia menyibukkan kesehariannya dengan
beribadah kepada Allah, ataukah justru lebih banyak memperhatikan
dunianya, sehingga ia terlalu sibuk dengan berbagai macam urusan dunia
hingga memalingkannya dari tujuan penciptaannya.
Manusia Tidak Tahu Bagaimana Beribadah
Kemudian, ketika kita telah mengetahui bahwa tujuan hidup kita
adalah untuk beribadah kepada Allah ta'ala, maka kini muncul pertanyaan:
“Bagaimanakah cara kita beribadah kepada Allah 'azza wa jalla?” Mengingat
sebagai manusia kita lahir dalam keadaan bodoh dan tidak tahu apa-apa,
dan kita pun tidak mungkin sok tahu dengan membuat-buat atau menerka-
nerka bentuk ibadah kepada Allah tanpa bimbingan dari-Nya. Maka kita pun
membutuhkan bimbingan agar bisa beribadah dengan benar.

38
Allah Mengutus Rasul-Nya untuk Menjelaskan Cara Beribadah
Kepada-Nya
Dari sinilah Allah subhanahu wa ta'ala mengutus Rasul-Nya, untuk
menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah ta'ala. Dialah Nabi
kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat kita cintai
bersama. Maka Allah pun mengutus beliau dengan bimbingan wahyu dari-
Nya. Allah pun telah menurunkan al-Qur’an kepada beliau sebagai petunjuk
bagi manusia. Sehingga tidaklah beliau bertindak dan berkata
menyampaikan agama, kecuali berdasarkan wahyu dari Allah ta'ala. Allah
subhanahu wa ta'ala berfirman:

‫وحى‬‫ي‬ ‫ي‬ ‫ح‬


ْ ‫و‬ َّ
‫َل‬ ِ‫وما يػْن ِط ُق َع ِن ا َْلَوى إِ ْف ُىو إ‬
ٌَُ َ َ َ َ ََ
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keingingannya, melainkan ia
adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm [53]: 3-4)
Rasulullah Telah Menyampaikan Secara Sempurna
Kemudian Nabi kita yang mulia shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menyampaikan agama ini dengan sangat baik dan sempurna. Hingga Allah
pun berfirman:

ِْ ‫يت لَ ُكم‬
‫ال ْس ََل َـ‬ ‫ض‬ِ ‫الْيػوـ أَ ْكمْلت لَ ُكم ِدينَ ُكم وأََْتَمت علَي ُكم نِعم ِت ور‬
ُ ُ ََ َ ْ ْ ْ َ ُ ْ َ ْ ْ ُ َ َ َْ
‫ِدينًا‬
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama
bagimu.” (QS. al-Maidah [5]: 3)
Maka tidak ada satu kebaikan pun kecuali telah dijelaskan, dan tidak
ada satu keburukan pun kecuali telah dijelaskan pula oleh beliau shallallahu
'alaihi wa sallam. Semua telah beliau sampaikan dengan sempurna tanpa
tersisa. Salah seorang sahabat yang mulia, Abu Dzar radhiyallahu 'anhu
pernah berkata:

39
‫ إََِّل َوُى َو يُ َذ ّكِ ُرََن‬،‫احْي ِو ِ ِْف ا َْلََو ِاء‬َ‫ن‬‫ج‬ ‫ب‬ِ‫ وما طَائِر يػ َقل‬،‫اَّلل ملسو هيلع هللا ىلص‬
ّ
َ َ ُ ُ ٌ ََ
َِّ ‫وؿ‬ ُ ‫تَػَرَكنَا َر ُس‬
‫اع ُد ِم َن‬ ِ ‫اْلن َِّة ويػب‬
ْ ‫ن‬ ِ ‫ ما ب ِقي َشيء يػ َق ِرب‬:‫ فَػ َق َاؿ ملسو هيلع هللا ىلص‬:‫ قَ َاؿ‬،‫ِمْنو ِعْلما‬
‫م‬
َُ َ َ ُ ّ ُ ٌ ْ َ َ َ ً ُ
‫ي لَ ُك ْم‬ َ ُِّ‫النَّا ِر إََِّل َوقَ ْد بػ‬
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah meninggalkan kita, tidaklah
seekor burung mengepak-epakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau
telah menyebutkan ilmunya.” Abu Dzar radhiyallahu 'anhu melanjutkan:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah bersabda: “Tidak tersisa
sedikitpun apa-apa yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka
kecuali telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. ath-Thabrani dalam al-
Mu’jamul Kabir 1647, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-
Ahadits ash-Shahihah 1803)
Ibadah Kita Hanya Mengikuti Tuntunan Rasulullah
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

‫ور‬ َّ ‫اَّللُ َويَػ ْغ ِفْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم َو‬


ٌ ‫اَّللُ َغ ُف‬ َّ ‫قُ ْل إِ ْف ُكْنػتُ ْم ُُِتبُّو َف‬
َّ ‫اَّللَ فَاتَّبِعُ ِوِن ُُْيبِْب ُك ُم‬
‫َرِح ٌيم‬
“Katakanlah (wahai Nabi Muhammad): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa
kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran *3+:
31)
Maka kita sebagai umat Islam, sebagai hamba Allah, sebagai umat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kita hanya beribadah kepada Allah
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepada Nabi-Nya, yang kemudian
telah beliau ajarkan dan sampaikan kepada kita. Sehingga ibadah kita pun
hanya dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka kita tidak boleh beribadah dengan amalan yang tidak pernah diajarkan
atau dicontohkan oleh beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan dengan

40
jelas beliau melarang perkara yang diada-adakan dalam agama. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ّّ‫س َعلَْي ِو أ َْم ُرََن فَػ ُه َو َرد‬ ‫ي‬َ‫ل‬ ‫َل‬


ً ‫م‬‫ع‬
َ ْ َ َ َ َْ
َ ‫ل‬‫م‬ِ ‫من ع‬
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim 1718)
Sahabat al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu pernah berkata:

‫ات يَػ ْوٍـ ُُثَّ أَقْػبَ َل َعلَْيػنَا فَػ َو َعظَنَا َم ْو ِعظَ ًة بَلِيغَ ًة‬ َ ‫ذ‬
َ ‫ملسو هيلع هللا ىلص‬ َِّ ‫وؿ‬
‫اَّلل‬ ُ ‫صلَّى بِنَا َر ُس‬َ
‫َف‬ َِّ ‫وؿ‬
َّ ‫اَّلل َكأ‬ َ ‫ ََّي َر ُس‬:‫وب فَػ َق َاؿ قَائِ ٌل‬ ‫ل‬
ُ ‫ق‬
ُ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ػ‬‫ن‬ْ ِ ‫َذرفَت ِمْنػها الْعيو ُف ووِجلَت‬
‫م‬
ُ َ ْ َ َ ُُ َ ْ َ
‫الس ْم ِع‬ َِّ ‫ُوصي ُكم بِتػ ْقوى‬
َّ ‫اَّلل َو‬ ِ ‫ أ‬:‫ى ِذ ِه مو ِعظَةُ موِد ٍع فَما َذا تَػعه ُد إِلَيػنَا؟ فَػ َق َاؿ‬
َ ْ َ ْ َ ْ َ ّ َُ ْ َ َ
‫اختِ ََلفًا‬ ‫ى‬ ‫ر‬ ‫ػ‬‫ي‬‫س‬ ‫ف‬
َ ‫ي‬ ِ ‫ فَِإنَّو من يعِش ِمْن ُكم بػع‬،‫والطَّاع ِة وإِ ْف عب ًدا حب ِشيِّا‬
‫د‬
ْ َََ ْ ْ َ ْ ْ َ َْ ُ َ َ َْ َ َ َ
‫ض ْوا‬ُّ ‫الر ِاش ِديْ َن ََتَ َّس ُك ْوا ِِبَا َو َع‬
َّ ‫ي‬ ِ
‫ي‬ ِ ‫اْللَ َف ِاء الْمه‬
‫د‬ ْ ِ ‫ فَػعلَي ُكم بِسن َِّت وسن‬،‫َكثِريا‬
‫َّة‬
َ ّْ ْ َ ُ َُ ْ ُ ْ َْ ً
‫ َوإِ ََّّي ُك ْم َوُُْم َد ََث ِت اِل ُُم ْوِر فَِإ َّف ُك َّل ُُْم َدثٍَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َع ٍة‬،‫َعلَْيػ َها ِِبلنػ ََّو ِاج ِذ‬
ٌ‫ضَلَلَة‬
َ
“Suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat mengimami kami,
kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasihat yang
sangat menyentuh, membuat mata-mata menangis dan hati-hati pun
bergetar. Maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, seakan-akan ini
adalah nasehat perpisahan, maka apa yang engkau pesankan kepada kami?’
Beliau pun berpesan: ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa
kepada Allah, dan selalu mendengar dan taat (kepada pemimpin kalian)
meskipun ia adalah seorang budak dari negeri Habasyah, sesungguhnya
siapa di antara kalian yang masih hidup setelahku, maka ia akan melihat
perpecahan yang banyak, maka berpegang teguhlah dengan sunnah
(ajaran)ku dan sunnahnya al-Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk,

41
penganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah
oleh kalian perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang
diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.’” (HR.
Abu Dawud 4609, Ahmad 17144, Ibnu Majah 42, dishahihkan oleh Syaikh al-
Albani dalam Shahihul Jami’is Shaghir 2549)
Mengikuti Tuntunan Nabi Adalah Keselamatan dan Berpaling
darinya Adalah Kebinasaan
Ibnu Wahb berkata: Dahulu kami sedang berada di sisi Imam Malik,
kemudian aku menyebut tentang sunnah, maka Imam Malik rahimahullah
berkata:

‫ف َعْنػ َها َغ ِر َؽ‬ ِ ِ


َ َّ‫السنَّةُ َسفْيػنَةُ نػُ ْو ٍح َم ْن َركبَػ َها َْمَا َوَم ْن ََتَل‬
ُ
“Sunnah adalah perahunya Nabi Nuh 'alaihissalam, siapa yang menaikinya ia
selamat, dan siapa yang berpaling darinya maka ia tenggelam.” (Tarikhu
Dimasyq 14/9 karya Ibnu Asakir rahimahullah)
Oleh karena itulah, mengikuti sunnah (ajaran/tuntunan) Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beragama adalah kewajiban setiap
muslim, dan ia adalah keselamatan. Sebaliknya, siapa yang tidak mengikuti
sunnah, maka ia pasti terjatuh ke dalam bid’ah. Sedangkan mengikuti bid’ah
atau perkara yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada tuntunannya
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah larangan, kesesatan, dan
bahkan kebinasaan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

‫ض ََللٍَة ِ ِْف‬ ٍ ٍ
َ ‫َو َشَّر ْاِل ُُم ْوِر ُُْم َد ََثتػُ َها َوُك َّل ُُْم َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َعة‬
َ ‫ض ََللَةٌ َوُك َّل‬
‫النَّا ِر‬
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat,
dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. an-Nasa`i 1578 dinilai
shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shaghir 1353)

42
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah bersabda mengingatkan
kita agar selalu berpegang teguh dengan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga
kita tidak akan tersesat:
ِ ‫ كِتاب‬:َ‫ضلُّوا بػع َدُها‬
ِ ‫هللا َو ُسن‬
‫َّت َولَ ْن يَػتَػ َفَّرقَا َح ََّّت‬ ِ َ‫ي لَن ت‬
ِ ‫ػ‬‫ئ‬ ‫ػ‬‫ي‬ ‫ش‬ ‫م‬‫ك‬ُ ‫ي‬ِ‫تَػرْكت ف‬
ْ َ َ ُ َْ ْ ْ ْ َ َ
ْ ْ ْ ُ َ
‫ض‬ َ ‫يَ ِرَدا َعلَ َّي اْلَْو‬
“Aku meninggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat
selama berpegang teguh dengan keduanya: Kitabullah (al-Qur’an) dan
Sunnahku (ajaranku), keduanya tidak akan berpisah hingga mendatangiku di
telaga.” (HR. al-Hakim 319, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul
Jami’ish Shaghir 2937)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata:
ٍ ِ ِ ِ
َ ‫ َوُك ُّل بِ ْد َعة‬،‫اتَّبِعُ ْوا َوََل تَػْبػتَد ُع ْوا فَػ َق ْد ُكفْيػتُ ْم‬
ٌ‫ض ََللَة‬
“Ikutilah sunnah dan jangan membuat bid’ah, sesungguhnya kalian telah
dicukupi. Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Diriwayatkan oleh Abu
Khaitsamah dalam al-Ilmu no. 54, lihat Ilmu Ushulil Bida’ karya Syaikh Ali
Hasan al-Halabi hafidzahullah hal. 20)
Az-Zuhri Imamnya para Imam dan selainnya dari para ulama umat
rahimahumullah mengatakan:

‫َّسلِْي ُم‬
ْ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫ا‬َ‫ن‬‫ػ‬ ‫ي‬
َْ‫ل‬‫ع‬َ ‫و‬ ‫غ‬
ُ ‫َل‬
َ
َ َ ُْ ‫الب‬ ِ‫الرسو‬
‫ؿ‬ َّ ‫ى‬َ‫ل‬‫ع‬َ ‫و‬ ‫ف‬
ُ
َ ََ‫ا‬ ‫ي‬‫ػ‬ ‫ب‬‫ال‬ ِ ‫علَى‬
‫هللا‬ َ
“Allah yang menjelaskan, kewajiban Rasulullah adalah menyampaikan,
sedangkan kewajiban kita adalah menerima sepenuhnya.” (Aqidatus Salaf
wa Ashabil Hadits 190, lihat Hayatus Salaf Bainal Qauli wal Amal karya
Syaikh Ahmad bin Nashir ath-Thayyar hafidzahullah hal.27)
Ibnu Aun rahimahullah berkata ketika sakaratul maut:

َ ‫ َوإِ ََّّي ُك ْم َوالبِ َد‬،َ‫السنَّة‬


‫ع‬ ُ َ‫السنَّة‬
ُ
43
“Sunnah, sunnah (berpegang teguhlah dengannya), dan jauhilah bid’ah!”
(Beliau mengucapkannya) sampai meninggal dunia. (Syarhus Sunnah 126-
129, Lihat Hayatus Salaf Bainal Qauli wal Amal karya Syaikh Ahmad bin
Nashir ath-Thayyar hafidzahullah hal. 36)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
ِ ‫ فَػ ُقولُوا بِسن َِّة رسوِؿ‬،‫هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬
‫هللا‬ ِ ‫ؼ سن َِّة رسوِؿ‬
َ ‫َل‬
َ ِ ‫إِذَا وج ْد َُت ِِف كِتَ ِاب‬
‫خ‬
ُْ َ ُ ْ ْ ُْ َ ُ ْ ْ ْ ََ
‫ت‬ُ ‫َوَدعُ ْوا َما قُػْل‬
“Jika engkau mendapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah
Rasulullah dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Shifatush Shafwah
2/556, Lihat Hayatus Salaf Bainal Qauli wal Amal karya Syaikh Ahmad bin
Nashir ath-Thayyar hafidzahullah hal. 39)
As-Sari as-Saqati rahimahullah berkata:

‫قَلِْي ٌل ِ ِْف ُسن ٍَّة َخْيػٌر ِم ْن َكثٍِْري ِ ِْف بِ ْد َع ٍة‬


“Sedikit di dalam sunnah adalah lebih baik daripada banyak tapi dalam
kebid’ahan.” (Shifatush Shafwah 2/627, Lihat Hayatus Salaf Bainal Qauli wal
Amal karya Syaikh Ahmad bin Nashir ath-Thayyar hafidzahullah hal. 41)
Bahkan Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:

َّ ‫ع ِ ِْف ا ِل ْس ََلِـ بِ ْد َعةً يَػَر َاىا َح َسنَةً فَػ َق ْد َز َع َم أ‬


‫َف ُُمَ َّم ًدا ملسو هيلع هللا ىلص َخا َف‬ ِ
َ ‫َم ْن ابْػتَ َد‬
‫ت لَ ُك ْم ِديْػنَ ُك ْم} فَ َما ََلْ يَ ُك ْن يَػ ْوَمئِ ٍذ‬ ُ ‫ {اليَػ ْوَـ أَ ْك َمْل‬:‫َف هللاَ يَػ ُق ْو ُؿ‬ َّ ‫ ِِل‬،َ‫الر َسالَة‬
ِ
ّ
‫ فَ ََل يَ ُك ْو ُف اليَػ ْوَـ ِديْػنًا‬،‫ِديْػنًا‬
“Siapa yang membuat bid’ah dalam Islam, dan ia menganggapnya sebagai
perbuatan yang baik, maka ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena

44
Allah telah berfirman: {Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian
agama kalian}. Maka apa yang pada hari itu bukan termasuk bagian dari
agama, begitu juga pada hari ini tidak termasuk bagian dari agama.” (Al-
I’tisham 1/65, lihat Nurus Sunnah wa Dhulumatul Bid’ah hal 47 karya Syaikh
Sa’id bin Wahf al-Qahthan rahimahullah)
Demikianlah ucapan para ulama kaum muslimin di zamannya dalam
berpegang teguh dengan sunnah dan menjauhi bid’ah. Kita harus
meninggalkan dan menjauhi amalan yang diada-adakan dalam agama yang
tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan
meskipun diamalkan oleh banyak manusia dan mereka memandangnya
sebagai sebuah kebaikan. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua dan
menjadikan kita selalu berada di atas jalan sunnah Nabi-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam hingga kita meninggal dunia. Allahumma aamiin.

Mutiara Hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ي‬
َْ ‫ََجَع‬ ِ ‫ب إِلَْي ِو ِم ْن َوالِ ِدهِ َوَولَ ِدهِ َوالن‬
ِ ْ ‫َّاس أ‬
َ ‫َح ُد ُك ْم َح ََّّت أَ ُك ْو َف أ‬
َّ ‫َح‬ ِ
َ ‫ََل يػُ ْؤم ُن أ‬
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai
olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.”
(HR. Bukhari 15 dan Muslim 44)

45
MAKNA SUNNAH
Sebagai orang Islam, tentunya kita sering mendengar istilah sunnah,
namun banyak juga di antara kita yang kurang mengetahui apa itu arti dari
sunnah. Bahkan mungkin ada sebagian yang bingung, ketika ternyata ia
mendapati bahwa sunnah tidak hanya memiliki satu makna. Maka pada
tulisan ini insyaallah akan dijelaskan tentang makna sunnah. Semoga bisa
dipahami dan bermanfaat.
Makna Secara Bahasa
Sunnah secara bahasa adalah jalan dan juga perjalanan, yang baik
ataupun buruk. (Lisanul Arab 13/225, lihat Wasathiyah Ahlis Sunnah bainal
Firaq karya Syaikh Muhammad Bakarim Muhammad Ba’abdillah
hafidzahullah hal. 29)
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
ِ‫اَّلل لِيػبػِي لَ ُكم ويػه ِدي ُكم سن َن الَّ ِذين ِمن قَػبل‬
‫اَّلل‬
َُّ ‫وب َعلَْي ُك ْم َو‬
َ َُ َ ْ ْ ْ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ ّ َُ َُّ ‫يد‬
‫ت‬‫ػ‬‫ي‬‫و‬ ‫م‬‫ك‬ُ ُ ‫يُِر‬
‫َعلِ ٌيم َح ِك ٌيم‬
“Allah hendak menerangkan (syari’at-Nya) kepadamu, dan menunjukkan
jalan-jalan (kehidupan) orang yang sebelum kamu (para Nabi dan orang-
orang shalih) dan Dia menerima taubatmu. Allah Maha Mengetahui Maha
Bijaksana.” (QS. an-Nisa [4]: 26)
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

‫َج ُر َم ْن َع ِم َل ِِبَا بَػ ْع َدهُ ِم ْن‬ ْ ‫َم ْن َسنَ ِ ِْف ا ِل ْسَلَِـ ُسنةَ َح َسنَةً فَػلَوُ أ‬
ْ ‫َج ُرَىا َوأ‬
‫ال ْسَلَِـ ُسنَّةً َسيِّئَ ًة َكا َف‬ ِْ ‫ُجوِرِىم َشىءٌ وَم ْن َس َّن ِِف‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫َغ ِري أَ ْف يػْنػ ُقص‬
ْ
َ ْ ْ ُ ْ َ َ

46
‫ص ِم ْن أ َْوَزا ِرِى ْم‬‫ق‬ُ
َ َ ‫ػ‬‫ن‬ْ ‫ػ‬‫ي‬ ‫ف‬
ْ َ
‫أ‬ ِ
‫ري‬ ‫غ‬
َ ‫ن‬‫م‬ِ ‫علَي ِو ِوْزرىا وِوْزر من ع ِمل ِِبا ِمن بػع ِد ِه‬
ْ ْ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ُ َ َُ ْ َ
ٌ‫َش ْىء‬
“Barangsiapa memberi contoh perbuatan baik dalam Islam, maka ia
mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala siapa saja yang
beramal dengannya mengikutinya setelahnya, tanpa dikurangi sedikitpun
dari pahala-pahala mereka. Dan barangsiapa yang memberi contoh
perbuatan buruk dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa perbuatan
tersebut dan dosa siapa saja yang beramal dengannya mengikutinya
setelahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim
1017)
Bila disebutkan sunnatullaah maka artinya ialah hukum-hukum,
perintah-perintah dan larangan-larangan Allah yang dijelaskan kepada
manusia. Allah al-Hakim (Yang Maha Bijaksana) berfirman:

‫ين َخلَ ْوا ِم ْن قَػْب ُل‬‫ذ‬ِ َّ‫اَّلل ِِف ال‬


َِّ َ‫سنَّة‬
َ ُ
“Sebagai sunnah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah terdahulu
sebelum(mu)…” (QS. al-Ahzab [33]: 62) (Kedudukan as-Sunnah Dalam
Syariat Islam, Karya ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah hal 30-
31)
Sunnah Dalam Syari’at
Sunnah jika dimutlakkan dalam Syari’at maka yang dimaksudkan
adalah apa yang diperintah oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
dilarangnya, serta yang beliau anjurkan, baik berupa ucapan maupun
perbuatan, yang tidak tertulis di dalam Kitabul Aziz (Al-Qur’an). Oleh karena
itulah (ketika) dikatakan di dalam dalil-dalil syar’i: “Kitab dan Sunnah”
maknanya adalah al-Qur’an dan Hadits.” (Al-Mukhtasharul Hatsits fi Bayani
Ushuli Manhajis Salaf Ashabil Hadits, karya Syaikh Isa Malullah Faraj
hafidzahullah hal 29)

47
Sunnah Menurut Istilah
Makna sunnah berbeda-beda menurut para ahli ilmu sesuai bidang
mereka, baik itu ahli hadits, ulama ushul, ahli fiqih, ulama penasehat dan
ushuludin. Meskipun mereka semua sepakat bahwa sunnah adalah
sunnahnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Terjadinya perbedaan makna
di antara mereka adalah ketika membuat perincian dan pembatasan
(perbedaan ini dikembalikan kepada makna sunnah secara istilah sesuai
perbedaan mereka dalam tujuan-tujuan yang dimaksudkan oleh setiap ahli
ilmu). (As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’il Islami hal. 48, Lihat
Wasathiyah Ahlis Sunnah bainal Firaq hal. 30)
1) Makna sunnah menurut istilah Ulama Ahli Fiqih
Mereka mengatakan: “Sunnah adalah sebuah cara yang ditempuh
dalam agama selain yang fardhu dan tidak wajib.” (Wasathiyah Ahlis
Sunnah bainal Firaq hal. 31)
“Sunnah di sini menurut mereka adalah yang semakna dengan
mandub (dianjurkan) atau mustahab (disukai).” (Al-Mukhtasharul Hatsits
hal. 30)
Mandub (Sunnah) itu jika dikerjakan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa. (Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul karya Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah hal. 11)
Maka makna sunnah di sini semisal ucapan orang yang berkata:
“Selain mengamalkan yang wajib, hendaknya kita juga berlomba-lomba
dalam mengamalkan amalan-amalan sunnah.” Artinya bahwa hendaknya
kita memperbanyak amalan-amalan yang dianjurkan.
2) Makna sunnah menurut istilah Ulama Ushul Fiqih
Mereka mengatakan: “Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain al-Qur’an.” Sunnah di sini
meliputi ucapan, perbuatan, persetujuan, tulisan, isyarat, keinginan dan
perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meninggalkan
sesuatu. (Al-Mukhtasharul Hatsits hal. 30)
Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqity rahimahullah berkata

48
tentang makna sunnah: “Menurut istilah syari’at adalah apa yang
dikatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dilakukan
oleh beliau, dan yang beliau tetapkan.” (Wasathiyah Ahlis Sunnah bainal
Firaq hal. 31)
3) Makna sunnah menurut istilah Ulama Ahli Hadits
Mereka mengatakan: “Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan beliau, sifat jasmani atau sifat akhlak, baik sebelum beliau
diangkat sebagai Nabi dan ataupun setelah diangkat sebagai Nabi.” Jadi
menurut mereka makna sunnah di sini semakna dengan hadits. (Al-
Mukhtasharul Hatsits hal. 30)
Maka makna sunnah di sini seperti ucapan seseorang: “Mari kita
biasakan mengamalkan doa sehari-hari sesuai al-Qur’an dan Sunnah yang
shahih!” Maksudnya yaitu kita membiasakan membaca doa-doa yang
terdapat dalam al-Qur’an dan doa-doa yang tidak terdapat dalam al-
Qur’an tapi ada di dalam hadits yang tetap berasal dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
4) Makna sunnah menurut istilah Ulama Aqidah atau Ulama Salaf
Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari hafidzahullah
mengatakan: “Sunnah yaitu petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabat beliau, baik berupa ilmu, keyakinan, ucapan,
amalan ataupun persetujuan.” (Al-Wajiz fi Aqidatis Salafish Shalih Ahlis
Sunnah wal Jamaah hal. 21)
Inilah sunnah yang menjadi lawan bagi bid’ah, karena bid’ah
adalah suatu keyakinan atau perbuatan yang sama sekali tidak ada asal-
usulnya dari agama Islam yang mulia ini. (Risalah Bid’ah karya ustadz
Abdul Hakim bin Amir Abdat hafidzahullah hal. 12)
Kesimpulan
Demikianlah beberapa makna sunnah dari pemaparan ahli ilmu pada
masing-masing bidangnya. Sampai di sini, maka ketika kita mendengar kata
“Sunnah”, kita bisa membedakan maknanya dilihat dari konteks

49
pembicaraannya. Namun jika dimutlakkan, maka makna sunnah adalah
ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau
radhiyallahu 'anhum. Misalnya ketika ada yang berkata: “Ikutilah Sunnah!”,
maka yang dimaksud adalah agar kita mengikuti ajaran atau tuntunan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu
'anhum dalam beragama, sebagaimana yang telah beliau sabdakan:

‫َّت َو ُسن َِّة‬ ِ ‫ فَػ َعلَْي ُك ْم بِ ُسن‬،‫اختِ ََلفًا َكثِ ًريا‬ ‫ى‬ ‫ر‬ ‫ػ‬‫ي‬‫س‬ ‫ف‬
َ ‫ي‬ ِ ‫فَِإنَّو من يعِش ِمْن ُكم بػع‬
‫د‬
ْ ْ َََ ْ ْ َ ْ ْ َ َْ ُ
‫ َوإِ ََّّي ُك ْم‬،‫ض ْوا َعلَْيػ َها ِِبلنػ ََّو ِاج ِذ‬ُّ ‫الر ِاش ِديْ َن ََتَ َّس ُك ْوا ِِبَا َو َع‬ ِ ِ ْ
َّ ‫ي‬ َ ِّْ‫اْلُلَ َفاء الْ َم ْهدي‬
ٍ ٍ ِ
َ ‫َوُُْم َد ََثت اِل ُُم ْوِر فَِإ َّف ُك َّل ُُْم َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َعة‬
ٌ‫ضَلَلَة‬
“Sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup setelahku, maka ia
akan melihat perpecahan yang banyak, maka berpegang teguhlah dengan
sunnah (ajaran)ku dan sunnahnya al-Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat
petunjuk, penganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan
jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena
setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
kesesatan.’” (HR. Abu Dawud 4609, Ahmad 17144, Ibnu Majah 42,
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’is Shaghir 2549)
Al-Khulafa`ur Rasyidin adalah empat khalifah (pemimpin pengganti
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) yang mendapat petunjuk, yang
merupakan tokoh dari para sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq,
Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
'anhum ajma’in.
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Sunnah
adalah jalan yang ditempuh, yang mencakup berpegang teguh dengan apa
yang dijalani oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan al-Khulafa’ur
Rasyidin yang berupa keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah yang
sempurna. Oleh karena itulah para ulama salaf terdahulu tidaklah

50
memutlakkan nama sunnah kecuali apa yang mencakup hal tersebut
seluruhnya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam II/120)
Demikian pula ketika dikatakan: “Kajian Sunnah”, maka maksudnya
adalah pengajian yang di dalamnya dibahas perihal agama Islam sesuai
dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta
para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum dalam mengamalkan dan
mendakwahkan Islam.
Demikianlah makna sunnah yang bisa kami kemukakan, semoga
bermanfaat dan bisa dipahami, wallahu a’lam.

Mutiara Salaf
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam rahimahullah berkata:

ِ ‫السْي‬
‫ف‬ َّ ‫ب‬ِ ‫ضر‬ ِ ْ‫ وىو الْيػوـ ِعْن ِدي أَف‬،‫اْلم ِر‬ ُّ ِ‫الْ ُمتَّبِ ُع ل‬
ِ ِ‫لسن َِّة َكالْ َقاب‬
ْ َ ‫ض ُل م ْن‬
َ ْ َ ْ َ َ ُ َ ْ َْ ‫ض َعلَى‬
ِ‫ِِف سبِي ِل هللا‬
َْ ْ
“Orang yang mengikuti sunnah adalah bagaikan orang yang memegang
bara api, dan ia bagiku pada hari ini adalah lebih baik daripada
menebaskan pedang dalam rangka berjihad di jalan Allah.”
(Aqidah Salaf wa Ashabul Hadits hal. 252, lihat Hayatus Salaf Bainal Qauli wal Amal hal.
36, karya Syaikh Ahmad bin Nashir ath-Thayyar hafidzahullah)
---------------------------
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata:

‫صلِ ُح‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ُ‫َم ْن َعم َل بِغَِْري عْل ٍم َكا َف َما يػُ ْفس ُد أَ ْكثَػ ُر ّمَّا ي‬
“Barangsiapa beramal tanpa ilmu, maka ia lebih banyak merusak daripada
memperbaiki.”
(Az-Zuhd Imam Ahmad hal. 244, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 101
karya Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)

51
KEDUDUKAN SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM
Sunnah di dalam agama Islam adalah setara dengan al-Qur’an, karena
sama-sama wahyu dari Allah ta'ala. Oleh karena itulah kita harus
menjadikan sunnah sebagai hujjah (pedoman dan sumber utama) dalam
beragama sebagaimana al-Qur’an. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

‫اب َوِمثْػلَوُ َم َع ُو‬


َ َ‫ت‬‫ك‬ِ ْ‫أََلَ إِِّن أُوتِيت ال‬
ُ ّ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab (al-Qur’an) dan yang
sepertinya (Sunnah) bersamanya.” (HR. Abu Dawud 4606, Ahmad 17174,
dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shaghir 2643)
Seorang Muslim Harus Mentaati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam
Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman:

ُ‫اْلِيَػَرة‬
ْ ‫اَّللُ َوَر ُسولُوُ أ َْمًرا أَ ْف يَ ُكو َف ََلُُم‬
َّ ‫ضى‬ َ‫ق‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ
‫إ‬ ٍ َ‫وما َكا َف لِم ْؤِم ٍن وََل م ْؤِمن‬
‫ة‬
َ ُ َ ُ ََ
‫ض ََلًَل ُمبِينًا‬ ‫ل‬
َّ ‫ض‬ ‫د‬
ْ ‫ق‬
َ ‫ػ‬
َ‫ف‬ ‫و‬ ‫ل‬
َ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫اَّلل‬
َّ ِ
‫ص‬ ‫ع‬ ‫ػ‬‫ي‬ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ‫م‬‫ى‬ِ‫ِمن أَم ِر‬
َ َ ُ ُ ََ َ َْ ْ ََ ْ ْ ْ
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang beriman dan perempuan yang
beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah
tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 36)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata:
ِ ‫ات والْمتػ َفلِّج‬
‫ات‬ ِ ‫ات والْمتػنَ ِمص‬
ِ ‫َّامص‬
ِ ِ ‫ات والْمستػوِِش‬
ِ ‫اَّلل الْو ِاِش‬
َ َ ُ َ َ ّ َ ُ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ َ َ َ َُّ ‫لَ َع َن‬
‫ن‬ ‫ال‬
‫و‬ ‫ات‬
َِّ ‫ات خْلق‬
ِ ِ
‫اَّلل‬ َ َ ‫لْل ُح ْس ِن الْ ُمغََِّري‬
“Allah melaknat perempuan yang mentato dan yang minta ditato,
perempuan yang menghilangkan bulu di wajahnya dan yang minta

52
dihilangkan bulu di wajahnya, perempuan yang merenggangkan giginya
untuk kecantikan, yang semua merupakan perbuatan merubah ciptaan
Allah.”
Ucapan ini pun sampai kepada seorang perempuan dari Bani Asad
yang dipanggil Ummu Ya’qub, ia biasa membaca al-Qur’an. Ia pun
mendatangi Abdullah dan berkata: “Benarkah ucapan yang sampai
kepadaku darimu, bahwa engkau melaknat perempuan yang mentato dan
yang minta ditato, perempuan yang minta dihilangkan bulu di wajahnya,
perempuan yang merenggangkan giginya, yang semua merupakan
perbuatan merubah ciptaan Allah?”
Abdullah bin Mas’ud pun berkata: “Kenapa aku tidak melaknat orang
yang dilaknat oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan hal itu
ada di dalam Kitabullah (al-Qur’an).”
Perempuan tersebut berkata: “Aku telah membaca seluruh al-Qur’an,
tapi aku tidak mendapatkan hal itu.”
Abdullah berkata: “Kalau kamu memang benar telah membacanya
berarti kamu telah mendapatkannya, Allah 'azza wa jalla berfirman: ‘Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.’ (QS. al-Hasyr *59+: 7)” (HR. Bukhari 5939 dan
Muslim 2125)
Sunnah Adalah Wahyu
Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab Al-Ihkam fii Ushuulil
Ahkaam (I/96, 207) berkata: “Sesungguhnya Allah ta'ala telah berfirman:

‫إِ ََّن َْٓم ُن نَػَّزلْنَا ال ِّذ ْكَر َوإِ ََّن لَوُ َْلَافِظُو َف‬
‘Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya
kami benar-benar memeliharanya.’ (QS. al-Hijr [15]: 9)
Kandungan dari ayat ini menurut orang yang beriman kepada Allah
ta'ala dan hari Akhir ialah bahwa Allah menjamin terpeliharanya al-Qur’an
dan tidak akan hilang selamanya. Hal ini tidak diragukan sedikitpun oleh

53
seorang muslim. Begitu pula sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
semuanya adalah WAHYU, berdasarkan Firman Allah:

‫وحى‬‫ي‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫و‬ َّ


‫َل‬ ِ‫إ‬ ‫و‬‫ى‬ ‫ف‬
ْ ِ
‫إ‬ ‫ى‬‫و‬ ‫َل‬
ْ ‫ا‬ ِ
‫ن‬ ‫ع‬ ‫ق‬‫ط‬ِ ‫وما يػْن‬
َ ُ ٌ ْ َ َُ ََ َ ُ َ ََ
‘Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keingingannya, melainkan ia
adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.’ (QS. an-Najm [53]: 3-4)
Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma berkata: Aku pernah menulis
segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
karena aku ingin menghafalnya (memeliharanya). Kemudian orang-orang
Quraisy melarangku sambil berkata, ‘Apakah engkau tulis semua yang
engkau dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang bersabda saat
senang dan di saat marah?!’ Lalu aku berhenti menulis, kemudian
menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
beliau pun berisyarat ke mulut beliau seraya bersabda:

‫ب فَػ َوالَّ ِذ ْي نَػ ْف ِس ْي بِيَ ِد ِه َما َِيُْر ُج ِمْنوُ إََِّل َح ّّق‬


ْ ُ‫ا ْكت‬
‘Tulislah! Demi (Allah) yang diriku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar
darinya (mulutku ini) kecuali al-haq (kebenaran).’ (HR. Abu Dawud 3648,
dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah
1532)
Wahyu adalah adz-Dzikr berdasarkan kesepakatan seluruh umat
Islam, sedang adz-Dzikr terpelihara berdasarkan nash al-Qur’an, maka sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terpelihara dan pasti dijaga oleh Allah
subhanahu wa ta'ala.” (Sampai di sini ucapan Imam Ibnu Hazm
rahimahullah, dinukil dari buku Kedudukan as-Sunnah dalam Syari’at Islam
karya ust Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah hal. 9-11)
Sunnah Adalah Hujjah
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz rahimahullah berkata: “Tidak
diragukan lagi bahwa sunnah yang suci menjadi landasan agama Islam

54
kedua. Adapun kedudukannya dalam agama Islam, menjadi dasar utama
setelah Kitabullah menurut ijma (kesepakatan) para ulama, bahkan mereka
sepakat bahwa Sunnah menjadi hujjah mandiri untuk seluruh umat Islam.
Siapa yang menentang atau mengingkari atau menyangka bahwa ia boleh
berpaling darinya atau hanya cukup dengan al-Qur’an, maka ia telah
tersesat secara nyata dan berbuat kekufuran besar serta murtad keluar dari
Islam, karena dengan keyakinan itu berarti ia telah mendustakan Allah dan
Rasul-Nya, mengingkari perintah Allah dan Rasul-Nya, dan mengingkari
landasan agung Islam yang Allah telah perintahkan untuk kembali dan
berpegang teguh kepadanya. Bahkan ia telah mengingkari, mendustakan
dan menentang ijma para ulama.” (Majmu Fatawa wa Maqalat
Mutanawi’ah 8/132, lihat Buku Putih Dakwah Salafiah karya ustadz Zainal
Abidin bin Syamsudin hafidzahullah hal. 83)
Kesimpulan
Sampai di sini maka tidak diragukan lagi bahwa sunnah adalah setara
dengan al-Qur’an dalam penetapan syari’at, selama sunnah itu telah tetap
berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka harus kita yakini
kebenarannya jika berupa kabar, dan harus kita taati jika berupa perintah
ataupun larangan.
Allah 'azza wa jalla berfirman:

‫اب أَلِ ٌيم‬ ‫ذ‬


َ ‫ع‬ ‫م‬‫ه‬ ‫ػ‬
ٌ َ َُْ ُ ْ‫ب‬‫ي‬‫ص‬ِ ‫صيبػهم فِْتػنَةٌ أَو ي‬
َُْ
ِ ُ‫فَػْليح َذ ِر الَّ ِذين ُِيَالِ ُفو َف عن أَم ِرِه أَ ْف ت‬
ْ َْ َ َْ
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. an-Nur [24]: 63)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah bersabda:
ِ ‫وؿ‬
:‫ َوَم ْن ََيْ َب؟ قَ َاؿ‬،‫هللا‬ َ ‫ ََّي َر ُس‬:‫اْلَنَّ َة إََِّل َم ْن أ ََب قَالُْوا‬
ْ ‫ُك ُّل أ َُّم ِ ْت يَ ْد ُخلُْو َف‬
ِ َ ‫ َوَم ْن َع‬،َ‫اْلَنَّة‬
‫اِن فَػ َق ْد أ ََب‬ ْ ‫اع ِ ِْن َد َخ َل‬
َ َ‫َم ْن أَط‬
ْ ‫ص‬

55
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?” beliau menjawab:
“Siapa yang mentaatiku maka ia masuk surga, dan siapa yang tidak mau
mentaatiku maka ia telah enggan.” (HR. Bukhari 7280)
Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu berpegang teguh
dengan al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat Nabi
tentunya, hingga akhir hayat kita. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Mutiara Salaf
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata:

،‫ب العِبَ ِاد‬ ِ ‫ فَػوج َد قَػْلب ُُمَ َّم ٍد ملسو هيلع هللا ىلص َخْيػر قُػلُو‬،‫ب العِب ِاد‬ ِ
ْ َ َ َ َ َ ‫إِ َّف هللاَ نَظََر إِ ََل قُػلُْو‬
،‫ب ُُمَ َّم ٍد‬ِ ‫ب العِبَ ِاد بَػ ْع َد قَػْل‬ ِ ‫ ُُثَّ نَظَر ِِف قُػلُو‬.‫ فَابْػتَػ َعثَوُ بِ ِرسالَتِ ِو‬،‫اصطََفاهُ لِنَػ ْف ِس ِو‬
ْ ْ َ َ ْ َ‫ف‬
‫ يػُ َقاتِلُْو َف َعلَى‬،‫ فَ َج َعلَ ُه ْم ُوَزَراءَ نَبِيِّ ِو‬،‫ب العِبَ ِاد‬ ِ ‫َصحابِِو َخْيػر قُػلُو‬
ْ َ َ ْ ‫بأ‬ َ ‫فَػ َو َج َد قُػلُْو‬
ِ‫ وما رأَوا سيِئا فَػهو عِْن َد هللا‬،‫ فَما رأَى الْمسلِمو َف حسنًا فَػهو ِعْن َد هللاِ حسن‬،‫ِدينِ ِو‬
َ ُ ًّ َ ْ َ َ َ ٌ َ َ َُ َ َ ُْ ْ ُ َ َ ْ
‫َسيِّ ٌئ‬
“Sesungguhnya Allah melihat kepada hati hamba-hambaNya, maka Allah
mendapati hati Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sebaik-
baik hati manusia, maka Allah memilih beliau untuk diri-Nya, dan mengutus
beliau dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat kepada hati
hamba-hambaNya setelah hati Nabi Muhammad, maka Allah mendapati hati-
hati para sahabat beliau adalah sebaik-baik hati hamba, maka Allah menjadikan
mereka sebagai pendamping Nabi-Nya, merekapun berperang di atas agama-
Nya. Maka apa yang dipandang kaum Muslimin (para sahabat Nabi) itu baik,
maka itu baik pula di sisi Allah, dan apa yang mereka (para sahabat Nabi)
pandang buruk, maka di sisi Allah itu adalah buruk.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3600, dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir
rahimahullah)

56
BERPEGANG TEGUH DENGAN AL-QUR’AN DAN SUNNAH
SESUAI PEMAHAMAN SAHABAT NABI ADALAH KUNCI
KESELAMATAN
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

‫وؿ‬
َ ‫الر ُس‬ ِ ‫اَّلل وأ‬
َّ ‫َطيعُوا‬ َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫يع‬ ِ ‫َّي أَيػُّها الَّ ِذين آمنُوا أ‬
‫َط‬
ََ ُ َ َ َ َ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya).”
(QS. An-Nisa: 59)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah bersabda:
ِ ‫وؿ‬
:‫ َوَم ْن ََيْ َب؟ قَ َاؿ‬،‫هللا‬ َ ‫ ََّي َر ُس‬:‫اْلَنَّ َة إََِّل َم ْن أ ََب قَالُْوا‬
ْ ‫ُك ُّل أ َُّم ِ ْت يَ ْد ُخلُْو َف‬
ِ‫ص‬ ْ ‫اع ِ ِْن َد َخ َل‬
ْ َ ‫ َوَم ْن َع‬،َ‫اْلَنَّة‬
‫اِن فَػ َق ْد أ ََب‬ َ َ‫َم ْن أَط‬
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?” beliau menjawab:
“Siapa yang mentaatiku maka ia masuk surga, dan siapa yang tidak mau
mentaatiku maka ia telah enggan.” (HR. Bukhari 7280)
Allah ta'ala menyuruh kita untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya
dengan berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah. Namun apakah cukup
berpegang dengan al-Qur’an dan sunnah saja tanpa mengikuti pemahaman
para sahabat Nabi radhiyallahu 'anhum? Jawabannya adalah tidak cukup.
Karena sebagaimana kita ketahui bahwa kelompok-kelompok sesat yang ada
mereka mengaku mengikuti al-Qur’an dan sunnah. Mereka membawakan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, namun mereka tersesat. Yang
demikian itu adalah karena mereka memahaminya dengan pemahaman
sendiri sesuai dengan apa diinginkan oleh kelompok-kelompok mereka.
Mereka tidak mengikuti pemahaman para sahabat dalam memahami al-
Qur’an dan Sunnah. Sehingga tak jarang ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-
hadits Nabi begitu terkesan dipaksakan agar sesuai dengan keinginan

57
mereka. Oleh karena itulah mereka menyimpang dari kebenaran yang
dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan diamalkan oleh
para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum.
Maka jika kita ingin selamat, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali
dengan mengikuti pemahamannya para sahabat Rasulullah radhiyallahu
'anhum dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah. Di antara alasannya adalah
sebagai berikut:
Pertama, ini adalah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam:
ِ ‫ ُكلُّهم ِِف النَّا ِر إََِّل ِملَّةً و‬،ً‫وتَػ ْف َِت ُؽ أ َُّم ِت علَى ثََلَ ٍث وسبعِي ِملَّة‬
،‫اح َد ًة‬ َ ْ ُْ َ ْ َْ َ َ ْ َ َ
‫اب‬ ِ ‫ح‬ ‫َص‬‫أ‬‫و‬ ‫و‬ ِ ‫وؿ‬
ِ ‫ ما أ َََن علَي‬:‫هللا؟ قَ َاؿ‬ َ ‫س‬ ‫ر‬ ‫َّي‬ ‫ي‬ ِ ‫ ومن‬:‫قَالُوا‬
‫ى‬
ْ َ َ ْ ْ َ َ ُ َ َ َ ْ ََ ْ
“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di
neraka kecuali satu” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu itu wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikuti jalan hidupku
dan para sahabatku.” (HR. Tirmidzi 2641, dihasankan Syaikh al-Albani dalam
Shahihul Jami’ 5343)
Kedua, mengikuti sahabat adalah jalan yang lurus yang kita mohon
tiap hari. Sesungguhnya setiap hari kita meminta kepada Allah ta'ala agar
ditunjuki jalan yang lurus dalam shalat-shalat kita, yaitu ketika kita membaca
ayat dalam surat al-Fatihah “ihdinashshiraathal mustaqiim (Ya Allah,
tunjukilah kami jalan yang lurus).” Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan makna jalan yang lurus dalam ayat ini dengan berkata:
“Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha
untuk mengikutinya…., maka setiap orang yang mengetahui kebenaran dan
berusaha untuk mengikutinya, ia lebih tepat (untuk dikatakan) berada di
atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat
Rasulullah radhiyallahu 'anhum, mereka adalah orang-orang yang lebih
berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang rafidhah….,

58
oleh karena itulah ulama salaf menafsirkan makna “jalan yang lurus dan
orang-orang yang berada di atasnya” dengan Abu Bakar, Umar dan para
sahabat radhiyallahu 'anhum.” (Madarijus Salikin 1/72)
Ketiga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
akan masuk surga. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

ٍ ‫اج ِرين و ْاِلَنْصا ِر والَّ ِذين اتػَّبػعوىم ِبِِحس‬


‫اف‬ ِ ‫السابِ ُقو َف ْاِل ََّولُو َف ِمن الْمه‬ َّ ‫َو‬
َ ْ ُ
ْ َُ َ َ َ َ َ َُ َ ْ ْ
‫َّات َُْت ِر ْي َُْتتَػ َها ْاِلَنْػ َه ُار َخالِ ِديْ َن‬
ٍ ‫اَّلل عْنػهم ورضوا عْنو وأَع َّد ََلم جن‬
ُ
َ ُْ َ َ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َ ُ َ َ َّ ‫ي‬ ِ‫ر‬
‫ض‬
‫ك الْ َف ْوُز الْ َع ِظْي ُم‬ ِ‫فِيػها أَب ًدا َذل‬
َ َ َْ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada
Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah [9]: 100)
Keempat, jika kita mengikuti keimanan para sahabat, maka berarti
kita mendapatkan hidayah. Allah ta'ala berfirman:

ٍ ‫فَِإ ْف آمنُوا ِبِِثْ ِل ما آمْنػتُم بِِو فَػ َق ِد اىتَ َدوا وإِ ْف تَػولَّوا فَِإََّّنَا ىم ِِف ِش َق‬
‫اؽ‬ ُْ َْ َ ْ ْ ْ َ َ َ
“Apabila mereka beriman sebagaimana kalian (Rasulullah dan para
sahabat) beriman, maka mereka telah mendapatkan petunjuk (hidayah),
dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kalian).” (QS. al-Baqarah [2]: 137)
Kelima, mengikuti jalannya selain para sahabat adalah kesesatan.
Karena dengan mengikuti para sahabat berarti kita mengikuti jalannya kaum
mukminin, maka kita akan selamat dari kesesatan yang menjerumuskan ke
dalam neraka Jahannam. Allah 'azza wa jalla berfirman:

59
‫ي‬ ِ‫وؿ ِمن بػع ِد ما تَػبػ َّي لَو ا َْل َدى ويػتَّبِع َغيػر سبِي ِل الْم ْؤِمن‬ َ ‫س‬ ‫الر‬
َّ ِ
‫ق‬ ِ‫ومن يشاق‬
َ ُ ْ ََ
َ ْ ُ ْ َ َْ ْ ََ ُ ُ َ َ َ ْ َ ْ ُ
ِ‫تم‬
‫صْيػًرا‬ ِ ِ ُ‫نػُولِِّو ما تَػوََّل ون‬
َ ْ َ‫صلو َج َهن ََّم َو َساء‬ْ َ َ َ َ
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS. an-Nisa’ *4+: 115)
Keenam, mengikuti para sahabat berarti mengikuti sebaik-baik umat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ِن ُُثَّ الَّ ِذيْ َن يَػلُْونَػ ُه ْم ُُثَّ الَّ ِذيْ َن يَػلُْونَػ ُه ْم‬ِ ِ ‫َخْيػر الن‬
ْ ‫َّاس قَػْر‬ ُ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian
setelahnya, kemudian setelahnya.” (HR. Bukhari 2652 dan Muslim 2533)
Para sahabat adalah murid-murid bimbingan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang menyaksikan langsung saat-saat wahyu turun kepada
beliau. Baiknya keislaman mereka pun telah terbukti, melalui perjuangan
mereka dalam membela, mengamalkan dan mendakwahkan agama Islam
yang mulia ini. Para sahabat, mereka adalah Salafush Shalihnya (para
pendahulu yang shalih) umat ini.
Oleh karena itulah kita harus mengikuti pemahaman para sahabat
Nabi dalam memahami al-Qur’an dan hadits, serta berpegang teguh
dengannya. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
mengatakan:
“Barangsiapa yang berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul tanpa
berpegang kepada pemahaman Salafush Shalih, maka ia sebenarnya tidak
berpegang kepada Kitabullah dan tidak pula berpegang kepada Sunnah
Rasulullah, akan tetapi ia berpegang, berpedoman kepada akalnya, kalau

60
tidak saya katakan kepada hawa nafsunya!” (Inti Dakwah Syaikh al-Albani
hal. 70-71, ditranskrip oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi hafidzahullah)
Hakikat mengikuti para sahabat dalam beragama pun begitu
sederhana; yaitu kita hanya mengikuti para sahabat dalam berkeyakinan
dan beramal. Apabila keyakinan atau amalan itu dikerjakan oleh Rasulullah
dan para sahabatnya, maka kita pun meyakininya dan mengamalkannya,
dan apabila suatu keyakinan atau amalan itu tidak dikerjakan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya, maka kita pun tidak meyakininya dan tidak
mengamalkannya. Sehingga kita tidak perlu berkeyakinan dengan
keyakinan-keyakinan yang tidak mereka yakini, tidak perlu pula membuat
amalan-amalan baru dalam agama yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya, tidak pula kita mengikuti orang-orang yang
mengerjakan amalan-amalan baru dalam agama, meski mereka dianggap
sebagai orang yang berilmu dan paham agama. Demikian pula kita berusaha
meneladani para sahabat dalam berbagai sisi kehidupan mereka, baik dalam
aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan lainnya.

Mutiara Salaf
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata:

‫ك َع ْن‬ َّ ‫ث إِلَْي ِو ِِب‬


َ َ‫ َوإِ َذا بَػلَغ‬،‫لس ََلِـ‬ ْ ‫ب ُسنَّ ٍة فَابْػ َع‬ ِ ‫ك عن رج ِل الْم ْش ِرِؽ ص‬
ِ ‫اح‬ َ َ ُ َ ْ َ َ َ‫إ َذا بَػلَغ‬
ِ
‫اع ِة‬ ِ ُّ ‫ فَػ َق ْد قَ َّل أَىل‬،‫لس ََلِـ‬
َ ‫السنَّة َواْلَ َم‬ ُ ْ َّ ِ ‫ث إِلَْي ِو‬
‫ِب‬ ْ ‫ع‬
َ ‫ػ‬ْ‫ب‬‫ا‬َ‫ف‬ ٍ َّ‫ب سن‬
‫ة‬ ُ
ِ ‫بص‬
ِ ‫اح‬ َ ِ ‫آخ ٍر ِِبلْم ْغ ِر‬
َ َ
“Apabila sampai kepadamu berita tentang adanya seseorang di
timur yang menjadi pengikut sunnah, maka sampaikanlah salam
kepadanya, dan jika sampai kepadamu kabar tentang orang lain
di barat yang menjadi pengikut sunnah, maka sampaikanlah
salam kepadanya. Sungguh begitu sedikit Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.”
(Hilyatul Auliya karya Abu Nu’aim rahimahullah 7/34)

61
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Bukan Sekedar Pengakuan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah sebutan yang masyhur di tengah-
tengah kaum muslimin. Tak heran, karena memang Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah sebuah nama yang disematkan kepada orang-orang atau
kelompok yang berada di atas jalan yang lurus dan selamat. Ia selamat dari
perpecahan dan kesesatan umat, bahkan ia selamat dari ancaman siksa api
neraka yang menyala-nyala. Ahlus Sunnah wal Jama’ah akan terus ada dan
senantiasa ditolong oleh Allah hingga akhir zaman. Namun mereka adalah
orang-orang yang langka, karena mereka benar-benar berpegang teguh
dengan al-Qur’an dan Sunnah, di saat yang lainnya terjatuh ke dalam
kubangan hawa nafsu dan kesesatan, sehingga mereka pun menjadi orang-
orang yang terasing.
Makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Kata Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengacu pada istilah Sunnah dan al-
Jama’ah.
Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Sunnah
adalah jalan yang ditempuh, yang mencakup berpegang teguh dengan apa
yang dijalani oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan al-Khulafa’ur
Rasyidin yang berupa keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah yang
sempurna. Oleh karena itulah para ulama salaf terdahulu tidaklah
memutlakkan nama sunnah kecuali apa yang mencakup hal tersebut
seluruhnya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam II/120)
Disebut Ahlus Sunnah karena kuatnya mereka dalam berpegang teguh
dan meneladani sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Disebut al-
Jama’ah karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah
belah dalam urusan agama, bersatu di bawah kepemimpinan para imam
(yang berpegang teguh pada) kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah
mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah

62
(umat di tiga generasi awal Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in -penj). (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil Aqidah hal. 6)
Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu pernah
mengatakan:

َ ‫اْلَ َّق َوإِ ْف ُكْن‬


‫ت َو ْح َد َؾ‬ ْ ‫اعةُ َما َوافَ َق‬
َ ‫اْلَ َم‬
“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran, meskipun engkau sendirian.”
(Al-Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal. 20, lihat Wasathiyah Ahlis
Sunnah wal Jama’ah Bainal Firaq karya Syaikh Muhammad Bakarim hal. 94)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda menjelaskan
tentang al-Jama’ah, bahwasanya mereka adalah kelompok yang selamat:

‫ َوإِ َّف‬،ً‫ي ِملَّة‬ ِ ِ ‫اب اِفْػتَػرقُوا علَى ثِْنػتَػ‬ ِ ِ


َ ‫ي َو َسْبع‬ ْ َ َ ِ َ‫أَََل إِ َّف َم ْن قَػْبػلَ ُك ْم م ْن أ َْى ِل الْكت‬
ٌ‫اح َدة‬ ِ َ‫ ثِْنػت‬،‫ى ِذ ِه الْ ِملَّ َة ستَػ ْف َِت ُؽ علَى ثََلَ ٍث وسبعِي‬
ِ ‫اف وسبػعو َف ِِف النَّا ِر وو‬
ََ ْ ُ َْ َ َ َْ َ َ َ َ َ
ِ‫اْلن َِّة و‬
َ َ َ َ َ َْ ‫ِ ِْف‬
ُ‫اعة‬ ‫م‬ ‫اْل‬
ْ ‫ي‬ ‫ى‬
“Ketahuilah, bahwa orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlul kitab
telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya
umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh
puluh dua di neraka dan satu di surga, yang satu itu adalah al-Jama’ah.” (HR.
Abu Dawud 4599, Ibnu Majah 3993, dan Ahmad 16937, dinilai hasan shahih
oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 51, dan dihasankan
oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam tahqiq beliau pada Musnad Imam
Ahmad)
Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

63
ِ ‫وؿ‬
‫ َما أ َََن‬:‫هللا؟ قَ َاؿ‬ َ ‫ َوَم ْن ِى َي ََّي َر ُس‬:‫ قَالُوا‬،‫اح َد ًة‬
ِ ‫ُكلُّهم ِِف النَّا ِر إَِلَّ ِملَّةً و‬
َ ُْ
‫َص َح ِاب‬ ِ
ْ ‫َعلَْيو َوأ‬
“Semuanya di neraka kecuali satu golongan.” Para Sahabat bertanya: “Siapa
yang satu golongan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mereka
adalah yang aku dan para sahabatku berada di atas (jalan)nya.” (HR. at-
Tirmidzi 2641, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 5343)
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berjalan di atas
jalannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau
radhiyallahu 'anhum. (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil Aqidah
hal. 6)
Lalu bagaimanakah pengamalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam
mengikuti jalan atau cara beragamanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabat beliau? Mari kita simak pada karakteristik mereka
berikut ini!
Karakteristik Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki karakteristik yang merupakan ciri-
ciri dan kekhususan mereka, serta menjadi keistimewaan mereka yang
membedakan dengan kelompok-kelompok sesat yang ada. Kita harus
mengetahuinya agar bisa mengamalkannya, sehingga bisa terhindar dari
berbagai macam kesesatan. Karena semua kelompok sesat yang ada adalah
karena mereka menyelisihi jalannya Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang lurus.
Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
ِ ‫ ى َذا سبِيل‬:‫ ُُثَّ قَ َاؿ‬،‫هللا صلَّى هللا علَي ِو وسلَّم خطِّا بِي ِد ِه‬
‫هللا‬ ِ ‫وؿ‬ ُ ‫ط َر ُس‬َّ ‫َخ‬
ُ َ َ َ َ َ ََ ْ َ ُ َ
‫س ِمْنػ َها‬ ‫ي‬‫ل‬
َ ‫ل‬ ‫ب‬‫الس‬
ُّ ِ ‫ ى ِذ‬:‫ ُُثَّ قَ َاؿ‬،‫ط عن َّيِينِ ِو وِِشالِِو‬
‫ه‬ َّ ‫خ‬ ‫ُث‬
َُّ :‫اؿ‬
َ ‫ق‬
َ ،‫ا‬ ‫يم‬ ِ ‫مست‬
‫ق‬
َ ْ ُُ َ ََ َْ َ ً َْ ُ

64
‫اطي ُم ْستَ ِق ًيما‬
ِ ‫َف ى َذا ِصر‬
َ َّ
َ َ َ‫أ‬
‫(و‬ :َ
‫أ‬‫ر‬ ‫ػ‬
َ‫ق‬ ‫ُث‬
َُّ .‫و‬ِ ‫سبِيل إََِّل علَي ِو َشيطَا ٌف ي ْدعو إِلَي‬
ْ ُ َ ْ َْ ٌ َ
ُّ ‫فَاتَّبِعُوهُ َوََل تَػتَّبِعُوا‬
)‫السبُ َل‬
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menggaris sebuah garis
dengan tangannya, kemudian bersabda: ‘Ini adalah jalan Allah yang lurus.’
Kemudian beliau menggaris (dengan garis yang banyak) di sebelah kanan
dan kirinya, lalu bersabda: ‘Ini adalah banyak jalan, tidak ada satu jalanpun
kecuali di atasnya ada setan yang menyeru kepada jalan tersebut.’
Beliaupun membaca ayat: ‘Dan sungguh inilah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah! Janganlah kalian ikuti jalan-jalan (yang lain).’ (QS. al-An’am *6]:
153).” (HR. Ahmad 4437, dihasankan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam
tahqiq beliau atas hadits ini dalam al-Musnad)
Imam Malik rahimahullah berkata:

‫ف َعْنػ َها َغ ِر َؽ‬ ِ ِ


َ َّ‫السنَّةُ َسفْيػنَةُ نػُ ْو ٍح َم ْن َركبَػ َها َْمَا َوَم ْن ََتَل‬
ُ
“Sunnah adalah perahunya Nabi Nuh 'alaihissalam, siapa yang menaikinya ia
selamat, dan siapa yang berpaling darinya maka ia tenggelam.” (Tarikhu
Dimasyq 14/9 karya Ibnu Asakir rahimahullah)
Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql hafidzahullah menyebutkan
tentang karakteristik atau keistimewaan-keistimewaan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, yaitu:
Pertama: Memiliki perhatian besar terhadap Kitabullah (al-Qur’an) dengan
menghafalnya, membacanya dan memahami tafsirnya. Juga perhatian besar
terhadap hadits dengan mengenalnya, memahaminya, dan memilah yang
shahih dari yang cacatnya (lemah atau palsu -penj). Karena keduanya adalah
sumber pengambilan syari’at. Demikian pula mereka mengiringi ilmu
mereka tentang al-Qur’an dan hadits tersebut dengan amal perbuatan.
Kedua: Masuk ke dalam agama secara keseluruhan dan juga beriman
kepada Kitabullah secara keseluruhan. Sehingga mereka mengimani nash-

65
nash (ayat dan hadits) tentang janji dan nash-nash ancaman, mengimani
nash-nash yang menetapkan sifat bagi Allah dan nash-nash yang
meniadakan sifat tertentu bagi Allah, menggabungkan iman terhadap takdir
dengan penetapan keinginan, kehendak, dan perbuatan hamba,
sebagaimana mereka menggabungkan antara ilmu dan ibadah, kekuatan
dan kasih sayang, serta menempuh sebab-sebab dan berlaku zuhud.
Ketiga: senantiasa ittiba’ (meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam) dan meninggalkan bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama),
serta menjauhi perpecahan dan perselisihan dalam agama.
Keempat: senantiasa meneladani dan mengambil petunjuk dari para imam
pembawa petunjuk yang adil yang menjadi teladan dalam ilmu, amal, dan
dakwah, dari kalangan para sahabat Nabi dan orang-orang yang berjalan di
atas jalan beragama mereka, serta menjauhi siapa saja yang menyelisihi
jalan mereka.
Kelima: Bersikap pertengahan, yaitu pertengahan dalam masalah keyakinan
di antara kelompok-kelompok yang ekstrim dan kelompok-kelompok yang
bermudah-mudahan. Demikian pula dalam amalan dan akhlak, mereka pun
pertengahan antara yang menyulitkan diri dan yang meremehkan.
Keenam: Bersemangat untuk menyatukan kaum muslimin di atas kebenaran
dan mempersatukan barisan mereka di atas tauhid dan ittiba’ (peneladanan
terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), serta menjauhkan segala
macam sebab yang bisa menjerumuskan kepada perselisihan dan
perpecahan di antara kaum muslimin.
Oleh karena itulah mereka tidak terbedakan atas umat dalam perkara pokok
agama dengan nama selain Sunnah dan al-Jama’ah. Tidak berloyalitas dan
bermusuhan di atas ikatan tertentu selain Islam dan Sunnah.
Ketujuh: Selalu berdakwah mengajak kepada jalan Allah, melaksanakan
amar ma’ruf dan nahi munkar, berjihad, menghidupkan Sunnah, melakukan
pembaharuan dalam agama, menegakkan syari’at dan hukum Allah baik
dalam perkara yang kecil maupun besar.

66
Kedelapan: Senantiasa adil, sehingga mereka lebih mengutamakan hak Allah
ta'ala, bukan hak pribadi ataupun kelompok. Karena inilah mereka tidak
melampaui batas dalam loyalitas dan tidak berlebihan dalam bermusuhan,
serta tidak meremehkan keutamaan siapa saja yang memiliki keutamaan,
siapapun dia.
Kesembilan: Bersesuaian dalam pemahaman dan sama dalam bersikap,
meskipun adanya jarak dan zaman yang saling berjauhan. Hal ini disebabkan
karena buah dari persamaan dalam sumber dan metode pengambilan dalil.
Kesepuluh: Berbuat baik dan berkasih sayang, serta berakhlak baik kepada
manusia seluruhnya.
Kesebelas: Melaksanakan nasehat kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya,
pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum.
Kedua belas: Perhatian dengan urusan kaum muslimin, menolong mereka,
memenuhi hak-hak mereka, dan mencegah gangguan dari mereka. (Mujmal
Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil Aqidah hal. 27-29)
Bukan Sekedar Pengakuan
Setelah mengetahui karakteristik di atas, maka dari sinilah kita
mengetahui bahwa nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah sekedar
pengakuan. Namun ia adalah wujud pengamalan dari pemahaman yang
benar, yaitu meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabat beliau dan berpegang teguh dengan pemahaman mereka dalam
beragama. Seseorang meskipun ia mengaku dirinya atau kelompoknya
sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun jika cara beragamanya,
keyakinan dan amalannya, begitu bertentangan dengan cara beragamanya
Rasulullah dan para sahabat beliau, maka pengakuannya itu hanyalah
sekedar omong kosong belaka. Sebagaimana perkataan yang masyhur:
“Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila, namun Laila tidak
mengakui punya hubungan dengan mereka.”
Semoga kita dijauhkan dari termasuk ke dalam golongan orang-orang
yang hanya mengaku-ngaku saja sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun

67
keyakinan dan amalannya bergelimang dengan kebid’ahan bahkan
kesyirikan. Oleh karena itu di sinilah pentingnya ilmu agama. Kita harus
memahami cara beragama (Manhaj) yang benar, kita juga harus memahami
apa itu tauhid dan sunnah agar bisa mengamalkannya, serta apa itu syirik
dan bid’ah agar bisa meninggalkannya dan menjauhinya sejauh-jauhnya. Jika
kita jujur dan bersungguh-sungguh dalam mencari hidayah, niscaya Allah
pasti karuniakan kepada kita petunjuk meskipun di tengah banyaknya
kesesatan. Sehingga kita benar-benar berjalan di atas jalan yang lurus, di
atas jalan kebenaran, yaitu jalannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
dan para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

‫اى ُدوا فِينَا لَنَػ ْه ِديَػن ُػ‬


‫َّه ْم ُسبُػلَنَا‬ ‫ج‬ ‫ين‬
ََ َ َ ‫ذ‬ِ َّ‫وال‬
“Orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan (menuju keridhaan)
Kami.” (QS al-Ankabut [29]: 69)
Kita berdoa kepada Allah 'azza wa jalla, semoga Allah menyatukan
barisan kaum muslimin di atas Manhaj dan Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Allahumma aamiin.

Mutiara Salaf
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya: “Seseorang yang meninggal di
atas Islam dan Sunnah, apakah ia meninggal di atas kebaikan?” Beliau menjawab:

‫اْلَِْري ُكلِّ ِو‬


ْ ‫ات َعلَى‬
َ ‫ بَ ْل َم‬،‫ت‬
ْ ‫اُ ْس ُك‬
“Diamlah, bahkan ia meninggal di atas seluruh kebaikan.”
(Siyar A’lamin Nubala 11/296 karya Imam adz-Dzahabi rahimahullah)

68
MAKNA BID’AH
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِ ِ ِ َّ‫السم ِع والط‬ َِّ ‫ُوصي ُكم بِتػ ْقوى‬ ِ ‫أ‬
‫ش‬ْ ‫ فَِإنَّوُ َم ْن يَع‬،‫اعة َوإِ ْف َعْب ًدا َحبَشيِّا‬ َ َ ْ َّ ‫اَّلل َو‬ َ َ ْ
‫اْلُلَ َف ِاء‬
ْ ‫َّت َو ُسن َِّة‬ ْ
ِ ‫ فَػ َعلَْي ُك ْم بِ ُسن‬،‫اختِ ََلفًا َكثِ ًريا‬ ‫ى‬ ‫ر‬
ْ َََ ْ ْ َ ْ ‫ػ‬‫ي‬‫س‬ َ‫ف‬ ‫ي‬ ِ ‫ِمْن ُكم بػع‬
‫د‬
‫ َوإِ ََّّي ُك ْم َوُُْم َد ََث ِت‬،‫ض ْوا َعلَْيػ َها ِِبلنَّػ َو ِاج ِذ‬
ُّ ‫الر ِاش ِديْ َن ََتَ َّس ُك ْوا ِِبَا َو َع‬
َّ ‫ي‬ ِ
‫ي‬ ِ ‫الْمه‬
‫د‬
َ ّْ ْ َ
ٍ ٍ
ٌ‫ضَلَلَة‬ َ ‫اِل ُُم ْوِر فَِإ َّف ُك َّل ُُْم َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َعة‬
“Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah, dan selalu
mendengar dan taat (kepada pemimpin kalian) meskipun ia adalah seorang
budak dari negeri Habasyah, sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih
hidup setelahku, maka ia akan melihat perpecahan yang banyak, maka
berpegang teguhlah dengan sunnah (ajaran)ku dan sunnahnya al-Khulafa`ur
Rasyidin yang mendapat petunjuk, penganglah ia erat-erat dan gigitlah ia
dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan
(dalam agama), karena setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud 4609, Ahmad 17144, Ibnu
Majah 42, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’is Shaghir
2549)
Dari hadits ini kita mengetahui bahwa yang dimaksud dengan sunnah
adalah apa-apa yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam dan para sahabat beliau, sedangkan bid’ah adalah lawan dari
sunnah, yaitu amalan yang diada-adakan dalam agama Islam yang tidak
pernah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
dan juga tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat beliau radhiyallahu
'anhum yang ditokohi oleh para al-Khulafa`ur Rasyidin, yaitu Abu Bakar,
Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
'anhum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.

69
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsir
beliau:
ِ ِ ‫السنَّ ِة واْلم‬
‫ت َع ْن‬ ْ ُ‫ ِ ِْف ُك ِّل ف ْع ٍل َوقَػ ْوٍؿ ََلْ يَػثْػب‬:‫ فَػيَػ ُق ْولُْو َف‬،‫اعة‬ َ َ َ َ ُّ ‫َوأََّما أَ ْى ُل‬
‫ ِِلَنػَّ ُه ْم ََلْ يَػْتػ ُرُك ْوا‬،‫ ِِلَنَّوُ لَ ْو َكا َف َخْيػًرا لَ َسبَػ ُق ْو ََن إِلَْي ِو‬،ٌ‫الص َحابَِة مهنع هللا يضر ُى َو بِ ْد َعة‬
َّ
ْ ‫ص ِاؿ‬
‫اْلَِْري إََِّل َوقَ ْد َِب َد ُرْوا إِلَْيػ َها‬ ِ ِ ‫خ‬
َ ‫صلَةً م ْن خ‬ ْ َ
“Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka mengatakan: ‘Pada setiap
perbuatan ataupun ucapan yang tidak datang dari sahabat radhiyallahu
'anhum adalah bid’ah. Karena jika seandainya sebuah amalan itu baik,
tentulah mereka para sahabat telah mendahului kita dalam
melakukannya. Karena mereka tidak meninggalkan satupun jenis dari jenis-
jenis kebaikan kecuali mereka telah bersegera untuk mengamalkannya.’”
(Tafsir al-Qur’anil Adhim 4/2574)
Makna bid’ah secara bahasa diambil dari kata “al-Bad’u” yang berarti
menciptakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. (Kitabut
Tauhid karya Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah hal. 100)
Adapun bid’ah dalam agama adalah apa saja yang tidak berdasarkan
dalil baik dari al-Qur’an maupun sunnah, dan bid’ah ini terjadi pada ibadah
dan agama. (Taujihatun Islamiyyah li Ishlahil Fardi wal Mujtama’ karya
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 79)
Atau sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam asy-Syatibi
rahimahullah yang memberikan definisi bid’ah dengan:

ُ‫لسلُْو ِؾ َعلَْيػ َها الْ ُمبَالَغَة‬


ُّ ‫ص ُد ِِب‬ َ‫الشْر ِعيَّة‬ ِ ‫طَ ِريػ َقةٌ ِِف ال ِّدي ِن ُِْمتػرعةٌ تُض‬
َ ‫يػُ ْق‬ َّ ‫اى ْي‬ َ َ ََ ْ ْ ْ
َِِّ ‫ِِف التَّػعبُّ ِد‬
‫َّلل ُسْب َحانَ ُو‬ َ ْ

70
“Cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud
untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa
ta'ala.” (Al-I’tisham hal. 50)
Jadi bid’ah itu hanya dalam masalah agama, ketika seseorang
beribadah namun tidak ada dalilnya, atau tidak ada tuntunannya dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ataupun dari para sahabat beliau
radhiyallahu 'anhum, maka itu disebut dengan bid’ah. Di antara contoh yang
dijelaskan oleh para ulama adalah seperti peringatan Maulid Nabi dan acara
selamatan kematian, karena perbuatan tersebut memang tidak ada
tuntunannya dari syari’at. Jadi bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bukan perkara baru dalam masalah dunia, tapi
dalam masalah agama.
Oleh karena itu dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
rahimahullah: “Jika ada yang berkata: ‘Kacamata adalah bid’ah.’ Maka
jawabannya adalah bahwa kacamata bukanlah perkara agama, namun ia
adalah sesuatu yang baru dalam masalah keduniaan, yang mana tentang hal
ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

‫أَنْػتُ ْم أ َْعلَ ُم ِِب َْم ِر ُدنْػيَا ُك ْم‬


‘Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.’ (HR. Muslim 2363)
Maka perkara yang baru dalam masalah dunia ini bagaikan pedang
bermata dua; seperti radio misalnya, jika kita gunakan untuk mendengarkan
al-Qur’an dan pembicaraan-pembicaraan masalah agama, maka hukumnya
halal dan dituntut, dan jika digunakan untuk mendengarkan musik dan
nyanyian-nyanyian yang membangkitkan hawa nafsu, maka hukumnya
menjadi haram, karena hal ini merusak akhlak dan membahayakan
masyarakat.” (Taujihatun Islamiyyah li Ishlahil Fardi wal Mujtama’ hal. 79)
Dari penjelasan beliau kita pun mengetahui orang-orang yang salah
paham tentang makna bid’ah, hingga seolah merasa risih dengan ungkapan
bid’ah seraya mengatakan “Kalau begitu kita tidak boleh pergi haji

71
menggunakan pesawat, karena pesawat itu bid’ah, karena tidak ada di
zaman Rasul.” Maka kita katakan bahwa, pesawat bukanlah termasuk bid’ah
dalam agama, tapi ia adalah perkara dunia, sehingga tidak masuk dalam
pembahasan perkara bid’ah yang diada-adakan dalam agama. Demikian pula
orang yang mengatakan “Kamu itu juga bid’ah dari ujung rambut sampai
kaki.” Maka kita katakan pula kepadanya, bahwa perkara ini tidak masuk
dalam lingkup pembahasan bid’ah yang dilarang dalam agama.
Adakah Bid’ah Hasanah?
Dari hadits yang telah lalu dari sahabat al-Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu 'anhu, kita mengetahui penjelasan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bahwa setiap bid’ah atau setiap amalan yang diada-adakan dalam
Islam adalah sesat, dan tidak ada bid’ah yang baik atau yang disebut dengan
bid’ah hasanah, sebagaimana persangkaan sebagian orang.
Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:

ً‫اس َح َسنَة‬َّ
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫آى‬‫ر‬ ‫ف‬
ْ ِ‫ض ََللَةٌ وإ‬ ٍ ‫ُك ُّل بِ ْدع‬
‫ة‬
ُ َ َ َ َ َ
“Setiap bid’ah adalah sesat, meski manusia melihatnya sebagai sesuatu yang
baik.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah 1/126 karya Imam al-
Lalika’i rahimahullah - Maktabah Syamilah)
Imam Ahmad rahimahullah, salah seorang murid terbaik Imam Syafi’i
rahimahullah berkata di awal kitab beliau Ushulus Sunnah:
ِ ‫السنَّ ِة ِعْن َد ََن التَّم ُّسك ِِبا َكا َف علَي ِو أَصحاب رسوِؿ‬
‫هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬ ُْ َ ُ َ ْ ْ َ َ ُ َ ُّ ‫ص ْو ُؿ‬ ُ ُ‫أ‬
ٍ ِِ ِ ِ
َ ‫َواَلقْت َداءُ ِب ْم َوتَػْرُؾ البِ َد ِع َوُك ُّل بِ ْد َعة فَ ِه َي‬
ٌ‫ض ََللَة‬
“Pokok agama bagi kami adalah berpegang teguh dengan pemahaman para
sahabat rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti mereka,
meninggalkan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

72
Bahkan Imam Malik rahimahullah, yang merupakan salah satu guru
utamanya Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

‫ع ِ ِْف ا ِل ْس ََلِـ بِ ْد َعةً يَػَر َاىا َح َسنَةً فَػ َق ْد َز َع َم أَ َّف ُُمَ َّم ًدا ملسو هيلع هللا ىلص َخا َف‬ ِ
َ ‫َم ْن ابْػتَ َد‬
‫ت لَ ُك ْم ِديْػنَ ُك ْم} فَ َما ََلْ يَ ُك ْن يَػ ْوَمئِ ٍذ‬ ‫ل‬
ْ ‫م‬‫ك‬
ُ َ َ َْْ َ
‫أ‬ ‫ـ‬ ‫و‬ ‫ػ‬‫ي‬‫ال‬ { : ‫ؿ‬
ُ ‫و‬ ‫ق‬
ُ
ََْ ‫ػ‬‫ي‬ ‫هللا‬ َّ
‫ف‬ ‫ِل‬
َ ِ ،َ‫الرسالَة‬
َ ِّ
‫ فَ ََل يَ ُك ْو ُف اليَػ ْوَـ ِديْػنًا‬،‫ِديْػنًا‬
“Siapa yang membuat bid’ah dalam Islam, dan ia menganggapnya sebagai
perbuatan yang baik, maka ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena
Allah telah berfirman: {Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian
agama kalian}. Maka apa yang pada hari itu bukan termasuk bagian dari
agama, begitu juga pada hari ini tidak termasuk bagian dari agama.” (Al-
I’tisham 1/65, lihat Nurus Sunnah wa Dhulumatul Bid’ah hal. 47 karya Syaikh
Sa’id bin Wahf al-Qahthan rahimahullah)
Bahkan setiap perbuatan bid’ah tertolak dan tidak diterima oleh Allah
ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

ّّ‫س ِمْنوُ فَػ ُه َو َرد‬


َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫ى‬
َ ‫َن‬
َ‫ر‬ِ ‫ث ِ ِْف أ َْم‬
َ ‫َح َد‬
ْ ‫َم ْن أ‬
“Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan agama kami ini yang
tidak ada contoh darinya, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari
7349 dan Muslim 1718)
Bagaimana jika seseorang beralasan: “Saya tidak membuat-buat
perkara baru dalam agama, saya ini kan cuma ikut-ikutan apa yang telah
dilakukan oleh orang-orang sejak dulu.” Maka sanggahannya: Sama saja
antara orang yang membuat dan orang yang tidak membuatnya tapi
mengamalkan perkara baru dalam agama, karena Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam juga telah bersabda:

73
ّّ‫س َعلَْي ِو أ َْم ُرََن فَػ ُه َو َرد‬ ‫ي‬َ‫ل‬ ‫َل‬
ً ‫م‬‫ع‬ ‫ل‬‫م‬
َ ْ ََ َ َ ْ َ
ِ ‫من ع‬
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim 1718)
Dari sini maka jelas bagi kita bahwa setiap bid’ah atau semua bid’ah
adalah sesat, sehingga tidak ada bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik. Maka
hendaknya kita abaikan ucapan manusia yang mengatakan adanya bid’ah
yang baik (hasanah) dengan membawakan alasan-alasan yang seolah-olah
membenarkan ucapan mereka. Ketahuilah bahwasanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

‫ض ََللٍَة ِ ِْف‬ ٍ ٍ
َ ‫َو َشَّر ْاِلُُم ْوِر ُُْم َد ََثتػُ َها َوُك َّل ُُْم َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َعة‬
َ ‫ض ََللَةٌ َوُك َّل‬
‫النَّا ِر‬
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat,
dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. an-Nasa`i 1578 dinilai
shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shaghir 1353(
Semoga Allah memberikan hidayah kepada kaum muslimin sehingga
dipahamkan tentang bid’ah, dan dimudahkan untuk meninggalkannya. Serta
semoga Allah menetapkan langkah kita semua di atas jalan sunnah
rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu
'anhum.

74
CONTOH-CONTOH BID’AH
Sebagaimana penjelasan para ulama, bahwa bid’ah adalah setiap
amalan yang diada-adakan dalam agama Islam yang tidak pernah ada
tuntunannya dari Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para Sahabat beliau radhiyallahu 'anhum, maka kita bisa mengetahui bahwa
contoh-contoh amalan bid’ah ada banyak sekali, baik menyangkut
keyakinan, ucapan, ataupun perbuatan. Amalan-amalan bid’ah harus
ditinggalkan dan dijauhi, karena ia adalah perbuatan dosa dan terlarang,
meskipun nampak seperti ibadah, bahkan meskipun dianggap baik dan
diamalkan oleh banyak orang. Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma
berkata:

ً‫اس َح َسنَة‬َّ
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫آى‬‫ر‬ ‫ف‬
ْ ِ‫ض ََللَةٌ وإ‬ ٍ ‫ُك ُّل بِ ْدع‬
‫ة‬
ُ َ َ َ َ َ
“Setiap bid’ah adalah sesat, meski manusia melihatnya sebagai sesuatu yang
baik.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah 1/126 karya Imam al-
Lalika’i rahimahullah - Maktabah Syamilah)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah berkata: “Bid’ah dalam agama
ada dua, yang pertama adalah bid’ah ucapan keyakinan, seperti perkataan-
perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah, dan semua kelompok sesat
beserta keyakinan-keyakinan mereka. Yang kedua adalah bid’ah dalam
ibadah, seperti peribadahan kepada Allah tanpa ada tuntunannya dari
syari’at, dan bid’ah jenis ini ada beberapa macam:
Jenis pertama: yang terdapat pada prinsip pokok ibadah, yaitu dibuatnya
sebuah ibadah yang tidak ada tuntunannya dari syari’at. Seperti membuat
shalat yang tidak disyari’atkan, puasa yang tidak disyari’atkan, atau
perayaan-perayaan yang tidak ada syari’atnya semisal perayaan maulid Nabi
dan selainnya.
Jenis kedua: yang berupa tambahan pada ibadah yang disyari’atkan, seperti
umpamanya menambahkan raka’at kelima pada shalat dhuhur dan ‘ashar.

75
Jenis ketiga: yang terjadi pada tata cara ibadah yang disyari’atkan, berupa
melaksanakannya dengan tata cara yang tidak disyari’atkan. Seperti
mengamalkan dzikir-dzikir yang disyari’atkan dengan serempak satu suara
secara berjama’ah, juga seperti dengan menahan nafas dalam ibadah-
ibadah tertentu hingga keluar dari tuntunan (sunnah) Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam.
Jenis keempat: mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah
yang telah disyari’atkan padahal waktunya tidak ditentukan oleh syari’at.
Seperti mengkhususkan waktu siang dan malam di pertengahan bulan
Sya’ban untuk berpuasa dan qiyamul lail (menghidupkan malam dengan
ibadah). Secara asal puasa dan qiyamul lail adalah disyari’atkan, namun
mengkhususkannya di waktu-waktu tertentu membutuhkan dalil.” (Kitabut
Tauhid hal. 100-101)
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah mengatakan: “Jenis-
jenis bid’ah itu banyak, di antaranya adalah: (1) perayaan maulid Nabi dan
perayaan isra’ mi’raj, (2) tarian, tepuk tangan, dan memukul-mukul rebana
untuk mengiringi dzikir dengan suara keras, termasuk juga mengubah
(penyebutan) nama-nama Allah (dalam dzikir) seperti: Ah, Ih, Aah, Huwa,
Hiya, (3) mengadakan acara-acara kematian (seperti selamatan kematian -
penj.
), mengundang para kyai untuk membacakan al-Qur’an setelah kematian,
dan lain-lain.” (Taujihatun Islamiyyah li Ishlahil Fardi wal Mujtama’ hal. 80)
Jadi sebagaimana penjelasan para ulama, bahwa setiap yang tidak ada
tuntunannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat
beliau radhiyallahu 'anhum dalam perkara agama, maka itu adalah bid’ah
yang harus ditinggalkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana dikatakan oleh
Imam Ibnu Katsir rahimahullah:
“Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka mengatakan: ‘Pada setiap
perbuatan ataupun ucapan yang tidak datang dari sahabat radhiyallahu
'anhum adalah bid’ah. Karena jika seandainya sebuah amalan itu baik,
tentulah mereka para sahabat telah mendahului kita dalam melakukannya.
Karena mereka tidak meninggalkan satupun jenis dari jenis-jenis kebaikan

76
kecuali mereka telah bersegera untuk mengamalkannya.’” (Tafsir al-Qur’anil
Adhim 4/2574)
Sebagaimana pula dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
rahimahullah ketika membicarakan tentang peringatan maulid Nabi bahwa
perayaan ini tidak ada tuntunannya dari syari’at, beliau berkata:
“Sesungguhnya yang terjadi di banyak perayaan maulid Nabi tidak terlepas
dari kemungkaran, bid’ah dan pelanggaran-pelanggaran syari’at. Perayaan
ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak
pula oleh sahabat beliau radhiyallahu 'anhum, tidak dilakukan oleh para
tabi’in, tidak pula oleh Imam (madzhab) yang empat, tidak pula oleh selain
mereka dari tiga generasi terbaik umat ini, serta tidak ada dalil syar’i akan
peringatan maulid ini.” (Minhaj al-Firqatin Najiyah hal. 107)
Sehingga dari penjelasan di atas, kita mengetahui contoh-contoh yang
lain dari amalan bid’ah, seperti:
Dalam akidah (keyakinan): keyakinan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir
dan kekal di dalam neraka, mengingkari takdir Allah, keyakinan bahwa
manusia dipaksa oleh takdir, keyakinan bahwa para sahabat Nabi telah kafir,
mengingkari sebagian sifat-sifat Allah, keyakinan Allah ada dimana-mana,
keyakinan Allah bersatu dengan makhluk, keyakinan bahwa iman hanyalah
keyakinan atau ucapan tanpa perbuatan dan tidak bertambah ataupun
berkurang, keyakinan yang berlebih-lebihan terhadap orang shalih yang
telah mati bahwa mereka bisa memberikan manfaat dan menolak bahaya,
dan keyakinan-keyakinan selainnya yang tidak ada tuntunannya dari syari’at
Islam.
Dalam amal ucapan dan perbuatan: perayaan nuzulul Qur’an, acara Tahlilan,
acara Yasinan, adzan dan iqamah saat menguburkan mayit, shalawatan atau
puji-pujian antara adzan dan iqamah, shalat raghaib di bulan Rajab, salam-
salaman dan dzikir berjamaah dengan suara keras setelah shalat, dan
amalan-amalan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari syari’at Islam.
Itulah di antara contoh-contoh bid’ah yang mungkin sebagiannya
masih banyak dipraktekkan di masyarakat kita. Bid’ah tetaplah bid’ah
77
meskipun manusia menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, dan bahkan
meskipun mereka menghiasinya dengan perkataan-perkataan yang indah.
Setiap bid’ah adalah kesesatan yang harus dijauhi dan ditinggalkan.
Semoga Allah menunjukkan kepada kita bahwa yang benar adalah
benar dan kita dimudahkan untuk mengikutinya, serta semoga Allah
menunjukkan kepada kita bahwa yang salah adalah salah dan kita diberi
kemudahan untuk menjauhinya. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.

Mutiara Salaf
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata:

ِ ‫ضةٌ لِْل ُقلُو‬


‫ب‬ ِ
‫ر‬ ‫ّم‬
َُ ‫م‬‫ه‬ ‫ػ‬ ‫ت‬‫س‬َ‫ل‬‫ا‬ ‫َم‬
ُ َّ
‫ف‬ ِ
‫إ‬َ‫ف‬ ، ِ ‫ََل ُُتالِس أَىل ْاِلَىو‬
‫اء‬
ْ َ ّ ُْ َ َ َ َْ َ ْ ْ َ
“Janganlah duduk-duduk dengan ahlul ahwa (para pengikut hawa nafsu),
karena sesungguhnya duduk-duduk bersama mereka membuat hati
menjadi sakit.”
(Asy-Syari’ah hal 70, lihat Hayatus Salaf Bainal Qauli wal Amal hal. 43, karya Syaikh
Ahmad bin Nashir ath-Thayyar hafidzahullah)
--------------------------
Ayub as-Sakhtiyani rahimahullah berkata:

‫اجتِ َه ًادا إََِّل َز َاد ِم َن هللاِ َعَّز َو َج َّل بػُ ْع ًدا‬ ٍ


ْ ‫ب بِ ْد َعة‬
ِ ‫ما ْازداد‬
ُ ‫صاح‬
َ ََ َ
“Tidaklah pelaku bid’ah semakin bersungguh-sungguh (dalam
kebid’ahannya), kecuali ia semakin bertambah jauh dari Allah 'azza wa
jalla.”
(Shifatus Shafwah 3/211, lihat Hayatus Salaf Bainal Qauli wal Amal hal. 43, karya Syaikh
Ahmad bin Nashir ath-Thayyar hafidzahullah)

78
BAHAYA BID’AH
Bid’ah atau yang didefinisikan oleh para ulama dengan perkara baru
dalam agama yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum, memiliki bahaya
yang banyak bagi seorang hamba, sehingga kita harus waspada
terhadapnya. Di antara bahaya-bahaya itu adalah sebagai berikut:
1. Sebab perpecahan
Allah 'azza wa jalla berfirman:

‫السبُ َل فَػتَػ َفَّر َؽ بِ ُك ْم َع ْن َسبِيلِ ِو‬


ُّ ‫َوََل تَػتَّبِعُوا‬
“Janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain (selain jalan Allah), karena
itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am *6]:
153).

‫ت ِمْنػ ُه ْم ِِف َش ْي ٍء‬ ِ ِ


َ ‫ين فَػَّرقُوا دينَػ ُه ْم َوَكانُوا شيَػ ًعا لَ ْس‬
َ ‫ذ‬ِ َّ‫إِ َّف ال‬
“Sesungguhnya orang-orang yang telah memecah belah agama mereka
dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu terhadap mereka.” (QS. al-An’am *6]: 159)
Imam asy-Syatibi rahimahullah mengatakan: “Ada beberapa ayat lain
juga yang semakna dengan dua ayat di atas. Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam telah menjelaskan bahwa perpecahan umat Islam adalah
merupakan kehancuran, dan perpecahan ini akan membuat agama ini
hancur. Dan realita menunjukkan bahwa perpecahan dan permusuhan
muncul ketika perbuatan bid’ah itu terjadi.” (Mukhtashar al-I’tisham hal.
34)
2. Susah Taubat
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:

79
‫اب ِمْنػ َها َوالبِ ْد َعةُ ََل‬َ‫ت‬‫ػ‬‫ي‬ ‫ة‬
ُ ‫ي‬
َّ ‫ص‬ ِ ‫ب إِ ََل إِبلِيس ِمن الْمع‬
ِ ‫ الْمع‬،‫صيَّ ِة‬ ُّ ‫البِ ْد َعةُ أَ َح‬
ُ ُ َْ َْ َ َ ْْ
‫اب ِمْنػ َها‬
ُ َ‫يػُت‬
“Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat. Karena
(pelaku) maksiat itu lebih bisa diharapkan untuk bertaubat, sedangkan
pelaku bid’ah itu sulit bertaubat.” (Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi hal. 22)
Bagaimana pula para pelaku bid’ah akan bertaubat, sedangkan
mereka memandang bahwa perbuatannya itu adalah sebuah ibadah.
Adapun pelaku maksiat, maka mereka sadar bahwa perbuatan mereka
itu adalah maksiat dan salah, oleh karena itulah lebih bisa diharapkan
untuk bertaubat.
3. Amalannya tertolak
Hal ini berdasarkan keumuman hadits:

ّّ‫س َعلَْي ِو أ َْم ُرََن فَػ ُه َو َرد‬


َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫َل‬
ً ‫م‬‫ع‬ ‫ل‬‫م‬ِ ‫من ع‬
َ َ َ َْ
َ
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya
dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim 1718)
4. Dosa jariyah
Tak diragukan lagi bahwa bid’ah adalah perbuatan dosa yang
diharamkan, sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah
bersabda:

‫ص‬ ‫ق‬
ُ ‫ػ‬‫ن‬ْ ‫ػ‬ ‫ي‬ ‫َل‬
َ ، ‫و‬‫ع‬ِ‫ب‬‫ت‬
َ ‫ن‬ ‫م‬ ِ
‫ر‬ ‫و‬‫ُج‬ ‫أ‬ ‫ل‬‫ث‬
ْ ِ ‫ َكا َف لَو ِمن ْاِلَج ِر‬،‫من دعا إِ ََل ى ًدى‬
‫م‬
ُ َ َُ ْ َ ُْ ُ ْ َ ُ ُ ََ َْ
‫ال ُِْث ِمثْ ُل‬ ِْ ‫ َكا َف َعلَْي ِو ِمن‬،‫ض ََللٍَة‬َ ‫َل‬ َ ِ‫ ومن َد َعا إ‬،‫ك ِمن أُجوِرِىم َشْيػئًا‬َ
ِ‫َذل‬
َ ْ َ َ ْ ْ ُ ْ
‫ك ِم ْن آ ََث ِم ِه ْم َشْيػئًا‬ ِ ‫ ََل يػْنػ ُق‬،‫آ ََثِـ من تَبِعو‬
َ ‫ص ذَل‬ُ َ َُ ْ َ

80
“Barangsiapa mengajak manusia kepada petunjuk, maka baginya pahala
sebagaimana pahala orang yang mengikuti ajakannya itu tanpa dikurangi
sedikitpun, dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia
mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang mengikuti ajakannya itu
tanpa dikurangi sedikitpun.” (HR. Muslim 2674)
Lihatlah betapa ruginya menjadi pelopor perbuatan bid’ah, orangnya
telah meninggal dunia dan tak bisa beramal lagi, namun ia terus
mendapat aliran dosa dari orang-orang yang mengikuti bid’ahnya
sepeninggalnya.
5. Dihalangi dari telaga Nabi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ْ‫ب ِمْنوُ ََلْ يَظْ َمأ‬ ِ


‫ر‬ ‫ش‬
َ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ، ‫و‬ ‫ن‬
ْ ِ ‫ض من ورده َش ِرب‬
َ ْ َ َ ُ َ ُ َ َ َ ْ َ ِ ‫اْلَْو‬
‫م‬ ْ ‫أ َََن فَػَرطُ ُك ْم َعلَى‬
ُ َ‫ لََِريُد َعلَ َّي أَقْػ َو ٌاـ أ َْع ِرفُػ ُه ْم َويَػ ْع ِرفُ ِوِن ُُثَّ ُُي‬،‫بَػ ْع َدهُ أَبَ ًدا‬
.‫اؿ بَػْي ِِن َوبَػْيػنَػ ُه ْم‬
‫ ُس ْح ًقا‬:‫وؿ‬ ُ ُ‫ فَأَق‬،‫ك َلَ تَ ْد ِري َما بَ َّدلُوا بَػ ْع َد َؾ‬ َ َّ‫ إِن‬:‫اؿ‬ ُ ‫ فَػيُػ َق‬،‫ إِنػَّ ُه ْم ِم ِِّن‬:‫قَ َاؿ‬
.‫َّؿ بَػ ْع ِدي‬َ ‫ُس ْح ًقا لِ َم ْن بَد‬
“Aku akan mendahului kalian di telaga. Siapa yang mendatanginya ia
akan meminumnya, dan siapa yang meminum darinya maka setelahnya
tak akan haus selamanya. Sungguh akan datang kepadaku suatu kaum
yang aku mengenal mereka dan mereka mengenaliku, kemudian
dihalangi antara aku dan mereka.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Mereka itu adalah umatku.” Maka dikatakan:
“Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka ada-adakan
sepeninggalmu.” Maka aku pun mengatakan: “Menjauh, menjauh, orang
yang telah merubah ajaranku sepeninggalku!” (HR. Bukhari 7050 - 7051)

81
6. Memprotes Firman Allah 'azza wa jalla
Orang yang berbuat bid’ah seolah-olah ia tak percaya dan tak setuju
dengan Firman Allah yang menyatakan bahwa agama ini telah sempurna:

‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم‬
ُ ‫الْيَػ ْوَـ أَ ْك َمْل‬
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu.” (QS. al-
Maidah [5]: 3)
Seolah-olah ia mengatakan: “Belum ya Allah, agama ini belum
sempurna, masih perlu tambahan amalan ini dan itu.”
7. Menuduh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
amanah
Hal ini sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah:

‫ع ِ ِْف ا ِل ْس ََلِـ بِ ْد َعةً يَػَر َاىا َح َسنَةً فَػ َق ْد َز َع َم أَ َّف ُُمَ َّم ًدا ملسو هيلع هللا ىلص َخا َف‬ ِ
َ ‫َم ْن ابْػتَ َد‬
‫ت لَ ُك ْم ِديْػنَ ُك ْم} فَ َما ََلْ يَ ُك ْن‬ ‫ل‬
ْ ‫م‬
ُ َ َ َْ‫ك‬
ْ َ
‫أ‬ ‫ـ‬ ‫و‬ ‫ػ‬‫ي‬‫ال‬ { :‫ؿ‬ُ ‫و‬ ‫ق‬ُ
ََْ ‫ػ‬‫ي‬ ‫هللا‬ َّ
‫ف‬ ‫ِل‬
َ ِ ،َ‫الرسالَة‬
َ ِّ
‫ فَ ََل يَ ُك ْو ُف اليَػ ْوَـ ِديْػنًا‬،‫يَػ ْوَمئِ ٍذ ِديْػنًا‬
“Siapa yang membuat bid’ah dalam Islam, dan ia menganggapnya
sebagai perbuatan yang baik, maka ia telah menuduh bahwa Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkhianat dalam menyampaikan
risalah, karena Allah telah berfirman: {Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kalian agama kalian}. Maka apa yang pada hari itu
bukan termasuk bagian dari agama, begitu juga pada hari ini tidak
termasuk bagian dari agama.” (Al-I’tisham 1/65, lihat Nurus Sunnah wa
Dhulumatul Bid’ah hal. 47 karya Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthan
rahimahullah)

82
8. Berdusta atas nama Allah ta'ala
Ketika seseorang menyatakan bahwa sebuah amalan termasuk bagian
dari agama padahal tidak ada wahyu yang menerangkan tentang hal itu,
berarti ia telah berdusta dan mengada-adakan suatu perkataan atas
nama Allah ta'ala, karena wahyu itu berasal dari Allah ta'ala. Padahal
tentang Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam saja Allah 'azza
wa jalla telah berfirman:
ِ ِ ‫ِِبلْيَ ِم‬ ِ
ُ‫ي ُُثَّ لََقطَ ْعنَا مْنو‬ ُ‫ض ْاِلَقَا ِو ِيل َِلَ َخ ْذ ََن مْنو‬
َ ‫َولَْو تَػ َق َّوَؿ َعلَْيػنَا بَػ ْع‬
‫ين‬ ِ
‫ز‬ ِ ‫الْوتِي فَما ِمْن ُكم ِمن أَح ٍد عْنو ح‬
‫اج‬
َ َ َُ َ ْ ْ َ َ َ
“Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan
atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya.
Kemudian kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak ada seorang
pun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya).”
(QS. al-Haqqah [69]: 44-47)
9. Memposisikan diri seperti pembuat Syari’at
Menetapkan sesuatu sebagai ibadah hanyalah hak Allah subhanahu
wa ta'ala. Oleh karena itu, ketika ada seseorang membuat-buat atau
mengada-ada perkara baru dalam agama, berarti dia telah memposisikan
diri seperti pembuat syari’at yaitu Allah 'azza wa jalla -kita berlindung
kepada Allah dari yang demikian itu-. Padahal kewajiban kita sebagai
hamba hanyalah menerima dan melaksanakan syariat Allah ta'ala yang
telah Dia tetapkan.
Az-Zuhri Imamnya para Imam dan selainnya dari para ulama umat
rahimahumullah mengatakan:

‫َّسلِْي ُم‬
‫ت‬ ‫ال‬ ‫ا‬َ‫ن‬‫ػ‬
ْ ْ َ َ َ ُْ‫ي‬‫ل‬
َ ‫ع‬‫و‬ ‫غ‬
ُ ‫َل‬
َ ‫الب‬ ِ
‫ؿ‬‫و‬‫س‬‫الر‬
َّ ‫ى‬َ‫ل‬‫ع‬ ‫و‬ ‫ف‬
ُ ‫ا‬
َ َ ََ ‫ي‬‫ػ‬ ‫ب‬‫ال‬ ِ ‫علَى‬
‫هللا‬ َ
“Allah yang menjelaskan, kewajiban Rasulullah adalah menyampaikan,
sedangkan kewajiban kita adalah menerima sepenuhnya.” (Aqidatus
83
Salaf wa Ashabil Hadits 190, lihat Hayatus Salaf Bainal Qauli wal Amal
karya Syaikh Ahmad bin Nashir ath-Thayyar hafidzahullah hal. 27)
10. Mendapat ancaman neraka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

‫ض ََللٍَة‬ ٍ ٍ
َ ‫َو َشَّر ْاِل ُُم ْوِر ُُْم َد ََثتػُ َها َوُك َّل ُُْم َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َعة‬
َ ‫ض ََللَةٌ َوُك َّل‬
‫ِ ِْف النَّا ِر‬
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat,
dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. an-Nasa`i 1578 dinilai
shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shaghir 1353)
Demikianlah di antara bahaya bid’ah bagi seorang hamba. Betapa
besar dan mengerikannya konsekuensi dari perbuatan bid’ah, sehingga
sudah sepantasnya kita untuk waspada dari perbuatan bid’ah ini.

Mutiara Salaf
Ahmad bin Sinan al-Qaththan rahimahullah berkata:

ِ ِ ‫اْل ِدي‬ ِ‫الدنْػيا مبػتَ ِدعٌ إََِّل وىو يػبغ‬


ْ ‫الر ُجلُ نُِز َع‬
‫ت‬ َّ ‫ع‬ ‫د‬
َ
َ ْ‫ت‬
َ ‫ػ‬ ‫ب‬‫ا‬ ‫ا‬‫ذ‬
َ ‫إ‬َ‫ف‬ ، ‫ث‬ ْ ‫ل‬ ‫ى‬
ْ َ
‫أ‬
ْ َ َ ُ ُْ َ ُ َ ‫ض‬ ُْ َ ُّ ‫س ِ ِْف‬
َ ‫لَْي‬
‫ث ِم ْن قَػْلبِ ِو‬ِ ‫ح ََلوةَ اْل ِدي‬
َْ َ َ
“Tidak ada seorang pelaku bid’ah pun di dunia, kecuali ia membenci ahlul
hadits, maka apabila seseorang melakukakan kebid’ahan, dicabutlah
kelezatan hadits dari dalam hatinya.”
(Aqidah Salaf wa Ashabul Hadits hal. 56,57, karya Syaikh Ahmad bin Nashir ath-Thayyar
hafidzahullah(

84
KEMULIAAN PARA ULAMA
Sudah menjadi ketetapan Allah bahwa orang yang berdakwah
mengajak kepada kebenaran pasti akan mendapatkan ujian dalam
dakwahnya, baik itu dari diri sendiri maupun orang lain. Mereka pun
mendapatkan permusuhan dari orang-orang yang bodoh ataupun para
pengikut dan penyeru kebatilan. Sehingga banyak di antara manusia yang
kemudian melemparkan tuduhan palsu, mencela, dan memusuhi, bahkan
memerangi para penyeru kebaikan, terutama kepada para ulama. Hal ini
terjadi ketika para ulama dan para penyeru kebaikan menjelaskan tentang
hakikat kesyirikan dan kebid’ahan serta bahayanya bagi umat.
Maka seyogyanya kita mengetahui dan merenungkan, bahwa ketika
para ulama bangkit menjelaskan tentang tauhid dan sunnah serta seruan
untuk menegakkannya, juga menjelaskan tentang syirik dan bid’ah serta
seruan untuk meninggalkannya, bukanlah itu menunjukkan bahwa para
ulama itu membenci kaum muslimin dan ingin memerangi mereka.
Tentunya tidak, justru ketika mereka menjelaskan ini tauhid dan ini syirik,
ini sunnah dan ini bid’ah, itu menunjukkan bahwa para ulama menyayangi
umat Islam. Mereka ingin agar kaum muslimin kembali kepada agama yang
benar, kembali kepada tauhid dan sunnah, kembali kepada ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diamalkan oleh
para sahabat beliau radhiyallahu 'anhum. Para ulama tidak ingin kaum
muslimin jatuh ke dalam kesyirikan yang merupakan dosa besar yang paling
besar, juga tidak ingin kaum muslimin jatuh ke dalam perbuatan bid’ah
sehingga amalan pelakunya tak diterima oleh Allah ta'ala.
Maka yang demikian itu adalah usaha mereka dalam membela dan
melestarikan kemurnian agama Islam ini sesuai dengan kesempurnaannya
dan keindahannya. Karena syarat diterimanya amal seorang muslim adalah
dengan Tauhid dan Ittiba’. Maka para ulama ingin agar Allah menjadi satu-
satunya Tuhan yang diibadahi, dan agar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam menjadi satu-satunya manusia yang diikuti dalam mewujudkan
peribadahan kepada Allah ta'ala.

85
Oleh karena itulah, justru alangkah mulianya perbuatan para ulama
dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik dari kalangan
para penyeru kebaikan. Bahkan mereka adalah bukti bahwa Allah menjaga
agama ini, karena dengan sebab mereka Allah menjaga keaslian Al-Qur’an
dan Sunnah, baik dari segi lafadz maupun makna, serta pemahaman dan
penjelasan atau tafsirnya. Sebagaimana Firman-Nya:

‫إِ ََّن َْٓم ُن نَػَّزلْنَا ال ِّذ ْكَر َوإِ ََّن لَوُ َْلَافِظُو َف‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an dan
Sunnah) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr
[15]: 9)
Sungguh orang-orang yang mencela dan memusuhi para ulama,
mereka adalah orang-orang yang bodoh, para pengikut kebatilan, dan
pembela serta penyebar kesesatan. Adalah Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah pernah mengatakan: “Maka segala puji hanya milik Allah 'azza
wa jalla yang telah menjadikan pada setiap masa yang kosong dari para
Rasul, pewaris yang terdiri dari ulama yang berdakwah dan mengajak orang
yang sesat kepada hidayah. Mereka tabah dan sabar menghadapi
bermacam-macam tantangan dan ujian untuk menghidupkan mereka yang
mati hatinya dengan Kitabullah dan dengan cahaya Allah 'azza wa jalla,
menjadikan terbuka mata mereka yang buta. Sehingga tidak sedikit dari
mereka yang (hatinya) telah mati terbunuh oleh Iblis kembali dihidupkan,
dan banyak dari mereka yang sesat dan kebingungan kembali mendapat
petunjuk. Alangkah baik warisan mereka untuk manusia, tetapi sebaliknya,
sungguh buruk penerimaan sebagian manusia terhadap warisan mereka.
Para ulama itu telah tampil menolak manipulasi Kitabullah yang dilakukan
oleh mereka yang berlebih-lebihan, dan mencegah pemalsuan orang-orang
yang berkecimpung dalam kebatilan, serta menolak ta’wil terhadap
Kitabullah yang diperbuat oleh orang-orang bodoh yang mengibarkan
bendera bid’ah dan melepaskan tali pengikat fitnah. Mereka adalah orang-
orang yang berselisih tentang Kitabullah sekaligus menyelisihinya. Mereka

86
bersepakat untuk memisahkan diri dari Kitabullah dengan membahas
tentang Allah dan tentang Kitabullah tanpa ilmu. Mereka menyampaikan
pendapat dan ucapan yang mengandung syubhat yang membingungkan dan
mengecoh orang-orang awam. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah
orang-orang yang sesat.” (lihat Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
karya ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah hal. 12-13)
Semoga Allah menjaga para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan
menolong mereka serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
untuk terus berdakwah menegakkan agama ini, dan semoga Allah memberi
hidayah kepada kaum muslimin, dan menjaga mereka dari kesesatan dan
dari orang-orang yang mengajak kepada kesesatan.
ِ ‫ قَ َاؿ رسو ُؿ‬:‫اص ر ِضي هللا عْنػهما قَ َاؿ‬
‫هللا‬ ِ ‫الع‬ ِ
‫ن‬ ‫ب‬ ‫و‬ ِ
‫ر‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ن‬ِ ‫ب‬ ِ ‫عن عب ِد‬
‫هللا‬
ُْ َ َُ َ ُ َ َ َ ْ َْ ْ َْ ْ َ
،‫اعا يَػْنػتَ ِزعُوُ ِم َن الْعِبَ ِاد‬ ِ ِ
ً ‫ض الْعْل َم انْتَز‬
ِ
ُ ِ‫ إِ َّف هللاَ ََل يَػ ْقب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْيو َو َسلَّ َم‬َ
‫َّاس‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ذ‬َ َ َّ ،‫ ح ََّّت إِ َذا ََل يػْب ِق َعالِما‬،‫ض الْعلَم ِاء‬
‫اَت‬ ِ ‫ب‬ ‫ق‬
َ ِ
‫ب‬ ‫م‬ ‫ل‬
ْ
ْ َ ُ َ ْ َ
ِ‫ولَ ِكن يػ ْقبِض الْع‬
ُ ً ُْ َ َُ
‫َضلُّ ْوا‬ ‫أ‬
‫و‬ ‫ا‬
‫و‬ ُّ
‫ل‬ ‫ض‬َ‫ف‬ ، ٍ
‫م‬ ‫ل‬
ْ ِ ‫ فَسئِلُوا فَأَفْػتَػوا بِغَ ِري‬،‫رُؤوسا ج َّه ًاَل‬
‫ع‬
َ َ َْ ْ ْ ُ ُ ً ُ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
akan mencabut ilmu dari para hamba-Nya sekaligus, tetapi Dia akan
mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga ketika Allah tidak
lagi menyisakan seorang ulama pun, manusia mengangkat orang-orang
bodoh sebagai pemimpin. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian
mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka pun sesat dan
menyesatkan.” (HR. Bukhari 100 dan Muslim 2673)

87
KETIKA KITA MENDAPAT NASEHAT
Terkadang, seseorang membaca atau mendapatkan nasehat,
kemudian ia merasa nasehat itu bermanfaat dan menyentuh hatinya. Maka
ia pun ingin agar orang lain mendapatkan nasehat yang telah ia dapatkan. Ia
pun menyebarkannya, sehingga ia berharap agar nasehat itu juga
bermanfaat untuk saudara saudarinya sesama kaum muslimin.
Bukan Berarti Karena Merasa Lebih Baik
Oleh karena itu, ketika ada saudara kita yang membagikan sebuah
pesan nasehat, tidak mesti karena dia itu merasa lebih baik dari yang
lainnya. Tapi justru dia ingin agar kita juga mendapatkan manfaat
sebagaimana ia telah mendapat manfaat dari yang ia bagikan itu. Justru dia
adalah orang yang peduli dengan kebaikan kita, ia sedang mengamalkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

‫ب لِنَػ ْف ِس ِو‬ ِ ‫ب ِِل‬


ُّ ‫َخ ِيو َما ُُِي‬ َّ ‫َح ُد ُك ْم َح ََّّت ُُِي‬
‫أ‬ ‫ن‬‫م‬
َ ُ ُ
ِ‫ََل يػ ْؤ‬
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian (dengan keimanan yang
sempurna), sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya
sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya.” (HR. Bukhari 13 dan
Muslim 45)
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata:

‫ِن لَ َكثِْيػ ُر‬ ِ ‫َعظُ ُكم ولَست ِِبَ ِريُكم وََل أ‬


ّْ ِِ‫ َوإ‬،‫َصلَح ُك ْم‬ ْ َ ْ ْ ُ ْ َ ْ
ِ ‫ إِِِن أ‬،‫أَيػُّها النَّاس‬
ّْ ُ َ
‫اع ِة‬ ‫ط‬
َ ِ
‫ِف‬ ‫ب‬ ِ ِ ‫ وََل ح ِاملُها علَى الو‬،‫ َغيػر ُُم َك ٍم ََلا‬،‫اؼ علَى نَػ ْف ِسي‬
‫اج‬ ِ ‫ا ِلسر‬
َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َْ
‫ لَعُ ِد َـ‬،‫َخاهُ إََِّل بَػ ْع َد إِ ْح َك ِاـ أ َْم ِر نَػ ْف ِس ِو‬ ُ ِ‫ َولَْو َكا َف الْ ُم ْؤِم ُن ََل يَع‬،‫َرِِّبَا‬
َ‫ظ أ‬
‫ َوقَ َّل الْ ُم َذ ّكِ ُرْو َف‬،‫اعظُْو َف‬
ِ ‫الو‬
َ

88
“Wahai manusia, sungguh aku akan memberikan nasehat kepada kalian
padahal aku bukanlah orang yang paling baik dan paling shalih di antara
kalian. Sungguh, aku pun telah banyak melampaui batas terhadap diriku.
Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula
membawanya untuk selalu melakukan kewajiban dalam mentaati Allah.
Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasehat kepada saudaranya
kecuali setelah dirinya menjadi sempurna, niscaya tidak akan ada para
pemberi nasehat, dan sedikitlah orang-orang yang mau mengingatkan.”
(Adabusy Syaikh al-Hasan ibn Abil Hasan al-Bashri karya Imam Ibnul Jauzi
rahimahullah hal. 125)
Demikian pula saudara kita yang menulis sebuah artikel nasehat,
kemudian membagikannya kepada kita. Bisa jadi karena dia mencoba
menasehati dirinya sendiri dengan mencari-cari ayat-ayat al-Qur'an, atau
hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan perkataan para ulama
yang bisa mengobati kesalahannya, ketidaktahuannya, dan kesedihannya
dalam menghadapi masalahnya. Kemudian ternyata ia mendapat manfaat
dari apa yang telah ia cari dan ia tulis, maka ia pun ingin agar saudara-
saudarinya yang mendapat masalah yang sama sepertinya bisa ikut
merasakan manfaat yang telah ia dapatkan. Termasuk juga orang yang
menasehati atau menyampaikan kebaikan kepada kita secara langsung
dengan cara yang baik.
Kita Terima Nasehatnya
Oleh karena itu, jika nasehatnya berisi kebaikan dan kebenaran,
hendaknya kita terima nasehatnya, meskipun kita belum bisa atau belum
sempurna ketika mengamalkannya. Terkadang, sebagian di antara kita justru
malah mencari-cari kesalahan dan kekurangan si Pemberi nasehat, atau
dengan menuduhnya yang tidak-tidak, dengan mengatakan: “Kamu aja
masih begini, kamu aja masih begitu, kok nasehatin aku?!”, “Jangan sok
alim lah... Nasehatin aja dirimu sendiri!”
Bukan, bukan demikian sikap seseorang yang sedang mendapat
nasehat. Jika nasehatnya itu berisi kebenaran maka harus kita terima,

89
bahkan meskipun orang yang menasehati itu belum mengamalkan apa yang
ia nasehatkan. Apalagi jika orang yang menasehati benar-benar
menginginkan kebaikan untuk kita, tentunya lebih berhak lagi untuk kita
terima nasehatnya. Jika pun kita belum bisa sempurna mengamalkan
nasehatnya, maka kita berusaha sambil terus berdoa kepada Allah agar kita
bisa mengamalkan kebenaran yang telah kita terima.
Karena ketika kita malah mencari-cari kesalahan orang yang memberi
nasehat kepada kita, justru dikhawatirkan hal itu termasuk ke dalam bentuk
kesombongan berupa menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Padahal orang yang sombong ancamannya sangat berat. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

‫ إِ َّف‬:‫ قَ َاؿ َر ُج ٌل‬،‫اؿ َذ َّرٍة ِم ْن كِ ٍِْب‬ُ ‫اْلَنَّةَ َم ْن َكا َف ِِف قَػْلبِ ِو ِمثْػ َق‬
ْ ‫َلَ يَ ْد ُخ ُل‬
‫ب‬ ُّ ‫يل ُُِي‬
ٌ َ
َِ ‫اَّلل‬
‫َج‬ َّ َّ
‫ف‬ ِ‫ إ‬:‫ قَ َاؿ‬،ً‫ب أَ ْف ي ُكو َف ثَػوبوُ حسنًا ونَػ ْعلُوُ حسنَة‬
َ َ َ َ َ ُ ْ َ ُّ ُِ ‫الرجل‬
‫ُي‬ َ ُ َّ
‫اس‬ ِ َّ‫ط الن‬ ْ ‫ الْ ِكْبػ ُر بَطَُر‬،‫اْلَ َم َاؿ‬
ُ ‫اْلَِّق َو َغ ْم‬ ْ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan
meski hanya seberat biji sawi.” Seorang laki-laki bertanya: “Ada seseorang
yang suka jika bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk
kesombongan?)” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha indah dan
menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia.” (HR. Muslim 2749)
Ketika seseorang memberikan nasehat kepada kita dengan cara yang
baik karena kita melakukan sebuah kesalahan, berarti ia telah melakukan
sebuah kebaikan, bisa jadi ia telah mendapatkan pahala atas nasehatnya itu.
Sedangkan kita, jika kita malah membantahnya dan mendebatnya serta
mencari-cari kesalahannya, justru kita bisa terjatuh ke dalam banyak
kesalahan; pertama: kita telah menolak nasehat, kedua kita mencari-cari
kejelekan orang lain (si Pemberi nasehat), ketiga: kita membela kesalahan

90
kita, keempat: kita memunculkan permusuhan antara kita dengan dia.
Lihatlah perbandingannya; ia melakukan satu kebaikan, tapi kita justru
melakukan empat kesalahan atau bisa juga lebih banyak lagi.
Semoga Allah meridhai sahabat Abu Darda yang telah berkata:

‫ِن فِْي ِو‬


ِ‫ َولَكِ ْن لَ َع َّل هللاَ ََيْ ُجر‬،ُ‫إِِِّن َآل ُمرُك ْم ِِبِْلَ ْم ِر َوَما أَفْػ َعلُو‬
ُْ ُ ْ
“Boleh jadi aku mengajak kalian pada suatu kebaikan sedangkan aku sendiri
belum melakukannya, namun aku berharap semoga Allah memberi aku
pahala dengan hal tersebut.” (Siyar A`lamin Nubala` II/345)
Oleh karena itu, hendaknya kita berusaha memiliki sikap sabar dan
tawadhu atau rendah hati, sehingga mudah menerima kebenaran. Semoga
Allah menghindarkan kita dari kesombongan, dan menjadikan kita termasuk
orang-orang yang mudah menerima kebenaran serta mengamalkannya.
Allahumma aamiin.

KATA HATI SEORANG DA’I


Siapalah aku, aku bukanlah siapa-siapa.
Hanya seorang yang menginginkan kebaikan untuk diri sendiri dan saudara
saudari semuanya.
Aku bukanlah orang yang sempurna. Kesalahan dan kekurangan pastilah
ada. Namun aku selalu berharap semoga Allah memperbaiki diriku dan
memberiku pahala.
Dunia datang dan menggoda, rasa ingin dianggap, ingin dikenal, ingin dipuji
dan takut dicela pun hampir selalu muncul bersama, sehingga keikhlasan
adalah hal yang semakin berat untuk harus tetap aku jaga.
Semoga aku tidak seperti lilin yang menyala, ia menerangi selainnya, namun
dirinya sendiri terbakar dan binasa.

91
SHALATMU SHALATMU
Allah subhanahu wa ta'ala Sang Pencipta alam semesta mewajibkan
shalat fardhu lima waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Sang Nabi
penunjuk jalan menuju surga juga telah memerintahkan untuk shalat.
Para ulama, ahli ilmu, serta penuntut ilmu, mereka sibuk membahas
hukum-hukum tentang wudhu dan shalat, syarat sahnya, rukun-rukunnya,
wajibnya, sunnahnya, keutamaannya, pembatal-pembatalnya, hal-hal yang
mengurangi pahalanya, hikmahnya, tata caranya, bacaan-bacaan doa dan
dzikirnya, jamak dan qasharnya, daaaaan lain sebagainya...
Ada orang mengaku beragama Islam dengan entengnya meninggalkan
shalat. Seolah-olah masalah shalat tidak ada pentingnya sama sekali.
Maka hendaknya orang-orang yang masih meninggalkan shalat atau
yang shalatnya masih bolong-bolong sadar diri, bahwa shalat adalah
masalah yang sangat penting sekali dalam agama Islam. Shalat adalah rukun
Islam yang kedua, ia adalah seutama-utama amal setelah dua kalimat
syahadat. Sangat tidak pantas sekali jika seorang muslim meremehkan
masalah ini.
Hendaknya seorang muslim mengingat betapa banyaknya nikmat
yang telah ia dapatkan dari Allah ta'ala, bahkan betapa banyak nikmat yang
Allah karuniakan kepadanya tanpa pernah ia minta. Allah berikan setiap hari
secara gratis.
Lalu apakah dengan mudahnya ia meninggalkan shalat sebagai salah
satu kewajiban yang paling utama dalam agamanya??!
Sesungguhnya Allah menyuruh manusia beribadah kepada-Nya
bukanlah karena Allah yang butuh. Sungguh Allah Maha Kaya, Dia tidak
butuh sama sekali kepada makhluk-Nya. Justru hamba-Nya lah yang butuh
kepada-Nya di setiap detak jantungnya dan di setiap hembusan nafasnya.
Dia telah berfirman:

‫الص َم ُد‬
َّ ُ‫اَّلل‬
َّ
92
“Allah, Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. al-Ikhlas
[2]: 112)
Jika seorang hamba menyia-nyiakan kewajiban dari-Nya, hendaklah ia
takut akan hari dimana tak ada seorang pun yang bisa lari dari siksa-Nya.
Sesungguhnya siksa-Nya begitu amat dahsyat; membuat mata-mata
terbelalak, mulut-mulut terbungkam, kulit-kulit terbakar, dan kulit-kulit
kepala mengelupas.
Namun ketika seorang hamba selalu berusaha melaksanakan
kewajiban dari-Nya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,
maka berbahagialah akan janji yang agung yang telah Allah persiapkan
untuknya; berupa surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, beserta
kenikmatan sempurna yang tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah
terdengar oleh telinga, dan tak pernah terlintas dalam pikiran manusia.
Hendaklah seorang muslim selalu mengingat betapa pentingnya
shalat, ia menjadi penentu keadaan kita di akhirat, dan shalat adalah
termasuk wasiat terakhir rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau telah
bersabda:

‫ت‬ ِ ِ ِ‫القيام ِة ِمن عمل‬


ِ ‫إِ َّف أ ََّوَؿ ما ُُياسب بِِو العب ُد يػوـ‬
ْ ‫صلُ َح‬
َ ‫ف‬
ْ ‫إ‬َ‫ف‬ ،‫و‬
ُ ‫ت‬
ُ ‫َل‬
َ ‫ص‬ ‫و‬ َ
َ َ ْ َ َ َ ْ َ َْ ُ َ َ َ
‫اب َو َخ ِسَر‬ ْ ‫ َوإِ ْف فَ َس َد‬،‫فَػ َق ْد أَفْػلَ َح َوأ َْْمَح‬
َ ‫ت فَػ َق ْد َخ‬
“Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab
(dipertanggungjawabkan) di hari Kiamat adalah shalatnya; jika shalatnya
baik maka ia beruntung dan selamat, jika shalatnya jelek maka ia celaka dan
merugi.” (HR. at-Tirmidzi 413, dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh al-Albani
dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 540)

‫الصَلََة اتػَّ ُقوا‬


َّ ‫الصَلََة‬ َِّ ‫وؿ‬
َّ :‫اَّلل ملسو هيلع هللا ىلص‬ ِ ‫ َكا َف‬:‫عن علِ ٍى هنع هللا يضر قَ َاؿ‬
ِ ‫آخر َكَلَِـ رس‬
َُ ُ ّ َ َْ
‫ت أَّْيَانُ ُك ْم‬‫ك‬َ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫يم‬ِ‫اَّلل ف‬
ْ َ َ ََّ
َ
93
Dari Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata: Ucapan terakhir Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam (menjelang wafatnya) adalah: “Jagalah shalat, jagalah
shalat, bertakwalah kepada Allah dalam mengurusi budak-budak kalian!”
(HR. Abu Dawud 5158, Ahmad 585, dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh al-
Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 2285)
Hendaknya seorang muslim selalu meminta pertolongan kepada Allah
agar dimudahkan dalam menjalankan syari’at-Nya. Hanya Allah-lah yang
melimpahkan hidayah taufik.
Semoga Allah memberi hidayah dan kemudahan kepada saudara-
saudari kita yang masih menyia-nyiakan shalatnya, dan semoga Allah
memberi kita semua keistiqamahan di atas keikhlasan dalam ketaatan
kepada-Nya. Allahumma aamiin.

Mutiara Salaf
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata:

ِِ ِ ِ َّ ‫ ومن علِم أ‬،‫ت َك َفاه الي ِسيػر‬


ِ ‫من أَ ْكثَػر ِذ ْكر الْمو‬
ُ‫َف َمْنط َقوُ م ْن َع َملو قَ َّل َك ََل ُمو‬ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ ُ َْ َ َ ْ َ
“Siapa yang memperbanyak mengingat kematian, maka ia akan merasa
cukup dengan yang sedikit, dan siapa yang menyadari bahwa ucapannya
termasuk bagian dari amalannya, maka akan sedikitlah bicaranya.”
(Shifatus Shafwah 4/466, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 153 karya
Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)
-------------------------
Bisyr al-Hafi rahimahullah berkata:

‫ت فَػتَ َكلَّ ْم‬


ُ ‫الص ْم‬
َّ ‫ك‬َ َ‫ َوإِ َذا أ َْع َجب‬،‫ت‬
ْ ‫اص ُم‬ َ َ‫إِ َذا أ َْع َجب‬
ْ َ‫ك ال َك ََل ُـ ف‬
“Jika berbicara membuatmu takjub, maka diamlah, dan jika diam
membuatmu takjub, maka berbicaralah.”
(Ar-Risalatul Qusyairiyah hal. 63, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 157
karya Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)

94
LEBIH BAIK DARI DUNIA DAN SEISINYA, MAU?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

‫الدنْػيَا َوَما فِْيػ َها‬


ُّ ‫َرْك َعتَا الْ َف ْج ِر َخْيػٌر ِم َن‬
“Dua raka'at fajar (shalat sunnah qabliyah shubuh) lebih baik daripada dunia
dan seisinya.” (HR. Muslim 725)
Ini baru keutamaan shalat qabliyah shubuh, apalagi shalat
shubuhnya...
Namun betapa banyak kaum muslimin yang merasa sangat berat
melaksanakannya, apalagi melangkahkan kakinya menuju masjid untuk
shalat shubuh berjamaah.
Padahal, kalau bangun pagi sebelum shubuh untuk kegiatan lainnya
begitu bersemangat. Contoh: bertani di sawah dan ladang, berdagang di
pasar, berangkat ke pabrik atau kantor, dan... semisalnya... Termasuk
nonton sepak bola.
Maka ini menunjukkan adanya setan yang selalu menggoda manusia
dan menyemangatinya dalam meninggalkan kebaikan, serta memotivasinya
untuk selalu mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat.
Di sinilah letak ujian kita sebagai seorang Muslim. Manakah yang kita
pilih, mentaati Allah dengan melaksanakan kewajiban dari-Nya (shalat
Shubuh) ataukah tenggelam dalam nikmatnya tidur di waktu tersebut?!
Demikian pula dalam kewajiban lainnya. Kita memilih mentaati Allah
dan menjauhi larangan-Nya sehingga dijanjikan surga, ataukah memilih
mentaati hawa nafsu dan setan lalu mendapat ancaman neraka...?!
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa
dan selalu menjaga shalatnya.

95
MENDIDIK DENGAN KETELADANAN
Salah satu hal yang bisa kita dapatkan dari psikologi perkembangan
anak, adalah bahwasanya mereka sangat mudah meniru dan
mempraktekkan ucapan ataupun perbuatan yang mereka lihat atau mereka
dengar.
Apa yang dilihat atau didengar oleh anak dari orang tuanya atau
selainnya, bisa sangat memberikan pengaruh bagi mereka, terutama dalam
pembentukan akhlak mereka.
Bahkan meskipun mereka tidak diajari secara langsung dengan
perkataan, misalnya: “Kamu harus begini ya! Kamu harus begitu ya!” Anak-
anak bisa langsung menangkap dan mencontoh apa yang mereka lihat.
Kita pun bisa menyaksikan hal ini pada anak-anak di sekitar kita, atau
bahkan pada anak kita sendiri. Entah itu dari ucapan mereka, perbuatan
mereka, penampilan mereka, dan yang lainnya. Terkadang mungkin kita pun
merasa kaget atas perubahan mereka dari sebelumnya, padahal kita tak
merasa pernah mengajari mereka. Ketika ditelusuri, ternyata hal itu adalah
hasil dari meniru-niru apa yang mereka lihat atau dengar. Demikian pula
mereka pun akan terpengaruh oleh orang-orang yang sering mereka lihat,
terlebih lagi jika mereka menjadikannya sebagai idola dan panutan.
Oleh karena itu, jangan sampai mereka salah dalam menjadikan
seseorang sebagai idola atau teladan.
Dari sinilah hendaknya kita sebagai orang tua memberikan
keteladanan yang baik bagi anak-anak kita, dan menghindarkannya dari
teman-teman yang jelek, serta menjauhkannya dari lingkungan dan
pemandangan perilaku yang buruk. Demikian pula seorang guru hendaknya
juga demikian.
Maka di antara cara yang baik dalam mendidik anak-anak kita adalah
dengan menceritakan kepada mereka kisah-kisah yang baik agar mereka
terinspirasi dan mendapatkan teladan yang baik. Maka sesungguhnya kita
sebagai umat Islam telah memiliki sebaik-baik tokoh yang bisa kita jadikan

96
sebagai teladan. Siapakah mereka? Tak lain dan tak bukan mereka adalah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau radhiyallahu
'anhum. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran dan
keteladanan yang agung. Sehingga hendaknya kita para orang tua dan guru
membaca kisah-kisah mereka agar bisa menceritakannya kepada anak-anak
dan murid-murid kita.
Terkhusus sebagai orang tua, kita bisa membacakan kisah-kisah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau radhiyallahu
'anhum serta orang-orang shalih rahimahumullah kepada anak-anak kita
sebelum tidur, atau di waktu-waktu yang tepat lainnya. Bahkan ini sangat
baik untuk menggantikan tontonan-tontonan yang kurang mendidik yang
banyak disajikan oleh stasiun-stasiun televisi saat ini.
Dengan hal tersebut diharapkan anak-anak kita akan tumbuh dengan
mengikuti dan meneladani semangat orang-orang shalih yang telah terbukti
keshalihannya, kebaikannya, dan kesungguhannya dalam mempelajari,
mengamalkan, mendakwahkan dan memperjuangkan Islam. Bahkan Allah
telah menjadikan mereka makhluk-makhluk yang mulia yang pernah hidup
di atas muka bumi ini.
Salah seorang sahabat yang mulia Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu
'anhu pernah berkata:

،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ِ ِ ِ ِ


َ ‫َص َحاب َر ُس ْوؿ هللا‬ ْ ‫َس ِِب‬َّ ‫َسيًا فَػْليَػتَأ‬
ّ ‫َم ْن َكا َف مْن ُك ْم ُمتَأ‬
‫ َوأَقْػ َوُم َها‬،‫ َوأَقَػلُّ َػها تَ َكلُّػ ًفا‬،‫ َوأ َْع َمقػَُها ِعْل ًما‬،‫فَِإنػَّ ُه ْم َكانػُ ْوا أَبَػَّر َى ِذ ِه اِل َُّم ِة قُػلُْوًِب‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ِ‫ اِختَارىم هللا لِصحب ِة نَبِي‬،‫ وأَحسنػها ح ًاَل‬،‫ى ْدَّي‬
‫و‬
َ ّ َْ ُ ُ ُ َُ ْ َ َُ َ ْ َ ً َ
‫ فَِإنػَّ ُه ْم َكانػُ ْوا َعلَى‬،‫ واتَّبػِعُ ْوُى ْم ِ ِْف آ ََث ِرِى ْم‬،‫ضلَ ُػه ْم‬ َ‫ف‬
ْ ُْ ْ ْ ‫م‬ ‫َل‬
َ ‫ا‬‫و‬ ‫ػ‬
ُ‫ف‬ِ
‫ر‬ ‫اع‬ ‫ف‬
َ ، ِ
‫و‬ ِ
‫ن‬ ‫ي‬‫د‬ِ ‫وإِقَام ِة‬
ْ َ َ
‫ا َْلَُدى الْ ُم ْستَ ِقْي ِم‬

97
“Barangsiapa yang hendak mencari keteladanan, maka teladanilah sahabat-
sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Karena mereka adalah
orang-orang yang paling baik hatinya di antara umat ini, paling dalam
ilmunya, paling sedikit memaksakan diri, paling lurus petunjuknya dan paling
baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih oleh Allah untuk
menemani Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan untuk menegakkan
agama-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah petunjuk
mereka, karena sesungguhnya mereka benar-benar di atas petunjuk yang
lurus.” (Tafsir al-Qurtubi 1/60)
Tentunya dalam pendidikan anak, kita harus selalu mengikhlaskan niat
agar hanya mengharapkan pahala dan keridhaan dari Allah ta'ala yang telah
mengamanahkan mereka kepada kita. Sambil terus mengiringi pendidikan
dan pertumbuhan mereka dengan doa yang tulus untuk kebaikan mereka.
Semoga Allah memudahkan kita dalam mendidik anak-anak kita dan
murid-murid kita, dan semoga Allah menjadikan mereka anak-anak yang
shalih dan shalihah. Allahumma aamiin.

Mutiara Salaf
Al-Junaid bin Muhammad rahimahullah berkata:

‫العْب ِد أَ ْف يُ ْشغِلَوُ ِِبَا ََل يَػ ْعنِْي ِو‬ ِ ِ ‫ع ََلمةُ إِعر‬


َ ‫اض هللا َع ِن‬َْ َ َ
“Tanda Allah berpaling dari hamba-Nya adalah Allah membuatnya sibuk
dengan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”
(Shifatush Shafwah 2/669, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 307 karya
Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)

98
AKU PULANG PAK… AKU PULANG BU...
Seorang anak merasa senang setelah mendapat gaji bulanannya yang
ke sekian kalinya. Kali ini ia bergembira karena telah merasa memiliki cukup
simpanan di tabungannya, sehingga ada sedikit dari gajinya yang bisa ia
sisihkan untuk ia berikan kepada kedua orang tuanya yang selama ini telah
membesarkannya.
Ia pun pulang dari perantauannya setelah tiba masa libur kerja. Hanya
beberapa hari saja, tidak lama. Beberapa hari yang bisa ia sempatkan dari
sekian lama berpisah dengan kedua orang tuanya. Kali ini ia baru sempat
untuk berkunjung menemui orang tuanya yang telah lama ia tinggalkan.
Sesampainya di rumah orang tuanya, si anak menyalami bapak dan
ibunya yang telah beranjak tua. Ia pun berbahagia sekali bisa kembali
melihat wajah kedua orang tuanya yang telah merawatnya sejak bayi. Ia
tatap wajah keduanya, kini ia baru merasakan dan menyadari setelah
beberapa lama berpisah dengan keduanya, ternyata memang nampak
umurnya sudah semakin tua, kulitnya juga sudah semakin mengeriput,
tangannya dilihatnya sudah semakin pucat, rambut ubannya juga semakin
banyak saja, pembuluh darahnya begitu nampak di balik kulitnya,
kekuatannya pun kelihatan lebih lemah dari sebelumnya.
Dengan keadaannya yang seperti itu, mereka dengan wajah berseri-
seri menyambut kepulangan anaknya dari perantauan, melepaskan
kerinduan yang telah lama memenuhi sanubarinya terhadap anak yang ia
sayang.
Orang tua dan anak itu pun hanyut dalam pembicaraan yang ramah
dan santai penuh kegembiraan. Si anak bercerita tentang sedikit kisahnya di
tempat kerjanya selama mereka berpisah. Senyuman dan rasa senang begitu
terasa pada pertemuan mereka kala itu. Tak lupa sang ibu pun memasakkan
makanan kesukaan untuk anaknya itu.
Si anak begitu menikmati liburannya di rumah kedua orang tuanya
yang menyimpan berjuta-juta kisah sejak ia lahir di sana. Hingga akhirnya

99
terasa begitu cepat beberapa hari ia lalui di rumah itu. Maka tiba waktunya
ia harus kembali berpisah dengan kedua orang tuanya. Ia harus kembali ke
tempat kerjanya yang jauh di luar kampung sana.
Demikianlah hampir setiap anak itu pulang kampung, terasa benar
kebahagiaan dalam perjumpaan dengan orang tuanya dan juga saudara
saudarinya. Sampai pada kepulangannya yang ke sekian kalinya, saat si anak
itu hendak kembali lagi, si anakpun berpamitan pada orang tuanya, tak lupa
ia selipkan di telapak tangannya beberapa lembar rupiah dari gajinya, tidak
banyak, hanya sedikit. Ia pun menghampiri ibunya, hingga terjadilah
pembicaraan di antara keduanya:
"Bu, ini ada sedikit buat ibu."
"Oh nggak usah nak, nggak usah, buat kamu aja, ibu sudah ada kok."
Demikianlah umumnya orang tua, bagaimanapun keadaannya,
mereka tak ingin merepotkan anak-anaknya. Berbeda dengan anak, yang
selalu mengeluh dan merengek kepada orang tuanya, bahkan terkadang
sampai ada yang marah-marah kepada mereka.
Si anak pun menatap wajah ibunya, yang ia tak tahu sampai kapan lagi
ia masih bisa melihatnya, ia pun berkata:
"Nggak papa bu, kan pengen ngasih sama orang tua."
"Lha emangnya kamu masih punya?"
Ucapan ibunya ini menggetarkan hati anaknya. Ternyata ibunya selalu
mengkhawatirkan keadaannya, takut kalau-kalau uang anaknya tidak cukup
untuk biaya hidupnya yang jauh di sana. Melihat anaknya pulang saja ia
sudah merasa senang, tak perlu harus membawa oleh-oleh ataupun
pemberian uang. Ia tak mau menyusahkan anaknya yang ia sayang.
"Udah bu, udah ada kok. Ni masih banyak, insyaallah cukup kok." Sambil
tersenyum dan menatap wajahnya dalam-dalam ia meyakinkan sang ibu.
Sang ibu pun menimpali: "Terima kasih ya..."

100
Degup kencang kembali mengetarkan hatinya, oh tidak... Ucapan ini
bahkan mengguncang hatinya. Seumur-umur ia hidup bersama orang
tuanya, ia rasa hampir-hampir tak pernah sekalipun ia mengucapkan terima
kasih kepada bapak ibunya. Namun sang ibu, dengan jasa-jasanya yang amat
besar dan tak terhitung, ia berterima kasih atas pemberian yang sangat
sedikit itu. Pemberian yang seolah-olah hanya setetes dibandingkan air
sumur tempat ibunya mengambil air untuk memandikannya, mencebokinya,
dan memberi ia minum.
Si anak pun merasa malu dan begitu sangat terharu dengan sikap
ibunya itu. Ia pun teringat betapa kecilnya ia di hadapan orang tuanya,
meskipun ia sudah bisa menafkahi dirinya sendiri.
Kemudian kini tibalah giliran ia untuk berpamitan kepada bapaknya
yang seperti biasa, ada-ada saja pekerjaan yang dikerjakan oleh bapaknya di
rumah itu. Ia pun menghampiri bapaknya. Sebagaimana kepada ibunya, ia
menyelipkan sedikit lembar rupiah di telapak tangannya dan memberikan
kepada bapaknya.
Seraya bersalaman, ia pegangi erat-erat tangan bapaknya itu, tangan
yang selama ini telah mengusahakan nafkah untuknya, tangan yang selama
ini menggendongnya, mengusap kepalanya, dan menyeka air mata tangis
masa kecilnya...
"Pak, ini ada sedikit buat bapak."
"Oh nggak usah nak, nggak usah, buat kamu aja, bapak sudah ada."
Ternyata jawaban yang sama pun terucap dari lisan bapaknya itu.
"Nggak papa pak, kan pengen ngasih sama orang tua."
"Lha kamu udah ada?"
Lagi-lagi orang tuanya ini menanyakan hal yang sama sebagaimana
ditanyakan oleh orang tua yang satunya tadi.
"Udah pak, udah ada kok."
Ia pun kembali berusaha meyakinkan orang tua yang satunya itu.

101
"Ya udah, terima kasih."
Kata-kata itu kembali terdengar dari orang tuanya. Betapa terharunya
anak itu mendengar kata-kata tersebut. Akhirnya ia pun berpamitan dan
pergi kembali meninggalkan keduanya. Ia pun pergi dengan membawa
pelajaran yang sangat berharga dari kedua orang tuanya. Tentang betapa
besar perhatian dan kasih sayang orang tua kepada anaknya. Tentang akhlak
yang mungkin sebelumnya belum pernah ia dapatkan di bangku Sekolah
tempat ia belajar. Tentang rasa sayang, perhatian, cinta, ketulusan, sabar
dalam penantian, rasa syukur, mengutamakan orang lain, kebesaran hati,
dan hikmah perpisahan.
Semoga Allah menjaga mereka dan menjaga bapak ibu kita. Pastinya
masing-masing kita memiliki kisah bersama orang tua kita yang bisa kita
kenang dan kita ambil pelajaran berharga darinya.
Inilah kurang lebih yang bisa kami kemas, dari secuil kisah antara
orang tua dan anak. Kisah perpisahan dan pertemuan yang memberikan
banyak hikmah dan pelajaran.
Sahabat Abu Darda radhiyallahu 'anhu pernah berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ِ ِ ‫ فَِإ ْف ِشْئت فَأ‬،‫اب اْلن َِّة‬
ِ ‫ط أَبْػو‬ ِ‫الوال‬
ُ‫اح َفظْو‬
ْ ‫اب أ َْو‬
َ َ‫ك الب‬
َ ‫َض ْع َذل‬ َ َ َ َ ُ ‫س‬‫َو‬
ْ ‫أ‬ ‫د‬
ُ َ
“Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Jika kalian mau, sia-siakanlah
pintu itu atau jagalah.” (HR. at-Tirmidzi 1900, dishahihkan oleh Syaikh al-
Albani dalam Shahihut Tirmidzi 1900)
Semoga Allah menjadikan kita termasuk anak-anak yang shalih dan
shalihah yang selalu berbakti kepada orang tua, baik ketika keduanya masih
hidup maupun telah meninggal dunia. Dan semoga Allah mengaruniakan
kepada kita anak-anak yang shalih dan shalihah yang menjadi penyejuk
pandangan mata kita. Allahumma aamiin.

102
PAHAMILAH KADAR DIRIMU
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:

َّ ُ‫س ْاِلَ َد ِب َم ْع ِرفَة‬


ُ‫الر ُج ِل قَ ْد َره‬ ُ ْ‫َرأ‬
“Pokok adab yang baik adalah pengenalan seseorang terhadap kadar
dirinya.” (Al-Iqdul Farid 2/244, lihat Mawa'idhush Shalihina wash Shalihat
hal. 144 karya Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)
Ini adalah ucapan yang sedikit, namun sangat berfaedah, yang
merupakan keistimewaan dari ucapan para ulama salaf. Orang yang tahu
dan sadar akan kapasitas dirinya, dia akan berbuat sesuai apa yang ia miliki
saja. Maka orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu, ia akan diam dan
menuntut ilmu, bukan malah sok tahu. Dan ini adalah adab yang baik. Salah
seorang ulama berkata:
ِ ‫لَو س َكت اْل‬
ُ ‫اى ُل لََق َّل اْلََِل‬
‫ؼ‬ َ َ َ ْ
“Kalaulah orang-orang yang bodoh itu diam, pasti akan sedikitlah
perselisihan.”
Yang lain mengatakan:

ِ ِ‫َم ْن تَ َكلَّم ِِف َغ ِْري فَػنِّ ِو أَتَى ِِبلْ َع َجائ‬


‫ب‬ ْ َ
“Siapa yang berbicara bukan pada bidangnya, maka ia akan memunculkan
keanehan-keanehan (karena kebodohannya).”
Demikian pula jika seseorang sadar dengan kedudukan dirinya, ia
akan menunaikan amanah yang diembankan pada dirinya.
Maka seorang kepala rumah tangga, ia akan berusaha selalu
bertanggung jawab atas keluarganya dunia dan akhirat, memberi mereka
nafkah dan menjaga mereka dari siksa api neraka.

103
Seorang istri akan menunaikan hak-hak suaminya, dan juga berusaha
selalu menutup auratnya ketika keluar rumah atau di hadapan yang bukan
mahromnya.
Seorang anak akan berbakti pada orang tuanya.
Seorang guru akan mendidik murid-muridnya dan menjadi teladan
bagi mereka.
Seorang murid akan selalu belajar dan juga menghormati gurunya.
Seorang muslim akan berusaha menunaikan hak-hak saudaranya dengan
baik.
Demikian pula kita semua sebagai hamba Allah, maka kita harus
memurnikan ibadah kita hanya kepada-Nya, dan menjauhi segala bentuk
peribadahan kepada selain-Nya. Kita juga harus tunduk dan taat pada-Nya.
Semua ini adalah adab yang baik. Berawal dari kesadaran seseorang
atas kapasitas dan kedudukan dirinya, dia akan menunaikan adab-adabnya;
adab kepada Allah ta'ala, kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
adab kepada orang tua, kepada suami/istri, kepada tetangga, kepada teman,
dll.
Oleh karena itulah, pokok adab yang baik adalah pengenalan
seseorang terhadap kadar dirinya. Bahkan orang yang sadar akan kadar
dirinya, ia akan berusaha menjadi orang yang bertakwa. Allahu a'lam.

Mutiara Salaf
Adalah Abdullah bin Aun rahimahullah, jika ada seseorang membuatnya marah, maka
beliau berkata kepadanya:

‫ك‬ ِ
َ ‫َِب َرَؾ هللاُ فْي‬
“Semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu.”
(Shifatush Shafwah 3/219, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 374 karya
Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)

104
KETIKA KITA MENULIS
Di antara adab dalam berbicara dalam bermedia sosial, khususnya di
grup WA yang disitu semua anggota bisa berkirim pesan, adalah hendaknya
kita memperhatikan dan menimbang-nimbang ketika kita hendak menulis.
Ketika kita menulis; entah itu opini, tanggapan, komentar, kritikan,
candaan, dan tulisan lainnya, lalu tulisan kita itu dibaca orang, maka itu
berarti kita menyita waktu orang lain yang membaca tulisan kita. Belum lagi
akibat yang dihasilkan dari tulisan tersebut, apakah baik ataukah buruk.
Oleh karena itu tulislah yang berfaedah, tulislah sesuatu yang
memang perlu, atau mengandung manfaat, apalagi kalau tulisannya
panjang. Jangan kita menghabiskan waktu orang lain untuk membaca tulisan
kita yang tidak bermanfaat, apalagi mengandung syubhat atau keburukan.
Memang mungkin kita tak menyuruh semua anggota grup untuk
membaca tulisan kita, tapi ketika kita mengirim tulisan kita di sana, itu
berarti kita memperlihatkan tulisan kita kepada ratusan atau sekian pasang
mata anggota grup. Tentunya hal ini perlu kita perhatikan. Termasuk juga
tulisan yang kita share atau postingan apa saja yang kita bagikan.
Alangkah indahnya nasehat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
yang patut kita renungkan; beliau telah bersabda:

‫ت‬ ِ‫هلل والْيػوِـ ْاآل ِخ ِر فَػْليػ ُقل خيػرا أَو ل‬


ِ ‫من َكا َف يػؤِمن ِِب‬
ْ ‫ص ُم‬ ‫ي‬
ْ َ ْ ًَْ ْ َ َْ َ ُ ُْ َْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang
baik, atau diam.” (HR. Bukhari 6475 dan Muslim 47)
Melalui hadits ini Nabi kita shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh kita
diam, kecuali dalam perkara kebaikan; contohnya seperti dzikir,
mempelajari ilmu dan mengajarkannya, menyuruh pada kebaikan,
mencegah dari kemungkaran, dan semisalnya.
Demikian pula kita tahu dari hadits ini bahwa diam dan ucapan yang
baik adalah merupakan bukti dari keimanan kita kepada Allah dan hari Akhir.

105
Satu hadits ini saja bisa selalu kita amalkan, maka kita akan terhindar
dari banyak keburukan. Perhatikan sabda rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berikut ini:

‫ت َْمَا‬‫م‬ِ ‫من ص‬
َ َ َْ
"Barangsiapa diam, maka ia selamat." (HR at-Tirmidzi 2501, dishahihkan
Syaikh al-Albani dalam Shahihut Tirmidzi)
Hendaknya hadits ini juga menjadi perhatian bagi kita. Ada sebuah
syair yang cukup masyhur tentang hal ini, syair itu berbunyi:

‫ فَِإ َذا أ ََر َاد الْ َك ََل َـ تَػ َف َّكَر‬،‫العاقِ ِل َوَراءَ قَػْلبِ ِو‬
َ َ ‫ف‬
ُ ‫ا‬ ‫س‬ِ‫ل‬

‫ت‬ ‫ك‬َ ‫س‬ ِ ‫إِ ْف َكا َف لَو قَ َاؿ وإِ ْف َكا َف علَي‬
‫و‬
َ َ َْ َ ُ
"Lisan seorang yang berakal itu di balik hatinya, jika ia ingin berbicara maka
ia pun berpikir terlebih dulu.
Jika itu baik baginya maka ia pun berbicara, dan jika itu buruk baginya maka
ia pun diam."
Dan tentunya tidaklah tersembunyi bagi kita, bahwa tulisan juga
menempati posisi lisan, sehingga tulisan itu sama dengan ucapan lisan. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata:
َِّ ‫اْلنَّةَ فَػ َق َاؿ « تَػ ْقوى‬
‫اَّلل‬ ْ ‫َّاس‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ل‬ ِ ‫أَ ْكثَ ِر ما ي ْد‬
‫خ‬ َِّ ‫وؿ‬
‫اَّلل ملسو هيلع هللا ىلص َع ْن‬ ُ ‫ُسئِ َل َر ُس‬
َ َ َ ُ ُ َ
‫َّار فَػ َق َاؿ « الْ َف ُم‬ ِ ‫َكثَ ِر ما ي ْد‬ ‫ َو ُسئِ َل‬.» ‫اْلُلُ ِق‬
َ َ ُ ُ َ ْ ‫َع ْن أ‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫َّاس‬‫ن‬‫ال‬ ‫ل‬‫خ‬ ْ ‫َو ُح ْس ُن‬
»‫ج‬
ُ ‫َوالْ َفْر‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang perkara yang paling
banyak memasukkan manusia ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa
kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang perkara

106
yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau
menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi 2004, dinilai hasan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 2642)
Demikian.
Bukanlah yang menulis ini orang yang paling baik dalam mengamalkan
hadits tersebut, namun semoga tulisan ini menjadi pengingat untuk kita
semua. Allah subhanahu wata'ala telah berfirman:

‫صلِ ْح لَ ُك ْم أ َْع َمالَ ُك ْم‬ْ ُ‫يدا ي‬ ً ‫اَّللَ َوقُولُوا قَػ ْوًَل َس ِد‬ َّ ‫ين َآمنُوا اتَّػ ُقوا‬ َ
ِ َّ‫َّي أَيػُّها ال‬
‫ذ‬ َ َ
َّ ‫َويَػ ْغ ِفْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم َوَم ْن يُ ِط ِع‬
‫اَّللَ َوَر ُسولَوُ فَػ َق ْد فَ َاز فَػ ْوًزا َع ِظ ًيما‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar.” (QS. al-Ahzab [33]: 70-71)
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk bisa
selalu berkata yang baik, sehingga Allah pun memperbaiki amalan-amalan
kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Allahumma aamiin.

Mutiara Salaf
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:

‫ؼ ْاآل ِخَرةِ ِم ْن قَػْلبِ ِو‬


ُ ‫ع َخ ْو‬ ِ ُّ ‫ب‬
َ ‫الدنْػيَا َو َسَّر ِبَا نُِز‬ َّ ‫َح‬
َ ‫َم ْن أ‬
“Barangsiapa mencintai dunia dan senang dengannya, dicabutlah rasa
takut akan akhirat dari dalam hatinya.”
(Hilyatul Auliya 7/79, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 338 karya Syaikh
Hani al-Hajj hafidzahullah)

107
TERIMA KASIH KITA UNTUK MEREKA
Ada kalanya atau mungkin sering, kita mendapatkan bantuan, hadiah,
atau kebaikan dari seseorang, entah itu saudara, kerabat, tetangga, teman,
atau bahkan dari orang yang tak kita kenal. Terkadang kebaikan itu tiba di
saat-saat kita sedang sangat membutuhkannya.
Di samping itu, mereka justru nampak merasa senang dan seolah-olah
justru berterima kasih karena kita mau menerimanya. Begitu nampak
mereka tak membutuhkan balasan ataupun ucapan terima kasih kita.
Sungguh akhlak yang sangat mulia dan kedermawanan yang begitu
menawan.
Sehingga kita pun terharu, senang, tak menyangka, merasa sangat
berhutang budi, dan berterima kasih sekali. Terkadang ketika kita ingin
membalas kebaikan mereka, ternyata apa daya kita pun tak bisa
membalasnya karena kita memang sedang kesusahan atau tak ada
kesempatan.
Mungkin ada rasa sedih, sungkan, ataupun malu yang muncul dalam
diri kita, namun ketahuilah, kita masih bisa membalas mereka dengan doa
kebaikan untuk mereka. Maka termasuk sebaik-baik doa yang bisa kita
ucapkan di antara doa-doa yang lain adalah:

‫اَّللُ َخ ًريا‬
َّ ‫َجَز َاؾ‬
“Jazaakalloohu khoiron (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan).”
Karena kalaupun kita bisa membalasnya, mungkin tak setulus
pemberiannya. Namun ketika Allah yang membalasnya, maka Allah adalah
sebaik-baik pemberi balasan. Maka hendaknya kita mengucapkan doa ini
kepada mereka.

108
ٌ ‫صنِ َع إِلَْي ِو َم ْع ُر‬
‫وؼ‬ ‫ن‬‫م‬ :‫ملسو هيلع هللا ىلص‬ َِّ ‫وؿ‬
‫اَّلل‬ ُ ‫س‬ ‫ر‬ ‫اؿ‬
َ َ‫ق‬ : ‫اؿ‬
َ ‫ق‬
َ ‫هنع هللا يضر‬ ٍ ‫عن أُسامةَ ب ِن زي‬
‫د‬
ُ َْ َُ َْ ْ َ َ ْ َ
‫ فَػ َق ْد أَبْػلَ َغ ِ ِْف الثػَّنَ ِاء‬،‫اَّللُ َخْيػًرا‬
َّ ‫ َجَز َاؾ‬:‫اعلِ ِو‬ ِ ‫فَػ َق َاؿ لَِف‬
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mendapatkan
perlakuan baik, lalu ia mengatakan kepada pelakunya: 'Jazaakalloohu
khoiron (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)', maka sungguh ia
telah benar-benar meninggikan pujian.” (HR. Tirmidzi 2035 dan dishahihkan
oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 6368)
Ya, semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan yang banyak,
menjaga mereka, menjaga keikhlasan mereka, memudahkan urusan
mereka, memberkahi mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surga-
Nya.
Sungguh kita belajar dari mereka. Orang-orang seperti mereka telah
mengajari kita dengan keteladanan akhlaknya. Semoga Allah menjadikan
kita hamba yang selalu bersyukur.

Mutiara Salaf
Abu Qilabah Abdullah bin Zaid rahimahullah berkata:

ِ ِ َ‫ فَالْت‬،‫ك َشيء تَ ْكرىو‬ ِ ‫ك عن أ‬


ُ‫ فَِإ ْف ََلْ َُت ْد لَو‬،‫س لَوُ العُ ْذ َر ُج ْه َد َؾ‬ ْ ‫م‬ ُ ُ َ ْ ٌ َ ‫ي‬ْ ‫َخ‬ ْ َ َ َ‫إِ َذا بَػلَغ‬
ِ ِ َ ‫عُ ْذ ًرا فَػ ُق ْل ِ ِْف نَػ ْف ِس‬
ُ‫ لَ َع َّل ِلَخ ْي عُ ْذ ًرا ََل أ َْعلَ ُمو‬:‫ك‬
“Jika sampai kepadamu sesuatu yang engkau benci dari saudaramu,
carikanlah udzur untuknya semampumu. Jika engkau tidak menemukan
udzur padanya, maka katakanlah kepada dirimu: ‘Bisa jadi saudaraku
memiliki udzur yang aku tidak tahu.”
(Shifatush Shafwah 3/166, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 371 karya
Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)

109
DI BALIK NASEHAT MEREKA
Mungkin terkadang kita merasa risih, ketika sering mendapat nasehat
dari orang yang paham agama atau orang yang peduli dengan agamanya,
agar kita selalu bertakwa, selalu mentaati Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Entah itu orang tua, saudara, kerabat, ustadz, teman atau bahkan dari orang
yang belum begitu kita kenal. Bahkan mungkin kita tak malu-malu
memprotes dan mendebatnya.
Disuruh inilah, diajak itulah... Gak boleh ini lah, gak boleh itu lah...
Sehingga kita pun bermuka masam.
Namun ingatlah, di sisi lain kita mesti sadar, bahwa mereka
melakukan hal itu adalah karena mereka peduli dengan kita, peduli dengan
keselamatan kita, di dunia maupun di akhirat.
Karena sebagai manusia kita harus paham, bahwa hawa nafsu ini
selalu menyuruh pada keburukan, bahkan menyenanginya. Bahkan kita
dituntut untuk mengendalikan diri kita agar tunduk kepada aturan Allah
yang telah menciptakan kita.
Karena di dunia ini kita sedang diuji. Allah pun telah menyediakan
Surga sebagai motivasi bagi yang mentaati-Nya serta bersabar di atasnya,
dan menyediakan Neraka sebagai ancaman bagi yang mendurhakai-Nya.
Kita tahu hal itu, namun seolah-olah kita sering mengabaikannya. Kita
pun beralasan guna menghibur diri dan menghiasi kesalahan kita sendiri,
padahal kita tahu perbuatan kita itu keliru.
"Ah, ini kan cuma sedikit, ini kan cuma begini, cuma begitu."
"Kan cuma sekali, besok kan nggak lagi, nanti kan saya taubat."
"Wah, nggak gitu juga gak papa, nggak melaksanakan ini juga gak papa."
Saudaraku, saudariku... Memang hidup ini adalah perjuangan.
Perjuangan untuk meraih ketakwaan, untuk menjadi hamba Allah yang
sebenar-benarnya.

110
Ketika kita merasa bahwa perbuatan kita itu melanggar syari'at Allah,
maka itulah pertanda bahwa ada keimanan dalam diri kita. Itu adalah kode
dari keimanan kita agar kita meninggalkannya, meskipun jiwa kita dan juga
setan berbisik bahwa itu tidak apa-apa.
Maka hendaknya kita lebih condong kepada keimanan kita, sebelum
ia terkalahkan, atau bahkan tertutupi oleh maksiat yang dilakukan dan
dibela oleh diri kita sendiri.
Inilah peperangan, inilah petempuran, inilah jihad. Jihad melawan
hawa nafsu, agar ia mau selalu tunduk kepada aturan Allah 'azza wajalla.
Di sinilah hendaknya kita merasa terbantu dengan saudara saudari
kita yang peduli pada diri kita, dengan nasehat-nasehat yang mereka
sampaikan.
Justru mereka sedang berbuat baik kepada kita, meskipun sepertinya
mereka menghalang-halangi kita dari keinginan kita. Namun sadarilah,
bahwa justru mereka sedang menghalangi kita dari api Neraka yang
menyala-nyala. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan mereka.

‫ي‬ ِِ ِّ ‫وذَ ّكِر فَِإ َّف ال‬


َ ‫كرى تَن َف ُع الْ ُمؤمن‬
َ ‫ذ‬ َ
"Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (QS. adz-Dzariyat [51]: 55)
Mari berjuang meraih ketakwaan! Semoga Allah mudahkan.

Mutiara Salaf
Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah berkata:

‫َم ْن َرأَى ِ ِْف نَػ ْف ِس ِو قِْي َمةً ََلْ يَ ُذ ْؽ َح ََل َوةَ اْلِ ْد َم ِة‬
“Siapa yang menganggap dirinya berharga, berarti belum merasakan
lezatnya menghamba (kepada Allah).”
(Ar-Risalatul Qusyairiyah hal. 149, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 236
karya Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)

111
KAKIMU AURATMU
Alhamdulillah, kini kita dapati semakin banyak saudari-saudari kita
yang sadar untuk menutup auratnya saat keluar rumah atau saat ada yang
bukan mahramnya, bahkan semakin bertambah pula muslimah-muslimah
yang mengenakan cadar.
Namun terkadang, kita dapati wanita muslimah yang berhijab, ada
yang tidak menutupi kakinya yang bagian bawah atau tidak memakai kaos
kaki, padahal kaki bagian bawah juga termasuk aurat yang harus ditutupi.
Mereka pun beralasan:
"Ah.. kan cuma di depan rumah, kan cuma sebentar, kan gak ada yang
lihat..."
Saudariku, semoga Allah menjagamu dan memudahkan urusanmu.
Seorang muslim dan muslimah dituntut untuk selalu bertakwa sesuai
kemampuannya. Sebagai manusia, setiap kita pasti tahu akan
kemampuannya masing-masing. Kalaupun tidak ada yang melihat -menurut
perkiraan kita- setidaknya kita telah jujur di hadapan Allah bahwa kita
mengamalkan syari'at-Nya.
Seorang muslimah yang menutup auratnya dengan baik, berarti ia
telah jujur di hadapan Allah dalam melaksanakan kewajiban dari-Nya. Allah
Maha Melihat. Allah melihat kejujuran kita dan berjanji akan memberi
balasan Surga dengan segala keindahannya bagi hamba-hambaNya yang
bertakwa.
Hendaknya seorang muslimah juga sadar, bahwa menutup aurat
adalah kewajiban, maka ketika ia tidak menutup kakinya berarti ia telah
melakukan pelanggaran syari'at. Hendaknya ini dipahami oleh setiap
muslimah.
Ingatlah, tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali pasti karena
ada kebaikan di dalamnya, dan tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali
karena pasti di dalamnya ada keburukan. Allah yang lebih tahu keadaan kita

112
daripada kita sendiri. Dan alhamdulillah, Allah menjadikan syari'at ini
mudah.

‫يد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر‬


ُ ‫اَّللُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوََل يُِر‬
َّ ‫يد‬ُ ‫يُِر‬
"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki
kesukaran bagi kalian." (QS. al-Baqarah [2]: (185)
Maka hendaknya kita melaksanakan syariat Islam ini dengan senang
hati dan yakin akan kebaikan yang ada di dalamnya, meskipun kita belum
mengetahui kebaikan apakah itu.
Maka bagi saudari muslimah, jangan sampai kakinya itu disentuh api
Neraka kelak, karena ia tidak mau menutupinya ketika di dunia, padahal ia
mampu melakukannya.
Demikian, semoga Allah memudahkan saudari-saudari kita kaum
muslimah dalam menutup auratnya, dan semoga Allah memberi hidayah
bagi mereka yang belum menutup auratnya dengan baik.

Mutiara Salaf
Ibrahim bin Khawwash rahimahullah berkata:

‫السن َِّة‬ ِ ‫الصبػر الثػَّبات علَى أَح َك ِاـ‬


ِ َ‫الكت‬
ُّ ‫اب َو‬ ْ َ ُ َ ُ َْ
“Sabar adalah teguh di atas hukum-hukum al-Qur’an dan Sunnah.”
(Ar-Risalatul Qusyairiyah hal. 93, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 404
karya Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)

113
SIBUKLAH MEMBICARAKAN TAUHID, JANGAN SIBUK
MEMBICARAKAN POLITIK
Di saat orang-orang banyak berbicara politik negeri ini. Mari kita
sibukkan membicarakan dan mempelajari tauhid dan sunnah agar bisa kita
amalkan, serta memahami syirik dan bid'ah agar bisa kita jauhi dan kita
tinggalkan.
Karena itulah yang kita butuhkan. Kita butuh paham akan agama kita,
kita butuh tambahan dan pemupuk keimanan, kita butuh berjalan dengan
benar di atas jalannya orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah
ar-Rahman, mereka adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabat beliau radhiyallahu 'anhum, serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik.
Tidak ada perdebatan, tidak ada tukaran caci makian, tidak ada
kedustaan. Semuanya jelas di atas wahyu al-Qur'an dan Sunnah sesuai
pemahaman Salaful ummah.
Kemuliaan yang sesungguhnya hanyalah diperoleh dengan
ketakwaan, bukan dengan kekuasaan dan jabatan ataupun kekayaan.
Demikian pula keberkahan, akan kita raih dengan keimanan dan
ketakwaan. Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman:
َِّ ‫إِ َّف أَ ْكرم ُكم ِعْن َد‬
‫اَّلل أَتْػ َقا ُك ْم‬ ْ ََ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah
yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat [49]: 13)

ِ ‫الس َم ِاء َواِل َْر‬


‫ض‬ ٍ ‫َف أَىل الْ ُقرى آمنُػوا واتػَّ َقوا لََفتحنَا علَي ِهم بػرَك‬
َّ ‫ات ِّم َن‬ َّ
ََ ْ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ‫َولَْو أ‬
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan
bumi.” (QS. al-A'raf [7]: 96)

114
Biarkanlah urusan politik kita serahkan kepada para ahlinya. Tak perlu
kita ikut-ikutan sibuk membicarakannya. Kami yakin, betapa banyak kita
lihat orang-orang yang begitu senang dan sering membicarakan politik,
ternyata ia tak tahu doa masuk masjid.
Betapa banyak orang berteriak-teriak tentang politik, ternyata bacaan
al-Qur'annya masih banyak kesalahan, makhrojnya pun masih berantakan.
Betapa banyak pula orang yang seolah ia pandai berdebat masalah
politik, ternyata ia tak paham rukun laa ilaaha illallaah yang merupakan
pokok keimanan.
Marilah saudara saudariku, pelajarilah agamamu! Malulah dengan diri
sendiri, takutlah akan diri ini! Betapa banyak ilmu-ilmu Islam yang belum
kita ketahui, betapa sedikit pula perbekalan kita menuju perjalanan panjang
setelah kematian. Ingatlah, sesungguhnya engkau pasti akan ditanya
tentang umurmu, untuk apa ia habiskan?!
Teladanilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersama para
sahabat beliau radhiyallahu 'anhum. Di saat orang-orang Persia dan Romawi
sibuk membicarakan kekuatan kerajaannya, mereka sibuk membicarakan
tauhid dan keimanan, sibuk membicarakan urusan akhirat, kemudian Allah
memberikan kepada mereka kemuliaan dan keberkahan, hingga di
kemudian hari Allah pun menguasakan para sahabat dan para pengikutnya
atas Persia dan Romawi, bahkan dengan telak bisa mereka kalahkan.
TAUHID saudara dan saudariku! Kuncinya adalah Tauhid dan Sunnah
yang menghujam dalam dada, yang membuahkan keimanan dan ketakwaan.
Semoga Allah menjaga negeri ini dan memberi hidayah kepada
penduduknya kepada jalan yang lurus.

115
MENCATATLAH
Nikmatilah mencatat materi yang disampaikan guru atau ustadz saat
pengajian. Sesungguhnya ada kenikmatan saat kita mencatat ilmu. Hal ini
tentunya tidak dirasakan oleh orang yang tidak mencatat, apalagi oleh
mereka yang tidak datang ke pengajian.
Di antara faedah utama mencatat saat pengajian adalah:
- Lebih fokus dalam menyimak
- Mengurangi rasa kantuk
- Membantu memahami materi
- Meraih inti kajian
- Kapan saja mudah dimurajaah (dipelajari ulang), terutama saat lupa
- Mudah menyampaikannya pada yang lain, dan
- Menambah keberkahan ilmu yang didapat insyaallah. Barakallahufikum.

Mutiara Salaf
Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata:

‫اآلخَرةِ ُحِّرا ِمْنػ َها‬


ِ ‫ َكا َف ِِف‬،‫الدنْػيا حِّرا ِمْنػها‬
ْ َ ُ َ ُّ ‫َم ْن َكا َف ِ ِْف‬
“Siapa yang di dunia ia terbebas darinya (dunia), maka di akhirat pun ia
akan terbebas darinya.”
(Ar-Risalatul Qusyairiyah hal. 100, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 428
karya Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)
----------------------
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ِ ِِ ِ ‫الدنْػيا وح‬
َ ‫ب َخالق َها ِ ِْف قَػْلبِو فَػ َق ْد َك َذ‬
‫ب‬ ِّ ‫ي ُح‬
ّ ُ َ َ ُّ ‫ب‬ َ ْ ‫َم ْن َّاد َعى أَنَّوُ ََجَ َع بَػ‬
“Siapa yang mengaku bahwa ia mengumpulkan cinta dunia dan cinta
kepada Pencipta dunia di dalam hatinya, maka ia telah berdusta.”
(Ihya Ulumiddin 136, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 127 karya Syaikh
Hani al-Hajj hafidzahullah)

116
DI ANTARA KETELADANAN ULAMA
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaily hafidzahullah, seorang guru besar untuk
fatwa di Universitas Islam Madinah dan pengajar di Masjid Nabawi
membaca sebuah lembar pertanyaan. Penanya memulai pertanyaannya
dengan sapaan kepada beliau:
“Wahai Samahatusy Syaikh…”
Maka sambil tersenyum Syaikh Sulaiman mengucapkan:
“Aku bukan Samahatu, tapi aku Sulaiman ar-Ruhaily.”
Demikianlah di antara ketawadhuan ulama, beliau enggan digelari
dengan pujian, padahal beliau layak dipuji. Betapa ahli ilmu selalu berusaha
menjaga hatinya agar selalu ikhlas dan menjauhi hal-hal yang bisa
mengurangi keikhlasannya.
Maka jangan merasa bangga diri jika kita yang masih sangat sedikit
ilmu ini dibandingkan dengan para ulama, ketika dipanggil “Ustadz” oleh
orang lain.
Semoga Allah menjaga keikhlasan kita dan menjadikan ilmu kita
bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
* Samahatu adalah sebuah gelar keilmuan yang disematkan kepada ahli
ilmu. Di antara ulama yang sering digelari atau disebut dengan samahatu
adalah Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.
#Catatan Dauroh Masyayikh ke 19 yang diselenggarakan oleh STAI Ali bin
Abi Thalib Surabaya di Batu – Jatim

117
PELAJARILAH BAHASA ARAB
Betapa banyak ilmu yang luput dari kita ketika kita tak paham bahasa
Arab, belum lagi kenikmatan dalam merenungi bacaan al-Qur’an, termasuk
juga ketenangan dalam menghayati bacaan shalat, serta rasa penuh harap
dan tunduk kepada Allah ketika kita berdoa menggunakan doa-doa
berbahasa Arab.
Bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an Firman Rabb kita, bahasa Nabi
kita shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu
'anhum, juga bahasa para ulama Islam. Bahasa Arab adalah bahasa kita
kaum muslimin.
Kalau para ulama saja, yang mereka sehari-harinya berbicara bahasa
Arab, mau mempelajari dan memperdalam ilmu bahasa Arab, apalagi kita…
Tentulah kita lebih pantas dan lebih butuh untuk mempelajari bahasa Arab.
Sesungguhnya mempelajari bahasa Arab termasuk bagian penting
dari agama Islam. Banyak orang memiliki kemauan belajar bahasa Arab tapi
tak punya kesempatan. Banyak juga yang memiliki keinginan dan
kesempatan tapi tak ada guru yang membimbing. Dan banyak juga yang
sudah memiliki kesempatan dan memiliki guru, namun mendapat kendala
sehingga tak bisa istiqamah. Maka beruntunglah seseorang yang bisa
mempelajari bahasa Arab dan ia bisa istiqamah. Sungguh ia beristiqamah di
atas kebaikan.

Mutiara Salaf
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata:

ِ َ‫لش ْك ِر وقَػيِّ ُدوا العِْلم ِِبلْ ِكت‬


‫اب‬ ِ ِ ِ
َ ْ َ ُّ ‫قَػيّ ُد ْوا النّ َع َم ِب‬
“Ikatlah kenikmatan dengan syukur, dan ikatlah ilmu dengan tulisan.”
(At-Tadzkiratul Khamduniyyah 1/280, lihat Mawa’idhush Shalihina wash Shalihat hal. 108
karya Syaikh Hani al-Hajj hafidzahullah)

118
PESAN UNTUK PARA PEROKOK
Melihat para perokok di zaman ini persis seperti sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tentang permisalan teman yang buruk; jika ia
tidak membuatmu terbakar maka minimalnya engkau mencium bau tidak
sedap dari asapnya. Persis: jika engkau tak mendapat contoh dan perlakuan
akhlak buruk darinya, maka minimalnya engkau mencium bau rokok dan bau
mulutnya.
Mestinya para perokok khawatir kalau-kalau betapa banyak orang
yang menuntutnya kelak di hari kiamat, lantaran banyak orang yang
terganggu dan terdzalimi dengan bau rokoknya. Sehingga betapa banyak
pahala yang akan hilang darinya kelak.

‫ َم ْن‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َاؿ‬ ِ ‫َف رسوَؿ‬


‫هللا‬ َّ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ن‬
ْ ‫ع‬ ‫هللا‬ ‫ي‬ ‫ض‬ ِ ‫عن أَِب ىريػرَة ر‬
َ ْ ُ َ ُ َ ُ َ َ َ َْ ُ ْ ْ َ
،‫س َُثَّ ِدينَ ٌار َوََل ِد ْرَى ٌم‬ ‫ي‬
َ ْ ُ‫ل‬
َ ‫و‬َّ
‫ن‬ ِ
‫إ‬َ‫ف‬ ،‫ا‬ ‫ه‬‫ػ‬‫ن‬ْ ِ ‫َكانَت ِعْن َده مظْلَمةٌ ِِلَ ِخي ِو فَػ ْليػتَحلَّْلو‬
‫م‬
َ ُ َ َ ْ َ َُ ْ
‫ات أ ُِخ َذ ِم ْن‬ ِِ ِِِ ِ ِ
ٌ َ‫ فَِإ ْف ََلْ يَ ُك ْن لَوُ َح َسن‬،‫م ْن قَػْب ِل أَ ْف يػُ ْؤ َخ َذ ِلَخْيو م ْن َح َسنَاتو‬
‫ت َعلَْي ِو‬ ِِ ِ
ْ ‫َسيِّئَات أَخيو فَطُِر َح‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memiliki kezaliman terhadap
saudaranya, maka mintalah untuk dihalalkan, karena sesungguhnya akan
datang hari yang ketika itu tidak ada dinar maupun dirham, sebelum
kebaikan-kebaikannya diambil untuk diberikan kepada saudaranya itu,
manakala ia tidak lagi memiliki kebaikan, maka diambillah amal kejelekan
saudaranya itu, lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari 6534)
Semua yang bekerja sama dalam rokok ikut bertanggungjawab di
akhirat atas kerusakan yang ditimbulkan akibat rokok; baik penanam dan

119
penyuplai bahannya, pemberi ijinnya, pabriknya, karyawannya,
pengiklannya, penjualnya, sampai orang yang mengkonsumsinya.
Tubuh kita adalah titipan Allah yang begitu berharga, janganlah kita
racuni tubuh ini dan tubuh orang lain dengan rokok.
Saudara-saudaraku para perokok, berhentilah merokok karena Allah!
Kalaulah seseorang itu jujur meninggalkan rokok, maka insyaallah pasti akan
Allah mudahkan. Iringilah tekad tersebut dengan doa. Banyak orang
mungkin ingin berhenti merokok, tapi ia kurang jujur dan tidak berdoa
memohon kemudahan, sehingga Allah pun tidak memudahkannya.

AKHLAK MULIA
Akhlak mulia itu bukan sekedar pengetahuan atau pemandangan, tapi
ia adalah perilaku yang mesti dipraktekkan. Jika kita senang melihat orang
lain berakhlak baik, harusya itu memotivasi kita untuk mejadikannya sebagai
teladan. Jangan kita rela hanya menjadi penonton, sedangkan akhlak kita
masih begitu banyak kekurangan.
Dasar utama agar seseorang bisa berakhlak mulia adalah keimanan,
karena keimanan selalu menuntut baiknya akhlak sebagai pembuktian.
Maka dari itu jadikanlah Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai
teladan dalam kemuliaan akhlak dan ketakwaan.
Dibutuhkan kesadaran bahwa akhlak yang baik adalah sebuah
kebutuhan. Kemudian dilanjutkan dengan usaha mewujudkannya dalam
perilaku keseharian. Pendorong hal itu adalah rasa takut pada hari
pembalasan. Yaitu berharap balasan surga sebagai negeri kebahagiaan, dan
takut akan siksa neraka sebagai balasan penuh penderitaan. Maka cukuplah
kematian sebagai pengingat kebaikan.

120
PENUTUP
Alhamdulillah, inilah apa yang bisa kami sampaikan pada edisi ini,
semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Sesungguhnya tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan dari
Allah 'azza wa jalla. Dialah Rabb kita Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa
atas segala sesuatu, Yang Memberikan rahmat dan kasih sayang yang sangat
amat begitu banyak sekali kepada hamba-hambaNya. Tanpa pertolongan
dari Allah kita bukanlah siapa-siapa dan tak bisa berbuat apa-apa. Milik-Nya
lah segala pujian, nama-nama yang indah, dan sifat-sifat yang mulia.
Semoga Allah menjadikan amalan-amalan kita ikhlas hanya
mengharap ridha dan pahala dari-Nya, dan menjadikan amalan-amalan kita
diterima di sisi-Nya. Amin yaa Rabbal ‘alamin.
Semoga shalawat serta salam senantiasa terlimpah kepada Nabi kita
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau, para
sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga
akhir zaman.
Akhir doa kami adalah alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi
Allah Rabb semesta alam.

‫ب‬ ‫و‬‫ػ‬
ُ‫ت‬َ
‫أ‬‫و‬ ‫ؾ‬
َ ‫ر‬‫ف‬ِ ‫ أَستػ ْغ‬،‫ أَ ْشه ُد أَ ْف ََل إِلَػو إََِل أَنْت‬،‫سبحانَك اللَّه َّم وِِبم ِد َؾ‬
ُ ْ َ ُ َْ َ َ َ ْ َ َ ُ َ َ ُْ
َ ‫إِلَْي‬
‫ك‬
“Maha Suci Engkau, ya Allah, aku memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau, aku meminta
ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

121

Anda mungkin juga menyukai