Anda di halaman 1dari 56

1.

Proses angiogenesis memiliki beberapa tahapan yang melibatkan aktivasi sel endotel
(EC) oleh faktor angiogenik (proliferasi EC), degradasi membrane basal (ECM),
pembentukan struktur tabung pembuluh darah, dan stabilisasi pembuluh darah.juga
sebagai proses fisiologis normal yang melibatkan proliferasi, migrasi, dan morfogenesis
(EC) dari pembuluh darah yang ada, ke pembuluh darah baru. Angiogenesis merupakan
proses aktif selama masa perkembangan dan proses fisiologis seperti,penyembuhan luka
atau penebalan endometrium selama siklus menstruasi. Ini dibedakan dari
vaskulogenesis, yang merupakan pembentukan de novo pembuluh pertama dari angioblas
dalam embrio. (Frisca et al, 2009 ; Bielenberg and Zetter,2015).
- Frisca, Sardjono CT, Sandra F(2009).ANGIOGENESIS: Patofisiologi dan Aplikasi
Klinis. JKM, Vol. 8(2), pp: 174-187
- Diane R. Bielenberg, PhD and Bruce R. Zetter, PhD(2015). The Contribution of
Angiogenesis to the Process of Metastasis. The Cancer Journal,Vol 21,pp:267-273

2 Pada suhu tinggi, propolis menjadi lunak, lentur, dan sangat lengket; namun, ketika
didinginkan dan terutama saat beku atau hampir beku, menjadi keras dan rapuh. Propolis
menjadi cair pada 60 hingga 70°C, tetapi untuk beberapa sampel, titik lebur mungkin bisa
mencapai 100°C (Kumazawa et al, 2014).,

1. Warna propolis bervariasi dari hijau ke coklat dan kemerahan, tergantung pada sumber
botaninya. Komposisi propolis serta warna dan aromanya berubah sesuai dengan zona
geografis. Etanol adalah pelarut terbaik untuk propolis, dan pelarut lainnya seperti etil
eter, air, metanol, dan kloroform dapat digunakan untuk ekstraksi dan identifikasi
senyawa propolis (Ranzato et al, 2012).

2. Variasi musim dan tempat propolis yang dikumpulkan oleh subspesies lebah Apis
mellifera yang berbeda memiliki kandungan bahan yang berbeda, propolis yang
dikumpulkan dari banyak negara (seperti China, Korea, Kroasia, Selandia Baru, dan
Afrika) menunjukkan komposisi kimia yang mirip dengan propolis poplar yang
merupakan pohon khas di Eropa sebagai sumber propolis. Pada beberapa daerah, pohon
poplar bukan tanaman asli, seperti di Australia dan Amerika Selatan sehingga lebah
mencari tanaman lain untuk menghasilkan propolis, yang memiliki kesamaan komposisi
propolis dari poplar (Alves et al, 2013).
3. Propolis digunakan sebagai obat tradisional terutama sebagai imunomodulator, anti-
inflamasi, antioksidan, antibakteri, antivirus, antifungal, antiparasit, dan antikanker
(Kamajaya, 2014).
Kamajaya M. (2014). Efek Propolis Indonesia Merk X dalam mempercepat
penyembuhan luka pada mencit jantan Galur Swiss-Webster. FK Univ. Kristen
Maranatha, Bandung. http://repository.maranatha.edu/12775/

4. Pada gambar 2.2 menunjukkan generasi ROS dan efek neuroprotektif propolis terhadap
cedera sel pada gangguan neurologis, oleh beberapa enzim peroksidase, superoksid
dismutase, katalase, gluthatione reductase. Singkatan A1. Agonist; Ri, reseptor, cPLA2,
Cycosolic phospholipase A2; (sPLA2), sekretori phospholipase A1; COX-2,
cyclooxygenase-2; LOX, lipoxygenase; SOD, superoxide dismutase; NOS, nitrit oxide
synthase; NO, Nitric Oxide; ONOO-, peroxynitrite; TNF- , tumor necrosis factor; IL-
1, Interleukin 1 beta; GSH, reduced gluthathione; GSSG, gluthatione teroksidase;
H2O2, hydrogen peroxide; HIF-1, hypoxia-yang diinduksi faktor transkripsi 1 alfa;
VHL, Von Hippel-Lindau protein; TLR, Toll Like receptors, TIR, Toll/Interleukin (IL-1)
reseptor; CD14, protein yang dikode oleh gen CD14 adalah komponen sistem imun
alami;IFN, tipe 1 gen interferon; IRF3, interferon regulatory transcription factor;
MYD88, Myeloid differentiation primary-response protein 88, IRAK, IL-1 receptors
associated kinase; TRAF6, TNF receptor-associated factor 6; TRIF, TIR domain yang
berisi adaptor B; Nuclear factor kappa B response element (NF-kB-RE). Stimulasi NF-
kB oleh ROS membantu translokasinya ke nucleus dimana hanya memfasilitasi
transkripsi sPLA2, COX-2, NOS, dan gen SOD, namun juga meningkatkan ekspresi
sitokin proinflamasi dan gen IFN- di nukleus. Propolis juga menghambat translokasi
HIF- ke nukleus (Farooqui dan Farooqui, 2012).
Farooqui T dan Farooqui AA (2012). Beneficial effects of propolis on human health and
neurological diseases. Frontiers in Bioscience, Vol. 4, pp: 779-793

5. Propolis memiliki efek antioksidan dengan spektrum yang luas yaitu melalui mekanisme
aktivitas anti-oksidatif propolis, seperti kemampuan untuk menghambat pembentukan
ROS, menginaktivasi berbagai senyawa pembentukan ROS, dan pembersihan ROS,
sehingga mengganggu jalur reaksi yang mengarah ke peroksidasi lipid dan meningkatkan
sinergi dengan antioksidan jenis lain, disamping memiliki sifat anti-inflamasi pada proses
peradangan akut dan kronis disebabkan tingginya kandungan senyawa polifenol (Sawicka
et al, 2012).
Sawicka D., Car H., Borawska M. H., Niklinski J. (2012). The Anticancer activity of
propolis. Folia Histochemiaetcytobiologica, Vol. 50 (1), pp: 25-37

6. Penyembuhan luka merupakan proses dinamis yang diatur oleh mekanisme seluler,
humoral dan molekuler, yang dimulai sejak terjadinya perlukaan dan berakhir sampai
beberapa tahun kemudian. Proses penyembuhan luka merupakan proses yang terorganisir
ke arah perbaikan jaringan, yang terdiri dari empat fase yang saling tumpang tindih, yaitu
fase koagulasi, inflamasi, fase proliferasi (pembentukan jaringan granulasi ) dan fase
remodeling atau fase pembentukan jaringan parut (Demidova-Rice, 2012).
Demidova-Rice, Hamblin MR, Herman IM (2012). Acute and Impaired Wound Healing:
Pathophysiology and Current Methods for Drug Delivery, Part 2: Role of Growth Factors
in Normal and Pathological Wound Healing : Therapeutic Potential and Methods of
Delivery. Adv Skin Wound Care, Vol 25 (8), pp: 349-370

7. Pasca trauma, platelet menempel pada pembuluh darah (endotel) yang rusak, mengawali
reaksi pelepasan growth factors, sitokin, dan agen-agen pemicu apoptosis. Komponen
penting dalam proses ini adalah platelet-derived growth factor (PDGF), Tumor Growth
Factor–A1 (TGF-A1), dan TGF-2 yang menarik sel inflamasi seperti leukosit, netrofil,
dan makrofag. Leukosit (PMN) sebagai sel fagosit akan melepasan reactive oxygen
species (ROS) yang bersifat antimikroba dan protease yang membersihkan luka dari
benda asing dan bakteri. Akhir dari fase inflamasi disertai dengan apoptosis sel inflamasi
dipengaruhi oleh sitokin antiinflamasi seperti TGF-A1 dan interleukin-1, lipid bioaktif
seperti prostaglandin, lipoxin,dan serolvin (Tonnesen et al, 2000).
Tonnesen MG,Feng X,Clark RA. (2000). Angiogenesis in wound healing.J Investig
Dermatol Symp Proc. 2000 Dec;5(1), pp:40-6.
8. Fase proliferatif dimulai setelah fase inflamasi berakhir, growth factor yang terbentuk
menginduksi, mempertahankan proliferasi dan menginisiasi migrasi sel fibroblas yang
dibutuhkan untuk pembentukan jaringan ektra seluler matriks (jaringan granulasi ) dan
mendukung proses epitelisasi sel dermal dan epidermal yang bermigrasi dari kulit yang
intak. Angiogenesis pada penyembuhan luka terjadi segera setelah trauma yang
menyebabkan hipoksia lokal disamping terjadi kerusakan pembuluh darah (endotel, sel
otot dan pericyte ) yang menginduksi produksi faktor proangiongenik seperti FGF-2,
PDGF (Tonnesen et al ,2000).
Tonnesen MG,Feng X,Clark RA. (2000). Angiogenesis in wound healing.J Investig
Dermatol Symp Proc. 2000 Dec;5(1), pp:40-6.

9. Sel endotel mendegradasi membran basalis , bermigrasi ke arah luka, berproliferasi, dan
membentuk kontak antar sel, yang pada akhirnya membentuk pembuluh darah baru. Sel
progenitor endotel (EPCs), yang berasal dari sumsum tulang, dibutuhkan untuk
pembentukan pembuluh darah baru (vasculogenesis) melalui pensinyalan perlukaan
dinding pembuluh darah pada saat terjadi luka. Mobilisasi EPCs dimediasi oleh nitric
oxide, VEGF, dan matrix metalloproteinase (MMP) terutama MMP-9 (Demidova, 2012).
Demidova R, Hamblin MR, Herman IM (2012). Acute and impaired wound healing:
pathophysiology and current methods for drug delivery, part 1: normal and chronic
wounds: biology, causes, and approaches to care. Adv Skin Wound Care, Vol 25(7), pp:
304-14
10. Aliran darah yang normal setelah trauma akan menyediakan lingkungan mikro yang baik
untuk migrasi dan proliferasi sel dermal dan epidermal yang memeperbaiki dan
memepertahankan keutuhan epidermis. Fibroblas akan berproliferasi di dalam luka,
mensistensis matriks ekstraseluler (ECM), dan membentuk jaringan granulasi yang
banyak mengandung pembuluh darah baru. Matriks ekstra seluler yang terbentuk terdiri
dari kolagen III, fibrin, fibronektin, dan asam hialuronat yang kemudian akan digantikan
dengan ECM yang mengandung lebih banyak kolagen I (Demidova, 2012).
Demidova R, Hamblin MR, Herman IM (2012). Acute and impaired wound healing:
pathophysiology and current methods for drug delivery, part 1: normal and chronic
wounds: biology, causes, and approaches to care. Adv Skin Wound Care, Vol 25(7), pp:
304-14

11. Proses kontraksi luka pada fase remodeling terjadi akibat aktifitas miofibroblas
sebagai respons terhadap TGF-A dan kolagen matriks. Mekanisme lain yang
menyebabkan kontraksi luka adalah motilitas fibroblas akibat reorganisasi matriks berupa
sintesis dan degradasi ECM yang lambat akibat enzim MMPs dan proses apoptosis sel
fibroblas dan membentuk jaringan scar yang cenderung aseluler (Demidova, 2012).
Demidova R, Hamblin MR, Herman IM (2012). Acute and impaired wound healing:
pathophysiology and current methods for drug delivery, part 1: normal and chronic
wounds: biology, causes, and approaches to care. Adv Skin Wound Care, Vol 25(7), pp:
304-14

12. Reactive oxygen species (ROS) adalah istilah kolektif yang digunakan untuk oksigen
yang mengandung radikal bebas, tergantung pada reaktivitas dan kemampuan
pengoksidasinya. ROS berpartisipasi dalam berbagai reaksi kimia dengan biomolekul
yang mengarah ke kondisi patologis yang dikenal sebagai stres oksidatif. Antioksidan
digunakan untuk melindungi biomolekul dari efek merusak dari ROS tersebut (Kunwar
dan Priyadarsini, 2011). Pada gambar 2.6 peran ROS berasal dari NADPH oxidase dalam
pengikatan angiogenesis faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) ke reseptor
VEGF. VEGFR2 merangsang produksi ROS (O 2−, H2O2) melalui aktivasi Rac1-
termediasi NADPH oksidase. Enzim NADPH oksidase kompleks dalam sel endotel
terdiri dari flavocytochrome b558 reduktase yang terbentuk dari subunit katalitik "Nox2"
yang terikat ke subunit yang lebih kecil, p22phox (pematangan dan partner stabilisasi);
subunit regulator termasuk cytosolic protein organizer, p47phox dan p40phox; sititosolic
protein activator, p67phox; dan molekul berat kecil G protein Rac1. Enzim tersebut
mengkatalisis transfer elektron dari NADPH ke oksigen molekuler untuk membentuk O 2
melalui membran, yang pada gilirannya dapat secara spontan atau dikonversi secara
katalisator ke H2O2. ROS yang dihasilkan menginduksi downstream events yang bertemu
dan berintegrasi untuk menginduksi angiogenesis (Bhattacharya, 2015).

Kunwar, A. dan Priyadarsini, K. I. (2011) “Free radicals, oxidative stress and importance
of antioxidants in human health,” Journal of Medical & Allied Sciences, 1(2), hal. 53.

13. Peningkatan penyembuhan luka telah menjadi tujuan praktisi medis selama ribuan tahun.
Perkembangan luka kronis yang tidak sembuh-sembuh adalah masalah medis persisten
yang mendorong morbiditas pasien dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Aspek
kunci dari banyak luka yang tidak sembuh adalah berkurangnya pertumbuhan pembuluh
darah melalui proses angiogenesis (Veith et al., 2019). Dalam fase penyembuhan luka
kulit, terbentuk jaringan baru yang disebut jaringan granulasi, yang dimulai pada hari ke-
4 setelah terjadi luka. Jaringan granulasi mengandung kapiler-kapiler pembuluh darah
baru, makrofag, fibroblas, mengisi celah luka sebagai satu kesatuan unit yang saling
berhubungan. Makrofag sebagai sumber sitokin diperlukan untuk mengaktifkan fibroblas
dan proses angiogenesis. Fibroblas membentuk matriks ekstraseluler yang diperlukan
untuk mendukung pertumbuhan sel dan pembuluh darah yang mengangkut oksigen dan
nutrisi untuk mempertahankan metabolisme sel. Jumlah dan kualitas jaringan granulasi
bergantung pada mediator-mediator (lipid mediator) dan hasil metabolisme oksigen
(ROS), termasuk mediator protein dan peptida aktif (growth factor). Platelet yang
teraktivasi akan melepaskan growth factor pada daerah luka. Bersama monosit, akan
mengaktifkan makrofag yang bersama sel parenkim di daerah luka untuk membentuk dan
melepaskan growth factor. Extra Cellular Matrix (ECM) yang sudah mulai terbentuk
juga memicu pembentukan jaringan granulasi. Fibroblas dan sel endotel akan menginvasi
bekuan darah kaya fibronectin yang mengisi celah luka membentuk pembuluh darah baru
(Tonnesen et al, 2000).
Tonnesen MG,Feng X,Clark RA. (2000). Angiogenesis in wound healing.J Investig
Dermatol Symp Proc. 2000 Dec;5(1), pp:40-6.

Veith, A. P. et al. (2019) “Therapeutic strategies for enhancing angiogenesis in wound


healing,” Advanced drug delivery reviews, 146, hal. 97–125.

14. Angiogenesis adalah pertumbuhan pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang sudah
ada sebelumnya. Ini adalah proses biologis yang penting dalam penyembuhan luka
fisiologis atau peradangan patologis dan pertumbuhan tumor, yang mendasari interaksi
kompleks dari sinyal stimulasi dan penghambatan. Matriks ekstraseluler, sel imunitas
bawaan dan adaptif dan sel endotel itu sendiri merupakan sumber utama faktor
angiogenik yang mengaktifkan atau menghambat reseptor spesifik dan akibatnya
mempengaruhi jalur sinyal intraseluler (Richarz, Boada dan Carrascosa, 2017).
Angiogenesis merupakan komponen yang sangat penting pada penyembuhan luka yang
berkembang dari sisa-sisa pembuluh darah (capillary sprout). Sel endotel yang akan
menembus vascular basement membrane, menginvasi jaringan ECM, dan membentuk
struktur menyerupai tabung berkembang menjadi cabang-cabang dan akhirnya
membentuk jaringan pembuluh darah immature. Proses dinamis ini memerlukan interaksi
yang bersifat sementara dan diatur antara sel endotel, faktor angiogenesis, dan jaringan
ECM sekitarnya (Xian et al, 2019).
Xian,Dehai ; Song , Jing; Yang, Lingyu; Xiong,Xia; Lai,Rui; Zhong, Jianqiao.(2019).
Emerging Roles of Redox-Mediated Angiogenesis and Oxidative Stress in Dermatoses.
Oxidative Medicine and Cellular Longevity 2019, pp: 242-56

Richarz, N. A., Boada, A. dan Carrascosa, J. M. (2017) “Angiogenesis in dermatology–


insights of molecular mechanisms and latest developments,” Actas dermo-sifiliograficas,
108(6), hal. 515–523.

15. Trauma akan menyebabkan kerusakan sel dan hipoksia. Faktor angiogenesis yang poten
adalah FGF-1 dan FGF-2 yang dilepaskan akibat cedera sel dan VEGF yang dilepaskan
karena hipoksia sel. Degradasi protein ECM oleh enzim-enzim proteolitik menarik
monosit pembuluh darah perifer ke area luka dan mengaktifkan makrofag untuk
melepaskan lebih banyak faktor angiogenesis. Fibroblast Growth Factor-2 merangsang
endotel melepaskan aktivator plasminogen dan prokolagenase yang berubah menjadi
plasmin dan kolagenase yang merusak membrana basalis yang ditembus ujung-ujung
pembuluh darah yang berpindah ke daerah luka sebagai respons dari FGF, VEGF, dan
faktor angiogenesis lainnya. Fibroblast Growth Factor dan VEGF akan menstimulasi
proliferasi sel endotel yang secara terus menerus meningkatkan panjang pembuluh darah
dan membentuk cabang-cabang, serta berkembang menjadi jaringan pembuluh darah
(Clark, 2000). FGF dan VEGF adalah promotor Adipose-derived stem cells (ASC) untuk
proliferasi, migrasi, perlekatan, dan diferensiasi endotel. FGF dan VEGF memiliki efek
kostimulatori pada endoteliogenesis ASC. Hasil ini lebih lanjut menunjukkan bahwa
ASC dengan pensinyalan FGF yang ditingkatkan berpotensi digunakan untuk rekayasa
jaringan dan terapi berbasis sel pada pasien dengan iskemia ekstremitas kritis (Khan et
al., 2017).
Clark RAF (2014). Wound Repair : Basic Biology to Tissue Engineering. Principles of
Tissue Engineering, Chapter 76 , pp: 1595-1617

Khan, S. et al. (2017) “Fibroblast growth factor and vascular endothelial growth factor
play a critical role in endotheliogenesis from human adipose-derived stem cells,” Journal
of vascular surgery, 65(5), hal. 1483–1492.

16. Proses angiogenesis pada pemeriksaan imunohistokimia ditandai dengan marker antibodi
CD34 yang terikat pada prekusor sel endotel yang belum mengalami diferensiasi dan
terlihat berupa penetrasi pertumbuhan pembuluh darah baru di ECM. Ekspresi CD34
dapat dipakai sebagai penanda pertumbuhan pembuluh darah baru untuk mendeteksi
adanya rekurensi keganasan dan terlihat dalam bentuk penetrasi 81% dan bentuk
sirkumferensial 19% (Kademani et al, 2009). CD34 diekspresikan pada sel punca
hematopoietik, endotelium, sel interstisial Cajal, dan sel dendritik yang ada di dermis, di
sekitar pembuluh darah, dan di selubung saraf. Secara imunohistokimia, CD34 terutama
diekspresikan pada pembuluh darah kecil atau yang baru terbentuk dan sel-sel endotel
tumor endotel di mana sel-sel endotel pembuluh darah kecil dan besar pada jaringan
normal dan tumor telah dilaporkan diwarnai dengan intensitas yang sama (Pandiar dan
Shameena, 2014).
Kademani D, Lewis JT, Lamb D, Rallis DJ, Harrington JR (2009). Angiogenesis and
CD34 Expression as a Predictor of Reccurence in Oral Squamous Cell Carcinoma. J Oral
MaxillofacSurg, Vol.67,pp:1800-1805

Pandiar, D. dan Shameena, P. M. (2014) “Immunohistochemical expression of CD34 and


basic fibroblast growth factor (bFGF) in oral submucous fibrosis,” Journal of oral and
maxillofacial pathology: JOMFP, 18(2), hal. 155.

17. Terlepas dari penemuan dan kemajuan beberapa agen dalam menangani penyakit
angiogenik (terutama kanker), tindakan penghambatan yang menjanjikan dalam evaluasi
praklinis in vitro dan in vivo, dan dalam beberapa kasus bahkan regresi tumor, gagal
dalam uji klinis fase II/III. Perbedaan hasil antara uji praklinis dan uji klinis ini
menunjukkan perlunya pengujian praklinis yang sulit baik in vitro dan in vivo
menggunakan model yang sesuai dan keterbatasan setiap pengujian harus ditangani
dengan hati-hati sehingga interpretasi hasil yang berlebihan dapat diminimalkan (Khan et
al., 2014). Metode evaluasi angiogenesis in Vivo meliputi Sponge Implantation Assay,
Matrigel Plug Assay, Corneal angiogenesis assay dan Dorsal Air Sac Mode. Metode
evaluasi angiogenesis in Vitro terdiri dari cell culture Assays (Cord formation Assay,
Tube Formation Assay, Cell Proliferation Assay, Matrix Metalloproteinase Assay) dan
Organ Culture Assay (Aortic Ring Assay, Chick Aortic Arch Assay) dan in ovo
Evaluation Methods (Chicken chorio-allantoic membrane (CAM) Assay (AlMalki et al,
2014). AlMalki WH, Shahid I, Mehdi AY, Hafeez MH (2014). Assesssment methods for
angiogenesis and current approaches for its quantification. Indian Journal of
Pharmacology. Vol. 46 (3), pp: 251-256

Khan, G. J. et al. (2014) “Assessment methods of angiogenesis and present approaches


for its quantification.”

18. Teknik kuantitatif gambaran angiogenesis dari mikroskop cahaya terdiri dari
penghitungan secara acak pembuluh darah di area yang dibatasi dengan cincin silikon,
penggunaan parameter global yang sudah dipakai adalah dengan menghitung secara
manual beberapa parameter seperti kerapatan pembuluh darah perlapang pandangan,
kerapatan panjang pembuluh darah dan fractal dimension pembuluh darah, teknik lain
menentukan kerapatan diameter pembuluh darah dengan menggunakan mikroskop
electron dan pemeriksaan Enzyme Link Immunosorbent Assay/ ELISA untuk menghitung
angiogenic growth factor (AlMalki et al, 2014). untuk memahami dan menafsirkan efek
bahan uji tertentu pada proses angiogenesis, wajib menggunakan lebih dari satu jenis uji
in vitro untuk mengetahui langkah-langkah berbeda dalam jalur angiogenik, pemanfaatan
berbagai sumber sel endotel dan kemudian mengikuti ini dengan lebih dari satu uji in
vivo untuk memastikan bahwa hasil yang terlihat in vitro sesuai dengan in vivo di mana
sel-sel lain dan protein matriks ekstraseluler juga memiliki bagian yang pasti dalam
proses angiogenesis(Khan et al., 2014).
AlMalki WH, Shahid I, Mehdi AY, Hafeez MH (2014). Assesssment methods for
angiogenesis and current approaches for its quantification. Indian Journal of
Pharmacology. Vol. 46 (3), pp: 251-256

Khan, G. J. et al. (2014) “Assessment methods of angiogenesis and present approaches


for its quantification.”

19. Salah satu penyebab gangguan proses penyembuhan normal adalah ketidakseimbangan
homeostasis redoks yaitu produksi berlebihan Reactive Oxygen Species (ROS). ROS
merupakan salah satu bentuk radikal bebas yang memiliki sifat reaktivitas tinggi karena
memiliki kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi
radikal yang disebabkan hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain
(Broughton et al, 2006). ROS memainkan banyak peran pensinyalan dalam organisme
yang berbeda dari bakteri hingga sel mamalia. Mereka awalnya dianggap sebagai produk
sampingan beracun dari metabolisme aerobik, tetapi sekarang telah diakui sebagai
pemain sentral dalam jaringan sinyal sel yang kompleks (Mittler et al., 2011; Mittler,
2017).
Broughton G, Janis JE, Attinger CE (2006). The basic science of wound healing
retraction of Witte M, Barbul A. In: Surg Clin North Am 1997; 77:509-528). Plast
Reconstr Surg, Vol.117(7), pp: 12S-34S

Mittler, R. et al. (2011) “ROS signaling: the new wave?,” Trends in plant science, 16(6),
hal. 300–309.

Mittler, R. (2017) “ROS are good,” Trends in plant science, 22(1), hal. 11–19.

20. Radikal bebas mencari dan mengambil elektron komponen sel seperti DNA, sitoskeleton,
protein seluler, dan membran sel, yang menyebabkan kerusakan sel. Pada proses
penyembuhan luka, ROS memainkan peran penting dalam migrasi, proliferasi, dan
angiogenesis pada kadar tertentu, peningkatan kadar ROS yang berlebihan menyebabkan
proses penyembuhan luka abnormal (Campos et al, 2008). Baru-baru ini, alantolakton
(ATL), seskuiterpen lakton alami, telah terbukti menginduksi apoptosis dengan
meningkatkan kadar ROS khususnya dalam sel kanker; namun, mekanisme molekuler
yang menghubungkan kelebihan produksi ROS dengan apoptosis masih belum jelas. Di
sini kami menunjukkan bahwa kelebihan ROS yang diinduksi ATL pada sel kanker
kolorektal SW480 dan SW1116 manusia diikuti oleh akumulasi guanin teroksidasi seluler
(8-oxoG) yang menonjol dan peningkatan segera dalam jumlah pemutusan untai DNA,
menunjukkan bahwa peningkatan ROS menghasilkan kerusakan DNA oksidatif yang luas
(Ding et al., 2016).
Campos AC, Groth AK, Branco AB (2008).Assessment and nutritional aspects of wound
healing.Graduate Program in Surgery, Federal University of Parana, Curitiba, Brazil.
Curr Opin Clin Nutr Metab Care, Vol. 11(3), pp: 281-8

Ding, Y. et al. (2016) “Induction of ROS overload by alantolactone prompts oxidative


DNA damage and apoptosis in colorectal cancer cells,” International journal of
molecular sciences, 17(4), hal. 558.

21. Respons ROS yang seimbang akan menghilangkan dan mendisinfeksi jaringan dan
merangsang pergantian jaringan yang sehat; ROS yang ditekan akan mengakibatkan
infeksi dan peningkatan ROS akan menghancurkan jaringan stroma yang sehat (Bryan et
al., 2012). Kadar ROS yang tinggi mengakibatkan kerusakan endotel tikus eksperimen
yang tidak memiliki enzim peroxiredoxin-6, antioksidan yang paling efektif adalah nitric
oxide (NO) yang memiliki fungsi detoksifikasi ROS dan menghentikan akivitas NF-kB
dan menekan proses inflamasi melalui makrofag (Schreml et al, 2010).
Schreml S, Szeimies RM, Prantl L, Karrer S Landthaler M, Babilas P. (2010) . Oxygen in
acute and chronic wound healing: a Review Article. British Journal of Dermatology, pp :
1-120

Bryan, N. et al. (2012) “Reactive oxygen species (ROS)–a family of fate deciding
molecules pivotal in constructive inflammation and wound healing,” Eur Cell Mater,
24(249), hal. e65.
22. Kadar plasma dan jaringan MDA (malondialdehyde) telah digunakan untuk mengukur
pengaruh propolis sebagai anti-ROS (lipid peroksidase), yang mempunyai efek signifikan
sebagai antioksidan terhadap paparan maupun keganasan (Kocot et al, 2018). Royal jelly
(RJ) adalah produk alami yang diumpankan ke ratu lebah sepanjang hidup mereka.
Berkat RJ, ratu lebah menikmati fungsi reproduksi yang sangat baik dan umur yang lebih
panjang dibandingkan dengan lebah pekerja, meskipun faktanya mereka memiliki genom
yang sama (Kunugi dan Mohammed Ali, 2019).
Kocot J, Kielcyzkowska M, Luchowska D, et al(2018). Antioxidant potential of propolis,
Bee Pollem, and Royal Jelly: Possible Medical Aplication. J.Hindawi Oxidative
Medicine and Cellular Longevity, Vol 2018.

Kunugi, H. dan Mohammed Ali, A. (2019) “Royal jelly and its components promote
healthy aging and longevity: from animal models to humans,” International journal of
molecular sciences, 20(19), hal. 4662.

23. Peroksidasi lipid atau reaksi oksigen dengan lipid tak jenuh menghasilkan berbagai
produk oksidasi. Produk utama peroksidasi lipid adalah lipid hidroperoksida (LOOH). Di
antara banyak aldehid berbeda yang dapat dibentuk sebagai produk sekunder selama
peroksidasi lipid, MDA, propanal, hexanal, dan 4-hydroxynonenal (4-HNE) telah
dipelajari secara ekstensif. MDA tampaknya menjadi produk yang paling mutagenik dari
peroksidasi lipid, sedangkan 4-HNE adalah yang paling toksik. MDA telah banyak
digunakan selama bertahun-tahun sebagai biomarker untuk peroksidasi lipid asam lemak
omega-3 dan omega-6 karena mudah bereaksi dengan asam thiobarbituric (TBA) (Singh
et al, 2014). MDA adalah prototipe dari zat reaktif asam tiobarbiturat (TBARS). MDA,
4-hidroksi-nonenal (HNE) dan 15(S)-8-iso-PGF2α adalah biomarker stres oksidatif yang
paling sering diukur, yaitu peroksidasi lipid. Pada banyak penyakit, konsentrasi MDA,
HNE dan 15(S)-8-iso-PGF2α yang lebih tinggi diukur dalam sampel biologis
dibandingkan dengan kesehatan (Tsikas, 2017).
Singh Z, Singh P, Karthigesu IP, Kaur R. (2014). Use of Malondyaldehide as a
Biomarker for Assessing Oxidative Stress in Different Disease Pathologies : a
Review. Iranian J Publ Health, Vol. 43, Suppl. No.3, pp: 7-16
Tsikas, D. (2017) “Assessment of lipid peroxidation by measuring malondialdehyde
(MDA) and relatives in biological samples: Analytical and biological challenges,”
Analytical biochemistry, 524, hal. 13–30.

24. Pada gambar 2.8 proses feed-forward dan feed-back menyebabkan ROS berkontribusi
dalam proses fibrosis, injury, zat kimia toksik, obat dan radiasi (UV, ionisasi) yang dapat
membentuk ROS lebih banyak lagi. Sebagai akibatnya ROS berkontribusi secara
langsung untuk fibrosis atau secara tidak langsung melalui proses inflamasi. Fibrosis
sendiri bisa feedback menjadi formula ROS atau membantu perkembangan sitokin dan
growth factor yang mana berkontribusi untuk menggerakkan ROS. Dalam situasi normal
(respon non-fibrotik), induksi transien inflamasi oleh ROS diikuti dengan regenerasi
jaringan (Richter et al, 2015). Sinar ultraviolet, radiasi pengion, bahan kimia beracun dan
obat-obatan adalah penginduksi fibrosis dan pembentukan ROS yang terkenal secara non-
enzimatik in vivo. Secara intraseluler, sebagian besar ROS adalah produk sampingan dari
rantai transpor elektron mitokondria. Selain itu, ROS dapat diproduksi secara lebih
spesifik oleh berbagai enzim, di antaranya anggota famili sitokrom P450, xanthine
oksidoreduktase, siklo- dan lipoksigenase, beberapa peroksisomal oksidase dan NADPH
oksidase (Richter dan Kietzmann, 2016).

Richter K, Konzack A, Pihlajaniemi T, Heljasvaara R.2015. Redox-fibrosis : Impact to


TGF β1 on ROS generators, mediator sand functional consequences. Redox Biology 6,
pp:344–352

Richter, K. dan Kietzmann, T. (2016) “Reactive oxygen species and fibrosis: further
evidence of a significant liaison,” Cell and tissue research, 365(3), hal. 591–605.

25. Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara prooksidan atau radikal bebas dengan
antioksidan yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi sel atau jaringan selama
proses oksidatif sel. Stres oksidatif muncul bila produksi Reactive Oxygen Species (
ROS ) atau radikal bebas melebihi antioksidan yang ada sebagai pertahanan intrinsik.
Reactive Oxygen Species merupakan radikal atau moekul yang sangat reaktif yang
diproduksi intraseluler seperti mitokondria, retikulum endoplasma, dan peroksisom.
Reactive Oxygen Species juga dapat disebabkan oleh sumber luar, seperti bahan
terionisasi, vitamin, atau herbisida. Reactive Oxygen Species ini dapat berinteraksi secara
biomolekul dengan hasil oksidasi protein berupa residu amino asil dan menyebabkan
mutasi pada DNA dan dapat bereaksi dengan peroksidasi lipid untuk memproduksi
radikal bebas yang menyebabkan reaksi berantai yang menghasilkan lebih banyak ROS
(Kurahashi dan Fujii, 2015). Mereka bertindak sebagai pembawa pesan sekunder untuk
banyak imunosit dan sel non-limfoid, yang terlibat dalam proses perbaikan, dan
tampaknya penting dalam mengkoordinasikan perekrutan sel limfoid ke lokasi luka dan
perbaikan jaringan yang efektif. ROS juga memiliki kemampuan untuk mengatur
pembentukan pembuluh darah (angiogenesis) di lokasi luka dan perfusi darah yang
optimal ke area penyembuhan luka. ROS bertindak dalam pertahanan inang melalui
fagosit yang menginduksi ledakan ROS ke patogen yang ada di luka, yang menyebabkan
kehancurannya, dan selama periode ini, kebocoran ROS yang berlebihan ke lingkungan
sekitarnya memiliki efek bakteriostatik lebih lanjut (Dunnill et al., 2017).

Dunnill, C. et al. (2017) “Reactive oxygen species (ROS) and wound healing: the
functional role of ROS and emerging ROS‐modulating technologies for augmentation of
the healing process,” International wound journal, 14(1), hal. 89–96.

26. Anion superoksida adalah ROS primer yang dihasilkan oksidasi molekuler, nitric oxide
(NO) yang dihasilkan oleh nitric oxide synthase akan bereaksi dengan superoksida
menghasilkan peroxynitrite. Peroxynitrite digunakan untuk membunuh bakteri oksidatif
untuk melindungi luka tetapi juga merupakan agen pengoksidasi yang kuat dan beracun.
Untuk menghindari reaksi yang merusak, anion superoksida yang dihasilkan secara
berlebihan dibuang menjadi H2O2 dengan cepat oleh SOD (Bryan et al, 2012).
Peroksinitrit (OONO−) dibentuk oleh reaksi antara O∙−2 dan NO∙. Ini sangat beracun dan
dapat langsung bereaksi dengan CO2 untuk membentuk nitroso peroxo karboksilat
(ONOOCO2−) atau asam peroksinitrous (ONOOH) yang sangat reaktif lainnya. ONOOH
selanjutnya mengalami homolisis untuk membentuk OH• dan NO2 atau disusun ulang
untuk membentuk NO3. OONO- dapat mengoksidasi lipid, mengoksidasi residu metionin
dan tirosin dalam protein dan mengoksidasi DNA untuk membentuk nitroguanin. Residu
nitrotirosin dianggap sebagai penanda kerusakan sel yang diinduksi peroksinitrit.

NO bereaksi dengan O2 dan air membentuk ion nitrat dan nitrit. Oksidasi satu elektron
NO• menghasilkan kation nitrosonium (NO∙+2) sedangkan reduksi elektron
menghasilkan anion nitroksil (NO−). Kedua ion ini dapat bereaksi dengan NO dan
membentuk N2O dan OH∙. NO∙ dapat bereaksi dengan berbagai radikal seperti H2O2 dan
HOCl membentuk N2O3, NO2− dan NO3− (Phaniendra, Jestadi and Periyasamy, 2015)

Phaniendra, A., Jestadi, D. B. and Periyasamy, L. (2015) ‘Free Radicals: Properties,


Sources, Targets, and Their Implication in Various Diseases’, Indian Journal of Clinical
Biochemistry, 30(1), pp. 11–26. doi: 10.1007/s12291-014-0446-0.

27. SOD memiliki tiga anggota keluarga: SOD1 yang terletak di ruang sitoplasma dan
mitokondria antar membran, SOD2 yang terletak di matriks mitokondria, dan SOD3 yang
terletak di ruang ekstraseluler dan merupakan sistem pertahanan utama melawan stres
oksidatif sesuai dengan lokasi terjadi redoks, SOD1 dan SOD2 mRNA terdeteksi pada
penyembuhan luka akibat terpapar oksidan eksogen dalam kadar tinggi, sebagaimana
dibuktikan oleh uji perlindungan RNA dan hibridisasi in situ (Kurahashi dan Fujii, 2015).
Gangguan dalam penyembuhan luka dialami juga oleh geriatri, dan bukti bahwa ini
mungkin sebagian disebabkan oleh peningkatan stres oksidatif secara bersamaan. Paparan
yang lebih lama terhadap spesies oksigen reaktif (ROS) diperkirakan menyebabkan
disfungsi seluler dan kematian organisme melalui oksidasi destruktif protein, lipid, dan
asam nukleat intraseluler. Ekstraseluler superoksida dismutase (ecSOD/SOD3) adalah
enzim antioksidan utama di ruang ekstraseluler yang menghilangkan ROS. Di sini, kami
menunjukkan bahwa penurunan kadar SOD3 berkontribusi pada gangguan penyembuhan
pada tikus tua. Gangguan ini termasuk penutupan luka yang tertunda, berkurangnya
neovaskularisasi, gangguan proliferasi fibroblas dan peningkatan rekrutmen neutrofil.
Kami selanjutnya menetapkan bahwa SOD3 KO dan fibroblas tua keduanya
menunjukkan penurunan produksi TGF-β1, yang mengarah pada penurunan diferensiasi
fibroblas menjadi miofibroblas. Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa
gangguan penyembuhan luka pada penuaan berhubungan dengan peningkatan kadar
ROS, penurunan ekspresi SOD3 dan gangguan regulasi stres oksidatif ekstraseluler. Hasil
kami mengidentifikasi SOD3 sebagai target yang mungkin untuk memperbaiki disfungsi
seluler terkait usia dalam penyembuhan luka (Fujiwara et al., 2016).

Fujiwara, T. et al. (2016) ‘Extracellular superoxide dismutase deficiency impairs wound


healing in advanced age by reducing neovascularization and fibroblast function’,
Experimental Dermatology, 25(3), pp. 206–211. doi: 10.1111/exd.12909.

28. Penelitian menunjukkan waktu penyembuhan luka tikus yang kekurangan SOD1
tertunda dibandingkan dengan tikus tipe liar pada umur 20 minggu tetapi pada tikus yang
lebih muda (5-6 minggu), tidak ada perbedaan yang diamati dalam waktu penyembuhan
antara tikus yang kekurangan SOD1 dan tikus tipe liar, waktu penyembuhan yang lebih
lama pada tikus yang kekurangan SOD1 menunjukkan potensi proses penyembuhan
terganggu dan menyamai percepatan penuaan kulit pada tikus yang kekurangan SOD1
(Dunill et al, 2017). Produksi ROS yang diturunkan oksigen akan meningkat dalam
kondisi kultur karena siklus sel yang diaktifkan, yang akan mempengaruhi MEF yang
kekurangan SOD1 lebih parah daripada MEF tipe liar. Meskipun suplai oksigen melalui
neovaskularisasi sangat penting dalam penyembuhan luka, tikus yang kekurangan SOD1
tidak dapat secara efektif mendetoksifikasi anion superoksida yang dihasilkan selama
metabolisme sel. Selain itu, lesi luka terkena oksigen atmosfer, yang akan sangat
mempengaruhi kondisi redoks seluler dan mengganggu proses penyembuhan. Secara
keseluruhan, penyembuhan luka yang tertunda yang diamati pada tikus yang kekurangan
SOD1 mungkin sebagian terkait dengan siklus sel yang menyimpang dalam fibroblas dan
sel dermal lainnya (Kurahashi and Fujii, 2015).

Kurahashi, T. and Fujii, J. (2015) ‘Roles of Antioxidative Enzymes in Wound Healing’,


Journal of Developmental Biology, 3(2), pp. 57–70. doi: 10.3390/jdb3020057.
29. Konsisten dengan hasil pada tikus, hilangnya SOD1 menginduksi penuaan pada fibroblas
manusia. Untuk menekan fibrosis yang diperburuk, p16INK4a, penghambat cyclin-
dependent kinase (CDK), diinduksi dalam proses penyembuhan luka. Sebaliknya, diamati
bahwa induksi p16INK4a lebih rendah pada tikus yang kekurangan SOD1 dibandingkan
pada tikus tipe liar, yang mungkin menyiratkan adanya penyimpangan siklus sel pada lesi
luka pada tikus yang kekurangan SOD1 (Dunnil C et al, 2015). Misalnya, defisiensi
SOD1, heme oxygenase (HO)-1 dapat menunda proses penyembuhan luka pada tikus.
Mengurangi ROS yang berlebihan dengan cara pengobatan faktor pertumbuhan,
antioksidan N-asetil sistein atau generasi antioksidan makanan telah terbukti bermanfaat
dalam model eksperimental luka kronis. Misalnya, penurunan aktivitas XO dengan
aplikasi topikal siRNA yang menargetkan prekursornya, xanthine dehydrogenase, secara
signifikan meningkatkan penyembuhan pada tikus diabetes db/db. Demikian pula,
penghapusan genetik dari enzim p66Shc yang menghasilkan H2O2 menimbulkan
pengurangan stres oksidatif nitrosatif dan meningkatkan tingkat penyembuhan pada tikus
diabetes. Meningkatkan kapasitas antioksidan melalui ekspresi transfer MnSOD in vivo
juga terbukti efektif pada tikus diabetes. Aktivasi pertahanan antioksidan yang dimediasi
Nrf2 telah jelas dikaitkan dalam literatur terbaru dengan perlindungan terhadap
penyembuhan luka diabetes pada tikus. Dalam sel manusia, penginduksi Nrf2 telah
disarankan sebagai strategi farmakologis yang menjanjikan untuk fotoproteksi kulit
(Cano Sanchez et al., 2018).

Cano Sanchez, M. et al. (2018) ‘Targeting Oxidative Stress and Mitochondrial


Dysfunction in the Treatment of Impaired Wound Healing: A Systematic Review’,
Antioxidants, 7(8), p. 98. doi: 10.3390/antiox7080098.

30. Telah diketahui bahwa SOD1 sangat penting untuk mempertahankan Mouse Embrionic
Fibroblasts (MEFs) dalam kondisi kultur. Mouse Embrionic Fibroblasts yang berasal
dari tikus SOD1-knockout tidak dapat tumbuh di bawah kondisi kultur normooksik (20%
oksigen) dan akhirnya mati. Pada kondisi kadar oksigen kurang dari 2% yang dekat
dengan kondisi oksigen perifer dalam tubuh, MEF yang kekurangan SOD1 tidak mati
tetapi mengalami penahanan siklus sel, kemungkinan melalui aktivasi p53 dan induksi
inhibitor CDK. Hasil ini bersama dengan aktivitas β-galaktosidase (SA-β-gal) terkait
penuaan meningkat secara karakteristik mirip dengan penuaan seluler. Produksi ROS
yang berasal dari oksigen akan meningkat dalam kondisi kultur karena siklus sel
teraktivasi, yang akan mempengaruhi MEF yang kekurangan SOD1 (Kurahashi dan Fujii,
2015). Penurunan kadar SOD1 dan SOD2, penurunan ekspresi Nrf2, dan peningkatan
aktivitas NOX4 secara signifikan memperburuk ketidakseimbangan antioksidan/oksidan
dan berkontribusi pada penuaan induksi CEC berturut-turut pada pasien FECD.
Kurangnya Nrf2 menyebabkan gangguan homeostasis jaringan dan mengaktifkan jalur
apoptosis yang bergantung pada p53 dalam sel endotel FECD (Nita and Grzybowski,
2016).

Nita, M. and Grzybowski, A. (2016) ‘The Role of the Reactive Oxygen Species and
Oxidative Stress in the Pathomechanism of the Age-Related Ocular Diseases and Other
Pathologies of the Anterior and Posterior Eye Segments in Adults’, Oxidative Medicine
and Cellular Longevity, 2016, pp. 1–23. doi: 10.1155/2016/3164734.

31. Meskipun pasokan oksigen melalui neovaskularisasi sangat penting dalam penyembuhan
luka, tikus yang kekurangan SOD1 tidak dapat secara efektif mendetoksifikasi anion
superoksida yang dihasilkan selama metabolisme sel. Lesi luka yang terpapar oksigen
atmosfer akan sangat mempengaruhi kondisi redoks seluler dan mengganggu proses
penyembuhan. Secara keseluruhan, penyembuhan luka tertunda yang diamati pada tikus
yang kekurangan SOD1 mungkin sebagian terkait dengan siklus sel menyimpang dalam
fibroblas dan sel kulit lainnya (Bhattacharya, 2015). Superoksida terbentuk dari reduksi
satu elektron molekul oksigen (O2) dan, di dalam sel, dengan cepat diubah oleh
superoksida dismutase 1 dan 2 (SOD 1 dan 2) menjadi H2O2. SOD1 terutama terletak di
ruang intermembran sitosol dan mitokondria sedangkan SOD2 terletak di matriks
mitokondria. SODs mencegah akumulasi superoksida yang dapat merusak dan
menonaktifkan protein yang mengandung gugus besi-sulfur. Dengan demikian,
akumulasi superoksida lebih terkait dengan stres oksidatif daripada pensinyalan redoks.
Namun, penting untuk dicatat bahwa superoksida tidak merusak protein tanpa pandang
bulu. Ada satu set protein spesifik yang sensitif terhadap inaktivasi oleh superoksida yang
mengaktifkan jalur pensinyalan yang mempromosikan adaptasi terhadap peningkatan
superoksida atau, sebagai alternatif, memulai kematian sel (Schieber and Chandel, 2014).

Schieber, M. and Chandel, N. S. (2014) ‘ROS Function in Redox Signaling and


Oxidative Stress’, Current Biology, 24(10), pp. R453–R462. doi:
10.1016/j.cub.2014.03.034.

32. Enzim antioksidan dan isoformnya merupakan sistem pertahanan seluler terhadap stres
oksidatif pada posisi subselular yang sesuai. Pada saat yang sama, keduanya
memungkinkan penyeimbangan konsentrasi ROS yang rendah, yang berfungsi sebagai
jalur pensinyalan untuk mengatur proses penyembuhan luka. Misalnya, PRDX1 terlibat
dalam jalur pensinyalan fosforilasi yang dimediasi faktor pertumbuhan dan PRDX4
terlibat dalam pelipatan protein oksidatif (Dunnil et al, 2015). PRDXs adalah enzim yang
mengkatalisis reduksi H2O2, spektrum luas peroksida organik, dan peroksinitrit
menggunakan thioredoxin sebagai donor elektron yang lebih disukai. Enam anggota
keluarga protein PRDX diekspresikan pada mamalia dan menunjukkan lokalisasi
diferensial dalam sel dan jaringan, yang juga secara unik menetapkan fungsi individu
untuk setiap anggota. Karena penggunaan sistem uji yang salah dalam studi awal,
diasumsikan bahwa aktivitas peroksidase PRDX lebih rendah daripada GPX dan katalase.
Sekarang, bagaimanapun, PRDXs diakui sebagai enzim pereduksi peroksida yang
dominan. PRDX berfungsi untuk mempertahankan H2O2 pada tingkat yang sesuai dalam
sel dan melakukan fine-tuning sinyal ROS selama stimulasi reseptor dengan aktivitas
tirosin kinase (RTK). PRDX1 terutama terlokalisasi di sitosol dan nukleus. Kami, dan
lainnya, melaporkan bahwa kadar protein PRDX1 menurun selama fase awal proses
penyembuhan luka. Sementara residu tirosin PRDX1 terfosforilasi, yang menyebabkan
inaktivasi sementara aktivitas peroksidase. Akibatnya, terjadi akumulasi lokal H2O2 dan
menopang sinyal fosforilasi dari tirosin kinase untuk reseptor faktor pertumbuhan melalui
inaktivasi oksidatif fosfotirosin fosfatase. Akibatnya pertumbuhan sel berlangsung untuk
waktu yang lama sebagai akibat dari peningkatan H2O2 selama inaktivasi PRDX1.
PRDX4 unik di antara keluarga PRDX karena memiliki peptida sinyal N-terminal
hidrofobik yang mengarah ke sekresinya dari sel dan lokalisasi dominan di retikulum
endoplasma (ER). Kami mendirikan tikus knockout PRDX4 dan menemukan atrofi testis
pada laki-laki. Namun, karena kelainan fenotipik tikus yang kekurangan PRDX4 ini
sedang, fungsi fisiologis dan mekanisme molekuler yang terkait dengan PRDX4 kurang
dipahami. Zito dkk. mengungkapkan bahwa PRDX4 terlibat dalam pematangan
prokolagen. PRDX4 berpartisipasi dalam pelipatan protein oksidatif di ER bersama
dengan ER oksidoreduktin 1 (ERO1) dan protein keluarga protein disulfida isomerase
(PDI). Kekurangan ERO1 dan PRDX4 menyebabkan penipisan AsA dan akibatnya
mengarah pada perkembangan penyakit kudis atipikal. Selain itu, sedikit induksi PRDX4
mRNA yang terjadi selama hari ke 5 hingga hari ke 8 penyembuhan luka menunjukkan
bahwa PRDX4 terlibat dalam penyembuhan luka. Akan menarik untuk mengamati jika
tikus yang kekurangan PRDX1- atau PRDX4 menunjukkan fenotipe abnormal seperti
gangguan penyembuhan luka. (Kurahashi and Fujii, 2015).

Kurahashi, T. and Fujii, J. (2015) ‘Roles of Antioxidative Enzymes in Wound Healing’,


Journal of Developmental Biology, 3(2), pp. 57–70. doi: 10.3390/jdb3020057.

33. Tikus yang kekurangan SOD1 menunjukkan kerusakan kulit wajah dengan kelopak mata
yang membengkak sebagai gejala awal setelah berusia empat bulan. Latar belakang
genetik tampaknya mempengaruhi timbulnya gejala. Degradasi kolagen dan elastin
terjadi pada kulit atrofi pada tikus yang kekurangan SOD1 walaupun peningkatan kadar
ROS sulit diamati pada kulit. Hasil ini menunjukkan bahwa SOD1 berperan tidak hanya
dalam perbaikan luka tetapi juga dalam pembentukan kulit baru selama tahap
perkembangan. Atrofi kulit yang diamati pada tikus yang kekurangan SOD1 sepenuhnya
sembuhdengan pemberian transdermal turunan AsA. Dalam penelitian lain, AsA
menekan tingkat superoksida yang tinggi pada sel DT40 SOD1- atau SOD2 yang habis.
Hal itu menunjukkan bahwa AsA berperan dalam detoksifikasi superoksida. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa SOD tampaknya bermanfaat dalam meningkatkan laju
penyembuhan luka. Khususnya, satu regimen tunggal terapi gen kulit untuk SOD2
dilaporkan menghemat waktu penyembuhan yang tertunda pada tikus diabetes tipe I yang
diinduksi streptozotocin. Pada model ini, overekspresi SOD2 menyebabkan penekanan
tingkat superoksida (Kurahashi and Fujii, 2015). overexpression SOD2 yang tidak
seimbang menghasilkan peningkatan akumulasi H2O2 dengan induksi interstitial
collagenase (MMP-1) yang bergantung pada AP-1 dan degradasi kolagen interstisial di
kulit—tanda penuaan kulit. Meskipun overexpression SOD2 tidak - atau jika demikian,
hanya sedikit yang meningkatkan rentang hidup pada tikus, mengurangi stres oksidatif
yang diamati di bawah pembatasan kalori tampaknya disebabkan oleh aktivasi SOD2
yang dimediasi SIRT3. Sampai saat ini, pembatasan kalori merupakan intervensi yang
paling kuat untuk memperpanjang rentang hidup dan menunda timbulnya penyakit terkait
usia pada tikus (Treiber et al., 2012).

Treiber, N. et al. (2012) ‘The role of manganese superoxide dismutase in skin aging’,
Dermato-Endocrinology, 4(3), pp. 232–235. doi: 10.4161/derm.21819.

34. Peroxiredoxins adalah enzim yang mengkatalisis reduksi H2O2, peroksida organik
spektrum luas, dan peroksinitrit menggunakan tioredoksin sebagai donor elektron pilihan.
Enam anggota keluarga protein PRDX diekspresikan pada mamalia dan menunjukkan
lokalisasi diferensial dalam sel dan jaringan, yang secara unik menetapkan fungsi
individu untuk setiapanggota. Peroxiredoxins (PRDX) sekarang diakui sebagai enzim
pereduksi peroksida yang dominan. Peroxiredoxins berfungsi untuk mempertahankan
H2O2 pada tingkat sel yang sesuai dan melakukan fine-tuning/penyetelan sinyal ROS
selama stimulasi reseptor dengan aktivitas tirosin kinase (RTK). Peroxiredoxins 1
terlokalisasi terutama di sitosol dan nukleus. Dilaporkan bahwa kadar protein PRDX1
menurun selama fase awal proses penyembuhan luka. Sementara itu, residu tirosin dari
PRDX1 terfosforilasi, yang menyebabkan inaktivasi sementara aktivitas peroksidase
(Nicolussi, 2017). Hubungan antara penyembuhan luka dan spesies oksigen reaktif
(ROS), dan menghasilkan reaksi yang dikatalisis oleh enzim antioksidan. Pada fase
inflamasi, sejumlah besar superoksida dihasilkan dari molekul oksigen terutama oleh
NADPH oksidase yang diekspresikan dalam sel imun. Sebagian dari superoksida
bereaksi dengan oksida nitrat di dekatnya, menghasilkan peroksinitrit. Superoksida dan
peroksinitrit menyerang bakteri yang menyerang dan membantu fagositosis. Superoksida
didismutasi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan molekul oksigen oleh superoksida
dismutase (SOD), sehingga menghindari pembentukan ROS yang sangat merusak, seperti
peroksinitrit (ONOO−) atau radikal hidroksil ( ・ OH). Kadar H2O2 yang rendah dapat
berfungsi sebagai molekul pensinyalan yang memodulasi berbagai jalur pensinyalan yang
mengatur pembekuan darah, trombosis, migrasi, proliferasi, fibrosis, angiogenesis, dan
sebagainya, pada fase hemostasis, fase proliferatif, dan pada fase maturasi dan
remodeling. H2O2 kemudian didetoksifikasi oleh serangkaian enzim seperti katalase,
glutathione peroxidase (GPX), dan peroxiredoxin (PRDX) untuk menghindari
pembentukan radikal hidroksil berbahaya melalui reaksi Fenton. (Kurahashi and Fujii,
2015).

Kurahashi, T. and Fujii, J. (2015) ‘Roles of Antioxidative Enzymes in Wound Healing’,


Journal of Developmental Biology, 3(2), pp. 57–70. doi: 10.3390/jdb3020057.

35. Akumulasi lokal H2O2 terjadi dan mempertahankan pensinyalan fosforilasi tirosin kinase
untuk reseptor faktor pertumbuhan melalui inaktivasi oksidatif fosfatase fosfotirosin.
Akibatnya, pertumbuhan sel berlangsung lama sebagai akibat dari peningkatan H2O2
selama inaktivasi PRDX1. Peroxiredoxins 4 termasuk unik di antara keluarga PRDX
karena memiliki peptida pensinyalan terminal N hidrofobik yang mengarah ke sekresi
dari sel dan lokalisasi dominan dalam retikulum endoplasma (ER). Ditunjukkan oleh
tikus PRDX4-knockout dan ditemukan atrofi testis pada tikus jantan. Namun, karena
kelainan fenotipik tikus yang kekurangan PRDX4 ini moderat, fungsi fisiologis dan
mekanisme molekuler yang terkait dengan PRDX4 kurang dipahami. PRDX4 terlibat
dalam pematangan prokolagen. Peroxiredoxins 4 berpartisipasi dalam pelipatan protein
oksidatif di ER bersamaan dengan ER oksidoreduktin 1 (ERO1) dan keluarga protein
disulfida isomerase (PDI). Kekurangan ERO1 dan PRDX4 menyebabkan deplesi AsA
dan akibatnya mengarah pada pengembangan penyakit scurvy atipikal. Selain itu, sedikit
induksi mRNA PRDX4 yang terjadi pada hari ke-5 hingga hari ke-8 penyembuhan luka
menunjukkan bahwa PRDX4 terlibat dalam penyembuhan luka. Menarik untuk diamati
apakah tikus yang kekurangan PRDX1 atau PRDX4 menunjukkan fenotip abnormal
seperti gangguan penyembuhan luka (Zito et al, 2010). Sedangksn pada tikus yang
kekurangan PRDX6, jaringan granulasi mengalami pendarahan hebat. Fenotipe
perdarahan ini tampaknya disebabkan oleh peningkatan kadar ROS dalam sel inflamasi
dan endotel sebagai akibat dari kurangnya PRDX6 (Kurahashi and Fujii, 2015).

Kurahashi, T. and Fujii, J. (2015) ‘Roles of Antioxidative Enzymes in Wound Healing’,


Journal of Developmental Biology, 3(2), pp. 57–70. doi: 10.3390/jdb3020057.

36. Peranan ROS dalam TGF-ß memediasi fibrosis TGF- ß yang dilepaskan oleh tipe sel
yang berbeda seperti platelet, sel parenkimal, dan sel inflamasi (misalnya limfosit,
makrofag). Setelah konversi dari bentuk laten ke bentuk aktif, TGF-ß mengikat
reseptornya dan menginduksi ekspresi berbagai gen, antara lain NOX4, vua sinyal
melalui SMAD2/3 dan/atau PI3K. Ekspresi NOX4 mengarah ke pembentukan ROS.
Reactive Oxygen Species yang terikat bisa mengaktifkan proliferasi, migrasi dan
diferensiasi fibroblast dan transisi epitel ke mesenkim (EMT), apoptosis sel epitel
dan/atau kelebihan deposisi matrix ekstraseluler. TGF- ß berkontribusi pada peningkatan
ROS dengan menurunkan ekspesi enzim antioksidan seperti glutaredoxin (Grx), catalase
(CTL), glutathione peroxidase (GPX), glutathione S transferase (GST), superoxide
dismutase (SOD) dan subunit sintetase gamma-glutamylcystein yang berat (Ritcher et al,
2015). Berbagai penginduksi EMT bertindak secara langsung atau tidak langsung dengan
TGF-β1, atau melalui jalur alternatif termasuk reactive oxygen species (ROS) yang
dihasilkan melalui kondisi hipoksia, Fibroblast Growth Factor-2 (FGF-2), Epidermal
Growth Factor (EGF), Connective Tissue Growth Factor (CTGF) dan Transglutaminase 2
(TG2) yang dapat mengaktifkan matriks terikat TGF-β1 (Rout-Pitt et al., 2018)

Rout-Pitt, N. et al. (2018) ‘Epithelial mesenchymal transition (EMT): a universal process


in lung diseases with implications for cystic fibrosis pathophysiology’, Respiratory
Research, 19(1), p. 136. doi: 10.1186/s12931-018-0834-8.
37. Peroxiredoxins (Prdx) adalah keluarga enzim antioksidan yang sangat terkonservasi di
mana-mana dengan residu sistein yang berpartisipasi dalam pengurangan peroksida.
Keluarga ini terdiri dari anggota Prdx1–6, di mana Peroxiredoxin 6 (Prdx6) unik karena
multifungsi dengan kemampuan untuk menetralkan peroksida (aktivitas peroksidase) dan
untuk menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) melalui aktivitas fosfolipase (PLA2)
yang mendorong perakitan NADPH oksidase (NOX2). Dari struktur kristal, residu C47
bertanggung jawab untuk aktivitas peroksidase sementara triad katalitik (S32, H26, dan
D140) telah diidentifikasi sebagai situs aktif untuk aktivitas PLA2-nya. Paradoks menjadi
antioksidan serta generator oksidan ini menyiratkan bahwa Prdx6 adalah pengatur
keseimbangan redoks seluler (abstrak grafis). Ini juga menunjukkan bahwa regulasi
ekspresi dan aktivitas Prdx6 yang disesuaikan sangat penting untuk homeostasis seluler.
Ini secara khusus penting dalam endotelium, di mana produksi dan pensinyalan ROS
adalah pemain penting dalam peradangan, cedera, dan perbaikan, yang secara kolektif
menandakan timbulnya penyakit vascular (Patel and Chatterjee, 2019). Meskipun ada
pemisahan antara mRNA PRDX6 dan tingkat protein, PRDX6 tampaknya terlibat dalam
proses penyembuhan luka. Pada tikus transgenik tua yang mengekspresikan PRDX6
secara berlebihan dalam keratinosit, penutupan luka meningkat dibandingkan dengan
tikus tipe liar tua. Meskipun hasil menunjukkan bahwa PRDX6 mungkin berperan
penting dalam penyembuhan luka, tidak ada efek yang diamati selama reepitelisasi kulit
yang terluka pada tikus yang kekurangan PRDX6. Abnormalitas kekurangan PRDX6
dalam penyembuhan luka dapat disebabkan oleh kompensasi sistem antioksidan lain.
Sementara itu, pada tikus yang kekurangan PRDX6, jaringan granulasi mengalami
pendarahan hebat. Fenotip perdarahan ini tampaknya disebabkan oleh augmentasi tingkat
ROS dalam sel inflamasi dan endotel sebagai akibat dari kurangnya PRDX6 (Zito et al,
2010)

Patel, P. and Chatterjee, S. (2019) ‘Peroxiredoxin6 in Endothelial Signaling’,


Antioxidants, 8(3), p. 63. doi: 10.3390/antiox8030063.

38. Kelompok protein GPX mengurangi H2O2 dan berbagai peroksida organik dengan cara
bergantung pada glutathione. ada delapan produk gen keluarga GPX (GPX1–8) pada
manusia. Glutathione Peroxidase-4 adalah selenoprotein yang mengandung residu
selenocysteine (SeCys) di pusat katalitik yang diekspresikan hanya pada manusia. Karena
GPX membutuhkan glutathione sebagai donor elektron, penurunan kadar glutathione
pada lesi luka diharapkan dapat menekan aktivitas GPX in vivo. Meskipun mRNA GPX1
diregulasi dalam lesi luka, ditemukan kadar protein GPX1 menurun pada fase awal kulit
yang terluka. Selaras dengan penurunan kadar protein, aktivitas GPX juga menurun pada
luka tikus normal yang telah dilaporkan pada tikus yang kekebalannya terganggu.
Sementara alkilasi atau oksidasi yang bergantung pada oksida SeCys mengurangi
aktivitas GPX, stres oksidatif yang kuat seperti kelebihan H2O2 dan kekurangan SOD1
menyebabkan konversi SeCys menjadi dehydroalanine yang mengakibatkan inaktivasi
dan degradasi GPX yang berbeda dengan pengamatan penelitian lain menunjukkan
bahwa kadar protein GPX1 meningkat antara hari ke-3 dan ke-7 pada tikus normal pasca
trauma kulit (Zeng, 2009). Glutathione peroksidase mengkatalisis oksidasi glutathione
pada arah hidroperoksida, yang mungkin hidrogen peroksida atau spesies lain seperti
hidroperoksida lipid:

ROOH + 2GSH → GSSG + H2O + ROH

Peroksida lain, termasuk hidroperoksida lipid, juga dapat bertindak sebagai substrat untuk
enzim ini, yang karenanya dapat berperan dalam memperbaiki kerusakan akibat
peroksidasi lipid. Ada dua bentuk enzim ini, satu yang bergantung pada selenium (GPx,
EC1.11.1.19) dan yang lainnya, yang tidak bergantung pada selenium (glutathione-S-
transferase, GST, EC 2.5.1.18). Perbedaan muncul dari jumlah subunit, mekanisme
katalitik, dan ikatan selenium di pusat aktif, dan metabolisme glutathione adalah salah
satu mekanisme pertahanan antioksidan yang paling penting yang ada dalam sel. Ada
empat Selenium-dependent glutathione peroxidase berbeda yang ada pada manusia, dan
ini diketahui menambahkan dua elektron untuk mereduksi peroksida dengan membentuk
selenole (Se-OH) dan sifat antioksidan dari seleno-enzim ini memungkinkan mereka
untuk menghilangkan peroksida sebagai substrat potensial untuk reaksi Fenton.
Glutathione peroksidase yang bergantung pada selenium bekerja bersama dengan
tripeptida glutathione (GSH), yang ada dalam konsentrasi tinggi dalam sel dan
mengkatalisis konversi hidrogen peroksida atau peroksida organik menjadi air atau
alkohol sekaligus mengoksidasi GSH. Ini juga bersaing dengan katalase untuk hidrogen
peroksida sebagai substrat dan merupakan sumber utama perlindungan terhadap tingkat
stres oksidatif / nitrosatif yang rendah (Kurutas, 2015).

Kurutas, E. B. (2015) ‘The importance of antioxidants which play the role in cellular
response against oxidative/nitrosative stress: current state’, Nutrition Journal, 15(1), p.
71. doi: 10.1186/s12937-016-0186-5.

39. Selenium adalah imunonutrien esensial yang memegang aktivitas metabolisme manusia
dengan ikatan kimianya. Bentuk organik selenium yang secara alami ada dalam tubuh
manusia adalah selenocysteine dan selenoproteins. Bentuk-bentuk ini memiliki cara
sintesis dan pengkodean translasi yang unik. Selenoprotein bertindak sebagai pejuang
antioksidan untuk regulasi tiroid, peningkatan kesuburan pria, dan tindakan anti-
inflamasi. Mereka juga berpartisipasi secara tidak langsung dalam mekanisme
penyembuhan luka sebagai pengurang stres oksidatif. Glutathione peroxidase (GPX)
adalah selenoprotein utama yang ada dalam tubuh manusia, yang membantu
mengendalikan produksi radikal bebas yang berlebihan di tempat peradangan. Selain
GPX, selenoprotein lain termasuk selenoprotein-S yang mengatur sitokin inflamasi dan
selenoprotein-P yang berfungsi sebagai penginduksi homeostasis. Sebelumnya, laporan
terutama difokuskan pada mekanisme seluler dan molekuler penyembuhan luka dengan
mengacu pada berbagai model hewan dan garis sel. Dalam ulasan ini, peran selenium dan
kemungkinan rutenya dalam decoding translasi selenocysteine, sintesis selenoprotein,
aksi sistemik selenoprotein dan asimilasi tidak langsungnya dalam proses penyembuhan
luka dijelaskan secara rinci. Beberapa senyawa yang mengandung selenium yang dapat
bertindak sebagai pencegahan dan terapi kanker juga dibahas. Senyawa ini secara
langsung atau tidak langsung menunjukkan sifat antioksidan yang dapat mempertahankan
status redoks intraseluler dan aktivitas ini melindungi sel sehat dari spesies oksigen
reaktif yang menyebabkan kerusakan oksidatif (Hariharan and Dharmaraj, 2020).
Biosintesis SeCys menggunakan selenium dan penggabungan translasi SeCys sangat
penting untuk menghasilkan beberapa anggota keluarga GPX. Secara khusus,
ketersediaan selenium membatasi kelimpahan protein GPX1, hampir seperempat pasien
trauma dengan gangguan penyembuhan luka kulit menunjukkan status selenium serum
yang tidak mencukupi yang menunjukkan kemungkinan keterlibatan GPX dalam
patogenesis penyembuhan luka. Pemberian selenium tambahan pada pengobatan
gangguan penyembuhan luka dengan mengubah makrofag M1 yang menghasilkan ROS
menjadi M2 yang mendorong proliferasi sel. Kemampuan untuk beralih dari M1 ke M2
makrofag terdapat pada tikus yang kekurangan GPX1 sehingga selenium berfungsi
independen pada pembentukan protein GPX dan aktivitasnya (Zeng, 2009).

Hariharan, S. and Dharmaraj, S. (2020) ‘Selenium and selenoproteins: it’s role in


regulation of inflammation’, Inflammopharmacology, 28(3), pp. 667–695. doi:
10.1007/s10787-020-00690-x.

40. Catalase adalah enzim yang dikeahui berlokasi di peroksisom dan mengkatalisis
pelepasan H2O2 menjadi molekul oksigen dan air. Meskipun tingkat ekspresi mRNA
catalase tidak berubah selama penyembuhan luka, tingkat protein catalase menurun.
Ekspresi protein catalase yang berebihan dimediasi adenovirus mengganggu
penyembuhan luka tikus dan menunjukkan H2O2 terlibat dalam induksi ekspresi VEGF
pada keratinosit yang menunjukkan kadar H 2O2 diperlukan untuk proses penyembuhan
luka (Dunnill et al, 2017). Sinyal ROS/RNS sementara menghasilkan respons endogen
yang memungkinkan detoksifikasi ROS/RNS dengan menginduksi enzim pertahanan
seperti superoksida dismutase atau katalase, serta jalur pertahanan stres lainnya. Proses
ini disebut respon retrograde. Pelepasan ROS/RNS dari mitokondria dapat berfungsi
dalam berbagai jalur pensinyalan. Beberapa contoh adalah regulasi kinase stres sitosolik,
modulasi pensinyalan hipoksia, dan aktivasi makroautofagi (Kurutas, 2015).

Kurutas, E. B. (2015) ‘The importance of antioxidants which play the role in cellular
response against oxidative/nitrosative stress: current state’, Nutrition Journal, 15(1), p.
71. doi: 10.1186/s12937-016-0186-5.
41. Waktu penyembuhan tidak tertunda dalam kasus akatalasia (tidak didapatkan catalase)
yang merupakan gangguan peroksisom resesif autosom akibat cacat pada catalase.
Tampaknya bukan enzim antioksidan catalase saja yang diperlukan dalam proses
penyembuhan, lokasi subseluler catalase yang berbeda dengan enzim pembersih H2O2
lainnya dapat menimbulkan respons yang berbeda pada proses penyembuhan luka
(Dunnill et al, 2017).
H2O2 kemudian didetoksifikasi oleh serangkaian enzim seperti katalase, glutathione
peroxidase (GPX), dan peroxiredoxin (PRDX) untuk menghindari pembentukan radikal
hidroksil berbahaya melalui reaksi Fenton. (Kurahashi and Fujii, 2015)

Kurahashi, T. and Fujii, J. (2015) ‘Roles of Antioxidative Enzymes in Wound Healing’,


Journal of Developmental Biology, 3(2), pp. 57–70. doi: 10.3390/jdb3020057.

42. Reactive Oxidative Stress (ROS) yang berlebihan bersifat sitotoksik, keseimbangan
redoks harus diatur dengan ketat untuk mencapai kadar penyembuhan luka normal yang
bervariasi , ROS yang dihasilkan oleh beberapa oksidase dan respirasi mitokondria
harus dikurangi terutama oleh enzim antioksidan endogen seperti SOD, PRDX, GPX,
dan catalase. (Dunnill et al, 2017).

Pentingnya ROS untuk penyembuhan luka diilustrasikan oleh penelitian yang


menunjukkan bahwa penekanan total produksi oksidan menghasilkan gangguan
penyembuhan, seperti halnya jumlah oksidan yang berlebihan. ROS juga telah terlibat
sebagai mediator penting dari pensinyalan sel dan peradangan dalam perbaikan luka.
Meskipun produksi ROS bersifat fisiologis, produksi yang berlebihan dapat berbahaya.
(Y.A. Barku, 2019)
Y.A. Barku, V. (2019) ‘Wound Healing: Contributions from Plant Secondary Metabolite
Antioxidants’, in Wound Healing - Current Perspectives. IntechOpen. doi:
10.5772/intechopen.81208.

43. Luka kronis terjadi dengan latar belakang hipoksia jaringan lokal akibat vaskulopati
seperti aterosklerosis, hipertensi vena atau fibrosis sekitar luka yang mengurangi perfusi
aliran darah yang dapat mengganggu penyembuhan luka. Beberapa mekanisme
molekuler hipoksia menyebabkan gangguan membran sel, memicu kaskade inflamasi.
Ekstravasasi neutrofil dan makrofag dari pembuluh darah yang cedera dibantu oleh
ekspresi molekul adhesi endotel, neutrofil dan makrofag di jaringan mensintesis sitokin
proinflamasi seperti IL-1α, IL-1β, IL-6 dan TNF-α dengan cara autokrin yang dapat
mengganggu keseimbangan antara protease dan penghambatnya sehingga menghasilkan
peradangan. Keseimbangan ROS dengan antioksidan seperti oksida nitrat (NO)
diproduksi dengan cara pemberian oksigen dapat menurunkan keadaan hipoksia. Oksida
nitrat (NO) berperan dalam menghentikan aktivitas NF-kB sebagai aktivator transkripsi
penting dalam peradangan. Produksi NO juga berperan dalam imunomodulasi (Yahfoufi
et al., 2018). ROS terlibat secara sentral dalam semua proses penyembuhan luka karena
konsentrasi rendah generasi ROS diperlukan untuk melawan mikroorganisme yang
menyerang dan pensinyalan kelangsungan hidup sel (Cano Sanchez et al., 2018).
Produksi ROS yang tidak dikontrol akan menyebabkan kerusakan oksidatif dan
menstimulasi jalur transduksi sinyal yang mengarah kepada peningkatan ekspresi
protease serin MMPa yang mengganggu proliferasi fibroblast dan sintesis kolagen dan
meningkatkan sitokin inflamasi yang menghambat penyembuhan, (Dunnill et al, 2017).

Yahfoufi, N. et al. (2018) ‘The Immunomodulatory and Anti-Inflammatory Role of


Polyphenols’, Nutrients, 10(11), p. 1618. doi: 10.3390/nu10111618.
Cano Sanchez, M. et al. (2018) ‘Targeting Oxidative Stress and Mitochondrial
Dysfunction in the Treatment of Impaired Wound Healing: A Systematic Review’,
Antioxidants, 7(8), p. 98. doi: 10.3390/antiox7080098.

44. Cedera iskemia-reperfusi berperan dalam patofisiologi myocardia Infarction, syok


hemoragik, stroke, dan transplantasi organ. Pasien vasculopathic dengan sirkulasi sub
optimal mengalami interval siklik iskemia tungkai bawah ketika tungkai digunakan,
diikuti oleh reperfusi ketika tungkai diangkat. Iskemia dengan hipoksia jaringan akan
menginduksi keadaan proinflamasi. Selama berlangsung reperfusi, kelebihan leukosit
termasuk neutrofil bermigrasi ke jaringan luka menghasilkan sitokin inflamasi dan ROS
yang diperburuk oleh produksi ROS dari reoksigenasi jaringan parsial kadar
antioksidan ( Nitrit Oksida ) yang menurun, jika siklus reperfusi iskemia ini berulang
maka efek terhadap gangguan penyembuhan luka dapat berkembang menyebabkan
nekrosis dan ulserasi jaringan (Sanchez et al, 2018). Dalam prosesnya neutrophil
memiliki efek untuk memperbaiki parenkim dan pembuluh darah (Wang, 2018).
Penghapusan sel-sel apoptosis dengan fagositosis, suatu proses yang disebut eferositosis,
mencegah nekrosis sekunder dari sel-sel ini, dan dianggap penting untuk perbaikan
lengkap (Koh and DiPietro, 2011).

Koh, T. J. and DiPietro, L. A. (2011) ‘Inflammation and wound healing: the role of the
macrophage’, Expert Reviews in Molecular Medicine, 13, p. e23. doi:
10.1017/S1462399411001943.
Wang, J. (2018) ‘Neutrophils in tissue injury and repair’, Cell and Tissue Research,
371(3), pp. 531–539. doi: 10.1007/s00441-017-2785-7.

45. Faktor patogen ketiga pada luka kronis adalah kolonisasi bakteri obligat. Patogen luka
umumnya seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan streptococci β-
haemolytic secara spesifik menyebabkan tertundanya penyembuhan. Selain kerusakan
langsung pada inang, bakteri menarik leukosit dengan hasil amplifikasi sitokin inflamasi,
protease, dan ROS yang dihasilkan memulai kaskade inflamasi. Inang dan bakteri yang
menurunkan protease dan ROS mendegradasi ECM dan faktor pertumbuhan,
mengganggu migrasi sel dan menghambat penutupan luka (Omar et al, 2017). Host dan
bakteri yang diturunkan protease dan ROS mendegradasi ECM dan faktor pertumbuhan,
mengganggu migrasi sel dan menghambat penutupan luka. (Zhao et al., 2016)

Zhao, R. et al. (2016) ‘Inflammation in Chronic Wounds’, International Journal of


Molecular Sciences, 17(12), p. 2085. doi: 10.3390/ijms17122085.

46. Sel mikroba terlindung dalam matriks polimer yang disekresikan pada biofilm
menyediakan lingkungan optimal bagi bakteri untuk menghindari respon imun inang dan
aksi antibiotik pada luka kronis. Sinergi mikroba dengan biofilm memberikan
keuntungan bagi organisme yang hidup bersama, tetapi hanya sedikit yang diketahui
bagaimana sinergi ini dapat meningkatkan patogenisitas bakteri pada luka kronis. (Omar
et al, 2017). Bakteri yang menjajah luka kronis sering membentuk biofilm polimikroba,
berbeda dengan insiden minimal dalam luka akut. Sel-sel mikroba tertanam dalam
matriks polimer yang disekresikan, yang menyediakan lingkungan yang optimal bagi
bakteri untuk menghindari respons imun inang dan tindakan antibiotik. (Zhao et al.,
2016)

Zhao, R. et al. (2016) ‘Inflammation in Chronic Wounds’, International Journal of


Molecular Sciences, 17(12), p. 2085. doi: 10.3390/ijms17122085.

47. Hipoksia pada luka juga berkontribusi terhadap kolonisasi bakteri. Sejumlah penelitian
menunjukkan korelasi terbalik antara infeksi dan oksigenasi luka, kemungkinan karena
aktivitas yang bergantung pada oksigen dari enzim antimikroba seperti myeloperoxidase
dalam neutrofil, pada periode iskemia luka kronis dapat menghambat mekanisme
bakterisida inang. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa bioburden yang
melebihi 105 bakteri per gram jaringan luka memiliki efek buruk pada penyembuhan di
berbagai luka akut, kronis dan skingraft (Omar et al, 2017). Hipoksia jaringan lokal
diketahui sangat mengganggu penyembuhan luka. Melalui berbagai mekanisme
molekuler, hipoksia menyebabkan gangguan membran sel, memicu kaskade inflamasi.
Ekstravasasi selanjutnya dari neutrofil dan makrofag dibantu oleh ekspresi nyata dari
molekul adhesi endotel dalam jaringan hipoksia; merekrut neutrofil dan makrofag
kemudian mensintesis sitokin pro-inflamasi seperti IL-1α, IL-1β, IL-6 dan TNF-α secara
autokrin. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ini mengganggu keseimbangan antara
protease dan penghambatnya, yang melanggengkan peradangan. Keseimbangan antara
ROS dan antioksidan juga terganggu. (Zhao et al., 2016)

Zhao, R. et al. (2016) ‘Inflammation in Chronic Wounds’, International Journal of


Molecular Sciences, 17(12), p. 2085. doi: 10.3390/ijms17122085.
48. Peran ROS dan potensi pengaturan ROS dalam penyembuhan luka sebagai salah satu
terapi yang menjanjikan. Pengaruh positif yang dimiliki ROS berkadar rendah terhadap
penyembuhan luka normal dan pengaruh negatif kadar ROS yang berlebihan dapat
menyebabkan stres oksidatif yang mengganggu penyembuhan luka. Reactive Oxygen
Species yang meningkat dan berkelanjutan telah dikenali in vivo dikaitkan dengan
gangguan penyembuhan luka kronis. (Kurahashi and Fujii, 2015). Berbagai tekanan
lingkungan menyebabkan produksi ROS yang berlebihan menyebabkan kerusakan
oksidatif progresif dan akhirnya kematian sel. Terlepas dari aktivitas destruktif mereka,
mereka digambarkan dengan baik sebagai pembawa pesan kedua dalam berbagai proses
seluler, termasuk pemberian toleransi terhadap berbagai tekanan lingkungan. Apakah
ROS akan berfungsi sebagai molekul pensinyalan atau dapat menyebabkan kerusakan
oksidatif pada jaringan tergantung pada keseimbangan antara produksi ROS, dan
pemulungannya. Pemulungan ROS yang efisien yang dihasilkan selama berbagai tekanan
lingkungan memerlukan aksi beberapa antioksidan nonenzimatik serta enzimatik yang
ada dalam jaringan (Sharma et al., 2012).

Sharma, P. et al. (2012) ‘Reactive Oxygen Species, Oxidative Damage, and Antioxidative
Defense Mechanism in Plants under Stressful Conditions’, Journal of Botany, 2012, pp.
1–26. doi: 10.1155/2012/217037.

49. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang sangat reaktif dengan satu atau lebih
elektron tidak berpasangan di kulit luarnya dan dapat terbentuk ketika oksigen
berinteraksi dengan molekul tertentu. Radikal ini dapat diproduksi dalam sel dengan
kehilangan atau menerima satu elektron, oleh karena itu, berperilaku sebagai oksidan atau
reduktor. Istilah spesies oksigen reaktif (ROS) dan spesies nitrogen reaktif (RNS)
mengacu pada turunan radikal dan non-radikal oksigen dan nitrogen reaktif, masing-
masing (Liguori et al., 2018). Pada tingkat molekuler, selain transkripsi yang dimediasi
ROS menyebabkan sekresi sitokin pro-inflamasi berkelanjutan dan induksi matriks
metaloprotease (MMP), ROS dan RNS/ Reactive Nitrogen Species berlebihan secara
langsung dan tidak langsung (melalui aktivasi proteolisis) memodifikasi dan
mendegradasi protein ECM dan menyebabkan kerusakan fungsi fibroblas kulit dan
keratinosit. Keseimbangan yang tepat di antara level ROS rendah dan tinggi sangat
penting dalam menentukan hasil yaitu, kadar ROS yang rendah sangat penting dalam
merangsang penyembuhan luka yang efektif, sedangkan pelepasan ROS berlebihan
menghasilkan kerusakan sel dan gangguan penyembuhan luka. Salah satu pendekatan
untuk memanipulasi ROS secara tidak langsung, sebagai strategi penyembuhan luka
adalah dengan memanipulasi pemberian antioksidan (Kurahashi and Fujii, 2015).

Liguori, I. et al. (2018) ‘Oxidative stress, aging, and diseases’, Clinical Interventions in
Aging, Volume 13, pp. 757–772. doi: 10.2147/CIA.S158513.

50. N-acetylcysteine (juga dikenal sebagai N-acetyl-cysteine, NAC) adalah prekursor asam
amino L-cysteine dan akibatnya glutathione antioksidan (GSH). Hal ini terutama
ditemukan pada tanaman spesies Allium, terutama pada bawang merah (Allium cepa, 45
mg NAC/kg). Gugus sulfhidril (–SH) dalam molekul NAC secara langsung mengais
spesies oksigen reaktif (ROS), memodulasi keadaan redoks N-metil-D-aspartat (NMDA)
dan -amino-3-hidroksi-5-metil-4 -isoxazolepropionic acid (AMPA) reseptor (efek
neurotransmitter), dan menghambat faktor nuklir kappa-light-chain-enhancer sel B
teraktivasi (NF-κB) untuk memodulasi sintesis sitokin (efek anti/pro-inflamasi) (Šalamon
et al., 2019). N-asetilsistein (NAC), antioksidan yang mengandung thiol berkarakter baik,
menurunkan kadar ROS dan mendukung pembentukan NO dapat disarankan sebagai
obat yang sangat menjanjikan untuk peningkatan penyembuhan luka. Dampak negatif
dari tingkat ROS yang tinggi dan berkelanjutan di penyembuhan luka dan pentingnya
ROS dalam luka kronis serta pencegahan tingkat ROS berlebihan dan pemanfaatan
sistem antioksidan sebagai strategi untuk meningkatkan penyembuhan luka yang terhenti.
(Halasi, 2013).

Šalamon, Š. et al. (2019) ‘Medical and Dietary Uses of N-Acetylcysteine’, Antioxidants,


8(5), p. 111. doi: 10.3390/antiox8050111.
51. Oksigen memainkan peran penting dalam proses penyembuhan luka yaitu pembunuhan
bakteri oksidatif, sintesis kolagen, angiogenesis, dan epitelisasi sehingga proses
penyembuhan luka akan terganggu pada kondisi hipoksia, oksigen digunakan untuk
menghasilkan energi melalui fosforilasi oksidatif yang menghasilkan ROS dalam jumlah
sedikit pada metabolisme normal dan meningkat pada kondisi patologis (Shroff et al,
2014). Oksigen telah diberikan sebagai modalitas terapi untuk membantu dan
mempercepat penyembuhan luka. Tujuannya adalah untuk meringkas peran oksigen
dalam penyembuhan luka. Sebuah tinjauan literatur studi klinis dan ilmu dasar tentang
oksigen dan penyembuhan luka dilakukan. Hipoksia tampaknya mempercepat
penyembuhan luka melalui faktor 1alfa yang diinduksi hipoksia dan reepitelisasi.
Meskipun demikian, oksigen sering diperlukan untuk memulai atau mempertahankan
proses penyembuhan luka lainnya. Baik tidak adanya dan adanya oksigen memiliki efek
pada penyembuhan luka (RODRIGUEZ et al., 2008).

RODRIGUEZ, P. G. et al. (2008) ‘The Role of Oxygen in Wound Healing: A Review of


the Literature’, Dermatologic Surgery, 34(9), pp. 1159–1169. doi: 10.1111/j.1524-
4725.2008.34254.x.

52. Mitokondria telah dianggap memainkan peran utama dalam kerusakan dan disfungsi
oksidatif jaringan dan memberikan perlindungan terhadap disfungsi jaringan yang
berlebihan melalui beberapa mekanisme, termasuk stimulasi pembukaan pori-pori transisi
permeabilitas. Sampai saat ini, signifikansi fungsional dari sumber ROS yang berbeda
dari mitokondria kurang mendapat perhatian. Namun, data terbaru, selain
mengkonfirmasi peran mitokondria dalam stres oksidatif jaringan dan perlindungan,
menunjukkan interaksi antara mitokondria dan sumber seluler ROS lainnya, sehingga
aktivasi satu dapat menyebabkan aktivasi sumber lain. Dengan demikian, saat ini
diterima bahwa dalam berbagai kondisi semua sumber seluler ROS memberikan
kontribusi signifikan terhadap proses yang secara oksidatif merusak jaringan dan
memastikan kelangsungan hidup mereka, melalui mekanisme seperti autophagy dan
apoptosis.(Di Meo et al., 2016). Stres lingkungan menggerakkan ROS yang
menyebabkan kerusakan selular dan apoptosis. Stres lingkungan berperan pada senyawa
toksik (xenobiotic) yang mengarah pada generasi xenobiotic radikal bebas melalui
reduksi 1 elektron yang dikatalisis oleh sitokrom P450 reduktase. Radikal bebas yang
diperoleh dari xenobiotic dapat bereaksi secara cepat dengan oksigen untuk menghasilkan
superokside (O2-), yang bereaksi dengan Nitrit Okside (NO) untuk menghasilkan
peroxynitrit (ONOO-), atau mengalami dismute untuk menggerakkan H2O2, yang
dikatalisis oleh SOD. H2O2 dapat didetoksifikasi oleh antioksidan seperti katalase dan
GSH/gluthathione perosidase, atau dapat menggerakkan OH- melalui reaksi metal yang
dikatalisis oleh Fenton. OH- dan ONOO- menyebabkan kerusakan seluler protein, lipid,
asam nukleat, yang mana membuat kematian sel lewat apoptosis (Dutordoir dan Bates,
2016)

Di Meo, S. et al. (2016) ‘Role of ROS and RNS Sources in Physiological and
Pathological Conditions’, Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2016, pp. 1–44.
doi: 10.1155/2016/1245049.

53. Dua mekanisme utama yang menyebabkan penutupan luka selama fase proliferasi adalah
re-epitelisasi dan kontraksi, yang terakhir menyebabkan pengurangan ukuran luka lebih
cepat daripada sebelumnya. Isoform NOX terlibat dalam pembunuhan mikroba,
kemotaksis neutrofil, dan berbagai kaskade transduksi sinyal sebagai respons terhadap
faktor pertumbuhan yang relevan untuk proses perbaikan luka kulit yang disebutkan di
atas. Namun, ini adalah bidang yang muncul dan data khusus mengenai peran enzim
NOX dalam perbaikan luka kulit terbatas (André-Lévigne et al., 2017) . Fase inflamasi
sel neutrofil dan makrofag muncul diderah luka mengeluarkan sejumlah besar ROS
bersama dengan sitokin pro-inflamasi dan enzim proteolitik seperti matrix
metalloproteinase (MMP), NADPH oksidase (NOX2) diekspresikan dalam kadar tinggi
di membran plasma sel inflamasi dan diaktifkan selama fagositosis yang menghasilkan
anion radikal superoksida dalam jumlah besar (Shroff et al, 2014).
André-Lévigne, D. et al. (2017) ‘Reactive Oxygen Species and NOX Enzymes Are
Emerging as Key Players in Cutaneous Wound Repair’, International Journal of
Molecular Sciences, 18(10), p. 2149. doi: 10.3390/ijms18102149.

54. Reactive Oxygen Species (superoksida) yang dihasilkan dalam jumlah sedikit menyerang
benda dan patogen asing dan mengeliminasi untuk membantu fagositosis. Superoksida
yang diproduksi berlebihan merusak jaringan di sekitarnya. Superoksida akan diuraikan
menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan molekul oksigen oleh superoksida dismutase
(SOD) atau reaksi spontan. H2O2 didetoksifikasi oleh peroxidases seperti catalase,
glutathione peroxidase (GPX), dan peroxiredoxin (PRDX) untuk menghindari reaksi
Fenton yang terjadi karena adanya transisi ion logam seperti besi atau tembaga dan
menghasilkan radikal hidroksil yang paling berbahaya (Shroff et al, 2014). H2O2
kemudian didetoksifikasi oleh serangkaian enzim seperti katalase, glutathione peroxidase
(GPX), dan peroxiredoxin (PRDX) untuk menghindari pembentukan radikal hidroksil
berbahaya melalui reaksi Fenton. (Kurahashi and Fujii, 2015)

55. Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah produk sampingan dari metabolisme aerobik. ROS
termasuk anion superoksida (O2−), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil
(OH·), yang semuanya memiliki sifat kimia yang melekat yang memberikan reaktivitas
terhadap target biologis yang berbeda. ROS sering dikaitkan dengan prinsip stres
oksidatif yang menunjukkan ROS menginduksi patologi dengan merusak lipid, protein,
dan DNA. Namun, dalam dua dekade terakhir telah menjadi jelas bahwa ROS juga
berfungsi sebagai molekul sinyal untuk mengatur proses biologis dan fisiologis.
Tampaknya di awal evolusi, alam dipilih untuk ROS sebagai mekanisme transduksi
sinyal untuk memungkinkan adaptasi terhadap perubahan nutrisi lingkungan dan
lingkungan oksidatif. Memang pada prokariota, ada mekanisme yang dijelaskan dengan
baik dimana ROS secara langsung mengaktifkan faktor transkripsi untuk adaptasi
terhadap stres(Schieber and Chandel, 2014). ROS dan peranannya dalam penyembuhan
luka. Diagram skematik tersebut menggambarkan peranan ROS selama akut wound
healing. (i) ROS penting dalam proteksi luka awal dengan mengurangi aliran darah dan
sinyal sel local untuk pembentukan thrombus ; (a) ROS lokal mengeluarkan ikatan lokal
pembuluh darah dengan neutrophil pada tempat luka untuk proteksi bakteri, (iii)
fagositosis mengeluarkan ROS untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan
menyediakan signal selanjutnya dalam mendukung respon luka ; (iv) imunosit lain,
termasuk monosit bermigrasi ke tempat luka untuk membantu melawan pathogen ; (v)
tepi luka dan pelepasan ROS merangsang divisi dan migrasi sel endotel untuk
membentuk ulang pembuluh darah, pembentukan fibroblast dan migrasi untuk
pembentukan ECM baru (termasuk sintesis kolagen) dan meningkatkan proliferasi dan
migrasi keratinosit (Dunhill et al, 2017)

Schieber, M. and Chandel, N. S. (2014) ‘ROS Function in Redox Signaling and


Oxidative Stress’, Current Biology, 24(10), pp. R453–R462. doi:
10.1016/j.cub.2014.03.034.

56. Angiogenesis adalah proses kompleks yang membutuhkan matriks ekstraseluler yang
padat dan kaya fibrin, serta stimulasi migrasi dan mitosis sel endotel. Banyak faktor
terlarut yang terlibat dalam angiogenesis, termasuk VEGF, faktor pertumbuhan fibroblast
(FGF), PDGF, angiopoietin dan banyak lainnya. Ekspresi VEGF meningkat dalam
beberapa jam setelah keratinosit, fibroblas, dan sel endotel di lokasi luka terkena
hipoksia. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ROS terlibat dalam
pensinyalan reseptor VEGF dan VEGF. H2O2 telah dilaporkan berpotensi merangsang
ekspresi VEGF dalam keratinosit dan makrofag dalam kultur [59]. ROS tidak hanya
meningkatkan transkripsi VEGF tetapi juga meningkatkan stabilitas mRNA VEGF dan
meningkatkan pelepasan VEGF. Teori tentang peran penting ROS dalam angiogenesis
yang diinduksi VEGF semakin diperkuat dengan adanya mekanisme spesifik yang
menjamin fungsi VEGF dalam lingkungan stres oksidatif. Ketika jumlah ROS meningkat,
protein berisiko mengalami kerusakan oksidatif. VEGF dilindungi dari kerusakan ini oleh
chaperone glypican-1 ekstraseluler, yang dapat mengembalikan kemampuan pengikatan
reseptor VEGF yang rusak akibat oksidasi (André-Lévigne et al., 2017). Kadar ROS
yang berlebihan memiliki efek perlambatan pada angiogenesis, beberapa enzim yang
terlibat jalur pensinyalan, seperti phosphotyrosine phosphatase, residu sulfhydryl yang
bertindak sebagai pusat katalitik, sangat sensitif terhadap modifikasi oksidatif dan
cenderung mengalami inaktivasi oksidatif. Jaringan pensinyalan ROS berlebih dengan
menciptakan homeostasis redoks yang tidak seimbang mengakibatkan gangguan
penyembuhan luka. (Ritchter et al, 2015).

André-Lévigne, D. et al. (2017) ‘Reactive Oxygen Species and NOX Enzymes Are
Emerging as Key Players in Cutaneous Wound Repair’, International Journal of
Molecular Sciences, 18(10), p. 2149. doi: 10.3390/ijms18102149.

57. Antioksidan non-enzimatik dan antioksidan enzimatik terlibat dalam fine tuning ROS.
Senyawa dengan berat molekul rendah, misalnya Glutathione, bilirubin, ubiquinone,
vitamin C , vitamin E, karotenoid, dan senyawa fenolik — yang berfungsi sebagai
antioksidan non-enzimatik. Enzim antioksidan termasuk SOD, GPX, PRDX, catalase dan
heme oksigenase (HO) memberikan peran perlindungan tidak langsung terhadap ROS.
Dibandingkan dengan senyawa antioksidan kecil, enzim antioksidan memiliki beberapa
keuntungan karena antioksidan makanan (eksogen) sangat tergantung jumlah asupan
dan tingkat konversi ke bentuk aktif melalui konsumsi. Pada luka kulit tikus, kadar
vitamin E, vitamin C dan glutathione menurun secara signifikan dibandingkan dengan
kulit yang sehat. (Ritchter et al, 2015). Antioksidan enzimatik yang paling efisien
mengandung glutathione peroksidase, katalase dan superoksida dismutase. Antioksidan
non-enzimatik antara lain Vitamin E dan C, antioksidan tiol (glutathione, thioredoxin dan
lipoic acid), melatonin, karotenoid, flavonoid alami, dan senyawa lainnya. Beberapa
antioksidan dapat berinteraksi dengan antioksidan lain yang meregenerasi sifat aslinya;
mekanisme ini biasanya disebut sebagai "jaringan antioksidan". Ada bukti yang
berkembang untuk mendukung hubungan antara peningkatan kadar ROS/RNS dan
aktivitas antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang memburuk pada berbagai
penyakit (Kurutas, 2015).

Kurutas, E. B. (2015) ‘The importance of antioxidants which play the role in cellular
response against oxidative/nitrosative stress: current state’, Nutrition Journal, 15(1), p.
71. doi: 10.1186/s12937-016-0186-5.
58. Tes TBA didasarkan pada reaktivitas TBA terhadap MDA untuk menghasilkan aditif
merah kromogen berwarna pekat, tes ini pertama kali digunakan untuk mengevaluasi
degradasi lemak dan minyak secara autoksidatif yang bereaksi thiobarbituricacid
(TBARS) tetapi tidak spesifik yang menyebabkan kontroversi substansial terkait
penggunaannya pada pemeriksaan kuantifikasi MDA sampel in vivo. Beberapa teknologi
untuk menentukan MDA bebas dan total, seperti spektrometri massa kromatografi gas
(GC-MS/MS), spektrometri massa kromatografi cair (LC-MS/MS), dan beberapa strategi
berbasis derivatisasi, telah dikembangkan selama satu dekade terakhir. Karena MDA
merupakan salah satu penanda paling populer dan dapat diandalkan yang dapat
menentukan keadaan stres oksidatif pada situasi klinis karena reaktivitas dan toksisitas
MDA yang sensitif , metode ini sangat relevan dengan penelitian dibidang biomedis
(Singh et al, 2014).

59. Tes TBA didasarkan pada reaktivitas TBA terhadap MDA untuk menghasilkan aditif
merah kromogen berwarna pekat, tes ini pertama kali digunakan untuk mengevaluasi
degradasi lemak dan minyak secara autoksidatif yang bereaksi thiobarbituricacid
(TBARS) tetapi tidak spesifik yang menyebabkan kontroversi substansial terkait
penggunaannya pada pemeriksaan kuantifikasi MDA sampel in vivo. Beberapa teknologi
untuk menentukan MDA bebas dan total, seperti spektrometri massa kromatografi gas
(GC-MS/MS), spektrometri massa kromatografi cair (LC-MS/MS), dan beberapa strategi
berbasis derivatisasi, telah dikembangkan selama satu dekade terakhir. Karena MDA
merupakan salah satu penanda paling populer dan dapat diandalkan yang dapat
menentukan keadaan stres oksidatif pada situasi klinis karena reaktivitas dan toksisitas
MDA yang sensitif , metode ini sangat relevan dengan penelitian dibidang biomedis
(Singh et al, 2014). Malondialdehid atau MDA (1,3-propanedial) adalah salah satu
aldehida terpenting yang dihasilkan selama oksidasi lipid sekunder asam lemak tak jenuh
ganda. Aldehida ini juga sangat penting dalam daging karena dalam jumlah rendah
menghasilkan aroma tengik, dan dianggap sebagai penanda utama oksidasi lipid
(Domínguez et al., 2019).
Domínguez, R. et al. (2019) ‘A Comprehensive Review on Lipid Oxidation in Meat and
Meat Products’, Antioxidants, 8(10), p. 429. doi: 10.3390/antiox8100429.

60. Antioksidan eksogen dapat dikelompokkan tergantung asal oksidan yaitu yang berasal
dari alam misalnya karoten dan polifenol, bahan alam yang menyerupai misalnya vitamin
C dan vitamin E, dan bahan yang dibuat dengan industri misalnya N-acetylcysteine
(NAC). Antioksidan baik eksogen dan endogen mempertahankan atau mengembalikan
fungsi normal redox homeostatis. Selama regenerasi vitamin E oleh GSH atau Vitamin C
yang mencegah proses peroksidasi lemak yang mempengaruhi pelemahan dinding
membran dan perusakan protein membran. Pengurangan stres oksidatif yang
mempengaruhi neovaskularisasi yang bersifat patologis, maka antioksidan dapat
mengatur perkembangan pembuluh darah baru sebagai hasil dari terapi (Radomska-
Leśniewska, Bałan dan Skopiński, 2017). Vitamin C dapat meningkatkan mekanisme
perlindungan sistem kekebalan tubuh untuk mempercepat proses penyembuhan. Vitamin
ini melindungi kulit terhadap sinar ultraviolet, radikal bebas dan kerusakan dan selain
efek anti-inflamasi; itu juga merupakan agen utama dalam depigmentasi kulit. 250-500
mg vitamin C oral diresepkan untuk pasien di bawah usia 13 tahun dan hingga 1000
mg/hari diresepkan untuk mereka yang berusia di atas 13 tahun. Vitamin C topikal
mengurangi respons inflamasi. Selain itu, larutan vitamin C diperlukan untuk mengikat
molekul kolagen untuk meningkatkan kekuatan jaringan. Akhirnya, merangsang gen
kolagen untuk mensintesis kolagen untuk menyembuhkan luka (Sarpooshi et al., 2017).
Dressing PRP-FG bersama dengan vitamin E dan C oral dapat digunakan untuk
meningkatkan penyembuhan luka pada pasien dengan DFU non-penyembuhan dengan
meningkatkan proses penyembuhan luka dan mengurangi stres oksidatif (Yarahmadi et
al., 2021).

Sarpooshi, H. R. et al. (2017) ‘Wound Healing with Vitamin C’, Translational


Biomedicine, 08(04). doi: 10.21767/2172-0479.100139.
Yarahmadi, A. et al. (2021) ‘The effect of platelet-rich plasma-fibrin glue dressing in
combination with oral vitamin E and C for treatment of non-healing diabetic foot ulcers:
a randomized, double-blind, parallel-group, clinical trial’, Expert Opinion on Biological
Therapy, 21(5), pp. 687–696. doi: 10.1080/14712598.2021.1897100.

61. Pada fase inflamasi, respon jaringan terhadap trauma mengaktifkan sel makrofag. Debris
sel yang rusak (lipopolisakarida, protein sitoplasma, ATP, dan lain-lain) akan dikenali
oleh sel makrofag melalui Toll-like receptor 4 (TLR-4), ikatan TLRs dengan ligan akan
mengaktifkan faktor transkripsi NF-kB sehingga dapat menginduksi ekspresi berbagai
sitokin proinflamasi (TNF-α, IL-6, IL-1β, dan IL-8) (Zhang, 2008). Keadaan M1, atau
MΦ yang “diaktifkan secara klasik”, dianggap pro-inflamasi, ditandai dengan penyebaran
sinyal inflamasi melalui sekresi sitokin, seperti IL-1β, TNF-α atau interferon. LPS,
komponen dinding sel bakteri Gram, dan IFN-γ mempolarisasi MΦ untuk memperoleh
status M1 melalui aktivasi faktor transkripsi, termasuk NFkB, NFAT dan STAT1. M2,
atau "M yang diaktifkan secara alternatif," dianggap anti-inflamasi, karena mereka
menginduksi penangkapan sinyal inflamasi dan memulai penyembuhan luka dan proses
regeneratif lainnya. IL-4/IL-13 dapat memprogram MΦ untuk mengadopsi status M2
dengan mengaktifkan faktor transkripsi STAT6. STAT6 yang diaktifkan IL4 juga dapat
bersaing dengan STAT1 untuk menekan respons yang dimediasi interferon-γ,
menunjukkan bahwa M1-MΦ sendiri dapat menjadi M2 saat cedera inflamasi
berkembang dari fase akut ke fase resolusi. Namun, penelitian terbaru menunjukkan
bahwa, sementara M2 dapat bertransisi ke M1, kebalikannya tidak benar karena disfungsi
mitokondria yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif yang dihasilkan selama
polarisasi M1-M (Rayees et al., 2020).

Rayees, S. et al. (2020) ‘Macrophage TLR4 and PAR2 Signaling: Role in Regulating
Vascular Inflammatory Injury and Repair’, Frontiers in Immunology, 11. doi:
10.3389/fimmu.2020.02091.
62. Inflamasi merupakan respon perlindungan tubuh terhadap infeksi dan kerusakan jaringan
yang ditandai dengan vasodilatasi dan migrasi leukosit, protein plasma dan cairan pada
jaringan yang terdampak. Proses perkembangan inflamasi secara umum diketahui melalui
deteksi pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) atau damage-associated
molecular patterns (DAMPs) melalui pattern-recognition receptors (PRRs) pada sel
imun bawaan dan sel epitelial. PRRs menginisiasi komunikasi intrasel untuk
menginduksi sitokin proinflamasi, kemokin dan mediator inflamasi lainnya. PRRs juga
mengaktifkan jalur NF-kB yang memediasi induksi transkripsi berbagai sitokin
proinflamasi (Brubaker et al, 2015). Respon keberhasilan pengenalan sinyal-sinyal ini,
baik transmembran Toll-like receptor (TLRs) atau inflammasomes mengaktifkan jalur
pensinyalan imun spesifik, yang menghasilkan aktivasi selanjutnya dari nuclear factor
kappa-light-chain-enhancer dari Activated B (NF-κB). ) ). Akibatnya, NF-κB terdisosiasi
dari IκB dan bertranslokasi ke nukleus, di mana proses transkripsi diatur ke atas.
Peristiwa ini selanjutnya mengarah ke tahap berikutnya dari kaskade, yang melibatkan
sekresi sitokin pro-inflamasi, seperti interleukin-1-beta (IL-1β), IL-6, tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α) dan orang lain (Saha et al., 2020).

Saha, S. et al. (2020) ‘An Overview of Nrf2 Signaling Pathway and Its Role in
Inflammation’, Molecules, 25(22), p. 5474. doi: 10.3390/molecules25225474.

63. Pengaktivan NF-kB melalui 2 jalur pensinyalan kanonikal dan nonkanonikal (jalur
alternatif), ke 2 jalur berperan penting pada respon imun dan inflamasi meskipun
berbeda mekanisme, jalur kanonikal NF-kB bereaksi terhadap berbagai rangsang
termasuk ligand beberapa reseptor sitokin, Pattern Recognition Receptors
(PRRs),anggota reseptor TNF (TNFR) termasuk reseptor sel T dan sel B. Mekanisme
utama pengaktivan NF-kB kanonikal adalah menginduksi degradasi IkBα yang memicu
fosforilasi komplek IkB kinase (IKK) yang diaktifkan berbagai rangsang sitokin, growth
factor, mitogen, gen mikroba dan gen stress. Degradasi proteasome menghasilkan
translokasi inti yang cepat dari keluarga NF-kB yang didominasi p50 ReIA dan p50/c-
Rel dimer. Jalur nonkanonikal bereaksi terhadap rangsangan bersifat spesifik terutama
dari famili TNFR seperti LTβR, BAFFR, CD40 dan RANK, jalur ini tidak terjadi
degradasi IkBα tetapi berhubungan dengan protein prekusor NF-kB2(p100). Defek dalam
pensinyalan NF-kB non-kanonik dikaitkan dengan defisiensi imun yang parah, sedangkan
aktivasi yang tidak diatur dari jalur ini berkontribusi pada patogenesis berbagai penyakit
autoimun dan inflamasi. Di sini kami meninjau mekanisme pensinyalan dan fungsi
biologis jalur NF-κB non-kanonik. Kami juga membahas kemajuan terbaru dalam
menjelaskan mekanisme molekuler yang mengatur aktivasi jalur NF-kB non-kanonik,
yang dapat memberikan peluang baru untuk strategi terapeutik (Sun, 2017). Jalur
kanonikal NF-kB terlibat hampir disemua aspek imunitas sedangkan jalur non kanonikal
bersifat sebagai penyokong pensinyalan NF-kB jalur kanonikal teutama terhadap respon
sistim adaptasi imun. Fungsi NF-kB telah dikenali dalam pengaturan respon dari suatu
inflamasi, NF-kB mengatur aktivasi, diferensiasi dan memberi efek pada fungsi
perangsangan inflamasi oleh sel T dan memiliki peran pada pengaturan aktivasi
inflammasome sehingga digunakan dalam strategi penangan penyakit inflamasi kronis
dengan cara menekan aktivasi NF-kB (Liu et al, 2017).

Sun, S.-C. (2017) ‘The non-canonical NF-κB pathway in immunity and inflammation’,
Nature Reviews Immunology, 17(9), pp. 545–558. doi: 10.1038/nri.2017.52.

64. Sinyal IL-6 berhubungan dengan reduksi pada bioavailability NO, untuk mereduksi ekspresi dan
aktivitas NOS dan juga peningkatan pada NADPH oxidase-derived superoxide. Kombinasi ini
meningkatkan stress oksidatif, disfungsi endotel dan hypertrophy vascular dan fibrosis. Banyak
efek angiotensin II seperti peningkatan superoxidevascular, ditingkatkan oleh IL-6 yang
termediasi meningkatkan ekspresi reseptor Atl. Angiotensin II dan IL-6 bersinergi untuk
merangsang peningkatan pada fibroblast SMA-Q, collagen, dan ekspresi MCP-1 (CCL2)
yangmeningkatkan ekspansi matrix yang utamanya berkontribusi pada peningkatan penyesuaian
(compliance) arteri dan kekakuan vascular. Sebagai up-regulasi IL-6 mengurangi aktivitas enzim
sitokrom P450 (CYP), blokade sitokin ini dapat meningkatkan fungsi CYP (Kim, Östör and
Nisar, 2012). IL-6 juga meningkatkan infiltrasi sel imun dinding vascủlar melalui ekspresi adhesi
molekulmeningkat, seperti ICAM-1 dan CCAM-1, dan ekspresi MOP-1. IL-6, Interleukin-6,
eNOS, endotelial nitric oxide synthase; ATIR, angiotensin type 1 receptor, ICAM, intracellular
adhesion molecule; VCAM, vascular cell adhesionmolecule; MØ, Makrofag: SMA, actin otot
polos: MCP-1, monocyte chemoattractant protein-1 (Didion, 2017).
Kim, S., Östör, A. J. K. dan Nisar, M. K. (2012) “Interleukin-6 and cytochrome-P450, reason for
concern?,” Rheumatology international, 32(9), hal. 2601–2604.

65. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin sebagai mediator memiliki efek pleiotropik pada
inflamasi fase akut, respon imun, hematopoiesis, keganasan dan pertumbuhan sel. IL-6 pada
manusia terdiri dari 212 asam amino, termasuk didalamnya sinyal peptida 28 asam amino, dan
gennya telah dipetakan pada kromosom 7p21. Meskipun memiliki ukuran inti protein kurang
lebih 20 kDa, tercatat jika mengalami glikosilasi, ukurannya menjadi 21-26 kDa (Tanaka et al,
2014). IL-6 memiliki peranan sebagai mediator pertanda atas kejadian yang tiba-tiba muncul di
dalam tubuh (Tanaka et al, 2014). Pensinyalan IL-6 kronis terkait dengan tumorigenesis pada
banyak model tikus serta pada penyakit manusia. IL-6 bertindak secara intrinsik pada sel tumor
melalui banyak mediator hilir untuk mendukung proliferasi sel kanker, kelangsungan hidup, dan
penyebaran metastasis. Selain itu, IL-6 dapat bertindak secara ekstrinsik pada sel lain dalam
lingkungan mikro tumor yang kompleks untuk mempertahankan lingkungan pro-tumor dengan
mendukung angiogenesis dan penghindaran tumor dari pengawasan imun (Fisher, Appenheimer
and Evans, 2014).

Fisher, D. T., Appenheimer, M. M. dan Evans, S. S. (2014) “The two faces of IL-6 in the tumor
microenvironment,” in Seminars in immunology. Elsevier, hal. 38–47.

66. Interleukin 6 (IL-6) adalah sitokin pleiotropik yang meningkat dalam serum pasien dengan SSC
dan berkorelasi dengan penanda aktivitas penyakit. Imunositokimia menunjukkan peningkatan
kadar IL-6 pada lesi kulit pasien dengan SSc dan ini berhubungan dengan stadium akhir penyakit.
13 IL-6 memiliki banyak fungsi yang mungkin relevan dengan patogenesis SSc termasuk aktivasi
sel endotel (Barnes et al., 2011). Sel endotel merupakan target IL-6/IL-6R/gp 130 langsung
maupun tidak langsung pada jalur aktivasi inflamasi, sel endotel yang terstimulasi IL-6
meningkatkan proliferasi dan menghasilkan MCP-1, IL-8 dan IL-6 yang mendukung lingkungan
inflamasi dengan menarik lekosit yang menyebabkan fibroblast, sel keratinosit dan makrofag
menghadirkan VEGF sebagai pemicu utama proses neovaskularisasi (Johnson et al, 2020)

Barnes, T. C. et al. (2011) “Endothelial activation and apoptosis mediated by neutrophil-


dependent interleukin 6 trans-signalling: a novel target for systemic sclerosis?,” Annals of the
Rheumatic Diseases, 70(2), hal. 366–372.
67. Makrofag menghasilkan Vascular Endotelial Growth Factor (VEGF) dan Fibroblast Growth
Factor (FGF) yang akan memicu proses angiogenesis untuk pembentukan dan penimbunan
bahan-bahan Extra Cellular Matrix (ECM) (Kondo & Ishida, 2010). Makrofag Multiple
Myeloma (MM) memberikan peningkatan kadar mRNA VEGF-A dan VEGF-C. Telah
diasumsikan bahwa sel stroma mesenkim (MSC) adalah sumber utama isoform VEGF tetapi hasil
di atas juga menunjukkan bahwa makrofag mungkin merupakan kontributor utama VEGF
lainnya. Reseptor VEGF-1 (VEGFR-1) memediasi kemotaksis makrofag, dan paparan makrofag
MM aktif terhadap VEGF plus FGF-2 menyebabkan peningkatan ekspresi Tie2/Tek dan VEGFR-
2, dan sedikit penurunan reseptor FGF-2 (FGFR- 2) (Ribatti, Moschetta and Vacca, 2014).

Ribatti, D., Moschetta, M. dan Vacca, A. (2014) “Macrophages in multiple myeloma,”


Immunology letters, 161(2), hal. 241–244.

68. Vascular Endotelial Growth Factor (VEGF) menstimulasi angiogenesis dan epitelisasi dengan
membentuk jaringan granulasi yang dapat menentukan kualitas penyembuhan luka berupa
kekuatan jaringan parutpada penyembuhan normal atau terjadinya penumpukan parut pada
gangguan penyembuhan luka. VEGF darah biasanya dihubungkan dengan aktivitas
proangiogenic tetapi juga didapatkan ekspresi VEGF pada jaringan (sel keratinosit dan
makrofag). Kadar VEGF yang tinggi ditemukan pada proses penyembuhan luka normal sedang
kadar VEGF yang rendah ditemukan pada pasien dengan luka kronik (DM). Pasokan darah yang
adekuat dan cukup diperlukan untuk mempertahankan jaringan yang sehat dimana jaringan
memerlukan oksigen dan nutrisi dari darah (Bösmüller et al, 2018). Menurut koyama (2011)
Teknik baru pemberian gen ex vivo VEGF ke luka menggunakan partikel kulit yang dimodifikasi
secara genetik mampu mempromosikan angiogenesis luka (Koyama et al., 2011).

Koyama, T. et al. (2011) “A new technique of ex vivo gene delivery of VEGF to wounds using
genetically modified skin particles promotes wound angiogenesis,” Journal of the American
College of Surgeons, 212(3), hal. 340–348.

69. VEGF merupakan glikoprotein pengikat heparin yang disekresi dalam bentuk homodimer (45
kDa). Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa heparin berinteraksi dengan VEGF melalui
pembentukan kompleks heparin-VEGF menyebabkan terjadinya perubahan konformasi molekul
sehingga VEGF menjadi lebih stabil, lebih resisten terhadap inaktivasi, dan memiliki waktu paruh
yang lebih panjang. Pembentukan kompleks Heparin-VEGF juga menyebabkan terjadinya
peningkatan afinitas reseptor VEGF yang terdapat pada permukaan sel sehingga terbentuk sinyal
intraseluler sebagai bentuk aktivasi terjadinya proliferasi (Bösmüller et al, 2018). Struktur
interdomain linker VEGF diprediksi dengan pendekatan berbasis MD. Struktur interdomain
linker VEGF dianalisis dengan spektroskopi dichroism melingkar. Struktur penuh VEGF
termasuk domain pengikat reseptor dan heparin dimodelkan. Mode pengikatan heparin pada
permukaan VEGF diprediksi dan dianalisis. Pengikatan heparin ke VEGF mempengaruhi
interaksi antara VEGF dan reseptornya (Uciechowska-Kaczmarzyk et al., 2018).

Uciechowska-Kaczmarzyk, U. et al. (2018) “Molecular dynamics-based model of VEGF-A and


its heparin interactions,” Journal of Molecular Graphics and Modelling, 82, hal. 157–166.

70. Salah satu fungsi VEGF yang pertama diidentifikasi adalah memediasi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah pada mikrovaskular tumor (Xuan et al, 2014). Permeabilitas yang lebih luas,
atau kebocoran, dapat diinduksi secara akut dan sementara oleh faktor-faktor tertentu, dengan
tujuan untuk mengantarkan konstituen darah ke ruang interstisial. Cairan interstisial dikeringkan
oleh pembuluh limfatik dan akhirnya dikirim kembali ke sirkulasi darah melalui vena subklavia
(Venkatraman and Claesson-Welsh, 2019). Oleh karena itu, VEGF disebut pula Vascular
Permeability Factor (VPF). Enam kelas VEGF telah identifikasi antara lain VEGF-A, Placental
Growth Factor (PLGF), VEGF-Angiogenesis (Xuan et al, 2014).

Venkatraman, L. dan Claesson-Welsh, L. (2019) “The Role of VEGF in Controlling Vascular


Permeability,” Tumor Angiogenesis: A Key Target for Cancer Therapy, hal. 33–50.

71. Faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) mewakili faktor pertumbuhan dengan aktivitas
pro-angiogenik yang penting, memiliki efek mitogenik dan anti-apoptosis pada sel endotel,
meningkatkan permeabilitas vaskular, mendorong migrasi sel, dll. Karena efek ini, ia
berkontribusi secara aktif dalam mengatur proses angiogenik normal dan patologis. Pada
manusia, keluarga VEGF terdiri dari beberapa anggota: VEGF-A (yang memiliki isoform
berbeda), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF–E (VEGF virus), VEGF-F (VEGF bisa ular) ,
faktor pertumbuhan plasenta (PlGF), dan, baru-baru ini, ke dalam keluarga ini telah ditambahkan
faktor pertumbuhan endotel vaskular yang diturunkan dari kelenjar endokrin (EG-VEGF). VEGF
mengikat reseptor sel tirosin kinase (VEGFRs): VEGFR-1 [Fms-like tyrosine kinase 1 (Flt-1)],
VEGFR-2 [kinase insert domain receptor (KDR) pada manusia; kinase hati janin 1 (Flk-1) pada
tikus] dan VEGFR-3 [Fms-like tyrosine kinase 4 (Flt-4)] (Melincovici et al., 2018). Dalam
keadaan normal, VEGF diekspresikan dalam kadar yang bervariasi oleh berbagai jaringan,
termasuk di antaranya otak, ginjal, hati, dan limpa. Tekanan oksigen dapat berfungsi sebagai
regulator VEGF. Paparan kondisi hipoksia menginduksi ekspresi VEGF dengan cepat.
Sebaliknya, dalam kondisi kadar oksigen normal (normoksia), ekspresi VEGF menurun dan
mengalami stabilisasi. Tingkat ekspresi VEGF juga bergantung pada jumlah sitokin inflamatori
dan hormon pertumbuhan, termasuk diantaranya Epidermal Growth Factor (EGF), Interleukin-
1β (IL-1β), platelet derived growth factor (PDGF), tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan
transforming growth factor- β1 (TGF- β1). VEGF beraksi sebagai mitogen yang terbatas pada sel
endotel vaskular. VEGF terlibat dalam banyak tahap respon angiogenik, antara lain menstimulasi
degradasi matriks ekstraseluler di sekitar sel endotel; meningkatkan proliferasi dan migrasi sel
endotel; membantu pembentukan struktur pembuluh darah. VEGF diketahui memainkan peranan
dalam pembentukan jaringan vaskular dalam siklus reproduksi wanita, yaitu dalam
perkembangan corpus luteum dan dalam regenerasi endometrium. Tingkat ekspresi molekul
VEGF juga dilaporkan meningkat pada masa penyembuhan luka terutama dalam fase granulasi.
VEGF juga dapat menarik sel prekursor hematopoietik dan endotel dari sumsum tulang masuk ke
dalam sirkulasi peredaran darah. Berkaitan dengan adanya populasi sel hemangioblas dalam
sumsum tulang yang merupakan sel punca yang dapat berkembang menjadi sel prekursor
hematopoietik atau menjadi sel prekursor endotel (Motsch et al, 2015).

Melincovici, C. S. et al. (2018) “Vascular endothelial growth factor (VEGF)-key factor in normal
and pathological angiogenesis,” Rom J Morphol Embryol, 59(2), hal. 455–467.

72. Aktivasi jalur apoptosis (ekstrinsik) kematian reseptor oleh ROS. Reseptor kematian
transmembran seperti Pas, TRAIL-R1/2 dan TNF-RT dapat diaktivasi oleh ROS. Apoptosis yang
dimediasi oleh reseptor kematian termasuk perekrutan adaptor protein FADD dan procaspase-8
atau-10 ke permukaan sitoplasmik reseptor dalam membentuk DISC. Hasil ini adalah aktivasi
dari caspase-8/-10, yang mana dapat secara langsung mengaktifkan caspase-3/-6/-7 dan
mentrigger apoptosis. Caspase-8 atau -10 dapat juga membelah Bid untuk menghasilkan tBid,
yang mengaktifkan jalur silang antara reseptor kematian dan mitokondria. Bid bertranslokasi
kemitokondria dimana hal ini memblok anti-apoptosis Bcl-2 dan Bcl-Xt dan mengaktivasi Bax
dan Bak. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokrom c dan Smac/ Diablo dan aktivasi jalur
mitokondria apoptosis. Caspase-2 menjaditeraktivasi oleh caspase-8 atau PID dosome complex
JNK dan apoptosis mitokondria. Sebagai tambahan untuk meningkatkan apoptosis melalui
caspase-8, TNF-R1 dapat mengkativasi jalur survival yang dimediasi oleh protein adaptor
TRADD, RIP dan Traf-2, yang mengarah ke aktivasi survival gen oleh NFkB (Dutordoir dan
Bates, 2016) Spesies oksigen reaktif (ROS) dan jalur ekstrinsik dan intrinsik yang dimediasi
kalsium-(Ca2+) yang mendasari apoptosis yang diinduksi BDE-47 (Zhou et al., 2019).

Zhou, Z. et al. (2019) “Reactive oxygen species (ROS) and the calcium-(Ca2+) mediated
extrinsic and intrinsic pathways underlying BDE-47-induced apoptosis in rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) gonadal cells,” Science of The Total Environment, 656, hal. 778–788.

73. Skingraft adalah teknik operasi yang memindahkan sebagian atau seluruh ketebalan kulit
(epidermis dan sebagian dermis atau seluruh dermis) dari satu tempat (donor) ke tempat yang lain
(resipien) yang diharapkan dapat hidup di tempat yang memiliki vaskularisasi baik (Thronton dan
Gosman, 2004). Skingraft adalah salah satu teknik yang paling diperlukan dalam operasi plastik
dan dermatologi. Skingraft digunakan dalam berbagai situasi klinis, seperti luka traumatis, cacat
setelah reseksi onkologis, rekonstruksi luka bakar, pelepasan kontraktur bekas luka, dll (Shimizu
and Kishi, 2012).

74. Keberhasilan skingraft bergantung kepada vaskularisasi dasar luka , kontak yang akurat
antara skingraft dengan resipien. Penjahitan interupted dilakukan di pinggir dilanjutkan
dengan jahitan kasur diatas skingraft untuk menjamin kontak dan mencegah pergeseran.
Skingraft ditutup dengan tulle dan diatasnya diberi kassa steril lembab NaCl 0,9% sampai
merata agar dapat menyerap darah maupun seroma yang terbentuk kemudian dilapisi
kassa kering sehingga efek menekan secara merata ke seluruh permukaan dan
dilakukanjahitan tie over atau dibalut menggunakan perban elastis (Liew et al., 2012).
Aplikasi terapi luka tekanan negatif setelah penempatan skingraft menghasilkan tingkat
keberhasilan yang lebih besar untuk skingraft split-ketebalan daripada pembalut guling
konvensional. Selain itu, gagal jantung kongestif adalah prediktor yang baik untuk kegagalan
skingraft split thickness. Kehadiran bakteri dalam kultur juga dapat menjadi prediktor yang baik
untuk kegagalan cangkok, namun kemungkinan strain bakteri, bukan keberadaan bakteri yang
dominan mempengaruhi pengambilan skingraft.

Turissini, J. D. et al. (2019) “Major risk factors contributing to split thickness skin graft
failure,” Georgetown Medical Review, 3(1), hal. 7755.
75. Proses terjadinya vaskularisasi skingraft melalui hubungan pembuluh darah skingraft
dengan pembuluh darah resipien yang terjadi 48-72 jam setelah implantasi. Proses ini
disebut inosculation yang ditandai dengan adanya hubungan jaringan pembuluh darah
skingraft dengan jaringan pembuluh darah resipien. Angiogenesis pembuluh darah inang ke
daerah proksimal menyebabkan inoskulasi antara host dan pembuluh donor dan perfusi
berikutnya dari cangkok melalui pembuluh cangkok yang sudah ada dalam minggu pertama
setelah transplantasi. Dengan demikian, rekayasa pembuluh darah cangkok dan promosi
inoskulasi dapat mencegah kontraksi cangkok, sehingga mempotensiasi penggunaan jaringan
kandung kemih yang direkayasa secara biologis untuk transplantasi (Osborn et al., 2015).
Inosculation dapat berupa internal inosculation dan eksternal inosculation. Internal
inosculation terjadi regresi pembuluh darah mikro graft yang selanjutnya digantikan
dengan invasi pembuluh darah resipien, external inosculation ditandai dengan
pertumbuhan pembuluh darah mikro skingraft dan terjadi hubungan dengan pembuluh
darah mikro resipien. Mekanisme inoskulasi akan menjamin reperfusi graft dalam
beberapa hari kedepan dibandingkan revaskularisasi melaui proses angiogenesis yang
terjadi pertumbuhan sel endotel pembuluh darah mikro yang lebih kompleks dan
melibatkan jaringan sekitar. Melalui mekanisme angiogenesis laju pertumbuhan
pembuluh darah mikro hanya 5μm/jam, tidak cukup untuk mencegah terjadinya kematian
sel akibat hipoksia, pada proses pembentukan pembuluh darah mikro 3 dimensi setelah
implantasi skingraft. Meskipun demikian kedua mekanisme ini memiliki peran
terbentuknya vaskularisasi skingraft (Frueh et al., 2018).

Osborn, S. L. et al. (2015) “Inosculation of blood vessels allows early perfusion and vitality of
bladder grafts—implications for bioengineered bladder wall,” Tissue Engineering Part A, 21(11–
12), hal. 1906–1915.

76. Pasca reperfusi pembuluh darah skingraft mendapat aliran darah yang mengandung
faktor angiogenik dan nutrisi di jaringan yang hipoksia. Karena respon angiogenik tidak
dimulai hingga 24 sampai 48 jam setelah reperfusi, dapat disimpulkan bahwa selama 3
hari periode iskemia, proses angiogenesis tidak terjadi di skingraft. Kemungkinan besar
disebabkan kekurangan energi sebagai konsekuensi kondisi hipoksia, bertentangan
dengan teori skingraft sendiri mampu melakukan angiogenesis sebelum reperfusi. Pasca
reperfusi, suplai oksigen meningkat dari dasar luka menyebabkan jaringan vaskular
skingraft yang masih berfungsi akan bereaksi. Angiogenesis dimulai di bagian tengah
skin graft pada hari ke 3, menunjukkan bahwa hipoksia stimulus mungkin paling
menonjol di area tengah kemudian berkembang ke daerah pinggiran, maksimal
kepadatan tunas ditemukan pada hari ke-6. Kondisi hipoksia yang menjadi stimulus
menjadi berkurang pasca terjadi revaskularisasi menyebabkan penurunan produksi faktor
pro angiogenik. Sehingga terjadi regresi beberapa vascular buds sampai hari ke 8. Teori
pembuluh darah graft berdegenerasi dan kemudian digantikan oleh inang yang tumbuh
ke dalam pembuluh darah. Yang mendukung teori tersebut adalah revaskularisasi
jaringan mikrovaskuler yang sudah ada sebelumnya seperti pada kulit sebagian besar
proses yang terjadi digerakkan oleh masing-masing resipien bed skingraft sendiri.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa pericytes membuat pertumbuhan kapiler
disamping sebagai sumber produksi VEGF di fase awal angiogenesis yang disebabkan
oleh peningkatan produksi nitrit oksida (Zuhr, Bäumer and Hürzeler, 2014). Pembuluh
darah cangkok kulit merespon dengan angiogenesis sementara untuk reperfusi, yang dipangkas
setelah beberapa hari dan menunjukkan morfologi yang berbeda dari angiogenesis tunas biasa
yang ada di dasar luka. Selanjutnya kami mengidentifikasi MT1-MMP sebagai protease yang
terletak di ujung tunas yang menunjukkan peran potensialnya sebagai fasilitator pertumbuhan
tunas serta berpotensi dalam melisiskan kapiler cangkok yang ada untuk terhubung dengannya.
Perbedaan antara dasar luka dan angiogenesis cangkok kulit dapat mewakili wawasan yang
relevan tentang proses pemangkasan vaskular dan dapat membantu dalam rekayasa pengganti
kulit (Knapik et al., 2012).

Knapik, A. et al. (2012) “Metalloproteinases facilitate connection of wound bed vessels


to pre-existing skin graft vasculature,” Microvascular research, 84(1), hal. 16–23.

77. Pasca perlukaan tikus putih dengan mengangkat keseluruhan ketebalan kulit
(fullthickness) area punggung tikus akan menyebabkan perlengketan sel trombosit
pembuluh darah yang terluka dan mengeluarkan faktor pembekuan untuk memulai
kaskade koagulasi. Sel trombosit akan mengeluarkan growth factors (PDGF, TGF A-1,
TGF-2 ) dan sitokin (IL-6, Il- 12, TNF-α) yang menarik sel inflamasi (netrofil, dan
makrofag) ke daerah luka. Fagositosis makrofag dan aktivitas netrofil menghasilkan
ROS yang bersifat antimikrobial dan protease yang akan membersihkan benda asing dan
bakteri di daerah luka (Demidova-Rice, Hamblin and Herman, 2012). During acute
wound healing, HO-1 protein was expressed at high levels in a murine model 3 days after
creation of full-thickness excisional wounds, before returning to basal levels. HO-1
mRNA levels continued to be high until Day 7. Macrophages and proliferating
keratinocytes along the wound edge were the primary cell types that overexpressed HO-
1. Interestingly, it was also found that patients with psoriatic skin constitutively
overexpress HO-1, as well as HO-2. In vitro studies found that ROS, rather than growth
factors or cytokines (KGF, EGF, TNF-α), directly stimulated HO-1 expression
(Krzyszczyk et al., 2018).

Krzyszczyk, P. et al. (2018) ‘The Role of Macrophages in Acute and Chronic Wound
Healing and Interventions to Promote Pro-wound Healing Phenotypes’, Frontiers in
Physiology, 9. doi: 10.3389/fphys.2018.00419.

78. Deplesi ATP dapat memicu terjadinya penurunan aktivitas pompa natrium (Na pump)
dan akhirnya mengakibatkan akumulasi natrium di dalam sel. Natrium di dalam sel
kemudian akan menarik air (H2O) ke dalam sel sehingga sel menjadi bengkak (swelling)
(Kumar et al., 2013). (Weerasinghe and Buja, 2012). Saluran natrium epitel (ENaC)
memediasi transpor natrium pasif melintasi membran apikal epitel penyerap natrium,
seperti nefron distal, usus, dan saluran udara paru-paru. Selain itu, saluran telah terlibat
dalam transduksi rangsangan mekanis, seperti tekanan hidrostatik, peregangan membran,
dan tegangan geser dari aliran fluida. Jadi, dalam endotel vaskular, ia berpartisipasi
dalam kontrol tonus vaskular melalui aktivitasnya baik sebagai saluran natrium dan
sebagai transduser tegangan geser. Baru-baru ini, ENaC telah terbukti berpartisipasi
dalam proses penyembuhan luka, peran yang mungkin juga melibatkan aktivitasnya
sebagai pengangkut natrium dan sebagai mekanotransduser. Kehadirannya sebagai satu-
satunya saluran yang memediasi transpor natrium di banyak jaringan dan keragaman
fungsinya mungkin mendasari kompleksitas regulasinya. Tinjauan singkat ini
menjelaskan beberapa aspek regulasi ENaC, komentar tentang bukti tentang partisipasi
ENaC dalam penyembuhan luka, dan menyarankan kemungkinan mekanisme regulasi
yang terlibat dalam partisipasi ini (Chifflet and Hernandez, 2016).

Chifflet, S. and Hernandez, J. A. (2016) ‘The Epithelial Sodium Channel and the
Processes of Wound Healing’, BioMed Research International, 2016, pp. 1–14. doi:
10.1155/2016/5675047.
79. Infiltrasi dan aktivitas leukosit di area luka akan meningkatkan ketersediaan ROS.
Reactive Oxygen Species dapat menyebabkan kematian sel dalam bentuk apoptosis dan
nekrosis. Apoptosis akibat ROS yang berlebihan dapat terjadi melalui jalur intrinsik.
Reactive Oxygen Species akan bereaksi dengan timin pada DNA sehingga menimbulkan
kerusakan pada untai tunggal DNA dan mendorong jalur intrinsik pada apoptosis.
Reactive Oxygen Species juga dapat menyebabkan peroksidasi lipid (Kumar et al., 2013).
Generasi ROS dan peroksidasi lipid dalam kematian sel. (a) Generasi ROS; ROS berasal
dari radikal superoksida, yang pembentukannya terutama melalui NADPH oksidase,
xantin oksidase, dan rantai transpor elektron mitokondria. Asam lemak tak jenuh ganda
yang mengandung fosfolipid dapat menghasilkan radikal alkoxyl (RO·) melalui reaksi
kimia Fenton. (b) Produk peroksidasi lipid menginduksi apoptosis dan autophagy melalui
jalur yang berbeda. (c) aktivitas GPX4 menurun dan penipisan GSH menyebabkan
peroksidasi lipid dan akibatnya ferroptosis (Su et al., 2019).

Su, L.-J. et al. (2019) ‘Reactive Oxygen Species-Induced Lipid Peroxidation in


Apoptosis, Autophagy, and Ferroptosis’, Oxidative Medicine and Cellular Longevity,
2019, pp. 1–13. doi: 10.1155/2019/5080843.

80. Infiltrasi dan aktivitas leukosit di area luka akan meningkatkan ketersediaan ROS.
Reactive Oxygen Species dapat menyebabkan kematian sel dalam bentuk apoptosis dan
nekrosis. Apoptosis akibat ROS yang berlebihan dapat terjadi melalui jalur intrinsik.
Reactive Oxygen Species akan bereaksi dengan timin pada DNA sehingga menimbulkan
kerusakan pada untai tunggal DNA dan mendorong jalur intrinsik pada apoptosis.
Reactive Oxygen Species juga dapat menyebabkan peroksidasi lipid (Kumar et al., 2013).
Sel imun menghasilkan ROS, yang dalam konsentrasi rendah memberikan pertahanan
terhadap mikroorganisme. Namun, pada luka kronis, lingkungan hipoksia dan inflamasi
yang dominan meningkatkan produksi ROS, yang merusak protein ECM dan
menyebabkan kerusakan sel. Urutan kejadian ini menyebabkan peningkatan stimulasi
protease dan sitokin inflamasi. Telah diterapkan dalam model hewan bahwa penerapan
antioksidan kuat dapat mengurangi ROS menjadi kadar normal, yang menghasilkan
kebalikan dari kronisitas luka dan meningkatkan penyembuhan (Frykberg and Banks,
2015).

Frykberg, R. G. and Banks, J. (2015) ‘Challenges in the Treatment of Chronic Wounds’,


Advances in Wound Care, 4(9), pp. 560–582. doi: 10.1089/wound.2015.0635.

81. Spesies oksigen reaktif-(ROS-) menginduksi peroksidasi lipid memainkan peran penting
dalam kematian sel termasuk apoptosis, autophagy, dan ferroptosis. Mekanisme
mendasar dan terkonservasi ini didasarkan pada kelebihan ROS yang menyerang
biomembran, menyebarkan reaksi berantai peroksidasi lipid, dan selanjutnya
menginduksi berbagai jenis kematian sel. Sebuah sistem antioksidan yang ada untuk
melindungi sel-sel dari kerusakan oksidatif. Dalam ulasan ini, kami membahas
bagaimana ROS menyebarkan reaksi berantai peroksidasi lipid dan bagaimana produk
peroksidasi lipid memulai apoptosis dan autophagy dalam model saat ini. Kami juga
membahas mekanisme peroksidasi lipid selama ferroptosis, dan kami merangkum
peroksidasi lipid dalam kondisi patologis penyakit kritis. Kami bertujuan untuk
menghadirkan pandangan yang lebih global dan integratif untuk mengetahui bagaimana
perbedaan peroksidasi lipid yang diinduksi ROS terjadi di antara apoptosis, autophagy,
dan ferroptosis (Su et al., 2019). Reactive Oxygen Species yang melalui peroksidasi lipid
juga dapat merusak membran sel dan lebih jauh dapat menyebakan terjadinya nekrosis
(Kumar et al., 2013).

Su, L.-J. et al. (2019) ‘Reactive Oxygen Species-Induced Lipid Peroxidation in


Apoptosis, Autophagy, and Ferroptosis’, Oxidative Medicine and Cellular Longevity,
2019, pp. 1–13. doi: 10.1155/2019/5080843.

82. Infiltrasi leukosit di jaringan dapat meingkatkan ketersediaan lisozim dalam jaringan
karena leukosit memiliki lisosom yang didalamnya mengandung enzim lisozim (Kumar
et al., 2013). Bila membran lisosom rusak (contoh: karena pengaruh ROS) maka lisozim
akan keluar dari lisosom dan mencerna/menghancurkan komponen-komponen sel
sehingga menyebabkan nekrosis (Kumar et al., 2013) Lisozim adalah protein monomer
kecil dari 129 residu asam amino, dengan aktivitas anti-inflamasi, anti-virus, bakterisida,
dan antihistamin. Ini telah banyak digunakan sebagai agen anti-bakteri. Lisozim
mendegradasi peptidoglikan di dinding sel bakteri, menyebabkan kematian cepat
organisme Gram-positif. Namun, lisozim tidak aktif terhadap sebagian besar bakteri
Gram-negatif karena tidak dapat menembus membran luar untuk mencapai targetnya,
lapisan peptidoglikan. Keterbatasan tambahan lisozim adalah bahwa struktur molekulnya
tidak stabil dan mudah dinonaktifkan. Secara klinis, sering digunakan dalam bentuk
mikro-balon atau dalam kombinasi dengan agen antimikroba lainnya (Zhou et al., 2018).

Zhou, D. et al. (2018) ‘Preparation of a balsa-lysozyme eco-friendly dressing and its


effect on wound healing’, RSC Advances, 8(24), pp. 13493–13502. doi:
10.1039/C8RA02629G.

83. Oxidative Stress yang diperantarai ROS (reactive oxygen species) memiliki peran penting
dalam pembentukan angiogenesis. Melalui dua jalur sinyal angiogenesis yang
dihubungkan oleh Oxidative Stress. Salah satunya adalah jalur sinyal yang mengandalkan
VEGF dan satunya lagi adalah jalur tidak mengandalkan VEGF (Paeng et al., 2015).
Angiogenesis adalah proses kompleks yang membutuhkan matriks ekstraseluler yang
padat dan kaya fibrin, serta stimulasi migrasi dan mitosis sel endotel. Banyak faktor
terlarut yang terlibat dalam angiogenesis, termasuk VEGF, faktor pertumbuhan fibroblast
(FGF), PDGF, angiopoietin dan banyak lainnya. Ekspresi VEGF meningkat dalam
beberapa jam setelah keratinosit, fibroblas, dan sel endotel di lokasi luka terkena
hipoksia. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ROS terlibat dalam
pensinyalan reseptor VEGF dan VEGF. H2O2 telah dilaporkan berpotensi merangsang
ekspresi VEGF dalam keratinosit [58] dan makrofag dalam kultur. ROS tidak hanya
meningkatkan transkripsi VEGF tetapi juga meningkatkan stabilitas mRNA VEGF dan
meningkatkan pelepasan VEGF. Teori tentang peran penting ROS dalam angiogenesis
yang diinduksi VEGF semakin diperkuat dengan adanya mekanisme spesifik yang
menjamin fungsi VEGF dalam lingkungan stres oksidatif. Ketika jumlah ROS meningkat,
protein berisiko mengalami kerusakan oksidatif. VEGF dilindungi dari kerusakan ini oleh
chaperone glypican-1 ekstraseluler, yang dapat mengembalikan kemampuan pengikatan
reseptor VEGF yang rusak akibat oksidasi (André-Lévigne et al., 2017).

André-Lévigne, D. et al. (2017) ‘Reactive Oxygen Species and NOX Enzymes Are
Emerging as Key Players in Cutaneous Wound Repair’, International Journal of
Molecular Sciences, 18(10), p. 2149. doi: 10.3390/ijms18102149.
84. Selama proses angiogenesis, terdapat dua sumber ROS endogen yang terlibat, yaitu
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase dari anggota NOX dan
reaksi rantai transportasi elektron di mitokondria. Nicotinamide Adenine Dinucleotide
Phosphate oksidase merupakan sumber utama ROS dalam sel endotel menghasilkan O2•-
dengan mentransfer elektron dari NADPH menjadi oksigen. Terdapat tujuh isoform
NADPH oksidase yang diekspresikan pada mamalia, yaitu, Nox1, Nox2 (sebelumnya
gp91phox), Nox3, Nox4, Nox5, Dux1, dan Duox2. Homolog NADPH oksidase ini terdiri
dari subunit berikut: gp91phox (sekarang disebut Nox2), p22phox, p40phox, p47phox,
p67phox, dan GTPase Rac1. Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate oksidase
dapat diaktifkan oleh berbagai faktor pertumbuhan termasuk VEGF, angiopoietin-1,
iskemia, hipoksia, dan ROS yang berasal dari mediasi NADPH oksidase pada
autofosforilasi VEGFR-2 (Bösmüller et al., 2018). Pada fase proliferasi, aktivitas seluler
mendominasi sebagai respons terhadap peningkatan kadar sitokin seperti faktor
pertumbuhan epidermal (EGF), VEGF dan TGF-β. Re-epitelisasi dimulai saat keratinosit
dan sel punca epitel berproliferasi dan bermigrasi melalui ECM sementara yang kaya
akan fibrin/fibronektin. Saat inflamasi berkurang, rekonstitusi dermal berlangsung, dan
sel endotel serta fibroblas mulai menumpuk di lokasi luka untuk mensintesis jaringan
granulasi. Angiogenesis dan fibroplasia terjadi secara bersamaan, menyediakan oksigen,
nutrisi, dan matriks yang sangat terhidrasi untuk mempertahankan aktivitas seluler
tingkat tinggi. Fibroblas memainkan peran penting dalam memproduksi zat ECM dari
matriks ini (kolagen, fibronektin, glikosaminoglikan, proteoglikan dan asam hialuronat),
yang berinteraksi dengan sel untuk memediasi migrasi, pertumbuhan, dan diferensiasi
(Zhao et al., 2016).

Zhao, R. et al. (2016) ‘Inflammation in Chronic Wounds’, International Journal of


Molecular Sciences, 17(12), p. 2085. doi: 10.3390/ijms17122085.

85. Angiogenesis diinduksi oleh hipoksia jaringan dan ROS yang dapat bergantung atau tidak
bergantung pada VEGF. Reactive Oxygen Species konsentrasi rendah memfasilitasi
angiogenesis dalam penyembuhan luka dan perbaikan kulit yang terlibat dalam VEGF
dan pensinyalan reseptor. Hypoxia Inducible Factor 1 (HIF1) sebagai penginduksi kuat
pelepasan VEGF diaktifkan oleh ROS untuk memulai angiogenesis melalui pemicuan
ekspresi VEGF selama proses penyembuhan luka. Angiogenesis dapat diinduksi oleh OS
yang dimediasi ROS melaui proses yang bergantung pada VEGF. Vascular Endhotel
Growth Factor dapat mendorong angiogenesis melalui proses pengikatan dengan reseptor
VEGF-2 (VEGFR-2) dalam sel endotel. Pengikatan VEGF ke VEGFR-2 memungkinkan
pengaktifan serangkaian transduksi sinyal, termasuk fosfolipase C gamma (PLCγ) dan
phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K) dan merangsang Raf-MAPK-ERK (mitogen-
activated protein kinase/extracel) jalur signal-regulated kinase sehingga membantu
angiogenesis (Laschke and Menger, 2012). VEGF-activated VEGFR-2 plays important
roles in mediating the formation of new blood vessels under various pathological
conditions and processes, including wound healing (Wang et al., 2020).

Wang, X. et al. (2020) ‘Molecular Bases of VEGFR-2-Mediated Physiological Function


and Pathological Role’, Frontiers in Cell and Developmental Biology, 8. doi:
10.3389/fcell.2020.599281.

Anda mungkin juga menyukai