Anda di halaman 1dari 43

PENGARUH MESENCHYMAL STEM CELL YANG DIHIPOKSIA

TERHADAP KADAR PDGF

(Studi Eksperimental In Vitro pada Mesenchymal Stem Cell)

HALAMAN JUDUL

Skripsi
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Diajukan Oleh :

Aviv Azalia Nurchumaeroh

30.101.306887

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2017
INTISARI

Platelet Derived Growth Factor (PDGF) adalah faktor protein atau


pertumbuhan yang dapat mengatur pembelahan dan pertumbuhan sel. Khususnya,
mempunyai peran penting dalam pembentukan pembuluh darah. Kondisi hipoksik
akan mengekspresikan pro inflamasi oleh karena MSC yang akan bekerja efektif
pada suasana tersebut dengan meningkatkan kadar PDGF, namun pada saat ini
belum diketahui apakah hipoksik berpengaruh pada MSC untuk mengeluarkan
PDGF. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui pengaruh Mesenchymal Stem
Cell yang dihipoksia terhadap kadar PDGF.
Metode penelitian eksperimental secara in vitro menggunakan post test
control group design pada Mesenchymal Stem Cell yang dibagi menjadi 2
kelompok. Kelompok kontrol tidak mengalami proses hipoksia (normoksia) dan
kelompok perlakuan yang mengalami proses hipoksia (kadar O2 4%) selama 24
jam, selanjutnya dilakukan pengukuran kadar PDGF dengan menggunakan
ELISA. Hasil data penelitian diuji menggunakan independent sample t-test.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah rata-rata kadar PDGF pada
kelompok kontrol (57.32±1.32 pg/ml) dan kelompok perlakuan (72.46±0.62
pg/ml). Hasil uji independent sample t-test menunjukkan perbedaan yang
bermakna dengan nilai p=0,000 (p<0,05).
Kesimpulan penelitian ini menunjukan terdapat pengaruh Mesenchymal
Stem Cell (MSC) yang dihipoksia terhadap kadar PDGF.

Kata Kunci : Mesenchymal Stem Cell, Hipoksia, PDGF.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penelitian dalam bidang Stem cell akhir-akhir ini mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Stem cell digunakan oleh para peneliti

untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan jaringan pada tubuh

manusia (Ahmad, 2008). Mesenchymal Stem cell (MSC) adalah sel yang

memiliki kemampuan membentuk ulang dirinya, membentuk sel lain yang

spesifik, serta mengeluarkan mediator perbaikan jaringan (Setiawan, 2008).

Hipoksia merupakan kondisi terjadinya defisiensi oksigen, yang dapat

mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel

serta penyebab penting dan umum dari cedera dan kematian sel (Kumar et

al, 2005). Sel yang mengalami kerusakan akan berupaya survive dengan

mengeluarkan berbagai molekul diantaranya Platelet Derived Growth

Factor (PDGF) (Kwon et al, 2013). PDGF adalah faktor protein atau

pertumbuhan yang dapat mengatur pembelahan dan pertumbuhan sel

(Hannink dan Donoghue, 1989). Sel pada kondisi hipoksia akan

mengekspresikan molekul PDGF yang membuat MSC bekerja efektif.

Namun hingga kini publikasi terkait pengaruh MSC yang di hipoksia

terhadap kadar PDGF belum banyak di jumpai.

MSC dapat aktif saat jaringan mengalami kerusakan termasuk pada

saat keadaan hipoksia (Berk et al, 2010). Data penelitian dengan

1
2

penggunaan mesenchymal stem cell menyebutkan bahwa terjadi perbedaan

penggunaan MSC pada berbagai penyakit, diantaranya seperti Myocardial

Infarction (22,9%), graft versu host disease (16,0%), brain injury (0,4%),

parkinson’s disease (0,8%) (Xin, 2013). Data tersebut secara jelas

menunjukkan perbedaan dalam jumlah persentase. Diduga salah satu

faktornya oleh karena tidak berfungsinya MSC atau MSC tidak aktif. Hal ini

didukung penelitian sebelumnya dalam keberhasilan terapi MSC yang aktif

(Marr et al, 2010). Ketidakaktifan MSC berpotensi menyebabkan kegagalan

terapi yang berimplikasi pada beban ekonomi seseorang bahkan kecacatan

dan kematian.

MSC dapat diperoleh dari berbagai faktor seperti dari darah tepi,

darah plasenta, jaringan lemak, umbilcal cord dan sumsum tulang.

Keberhasilan produksi bergantung berbagai faktor seperti metode isolasi

dan penggunaan medium kultur Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium

(DMEM) dan Minimum Essential Medium Eagle (MEM) untuk produksi

MSC yang diisolasi dari umbilical cord (Berk et al, 2010). MSC akan

tercapai keberhasilan terapi apabila pada keadaan homing (Nauta dan

Fibbe, 2007). Dibutuhkan teknik yang sesuai untuk menghindari kegagalan

regenerasi pada terapi dengan MSC yang dapat menimbulkan kerugian pada

pasien. Saat kondisi homing, reseptor akan berikatan dengan TNF-α yang

akan mengaktifkan p38 mitogen-activated protein kinase (p38-MAPK).

Dengan adanya kerja hipoksia, MSC akan terjadi stress DNA dan akan aktif

saat jalur p38-MAPK juga teraktifasi, sehingga dapat menghasilkan


3

mediator-mediator untuk penyembuhan luka seperti Platelet Derived

Growth Factor (PDGF), Transforming Growth Factor (TGF-β1), Fibroblast

Growth Factor (FGF), angiopoietin, interleukin (IL)1, IL6, Tumor Necrosis

Factor Alpha (TNF-α) dan interferon gamma (IFN-γ) yang bisa merangsang

angiogenesis dan akan mempercepat penyembuhan luka (Kwon et al, 2013).

Mesenchymal Stem cell dalam penyembuhan kerusakan jaringan dengan

cara diferensiasi, yaitu dengan mengaktifkan sel progenitor yang sudah ada

dan induksi, yaitu dengan mengaktifkan hemopoetik stem sel inaktif yang

dihipoksia menjadi aktif, kemudian dalam intraseluler mengaktifkan

monocyte yang pada jaringan dapat meningkatkan jumlah makrofag yang

dapat merangsang faktor pertumbuhan yaitu PDGF, TGF-β dan IL (Kwon et

al, 2013). Meningkatnya penelitian terkait dengan stem cell dipicu karena

dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit yang sulit disembuhkan

(Marr et al, 2010).

Berdasarkan hal tersebut diatas maka diperlukan upaya penelitian

berupa pengkondisian MSC dengan cara dihipoksia dengan kadar O2

sebesar 4% selama 24 jam untuk menganalisis kadar PDGF.

1.2. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh Mesenchymal Stem Cell yang dihipoksia terhadap

kadar Platelet Derived Growth Factor (PDGF)?


4

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Untuk mengetahui pengaruh Mesenchymal Stem Cell yang

dihipoksia terhadap kadar Platelet Derived Growth Factor (PDGF).

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Untuk mengetahui gambaran Platelet Derived Growth


Factor (PDGF) yang disekresi Mesenchymal Stem Cell

pada kondisi hipoksia

1.3.2.2. Untuk mengetahui pengaruh Mesenchymal Stem Cell


yang dihipoksia dengan kadar O2 sebesar 4% terhadap

kadar Platelet Derived Growth Factor (PDGF)

dibandingkan kontrol

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

1.4.1.1. Memberikan sumber pengetahuan kepada bidang ilmu


kedokteran.

1.4.1.2. Sebagai acuan untuk peneliti selanjutnya tentang pengaruh


Mesenchymal Stem Cell (MSC) terhadap jumlah sel

fibroblas pada penyembuhan luka eksisi.


5

1.4.2. Manfaat Praktis

 Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai

Mesenchymal Stem Cell yang dihipoksia terhadap kadar Platelet

Derived Growth Factor (PDGF).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PDGF (Platelet-Derived Growth Factor)

2.1.1. Definisi
Platelet-derived growth faktor (PDGF) merupakan mitogen

yang kuat untuk mesenchymal stem cell, termasuk sel glial dan sel

otot polos. Di manusia dan tikus, jaringan signaling PDGF terdiri

dari beberapa ligan, PDGF-D, dan dua reseptor, PDGFR alpha dan

PDGFR beta. Di sintesis, disimpan (dalam butiran alpha trombosit),

dan dikeluarkan oleh trombosit saat aktivasi, juga di produksi pada

sejumlah besar sel termasuk makrofag, sel-sel endotel, dan otot polos

(Heldin, 1992). PDGF adalah faktor protein atau pertumbuhan yang

mengatur pembelahan dan pertumbuhan sel. Khususnya, mempunyai

peran penting dalam pembentukan pembuluh darah (angiogenesis)

(Hannink dan Donoghue, 1989).

2.1.2. Mekanisme
Reseptor untuk PDGF, PDGFR dapat diklasifikasikan sebagai

Reseptor Tirosin Kinase (RTK), jenis reseptor permulaan sel. Dua

jenis PDGFRs dapat diidentifikasi: yaitu beta dan alpha PDGFRs.

Pada jenis beta PDGFRs megikat dengan afinitas tinggi untuk

PDGF-AB dan PDGF-BB, sedangkan pada jenis alpha mengikat

PDGF-AA, PDGF-AB, dan PDGF-BB. PDGF akan mengikat ligan

6
7

PDGFRs yang berada dalam domain imunoglobin kedua dan ketiga

(Heidaran et al, 1990). Setelah aktivasi oleh PDGF, semua reseptor

ini akan diaktifkan dan dimirise dengan auto-fosforilasi di beberapa

situs domain sistolik mereka, yang akan difungsikan untuk

memediasi pengikatan kofaktor yang kemudian mengaktifkan sinyal

transduksi, contohnya, pada jalur spesies oksigen reaktif (ROS)

aktivasi dimediasi dari jalur STAT3, biasanya juga melalui P13K

(Blazevic et al, 2013). Efek akan meregulasi siklus sel dan ekspresi

gen. peran P13K telah diteliti oleh beberapa laboratorium. Banyak

data menunjukkan secara umum, bagian dari kompleks sinyal

pertumbuhan, mempunyai peran yang lebih besar dalam

mengendalikan perpidahan sel atau migrasi. Sebagian lisosom yang

berbeda mempunyai afinitas untuk variable isoform reseptor, dan

biasanya membentuk dimer hetero atau homo. Hal ini dapat

menyebabkan spesifitas sinyal hilir. Telah di buktikan bahwa

onkogenesis didapatkan dari rantai gen PDGF BB. PDGF BB

merupakan ligan dengan afinitas yang paling tinggi untuk PDGF-

beta; PDGFR beta merupakan kunci dari aktivitas sel stellate hati

dalam proses fibrogenesis (Yu et al, 1995).

2.1.3. Fungsi
PDGF yang mitogenik pada tahap perkembangan awal akan

mendorong proliferasi mesenkim dan berdiferensiasi beberapa

populasi progenitor. Dalam tahap pematangan sinyal PDGF telah


8

terlibat dalam renovasi jaringan dan diferensiasi sel, dan pada

peristiwa induktif yang terlibat dalam beberapa pola penambahan

morphogenesis, dan dapat mengendalikan proliferasi mesenchymal,

PDGF telah dibuktikan untuk mengarahkan perpindahan, diferensiasi

dan beberapa fungsi dari jenis mesenchymal khusus dan migrasi sel,

pada tahap perkembangan dan pada hewan dewasa. PDGF berperan

dalam perkembangan embrio, angiogenesis, proliferasi, dan migrasi

sel. PDGF adalah elemen yang diperlukan dalam divisi seluler untuk

fibroblast, sejenis sel jaringan ikat yang lazim pada penyembuhan

luka. Sementara PDGF memungkinkan sel untuk melewati

pemeriksaan GI. Hal ini menunjukkan dalam monosit-makrofag dan

fibroblast, eksogen PDGF akan merangsang kemoktaksis, proliferasi,

dan ekspresi gen dan secara signifikan akan ditambah masuknya

beberapa sel inflamasi dan fibroblast, dan mempercepat matriks dan

pembentukan kolagen maka akan mempercepat waktu terjadinya

proses penyembuhan (Joukov et al,1995)

PDGF dikenal untuk mempertahankan proliferasi sel

progenitor oligodendrocyte. Hal tersebut menunjukkan bahwa

Fibroblast Growth Factor (FGF) dapat mengaktifkan jalur sinyal

yang positif mengatur reseptor PDGF dalam sel progenitor

oligodendrocyte (McKinnon et al, 1990).


9

2.2. Stem Cell

Stem cell terdapat pada setiap jaringan/organ tubuh manusia di

segala usia, termasuk yang telah lanjut usia. Stem cell memiliki dua sifat

penting yang sangat berbeda dengan sel yang lain, yaitu (1) stem cell

merupakan sel yang belum terspesialisasi fungsinya tetapi dapat

memperbaharui diri dengan pembelahan sel bahkan setelah tidak aktif

dalam waktu yang panjang. (2) Dalam situasi tertentu, stem cell dapat

diinduksi untuk menjadi sel dengan fungsi tertentu seperti sel jaringan

maupun sel organ yang mempunyai tugas tersendiri.

Selain stem cell mesenkimal, terdapat pula stem cell hematopoietic,

stem cell saraf (neural stem cell), stem cell kulit, stem cell jantung, stem

cell hati, stem cell fetal, stem cell kanker, dan lain lain. Sumber dari adult

stem cell dapat ditemukan di sumsum tulang, aliran darah, kornea dan

retina mata, gusi, hati, kulit, sistem pencernaan, dan pankreas (Halim et al,

2010).

Berdasarkan potensinya, stem cell dibagi menjadi 4, yaitu: stem cell

totipotensi, pluripotensi, multipotensi, dan unipotensi.

1. Stem cell totipotent, berasal dari kata “Toti” yang berarti total adalah

stem cell yang memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi semua

jenis sel embrionik maupun dewasa, termasuk sel benih yaitu sel telur

dan sel sperma.


10

2. Stem cell pluripotent, berasal dari kata “Pluri” yang artinya jamak

adalah stem cell yang memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi

semua jenis sel dalam tubuh kecuali struktur ekstra embrionik.

3. Stem cell multipotent adalah stem cell yang dapat berdiferensiasi

menjadi beberapa sel dewasa namun tidak semua jaringan atau sel

dalam tubuh.

4. Stem cell unipotent, berasal dari kata “Uni” yang berarti tunggal

adalah stem cell yang hanya dapat menghasilkan satu jenis sel

tertentu, tetapi memiliki kemampuan untuk memperbaharui diri yang

tidak dimiliki oleh sel lain.

Sedangkan berdasarkan asalnya, stem cell dibagi menjadi:

1. Embryonic stem cell

Merupakan stem cell yang diambil dari embrio pada fase

blastosit (5-7 hari setelah pembuahan). Massa sel bagian dalam

mengelompok dan mengandung stem cell embrionik. Sel-sel diisolasi

dari bagian dalam sel dan dikultur secara in vitro. Stem cell embrional

dapat diarahkan menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada

organisme dewasa, seperti sel-sel darah, sel-sel otot, sel-sel hati, sel-

sel ginjal, dan sel-sel lainnya.

a) Embryonic germ cell (stem cell germinal/benih)

Sel germinal/benih (seperti sprema/ovum) embrionik

induk/primordial (primordial germ cells) dan prekursor sel

germinal diploid ada sesaat pada embrio sebelum terasosiasi


11

dengan sel somatik gonad dan kemudian menjadi sel germinal. Sel

germinal embrionik manusia/human embryonic germ cells (hEGCs)

termasuk stem sel yang berasal dari sel germinal primordial dari

janin berumur 5-9 minggu. Stem sel jenis ini memilki sifat

pluripotensi.

b) Fetal stem cell

Fetal stem cell adalah sel primitif yang dapat ditemukan pada

organ-organ fetus (janin) seperti sel hematopoietik fetal dan

progenitor kelenjar pankreas. Stem cell neural fetal yang ditemukan

pada otak janin menunjukkan kemampuan untuk berdiferensiasi

menjadi sel neuron dan sel glia (sel-sel pada sistem saraf pusat).

Stem cell hematopietik fetal banyak ditemukan di darah, plasenta,

dan tali pusat janin.

2. Adult Stem Cell

Adult stem cell merupakan stem cell yang diisolasi dari jaringan

dewasa, memiliki dua karakteristik utama yaitu, pertama, mereka

mampu membuat salinan sel yang identik dengan dirinya sendiri

untuk periode waktu yang lama. Kedua, mampu berdiferensiasi

menjadi jenis sel matur dengan karakteristik morfologis dan fungsi

tertentu.Adult stem cell harus clonogenic, yaitu mampu menghasilkan

turunan sel yang secara genetik identik, yang kemudian berkembang

menjadi sel yang tepat sesuai dengan jaringan di sekitarnya (Aini et al,

2008).
12

a) Hematopoietic Stem Cell

Salah satu macam adult stem cell adalah Hematopoietic Stem

Cell (HSC) atau stem sel hematopoietik, yaitu stem cell pembentuk

darah yang dapat membentuk sel darah merah, sel darah putih, dan

keping darah yang sehat. Sumber HSC adalah sumsum tulang, darah

tepi, dan darah dari tali pusar. Pembentukan stem sel hematopietik

terjadi pada tahap awal embriogenesis, yaitu dari mesoderm dan

disimpan pada situs-situs spesifik di dalam embrio.

b) Mesenchymal Stem Cell

Mesenchymal Stem Cell (MSC) atau stem cell mesenkim dapat

ditemukan pada stroma sumsum tulang belakang, periosteum, lemak,

dan kulit. MSC termasuk stem cell multipontensi yang dapat

berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang, otot, ligamen, tendon, dan

lemak. Namun ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa sebagian

MSC bersifat pluripotensi sehingga tidak hanya dapat berubah

menjadi jaringan mesodermal tetapi juga endodermal.

2.3. Mesenchymal Stem Cell (MSC)

Mesenchymal Stem Cell merupakan satu dari stem cell dewasa yang

belum berdiferensiasi, bisa ditemukan dalam keadaan inaktif pada jaringan

yang memiliki fungsi yang spesifik dalam tubuh. Pada stem cell ini

mampu berdiferensiasi menjadi kondrosit, osteosit, adiposit, dan beberapa

jenis sel penyusun jaringan ikat yang lainnya. Tetapi, Mesencymal Stem
13

Cell dapat melakukan transdiferensiasi yang biasanya terjadi pada stem

cell tersebut, contohnya menjadi sel-sel saraf (Halim et al, 2010).

Konsensus The International Society of Cellular Therapy, sel yang

tergolong dalam Mesenchymal Stem Cell harus mempunyai karakteristik

seperti; pertama, MSC harus menempel pada permukaan plastik saat

dilakukan kultur di cawan palstik. Kedua, MSC mempunyai molekul

protein permukaan (Cluster of Differentiation/CD): CD73, CD90, dan CD

105. Berbeda dengan Stem Cell hematopoeitik, Mesenchymal Stem Cell

tidak mengekspresikan CD45, CD 34, CD14, dan Human Leukocyte

Antigen-DR (HLA-DR). Ketiga, dapat melakukan diferensiasi sesuai 3

jalur utama diferensiasi mesenchymal, yaitu jalur osteogenik (menjadi sel

tulang/osteosit), jalur kondrogenik (menjadi sel tulang rawan/kondrosit),

dan jalur adipogenik (menjadi sel lemak/adiposit) in vitro (Dominici et al,

2006).

Mesenchymal Stem Cell dapat mengalami proliferasi dan

berdeferensiasi yang bisa menghasilkan beberapa produk mulai dari faktor

pertumbuhan sampai pada signal molekuler, sitokin yang bisa memacu dan

berkomunikasi dengan sel yang lainnya atau dengan sel itu sendiri dan

mepunyai sifat parakrin yaitu menstimulasi sel yang lainnya untuk menjadi

aktif di dalam proses penyembuhan. Itu adalah awal aktifitas sel yang

sedang berkembang maka yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk

homing yaitu sel bisa berhenti di sel atau jaringan bahkan organ target,

menempel, proliferasi dan deferensiasi (Halim et al, 2010).


14

2.4. Hipoksia

2.4.1. Definisi
Hipoksia adalah dimana terjadi defisiensi oksigen, yang dapat

mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif

aerob sel. Hipoksia adalah penyebab yang paling penting dan

umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya

hipoksia, sel dapat mengalami adaptasi, cedera atau kematian

(Kumar et al, 2005)

2.4.2. Mekanisme Hipoksia


Hipoksia dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, di

antaranya: (Braunwald, 2006)

- Intoksikasi karbon monoksida (CO)

- Hipoksia sirkulatoris

- Hipoksia yang spesifik organ

- Peningkatan kebutuhan O2

- Penggunaan (utilisasi) O2 yang tidak adekuat

Pada tingkat sel, hipoksia dapat mengakibatkan cedera sel

melalui beberapa mekanisme, seperti deplesi energy yang berguna

untuk metabolisme sel akibat penurunan fosforilasi oksidatif,

gangguan fungsi enzim – enzim, kerusakan mitokondria, dan stress

oksidatif yang menyebabkan gangguan fungsi pada tingkat organ.

Stress oksidatif merupakan penyebab penting pada kerusakan

bahkan kematian pada sel. Stress oksidatif terjadi akibat


15

ketidakseimbangan produksi dan eliminasi (scavenging) radikal

bebas. Radikal bebas merupakan atom, molekul, atau komponen

yang tak stabil konfigurasi atom molekularnya, akibat adanya satu

atau lebih elektron bebas yang tidak berpasangan. Salah satu

contoh dari radikal bebas adalah spesies oksigen reaktif yang

secara fisiologis dibangkitkan secara konstan sebagai bagian dari

reaksi reduksi – oksidasi selama proses metabolisme aerob.

Sebagai mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas, sel

memiliki system antioksidan, di antaranya enzim-enzim

antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), glutation

peroksidase, dan katalase.

Pada hipoksia akan terjadi peningkatan produksi spesies

oksigen reaktif seperti anion superoksida (O2), radikal hidroksil

(OH), dan hydrogen peroksida (H2O2) dari sel parenkim dan

endotel vaskuler yang hipoksia. Sel-sel hipoksia yang mengalami

kerusakan melepas mediator-mediator inflamasi seperti PDGF,

interleukin (IL)-6, dan tumor necrosis factor (TNF)-α yang bersifat

kemotaktik terhadap sel-sel inflamatoris, leukosit, terutama

makrofag dan neutrofil yang bermigrasi ke lokasi inflamasi

melepaskan spesies oksigen reaktif, meningkatkan akumulasinya

pada area yang mengalami hipoksia. Pada keadaan hipoksia saat

terjadi peningkatan stress oksidatif yang terus menerus melalui

produksi Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang merupakan radikal


16

bebas menyebabkan kondisi patologis yang dapat mengaktifkan

kaskade apoptosis. Apoptosis adalah sebuah model kematian sel

yang digunakan organisme multiseluler untuk membuang

multiseluler untuk membuang sel yang tidak diinginkan dalam

sebuah diversitas keadaan. Sel yang mengalami bentuk kemtian,

awalnya membentuk rounded dan retraksi dari sel yang berdekatan,

yang mengingatkan kepada apa yang juga terjadi ketika sel

mengalami mitosis. Kemudian diikuti periode memanjang blebbing

membrane plasma yang dinamis, seringkali kulminasi dengan

terjadinya “pinching off” sebagai vesikel kecil yang dinamakan

apoptotic bodies. Sel yang mengalami apoptosis dikenali sebagai

bentuk berbeda dengan sel viable konterpartnya, dan akan segera

dilakukan pembersihan oleh sel phagosit (Kerr, 1972; Wyllie

1980). Proses apoptosis menjadi faktor utama pathogenesis

kegagalan MSC (Kong et al, 2007). Dikatakan normoksia jika

kondisi oksigen 21% (Campagnoli et al, 2001).

2.4.3. Manifestasi Hipoksia pada Tingkatan Seluler


Hipoksia dapat menginduksi mekanisme adaptasi, kerusakan,

hingga kematian sel. Kematian dan kerusakan sel terjadi melalui

beberapa mekanisme berikut. Sel dapat menghasilkan energi

dengan melalui reduksi molekul O2 menjadi H2O. Dalam proses

metabolisme yang normal, beberapa molekul oksigen reaktif yang

tereduksi dalam jumlah sedikit untuk produk sampingan respirasi


17

mitokondrial. Beberapa molekul oksigen reaktif yang tereduksi

dikenal dengan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species,

ROS). Sel memiliki mekanisme untuk pertahanan mencegah

kerusakan karena akibat melokeul ini, yang biasanya dikenal

sebagai sistem antioksidan. Ketidakseimbangan diantara proses

pembentukan dan eliminasi radikal bebas akan berakibat pada

stress oksidatif. Pada hipoksia, gangguang pada homeostasis ini

dapat disebabkan melalui kedua mekanisme. Fungsi enzim

antioksidan seperti hidrogen peroksidase, superoksida dismutase,

katalase menurun akibat penurunan pH sel dan fungsi DNA

(Nakanishi et al, 1995).

Produksi oksigen reaktif akan meningkat. Jenis oksigen reaktif

ini berasal dari sel parenkim jaringan, endotel vaskuler, ataupun

dari leukosit yang menginfiltrasi karena adanya inflamasi. Anion

superoksida dapat di hasilkan sebagai hasil proses reduksi oksigen

yang tidak sempurna oleh karena mitokondria yang mengalami

kerusakan atau akibat karena aktivasi oksidase sel parenkim,

leukosit maupun endotel (Kumar et al, 2005)

Hipoksia akan menginduksi inflamasi dengan pelepasan

mediator inflamasi oleh endotel yang di hipoksia maupun sel

parenkim (Nakanishi et al, 1995). Neutrofil merupakan salah satu

efektor inflamasi akut yang bekerja dengan membangkitkan radikal

bebas.
18

2.5. Hubungan Mesenchymal Stem Cell (MSC) yang Dihipoksik Terhadap


Kadar PDGF

Mesenchymal Stem Cell berperan aktif saat jaringan mengalami

kerusakan dan dibutuhkan mediator-mediator pro-inflamasi seperti Tumor

Necrosis Factor (TNF-α) (Berk et al, 2010). Saat berperan aktif, MSC akan

merelease molekul-molekul salah satunya Platelet derived growth factor

(PDGF) (Kwon et al, 2013). Hal yang sama juga terjadi pada hipoksia.

Hipoksia adalah terjadinya defisiensi oksigen, yang mengakibatkan

kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob (Kumar et al,

2005). Hipoksia, akan menyebabkan pengeluaran PDGF yang diduga

melalui stress DNA dengan melepaskan HSP. Heat Shock Protein (HSP)

adalah protein intraseleluler yang umumnya memiliki fungsi protektif pada

keadaan infeksi maupun stress seluler (Osterud dan Bjorklid, 2003). HSP

dikeluarkan oleh sel-sel yang telah rusak dan menempati permukaan sel.

Adanya HSP pada permukaan sel ini memberi tanda bahwa telah terjadi

tekanan dan kerusakan pada sel (Jolly dan Marimoto, 2000). Dengan HSP

yang keluar maka dapat menyebabkan proses transkripsi dna molekul yang

diantaranya PDGF. PDGF yang ditranslasi ke sitoplasma kemudian akan

dilepas ke ekstraseluler.
19

2.6. Kerangka Teori

Mesenchymal Stem Cell

Hipoksia (O2 4%)

Stress MSC

Stress DNA

Heat Shock Protein

Transkripsi

PDGF VEGF TGF

Kadar PDGF Suhu

pH

CO2

2.7 Kerangka Konsep

Mesenchymal Stem Cell yang Kadar PDGF


dihipoksia
20

2.8 Hipotesis

Terdapat pengaruh Mesenchymal Stem Cell yang dihipoksia terhadap kadar

Platelet Derived Growth Factor (PDGF).


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan

menggunakan rancangan “Post Test Only Control Group Design”.

3.2. Variabel dan Definisi Operasional


3.2.1. Variabel Penelitian

3.2.1.1. Variabel Bebas : Mesenchymal Stem Cell yang

dihipoksia

3.2.1.2. Variabel Tergantung : Kadar Platelet Derived Growth

Factor (PDGF)

3.2.2. Definisi Operasional

3.2.2.1. Mesenchymal Stem Cell yang dihipoksia

Hipoksia adalah terjadinya defisiensi oksigen, yang

mengakibatkan kerusakan sel MSC akibat penurunan

respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksika dilakukan dengan

pemberian CO2 dalam chamber dengan kadar 4% O2

menggunakan alat oxygen meter pada chamber yang

didalamnya terdapat MSC dengan waktu 24 jam.

Skala : Rasio

21
22

3.2.2.2. Mesenchymal Stem Cell yang tidak dihipoksia

Mesenchymal Stem Cell yang tidak dilakukan hipoksia atau

kontrol dengan dikatakan normoksia jika kondisi oksigen

21%. Kontrol dilakukan hanya dengan diinkubasi selama 24

jam.

3.2.2.3. Kadar Platelet Derived Growth Factor (PDGF)

PDGF adalah protein yang dihasilkan oleh MSC yang

dihipoksia. Dalam penelitian ini didapat dari medium MSC

yang telah dihipoksia dan diinkubasi selama 24 jam.

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Enzyme-

Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dengan satuan

(pg/ml).

Skala : Rasio

3.3. Subjek Penelitian


Subyek dari penelitian ini adalah mesenchymal stem cell dengan

kriteria sebagai berikut:

3.3.1. Kriteria inklusi:

 Mesenchymal Stem Cell yang konfluens 80%

3.3.2. Kritera Drop out:

 Terjadinya kontaminasi pada sel

3.3.3. Kriteria faktor perancu

 Suhu 37°C
23

 PH 7 (normal)

 CO2 5% yang dikendalikan

3.4. Instrumen dan Bahan Penelitian


3.4.1. Instrumen

1. Micropipette with tip (blue tip, yellow tip, pink tip)

2. Pipette filler

3. Conical tube (15 ml, 50 ml)

4. Cryotube 1 ml

5. Inverted microscope

6. CO2 cylinder

7. Scissor

8. Pinset

9. Scalpel dan bisturi

10. Thermostirrer

11. Sentrifuge

12. Beaker glass

13. Aluminium foil

14. Dish

15. Flask

16. Chamber

17. Oxygen meter

18. Tabung CO2


24

19. Imunocytochemistry

20. Biosafety Cabinet class 2

21. CO2 Incubator

22. Hotplate stirrer

23. Disposable pipet

24. Heparin tube

25. Cell counter

26. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

3.4.2. Bahan Penelitian

1. Mesenchymal Stem Cell

2. NaCl 0.9%

3. FBS

4. PDGF ELISA kit

5. Medium dMEM

6. Alkohol 70%

7. Fungizon 0.5%

8. Streptomisin-penicilin 1% (penstrep)

9. PBS

10. Aquadest
25

3.5. Cara Penelitian


3.5.1. Teknik Isolasi Mesenchymal Stem Cell dari Umbilical Cord

Seluruh proses dilakukan di dalam biosafety cabinet class 2,

menggunakan peralatan yang steril dan dikerjakan dengan teknik

sterilitas yang tinggi.

1. Kumpulkan umbilical cord dan simpan dalam wadah steril yang

mengandung NaCl 0.9%.

 Jika tidak diproses secara langsung, simpan pada suhu 4C

sampai proses isolasi (12-24 jam).

 Jika dilakukan isolasi segera pada saat pengambilan

umbilical cord, tidak perlu disimpan pada suhu 4C.

2. Meletakkan umbilical cord ke petri dish dengan menggunakan

pinset, lalu cuci umbilical cord sampai bersih dengan PBS.

3. Potong umbilical cord menjadi 3-5 cm dengan pisau steril.

4. Buang pembuluh darah yang ada pada potongan umbilical.

5. Tempatkan potongan umbilical 3-5 cm ke petri dish yang steril.

6. Tiap potongan umbilical dihancurkan dengan gunting mata.

tajam atau bisturi menjadi potongan-potongan kecil sebesar 1

mm.

7. Tempatkan hasil potongan kecil umbilical dengan menggunakan

pinset pada cawan kultur jaringan 60 mm , dengan susunan titik-

titik yang tersebar rata pada permukaan cawan kultur jaringan.


26

8. Bersihkan medium komplit (MEM yang ditambahkan dengan

fungizon, penstrep, dan FBS) sebanyak 2-3 ml.

9. Inkubasi dalam incubator dengan suhu 37C dan 5% CO2.

10. Amati tiap 24 jam, untuk melihat ada sel yang keluar dari spot

penanaman explan (kira-kira 14 hari akan muncul sel dari

explan).

11. Ganti medium tiap 2-3 hari sekali dengan cara membuang

separuh medium dengan menggunakan micropipette diganti

dengan fresh medium komplit sebanyak yang dibuang.

12. Setelah sel muncul dari explan, tambahkan medium komplit

menjadi 5 ml.

13. Setelah 24-72 jam dari munculnya sel explan, sel yang

mengapung dipindahkan ke cawan petri jaringan yang baru

dengan cara:

 Ambil semua medium dan masukkan ke conical tube 15 ml

 Sentrifugasi 2000 rpm selama 10 menit

 Buang supernatant.

 Resuspensi pellet dengan medium komplit.

3.5.2. Kultur Sel

1. Tanam ke cawan petri jaringan.

2. Inkubasi 37C dan 5% CO2.

3. Ganti setengah medium tiap 2-3 hari sekali sampai sel konfluens

80%.
27

3.5.3. Proses Pemanenan Sel

1. Panen sel dilakukan menggunakan panen sel ketiga yang

dipindahkan ke coverslip.

2. Bersihkan wadah medium dengan menggunakan PBS 1 ml dan

tripsin 1 ml untuk memisahkan medium dengan sel.

3. Inkubasi selama 3 menit pada suhu 37C.

4. Lihat di mikroskop untuk memastikan sel sudah lepas.

5. Jika sudah lepas, ambil tripsin dan PBS menggunakan

micropipette.

6. Kemudian ganti dengan medium komplit.

3.5.4. Proses Penghitungan Sel

1. Siapkan 10µl sel dan dimasukan ke cryotube.

2. Menambahkan triptofan blue 90µl ke dalam cryotube.

3. Pipetkan 10µL ddi bilik hitung yg sudah ditutup dengan deck

glass.

4. Lihat dengan menggunakan mikroskop inverted pada 4 bilik

hitung.

5. Hitung jumlah sel dengan menggunakan rumus:

∑n
x 104 x Pengenceran
4
3.5.5. Prosedur Hipoksia

1. Siapkan chamber

2. Masukkan well yang berisi MSC kedalam chamber

3. Letakkan oxygen meter di dalam chamber


28

4. Pastikan chamber tersebut tertutup rapat

5. Alirkan CO2 melalui selang yang terhubung ke chamber

6. Amati pada oxygen meter sampai kadar O2 1,5% - 5%

7. Inkubasi selama 24 jam dan amati kembali pada oxygen meter

tetap dalam kadar 1,5% - 5%

3.5.6. Pembacaan PDGF dengan ELISA

1. Menyampurkan standard dan dilusi standard menjadi

konsentrasi 300, 150, 75, 37,5 , 18,7 , dan 0 pg/ml.

2. Menyiapkan sumuran kosong, sumuran standard, dan sumuran

sampel.

3. Menambahkan cairan conjugasi 50 µl ke sumuran standard .

4. Menambahkan dilusi spesial sebanyak 40 µl dan sampel 10 µl.

5. Menambahkan 50 µl horseradish peroxidase (HRP) pada tiap

lubang, lalu inkubasi 60 menit pada suhu 37º C.

6. Buang cairan dan keringkan tiap sumuran.

7. Beri cairan pencuci, aduk, dan kocok selama 30 menit ulangi

sebanyak 5 kali lalu keringkan.

8. Beri 50 µl chromogen solution A dan chromogen solution B

pada tiap sumuran. Aduk rata dan inkubasi selama 10 menit

pada suhu 37 ºC.

9. Beri larutan stopper 50 µl pada tiap sumuran

10. Baca menggunakan ELISA dengan panjang gelombang 450 nm


29

3.6. Tempat dan Waktu Penelitian

3.6.1. Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di laboratorium Stem Cell & Cancer

Research FK Unissula (SCCR)

3.6.2. Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2017 – April 2017

3.7. Analisis Data


Data yang sudah didapat, diproses, disunting, ditabulasi, dan

dibersihkan, kemudian dilakukan deskriptif data menggunakan mean,

median, modus. Untuk mengetahui normalitas dilakukan uji Shapiro-wilk

dan untuk homogenitas variannya dilakukan uji Leuvene statistic, bila data

normal dan homogen maka data bersifat parametrik. Didapatkan data

bersifat parametrik maka akan dilakukan analisa dengan uji beda

menggunakan uji independent sample t-test. Pengolahan analisis data

dilakukan dengan menggunakan SPSS 20.0 for Windows.


30

3.8. Alur Penelitian


Tikus Bunting Isolasi MSC

MSC Validasi MSC

Kontrol Chamber

Oksigen 4%

Hipoksia MSC

Inkubasi 24 Jam

Sentrifuge 3000
RPM selama 10
menit

Ambil Supernatan

ELISA

Analisis Data

Gambar 3.1 Alur Penelitian


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Stem Cell and Research

Cancer (SCCR) Fakultas Kedokteran Universitas Isalm Sultan Agung

Semarang. Subyek dari penelitian ini adalah Mesenchymal Stem Cell (MSC),

dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok uji yang direplikasi sebanyak 3

kali: kelompok kontrol (K) yaitu MSC yang tidak mengalami proses hipoksia

(normoksia) dan kelompok perlakuan (P) yaitu MSC yang mengalami proses

hipoksia (kadar O2 4%) selama 24 jam.

Penelitian diawali dengan mengisolasi Mesenchymal Stem Cell (MSC)

dari umbilical cord tikus, selanjutnya dilakukan proses kultur, pemanenan

dan penghitungan jumlah sel. Masing-masing kelompok membutuhkan 1x105

sel selanjutnya sel ditaruh di dalam well. Untuk kelompok kontrol well yang

berisi MSC diinkubasi kedalam inkubator dan untuk kelompok perlakuan

well berisi MSC diletakkan didalam chamber hipoksik. Selanjutnya dilakukan

pengukuran kadar PDGF dengan menggunakan ELISA.

Morfologi Mesenchymal Stem Cell (MSC) dan rerata kadar Platelet

Derived Growth Factor (PDGF) masing-masing kelompok ditunjukkan oleh

gambar 4.1 dan gambar 4.2.

31
32

(a) (b)

Gambar 4. 1 Gambaran mikroskopis morfologi Mesenchymal Stem Cell.


(a) Kelompok kontrol (normoksia), (b) Kelompok perlakukan (hipoksia O2
4%)
Tabel 4. 1 Hasil Penelitian Pembacaan ELISA PDGF

NO Kelompok Nilai Absorbansi Kadar pg/ml)


1 Kontrol 1 (Normoksia) 0,647 58,7713
2 Kontrol 2 (Normoksia) 0,630 57,0089
3 Kontrol 3 (Normoksia) 0,622 56,1844
4 Perlakuan 1 (Hipoksia) 0,768 71,7392
5 Perlakuan 2 (Hipoksia) 0,773 72,7918
6 Perlakuan 1 (Hipoksia) 0,778 72,8458

Gambar 4. 2 Rerata kadar Platelet Derived Growth Factor (PDGF )


antara kelompok kontrol (57.32±1.32 pg/ml) dan kelompok perlakuan
(72.46±0.62 pg/ml).
33

Data kadar PDGF selanjutnya dianalisis dengan uji Shapiro Wilk

untuk mengetahui sebaran datanya dan uji Levene untuk mengetahui

homogenitas variannya. Uji Shapiro Wilk menghasilkan nilai signifikansi (p)

sebesar 0,610 (p>0,05) untuk kelompok kontrol dan 0,092 (p>0,05) untuk

kelompok perlakuan. Hasil uji Shapiro Wilk menunjukkan baik kelompok

kontrol dan perlakuan memiliki data yang terdistribusi normal (Tabel 4.1).

Hasil uji homogenitas menggunakan uji Levene didapatkan nilai p=0,249

(p>0,05) sehingga datanya adalah homogen (Tabel 4.2).

Tabel 4. 2 Hasil Uji Normalitas Kelompok

Kelompok Sig Keterangan


Kelompok Kontrol 0,610 Data terdistribusi normal
Kelompok Perlakuan 0,092 Data terdistribusi normal
Keterangan: nilai p>0,05 menunjukkan data terdistribusi normal pada
kelompok kontrol (p=1,000) dan kelompok perlakuan (p=0,092).

Tabel 4. 3 Hasil Uji Homogenitas Kelompok

Levene test Nilai p Keterangan


Kadar PDGF 0,249 Data terdistribusi normal
Keterangan: nilai p >0,05 menunjukkan data homogen dengan nilai p = 0,561.

Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas, data bersifat

parametrik, sehingga uji beda menggunakan uji independent sample t-test

untuk mengetahui adakah perbedaan kadar PDGF yang signifikan antara

kelompok kontrol dan perlakuan (tabel 4.3.).

Tabel 4. 4 Hasil Uji Independent Sample T-Test

t df Sig. (2-tailed)
Hasil Equal variances
-17,931 4 0,000
assumed
34

Berdasarkan analisis menggunakan uji independent sample t-test

(tabel 4.3.), menunjukkan nilai p=0,000 yang berarti lebih kecil dari α (0,05)

sehingga hipotesis kerja penelitian ini diterima. Nilai p menunjukkan bahwa

ada perbedaan yang bermakna (signifikan) yang berarti bahwa terdapat

pengaruh pemberian kondisi hipoksia terhadap kadar Platelet Derived

Growth Factor (PDGF) dibanding dengan kontrol.

4.2. Pembahasan Penelitian

Hasil uji statistik deskriptif dalam penelitian ini terjadi peningkatan

rerata kadar Platelet Derived Growth Factor (PDGF) pada kelompok

perlakuan (hipoksia O2 4%) dibandingkan dengan kontrol (normoksia).

Berdasarkan hasil independent sample t-test diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05)

yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap rerata kadar

PDGF pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Hal ini menunjukkan bahwa kondisi hipoksia dengan kadar O2 sebesar 4%

meningkatkan kadar PDGF pada Mesenchymal Stem Cell (MSC).

MSC yang dihipoksia dapat mengalami cedera yang dapat

meningkatkan stress oksidatif , produksi dari growth factor dan molekul anti-

inflamasi yang dikarenakan tidak seimbangnya radikal bebas. Peningkatan

stress oksidatif yang terus menerus melalui produksi ROS yang merupakan

radikal bebas menyebabkan kondisi patologis yang dapat menyebabkan

kaskade apoptosis (Kong et al, 2007). Penelitian ini sesuai dengan penelitian

yang pernah dilakukan oleh Crisostomo et al pada tahun 2008 dimana


35

paparan hipoksia dengan konsentrasi O2 sebesar 1% pada bone marrow

(BM)-MSC selama 24 jam meningkatkan produksi dari beberapa faktor

pertumbuhan antara lain Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF),

Fibroblast Growth Factor 2 (FGF-2), Hepatocyte Growth Factor (HGF) dan

Insuline Like Growth Factor 1 (IGF-1).

Kondisi hipoksia merupakan elemen yang paling umum ketika

jaringan mengalami cedera (injury). Kerusakan interstitial sering dikaitkan

dengan pengaktifan kaskade koagulasi yang mengakibatkan daerah di sekitar

cedera mengalami penurunan kadar O2 sehingga mengaktifkan Hypoxia

Inducible Factor (HIF-1α) yang akan menginduksi transkripsi gen angiogenik

VEGF (Ahluwalia dan Tarnawski, 2012) beserta Stromal Cell-Derived

Factor 1 (SDF-1) yang merupakan chemoattractant sehingga Mesenchymal

Stem Cell (MSC) mampu bermigrasi ke daerah yang mengalami hipoksia

(Ceradini et al, 2004; Youn et al, 2011). MSC yang berada pada daerah

hipoksia akan meningkatan mediator-mediator parakrin (Madrigal et al,

2014). Pada penelitian ini peneliti membuat kondisi serupa dalam percobaan

in vitro dengan mengukur kadar PDGF.

Hipoksia menstimulasi Mesenchymal Stem Cell (MSC) untuk

memproduksi VEGF yang merupakan respon dari angiogenesis saat terjadi

hipoksia (Crisostomo et al, 2008). Sama seperti VEGF, PDGF memiliki

peranan yang penting dalam proses angiogenesis yaitu berkontribusi untuk

menstabilkan struktur dari pembuluh darah yang baru terbentuk. (Carmeliet,

2000). Kondisi hipoksik secara signifikan juga menguatkan respon mitogenik


36

dan proliferasi MSC serta produksi PDGF. PDGF merupakan mitogen yang

penting untuk berbagai jenis sel mesenchymal, dan merangsang proliferasi,

dan diferensiasi sel-sel dari MSC itu sendiri (Tsai et al, 2011).

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah peneliti hanya menggunakan

konsentrasi O2 sebesar 4% pada kondisi hipoksia dan tidak menggunakan

konsentrasi O2 di atasnya maupun dibawahnya. Peneliti tidak menggunakan

waktu inkubasi selain 24 jam sehingga masih belum diketahui waktu inkubasi

yang tempat untuk meningkatkan kadar PDGF pada MSC yang mengalami

hipoksia. Peneliti hanya melakukan pambacaan ELISA hanya untuk PDGF

dan tidak mengkhususkan terhadap pembacaan isoform PDGF yang lain

(PDGF-AA, PDGF-AB, PDGF-BB, PDGF-CC atau PDGF-DD).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan data penelitian tentang pengaruh pemberian

Mesenchymal Stem Cell yang dihipoksik terhadap kadar PDGF dapat ditarik

kesimpulan bahwa:

5.1.1. Pemberian hipoksia pada Mesenchymal Stem Cell memiliki pengaruh

yang bermakna terhadap kadar Platelet Derived Growth Factor

(PDGF).

5.1.2. Rata-rata kadar PDGF pada kelompok kontrol sebesar 57.32±1.32

pg/ml.

5.1.3. Rata-rata kadar PDGF pada kelompok perlakuan sebesar 72.46±0.62

pg/ml.

5.2. Saran

5.2.1. Dapat dilakukan penelitian untuk dengan menggunakan konsentrasi

hipoksia O2 dibawah dan diatas konsentrasi 4%.

5.2.2. Dapat dilakukan penelitian dengan menggunakan waktu inkubasi

selain 24 jam.

5.2.3. Dapat dilakukan pambacaan isoform PDGF yang lain (PDGF-AA,

PDGF-AB, PDGF-BB, PDGF-CC atau PDGF-DD).

37
DAFTAR PUSTAKA

Ahluwalia A., Tarnawski A.S., 2012, Critical role of hypoxia sensor - HIF-1α in
VEGF gene activation. Implications for angiogenesis and tissue injury
healing. Curr Med Chem 19(1):90-7.

Aini N., Setiawan B., Sandra. 2008, Karakteristik Biologis dan Diferensiasi Stem
Cell: Fokus pada Mesenchymal Stem Cell, CDK,161.

Bao P., Kodra A., Tomic-Canic M., Golinko M.S., Ehrlich H.P., Brem H., 2009,
The role of vascular Endhothelial Growth Factor in Wound Healing. J
Surg Res, 347-358.

Berk V.D., Jansen B.J.H., Kim G.C., Roelofs H., Figdor C.G., Adema G.J., 2010,
Mesenchymal stem cells respond to TNF but do not produce TNF,
Journal of Leukocyte Biology, 283-289.

Blazevic T., Schwaiberger A.V., Schreiner C.E., Schachner D., Schaible A.M.,
Grojer C.S., Atanasov A.G., Werz O., Dirsch V.M., Heiss E.H., 2013,
Lipoxygenase Contributes to Platelet-derived Growth Factor-induced
Activation of Signal Transducer and Activator of Transcription 3, J. Biol.
Chem 288 (49): 35592-603.

Braunwald E., 2006, Hypoxia and cyanosis, In: Braunwald E., Fauci A.S., Kasper
D.L., Hanser S., Longo D.L., Jameson J.L, Harrison’s principles of
internal

Campagnoli C., Roberts I.A.G., Kumar S., 2001, Identification of mesenchymal


stem/progenitor cells in human first-trimester fetal blood, liver, and bone
marrow, Blood, 98: 2396-2402.

Carmeliet, 2000, Mechanism of angiogenesis and arteriogenesis, Nat. Med. 6,


389-395.

Crisostomo P.R., Wang Y., Markel T.A., Wang M., Lahm T., Meldrum D.R.,
2008, Human mesenchymal stem cells stimulated by TNF-alpha, LPS, or
hypoxia produce growth factors by an NF kappa B- but not JNK-
dependent mechanism, Am J Physiol Cell Physiol 294(3):C675–C682.

Dominici M., Le Blanc K., Mueller I., Slaper-Cortenbach I., Marini F., Krause D.,
Deans R., Keating A., Prockop Dj., Horwitz E., 2006, Minimal Criteria
for Defining Multipotent Stromal Cells. The International Society for
Cellular Therapy position statement., NCBI, 16923606

Halim, D., Murti, H., Sandra, F., 2010, Stem Cell Dasar Teori & Aplikasi Klinis,
Erlangga Medical Series, Jakarta

38
39

Hannink M., Donoghue D.J., 1989, Structure and function of platelet-derivered


growth factor (PDGF) and related proteins”. Biochim. Biophys. Acta 989
(1):1-10.

Heidaran M.A., Pierce J.H., Jensen R.A., Matsui T., Aaronsom S.A., 1990,
Chimeric alpha- and beta-platelet-derived growth factor (PDGF)
receptors definr three immunoglobulin-like domains of the alpha-PDGF
receptor that determine PDGF-AA binding specifity, J. Biol. Chem
265(31): 18741-4.

Heldin C.H., 1992, Structural and functional studies on platelet-derived growth


factor, EMBO J 11(12): 4251-4259.

Jolly C., Marimoto R.I., 2000, Role of the Heat Shock Response and Molecular
Chaperones in Oncogenesis and Cell Death, Journal of the National
Cancer Institute, 92 : 1564-72

Joukov V., Pajusola K., Kaipainen A., Chilov D., Lahtinen I., Kukk E., Saksela
O., Kalkkinen N., Alitalo K., 1996, A novel vaskuler endothelial groeth
factor, VEGF-C, is a ligand for thr Flt4 (VEGFR-3) and KDR (VEGFR-
2) receptor tyrosine kinases, EMBO J 15(2): 290-298.

Jusuf A., 2008, Aspek Dasar Sel Punca Embrionik (Embryonic Stem Cells) Dan
Potensi Pengembanganya. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Kang S.K., 2012, Journey of mesenchymal stem cells for homing:strategies to


enhance efficancy and safety of stem cell therapy. Stem cells
international.

Kerr, J. F. R., Wyllie, A. H. & Currie, A. R. Apoptosis, 1972, a basic biological


phenomenon with wide-ranging implications in tissue kinetics. Br. J.
Cancer 24, 239–275.

Kong, Liu, Huo, Wang, Zhang, Gao, 2007, Cell multiplication, apoptosis, and
pAkt protein expression of bone messenchymal stem cells of rat under
hypoxia environment, JNMU 21;233-239.

Kumar V., Abas A.A., Fausto N., 2005. Robins and Cotran pathologic basis of
disease. 7th ed Philadelphia: Elsevier Saunders.

Kwon, Y.W., Heo S.C., Jeong G.O., Yoon J.W., Mo W.M., Lee M.J., Jang I.H.,
Kwon S.M., Lee J.S., Kim J.H., 2013. Tumor necrosis factor-α-activated
mesenchymal stem cells promote endothelial progenitor cell homing and
angiogenesis, Biochimica et Biophysica Acta (BBA) - Molecular Basis of
Disease, 1832(12).
40

Madrigal M., Rao K.S., Riordan N.H., 2014, A review of therapeutic effects of
mesenchymal stem cell secretions and induction of secretory
modification by different culture methods. Journal of Translational
Medicine 2014, 12:260

Marr R.A., Pet., Thomas R.M., Peterson D.A., 2010, Insights into Neurogenesis
and Aging: Potential Therapy for Degenerative Disease? Future
Neurology, USA, 527-541.

McKinnon R.D., Matsui T., Dubois-Dalcq M., Aaronson S.A., 1990, “FGF
modulates the PDGF-driven pathway of oligodendrocyte development,
Neuron 5 (5).

Nakanishi K., Tajima F., Nakamura A., Yagura S., Ookawara T., Yamashita H.,
Suzuki K., Taniguchi N., Ohno H., 1995, Effects of hypobaric hypoxia
on antioxidant enzymes in rats, J Physiol 489(Pt 3): 869–76.

Nauta A.J., Fibbe W.E., 2007, Immunomodulatory properties of mesenchymal


stromal cells, Blood 110(10): 3499–3506.

Osterud B., Bjorklid E., 2003, Role of Monocytes in Atherogenesis, Physiol Rev
83 : 1069-112.

Paul H,. Krebsbach D.D.S., Robey P.G., 2002, Dental and skeletal Stem
Cells:Potential Cellular Therapeutics for Craniofacial Regeneration,
Journal of Dental Education 66:766-73

Setiawan B., 2006, Aplikasi Terapeutik Sel Stem Embrionik pada Berbagai
Penyakit Degeneratif, cdk, 153.

Tsai C.C., Chen Y.J., Yew T.L., Chen L.L., Wang J.Y., Chiu C.H., Hung S.C.,
2011, Hypoxia inhibits senescence and maintains mesenchymal stem cell
properties through downregulation of E2A-p21 by HIF-TWIST, Blood
117(2): 459–469]

Xin W., Yang X., Han Z., Qu F., Shao L., Shi Y., 2003, Mesenchymal stem cells:
a new trend for cell therapy. Acta Pharmacologica Sinica, May: 34: 747–
754.

Youn S.W., Lee S.W., Lee J., Jeong H.K., Suh J.W., Yoon C.H., Kim H.S., 2011,
COMP-Ang1 stimulates HIF-1α-mediated SDF-1 overexpression and
recovers ischemic injury through BM-derived progenitor cell
recruitment, Blood, 117:4376–4386.

Yu J.C., Li W., Wang L.M., Uren A., Pierce J.H., Heidaran M.A., 1995, Different
requirement of a motif within the carboxyl-terminal domain of alpha-
platelet-derived growth factor (alpha PDGF) receptor for PDGF focus
forming avtivity chemotaxis, or growth. J. Biol. Chem 270 (13): 7033-6.
41

Anda mungkin juga menyukai