Anda di halaman 1dari 22

MANAJEMEN SEL INTERAKSI SISTEM IMUNO-NEURO-ENDOKRIN : KONSEP PELAYANAN PATOLOGI KLINIK PENATALAKSANAAN STRESS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Oleh : Prof. dr. Budi Mulyono, Sp.PK (K), MM.

MANAJEMEN SEL INTERAKSI SISTEM IMUNO-NEURO-ENDOKRIN : KONSEP PELAYANAN PATOLOGI KLINIK PENATALAKSANAAN STRESS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Dibacakan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 8 Nopember 2007 di Yogyakarta

Oleh : Prof. dr. Budi Mulyono, Sp.PK (K), MM.

3 MANAJEMEN SEL INTERAKSI SISTEMA IMUNONEURO-ENDOKRIN: KONSEP PELAYANAN PATOLOGI KLINIK PENATALAKSANAAN STRESS Pengantar Kehidupan adalah stress dan stress adalah kehidupan, suatu ungkapan ilmuwan Hans Selye pada tahun 1940-an, rupanya makin menjadi kenyataan di dunia akhir-akhir ini (Seasholtz, 2000; Berczi, 2001). Selye mengamati bahwa tantangan fisik, emosional dan lingkungan merupakan stressor bagi kehidupan manusia dan hal ini memunculkan beberapa respon fisik yang dapat berupa penurunan kinerja ringan sampai sakit berat. Kemampuan individu dalam merespon dan mengadaptasi stressor ini sangat kritis untuk survival (dapat bertahannya) manusia. Pemeliharaan kualitas hidup tergantung kapasitas tubuh secara internal untuk bereaksi dan mengatasi datangnya stressor yang bertubi-tubi (Bornstein & Chrousus, 1999). Tubuh dalam mengelola stress yang datang diketahui mempunyai mekanisme biologis yang sejauh ini dikenal sebagai General Adaptation Syndrome. Merupakan konservasi molekuler efektor pertahanan dan kemungkinan diturunkan nenek moyang sejak awal adanya kehidupan di dunia ini, konservasi molekuler ini berkembang dan berimbang kuat (Yeaman & Yount, 2007). Pendalaman pengetahuan tentang sindroma ini memerlukan pendekatan dengan perasat dan riset biomedik secara komprehensif. Ilmu Patologi Klinik (Clinical Pathology), yang dalam perkembangan dasawarsa akhir ini dikenal juga sebagai Ilmu Kedokteran Laboratorium (Laboratory Medicine), merupakan bidang ilmu yang berbasis di laboratorium klinik atau laboratorium rumah sakit yang memadukan pengetahuan serta ketrampilan dalam patofisiologi dan patobiologi untuk menunjang penegakan diagnosis, pemantauan perjalanan penyakit, dan membantu penilaian pengobatan individual (Prak, et al., 2006; Smith, et al.,2006; Wells & Smith, 2006). Profesi spesialis Patologi Klinik atau Laboratory Medicine Specialist merupakan profesi yang menterjemahkan serta menerapkan teknologi-teknologi laboratorium riset biomedik ke dalam praktekpraktek klinik dan mengkombinasikannya dengan manajemen sumber

4 daya yang ada dalam koridor disiplin ilmu Patologi. Bidang Ilmu Kedokteran Laboratorium, sebagaimana bidang-bidang Kedokteran yang lain, mengalami evolusi berkelanjutan dan selalu diperkaya dengan penemuan biologis baru dalam sistem diagnostik dan pengobatan (Burtis, et al., 2006; Smith, et al., 2006). Dengan demikian, sudah selayaknya jajaran Patologi Klinik dapat memberikan sumbangan pada penatalaksanaan stress yang dikaitkan dengan mekanisme biologis tubuh manusia. Mekanisme tubuh dalam menanggapi stress secara biologis dikenal karena adanya sistem yang sangat erat dengan berjalannya interaksi neuroendokrin dan respon imun (Seasholtz, 2000; Berczi, 2001; Das, 2007). Manajemen sel, dalam arti pengelolaan sel dengan berjalannya fungsi sel-sel tubuh secara benar dan terjalinnya komunikasi antar sel lancar, memungkinkan fungsi optimal jaringan dan organ tubuh guna menanggapi adanya stress atau perubahan lingkungan dari dalam maupun luar tubuh. Pengelolaan dan pengaturan sel sangat diperlukan mengingat bahwa tubuh manusia tersusun dari bertrilyun-trilyun sel sedangkan sel pengatur terbatas jumlahnya, seperti tubuh manusia diperkirakan mempunyai 100 milyar limfosit, otak terdiri dari lebih kurang 100 milyar sel neuron, dan jaringan endokrin pankreas hanya ada sekitar 2 juta sel (Goldsby, et al., 2003; Greenspan & Gardner, 2004; Delves, et al. 2006; Pollard, et al., 2008). Interaksi sel berjalan dengan melibatkan banyak sistem endokrin seperti aksis Hipotalamus-Hipofise-Tiroid (HHT), Hipotalamus-Hipofise-Adrenal (HHA), Hipotalamus-HipofiseGonade (HHG). Ditemukan bukti bahwa hormon endokrin tersebut mempunyai peranan pengaturan fungsi elemen-elemen sistem imun seperti limfosit, makrofag, mast cell, dsb. Interaksi imunoneuroendokrin dapat berjalan dengan adanya: hubungan sel ke sel, persarafan (inervasi) dan komunikasi humoral. Secara tradisionil sel-sel jaringan dan organ (alat tubuh) terbagi atas sel stromal dan sel parenkhimal. Sel-sel stromal berhubungan dengan sel elemen parenkhim sehingga memunculkan adanya regulasi fungsi yang khusus dari jaringan dan organ tubuh (King, et al.,1988; Vicovac, et al.,1994). Regulasi antar sel dimungkinkan karena adanya molekul-molekul adhesi yang mampu menyalurkan sinyal pemacu ataupun sinyal penghambat yang dikenal sebagai interaksi ITAM

5 (Immunoreceptor Tyrosine-based Activation Motifs) dan ITIM (Immunoreceptor Tyrosine-based Inhibitory Motifs). Motif-motif ini memungkinkan adanya proses fosforilasi dan defosforilasi dari molekul-molekul pembawa sinyal (signal transducing molecules) (Berczi, 2001; Bayles, 2007; Pollard, et al., 2008). Ditemukan bahwa beberapa reseptor dapat bekerja pada sel yang sama dengan berbagai mekanisme atau dikenal sebagai receptors crosstalk phenomenon. Beberapa reseptor dalam sistem imun dan reseptor hormon endokrin dihubungkan oleh molekul ligand yang sama untuk membawa sinyal pemacu ke sel, dalam hal ini mutasi gena untuk mengatur alur persinyalan dapat memperpanjang life span (Russel & Kahn, 2007). Mekanisme silang ini hanya dapat berjalan bila konsentrasi ligand optimal, konsentrasi yang lebih rendah atau lebih tinggi tidak memungkinkan berjalannya mekanisme tersebut. Sistem saraf pusat mempunyai kapasitas untuk mengirimkan sinyal ke seluruh jaringan dan organ tubuh, yang sampai beberapa lama sistem imun merupakan sebuah perkecualian. Saat ini sudah dibuktikan bahwa elemen imun seperti timus, limpa dan organ limfoid juga mendapat inervasi (Delves, et al., 2006; Pollard, et al., 2008). Mast cell dan limfosit mendapat persarafan yang dapat dibuktikan dengan tumbuhnya sinapsis serabut saraf pada kultur sel. Serabutserabut saraf ini mempunyai kemampuan untuk membawa mediator secara cepat dan spesifik yang memungkinkan adanya reaksi spontan guna menginisiasi terjadinya peradangan. Pada respon fase akut terjadi pelepasan masif dari katekholamin yang dikenal sebagai sympathetic outflow, yang merupakan regulasi penting dalam reaksi pertahanan emergensi dari sebuah stress. Komunikasi sel secara humoral dilaksanakan dengan substansi liquid seperti: hormon, sitokin, neurotransmitter dan neuropeptida. Hormon didefinisikan sebagai substansi kimiawi yang diproduksi dalam tubuh oleh organ tubuh atau sel organ tubuh atau sel-sel yang tersebar dalam tubuh. Substansi ini mempunyai efek pengaturan aktivitas organ tubuh atau sekumpulan organ tubuh atau sel-sel dalam jaringan tubuh (Greenspan & Gardner, 2004; Chew & Leslie, 2006). Berdasar struktur kimiawinya hormon dapat diklasifikasikan dalam 4 golongan: protein atau peptida, steroid, derivat tirosin dalam bentuk tironin dan derivat tirosin dalam bentuk amine biogenik (Greenspan &

6 Gardner, 2004; Burtis, et al. 2006; Chew & Leslie, 2006). Hormon protein dan peptida tersusun atas rangkaian asam amino, tergantung dari panjang pendeknya rangkaian tersebut. Contoh hormon protein adalah insulin, gonadotropin, growth hormone (GH), prolaktin, dsb. Contoh hormon peptida adalah hormon produk dari hipotalamus dan beberapa peptida dari traktus gastrointestinalis. Hormon steroid dibentuk dari serangkaian proses enzimatik dengan bahan dasar kholesterol, yaitu mempergunakan inti siklopentanafenantren. Contoh hormon steroid adalah kortisol, testosteron, estrogen, dsb. Hormon tironin adalah khas dari produk kelenjar tiroid seperti tiroksin (T4) dan triyodotironin (T3). Hormon amine biogenik adalah khas untuk katekholamin, seperti: adrenalin, nor adrenalin dan dopamin, produk dari kelenjar medula adrenal. Berdasar mekanisme kerjanya maka hormon dapat dibagi kedalam 2 kelompok (Chew & Leslie, 2006): hormon yang larut dalam air (water soluble) dan hormon yang larut dalam pelarut lemak (lipid soluble). Hormon yang larut dalam air tidak dapat menembus membran sel, karena adanya lapisan fosfolipid, sehingga hormon ini membutuhkan adanya reseptor pada membran sel. Contoh hormon kelompok ini adalah hormon protein, peptida dan amine biogenik. Hormon yang lipid soluble mempunyai kemampuan menembus membran sel, sehingga memerlukan reseptor yang di sitoplasma (cytosolic receptors). Contoh hormon ini adalah hormon tiroid dan steroid. Sitokin didefinisikan sebagai protein regulator dengan berat molekul yang rendah (kurang dari 30 kDa) yang disintesa oleh sel darah putih atau sel-sel lain dalam tubuh dan mempunyai pengaruh dalam perkembangan sistem imun (Goldsby, et al., 2003). Struktural sitokin terbagi dalam 4 kelompok: famili hematopoietin atau interleukin (IL), famili interferon (IFN), famili khemokin, dan famili tumor necrosis factor (TNF). Pengertian neurotransmitter adalah substansi kimiawi yang dihasilkan sel neuron kemudian didistribusikan ke akson dan sinapsis (Pollard, et al., 2008), termasuk dalam pengertian ini adalah: asetilkholin, GABA & glutamat, amine biogenik, glisin, dan serotonin. Amine biogenik dalam neurotransmitter adalah sama dengan hormon yang berstruktur amine biogenik, dalam hal ini adalah senyawa katekholamin seperti dopamin, noradrenalin dan adrenalin. Dalam mekanisme kerjanya

7 senyawa amine biogenik memerlukan adanya reseptor di membran, yang dikenal sebagai adrenergic receptors baik yang bertipe alfa maupun beta. Beberapa sel dalam sistem imun mempunyai reseptor adrenergik tipe beta. Pengertian neuropeptida adalah senyawa yang tersusun atas rangkaian asam amino dan dapat ditemukan di serabut saraf (Berczi, 2001). Senyawa ini meliputi substansi P (SP), calcitonin gene related peptide (CGRP), somatostatin, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan pituitary adenylate cyclase activating peptide (PACAP). Reseptor terhadap neuropeptida ini dapat ditemukan pada limfosit T, limfosit B, mast cell, makrofag, monosit dan sel-sel dari sumsum tulang. Sitokin yang pada awalnya hanya ditemukan pada sistem imun saat ini sudah dibuktikan juga disintesa dalam jaringan lain, termasuk jaringan sistem neuroendokrin (Kurotani, et al., 2001). Demikian juga sebaliknya untuk hormon, neurotransmitter dan neuropeptida. Sistem imun menerima sinyal dari seluruh jaringan tubuh melalui saluran limfe (getah bening). Garis besar aksi regulasi dari komunikator humoral ini dapat diklasifikasikan sebagai autokrin, juxtrakrin, parakrin dan endokrin (Goldsby, et al., 2003; Greenspan & Gardner, 2004). Autokrin, apabila substansi dihasilkan oleh suatu sel dan akan beraksi pada sel tersebut. Juxtrakrin, apabila substansi dihasilkan oleh suatu sel yang tidak spesifik dan akan bekerja pada sel-sel di sekitarnya. Parakrin, apabila substansi dihasilkan oleh sel yang spesifik dan akan bekerja pada sel-sel di sekitarnya. Endokrin, apabila substansi dihasilkan oleh sel yang spesifik dan akan bekerja pada sel-sel yang berjarak jauh melalui suatu mediator cair. Beberapa substansi diketahui dapat mempunyai aksi bersama antara autokrin dengan parakrin atau autokrin dengan endokrin, sehingga sekarang sering hanya dibagi dalam kemampuan beraksi secara lokal dan secara sistemik. Alur regulasi dalam interaksi Imunoneuroendokrin Pengaturan dari interaksi imunoneuroendokrin dapat diuraikan dalam 4 alur besar, sbb. (Berczi, 2001; Goldsby, et al., 2003; Greenspan & Gardner, 2004; Vila, et al., 2005; Pollard, et al., 2008) :

8 1. Alur regulasi yang melibatkan aksis TRH-(Prolaktin, GH, TSH)-Hormon tiroid. TRH (Thyrotropin Releasing Hormone) dari hipotalamus diketahui dapat merangsang hipofise untuk produksi prolaktin, TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dan dalam kondisi tertentu Growth Hormon (GH). Sel-sel yang dapat mensintesa hormon-hormon tersebut mempunyai kesamaan pada faktor regulator yaitu Pit-1. Pada tikus yang diimunisasi dengan eritrosit domba menunjukkan peningkatan TRH- mRNA di hipotalamus dalam waktu 4-24 jam sesudah pemberian. Kemudian diikuti aktivitas sel-sel hipofise yang memproduksi prolaktin, GH dan TSH. TRH dapat berpengaruh langsung pada proliferasi dan pertumbuhan limfosit T, terutama di traktus digestivus. TRH berpengaruh pada kenaikan bermakna dari IL-2. Prolaktin dan placental lactogen, bersama GH dikenal sebagai GLH (Growth & Lactogenic hormones). GLH juga dapat diproduksi oleh beberapa sel dalam tubuh, termasuk limfosit. Produksi prolaktin di jaringan limfe sangat terpengaruh oleh hipofise. GLH dan beberapa sitokin mempunyai kesamaan reseptor, pada kadar tinggi reaksi silang tidak terjadi, karena tiap molekul reseptor akan terikat pada molekul hormon yang terpisah. GH dan prolaktin memacu produksi IGF-1 (Insulin-like growth factor 1) dalam sel sistem imun. GH, prolaktin dan IGF-1 menstimuli pertumbuhan timus, efek langsung pada Thymus growth factor. GH memacu produksi IL-2, IL6 dan efek fluktuatif pada TNF. Sehingga dapat dikatakan bahwa GLH merupakan hormon pemelihara imunokompetensi. TSH mengatur fungsi imun dengan rangsang hormon tiroid dalam sel-sel limfoid dan limfosit mempunyai kemampuan untuk mengkonversi tiroksin (T4) menjadi T3 yang biologis aktif. Reseptor TSH ditemukan terdapat pada sel dendritik dan limfosit T yang ada di kelenjar limfe. TSH mempunyai kemampuan untuk merangsang sekresi imunoglobulin dan IL-2. 2. Alur regulasi yang melibatkan aksis Gonadotropin-hormon seks. LH (Luteinizing Hormone) merupakan stimulan langsung pada sistem imun, sedang FSH (Follicle Stimulating Hormone) mempengaruhi proliferasi limfosit dan produksi IL-6. Estradiol mempunyai efek supresif pada fungsi sumsum tulang, timus, fungsi sel limfosit T, sel Natural Killer (NK cell), netrofil dan degranulasi

9 mast cell. Estradiol juga disebutkan sebagai pemicu pembentukan antibodi pada penyakit autoimun. Testosteron mempunyai efek menekan atau mengendorkan sistem imun, antagonis dengan beberapa efek estradiol. DHEA (Dehydroepiandrosterone) merupakan androgen yang lemah, mempunyai efek baik imunostimulan maupun imunosupresi, dapat memacu respon T-helper 1, sekresi IL-2 dan cell mediated immunity. Progesteron merupakan imunosupresif, berperan dalam harmonisasi fungsi imun dengan reproduksi. 3. Alur regulasi yang melibatkan aksis CRH-(POMC, ACTH)kortisol. CRH (Corticotropin Releasing Hormone) disintesa dalam nukleus paraventrikular dari hipotalamus, kemudian dicurahkan ke hipofise melalui sirkulasi porta. Di hipofise akan berikatan dengan reseptor CRH-R1 untuk menstimuli sel-sel kortikotrop yang merupakan 10% sel di hipofise anterior. CRH, dengan integrasi sistema saraf pusat dalam respon stress, berfungsi sebagai imunosupresi sentral dengan menyalurkan sinyal-sinyal simpatis. Dari hipofise dikeluarkan POMC (Pro-opiomelanocortin) dan ACTH (Adrenocorticotropin Hormone) yang akan memacu korteks adrenal untuk produksi kortisol. Bukti-bukti sekarang menunjukkan bahwa ACTH juga dapat diproduksi limfosit dan akan beraksi sebagai autokrin maupun parakrin. 4. Alur lain melibatkan: derivat vitamin D, melatonin, leptin, nerve growth factor, neurotransmitter dan neuropeptida yang diketahui mempunyai efek walau tidak dominan. Kegagalan dalam pengaturan sistem imun, neuro dan endokrin dapat membawa masalah klinis dari yang samar sampai pada kematian. Individu yang sehat dapat mempertahankan fungsi tubuh optimal dalam cakupan fisiologis yang standar dengan pengaturan milieu interieur atau homeostasis. Di dalam upaya pengendalian kondisi homeostasis ini dikenal 2 reaktivitas imunologik dasar yaitu imunitas natural dan imunitas adaptif serta 1 reaktivitas fenomenal yaitu respon fase akut (Berzci, 2001; Goldsby, et al, 2005; Delves, et al., 2006).

10 Respon imunitas natural, dalam respon ini dikenal beberapa sel yang sangat spesifik, seperti Sel NK, Sel T dan limfosit B CD5+ yang memproduksi antibodi natural. Reseptor antigen dalam sel-sel imunitas natural tidak terpengaruh oleh adanya mutasi somatik. Dalam fungsinya imunitas natural diatur oleh sitokin dan hormon, sebagai contoh regulasi sel NK dimediasi oleh IL-2, IFN, prolaktin dan GH. Secara fundamental antibodi natural bersifat polispesifik (Berzci, 2001; Goldsby, et al, 2005; Delves, et al., 2006). Respon imunitas adaptif diinisiasi oleh aktivitas APC (antigen presenting cell) yang akan menstimuli limfosit T kemudian berakhir dengan terpacunya limfosit B untuk memproduksi antibodi yang 1 spesifik. Reseptor antigen pada respon imunitas adaptif ini terpengaruh oleh mutasi somatik. Dengan adanya proses seleksi selsel yang terlibat maka respon imunitas adaptif ini mempunyai spesifisitas yang tinggi. Antigen dapat berasal dari eksternal maupun internal, peran antigen MHC kelas I dan II sangat membantu proses pemilihan sel-sel efektor. Untuk dapat penuhnya penampilan kinerja limfosit diperlukan tambahan costimulatory signals. Dalam hal ini hormon-hormon sangat kapabel dalam memudahkan penghantaran sinyal dari membran sel ke nukleus limfosit. Hormon tiroid dan beberapa steroid mengendalikan faktor transkripsi nuklear dan mampu mengatur sinyal ke tingkat nukleus limfosit. Kortisol sangat efektif dalam penghambatan reaktivitas limfosit sampai pada kemampuan untuk induksi program kematian sel (programmed cell death = PCD). Katekholamin mempunyai kemampuan pengaturan ion Ca++, nukleotida siklis dan beberapa enzim. Hormon-hormon ini dapat disintesa secara lokal dalam jaringan sistem imun dengan aksi autokrin maupun parakrin. Untuk penyempurnaan kinerja, stimulus mitogenik ke limfosit dibawakan oleh sitokin. Respon sitokin tipe Th1 (cell mediated immunity) terutama dilaksanakan oleh IL-2 dan IFN, sedangkan respon sitokin tipe Th2 (humoral immunity) dilaksanakan oleh IL-4, 5, 6 dan 10. Secara klasik respon antibodi primer selalu diawali dengan kemunculan IgM, yang diikuti perpindahan kelas imunoglobulin (class switching) ke IgG, IgA dan IgE (Berzci, 2001; Goldsby, et al, 2005; Delves, et al., 2006). Respon fase akut merupakan reaksi pertahanan yang terkoordinasi tingkat tinggi dalam berbagai segi. Antibodi natural dan

11 protein produk hepar meningkat dengan cepat sampai lipat ratusan kali, sedangkan respon imunitas adaptif sangat tertekan. Sitokin IL-1, IL-6 dan TNF menginisiasi reaksi dengan aktivasi lekosit dan sistema nervorum sentral, demikian juga aktivitas aksis HHA terpacu dengan kenaikan cepat CRH, ACTH, dan kortisol. Kadar GH dan prolaktin dalam sirkulasi meningkat cepat dan kemudian dengan cepat pula kembali ke kadar normal bahkan sering sampai subnormal. Konversi T4 ke T3 terhambat, demikian juga hormon seks tersupresi. Kortisol dan katekholamin mampu mengefektifkan produksi protein fase akut sehingga kadar di plasma meningkat sampai maksimal dalam 1-2 hari. Pada respon ini IL-6 meningkat nyata dan akan memacu produksi protein fase akut di hepar. Peningkatan molekulmolekul pertahanan polispesifik berpotensi untuk mengefisiensikan proses berikut yang berupa pertahanan yang lebih spesifik. Imunokonversi selama respon fase akut, dari mode adaptif ke mekanisme imunitas natural, akan meningkatkan katabolisme dalam otot skelet dan jaringan lain terutama lemak. Hal ini merupakan upaya terakhir dalam mekanisme pertahanan tubuh pada situasi yang kritis. Dengan demikian maka respon fase akut ini dapat dikatakan sebagai mekanisme patofisiologi dimana aktivitas metabolisme berbagai jaringan dan organ tubuh diatur secara ketat, yang oleh beberapa ahli disebut sebagai allostasis, hal yang lain untuk membedakan dengan homeostasis (Berzci, 2001; Goldsby, et al, 2005; Delves, et al., 2006). Aksis HHA (Hipotalamus-Hipofise-Adrenal) dan profil biomarker stress Dengan tidak mengabaikan peranan komponen yang lain maka yang menjadi komponen kunci dalam tanggap biologis terhadap stress adalah aksis HHA. Aktivitas aksis ini dapat mencerminkan interaksi yang berjalan pada sistem imuno neuroendokrin dalam tubuh. Hormon adrenal sudah menjadi alat yang populer bagi praktisi kesehatan untuk mengevaluasi patobiologis keadaan-keadaan kelelahan, letargi, dan insomnia. Munculnya ketidakseimbangan adrenal dapat merupakan sinyal (signal) atau alarm bahwa ada fungsi tubuh yang sedang menurun. Produk kelenjar adrenal diketahui dapat bekerja mempengaruhi hampir seluruh fungsi tubuh, dari produksi energi

12 sampai pengendalian inflamasi. Hormon, sitokin dan molekul-molekul yang berhubungan persinyalan (related signalling molecules) membawa perubahan pengaturan respon stress, intensitas fungsi imun, metabolisme energi, pertumbuhan, dan fungsi reproduksi (Auernhammer & Melmed, 2001). Pola tanggap biologis terhadap stress oleh aksis HHA atau kelenjar adrenal pada prinsipnya, dapat dibedakan menjadi pola akut dan pola kronis. Stress akut mempunyai efek proinflamatori, dimediasi oleh mast cell yang dengan kemampuannya dapat mengatur blood-brain barrier (BBB), sehingga rentan akan peradangan di otak (Esposito, et al., 2002). Adanya stress akut menyebabkan aktivitas nukleus Paraventrikular (PVN) hipotalamus meningkat, kemudian memacu pelepasan CRH, dan bersamaan dengan ini aktivitas katekholamin dan GLH juga meningkat. Mast cell mempunyai reseptor CRH, dengan aksi parakrin dan adanya senyawa vasoaktif akan mengganggu BBB sehingga memunculkan efek inflamasi di otak. Stimuli CRH pada sel kortikotrof di hipofise maupun sel stromal yang ada di adrenal melalui alur kaskade JAK/STAT yang dapat dilihat dengan aktifnya protein Fos/Jun yang merupakan switching on aktivitas selular (Mulyono & Haryana, 1994; Auernhammer & Melmed, 2001). Stimuli ini mengakibatkan sekresi POMC dan ACTH, baik yang beraksi sistemik maupun lokal, akan meningkatkan kadar kortisol. Dalam masa akut, sitokin juga memacu pengeluaran CRH yang selanjutnya mengatur pelepasan ACTH dan secara sinergi meningkatkan pengeluaran kortisol. Kortisol pada kadar fisiologik basal diperlukan untuk fungsi normal limfosit, hal ini mengingat reseptor kortisol merupakan faktor transkripsi seluler. Pada keadaan akut peningkatan kadar kortisol sangat menyolok, merubah distribusi limfosit dan menekan fungsi adaptif baik humoral maupun seluler. De Leon, et al. (1997) mengatakan respon kortisol sebagai fight and flight response. Peranan protein SOCS-3 (Suppressor of Cytokine Signalling) untuk menghambat aksi sitokin dan hormon pada interaksi imunoneuroendokrin merupakan switching off aktivitas sel kortikotrof (Auernhammer & Melmed, 2001). Mekanisme on-off ini membuat ada plastisitas dan fleksibilitas yang tinggi pada respon stress oleh adrenal. Plastisitas diperkuat dengan keberadaan HSP 90 (Heat Shock

13 Protein) yang merupakan faktor kunci reseptor glukokortikoid, bila distribusi HSP 90 berbeda maka respon sel terhadap kortisol juga berbeda (Ouyang, et al., 2006). Pada pola akut kelenjar adrenal banyak berkolaborasi dengan sistem lain. Sistem saraf simpatis diperlukan karena berespon sangat cepat , mendahului aksis HHA. Sistem saraf simpatis ini akan melibatkan medula adrenal yang ontogenik identik dengan saraf simpatis. Ditemukan bukti bahwa sel kromafin adrenomedular terdapat di semua zona pada adrenokortikal. Neuron berasal dari badan sel di medula mempunyai akhiran saraf di korteks adrenal, aktivitas persarafan diatur melalui nervus splanchnicus (Bornstein & Chrousus, 1999; Basu, et al., 2004). Aksi parakrin dari katekholamin dan neuropeptida bersinergi dengan aksi endokrin ACTH dari hipofise akan mengatur produksi kortisol. Adanya sintesis lokal CRH dan ACTH oleh sel stromal korteks adrenal menstimuli produksi kortisol melalui aksi juxtrakrin dan parakrin. Mekanisme ini yang akan terus berjalan sewaktu ACTH dari hipofise sudah tidak ada (Bornstein & Chrousus, 1999; Greenspan & Gardner, 2004). Hal ini dibuktikan dengan keberadaan serta aktivitas mRNA dan protein StAR (Steroidogenic Acute Regulatory) (LeRoy, et al., 2000; Lacroix & Hontela, 2001). Sel adrenokortikal di zona retikularis juga bertindak sebagai promoter IL-1, IL-6, TNF , dan produksi IGF-1 ditemukan dapat meningkat sampai 2 kali lipat dalam waktu 2 jam (Bornstein & Chrousus, 1999; LeRoy, et al, 2000). Efek kortisol juga diperkuat oleh adanya mekanisme shunt kortison kortisol di beberapa jaringan (Alfaidy, et al. 2001; Basu, et al., 2004). Tingginya kadar kortisol yang bisa mencapai 5-10 lipat ini merupakan mekanisme untuk mengatasi stress (coping mechanism), kemudian akan diikuti kembali normalnya ACTH. Disosiasi kadar ACTH dan kortisol ini dimungkinkan karena adanya ancillary regulatory mechanism (Bornstein & Chrousus, 1999; LeRoy, et al., 2000). Kebutuhan hormon stress ini adalah untuk mempersiapkan tubuh dalam fungsi fisiologis guna mobilisasi aktivitas muskular, persediaan glukosa sebagai sumber energi otak dan otot, pengendalian peradangan dan meningkatkan fungsi jantung & paru dalam mengatasi keadaan kritis. Pada pola kronis, pemulihan tergantung pada gaya hidup, istirahat, diet, faktor genetik dan herediter individu (Goshen, et al.,

14 2007; Ising, et al., 2007; Roy, et al, 2007). Sesudah stressor hilang seharusnya fungsi segera kembali ke keadaan semula, seperti sebelum adanya stressor. Tetapi bila rangsang stress masih berlangsung atau ada stressor lain yang datang, tubuh akan berusaha meningkatkan produksi kortisol terus-menerus. Bila hal ini diluar kapasitas pemulihan sel-sel adrenokortikal akan menyebabkan melemahnya fungsi adrenal (adrenal fatigue) atau bahkan dapat menyebabkan kelelahan adrenal (adrenal exhaustion), kesemuanya mengakibatkan kerentanan individu terhadap penyakit kronis (Seasholtz, 2000). Kenaikan kortisol yang berkepanjangan dapat mengganggu metabolisme glukosa di daerah hippocampus otak yang akan berakibat adanya defisit memori. Tingginya kadar kortisol secara terus-menerus dapat menyebabkan perlukaan neuron (neuronal injury) karena kemampuan kortisol untuk memicu programmed cell death, baik apoptosis maupun non-apoptosis (DeLeon, et al., 1997; Goshen, et al., 2007). Pada orang tua dapat dilihat dengan adanya defisit kognitif dan disfungsi eksekutif (Smith, et al., 2007). Kerusakan mana dapat diperberat dengan adanya proses penuaan maupun kerusakan lain yang berkaitan dengan adanya stress pada sel, seperti adaptasi dengan autofagi (Maiuri, et al., 2007), penurunan fungsi replikatif stem cell (Sharpless & DePinho, 2007), kesemuanya memerlukan pemulihan seluler secara sempurna (Campisi & DiFagagni, 2007). Dengan mengutip Cognitive Activation Theory of Stress, Costa Rosa (2004), mengemukakan bahwa individu dengan kemampuan coping yang efisien dapat mengatasi stress dengan cepat bahkan dapat memperoleh manfaat positif pada sistem imunnya. Tetapi pada individu yang tidak mempunyai kapasitas coping yang adekuat akan cenderung menjadi stress kronis, terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan, pekerjaan atau kehilangan orang terdekat, akan muncul gejala yang mirip dengan chronic exhaustive exercise. Pada individu ini mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap penyakit infeksi, ada hubungan kerapuhan imunologis dengan problem psikis yang tidak teratasi. Kerentanan pada infeksi yang banal di masyarakat dapat dilihat dari tingginya seropositivitas terhadap beberapa virus, seperti CMV, yang tingkatannya banyak dikaitkan dengan sosioekonomi suatu negara, dimana makin rendah tingkat sosioekonomi akan lebih banyak problem psikososialnya (Mulyono,

15 2000; Lewandroswki, 2002). Latihan fisik reguler yang mempertimbangkan maksimal konsumsi Oksigen (50% - 95%) dan dengan suplemen yang banyak mengandung glutamin akan memperbaiki daya tahan. Dua hipotesis mendasari (Costa Rosa, 2004), yang pertama adalah glutamin merupakan 20% asam amino dan utilisasi glutamin oleh limfosit serta makrofag tinggi. Hipotesis kedua adalah keterlibatan sistem neuroendokrin dimana selama latihan 7 kadar hormon adrenalin, noradrenalin, GH dan kortisol meningkat dan ini akan memperbaiki dinamika limfosit, fungsi netrofil, dan aktivitas sel NK. Evaluasi daya tahan yang dilakukan menemukan peningkatan produksi IL-1, IL-2, TNF dan IFN serta didapatkannya keseimbangan respon Th1 : Th2. Hal yang mirip juga didapatkan oleh Ronsen, et al (2002). Kelompok peneliti ini menemukan bahwa dengan pemulihan melalui istirahat yang cukup (lebih 6 jam) maka para atlet Endurance Sport akan mencapai prestasi maksimal pada test berikutnya. Evaluasi laboratorium menunjukkan bahwa ditemukan kenaikan yang nyata dari adrenalin, nor adrenalin, ACTH, kortisol, dan jumlah netrofil, sedangkan jumlah limfosit menurun dan profil sitokin bergeser ke Th2. Sholeh (2006), dalam penelitiannya pada para pengamal salat tahajud yang diamati selama 8 minggu, mendapatkan adanya penurunan kadar kortisol dan peningkatan jumlah limfosit, netrofil, monosit, eosinofi serta kadar imunoglobulin G. Diperoleh kesimpulan bahwa salat tahajud yang dijalankan dengan tepat, kontinu, khusyuk dan ikhlas dapat merupakan pelatihan emosional yang positif yang akan memperbaiki mekanisme coping terhadap stress serta menaikkan kapasitas respon imun. Dari 3 penelitian diatas dapat diperoleh 2 milestone. Pertama, ada petanda biologis (biomarker) yang dapat dipakai untuk mengungkapkan kondisi interaksi sistem imunoneuroendokrin dalam tanggap stress. Biomarker ini dapat dipakai sebagai parameter laboratorium untuk mengevaluasi seberapa baik manajemen sel dijalankan untuk mengatur respon tubuh terhadap stress yang ada. Kedua, bahwa upaya tanggap biologis terhadap stress dapat dilatih baik secara fisik dan emosional maupun dengan suplementasi nutrisi. Menjadi tugas seorang Spesialis Patologi Klinik (PK) untuk dapat membawa dan menerapkan biomarker stress ini sebagai menu pelayanan di rumah sakit atau laboratorium klinik. Ada 2 langkah

16 manajerial dan akademik yang harus dilaksanakan, yaitu: melakukan uji akseptabilitas dan uji plausibilitas (Baskoro, 1983; Nigon, 2000; Lewandrowski, 2002; Burtis, 2006). Hal ini perlu diambil sebagai pertimbangan mengingat banyak teknik untuk pemeriksaan biomarker ini masih dalam kategori For research use only yang artinya belum mendapat persetujuan dari FDA (Food & Drug Administration) guna dipakai untuk keperluan pelayanan kesehatan. Untuk teknik pemeriksaan dalam kategori tersebut, laboratorium pelayanan kesehatan masih harus melakukan beberapa uji klinis sampai diperoleh persyaratan sebagaimana pereaksi yang sudah disetujui FDA atau Commercial available, yang artinya sudah diperbolehkan untuk pemakaian klinik secara meluas (ISO, 2004; Wikler, et al., 2007). Uji akseptabilitas dipakai untuk menilai dapat diterimatidaknya suatu teknik pemeriksaan dalam sistem pelayanan, ini tergantung 2 hal yaitu: aplikabilitas dan reliabilitas (Baskoro, 1983). Aplikabilitas atau praktikabilitas meliputi ada/tidaknya peralatan yang memadai, petugas yang kompeten, volume spesimen, waktu pengerjaan dan mahal/tidaknya beaya (Nigon, 2000) . Reliabilitas atau keterandelan dilihat dari penampilan analitik dan penampilan diagnostik (Lewandrowski, 2002; Burtis, et al., 2006). Penampilan analitik diperoleh dengan mengukur sensitivitas analitik, spesifisitas analitik, presisi dan akurasi. Penampilan diagnostik diperoleh dengan mengukur sensitivitas diagnostik, spesifisitas diagnostik, nilai ramal positif, nilai ramal negatif, Like-lihood ratio dan efisiensi pemeriksaan. Khusus sensitivitas analitik, dengan adanya kemajuan teknologi pembuatan antibodi monoklonal dan metode amplifikasi, maka sekarang sudah ditemukan teknik-teknik pemeriksaan laboratorium yang mampu mengukur suatu substansi dalam skala pikogram (10 -12 gram) / dL pada spesimen yang volumenya hanya 1020 uL. Uji plausibilitas dipakai untuk mempertimbangkan masuk akal tidaknya suatu hasil pemeriksaan laboratorium (Baskoro, 1983). Pertimbangan plausibilitas meliputi 3 hal: ada-tidaknya nilai referens, konstelasi dengan hasil parameter lain, dan ketajaman analisis seorang Spesialis PK. Nilai referens atau nilai rujukan normal, adalah kadar tertentu suatu zat atau substansi atau biomarker pada individu-individu

17 dengan keadaan kesehatan tertentu, pada umumnya dipergunakan populasi sehat (Lewandrowski, 2002; Burtis, et al., 2006). Konstelasi hasil adalah dengan melihat hubungan dengan parameter laboratorium lain atau hubungan dengan diagnosis kerja/banding atau diagnosis yang dilakukan dengan perasat lain. Hal ini perlu, mengingat adanya saling ketergantungan metabolik, adanya regulasi biomarker, kemungkinan salah dalam persiapan spesimen ataupun hal-hal yang berkaitan dengan tahap Pra-Intra-Pasca analisis laboratorium (Nigon, 2000). Ketajaman analisis Spesialis PK , hal ini tergantung dari kecermatan, pengalaman klinis, intensitas dalam mencari literatur/EBM (Evidence based Medicine) dan intensitas berpartisipasi dalam diskusi atau pertemuan ilmiah. Dengan demikian tidak dengan serta-merta suatu biomarker stress dapat menjadi parameter pelayanan di laboratorium klinik atau rumah sakit. Berbagai hal masih harus dipertimbangkan. Sejauh ini yang sudah dapat dipakai sebagai profil biomarker stress adalah pemeriksaan kortisol, ACTH, darah lengkap dengan jumlah limfosit absolut, subpopulasi limfosit (CD4 dan CD8). Pemeriksaan sitokin dan neurotransmitter, terutama untuk IL-1, IL-2, IL-6, IFN, TNF dan adrenalin masih memerlukan evaluasi, walaupun sudah banyak kit pereaksi tersedia dijual-belikan. Pengembangan penelitian diperlukan untuk lebih memperjelas fungsi-fungsi beberapa protein seperti StAR, SOCS 3 dan HSP 90. Namun demikian pemeriksaan yang sudah ada dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, yang kemudian dapat dikembangkan pemeriksaan lanjutan maupun pemeriksaan dinamik melalui beberapa perlakuan, seperti pembebanan dengan latihan fisik atau emosional maupun pemberian suplemen. Ke depan, bidang Patologi Klinik dapat bekerjasama dengan bidang Saraf melalui klinik Memori, bidang Kedokteran Jiwa melalui klinik MMPI, bidang Penyakit Dalam melalui klinik Psikosomatis maupun dengan profesi Psikologi Klinis untuk mewujudkan pelayanan penatalaksanaan stress secara terpadu.

18 Daftar Pustaka Alfaidy N; Xiong ZG; Myatt L; Lye SJ; MacDonald JF; & Challis JRG. 2001 Prostaglandin F2 potentiates cortisol production by stimulating 11B-hydroxysteroid dehydrogenase 1: A novel feedback loop that may contribute to human labor. J Clin Endocrinol & Metab. 86(11): 5585-92 Auernhammer CA; & Melmed S. 2001 The central role of SOCS-3 in integrating the neuro-immunoendocrine interface. J Clin Invest. 108: 1735-40 Baskoro T. 1983 Menuju pemanfaatan optimal laboratorium Patologi Klinik dalam menunjang peningkatan pelayanan kesehatan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 19 November Basu R; Singh RJ; Basu A; Chittilapilly EG; Johnson CM; Toffolo G; Cobelli C; & Rizza RA. 2004 Splanchnic cortisol production occurs in humans: Evidence for conversion of cortisone to cortisol via 11-B hidroxysteroid dehydrogenase (11B-HSD) type 1 pathway. Diabetes, 53: 2051-9 Bayles KW. 2007 Opinion: The biological role of death and lysis in biofilm development. Nature Rev Microbiol. 5: 721-6 Berczi I. 2001 New foundation of biology: Neuroimmune biology. NIB. 1: 3-45 Beyer A; Bandyopadhay S; & Ideker T. 2007 Integrating physical and genetic maps: From genomes to interaction networks. Nature Rev Genetics. 8: 699-710 Bornstein SR; & Chrousus GP. 1999 Adrenocorticotropin (ACTH) and Non-ACTH mediated regulation of the adrenal cortex: Neural and immune inputs. J Clin Endocrinol & Metab. 84(5): 1729-36 Burtis CA; Ashwood ER; & Bruns DE. 2006 Tietz Textbook of Clinical Chemistry & Molecular Diagnostics, 4th Ed. ElSevier Saunders, St. Louis Campisi J; & di Fagagna FA. 2007 Cellular senescence: when bad things happen to good cells. Nature Rev Mol Cell Biology.

19 8: 729-40 Chew SL; & Leslie D. 2006 Clinical Endocrinology & Diabetes, 1st Ed. Churchill Livingstone ElSevier, Edinburgh Costa Rosa LFBP. 2004 Exercise as a time-conditioning effector in chronic disease: A complementary treatment strategy. Evid Based Complement Alternat Med. 1(1): 63-70 Das UN. 2007 Letter to Editor: Vagus nerve stimulation, depression, and inflammation. Neuropsychopharmacology. 32: 2053-4 De Leon MJ; McRae T; Rusiner H; Convit A; De Santi S; Tarshish C; Golomb J; Volkow N; Daisley K; Orentreich N; & McEwen B. 1997 Cortisol reduces hippocampal glucose metabolism in normal elderly, but not in Alzheimers disease. J Clin Endocrinol & Metab. 82(10): 3251-9 Delves PJ; Martin SJ; Burton DR; & Roitt IM. 2006 Roitts Essential Immunology, 11th Ed. Blackwell Publishing, Oxford Esposito P; Chandler N; Kandere K; Basu S; Jacobson S; Connoly R; Tutor D; & Theoharides T. 2002 Corticotropin-Releasing Hormone and brain mast cells regulate blood-brain-barrier permeability induced by acute stress. J of Pharmacol & Exp Therapeutic, 303: 1061-6 Goldsby RA; Kindt TJ; Osborne BA; & Kuby J. 2003 Immunology, 5th Ed. W.H. Freeman & Co., New York Goshen I; Kreisel T; Ben-Menachem-Zidon O; Licht T; Weidenfelt J; Ben-Hur T; & Yirmiya R. 2007 Brain interleukin-1 mediates chronic stress induced depression in mice via adrenocortical activation and hippocampal neurogenesis suppression. Mol Psychiatry. Doi:10.1038/sj.mp.4002055 Greenspan FS; & Gardner DG. 2004 Basic & Clinical Endocrinology, 7th Ed. Lange medical Books/McGraw Hill, New York Ising M; Zimmermann; Kunzel HE; Uhr M; Foster AC; LearnedCoughlin SM; Holsboer F; & Grigoriadis DE. 2007 Highaffinity CRF1 receptor antagonist NBI-34041: Preclinical and clinical data suggest safety and efficacy in attenuating elevated stress response. Neuropsychopharmacology. 32: 1941-9 ISO. 2004 Medical Laboratories Particular Requirements for Quality and Competence (ISO 15189:2003, IDT). Dept. of Standards Malaysia, Putrajaya

20 King AG; Wierda D; & Landreth KS. 1988 Bone marrow stromal cell regulation of B-lymphopoiesis: The role of macrophages, IL-1 and IL-4 in pre-B cell maturation. J Immunol. 141, Issue 6: 2016-26 Kurotani R; Yasuda M; Oyama K; Egashira N; Suagaya M; Teramoto A; & Isamura RY. 2001 Expression of interleukin-6, IL-6 R (gp80), and the receptors signal-transducing subunit (gp130) in human normal pituitary glands and pituitary adenomas. Mod Pathol. 14(8): 791-7 Lacroix M; & Hontela A. 2001 Regulation of acute cortisol synthesis by cAMP-dependent protein kinase and protein kinase C in a teleost species, the rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). J Endocrinol. 169: 71-8 LeRoy C ; Li JY; Stocco DM; Langlois D; & Saez J. 2000 Regulation by ACTH, Angiotensin II, Transforming Growth Factor , and IGF-1 of bovine adrenal cell streoidogenic capacity and expression of ACTH receptor, StAR protein, cytochrom P450c13, and 3 hydroxysteroi dehydrogenase. Endocrinology, 141 (5):1599-607 Lewandrowski K. 2002 Clinical Chemistry: Laboratory Management & Clinical Correlations, 1st Ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia Maiuri MC; Zalckvar E; Kimchi A; & Kroener G. 2007 Self-eating and self-killing: Crosstalk between autophagy and apoptosis. Nature Rev Mol Biology. 8: 741-52 McDermott MT. 2005 Endocrine Secrets, 4th Ed. ElSevier Mosby, Philadelphia Mulyono B; & Haryana SM. 1994 mRNA expression analysis of leukemic blood samples using oncogenes probes. Symposium on Application of Molecular Probings, The 3rd Asian Conference of Clinical Pathology. Taipei, Taiwan R.O.C., 23-25 June Mulyono B. 2000 Seroepidemiology of antibodies anti Cytomegalovirus in Yogyakarta and surroundings. Infection Symposia, The 6th Asian Conference of Clinical Pathology. Pusan, Korea, 11-14 October Nigon DL. 2000 Clinical Laboratory Management: Leadership Principles for the 21st Century. McGraw Hill, New York

21 Ouyang J; Jiang T; Tan M; Cui Y; & Li X. 2006 Abnormal expression and distribution of heat shock protein 90: Potential etiologic immunoendocrine mechanism of glucocorticoid resistance in idiopathic nephrotic syndrome. Clin & Vacc Immunol. 13(4): 496-500 Pollard TD; Earnshan WC; & Lippincott-Schwartz. 2008 Cell Biology, 2nd Ed. Saunders ElSevier, Philadelphia Prak ETL; Park J; Yu G; & Nachamkin I. 2006 Point: Developing a curriculum in Clinical Pathology. Clin Chemistry. 52(6): 969-71 Ronsen O; Kjeldsen_Kragh J; Haug E; Bahr R; & Pedersen BK. 2002 Recovery time affects immunoendocrine responses to a second bout of endurance exercise. Am J Physiol Cell Physiol; 283: C1612-20 . Roy A; Hu XZ; Janal MN; & Goldman D. 2007 Interaction between childhood trauma and serotonin transporter gene variation in suicide. Neuropsychopharmacology. 32: 2046-52 Russell SJ; & Kahn CR. 2007 Endocrine regulation of ageing. Nature Rev Mol Cell Biology. 8: 681-691 Seasholtz A. 2000 Regulation of adrenocorticotropic hormone secretion: Lessons from mice deficient in corticotrophinreleasing hormone. J Clin Invest. 105(9): 1187-8 Sharpless NE; & DePinho RA. 2007 How stem cells age and why this makes us grow old. Nature Rev Mol Cell Biology. 8:703-13 Sholeh M. 2006 Terapi Salat Tahajud. Hikmah Populer, Jakarta Selatan Smith BR; Wells A; Alexander; CB; Bovill E; Campbell S; Dasgupta A; Fung M; Haller B; Howe OG; Parvin C; Peerschke E; Rinder H; Spitalnik S; Weiss R; & Wener M. 2006 Curriculum content and evaluation of resident competency in Clinical Pathology (Laboratory Medicine): A proposal. Clin Chemistry. 52(6): 917-49 Smith GS; Gunning-Dixon FM; Lotrich FE; Taylor WD; & Evans JD. 2007 Translational research in late-life mood disorders: Implications for future intervention and prevention research. Neuropsychopharmacology. 32: 1857-75 Vicovac LM; Starkey PM; & Aplin JD. 1994 Comment: Effect of cytokines on prolactin production by human decidual stromal

22 cells in culture: Studies using cells freed of bone marrowderived contaminants. J Clin Endocrinol & Metab. 79(6): 187782 Vila G; Papazoglou M; Stalla J; Theodoropoulou M; Stalla GK; Holshoer F; & Paez-pereda M. 2005 Sonic hedgehog regulates CRH signal transduction in adult pituitary. FASEB J. 19: 281-3 Wells A; & Smith B. 2006 Counterpoint: Developing a Clinical Pathology curriculum to meet current and future needs. Clin Chemistry. 52(6): 971-2 Wikler MA; Cockerill FR; Craig WA; Dudley MN; Eliopoulos GM; Hecht DW; Hindler JF; Low DE; Sheehan DJ; Tenover FC; Turnidge JD; Weinstein MP; & Zimmer BL. 2007 Performance Standard for Antimicrobial Susceptibility Testing; 17th Ed. Clinical & Laboratory Standard Institute, Wayne Yeaman MR; & Yount NY. 2007 Opinion: Unifying themes in host defence effector polypeptides. Nature Rev Microbiol. 5: 727-40

Anda mungkin juga menyukai