ASUHAN KEPERAWATAN
DIABETES MELITUS
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala berkat dan
rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini, kami membahas
tentang Diabetes Milletus .
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai Diabetes
Milletus. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak. Untuk itu kami mengucapakan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala
bentuk saran dan kritik dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
A. Definisi
B. Etiologi
C. Manifestasiklinik
D. Komplikasi
E. Patofisiologi dan Patoflodiagram
F. Pemeriksaan diagnostic
G. Asuhankeperawatan (teori)
H. Discharge planning
A. Gambaran kasus
B. Pengkajian
C. Diagnosakeperawatan (DO dan DS)
D. Intervensi (NIC dan NOC)
E. Implementasi
F. Evaluasi
BAB V : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995). DM merupakan
penyakit yang menjadi masalah pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu DM
tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian nasional untuk penyakit
degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, rheumatik dan
katarak (Tjokroprawiro, 2001).
Sistem Endokrin disebut juga kelenjar buntu, yaitu kelenjar yang tidak
mempunyai saluran khusus untuk mengeluarkan sekretnya. Sekret dari kelenjar endokrin
dinamakan hormon. Hormon berperan penting untuk mengatur berbagai aktivitas dalam
tubuh hewan, antara lain aktivitas pertumbuhan, reproduksi, osmoregulasi, pencernaan,
dan integrasi serta koordinasi tubuh.
Sistem endokrin hampir selalu bekerja sama dengan sistem saraf, namun cara kerjanya
dalam mengendalikan aktivitas tubuh berbeda dari sistem saraf. Ada dua perbedaaan cara
kerja antara kedua sistem tersebut. Kedua perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Dibandingkan dengan sistem saraf, sistem endokrin lebih nanyak bekerja melalui transmisi
kimia.
2. Sistem endokrin memperhatikan waktu respons lebih lambat daripada sistem saraf. Pada
sistem saraf, potensial aksi akan bekerja sempurna hanya dalam waktu 1-5 milidetik, tetapi
kerja endokrin melalui hormon baru akan sempurna dalam waktu yang sangat bervariasi,
berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam. Hormon adrenalin bekerja hanya dalam
waktu singkat, namun hormon pertumbuhan bekerja dalam waktu yang sangat lama. Di
bawah kendali sistem endokrin (menggunakan hormon pertumbuhan), proses pertumbuhan
memerlukan waktu hingga puluhan tahun untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang
sempurna.
Dasar dari sistem endokrin adalah hormon dan kelenjar (glandula), sebagai senyawa
kimia perantara, hormon akan memberikan informasi dan instruksi dari sel satu ke sel
lainnya. Banyak hormon yang berbeda-beda masuk ke aliran darah, tetapi masing-masing tipe
hormon tersebut bekerja dan memberikan pengaruhnya hanya untuk sel tertentu.
Sel-sel penyusun organ endokrin dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Sel Neusekretori, adalah sel yang berbentuk seperti sel saraf, tetapi berfungsi sebagai
penghasil hormon. Contoh sel neusekretori ialah sel saraf pada hipotalamus. Sel tersebut
memperhatikan fungsi endokrin sehingga dapat juga disebut sebagai sel neuroendokrin.
Sesungguhnya, semua sel yang dapat menghasilkan sekret disebut sebagai sel sekretori. Oleh
karena itu, sel saraf seperti yang terdapat pada hipotalamus disebut sel neusekretori.
2. Sel endokrin sejati, disebut juag sel endokrin kelasik yaitu sel endokrin yang benar-benar
berfungsi sebagai penghasil hormon, tidak memiliki bentuk seperti sel saraf. Kelenjat
endokrin sejati melepaskan hormon yang dihasilkannya secara langsung ke dalam darah
(cairan tubuh). Kelenjar endokrin sejati dapat ditemukan pada hewan yang memepunyai
sistem sirkulasi, baik vertebrata maupun invertebrata. Hewan invertebrata yang sering
menjadi objek studi sistem endokrin yaitu Insekta, Crustaceae, Cephalopoda, dan Moluska.
Kelenjar ensokrin dapat berupa sel tunggal atau berupa organ multisel.
C. Klasifikasi, Fungsi, dan Sifat Hormon
Selain berbagai hormon yang telah disebutkan di atas, terdapat sejumlah zat kimia yang
menyerupai hormon, antara lain :
· Hormon Thymic : Hormon dari kelenjar timus (thymus), berperan untuk mempengaruhi
perkembangan sel limfosit B menjadi sel plasma, yaitu sel penghasin antibodi.
· Hormon Brakidin : Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar yang sedang aktif, bekerja
sebagai vasodilator (yang menyebabkan pembuluh darah membesar) sehingga dapat
meningkatkan aliran darah dan merangsang pengeluaran keringat dan air ludah dalam jumlah
lebih banyak.
· Hormon Eritropuitin : Merupakan glikoprotein yang proses sintesisnya melibatkan hati dan
ginjal, hormon ini dapat merangsang pusat pembentukan sal darah di sumsum tulang
sehingga tubuh akan menghasilkan sel darah merah dalam jumlah yang lebih banayak. Hal ini
bermanfaat dalam meningkatkan jumlah oksigen yang dapat diangkut oleh darah.
· Hormon Prostaglin, Eritropuitin, Histamin, Kinin, dan Renin dapat disintesis secara luas
oleh berbagai jaringan tau organ yang sebenarnya tidak berfungsi sebagai organ endokrin.
· Hormon Feromon : suatu senyawa kimia spesifik yang dilepaskan oleh hewan ke
lingkunganya.dan dpapat menimbulkan respons prilaku, perkembangan, reproduktif. Dan
untuk membereikan daya tarik seksual, menandai daerah kekuasaan, mengenali individu lain
dalam spesies yang sama dan berperan penting dalam sinkronisasi siklus seksual.
D. Jenis Kelenjar Endokrin
kelenjar ini terletak di dasar tengkorak yang memegang peranan penting dalam sekresi
hormon dari semua organ-organ endokrin. Kelenjar pituitari ini dikenal sebagai master of
glands (raja dari semua kelenjar) karena pituitari itu dapat mengkontrol kelenjar endokrin
lainnya. Sekresi hormon dari kelenjar pituitari ini dipengaruhi oleh faktor emosi dan
perubahan iklim. Pituitari dibagi 2 bagian, yaitu anterior dan posterior.
a. Hipofisis anterior:
c. Hipofisis posterior
2) Kelenjar Tiroid
Terletak dan menempel pada trakea di bagian depan. Kelenjar tiroid adalah salah satu
dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh manusia. Kelenjar ini dapat ditemui di leher.
Kelenjar ini berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh membakar energi, membuat protein
dan mengatur kesensitifan tubuh terhadap hormon lainnya. Kelenjar tiroid dapat distimulasi
dan menjadi lebih besar oleh epoprostenol. Fungsi tiroid diatur oleh hormon perangsang
tiroid (TSH) hipofisis, dibawah kendali hormon pelepas tirotropin (TRH) hipotalamus
melalui sistem umpan balik hipofisis-hipotalamus. Faktor utama yang mempengaruhi laju
sekresi TRH dan TSH adalah kadar hormon tiroid yang bersirkulasi dan laju metabolik tubuh.
3) Kelenjar Paratiroid
kelenjar ini terletak di setiap sisi kelnjar tiroid yang terdapat di dalam leher. Kelenjar
ini berjumlah 4 buah yang tersusun berpasangan yang mengahasilkan hormon paratiroksin.
Ada 2 jenis sel dalam kelejar paratiroid, ada sel utama yang mensekresi hormon paratiroid
(PTH) yang berfungsi sebagai pengendali keseimbangan kalsium dan fosfat dalam tubuh
melalui peningkatan kadar kalsium darah dan penuurunan kadar fosfat darah dan sel oksifilik
yang merupakan tahap perkembangan sel chief.
4) Adrenal
Merupakan kelenjar ini berbentuk bola, yang menempel pada bagian atas ginjal.
Kelenjar ini disebut juga kelenjar adrenal atau kelenjar supra renal. Kelenjar adrenal dapat
dibagi menjadi dua bagia, yaitu bagian luar yang berwarna kekuningan yang bernama
korteks, menghasilkan hormone kortisol, dan bagian tengah (medula), menghasilkan hormon
Adrenalin (epinefrin) dan nor adrenalin (norepinefrin).
5) Pankreas
Pangkreas terletak dibelakang lambung di depan vertebra lumalis I dan II yang tersusun
dari pulau-pulau langerhans yang tersebar di seluruh pangkreas. Di pulau langerhans inila
terdapat sel-sel alfa dan sel-sel beta. Sel alfa menghasilkan hormon glucagon sedangkan sel-
sel beta menghasilkan hormone insulin. Hormon insulin berfungsi mengatur konsentrasi
glukosa dalam darah. Kelebihan glukosa akan dibawa ke sel hati dan selanjutnya akan
dirombak menjadi glikogen untuk disimpan. Kekurangan hormon ini akan menyebabkan
penyakit diabetes.
6) Kelenjar Timus
Terletak di dalam midiastinum di belakan tulang sternum, kelenjar timus dijumpai pada
anak-anak di bawah usia 18 tahun. Kelenjar ini terletak di dalam toraks kira-kira setinggi
percabangan trakea, warnanya kemerah-merahan dan terdiri atas 2 lobus. Pa da bayi baru
lahir beratnya kira-kira 10 gram, dan ukurannya bertambah pada masa remaja sekitar 30-40
gram.
Kelenjar timus menhasilkan suatu sel imun yang membantu dalam pertahanan tubuh,
selain itu hormon kelenjar timus berperan dalam membatu pertumbuhan badan.
7) Hormon Kelamin
a) Testis
Testis terdapat pada pria, terletak pada skortum. Di dalam testis terdapat sel-sel leydig
yang akan menghasilkan hormon testoteron. Hormon testoteron akan menentukan sifat
kejantanan misalnya adanya jenggot, kumis, jakun dan lain-lain, dan mengasilkan sel mani
(spermatozoid).
b) Ovarika
kelenjar ovarika terdapat pada wanita, terletak pada ovarium di sebelah kiri dan kanan
rahim dan menhasilkan hormon estrogen dan progesteron (korpus luteum). Hormon ini dapat
mempengaruhi pekerjaan uterus serta memberikan sifat kewanitaan, misalnya panggul yang
besar, bahu yang sempit dan lain-lain.
E. Sifat Hormon
Semua hormon umunya memperlihatkan adanya kesamaan sifat. Beberapa sifat yang
umum diperlihatkan oleh hormon ialah sebagai berikut:
1. Hormon Polipeptida biasanya disintesis dalam bentuk precursor yang belum aktif (disebut
sebagai prohormon), contohnya proinsulin. Prohormon memiliki rantai yang panjang
daripada bentuk aktifnya.
2. Sejumlah hormon dapat berfungsi dalam konsentrasi yang sangat rendah dan sebagian
hormon berumur pendek.
3. Beberapa jenis hormon (misalnya adrenalin) dapat segera beraksi dengan sel sasaran dalam
waktu beberapa detik, sedangkan hormon yang lain (contohnya esterogen dan tiroksin)
bereaksi secara lambat dalam waktu beberapa jam samapai beberapa hari.
Reseptor untuk hormon pada suatu sel dapat terletak pada membrane atau sitoplasma
biasanya merupakan reseptor untuk hormon protein atau peptida. Apabila sudah sampai di
dekat sel sasaran, hormon akan segera berikatan dengan reseptornya dan memebentuk
komplekss hormon-reseptor. Pembentukan hormon-reseptor terjadi melalui mekanisme yang
serupa dengan penggabungan antara anak kunci dan gemboknya. Kompleks hormon-reseptor
akan memicu serangkaian reaksi biokimia yang menimbulkan tanggapan hayati.
Berikut adalah contoh beberapa peristiwa yang dapat diubah oleh hormon dengan
cara kerja seperti di atas :
Merupakan hormon yang terdapat dalam sitoplasma sel sasaran. Hormon yang
menggunakan reseptor sitosolik adalah hormon steroid dan hormon turunan asam amino.
Hormon tersebut sangat musah larutdalam lipid sehingga mudah melewati membrane sel
sasaran.
Selama dalam peredaran darah ke seluruh tubuh, hormon selalu berkaitan dengan
pengembannnya. Hormon akan terlepas dari molekul pengemban dan masuk ke sel sasaran.
Dalam sitoplasma sel sasaran, hormon berkombinasi dengan reseptor khusus sehingga
menghasilkan kompleks hormon-reseptor yang aktif. Kompleks tersebut memiliki daya
gabung yang sanagt tinggi terhadap DNA sehingga setelah masuk ke inti, akan segera
berkombinasi dengan DNA. Hal ini yang mengawali transkrip DNA. Pengikatan kompleks
hormon-reseptor pada daerah promoter akan merangsang gen tertentu untuk aktif atau pasif.
BAB 2
c. Kadar gula darah dua jam setelah makan > 200 mg/dl
1) Kesemutan, neuropati
2) Kelemahan tubuh
4) Mata kabur
2.5 Komplikasi
Menurut Riyadi (2008) komplikasi diabetes melitus adalah:
a. Komplikasi yang bersifat akut
1) Koma hipoglikemia
Koma hipoglikemia terjadi karena pemakaian obat-obat diabetik
yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan
glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi
untuk masuk ke dalam sel.
2) Ketoasidosis
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari
sumber alternatif untuk dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak
ada glukosa maka benda-benda keton akan dipakai sel. Kondisi
ini akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran
benda-benda keton yang berlebihan yang dapat mengakibatkan
asidosis.
3) Koma hiperosmolar nonketotik
Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan
ekstrasel karena banyak diekskresi lewat urin.
Komplikasi yang bersifat kronik
Makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar, pembuluh
darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati
diabetika, nefropati diabetik. Nefropati terjadi karena perubahan
mikrovaskulr pada struktur dan fungsi ginjal yang menyebabkan
komplikasi pada pelvis ginjal. Tubulus dan glomerulus penyakit
ginjal dapat berkembang dari proteinuria ringan ke ginjal.
Retinopati adanya perubahan dalam retina karena penurunan
protein dalan retina. Perubahan ini dapat berakibat gangguan
dalam penglihatan.
Neuropati diabetika
Akumulasi orbital didalam jaringan dan perubahan metabolik
mengakibatkan fingsi sensorik dan motorik saraf menurun
kehilangan sensori mengakibatkan penurunan persepsi nyeri.
Rentan infeksi seperti tuberculosis paru, gingivitis, dan infeksi
saluran kemih.
Ulkus diabetik
Perubahan mikroangiopati, mikroangiopati dan neuropati
menyebabkan perubahan pada ekstermitas bawah. Komplikasinya
dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, gangren,
penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik dapat
menunjang terjadi trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang
mengakibatkan gangren.
2.6 Patoflodiagram
2.7 Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah
NO Pemeriksaan Normal
1 Glukosa darah sewaktu >200 mg/dl
2 Glukosa darah puasa >140 mg/dl
3 Glukosa darah 2 jam setelah makan >200 mg/dl
3. Urine
dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna
pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
4. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai
a. Pola persepsi
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tatalaksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren pada kaki diabetik,
sehingga menimbulkan persepsi negatif terhadap diri dan kecendurangan untuk
tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama,lebih dari 6 juta
dari penderita DM tidak menyadari akan terjadinya resiko kaki diabetik bahkan
mereka takut akan terjadinya amputasi (Debra Clair,Jounal Februari 201)
b. Pola nutrisi metabolik
Akibat produksi insulin yang tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka
kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering
kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah.
Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengarui status kesehatan penderita. Nausea,
vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek , mual muntah.
c. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien sering kencing(poliuri) dan pengeluaran glukosa pada
urine(glukosuria). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
d. Pola ativitas dan latihan
Kelemahan, susah berjalan dan bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan
tidur,tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan bahkan sampai
terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahanotot otot pada tungkai bawah
menyebabkan penderita tidak mampu melakukan aktivitas sehari hari secara
maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
e. Pola tidur dan istirahat
Istirahat tidak efektif adanya poliuri,nyeri pada kaki yang luka,sehingga klien
mengalami kesulitan tidur
f. Kongnitif persepsi
Pasien dengan gangren cendrung mengalami neuropati/ mati rasa pada luka
sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan mengalami penurunan,
gangguan penglihatan.
BAB 3
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Diabetes Mellitus
Diagnosa 5
KU : Panas
DS : Pasien mengatakan ada luka dibelakang kaki dengan luas 15cm
DO : - Badan teraba panas
- ada luka dengan luas 15cm
- suhu 39° C
3.5 Implementasi
makan
DO : pasien mempertahankan berat dalam
batas normal
5 Lakukan perawatan luka DS : pasien mengatakn agak berkurangnya
resiko infeksi
DO : Perawat memeriksa TTV
3.6 Evaluasi
No Diagnosa Evaluasi
1 Nyeri S : Pasien mengatakan ada luka dibelakang
kaki dengan luas 15cm
O : Pasien tampak meringis kesakitan, skala
nyeri 8
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutan intervensi
2 Hipertermi S : Pasien mengatakan demam,
O : Badan terasa panas, suhu 38° C, muka
tanpak kemerahan
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutan intervensi
3 Kelemahan tubuh S : Pasien mengatakan badan lemah
O : Kebutuhan dasar pasien dibantu oleh
keluarga pasien dan perawat
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutan intervensi
BAB 4
Hasil Penelitian Terkait Penatalaksanaan DM
Berdasarkan hasil penelitian terkait penyakit DM yaitu salah satunya Hipertensi
adanya peningkatan suhu tubuh dan juga faktor umur itu sangat rentan menyebabkan DM.
Hal tersebut disebabkan oleh aktivitas fisik yang di lakukan sehari-hari. pada kasus ini juga
kita harus tetap menjaga sistem kekebalan tubuh supaya sistem immune tubuh kita tetap
terjaga. Diharapkan penderita diabetes melltus untuk mengendalikan penyakit DM agar tidak
semakin parah. DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
Hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin
BAB 5
PENUTUP
A. Kesimpulan
Diabetes mellitus tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal
yang disebut resistensi insulin
Gejala klinik diabetes mellitus berupa poliuria, polidipsia, lemas, berat badan menurun,
kesemutan, gatal, mata kabur, impotensia (pada pria), pruritus vulvae (pada wanita).
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/615/619
http//jurnal.poltekkespadang.ac.id/ojs/indeks.php/jsm
Kennon, B. and Godwin, J. (2010). Lower‐Limb Risk Factors For Falls In People With
Diabetes Mellitus
Nugroho, Y.W. and Handono, N.P., (2017). Hubungan Tingkat Kepatuhan Diet terhadap
Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus. Jurnal KEPERAWATAN GSH,
6(1).
Prabowo, A. and Hastuti, W., (2015). Hubungan Pendidikan dan Dukungan Keluarga
Dengan Kepatuhan Diit pada Penderita Diabetes Mellitus di Wilayah Puskesmas Plosorejo
Giribangun Matesih Kabupaten Karanganyar. Jurnal KEPERAWATAN GSH, 4(2)