Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KEGIATAN INTERNSIP

F.6 Upaya Pengobatan Dasar

"Dispepsia"

Disusun oleh :

dr. Fitria Ika Pranata

Pendamping :

Dr. Nanik Sugiarti

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PERIODE AGUSTUS 2020 – NOVEMBER 2020

UPTD PUSKESMAS KAYEN

KABUPATEN PATI

JAWA TENGAH

2020

i
F.6 Upaya Pengobatan Dasar

“Pendekatan Klinis Kasus Dispepsia pada Tn. A 19 tahun di Wilayah


Kerja Puskesmas Kayen”
Kabupaten Pati
Jawa Tengah

Pati, 19 Agustus 2020

Pembimbing Dokter Internsip

dr. Nanik Sugiarti dr. Fitria Ika Pranata

ii
DAFTAR ISI

LAPORAN KEGIATAN INTERNSIP.......................................................................I

F.6 UPAYA PENGOBATAN DASAR........................................................................I

DAFTAR ISI..............................................................................................................III

BAB 1.............................................................................................................................1

PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG................................................................................................1
1.2 PERMASALAHAN...................................................................................................2
1.3 TUJUAN.................................................................................................................2
i) Tujuan Umum................................................................................................2
ii) Tujuan Khusus...............................................................................................2
1.4 MANFAAT.............................................................................................................2
i) Manfaat Teoritis............................................................................................2
ii) Manfaat Praktis.............................................................................................2

BAB II...........................................................................................................................3

PERMASALAHAN DAN KASUS..............................................................................3


A. IDENTITAS PASIEN.................................................................................................3
B. ANAMNESIS............................................................................................................3
C. PEMERIKSAAN FISIK..............................................................................................4
D. RESUME PERMASALAHAN PADA KASUS.................................................................5
E. DIAGNOSIS..............................................................................................................5
F. PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI........................................................5
G. PELAKSANAAN INTERVENSI.........................................................................6
H. PROGNOSIS.............................................................................................................7

BAB III..........................................................................................................................8

TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................8
1) DEFINISI..............................................................................................................8
2) EPIDEMIOLOGI....................................................................................................8
3) ETIOLOGI............................................................................................................8

iii
4) SIKLUS HIDUP DAN PATOGENESIS......................................................................9
5) GAMBARAN KLINIS...........................................................................................11
6) DIAGNOSA.........................................................................................................11
7) PENATALAKSANAAN.........................................................................................12
8) PENCEGAHAN DAN PENANGANAN SKABIES.....................................................12
9) PROGNOSIS........................................................................................................13
BAIK JIKA DIOBATI SECARA TEPAT DAN TERATUR...................................................13

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................14

DOKUMENTASI.......................................................................................................15

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dispepsia adalah adanya perasaan nyeri dan tidak nyaman yang terjadi di bagian perut
atas ditandai dengan rasa penuh, kembung, nyeri, beberapa gangguan mual-mual, perut keras
bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk, 2014). Pravelensi penderita dispepsi cukup tinggi
dan cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Menurut penelitian sebelumnya,
pravalensi dispepsia scara global sebesar 3,5-27%, di Amerika Serikat sebesar 23 – 25,8%,
di India sebesar 30,4%, New zealand 34,2%, Hongkong 18,4%, dan di Inggris sebesar 38 –
41%. Pada praktek dokter umum ditemukan sekitar 30% dan pada praktek dokter spesialis
gastroenterologist sebanyak 70% dengan keluhan dispepsia. Di Indonesia sendiri, menurut
data profil kesehatan Indonesia 2007, dispepsia menempati urutan ke 10 dari penyakit lainnya
di rumah sakit (Ernalia.,dkk 2015). Pada populasi umum ditemukan sekitar 15- 30%
(Djojoningrat, 2009).

Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia
(Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)
didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dari hasil
endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia
pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada
gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus
(Djojoningrat, 2009).

Pada lambung terdapat faktor agresif yaitu asam lambung dan juga faktor defensif
yaitu prostaglandin E supaya keadaan didalam lambung tetap normal. Namun pada sindrom
dispepsia terdapat kenaikan dari faktor agresif sehingga akan menimbulkan sindrom
dispepsia. Gejala – gejala atau sindrom yang dirasakan penderita dispepsia menurut kriteria
roma III adalah nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh atau rasa tidak
nyaman setelah makan, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, sendawa, dan
rasa cepat kenyang (Simadibrata dkk, 2014). Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
dispepsia antara lain adalah sekresi asam lambung yang berlebih, kebiasaan pola makan,

1
infeksi bakteri helicobacter Pylori, tukak peptik, dan psikologis. Gangguan psikologis yang
terkait dengan dispepsia biasanya adalah kecemasan dan juga depresi (Djojoningrat, 2009).
Depresi adalah gangguan suasana hati yang ditandai dengan kesedihan yang terus menerus
dan berlangsung dalam waktu yang lama serta menganggu kehidupan sehari – hari. Menurut
World Health Organization (WHO, 2012) depresi merupakan gangguan yang sangat serius.
Depresi dapat menyebabkan orang yang terkena sangat menderita dan terjadi kekacauan
dalam hidupnya bahkan orang yang terkena depresi bisa sampai melakukan bunuh diri.
Gejala dari depresi sendiri terdiri dari gangguan emosi (perasaan sedih, murung, iritabilitas,
preokupasia dengan kematian), gangguan kognitif (rasa bersalah, pesimis, putus asa, kurang
konsentrasi), keluhan somatik (sakit kepala, keluhan saluran pencernaan, keluhan haid),
gangguan psikomotor (gerakan lambat, pembicaraan lambat, malas, tidak bertenaga), dan
gangguan vegetatif (gangguan tidur, makan, dan fungsi seksual). Pada pasien depresi
terjadi gangguan HPA axis yang akan merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan
kortisol yang berlebih. Peningkatan kadar kortisol ini menyebabkan rangsangan produksi dari
asam lambung sehingga akan menimbulkan keluhan sindrom dispepsia (Levenstein ,2000).
Pada penelitian-penelitian terdahulu yang sudah dilakukan menunjukkan adanya hubungan
antara depresi dengan kejadian dispepsia. Penelitian yang dilakukan Rulianti, dkk (2013)
menunjukkan bahwa ada hubungan yang searah antara depresi dan sindrom dispepsia yang
terjadi pada pasien keganasan yang menjalani kemoterapi. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian Rulianti, dkk adalah terletak pada responden yaitu pasien kemoterapi
sehingga mengalami depresi sementara penelitian ini adalah semua pasien dengan gejala
gastrointestinal. Penelitian yang lain dilakukan oleh Tarigan (2003) menunjukkan juga ada
korelasi depresi dengan dispepsia, namun pada penelitian ini lebih ditekankan pada
perbedaan depesi antara pasien penderita dispepsia fungsional maupun organik. Perbedaan
penelitian Tarigan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada skala
pengukuran. Pada penelitian Tarigan menggunakan skala HDRS dan pada
penelitian yang akan dilakukan menggunakan skala BDI-II.
Pada penelitian yang dilakukan Haider, dkk (2013) ditemukan depresi, anxietas, dan
juga stres pada pasien dispepsia. Perbedaan dengan penelitian ini adalah jumlah variabel
bebas yang lebih banyak yaitu terdiri dari depresi, anxietas dan stres yang mempengaruhi
kejadian dispepsia. Perbedaan penelitian terletak pada skala pengukuran. Pada penelitian ini
menggunakan skala DASS dan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan BDI-II.
Penelitian Rahmaika (2014) yang meneliti tentang hubungan antara stres dengan kejadian

2
dispepsia di Puskesmas Purwodiningratan Jebres Surakarta, menemukan ada hubungan
antara stres dengan kejadian dispepsia. Perbedaan penelitian Rahmaika dengan penelitian
ini adalah terletak pada variabel bebasnya dan juga pada kuisionernya. Pada penelitian
Rahmaika menggunakan skala pengukuran stres dengan DASS sedangkan pada penelitian ini
menggunakan BDI-II.

1.2 Permasalahan

Masih rendahnya pengetahuan tentang kasus Dispepsia yang di temukan di


balai pengobatan wilayah kerja Puskesmas Kayen.

1.3 Tujuan

i) Tujuan Umum

Meningkatkan pengetahuan tentang kasus Dispepsia yang di temukan di


balai pengobatan wilayah kerja Puskesmas Kayen
ii) Tujuan Khusus

a) Meningkatkan pengetahuan masyarakatdi wilayah kerja Puskesmas Kayen


tentang yang dimaksud Dispepsia.
b) Meningkatkan pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kayen
mengobati dan mencegah Dispepsia.
1.4 Manfaat

i) Manfaat Teoritis

a) Memberikan tambahan informasi mengenai penyakit dispepsia.


iii) Manfaat Praktis

a) Bagi Puskesmas
Membantu dalam pengembangan program upaya kesehatan di balai
pengobatan khususnya penyakit dispepsia.
b) Bagi Masyarakat
Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang penyakit dispepsia
dancara mencegah penyakit dispepsia.

3
BAB II

PERMASALAHAN DAN KASUS

A. Identitas Pasien

- Nama : Tn. AA
- Jenis Kelamin : Laki-laki
- Usia : 19 tahun
- Alamat : Kayen
- Suku : Jawa
- Bangsa : Indonesia
- Agama : Islam
- Pendidikan : Tamat SMP
- Tinggi Badan : 151 cm
- Berat Badan : 50 kg
- Tanggal pemeriksaan : 3 September 2020
B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 3 september 2020


pukul 10.00 WIB di Puskesmas Kayen.

1. Keluhan utama
Nyeri ulu hati

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang untuk control setelah menjalani rawat inap di Puskesmas Kayen
dengan diagnosis gastroenteritis akut. Saat ini pasien mengeluhkan nyeri ulu
hati sejak 2 hari yang lalu. Keluhan hilang timbul, terasa nyeri seperti ditusuk-
tusuk. Keluhan membaik saat makan dan memberat apabila pasien telat makan.
Pasien mengaku mual, dada pasien terasa panas, badannya lemas, nafsu
makannya menurun, dan nyeri kepala. Keluhan muntah, nyeri dada, batuk,
pilek, BAB cair, nyeri saat BAK dan demam disangkal.

4
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien sudah pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien
menyangkal adanya riwayat BAB hitam, anoreksia, sulit menelan atau tidak
bisa menelan, riwayat operasi saluran cerna, dan riwayat keganasan saluran
cerna.

4. Riwayat penyakit keluarga


Pada keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupan. Pasien
menyangkal adanya riwayat keganasan saluran cerna dalam keluarga.

5. Riwayat Sosial dan kebiasaan sehari-hari


Pasien seorang anak laki-laki, tinggal di rumah bersama kedua orang tuanya
dan seorang kakak laki-laki. Pasien mengaku seringkali mengkonsumsi
makanan yang pedas. Pasien juga sering mengkonsumsi makanan yang
digoreng, jarang mengkonsumsi buah serta jarang berolahraga. Makan teratur
sehari 3 kali tetapi tidak memiliki jadwal tepat saat makan.
C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 3 september 2020 pukul 10.00 WIB di
Puskesmas Kayen.
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Status Gizi : Baik
 Tanda-tanda Vital
 TD : 110/80 mmHg
 Nadi : 82x/menit
 Nafas : 20x/menit
 Suhu : 36,7 ◦C (Afebris)
 TB : 170 cm
 BB : 58 kg
 IMT : 20,06 kg/m2 (Normal)

1. Status generalis
 Kepala – Leher: Konjungtiva anemis (-), ikterus (-), cianosis (-), dyspneu (-)

5
 Thorax : Jantung dan paru dalam batas normal
 Abdomen : datar, nyeri epigastrik +,bu normal ,
 Inguinal, Genital, Anus :Tidak dievaluasi
 Ekstremitas : Akral hangat, kering, merah

D. Resume permasalahan pada kasus

Masalah pada kasus ini adalah :


Pasien datang untuk control setelah menjalani rawat inap di Puskesmas
Salaman I dengan diagnosis gastroenteritis akut. Saat ini pasien mengeluhkan nyeri
ulu hati sejak 2 hari yang lalu. Keluhan hilang timbul, terasa nyeri seperti ditusuk-
tusuk. Keluhan membaik saat makan dan memberat apabila pasien telat makan.
Pasien mengaku mual, dada pasien terasa panas, badannya lemas, nafsu makannya
menurun, dan nyeri kepala. Keluhan muntah, nyeri dada, batuk, pilek, BAB cair,
nyeri saat BAK dan demam disangkal.
E. Diagnosis

Dispepsia
F. Perencanaan dan Pemilihan Intervensi

1. Preventif :
Terapi non medikamentosa yang dianjurkan adalah makan secara teratur; menambah
konsumsi sayur; mengurangi konsumsi pedas, asam, santan, coklat, kopi, teh, dan
makanan yang merangsang peningkatan asam lambung lainnya; tidak langsung tidur
setelah makan dan meningkatkan aktivitas fisik.
2. Promotif :
Edukasi secara individual bertujuan agar pasien dapat mengenal penyakit yang
diderita, mengerti pentingnya pengendalian dan pemantauan penyakitnya, mengenal
komplikasi penyakit, serta diharapkan terjadi perubahan perilaku yang lebih baik
untuk mengikuti pola makan yang sehat.

3. Kuratif :

Berdasarkan Konsensus Nasional penanggulangan H. Pylori 1996, ditetapkan skema


penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli

6
(gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan
dispepsia di masyarakat Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu
(Mansjoer et al., 2007):
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya terdapat dalam antasid antara lain
Na bikarbonat, Al (OH), Mg(OH)2, dan Mg Trisilikat. Pemakaian obat ini sebaiknya
jangan diberikan terus menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa
nyeri. Mg Trisilikat dapat dipakai dalam waktu yang lebih lama, juga bersifat sebagai
adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan
diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifi. Obat yang agak selektif
yaitu pirenzepin, yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan
sekresi asam lambung sebesar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasu golongan reseptor H2 antara lain
simetidin, roksantidin, ranitidin dan famotidin.

4. Penghambat pompa asam (Protont Pump Inhibitor = PPI)


Sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung
pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obta yang termasuk
golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain
bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin endogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sebagai site
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna
bagian atas.
6. Golongan prokinetik

7
Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, somperidon dan
metoklopramid. Obat golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan
asam lambung (acid clearance).
4. Rehabilitatif :
- Kontrol kembali ke puskesmas 3 hari lagi untuk menilai efek pengobatan.
G. PELAKSANAAN INTERVENSI

Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang mendukung. Pada kasus
ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan:
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu,
dada terasa panas dan mual. Hal tersebut dicurigai sebagai suatu gejala yang timbul akibat
asam lambung yang meningkat sehingga menyebabkan iritasi pada dinding gaster.
Pemeriksaan tanda vital, didapatkan hasil tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 82 x/ menit, RR
20 x/ menit dan suhu afebris. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada epigastrium dan
tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan lain. Penegakkan diagnosis sudah cukup optimal
ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukan bahwa pasien
mengalami dyspepsia. Pada pasien diberikan : Ranitidin 2 x 150 mg 30 menit sebelum
makan,Sukralfat 3 x 1 30 menit sendok makan sebelum makan. Edukasi secara individual
bertujuan agar pasien dapat mengenal penyakit yang diderita, mengerti pentingnya
pengendalian dan pemantauan penyakitnya, mengenal komplikasi penyakit, serta diharapkan
terjadi perubahan perilaku yang lebih baik untuk mengikuti pola makan yang sehat.
Terapi non medikamentosa yang dianjurkan adalah makan secara teratur; menambah
konsumsi sayur; mengurangi konsumsi pedas, asam, santan, coklat, kopi, teh, dan makanan
yang merangsang peningkatan asam lambung lainnya; tidak langsung tidur setelah makan dan
meningkatkan aktivitas fisik.
Sedangakan terapi rehabilitatif dilakukan dengan edukasi agar pasien kontrol 3 hari lagi ke
puskesmas untuk menilai efek pengobatan.
H. Prognosis

Quo ad Vitam : dubia ad bonam


Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1) Definisi

Konsensus nasional penatalaksanaan dispepsia dan Heliobacter pylori (2014)


mendefinisikan dispepsia sebagai rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut,
yaitu nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.
Dispepsia dapat digolongkan menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Penggolongan ini bertujuan untuk mendapatkan target pengobatan yang lebih baik sesuai
gejala (Talley dan Holtmann, 2007). Pada pasien dengan dispepsia organik atau struktural,
ada tiga penyebab utama dispepsia, yaitu penyakit refluks gastroesofageal (dengan atau tanpa
esofagitis), penyakit ulkus peptikum kronis, dan keganasan. Menurut kriteria Roma III
terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih
dari gejala-gejala berikut, yaitu perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa
terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula
gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Shaukat et al., 2015).
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress
syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress syndrome mewakili kelompok
dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric
pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait
dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.

9
Gambar 1 Klasifikasi Dispepsia Menurut Konsensus Roma III
Menurut profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 yang diterbitkan oleh Depkes RI
pada tahun 2012, dispepsia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit
tahun 2010, pada urutan ke-5 dengan angka kejadian kasus sebesar 9.594 kasuspada pria dan
15.122 kasus pada wanita. Sedangkan untuk 10 besar penyakit rawat jalan di rumah sakit
tahun 2010, dispepsia berada pada urutan ke-6 dengan angka kejadian kasus sebesar 34.981
kasus pada pria dan 53.618 kasus pada wanita, jumlah kasus baru sebesar 88.599 kasus.
Mekanisme yang dapat menimbulkan gejala pada dyspepsia diketahui lebih dari satu.
Mekanisme tersebut berhubungan dengan gaster seperti gambar di bawah ini:

10
Gambar 2 Beberapa Abnormalitas dalam Dispepsia (Tack et al., 2011)
Menurut Tack, et al., (2011) mekanisme penyebab dispepsia tersebut antara lain
sebagai berikut:
1. Abnormalitas fungsi motorik gaster
2. Hipersensitivitas terhadap distensi gaster
3. Infeksi H. pylori
4. Perubahan respon terhadap asam atau lemak duodenum
5. Motilitas duodeno-jejunum yang abnormal
6. Disfungsi CNS
7. Inflamasi ringan
8. Predisposisi genetic

Berikut merupakan tabel antara mekanisme dan gejala terkait pada dispepsia:
Tabel 1 Hubungan antara Mekanisme dan Gejala Terkait
Mekanisme Gejala Terkait
Abnormalitas fungsi motorik Postprandial fullness, nausea,
gaster vomitus
Infeksi H. pylori, inflamasi Nyeri di regio epigastrik
ringan, predisposisi genetic
Hipersensitivitas terhadap Nyeri epigastric, bersendawa,
distensi gaster turun berat badan
Perubahan respon terhadap asam Nausea
atau lemak duodenum
Disfungsi CNS Nausea, vomiting, early satiety,
dan berat badan turun

Dari sekian banyak mekanisme tentang dispepsia, hipotesis yang paling sering
digunakan adalah abnormalitas fungsi motorik gaster, disfungsi CNS, hipersensitivitas
terhadap distensi gaster, inflamasi ringan, dan predisposisi genetik (Tack et al., 2011).
Penegakkan diagnosis dispepsia dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium sederhana, dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan
radiologis dan endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang
dikenal, yaitu sebagai berikut (Sujono, 2006):

11
1. Dispepsia tipe seperti ulkus (gejalanya seperti terbakar, nyeri di epigastrium terutama
saat lapar/epigastric hunger pain yang reda dengan pemberian makanan, antasida, dan
obat antisekresi asam)
2. Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol, yaitu mual, kembung, dan
anoreksia)
3. Dispepsia non spesifik

Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi. Banyak pasien yang
dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan, sehingga diagnosis secara klinis agak
terbatas, kecuali bila ada alarm sign. Gambaran alarm sign untuk dispepsia adalah
(Djojodiningrat, 2009):
1. Umur ≥ 45 tahun (onset baru)
2. Perdarahan dari rektal atau melena
3. Penurunan berat badan >10%
4. Anoreksia
5. Muntah yang persisten
6. Anemia atau perdarahan
7. Massa di abdomen atau limfadenopati
8. Disfagia yang progresif atau odinofagia
9. Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas
10. Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya
11. Riwayat ulkus peptikum
12. Kuning (Jaundice)

Anamnesis
Pada anamnesis, riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung
alkohol dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau
mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu juga sangat
perlu diperhatikan. Gejala (alarm symptom) merupakan penyakit serius yang
memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan/atau USG atau CT Scan untuk
12
mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus,
pankreatitis kronis, atau keganasan pankreas empedu (Davey, 2004).
Selain itu, perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor
psikososial. Masalah-masalah tersebut misalnya masalah anak (meninggal, nakal,
sakit, belum dikaruniai anak), hubungan antar manusia (orang tua, mertua, tetangga,
adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar,
cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, PHK, pindah jabatan,
tidak naik pangkat). Hal ini dapat mengakibatkan eksaserbasi gejala pada beberapa
orang (Wibawa, 2006).
Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok, dan
nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering
membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum.
Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan
kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan
dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut.
Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit
esofagus, gastritis erosive, dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa
jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum (Djojodiningrat, 2009).

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi adanya kelainan intra-
abdomen atau intra-lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri
tekan yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis (Djojodiningrat,
2009).

2) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang mungkin dikerjakan, antara lain darah lengkap dan
pemeriksaan darah dalam feses serta urin, elektrolit, kalsium, amilase, fungsi hati,
fungsi tiroid, dan ECG. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diutamakan untuk pasien
berumur lebih dari 45 tahun dan umur muda dengan gejala yang sering kambuh. Perlu
selektif dalam pemilihan pemeriksaan ini dengan mengingat indikasi klinik dan
pertimbangan biaya dan efektifitas (Wibawa, 2006).

13
Jika hasil pemeriksaan darah ditemukan lekositosis, maka kemungkinan
terdapat tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau
banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Pemeriksaan
feses juga digunakan untuk menemukan parasit Giardia lamblia. Jika terdapat
gambaran anemia pada pemeriksaan darah, hal ini dapat mengarah pada keganasan
(Pierce, et al., 2007). Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya
diperiksa asam gaster. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda
tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma
pankreas perlu diperiksa CA 19-9 (Wibawa, 2006).

Pemeriksaan penunjang
a. Endoskopi
Endoskopi harus segera dikerjakan jika memang ada alarm signs dan
pasien yang sangat kuatir tentang adanya penyakit serius yang mendasarinya. Hal
ini disebabkan karena keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik,
terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya. Pada
pasien lain, para klinisi harus memutuskan antara segera mengetahui diagnosa
definitif dengan endoskopi dan mengetahui dulu hasil terapi percobaan medis
empiris (therapi exjuvantivus) (Yamada, 2005).
Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, gaster, atau
usus kecil dan untuk mendapatkan spesimen jaringan untuk biopsi dari lapisan
gaster. Spesimen tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk
mengetahui apakah gaster terinfeksi oleh H. pylori. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik
(Djojodiningrat, 2009).
Dispepsia merupakan keadaan tidak nyaman seperti terbakar pada
abdomen bagian atas yang dapat disebabkan banyak hal, seperti penyakit peptic
ulcer, dyspepsia non-ulcer, serta kelainan motilitas, sensasi, dan somatisasi.
Keganasan gaster dan esophageal juga dapat menyebabkan dispepsia. Saat
dispepsia sudah terjadi, maka endoskopi sudah dapat dilakukan untuk melihat
penyebab dari dispepsia (Simadibarata, 2009).

14
Gambar 3 Reflux Esophagitis dengan Ulcerasi Mukosa (Isselbacher, 2008)

Gambar 4 Ulkus Duodenal Benigna (Isselbacher, 2008)

Gambar 5 Ulkus Gastricus Benigna (Isselbacher, 2008)

15
b. Foto seri sinar-X dengan Barium pada saluran pencernaan atas kurang akurat
dibanding endoskopi untuk diagnosis ulkus peptikum dan refluks gastroesofageal
(Wibawa, 2006).
c. Test non-invasif untuk mendeteksi infeksi Helicobacter pylori dengan IgG
serologik atau Urea Breath Test. Keduanya mempunyai tingkat sensitivitas dan
spesifisitas > 90% untuk pemeriksaan kanker gaster (Wibawa, 2006).
d. Pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda
Pemeriksaan radiologis ini dapat mengidentifikasikan adanya kelainan
struktural dinding atau mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau
tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat
penyempitan/stenotik/obstruktif sehingga skop endoskopi tidak dapat melewatinya
(Djojodinigrat, 2009).
Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagus yang
menurun, terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi, serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk
ke intestinum. Pada tukak, baik di gaster, maupun di duodenum akan terlihat
gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras
media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler,
dengan dasar licin. Kanker di gaster secara radiologis, akan tampak massa yang
ireguler serta tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari gaster juga
akan ikut berubah. Pankreatitis akut memerlukan foto polos abdomen, yang akan
terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak
dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut  sentinal loops. Hal ini
biasanya memberikan gambaran terjadinya proses iritasi seperti inflamasi. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan
karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa
CA 19-9 (Brant, et al., 2007; Eisenberg, 2002; Herring, 2008).

16
Gambar 6 Obstruksi pada Pintu Keluar Gaster Akibat Karsinoma pada Daerah
Antrum Pilorum (Tanda Panah) (Patel, 2011)

Gambar 7 Karsinoma Gaster: Massa Besar pada Badan Gaster (Tanda Panah) (Brant,
et al., 2007)

17
Gambar 8 Reflux Esophagitis, Barium Esophagram Memperlihatkan Kaku dan
Sempitnya Bagian Distal dari Esofagus diatas Diafragma (E: Esophagus; S: Stomach) (Brant,
et al., 2007)

Gambar 9 Ulkus Gaster Benigna

18
Gambar 10 Barium yang Membentuk Kolam pada Ulkus Gaster (Tanda Panah)
(Patel, 2011)

Gambar 11 Sentinel Loop (Herring, 2008)


e. USG dan CT Scan hanya dilakukan bila secara klinis atau laboratoris ada
kecurigaan kearah penyakit pankreas atau empedu (Wibawa, 2006).
f. Pengukuran PH Intraesophagus (monitor 24 jam) dilakukan terhadap pasien
dengan dispepsia non-spesifik dan hasil endoskopi yang normal untuk
mendiagnosa kemungkinan refluks gastroesofageal. Tapi bagaimanapun hal ini
tidak praktis, untuk kasus yang dicurigai penyakit refluks gastroesofageal bisa
langsung digunakan terapi imperik anti-refluks (Yamada, 2005).

19
g. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, gaster, atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah,
penurunan berat badan, atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila
penderita makan (Djojodiningrat, 2009).

3) Penatalaksanaan

Berdasarkan Konsensus Nasional penanggulangan H. Pylori 1996, ditetapkan skema


penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli
(gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan
dispepsia di masyarakat Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu
(Mansjoer et al., 2007):
7. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya terdapat dalam antasid antara lain
Na bikarbonat, Al (OH), Mg(OH)2, dan Mg Trisilikat. Pemakaian obat ini sebaiknya
jangan diberikan terus menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa
nyeri. Mg Trisilikat dapat dipakai dalam waktu yang lebih lama, juga bersifat sebagai
adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan
diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
8. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifi. Obat yang agak selektif
yaitu pirenzepin, yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan
sekresi asam lambung sebesar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
9. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasu golongan reseptor H2 antara lain
simetidin, roksantidin, ranitidin dan famotidin.

10. Penghambat pompa asam (Protont Pump Inhibitor = PPI)


Sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung
pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obta yang termasuk
golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol dan pantoprazol.

20
11. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain
bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin endogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sebagai site
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna
bagian atas.
12. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, somperidon dan
metoklopramid. Obat golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan
refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid
clearance).
4) Prognosis

Baik jika diobati secara tepat dan teratur.

21
DAFTAR PUSTAKA

Davey, P. 2004. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.


Djojodiningrat. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Djojoningrat D. 2009. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo, A. W., Buku Ajar: Imu
Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Djojoningrat, D. 2006. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Dalam: Sudoyo, A. W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Isselbacher, K. J., et al. 2008. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan.
2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Patel, P. R., et al. 2011. Lecture Notes Radiologi. Jakarta: Erlangga.
Pierce, A., et al. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga.
Shaukat, A., Wang, A., Acosta, R.D., Bruining, D.H.,Chandrasekhara, V., Chathadi, K.V.,
Eloubeidi, M.A., et al. 2015. The role of endoscopy in dyspepsia. American Society for
Gastrointestinal Endoscopy, (2), 227-232.
Sujono, H. 2006. Gastroenterology. Jakarta: PT Alumni.
Tack, J., Masaoka, T. dan Janssen, P., 2011. Functional Dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol,
(6), 549-557.
Talley N. J., dan Holtmann G. 2008. Approach to the patient with dyspepsia and related
functional gastrointestinal complaints In: Yamada T, editor. Principles of
Gastroenterology. 1st ed. Willey Blackwell A Jhon Wiley & sons, Ltd Publishing.
Wibawa, I Dewa Nyoman. 2006. Penanganan Dispepsia pada Lanjut Usia. Jakarta.
Wibawa, I. D. N. 2006. Penanganan Dispepsia Pada Usia Lanjut. Jakarta: EGC.
Yamada, T. 2005. Textbook of Gastroenterology. Philadelphia: Lippincott-Raven
Publishers.

22

Anda mungkin juga menyukai