PENDAHULUAN
ginjal, tetapi fibrosis yang terjadi cenderung progresif dan meluas sehingga
merusak arsitektur ginjal. Bila proses terus berlanjut maka kerusakan yang
adalah penderita anak. Di India terdapat 12% penderita anak dengan PGK
25% diantaranya dengan GGT. Penyakit ginjal kronis pada anak umumnya
disebabkan oleh suatu sebab yang kompleks dan sangat parah dengan
150 kali lebih besar dari dewasa. Fakta menunjukkan harapan hidup
penderita anak berkisar 20 tahun (Hogg, 2003; Voght, 2007; Warady, 2007).
1
tahun 2005 hingga tahun 2010 tercatat 53 penderita PGK dengan usia mulai
persetujuan tindakan dari orang tua penderita (Data IRNA Anak RSU Dr.
Soetomo).
Jejas pada ginjal akan menimbulkan reaksi inflamasi. Jejas pada ginjal
antara lain adalah infeksi, batu ginjal, kelainan metabolik dan obat obatan
(TNF-α), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelets derived growth factor
2
akan berikatan dengan Smad-4 membentuk suatu kompleks Smad. Terjadi
Akumulasi MES dan fibroblas merupakan tanda utama fibrosis ginjal (Mao,
terjadinya fibrosis. HSP-72 berperan melindungi sel epitel tubulus ginjal dari
meluasnya nekrosis dan apoptosis akibat jejas. Selain itu HSP-72 berperan
juga akan menghambat aktivitas TGF-β1 melalui hambatan sinyal pada jalur
3
kolagen I dan kolagen III sehingga terjadi penurunan volume MES yang
akhirnya mengurangi luas fibrosis ginjal (Mao, 2008; Fabiano, 2010; Zhou,
2010).
ini menggunakan tikus Wistar sebagai model yang diinduksi CsA secara
ginjal?
4
1.3.2. Tujuan Khusus
fibrosis ginjal.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
jaringan interstisiel ginjal. Fibrosis adalah hasil proses keradangan kronis dan
jejas pada jaringan serta hasil proses penyembuhan. Fibrosis dapat terjadi
akibat trauma fisik, gangguan sistem imun, penyakit metabolik, dan obat-
obatan seperti CsA yang memicu aktivasi dan proliferasi fibroblas serta
patologi anatomi dari hasil biopsi jaringan ginjal. Luas fibrosis ginjal
kronis adalah kerusakan ginjal dalam waktu lebih atau sama dengan 3 bulan
yang diartikan sebagai abnormalitas struktur dan fungsi ginjal dengan atau
6
abnormalitas patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti abnormalnya
zat petanda dalam darah atau urin, atau abnormalnya gambaran radiografi.
1. PGK stadium 1:
(≥90 ml/menit/1.73m2).
2. PGK stadium 2:
3. PGK stadium 3:
4. PGK stadium 4:
5. PGK stadium 5:
PGK stadium 5 disebut sebagai gagal ginjal tahap akhir atau gagal
7
fibrosis, serta keberadaan mediator inflamasi. Fibrosis terdiri dari banyak
jejas maupun jaringan yang mengalami jejas (Roitt, 2005) untuk memperbaiki
kerusakan yang terjadi. Jejas pada ginjal antara lain inflamasi glomerulus
mengalami jejas diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Bila jejas
berlanjut akan terjadi proses simultan dari inflamasi aktif sehingga pada
8
Gambar 2.1. Proses terbentuknya fibrosis akibat jejas pada ginjal
Sumber : Segerer, S., Nelson, P.J., Schlὄndorff, D., 2000. Chemokines, chemokin receptors,
and renal disease: from basic science to pathophysiologic and therapeutic studies. J Am Soc
Nephrol, 11, 152–76.
Pada fibrosis ginjal perbaikan jaringan akibat jejas tidak dapat tercapai
migrasi dan proliferasi sel, akumulasi MES, dan remodeling (Obberg, 2004).
9
Pada awal fibrosis terjadi inflamasi dan proliferasi sel yang
memproduksi matriks. Pada fase akhir sebagian besar sel tersebut akan
jaringan fibrosis pada hewan coba dan manusia. Fibrosis ditandai dengan
Beberapa diantaranya adalah TGF-ß1, IL-1 , IGF-1, ET-1, AT II, CTGF, TNF-
(RANTES) juga berperan dalam interaksi fibroblas dan sel limfosit T pada
awal proses inflamasi yang terjadi pada fibrosis ginjal. Enzim proteolitik
10
makrofag
RANTES, MCP-1
Sel endotel limfosit Kemokin,
IL-1, IL-6, MCP-1
TGF-ß ICAM,VCAM
IL-1
ET-1 RANTES,
TNF-α Kemoatraktan
TGF-ß, CTGF,
FGF,ET-1,
AT-II,HSP-47
Produksi matriks
Fibrosis interstisiel
Gambar 2.2. Skema dari beberapa substansi penting yang berkaitan dengan
terjadinya fibrosis ginjal.
Sumber : Razzaque, M.S., Taguchi, T., 2003. Factors that influence and contribute to the
regulation of fibrosis. Dalam : Razzaque MS, Taguchi T, Eds. Renal fibrosis. Switzerland,
Karger, 1-11.
bioaktif. Molekul tersebut berupa protein yang berasal dari plasma atau
lipiduria, dan hasil hipermetabolisme dari sel tubulus yang terjadi sebagai
11
respon terhadap adanya jejas. Protein tersebut memicu spesies oksigen
reaktif yang dapat merusak tubulus. Selanjutnya tubulus yang rusak akan
perbaikan dari gangguan struktur dan fungsi yang terjadi. Bila jejas
berlangsung terus menerus akan terjadi perubahan pada sel tubulus yang
makrofag juga berperan dalam proses fibrogenik bersama dengan sel yang
ginjal, tetapi selanjutnya dalam jumlah besar akan ditambah dari infiltrasi sel-
sel monosit sirkulasi yang masuk ke ruang interstisiel ginjal melalui endotel
makrofag dan sel limfosit T, akan meningkat dalam 4 hingga 12 jam, namun
infiltrasi lekosit tersebut tidak mutlak ada pada jejas tubulointerstisiel. Limfosit
akan ditemukan dalam jumlah kecil beredar dalam sirkulasi dengan derajat
12
Infiltrasi lekosit dari sirkulasi akan menimbulkan beberapa mekanisme.
Terjadi induksi EMT dalam 24 jam dan kontak dengan sel limfosit T dalam 48
jam sesudah jejas serta aktivasi molekul adesi, mediator inflamasi, dan
mediator profibrotik. EMT adalah perubahan bentuk fenotipe dan fungsi sel
epitel mesenkim menjadi sel fibroblas. Jejas akan memberikan stimulus yang
menyebabkan sel epitel tubulus terlepas dari ikatan dengan sel disekitarnya
dan membran basal. Sel tersebut akan bergerak menuju ruang interstisial
diantaranya adalah TGF-ß1, IL-1 , IGF-1, ET-1, AT II, CTGF, TNF-α, bFGF,
13
tersebut di dalam darah menunjukkan progresivitas terjadinya fibrosis ginjal
7, BMP-7, IFN-γ, NF-КB, HGF, dan MMPs. Efek tersebut meliputi hambatan
pada aktivitas miofibroblas dan ekspresi gen kolagen, reduksi dari produksi
3. Fase fibrogenik
Sintesis, sekresi dan aktivasi terhadap salah satu, atau lebih dari
sintesis matriks berlebihan dan degradasi matriks menurun maka akan terjadi
14
Gambar 2.3. Keseimbangan dan ketidakseimbangan yang terjadi pada
sintesis dan degradasi matriks
Sumber : Eddy, A.A., 2000. Molecular basis of renal fibrosis. Pediatr Nephrol, 15, 290–301.
XV, fibronektin) dan protein matriks yang terdapat pada membran dasar
dan rantai baru yang terbentuk dari laminin dan kolagen tipe IV dibentuk pada
jaringan ginjal yang rusak. Akumulasi berlebihan kolagen tipe I, III, dan IV
pada perjalanan penyakit ginjal. Tahap awal yang terjadi relatif tidak stabil
15
seperti rasio kolagen I dengan kolagen III juga berperan pada proses
disintesis oleh sel ginjal normal untuk menjaga keseimbangan struktur normal
ginjal. Kunci dari timbulnya fibrosis ginjal adalah produksi inhibitor protease.
Terdapat fakta yang menyatakan bahwa pada fase awal fibrosis ginjal terjadi
masing enzim berbeda dalam hal spesifitas terhadap substrat matriks. Enzim
16
dalam menghambat perluasan fibrosis. Empat inhibitor MMPs utama sudah
teridentifikasi yaitu TIMPs-1, -2, -3, dan -4. TIMPs-2 dan TIMPs-3 terdapat
dalam kadar tinggi pada ginjal normal. TIMPs-1 disintesis oleh seluruh sel
mesenkim seperti fibroblas, makrofag dan sel epitel tubulus. Ekspresi TIMPs-
1 dapat diinduksi oleh growth factor seperti EGF, PDGF, TNF-α, TGF-ß, dan
dan endotel oleh apoptosis atau nekrosis. Hipoksia secara langsung dapat
meluas dalam ruang interstisiel dan menyebabkan destruksi dari struktur dan
80% volume ginjal merupakan target kerusakan oleh karena proses fibrosis
(Razzaque, 2003).
17
penghambat protease, menghambat reseptor dari integrin pengikat matriks,
fibroblas dan monosit. TGF-ß1 juga menginduksi proses EMT pada sel epitel
disekresikan dalam bentuk laten (suatu bentuk yang belum bisa berinteraksi
dengan reseptor TGF-ß) dari sel-sel sebagai suatu kompleks protein dengan
berat molekul besar. TGF-ß harus dibebaskan dari kompleks ini untuk
regulasi untuk mengontrol efek TGF-ß. TGF-β banyak berperan pada regulasi
perbaikan jaringan, dan apoptosis. Terdapat tiga isoform TGF- β, yaitu TGF-
β1, TGF-β2, dan TGF-β3. Diantara ketiga isoform ini, TGF-β1 paling
18
kolagen dengan jalan menurunkan MMPs serta meningkatkan
protease inhibitor.
TGF-β1 dan EGF yang dihasilkan oleh sel inflamasi dan fibroblas
berperan pada perubahan fenotip dari sel epitel tubulus. Selain itu
rangsangan sel epitel tubulus oleh TGF-β1 dan EGF dapat menyebabkan
mengidentifikasi respon unik dari TGF-β pada daerah promotor CTGF yang
TGF-β1 terikat pada dua reseptor sel yaitu reseptor sel tipe 1 dan tipe
Smad-3. Sinyal yang berasal dari TGF-β1 akan dihantarkan terutama oleh
yang menjadi mediator sinyal TGF-β1 dari sitosol ke inti sel dan mengatur
19
proses seluler seperti proliferasi sel, apoptosis, dan diferensiasi. Smad-2 dan
Smad-2 dan Smad-3 ini akan menginduksi Smad-4 yang termasuk Co-Smad.
Kompleks Smad- 2,3, dan 4 sangat penting untuk translokasi ke dalam inti sel
miR-29 dan miR-200 (Gambar 2.4). Sebuah studi telah dilakukan oleh Eddy
400% .
20
Gambar 2.4. Skema aktivasi TGF-β1 oleh Smad-3
Sumber : Lan, H.Y., 2011. Diverse roles of TGF-β/Smads in renal fibrosis and inflammation.
Int J Biol Sci, 7, 1056-67
meningkatkan MES dan terjadi fibrosis (Razzaque, 2005; Chen, 2005; Zhou,
21
syok serta kondisi lain dari stres termasuk lingkungan (radiasi ultra violet,
sengatan panas, logam berat dan asam amino), patologis (infeksi bakteri,
jaringan). Sintesis senyawa ini dikenal sebagai respon stres (Fabiano, 2010).
Heat shock transcription factor (HSF) secara normal akan berikatan dengan
HSP dalam bentuk molekul yang tidak aktif di dalam sitosol. Saat terpapar
stresor, HSF akan mengalami fosforilasi oleh protein kinase menjadi bentuk
dengan Heat Shock Element (HSE) dan akan menginduksi pelepasan HSP.
22
HSP-72 berisi domain yang berbeda. Sebuah Peptida-C-terminal
Binding Domain (PBD) yang bertanggung jawab untuk mengikat substrat dan
replikasi, dan Nuclear Localized Signal (NLS) yang mengatur akumulasi inti
dan penuaan (Benjamin, 2012). HSP-72 akan dilepaskan secara pasif oleh
sel yang mengalami nekrosis dan eksositosis oleh sel dendritik yang
terstimulasi oleh sinyal endogen yang berasal dari suatu kondisi stres
HSP-72 dari sitosol menuju ruang ekstraseluler. Aktivasi sistem simpatis saat
reseptor permukaan sel imun spesifik. Secara aktif pelepasan HSP-72 bisa
terjadi setelah sitokin proinflamasi seperti IFN-γ, IL-6, dan IL-10 memediasi
pelepasan aktif HSP-72 dari eksosome yang mengalami fusi keluar sel
(Asea, 2007).
23
menginduksi mekanisme anti apoptosis sel, merepresi ekspresi gen, dan anti
ekstraseluler menginduksi respon imun tubuh. Dalam 2-4 jam pasca paparan
CD86, MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, dan sel NK (Natural
Killer) (Johnson, 2006; Asea, 2007). Produksi netrofil serta makrofag akan
24
Gambar 2.6. Pelepasan HSP-72 secara eksositosis, dari jaringan yang rusak
dan penyakit
Sumber : Johnson, J.D., Fleshner, M., 2006. Releasing signals, secretory pathways, and
immune function of endogenous extracellular heat shock protein 72. J Leukoc Biol, 79, 425–
34.
aktifasi sel imun (makrofag, netrofil, sel dendritik). Keberadaan HSP-72 dan
efeknya terhadap sistem imun tergantung dari kondisi patologis yang terjadi.
Jika tidak terdapat perubahan patologis yang terjadi, HSP-72 akan berada
pada jumlah minimal dengan pengaruh kecil terhadap aktivitas imun. Sebagai
ginjal kronis dan fibrosis, konsentrasi dan aktivitas HSP-72 akan mengalami
25
Tabel 2.1. Faktor yang mempengaruhi efek HSP-72.
Spesifisitas molekul
Pemicu (stres oksidatif, infeksi bakteri, infeksi virus, stres psikis, stres fisik,
stres seluler)
Sumber : Asea, A., 2007. Mechanisms of HSP72 release. J Biosci, 32, 579–84
sel-sel tubulus ginjal, dari panas, toksin, dan deplesi ATP yang dimediasi
dari nekrosis dan apoptosis in vivo dan in vitro, rehabilitasi struktur tubulus
dengan matriks. Obstruksi ureter dan cedera ginjal iskemik secara selektif
26
pada fibrosis ginjal merupakan petanda mekanisme perbaikan spesifik (Mao,
72 yang dimulai pada hari ke-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke-7,
ginjal. Struktur EMT in vitro yang merupakan respon terhadap ekspresi TGF-
sinyal pada jalur Smad-3. Peran HSP-72 dalam mengatur ekspresi kelompok
Smad telah diselidiki dengan menggunakan sel NRK-52E oleh Mao dkk
27
mengalami penurunan sebesar 1 jam, dan kemudian meningkat lagi antara
sitoplasma dan sedikit di dalam inti. Setelah terjadi stimulasi TGF-β 1, Smad-
domain ini akan mengatur ekspresi Smad-7 (Zhou, 2010; Lan, 2011).
Mao dkk (2008) pada studinya mengenai peran HSP-72 pada proses
cadherin dan reduksi α-SMA. Gambar 2.7 menunjukkan efek kerja HSP-72
28
cadherin, α-SMA (α-smooth muscle actin), dan siRNA HSP-72 sebagai
Gambar 2.7. Efek kerja HSP-72 terhadap terjadinya fibrosis ginjal dalam
hubungannya dengan TGF-β1, E-cadherin, α-SMA, dan sRNA HSP-72
sebagai penghambat kerja HSP-72.
Sumber : Mao, H., et al, 2008. HSP72 attenuates renal tubular cell apoptosis and interstitial
fibrosis in obstructive nephropathy. Am J Physiol Renal Physiol, 295, 202-14
translokasi inti dari Smad-3. Zhou dkk (2010) meneliti mengenai kerja HSP-
pada sel tubulus ginjal sesudah terjadinya obstruksi ureter sehingga terjadi
(gambar 2.8).
29
Gambar 2.8. Skema aktivitas HSP-72 dalam mekanisme penghambatan kerja
Smad
Sumber : Zhou, Y., et al, 2010. HSP72 Inhibits Smad3 Activation and Nuclear Translocatio in
Renal Epithelial-to-Mesenchymal Transition. J Am Soc Nephrol, 21, 598–609
30
miofibroblas, dan penurunan proses kemotaksis terhadap fibroblas dan
oleh BMPs. Nama gen Smad berasal dari gen yang ditemukan yaitu Mad
Caenorhabditis elegans. Sma dan Mad diduga merupakan jalur signal yang
diaktifkan oleh BMP. Lebih lanjut Sma dan Mad dijadikan satu nomenklatur
jadi Smad, merupakan protein di dalam sitoplasma yang diaktifkan oleh BMP.
dan I-Smad (inhibitory) Smad yang berperan sebagai inhibitor. Smad-7 dan
Bila terjadi aktivasi BMP-7, akan terjadi aktivasi Smad-1 dan Smad-5,
kedalam nukleus. Dalam nukleus ikatan Smad-1, Smad-5 dan Smad-4 akan
factor dari target gen yaitu Id2/3. Lebih lanjut akan terjadi rangkaian proses
31
yang akan menghambat EMT dan merangsang proses MET, sehingga
berperan sebagai inhibitor Smad-3. Bila terjadi aktifasi Smad-2 dan Smad-3,
nukleus. Lebih lanjut akan terjadi aktifasi transcription factor target gen yang
dapat merangsang proses EMT yaitu E2A (Meng, 2012; Weiskirchen, 2009).
dalam nukleus tetapi juga mempunyai peran untuk memperbaiki fibrosis ginjal
sekuen DNA target gen untuk pembentukan kolagen, antara lain Col1A2.
32
2.6. Peran Cyclosporine A pada terbentuknya fibrosis ginjal
untuk penyakit autoimmun dan penyakit ginjal antara lain sindrom nefrotik
toksik yang terjadi pada ginjal, yaitu terjadinya kematian sel yang lebih lanjut
dapat terjadi fibrosis ginjal. Diduga oksigen reaktif (ROS) berperan terhadap
β1 dan CTGF.
Setelah pemberian CsA, akan terjadi proses EMT. Sel epitel berubah
bentuk menjadi lebih lonjong, membentuk filopodia, terlepas dari sel epitel
yang berdekatan, dan tidak mempunyai muatan pada apek sampai basal. β-
catenin relokasi ke nukleus, sehingga ikatan antara sel epitel menjadi lebih
lemah. EMT juga akan meningkatkan MMPs sehingga akan memecah basal
membran tubulus ginjal. Akibatnya sel epitel mudah lepas dari basal
tampak pembentukan F-actin stres fiber pada sel epitel ginjal, yang dapat
33
fibroblas. Perubahan F-actin membuktikan terjadinya perubahan sitoskeleton.
Selain itu juga terdapat penurunan ekspresi E-cadherin. Proses EMT diikuti
TIMP1 dan TIMP2. Akibatnya matriks ekstra sel meningkat dan terjadi fibrosis
fungsi sel B dan T, serta timbulnya fibrosis ginjal. Peningkatan mRNA E2A
gen ditemukan akibat peningkatan PkC β. E2A merupakan gen yang ikut
induksi CsA. Rutherford melaporkan bahwa E2A tidak ditemukan pada ginjal
banyak terdapat tubulus ginjal primitif, sel epiteloid dan sel interstisiel ginjal.
PkC β. PkC β akan mengaktifkan TGF-β1 dengan mediasi aktifasi ERK. ERK
34
karsinoma kolon. Peningkatan ekspresi PkCβ diduga sebagai pencetus
adanya jejas pada sel epitel tubulus ginjal. Jejas pada sel epitel tubulus ginjal
dengan perantara ERK1/2. ERK 1/2 lebih lanjut akan merangsang gen AP-1
merangsang TGF-β1, PkC β juga merangsang gen E2A yang berperan pada
rangkaian proses diatas akan menyebabkan proses EMT. Lebih lanjut EMT
2005).
35
BAB III
Cyclosporin A
A
BMP-7 HSP-72 TGF-ß1 IL-1
111
N IFN-γ PDGF P
T
11 R
I IGF-1 O
NF-КB Smad-4 Fosforilasi Smad-2,3
S F
I
I HGF bFGF
B
P Nukleus R
A CTGF O
MMPs-2 Smad-2,3,4 aktif
T T
O TNF-α I
R Smad-7 K
AT II
E-cadherin
ET-1
MMPs-2
EMT
Kolagen I
Kolagen III Luas Fibrosis
Keterangan :
Yang diperiksa
Tidak diperiksa
36
Penjelasan kerangka konseptual :
menghasilkan faktor profibrotik yaitu TGF-ß1, ET-1, AT II, CTGF, IGF-1, TNF-
merupakan faktor yang poten untuk terbentuknya fibrosis ginjal. Selain faktor
jalur Smad-3. Terjadi hambatan fosforilasi Smad-3 dan translokasi inti Smad-
penghambatan sinyal pada jalur Smad-3. Aktivasi MMPs-2 oleh HSP-72 akan
penurunan volume MES yang akhirnya mengurangi luas fibrosis ginjal. Jika
fibrosis.
37
3.2 Hipotesis Penelitian
ginjal.
38
BAB IV
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah ex post facto design pada hewan coba yang
Brawijaya Malang.
minggu.
39
4.4 Subyek penelitian
minggu, berat badan per ekor berkisar 200 gram, dari galur yang sama
lalu diterminasi.
gram.
2 (Z1-1/2α + Zβ)2. σ2
n1 =
(µ1 - µ2)2
40
Kesalahan tipe I (α) = 0.05 , hipotesis satu arah, Zα = 1.64
µ1 - µ2 = selisih minimal
n1 =
(3,1 – 2,1)2
n1 = 8
Setelah hewan coba tikus diterminasi, kedua ginjal tikus diambil dan
41
1. Imunohistokimia
(chromogen) yang sering dipakai adalah naftol (warna biru), DAB (3,3
42
Fibrosis ginjal dievaluasi dengan memeriksa luas tubulus interstitiel
HSP-72
1. Luas fibrosis
2. TGF-β1
3. Smad-7
43
dengan pemeriksaan histopatologi, dengan satuan µm²,
6. Umur tikus
44
4.7 Alur Penelitian
Penelitian utama
Tikus Wistar
O1 O2
Kelompok tikus Wistar sehat Kelompok tikus Wistar fibrosis
Terminasi
O3 O4
Terminasi
Observasi
6 minggu
Terminasi
Penelitian ini
Analisis
45
4.8 Rencana Pengolahan Dan Analisa Data
dengan fibrosis.
dengan fibrosis.
dengan fibrosis.
46
4.8.2 Penyajian data
Kelompok
O1 O2 p
Usia (minggu)
Jenis kelamin
Berat (g)
Variabel Kelompok
O1 O3 O4 p
Keterangan: nilai p didapatkan dari hasil uji statistik one way anova
47
r = ...
TGF-β1
p = ...
HSP-72
r = ...
Smad-7
p = ...
HSP-72
48
r = ...
Luas
fibrosis p = ...
ginjal
HSP 72
luas fibrosis ginjal. Besarnya korelasi dinyatakan dalam r dengan uji Korelasi
Pearson.
49
DAFTAR PUSTAKA
Benjamin, I.J., McMillan, R.D., 1998. Stress (heat shock) proteins molecular
chaperones in cardiovascular biology and disease. Circ Res, 83,117-
32.
Boor, P., Ostendorf, T., Floege, J., 2010. Renal fibrosis: novel insights into
mechanism and therapeutics targets, Nat Rev Nephrol, 6, 643-56.
Bobadila, N., Gamba, G., 2007. New insights into the pathophisiology of
cyclosporin nephrotoxicity : a role of aldosteron. Am J Physiol Renal
Physiol, 293, 2-9.
Chao, S.M., Tan, P.H., Chiang, G.S.C., 2005. Renal biopsy and renal
pathology. Dalam : Chiu MC, Yap HK, Penyunting. Practical paediatric
nephrology. An update of current practices. Hongkong : Medcom
Limited, 5, 42-6.
Chen, H.B., Rud, J.G., Lin, K., Xu, L., 2005. Nuclear targeting of transforming
growth factor β activated smad complexes. J Biol Chem, 280, 21329–
36.
Data IRNA Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2010. Tidak dipublikasikan.
50
Eddy, A.A., 2000. Molecular basis of renal fibrosis. Pediatr Nephrol, 15, 290–
301.
Fabiano, A., Moseley, P.L., 2010. Heat shock protein and inflammation.
Dalam : Asea AAA, Padersen BK, Eds. Heat Shock Proteins and
Whole Body Physiology. Edisi ke-5. London : Springer, 4, 57-83.
Hewitt, S.M., Dear, J., Star, R.A., 2004. Discovery of protein biomarkers for
renal diseases. J Am Soc Nephrol, 15, 1677–89.
Hogg, R.J., Furth, S., Lemley, K.V., Portman, R., Schwartz, G.J., Coresh, J.,
Balk, E., Lau, J., Levin, A., Kausz, A.T., Eknoyan, G., Levey, A.S.,
2003. National kidney foundation. Kidney disease outcomes quality
initiative. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease
evaluation, classification, and stratification. Pediatrics, 111, 1416-21.
Huang, X.R., Chung, A.C., Wang, X.J., Lai, K.N., Lan, H.Y., 2008. Mice
overexpressing latent TGF-β1 are protected against renal fibrosis in
obstructive kidney disease. Am J Physiol Renal Physiol, 295, 118-27.
51
Li, C., Yang, C.W., Park, J.H., Lim, S.W., Sun, B.K., Jung, J.Y., Kim, S.B.,
Kim, Y.S., Kim, J., Bang, B.K., 2004. Pravastatin treatment attenuates
interstitial inflammation and fibrosis in a rat model of chronic
cyclosporin induced nephropathy. Am J Physiol Renal Physiol, 286,
46-57.
Lin J., Patel SR., Wang M., Dressler GR.,2006. The cystein rich domain
Mao, H., Li Z., Zhou Y., Li Z., Zhuang S., An X., Zhang B., Chen W., Nie J.,
Wang Z., Borkan SC., Wang Y., Yu X., 2008. HSP72 attenuates renal
tubular cell apoptosis and interstitial fibrosis in obstructive
nephropathy. Am J Physiol Renal Physiol, 295, 202-14.
Marzec, L., Liberek, T., Chmielewski, M., Bryl, E., Witkowski, J.M., Liberek,
K., Zdrojewski, Z., Rutkowski, B., 2007. Expression of heat shock
protein 72 in peritoneal leukocytes is induced by peritoneal dialysis.
Perit dial, 27, 288–95.
McMorrow, T., Gaffney, M.M., Slattery, C., Campbell, E., Ryan, M.P., 2005.
Cyclosporine A induce epitel-mesenchymal transition in human renal
proximal tubular epitelial cells. Nephrol Dial Transplant, 20, 2215-25.
Meng, Huang X.R., Xiao J., Chung A.C.K., Qin W., Chen H., Lan H.Y., 2012.
Disruption of Smad4 impairs TGF-β/Smad3 dan Smad7 transcriptional
regulation during renal inflammation and fibrosis in vivo and vitro.
Kidney Int, 81, 266-79.
52
Mestas, J., Hughes, C.C.W., 2004. Of mice and not men: Differences
between mouse and human immunology. J Immun, 72, 2731-8.
Motazed, R., Coville-Nash, P., Kwan, J.T.C., Dockrell, M.E.C., 2008. BMP-7
and proximal tubule epitelial cells: activation of multiple signaling
pathway reveal a novel anti-fibrotic mechanism. Pharm Res, 25,
2440-6.
Musial, K., Szprynger, K., Szczepan´ska, M., Zwolin´ska, D., 2010. The heat
shock protein profile in children with chronic kidney disease. Perit Dial
Int, 30, 227–32.
Musiał, K., Zwoliń´ska, D., 2011. Heat shock proteins in chronic kidney
disease. Pediatr Nephrol, 26, 1031–7.
Razzaque, M.S., Taguchi, T., 2003. Factors that influence and contribute to
the regulation of fibrosis. Dalam : Razzaque MS, Taguchi T, Eds.
Renal fibrosis. Switzerland, Karger, 1-11.
Reddi, A.H., 2001. Bone morphogenic proteins: From basic science to clinical
applications. J Bone Joint Surg Am, 83, 1-6.
53
Roitt, I.M., 2005. Essential immunology. Edisi ke-6. Oxford: Blackwell
Scientific, 164-77.
Sarro, E., Tornavaca, O., Plana, M., Meseguer, A., Itarte, E. 2008.
Phosphoinositide 3-kinase inhibitors protect mouse kidney cells from
cyclosporine-induced cell death. Kidney Int, 73, 77-85.
54
Sugimoto, H., Grahuvac, G., Zeisberg, M., Kalluri, R., 2007. Renal fibrosis
and glomerulosclerosis in a new mouse model of diabetic nephropathy
and its regression by bone morphogenic protein-7 and advanced
glycation end product inhibitors. Diabetes, 56, 1825-33.
Voght, B.A., Avner, E.D., 2007. Renal failure. Chronic kidney disease. Dalam:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia : Saunders, Elsevier
Science, 535(2), 2210-14.
Warady, B.A., Chadha, V., 2007. Chronic kidney disease in children: the
global perspective. Pediatr Nephrol, 22, 1999–2009.
Zhou, Y., Mao H., Li S., Cao S., Li Z., Zhuang S., Fan J., Dong X., Borkan
SC., Wang Y., Yu X., 2010. HSP72 Inhibits Smad3 Activation and
Nuclear Translocation in Renal Epithelial-to-Mesenchymal Transition. J
Am Soc Nephrol, 21, 598–609.
Zhang XL., Selbi W., Motte C., Hascall V., Phillips AO., 2005. Bone
55
LAMPIRAN
JADWAL PENELITIAN
1 Pengajuan usul X
2 Pelaksanaan penelitian X X
3 Pengolahan data X X
4 Penulisan laporan X X
X
5 Presentasi
56