Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ginjal adalah organ yang memiliki kemampuan memperbaiki

kerusakan (proses perbaikan/healing process) yang ditimbulkan karena

adanya jejas. Fibrosis ginjal merupakan manifestasi proses perbaikan pada

ginjal, tetapi fibrosis yang terjadi cenderung progresif dan meluas sehingga

merusak arsitektur ginjal. Bila proses terus berlanjut maka kerusakan yang

ditimbulkan akan berakhir menjadi penyakit ginjal kronis (PGK) tahap

akhir/terminal yang membutuhkan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau

transplantasi ginjal. Usaha tubuh untuk memperbaiki fibrosis yang terjadi

dengan mengekspresikan beberapa sitokin antisipator antara lain Heat Shock

Protein 72 (HSP-72). Namun peran HSP-72 pada proses perbaikan fibrosis

ginjal sampai saat ini belum jelas (Mao, 2008).

Di Australia, Jepang, dan Eropa, prevalensi PGK berkisar 6-16%

populasi keseluruhan. Di Amerika dari 32% penderita GGT, sekitar 2%

adalah penderita anak. Di India terdapat 12% penderita anak dengan PGK

25% diantaranya dengan GGT. Penyakit ginjal kronis pada anak umumnya

disebabkan oleh suatu sebab yang kompleks dan sangat parah dengan

angka kematian lebih tinggi sehingga memerlukan dialisis 30 sampai dengan

150 kali lebih besar dari dewasa. Fakta menunjukkan harapan hidup

penderita anak berkisar 20 tahun (Hogg, 2003; Voght, 2007; Warady, 2007).

Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo Surabaya mulai

1
tahun 2005 hingga tahun 2010 tercatat 53 penderita PGK dengan usia mulai

3 bulan hingga 15 tahun yang dirawat dengan berbagai komplikasi. Empat

belas penderita diantaranya tercatat sebagai penderita PGK stadium

terminal. Namun demikian kelainan histo-patologi anatomi biopsi pada

penderita tersebut tidak seluruhnya diketahui kerena permasalahan

persetujuan tindakan dari orang tua penderita (Data IRNA Anak RSU Dr.

Soetomo).

Jejas pada ginjal akan menimbulkan reaksi inflamasi. Jejas pada ginjal

antara lain adalah infeksi, batu ginjal, kelainan metabolik dan obat obatan

seperti Cyclosporine A (CsA) (Chatziantonio, 2005; Razzaque, 2003). Proses

inflamasi yang terjadi menimbulkan interaksi sel inflamasi dan pelepasan

sitokin. Sitokin yang berperan dalam proses fibrogenesis disebut faktor

fibrogenik/profibrotik. Diantaranya adalah transforming growth factor beta 1

(TGF-ß1), endotelin-1 (ET-1), angiotensin II (AT II), connective tissue growth

factor (CTGF), insulin-like growth factor-1 (IGF-1), tumor necrosis factor-α

(TNF-α), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelets derived growth factor

(PDGF), interleukin-1 (IL-1), dan molekul adhesi. Sitokin tersebut

mempengaruhi pembentukan jaringan baru meliputi proliferasi pembuluh

darah baru/angiogenesis dan fibrosis. TGF-ß1 merupakan faktor

fibrogenik/profibrotik utama yang berperan pada terbentuknya fibrosis ginjal

(Eddy, 2000; Razzaque, 2003). TGF-ß1 sebagai growth factor akan

menginduksi proses epithel mesenchymal transition (EMT) dan terjadinya

apoptosis. TGF-ß1 akan menstimuli Smad-2 dan Smad-3, yang selanjutnya

2
akan berikatan dengan Smad-4 membentuk suatu kompleks Smad. Terjadi

penekanan E-cadherin dengan akibat terbentuknya EMT akan meningkatkan

fibroblas di jaringan interstisiel. Proses tersebut akan meningkatkan MES.

Akumulasi MES dan fibroblas merupakan tanda utama fibrosis ginjal (Mao,

2008; Zhou, 2010).

Usaha ginjal untuk mengantisipasi kerusakan yang terjadi atau healing

process dengan melepaskan beberapa sitokin diantaranya HSP-72, Smad-7,

bone morphogenic protein 7 (BMP-7), interferon gamma (IFN-γ), nuclear

factor-КB (NF-КB), hepatocyte growth factor/scatter factor (HGF), dan

beberapa metaloproteinase (MMPs) (Eddy, 2000; Razzaque, 2005). HSP-72

suatu molekular chaperon/chaperokine, merupakan sitokin antisipator

terjadinya fibrosis. HSP-72 berperan melindungi sel epitel tubulus ginjal dari

meluasnya nekrosis dan apoptosis akibat jejas. Selain itu HSP-72 berperan

memperbaiki kerusakan akibat jejas melalui upaya pencegahan kerusakan

sitoskeletal dengan memperbaiki fungsi sel dan peningkatan interaksi antara

sel dengan matriks. HSP-72 tersebut mampu menghambat aktivitas TGF-β1

dengan cara mempengaruhi ekspresi TGF-β1 melalui hambatan sinyal pada

jalur Smad-3. Akibatnya HSP-72 menurunkan proses EMT melalui upaya

mempertahankan E-cadherin. Penurunan proses EMT akan mengurangi luas

fibrosis ginjal. Selain menghambat TGF-β1, HSP-72 juga menyebabkan

peningkatan aktifitas Smad-7 dan MMPs-2. Aktivasi Smad-7 oleh HSP-72

juga akan menghambat aktivitas TGF-β1 melalui hambatan sinyal pada jalur

Smad-3. Aktivasi MMPs-2 oleh HSP-72 akan menyebabkan degradasi

3
kolagen I dan kolagen III sehingga terjadi penurunan volume MES yang

akhirnya mengurangi luas fibrosis ginjal (Mao, 2008; Fabiano, 2010; Zhou,

2010).

Atas dasar masalah tersebut, maka perlu dilakukan penelitian

mengenai ekspresi HSP-72 pada fibrosis ginjal serta pengaruhnya pada

TGF-β1 dalam upaya peningkatan penanganan terhadap pasien penyakit

ginjal kronis untuk mengurangi progresivitas keparahan penyakit. Penelitian

ini menggunakan tikus Wistar sebagai model yang diinduksi CsA secara

injeksi sub-kutan untuk membuat fibrosis pada ginjal.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat

dirumuskan masalah penelitian ini adalah :

1. Bagaiman hubungan antara peningkatan HSP-72 dengan luas fibrosis

ginjal?

2. Bagaimana hubungan antara ekspresi HSP-72 dengan ekspresi TGF-

β1 pada fibrosis ginjal?

3. Bagaimana hubungan antara ekspresi HSP-72 dengan ekspresi

Smad-7 pada fibrosis ginjal?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Menganalisis ekspresi HSP-72 pada proses perbaikan fibrosis ginjal.

4
1.3.2. Tujuan Khusus

1. Menganalisis hubungan antara peningkatan HSP-72 dengan luas

fibrosis ginjal.

2. Menganalisis hubungan antara ekspresi HSP-72 dengan ekspresi

TGF-β1 pada fibrosis ginjal.

3. Menganalisis hubungan antara ekspresi HSP-72 dengan ekspresi

Smad-7 pada fibrosis ginjal.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teori

Memperoleh informasi ilmiah tentang ekspresi HSP-72 sebagai

petanda proses perbaikan fibrosis ginjal.

1.4.2. Manfaat praktis

Pengetahuan tentang ekspresi HSP-72 sebagai petanda mekanisme

perbaikan fibrosis ginjal dapat digunakan untuk mengantisipasi jejas

yang terjadi sehingga proses perbaikan menjadi sempurna dan

kerusakan yang bersifat irreversibel dapat dicegah.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Fibrosis Ginjal

Fibrosis ginjal adalah suatu patologi anatomi dimana terjadi kerusakan

struktur tubulus dan kapiler ginjal. Terdapat atropi/dilatasi tubulus, infiltrasi

leukosit, akumulasi fibroblas serta peningkatan dan akumulasi MES pada

jaringan interstisiel ginjal. Fibrosis adalah hasil proses keradangan kronis dan

jejas pada jaringan serta hasil proses penyembuhan. Fibrosis dapat terjadi

akibat trauma fisik, gangguan sistem imun, penyakit metabolik, dan obat-

obatan seperti CsA yang memicu aktivasi dan proliferasi fibroblas serta

terjadinya akumulasi protein matriks pada jaringan (Schnaper, 2003;

Silverstein, 2009). Fibrosis ginjal dapat ditegakkan melalui pemeriksaan

patologi anatomi dari hasil biopsi jaringan ginjal. Luas fibrosis ginjal

ditentukan dengan pemeriksaan histopatologi pada daerah interstitiel tubulus

ginjal (Chao, 2005).

2.2. Patofisiologi Fibrosis Ginjal

Fibrosis ginjal merupakan petanda progresivitas PGK (Razzaque,

2003; Schnapper, 2003; Warady, 2007; Silverstein, 2009). Penyakit ginjal

kronis adalah kerusakan ginjal dalam waktu lebih atau sama dengan 3 bulan

yang diartikan sebagai abnormalitas struktur dan fungsi ginjal dengan atau

tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus yang bermanifestasi sebagai

6
abnormalitas patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti abnormalnya

zat petanda dalam darah atau urin, atau abnormalnya gambaran radiografi.

Penyakir ginjal kronis juga diartikan sebagai GFR <60 mL/menit/1.73 m2

dengan/tanpa kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan (KDOQI, 2003; Sekarwana,

2004). Keadaan tersebut selanjutnya membutuhkan dialisis atau transplantasi

ginjal (Boor, 2010).

Terdapat 5 derajat keparahan pada PGK yaitu:

1. PGK stadium 1:

Gangguan pada struktur ginjal tanpa disertai dengan penurunan LFG

(≥90 ml/menit/1.73m2).

2. PGK stadium 2:

PGK dengan LFG antara 60 - 89 ml/menit/1.73m 2.

3. PGK stadium 3:

PGK dengan LFG antara 30 - 59 ml/menit/1.73m 2.

4. PGK stadium 4:

PGK dengan LFG 15 - 29 ml/menit/1.73m2.

5. PGK stadium 5:

PGK dengan LFG <15 ml/menit/1.73m2.

PGK stadium 5 disebut sebagai gagal ginjal tahap akhir atau gagal

ginjal terminal (GGT).

Ada 2 penyebab terjadinya fibrosis ginjal. Penurunan aliran darah ke

ginjal yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan memicu terjadinya

7
fibrosis, serta keberadaan mediator inflamasi. Fibrosis terdiri dari banyak

tahap. Tahap pertama diawali dengan pelepasan sitokin yang mengaktivasi

fibroblas dan menginduksi proliferasi serta diferensiasinya. Tahap berikutnya

terjadi peningkatan sintesis MES (Eddy, 2000; Chatziantoniu, 2005).

2.2.1. Patogenesis terjadinya fibrosis

Inflamasi merupakan respons protektif setempat karena adanya jejas

atau kerusakan jaringan. Inflamasi berfungsi mengeliminasi agen penyebab

jejas maupun jaringan yang mengalami jejas (Roitt, 2005) untuk memperbaiki

kerusakan yang terjadi. Jejas pada ginjal antara lain inflamasi glomerulus

misalnya glomerulo nefritis kronis, inflamasi pembuluh darah ginjal, infeksi,

batu ginjal, kelainan metabolik dan obat obatan misalnya CsA

(Chatziantoniou, 2005; Razzaque, 2003). Inflamasi meliputi interaksi sel-sel

inflamasi dan pelepasan sitokin-sitokin sebagai mediator inflamasi pada fase

awal (initiation phase). Eksaserbasi mediator inflamasi semakin hebat pada

amplification phase. Reaksi-reaksi ini kemudian menyebabkan jaringan yang

mengalami jejas diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Bila jejas

berlanjut akan terjadi proses simultan dari inflamasi aktif sehingga pada

progression phase terjadi destruksi jaringan dan perbaikan meliputi proliferasi

pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis (Gambar 2.1).

8
Gambar 2.1. Proses terbentuknya fibrosis akibat jejas pada ginjal
Sumber : Segerer, S., Nelson, P.J., Schlὄndorff, D., 2000. Chemokines, chemokin receptors,
and renal disease: from basic science to pathophysiologic and therapeutic studies. J Am Soc
Nephrol, 11, 152–76.

Pada fibrosis ginjal perbaikan jaringan akibat jejas tidak dapat tercapai

sepenuhnya hanya oleh regenerasi sel parenkimal, tetapi juga harus

melibatkan penggantian oleh jaringan ikat yang menghasilkan jaringan

fibrotik. Ada 4 komponen terjadinya proses tersebut meliputi angiogenesis,

migrasi dan proliferasi sel, akumulasi MES, dan remodeling (Obberg, 2004).

9
Pada awal fibrosis terjadi inflamasi dan proliferasi sel yang

memproduksi matriks. Pada fase akhir sebagian besar sel tersebut akan

menghilang karena proses apoptosis, dan meninggalkan sekumpulan masa

fibrotik aseluler. Peningkatan rasio apoptosis diketahui selama pembentukan

jaringan fibrosis pada hewan coba dan manusia. Fibrosis ditandai dengan

produksi berlebihan dan akumulasi protein matriks yang disebabkan oleh

berbagai macam faktor (Razzaque, 2003; Chatziantonio, 2005; Hewitt, 2004).

Gambar 2.2 secara skematis menggambarkan beberapa substansi penting

berkaitan dengan produksi matriks dan pembentukan miofibroblas pada

fibrosis ginjal. Sitokin-sitokin adalah faktor yang memegang peranan dalam

proses fibrogenesis dan selanjutnya disebut faktor fibrogenik/profibrotik.

Beberapa diantaranya adalah TGF-ß1, IL-1 , IGF-1, ET-1, AT II, CTGF, TNF-

α, bFGF, dan PDGF. Molekul adhesi seperti selectins, leukocyte integrins,

intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecules

(VCAMs), monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), osteopontin (OPN),

dan regulated upon activation normal T-cell expressed and secreted

(RANTES) juga berperan dalam interaksi fibroblas dan sel limfosit T pada

awal proses inflamasi yang terjadi pada fibrosis ginjal. Enzim proteolitik

seperti MMPs dan penghambatnya, tissue inhibitor of matrix

metalloproteinases (TIMPs) secara aktif akan terlibat pada fibrosis ginjal.

Keseimbangan yang baik dari 2 kelas molekul tersebut akan memelihara

struktur dan integritas normal jaringan.

10
makrofag

RANTES, MCP-1
Sel endotel limfosit Kemokin,
IL-1, IL-6, MCP-1
TGF-ß ICAM,VCAM
IL-1
ET-1 RANTES,
TNF-α Kemoatraktan

Diferensiasi miofibroblas Diferensiasi Sel epitel


fibroblas (EMT) tubulus

TGF-ß, CTGF,
FGF,ET-1,
AT-II,HSP-47

Produksi matriks

Obliterasi kapiler Plasmin,


Apoptosis MMPs,TIMPs
Atrofi tubular

Fibrosis interstisiel

Gambar 2.2. Skema dari beberapa substansi penting yang berkaitan dengan
terjadinya fibrosis ginjal.
Sumber : Razzaque, M.S., Taguchi, T., 2003. Factors that influence and contribute to the
regulation of fibrosis. Dalam : Razzaque MS, Taguchi T, Eds. Renal fibrosis. Switzerland,
Karger, 1-11.

2.2.2. Fase pembentukan fibrosis ginjal

1. Fase jejas dan aktivasi seluler

Sel tubulus akan mengalami jejas karena terpapar oleh molekul

bioaktif. Molekul tersebut berupa protein yang berasal dari plasma atau

glomerulus yang mengalami kerusakan. Tejadi peningkatan filtrasi substansi

protein lain di dalam urin seperti chemoattractants, komplemen, sitokin,

lipiduria, dan hasil hipermetabolisme dari sel tubulus yang terjadi sebagai

11
respon terhadap adanya jejas. Protein tersebut memicu spesies oksigen

reaktif yang dapat merusak tubulus. Selanjutnya tubulus yang rusak akan

memproduksi substansi yang akan memperluas kerusakan yang terjadi

dengan inflamasi yang ditimbulkan dan/atau secara langsung menyebabkan

terjadinya fibrosis (Hewitt, 2004).

Pada fase awal kerusakan ginjal masih memungkinkan terjadinya

perbaikan dari gangguan struktur dan fungsi yang terjadi. Bila jejas

berlangsung terus menerus akan terjadi perubahan pada sel tubulus yang

berakhir dengan terbentuknya fibrosis (Boor, 2010).

Fibrosis ginjal diawali adanya infiltrasi sel mononuklear. Monosit dan

makrofag juga berperan dalam proses fibrogenik bersama dengan sel yang

menjadi sumber molekul profibrotik. Akumulasi monosit dan makrofag di

ruang interstisiel awalnya terjadi karena proliferasi makrofag interstisiel

ginjal, tetapi selanjutnya dalam jumlah besar akan ditambah dari infiltrasi sel-

sel monosit sirkulasi yang masuk ke ruang interstisiel ginjal melalui endotel

kapiler peritubulus (Oberg, 2004; Musial, 2010).

Infiltrasi lekosit dan aktivasi makrofag pada jaringan interstisiel ginjal

memegang peran utama pada suatu inflamasi. Infiltrasi lekosit, terutama

makrofag dan sel limfosit T, akan meningkat dalam 4 hingga 12 jam, namun

infiltrasi lekosit tersebut tidak mutlak ada pada jejas tubulointerstisiel. Limfosit

akan ditemukan dalam jumlah kecil beredar dalam sirkulasi dengan derajat

kerusakan akibat jejas yang tidak berbeda (Musial, 2011).

12
Infiltrasi lekosit dari sirkulasi akan menimbulkan beberapa mekanisme.

Terjadi induksi EMT dalam 24 jam dan kontak dengan sel limfosit T dalam 48

jam sesudah jejas serta aktivasi molekul adesi, mediator inflamasi, dan

mediator profibrotik. EMT adalah perubahan bentuk fenotipe dan fungsi sel

epitel mesenkim menjadi sel fibroblas. Jejas akan memberikan stimulus yang

menyebabkan sel epitel tubulus terlepas dari ikatan dengan sel disekitarnya

dan membran basal. Sel tersebut akan bergerak menuju ruang interstisial

dan terdeteksi sebagai fibroblas/miofibroblas. Proses tersebut akan

menyebabkan peningkatan jumlah fibroblas yang berakumulasi dalam ruang

interstisiel ginjal (Razzaque, 2003).

2. Fase signalling fibrogenik

Fase signalling fibrogenik merupakan reaksi faktor profibrotik

diantaranya adalah TGF-ß1, IL-1 , IGF-1, ET-1, AT II, CTGF, TNF-α, bFGF,

PDGF, selectins, leukocyte integrins, ICAM-1, VCAMs, MCP-1, OPN, dan

RANTES dengan reseptornya sehingga terjadi aktifasi. Aktifasi yang terjadi

menimbulkan akumulasi matriks di ruang interstisiel ginjal sehingga

terbentuk fibrosis ginjal. Aktifasi tersebut merangsang transkripsi gen yang

mengkode matriks, menghambat reseptor pengikat matriks, transformasi

fibroblas menjadi miofibroblas, proses kemotaksis terhadap fibroblas dan

monosit, serta penurunan degradasi protein matriks melalui reduksi sintesis

protease dan peningkatan sintesis penghambat protease. Keberadaan sitokin

13
tersebut di dalam darah menunjukkan progresivitas terjadinya fibrosis ginjal

pada PGK (Eddy, 2000; Razzaque, 2003).

Pada saat yang bersamaan, terjadi aktivasi faktor-faktor lain yang

mempunyai efek berlawanan dengan faktor profibrotik seperti HSP-72, Smad-

7, BMP-7, IFN-γ, NF-КB, HGF, dan MMPs. Efek tersebut meliputi hambatan

pada aktivitas miofibroblas dan ekspresi gen kolagen, reduksi dari produksi

PDGF, hambatan aktivitas TGF-ß1, reduksi formasi miofibroblas interstisiel,

dan reduksi akumulasi kolagen (Eddy, 2000; Razzaque, 2003).

3. Fase fibrogenik

1). Produksi matriks ekstraseluler

Sintesis, sekresi dan aktivasi terhadap salah satu, atau lebih dari

faktor fibrogenik akan memicu terbentuknya protein MES di dalam ruang

interstisiel ginjal. Peningkatan akumulasi protein matriks yang menimbulkan

fibrosis ginjal merupakan akibat dari 2 proses paralel yaitu peningkatan

sintesa dan penurunan degradasi (Eddy, 2000). Pada gambar 2.3

digambarkan peningkatan MES di interstisiel tubulus ginjal tergantung pada

keseimbangan antara sintesis matriks dan degradasi matriks. Dalam keadaan

normal terjadi keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks. Bila

sintesis matriks berlebihan dan degradasi matriks menurun maka akan terjadi

timbunan MES di interstisiel tubulus ginjal. MMP inhibitor dan PA inhibitor

berperan untuk mendegradasi matriks. Penilaian kedua proses tersebut

penting artinya untuk menentukan strategi penanganan fibrosis ginjal.

14
Gambar 2.3. Keseimbangan dan ketidakseimbangan yang terjadi pada
sintesis dan degradasi matriks
Sumber : Eddy, A.A., 2000. Molecular basis of renal fibrosis. Pediatr Nephrol, 15, 290–301.

Berikut adalah protein matriks interstisiel normal (kolagen I, III, V, VII,

XV, fibronektin) dan protein matriks yang terdapat pada membran dasar

tubulus (kolagen IV dan laminin). Protein hasil pembelahan varian fibronektin

dan rantai baru yang terbentuk dari laminin dan kolagen tipe IV dibentuk pada

jaringan ginjal yang rusak. Akumulasi berlebihan kolagen tipe I, III, dan IV

adalah tanda khas dari fibrosis ginjal (Zeisberg, 2010).

Fibrosis merupakan suatu proses dinamis dari perubahan yang terjadi

pada perjalanan penyakit ginjal. Tahap awal yang terjadi relatif tidak stabil

dan rentan terhadap degradasi. Seiring bertambahnya waktu akan tercapai

ketahanan relatif terhadap aktivitas protease. Proses pematangan tersebut

belum dapat diketahui dengan jelas tetapi mungkin melibatkan modifikasi

glikosilasi, oksidasi, atan transglutaminasi. Perubahan komposisi matriks

15
seperti rasio kolagen I dengan kolagen III juga berperan pada proses

stabilisasi (Eddy, 2000).

2). Remodeling matriks dan degradasi

Proses remodeling matriks selama fibrosis meliputi perubahan pada

stabilitas dan pemecahan protein. Beberapa protease pemecah matriks

disintesis oleh sel ginjal normal untuk menjaga keseimbangan struktur normal

ginjal. Kunci dari timbulnya fibrosis ginjal adalah produksi inhibitor protease.

Pada saat yang bersamaan dengan akselerasi sintesis matriks, proses

enzimatik yang dibutuhkan untuk mengatur proses degradasi mengalami

inaktivasi. Kekuatan potensial pada proses ini tidak dapat diremehkan.

Terdapat fakta yang menyatakan bahwa pada fase awal fibrosis ginjal terjadi

proses perbaikan lengkap karena aktivitas protease jika proses primernya

berhenti. Sebagai contoh, fibrosis tubulointerstisiel reversibel pada sindrom

nefrotik akut dan nefropati diabetes (Razzaque, 2003).

Ginjal normal memproduksi sejumlah protease yang spesifik untuk

protein matriks diantaranya adalah MMPs, proteinase serin (plasmin dan

katepsin G) dan sistein proteinase lisosom (kaptesin B,H,dan L). Masing-

masing enzim berbeda dalam hal spesifitas terhadap substrat matriks. Enzim

tersebut juga mampu melakukan stimulasi terhadap aktivasi dan proliferasi

sel. Metaloproteinases terbagi dalam kolagenase interstisial (MMPs-1),

gelatinase A (MMPs-2), stromelisin (MMPs-3), gelatinase B (MMPs-9), dan

elastase. Gelatinase A merupakan metaloproteinase yang terutama berperan

16
dalam menghambat perluasan fibrosis. Empat inhibitor MMPs utama sudah

teridentifikasi yaitu TIMPs-1, -2, -3, dan -4. TIMPs-2 dan TIMPs-3 terdapat

dalam kadar tinggi pada ginjal normal. TIMPs-1 disintesis oleh seluruh sel

mesenkim seperti fibroblas, makrofag dan sel epitel tubulus. Ekspresi TIMPs-

1 dapat diinduksi oleh growth factor seperti EGF, PDGF, TNF-α, TGF-ß, dan

interleukin (IL-1, IL-6, IL-10) (Eddy, 2000).

4. Fase destruksi ginjal

Iskemia tubulus akan menyebabkan terjadinya kematian sel tubulus

dan endotel oleh apoptosis atau nekrosis. Hipoksia secara langsung dapat

mempengaruhi ekspresi gen yang menyebabkan fibrosis melalui

peningkatan sintesis kolagen. Akumulasi matriks dalam ruang interstisiel

akan merusak struktur ginjal, atrofi tubulus, berkurangnya nefron, yang

menyebabkan menjadi ginjal menjadi non fungsional. Akumulasi tersebut

meluas dalam ruang interstisiel dan menyebabkan destruksi dari struktur dan

penurunan fungsi ginjal. Kerusakan tubulus ginjal dengan jumlah mencapai

80% volume ginjal merupakan target kerusakan oleh karena proses fibrosis

(Razzaque, 2003).

2.3. Peran TGF-ß1 pada fibrosis ginjal

Aktifasi TGF-ß1 memicu beberapa kejadian yang menimbulkan fibrosis

seperti transkripsi gen yang mengkode matriks, penurunan degradasi protein

matriks melalui reduksi sintesis protease dan peningkatan sintesis

17
penghambat protease, menghambat reseptor dari integrin pengikat matriks,

transformasi fibroblas menjadi miofibroblas, dan proses kemotaksis terhadap

fibroblas dan monosit. TGF-ß1 juga menginduksi proses EMT pada sel epitel

tubulus, merusak susunan basal membran tubulus, serta meningkatkan

sintesis kolagen I (Razzaque, 2003).

TGF-ß1 merupakan isoform TGF-ß. TGF-ß sebagai protein

disekresikan dalam bentuk laten (suatu bentuk yang belum bisa berinteraksi

dengan reseptor TGF-ß) dari sel-sel sebagai suatu kompleks protein dengan

berat molekul besar.  TGF-ß harus dibebaskan dari kompleks ini untuk

menjadi aktif. Aktifasi TGF-ß  laten tampaknya merupakan suatu langkah

regulasi untuk mengontrol efek TGF-ß. TGF-β banyak berperan pada regulasi

proses biologis dasar seperti pertumbuhan sel, diferensiasi, perkembangan,

perbaikan jaringan, dan apoptosis. Terdapat tiga isoform TGF- β, yaitu TGF-

β1, TGF-β2, dan TGF-β3. Diantara ketiga isoform ini, TGF-β1 paling

berpengaruh terhadap terjadinya fibrosis jaringan (Hewitt, 2004).

TGF-β1 berperan penting dalam mengatur sintesis MES. TGF-β1

merangsang sintesis komponen MES, termasuk kolagen, fibronektin, laminin,

dan proteoglikan. Pada akhirnya TGF-β1 akan meningkatkan ekspresi

reseptor MES pada permukaan sel, yang selanjutnya mengakibatkan

akumulasi komponen MES (Segerer, 2000). Peran TGF-β1 adalah:

1. Sebagai faktor fibrogenik poten yang akan merangsang kemotaksis

fibroblas sehingga timbul jaringan parut ginjal dengan meningkatnya

produksi kolagen, fibronektin, dan menghambat degradasi dari

18
kolagen dengan jalan menurunkan MMPs serta meningkatkan

protease inhibitor.

2. Merangsang proliferasi fibroblas.

3. Mengontrol respon terhadap jejas pada endotel.

4. Mengatur timbulnya antigen presenting cell (APC).

5. Sebagai anti inflamasi dan merangsang apoptosis.

TGF-β1 dan EGF yang dihasilkan oleh sel inflamasi dan fibroblas

berperan pada perubahan fenotip dari sel epitel tubulus. Selain itu

rangsangan sel epitel tubulus oleh TGF-β1 dan EGF dapat menyebabkan

migrasi dari sel epitel menuju interstisiel. Grotendorst dkk (1996)

mengidentifikasi respon unik dari TGF-β pada daerah promotor CTGF yang

menginduksi sintesis kolagen. Sedangkan Duncan dkk (1999) menyatakan

bahwa CTGF mempunyai kemampuan sebagai mediator sintesis kolagen

bersama dengan TGF-β (Zeisberg, 2010).

TGF-β1 terikat pada dua reseptor sel yaitu reseptor sel tipe 1 dan tipe

2 melalui aktivasi dari serine/threonine kinase dan mediator intraseluler yang

disebut Smads. Kedua reseptor ini sama-sama diperlukan dalam transduksi

signal. TGF-β1 akan berikatan kuat dengan reseptor, dan selanjutnya

kompleks reseptor TGF-β1 akan mengakibatkan fosforilasi Smad-2 dan

Smad-3. Sinyal yang berasal dari TGF-β1 akan dihantarkan terutama oleh

Smad-3. Smad-2 dan Smad-3 merupakan anggota dari protein intraseluler

yang menjadi mediator sinyal TGF-β1 dari sitosol ke inti sel dan mengatur

19
proses seluler seperti proliferasi sel, apoptosis, dan diferensiasi. Smad-2 dan

Smad-3 termasuk R-Smad apabila berikatan dengan TGF-β1. Fosforilasi

Smad-2 dan Smad-3 ini akan menginduksi Smad-4 yang termasuk Co-Smad.

Kompleks Smad- 2,3, dan 4 sangat penting untuk translokasi ke dalam inti sel

(Razzaque, 2003; Chen, 2005; Zhou, 2010; Lan, 2011).

Smad-2 dan Smad-3 yang terfosforilasi setelah aktifasi TGF-β1 akan

membentuk kompleks stabil dengan Smad-4 di sitoplasma dan kemudian

terakumulasi di nukleus. Di dalam nukleus komplek Smad-2, 3 dan Smad 4

berikatan dengan DNA-binding site dan mengaktifkan transkriptor antara lain

micro-RNA-21 (miR-21) dan miR-192 gen serta penghambatan terhadap

miR-29 dan miR-200 (Gambar 2.4). Sebuah studi telah dilakukan oleh Eddy

(2000) terhadap 4 penelitian mengenai level mRNA TGF-β1 pada fibrosis

interstisiel. Hasilnya didapatkan peningkatan mRNA TGF-β1 sebanyak 200-

400% .

20
Gambar 2.4. Skema aktivasi TGF-β1 oleh Smad-3
Sumber : Lan, H.Y., 2011. Diverse roles of TGF-β/Smads in renal fibrosis and inflammation.
Int J Biol Sci, 7, 1056-67

Proses selanjutnya adalah penekanan E-cadherin dengan akibat

terbentuknya EMT. Bila aktivasi TGF-β1 tidak terkendali, maka akan

meningkatkan MES dan terjadi fibrosis (Razzaque, 2005; Chen, 2005; Zhou,

2010; Lan, 2011).

2.4. Peran HSP-72 pada fibrosis ginjal

HSP-72 merupakan kelompok substansi protein dengan berat molekul

72 kDa. HSP merupakan substansi yang ekspresinya diinduksi oleh suhu,

21
syok serta kondisi lain dari stres termasuk lingkungan (radiasi ultra violet,

sengatan panas, logam berat dan asam amino), patologis (infeksi bakteri,

infeksi parasit, demam, keganasan, atau autoimunitas), atau fisiologis stres

(faktor pertumbuhan, diferensiasi sel, hormon stimulasi, atau pengembangan

jaringan). Sintesis senyawa ini dikenal sebagai respon stres (Fabiano, 2010).

Heat shock transcription factor (HSF) secara normal akan berikatan dengan

HSP dalam bentuk molekul yang tidak aktif di dalam sitosol. Saat terpapar

stresor, HSF akan mengalami fosforilasi oleh protein kinase menjadi bentuk

trimer dan berpindah tempat ke nukleus. Selanjutnya terjadi interaksi HSF

dengan Heat Shock Element (HSE) dan akan menginduksi pelepasan HSP.

Heat shock protein tersebut selanjutnya bergerak kembali ke sitosol dalam

bentuk substansi aktif (gambar 2.5).

Gambar 2.5. Skema aktifasi HSP sebagai suatu respon stres


Sumber : Razzaque, M.S.,Taguchi, T., 2005. Involvement of stress proteins in renal
diseases. Nephrol, 148,1–7.

22
HSP-72 berisi domain yang berbeda. Sebuah Peptida-C-terminal

Binding Domain (PBD) yang bertanggung jawab untuk mengikat substrat dan

replikasi, dan Nuclear Localized Signal (NLS) yang mengatur akumulasi inti

HSP-72 dalam kondisi stres. Beberapa bukti penelitian yang menyatakan

terjadinya peningkatan kadar sirkulasi HSP-72 pada dialisis peritoneal

(Marzec, 2007; Musial, 2010), PGK (Musial, 2011), hipertensi, aterosklerosis,

dan penuaan (Benjamin, 2012). HSP-72 akan dilepaskan secara pasif oleh

sel yang mengalami nekrosis dan eksositosis oleh sel dendritik yang

terstimulasi oleh sinyal endogen yang berasal dari suatu kondisi stres

(Johnson, 2006). Saat jaringan mengalami kerusakan akan terjadi pelepasan

HSP-72 dari sitosol menuju ruang ekstraseluler. Aktivasi sistem simpatis saat

terjadinya stresor menyebabkan pelepasan nor-epinefrin dan aktifasi reseptor

simpatis α1 (α1-ADR). Stimulasi terhadap reseptor α1 tersebut akan

meningkatkan kalsium intraseluler dan selanjutnya memicu pelepasan

eksosom yang mengandung HSP-72. Disamping itu aktivasi reseptor α1-ADR

akan meningkatkan konsentrasi HSP-72 di dalam eksosom. Pelepasan HSP-

72 kemudian memodulasi respon imun melalui interaksi dengan reseptor-

reseptor permukaan sel imun spesifik. Secara aktif pelepasan HSP-72 bisa

terjadi setelah sitokin proinflamasi seperti IFN-γ, IL-6, dan IL-10 memediasi

pelepasan aktif HSP-72 dari eksosome yang mengalami fusi keluar sel

(Asea, 2007).

HSP-72 menurut lokasi aktivitasnya terdiri dari intraseluler dan

ekstraseluler. Substansi intraseluler umumnya bersifat sitoprotektif,

23
menginduksi mekanisme anti apoptosis sel, merepresi ekspresi gen, dan anti

inflamasi. Di sisi lain, substansi ekstraseluler (eHSP-72) berperan sebagai

imunostimulan dengan merangsang sintesis sitokin proinflamasi dan

meningkatkan sintesis kemokin. Chaperokine, adalah istilah yang

menggambarkan fungsi eHSP-72 sebagai pendamping dari sitokin. HSP-72

ekstraseluler menginduksi respon imun tubuh. Dalam 2-4 jam pasca paparan

Antigen Presenting Cell (APC) untuk eHSP72 terjadi pelepasan TNF-α,

interleukin, GM-CSF, nitrat oksida, dan kemokin. Terjadi induksi, migrasi,

pematangan ekspresi permukaan CD40 (Cluster Differentiation-40), CD83,

CD86, MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, dan sel NK (Natural

Killer) (Johnson, 2006; Asea, 2007). Produksi netrofil serta makrofag akan

meningkat. Secara langsung terjadi pemicuan kaskade komplemen dan

antibodi oleh HSP-72 (gambar 2.6).

24
Gambar 2.6. Pelepasan HSP-72 secara eksositosis, dari jaringan yang rusak
dan penyakit
Sumber : Johnson, J.D., Fleshner, M., 2006. Releasing signals, secretory pathways, and
immune function of endogenous extracellular heat shock protein 72. J Leukoc Biol, 79, 425–
34.

Sudah terbukti bahwa terdapat aktivitas TLR-2 dan TLR-4 sebagai

respon dari keberadaan HSP-72 yang selanjutnya memberikan sinyal untuk

aktifasi sel imun (makrofag, netrofil, sel dendritik). Keberadaan HSP-72 dan

efeknya terhadap sistem imun tergantung dari kondisi patologis yang terjadi.

Jika tidak terdapat perubahan patologis yang terjadi, HSP-72 akan berada

pada jumlah minimal dengan pengaruh kecil terhadap aktivitas imun. Sebagai

perkecualian jika tubuh mengalami kondisi keradangan kronis seperti gagal

ginjal kronis dan fibrosis, konsentrasi dan aktivitas HSP-72 akan mengalami

eksaserbasi sesuai kondisi penyakit. Efek HSP-72 terhadap sistem imun

tergantung pada beberapa hal seperti spesifisitas molekul, jumlah sel

sumber, lokasi, dan pemicu pelepasan (Johnson, 2006; Asea, 2007).

25
Tabel 2.1. Faktor yang mempengaruhi efek HSP-72.

Faktor yang mempengaruhi efek HSP-72

Spesifisitas molekul

Jumlah sel sumber (sel normal, sel kanker, bakteri)

Lokasi (intraseluler atau ekstraseluler)

Pemicu (stres oksidatif, infeksi bakteri, infeksi virus, stres psikis, stres fisik,

stres seluler)

Sumber : Asea, A., 2007. Mechanisms of HSP72 release. J Biosci, 32, 579–84

Heat shock protein 72 kDa mampu melindungi berbagai sel, termasuk

sel-sel tubulus ginjal, dari panas, toksin, dan deplesi ATP yang dimediasi

cedera in vitro. Terjadi peningkatan ekspresi HSP-72 pada infark miokardial,

hati, otak, dan kerusakan ginjal yang disebabkan oleh iskemia,

siklosporin,dan paparan endotoksin (Asea, 2007).

HSP-72 merupakan suatu substansi yang melindungi sel epitel ginjal

dari nekrosis dan apoptosis in vivo dan in vitro, rehabilitasi struktur tubulus

yang terkena jejas, menghambat terbentuknya EMT serta mencegah

kerusakan struktur sitoskeletal dengan meningkatkan fungsi dan interaksi sel

dengan matriks. Obstruksi ureter dan cedera ginjal iskemik secara selektif

akan menginduksi ekspresi HSP-72 sehingga terjadi peningkatan konsentrasi

HSP-72. Belum diketahui secara pasti apakah kenaikan konsentrasi HSP-72

26
pada fibrosis ginjal merupakan petanda mekanisme perbaikan spesifik (Mao,

2008; Musial, 2010; Zhou 2010).

Setelah terjadinya obstruksi ureter terjadi peningkatan ekspresi HSP-

72 yang dimulai pada hari ke-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke-7,

yang bertahan selama 14 hari berikut seiring dengan terbentuknya fibrosis

ginjal. HSP-72 secara signifikan menghambat terjadinya apoptosis sel

tubuler, reduksi dari proliferasi sel tubuler, menghambat deposisi kolagen I

dan kolagen III, dan pada akhirnya menghambat terbentuknya fibrosis.

Terjadi hambatan terhadap terbentuknya EMT melalui upaya

mempertahankan ekspresi E-chaderin. Hal ini menunjukkan bahwa HSP-72

menghambat terbentuknya fibrosis setelah terjadinya obstruksi ureter. Secara

potensial ekspresi HSP-72 tidak hanya mempengaruhi apoptosis sebagai

sitoprotektif tetapi juga menghambat terbentuknya EMT yang merupakan

kondisi utama terjadinya fibrosis ginjal (Chen, 2005; Razzaque, 2008) .

HSP-72 memberikan peran penting dalam penghambatan fibrosis

ginjal. Struktur EMT in vitro yang merupakan respon terhadap ekspresi TGF-

β1. HSP-72 dapat bertindak sebagai molekul pendamping untuk mencegah

translokasi inti Smad-3. HSP-72 mampu mencegah fosforilasi dan translokasi

inti Smad-3 dan mempengaruhi ekspresi TGF-β1 melalui penghambatan

sinyal pada jalur Smad-3. Peran HSP-72 dalam mengatur ekspresi kelompok

Smad telah diselidiki dengan menggunakan sel NRK-52E oleh Mao dkk

(2008). Paparan sel tersebut mengakibatkan fosforilasi Smad-3, yang

dideteksi dalam 5 menit, mencapai puncaknya pada 30 menit, sedikit

27
mengalami penurunan sebesar 1 jam, dan kemudian meningkat lagi antara

24 dan 48 jam. Ekspresi HSP-72 berlebih akan menghambat fosforilasi

Smad-3 dan sekaligus meningkatkan Smad-7 yang berperan menekan

reseptor TGF-β1. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa konsentrasi HSP-

72 dengan dosis 50 nm mampu mengurangi tingkat Smad3 hingga 63% dan

meningkatkan Smad-7 sebesar 75% (Mao, 2008).

Translokasi adalah langkah penting dalam perjalanan sinyal TGF-β1.

Sebelum terjadi stimulasi TGF-β1, Smad-3 terdistribusi terutama di

sitoplasma dan sedikit di dalam inti. Setelah terjadi stimulasi TGF-β 1, Smad-

3 akan terakumulasi di dalam inti. Peningkatan ekspresi HSP-72 akan

menurunkan konsentrasi Smad-3 di dalam inti tersebut. Domain pengikat

peptida-C-terminal dari HSP-72 berperan dalam penghambatan aktivasi

Smad-3 melalui hambatan fosforilasi dan translokasi inti Smad-3. Selanjutnya

domain ini akan mengatur ekspresi Smad-7 (Zhou, 2010; Lan, 2011).

Mao dkk (2008) pada studinya mengenai peran HSP-72 pada proses

apoptosis sel tubular ginjal dan pembentukan fibrosis intersisial pada

nefropati obstruktif menyimpulkan bahwa HSP-72 mampu mengurangi

apoptosis dan proliferasi pada epitel tubulus serta mengurangi akumulasi

fibroblas pada jaringan intersisial dan akumulasi kolagen I pasca obstruksi

ureter. Dinyatakan pula bahwa HSP-72 bekerja menghambat aktivitas TGF-

β1 dalam upaya penghambatan pembentukan EMT dan mempertahankan E-

cadherin dan reduksi α-SMA. Gambar 2.7 menunjukkan efek kerja HSP-72

terhadap terjadinya fibrosis ginjal dalam hubungannya dengan TGF-β1, E-

28
cadherin, α-SMA (α-smooth muscle actin), dan siRNA HSP-72 sebagai

penghambat kerja HSP-72.

Gambar 2.7. Efek kerja HSP-72 terhadap terjadinya fibrosis ginjal dalam
hubungannya dengan TGF-β1, E-cadherin, α-SMA, dan sRNA HSP-72
sebagai penghambat kerja HSP-72.
Sumber : Mao, H., et al, 2008. HSP72 attenuates renal tubular cell apoptosis and interstitial
fibrosis in obstructive nephropathy. Am J Physiol Renal Physiol, 295, 202-14

Chen dkk (2005) pada studi yang dilakukan sebelumnya juga

menyatakan mengenai inaktivasi kerja TGF-β1 pada hambatan fosforilasi dan

translokasi inti dari Smad-3. Zhou dkk (2010) meneliti mengenai kerja HSP-

72 mengenai penguruhnya terhadap terbentuknya fibrosis ginjal. Pada studi

itu disimpulkan bahwa HSP-72 bekerja menekan aktivitas fosforilasi dan

tranlokasi inti Smad-3 yang berakibat hambatan hantaran sinyal TGF-β1

pada sel tubulus ginjal sesudah terjadinya obstruksi ureter sehingga terjadi

hambatan terbentuknya EMT yang merupakan proses inti terjadinya fibrosis

(gambar 2.8).

29
Gambar 2.8. Skema aktivitas HSP-72 dalam mekanisme penghambatan kerja
Smad
Sumber : Zhou, Y., et al, 2010. HSP72 Inhibits Smad3 Activation and Nuclear Translocatio in
Renal Epithelial-to-Mesenchymal Transition. J Am Soc Nephrol, 21, 598–609

Pada fibrosis ginjal, HSP-72 berpotensi menekan terbentuknya EMT

serta terbentuknya jaringan fibrosis. Hal tersebut dapat dijelaskan karena

efek penghambatan HSP-72 terhadap aktivasi Smad-3 yang secara signifikan

pula menghambat sinyal TGF-β1 akan terjadi secara berkelanjutan.

Gangguan terhadap aktivasi Smad-3 dan hambatan sinyal TGF-β1 serta

peningkatan ekspresi Smad-7 sebagai penghambat reseptor TGF-β1 terjadi

secara terus menerus. Hambatan terhadap ekspresi TGF ß1 menyebabkan

hambatan transkripsi gen yang mengkode matriks, peningkatan degradasi

protein matriks melalui hambatan terhadap reduksi sintesis protease dan

hambatan sintesis penghambat protease, menurunkan hambatan reseptor

dari integrin pengikat matriks, reduksi transformasi fibroblas menjadi

30
miofibroblas, dan penurunan proses kemotaksis terhadap fibroblas dan

monosit (Mao, 2008; Zhou, 2010).

2.5. Peran Smad-7 pada perbaikan fibrosis ginjal

Smad merupakan protein yang terdapat dalam sitoplasma, diaktifkan

oleh BMPs. Nama gen Smad berasal dari gen yang ditemukan yaitu Mad

(mother against decapentaplegic) pada Drosophila dari jalur signal

decapentaplegic. Gen yang sama, yaitu Sma adalah gen pada

Caenorhabditis elegans. Sma dan Mad diduga merupakan jalur signal yang

diaktifkan oleh BMP. Lebih lanjut Sma dan Mad dijadikan satu nomenklatur

jadi Smad, merupakan protein di dalam sitoplasma yang diaktifkan oleh BMP.

Smad ini dibagi menjadi 3 kelompok berbeda berdasarkan fungsi, yaitu R-

Smad (receptor regulated) Smad yang diaktifkan oleh reseptor, Co-Smad

(common partner) Smad yang berperan sebagai coactivator yaitu Smad-4,

dan I-Smad (inhibitory) Smad yang berperan sebagai inhibitor. Smad-7 dan

Smad-6 merupakan Smad yang berperan sebagai I-Smad. Smad-7 dan

Smad-6 normal terdapat dalam nukleus (Reddi, 2001).

Bila terjadi aktivasi BMP-7, akan terjadi aktivasi Smad-1 dan Smad-5,

akan berikatan dengan Smad-4 sebagai coactivator dan akan masuk

kedalam nukleus. Dalam nukleus ikatan Smad-1, Smad-5 dan Smad-4 akan

terlepas. Smad-1 dan Smad lebih lanjut akan mengaktifkan transcription

factor dari target gen yaitu Id2/3. Lebih lanjut akan terjadi rangkaian proses

31
yang akan menghambat EMT dan merangsang proses MET, sehingga

perbaikan epitel tubulus ginjal dapat terjadi (Reddi, 2001).

Sintesis Smad-7 dirangsang oleh BMP-7. Smad-6 dan Smad-7

sebagai inhibitor, akan menghambat atau menurunkan aktifasi pada reseptor

BMPR I. Dengan demikian Smad-6 dan Smad-7 berperan sebagai regulator

homeostasis aktifasi reseptor BMP-7 (Motazed, 2008; Reddi, 2001).

Smad-7 selain berperan sebagai regulator reseptor BMPRI, juga

berperan sebagai inhibitor Smad-3. Bila terjadi aktifasi Smad-2 dan Smad-3,

akan berikatan dengan Smad-4 sebagai coactivator untuk masuk kedalam

nukleus. Lebih lanjut akan terjadi aktifasi transcription factor target gen yang

dapat merangsang proses EMT yaitu E2A (Meng, 2012; Weiskirchen, 2009).

Smad-7 tidak hanya menghambat aktivasi dan translokasi Smad-3 ke

dalam nukleus tetapi juga mempunyai peran untuk memperbaiki fibrosis ginjal

dengan menghambat aktifitas Smad-3 terhadap transcription factor target gen

yang berperan terhadap fibrosis ginjal. Smad-3 diketahui dapat mengikat

sekuen DNA target gen untuk pembentukan kolagen, antara lain Col1A2.

Col1A2 berperan pada pembentukan kolagen I yang merupakan bagian dari

MES (Meng, 2012).

Smad-7 mempunyai peran memperbaiki kerusakan ginjal akibat

proses inflamasi. Meng (2012) mendapatkan bahwa Smad-4 mempunyai

peran sebagai regulator TGF-β/Smad-7, sehingga dapat menurunkan proses

inflamasi dengan menekan aktifitas NF-κB (Meng, 2012).

32
2.6. Peran Cyclosporine A pada terbentuknya fibrosis ginjal

CsA merupakan lipophilic cyclic polypeptide dengan berat molekul

1202 daltons dan merupakan immunosupressan yang banyak digunakan

untuk penyakit autoimmun dan penyakit ginjal antara lain sindrom nefrotik

resisten steroid (Sarro, 2008). Penggunaan Cyclosporine A dibatasi efek

toksik yang terjadi pada ginjal, yaitu terjadinya kematian sel yang lebih lanjut

dapat terjadi fibrosis ginjal. Diduga oksigen reaktif (ROS) berperan terhadap

terjadinya efek toksik pada ginjal disamping terjadi vasokonstriksi dan

hipoksia jaringan (McMorrow, 2005; Motazed, 2008; Slattery, 2005). Namun

demikian banyak peneliti lain menyangkal mekanisme ini (Sarro, 2008).

McMorrow (2005) mendapatkan bahwa kerusakan epitel tubulus ginjal serta

terjadinya fibrosis akibat pemberian Cyclosporine A, melibatkan peran TGF-

β1 dan CTGF.

Setelah pemberian CsA, akan terjadi proses EMT. Sel epitel berubah

bentuk menjadi lebih lonjong, membentuk filopodia, terlepas dari sel epitel

yang berdekatan, dan tidak mempunyai muatan pada apek sampai basal. β-

catenin relokasi ke nukleus, sehingga ikatan antara sel epitel menjadi lebih

lemah. EMT juga akan meningkatkan MMPs sehingga akan memecah basal

membran tubulus ginjal. Akibatnya sel epitel mudah lepas dari basal

membran tubulus ginjal (McMorrow, 2005; Slattery, 2005).

McMorrow membuktikan bahwa dengan meningkatkan dosis CsA,

tampak pembentukan F-actin stres fiber pada sel epitel ginjal, yang dapat

dilihat dengan imunofloresen. Sehingga sel epitel menyerupai bentuk

33
fibroblas. Perubahan F-actin membuktikan terjadinya perubahan sitoskeleton.

Selain itu juga terdapat penurunan ekspresi E-cadherin. Proses EMT diikuti

peningkatan molekul yang mesintesis MES yaitu fibronectin, kolagen dan

TIMP1 dan TIMP2. Akibatnya matriks ekstra sel meningkat dan terjadi fibrosis

ginjal (McMorrow, 2005).

Cyclosporin A terbukti dapat meningkatkan protein kinase C β (PkC β).

PkC β berperan meningkatkan aktifitas TGF-β1. Aktifasi PkC β oleh CsA

merupakan respon awal sebelum terjadi rangkaian reaksi selanjutnya. PkC β

mempunyai beberapa peran yaitu gangguan fungsi vaskuler, mempengaruhi

fungsi sel B dan T, serta timbulnya fibrosis ginjal. Peningkatan mRNA E2A

gen ditemukan akibat peningkatan PkC β. E2A merupakan gen yang ikut

berperan pada proses EMT dengan menurunkan E-cadherin. Kumar dkk

menyatakan bahwa E2A memegang peran penting terjadinya EMT akibat

induksi CsA. Rutherford melaporkan bahwa E2A tidak ditemukan pada ginjal

manusia dewasa. E2A banyak ditemukan pada trimester pertama, yang

banyak terdapat tubulus ginjal primitif, sel epiteloid dan sel interstisiel ginjal.

Keadaan ini mendukung pendapat bahwa mekanisme perbaikan ginjal dapat

terjadi melalui reaktifasi jalur pertumbuhan (Slattery, 2005).

Aktifasi PkCβ juga dimediasi oleh Ekstraseluler Regulase Kinase

(ERK1/2). Penelitian membuktikan bahwa pemberian CsA akan mengaktifasi

PkC β. PkC β akan mengaktifkan TGF-β1 dengan mediasi aktifasi ERK. ERK

akan meningkatkan gen AP-1 untuk menginduksi mRNA TGF-β1. Penelitian

lain membuktikan bahwa over ekspresi PkC β akan merangsang timbulnya

34
karsinoma kolon. Peningkatan ekspresi PkCβ diduga sebagai pencetus

karsinogensis (Slattery, 2005).

Disimpulkan terjadinya fibrosis ginjal akibat pemberian CsA diawali

adanya jejas pada sel epitel tubulus ginjal. Jejas pada sel epitel tubulus ginjal

merangsang rangkaian proses terbentuknya EMT. Terbentuknya EMT diawali

adanya rangsangan PkC β. Peningkatan PkC β akan meningkatkan TGF-β1

dengan perantara ERK1/2. ERK 1/2 lebih lanjut akan merangsang gen AP-1

yang akan menginduksi mRNA TGF-β1 dan mengaktifkan TGF-β. Selain

merangsang TGF-β1, PkC β juga merangsang gen E2A yang berperan pada

proses EMT dengan menekan E-cadherin dan merangsang α-Sma. Sehingga

rangkaian proses diatas akan menyebabkan proses EMT. Lebih lanjut EMT

akan meningkatkan fibroblas di interstisiel, sehingga matriks ekstra sel akan

meningkat dan akhirnya terjadi fibrosis ginjal (McMorrow, 2005; Slattery,

2005).

35
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Cyclosporin A

Jejas sel epitel tubulus ginjal

Interaksi sel inflamasi

A
BMP-7 HSP-72 TGF-ß1 IL-1
111
N IFN-γ PDGF P
T
11 R
I IGF-1 O
NF-КB Smad-4 Fosforilasi Smad-2,3
S F
I
I HGF bFGF
B
P Nukleus R
A CTGF O
MMPs-2 Smad-2,3,4 aktif
T T
O TNF-α I
R Smad-7 K

AT II
E-cadherin

ET-1
MMPs-2

EMT

Kolagen I
Kolagen III Luas Fibrosis

Keterangan :

Yang diperiksa

Tidak diperiksa

36
Penjelasan kerangka konseptual :

Cyclosporin A merupakan jejas pada sel epitel tubulus ginjal yang

selanjutnya terjadinya interaksi sel-sel inflamasi. Interaksi ini akan

menghasilkan faktor profibrotik yaitu TGF-ß1, ET-1, AT II, CTGF, IGF-1, TNF-

α, bFGF, PDGF, dan IL-1. Di antara faktor profibrotik tersebut, TGF-β1

merupakan faktor yang poten untuk terbentuknya fibrosis ginjal. Selain faktor

profibrotik juga dihasilkan sitokin antisipator terjadinya kerusakan yang

diakibatkan karena meluasnya fibrosis ginjal. Sitokin tersebut diantaranya

adalah HSP-72, Smad-7, BMP-7, IFN-γ, NF-КB, HGF, dan MMPs-2.

Heat Shock Protein 72 akan menghambat aktivitas TGF-β1 dengan

cara mempengaruhi ekspresi TGF-β1 melalui penghambatan sinyal pada

jalur Smad-3. Terjadi hambatan fosforilasi Smad-3 dan translokasi inti Smad-

3 kedalam nukleus bersama kompleks Smad-2 dan Smad-4. Hambatan

tersebut selanjutnya menyebabkan peningkatan konsentrasi E-cadherin

dengan akibat terjadi penurunan proses EMT. Selain menghambat TGF-β1,

HSP-72 juga menyebabkan peningkatan aktifitas Smad-7 dan MMPs-2.

Aktivasi Smad-7 oleh HSP-72 akan menghambat aktivitas TGF-β1 melalui

penghambatan sinyal pada jalur Smad-3. Aktivasi MMPs-2 oleh HSP-72 akan

menyebabkan degradasi kolagen I dan kolagen III sehingga terjadi

penurunan volume MES yang akhirnya mengurangi luas fibrosis ginjal. Jika

aktivitas berlangsung terus menerus akan menyebabkan penurunan luas

fibrosis.

37
3.2 Hipotesis Penelitian

1. Terdapat peningkatan HSP-72 seiring dengan penurunan luas fibrosis

ginjal.

2. Terdapat penurunan ekspresi TGF-β1 seiring dengan peningkatan

HSP-72 pada tikus fibrosis.

3. Terdapat peningkatan ekspresi Smad-7 seiring dengan peningkatan

HSP-72 pada tikus fibrosis.

38
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah ex post facto design pada hewan coba yang

merupakan penelitian observasional case control. Penelitian ini

merupakan bagian dari penelitian utama yang dilaksanakan oleh DR.

Niniek A. Soemiyarso, dr., MMPaed., SpA(K)., yang berjudul Mekanisme

molekuler perbaikan fibrosis ginjal akibat Cyclosporine-A dengan

pemberian mesenchymal stem cell pada tikus Wistar.

4.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Institute of Tropical Disease

(ITD) UNAIR Surabaya dan Laboratorium Biomolekuler MIPA Universitas

Brawijaya Malang.

4.3 Waktu penelitian

Pelaksanaan penelitian ini membutuhkan waktu kurang lebih 6

minggu.

39
4.4 Subyek penelitian

4.4.1 Sampel penelitian

Sampel penelitian mempergunakan tikus Wistar betina, umur 7 – 9

minggu, berat badan per ekor berkisar 200 gram, dari galur yang sama

dan sumber yang sama, kemudian dibagi menjadi 2 (dua) kelompok :

1. Kelompok tikus normal tanpa fibrosis ginjal (O1)

2. Kelompok tikus dengan fibrosis ginjal (O2)

Untuk tikus dengan fibrosis ginjal dibagi menjadi 2 (dua) kelompok :

1. Kelompok tikus dengan fibrosis ginjal yang langsung diterminasi

2. Kelompok tikus dengan fibrosis ginjal yang diobservasi 6 minggu

lalu diterminasi.

4.4.2 Kriteria inklusi

Tikus Wistar betina, umur 7 – 9 minggu, berat badan berkisar 200

gram.

4.4.3 Kriteria eksklusi

Terjadi kerusakan pada organ atau jaringan pada saat pengambilan

sampel untuk pemeriksaan imunohistokimia.

4.4.4 Besar sampel

Besar sampel penelitian ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

2 (Z1-1/2α + Zβ)2. σ2

n1 =

(µ1 - µ2)2

n1 =besar sampel untuk kelompok tikus dengan fibrosis ginjal

40
Kesalahan tipe I (α) = 0.05 , hipotesis satu arah, Zα = 1.64

Kesalahan tipe II (β) = 0.20 , maka Z β= 0,84

σ = simpang baku gabungan

µ1 - µ2 = selisih minimal

Berdasar referens dari Semedo (2009) :

µ1 = 3,1 µ1 = 2,1 σ=0,8

2 (1,64 + 0,84)2. 0,82

n1 =

(3,1 – 2,1)2

n1 = 8

Jadi besar sampel yang dibutuhkan untuk kelompok tikus dengan

fibrosis ginjal adalah 8 ekor tikus. Sedangkan jumlah sampel untuk

kelompok kontrol adalah 4 ekor tikus, karena berkaitan dengan

kelaikan etik hewan.

4.4.5 Pemeriksaan Jaringan Ginjal dan Imunohistokimia

Setelah hewan coba tikus diterminasi, kedua ginjal tikus diambil dan

diawetkan dengan paraformaldehyde 10%. Kemudian dilakukan

potongan ginjal untuk dibuat preparat, selanjutnya dilakukan

pemeriksaan imunohistokimia dan pemeriksaan jaringan dengan

mikroskop (histopatologi) untuk melihat fibrosis ginjal.

41
1. Imunohistokimia

Pemeriksaan immunohistokima (IHK) merupakan perpaduan

pemeriksaan imunologi yaitu reaksi antigen dan antibodi, serta

pemeriksaan kimia yaitu reaksi antara enzim dengan substrat.

Pemeriksaan IHK spesifik oleh karena menggunakan antibodi spesifik

atau antibodi monoklonal. Beberapa macam enzim dan substrat yang

sering digunakan melabel antibodi yaitu peroksidase dengan substrat

peroksida, alkalifosfatase dengan substrat alkalifosfat dan

galaktosidase dengan substrat galaktosida. Indikator warna

(chromogen) yang sering dipakai adalah naftol (warna biru), DAB (3,3

diaminobensidin) warna coklat (Sudiana, 2005). Penelitian ini

melakukan pemeriksaan IHK indirek. Prosedur IHK indirek

menggunakan antibodi primer spesifik untuk mengikat epitop dari

marker sel. Selanjutnya antibodi sekunder diikat oleh anti

immunoglobulin yang telah berlabel enzim. Pelabelan enzim dapat

direk atau menggunakan bahan antara biotin-streptavidin atau biotin

avidin. Positif bila pada pemeriksaan dengan mikroskop tampak warna

cokelat. Kontrol negatif dilakukan dengan pemberian antibodi primer

pada jaringan ginjal tikus normal (Zeisberg, 2003).

2. Pemeriksaan histologi jaringan fibrosis ginjal

Jaringan ginjal yang sudah dipotong dan difiksasi dengan

paraformaldehyde 4%, diberi parafin. Potongan jaringan diberi warna

dengan hematoxylin, eosin, Masson’s trichrome dan periodic acid shiff.

42
Fibrosis ginjal dievaluasi dengan memeriksa luas tubulus interstitiel

ginjal yang mengalami jejas. Luas tubulus interstitial dievaluasi

mempergunakan morphometric analysis mempergunakan 10-mm2

graticule fitted dan diperiksa mempergunakan mikroskop.

Pemeriksaan dilakukan oleh dua pemeriksa secara double blind.

Kemudian secara random dilakukan pemeriksaan di lima area pada

daerah kortek (Zeisberg,2005).

4.5 Variabel penelitian

4.5.1 Variabel bebas

HSP-72

4.5.2 Variabel tergantung

1. Luas fibrosis

2. TGF-β1

3. Smad-7

4.5.3 Definisi Operasional

1. HSP-72 merupakan substansi protein dengan berat molekul 72 kDa.

Variabel HSP-72 diukur dengan pemeriksaan imunohistokimia dengan

menghitung jumlah ekspresi HSP-72 pada jaringan ginjal hewan coba,

tampak berwarna kecoklatan (Marzec, 2009).

2. Luas fibrosis ginjal merupakan luas dari timbunan kolagen yang

terdapat pada jaringan interstisiel ginjal. Luas fibrosis ginjal ditentukan

43
dengan pemeriksaan histopatologi, dengan satuan µm²,

menggunakan Axio Vesion Software.

3. TGF-β1 adalah sitokin isoform TGF-β yang berperan penting dalam

mengatur dan merangsang sintesis komponen MES diantaranya

adalah kolagen, fibronektin, laminin, dan proteoglikan. Variabel TGF-

β1 diukur dengan pemeriksaan imunohistokimia pada jaringan ginjal

tikus tampak berwarna kecoklatan (Rouxburgh, 2006).

4. Smad-7 merupakan protein yang berperan sebagai inhibitor Smad.

Ekspresi Smad-7 dirangsangan oleh BMP-7. Variabel Smad-7 diukur

dengan pemeriksaan imunohistokimia dengan menghitung jumlah

ekspresi Smad-7 pada jaringan ginjal hewan coba, tampak berwarna

kecoklatan (Reddi, 2001).

5. Berat badan tikus

Berat badan tikus diukur dengan timbangan khusus (dial-o-gram

balance) dengan satuan gram.

6. Umur tikus

Umur tikus ditentukan berdasarkan minggu terhitung sejak lahir.

44
4.7 Alur Penelitian

Penelitian utama

Tikus Wistar

O1 O2
Kelompok tikus Wistar sehat Kelompok tikus Wistar fibrosis

Terminasi
O3 O4
Terminasi

Observasi
6 minggu

Terminasi
Penelitian ini

Pemeriksaan jaringan ginjal, imunohistokimia & histopatologi:


HSP-72, TGF-β1, Smad-7, Luas fibrosis ginjal

Analisis

45
4.8 Rencana Pengolahan Dan Analisa Data

4.8.1 Analisis Data

Analisis statistik yang digunakan:

1. Analisis deskriptif untuk mengetahui ekspresi HSP-72, TGF-β1,

dan Smad-7 untuk masing-masing kelompok.

2. One way anova digunakan untuk menilai perbedaan rata-rata

ekspresi HSP-72 dan TGF-β1 antara tikus dengan fibrosis dengan

tikus tanpa fibrosis.

3. One way anova digunakan untuk menilai perbedaan rata-rata

ekspresi HSP-72 dan Smad-7 antara tikus dengan fibrosis dengan

tikus tanpa fibrosis.

4. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk untuk menganalisis

hubungan antara HSP-72 dengan luas fibrosis pada kelompok tikus

dengan fibrosis.

5. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk untuk menganalisis

hubungan antara HSP-72 dengan TGF-β1 pada kelompok tikus

dengan fibrosis.

6. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk untuk menganalisis

hubungan antara HSP-72 dengan Smad-7 pada kelompok tikus

dengan fibrosis.

46
4.8.2 Penyajian data

Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tulisan, tabulasi,

dan diagram sebagai berikut:

Tabel. Uji homogenitas pada kedua kelompok tikus

Kelompok

O1 O2 p

Usia (minggu)

Jenis kelamin

Berat (g)

Tabel. Perbedaan rata-rata HSP-72, TGF-β1 dan luas fibrosis ginjal

antara tikus fibrosis dan tikus normal

Variabel Kelompok

O1 O3 O4 p

HSP-72 mean (+SD)

TGF-β1 mean (+SD)

Smad-7 mean (+SD)

Luas fibrosis ginjal, mean(+SD)

Keterangan: nilai p didapatkan dari hasil uji statistik one way anova

47
r = ...
TGF-β1
p = ...

HSP-72

Gambar. Diagram scatter menunjukkan hubungan antara HSP-72 dengan

TGF-β1. Besarnya korelasi dinyatakan dalam r dengan uji Korelasi Pearson.

r = ...
Smad-7
p = ...

HSP-72

Gambar. Diagram scatter menunjukkan hubungan antara HSP-72 dengan

Smad-7. Besarnya korelasi dinyatakan dalam r dengan uji Korelasi Pearson.

48
r = ...
Luas
fibrosis p = ...
ginjal

HSP 72

Gambar. Diagram scatter menunjukkan hubungan antara HSP-72 dengan

luas fibrosis ginjal. Besarnya korelasi dinyatakan dalam r dengan uji Korelasi

Pearson.

49
DAFTAR PUSTAKA

Asea, A., 2007. Mechanisms of HSP72 release. J. Biosci, 32, 579–84.

Benjamin, I.J., McMillan, R.D., 1998. Stress (heat shock) proteins molecular
chaperones in cardiovascular biology and disease. Circ Res, 83,117-
32.

Boor, P., Ostendorf, T., Floege, J., 2010. Renal fibrosis: novel insights into
mechanism and therapeutics targets, Nat Rev Nephrol, 6, 643-56.

Bobadila, N., Gamba, G., 2007. New insights into the pathophisiology of
cyclosporin nephrotoxicity : a role of aldosteron. Am J Physiol Renal
Physiol, 293, 2-9.

Chao, S.M., Tan, P.H., Chiang, G.S.C., 2005. Renal biopsy and renal
pathology. Dalam : Chiu MC, Yap HK, Penyunting. Practical paediatric
nephrology. An update of current practices. Hongkong : Medcom
Limited, 5, 42-6.

Chatziantoniou, C., Dussaule, J.C., 2005. Insight into the mechanisms of


renal fibrosis: Is it possible to achieve regression? Am J Physiol Renal
Physiol, 289, 227-34.

Chen, H.B., Rud, J.G., Lin, K., Xu, L., 2005. Nuclear targeting of transforming
growth factor β activated smad complexes. J Biol Chem, 280, 21329–
36.

Data IRNA Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2010. Tidak dipublikasikan.

50
Eddy, A.A., 2000. Molecular basis of renal fibrosis. Pediatr Nephrol, 15, 290–
301.
Fabiano, A., Moseley, P.L., 2010. Heat shock protein and inflammation.
Dalam : Asea AAA, Padersen BK, Eds. Heat Shock Proteins and
Whole Body Physiology. Edisi ke-5. London : Springer, 4, 57-83.

Hewitt, S.M., Dear, J., Star, R.A., 2004. Discovery of protein biomarkers for
renal diseases. J Am Soc Nephrol, 15, 1677–89.

Hogg, R.J., Furth, S., Lemley, K.V., Portman, R., Schwartz, G.J., Coresh, J.,
Balk, E., Lau, J., Levin, A., Kausz, A.T., Eknoyan, G., Levey, A.S.,
2003. National kidney foundation. Kidney disease outcomes quality
initiative. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease
evaluation, classification, and stratification. Pediatrics, 111, 1416-21.

Huang, X.R., Chung, A.C., Wang, X.J., Lai, K.N., Lan, H.Y., 2008. Mice
overexpressing latent TGF-β1 are protected against renal fibrosis in
obstructive kidney disease. Am J Physiol Renal Physiol, 295, 118-27.

Johnson, J.D., Fleshner, M., 2006. Releasing signals, secretory pathways,


and immune function of endogenous extracellular heat shock protein
72. J Leukoc Biol, 79, 425–34.

Lan, Y.H., 2011. Diverse roles of TGF-β/Smads in renal fibrosis and


inflammation. Int J Biol Sci, 7, 1056-67.

51
Li, C., Yang, C.W., Park, J.H., Lim, S.W., Sun, B.K., Jung, J.Y., Kim, S.B.,
Kim, Y.S., Kim, J., Bang, B.K., 2004. Pravastatin treatment attenuates
interstitial inflammation and fibrosis in a rat model of chronic
cyclosporin induced nephropathy. Am J Physiol Renal Physiol, 286,
46-57.

Lin J., Patel SR., Wang M., Dressler GR.,2006. The cystein rich domain

protein KCP is suppressor of transforming growth factor β/activin

signaling in renal epithelia. Molecul and Cell Biol.26(12):4577-85.

Mao, H., Li Z., Zhou Y., Li Z., Zhuang S., An X., Zhang B., Chen W., Nie J.,
Wang Z., Borkan SC., Wang Y., Yu X., 2008. HSP72 attenuates renal
tubular cell apoptosis and interstitial fibrosis in obstructive
nephropathy. Am J Physiol Renal Physiol, 295, 202-14.

Marzec, L., Liberek, T., Chmielewski, M., Bryl, E., Witkowski, J.M., Liberek,
K., Zdrojewski, Z., Rutkowski, B., 2007. Expression of heat shock
protein 72 in peritoneal leukocytes is induced by peritoneal dialysis.
Perit dial, 27, 288–95.

McMorrow, T., Gaffney, M.M., Slattery, C., Campbell, E., Ryan, M.P., 2005.
Cyclosporine A induce epitel-mesenchymal transition in human renal
proximal tubular epitelial cells. Nephrol Dial Transplant, 20, 2215-25.

Meng, Huang X.R., Xiao J., Chung A.C.K., Qin W., Chen H., Lan H.Y., 2012.
Disruption of Smad4 impairs TGF-β/Smad3 dan Smad7 transcriptional
regulation during renal inflammation and fibrosis in vivo and vitro.
Kidney Int, 81, 266-79.

52
Mestas, J., Hughes, C.C.W., 2004. Of mice and not men: Differences
between mouse and human immunology. J Immun, 72, 2731-8.

Motazed, R., Coville-Nash, P., Kwan, J.T.C., Dockrell, M.E.C., 2008. BMP-7
and proximal tubule epitelial cells: activation of multiple signaling
pathway reveal a novel anti-fibrotic mechanism. Pharm Res, 25,
2440-6.

Musial, K., Szprynger, K., Szczepan´ska, M., Zwolin´ska, D., 2010. The heat
shock protein profile in children with chronic kidney disease. Perit Dial
Int, 30, 227–32.

Musiał, K., Zwoliń´ska, D., 2011. Heat shock proteins in chronic kidney
disease. Pediatr Nephrol, 26, 1031–7.

Oberg, B.P., 2004. Increased prevalence of oxidant stress and inflammation


in patients with moderate to severe chronic kidney disease. Kidney
International, 65, 1009-16.

Razzaque, M.S., Taguchi, T., 2003. Factors that influence and contribute to
the regulation of fibrosis. Dalam : Razzaque MS, Taguchi T, Eds.
Renal fibrosis. Switzerland, Karger, 1-11.

Razzaque, M.S.,Taguchi, T., 2005. Involvement of stress proteins in renal


diseases. Nephrol, 148,1–7.

Reddi, A.H., 2001. Bone morphogenic proteins: From basic science to clinical
applications. J Bone Joint Surg Am, 83, 1-6.

53
Roitt, I.M., 2005. Essential immunology. Edisi ke-6. Oxford: Blackwell
Scientific, 164-77.

Sarro, E., Tornavaca, O., Plana, M., Meseguer, A., Itarte, E. 2008.
Phosphoinositide 3-kinase inhibitors protect mouse kidney cells from
cyclosporine-induced cell death. Kidney Int, 73, 77-85.

Schnapper, H.W., Kopp, J.B., 2003. Renal fibrosis. Frontiers in Bioscience, 8,


68-86.

Segerer, S., Nelson, P.J., Schlὄndorff, D., 2000. Chemokines, chemokine


receptors, and renal disease: from basic science to pathophysiologic
and therapeutic studies. J Am Soc Nephrol, 11, 152–76.
Sekarwana, N., Rachmadi, D., Hilmanto, D., 2004. Gagal ginjal kronik. Dalam
AlatasH, Tambunan T, Trihono PP, Pardede S, Eds. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 509-28.

Semedo, P., Correa-Costa, M., Zenedeze, M.A., Malheiros, D.M.A.C., Reis


M.A.D., Shimizu, M.H., Seguro, A.C., Pacheco-Silva, A., Camara
N.O.S., 2009. Messenchymal stem cells attenuate renal fibrosis
through immune modulation and remodelling properties in a rat
remnant kidney model. Stem Cells, 27, 3063-73.

Silverstein, D.M., 2009. Inflammation in chronic kidney disease: role in the


progression of renal and cardiovascular disease. Pediatr Nephrol, 24,
1445–52.
Slattery, C., Campbell, E., McMorrow, T., Ryan, M.P., 2005. Cyclosporine A –
induced renal fibrosis a role for epitelial-mesenchymal transition.
Am J Pathol, 167, 395-407.

54
Sugimoto, H., Grahuvac, G., Zeisberg, M., Kalluri, R., 2007. Renal fibrosis
and glomerulosclerosis in a new mouse model of diabetic nephropathy
and its regression by bone morphogenic protein-7 and advanced
glycation end product inhibitors. Diabetes, 56, 1825-33.

Voght, B.A., Avner, E.D., 2007. Renal failure. Chronic kidney disease. Dalam:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia : Saunders, Elsevier
Science, 535(2), 2210-14.

Warady, B.A., Chadha, V., 2007. Chronic kidney disease in children: the
global perspective. Pediatr Nephrol, 22, 1999–2009.

Weiskirchen, R., Meurer, S.K., Gressner, O.A., Herrmann, J., Borkham-


Kamphorst, E., Gressner, A.M., 2009. BMP-7 as antagonist of organ
fibrosis. Front Biosci, 14, 4992-5012.

Zeisberg, M., Neilson, E.G., 2010. Mechanisms of tubulointerstitial fibrosis.


J Am Soc Nephrol, 21, 1-16.

Zhou, Y., Mao H., Li S., Cao S., Li Z., Zhuang S., Fan J., Dong X., Borkan
SC., Wang Y., Yu X., 2010. HSP72 Inhibits Smad3 Activation and
Nuclear Translocation in Renal Epithelial-to-Mesenchymal Transition. J
Am Soc Nephrol, 21, 598–609.

Zhang XL., Selbi W., Motte C., Hascall V., Phillips AO., 2005. Bone

morphogenic protein-7 inhibits monocyte-stimulated tgf- β1 genration

in renal proximal tubular epitelial cells. J Am Soc Nephrol.16:79-89.

55
LAMPIRAN

JADWAL PENELITIAN

PERAN HSP-72 PADA PROSES PERBAIKAN FIBROSIS GINJAL

November Desember Januari

No Kegiatan II III IV I II III IV I II III IV

1 Pengajuan usul X

2 Pelaksanaan penelitian X X

3 Pengolahan data X X

4 Penulisan laporan X X
X
5 Presentasi

56

Anda mungkin juga menyukai