Anda di halaman 1dari 19

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker

di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta


1.1 TINJAUAN TENTANG CHRONIC KIDNEY DISEASE MINERAL
BONE DISORDER (CKD-MBD)
1.1.1 Definisi Chronic Kidney Disease
Berdasarkan perkembangannya, gangguan fungsi ginjal dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu: Acute Renal Failure (ARF) dan Chronic Renal Disease (CKD). ARF
merupakan penurunan fungsi ginjal secara cepat hanya dalam beberapa hari atau
minggu saja.Sementara penurunan fungsi ginjal akibat CKD berlangsung secara
progresif, yang ditandai dengan penggantian arsitektur normal jaringan ginjal
dengan fibrosis interstitial (Joy et al, 2008).
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai suatu kerusakan pada ginjal
atau penurunan glomerular filtration rate (GFR) selama tiga bulan atau
lebih.Umumnya,CKD merupakan penurunan fungsi ginjal secara progresif yang
terjadi lebih dari beberapa bulan hingga tahun (Schonder, 2008).
CKD ditentukan dengan adanya kelainan struktur dan fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan GFR dengan salah 1 manifestasi:
Kelainan patologis
Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau
urine, kelainan radiologis
Selain itu GFR < 60 mL/min/1.73m 2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
1.1.2 Definisi CKD-MBD
CKD-MBD adalah gangguan metabolisme sistemik mineral dan tulang akibat
CKD dengan manisfestasi berupa kelainan kalsium, fosfor, paratiroid,
metabolisme vitamin D, kelainan regenerasi tulang, mineralisasi, kelainan
vaskular serta jaringan lunak lainnya (Katrin, et al., 2010) .

1.1.3 Epidemiologi CKD-MBD


Prevalensi gagal ginjal kronik menurut WHO (2009) dan global burden of disease
(GDB), penyakit gagal ginjal kronik menyumbang 850.000 kematian tiap
tahunnya, Hal ini berarti menduduki peringkat 12 (dua belas) tertinggi angka
kematian atau peringkat tertinggi angka kecacatan (Andra, 2008). Di Amerika
Serikat pada tahun 2008 diperkirakan 6 (enam) juta 20 (dua puluh) juta individu
yang menderita gagal ginjal kronik dari seluruh penduduk. Sedangkan di negara
Jepang pada akhir tahun 1996, ada 167 (seratus enam puluh tujuh) penderita gagal
ginjal kronik, dan pada tahun 2000 terjadi peningkatan menjadi lebih dari 200
(dua ratus) ribu penderita (Hendra, 2008).
Pemerintah Amerika Serikat telah menargetkan CKD sebagai salah satu dari 28
area fokus utama untuk perbaikan kesehatan pada tahun 2010, sebagaimana diatur
dalam Health People Document 2010. Selama dekade berikutnya, pemahaman
kita tentang epidemiologi, patofisiologi dan pengelolaan ringan CKD (stadium 1)
Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
sampai sedang (stadium 4) diharapkan akan semakin meningkat (Dipiro et al.,
2008)
Pada tahun 1966, Pendras dan Erickson melaporkan studi mereka terhadap 22
pasien untuk menerima jangka panjang Hemodialisis. Gangguan tulang dan
mineral muncul sebagai salah satu komplikasi yang paling bermasalah, patah
tulang terjadi pada 47 % pasien. Sejak itu, beberapa studi prevalensi insiden
fraktur/patah tulang telah dilaporkan dengan prevalensi 10-40 % pada umumnya
populasi dialisis dan sekitar setengahnya adalah pasien dengan usia 50 tahun
keatas (Katrin, 2009).
Tingkat kejadian patah tulang pinggul pada semua pasien yang melakukan
hemodialisis di Amerika Serikat 1989-1996 adalah 4,4 kali lebih tinggi
daripenduduk kota Olmstead. Fraktur lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut,
pada wanita, pasien diabetes, pengguaan glukokortikoid dan mereka dengan
hemodialisis. Fraktur juga umum terjadi pada pasien usia lanjut dengan CKD
stadium 3-4. Patah tulang pinggul terlihat dua sampai tiga kali lebih sering
daripada di orang tanpa CKD (Katrin, 2009).

1.1.4 Etiologi CKD-MBD


Penyakit ginjal dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah faktor
resiko, faktor yang mengawali kerusakan ginjal, dan faktor yang meningkatkan
progresifitas penyakit ginjal.
1. Faktor resiko (Susceptibility factors)
Adapun faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal
kronik adalah pertambahan usia, menurunnya massa ginjal, berat badan lahir,
ras/etnik, riwayat keluarga, penghasilan atau pendidikan yang rendah, inflamasi
sistemik dan dislipidemia (Joy, et al., 2011).
2. Faktor yang mengawali kerusakan ginjal (initiation factor)
Faktor inisiasi adalah kondisi yang berakibat secara langsung terhadap
kerusakan gunjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologis. Beberapa
faktor inisiasi CKD adalah diabetes mellitus, penyakit autoimun, polycistic kidney
disease, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu ginjal, obstruksi saluran urin
bawah, serta nefrotoksisitas. Diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit glomerular
adalah sebab utama CKD di US (Joy, et al., 2011).
a. Diabetes Melitus
Sekitar 20-40% pasien yang menderita DM akan berkembang menjadi CKD
diabetik terutama DM tipe 2. Penderita diabetes memiliki resiko 12 kali lebih
besar untuk berkembang menjadi CKD stage 5 dibandingkan pasien yang tidak
menderita DM.
b. Glomerolinefritis
Penyakit glomerular juga diduga sebagai faktor inisiasi CKD. Epidemiologi dan
patofisiologi penyakit glomerular sangat bervariasi. Beberapa kondisi seperti

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
penyakit Goodpasture atau Wegeners granulomatosus dapat berkembang secara
cepat menjadi CKD stage 5. Kondisi lain seperti nefropati immunoglobulin,
nefropati membran, focal segmental glomerulosclerosis, dan lupus nefritis juga
dianggap sebagai sebab CKD.
c. Hipertensi
Terapi dini hipertensi dan tercapainya nilai target terbukti dapat menurunkan laju
progresi CKD. Faktor yang mengawali kerusakan ginjal kronik adalah diabetes
mellitus, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, polycystic kidney
disease, urinary stones, obstruksi saluran kemih bawah dan toksisitas obat.
3. Faktor yang mempengaruhi progresifitas penyakit ginjal (progression
factor)
Faktor yang mempengaruhi progresifitas penyakit ginjal kronik adalah merokok,
usia lanjut, pendapatan dan tingkat pendidikan yang rendah, ras, berat badan lahir
rendah, riwayat keluarga CKD. Merokok berhubungan dengan penurunan GFR
secara akut, meningkatkan heart rate, dan tekanan darah karena paparan
nikotin.Nikotin juga berhubungan dengan peningkatan sekresi albumin di
urin.Merokok juga merupakan promotor inisiasi dan progresi CKD pada pasien
diabetes (Joy, et al., 2011).
1.1.5 Klasifikasi CKD-MBD
Chronic Kidney Disease biasanya diklasifikasikan berdasarkan pada penurunan
kemampuan ginjal. Kemampuan ginjal ini dapat diketahui dari nilai laju filtrasi
glomerulus (GFR). Nilai GFR dapat diukur menggunakan senyawa-senyawa yang
bebas difiltrasi, tidak direabsorpsi, tidak disekresi, tidak beracun dan tidak
mengalami metabolisme dalam tubuh. Contoh dari senyawa-senyawa ini adalah
inulin dan kreatinin. Nilai GFR normal yaitu 120 mL/menit (Joy et al, 2008).
Menurut National Kidney Foundation (K/DOQI) gagal ginjal kronik dapat
diklasifikasikan menjadi 5 stadium (tabel 1.1):

Tabel 1.1 Klasifikasi CKD berdasarkan GFR


Stadium
1
2
3

GFR
(ml/menit/1,73m3)
Kerusakan ginjal dengan GFR normal 90
atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan penurunan 60-89
GFR ringan
Kerusakan ginjal sedang (moderate 30-59
Deskripsi

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
renal failure)
Kerusakan ginjal berat (severe renal 15-29
failure) atau disebut juga pre-end state
renal disease
5
Gagal ginjal (End stage renal disease)
<15 atau dialisis
Cara perhitungan nilai GFR antara lain:
1. Metode Cockroff dan Gault
Men : Cl cr = [140 Age (year)] x weight (kg)
72 (Ccr)
Woman : 85% dari harga Cl cr yang diperoleh pria (Shargel, 2005)
2. Metode MDRD (Modification of Diet in renal Disease)
GFR (mL/min per 1,73 m2) = 186 x (Scr)1,154 x (Age[yr])-0,203 x (0,7402 if female)
x (1,210 if Africa American)
(Joy, et.al., 2008)
Tabel 1.2 Klasifikasi CKD-MBD
Laboratory
Bone
Calcification of Vascular or
Type*
Abnormalities
Disease
Other Soft Tissue
L
+
LB
+
+
LC
+
+
LBC
+
+
+
*
L=laboratory abnormalities (of Calsium, phosphorous, PTH, ALP or vit D
metabolism); B=bone disease (abnormalities in bone turnover, mineralization,
volume, linear growth, or strength; C=calcification of vascular or other soft
tissue.
4

1.1.6 Patofisiologi CKD-MBD


1.1.6.1 Patofisiologi CKD

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta

Gambar 1.1 Patofisiologi Penyakit Gagal Ginjal


(Joy, et al., 2011)
Kerusakan ginjal dapat terjadi karena sebab yang sangat beragam.Kerusakan awal
secara struktural dapat berbeda tergantung pada sebab penyakit primer yang
mempengaruhi ginjal. Namun secara umum nefropati progresif memiliki jalur
yang sama yaitu kerusakan parenkim renal dan ESRD. Kunci dari jalur ini adalah:
1) hilangnya nefron secara massal, 2) hipertensi kapiler glomerulus, 3)
proteinuria.
Paparan terhadap resiko inisiator dapat menimbulkan kerusakan massal nefron.
Nefron yang tersisa akan mengalami hipertrofi untuk mengkompensasi fungsi
nefron yang hilang. Pada awalnya hipertrofi ini hanya bersifat adaptif, namun
seiring berjalan waktu, kondisi ini dapat berkembang menjadi intraglomerular
hipertensi yang kemungkinan
dimediasi oleh AT II. AT II merupakan
vasokonstriktor poten yang mempengaruhi arteriol afferen dan efferen sehingga
meningkatkan tekanan dalam kapiler glomerulus dan meningkatkan fraksi filtrasi.
Terjadinya intraglomerular hipertensi terkait dengan hipertensi pada arteri
sistemik. Tekanan intraglomerular kapiler yang besar dapat mengganggu fungsi
seleksi ukuran dari barrier permeabilitas glomerulus sehingga meningkatkan
eksresi albumin dan protein di urin. AT II juga dapat memediasi progresi penyakit
ginjal melalui faktor nonhemodinamik.Proteinuria dapat menimbulkan kehilangan
nefron karena kerusakan langsung yang ditimbulkannya. Protein yang terfiltrasi
seperti albumin, transferrin, faktor komplemen, imunoglobulin, sitokin, dan AT II
toksik terhadap sel tubular (Joy et al., 2011)

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
Selain itu patogenesis penyakit ginjal kronis dapat berasal dari kombinasi
berbagai efek toksik antara lain penumpukkan produk-produk yang secara normal
diekskresikan oleh ginjal (seperti nitrogen yang merupakan hasil metabolisme
protein), penurunan hormon yang secara normal dimetabolisme di ginjal (seperti
insulin) dan penurunan jumlah zat yang dibentuk di ginjal (seperti erytropoeitin).
disamping itu, pada penyakit ginjal kronik juga terjadi perpindahan elektrolit yaitu
peningkatan jumlah Na+ dan air di intrasel serta penurunan K+ intrasel. Hal ini
berperan dalam perubahan fungsi dari beberapa enzim, sistem transport dan
sebagainya (Ganong, 2005).
1.1.6.2 Patofisiologi CKD-MBD
CKD-MBD (Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disoder) merupakan salah
satu komplikasi dari CKD, oleh karena terjadi gangguan metabolisme mineral dan
tulang pada seseorang yang menderita penyakit ginjal kronis. Hal ini terjadi
dikarenakan respon dari PTH (paratiroid) yang tinggi. Pada gagal ginjal kronis,
akibat terhambatnya ekskresi fosfat, akan terjadi hiperfosfatemia yang secara
kimiawi akan mengakibatkan terjadinya hipokalsemia. Selanjutnya hipokalsemia
dan hiperfosfatemia akan merangsang peningkatan hormon paratiroid yang
nantinya akan mengakibatkan menurunnya produksi kalsium sehingga timbul
MBD ( Mineral Bone Disoder). (Katrin, et al., 2010).
Abnormalitas dari metabolisme mineral mengarah pada hipertiroid sekunder yang
merupakan komplikasi dari penyakit ginjal dan patogenesisnya multifaktorial.
Fungsi ginjal menurun pada tiga perubahan pada CKD yang terjadi:
1. Kehilangan fungsi ginjal yang mengarah pada kurangnya 25 (OH) vitamin D
yang dikonversi oleh1-hydroxylasemenyebabkan penurunan nilai 1,25(OH)2
vitamin D. Vitamin D aktif ini telahmenunjukkan penurunan linear pada awal
CKD; 13% pasien telah memiliki nilai vitamin D yang rendah dengan
perkiraan GFR >80ml/min. Penurunan ini berlanjut dan terjadi sebelum
peningkatan PTH terjadi.
2. Peningkatan beban fosfat berkembang sesuai dengan penurunan perkiraan
GFR dan mengurangi ekskresi fosfat melalui urin.
Akhirnya terjadi penurunan pada nilai kalsium. Hal ini terjadi karena rendahnya
diet kalsium, rendahnya nilai 1,25(OH)2 vitamin D yang mengarah pada
kurangnya absorpsi kalsium dan clearance ginjal yang berkurang. Hal ini
menyebabkan stimulasi kelenjar paratiroid melepas PTH lebih banyak untuk
mengatur konsentrasi kalsium. Kelenjar paratiroid efeknya beraksi melalui ginjal
sehingga efeknya terganggu pada CKD. Hal ini terjadi karena down regulation
dari reseptor PTH pada CKD mengarahkan pada resistensi skeletal terhadap PTH
(Kiss et al, 2013; Wesseling and Salusky, 2010).
1.1.7 Tanda dan Gejala CKD-MBD
1.1.7.1 Tanda dan Gejala CKD

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

10

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
1.

Keseimbangan Na+ dan status volume


Pasien dengan CKD biasanya mengalami kelebihan cairan dan Na+ akibat
penurunan fungsi renal dalam mengekskresikan air dan garam.Kelebihan jumlah
Na+ yang berkelanjutan dapat berkontribusi pada keadaan congestive heart failure,
hipertensi, asites, udem perifer, dan penambahan berat badan.
2.
Keseimbangan K+
Hiperkalemia merupakan masalah yang serius pada CKD terutama bagi pasien
dengan GFR dibawah 5 ml/menit.Pasien dengan GFR antara 50 5 ml/menit,
transpor aldosteron-mediated K+ pada tubulus distal meningkat sebagai
mekanisme kompensasi. Pada pasien dengan DM, gangguan keseimbangan K +
kemungkinan
akibat
pasien
mengalami
sindrom
hyporeninemic
hypoaldosteronism yang merupakan kondisi dimana terjadi kekurangan produksi
renin akibat pengurangan jumlah angiotensin II, sehingga menyebabkan gangguan
sekresi aldosteron.
3.
Asidosis metabolik
Penurunan kapasitas untuk mengekskresikan asam dan buffer pada kondisi CKD
menyebabkan asidosis metabolik.
4.
Mineral dan tulang (Mineral Bone Disoder)
Hiperfosfatemia berkontribusi pada kondisi hipokalsemia, yang merupakan
pemicu tambahan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder sehingga meningkatkan
kadar PTH darah. Peningkatan kadar PTH darah tersebut dapat mendeplesi
kalsium tulang dan berkontribusi dalam kondisi osteomalacia dan osteoporosis
pada CKD.
5.
Abnormalitas kardiovaskular dan pulmoner
CHF dan edema pulmoner umumnya akibat overload cairan dan garam. Sindroma
yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran kapiler alveolar dapat
menyebabkan edema pulmoner meskipun pada kondisi normal atau sedikit
peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Hipertensi umumnya juga ditemui pada
CKD akibat overload Na+ dan cairan serta peningkatan produksi renin.
6.
Abnormalitas Hematologik
Pasien dengan CKD memiliki gangguan pada jumlah sel darah merah, fungsi
leukosit dan parameter clotting. Anemia umumnya terjadi akibat kekurangan
produksi eritropoietin.Uremia dapat diasosiasikan pada peningkatan kemungkinan
terjadinya infeksi akibat supresi leukosit oleh toksin uremik.
7.
Abnormalitas neuromuskular
Gejala pada CNS bervariasi mulai dari gangguan tidur ringan dan konsentrasi
mental, kehilangan memori, hingga kejang dan koma pada kondisi uremia endstage.

8.

Abnormalitas GI

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

11

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
Lebih dari 25% pasien dengan uremia mengalami penyakit peptik ulcer
kemungkinan aibat hiperparatirodisme sekunder.
9.
Abnormalias metabolik dan endokrin
Wanita dengan uremia memiliki kadar estrogen yang rendah. Pada pasien CKD
pria terjadi penurunan kadar testosteron, impoten, oligospermia dan displasia sel
germinal.
10.
Abnormalitas dermatologi
Perubahan kulit sebagai akibat CKD seperti berwarna pucat akibat anemia,
perubahan warna kulit akibat akumulasi metabolit pigmen dan sebagainya.
Pada pasien CKD stadium 1 dan 2 umumnya tidak menunjukkan gejala.Gejala
minimal muncul selama stadium 3 dan 4 misalnya peningkatan tekanan darah,
lemah, nafas pendek. Gejala yang umum pada stadium 5 antara lain gatal, sensasi
pengecap yang tidak enak, mual, muntah dan perdarahan (Joy et al, 2005).
1.1.7.2 Tanda dan Gejala CKD-MBD
Gejala klinis Penyakit tulang awal pada pasien dengan CKD biasanya
asimtomatik. Gejala muskuloskeletal biasanya muncul belakangan pada CKDMBD. Gejala pada kulit juga penting pada pasien CKD-MBD yang menerima
pengobatan dengan dialisis; dimana pruritus sangat sering. Gejala klinis dan
kerusakan organ berhubungan dengan penyakit tulang dan kardiovaskular.
Kalsifilaksis jarang terjadi namun komplikasi kulit yang penting pada CKDMBD.
Kebanyakan darah diambil dari pasien dialisis. Nyeri tulang belakang,
pinggang dan kaki diperberat dengan berat badan yang bertumpu di bagian
tersebut. Deformitas tulang biasa pada pasien dengan hiperparatiroid (Gordon et
al, 2010).

1.1.8 Komplikasi CKD


1. Uremia. Meningkatnya urea (uremia) dan nitrogen nonprotein lain
(azotemia) di cairan ekstrasel. Nitrogen nonprotein mencakup urea, asam
urat, kreatinin, dan beberapa senyawa kurang penting. Bahan-bahan ini
adalah produk akhir metabolisme protein (Herfindal, 2000).
2. Asidosis.Hal ini terjadi karena kegagalan ginjal membuang produk-produk
asam normal.Penyangga di cairan tubuh secara normal dapat menyangga
500-1000 mmol asam tanpa meningkatkan konsentrasi ion hidrogen yang
bersifat letal.Namun setiap hari tubuh secara normal menghasilkan sekitar
50 -80 mmol lebih banyak daripada alkali metabolik. Karena itu gagal
ginjal total menyebabkan penimbunan asam hebat hanya dalam beberapa
hari (Price, 2006).

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

12

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
3. Anemia. Ginjal mensekresi 90% hormon endogen eritropoietin (EPO),
hormon yang dibutuhkan pada proses eritropoiesis. Penurunan fungsi
ginjal dapat menyebabkan defisiensi EPO dan terjadi anemia. Anemia
dapat menimbulkan gejala lelah, lemah, dan sesak (shortness of breath).
Anemia biasanya dimulai pada stage 3 CKD. Pengatasan anemia dapat
mengurangi gejala ini serta dapat menstabilisasi fungsi ginjal (Herfindal,
2000).
4. Osteomalasia. Pada ginjal yang berkembangan, produksi vitamin D
bentuk aktif menjadi kurang memadai sehingga penyerapan kalsium di
usus berkurang dan ketersediaan kalsium untuk tulang berkurang. Hal ini
menyebabkan osteomalasia. Keadaan lain yang memperburuk kondisi ini
adalah tingginya fosfat serum akibat penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR). Semakin tinggi kadar fosfat dalam serum akan membentuk ikatan
dengan ion kalsium sehingga memicu sekresi hormon PTH untuk
melepaskan kalsium dari tulang dan memperburuk demineralisasi tulang.
Abnormalitas metabolisme Ca dan P terjadi pada CKD stage 3 hingga 5.
Untuk mendeteksi hiperparatiroidisme sekunder, perlu dilakukan
monitoring hormon paratiroid, kadar vitamin D, Ca dan P (Herfindal,
2000).
5. Gangguan pada Gastrointestinal. Antara lain mual, muntah, anorexia.
Lidah berasa logam, asin, nafas berbau amonia, stomatitis, parotitis,
gastritis erosif, ulserasi mukosa dan sub mukosa (Herfindal, 2000).
1.1.9 Penatalaksanaan CKD-MBD
1.1.9.1 Terapi CKD
Tujuan terapi pada pasien CKD adalah untuk memperlambat dan mencegah
progresivitas komplikasi CKD termasuk penyakit kardiovaskuler melalui terapi
farmakologi dan nonfarmakologi (Joy et al, 2008).
Terapi Nonfarmakologi
1. Manajemen Diet
Diet rendah protein dapat memperlambat progresivitas CKD.Meskipun demikian
restriksi protein harus seimbang dengan resiko malnutrisi pada pasien dengan
CKD. Pasien dengan GFR<25 mL/menit/1,73 m2 merupakan pasien yang sesuai
untuk menjalani diet pembatasan protein ini. NKF merekomendasikan diet protein
hingga 0,6 g/kg per hari untuk pasien dengan GFR <25 mL/menit/1,73 m 2 yang
tidak menjalani dialisis. Malnutrisi sering dialami oleh pasien CKD stadium V
karena berbagai penyebab, termasuk penurunan nafsu makan, hiperkatabolisme,
dan kehilangan nutrisi melalui katabolisme. Oleh karena itu pasien dengan dialisis
harus menjaga intake protein 1,2-1,3 g/kg/hari (Schonder, 2008).
Pada pasien CKD, pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine. Yaitu
produksi urine 24 jam ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi
elektrolit, umumnya dibatasi 40-120 mEq (920-2760 mg). Diet normal

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

13

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
mengandung rata-rata 150 mEq. Penimbangan berat badan, pemantauan produksi
urine serta pencatatan keseimbangan cairan akan membantu pengelolaan
keseimbangan cairan dan garam (Pranawa et al., 2007).
2. Dialisis
Apabila manajemen terapi untuk CKD tidak memberikan hasil yang adequat,
maka direkomendasikan untuk melakukan hemodialisa.Dialisa adalah suatu
prosedur dimana kotoran dibuang dari darah melalui ginjal buatan (mesin
hemodialisa). Prosedur ini digunakan untuk mengatasi keadaan dimana ginjal
tidak sanggup membuang kotoran tubuh. Dialisa dilakukan bila GFR pasien 10
mL/menit atau serum kreatininnya mencapai 8 mg/dL.
Terapi dialisis adalah suatu teknologi tinggi dan sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, urea-kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain
melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada
gangguan dimana terjadi proses Difusi, Osmosis dan ultrafiltrasi.
a. Jenis-jenis dialisis
1) Cuci darah dengan mesin dialiser ( Hemodialisa)
Cara yang umum dilakukan untuk gagal ginjal di Indonesia adalah dengan
menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan.
Darah dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser untuk
dibersihkan melalui proses difusi dan ultrafi ltrasi dengan dialisat (cairan khusus
untuk dialisis), kemudian di alirkan kembali ke dalam tubuh. Proses cuci darah ini
dilakukan l-3 kali seminggu di Rumah Sakit, dan setiap kalinya memerlukan
waktu sekitar 2-5 jam. Namun selain diperlukan berulang (8-10 kali perbulan)
bagi mereka yang mengidap gangguan jantung, stroke, atau berusia lanjut,
hemodialisa klinis dapat membebani kerja jantung sewaktu proses pemerasan
cairan tubuh untuk dibersihkan selama lima jam.
Agar prosedur hemodialisa dapat berlangsung perlu dibuat akses untuk keluar
masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat bersifat sementara (temporer)
maupun menetap (permanen).Akses temporer berupa kateter yang dipasang pada
pembuluh darah balik (vena) di daerah leher. Sedangkan akses permanen biasanya
dibuat dengan akses fistula, yaitu menghubungkan salah satu pembuluh darah
balik dengan pembuluh darah (arteri) pada lengan bawah, yang dikenal dengan
nama cimino. Untuk mernastikan aliran darah pada cimina tetap lancar.secara
berkala perlu diperiksa adanya getaran yang ditimbulkan oleh aliran darah pada
cimino tersebut.Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai
tujuan:
a) Membuang produk metabolisme protein seperti ureum
kreatinin dan asam urat.
b) Membuang kelebihan air.
c) Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

14

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
e) Memperbaiki status kesehatan penderita
(Nurdin, 2009)
2) Cuci darah melalui perut
Dialysis Peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput
rongga perut (perytonium) sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh
untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialysis.
CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah pengembangan dari
APD (Afiomated Peritoneal Dialysis), yang dapat dilakukan dirumah pada malam
hari sewaktu tidur dengan bantuan mesin khusus yang di programkan terlebih
dahulu, sedangkan CAPD tidak membutuhkan mesin khusus tersebut, sehingga
dapat dikatakan sebagai cara dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri
dirumah atau dikantor. Untuk melancarkan pencucian (dialisis) darah mandiri,
perlu dibuat akses sebagai tempat keluar-masuknya cairan dialisat (cairan khusus
untuk dialis) dari dan kedalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa
kateter yang ditanam di dalam rongga perut melalui proses pembedahan dengan
posisi sedikit di bawah pusar. Lokasi munculnya sebagian kateter tersebut dari
dalam perut disebut exite site.
Proses dialysis diawali dengan memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga perut,
melalui selang kateter yang telah dipasang melalui pembedahan yang hanya
memerlukan waktu sekitar 30 menit. Setelah itu, dibiarkan selama 4-6 jam
tergantung dari anjuran dokter.ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat
dari dalam darah dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik kedalam
cairan dialisat. zat-zal racun yang terlarut didalam darah akan pindah (difusi)
kedalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang
berfungsi sebagai alat penyaring. cairan dialisat yang mengandung gula
(dekstrosa) memiliki kemampuan mtuk menarik kelebihan air melalui proses
ultrafiltrasi, setelah itu setiap 4-6 jam sekali, cairan dialisat yang berfungsi sebagai
pengganti ginjal diganti dengan cairan baru. proses penggantian ini pun tidak
menimbulkan rasa sakit, hanya perlu waktu sekitar 30 menit (Vitahealth, 2008).
3. Transplatasi Ginjal
Pasien CKD yang sudah mencapai tahap ESKD memperoleh outcome yang lebih
baik melalui transplantasi ginjal sekitar 50% pasien.Akan tetapi dibutuhkan
banyak terapi tambahan seperti obat imunosupresif (kortikosteroid, azathioprine,
cyclosporin, rapamycin, mycophenolate mofetil, dan tacrolimus) untuk melawan
reaksi penolakan tubuh terhadap organ transplan.
Terapi Farmakologi
1. Kontrol Gula Darah (untuk Pasien dengan Diabetes)
Terapi insulin intensif (TII) efektif mengurangi kejadian mikroalbuminuria jika
dibandingkan dengan terapi standar.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pengendalian gula darah secara intensif pada diabetes tipe 1 maupun 2 dapat
mengurangi komplikasi mikrovaskular, termasuk di dalamnya nefropati. Lebih

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

15

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
lanjut, terapi ini memiliki target: HbA1c< 7%, plasma pre-prandial antara 92-130
mg/dL dan kadar puncak gula darah post-prandial< 180 mg/dL (Joy et al, 2008).
2. Kontrol Tekanan Darah
Penurunan tekanan darah terkait dengan penurunan proteinuria dan progresifitas
penyakit ginjal. JNC VII merekomendasikan target tekanan darah < 130/80
mmHg pada pasien CKD. Peningkatan tekanan darah seringkali lebih sulit
dikontrol pada pasien CKD sehingga untuk mencapai target tekanan darah
seringkali diperlukan kombinasi hingga 3 atau lebih antihipertensi (Joy et al,
2008).
Algoritma terapi hipertensi pada pasien dengan CKD dan diabetes sebagai
berikut:

Gambar 1.2 Algoritma terapi hipertensi pada pasien dengan CKD dan diabetes
(Joy, et al., 2008)
Pilihan antihipertensi untuk pasien CKD dengan diabetes atau tanpa diabetes
ditujukan untuk mencegah dan memperlambat perkembangan proteinuria dan

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

16

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
hipertensi glomerular. ACEI, ARB dan CCB nondihidropiridin merupakan
antihipertensi yang memiliki kelebihan tersebut dibandingkan dengan
antihipertensi golongan lain. ACEI diduga memberikan efek nefroprotektif
melalui efek vasodilatasi arteriol eferen sehingga dapat menurunkan proteinuria
dan tekanan intraglomerular.ARB juga memiliki efikasi yang serupa dengan ACEI
(Joy et al, 2008).
3. Terapi hiperlipidemia
-hydroxy--methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reductase inhibitor dan
gemfibrozil merupakan agen-agen yang paling sering digunakan dalam terapi
dislipidemia pada pasien CKD. Target utama dari terapi ini ialah untuk mengatasi
hiperlipidemia secara adekuat dan mengurangi risiko perkembangan penyakit
atherosklerosis kardiovaskular.HMG-CoA dapat mengurangi infiltrasi monosit,
proliferasi sel mesengial, ekspansi matriks mesangial, serta inflamasi dan fibrosis
tubulointerstitial.Sehingga, tujuan sekunder terapi penurunan lipid ialah untuk
mengurangi proteinuria dan penurunan fungsi renal (Joy et al, 2008).
4. Terapi Anemia
Diperkirakan
anemia
dapat
mempercepat
perkembangan
kondisi
CKD.Berdasarkan hipotesis dirumuskan bahwa penanganan gagal jantung dan
anemia secara tepat dapat mengurangi perkembangan baik gagal jantung itu
sendiri maupun CKD.Anemia yang berkepanjangan dapat mempercepat
progresivitas CKD dan berkaitan dengan Left Ventricular Hypertrophy (LVH) dan
gagal jantung.Keterkaitan antara anemia, gagal jantung dan CKD disebut sebagai
cardiorenal anemia syndrome.Hipoksia jaringan terkait anemia dapat menjadi
stimulus yang merangsang kerusakan ginjal pada pasien dengan CKD stage 3-5.
Sebagai tambahan, anemia juga dapat terjadi akibat perubahan aktivitas saraf
simpatik ginjal dan peningkatan tekanan oksidatif (Joy et al, 2008).Tujuan terapi
manajemen adalah untuk meningkatkan oxygen-carrying capacity sehingga
mengurangi dyspnea, orthopnea, dan fatigue serta memperlambat mortalitas
kardiovaskuler.Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan besi, folat, B12, dan
Epo yang adekuat. Target parameter untuk manajemen anemia pada CKD tampak
pada gambar 1.3:

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

17

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
Gambar 1.3 Parameter target untuk manajemen anemia pada CKD (Joy et al,
2008)
Terapi farmakologi untuk anemia pada CKD termasuk dengan koreksi defisiensi
erythropoietin (Epo) dan koreksi defisiensi besi dan pencegahan defisit besi yang
disebabkan oleh peningkatan kebutuhan besi terkait dengan inisiasi terapi Epo.
5. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit asam-basa
Gangguan keseimbangan elektrolit yang sering terjadi pada pasien CKD adalah
hiperkalemia dan asidosis. Untuk mencegah terjadinya hiperkalemia dapat
dilakukan dengan cara diet rendah kalium: menghindari buah (pisang, jeruk,
tomat) dan menghindari pemakaian diuretika K-sparring. Pengobatan
hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya:
a. Ca-glukonas intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate)
b. Glukosa intravena (25-50 ml glukosa 50%)
c. Insulin-dextrose i.v dengan dosis 2-4 unit, aktrapid tiap 10 gram
glukosa
d. Natrium bikarbonat i.v (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
e. Meningkatkan ekskresi kalium :
f. Furosemid
g. K-exchange resin
h. Dialisis
6.
Asidosis Metabolik
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger dan drowsiness.Pada
pasien CKD stadium 3, digunakan natrium bikarbonat atau asam sitrat untuk
mengatasi penurunan bikarbonat tubuh. Sediaan dapat berupa tablet natrium
bikarbonat, shohls solution dan bicitra(kombinasi natrium sitrat dan asam sitrat)
serta policitra (kalium sitrat). Oleh karena sediaan mengandung natrium maka
keseimbangan cairan harus dimonitor. Larutan yang mengandung sitrat tidak
boleh dikombinasi dengan senyawa yang mengandung aluminium karena
aluminium tersebut akan diabsorpsi menyebabkan terjadinya keracunan
aluminium. Pasien dengan asidosis yang berat (bikarbonat serum < 8 mEq/L; pH
< 7,2) dapat diberikan terapi i.v. Asidosis metabolik pada pasien yang mengalami
dialisis dapat diatur menggunakan konsentrasi tinggi yaitu > 38 mEq/L bikarbonat
atau asetat pada dialisatnya (Hudson et al, 2005).
7. Pencegahan dan pengobatan Renal Osteo Distrofi
a. Pengendalian hiperphosphatemia
Kadar P serum harus dipertahankan kurang dari 6 mg/dl.Terapinya yaitu
alumunium hidroksida 300-1800 mg diberikan bersama makan, tetapi sekarang
mulai ditinggalkan karena efek samping terjadinya intoksikasi alumunium dan
konstipasi. Sebagai pilihan lain dapat diberikan kalsium karbonat 500-3000 mg
bersama makan. Makanan yang harus dihindari misalnya susu, keju, yoghurt, es
krim, ikan dan kacang-kacangan.

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

18

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
b. Suplemen vitamin D3 aktif
1,25 dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol) hanya diberikan jika kadar P normal.
Batasan pemberian jika Ca x P < 65. Dosis yang diberikan adalah 0,25 mcg/hari.
8. Pengobatan gejala uremi spesifik
Semua keluhan dan gejala dapat diobati secara simtomatik.
a. Diet rendah protein. GFR 5-1-% : 40-50 g/hari, GFR 4-5% : 20-30 g/hari.
Kalori harus > 2500 k/hari.
b. Asam amino esensial.
c. Gatal (pruritus) : TKRP, radiasi UV, difenhidramin, paratiroidektomi,
transplantasi ginjal.
d. Keluhan GI seperti anoreksia, mual, muntah, kadang-kadang membaik
dengan diit TKRP, memperbaiki asidosis dengan Na-HCO3, obat anti
muntah.
e. Keluhan neuromuskular seperti lelah parestesi, kram, diberi vitamin B1,
B6, B12 dosis tinggi, diazepam.
f. Anemia, dengan eritropoetin, preparat Fe, asam folat, nandrolon dekanoat,
hormon anabolik untuk stimulasi eritropoeitin.
g. Osteodistrofi renal, dengan koreksi asidosis, obat pengikat fosfat,
suplementasi kalsium, vitamin D3.
9.
Deteksi dan pengobatan infeksi
Pasien CKD merupakan pasien dengan respon imun yang rendah, sehingga
kemungkinan infeksi harus selalu dipertimbangkan.Gejala febris terkadang tidak
muncul karena keadaan respon imun yang rendah.
10. Penyesuaian pemberian obat
Beberapa obat memerlukan penyesuaian dosis karena ekskresi metabolitnya
melalui ginjal.Penggunaan obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida, cotrimoxazole, amphotericin sebaiknya dihindari dan hanya diberikan pada keadaan
khusus.NSAID juga menurunkan fungsi ginjal.Tetrasiklin meningkatkan
katabolisme protein.Nitroflurantoin juga harus dihindari dan penggunaan diuretik
K-sparing harus pula berhati-hati karena menyebabkan hiperkalemia.
11. Deteksi dan pengobatan komplikasi
Beberapa komplikasi yang merupakan indikasi untuk segera dimulainya HD:
a. Ensefalopati uremik
b. Perikarditis atau pleuritis
c. Neuropati perifer progresif
d. Osteo Distrofi Renal progresif
e. Hiperkalemia yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
medikamentosa
f. Sindroma overload
g. Infeksi yang mengancam jiwa
h. Keadaan sosial

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

19

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
1.1.9.2 Terapi CKD-MBD
1. Diet rendah fosfat
Kontrol hiperfosfatemia telah diterima oleh nefrologis sebagai salah satu target
yang paling relevan untuk dicapai pada CKD. Seiring dengan fungsi ginjal yang
menurun, ekskresi fosfat urin menjadi tidak efektif dan hiperfosfatemia terjadi
jika masukan fosfat tetap konstan. Masukan fosfat yang rendah bisa dicapai
melalui restriksi protein
2. Pengikat fosfat
Pengikat fosfat adalah strategi lain untuk mengurangi masukan fosfat.
Komposisinya bisa mengikat fosfor di lumen intestinal, cegah absorpsinya dan
menambah ekskresi pada feses. Komposisi ini bisa dibagi dua grup berbeda:
pengikat fosfat kalsium dan pengikat fosfat bebas kalsium. Pembagian yang lain
berdasarkan pengikat kalsium yang bisa diserap dan tidak bisa diserap di traktus
gastrointestinal.
3. Vitamin D Alami
Vitamin D alami telah menarik perhatian dalam 10 tahun terakhir. Setiap tahun
penelitian mengenai vitamin D alami berhubungan dengan banyak penyakit telah
diterbitkan. Kata alami vitamin D mengarah pada bentuk25 hydroxlate vitamin D
(25(OH) D). Prekursor vitamin D ergocalciferol (vitamin D2) dan kolekalsiferol
disinteis melalui radiasi ultraviolet pada ragi dan binatang dimulai dari ergosterol
dan 7-dehidrokolesterol. Prekursor vitamin D dihidroksilasi di hati untuk
membentuk 25(OH)D2 dan 25(OH)D3. Zat-zat tersebut adalah substrat yang
diaktifkan menjadi 1-25(OH)2 D (kalsitriol) oleh ginjal. Vitamin Dlami sangat
tinggi prevalensinya pada populasi umum, begitu pula pada CKD dan hampir
selalu ada pada pasien dengan dialisis
4. Analog Vitamin D
Data observasional yang berulang menunjukkan hubungan independen antara
tingkat PTH dan hasil yang buruk pada CKD tahap 3-5 dan ESRD. Walaupun
begitu belum ada penelitian yang membuktikan pengurangan aktif dari nilai PTH
meningkatkan hasil baik yang pasien seperti hospitalisasi, kejadian
kardiovaskular, progresifitas CKD dan kelangsungan hidup.Target nilai optimal
PTH juga belum jelas pada CKD dan ESRD.Berkurangnya kalsitriol, bersamaan
dengan hipokalsemia dan hiperfosfatemia mengarah pada penyebab meningkatnya
nilai PTH. Resiko yang berhubungan dengan tingginya dosis vitamin D terutama
karena kalsium dan fosfat yang berlebihan yang berkontribusi pada tingkat
pencapaian target rekomendasi yang rendah dari kalsium dan fosfat dan
kelangsungan hidup yang buruk pada pasien dengan dialisis. Aktivator reseptor
vitamin D selektif (VDRA) memiliki efek yang kuat pada PTH dan sedikit
pengaruh pada simpanan kalsium dan fosfat, mungkin meningkatkan pencapaian
target global PTH, kalsium, dan fosfatase mengurangi toksisitas vitamin D.
5. Cinacalcet

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

20

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
Bukti menunjukkan bahwa cinacalcet secara efektif menurunkan serum PTH,
fosfor dan kalsium pada ESRD memodulasi afinitas reseptor paratiroid kalsium
terhadap serum kalsium. Apakah kalsimimetik lebih tinggi dalam mengontrol
CKD-MBD dibandingkan VDRA masih merupakan pertanyaan yang belum
terjawab (Bellasi A et al, 2013).
Pengobatan CKD-MBD yang bertujuan mengurangi serum fosfor yang tinggi dan
mengatur serum kalsium:
1. Pada pasien dengan CKD tahap 3-5, kami sarankan mengatur serum
fosfatase dalam jangka normal (2C). Pada pasien dengan CKD tahap
5D kami menyarankan menurunkan nilai fosfat yang naik kembali ke
jangka normal (2C).
2. Pada pasien dengan CKD tahap 3-5D, kami sarankan mengatur serum
kalsium dalam jangka normal (2D).
3. Pada pasien dengan CKD tahap 5D, kami menyarankan menggunakan
konsentrasi kalsium antara 1,25 dan 1,50 mmol (2D).
4. Pada pasien dengan CKD 3-5 (2D) dan 5D (2B) disarankan
menggunakan agen pengikat fosfat untuk mengobati hiperparatiroid.
5. Pasien dengan CKD tahap 3-5D dan hiperfosfaemia, kami
menganjurkan dosis yang ketat dari pengikat kalsium fosfatase atau
kalsitriol bila ada hiperkalsemia rekuren atau persisten. Pada pasien
dengan CKD tahap 3-5D dan hiperfosfatemia kami menyarankan
mengetatkan dosis dari pengikat fosfat berdasar kalsium bila terdpaat
kalsifikasi arterial (2C) dan penyakit tulang adinamis (2C) dan bila
serum PTH rendah persisten.
6. Pada pasien dengan CKD tahap 3-5D, kami menyarankan menghindari
penggunakan jangka panjang dari pengikat fosfat yang mengandung
aluminium pada pasien dengan CKD tahap 5D, hindari kontaminasi
aluminium dialisata untuk menghindari intoksikasi aluminium (1C).
7. Pada pasien dengan CKD tahap 3-5D, kami menyarankan pembatasan
diet fosfat dalam pengobatan hiperfosfatemia sendiri atau kombinasi
dengan pengobatan lain (2D).
8. Pada pasien dengan CKD tahap 5D, kami menyarankan menambah
pembuang fosfat dialitik dalam pengobatan hiperfosfatemia persisten
(2C).
Pengobatan PTH abnormal pada CKD-MBD:
1. Pada pasien dengan CKD tahap 3-5 yang tidak dalam dialisis, nilai
optimal PTH tidak diketahui. Bagaimanapun, kami menyarankan
pasien dengan nilai intak PTH diatas batas normal pada penilaian
pertama dievaluasi sebagai hiperfosfatemia, hipokalsemia dan
defisiensi vitamin D (2C).
2. Pada pasien dengan CKD tahap 3-5 yang tidak dalam dialisis yang
serum PTH naik secara progesif dan tetap persisten di atas batas

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

21

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
normal untuk penilaian dengan koreksi faktor yang bisa dimodifikasi,
kami menyarankan pengobatan dengan kalsitriol dan analog vitamin
D (2C).
3. Pada pasien dengan CKD tahap 5d kami menyarankan mengatur nilai
intak PTH dalam jarak kira-kira dua sampai sembilan kali di atas batas
normal untuk penilaian (2C). Kami menyarankan perubahan marka
pada nilai PTH pad kedua arah dalam jarak ini langsung inisiasi atau
mengubah terapi untuk menghindari progressifitas diluar jarak ini.
4. Pada pasien dengan CKD tahap 5D dan peningkatan PTH, disarankan
menggunakan kalsitriol atau analog vitamin D, atau kalsimimietik
atau kombinasi dari kalsimimetik dan kalsitriol atau analog vitamin D
untuk menurunkan PTH (2B).
a. Kami menganjurkan pasien dengan hiperkalsemia, kalsitriol dan sterol
vitamin D yang lain dikurangi atau dihentikan (1B).
b. Kami menyarankan pasien dengan hiperfosfatemia, kalsitriol atau
sterol vitamin D lain dikurangi dan dihentikan.
c. Kami menyarankan pasien dengan hipokalsemia, kalsimimetik bisa
dikurangi atau dihentikan tergantung dari keparahannya dan gejala
klinis (2D).
d. Kami menyarankan, bila intak PTH turun dua kali di bawah batas dari
normal pada penilaian, kalsitriol, analog vitamin D dan kalsimimetik
dikurangi atau dihentikan (2C).
5. Pada pasien dengan CKD tahap 3-5D dengan hiperparatiroid parah
yang respon terhadap medikasi/farmakologikal gagal, kami
menyarankan parathyroidectomy (2B).
Pengobatan tulang dengan bifosfonat, medikasi osteoporosis lain, dan hormon
pertumbuhan.
1. Pada pasien dengan CKD tahap 1-2 dengan osteoporosis dan/atau resiko
tinggi fraktur sesuai kriteria WHO, kami menganjurkan manajemen seperti
populasi pada umumya (1A).
2. Pada pasien dengan CKD tahap 3 dengan PTH normal dan osteoporosis
dan/atau resiko tinggi fraktur sesuai kriteria WHO, kami menyarankan
pengobatan seperti populasi pada umumnya (2B).
3. Pada pasien dengan CKD tahap 3 dengan abnormalitas biokimia dari
CKD-MBD dan densitas mineral tulang yang rendah dan/atau kerapuhan
untuk
fraktur,
kami
menganjurkan
pemilihan
pengobatan
memperhitungkan besarnya dan reverbilitas dari abnormalitas biokimia
dengan mempertimbangkan biopsi tulang (2D).
4. Pada pasien dengan CKD tahap 4-5D memiliki abnormalitas biokimia dari
CKD-MBD dan densitas mineral tulang yang rendah dan/atau kerapuhan
untuk fraktur, kami menyarankan investigasi tambahan dengan biopsi
tulang terlebih dahulu untuk terapi agen antiresorptif (2C).

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

22

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker


di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo Jakarta
5. Pada anak-anak dan remaja dengan CKD tahap 2-5D dan berhubungan
dengan rendahnya tinggi badan kami menganjurkan pengobatan dengan
rekombinan hormon pertumbuhan manusia ketika
pertumbuhan
diinginkan setelah mengobati malnutrisi dan abnormalitas biokimia dari
CKD-MBD (1A) (Katrin, et al., 2009).

Program Profesi Apoteker XLVII Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

23

Anda mungkin juga menyukai