Anda di halaman 1dari 12

PENERAPAN KEADAAN BAHAYA TINGKAT DARURAT SIPIL

DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM1

Oleh:
Kolonel Chk Taufikurrachman, SH2
Pendahuluan

Penerapan Keadaan Bahaya tingkat Darurat Militer yang telah


berlangsung selama 2 termin waktu, kurang lebih 1 tahun, secara
langsung telah memberikan sebuah hasil nyata yang dapat kita rasakan
bersama. Kita merasakan saat ini keadaan lebih kondusif, relatif tenang,
situasi dan siklus perdagangan sedikit demi sedikit mulai merangkak
menuju tatanan perekonomian yang lebih mapan.
Hal ini bukan hanya sekedar sebuah angan-angan kosong belaka.
Beberapa indikator ekonomi dan sosial telah menunjukkan progresivitas
kearah pencapaian pemulihan perekonomian yang lebih dinamis. Sebuah
indikator kecil yang dapat kita lihat selama ini adalah, mulai banyaknya
pertokoan yang mulai membuka usahanya kembali, kegairahan
perdagangan di pasar-pasar tradisional, pulihnya roda pemerintahan
daerah, serta tidak sedikitnya arus perhubungan antar daerah guna
memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi.
Berdasarkan beberapa indikator tersebut, Pemerintah NKRI
merasa perlu menurunkan Keadaan Bahaya dari Darurat Militer menuju
Darurat Sipil. Praktis hal ini membawa imbas kepada bentuk perwajahan
dari pengelola pemerintahan daerah. Memang secara prinsipil tidak
banyak yang berubah, kewenangan-kewenangan tertentu yang ada
selama Darurat Militer masih dapat dipertahankan selama 6 bulan 3 sejak
sesudah penghapusan Keadaan Darurat Militer atau sejak
diberlakukannya Darurat Sipil, selama belum ada peraturan pengganti,
namun bila sudah diatur ketentuan-ketentuan baru, maka ketentuan lama
dapat segera dikesampingkan.

/ Berpijak…..

1
Makalah ini disampaikan dalam rangka Penyuluhan Hukum Penerapan Keadaan
Darurat Sipil bagi Aparatur Pemerintah Daerah Kodya Lhokseumawe tanggal 30
Juni 2004.
2
Penulis I adalah Dansatgaskum Koop TNI.
3
Pasal 22 ayat (3) UU No. 23 Tahun 1959.
Penerapan Keadaan Bahaya 2
Tingkat Darurat Sipil di NAD

Berpijak pada kenyataan tersebut, maka perlulah kiranya diadakan


sosialisasi tentang Darurat Sipil, bagaimana perwajahan dan
kewenangannya serta bagaimana aplikasinya di lapangan. Berangkat
dari pokok pemikiran tersebut, maka kegiatan penyuluhan hukum dan
sosialisasi Darurat Sipil ini diselenggarakan.

Dari Darmil ke Darsip

Sebelum membahas keberadaan Darsip, tidak ada salahnya bila


kita sejenak menengok kebelakang menerawang latar belakang
pemberlakuan Darurat Militer di NAD.
Semenjak dibuka keleluasaan dan keterbukaan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid di tahun 1999, khususnya untuk Aceh dan Papua,
maka keberadaan GAM di Aceh semakin menjadi-jadi. GAM mulai berani
muncul didepan masyarakat umum secara terang-terangan dan
menenteng senjata secara terbuka. Tuntutan untuk memisahkan diri dari
NKRI serta membentuk Aceh menjadi negara sendiri mulai dikemukakan
secara terang-terangan, bahkan sebelum hal itu terlaksana, para
simpatisan GAM beserta kaki tangannya sudah mulai membentuk
pemerintah daerah bayangan, polisi GAM, TNA, dan yang lebih parah
lagi mereka sudah mulai berani menetapkan dan menarik Pajak
Nanggroe guna membiayai kepentingan mereka sendiri.
Keleluasaan dan keterbukaan yang pernah dilontarkan oleh
Presiden saat itu terhadap Aceh dinilai oleh banyak pihak sudah
kebablasan, bahkan cenderung khaos dan anarkhi, dimana kesewenang-
wenangan dilakukan oleh GAM tanpa adanya tindakan tegas dari aparat
hukum dan pemerintah setempat.
Kondisi NAD yang makin memburuk ditandai dengan merosotnya
sektor perekonomian dan perdagangan, membuat kelesuan ekonomi
negara menjadi semakin terbebani. Untuk itulah, maka setelah
mengalami pasang surut dan perdebatan yang panjang tentang langkah-
langkah komprehensif yang hendak dilaksanakan di NAD, maka dengan
persetujuan DPR pada tanggal 18 Mei 2003, diberlakukanlah Keppres
No. 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan
Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi NAD, yang selanjutnya
diperpanjang dengan Keppres No. 97 Tahun 2003 tentang pernyataan
Perpanjangan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat
Militer di Provinsi NAD.
/ Pada…..
Penerapan Keadaan Bahaya 3
Tingkat Darurat Sipil di NAD

Pada mulanya penerapan Darmil di NAD banyak mendapatkan


tentangan dari berbagai pengamat militer, praktisi hukum HAM dan LSM-
LSM yang senantiasa mempertanyakan manfaat dari penerapan Darmil.
Mereka selalu menyoroti setiap langkah TNI, bahkan cenderung bersikap
apriori terhadap kebijakan yang telah diambil. Namun demikian keadaan
seperti itu tidak menyurutkan langkah TNI untuk bergerak. Berlandaskan
Keppres yang ada, serta peran dan fungsi TNI yang telah diamanatkan
dalam UUD 1945 serta Pasal 7 dan 10 UU No. 3 Tahun 2002, yang
memberikan tugas serta kewenangan kepada TNI untuk menjaga
keutuhan wilayah NKRI, maka TNI segera bertindak sigap untuk
mengamankan kebijakan NKRI dalam mempertahankan NAD dari
ancaman gerombolan separatisme GAM.
Berbekal Keppres No. 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan
Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di
Provinsi NAD, yang memberlakukan keberadaan UU no. 23 Tahun
1959 tentang Keadan Bahaya, maka PDMP dan PDMD menggelar
Operasi Terpadu yang terdiri dari Operasi Kemanusiaan, Operasi
Pemulihan Ekonomi, Operasi Penegakan Hukum, Operasi Pemantapan
Pemerintahan dan Operasi Pemulihan Keamanan.
Operasi terpadu digelar dengan merujuk pada realita bahwa
pemulihan kondisi di NAD tidak semata-mata hanya operasi pemulihan
keamanan semata, akan tetapi sebuah operasi yang harus menyentuh
akar permasalahan di masyarakat secara nyata. Adalah sebuah
kemustahilan apabila sebuah operasi pemulihan keamanan dilakukan
tanpa disertai bentuk operasi penunjang lainnya. Mengapa, karena
setelah dilakukan operasi pemulihan keamanan, faktor-faktor pendukung
lainnya juga harus dibina, diberikan pemahaman dan pemantapan agar
tidak berulang kali terjerumus dalam kesalahan yang sama.
Namun demikian, harus kita akui pula bahwa tidak mudah
menggelar kelima bentuk operasi tersebut dalam satu langkah yang
bersamaan. Harus ada upaya pendahuluan yang memecah lingkaran
kesulitan, dan itu dimulai dengan lebih mengintesifkan peran TNI sebagai
alat negara yang bertugas menjaga keutuhan wilayah NKRI dalam
melakukan operasi pemulihan keamanan.
Langkah ini memang lebih mengedepan ketimbang 4 bentuk
operasi lainnya, karena harus kita akui pula bahwa dengan terciptanya
keamanan yang stabil, perasaan aman untuk bepergian, bersosialisasi

/ dan…..
Penerapan Keadaan Bahaya 4
Tingkat Darurat Sipil di NAD

dan bertransaksi ekonomi, maka ke-4 bentuk operasi lainnya akan


mengikuti dengan sendirinya. Untuk itulah ada sebuah pemahaman yang
harus kita luruskan bahwa dalam operasi terpadu tersebut bukan terlalu
menfokus pada bentuk operasi pemulihan keamanan yang didominasi
oleh TNI, akan tetapi operasi pemulihan keamanan merupakan ujung
tombak pertama dalam memulihkan kondisi NAD menuju keadaan yang
lebih kondusif dan aman.

Status Hukum Darsip dan Kelembagaannya

Dua termin waktu Darurat Militer telah dilalui, 1 tahun pelaksanaan


Darurat Militer telah membawa hasil konkrit keadaan NAD yang lebih
kondusif. Perekonomian mulai bangkit, masyarakat tidak lagi mengalami
ketakutan yang berlebihan, serta lembaga pemerintahan daerah sudah
mulai menggeliat menjalankan fungsinya. Kondisi ini makin diperkuat
dengan berjalan lancar, aman dan terkendalinya proses pemilu pada
tanggal 5 Mei 2004.
Tidak dipungkiri gangguan dan hambatan tetap ada, namun
prosentasenya relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil yang
dicerminkan dalam pelaksanaan pemilu tersebut. Masyarakat
berbondong-bondong mendatangi TPS dan menggunakan hak pilihnya.
Pada saat itu TNI telah menjaga jarak yang dirasa cukup dengan TPS,
hal ini sengaja dilakukan untuk menghindari adanya anggapan bahwa
peran TNI sangat dominan dalam proses pesta demokrasi yang tengah
berlangsung.
Dengan adanya indikator tersebut, maka Pemerintah Pusat menilai
bahwa pemberlakuan Darmil dirasa telah cukup, karena telah membawa
hasil yang sangat kondusif. Beranjak dari pertimbangan DPR serta tolok
ukur dari beberapa indikator yang dirasakan valid dan relevan, maka
pada tanggal 18 Mei 2004, berdasarkan Keppres No. 43 Tahun 2004
terjadi perubahan status keadaan bahaya dari tingkatan keadaan Darurat
Militer menjadi keadaan bahaya tingkat Keadaan Darurat Sipil di Provinsi
NAD.
Keppres No. 43 Tahun 2004 inilah yang kemudian menjadi dasar
pemberlakuan keadaan Darurat Sipil yang tetap mengacu kepada UU
No. 23 Tahun 1959.

/ Dalam….
Penerapan Keadaan Bahaya 5
Tingkat Darurat Sipil di NAD

Dalam Keppres tersebut telah diatur dan disusun sebuah


kelembagaan yang terdiri dari Penguasa Darurat Sipil Pusat (PDSP) dan
Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD). Kedua lembaga tersebut
bersinergi satu dengan lainnya. Di Tingkat Pusat PDSP melakukan
kebijakan secara nasional, sedangkan aplikasi dan penerapannya
dilakukan oleh PDSP.
Kelembagaan PDSP berdasarkan Keppres tersebut dilaksanakan
oleh Presiden dibantu oleh Badan Pelaksana Harian Penguasa Darurat
Sipil Pusat yang diketuai oleh: Menkopolkam dan beranggotakan Menko
perekonomian , Menkokesra, Mendagri, Menlu, Menhan, Mensos,
Menkeh dan HAM, Menkes, Mendiknas, Menkimpraswil, Menag,
Menhub, Menkeu, Menperidag, Menteri Energi, Menteri Kelautan dan
perikanan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menakertrans,
Menkop dan Usaha Kecil Menengah, Meneg Komunikasi dan Informasi,
Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Ka BIN, Kasad, Kasal, Kasau dan
Sekretaris Negara.
Selanjutnya di tingkat PDSD, kelembagaan Darurat Sipil
dilaksanakan oleh Gubernur NAD dibantu Pangdam IM, Kapolda NAD
dan Kejati NAD. Lebih lanjut demi kelancaran tugas Penguasa Darurat
Sipil Daerah, maka padanya diperbantukan sebuah tim yang berfungsi
memberikan asistensi dan melaksanakan monitoring sebagai aparat PDS
Pusat yang bertugas di NAD.
Perbedaan prinsipil antara Darmil dan Darsip adalah letak
Komando pengendaliannya. Jika dalam Darmil, maka komando dan
pengendalian ada pada Panglima Kodam IM, selaku Penguasa Darurat
Militer Daerah, sedangkan dalam Darurat Sipil, komando dan
pengendaliannya ada pada Gubernur NAD. Sedangkan tugas dan
kewenangan tidak jauh berbeda selama belum ada pencabutan
peraturan tertentu yang pernah berlaku di NAD atau digantikan dengan
peraturan baru, maka peraturan yang lama masih berlaku selama-
lamanya 6 bulan.

Kewenangan Pemerintah Darsip

Berdasarkan Pasal 5 Keppres No. 43 Tahun 2004, kewenangan


dan kewajiban PDSD adalah wajib menuruti petunjuk dan perintah yang
diberikan oleh PDSP dan bertanggungjawab kepadanya melalui Ketua
Badan pelaksana Harian Penguasa Darurat Sipil Pusat. Selanjutnya
dalam hal pengambilan keputusan, maka PDSP wajib melakukan
musyawarah dengan seluruh anggota pembantu PDSD.

/ Kemudian…..
Penerapan Keadaan Bahaya 6
Tingkat Darurat Sipil di NAD

Kemudian, bagaimana dengan program Operasi Terpadu yang


selama Darmil sudah dijalankan? Keberadaan Operasi Terpadu,
berdasarkan pasal 6 Keppres yang sama, dinyatakan tetap dilanjutkan
oleh Penguasa Darsip dengan Menkopolkam sebagai Koordinator
Operasi terpadu ditingkat pusat.
Dengan beralihnya status Darmil ke Darsip, maka berdasarkan
Pasal 7 Keppres yang sama penahanan yang telah dilakukan oleh PDMD
dialihkan kepada Kepolisian Negara RI sebagai tahanan Kepolisian
Negara RI sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. Dengan demikian maka proses hukum dan penahanan yang kini
berlaku terhadap para tersangka GAM telah diberlakukan hukum acara
pidana sipil dan tidak lagi mengacu kepada kewenangan militer dalam
menahan sebagaimana yang diatur dalam Darurat Militer.

Penahanan seorang tersangka, dalam Darurat Sipil mengacu


kepada bentuk penahanan yang telah diatur dalam UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU
No. 8 Tahun 1981 seseorang dapat ditahan dengan alasan hukum:
1. Ada kekhawatiran/cukup alasan tersangka akan melarikan diri.
2. Ada kekhawatiran/cukup alasan tersangka menghilangkan
barang bukti.
3. Ada kekhawatiran/cukup alasan apabila tersangka akan
mengulangi perbuatan yang sama.
Namun demikian dalam praktek, seseorang dapat juga ditahan
dengan istilah diamankan oleh pihak yang berwenang apabila ada
bukti atau cukup alasan bila keselamatan atau keamanan
tersangka terancam.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981


proses penahanan, harus disertai dengan surat perintah penahanan,
dimana isi dari surat tersebut harus dilengkapi dengan:
1. Identitas tersangka, kejelasan identitas ini digunakan agar
tersangka memang merupakan orang yang dituju dan bukan
orang lain.
2. Alasan penahanan, diuraikan agar tersangka mengetahui
mengapa yang bersangkutan ditahan.
3. Uraian singkat tentang tuduhan pelanggaran atau kejahatan
yang dilakukan.
/ Setelah…..
Penerapan Keadaan Bahaya 7
Tingkat Darurat Sipil di NAD

Setelah Surat Perintah penahanan itu dibuat dan dilakukan


penahanan, maka keluarga yang bersangkutan secepatnya harus
segera diberi tembusan atau diberitahukan.

Lamanya masa penahanan bagi seorang tersangka amat


bervariasi, bergantung pada tuduhan apa yang dikenakan padanya.
Namun demikian, panjang pendeknya masa penahanan bergantung
kepada kepentingan penyidik dan perangkat hukum lainnya untuk
mengorek dan mencari keterangan atau informasi tentang kejahatan
yang dituduhkan padanya.
Limitasi rentang waktu penahanan dalam setiap tahanan proses
hukum, juga telah ditentukan oleh UU No. 8 Tahun 1981. Masing-masing
tahapan proses hukum memiliki kewenangan penahanan yang berbeda.
Namun itu semua dilakukan dalam sebuah sistem peradilan yang
berjenjang. Mulai dari proses penyidikan oleh Polri, hingga pemeriksaan
perkara di Mahkamah Agung.

Sebagai gambaran, lamanya masa penahanan yang telah di atur


dalam UU No. 8 Tahun 1981 dalam setiap jenjangnya ialah:

1. Proses penahanan di Polri/Penyidik:


a. Selama disidik oleh Polri/Penyidik, seseorang dapat ditahan
paling lama 20 hari.
b. Selanjutnya demi kepentingan Penyidik, Jaksa/Penuntut
Umum dapat memperpanjang masa penahanannya paling
lama 40 Hari.
c. Bila sudah melampaui 60 hari, maka penyidik harus
mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

2. Proses penahanan di Jaksa/Penuntut Umum:


a. Selama periksa oleh Jaksa/Penuntut Umum, seseorang
dapat ditahan paling lama 20 hari.
b. Selanjutnya demi kepentingan Jaksa/Penuntut Umum, Ketua
Pengadilan Negeri dapat memperpanjang masa
penahanannya paling lama 30 Hari.
c. Bila sudah melampaui 50 hari, maka Jaksa/Penuntut Umum
harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

/ 3. Proses…..
Penerapan Keadaan Bahaya 8
Tingkat Darurat Sipil di NAD

3. Proses penahanan di Pengadilan Negeri:


a. Selama dalam proses persidangan seorang terdakwa dapat
ditahan paling lama 30 hari.
b. Selanjutnya demi kepentingan proses persidangan, Ketua
Pengadilan Negeri dapat memperpanjang masa
penahanannya paling lama 60 Hari.
c. Bila sudah melampaui 90 hari, maka Hakim Pengadilan
Negeri harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi
hukum.

4. Proses penahanan di Pengadilan Tinggi:


a. Selama perkaranya diajukan Banding, seorang terdakwa
dapat ditahan paling lama 30 hari.
b. Selanjutnya demi kepentingan Banding Ketua Pengadilan
Tinggi dapat memperpanjang masa penahanannya paling
lama 60 Hari.
c. Bila sudah melampaui 90 hari, maka Ketua Pengadilan Tinggi
harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

5. Proses penahanan di Mahkamah Agung:


a. Selama perkaranya diajukan Kasasi, seorang Terdakwa
dapat ditahan paling lama 50 hari.
b. Selanjutnya demi kepentingan Kasasi,Ketua Mahkamah
Agung dapat memperpanjang masa penahanannya paling
lama 60 Hari.
c. Bila sudah melampaui 110 hari, maka Ketua Mahkamah
Agung harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi
hukum.

Dalam Praktek proses penahanan ini berjalan secara terus


menerus tidak terputus. Hal ini dilakukan agar kepentingan hukum dan
keberadaan tersangka/terdakwa dapat diketahui secara jelas.
Permasalahan yang timbul dalam Darurat Sipil ini apakah TNI
masih memiliki kewenangan dalam menangkap dan menahan
seseorang.

/ Untuk…..
Penerapan Keadaan Bahaya 9
Tingkat Darurat Sipil di NAD

Untuk menangkap seseorang yang perilakunya mencurigakan, atau


seseorang telah nyata-nyata melakukan sebuah pelanggaran tindak
pidana, maka bukan hanya Polri atau TNI saja, tapi siapapun juga
bahkan masyarakat umum sekalipun dapat menangkapnya. Apalagi
orang tersebut ditangkap ketika ia tengah melakukan perbuatan tindak
pidana. Seseorang yang ketahuan dan ditangkap atau tertangkap pada
saat ia tengah melakukan sebuah perbuatan pidana, maka orang
tersebut dikategorikan sebagai orang yang ‘tertangkap tangan’.
Penafsiran arti ‘tertangkap tangan’ tidak berarti ia harus ditangkap saat ia
melakukan kejahatan. Ketika ia tengah melakukan kejahatan, lalu
ketahuan, selanjutnya ia melarikan diri dan dikejar lalu berhasil
ditangkap, maka orang tersebutpun dapat diketegorikan sebagai orang
yang ‘tertangkap tangan’.
Dalam hal atau kondisi seseorang yang ‘tertangkap tangan’, pelaku
penangkapan tidak harus aparat penegak hukum, Polri atau TNI, tetapi
masyarakat sipil setempatpun dapat melakukannya. Berbeda halnya bila
untuk menangkap seseorang harus melalui penyidikan dan penyelidikan,
maka tindakan tersebut hanya dapat dilakukan oleh Aparat penegak
hukum yang memiliki alas hak yang sah, dalam hal ini Polri.
Kemudian bagaimana dengan peran TNI? Sebagaimana yang telah
diuraikan dalam alinea sebelumnya, siapapun berhak melakukan
penangkapan, termasuk didalamnya TNI. Namun demikian apabila TNI
berhasil melakukan penangkapan, maka paling lambat dalam jangka
waktu 24 jam, tersangka harus sesegera mungkin diserahkan kepada
Polri disertai Berita Acara Pendahuluan serta Berita Acara penyerahan
tersangka. Hal ini perlu dilakukan agar TNI juga memiliki data serta fakta
yang cukup dan dibutuhkan dilapangan untuk bergerak, disamping itu
juga untuk menjamin bahwa TNI ketika menyerahkan tersangka kepada
Polri, tersangka diserahterimakan dalam keadaan masih hidup.
Berita acara ini bagi TNI amat berguna apabila disuatu saat terjadi
tuduhan adanya pembunuhan diluar peradilan (execution extra judiciary)
oleh TNI. Permasalahan ini harus cukup diwaspadai, karena kini TNI
tidak dimungkinkan lagi bergerak secara serampangan. Ada rambu-
rambu hukum yang harus ditaati dan dipatuhi. Termasuk didalamnya
menjaga keseimbangan antara Operasi Pemulihan Keamanan dan
Operasi Penegakan Hukum serta kaidah-kaidah hukum HAM dan
Humaniter yang melingkupinya.

/ Selanjutnya…..
Penerapan Keadaan Bahaya 10
Tingkat Darurat Sipil di NAD

Selanjutnya dalam UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan


Bahaya, dalam Keadaan Darurat Sipil, maka penguasa Darurat Sipil
Daerah dapat:
1. Mempertahankan seluruh atau sebagian Peraturan Darurat
Daerah, selama-lamanya 6 bulan setelah penghapusan
Keadaan Darurat Militer, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden
atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
2. Mengadakan peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk
kepentingan ketertiban umum atau kepentingan keamanan
daerahnya.
3. Berhak membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan,
penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan,
penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan
berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-
gambar.
4. Memasuki atau menggeledah tiap-tiap tempat secara paksa
dengan menunjukkan Surat perintah Umum atau Surat Perintah
Istimewa.
5. Memeriksa dan mensita suatu barang yang diduga atau akan
dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau
melarang pemakaian barang tersebut.
6. Mengambil atau memakai barang-barang dinas umum.
7. Mengetahui semua berita, percakapan melalui telepon atau
radio. Melarang atau memutuskan pengiriman berita atau
percakapan melalui telepon atau radio.
8. Membatasi atau melarang pemakaian kode, tulisan rahasia,
percetakan rahasia, tulisan steno, gambar, tanda juga
pemakaian bahasa lain selain bahasa Indonesia.
9. Menetapkan peraturan yang membatasi atau melarang
pemakaian alat-alat telekomunikasi telepon, telegram,
pemancar radio dan siaran radio.
10. Membuat ketentuan untuk mengadakan rapat umum,
pertemuan umum dan arak-arakan.
11. Membatasi dan melarang memasuki atau memakai gedung-
gedung, tempat kediaman dan lapangan-lapangan untuk waktu
tertentu. Ketentuan ini tidak berlaku bagi acara peribadatan,
adat dan pemerintah.

/ 12. Membatasi…..
Penerapan Keadaan Bahaya 11
Tingkat Darurat Sipil di NAD

12. Membatasi orang untuk berada diluar rumah.


13. Memeriksa badan dan pakaian orang-orang yang dicurigai serta
menyuruh memeriksanya oleh pejabat polisi atau pejabat
pengusut lainnya.

Hal-hal yang telah disebutkan diatas, merupakan kewenangan


yang memang sudah diatur secara limitatif oleh undang-undang disertai
penjelasannya lebih lanjut yang telah dijabarkan dalam pasal-pasal
tertentu di UU No. 23 tahun 1959. Diluar ketentuan tersebut, maka
pengaturan khusus lainnya yang bersifat baru atau menyimpangi dari
berbagai ketentuan yang ada hanya dapat diatur kembali oleh Presiden
selaku Penguasa Darurat Sipil Pusat.

Permintaan Bantuan Militer

Selama penerapan Keadaan Darurat Sipil di NAD, maka Gubernur


selaku PDSP memiliki kewenangan untuk melaksanakan program yang
telah digariskan oleh PDSP. Dalam hal pengamanan lingkungan,
Gubernur dibantu oleh Kepolisian Daerah setempat. Namun demikian
dalam konteks konflik bersenjata di NAD, dalam menghadapi Gerakan
separatis GAM yang telah menggunakan taktik gerilya, maka ujung
tombak pengamanan anti gerilya tetap dilakukan oleh TNI yang memang
memiliki kualifikasi dan kemampuan tempur yang memadai.
Dengan tidak mengesampingkan fungsi Polri, satuan-satuan TNI
yang bertugas sebagai pengamanan wilayah-wilayah pelosok dan
terpencil, tetap bersiaga sesuai porsi dan kewenangannya, kecuali
apabila diwilayah tersebut telah ada satuan-satuan Polri yang memadai,
makan peran dan fungsi TNI hanya membantu tugas Polri.
Kondisi yang menuju mapan ini, tidak menutup kemungkinan
sewaktu-waktu berubah lagi menjadi chaos. Untuk itu Gubernur selaku
Penguasa Darurat Sipil dapat saja meminta bantuan TNI untuk kembali
mengatasi gangguan bersenjata. Hal ini dimungkinkan, sesuai dengan
PP No. 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan pelaksanaan Bantuan
Militer.
Secara prosedural Gubernurlah yang mengajukan permintaan
kepada Komandan TNI setempat untuk mengatasi masalah tersebut.
Akan tetapi hal ini baru dapat dilakukan apabila ternyata atau dapat
diperhitungkan apabila Polri tidak cukup kuat atau tidak dapat bertindak
di waktu dan ditempat yang dibutuhkan dengan alasan-alasan yang sah
untuk usaha:

/ 1. Mencegah…..
Penerapan Keadaan Bahaya 12
Tingkat Darurat Sipil di NAD

1. Mencegah gangguan keamanan atau memulihkan ketertiban


dan keamanan umum;
2. Menjaga keselamatan dan keamanan umum apabila terjadi
bencana alam atau diduga akan terjadi;
3. Menjaga bangunan serta alat-alat yang sangat penting bagi
negara atau bagi masyarakat, apabila ada kemungkinan
pengrusakan bangunan-bangunan atau pencurian alat-alat
bangunan itu.

Proses permohonannya diajukan secara tertulis, namun bila


mendesak dapat diajukan secara lisan terlebih dahulu selanjutnya
disusulkan permintaan tertulis selambat-lambatnya 2 x 24 jam setelah
permintaan lisan diajukan.
Jika terjadi kekhaosan dan disuatu wilayah jauh dari jangkauan
Polri dan Kepala daerah setempat, maka pejabat Pamongpraja tertua
diwilayah tersebut atas nama Kepala Daerah dapat mengajukan bantuan
militer setelah mendapatkan pertimbangan dari kepolisian setempat.
Setelah mengajukan permintaan Batuan Militer, maka pejabat
pamongraja tersebut segera secepatnya mengajukan pengesahan
permintaan kepada Kepala Daerahnya.
Atas permintaan Bantuan Militer yang diajukan oleh Pejabat
Pamongpraja itu, Kepada Daerah setempat wajib memberitahukan
jawabannya dalam waktu 2 x 24 jam. Bila permohonan Bantuan Militer itu
disetujui maka permohonan itu segera diajukan ke Komandan militer
setempat disusul dengan permohonan tertulisnya. Namun sebaliknya bila
permohonan Bantuan Militer itu tidak disetujui, maka Bantuan Militer
yang sudah berjalan segera dihentikan.
Dengan demikian Bantuan Militer dapat dimintakan apabila terjadi
sebuah kerawanan yang dapat mengancam ketertiban umum, fasilitas
umum dan bencana alam. Bantuan Militer diberikan apabila dalam
keadaan Kepolisian sudah tidak dapat mengatasi atau menanggulangi
keadaan, sehingga memerlukan bantuan TNI untuk mengatasinya.

Penutup

Demikian uraian ini kami sampaikan, mudah-mudahan dapat


memberikan sedikit gambaran tentang bagaiamana penerapan Keadaan
Darurat Sipil di NAD, serta peran dan fungsi TNI dalam mendukung
terselenggaranya kehidupan masyarakat yang aman tertib dan sejahtera.
Harapan kita semua NAD segera pulih seperti sedia kala, hindari
permusuhan dan konflik yang tidak perlu. Mari kita bersama membangun
NAD agar Kelompok Separatis GAM yang selalu mencari keuntungan
disela-sela konflik dapat kita redam, kurangi dan minimalkan.

Anda mungkin juga menyukai