Anda di halaman 1dari 4

Salam

Perkanalan

Pada saat ini seorang pemimpin sedang menghadapi tantangan yang tidak mudah, dunia diluar sana
berubah dengan sangat cepat, sementara disaat yang sama pemimpin juga diminta untuk
mengetatkan ikat pinggang, memastikan setiap sumber daya dimanfaatkan secara efisien, belum lagi
tuntutan perubahan dari sisi demografi dari masyarakat yang mana seringkali dihadapkan dengan
kebijakan kebijakan yang ambigu, membingungkan, bahkan adagium yang kaya semakin kaya, yang
miskin semakin terhimpit itu benar benar terjadi.

Nah di tengah situasi yang tidak menentu, tuntutan semakin tinggi, perubahan semakin cepat, maka
dituntut kemapuan leadership yang jauh lebih tinggi, lebih hebat dibandingkan dengan sebelumnya.
Disituasi saat ini seorang pemimpin benar benar harus mampu mengelola emosinya dengan baik, dia
harus bisa beradaptasi dengan lingkungan, dan juga seorang pemimpin harus bisa dengan cepat dan
tepat mengambil keputusan.

Nah gimana seorang pemimpin supaya bisa memiliki kemampuan tadi, dan ternyata ada satu
rahasianya, yaitu di kepala kita, otak kit aini ternyata yang membuat kita melihat dunia dengan cara
tertentu, membuat kita mengambil keputusan dengan cara tertentu, serta otak kita yang
menentukan perilaku kita sehari hari. Ketika kitab isa memahami cara kerja otak kita dengan baik,
maka kita akan bisa mengelola semua tadi yang nanti akan berujung pada kemampuan pemimpin itu
untuk bisa tampil dengan baik di era disrupsi ini.

Berbicara mengenai disrupsi, ap aitu disrupsi?

Pernah mendengar di eropa ada bank yang meng PHK begitu banyak karyawan, di Indonesia
perusahaan taxi konvensional revenuenya turun, bahkan di Australia ada sebuah panti pijak
banyak yang mengphk karyawannya.

Baru-baru ini bangsa Indonesia diisukan dengan adanya penambahan masa jabatan kepemimpinan
presiden hingga tiga periode, ataupun ada yang mengusulkan pemilihan presiden dilakukan secara
demokratis tak langsung, melalui pemilihan oleh MPR.

Persoalan kepemimpinan memang selalu memberikan kesan yang menarik dan penuh dengan
perdebatan. Mulai dari konteks polemik kepemimpinan Muslim dan non-Muslim, persoalan suku dan
etnis, mantan narapidana dan koruptor, hingga tarik ulur kepentingan periodesasi kepemimpinan.

Sederhananya, kajian tentang kepemimpinan ternyata lebih pragmatis yakni hampir selalu muncul
dalam situasi-situasi tertentu di mana mendapatkan momentum politiknya.
Misalnya, kajian dan diskusi tentang justifikasi ataupun pelarangan kepemimpinan non-Muslim untuk
konteks Indonesia seketika membeludak ketika isu tentang Ahok menjadi salah satu kandidat kuat di
pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017.

Ataupun ketika isu tentang kepemimpinan perempuan menjadi hangat diperbincangkan ketika
Megawati tampil sebagai Presiden RI ke-5. Pro kontra menyelimuti dengan berbagai dalil dan
argumentasinya.

Berbagai kesimpulan pun hadir seolah-olah berusaha memberikan solusi dan hendak menerangi
jalan perpolitikan di Indonesia. Namun sayangnya, model kajian semacam ini tidak lebih dari sekadar
pseudo affirmation, yang hanya mencari momentum bagi subjektivitas dan jalan penetrasi
kepentingan oligarki.

Dari Leader ke Leadership

Jika kita mengkaji literatur-literatur tentang kepemimpinan, kita akan dihadapkan pada segudang
penjelasan tentang bagaimana seorang menjadi pemimpin ideal, sikap dan gaya yang sesuai dengan
situasi, dan syarat-syarat pemimpin yang berintegritas.

Dialektika pemikiran tentang kepemimpinan memang dinamis dan menjadi hangat diperbincangkan.
Berbagai wacana dan paradigma mengenai sosok pemimpin yang ideal seolah-olah semakin terlihat.
Akan tetapi diskursus tersebut sayangnya belum dibarengi dengan tindakan nyata. Hasilnya, bangsa
ini masih tetap saja mengalami krisis kepemimpinan.

Betapa tidak mengecewakan, pemimpin-pemimpin yang telah ada, yang dirasa cukup mumpuni
untuk memimpin, ternyata di tengah jalan telah banyak mengkhianati masyarakat karena berbagai
kasus yang dialaminya mulai dari korupsi, jual beli jabatan, pemborosan anggaran, hingga tindak
asusila.

Faktanya kegagalan para pemimpin dalam mengemban amanah, menjadi permasalahan baru dalam
diskursus kepemimpinan. Sehingga yang terpenting sebetulnya bukan lagi pada soal siapa, melainkan
pada apa dan bagaimana bentuk kepemimpinan baru itu. Dengan kata lain, yang harus kita
perhatikan bersama bukan lagi sekadar tokoh atau pemimpin (leader) tapi kepemimpinan
(leadership).

Generasi Muda
Lebih lanjut perlu didiskusikan juga tentang bagaimana negeri ini memiliki masa depan
kepemimpinan yang lebih baik. Memformulasi format kepemimpinan yang ideal harus diimbangin
dengan menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang berkualitas intelektual dan moral.

Sayangnya, bangsa Indonesia tidak mungkin lagi menaruh harapan pada generasi tua. Selain susah
untuk mengikuti perkembangan, kaum tua juga cenderung kurang responsif dan gesit dalam
merespon perubahan.

Kaum muda lah yang memiliki potensi lebih untuk mendapat tempaan (godogan) menjadi seorang
pemimpin yang ideal. Generasi muda harus mendapatkan perlakuan baik dan sambutan hangat.
Karena tanpa peran seorang pemuda tentu bangsa ini akan lapuk dimakan zaman.

Pemuda harus benar-benar diarahkan dengan matang dalam menjalankan perannya. Agar nantinya
diperoleh para pemimpin-pemimpin baru yang lebih baik untuk memimpin bangsa ini.

Teladan Patriotisme Itu Datang dari Timur

Generasi Mahasiswa

Kaum muda, khususnya mahasiswa, sebagai calon intelektual, menempati posisi strategis di setiap
petala sosial kemasyarakatan. Keistimewaan yang disandang karena mereka memperoleh
kesempatan mengenyam pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Suatu level pendidikan yang
mengajarkan kedewasaan berpikir dan kemampuan meneropong masa depan.

Sebagai pemimpin masa depan, mahasiswa dituntut keampuhan paripurna, sebagai intelektual yang
tidak hanya bertumpu pada aspek formal penguasaan materi keilmuan, tetapi didukung skill
kepemimpinan dan keterampilan dalam upaya mengembangkan ide dan mengaktualisasikan gagasan
dalam konteks peningkatan dan kemajuan taraf hidup masyarakat.

Karena apa, di masa depan, persoalan bangsa Indonesia sepenuhnya sudah sangat berbeda, dan
untuk menghadapinya dibutuhkan tipe kepemimpinan yang juga berbeda. Cepat atau lambat,
masyarakat kita akan semakin kritis dan mulai mengerti hak-haknya.

Mereka tidak ingin hanya menjadi obyek yang terus-menerus diatur oleh pemimpin mereka.
Masyarakat ingin dibujuk, dirayu, dan dikeloni. Kalau tidak, potensi destruktif akan mereka
kembangkan. Akibat yang paling gawat, jika hal semacam itu terus terjadi, adalah perpecahan
nasional dan rontoknya pilar-pilar kesatuan.

Kepemimpinan Transformasional
Jika dikaitkan dengan konteks yang ada, maka dalam kepemimpinan saat ini sangat diperlukan
kemampuan pemimpin yang mampu menyesuaikan dengan perubahan. Kepemimpinan yang efektif
adalah kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari orang-orang yang
dipimpinnya serta konteks-konteks yang mengitarinya seperti teknologi, budaya, pluralitas, ekonomi
dan sosial-politik.

Salah satu bentuk kepemimpinan yang diyakini dapat mengimbangi pola pikir dan refleksi paradigma
baru dalam arus globalisasi dirumuskan sebagai kepemimpinan transformasional. Model
Kepemimpinan ini digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang dapat membangkitkan atau
memotivasi masyarakat, sehingga dapat berkembang dan mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi,
melebihi dari apa yang mereka perkirakan sebelumnya.

Gaya kepemimpinan tranformasional dianggap efektif dalam situasi dan budaya globalisasi terutama
di era disrupsi seperti sekarang ini. Kepemimpinan ini didasarkan pada kekayaan konseptual, yang
dipadu dengan gagasan praksis melalui karisma, konsideran individual dan stimulasi intelektual.
Model ini diyakini akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran untuk jangkauan ke depan, menjaga
nilai dan prinsip demokrasi dan membangun pemerintahan transparansi.

Kepemimpinan adalah Panggilan Sejarah

Oleh karena itu, menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan semakin besar dewasa ini dan di
masa depan, maka merupakan panggilan sejarah bagi generasi masa kini untuk meletakkan dasar
yang kuat bagi sistem kepemimpinan nasional di masa mendatang.

Tentu saja ikhtiar ini masih lebih baik daripada membiarkan adanya model kepemimpinan sepanjang
masa (long life leadership) yang berpotensi melahirkan otoritarianisme. Artinya membiarkan
seseorang atau sekelompok orang mengorganisir negara dengan sikap represif, mengkebiri nilai-nilai
demokrasi dan kemanusiaan adalah mutlak sesuatu yang harus ditentang dan dilawan.

Pada akhirnya, persoalan kepemimpinan adalah tugas bersama dan tidak bisa dimonopoli oleh
sekelompok orang maupun golongan, agama dan suku tertentu. Proses diskusi kepemimpinan harus
bisa dilepaskan dari sekat-sekat pembatas primordial.

Anda mungkin juga menyukai