(national leadership) oleh banyak kalangan dianggap sebagai salah satu persoalan mendasar yang dihadapi bangsa. Ia merupakan satu pangkal dari sekian akar krisis yang mendera bangsa ini selama hampir enam tahun. Kepemimpinan nasional yang ada kini dianggap kepemimpinan yang tidak memimpin. Inilah model kepemimpinan yang memiliki derajat rendah (low leadership).
Sebagian ada yang berpendapat,
bahwa seseorang mampu dikatakan memimpin jika memenuhi tiga hal mendasar yang harus melekat dalam kepemimpinan. Pertama, visi dan strateginya untuk menghasilkan perubahan yang dibutuhkan guna mewujudkan visi itu. Visi merupakan konseptualisasi tentang hasil yang ingin diwujudkan seorang pencipta. Menurut Robert Fritz, pemimpin itu seorang pencipta. Pencipta tidak didorong lingkungan dan daya cipta mereka bukan melulu tanggapan terhadap lingkungan. Pencipta melahirkan gambaran yang mengatasi lingkungan, bahkan mengatasi penataan ulang perhitungan atas lingkungan.
Kedua, berkait dengan kegiatan
kepemimpinan. Kegiatan kepemimpinan ialah merapatkan barisan, yang berarti mengomunikasikan arah baru kepada mereka yang dapat menciptakan jemaah yang memahami visi dan memiliki komitmen untuk mewujudkannya. Tidak mungkin kita membangun sebuah koalisi besar untuk mengikuti visi seorang pemimpin bila sang pemimpin tak mampu mengomunikasikan apa yang mereka hendak wujudkan itu. Dengan demikian, sikap diam, menunggu, nir-inisiatif hanya akan memampetkan transformasi visi ini.
Ketiga, untuk mewujudkan visi,
seorang pemimpin dituntut senantiasa memberi motivasi dan inspirasi. Pemberian motivasi dan inspirasi ini dilakukan dengan menjaga agar orang bergerak dalam arah yang benar merujuk kebutuhan, nilai, dan emosi dasar. Karena itu, seorang pemimpin harus terus meniupkan optimisme pada rakyatnya meski jalan yang akan ditempuh terjal dan menjulang.
Karena kepemimpinan nasional
menjadi jantung utama perubahan bangsa, maka upaya mewujudkan kepemimpinan nasional yang berkualitas menjadi keniscayaan. Kepemimpinan nasional yang berkualitas ini membutuhkan model kepemimpinan tingkat tinggi (high leadership). High leadership merupakan antitesis dari low leadership. Ia akan menjadi obor bangsa dalam menyongsong babakan baru yang lebih cerah.
Secara normatif, model kepemimpinan
nasional yang dibutuhkan bangsa ini minimal mengandung empat hal. Pertama, visioner. Visioner berarti memiliki visi. Visi tentang masa depan yang mungkin terjadi, masa depan yang diinginkan dan masa depan yang hancur. Dengan melihat pelbagai kemungkinan arah masa depan ini, seorang pemimpin dapat memutuskan mau ke mana biduk bangsa ini dibawa, sembari menghindari masalah dan bencana yang dapat terjadi. Kedua, memiliki kemampuan mengelola kemajemukan dan keragaman yang melekat dalam tubuh bangsa. Kita diberi keberkahan sebagai bangsa yang majemuk, baik agama, budaya, etnis, maupun bahasa. Kemajemukan ini bisa menjadi bumerang manakala kita tidak pandai mengelolanya menjadi sebuah kekuatan.
Ketiga, mampu mengelola potensi
yang dimiliki bangsa. Potensi itu bisa berupa kekayaan alam, modal sosial, modal budaya dan daya saing bangsa. Keempat, kita membutuhkan pemimpin yang memiliki komitmen moral yang tinggi. Komitmen ini bukan hanya bersifat retoris, namun telah dibuktikan dalam dataran konkret. Ini dapat diketahui dengan melacak sepak terjangnya selama ini (political tracking). Seorang pemimpin kreatif dan inovatif selalu berpikir bahwa belum ada karya yang terbaik, karena yang terbaik belum dilahirkan, yang terbaik akan diciptakan di masa depan, karena itu ia selalu terobsesi untuk selalu memperbaiki karya-karyanya. Menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, belakangan ini marak bermunculan anak bangsa yang memproklamirkan diri untuk menjadi pemimpin nasional masa depan. Ada yang terang-terangan mencalonkan diri lewat partai politk, ada yang melakukan komunikasi politik untuk minta restu, ada yang gencar menampilkan dirinya lewat media massa, ada yang berdebat lewat "the candidate", ada yang mencetuskan konvensi seperti konvensi partai Golkar 2004, bahkan ada pula yang berani mengikrarkan diri melalui jalur independen. Dalam era demokrasi saat ini, hal itu sah-sah saja dilakukan, sepanjang pencalonan, proklamir, ikrar dan perdebatan masalah pemimpin itu benar-benar bagi upaya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, serta kemajuan bangsa dan negara. Selama reformasi bergulir, para pemimpin sudah mulai dipilih oleh rakyat melalui Pilkada baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi maupun tingkat nasional. Segala cara dilakukan agar tujuan untuk menjadi pemimpin itu tercapai, sehingga tak heran bila konflik horizontal terjadi di daerah, gara- gara penetapan pemimpin. Tapi apa yang kita lihat, setelah menjadi pemimpin tak banyak perubahan nyata yang diharapkan oleh masyarakat. Bahkan ironisnya, kekacauan, konflik dan kejadian di daerah seakan tak ada pemimpinnya. Berbicara tentang pemimpin dan kepemimpinan masa depan erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini, masih membutuhkan pemimpin yang kuat di berbagai sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian kompleks. Ini selaras dengan kerangka ideal normatif sistem kepemimpinan nasional sebagai sebuah sistem dalam arti statik maupun arti dinamik. Dalam arti sistem yang bersifat statik, sistem kepemimpinan nasional adalah keseluruhan komponen bangsa secara hierrarkial (state leadership, political and entrepreneural leadership and societal leadership) maupun pada tatanan komponen bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sementara itu, dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem kepemimpinan nasional adalah keseluruhan aktivitas kepemimpinan yang berporos dari dan komponen proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya kepemimpinan) dan akhirnya keluar dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera. Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan, kemajuan, dan kejayaan bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan pribadi/kelompok, bukan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok, dan bukan pula kepemimpinan yang membiarkan hidupnya budaya anarkhisme, budaya kekerasan, dan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita butuh, pemimpin berwawasan kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD Negara RI Tahun 1945, serta memahami karakter dan kultur bangsa Indonesia. Dalam era reformasi saat ini, pemimpin kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia masih sangat dibutuhkan, melalui pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dasar negara, yaitu Pancasila yang bersifat integratif. Oleh karena itu, para pemimpin dan kader kepemimpinan masa depan harus merupakan bagian integral dari kepemimpinan nasional integratif, yang memiliki kriteria pokok, yaitu: Pertama, terciptanya interaksi atau keterpaduan yang harmonis antara pemimpin dengan yang dipimpin. Kedua, memiliki ciri, sifat, prinsip, teknik, azas serta gaya dan jenis kepemimpinan yang handal, seperti Sebelas Azas Kepemimpinan TNI. Ketiga, mempunyai strategi kepemimpinan nasional yang tepat, sesuai situasi dan kondisi, serta kurun waktu yang dihadapi. Pemimpin dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan adalah seorang pemimpin yang diharapkan mampu mengubah kondisi saat ini melalui proses untuk menciptakan kondisi yang diharapkan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan mewujudkan cita-cita nasional. Pemimpin akan dapat melaksanakan fungsi kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta dapat diandalkan. Seorang pemimpin harus memiliki reputasi yang baik, menunjukkan kinerja yang diakui, terutama dalam mengantisipasi tantangan-tantangan di depan dan keberhasilannya mengatasi masalah-masalah yang kritikal dan membawa kemajuan-kemajuan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Pemimpin dalam konteks kepentingan negara dan bangsa bagi penyelenggaraan negara haruslah memiliki nilai-nilai sebagai seorang negarawan, artinya warga negara yang mau dan mampu mengambil sikap dan keputusan, demi kepentingan bangsa dan negara. Nilai-nilai kenegarawan itu tidak hanya dimiliki oleh seorang Kepala Negara, pejabat pemerintahan dan birokrasi/pejabat publik semata, tetapi harus dimiliki oleh setiap pribadi warga negara dan setiap elemen kemasyarakatan baik pengusaha, budayawan, pemimpin umat keagamaan, pemimpin kemasyarakatan, cendekiawan, olahragawan dan kaum muda seperti para mahasiswa. Dalam konteks inilah sebenarnya konsep "think globally dan act locally" (berpikir secara global dan bertindak secara lokal) ini dapat diimplementasikan dalam menghadapi tantangan era globalisasi saat ini. Oleh karenanya, pemimpin masa depan diharapkan mampu memahami visi Indonesia 2020 dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara dan melaksanakan sistem penyelenggaraan negara secara baik dan benar agar kesejahteraan masyarakat sesuai cita-cita nasional dan tujuan nasional dapat benar- benar diwujudkan, sehingga kepemimpinannya, sejalan dengan visi yang telah digariskan pemerintah, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, memiliki pengetahuan dan teknologi, memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi dan berdisiplin. Itulah tugas yang harus dilaksanakan pemimpin dan kepemimpinan masa depan di era reformasi ini dalam mewujudkan terciptanya ketahanan dan stabilitas nasional dalam rangka mencapai cita-cita dan tujuan nasional.