Anda di halaman 1dari 70

KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL POTENSI PERTAHANAN

KEPEMIMPINAN

UNTUK

KADER BELA NEGARA

JAKARTA 2016
KATA PENGANTAR

Kepemimpinan adalah suatu fenomena kemasyarakatan yang


sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu bangsa dalam
menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, kepemimpinan juga merupakan salah satu fungsi strategis
yang dapat mendorong terwujudnya cita-cita, aspirasi, dan niali-nilai yang
berkembang dalam masyarakat karena adanya interaksi antara pemimpin
dan yang dipimpin.
Sebagai wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI) yang
terdiri atas 17000 pulau dan ratusan suku bangsa yang mendiaminya,
dengan posisi yang strategis itu, Kepemimpinan Nasional merupakan hal
yang mutlak diperlukan oleh Bangsa Indonesia.
Hanjar ini dimaksudkan untuk mempermudah peserta Pembentukan
Kader Bela Negara untuk memahami pentingnya peningkatan dan
pendalaman pengetahuan tentang Kepemimpinan karena Kepemimpinan
merupakan suatu hal yang dinamis dan sejajar dengan gerak dinamika
tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan negara.
Semoga hanjar ini bermanfaat bagi peserta Pembentukan Kader
Bela Negara selama mengikuti proses pembelajaran di lembaga ini dan
menambah wawasan ilmu pengetahuan sehingga mampu
mengembangkan dan mengimplementasikan dengan baik.

Jakarta, 2016

Direktur Jenderal
Potensi Pertahanan,

Dr. Timbul Siahaan


DAFTAR ISI

BAB. I PENDAHULUAN

1. Umum ................................................................. 1
2. Landasan Konseptual ......................................... 3
3. Pendekatan/Paradigma Kepemimpinan ............. 9

BAB II ESENSI KEPEMIMPINAN BAGI PEMIMPIN NASIONAL

1. Unsur Kepemimpinan ......................................... 14


2. Watak Kepemimpinan ........................................ 14
3. Memiliki Moral dan EtikaKepemimpinan ............ 15
4. Memiliki Integritas ............................................... 20
5. Memiliki Karakter Bangsanya ............................. 22
6. Memiliki Komitmen ............................................. 23
7. Memiliki Kompetensi .......................................... 25

BAB. III PERMASALAHAN PEMIMPIN NASIONAL

1. Krisis Kepercayaan ............................................ 28


2. Konflik Kepentingan ........................................... 32
3. Sinergitas Hubungan Pemimpinan Nasional ..... 40
4. Kearifan Lokal Kepemimpinan ........................... 45

BAB. IV MODEL DAN PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN

1. Model Kepemimpinan Transformasional ............ 52


2. Model Kepemimpinan Transaksional ................. 56
3. Pengembangan Kepemimpinan ......................... 59

BAB. V PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum
Manusia adalah insan hamba Tuhan, insan sosial, dan insan
pembelajaran yang dalam kehidupannya dikodratkan berinteraksi dengan
manusia lain. Seiring dengan kodratnya itu, manusia membentuk
kelompok-kelompok atau golongan dan suku-suku bangsa hingga menjadi
negara yang mempunyai kesamaan pandangan hidup, tujuan, dan cita-
cita. Dari kelompok terkecil yang merupakan suatu organisasi
kemasyarakatan atau organisasi politik akan muncul seorang pemimpin,
yaitu seseorang yang mempunyai suatu keunggulan atau kelebihan yang
berbeda dari yang lain. Seorang pemimpin dalam melaksanakan peran
dan fungsinya selalu mempengaruhi kelompok atau pengikutnya melalui
pemberian motivasi, bimbingan, perintah, dan petunjuk untuk mencapai
tujuan organisasi.
Kepemimpinan adalah suatu fenomena kemasyarakatan yang
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu bangsa dalam
menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, kepemimpinan
juga merupakan salah satu fungsi strategis yang dapat mendorong
terwujudnya cita-cita, aspirasi, dan nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat karena adanya interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin.
Dalam konteks Ketahanan Nasional, Indonesia merupakan negara
yang terletak pada posisi strategis, baik ditinjau dari perspektif geopolitik,
geostrategis, maupun geoekonomi, sebagai wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas 17.000 an pulau dan ratusan
suku bangsa yang mendiaminya. Dengan posisi yang strategis itu,
Kepemimpinan Nasional merupakan hal yang mutlak diperlukan oleh
bangsa Indonesia.
Sejarah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan mencatat berbagai
peristiwa yang berkaitan dengan Kepemimpinan Nasional, mulai dari
mempertahankan kemerdekaan sampai dengan mengisi kemerdekaan
hingga masa sekarang. Keberhasilan dan kegagalan Kepemimpinan

1
Nasional merupakan pelajaran berharga dalam membangun bangsa agar
setiap tantangan, hambatan, gangguan, dan ancaman terhadap
pencapaian tujuan nasional dapat diantisipasi dan diatasi dengan baik.
Dalam kerangka pencapaian tujuan nasional, di setiap era
kepemimpinan sangat diharapkan adanya suatu perubahan yang dapat
memperbaiki, menyempurnakan, dan mewujudkan suatu pembangunan
yang berkelanjutan, sehingga NKRI di masa mendatang dapat menjadi
negara yang maju dan modern serta sejajar dengan negara maju seperti
di Eropa, Amerika, dan negara maju lainnya. Untuk mencapai hal tersebut,
salah satu aspek penentunya adalah Kepemimpinan Nasional dari bangsa
ini. Dalam hal ini dibutuhkan pemimpin yang mempunyai kualitas sebagai
Pemimpin Nasional yang tangguh, dan visioner, serta seorang negarawan
yang kharismatik dan transformatik. Sosok Pemimpin Nasiona! semacam
ini sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia yang masih dihadapkan
dengan kondisi NKRI yang masih sarat dengan berbagai persoalan yang
menyebabkan Ketahanan Nasional menjadi rentan, seperti kemiskinan,
kebodohan, dan kebijaksanaan pembangunan yang masih dipenuhi
dengan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta lemahnya
penegakan hukum serta berbagai persoalan yang berkaitan dengan isu
global.
Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 1998, Indonesia mengalami
krisis yang berawal dari permasalahan ekonomi dan moneter. Krisis
tersebut menjalar ke bidang lain hingga keadaan multikrisis tidak dapat
dihindarkan lagi. Keadaan ini mendorong muncui gerakan reformasi yang
menuntut adanya suatu perubahan dan perbaikan. Tuntutan ini pun telah
disikapi secara mendasar oleh pemimpin dan elite politik negeri ini.
Berbagai perubahan dan penyesuaian serta reguiasi dilakukan. Peraturan
perundang-undangan yang tadinya dinilai sentralistik diubah menjadi
desentralistik, termasuk melakukan Amandemen UUD 1945. Hal itu
tentunya sangat mempengaruhi pola dan aspek Kepemimpinan Nasional,
terutama setelah sistem multi partai diberlakukan serta sistem pemilihan
Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya diubah menjadi

2
pemilihan langsung. Perubahan ini menunjukkan bahwa proses
pengangkatan/pemilihan Pemimpin Nasional telah menanggalkan
paradigma lama dan memasuki paradigma baru sebagai NKRI yang lebih
demokratis.
Dengan demikian, NKRI telah mengalami perubahan dan kemajuan
di bidang politik dalam waktu relatif singkat. Namun, di bidang lain, seperti
perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, pelayanan publik (publik
services), penegakan hukum, dan keamanan masih memerlukan
kepiawaian Pemimpin Nasional untuk mewujudkan kearah yang lebih baik
sebagai upaya mencapai tujuan nasional.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, untuk menghayati objek
Kepemimpinan dan pemahaman terhadap keberadaan Pemimpin
Nasional harus berangkat dari pengertian Kepemimpin Nasional sebagai
suatu sistem yang mengacu kepada pengimplementasian Wawasan
Nusantara dan konsepsi Ketahanan Nasional, juga sebagai struktur dan
kultur kepemimpinan nasional. Hal ini berlaku menyeluruh untuk
diimplementasikan oleh Pemimpin Nasional baik di Pusat maupun di
Daerah.

2. Landasan Konseptual Kepemimpinan Nasional


Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin yang dibentuk dari kata
dasar pimpin yang berarti tuntun, bimbing. Pimpinan, adalah hasil kerja
memimpin, dan Kepemimpinan, merupakan system atau hal, cara, hasil
kerja pemimpin, Pemimpin adalah orang yang memimpin (Badudu,
2001:1062). Kepemimpinan (leadership) dapat juga diartikan sebagai
kemampuan yang ada dari seseorang untuk memengaruhi,
menggerakkan, dan mengarahkan orang lain untuk mencapai suatu
tujuan. Kepemimpinan Nasional adalah merupakan system, struktur dan
kultur Pemimpin Nasional.
Tinjauan dari beberapa penulis mengungkapan bahwa
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas sesoerang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dalam

3
kaitan dengan hal ini Hersey dan Blancchard (1992:99) menyimpulkan
bahwa proses kepemimpinan adalah merupakan fungsi pemimpin,
pengikut dan variabel situasional lainnya.
Banyak teori dan pendapat dari para ahli ilmu kepemimpinan
mengenai pengertian kepemimpinan yang ditinjau dari berbagai aspek.
Teori kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli, umumnya
berusaha untuk menerangkan faktor-faktor yang memungkinkan
munculnya seorang pemimpin, baik dari sifat yang dimiliki maupun karena
situasi. Secara teoritis dan operasional, kemunculan seorang pemimpin
sebagaimana yang dikemukan dalam pendapat para pakar, antara lain:

a. Teori Sifat (Traits Theory)


Kemunculan seorang pemimpin lebih ditentukan karena adanya
sifat sebagai pemimpin. Menurut teori sifat, kepemimpinan adalah
sifat atau perilaku dari seorang pemimpin. Hal ini dapat dimengerti
karena penelitian tentang kepemimpinan awalnya difokuskan pada
aspek-aspek yang bersifat fisik, intelektual, dan sifat-sifat
keperibadian hingga dapat dibedakan antara pemimpin dan yang
dipimpin. Pendekatan yang berdasarkan sifat kepemimpinan
berasumsi bahwa pemimpin itu selalu mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan orang yang dipimpinnya.
Sehubungan dengan kelebihan yang dimiliki oleh seorang
pemimpin, Tead (1935: 83) mengatakan ada sepuluh sifat yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yakni:
1) Physical and nervous energy (energi jasmani
dansyaraf/rohani)
2) A sense of purpose and directiaon (kepastian akan
maksud dan tujuan)
3) Enhusiasm (perhatian yang besar)
4) Friendliness and affection (ramah tamah, penuh rasa
persahabatan, dan ketulusan)
5) Integrity (integritas atau pribadi yang kuat)

4
6) Technical mastery (kecakapan teknis)
7) Decisiveness (mudah menetapkan keputusan)
8) Intelligence (cerdas)
9) Teaching skill (kecapakan mengajar)
10) Faith (keyakinan)
Kajian tentang kepemimpinan yang difokuskan pada sifat ini
berkembang menjadi teori sifat sebagaimana yang diungkapkan oleh
Stogdill (1974: 17). Stogdiil mengatakan bahwa untuk menjadi
seorang pemimpin memerlukan serangkaian sifat-sifat atau perilaku
tertentu yang menjamin keberhasilan pada setiap situasi.
Berkaitan dengan pendapat Stogdill ini, Kirkpatrick dan Locke,
dalam Marwansyah (1999: 171), menyimpulkan sifat-sifat
kepemimpinan yang berhasil dalam mempengaruhi bawahannya
adalah sebagai berikut:
Karakteristik Pemimpin Yang Berhasil
Karaktristik Sifat Deskripsi
- Drive - Hasrat untuk berprestasi,
ambisi, energik, kegigihan,
prakarsa.
- Motivasi kepemimpinan - Hasrat untuk menerapkan
pengaruh terhadap orang lain
untuk mencapai tujuan bersama
- Percaya pada kemampuan diri
sendiri
- Kepercayaan diri - Cerdas dan memiliki
kemampuan untuk memadukan
dan menginterpretasikan
sejumlah informasi
- Kemampuan kognitif - Orisinalitas
- Kreativitas - Kemampuan untuk beradaptasi
- Fleksibilitas dengan kebutuhan pengikut dan
situasi
Sumber: Marwansyah, 1999

Teori sifat yang dikemukakan oleh Stogdill (1974:17)


mengemukakan bahwa pemimpin itu memerlukan serangkaian sifat-
sifat, ciri-ciri, atau perilaku tertentu yang akan menjamin
keberhasilannya pada setiap situasi. Dasar pengungkapan teori ini

5
adalah penelitian yang dilakukan terhadap sifat-sifat yang dimiliki
oleh orang-orang besar. Kesimpulan yang dikemukakan oleh teori ini
menyatakan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat
kepemimpinan yang dibawanya sejak lahir.

b. Teori Lingkungan (Enviromental Theory)


Teori lingkungan mengemukakan bahwa munculnya seorang
pemimpin merupakan hasil dari waktu, tempat, dan keadaan
(Stogdill, 1974: 18). Adanya suatu tantangan atau suatu kejadian
penting akan menampilkan seseorang untuk menjadi pemimpin yang
memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu sesuai dengan keadaan atau
tantangan yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa setiap situasi dan kondisi tertentu akan menuntut kualitas dari
seorang pemimpin yang berbeda. Seorang pemimpin yang berhasil
pada situasi dan kondisi tertentu dapat dijamin akan berhasil pada
situasi dan kondisi yang lain. Teori ini mengasumsikan bahwa
seseorang akan tetap menjadi pemimpin apabila ia dapat
“menguasai” situasi karena situasi ini akan menentukan muncul atau
jatuhnya seorang pemimpin.

c. Teori Humanistik (Humanistic Theory)


Teori humanistik ini didasarkan pada asumsi “the human being
is by nature a motivated organism; the organization is by nature
structured and controlled". Karena sifatnya, manusia adalah
organisme yang dimotivasi, sedangkan organisasi adalah sesuatu
yang tersusun dan terkendali (Stogdill, 1974: 21). Didasarkan karena
sifat yang berbeda antara organisasi dan manusia, seorang
pemimpim harus dapat membuat organisasi sedemikian rupa hingga
memberikan sedikit kebebasan kepada orang-orang yang ada dalam
oraganisasi untuk mewujudkan motivasinya sendiri dan pada saat
yang bersamaan dapat memberikan sumbangan terhadap
pencapaian tujuan oraganisasi.

6
Dalam kaitannya dengan hal ini Me Gregor (dalam Stogdill,
1974:22) mengemukakan pendapat yang dikenal dengan nama teori
X dan Y. Teori X memandang orang-orang yang ada dalam suatu
organisasi adalah pasif dan menolak ketentuan-ketentuan
organisasi. Oleh karena itu, harus ada upaya-upaya untuk
mengarahkan dan memotivasi orang-orang tersebut agar
menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi. Teori Y
berasumsi sebaliknya, manusia itu telah memiliki motivasi sendiri-
sendiri dan suka bertanggungjawab. Upaya-upaya yang
diperlukannya adalah mengatur atau menyusun kondisi-kondisi
organisasi sedemikian rupa hingga memungkinkan terjadinya
pemenuhan kebutuhan orang-orang yang ada dalam organisasi dan
kegiatan mereka diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi.
Teori humanistik ini menekankan agar pemimpin senantiasa
menjaga human relations (hubungan antar sesama) agar terjadi
kesinambungan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan oraganisasi.

d. Teori Tukar-Menukar (Exchange Theory)


Teori tukar menukar ini didasarkan pada asumsi bahwa
interaksi sosial menggambarkan suatu bentuk tukar menukar.
Anggota kelompok memberikan kontribusi kepada kelompok dengan
pengorbanan-pengorbanan tertentu dan menerima imbalan dengan
adanya pengorbanan kelompok yang lain (Stogdill, 1974: 52 - 53).
Interaksi tukar menukar ini berlangsung secara terus menerus. Hal
ini terjadi bukan hanya antara anggota kelompok saja, tetapi juga
terjadi antara pemimpin dan yang dipimpin dalam bentuk saling
memberi dan menerima.
Memperhatikan teori kepemimpinan yang dikemukakan di atas,
maka dapat dikemukakan bahwa pemimpin mempunyai kedudukan
yang sangat menentukan. Seorang pemimpin akan senantiasa
berupaya untuk mempengaruhi bawahan/pengikutnya untuk

7
bergerak dalam mencapai tujuan sebagaimana yang dikehendaki
oleh pemimpinnya. Hal ini sesuai dengan Stogdill (1974: 8), yang
menegaskan bahwa kepemimpian merupakan titik pusat dari proses-
proses kelompok.
Selain pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tersebut,
terdapat pengertian umum yang selama ini dipakai, yakni
kepemimpinan sebagai ilmu dan seni dalam mempengaruhi orang
dan organisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam
pengertian umum yang lain dikatakan bahwa kepemimpinan adalah
ilmu dan seni memengaruhi orang lain (yang dipimpin) untuk menaati
perintah/anjuran dengan tulus dan ikhlas guna mencapai tujuan
organisasi sesuai kehendak pemimpin.

e. Pemimpin Nasional
Batasan pengertian Pemimpin Nasional sesuai dengan
landasan konseptual diatas, diartikan sebagai kelompok
orang/pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional
didalam setiap gatra (asta gatra) pada bidang/sektor profesi, baik
formal, nonformal dan informal di tingkat suprastruktur, infrastruktur
dan substruktur politik yang memilki kemampuan dan kewenangan
untuk mengarahkan/mengerahkan segenap potensi nasional
(bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 serta memperhatikan dan
memahami perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi
berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang.

f. Kaderisasi Pemimpin Nasional


Kaderisasi pada setiap organisasi diperlukan sebagai upaya
untuk menjaga keseimbangan dan kualitas serta bobot sumber daya
manusia yang ada agar dapat senantiasa berorientasi pada upaya
pencapaian tujuan organisasi melalui tahapan-tahapan kegiatan
yang terprogram, terarah, dan berkelanjutan. Oleh karena itu,

8
pengertian kaderisasi Pemimpinan Nasional adalah suatu proses
mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia baik di pusat
maupun daerah untuk menjadi pemimpin pada masanya yang akan
memikul tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa,
bermasyarakat dan bernegara dalam upaya mewujudkan tujuan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.

3. Pendekatan/Paradigma Kepemimpinan
Secara paradigmatik, landasan Kepemimpinan bagi Pemimpin
Nasional bersumber dari kajian para pakar kepemimpinan, baik yang
bersifat khusus (bidang tertentu) maupun umum. Di dalam modul ini,
landasan teoritis dibatasi pada dua aspek, yaitu aspek filosofis dan aspek
historis.
a. Historis
Dalam pendekatan historis, istilah pemimpin (leader) diawali
oleh ajaran agama. Pada agama Islam, terdapat ayat yang
menyatakan (1) "Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk
patuh dan taat menyembah-Ku” dan (2) ”Aku jadikan engkau
manusia hidup berkaum- kaum dan berkelompok dan di antara kamu
ada yang Aku jadikan pemimpin agar selalu bertaqwa kepada-Ku”.
Pernyataan tersebut telah menunjukkan kekuasaan dan kewenangan
pemimpin (aikhaiik) sejak manusia pertama diciptakan Tuhan, yaitu
Nabi Adam. Para pemimpin yang kemudian bermunculan dengan
berbagai cara dan membuat catatan sejarah tidak lebih dari
penerusan dari yang sudah ada sebelumnya. Secara mendasar,
kepemimpinan dalam pendekatan historis ditinjau sebagai sesuatu
perbuatan yang diakui kebenarannya dalam mempertahankan dan
memacu eksistensi manusia sebagai makhluk Maha Pencipta,
makhluk sosial, dan insan pembelajaran.
Dengan demikian, secara historis, pemimpin bermula dari
aspek keagamaan. Kaitannya adalah alur sejarah peradaban
manusia Indonesia karena istilah nasional disini mengandung arti (1)

9
sebagai bangsa, yaitu Indonesia dan (2) sebagai negara, yaitu NKRI.
Sejarah peradaban Indonesia sebagai bangsa yang menuju NKRI
ditandai dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda pada tanggal
28 Oktober 1928 oleh para perwakilan tokoh pemuda Indonesia dari
berbagai wilayah, walaupun sebelum itu sudah ada gerakan sosial
pendidikan melalui organisasi Budi Utomo tahun 1908, yang dikenal
sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia.
Dari sudut pandang sejarah Indonesia, Pemimpin Nasional
keberadaanya melalui fase-fase perjuangan, mulai dari yang bersifat
lokal dan tradisional sampai kepada perjuangan yang bersifat
nasional dan modern, dengan persepsi yang sama dan satu tujuan,
yaitu melepaskan diri dari belenggu penjajahan serta keinginan
menata dan membangun masa depan yang lebih baik, sehingga
akhirnya terwujud Indonesia merdeka yang berdasarkan Pancasila
dan UUD NRI 1945. Proses kemerdekaan RI dalam tinjauan teori
kepemimpinan merupakan suatu aktivitas dari Pemimpin pada
jamannya untuk melepaskan bangsanya dari belenggu penjajahan.
Oleh karena itu, di dalam prosesnya, peran Pemimpin sangat
menentukan, baik dalam memengaruhi, memotivasi, maupun
meyakinkan kesatuan visi dan persepsi dalam mencapai tujuan
dengan kemerdekaan sebagai skala prioritas atau titik awal dari
segala cita-cita luhur.
Tindak lanjut aksi Pemimpin Nasional dalam mengisi
kemerdekaan untuk tercapai dan terwujudnya cita-cita nasiona!
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945
merupakan tantangan yang harus dijawab melalui pembangunan
nasionai. Bentuk dan tren tantangan tersebut dari waktu ke waktu
ada yang bersifat laten, meningkat, dan ada pula dadakan. Di setiap
era, variabel hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin yakni
situasi dan kondisi tidak selalu sama. Tantangan yang dihadapi
berbeda, tetapi tujuan nasional dan landasan paradigma pada nilai-
nilai dasarnya tetap tidak akan berubah. Jika ini dapat dihayati, maka

10
dalam pengamalannya diperlukan suatu sikap yang mencerminkan
kebersihan jiwa, kestabilan emosi, ketulusan, dan keikhlasan
sebagai penyambung dari contoh-contoh pemimpin sebelumnya
sesuai dengan catatan sejarah perjalanan peradaban manusia,

b. Filosofis
Filosofi kepemimpinan adalah pengoperasionalan segala
pikiran, ucapan, dan perbuatan untuk suatu "kebenaran” karena
kehidupan manusia tidak terlepas dari cipta, rasa, dan karsa, baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok sosial (society group).
Segala pengoperasionalannya dilakukan melalui proses berpikir
yang sehat dan positif (positive thinking), serta mempertimbangkan
manfaat dan mudaratnya. Oleh sebab itu, secara filosofis,
kepemimpinan harus melalui olah pikir yang mampu menyelidiki
hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya dengan akal
budi sebelum akhirnya diimplementasikan. Dengan kata lain, segala
sesuatu harus didasarkan pada logika, estetika, metafisika (nonfisik),
serta epistemologi (batas-batas ilmu). Oleh karena itu, sesuatu yang
benar harus sesuai dengan aturan dan tidak boleh ada kebenaran
yang mendua (Tahanna Dharma Manggrva). Dari pemahaman ini
akan lahir sifat, watak, dan perilaku pemimpin yang benar. Pemimpin
yang benar itu dimulai dari bercermin kepada diri sendiri dalam
renungan cipta, rasa, dan karsa. Hal ini memberi arti terhadap
kehadirannya yang dapat diukur rasa (suasana kebatinan) terhadap
apa yang telah diperbuat.
Pemimpin yang benar juga diikuti dengan sikap yang selalu
berusaha untuk menyempurnakan atau memperbaiki secara sadar
segala kekurangan dan meningkatkan segala sesuatu yang sudah
baik dan benar, mengembangkan sikap ksatria dalam mengakui
segala kekurangan dan kesalahan serta berani berkata “Contohlah
saya!” dan takut atau risau dengan sanjungan. Untuk mewujudkan
kepemimpinan seperti itu bukanlah hai yang sulit karena semua

11
bersumber dari kemauan pribadi sebagai prasyarat utamanya.
Sementara, lingkungan yang dipimpin akan secara otomatis tertarik
pada pancaran magnet keteladanan yang melahirkan kepercayaan
yang tulus dari yang dipimpin. Dalam pepatah kebudayaan
Minangkabau dikatakan bahwa pemimpin itu tumbuh karena
dipupuk, tinggi karena dianjungkan, didahulukan seiangkah,
ditinggikan seranting; dan untuk selalu dapat pengakuan harus
berjalan lurus, berkata benar, melindungi, serta mengayomi seluruh
yang dipimpin karena raja adil raja disembah dan raja salah raja
dibantah. Banyak lagi penjabaran fisolofis dalam adat istiadat bangsa
ini yang intinya sama.
Dari uraian di atas, jika dipandang dari sisi kepentingan
Pemimpin Nasional, semua sudah diwadahi oleh pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam Pancasila, yang merupakan karya pikir dari para
pendiri bangsa (founding fathers) ini. Pancasila sebagai ideologi,
sebagai falsafah, dan pandangan hidup bangsa berasal dari
kerangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sarat
dengan nilai filsafat, baik untuk keberadaan sebagai insan individu
maupun insan sosial. Penjelasan mendasar mengenai makna
kemerdekaan secara singkat padat dan fleksibel terdapat pada
Pembukaan UUD NRI 1945 mulai dari Alinea I sampai dengan Alinea
IV. Oleh sebab itu, Pancasila dalam praktik penyelnggaran
kepemimpinan bagi Pemimpin Nasional tidak hanya dilihat sebagai
kepentingan moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara,
tetapi juga perlu didalami sebagai suatu filsafat. Praktik-praktik
kepemimpinan yang dilakukan oleh Pemimpin Nasional baik di pusat
maupun di daerah yang menyimpang, menunjukkan bahwa bahwa
Pancasila hanya dijadikan dan diakui sebagai suatu formalitas tanpa
ada keharusan dalam pengamalannya.

12
c. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional (Wasantara dan
Tannas) dalam pendekatan teori kepemimpinan merupakan cara
pandang dan konsepsi berpikir untuk menata kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sesuatu yang sangat keliru jika seorang pemimpin,
terutama pada tataran kebijakan dan operasional, belum memiliki
pemahaman dan penghayatan yang sama terhadap Wasantara dan
Tannas ini. Salah satu penyebab munculnya sikap ego sektoral, ego
kedaerahan, mencari prestise daripada prestasi, dan menikmati
kesenangan sebagai seorang pemimpin adalah ketidakpahaman
akan Wasantara dan Tannas hingga timbul perbedaan visi, persepsi,
interpretasi, dan menimbulkan ketimpangan dalam rasa memiliki dan
tanggung jawab.
Melalui pemahaman Wasantara dan Tannas yang benar, akan
terlihat implementasi kepemimpinan yang mempunyai wawasan
kebangsaan serta sikap yang meletakkan penjabaran kepentingan
nasional di atas segalanya dengan diilhami visi Ketahanan Nasional.
Uraian Wasantara dan Tannas yang lebih lengkap akan dibahas
tersendiri sebagai salah satu bidang studi di luar bidang studi
Kepemimpinan Nasional.

13
BAB II
ESENSI KEPEMIMPINAN BAGI PEMIMPIN NASIONAL

1. Unsur Kepemimpinan
Sesuai dengan pengertian umum tentang kepemimpinan, dalam
setiap langkah dan permasalahan pemimpin selalu terdapat tiga unsur
yang saling berkaitan, yaitu:
a. Unsur manusia, yakni manusia yang melaksanakan kegiatan
memimpin atas sejumlah manusia lain atau manusia yang
memimpin dan manusia yang dipimpin.
b. Unsur sarana, yaitu prinsip dan teknik kepemimpinan yang
digunakan dalam pelaksanaan kepemimpinannya, termasuk
bakat dan pengetahuan serta pengalaman dari seorang
pemimpin.
c. Unsur tujuan, yakni sasaran ke arah mana kelompok manusia
tersebut digerakkan menuju suatu maksud tertentu yang
hendak dicapai bersama.

2. Watak Pemimpin
Hubungan yang harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin dalam
sebuah organisasi akan memberi warna kepemimpinan dari seorang
pemimpin. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang baik, berwatak antara
lain, sebagai berikut :
a. Pemimpin dan yang dipimpin merupakan suatu kesatuan yang
harmonis.
b. Pemimpin dan yang dipimpin mempunyai kedudukan dan
kewajiban sendiri-sendiri, tetapi tetap merupakan satu
keutuhan.
c. Pemecahan masalah organisasi dilakukan dengan musyawarah
guna menemukan solusi yang tepat.
d. Dalam mengambil suatu keputusan hendaknya tidak terjadi
dominasi mayoritas terhadap minoritas.

14
3. Memiliki Moral Dan Etika Kepemimpinan
a. Moral Kepemimpinan
Moral kepemimpinan bagi Pemimpin Nasional bersumber dari
nilai dasar Pancasila. Aktualisasi moral kepemimpinan berdasar
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara kini menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan
tantangan pembangunan nasional. Era globalisasi yang diwarnai
dengan triple T revolution (technology, telecomunication/
Transportation and tourism) tentunya akan membawa pergeseran-
pergeseran nilai yang berdampak luas pada semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Moral kepemimpinan bagi Pemimpin Nasional yang bersumber
pada Pancasila tercermin secara terpadu dalam ke lima sila dari
Pancasila:
1) Moral ketaqwaan dalam dimensi vertikal dan dimensi
horisontal. Moral ketaqwaan dalam dimensi vertikal adalah
sikap dan perilaku pemimpin yang melaksanakan ibadah
secara konsisten menurut agama yang dianutnya. Moral
ketaqwaan dalam dimensi horisontal ditandai oleh sikap
dan perilaku pemimpin yang melihat dirinya sama dengan
orang-orang yang dipimpinnya sebagai manusia ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Sikap dan perilaku menghargai
pekerjaan, mempercayai kemampuan dan menghormati
orang pada bidang pengabdiannya terpatri dalam tindak
kesehariannya sebagai pemimpin.
2) Moral Kemanusiaan. Aktualisasi moral kemanusiaan
dalam kepemimpinan bagi Pimpinan Nasional identik
dengan sikap dan perilaku pemimpin menyadari adanya
hak-hak asasi perangkat aturan kebersamaan yang
melapangkan aktualisasi HAM dalam batas-batas
tanggung jawab sosial bermasyarakat. Aktualisasi HAM
berkaitan erat pula dengan moral ketaqwaan dalam

15
dimensi horisontal yang meluangkan berkembangnya
hubungan-hubungan sosial yang akrab, saling
menghargai, dan saling menghormati di antara pemimpin
dan yang dipimpin di antara sesama pemimpin dalam
suatu tatanan kehidupan bermasyarakat.
3) Moral Kebersamaan dan Kebangsaan. Aktualisasi moral
kebersamaan berkaitan dengan moral ketaqwaan dan
moral kemanusian yang identik dengan semangat
persatuan di antara sesama warga (pemimpin dan yang
dipimpin). Mereka sadar bahwa hanya dengan semangat
kebersamaan dapat mencapai tujuan. Apabila moral
kebersamaan diterapkan dalam kehidupan bernegara
maka terbangunlah semangat kebangsaan dan semangat
pengabdian sebagai Pemimpin Nasional yang lebih
mengutamakan kepentingan nasional dari pada
kepentingan pribadi dan golongan/kelompok maupun
daerah.
4) Moral Kerakyatan. Aktualisasi moral kerakyatan dalam
kepemimpinan bagi Pimpinan Nasional ditandai oleh sikap
dan perilaku keterbukaan (transparancy), konsistensi
(consistency) dan kepastian (certainty) dalam
implementasi kebijaksanaan. Moral kerakyatan
merupakan lanjutan dari moral ketaqwaan, kemanusiaan,
dan kebersamaan yang mengharuskan pemimpin
menyatu dengan mereka yang dipimpin, menyatu dengan
rakyatnya, sehingga rakyat menjadi aspiratif, bebas dalam
batas-batas kebersamaan berbangsa, dan pemimpin
menjadi fasilatatif-dedikatif dan responsif-akomodatif
terhadap tuntutan masyarakat.
5) Moral Keadilan. Aktualisasi moral keadilan dalam
kepemimpinan bagi Pimpinan Nasional ditandai oleh sikap
dan perilaku keadilan dan kejujuran yang didasarkan pada

16
tuntutan keimanan dan ketaqwaan. Moral keadilan
berhimpit dengan semangat kebersamaan dan
kebangsaan serta kemampuan menyeimbangkan
pemenuhan hak dan kewajiban dalam kehidupan
kepemimpinan. Moral yang memiliki kredibilitas dan
kemandirian.

b. Etika Kepemimpinan
Etika kepemimpinan bagi Pemimpin Nasional berhimpitan
dengan moral kepemimpinan yang berdasarkan Pancasila. Etika
kepemimpinan merupakan tindak lanjut dari moral kepemimpinan.
Karena etika kepemimpinan bagi Pemimpin Nasional merupakan
aktualisasi nilai-nilai instrumental Pancasila yang terpatri dalam UUD
NR11945. Nilai intrumental Pancasila yang menjadi muatan UUD
NRI 1945 sebagai landasan konstitusional berbangsa dan bernegara
adalah instrumen keorganisasian, kelembagaan, kekuasaan dan
kebijaksanaan pemerintah. Selanjutnya, keempat intrumen tersebut
sekaligus merupakan instrumen dalam pemerintahan negara dan
menjadi ruang gerak etika kepemimpinan bagi Pemimpin Nasional.
Dengan demikian, maka etika kepemimpinan bagi Pemimpin
Nasional pada hakikatnya dapat dikategorikan dalam empat macam
yaitu etika keorganisasian, etika kelembagaan, etika kekuasaan, dan
etika kebijasanaan.
1) Etika keorganisasian. Ruang gerak perilaku Pemimpin
Nasional haruslah terbatas pada aturan keorganisasian
dalam pemerintahan bernegara. Prinsip-prinsip
keorganisasian yang bersifat universal seperti POAC
haruslah diterapkan secara konsisten dalam
kepemimpinan. Demikian pula mekanisme keterkaitan
fungsional antara komponen-komponen keorganisasian
/pemerintahan dalam bernegara haruslah transparan

17
sehingga meluangkan terjadinya umpan balik yang
mempercepat pembangunan.
2) Etika kelembagaan. Gerak dinamika Pemimpin Nasional
haruslah senantiasa melembaga dan kelembagaan
pemerintah perlu akomodasi terhadap perkembangan
lingkungan strategis (internal dan eksternal). Aktualisasi
etika kelembagaan dalam kepemimpinan bagi Pemimpin
Nasional akan menghasilkan gaya kepemimpinan kolektif-
konsultatif yang sangat diperlukan dalam hubungan
kepemimpinan strata atas, menengah dan bawah atau
hubungan Pemimpin Nasional di pusat dan di daerah
dalam wadah NKRI. Etika kelembagaan juga sangat
akomodatif terhadap keperluan keterkaitan fungsional
pemimpin pada segenap komponen bangsa secara
horisontal yang dapat membuahkan peningkatan
ketahanan nasional.
3) Etika Kekuasaan, Etika kekuasaan menghendaki adanya
keterbatasan pengguna kekuasaan dan menghindari
penyalahgunaan kekuasaan dan menghindari
penyalahgunaan kewenangan. UUD NRI 1945 menganut
paham konstitusional, yang sebenarnya mambatasi
kekuasaan Presiden hanya selama dua kali lima tahun.
Etika kekuasaan terkait pada adagium yang mengatakan
bahwa konstitusionalisme adalah paham/alat untuk
membatasi kekuasaan pemerintah. Etika kekuasaan pula
menghendaki pelaksanaan mekanisme ”checks and
balances" dalam komponen sistem pemerintahan guna
menghindari terjadinya pemerintahan otoritaristik dan
kekuasaan absolut. Aktualisasi etika kekuasaan yang
konsisten dengan paham konstitusional dapat
meluangkan mekanisme pergantian Pemimpinan Nasional
secara damai. "Etika kekuasaan terbatas” akan

18
melapangkan gaya kepemimpinan adaptif-antisipatif yang
sangat diperlukan dalam era globalisasi.
4) Etika kebijaksanaan. Etika kebijaksanaan identik dengan
perilaku Pemimpin Nasional yang mengutamakan
keterbukaan, kreativitas dan inisiatif, serta konsistensi.
Keterbukaan meluangkan efektifitas artikulasi kepentingan
kreativitas dan inisiatif meluangkan seni agregasi
kepentingan dan konsistensi melapangkan implementasi
kebijaksanaan secara efisien dan efektif. Etika
kebijaksanaan yang melekat pada perilaku Pemimpin
Nasional akan menghasilkan gaya kepemimpinan
responsif-akomodatif yang menyatu dengan gaya
kepemimpinan proaktif-ekstraktif, yang menjadikan
pemimpin berwibawa dan dipatuhi. Kerangka gaya
kepemipinan yang bersumber pada etika kebijaksanaan
itulah yang relevan dalam era reformasi masa kini.
Keempat jenis etika kepemimpinan di atas pada hakikatnya
haruslah menyatu dalam praktik kepemimpinan yang dilakukan oleh
Pemimpin Nasional pada segenap komponen bangsa baik dalam
tatanan hierarki maupun dalam tatanan horisontal. Aktualisasinya
pada diri sang pemimpin harus menyatu dan tersistem serta
membangun sistem etika kepemimpinan nasional berdasarkan
Pancasila. Sistem etika kepemimpinan bagi Pemimpin Nasional
seharusnya merupakan salah satu sentra pengembangan strategi
kepemimpinan nasional indonesia.
Para Pemimpin Nasional pada level baik infrastruktur,
suprastruktur maupun substruktur politik harus memiliki moral dan
etika kepemimpinan yang terkandung dalam nilai-nilai dasar
Pancasila dan melakukannya secara konsisten dalam perilaku
kesehariannya. Pada level insfrastruktur perlu terpatri budaya
kompromi dan rasa persatuan dan kesatuan dalam implemtasi
berbagai kebijaksanaan serta peraturan perundang-undangan yang

19
ada. Pada level suprastruktur dan substruktur politik perlu menjadi
sumber aspiratif dan berpartisipasi aktif dalam dinamika melalui
penciptaan kondisi keterbukaan. Konsistensi dan kepastian hukum
dalam implementasi kebijakan Pemimpin Nasional pada infrastruktur
yang didukung oleh suprastruktur dan substruktur politik akan sangat
menentukan efektivitas kepemimpinan nasional . Dalam kondisi
seperti ini memberi arti bahwa supra, infrastruktur dan substruktur
akan memiliki akseptabilitas dari kalangan masyarakat luas,
kebijakan pemerintah mendapatkan legalitas, masyarakat baik
secara individual maupun kolektif merasa terkait karena keabsahan
dari berbagai kebijakan pemerintah tersebut. Kondisi yang
diharapkan seperti itu memerlukan upaya peningkatan keterpaduan
fungsional dalam suatu mekanisme kebijakaan dan strategi yang pro
aktif dan antisipatif.

4. Memiliki Integritas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas adalah mutu, sifat,
atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki
potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan dan kejujuran.
Menurut Mario Teguh (motivator), mengatakan bahwa integritas adalah
kesetiaan kepada yang benar. Hal ini sejalan dengan pengertian integritas
menurut Wikipedia yang berarti suatu konsep yang menunjuk konsistensi
antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Nilai dan prinsip ini tentunya
tidak lepas dari kebenaran. Oleh karena itu orang yang memiliki integritas
pasti akan menjadi orang yang jujur dan menyukai keadilan.
Integritas ini dibutuhkan oleh siapa saja, tidak hanya pemimpin
namun juga yang dipimpin. Integritas sebagai pemimpin dapat membawa
yang dipimpin menjadi lebih baik. Pemimpin yang memiliki integritas
hanya akan berpikir bahwa dirinya itu melayani siapa saja yang
dipimpinnya, bukan sebaliknya. Sedangkan seorang pengikut yang
memiliki integritas berpikir bahwa dirinya harus melayani pemimpin
selama pemimpin itu benar sesuai nilai prinsip dan moral. Dengan

20
demikian akan terjadi pelayanan dua arah dimana memberikan kontribusi
yang sangat positif untuk menunjang pembangunan organisasi yang
berkelanjutan. Pemimpin yang melayani pengikut bisa menjadi adii. Hal ini
membuat pengikutnya senang dan mengikuti apa yang diperintahkan
karena mereka yakin bahwa pemimpin tersebut memiliki integritas dan
lebih banyak benarnya.
Integritas berhubungan dengan dedikasi atau pengerahan segala
daya dan upaya untuk mencapai satu tujuan organisasi. Integritas ini yang
menjaga seseorang supaya tidak keluar dari jalurnya dalam mencapai
sesuatu. Seorang Pemimpin Nasional yang berintegritas, tidak akan
mudah korupsi atau memperkaya diri dengan menyalahgunakan
wewenang. Seorang Pengusaha yang berintegritas tidak akan
menghalalkan segala cara supaya usahanya lancar dan mendapatkan
keuntungan tinggi. Singkatnya, orang yang memiliki integritas tetap terjaga
dari hal-hal yang mendistruksi dirinya dari tujuan mulia.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Pemimpin Nasional yang
memiliki integritas lebih menyukai proses yang benar untuk menghasilkan
sesuatu yang benar. Hasil tidak menjustifikasi proses dan proses tidak
menjustifikasi hasil, keduanya harus berjalan dengan baik dan benar.
Pemimpin Nasional yang berintegritas tidak akan menggunakan jalan
pintas, apalagi mendapatkan sesuatu dengan cara meretas. Integritas
adalah lawan katanya munafik. Orang yang munafik bersikap/berperilaku
tidak sama dengan kata-kata yang diucapkan, sedangkan orang
berintegritas melakukan hal sesuai dengan yang ia katakan. Silat lidah tak
berlaku bagi orang yang memiliki integritas karena ia adalah orang yang
mengatakan bisa jika memang bisa dan mengatakan tidak bisa jika
memang ia tidak mampu.
Pemimpin Nasional yang memiliki integritas secara teruji, dibuktikan
pada setiap jabatan publik yang diemban, karena dengan integritasnya
yang kuat terhadap tujuan mulia tidak akan tergoda untuk melakukan hal-
hal yang merugikan negara dan bangsanya, sekalipun ada peluang dan
kesempatan untuk melakukannya.

21
5. Memiliki Karakter Bangsanya
Karakter bangsa dibentuk oleh berbagai campuran dari sifat-sifat
yang ada, seperti: ketaqwaan, ketulusan, kejujuran, kebanggaan,
keterbukaan, kerja keras, dan tanggung jawab serta semangat untuk
berprestasi. Karakter bangsa akan muncul sebagai keterpaduan dan
keseimbangan dari berbagai karakteristik moral di atas. Oleh karena itu,
karakter bangsa Indonesia harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai
tradisi yang dimiliki dipadukan dengan konteks bangsa yang ada seperti,
lembaga-lembaga, kebiasaan-kebiasaan, dan kebudayaan bangsa serta
agama yang dianut oleh warga bangsa Indonesia, sebagaimana yang
tercantum dalam Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945. Karena
karakter adalah system daya juang yang menggunakan nilai-nilai moral
yang terpatri pada diri kita yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku
(Soemarno Soedarsono, 2010).
Karakter bangsa juga sangat erat kaitannya dengan sistem politik
yang ada. Bahkan konstitusi suatu bangsa merupakan cerminan karakter
bangsa yang bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa karakter bangsa
merupakan suatu basis untuk melahirkan kesadaran nasional dan jiwa
patriotisme bangsa yang merupakan fondasi bagi terwujudnya bangsa
yang mandiri, merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu untuk membangun
karakter bangsa, semua komponen bangsa harus mengambil peran,
antara lain lewat pendidikan dalam arti luas yang dapat diperankan oleh
keluarga, media massa, pemerintah dan lembaga pendidikan atau
pendidikan formal.
Karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang
khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan
perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah
rasa dan karsa serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.
Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif
kebangsaan Indonesia yang khas, yang tecermin dalam kesadaran,
pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, UUD Negara

22
RI Tahun 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan
komitmen terhadap NKRI. Oleh karena itu Pemimpin Nasional harus
memiliki karakter bangsanya.
Pembangunan karakter bangsa yang sudah diupayakan dengan
berbagai bentuk, hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal. Hal itu
tecermin dari kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang masih besar,
kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai wilayah di seluruh pelosok
negeri, masih terjadinya ketidakadilan hukum, pergaulan bebas dan
pornografi yang terjadi di kalangan remaja, kekerasan dan kerusuhan,
korupsi yang merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat. Saat
ini banyak dijumpai tindakan anarkis, konflik sosial, penuturan bahasa
yang buruk dan tidak santun,dan ketidaktaatan berlalu lintas. Masyarakat
Indonesia yang terbiasa santun dalam berperilaku, melaksanakan
musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai
kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan
gotong royong mulai cenderung berubah menjadi hegemoni kelompok-
kelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku tidak jujur.
Semua itu menegaskan bahwa lemahnya karakter bangsa yang
bermuara pada (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila
sebagai filosofi dan ideologi bangsa, (2) keterbatasan perangkat kebijakan
terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila,(3) bergesernya
nilai moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (4)
memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budayabangsa,(5) ancaman
disintegrasi bangsa, dan (6) melemahnya kemandirian bangsa.

6. Memiliki Komitmen
Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan
perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini
mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan
organisasi yang intinya mendahulukan misi organisasi dari pada
kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009). Menurut Meyer dan Allen 1991
(dalam Soekidjan, 2009), komitmen dapat juga berarti penerimaan yang

23
kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan individu
berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap
bertahan di organisasi tersebut.
Menurut Van Dyne dan Graham 2005 (dalam Muchlas, 2008), faktor-
faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah: personal,
situasional dan posisi. Personal mempunyai ciri-ciri kepribadian tertentu
seperti, kepribadian ektrovert, berpandangan positif (optimis), cenderung
lebih komit. Lebih 'anjut Dyen dan Graham 2005 (dalam Muchlas, 2008)
menjelaskan karakteristik dari personal yang ada yaitu: usia, masa kerja,
pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dan keterlibatan kerja.
Situasional yang mempunyai ciri-ciri dengan adanya: nilai (value) tempat
kerja, keadilan organisasi, karakteristik pekerjaan, dan dukungan
organisasi. Sedangkan posisional dipengaruhi oleh masa kerja dan tingkat
pekerjaan.
Menurut Quest 1995 (Soekidjan, 2009) indikator-indikator perilaku
komitmen yang dapat dilihat pada karyawan adalah :
a. Melakukan upaya penyesuaian, dengan cara agar cocok di
organisasinya dan melakukan hal-hal yang diharapkan, serta
menghormati norma-norma organisasi, menuruti peraturan dan
ketentuan yang berlaku.
b. Meneladani kesetiaan, dengan cara membantu orang lain,
menghormati dan menerima hal-hal yang dianggap penting
oleh atasan, bangga menjadi bagian dari organisasi, serta
peduli akan citra organisasi.
c. Mendukung secara aktif, dengan cara bertindak mendukung
misi memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan menyesuaikan
diri dengan misi organisasi.
d. Melakukan pengorbanan pribadi, dengan cara menempatkan
kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi,
pengorbanan dalam hal pilihan pribadi, serta mendukung
keputusan yang menguntungkan organisasi walaupun
keputusan tersebut tidak disenangi.

24
7. Memilki Kompetensi
Kompetensi mengandung pengertian pemilikan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan tertentu
(Rustyah, 1982). Kompetensi dimaknai pula sebagai pengetahuan,
keterampilan, dan nilai- nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan
berfikir, dan bertindak. Kompetensi dapat pula dimaksudkan sebagai
kemampuan melaksanakan tugas yang diperoleh melalui pendidikan
dan/atau latihan (Herry, 1998).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah
kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu
hal. Menurut Finch dan Crunkilton dalam Mulyasa (2004: 38) bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas,
ketrampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang
keberhasilan. Hal itu menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas,
ketrampilan sikap dan apresiasi yang harus dimiliki peserta didik untuk
dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis
pekerjaan tertentu.
Sedangkan menurut Broke dan Stone (Uzer Usman, 2007:14)
kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang
tampak sangat berarti. Selanjutnya kompetensi menurut UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan: pasal 1 (10), “Kompetensi adalah kemampuan
kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan”.
Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum
Inti Perguruan Tinggi mengemukakan “Kompetensi adalah seperangkat
tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai
syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas di bidang pekerjaantertentu”. Association K.U. Leuven
mendefinisikan bahwa pengertian kompetensi adalah peingintegrasian
dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkan untuk
melaksanakan satu cara efektif.

25
Robert A. Roe (2001) mengemukakan definisi dari kompetensi yaitu:
Competence is defined as the ability to adequately perform a task, duty or
role. Competence integrates knowledge, skills, personal values and
attitudes. Competence builds on knowledge and skills and is acquired
through work experience and leaming by doing. Dari definisi di atas
kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan
satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan
pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi,
dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang
didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan.
Jadi dapat dikatakan bahwa kompetensi adalah sebuah pernyataan
terhadap apa yang seseorang harus lakukan ditempat kerja untuk
menunjukan pengetahuannya, keterampilannya dan sikap sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan, disamping itu juga harus mencakup lima
dimensi dari kompetensi:
a. Task skills - mampu melakukan tugas per tugas.
b. Task management skills-mampu mengelola beberapa tugas
yang berbeda dalam pekerjaan
c. Contingency management skills : tanggap terhadap adanya
kelainan dan kerusakan pada rutinitas kerja.
d. Environment skills/job role : mampu menghadapi tanggung
jawab dan harapan dari lingkungan kerja/ beradaptasi dengan
lingkungan.
e. Transfer skills: Mampu mentransfer kompetensi yang dimiliki
dalam setiap situasi yang berbeda (situasi yang baru/ tempat)
Memperhatikan batasan pengertian tentang kompetensi di atas,
maka kompetensi yang hams dimilki oleh Pemimpin Nasional yang diakui
oleh masyarakat dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kompetensi yang diakui oleh masyarakatnya
merupakan sesuatu yang sangat diharapkan sesuai dengan situasi dan
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pada saat itu. Apa yang
dilakukan oleh Bung Kamo pada jamannya untuk menunjukkan jadi diri

26
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka dengan
kemampuannya sebagai orator ulung dapat memberikan kepercayaan
kepada masyarakat akan keyakinan arah yang dituju sebagai suatu
bangsa. Hal yang sama juga yang ditampilkan oleh Suharto sebagai
Presiden RI ke 2, berbeda waktu dan situasi dengan Bung Karno, tetapi
juga diakui oleh masyarakat akan arah yang dituju dalam mewujudkan
tujuan nasional, demikian pula halnya dengan pemimpin nasional baik di
pusat maupun di daerah.

27
BAB III
PERMASALAHAN PEMIMPIN NASIONAL

Permasalahan yg dihadapi Pemimpin Nasional saat ini, pemicunya


ada tiga variable yg dapat diidentikasi sebagai berikut: (1) Krisis
Kepercayaan , (2) Konflik Kepentingan, dan (3) Kurangnya Sinergitas
antara Pemimpin Nasional di Pusat dan Daerah. Ketiga variable tersebut
di atas bersifat reciprocal artinya saling berhubungan timbal balik
sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

1. Krisis Kepercayaan.
Kepercayaan yang diberikan rakyat kepada para Pemimpin Nasional
bangsa Indonesia sejak Pra Kemerdekaan , Pasca Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di era Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi timbui karena rakyat membutuhkan dan mempercayai
pemimpin yang bersangkutan sesuai dengan dinamika masyarakat pada
jamannya.
Para pemimpin nasional telah datang dan pergi silih berganti, patah
tumbuh, hilang berganti. Para Pemimpin Nasional, lahir karena
kepercayaan yang diberikan oleh Institusi Negara maupun Institusi Non
Pemerintah dan Masyarakat kepada seseorang yang mekanismenya telah
diatur sesuai dengan norma dan ketentuan hukum serta peraturan per-
undang-undangan yang berlaku.
Dalam perjalanannya Pemimpin Nasional (formal) yang telah dipilih
sesuai dengan mekanisme yang disepakati, ada yang jatuh dalam masa
kepemimpinannya karena adanya krisis kepercayaan masyarakat
terhadap pemimpin tersebut, pemicunya antara lain adalah : (1) Tidak
sejalan ucapan dengan perbuatan sang pemimpin dalam bentuk janji-janji
yang diberikannya kepada yang dipimpinnya, (2) Mengabaikan penegakan
hukum dan keadilan hukum (3) Melakukan Praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN), (4) Melanggar Konstitusi, (5) Salah mengambil
keputusan Strategis yg berdampak terhadap menurunnya kesejahteraan

28
rakyat. (6) Melanggar etika moral dan agama, misalnya perselingkuhan,
pelecehan seksuai, dan lain-lain. (7) Sang Pemimpin tidak mampu
menyerap aspirasi dinamis yg sedang berkembang di dalam masyarakat
yang dipimpinnya. (8) Melakukan praktek diskriminasi, melanggar azas
kepatutan dan kepantasan serta tidak berpihak terhadap azas keadilan
dan penegakan hukum.
Keseluruhan variable pemicu timbulnya krisis kepercayaan yang
dikemukakan di atas, sangat mempengaruhi eksistensi Pemimpin
Nasional yang bersangkutan, pada gilirannya berpengaruh terhadap
Ketahanan Nasional. Sebagai contoh, runtuhnya rezim Orde Lama
maupun Orde Baru, diawali adanya ketidak percayaan rakyat yang
ditandai oleh demonstrasi para mahasiswa yang menuntut penurunan
harga dan pemberantasan terhadap KKN serta penegakan hukum.
Demikian juga jatuhnya Mantan Presiden ke IV, karena kasus Bulog Gate
serta dicopotnya jabatan para Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota
karena terbukti melawan hukum melakukan KKN. Kondisi ini yang
membuat masyarakat tidak percaya Pemilihan Presiden dilakukan melalui
Majeiis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Pemilihan Kepala Daerah
dilakukan meialui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan
menginginkan pemilihan terhadap Pemimpin Nasional (formal) yaitu
Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, diselenggarakan
Secara Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Demikian juga
Pengangkatan Para Menteri dan Pejabat Tinggi Negara lainnya seperti
Kapolri, Jaksa Agung, tidak hanya ditentukan sendiri oleh Presiden sesuai
dengan model system Presidensial, tetapai mengikut sertakan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Pemberantasan Korusi (KPK), dan
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sebelum
diputuskan oleh Presiden.
Berdasarkan uraian diatas, krisis kepemimpinan dipicu oleh berbagai
variable yang telah dikemukakan di atas, intinya, rakyat tidak
membutuhkan pemimpin nasional yang hanya pintar berpidato
menyampaikan Visi, Misi dan program kerjanya saja, tetapi rakyat

29
membutuhkan pemimpin nasional yang setiap detik mendengarkan
tangisan dan pilunya nasib serta keluhan rakyat, pemimpin yang mampu
menggunakan kekuasaannya untuk membangun kehidupan masa depan
rakyat kecil menjadi setara dengan sesama warga bangsa dimanapun
berada. Rakyat membutuhkan pemimpin yang berani membuat dan
melaksanakan kebijakan strategis yg dapat menurunkan harga- harga
bahan pokok, menyediakan kebutuhan sandang, pangan dan papan yang
layak bagi rakyat bukan pemimpin yang hanya berpihak kepada
kepentingan konglomerat nasional dan kepentingan negara asing.
Pemimpin Nasional yang dibutuhkan adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa seorang
pemimpin itu harus : (1) Ing Ngarso Sung Tulodo yaitu harus berada
didepan sebagai teladan, panutan (2) Ing Madio Mangun Karso yaitu
sedapat mungkin sering berada di tengah-tengah rakyat yg dipimpinnya
dengan cara blusukan agar dapat merasakan apa yg sedang
dirasakan/dialami oleh rakyat yg dipimpinnya, (3) Tut Wuri Handayani
yaitu; mengikuti dan memenuhi keinginan dan kebutuhan rakyat yang
dipimpinnya. Berkaitan dengan hal ini Barry Z Posner ( 2008),
Kepemimpinan dan kredibilitas tergantung pada (1) Hati dan (2)Kejujuran
bukan hanya cerdas otaknya. Kedua hal tersebut, seharusnya ada pada
setiap pemimpin nasional yaitu punya kecerdasan intelektual dan juga
kecerdasan moral/mental dan kecerdasan spiritual.
Upaya untuk menangkal sejak awal munculnya krisis kepercayaan
adalah sangat penting karena krisis kepercayaan dapat menimbulkan
effek domino atau multiflayer effek terhadap krisis multi dimensi dibidang
ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan yang akhirnya
mempengaruhi secara signifikan terhahadap ketahanan nasional bangsa.
Berdasarkan uraian di atas, bahasan peran dan fungsi pemimpin
nasional yang mampu meredam krisis kepercayaan sangatlah penting dan
menentukan. Pemimpin menunjukkan arah dan jalan yang harus ditempuh
menuju masa depan yang lebih baik melalui visi, pikiran besar, dan
konsep-konsepnya. Pemimpin harus mampu menyatakan dan mengajak

30
konstituen atau rakyatnya untuk membangun harapan dan realitas
sekaligus. Pemimpin Nasional harus berada dan bersama-sama rakyatnya
untuk bekerja keras secara bersama. Berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing. Pemimpin Nasional masa depan harus siap berkorban,
mengambil risiko, dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan atau
tidak dilakukan agar selalu tetap dipercaya oleh yang dipimpinnya. Tentu
saja karakter, asas atau esensi kepemimpinan, yakni moral dan etika,
integritas, berkarakter bangsanya dan komitmen serta kompetensi
sebagai seorang pemimpin nasional sangat dibutuhkan.
Dalam suatu krisis kepercayaan sebagaimana yang dikemukan di
atas, pemimpin nasional seharusnya memiliki sense of crisis yang tinggi,
turun ke lapangan untuk berempati dengan kondisi masyarakat dan
menyelami persoalannya, dan bilamana diperlukan dapat langsung
memimpin dan turut memecahkan persoalan-persoalan itu. Dengan
demikian, persoalan-persoalan itu bukan semata masalah yang harus
ditanggungnya sendiri melainkan terutama menjadi persoalan
pemimpinnya. Dalam suasana seperti ini, maka yang diharapkan adalah
yang mau dan mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
Keputusan cepat dan tepat lebih bermakna apabila merupakan keputusan
yang benar dan sesuai dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai kepatutan di
dalam masyarakat serta sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, tuntutan kompetensi dan profesionalisme pemimpin
nasional utamanya pemimpin nasional (formal) yang ada di lingkungan
birokrasi pemerintahan dalam rangka meningkatkan kinerja sumberdaya
aparatur, menjadi suatu kebutuhan mendesak yang secara terus-menerus
perlu diaktualisasikan kompetensinya.
Kompetensi pemimpin nasional ini, sangat tergantung dan
dipengaruhi oleh visi, misi, tujuan, tugas, fungsi dan peran
lembaga/organisasi di mana mereka menjalankan praktik
kepemimpinannya. Sebagai pemimpin nasional saat ini, seorang
pemimpin dituntut memiliki pola pikir dan mental model yang mampu
melayani dan mampu memberikan stimulan serta keteladanan untuk

31
mendorong tumbuhnya motivasi yang dipimpin agar mampu berkreasi,
berinovasi, dan berdedikasi tinggi dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik.

2. Konflik Kepentingan
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan
jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa yang memiliki tingkat pluralitas
tinggi yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, bahasa, keragaman
karakteristik budaya serta potensi , kepentingan dan kebutuhan masing-
masing daerah berbeda, serta menganut sistim multi partai namun tetap
Bhineka Tunggal Ika.
Situasi dan kondisi ini rawan terhadap munculnya konflik
kepentingan dari berbagai komunitas maupun partai politik, menuntut
seorang Pemimpin Nasional untuk mampu mengelolanya jika terjadi
konflik kepentingan dimaksud.
Konflik kepentingan adalah suatu kondisi dinamis dimana seseorang
yang menduduki posisi tertentu sebagai Pemimpin Nasional baik di pusat
maupun daerah, karena tugas dan tanggung jawabnya memerlukan
kepentingan tertentu baik secara kolektif kolegial maupun kepentingan
professional dan pribadi yang kadang-kadang bersinggungan dengan
kepentingan pihak lain. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan
pemimpin tersebut menjalankan tugasnya. Konflik kepentingan dapat
mengurangi kepercayaan terhadap seorang pemimpin atau suatu professi
karena dianggap tidak etis atau tidak memenuhi azas kepantasan.
Berdasarkan Buku Panduan Penanganan Konflik Kepentingan Bagi
Penyelenggara Negara yang Diterbitkan : Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), yang dimaksud Konflik kepentingan adalah situasi dimana seorang
penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan
berdasarkan peraturan perundang - undangan memiliki atau diduga
memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang
dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang
seharusnya.

32
Penyelenggara negara dalam hal ini adalah seseorang yang
menjabat atau pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi negara dalam wilayah hukum negara
dan mempergunakan anggaran yang seluruhnya atau sebagian berasal
dari negara, misalnya pejabat negara, pejabat publik, penyelenggara
pelayanan publik dan berbagai istilah lainnya yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan. Termasuk didalamnya semua pejabat
yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara baik dalam cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, aparat penegak hukum, organ
ekstra struktural (seperti KPK, KPU, Komisi Yudisial, dll), pelaksana
pelayanan publik, penilai, pengawas, pimpinan Bank Indonesia,
penyelenggara negara di BUMN/BHMN/BLU/BUMD.
Beberapa bentuk konflik kepentingan yang sering terjadi dan
dihadapi oleh Penyelenggara Negara yang berkolusi dengan pengusaha
menurut Komite Pemberantasan Korupsi antara lain adalah:
a. Situasi yang menyebabkan seseorang menerima gratifikasi
atau pemberian/penerimaan hadiah atas suatu
keputusan/jabatan;
b. Situasi yang menyebabkan penggunaan asset jabatan/instansi
untuk kepentingan pribadi/golongan;
c. Situasi yang menyebabkan informasi rahasia jabatan/ instansi
dipergunakan untuk kepentingan pribadi/golongan;
d. Perangkapan jabatan di beberapa lembaga / instansi /
perusahaan yang memiliki hubungan langsung atau tidak
langsung, sejenis atau tidak sejenis, sehingga menyebabkan
pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan lainnya;
f. Situasi dimana seorang penyelenggara negara memberikan
akses khusus kepada pihak tertentu misalnya dalam rekrutmen
pegawai tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya;
g. Situasi yang menyebabkan proses pengawasan tidak mengikuti
prosedur karena adanya pengaruh dan harapan dari pihak yang
diawasi;

33
h. Situasi dimana kewenangan penilaian suatu obyek kualifikasi
dimana obyek tersebut merupakan hasil dari si penilai;
i. Situasi dimana adanya kesempatan penyalahgunaan jabatan
j. Situasi dimana seorang penyelenggara negara menentukan
sendiri besarnya gaji/remunerasi;
k. Moonlighting atau outside employment (bekerja lain diluar
pekerjaan pokoknya);
I. Situasi yang memungkinkan penggunaan diskresi yang
menyalahgunakan wewenang.
Apabila kita “Flash Back” atas beberapa peristiwa yang pernah
terjadi di tanah air sebagai akibat adanya konflik kepentingan dengan
kriteria KPK di atas, maka dapat di jelaskan peristiwa-peristiwa masa lalu
yang berakibat berakhirnya kekuasaan seorang pemimpin nasional pada
beberapa rezim pemerintahan, antara iain sebagai berikut :
a. Ketika Krisis ekonomi di Indonesia benar-benar mulai dirasakan
pada bulan Februari 1998 harga dolar Amerika menembus
angka Rp. 17.G00,- dari yang sebelumnya satu dolar Amerika
hanya berkisar Rp. 2.400,-. Krisis ekonomi di Indonesia dipicu
adanya konfik kepentingan untuk memperkaya diri pribadi dan
keluarga serta kelompoknya yang diawali sejak dilakukannya
praktik perdagangan monopoli yang dilakukan oleh elit/keluarga
pemimpin nasional yang berkuasa pada saat itu dan didukung
oleh kekuatan politik yang ada. Kekuatan ekonomi yang
dibentuk penguasa yg juga menjadi pengusaha yang
menguasai perkancahan politik pada saat itu, telah mendorong
tumbuh suburnya korupsi di pelbagai lini birokrasi
pemerintahan. Dalam bidang keuangan, lembaga perbankan
lahir dengan mudah karena persyaratan pendirian yang sangat
ringan. Akan tetapi dalam perkembangannya, dana yang
dikumpulkan oleh perbankan di Indonesia lebih banyak
digunakan hanya untuk membiayai usaha dari kelompok
pemilik bank itu sendiri. Karena sebagian besar dari usaha ini

34
gagal, maka perbankan harus memikul beban kerugian yang
sangat besar. Akibatnya, likuiditas perbankan menjadi sangat
lemah. L/C yang sudah dibuka dan jatuh tempo untuk
dibayarkan, tidak dapat dicairkan oleh bank- bank di luar
negeri. Oleh karena seringnya perbankan kalah kliring, mereka
meminjam dari bank yang lain dengan bunga yang sangat
tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini, sekelompok
pengusaha perbankan mengajukan permohonan bantuan
likuiditas kepada Bank Indonesia dan terjadilah penarikan uang
negara secara besar-besaran yang diberikan kepada
sekelompok pengusaha perbankan yang dikenal sebagai kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada bulan
Nopember 1997. Di perkirakan dana BLBI tersebut sebagian
besar tidak digunakan untuk menyehatkan keuangan
perbankan di dalam negeri, melainkan dipindahkan ke luar
negeri dipakai untuk spekulasi valuta asing. Salah seorang
mantan Menteri Keuangan yang pernah memeriksa BLBI
menyebut kasus ini sebagai "perampokan bank terbesar di
dunia yang dilakukan secara terang- terangan di siang hari
bolong". Nilai tukar rupiah yang sebelum masa krisis masih bisa
bertahan pada posisi sekitar Rp. 2.250 untuk 1 dollar Amerika
telah merosot menjadi Rp. 4.000 pada saat BLBI dilakukan.
Akan tetapi hanya dalam waktu 45 hari setelah BLBI
dikucurkan, nilai tukar rupiah justru merosot empat kali lipat
hingga mencapai titik terendahnya pada pertengahan Februari
1998 senilai Rp 17.000 untuk 1 dollar Amerika. Suatu nilai tukar
yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi menimpa ekonomi
Indonesia. Sebagai dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah,
terjadinya penguasaan perekonomian di tangan sekelompok
pengusaha besar dan penumpukan kekayaan pada
sekelompok orang saja, terutama di tangan pejabat negara
yang disebut pemimpin nasional dan militer yang korup,

35
menyebabkan semakin rendahnya tingkat kepercayaan rakyat
terhadap pemerintahan yang ada pada saat itu. Dipicu oleh
pengunduran diri sejumlah Menteri Kabinet Pembangunan 2
bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri pada saat
Pemerintahan Presiden ke II yang telah berkuasa lebih dari 32
tahun terpaksa berakhir dengan dibacakannya pengunduran
diri Presiden ke II Indonesia dan dilantiknya Presiden Indonesia
ke III pada pagi hari Kamis 21 Mei 1998. Rezim Orde Baru
yang telah berkuasa dengan sangat kokoh di Indonesia,
ternyata tidak mampu untuk bisa membendung kehancuran
perekonomian.
b. Dampak adanya sistem multi partai yang kita anut saat ini,
dapat juga menimbulkan konflik kepentingan. Sebagaimana
telah kita ketahui bersama, pada Tahun 2014 jumlah partai
peserta Pemilu di Indonesia sebanyak 15 partai . Masing-
masing partai ingin menduduki kekuasan melalui Pemilihan
Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang Jurdil.
Hasil Pemilu 2014, PDI Perjuangan muncul sebagai pemenang
Pileg dengan menduduki 20% kursi di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan memenangkan Pilpres yang di dukung oleh
partai koalisi pendukungnya, sedangkan partai yang kalah
dalam Pileg maupun Pilpres membentuk koalisi di DPR sebagai
partai penyeimbang yang mengkrltisi partai pemerintah yang
berkuasa. Para pemimpin yang berasal dari partai politik inilah
yang mengawali konflik kepentingan dalam rangka
memperjuangkan kepentingan partainya baik di bidang
legeslasi maupun eksekutif dan yudikatif yang bermuara
timbulnya Dis Sinergitas Kinerja Para Pemimpin Nasional.
Sebagai contoh; Peristiwa terbentuknya Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) di DPR RI bersama Pemerintah yang
berseberangan dengan Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR. Hal
ini seharusnya tidak perlu terjadi jika kedua belah pihak lebih

36
mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan partai atau kepentingan pribadi.
Perselisihan antara KIH dan KMP dapat diakhiri dengan
baik setelah pihak KMP menyadari demi kepentingan yang
lebih besar, memberi kesempatan juga kepada pihak KIH
menduduki posisi pimpinan pada Komisi-Komisi di DPR RI.
Kasus perbedaan kepentingan antara KIH bersama Pemerintah
yang berseberangan dengan KMP di DPR sangat diharapkan
tidak terjadi lagi. Karena para anggota DPR baik yang ada di
KIH maupun KMP merupakan anggota DPR yang telah diberi
kepercayaan oleh rakyat melalui Pileg sebagi wakil rakyat yang
mendapatkan mandate sebagai Pemimpin Nasional yang harus
memperjuangkan kepentingan rakyat pemilihnya. Dengan kata
lain, para anggota DPR adalah pemimpin nasional yang
mewakili seluruh rakyat Indonesia.
Predikat Pemimpin Nasional yang diemban para anggota
DPR seharusnya lebih mendahulukan kepentingan nasional
bukan kepentingan partainya atau golongan atau pribadinya
saja. Para anggota DPR tersebut tanpa melihat dari partai
politik yang diwakilinya harus dapat secara bersama-sama
menunjukkan arah dan jalan yang harus ditempuh bangsa
Indonesia menuju masa depan yang lebih baik melalui visi,
pikiran besar, dan konsep-konsep yang juga disepakati
bersama-sama . Pemimpin Nasional harus mampu menyatakan
dan mengajak konstituen atau rakyatnya untuk membangun
harapan dan realitas sekaligus. Pemimpin Nasional masa
depan harus siap berkorban, tidak hanya memenuhi
kepentingan kelompoknya saja sehingga timbul praktek
diskriminasi, berani mengambil risiko, dan bertanggung jawab
atas apa yang dilakukan atau tidak dilakukan agar selalu tetap
dipercaya oleh yang dipimpinnya.

37
Berkaitan dengan hal ini, maka Moral dan Etika
Kepemimpinan, Integritas, berkarakter bangsanya dan
komitmen serta kompetensi sebagai Pemimpin Nasional sangat
diperlukan. Konflik kepentingan terbukti mengakibatkan krisis
ekonomi dan politik, konflik sosialpun bermunculan di
berberbagai daerah. Bangsa Indonesia yang sebelumnya
dikenal sebagai bangsa yang ramah dan memiliki tata krama
yang sangat tinggi, seolah berubah menjadi bangsa yang brutal
dan bengis. Di Ambon terjadi kerusuhan antar agama pada
tanggal 19 Januari 1999 terjadi tepat pada pada hari raya „Idul
Fitri. Di Galela, Maluku Utara terjadi pembantaian di dalam
masjid pada bulan puasa Desember 1999 dan di Poso
ditemukan ratusan mayat terapung di sungai Poso pada Mei
2000 menjelang pelaksanaan MTQ ke 19. Konflik antar suku
terjadi beberapa kali di Kalimantan antara suku Dayak dan
Madura. Di Sanggauledo pada tanggal 29 Desember 1996, di
Pontianak 29 Januari 1997 dan 25 Oktober 2000, serta di
Sungaikunyit Hulu 18 Pebruari 1997. Kejadian paling parah
terjadi di Palangkaraya pada 18 Pebruari 2001 dan
berkembang hingga ke Sampit. Konflik antar suku ini telah
menyebabkan terjadinya arus pengungsi etnis Madura ke
Surabaya dan Pulau Madura secara besar-besaran. Sejak
bulan Januari hingga Oktober 1998, di 13 wilayah Jawa dan
Madura, khususnya di daerah Tapal Kuda Jawa Timur terjadi
pembunuhan massal yang bermula dari isu pembersihan dukun
santet. Para ustadz dan kiai menjadi korban pembunuhan yang
polanya mirip dengan pembunuhan yang dilakukan oleh PKI
menjelang meletusnya G.30 S. Di Bekasi, Serang, Demak,
Bangkalan, Lumajang, Situbondo dan Probolinggo ditemukan
korban tewas dan luka-luka parah. Di Aceh telah terjadi konflik
sosial yang pada akhirnya tidak diketahui lagi siapa yang
memulainya.Tentara membunuh rakyat, rakyat membunuh

38
tentara. Rektor sebuah universitas dibantai, anggota legislatif
dan eksekutif diculik dan dibunuh. Fasilitas umum
diluluhlantakkan. Pemerintah pada akhirnya menyetujui untuk
memberikan Otonomi Khusus bagi Aceh melalui Undang-
undang Nanggroe Aceh Darussalam.
c. Pada awal Januari 2015, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh
timbulnya konflik kepentingan dan timbulnya polemik di dalam
masyarakat terkait dengan pengangkatan Calon Kapolri
berstatus tersangka yg ditetapkan Komisi Pemberantasan
Korupsi oleh Presiden RI ke VII dan sudah disetujui secara
aklamasi oleh Rapat Paripurna DPR RI. Keadaan tersebut
banyak diprotes oleh Aliansi Masyarakat Sipil, NGO dan
Relawan Salam Dua Jari. Kondisi ini sempat menimbulkan rasa
tidak percaya sebahagian masyarakat terhadap kepemimpinan
Presiden RI ke VII tersebut karena dianggap tidak sesuainya
janji-janji dulu pada saat kampanye menjadi Presiden akan
mengangkat setiap Pembantu Presiden bersih lingkungan,
bebas KKN dan memiliki Track Record yang baik. Akibat
pencalonan Kapolri berstatus tersangka oieh Presiden tersebut,
timbul sinyalemen di masyarakat yang mengatakan adanya
konflik kepentingan para elit/pemimpin nasional yang ditandai
adanya tekanan politik dari partai pendukung Presiden.
Keputusan yang diambil oleh Presiden Ke VII dengan menunda
pelantikan Calon Kapolri sampai ada keputusan hukum tetap
oleh pengadiian terhadap status tersangka Calon Kapolri,
merupakan keputusan yang bijaksana. Ujian yang cukup berat
menjelang 100 hari pemerintahan Presiden ke VII, dapat dilalui
dengan selamat . Kita semua berharap, keputusan Presiden
terkait dengan pengangkatan Kapolri tersebut tidak
menimbulkan konflik kepentingan di dalam masyarakat yang
muaranya dapat menimbulkan krisis kepercayaan terhadap

39
pemimpin nasional dan kurang sinergisnya kinerja para
pemimpin nasional tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, bahasan tentang permasalahan
Pemimpin Nasional agar mampu menghindari terjadinya konflik
kepentingan sangatlah penting dan menentukan. Konflik kepentingan
diantara Pemimpin Nasional jika terjadi harus segera diakhiri. Hal ini
disebabkan Pemimpin Nasional adalah Pemimpin yang dapat secara
bersama-sama menunjukkan arah dan jalan yang harus ditempuh menuju
masa depan yang lebih baik melalui visi, pikiran besar, dan konsep-
konsep yang juga disepakati bersama-sama. Pemimpin harus mampu
menyatukan dan mengajak konstituen atau rakyatnya untuk membangun
harapan dan masa depan yang lebih baik. Pemimpin harus berada dan
bersama-sama rakyatnya untuk bekerja keras secara bersama. Berat
sama dipikul, ringan sama dijinjing. Pemimpin Nasional masa depan harus
siap berkorban ( tidak hanya memenuhi kepentingan kelompoknya saja),
berani mengambil risiko, dan bertanggung jawab atas keputusan yang
diambilnya.

3. Sinergitas Antar Pemimpin Nasional


Sinargitas antar pemimpin nasional mutlak diperlukan, karena
sebuah negara akan maju dan berkembang sangat tergantung kepada
sinergitas kinerja para pemimpinnya. Sebaliknya, sebuah negara disebut
gagal juga sangat dipengaruhi oleh sinergitas para pemimpinnya. Sudah
banyak contoh, negeri makmur dan sentosa akibat dipimpin oleh para
pemimpin yang saling sinergi dan mampu memimpin rakyatnya secara
baik, sementara sebuah negeri bisa hancur berantakan ketika para
pemimpinannya tidak mampu saling bersinergi mengelola atau memanage
negerinya sebagai mana telah terjadi di bekas Negara Uni Sovyet,
Yugoslavia dan Negara Balkan lainnya. Ada bunyi pepatah mengatakan:
ikan bu3uk mulai dari kepalanya, Artinya jika para pemimpin ini moral dan
etikanya buruk tidak dapat saling bersinergi, maka sudah dapat dijamin
keseluruhannya juga akan menjadi busuk dan tidak akan membawa

40
kebaikan. Atas dasar argumentasi itulah, berhasil atau gagalnya sebuah
negeri tidak lepas dari sinergitas kinerja para pemimpinnya.
Oleh karena itu, sinergitas Pemimpin Nasional menjadi sangat
penting karena para pemimpin nasional dari pusat sampai ke daerah
adalah merupakan panutan dan segala-galanya bagi sebuah komunitas
atau masyarakat dan rakyat di seluruh Indonesia. Para Pemimpin yang
lurus, cepat atau lambat, kepemimpinanya akan membawa pada
kemaslahatan atau kebaikan. Kuncinya, adalah satunya pikiran, perkataan
dan perbuatan pada diri sang pemimpin.
Beberapa indikasi yang menjadi faktor penyebab timbulnya tidak
sinerginya para pemimpin nasional di Indonesia antara lain adalah
sebagai berikut :
a. Ego Sektoral.
Di dalam Pemerintahan, masing-masing sektor memiliki visi,
misi maupun program sendiri - sendiri dalam rangka melaksanakan
tugas pokoknya. Dengan alasan untuk mewujudkan visi, misi,
program dan tugas pokoknya tersebut, sering menimbulkan ego
sektoral yang pada gilirannya memunculkan konflik kepentingan,
apalagi jika menteri yang bersangkutan berbeda partai politik dengan
menteri yang berseberangan partai politik dengan menteri yang
bersangkutan. Kasus yang sedang hangat saat ini adalah tarik
menarik penanganan penggunaaan dana pembangunan desa
triliunan rupiah antara Menteri Dalam Negeri dengan Menteri
Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi seharusnya segera
diakhir demi kepentingan nasional sekaligus terwujudnya sinergitas
diantara pemimpin nasional di bawah kepemimpinan Presiden RI Ke
VII saat ini.

b. Otonomi Daerah
Era Otonomi Daerah menimbulkan sekat-sekat kepemimpinan
antara pusat dan daerah serta antar daerah yang dapat
menimbulkan sifat etno sentris. Artinya, era otonomi daerah yang

41
mengistimewakan secara berlebihan putra daerah untuk menduduki
jabatan pimpinan di institusi tertentu tanpa mempertimbangkan
kompetensi dan professionalisme yang dimiliki yang bersangkutan.
Akibatnya, dengan keterbatasan pengalaman, wawasan maupun skill
dan kompetensi yang bersangkutan, dapat berbenturan dengan
kepentingan nasional yang lebih besar . Dalam hubungan inilah
seorang pemimpin nasional yang berkualitas dan bijaksana harus
mampu menampung kebinekaan yang sangat dibutuhkan bangsa ini,
tidak hanya kualitas yang bersifat fisik, intelektual atau moral semata
tapi juga kualitas pemimpin yang mampu membumi sehingga
menyatu dengan sikap karakter dan perilaku masyarakatnya, untuk
itu diharpkan Pemimpin Nasional didaerah, baik di provinsi maupun
di kabupaten/kota di seluruh wilayah NKRI, harus mampu
mengakomodir dan mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal
sesuai dengan daerahnya masing-masing.
Kompetensi pemimpin nasional, sangat tergantung dan
dipengaruhi oleh visi, misi, tujuan, tugas, fungsi dan peran
lembaga/organisasi di mana mereka menjalankan praktik
kepemimpinannya. Sebagai pemimpin nasional dituntut untuk
memiliki pola pikir dan mental model yang mampu melayani dan
mampu memberikan stimulan serta keteladanan untuk mendorong
tumbuhnya motivasi yang dipimpin agar mampu berkreasi,
berinovasi, dan berdedikasi tinggi dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya dengan baik,

c. Multi Etnis, Muti Agama dan Multi Kultur.


Sebagaimana kita ketahui bersama , bangsa Indonesia terdiri
dari lebih kurang 700 bahasa etnis dan lebih kurang 358 suku dan
200 sub suku bangsa, dengan komposisi agama 88,1 % Islam,
7,89% Nasrani, 2,5 % Hindu, 1 % Budha, 1 % kepercayaan dan
Kong Hu Chu, yang mempunyai adat istiadat sikap, perilaku, dan
lokal wisdom masing-masing yang berbeda muiai dari Sabang

42
sampai Merauke, sehingga dengan demikian akan berpengaruh
terhadap sikap, perilaku dan kualitas dan rawan terhadap perbedaan
kepentingan yang pada gilirannya menimbulkan tidak sinergisnya
kinerja pemimpin nasional demi memenuhi kepentingan kelompok
yang dipimpinnya , sehingga diperlukan karakter pemimpin nasional
yang berkarakter bangsanya, sehigga dapat diharapkan mampu
beradaptasi dengan situasi dan kondisi pluralis tersebut. Disinilah
pentingnya seorang pemimpin nasional yang visioner dan
negarawan yang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi
masyarakat dalam Kebinekaan namun tetap Tunggal Ika.
Sebagaimana diakui oleh para peneliti, bahwa keberhasilan
seorang pemimpin dalam mengambil keputusan, sangat bergantung
pada situasi yang dihadapi (Kinicki & Kreitner, 2003; Robbins, 2002).
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa kurang berhasilnya
Pemimpin Nasional dalam menjalankan peran kepemimpinannya,
tidak bisa semata-mata dilihat pada individu pemimpin tersebut,
tetapi harus dilihat secara lebih luas, yang meliputi hal-hal yang
berkaitan dengan situasi yang dihadapi, situasi para bawahan yang
dipimpin, bagaimana sistem yang dianut, semua ikut berpengaruh
terhadap efektifitas seorang pemimpin.
Berkaitan dengan upaya untuk memahami situasi, ada suatu
teori kepemimpinan dengan pendekatan situasional model
Indonesia, tetapi kurang banyak dikembangkan. Sebagimana telah
dikemukakan terdahulu, Ki Hajar Dewantara dengan Taman
Siswanya telah mengajarkan bahwa seorang guru (yang dalam
pendekatan paedagogik berarti memimpin) harus bisa bersikap ”ing
ngarsa sung tuiadha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Ketika di depan memberi contoh, di tengah membangun
karsa/kehendak, memberi inspirasi, di belakang memberi semangat,
memotivasi.
Meskipun pada awalnya ajaran tersebut lebih ditujukan untuk
menjelaskan peran guru, tetapi sebenarnya maknanya bisa diperluas

43
dan ditangkap lebih dalam. Bahwasanya seorang pemimpin, harus
menyesuaikan perilaku kepemimpinannya berdasarkan posisinya di
antara bawahan. Seorang pemimpin memiliki setidaknya tiga peran
utama, yaitu memberi contoh (asung tuiadha) yang bila dibandingkan
dengan teori kepemimpinan situasional dari Hersey & Blanchard
berarti telling. Selanjutnya peran utama kedua yaitu membangun
kehendak (mangun karsa), memprovokasi bawahan agar bergerak
mencapai tujuan, memberi inspriasi agar bawahan berkreasi, tentu
saja dengan ikut terlibat bersama bawahan. Peran ini dalam
kepemimpinan Situasional Hersey & Blanchard menggambarkan
perilaku selling dan participating. Peran berikutnya adalah
menyemangati dari belakang (handayani), ketika bawahan sudah
mampu melakukan tugasnya. Dalam peran ini, agak sulit
dibandingkan dengan delegating dari Hersey & Blanchard, karena
seorang pemimpin tetap harus supporting, memberi dukungan.
Tentang ajaran Ki Hajar Dewantara ini, Naga (2006) memaknainya
sebagai demokrasi dan kepemimpinan secara terpisah.
Selanjutnya menurut Naga, dengan mengutip dari hasil
penelitian Kenji Tsuchiya, bahwa ajaran Ki Hajar Dewantara
merupakan gabungan dari demokrasi dan kepemimpinan. Dalam hal
tertentu berlaku demokrasi dan dalam hal tertentu lainnya berlaku
kepemimpinan. Demokrasi itu tampak pada ajaran Ki Hajar
Dewantara berkenaan dengan ing madya mangun karsa. Demokrasi
demikian memiliki misi untuk membangun, dalam hal ini membangun
karsa. Tampaknya juga bahwa kepemimpinan berkenaan dengan ing
ngarsa sung tuladha. Kepemimpinan demikian memiliki misi untuk
memberi teladan. Masalahnya adalah kapan demokrasi berhenti dan
kepemimpinan dimulai serta kapan kepemimpinan berhenti dan
demokrasi dimulai. Kepemimpinan memiliki misi dan misi itu menjadi
pedoman bagi sang pemimpin.
Demokrasi membangun karsa dan kepemimpinan menunjukkan
keteladanan. Apa yang disampaikan Naga dalam tulisannya tersebut,

44
sebenarnya ia ingin memberikan penekanan, bahwa ketika seorang
pemimpin telah ditentukan (melalui suatu proses demokrasi), maka
kewajiban kita semua untuk mengikuti apa yang ditetapkan oleh
pemimpin yang terpilih tersebut, kewajiban kita untuk menjadi
pengikut yang baik agar terlaksana kepemimpinan yang baik pula.
Yang terjadi di Indonesia selama ini adalah, semua merasa bisa
memimpin, semua ingin memimpin, tetapi tidak semua bisa dipimpin.
Semua mencoba menjadi pemimpin, tetapi tidak ada yang belajar
untuk menjadi yang dipimpin.Tidak ada pemimpin tanpa ada yang
mengikuti.Jadi, ketika demokrasi telah dijalankan, dan kepemimpinan
dimulai, maka peran masing-masing harus dijalani, memimpin atau
dipimpin.
Dari berbagai uraian dan pembahasan di atas, dapat dikatakan
bahwa, Permasalahan Pemimpin Nasional yang disebabkan adanya
krisis kepercayaan, konflik kepentingan dan kurang sinergisnya para
pemimpin nasionai di Indonesia adalah karena tidak ada rasa saling
percaya (trust) antara pemimpin yang satu dengan lainnya, antara
pemimpin dengan yang dipimpin, antara yang dipimpin dengan yang
memimpin, dapat menimbulkan krisis multi dimensi. Padahal, saling
percaya merupakan kunci kepemimpinan yang efektif.

4. Kearifan Lokal Kepemimpinan


Berbagai pikiran di era reformasi menilai bahwa salah satu kunci
kesuksesan Pemimpin Nasional adalah karena adanya pemahaman yang
mendalam dalam menerapkan kearifan lokal. Definisi khusus kearifan
lokal memang belum ada. Namun, menyimak narasi dan elaborasi
pemikiran, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal adalah perilaku
kepemimpinan yang mampu mengkombinasikan antara kepentingan-
kepentingan tanpa mengabaikan masalah lokal (budaya). Seperti
diketahui, pemimpin formal, nonformal dan informal harus terintegrasi di
dalam Pemimpin Nasional. Dalam kaitannya dengan kearifan lokal, semua

45
suku dan budaya yang dimiliki NKRI berintegrasi ke dalam budaya
nasional yang tecermin pada dasar negara, yaitu Pancasila.
Jika dilakukan perbandingan antara gelar pengorganisasian
pemerintah di zaman perjajahan Belanda dan zaman setelah
kemerdekaan (khususnya di era Orde Baru), sadar atau tidak sadar sudah
terjadi distorsi kebijakan terhadap kearifan lokal. Penyeragaman struktur
dan sebutan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nompr 5
Tahun 1979, tentang Pemerintah Desa, sangat jelas telah terjadi
nasionalisasi yang mematikan kearifan lokal. Ada suatu pola
ketergantungan terhadap pemerintah yang pendekatannya lebih
cenderung kepada penggunaan kewenangan dan kekuasaan. Peraturan
ini telah menimbulkan benturan yang sangat rentan dalam tatanan
kehidupan masyarakat berupa ketidakpuasan dan kecemburuan sosial
lainnya. Di antaranya dapat dilihat dari kasus kejadian konflik horizontal di
beberapa daerah seperti Ambon, Maluku, Kalimantan, dan Poso
sebagaimana yang dikemukakan di atas. Dalam pendekatan Ketahanan
Nasional, dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut menyebabkan
terjadinya kerapuhan Ketahanan Nasional di Daerah. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini akhirnya kebijaksanaan yamg ditempuh
adalah melalui pendekatan budaya dengan cara mengoptimalkan
pemanfaatan pemimpin informal. Kebijaksanaan seperti ini pernah
dilakukan oleh pemerintah penjajahan Belanda dalam upaya memperkuat
posisinya sebagai penjajah. Ketika itu, gelar struktur pemerintahan di
Indonesia secara umum hanya sampai tingkat distrik (setingkat
kabupaten), sementara kabupaten ke bawah diserahkan kepada struktur
budaya lokal (misalnya, di Sumatera Barat sesuai dengan nagari adat,
artinya pimpinan nagari (distrik) tersebut adalah dari tokoh adat.
Dalam kaitannya dengan era reformasi, desentralisasi melalui
otonomi daerah yang telah berlangsung saat ini belum terlaksana dengan
baik, walaupun UUD NRI 1945 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 204
yang sekarang diganti dengan UU No.23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah mengamanatkan masalah tersebut. Masalah ini

46
terjadi di antaranya disebabkan Pemimpin Nasional (1) mungkin tidak
menghayati arti strategis dan perlu atau pentingnya kearifan lokal, (2)
mungkin sudah merasakan enaknya pendekatan kewenangan dan
kekuasaan untuk memengaruhi rakyat secara paksa, dan (3) kontrol
tingkat Pusat terhadap pelaksanaan ini bisa dikatakan tidak ada.
Di masa mendatang, dalam mengubah kemajemukan dari potensi
ancaman menjadi suatu kekuatan nasional, maka kearifan lokal secara
nasional perlu dikembangkan tanpa merugikan warisan struktur budaya
(adat) yang telah diterima dan diakui masyarakat. Di zaman prasejarah,
ketika berbagai suku bangsa di dunia masih hidup mengembara atau
belum menegara, di sana tampak secara jelas keberadaan dan peranan
kepemimpinan informal (informal leaders). Keberadaan para pemimpin
informal di tengah masyarakat kelompok Itu berlangsung secara alami,
tanpa direkayasa seperti yang terjadi pada berbagai organisasi
masyarakat dewasa ini yang kelembagaannya sudah terstruktur.
Keberadaan para pemimpin informal itu terbentuk oleh timbulnya
kepercayaan dan pengakuan dari kelompok masyarakat lingkungannya
karena ia memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan anggota
masyarakat lainnya. Dengan demikian, status pemimpin informal itu
sesungguhnya hanya berlaku selama kelompok masyarakat di
lingkungannya masih menaruh kepercayaan, memberi pengakuan, dan
bersedia menerimanya sebagai pemimpin mereka.
Sehubungan dengan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri
kepemimpinan informal yang dimaksud, antara lain, terbentuk
berdasarkan kepercayaan dan pengakuan, berlangsung selama pemimpin
kelompok memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu, tidak menerima
penunjukan secara formal atau legitimasi dari pemerintah, tidak
memperoleh gaji, serta tidak mempunyai atasan (bertanggung jawab
secara pribadi). Ciri lain kepemimpinan informal ialah mereka tidak dapat
dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri atas kesalahan yang
diperbuatnya. Sanksi yang diterima mungkin hanya respek dari

47
kelompoknya yang berkurang, tergantung dari besar atau kecilnya
kesalahan yang diperbuatnya.
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa
dalam perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda dan pendudukan
Jepang, kemudian merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dan
akhirnya mengisi kemerdekaan itu dengan pembangunan, ternyata
banyak melibatkan dan mengedepankan peranan para pemimpin informal.
Di samping itu, masih belum lepas dari ingatan kita, sewaktu negara
kita sedang mengalami krisis dan di beberapa daerah dilanda berbagai
kerusuhan sosial dalam bentuk konflik vertikal dan horizontal
(sebagaimana yang dikemukakan pada permasalahan Pemimpin
Nasional), terlihat secara nyata peran pemimpin informal. Dalam konflik
tersebut, beberapa pemimpin informal, seperti tokoh agama, tokoh adat,
dan tokoh masyarakat lainnya, sangat dibutuhkan dan diperlukan untuk
mendukung dan membantu para pemimpin formal (pemerintah) dan
nonformal (organisasi sosial, kemasyarakatan) dalam mengatasi berbagai
masalah. Keterlibatan para pemimpin informal dalam berbagai peristiwa
tersebut nampak sangat jelas, terutama sebagai usaha mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan para pemimpin formal
dalam rangka menegakkan Pemimpin Nasional di daerah.
Keberadaan berbagai macam pemimpin informal di tengah
masyarakat dapat dipilah berdasarkan kemampuan dan keahliannya
dalam mengaplikasikan kepemimpinannya, antara lain tokoh agama,
pemuka adat, dan para cendekia. Status sosial seseorang diperoleh
berdasarkan berbagai faktor, antara lain faktor keturunan, kekayaan,
pendidikan, pengaiaman, karisma, dan jasa yang besar terhadap
lingkungannya.
Perkembangan peranan pemimpin informal dewasa ini ternyata
mengalami pasang surut seiring dengan sejarah perkembangan situasi
dan kondisi bangsa dan negara. Pada saat bangsa dan negara kita
sedang "surut” atau tenggelam karena menghadapi perang, konflik, dan
kerusuhan sosial, di daerah-daerah secara serentak muncul pemimpin-

48
pemimpin informal yang sangat diperlukan dan dibutuhkan untuk
membantu para pemimpin formal (pemerintah) menyelesaikan masalah-
masalah yang sedang dihadapi. Namun, setelah berbagai permasalahan
yang menjadi penyebab perang, konflik, dan kerusuhan sosial tersebut
berhasil diatasi dan dipadamkan serta kondisi dan situasi keamanan dan
kehidupan sosial juga telah berhasil dipulihkan, atau dengan kata lain
situasi dan kondisi bangsa dan negara sudah "pasang”, para pemimpin
informal tersebut secara berangsur-angsur menjadi surut atau pudar
(tetapi tidak mati atau hilang) dan akhirnya tidak lagi diperhitungkan
keberadaannya dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Memasuki era globalisasi yang menghadirkan berbagai kemajuan
teknologi komunikasi, informasi, dan transportasi, serta seiring dengan
derasnya pengaruh masuknya budaya asing di negara kita, kedudukan
pemimpin informal menjadi semakin terdesak. Fungsinya semakin
melemah dan perannya semakin memudar. Peran dan kualitasnya pun
cenderung menurun. Hal ini dapat disimak dari fenomena banyaknya
pemuka agama yang sudah tidak lagi mencerminkan kepemimpinan
agamanya atau sudah menyimpang dari kaidah-kaidah agama. Banyak
tokoh adat di beberapa daerah yang sudah tidak lagi mampu
mencerminkan aspirasi, nilai-nilai adat, dan budaya masyarakat
lingkungannya, serta banyak tokoh masyarakat termasuk tokoh pemuda
yang tidak lagi berjalan di atas rel sebagaimana mestinya. Banyak di
antara mereka yang ternyata sudah terjun ke dunia politik praktis atau
menjadi pengusaha yang berorientasi kepada duniawi atau kehidupan
materialistik untuk kepentingan pribadi sehingga peranannya sebagai
pemuka agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat menjadi semakin
merosot sehingga banyak ditinggalkan oleh umat atau kelompok
masyarakat pendukungnya. Di samping itu, pada saat ini perhatian
pemerintah terhadap para pemimpin informal juga semakin memudar atau
sangat kurang. Pemerintah bahkan belum menyentuh para pemimpin
informal tersebut untuk dibina agar bisa membantu tugas dan tanggung
jawab pemerintah dalam pembangunan nasional.

49
Di forum internasional dapat dicatat beberapa peristiwa yang
menggemparkan dunia, yang secara spektakuler melibatkan peranan
pemimpin non/informal. Kejadian runtuhnya Menara Kembar World Trade
Center (WTC) dan markas militer Amerika Serikat, Pentagon, yang
ditabrak oleh pesawat- pesawat jumbo jet pada tanggal 11 September
2001 merupakan peristiwa yang tidak pernah terlupakan oleh masyarakat
dunia, khususnya masyarakat New York dan Washington di Amerika
Serikat. Gedung Putih kemudian mengeluarkan pernyataan resmi yang
berisi tuduhan kepada Osama bin Laden, seorang pemimpin informal
yang sering menyerukan jihad, sebagai dalangnya. Lebih dari itu, Gedung
Putih juga mengatakan bahwa peristiwa 11 September 2001 itu
merupakan bentuk terorisme internasional yang harus dikutuk dan
diberantas di seluruh dunia. Sebagai rangkaian dari peristiwa tersebut,
ditingkat regional juga digemparkan dengan serangan Amerika Serikat
bersama sekutunya ke Afghanistan. Pengaruhnya pun sangat besar dan
dirasakan sampai di negara kita. Salah satu reaksi yang timbul di
Indonesia akibat serangan tersebut adalah mengemukanya beberapa
pemimpin informal dari kelompok garis keras yang mengutuk Amerika
Serikat dan mengobarkan antipati kelompok muslim ekstrim untuk
melakukan balasan.
Melalui pengertian dan pemahaman materi seperti diuraikan di atas,
terutama yang berkenaan dengan fungsi dan peran positif pemimpin
informal, dapat ditarik suatu benang merah yang dapat menunjukkan
betapa penting dan strategisnya pemimpin informal itu dalam sistem
pemerintahan negara. Di samping itu, juga dapat dilihat adanya korelasi
atau hubungan yang saling mengait antara pemimpin informal dan
pemimpin formal dalam sistem pemerintahan negara.
Hubungan antara pemimpin informal yang mempunyai peran dan
fungsi sebagai pendukung dan pembantu serta peran dan fungsi
pemerintah (pemimpin formal) sebagai pembina membuktikan bahwa
sesungguhnya pemimpin informal itu merupakan bagian dari sistem
Pemimpin Tingkat Nasional yang harus senantiasa dipelihara, dipupuk,

50
dan disemaikan agar tujuan untuk mewujudkan kondisi keamanan dan
kesejatheraan rakyat benar-benar dapat tercapai, serta mekanisme
kepemimpinan Nasional dan sistem manajemen nasional dapat
terselenggara sebagaimana tersurat dalam konstitusi negara, UUD 1945.

51
BAB IV
MODEL DAN PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN

1. Model Kepemimpinan Transformasional


Model kepemimpinan transformasional berkaitan dengan semua teori
kepemimpinan yang bertujuan menciptakan perubahan positif hubungan
antara pemimpin dan pengikut dimana mereka saling menjaga
kepentingan masing- masing dan bertindak untuk kepentingan kelompok
secara keseluruhan.
Pada dasarnya tugas seorang pemimpin adalah membangkitkan
kesadaran pengikutnya pada bidang yang luas dengan mengambil
tindakan fundamental dari seorang pemimpin yang bertujuan untuk
mendorong orang/pengikutnya untuk menyadari apa yang mereka
rasakan. Hal ini diperlukan agar pengikut dapat merasakan apa
sebenarnya yang mereka butuhkaan, sehingga mereka menentukan nilai-
nilai yang bermakna pada diri mereka dan selanjutnya diupayakan agar
mereka dapat melakukan tindakan secara sadar untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri.
Model kepemimpinan transformatif, pemimpin berupaya untuk
meningkatkan motivasi, moral dan kinerja pengikutnya. Oleh karena itu
kepemimpinan transformasional berkaitan dengan semua dimensi tentang
nilai dan makna, serta tujuan yang melampaui tujuan jangka pendek
dengan berfokus pada kebutuhan jangka menengah dan panjang.
Pada saat terjadi perubahan organisasi dan perubahan langkah
besar, banyak orang merasa tidak aman dan cemas. Dalam situasi inilah
peran yang kuat dari kepemimpinan transformatif untuk membangkitkan
semangat dan motivasi para pengikut, sehingga masa sulit dapat dilewati
dan memberikan inspirasi kepada para pengikut untuk melakukan
perubahan dalam organisasi. Namun begitu banyak orang gagal karena
para pemimpinnya hanya memperhatikan perubahan yang mereka hadapi
bukan transisi mental para pengikutnya yang merasa cemas dan perlu
dibangkitkan semangatnya.

52
Pendekatan transformasional juga tergantung pada kemampuan
pemimpin untuk menenangkan para pengikut yang berada pada posisi
ragu-ragu dengan mengembangkan motivasi dan kepercayaan pengikut,
yang didasarkan pada asumsi kuat bahwa mereka juga akan berubah
atau diubah dalam beberapa cara dengan mengikuti pemimpin.
Ada empat komponen dalam mengembangkan model kepemimpinan
transformasional, sehingga dapat diharapkan terjadinya interaksi yang
positif antara pemimpin dan pengikut. Komponen tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Karisma atau pengaruh ideal; Sejauh mana pemimpin
berperilaku dengan cara yang mengagumkan dan menampilkan
sikap menyakinkan yang menyebabkan pengikut untuk
mengidentifikasi diri dengan pemimpin yang memiliki
seperangkat nilai yang jelas dan bertindak sebagai model peran
bagi para pengikut.
b. Motivasi inspirasional; Sejauh mana pemimpin
mengartikulasikan visi yang menarik dan menginspirasi para
pengikut dengan optimisme tentang tujuan masa depan, dan
menawarkan ide-iede segar untuk pelaksanaan tugas-tugas
saat ini.
c. Stimulasi Intelektual; Sejauh mana tantangan yang
diasumsikan oleh seorang pemimpin, dapat merangsang dan
mendorong kreatifitas pengikut dengan menyediakan kerangka
kerja bagi pengikut untuk melihat bagaimana mereka terhubung
dengan (pemimpin, organisasi, satu sama lain, dan tujuan)
mereka kreatif dapat mengatasi rintangan.
d. Pribadi dan individu perhatian; Sejauh mana pemimpin hadir
untuk memotivasi pengikut guna memenuhi kebutuhan masing-
masing dan bertindak sebagai mentor atau pelatih dengan
memberikan rasa hormat dan apresiasi pada setiap individu
yang berkontribusi kepada Tim. Pemimpin mau mendengar
keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya,

53
dalam arti, pemimpin tidak membangun benteng pemisah
dengan rakyat yang dipimpinnya.
Kepemimpinan transformasional diimplementasikan dalam konteks
manajemen perubahan. Hal ini dilakukan untuk melihat perspektif holistik
dan luas dari sebuah pendekatan berbasis program untuk mengubah
manajemen dan dengan demikian merupakan elemen kunci dari strategi
yang berhasil untuk mengelola perubahan. Untuk memastikan bahwa
model kepemimpinan transformatif telah dipergunakan sebagai strategi
sukses untuk mengelola perubahan yang sesuai dengan kebutuhan
organisasi, maka seorang pemimpin mengetahui bagaimana menerapkan
ketrampilan sebagai kepemimpinan tranformatif dan bagaimana
menerapkan manajemen berbasis program.
Berkaitan dengan hal ini, Bass (1985) juga menyarankan bahwa ada
empat komponen yang berbeda dari kepemimpinan transformasional.
a. Stimulasi Intelektual Kepemimpinan transformasional tidak
hanya menantang status quo, tetapi juga mendorong kreativitas
di kalangan pengikut. Pemimpin mendorong pengikut untuk
mengekploitasi cara-cara baru dalam melakukan sesuatu dan
kesempatan baru untuk belajar.
b. Pertimbangan individual - Kepemimpinan transformasional
juga melibatkan dan menawarkan dukungan/dorongan untuk
pengikutnya. Dalam rangka membina hubungan yang
mendukung, pemimpin transformasional menjaga jalur
komunikasi tetap terbuka sehingga pengikutnya merasa bebas
untuk berbagi ide dan agar para pemimpin dapat memberikan
pengakuan langsung kepada setiap pengikutnya.
c. Inspirational Motivasi - pemimpin transformasional memiliki
visi yang jelas bahwa mereka mampu mengartikulasikan visi
organisasi kepada pengikutnya. Para pemimpin
transformasional juga dapat membantu pengikut untuk
membangkitkan motivasi dan meningkatkan kreativitas untuk
mencapai tujuan organisasi.

54
d. Pengaruh ideal - Para pemimpin transformasional berfungsi
sebagai model peran bagi pengikut. Karena kepercayaan dan
rasa hormat pengikut terhadap pemimpinnya, para pengikut
mengikuti/meniru sikap dan perilaku pemimpinnya.
Model Kepemimpinan Transformasional dalam kehidupan sehari-
hari, implementasinya dapat dilihat pada interaksi hubungan, antara lain
sebagai berikut:
a. Orang tua. Dapat menyatakan bahwa orang tua adalah
pemimpin transformasional dalam suatu kelompok kecil yang
disebut keluarga. Mereka memiliki tugas mengubah sebuah
entitas yang sangat egois dengan cara mendidik seorang anak
yang tidak mengerti tentang diri dan lingkungannya menjadi
seorang manusia yang berprestasi melebihi kemampuan orang
tuanya sendiri.
b. Pelatih. Tugas transformasional dari seorang pelatih,
ditampakkan dengan kemampuannya mengasah seorang
pemain yang berbakat menjadi pemain yang berperestasi,
bahkan prestasinya melampaui prestasi yang pernah dicapai
oleh pelatihnya. Untuk menjadi seorang pelatih yang
tranformasional, harus dapat menyuntikkan motivasi kepada
setiap pemain untuk mengembangkan potensi pada dirinya
menjadi keterampilan dalam suatu permainan. Dalam beberapa
cabang olahraga seperti basket dan sepak bola, pelatih dengan
kemammpuan tranformasionalnya dapat mengubah individu
egois menjadikan mereka pemain tim yang handal.
c. Pengusaha. Kepemimpinan transformasional pengusaha,
adalah kemampuan untuk mengembangkan potensi
enterpreneur pada dirinya dan orang lain. Kemampuan
pengusaha adalah kemampuan untuk senantiasa berbuat
sebelum orang lain memikirkan, artinya mempunyai kreativitas
tinggi dengan kesiapan menghadapi resiko gagal untuk tumbuh
dan terus berkembang.

55
Oleh karena itu dapat dikatakan kepemimpinan transformasional
terimplementasi ketika satu atau lebih orang terlibat dalam situasi
sedemikian rupa, sehingga mengangkat pemimpin dan pengikut satu
sama lain kedalam tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi. Ini
hampir dapat dikatakan seperti terbentuknya sebuah sinergi yang saling
mendukung dan kerjasama Tim, sehingga dapat mencapai hasil/kinerja
yang lebih tinggi tingkatannya.
Mahatma Gandhi merupakan contoh yang bagus dari seorang
pemimpin transformasional (mungkin juga Soekarno untuk Indonesia),
karena ia memenuhi kebutuhan pengikutnya, bukan hanya mengejar
kekuasaan semata, ia tetap peka terhadap suatu tujuan yang lebih tinggi
yakni Visinya. Dalam dirinya dia sangat yakin bahwa ia akan dapat
memenuhi kebutuhan semua yang mengikutinya.

2. Model Kepemimpinan Transaksional


Kepemimpinan transaksional sebagaimana yang dikemukakan Bums
(dalam Sudarwan Danim: 2010) yang memberikan batasan pengertian
tentang kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang
memotivasi bawahan atau pengikut dengan minat-minat pribadinya.
Kepemimpinan transaksional juga melibatkan nilai-nilai akan tetapi nilai-
nilai itu relevan sebatas proses pertukaran (exchange process), tidak
langsung menyentuh substansi perubahan yang dikehendaki. Berkaitan
dengan hal ini, Kudisch (dalam, Mulyono: 2009), mengemukakan
kepemimpinan transaksional dapat digambarkan sebagai:
a. Mempertukarkan sesuatu yang berharga bagi yang lain antara
pemimpin dan bawahannya.
b. Intervensi yang dilakukan sebagai proses organisasional untuk
mengendalikan dan memperbaiki kesalahan.
c. Reaksi atas tidak tercapainya standar yang telah ditentukan.
Kepemimpinan transaksional menurut Metcalfe (2000) pemimpin
transaksional harus memiliki informasi yang jelas tentang apa yang
dibutuhkan dan diinginkan bawahannya dan harus memberikan balikan

56
yang konstruktif untuk mempertahankan bawahan pada tugasnya. Pada
hubungan transaksional, pemimpin menjanjikan dan memberikan
penghargaan kepada bawahannya yang berkinerja baik, serta
mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang berkinerja buruk.
Bernard M. Bass(dalam, Sudarwan Danim : 2010) mengemukakan
kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan di mana pemimpin
menentukan apa yang harus dikerjakan oleh karyawan agar mereka dapat
mencapai tujuan mereka sendiri atau organisasi dan membantu karyawan
agar memperoleh kepercayaan dalam mengerjakan tugas tersebut.
Selanjutnya Bass (dalam Djoko Widodo: 2009) mengemukakan
bahwa kepemimpinan transaksional memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Contingent reward, /contrak pertukaran penghargaan untuk
usaha, penghargaan yang dijanjikan untuk kinerja yang baik,
mengakui pencapaian.
b. Active management by exception, melihat dan mencari
penyimpangan dari aturan atau standar, mengambil tindakan
perbaikan.
c. Pasive management by exception, Intervensi hanya jika standar
tidak tercapai.
d. Laissez-faire, melepaskan tanggung jawab, menghindari
pengambilan keputusan.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kepemimpinan Transaksional
merupakan sebuah kepemimpinan dimana seorang pemimpin mendorong
bawahannya untuk bekerja dengan menyediakan sumberdaya dan
penghargaan sebagai imbalan untuk motivasi, produktivitas dan
pencapaian tugas yang efektif.
Perbedaan secara mendasar antara model kepemimpinan
transaksional dan transformasional yang diimplementasikan oleh seorang
pemimpin, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarwan Danim
(2010), adalah sebagai berikut:
a. Model Kepemimpinan Transformasional

57
1) Pemimpin membangkitkan emosi pengikut dan
memotivasi mereka bertindak di luar kerangka dari apa
yang digambarkan sebagai hubungan pertukaran.
2) Kepemimpinan adalah bentuk proaktif dan harapan-
harapan baru bagi pengikutnya.
3) Pemimpin dapat dibedakan oleh kapasitas mereka
mengilhami dan memberikan pertimbangan individual
(bentuk perhatian, dukungan, dan pengembangan bagi
pengikut), stimulasi intelektual (upaya pemimpin untuk
meningkatkan kesadaran terhadap permasalahan
organisasional dengan sudut pandang yang baru) dan
pengaruh ideal (membangkitkan emosi dan identifikasi
yang kuat terhadap visi organisasi) untuk pengikut.
4) Pemimpin menciptakan kesempatan belajar bagi pengikut
mereka dan merangsang pengikutnya untuk memecahkan
masalah.
5) Pemimpin memiliki visi yang baik, retoris dan keterampilan
manajemen untuk mengembangkan ikatan emosional
yang kuat dengan pengikutnya.
6) Pemimpin memotivasi pengikutnya bekerja untuk tujuan
yang melampaui kepentingan pribadi.

b. Model Kepemimpinan Transaksional


1) Pemimpin menyadari hubungan antara usaha dan imbalan
2) Kepemimpinan adalah responsif dan orientasi dasarnya
adalah berurusan dengan masalah sekarang.
3) Pemimpin mengandalkan bentuk-bentuk standar bujukan,
hadiah, hukuman dan sanksi untuk mengontrol pengikut.
4) Pemimpin memotivasi pengikutnya dengan menetapkan
tujuan dan menjanjikan imbalan bagi kinerja yang
dikehendaki.

58
e. Kepemimpinan tergantung pada kekuatan pemimpin
memperkuat bawahan untuk berhasil tawar-menawar.

3. Pengembangan Kepemimpinan
Upaya untuk mengembangan kepemimpinan pada diri seorang
pemimpin (Pemimpin Nasional) akan menentukan keberhasilannya dalam
melaksanakan perannya sebagai pemimpin. Keberhasilan seorang
pemimpin sangat didukung oleh kemampuannya untuk mengerahkan
semua potensi yang ada pada dirinya baik yang berbentuk ilmu
pengetahuan (science) maupun dalam seni (art) yang dimilikinya yang
sesuai dengan situasi dan kondisi.
Kepemimpinan yang berkualitas pada setiap diri seorang pemimpin
merupakan sosok yang sangat diharapkan muncul pada suatu organisasi
apapun bentuk organisasinya, baik organisasi formal, non formai maupun
informal, baik kecil maupun besar tidak terkecuali negara, karena dalam
pengembangan kepemimpinannya akan memberikan arah yang jelas
kepada organisasi untuk mencapai tujuannya.
Kepemimpinan yang berkualitas menjadi harapan setiap organisasi,
tidak hanya kualitas yang bersifat fisik atau intelektual semata, tetapi juga
kualitas rohani, karena akumulasi dari ketiga aspek yang meliputi fisik,
intelektual dan rohani akan memeberikan pengaruh yang sangat kuat
terhadap kualitas kepemimpinan yang diimplementasikan dalam suatu
organisasi. Berkaitan dengan hal ini John C Maxwell (1995:12-15)
mengemukakan bahwa berdasarkan kemampuan seorang pemimpim
dalam mengembangkan kepemimpinanan yang berkualitas pada suatu
oraganisasi untuk mencapai tujuan organisasinya, ada 5 (lima) tingkat
pengembangan kemampuan kepemimpinan, yakni (1) berdasarkan
kedudukan, (2) kemampuan membina hubungan, (3) karena memberikan
"hasil" bagi organisasinya, (4) pengembangan sumberdaya manusia, dan
(5) pengendalian diri, dapat diidentifikasi sebagai berikut.
a. Kedudukan atau jabatan dalam organisasi. Posisi seseorang
pada suatu organisasi, secara formal memberikan kewenangan

59
sebatas dengan posisinya. Oleh karena itu seorang yang
mempunyai posisi dalam suatu organisasi mempunyai
kewenangan untuk mengerahkan sumber daya yang ada dalam
organisasi sesuai dengan posisi yang diberikan, sehingga
setiap orang yang berada dalam hirarkhi kewenangannya
sebagai pemimpin akan mengikutinya, karena harus diikuti.
Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang pimpinan
yang mempunyai kedudukan/jabatan dalam suatu organisasi,
agar kepemimpinannya tetap efektif dalam mempengaruhi
orang-orang dipimpinnya sesuai dengan tugas, adalah:
1) Mengetahui deskripsi kerja organisasi secara menyeluruh
2) Mengetahui secara jelas sejarah organisasinya
3) Ceritakan sejarah organisasi kepada orang dalam
organisasi untuk memotivasi pembentukan Tim Kerja
4) Melakukan pekerjaan dengan keunggulan yang konsisten
5) Mengerjakan lebih banyak daripada yang diharapkan
6) Menawarkan gagasan keatif untuk perubahan dan
peningkatan

b. Kemampuan membina hubungan dengan orang yang dipimpin.


Keberadaan seorang pemimpin dalam suatu organisasi untuk
mempengaruhi orang-orang yang dipimpin agar mengikuti apa
yang diinginkan sebagai upaya untuk mencapai tujuan
organisasi sangat dibutuhkan. Pada tingkatan ini keinginan
orang-orang yang dipimpin untuk mengikuti apa yang
diharapkan oleh pemimpinnya bukan karena adanya rasa
keterpaksaan, sebagaimana yang terjadi pada tingkat pertama
(berdasarkan kedudukan), tetapi orang mengikuti, karena
berkeinginan untuk mengikutinya.
Sesuai dengan kemampuannya dalam membina
hubungan dengan orang yang dipimpinnya, maka

60
kepemimpinan seseorang yang berada pada tingkatan ini dapat
didentifikasi dalam beberapa hal, antara lain :
1) Senantiasa berupaya agar orang yang dipimpin menjadi
sukses
2) Banyak mendegar apa yang menjadi aspirasi orang yang
dipimpin
3) Mencintai orang lain melebihi prosedur yang ada dalam
organisasi
4) Masalah diselesaikan dengan pendekatan "Menang-
menang".

c. Kepemimpinan seseorang yang dapat memberikan "hasil"


untuk organisasinya. Pada tingkatan ketiga, efektivitas
kepemimpinan seseorang ditentukan oleh "hasil: yang
dicapainya untuk organisasi yang dipimpinnya. Orang yang ada
dalam organisasi mengikuti apa yang dilakukan oleh
pemimpinnya, bukan karena keterpaksaan atau hubungan
semata, tetapi karena pemimpinnya dapat memberikan "hasil"
yang bersifat monumental untuk organisasi.
Efektivitas kepemimpinan pada tingkatan ketiga ini dapat
diidentifikasi dalam beberapa hai, antara lain:
1) Menerima, dan melaksanakan tanggung jawab untuk
pertumbuhan
2) Menjadikan deskripsi kerja dan energi serta
kemampuannya sebagai bagian integral dalam upaya
mewujudkan tujuan organisasi
3) Mengembangkan rasa tanggung jawab untuk memberikan
"hasil", dengan mulai dari diri sendiri
4) Ketahui dan lakukan hal-hal yang memberikan hasil
besar/monumental
5) Komunikasikan strategi dan wawasan organisasi
6) Ambilah keputusan sulit yang akan membuat perubahan

61
d. Melakukan pengembangan sumber daya manusia dalam
organisasi. Pada tingkatan keempat, efektivitas kepemimpinan
seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh
kedudukan/jabatan, kemampuan membina hubungan dan
adanya kontribusi "hasil" untuk organisasi saja, tetapi juga
karena adanya kemauan dan kemampuan untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang ada dalam
organisasi sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi,
oleh karena itu orang yang ada dalam organisasi mengikuti
kepemimpinan seorang pemimpin, karena mereka mengetahui
apa yang dilakukan untuk mereka.
Keberadaan seorang pemimpin yang melaksanakan
pengembangan sumberdaya manusia pada organisasinya
untuk mencapai tujan organisasi, dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
1) Menyadari bahwa Manusia adalah aset yg paling berharga
2) Memberi prioritas lebih pada pengembangan sumber daya
manusia
3) Mengembangkan kepemimpinan bagi yang dipimpin
4) Memiliki kemampuan untuk menentukan pengembangan
mereka yang terbaik dalam pencapaian tujuan bersama.

e. Kemampuan menguasai pribadi pada seorang pemimpin.


Pengembangan kepemimpinan pada tingkat kelima, merupakan
pengembangan pada diri seorang pemimpin untuk menjadi
pemimpin sejati, yakni kepemimpinan yang didasarkan pada
kerendahan hati yang ditunjukkan dengan kemampuan
menguasai pribadinya. Dengan kemampuan menguasai
pribadi, membuat orang termotivasi untuk mengikutinya karena
mereka mengetahui secara tepat siapa pemimpinnya, apa
kepentingannya dan siapa yang diwakilinya.

62
Kepemimpinan sejati yang ditunjukkan dengan
kerendahan hati dan menguasai pribadinya sendiri,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh sosok seorang negarawan.
Sebagai seorang negarawan dan pemimpin besar yang dapat
membawa bangsanya menjadi kearah yang lebih baik bagi
negara dan bangsanya. Eksistensi kepemimpinan yang dapat
menguasai pribadi pada seorang pemimpin, dapat dilakukan
identifikasi terhadap hal-hal sebagai berikut:
1) Pengikutnya sangat loyal dan mau berkorban untuk
pemimpinnya
2) Melewati waktu yang cukup lama membimbing dan
mencetak pemimpin
3) Menjadi negarawan/konsultan, dan dicari-cari oleh orang
lain
4) Kegembiraannya yang terbesar adalah memperhatikan
orang lain untuk terus tumbuh dan berkembang
5) Dapat mengatasi organisasi

63
BAB V
PENUTUP

Berdasarkan deskripsi tentang Kepemimpinan Nasional


sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, kita dapat menemukan
bahwa nilai-nilai atau moral dan etika Kepemimpinan bagi Pemimpin
Nasional bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa yang diyakini
kebenarannya dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Dalam pelaksanaan Kepemimpinan bagi Pemimpin Nasional, situasi
dan kondisi yang dihadapi pada setiap kurun waktu berbeda. Namun
demikian, ada kesamaan tujuan yang akan dicapai dalam kehidupan
nasional yang merupakan sesuatu yang mendasar bagi Pemimpin
Nasional, yaitu menginginkan negara yang merdeka dan berdaulat;
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur; bangsa yang hidup dalam
suasana persatuan dan kesatuan; masyarakat yang penuh
keseimbangan, keserasian dan keselarasan, spiritual, dan materiil. Para
pendiri NKRI dengan arif merumuskan sikap budaya bangsa yang
berdasarkan Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bersumber pada nilai-nilai Pancasila para pendahulu kita telah
merumuskan Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional Indonesia
dan Ketahanan Nasional yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia pada
setiap saat dalam rangka mencapai tujuan nasionalnya. Implementasinya
sangat ditentukan oleh peran strategis Pemimpin Nasional yang cerdas
nalar dalam memahami permasalahan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Untuk mendalami materi tentang Pemimpin Nasional para peserta
PPRA/PPSA harus mempelajari bab dan sub bab pada modul ini secara
keseluruhan, sedangkan untuk Kepemimpinan Visioner dan
Kepemimpinan Kenegarawan dibahas pada Modul 5 sampai 9.

Jakarta, Januari 2015

64
DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar. 2006 (Cetakan Kedelapan). Emotional Spiritual


Emotional (ESQ). Jakarta: Arga

Calne. Donald B. 2005 (cetakan ketiga). Batas Nalar: Rasionalitas dan


Perilaku Manusia (terjemahan Parakitri T. Simbolon). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.

Badudu-Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar


Harapan, Jakarta

Baswir, Revrisond (2005) Seratus Hari Tanpa Kejutan. Harian Republika,


31 Januari 2005

Effendi, Bachtiar. 2002. “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living


Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fransisco, Budi Hardiman. 1990. Kritik dan Ideologi, Pertautan


Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius: Yogyakarta.

Harefa, Andrias. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas


Media Nusantara.

Kinicki, Angelo dan Kreitner, Robert .2003. Organizational Behavior, Key


Concepts, Skills and Best Practices. New York: McGraw-Hill/Irwin

Konvensi Nasional IKAL II, 3 Januari 2004, "Sosok Pemimpin Nasional


2004 -2009”, Yogyakarta.

Kristiadi, J. .2006. Refleksi Dua Tahun Pemerintahan SBY-JK.


http://www.lsi.or.id/liputan/165/refleksi-dua-tahun-pemerintahan-by-
jk

Lemhannas RI. 2003. Srategi Kepemimpinan Nasional di Era


Keterbukaan. Jakarta: Lemhannas RI.

________ . 2009. Indeks Kepemimpinan Nasional Indonesia (Konsep &


Implementasi). Jakarta: Lemhannas RI.

Michaelson. 1998. The Art of War for Managers (Sun Tzu). Jakarta.

Milne, Peter (ed) .2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di


Indonesia. Jakarta: INDOPOV

65
Mukaram, Marwansyah. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Bandung: Pusat Penerbit Administrasi Niaga Politeknik Negeri,
Bandung.

Muladi, Kazan Gunawan. 2007. Transformasi Geopolitik, Pusat Pengkaji


Strategi Nasional. Jakarta.

Muladi, Adi Sujatno. 2009. Raktat Etis Kemimpinan Nasional dan IKNI,
Jakarta

Mulyono. 2009, Educational Leadership (Mewujudkan Efektivitas


Kepemimpinan Pendidikan). Malang: UIN Malang Press,

Mulyani, Sri. 1998. Mengukur Sikap Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Naga, Dali S. 2006. Kepemimpinan dan Demokrasi. Warta Untar, Vol. 2


No. 6

Osborne, David dan Ted Gaebler. 1992. Mewirausahakan Birokrasi.


Jakarta.

Pokja Kepemimpinan Lemhannas. 2000. Kepemimpinan Nasional.


Jakarta: Lemhannas, Rasyid, Riyaas. 2000. Makna Pemerintahan,
Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta.

Rosali. 1994, Seluk Beluk Filsafat. Bandung: Rosdakarya.

Robbins, Stephen P. 2002. The Truth about Managing People. New York:
Prentice-Hall Setiardja, Gunawan. 1995. Hak-Hak Asasi Manusia
Berdasarkan Ideologi Pancasila. Kanisius: Yogyakarta

Sudarwan Danim. 2010 Kepemimpinan Pendidikan (Kepemimpinan


Jenius (IQ+EQ), Etika, Perilaku Motivational dan Mitos), Bandung:
Alfabeta Sidharta, Harry dan Syah Mu i amis. 2006. Transcendential
Quotient (IQ), Jakarta: Soesatyo, Bambang .2007 Kempemimpinan
Nasional. Harian Suara Karya, 2 Januari 2007

Stogdill, Ralph.M. 1974. A Hanbook of Leadership, New York: The Free


Press.

Tead, O. 1985. The Ari of Leadership. New York: McGraw-Hill,.

Universitas Terbuka, 199S. Kepemimpinan, Jakarta.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance Telaah dari Dimensi Akutabilitas


dan Kontrol Birokrasi. Surabaya Insan Cendekia,

66
Yudnoyono, Susilo Bambang. 2000. Mengatasi Krisis Menyelamatkan
Reformasi. Jakarta.

Zainun, Buchari. 1996 Wanajemen dan Motifasi. Jakarta: Balai Aksara.

67

Anda mungkin juga menyukai