Anda di halaman 1dari 4

Nama : Aqshal Naufal Mahdi

Kelas : Ilmu Perpustakaan dan Informasi 2-D


Mata Kuliah : Pranata Sosial Perpustakaan dan Informasi

A. Pendahulan

Perubahan dan disrupsi bukan hanya sebuah jargon. Kenyataannya dewasa ini
banyak hal di dalam dan di sekitar kita yang terus menerus berubah. Politik, ekonomi,
dan teknologi adalah beberapa dari penggerak yang mengubah dunia kita dengan
cepat menjadi dunia yang kita ketahui saat ini, Perpustakaan dan pustakawan
menyadari ini, namun tidak semua dari mereka memiliki tanggapan dan memberi
respon yang sama. Hal ini merupakan tantangan yang tidak sepele bagi
kepustakawanan. Sanggupkah mereka mengimbangi perkembangan zaman, dan
menjadi agen perubahan sosial untuk masyarakat yang sudah selalu berubah-ubah
dengan cepat?

B. Pembahasan

Hal yang paling pertama harus dilakukan adalah mendefinisikan apa itu Agen
Perubahan Sosial. Agen Perubahan Sosial pada dasarnya adalah seseorang, grup, atau
suatu institusi yang berperan untuk memprakarsai dan mengontrol perubahan dalam
suatu komunitas atau organisasi. Agar dapat menjadi agen perubahan sosial,
seseorang haruslah memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Menurut Fred C.
Lunenberg, karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh agen perubahan sosial
adalah Homofili, empati, keterhubungan, kedekatan, ketertataan, berkapasitas,
terbuka, dan bersinergi. Seseorang harus memiliki setidaknya beberapa karakterisitik
tersebut sebagai fondasi dari agen perubahan sosial.

Seringkali kita lihat perubahan-perubahan yang terjadi pada perpustakaan,


terutama pada penataan fisik dari perpustakaan itu sendiri seperti perluasan gedung,
fasilitas baru, penambahan rak buku, perubahan tata letak tempat duduk, dan masih
banyak lagi. Namun segala hal tersebut jauh dari cukup untuk membuat perpustakaan
sebagai Agen Perubahan Sosial. Menjadi agen perubahan sosial bukan hanya tentang
membangun infrastruktur, namun juga membangun harapan untuk berubah dan
memberikan dasar yang jelas mengenai alasan untuk berubah dan apa yang harus
diubah. Dengan demikian, kompetensi pustakawan, baik profesionalitas maupun
kompetensi individual, sangat diperlukan. Sudah seberapa baikkah kita mengenal
komunitas kita? Seberapa terhubungkah kepustakawanan dengan komunitas
pemustaka, atau bahkan dengan masyarakat? Sudah sedalam apakah kompetensi
pustakawanan, bukan hanya mengenai hal-hal teknis, melainkan juga akademis?
Banyak pertanyaan yang perlu dijawab oleh kepustakawanan. Apakah
kepustakawanan (Perpustakaan dan Pustakawan) sudah siap dengan “persyaratan” dan
tantangan untuk memainkan peran sebagai agen perubahan sosial? Mari kita melihat
lebih lanjut ke dalam tubuh kepustakawanan itu sendiri.

Hingga saat ini rasanya sulit untuk melihat seberapa kompeten


kepustakawanan dalam domain mereka. Rumusan mengenai kompetensi yang baku
masih belum jelas. Meski kita mengetahui bahwa setidaknya pustakawan harus
memiliki kompetensi professional dan personal, tetapi sistem dan aturan main serta
materi ujiannya untuk menilai kompetensi itu sendiri masih belum memiliki definisi
yang gamblang. Lebih lanjut, pustakawan nampaknya terjebak dalam arus kerja
teknik, tak sedikit dari mereka membanggakannya. Pertanyaan yang ada selalu
tentang “Bagaimana mengoperasikannya?” dan melupakan pertanyaan mendasar pun
filosofis “Mengapa kita melakukan semua ini? Untuk siapa pekerjaan ini kita
lakukan? Bertahun-tahun berlalu, namun tidak ada perkembangan signifikan dari
pustakawan sebagai akademisi. Sudah banyak kritik dan saran terhadap
kepustakawanan, mulai dari yang konstruktif hingga anggapan remeh. Maukah kita
mendengar dan merespon semua itu, atau tetap memilih untuk tertutup dan merasa
eksklusif, mengabaikan intervensi dari luar?

Bagaimanakah dengan pandangan masyarakat mengenai kepustakawanan?


Kebanyakan masyarakat saat ini masih memandang profesi pustakawan dengan
sebelah mata. Tak jarang ada orang yang bahkan tidak mengetahui keberadaan
pustakawan sebagai profesi. Bahkan ada yang menganggap perpustakaan dijaga oleh
tukang, atau profesi pustakawan itu sendiri adalah tukang. Kita mengetahui bahwa
pekerjaan perpustakaan memiliki urutan tertentu, mulai dari pengadaan, pengolahan,
dan layanan. Semua itu ditulis dalam petunjuk teknis berupa kebijakan, dan
pustakawan dituntut untuk memenuhi aktivitas mekanis tersebut dari awal hingga
akhir kembali ke awal. Anggapan tukang muncul dari interpretasi orang-orang atas
sifat dari pekerjaan pustakawan yang seperti itu. Nama boleh jadi berubah, dari “Ilmu
Perpustakaan” ke “Ilmu perpustakaan dan Informasi”, dari “penjaga buku” ke “ahli
informasi”, namun anggapan masyarakat pada umumnya masih belum berubah.
Mengapa anggapan masyarakat seakan-akan terlihat penting pada tulisan ini?
Alasannya adalah peran yang dimainkan oleh Agen Perubahan Sosial selalu berkutat
pada masyarakat, komunitas, dan/atau organisasi. Sebelum perpustakaan mampu
menjadi Agen Perubahan Sosial, mereka harus terlebih dahulu merubah anggapan
masyarakat terhadap perpustakaan. Jika tidak, maka sampai kapanpun masyarakat
secara umum tidak akan pernah merasa membutuhkan perpustakaan. Dengan ini kita
mengetahui bahwa keterhubungan antara perpustakaan dan masyarakat masih kurang.
Pemahaman kepustakawanan terhadap komunitas mereka belum cukup dalam, dan
tanpa pemahaman tersebut, adalah mustahil bagi kepustakawanan untuk menggapai
komunitas dan menggerakan mereka menuju perubahan.

Kita tahu bahwa pustakawan selalu mengerahkan upaya dalam


menyempurnakan prosedur penyelenggaraan perpustakaan, meningkatkan kualitas
pelayan informasi. Pesatnya perkembangan teknologi informasi seakan-akan
menuntut perpustakaan untuk mengedepankan sisi fisiknya (sarana, koleksi,
teknologi). Padahal apabila kita melihat aspek sosial budaya, perpustakaan tidak dapat
dilihat dari segi fisik saja. Perpustakaan adalah tempat di mana berbagai individu
dengan latar belakang berbeda-beda bertemu. Komunikasi yang baik antara
pemustaka dan pustakawan adalah persyaratan untuk terjadinya interaksi sosial dan
membentuk hubungan antara dua pihak. Melayani kebutuhan informasi bukan hanya
menyediakan koleksi saja, tapi berhubungan juga dengan kognisi, emosi, dan budaya.
Adalah kesalahan apabila kita mengedepankan sisi fisik dan melupakan sisi sosial.
Apakah sistem yang terus dikembangkan pustakawan dapat membantu menjawab
permasalahan ini, apakah sedemikian banyaknya koleksi di perpustakaan umum dapat
menjawab permasalahan perpustakaan?

C. Penutup

Terjadinya perubahan terlebih dulu mensyaratkan adanya masalah, yakni


sesuatu yang perlu diubah. Kepustakawanan sebagai agen perubahan sosial harus bisa
menemukan permasalahan yang ada di sekitar mereka, lalu merumuskan alternatif
penyelesaian masalah, dan mengajak komunitas untuk bersama-sama melakukan
perubahan. Namun sebelum kepustakawanan dapat memikirkan permasalahan di
sekitar mereka, di luar diri mereka, mereka harus terlebih dahulu menyelesaikan dan
mengendalikan permasalahan di dalam diri mereka. Tidak mungkin bagi seseorang
untuk mengubah masyarakat sekitar jika seseorang itu sendiri bermasalah. Banyak
permasalahan yang perlu diselesaikan, banyak pertanyaan yang perlu dijawab oleh
kepustakawanan. Saat ini kepustakawanan belum mampu menjadi agen perubahan
sosial. Ada beberapa hal di mana kepustakawanan belum mampu untuk
melakukannya. Kepustakawanan belum cukup memahami pemustakanya, dan hanya
sekadar tahu apa kebutuhan informasi mereka melalui survey dan kuesioner.
Kepustakawanan masih mengedepankan hal-hal teknis dibandingkan akademis
sehingga pandangan masyarkat terhadap pustakawan masih terkesan meremehkan.
Belum ada standar kompetensi yang gamblang untuk profesi pustakawan. Terakhir,
kepustakawanan melupakan sisi sosial sebagai akibat dari tuntutan perubahan
teknologi informasi sehingga hubungan antara pemustaka dan permustaka tidak dapat
terjalin dengan baik. Bukan mustahil sebetulnya bagi kepustakawanan untuk menjadi
agen perubahan sosial, malahan perpustakaan adalah calon agen perubahan sosial dan
sudah seharusnya seperti itu. Namun untuk saat ini kepustakawanan memiliki
pekerjaan rumahnya sendiri untuk diselesaikan. Memerlukan waktu bagi
kepustakawanan sebelum akhirnya dapat tampil di tengah masyarakat yang
menawarkan perubahan positif.

D. Daftar Pustaka

Lunenburg, Fred C. (2010). Managing Change: The Role of the Change Agent. Sam
Houston State University.

Steinerova, Jela. (2001). Human Issues of library and Information Work. Information
Research, 6 (2)

Priyanyo, Sugeng. (2010). Problematika Profesionalitas Perpustakaan: Ditinjau dari


Aspek Normatif dan Sosial. UPT Universitas Dipenogoro.

http://eprints.rclis.org/6510/1/2002-MENGAPA_KITA_BELUM.pdf

Anda mungkin juga menyukai