Anda di halaman 1dari 3

Aspek moral dan etika dalam berbisnis khususnya lagi pada kegiatan studi kelayakan

bisnis telah menjadi suatu hal yang paling penting. Hasil studi kelayakan bisnis yang

berlandaskan analisis-analisis ilmiah bisa saja dimanipulasi oleh mereka yang berpikiran

sempit dan pendek, sehingga tidak lagi objektif, tetapi sudah menjadi sebuah bom waktu yang

suatu saat akan meledak dan menghancurkan tidak hanya orang-orang yang terkait pada bisnis

itu, tetapi secara makro ekonomi akan melemahkan ekonomi nasional dan dapat membuat
masyarakat luas menjadi menderita. Seperti yang telah dialami bangsa Indonesia sejak

pertengahan tahun 1997 yang lalu. Jadi etika bisnis perlu untuk tidak hanya disadari dan

diketahui, tetapi harus sudah sampai pada tahap aksi.

Sama seperti aspek-aspek lain dalam bisnis, studi kelayakan bisnis pun mengharapkan

perilaku etis dari para pelakunya. Perilaku etis ini dimaksudkan merupakan prilaku yang

mengacu kepada norma-norma atau standar-standar moral pribadi dan hubungannya dengan

orang lain agar dapat terjamin bahwa tidak seorang pun yang dirugikan. Terlalu ketat terhadap

etika adalah sulit karena terkadang dalam studi ini muncul hal-hal yang tak terduga

sebelumnya, sehingga diperlukan jalan tengah antara aturan-aturan yang ketat dan relativisme

etika. Sehingga diharapkan muncul konsensus berupa etika bagi penilaian kelayakan bisnis

yang akan dapat dijadikan sebagai pedoman antar penilai dan kliennya. Akhirnya, studi

kelayakan bisnis hendaknya dapat mengantisipasi dilema-dilema etika dan berusaha untuk

menyesuaikan metodologinya. Studi kelayakan bisnis yang beretika memerlukan integritas

pribadi dari penilai/peneliti dengan kliennya.

Agar lebih mudah dipahami penulis menyajikan bagaimana hendaknya suatu etika bagi

peneliti/penilai suatu studi kelayakan bisnis terhadap responden, asisten dan klien.

1. Etika Peneliti pada Responden

Dalam melakukan pengumpulan data, lindungi hak-hak responden, misalnya

responden tidak akan merasa dirugikan baik secara fisik maupun mental. Jika peneliti

berhubungan langsung dengan responden, jelaskanlah secara langsung tujuan dan manfaat-

manfaat yang akan didapat dari studi ini sehingga responden maklum. Ada kalanya peneliti

terpaksa melakukan penipuan misalnya dalam rangka menjaga kerahasiaan pihak ketiga.

Penipuan sebaiknya tidak dipakai sebagai usaha untuk menaikkan tingkat respons.

Jika ada kemungkinan bahwa data dapat merugikan responden, perlu mendapatkan

persetujuan tertulis terlebih dahulu dimana batasan-batasan tersebut dirinci. Bagi


kebanyakan studi kelayakan bisnis, biasanya cukup dinyatakan secara lisan saja.

Pemberitahuan kemudian kepada responden tentang hasil studi yang bersumber dari data

responden akan membuat responden mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap

penelitian. Tidak perlu seluruh hasil studi, tetapi cukuplahdari suatu aspek tertentu saja dan

dapat diinformasikan, misalnya dengan cara-cara statistic.

Yang penting adalah bahwa responden tidak hanya sekedar dimanfaatkan saja, tentu

selama yang bersangkutan menghendaki hasil studi tersebut. Didalam proses pengumpulan

data dari para responden, perlu diingat ha katas kebebasan pribadi, misalnya orang

mempunyai hak untuk menolak diwawancarai, sehingga peneliti harus meminta izin

terlebih dahulu.

2. Etika Peneliti pada Klien

Dalam suatu studi kelayakan bisnis, perimbangan pertimbangan-pertimbangan etis

terhadap klien juga perlu diperhatikan karena klien juga memilki hak atas penelitian yang

dilaksanakan secara etis. Klien ingin identitasnya tidak diketahui, misalnya dalam

melakukan riset pasar suatu produk baru atau klien akan masuk pada pasar yang baru

sehingga identitasnya tidak mau diketahu oleh pesaing. Peneliti harus menghargai

keinginan itu dan membuat rencana yang menjaga identitas kliennya. Klien mempunyai

hak untuk mendapatkan hasil studi yang berkualitas. Tetapi kadang-kadang klien

berpersepsi lain tentang apa yang dimaksud berkualitas itu, sehingga peneliti harus

mengarahkan dan menjelaskannya.

3. Etika Peneliti pada Asisten

Peneliti biasanya dibantu oleh asisten peneliti. Tidak etis jika menugaskan seseorang

asistan untuk melakukan sesuatu, misalnya melakukan wawancara langsung disuatu tempat

yang kurang aman sehingga bisa terancam secara fisik. Akibatnya dapat saja asisten

peneliti memalsukan instrument penelitian. Seharusnya, peneliti menyediakan fasilitas lain

yang membuat asistennya merasa nyaman. Peneliti harus menuntut perilaku etis dari para

asistennya. Perilaku asisten berada dibawah tanggung jawab dan pengawasan langsung

peneliti, sehingga apabila asisten berbuat curang maka penelitilah yang harus bertanggung

jawab. Maka sebaiknya asisten selain diberi pelatihan dan supervisi yang baik, juga

diberikan bekal mental yang kuat untuk tidak melakukan tindakan penyelewengan.

4. Etika Klien
Bisa saja terjadi atau bahkan sering terjadi dimana peneliti suatu studi kelayakan

bisnis diminta oleh kliennya untuk mengubah data, mengartikan data dari segi yang

menguntungkan, menghilangkan bagian-bagian dari hasil analisis data yang dianggap

merugikannya, dan sebagainya. Hal seperti ini merupakan contoh perilaku tidak etis dari

klien. Apabila peneliti menuruti kehendak klien yang seperti ini, maka hal ini merupakan

pelanggaran terhadap standar-standar etika. Hal-hal seperti ini bisa saja terjadi oleh

beberapa sebab. Misalnya, bayaran yang diterima lebih tinggi dari sewajarnya

Anda mungkin juga menyukai