Anda di halaman 1dari 15

RINGKASAN MATERI US SEJARAH

1. Cara berpikir sejarah dengan menjelaskan kronologi peristiwa proklamasi.


Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi, ada sejumlah peristiwa penting
yang terjadi. Salah satunya adalah serangan sekutu terhadap Jepang yang membuat kota
Hiroshima hancur akibat bom atom pada 6 Agustus 1945.
Setelah insiden tersebut, Jepang membentuk Panita Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai. PPKI dibentuk dengan tujuan
mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Jepang juga menjanjikan
kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Dalam situasi tersebut, Jepang malah kembali mendapat serangan bom dari sekutu
yang berlokasi kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Momen ini yang membuat Jepang
menyatakan kalah dari sekutu pada 14 Agustus 1945.
Para pemuda yang mendengar kekalahan Jepang langsung mengadakan rapat di
Gedung Bakteriologi. Hasil rapat tersebut adalah memerintahkan Wikana dan Darwis
mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun, Soekarno dan Mohammad Hatta selaku golongan tua menginginkan konsep
kemerdekaan yang lebih matang dan tidak terburu-buru. Akhirnya, Soekarno dan Moh.
Hatta diculik oleh golongan muda ke Rengasdengklok, Karawang pada 16 Agustus 1945
pukul 03.00 WIB.
Pemilihan Rengasdengklok untuk merundingkan kemerdekaan katena letaknya yang
strategis, sudah dikuasai oleh PETA, dan masyarakat di sana juga anti dengan Jepang.
Setelah golongan tua yang diwakili Soekarno, Moh. Hatta, dan Mr. Achmad Subardjo
dengan golongan muda membuat kesepakatan, proklamasi kemerdekaan akhirnya
diputuskan untuk diadakan pada esok harinya, 17 Agustus 1945.
Namun sebelum itu, dilakukan pertemuan PPKI di rumah Laksamana Maeda, Kepala
Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang, terlebih dahulu. Pertemuan tersebut bertujuan
untuk perumusan teks proklamasi yang dihadari oleh golongan tua dan golongan muda.
Setelah ditulis tangan oleh Soekarno, teks proklamasi tersebut diketik oleh Sayuti Melik.
Selanjutnya, para tokoh proklamator mendatangi rumah Soekarno yang terletak di
Jalan Pegangsaan Timur nomor 56 untuk membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus
1945. Prosesi proklamasi tersebut berjalan lancar. Pengibaran bendera Merah Putih juga
dilakukan oleh Latief Hendraningrat, Suhud Sastro Kusumo, dan Surastri Karma (SK)
Trimurti. Lalu, acara dilanjutkan dengan sambutan oleh beberapa walikota, yaitu Suwiryo
dan dr. Muwardi.
2. Corak kehidupan praaksara (fase kehidupan dan corak kehidupan)
 Terdapat 3 corak kehidupan masyarakat pada masa praaksara, yaitu :
Pola Hunian
Masyarakat praaksara memiliki dua pola hunian, yakni kedekatan dengan
sumber air dan kehidupan di alam terbuka. Pola ini bergantung dengan letak geografis
dan kondisi lingkungan di sekitar.
Biasanya, hunian yang dekat dengan sumber air dipilih lantaran air
mengundang kehadiran binatang di lingkungan sekitar. Lokasi yang dekat dengan air
juga membuat tanaman tumbuh subur. Selain itu, mayarakat juga bisa berpindah
dengan mudah lewat sungai.
Cara Berburu hingga Bercocok Tanam
Awalnya, manusia menerapkan sistem food gathering, yakni mengumpulkan
jenis tanaman yang bisa dikonsumsi. Seiring berjalannya waktu, manusia mulai
memproduksi makanan sendiri. Kemudian, mereka mulai bercocok tanam setelah
melihat biji-bijian yang tumbuh usai tersiram air hujan.
Sistem Kepercayaan
Masyarakat praaksara telah mengenal kegiatan ritual, mereka kerap melakukan
upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi tersebut, mereka akan
menempatkan benda dan barang kebutuhan hari-hari bersama mayat. Kemudian,
mayat itu dikubur bersama barang tersebut. Hal ini dilakukan agar perjalanan arwah
orang yang meninggal dapat berlangsung dengan baik.
 Kehidupan masyarakat praaksara dibagi menjadi tiga masa, yaitu:
a. Masa berburu dan mengumpulkan makanan.
Manusia purba pada masa ini selalu berpindah-pindah (nomaden) karena
tidak punya tempat tinggal tetap. Untuk mencari tempat-tempat yang
menyediakan banyak bahan makanan. Manusia purba mengumpulkan makanan
yang tersedia di alam, tanpa mengolah atau menanam lebih dulu. Alat-alat yang
digunakan pada masa ini antara lain:
1) Kapak perimbas untuk merimbas kayu, menguliti binatang, dan memecah
tulang.
2) Kapak genggam untuk menggali umbi dan memotong hewan buruan.
3) Alat serpih digunakan sebagai pisau.
Manusia praaksara membutuhkan api untuk memasak dan penerangan
pada malam hari. Pembuatan api dengan cara menggosokkan dua keing batu
yang mengandung unsur besi. Maka akan timbul percikan api untuk membakar
lumut atau rumput kering. Dalam kehidupan sosial, manusia praaksara hidup
dalam kelompok-kelompok dan membekali diri untuk menghadapi lingkungan
sekitarnya.
b. Masa bercocok tanam (Zaman Megalitikum)
Masa bercocok tanam adalah masa ketika manusia mulai memenuhi
kebutuhan hidup dengan cara pembukaan laham di hutan untuk dijadikan ladang.
Pada masa ini, manusia praaksara mulai hidup menetap di suatu tempat tinggal
sederhana secara berkelompok. Tetapi kehidupan berburu dan mengumpulkan
makanan tidak sepenuhnya ditinggalkan.
Masa ini sangat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat karena
terdapat beberapa penemuan baru seperti penguasaan sumber-sumber alam,
memelihara tumbuhan dan hewan. Alat-alat yang digunakan pada masa bercocok
tanam berasal dari batu yang telah dihaluskan, antara lain:
1) Mata panah untuk berburu.
2) Barang pecah belah dari tanah liat (gerabah).
3) Beliung persegi untuk menebang kayu dan mencangkul.
4) Kapak lonjong untuk mengolah tanah.
c. Masa perundagian
Pada masa ini manusia sudah mengenal teknologi sederhana dan
pembagian kerja. Di kehidupan pada masa perundagian, manusia purba sudah
menemukan bijih-bijih logam dan mengenal pengolahan logam. Sehingga berbagai
peralatan mulai dibuat dari logam. Pertukangan dan pengecoran logam seperti
perunggu, tembaga dan besi untuk membuat barang-barang kebutuhan rumah
tangga yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Meski sudah ada alat-alat
dari logam, tetapi manusia purba pada masa ini masih menggunakan alat-alat yang
terbuat dari batu. Akan tetapi penggunaan bahan logam tidak tersebar luas
sebagaimana penggunaan bahan batu. Karena persediaan logam masih terbatas.
3. Bukti-bukti sejarah pengaruh islam (akulturasi islam dan hindu-budha)
Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan ketika Islam masuk
tidak hanya berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan
karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya.
Beberapa contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut.
a. Masjid Kudus
Menara masjid Kudus merupakan perwujudan bangunan hasil akulturasi antara
dua kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam. Budaya Hindu-Jawa sendiri tercermindari
bangunan yang mirip candi. Sedangkan budaya Islam tercermin dari penggunaannya
untuk adzan. Cerminan akulturasi dari masjid ini juga tercermin dari corak bagian
gapura dan juga pada bagian dalam masjid yang memiliki sepasang gapura kuno yang
disebut dengan “Lawang Kembar”. 
Mungkin sekilas jika orang melihat masjid ini bukanlah seperti masjid,
melainkan bagian dari tempat suci agama Hindu. Begitulah, memang sangat kental
sekali kultur Hindu di masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus yang saat itu bertugas
untuk menyebarkan agama Islam. Sunan Kudus membangun Masjid Kudus sedemikian
rupa dengan maksud menarik minat masyarakat agar memeluk agama Islam, karena
saat itu kultur Hindus masih lekat di masyarakat. 
b. Tahlilan
Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni
budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha.
Terbukti bahwa tahlilan bukanlah murni ajaran Islam. Mengapa? Karena Nabi
Muhammad SAW pun tak pernah menganjurkan tahlilan yang hanya ditemui di
Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa peringatan terhadap orang
yang meninggal bukan merupakan tradisi Islam, melainkan tradisi Hindu-Buddha yangs
sekarang masih dilaksanakan. Dengan akulturasi budaya, Islam menghilangkan bagian-
bagian yang kurang tepat menurut pandangan Islam itu sendiri, dan disebutlah
tahlilan. Islam juga memperingati hari kematian seseorang seperti layaknya Hindu-
Buddha, namun dikemas dan dibumbui dengan ajaran Islam seperti shalawatan seperti
di atas.
c. Ziarah
Hindu-Buddha memiliki tradisi untuk memuja arwah nenek moyang salah
satunya dengan mendatangi makam arwah tersebut dan merawatnya sebaik mungkin.
Maka, Islam menghilangkan kata ‘memuja arwah’ tersebut dengan tradisi mendoakan
arwah, dengan tujuan tidak lain adalah agar keluarga yang meninggal tenang di alam
sana. 
d. Wayang
Pertunjukkan wayang telah berkembang sejak zaman Hindu-Budha untuk
menceritakan kisah para dewa. Akan tetapi, pada zaman islam wayang tersebut
dikembangkan menjadi media penyebaran agama islam yang diterima baik oleh
masyarakat pada masa itu.
4. Dampak positif kebijakan yang dikeluarkan oleh Daendels, Rafles, dan Van Den Bosh.
 Dampak positif kebijakan Herman Willian Daendels
a. Memperkenalkan uang kertas kepada masyarakat pribumi
b. Dibangunnya juga beberapa fasilitas dan infrastruktur militer seperti sekolah,
rumah sakit, barak, dan benteng pertahanan untuk melindungi Pulau Jawa dari
serangan.
c. Adanya pabrik mesiu yang didirikan bersama persenjataan dan alat-alat perang di
Surabaya dan daerah Semarang.
d. Pembangunan sarana dan prasarana yang telah dibuat pada zaman kolonialisme
salah satunya jalan raya Anyer – Panarukan.
 Dampak positif kebijakan Thomas Stamford Raffles
a. Dihapusnya sistem kerja paksa atau kerja rodi yang diterapkan oleh Daendels, dan
dilarangnya praktik perbudakan.
b. Pemberlakuan sistem sewa tanah
c. Pemberian kebebasan dalam usaha perdagangan dengan memberi kesempatan
kepada rakyat untuk menanam tanaman yang berlaku di pasar internasional
d.  Raffles mendukung komunitas ilmiah di Indonesia dan banyak mengungkap
sejarah Indonesia dalam buku History of Java yang ditulis Raffles.
e. Raffles menemukan jenis bunga baru; Rafflesia Arnoldi, Raffles juga merintis
pembentukan Kebun Raya Bogor.
 Dampak positif kebijakan tanam paksa yang diberlakukan oleh Van den Bosch
a. Rakyat mengenal sistem uang dalam kegiatan perdagangan, karena sebelumnya
menggunakan sistem tradisional, seperti barter.
b. Jaringan jalan raya menjadi sangat luas, karena pemerintah Hindia Belanda
membangun jalan demi kepentingan tanam paksa.
c. Rakyat mulai mengenal teknologi-teknologi yang digunakan dalam pengolahan
pertanian.
d. Selain teknologi, rakyat juga mengenal jenis-jenis tanaman baru yang laku di pasar
perdagangan internasional, seperti : tebu, kopi dan lada.
5. Perbedaan kehidupan ekonomi dan pendidikan pada zaman penjajahan Belanda dan
Jepang.
 Sistem pendidikan
Pada kedudukan Belanda, sistem pendidikan dibagi dan dilakukan secara
bertahap berdasarkan dengan tingkat status sosial. Pendidikan berlangsung dengan
sistem barat, mempelajari dan menggunakan bahasa Belanda yang berlangsung 3 atau
5 tahun untuk sekolah dasar.
Sedangkan Jepang, dihapuskannya sistem status sosial dan meratakan semua
status. Pendidikan sekolah dasar berlangsung selama 6 tahun dan bahasa yang
dipelajari dan digunakan adalah bahasa Indonesia. Sistem pendidikan lebih ditekankan
kepada sistem militer.
 Sistem perekonomian
Pada masa kedudukan Belanda, Belanda menerapkan sistem monopolis agar
Belanda mampu menguasai seluruh perdagangan di Indonesia.
Pada masa kedudukan Jepang, sistem perekonomian ditujukan untuk
memperkuat sistem militer. Semuanya ditujukan untuk kesejahteraan bersama agar
tercapai kemenangan dalam perang Pasifik.
6. Bentuk dan strategi perjuangan (perlawanan) serta perundingan (usaha dan upaya)
menghadapi ancaman Belanda
 Bentuk Perjuangan (Perlawanan)
a. Pertempuran Surabaya.
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak
tentara Indonesia dan pasukan sekutu. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10
November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang
pertama pasukan Indonesia dengan pasikan asing setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan salah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam
sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional perlawanan
nasional terhadap kolonialisme.
Tentara sekutu mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945,
dibawah pimpinan Brigjen Aubertin Walter Sothern (A.W.S) Mallaby yang
berkebangsaan Inggris. Kedatangan pasukan sekutu disambut baik oleh Gubernur
Jawa Timur R.M.T.A Soeryo. Kemudian antara wakil-wakil pemerintahan RI dan
Brigjen AW.S Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan
sebagai berikut :

1) Inggris berjanji mengikut sertakan Angkatan Perang Belanda


2) Disetujui kerjasama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan
ketentraman
3) Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancer
4) Inggris hanya akan melucuti senjata jepang
Pada tanggal 26 Oktober 1945 pasukan sekutu melanggar kesepakatan
terbukti melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan
membebaskan para tawanan Belanda diantaranya adalah Kolonel Huiyer.
Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamphlet-pamflet yang berisi
perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat
Surabaya dan TKR bertekad akan mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak
akan menyerahkan senjata mereka.
Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada
tanggal 27 Oktober 1945. Para pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat
melumpuhkan tank-tank Sekutu dan berhasil menguasai objek-objek vital. Strategi
yang digunakan rakyat Surabaya adalah dengan mengepung dan menghancurkan
pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian melumpuhkan hubungan
logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang gemilang walaupun
dipihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Bung Karno
beserta Jenderal D.C Hawthorn tiba di Surabaya. Dalam perundingan antara
pemerintahan RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan untuk menghentikan kontak
senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak sekutu.
Pada tanggal 30 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Gedung
Bank Internatio dan Jembatan Merah. Pertempuran itu menewaskan Brigjen A.W.S
Mallaby. Kematian Brigjen A.W.S Mallaby itu mejadi dalih bagi Inggris untuk
menggempur rakyat Surabaya dan menuntut “menyerah tanpa syarat”.
Pada tanggal 7 November 1945, pemimpin tentara Inggris yang baru,
Mayjen E.C Marsergh memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya, dengan isi
ultimatumnya adalah :
1) Rakyat Surabaya harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Brigjen A.W.S
Mallaby.
2) Rakyat Surabaya harus menyerahkan senjata dan mengibarkan bendera putih
sebagai tanda “menyerah”.
Batas waktu yang ditentukan untuk ultimatum ini adalah paling lambat
tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 WIB. Jika ultimatum tidak dilaksanakan,
maka pasukan Inggris akan mengerahkan pasukan infantri dengan senjata berat
untuk menyerbu Surabaya dari darat, laut, maupun udara.
Ultimatum ini dirasa menghina terhadap bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh
karena tepat pukul 22.00 tanggal 9 November 1945 rakyat Surabaya menolak
ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur Soeryo. Karena
penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal 10
November 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No. 4 Bung
Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya dan menciptakan pekik
persatuan demi revolusi yaitu “merdeka atau mati”. Di samping itu juga
merupakan titik balik bagi Belanda karena mengejutkan pihak Belanda yang tidak
menyangka kekuatan RI mendapat dukungan rakyat. Rakyat Surabaya tidak takut
dengan gempuran Sekutu. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul
18.00. pasukan sekutu dibawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu
divisi infantri sebanyak 10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh
kapal perang penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “mosquito” dan
“Thunderbolt”.

Pertempuran berlangsung selama tiga minggu. Dalam pertempuran di


Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik dari TKR, PRI,
BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, maupun TKR laut dibawah
komandan pertahanan Kota, Soengkono. Peristiwa 10 November ini juga tidak
lepas dari peran kaum ulama. Ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab
Hasbullah, serta kyai – kyai pesanren lainnya yang mengerahkan santri – santri
merekan dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan. Akibat pertempuran
tersebut ± 6.000 rakyat Surabaya gugur. Pengaruh pertempuran Surabaya
berdampak luas di kalangan internasional, bahkan masuk dalam agenda sidang
Dewan Keamanan PBB tanggal 7-13 Februari 1946.
Kota Surabaya memang hancur, tetapi pertempuran ini menunjukkan
suatu semangat serta sikap pantang mundur para pejuang dalam
mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang perjuangan arek – arek
Surabaya, di kota ini kemudian dibangun Tugu Pahlawan dan setiap tanggal 10
November di peringati sebagai Hari Pahlawan.
b. Pertempuran palagan Ambarawa
Kedatangan sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah
pimpinan Brigadir Jenderal Bethel semula diterima dengan baik oleh Gubernur
Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro karena akan mengurus tawanan perang. Akan
tetapi, secara diam-diam mereka bersama-sama NICA dan mempersenjatai para
bekas tawanan perang Ambarawa dan Magelang. Hal ini menimbulkan kemarahan
pihak Indonesia, maka konflik bersenjata tidak bisa dihindari.
Setelah terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu
maka tanggal 2 November 1945 Presiden Soekarno dan BrigJend Bethtel
mengadakan perundingan gencatan senjata. Berikut ini 3 dari 12 butir
kesepakatan antara pemerintah RI dan pihak sekutu :
1) Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang dalam rangka
menyelesaikan tugas pokoknya, yaitu mengurus para tahanan, tetapi dengan
jumlah yang terbatas.
2) Jalan raya antara Magelang dan Semarang tetap dibuka bagi lalu lintas tentara
sekutu dan masyarakat Indonesia.
3) Sekutu tidak akan mendukung aktifitas NICA dalam badan – badan yang
berada di bawah kekuasaannya.
Dalam kenyataannya pihak sekutu melanggar kesepakatannya, salah
satunya adalah menambah jumlah pasukannya di Magelang. Pertempuran
Ambarawa dimulai dari insiden yang terjadi di Magelang pada tanggal 26 Oktober
1945. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara
pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu.
Pertempuran Ambarawa mengakibatkan gugurnya Letkol Isdiman, Komandan
Resimen Banyumas. Posisi Letkol Isdiman kemudian digantikan oleh Letkol
Soedirman. Kehadiran Letkol Soedirman memberikan nafas baru kepada pasukan
– pasukan RI. Koordinasi diadakan kepada para komandan - komandan sektor
untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang
ke Ambarawa. Gerakan ini segera dikejar resimen Kedu Tengah dibawah
pimpinan Letnal Kolonel M. Sarbini dan meletuslah pertempuran Ambarawa.
Pasukan Angkatan muda dibawah Pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat
pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta menghadang sekutu di
desa Lambu. Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung
musuh yang bertahan dibenteng Willem, yang terletak ditengah-tengah kota
Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Kerena merasa
terjepit maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan
Ambarawa menuju ke Semarang.

c. Pertempuran Medan Area


Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27
Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari
tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hasan yang diangkat
menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oelh pemerintah untuk menegakkan
kedaulatan Republik Indonesia di Sumatra dengan membentuk Komite Nasional
Indonesia di wilayah itu.
Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di Sumatra Utara di
bawah pimpinan Brigadir Jenderal E.T.D. Kelly. Awalnya mereka diterima secara
baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk
membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Akan tetapi, serdadu Belanda
dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih
pemerintahan. Hal ini menimbulkan konflik dengan TKR dan BPI (Barisan Pemuda
Indonesia) pimpinan Achmad Tahir yang merupakan bekas seorang perwira
tentara sukarela.
Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober
1945. Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-
injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang
kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap
hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Setelah kejadian tersebut pada tanggal 18
Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D Kelly memberikan ultimatum kepada
pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan
oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-
papan bertuliskanFixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi Wilayah Medan) di
berbagai sudut pinggiran Kota Medan. Tulisan ini semacam “garis polisi”, yang
diyakini akan menghambat pergerakan para pemuda dan TKR terhadap pasukan
sekutu.
Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan serangan
militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur.
Pada bulan April 1946 pasukan inggris berhasil mendesak pemerintahan RI ke luar
Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar.
Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus
berjuang dengan membentuk Laskar Rakyat Medan Area.
Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi
perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukit
Tinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu
dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam
pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk
menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan
peristiwaKrueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang
Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku
Nyak Arief. Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan
demikian diseluruh Sumatra rakyat bersama pemerintah membela dan
mempertahankan kemerdekaan.
d. Bandung Lautan Api
Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari datangnya Sekutu
pada tanggal 17 Oktober 1945. Pada waktu itu para pemuda dan pejuang di kota
Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari tangan
Jepang. Oleh Sekutu, senjata dari hasil pelucutan tentara Jepang supaya
diserahkan padanya. Bahkan pada tanggal 21 November 1945, TKR dan badan –
badan perjuangan melancarkan serangan terhadap wilayah kedudukan Inggris di
bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preager yang mereka gunakan
sebagai markas. Tiga hari kemudian, sekutu menyampaikan ultimatum kepada
Gubernur Jawa Barat agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia
paling lambat tanggal 29 November 1945 dengan alasan untuk menjaga
keamanan. Oleh para pejuang, ultimatum tersebut tidak diindahkan dan
mendorong pasukan TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”. Keputusan
untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3).
Sekutu mengulangi ultimatumnya pada tanggal 23 Maret 1945 yakni agar
TRI meninggalkan kota Bandung. Menghadapi ultimatum tersebut para pejuang
kebingungan karena mendapat dua perintah yang berbeda. Pemerintah RI di
Jakarta yang diwakili oleh Komandan divisi III TRI Kolonel Abdul Haris Nasoetion
memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung. Sementara markas TRI di
Yogyakarta menginstruksikan agar Bandung tidak dikosongkan. Akhirnya para
pejuang mematuhi perintah dari Jakarta. Pada tanggal 23-24 Maret 1946 para
pejuang meninggalkan Bandung walaupun dengan berat hati. Namun sebelum
meninggalkan kota Bandung, terlebih dahulu para pejuang Republik Indonesia
menyerang ke arah kedudukan - kedudukan Sekutu sambil membumihanguskan
kota Bandung bagian Selatan. Tujuannya agar Sekutu tidak dapat menduduki dan
memanfaatkan sarana-sarana yang vital. Peristiwa ini dikenal dengan Bandung
Lautan Api. Sementara itu para pejuang dan rakyat Bandung mengungsi ke luar
kota.
 Bentuk perundingan/diplomasi (Usaha dan upaya)
a. Perjanjian Linggarjati
Perundingan Linggarjati terjadi karena Jepang menetapkan status quo di
Indonesia, menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda yang
salah satunya ditandai Peristiwa 10 November di Surabaya. Pemerintah Inggris
selaku penanggung jawab mengundang Indonesia dan Belanda untuk melakukan
perundingan di Hooge Veluwe. Namun perundingan tersebut gagal karena
Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatan atas Pulau Jawa, Sumatera, dan
Madura. Sedangkan Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Pulau Jawa dan
Madura saja.
Pada awal November 1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat
di Linggarjati. Pelaksanaan sidang-sidangnya berlangsung pada tanggal 11 - 15
November 1946. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara lain sebagai berikut:
1) Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI
atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatra. Daerah-daerah yang diduduki
Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI;
2) Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah
Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat;
3) Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang
dipimpin oleh raja Belanda;
4) Pembentukan NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai
sebelum 1 Januari 1949;
5) Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik
asing;
6) Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah
tentara;
7) Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan
menyerahkan masalahnya kepada Komisi Arbitrase.
b. Perjanjian Renville
Perjanjian Renville terjadi pada tanggal 17 Januari 1948, dan perjanjian ini
merupakan perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda, dan
perundingan ini dilaksanakan atas usulan Dewan PPB dan juga KTN (Komisi Tiga
Negara).
Perundingan dan penandatanganan perjanjian Renville ini dilaksanakan di
atas kapal untuk mengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat yang
bernama USS Renville. Dari pihak Indonesia perundingan ini diwakili oleh Mr. Amir
Syarifudin, sedangkan perwakilan pihak Belanda oleh R. Abdulkadir
Widjojoatmodjo, dia merupakan seorang Indonesia yang telah memihak kepada
Belanda. Berikut isi perjanjian renville :
1) Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai
wilayah Republik Indonesia (RI).
2) Disetujui adanya garis demarkasi antara wilayah RI dan daerah pendudukan
Belanda.
3) TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah
pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.
c. Perjanjian Roem-Royen
Perjanjian Roem-Royen ternyata diambil dari nama belakang pemimpin
delegasi kedua belah pihak, yakni Mohammad Roem dari Indonesia dan Herman
van Roijen dari Belanda. Perjanjian ini dimulai dari tanggal 14 April 1949 dan
akhirnya disepakati dan ditandatangani pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes,
Jakarta. Hal yang melatarbelakangi dibuatnya perjanjian ini adalah adanya
serangan Belanda ke Yogyakarta dan juga berhasilnya Serangan Umum I yang
dilakukan pasca proklamasi kemerdekaan. Selain itu, Belanda juga menahan para
pemimpin Indonesia dan menuai kecaman dunia internasional, terutama Amerika
Serikat dan Dewan PBB. Akhirnya, setelah didesak tekanan dari luar negeri,
perundingan Roem Royen pun dilaksanakan di bawah pengawasan UNCI (United
Nations Commission for Indonesia) perubahan dari KTN (Komisi Tiga Negara).
Berikut isi dari perjanjian Roem-Royen :
1) Indonesia menghentikan perang gerilya.
2) Indonesia bekerja sama mengembalikan keamanan.
3) Belanda menyetujui pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta.
4) Belanda menghentikan operasi militer dan membebaskan semua tahanan
perang dan politik.
5) Belanda menyetujui Republik Indonesia sebagian dari NIS (Negara Indonesia
Serikat).
6) Belanda menyerahkan kedaulatan pada Indonesia secara utuh dan tak
bersyarat.
7) Belanda memberikan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban pada Indonesia.
8) Belanda sesegera mungkin mengadakan KMB dan Indonesia akan
menghadirinya.
d. Konferensi Meja Bundar
Perjanjian Roem Royen belum menyelesaikan masalah Indonesia Belanda.
Salah satu agenda yang disepakati Indonesia-Belanda adalah penyelenggaraan
Konferensi Meja Bundar di Den Haag. KMB dibuka pada tanggal 23 Agustus 1949
di Den Haag. Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseveen dan dari UNCI
sebagai mediator adalah Chritchley. Setelah melalui pembahasan dan perdebatan,
tanggal 2 November 1949 KMB dapat diakhiri. Hasil-hasil keputusan dalam KNIB
antara lain sebagai berikut:
1) Belanda mengakui keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai
negara yang merdeka dan berdaulat. RIS terdiri dari RI dan 15 negara
bagian/daerah yang pernah dibentuk Belanda.
2) Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian, setelah pengakuan
kedaulatan.
3) Corak pemerintahan RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh para
delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung.
4) Akan dibentuk Uni Indonesia Belanda yang bersifat lebih longgar, berdasarkan
kerja sama secara sukarela dan sederajat. Uni Indonesia Belanda ini disepakati
oleh Ratu Belanda.

5) RIS harus membayar utang-utang Hindia Belanda sampai waktu pengakuan


kedaulatan.
6) RIS akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan izin baru untuk
perusahaan-perusahaan Belanda.
7. Upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan keutuhan NKRI
 Pemberontakan PKI Madiun (ideology)
Mengapa PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, di mana
mereka memiliki cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.
Berbagai upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan
Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam
PKI. Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi dan pemogokan
kaum buruh dan petani. Sebagian kekuatankekuatan bersenjata juga berhasil masuk
dalam pengaruh mereka. Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
mengecam pemerintah dan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan
Belanda yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Pernyataan Muso lebih menunjukkan
keberpihakannya pada Uni Soviet yang komunis.
Untuk menjaga keutuhan NKRI dari pemberontakan tersebut, pemerintah pun
melakukan upaya-upaya untuk memberantas pemberontakan tersebut. Upaya
tersebut antara lain :
1) Pemerintah Indonesia membentuk gerakan operasi militer yang dipimpin oleh
Kolonel Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Panglima Markas Besar
Komando Jawa menggantikan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang
sakit.
2) Pemerintah Indonesia menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer
Jawa Tengah yang mencakup Daerah Istimewa Surakarta dan sekitarnya, yang
meliputi Semarang, Pati, dan Madiun.
3) Pemerintah Indonesia menunjuk Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer Jawa
Timur.
4) Pemerintah Indonesia mengerahkan kekuatan – kekuatan tantara nasional
Indonesia yang didukung oleh kepolisian untuk menumpas kaum pemberontak PKI
di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
 Pemberontakan DI/TII (ideology)
Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia
bermula dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ia
dulu adalah salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perjanjian
Renville membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita
lamanya untuk mendirikan negara Islam.
Salah satu keputusan Renville adalah pasukan RI dari daerah-daerah yang
berada di dalam garis van Mook harus pindah ke daerah yang dikuasai RI. Divisi
Siliwangi dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa Barat dijadikan negara bagian
Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang
telah berada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah
membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum (kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa
Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menumpas pemberontakan DI/TII di
berbagai wilayah :
1) Upaya Pemerintah menumpas pemberontakan DI/TII di JAWA BARAT adalah
dengan melancarkan operami militer tanggal 17 Agustus tahun 1949. Karena
usaha ini tidak berhasil maka dilakukan operasi Bharatayuda dengan
menggunakan taktik bernama Pagar Betis.
2) Upaya Pemerintah menumpas pemberontakan DI/TII di JAWA TENGAH adalah
dengan membentuk pasukan khusus yang dinamai Banteng Raiders. Pasukan ini
menjalankan operasi militer ketat yang dinamakan GBN atau Gerakan Banteng
Negara. 

3) Upaya Pemerintah menumpas pemberontakan DI/TII di ACEH adalah dengan


mengerahkan kekuatan senjata. Namun upaya ini kemudian diubah atas saran Kol.
M. Yasin. Kemudian terjadilah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dimana
wilayah ini mendapat keistimewaan. Keistimewaan ini berhasil meredam
pemberontakan DI/TII.
4) Upaya Pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII di SULAWESI
SELATAN adalah dengan melaksanakan operasi militer yang menyeluruh untuk
menghadapi taktik gerilya Kahar Muzakkar.
5) Upaya Pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII di KALIMANTAN
SELATAN adalah dengan memberi kesempatan pada Ibnu Hajar kembali ke
pasukan, namun karena jalan damai ini gagal maka pemerintah melaksanakan
operasi militer.
 Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) (ideology)
Upaya pemerintah mengatasi G30S/PKI adalah
1) Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima Kostrad segera mengambil langkah-
langkah untuk memulihkan keamanan ibu kota.
2) Menyelamatkan dua objek vital, yaitu Gedung RRI dan pusat telekomunikasi
3) Operasi penumpasan dilanjutkan dengan sasaran Pangkalan Udara Utama/Lanuma
Halim Perdanakusuma, yang menjadi basis kekuatan G30S/PKI. Operasi ini
bertujuan untuk mencari tempat dan mengusut nasib jenderal yang diculik.
4) Operasi Lubang Buaya
 Pemberontakan Andi Aziz (kepentingan)
Pemberontakan Andi Azis meletus di kota Makassar, pada tanggal 8 April 1950.
Pemberontakan ini terjadi akibat kekecewaan para mantan serdadu KNIL. Berdasar
kesepakatan Konferensi Meja Bundar, pasukan KNIL digabung kedalam APRIS
(Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) bersama pasukan TNI.
Upaya Pemerintah dalam menumpas gerakan Andi Azis:
1) Membuat ultimatum agar Andi Azis menyerhkan diri.
2) Mengirimkan KRI Hang Tuah ke Makassar untuk melawan pemberontakan.
3) Mengirim pakuskan dibawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang
4) Menangkap Andi Azis setelah dia datang ke Jakarta.
 Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) (kepentingan)
Pemberontakan Republik Maluku Selatan terjadi pada 25 April 1959, dipimpin
oleh Chris Soumokil, mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
Pemberontakan ini terjadi akibat kekecewaan para prajurit KNIL (Tentara
Hindia Belanda) yang menolak bergabung dengan TNI dan menuntut dipertahankanya
bentuk negara serikat di Indonesia.
Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan pergolakan Republik
Maluku Selatan adalah:
1) Mengupayakan perdamaian dengan mengirim Johannes Leimana untuk berunding.
2) Setelah upaya damai gagal, pemerintah melakukan tindakan militer berupa
Operasi Pasupati untuk memberantas RMS
 Pemberontakan PRRI dan Permesta (sistem pemerintahan)
Pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera sedangkan Permesta terjadi di
Sulawesi pada tahun 1956 hingga 1958. Pada pemberontakan ini sebagian perwira
tentara di Sumatera dan Sukawesi membentuk dewan-dewan revolusi dan merebut
kekuasaan dari pemerintah pusat. Pemeberontakan ini dilandasi kekecewaan para
politis dan perwira di daerah atas kebijakan pemerintah pusat Republik Indonesia yang
berbasis di Jakarta.
Pemberontakan PRRI/Permesta ini bisa dilumbuhkan setelah operasi militer
yang dipimpin Jenderal Ahmad Yani dan Nasution merebut kota besar basis
pendukung PRRI Permesta. Sisa pemberontak menyerahkan diri setelah pemerintah
pusat memberikan amnesti atau pengampunan pada bekas pemberontak.
Pemimpin Permesta, Ventje Sumual menyerah tanpa syarat pada 1961.
Kalahnya Permesta membuat sisa pemberontak setuju berunding dan akhirnya
menyerah setelah 1961 Pemerintah melalui Keppres 322/1961 memberi amnesti
(pengampunan) bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta.
 Persoalan Negara Federal dan BFO
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha merebut
kembali wilayah jajahannya. Mereka melakukan serangan ke wilayah Indonesia dan
karena keunggulan persenjataan dan teknologi, berhasil merebut banyak wilayah
Indonesia.
Setelah menguasai kembali wilayah-wilayah ini, Belanda mendirikan negara-
negara federal. Belanda pun mengumpulkan para pemimpin negara federal ini dalam
suatu lembaga yang mereka sebut Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).
Upaya pembubaran BFO adalah dengan pembubaran negara-negara boneka
federal bentukan Belanda, yang berakibat pembubaran Republik Indonesia Serikat
(RIS) dan kembalinya bentuk negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8. Perkembangan kehidupan pada masa demokrasi liberal (Kebijakan-kebijakan pada masa
demokrasi liberal dan beralihnya liberal ke terpimpin ditandai dengan dekret presiden)
 Kehidupan ekonomi pada masa demokrasi liberal
Sebagai “negara baru”, Indonesia masih harus banyak belajar dalam berbagai
hal agar negaranya semakin kuat. Salah satunya adalah dalam bidang ekonomi. Di
masa demokrasi liberal, sering terjadi perubahan kabinet yang ternyata berdampak
pada kehidupan ekonomi Indonesia saat itu. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, ada
beberapa kebijakan yang dilakukan antara lain:
a. Gunting Syafruddin
Gunting Syarifudin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau senering
yang diambil Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Pada 20 Maret 1950,
semua uang yang bernilai Rp.2,50 keatas dipotong nilainya hingga setengahnya.
Hal ini bertujuan guna menanggulangi deficit anggaran sebesar Rp.5,1 miliar dan
bisa mengurangi jumlah uang yang beredar.
b. Program Benteng
Program Benteng adalah sistem ekonomi yang bertujuan mengubah
struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional, dengan
menumbuhkan pengusaha Indonesia lewat kredit. Sayangnya, program ini gagal
karena pengusaha tak mampu bersaing dan malah berdampak negative terhadap
deficit anggaran yang membengkak menjadi 3 miliar pada tahun 1952.
c. Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada tahun 1951, pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menaikan pendapatan, menurunkan biaya
ekspor, dan menghemat secara drastis. Dengan nasionalisasi bank yang semula
milik Belanda ini maka pemerintah lebih leluasa dalam menjalankan kebijakan
ekonomi dan moneter.
d. Kebijakan ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali Baba ini melibatkan pengusaha pribumi (Ali) dan
pengusaha keturunan Tionghoa (Baba). Lewat program ini, pengusaha keturuanan
Tionghoa diwajibkan melatih tenaga pribumi, dan imbalannya mereka akan
mendapat bantuan kredit dan lisensi dari pemerintah.
 Kehidupan Politik pada masa demokrasi liberal
Setelah kembali menjadi negara kesatuan, Indonesia menganut sistem
Demokrasi Liberal (1950–1959) dengan pemerintahan parlementer.
Sistem politik pada masa Demokrasi Liberal mendorong berkembangnya partai-
partai politik karena sistem Demokrasi Liberal menganut sistem multipartai. 
Adanya banyak partai politik yang ikut berkiprah dalam pemerintahan di
Indonesia menyebabkan munculnya persaingan antarpartai. 
Partai-partai terkuat saling mengambil alih kekuasaan yang mengakibatkan
seringnya terjadi pergantian kabinet. Pada masa Demokrasi Liberal ini, terjadi tujuh kali
pergantian kabinet. 
Kabinet-kabinet tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kabinet Natsir (September 1950–Maret 1951).
2) Kabinet Sukiman (April 1951–Februari 1952).
3) Kabinet Wilopo (April 1952–Juni 1953).
4) Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956)
5) Kabinet Ali Sastroamidjojo I ( Juli 1953–Juli 1955).
6) Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956–Maret 1957).
7) Kabinet Djuanda (Maret 1957–Juli 1959)
Meskipun terjadi banyak pergantian kabinet, pemerintah pada masa
Demokrasi Liberal berhasil menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) untuk
pertama kali di Indonesia. Pemilu pertama ini dilaksanakan pada tahun 1955.
Persiapan pelaksanaan pemilu dilakukan sejak masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I.
Namun, Kabinet Ali Sastroamidjojo I tidak bisa melaksanakan pemilu
sebagaimana rencana. Kabinet ini jatuh dan mengembalikan mandatnya kepada
Presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
Setelah itu Kabinet Burhanuddin Harahap menggantikan kabinet Ali
Sastromaidjojo 1 dan tetap melanjutkan rencana pemilu yang telah dipersiapkan
sebelumnya dan tidak mengubah tanggal pelaksanaannya. 
 Peralihan Liberal ke Terpimpin yang ditandai dengan dekret presiden yang dikeluarkan
soekarno.
Presiden Soekarno mengamati Demokrasi tidak semakin mendorong bangsa
Indonesi untuk mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan. Tapi malah sebaliknya
dari tujuan yang sudah dicita-citakan bangsa Indonesia. Sehingga Presiden Soekarno
mencetuskan sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1957. Dan baru resmi
dilaksanakan pada tahun 1959 setelah dicetuskannya dekret presiden pada 5 Juli 1959.
9. Kehidupan politik dan ekonomi pada masa orde baru (Upaya pemerintah dalam
menstabilkan perubahan ekonomi)
 Kebijakan Politik dalam negeri
1) Pelaksanaan pemilu 1971
Pemilu yang sudah diatur melalui SI MPR 1967 yang menetapkan pemilu
akan dilaksanakan pada tahun 1971 ini, berbeda dengan pemilu pada tahun 1955
(orde revolusi atau orde lama). Pada pemilu ini para pejabat pemerintah hanya
berpihak kepada salah satu peserta Pemilu yaitu Golkar.
2) Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI adalah peran ganda ABRI sebagai kekuatan pertahanan
keamanan dan sebagai kekuatan sosial politik. Sebagai kekuatan sosial politik ABRI
diarahkan untuk mampu berperan secara aktif dalam pembangunan nasional.
ABRI juga memiliki wakil dalam MPR yang dikenal sebagai Fraksi ABRI, sehingga
kedudukannya pada masa Orde Baru sangat dominan.
 Kebijakan Politik luar negeri
1) Indonesia kembali menjadi anggota PBB
Pada saat Indonesia keluar dari PBB tanggal 7 Agustus 1965, Indonesia
terkucil dari pergaulan internasional dan menyulitkan Indonesia secara ekonomi
maupun politik dunia. Keadaan ini kemudian mendorong Indonesia untuk kembali
menjadi anggota PBB berdasarkan hasil sidang DPRGR. Pada tanggal 28 September
1966, Indonesia resmi aktif kembali menjadi anggota PBB.

2) Memperkuat Kerja Sama Regional dan Internasional


Indonesia mulai memperkuat kerjasama baik regional dan internasional
dengan melakukan beberapa upaya, yaitu:
a. Turut serta dalam pembentukan ASEAN
b. Mengirim kontingen garuda dalam misi perdamaian
c. Ikut berperan dalam KTT Non Blok
d. Berperan dalam Organisasi Konferensi Islam
 Upaya pemerintah dalam menstabilkan perubahan ekonomi
1) Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
Pada April 1969, pemerintah menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) yang bertujuan untuk meningkatkan sarana ekonomi, kegiatan
ekonomi serta kebutuhan sandang dan pangan. Repelita ini akan dievaluasi selama
lima tahun sekali.
a. Repelita I (1 April 1969-31 Maret 1974) Sasaran utama yang hendak dicapai
adalah pangan, sandang, papan, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani.
b. Repelita II (1 April 1974 - 31 Maret 1979) menitikberatkan pada sektor
pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c. Repelita III (1 April 1979-31 Maret 1984) Pelita III menekankan pada Trilogi
Pembangunan dengan menekankan pada azas pemerataan.
d. Repelita IV (1 April 1984 - 31 Maret 1989) menitikberatkan pada sektor
pertanian menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri.
e. Repelita V (1 April 1989-31 Maret 1994) menitikberatkan pada sektor
pertanian untuk memantapkan swasembada pangan, meningkatkan produksi
pertanian, menyerap tenaga kerja, dan mampu menghasilkan mesin-mesin
sendiri.
f. Repelita VI dimulai pada tahun 1994, pembangunan berfokus pada pada
sektor ekonomi, industri, pertanian dan peningkatan sumber daya manusia.
2) Revolusi Hijau
Revolusi Hijau pada dasarnya adalah suatu perubahan cara bercocok
tanam dari cara tradisional (peasant) ke cara modern (farmers). Untuk
meningkatkan produksi pertanian umumnya dilakukan empat usaha pokok, yang
terdiri dari Intensifikasi, yaitu penelitian, pengembangan, dan penerapan
teknologi pertanian untuk memanfaatkan lahan yang ada guna memperoleh hasil
yang optimal; Ekstentifikasi, yaitu perluasan lahan pertanian untuk memperoleh
hasil pertanian yang lebih optimal; Diversifikasi (keanekaragaman usaha tani);
Rehabilitasi (pemulihan daya produktivitas sumber daya pertanian yang sudah
kritis).
10. Perkembangan politik dan ekonomi pada masa reformasi (Pengertian, ciri-ciri, dan bentuk
pemerintahan reformasi serta perbedaan orde baru dan reformasi)
 Pengertian, ciri-ciri, dan bentuk pemerintahan reformasi
Masa reformasi adalah masa perubahan dari masa sebelumnya. Di Indonesia
masa reformasi terjadi pada tahun 1998, yaitu masa peralihan dari orde baru
(pemerintahan soeharto) ke masa selanjutnya.
Masa reformasi atau masa transisi ini terbuka peluang untuk menata
kehidupan berdemokrasi. Masa ini dimulai dari kepemimpin BJ Habibie sebagai
presiden menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri. Pada masa ini, Habibie
membuat reformasi besar-besaran di sistem pemerintahan. Sistem yang
dijalankannya itu lebih terbuka dan demokrasi lebih ditonjolkan.
Era reformasi adalah era perubahan yang radikal dan menyeluruh untuk
perbaikan. Pada era ini, dianut demokrasi Pancasila. Ciri-ciri Demokrasi pada era
Reformasi:
1) Adanya partai politik yang independen, tidak dipengaruhi kekuasaan birokrat
militer dan mempunyai dukungan luas dari masyarakat.
2) Adanya konsensus atau persetujuan umum mengenai aturan main politik
menyangkut pengambilan keputusan dan nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya.
3) Adanya pemberdayaan masyarakat sipil melalui penyampaian informasi secara
transparan sehingga bisa mengambil sikap terhadap permasalahan politik
negara.
4) Adanya penguatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat sehingga dapat
melaksanakan fungsi kontrol dengan baik.
5) Pemilihan langsung kepala pemerintahan.
6) Pemilu lebih demokratis
7) Rotasi kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah
8) Pola rekrutmen politik terbuka
9) Hak-hak dasar warga negara terjamin
 Perbedaan masa orde baru dan masa reformasi
1) Penyampaian pendapat
Kebebasan untuk menyampaikan pendapat pada masa orde baru terbatas
dan ruang gerak pers juga dibatasi. Sedangkan pers pada masa reformasi,
masyarakat dan pers memiliki kebebasan untuk  menyampaikan pendapat
termasuk sampai memberikan saran serta kritik kepada pemerintah secara
terbuka tanpa perlu ada yang ditakutkan.
2) Perbedaan kebijakan ekonomi
Perkembangan ekonomi bangsa pada masa orde baru dan pembangunan
nasional serta kerjasama dengan negara lain berjalan lancar. Banyak prestasi yang
dicapai pemerintah khususnya dalam bidang pertanian, namun praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme  merajalela, dan masih terdapat kesenjangan ekonomi yang
lebar. Pada era reformasi, pemerintah membuat berbagai kebijakan untuk keluar
dari krisis namun ketimpangan pada sektor ekonomi justru jauh lebih tinggi.
3) Pemilihan umum
Pemilihan umum pada masa Orde Baru tidak berlangsung dengan bebas,
jujur dan adil terlepas dari slogan yang diusungnya. Terjadi pemaksaan untuk
memenangkan satu peserta pemilu tertentu. Sedangkan pada masa reformasi,
pemilu bisa berlangsung dengan lebih bebas, jujur dan adil sehingga rakyat bebas
memberikan suaranya.
4) Pengambilan Keputusan
Perbedaan orde baru dan era reformasi juga terlihat dari pihak pengambil
keputusan, dimana kebijakan ditentukan oleh pemerintah pusat yang
mengakibatkan kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah. Sedangkan
di era reformasi dibentuk otonomi daerah untuk memberi pemerintah daerah
wewenang untuk mengambil kebijakan pada bidang tertentu.

Anda mungkin juga menyukai