Anda di halaman 1dari 7

PEMANFAATAN LIMBAH PLASTIK MENJADI BAHAN BAKAR

DENGAN METODE PIROLISIS

Atmia Lauhilhulafa
Pendidikan Kimia
atmialauhilhulafa@gmail.com

ABSTRAK
Plastik yang memberikan kemudahan serta kepraktisan bagi manusia dalam pemenuhan
kebutuhan hidup sehari - hari membuat manusia sulit mengurangi penggunaannya. Hal ini
menyebabkan terus menumpuknya volume limbah plastik di dunia yang tidak terkelola dengan
baik sehingga mengakibatkan pencemaran. Mengubah limbah plastik menjadi bahan bakar
menjadi salah satu upaya menanggulangi permasalahan limbah plastik yang cukup efektif. Selain
dapat mengurangi volume limbah plastik, hal ini juga dapat menanggulangi permasalahan
kelangkaan bahan bakar. Dalam proses mengubah limbah plastik menjadi bahan bakar
digunakan metode pirolisis. Dalam penelitian ini menggunakan minyak tanah dan solar sebagai
pembanding. Dilakukan pengujian massa jenis, waktu yang diperlukan untuk membakar habis
suatu benda, temperatur air dari hasil memasak air, dan volume air yang hilang akibat
pemanasan untuk dapat mengetahui kualitas dari tiap sampel bahan bakar. Penelitian yang
dilakukan menunjukkan kualitas minyak pirolisis berada di bawah minyak tanah dan di atas
minyak solar.

Kata Kunci: limbah plastik, bahan bakar, pirolisis

PENDAHULUAN
Aktifitas manusia sehari - harinya tidaklah lepas dari penggunaan plastik.
Bahkan, sangatlah sulit memisahkan plastik dari kehidupan manusia. Penggunaan
plastik dianggap memberi kemudahan dan kepraktisan. Baik untuk pemenuhan
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan tersier, penggunaan
plastik sulit dihindari. Akan tetapi, dibalik kemudahan dan kepraktisan tersebut,
plastik memiliki dampak buruk yang penting untuk diperhatikan. Diperkirakan
terdapat ratusan miliar hingga triliunan limbah plastik dihasilkan di seluruh dunia
setiap tahunnya. Serta lebih dari 17 miliar kantong plastik dibagikan secara gratis
oleh supermarket di seluruh dunia untuk setiap tahunnya (Nasrun, et al., 2015,
hlm 1). Peningkatan jumlah penduduk di dunia yang pesat juga memperparah
masalah limbah plastik. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka
penggunaan plastik juga meningkat. Indonesia sebagai negara dengan tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi telah menjadi negara penyumbang limbah plastik
terbesar di Asia Tenggara.
Membuang limbah plastik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tidaklah
menjadi solusi yang efektif mengingat proses penumpukan plastik yang makin
banyak dan sifat plastik yang sulit didegradasi justru akan menyebabkan
pencemaran tanah. Pada tanah, sampah plastik dapat menghalangi peresapan air,
menjadi residu polutan, menyumbat jalannya air hujan dan sinar matahari
sehingga mengurangi kesuburan tanah dan dapat mengakibatkan banjir (Hidayati,
2017; Saidi dan Lagiman, 2016; Aziz, 2014). Melakukan pembakaran limbah
plastik juga dapat menyebabkan permasalahan baru. Pembakaran plastik dapat
menyebabkan pencemaran udara khususnya emisi dioxin yang bersifat karsinogen
yang dapat membahayakan pernafasan. Selain menyebabkan pencemaran tanah
dan udara, limbah plastik juga dapat menyebabkan pencemaran air ketika limbah
dibuang ke perairan. Sampah yang dibuang ke wilayah perairan dapat
mengganggu ekosistem yang ada di dalamnya.

Penanganan limbah plastik yang selama ini banyak dicanangkan adalah 3R


(Reuse, Reduce, Recycle). Adapun maksud dari 3R yaitu; memakai berulang kali,
mengurangi penggunaan, dan mendaur ulang. Akan tetapi pengelolaan limbah
plastik dengan konsep 3R dirasa belum cukup efektif karena plastik yang
digunakan berkali - kali lama kelamaan akan tidak layak pakai. Selain itu,
beberapa jenis plastik dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan apabila
digunakan berkali – kali. Untuk dapat mengurangi penggunaan plastik pun dirasa
masih cukup sulit, karena untuk memperoleh barang pengganti plastik yang
murah dan praktis seperti halnya plastik tidaklah mudah. Sedangkan mendaur
ulang sampah plastik hanya akan mengubah sampah plastik menjadi bentuk baru,
bukan menanggulangi volume sampah plastik sehingga ketika produk daur ulang
plastik sudah kehilangan fungsinya maka akan kembali menjadi sampah plastik
(Wahyudi, et al., 2018, hlm 59).

Penelitian yang terus berkembang telah berhasil menemukan salah satu


cara penanggulangan masalah limbah plastik yang cukup efektif, yaitu dengan
mengolahnya menjadi bahan bakar. Mengubah plastik menjadi bahan bakar dirasa
dapat mengatasi permasalahan menumpuknya volume sampah. Di sampig itu,
pengolahan sampah menjadi bahan bakar juga dapat mengatasi permasalahan
kelangkaan bahan bakar.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode studi literatur. Studi literatur
adalah metode mencari referensi teori dengan membaca berbagai sumber baik dari
buku, jurnal, artikel, laporan penelitian, maupun situs - situs di internet. Studi
literatur yang dilakukan harus berasal dari sumber - sumber yang relefan dan
sesuai dengan permasalahan yang ditemukan dalam penelitian. Studi literatur ini
bertujuan untuk memperkuat teori dalam menjelaskan mengenai suatu masalah
dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan jurnal - jurnal dan artikel mengenai
pengolahan limbah plastik menjadi bahan bakar sebagai rujukan. Setelah
membaca beberapa referensi atau rujukan yang digunakan, kemudian dapat
disimpulkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai
pengolahan limbah plastik menjadi bahan bakar. Kesimpulan yang didapat
kemudian dituangkan kembali ke dalam tulisan yang baru berdasarkan rujukan
yang telah digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Untuk mengolah limbah plastik menjadi bahan bakar digunakan metode
pirolisis. Pirolisis merupakan salah satu bentuk proses daur ulang dengan
mengubah plastik menjadi bahan bakar (Wahyudi, et al., 2018, hlm 59). Secara
umum, kurang lebih 950 ml minyak bakar bisa diperoleh dari pirolisis 1 kg
Polyolefin, misalnya Polypropylene, Polyethylene dan Polystyrene (Wahyudi et
al., 2018, hlm 59; Thorat, 2013). Salah satu limbah plastik yang dapat digunakan
untuk diolah menjadi bahan bakar adalah gelas plastik. Gelas plastik merupakan
sampah plastik jenis polypropylene (PP). Plastik jenis PP merupakan plastik yang
mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, plastik jenis PP dapat
menghasilkan kualitas minyak bakar yang lebih bagus dibandingkan PVC maupun
PET. Dalam proses pengolahan plastik jenis PP menjadi bahan bakar, solar dan
minyak tanah dapat digunakan sebagai bahan bakar pembanding. Untuk mendapat
spesifikasi bahan bakar yang sesuai standar pertamina solar dan minyak tanah
dapat diperoleh dari SPBU pertamina.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wahyudi dkk, gelas plastik yang


digunakan dalam proses pirolisis harus dalam keadaan kering untuk kemudian
dimasukkan ke dalam alat pirolisis yang dilengkapi pendingin dan penampung
destilat. Kemudian dilakukan proses Thermo cracking. Cracking adalah proses
memecah rantai polimer menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih
rendah (Wedayani, 2018, hlm 123). Proses Thermo cracking dilakukan untuk
mengubah gelas plastik dari fase padat menjadi fase cair (minyak). Gelas plastik
fase padat terlebih dahulu diubah menjadi fase gas melalui proses pemanasan
gelas plastik menggunakan kompor LPG. Setelah menjadi fase gas, baru
kemudian gelas plastik dapat diubah menjadi fase cair melalui proses kondensasi
gas sehingga dihasilkan destilat berupa minyak.

Wahyudi, Prayitno, dan Astuti melakukan empat pengujian untuk


membandingkan minyak hasil pirolisis, minyak tanah, dan solar. Yang pertama
analisis massa jenis minyak hasil pirolisis minyak tanah dan solar. Dari penelitian
yang dilakukan Wahyudi, Prayitno, dan Astuti diperoleh grafik sebagai berikut,

Gambar 1. Grafik massa jenis minyak

Hasil perhitungan massa jenis minyak pirolisis plastik, minyak tanah,dan solar
menunjukkan massa jenis minyak hasil pirolisis plastik PP lebih rendah dari solar
dan lebih tinggi dari minyak tanah. Semakin tinggi massa jenis suatu zat, maka
semakin besar pula massa setiap volumenya. Hal ini menjadi indikasi bahwa solar
dengan massa jenis paling tinggi memiliki banyak pengotor sehingga kualitasnya
masih berada di bawah minyak tanah dan minyak pirolisis. Yang kedua, analisis
waktu yang diperlukan minyak pirolisis, minyak tanah, dan solar untuk membakar
habis suatu benda. Dari penelitian yang dilakukan Wahyudi, Prayitno, dan Astuti
diperoleh grafik sebagai berikut,

Gambar 2. Grafik lama pembakaran minyak

Penelitian yang dilakukan menunjukan solar memerlukan waktu pembakaran


paling lama dibanding minyak pirolisis dan minyak tanah. Hal ini disebabkan
karena titik nyala solar paling tinggi diantara minyak pirolisis dan minyak tanah.
Titik nyala berhubungan dengan mudah atau sulitnya pembakaran suatu bahan
bakar. Semakin rendah titik nyala suatu bahan bakar, maka semakin mudah zat
tersebut dibakar. Sedangkan minyak pirolisis memiliki titik nyala lebih rendah
dari minyak tanah dan lebih tinggi dari solar. Titik nyala menjadi indikator
penting suatu zat dapat dikatakan sebagai bahan bakar. Yang ketiga, analisis
temperatur air dari hasil memasak air dengan bahan bakar minyak pirolisis,
minyak tanah, dan solar. Dari penelitian yang dilakukan Wahyudi, Prayitno, dan
Astuti diperoleh grafik sebagai berikut,

Gambar 3. Grafik temperature air yang dipanaskan


Dari penelitian yang dilakukan menunjukkan hubungan bahan bakar dengan
waktu pembakaran yang semakin lama, maka temperatur air yang dihasilkan
semakin rendah. Pemanasan air dilakukan pada waktu yang sama disetiap jenis
minyak. Saat pemanasan dihentikan bersamaan, air yang dipanaskan dengan solar
memiliki temperatur paling rendah dan air yang dipanaskan dengan minyak tanah
memiliki temperatur paling tinggi. Yang keempat, analisis volume air yang hilang
akibat pemanasan dengan bahan bakar minyak pirolisis, minyak tanah, dan solar.
Dari penelitian yang dilakukan Wahyudi, Prayitno, dan Astuti diperoleh grafik
sebagai berikut,

Gambar 4. Grafik volume air yang menguap

Volume air hilang disebabkan karena penguapan akibat pemanasan. Dari


percobaan yang dilakukan volume air yang dipanaskan dengan solar menguap
lebih banyak daripada air yang dipanaskan dengan minyak pirolisis dan minyak
tanah. Seharusnya semakin tinggi temperatur, semakin banyak pula volume air
yang menguap, tetapi pada percobaan ini justru sebaliknya. Hal ini berkaitan
dengan titik nyala karena titik nyala solar yang semakin tinggi menyebabkan
semakin lama pembakaran sehingga lebih banyak volume menguap.

KESIMPULAN
Massa jenis minyak hasil pirolisis plastik PP lebih rendah dari solar dan
lebih tinggi dari minyak tanah. Titik nyala minyak hasil pirolisis plastik PP lebih
rendah dari solar dan lebih tinggi dari minyak tanah. Minyak hasil pirolisis plastik
PP memerlukan waktu lebih cepat dari solar dan lebih lambat dari minyak tanah.
Minyak hasil pirolisis plastik PP menghasilkan temperatur air hasil pemanasan
lebih tinggi dari solar dan lebih rendah dari minyak tanah. Minyak hasil pirolisis
plastik PP menghasilkan uap air lebih sedikit dari solar dan lebih banyak dari
minyak tanah. Dengan demikian kualitas minyak hasil pirolisis plastik PP berada
di bawah minyak tanah dan diatas solar.

DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, N. A., & Aziz, I. R., & Muthiadin, C. (2017). Pemanfaatan Limbah
Plastik sebagai Alternatif Bahan Bakar Terbarukan. Gowa: UIN Alauddin.
Nasrun, & Kurniawan, E. & Sari, I. (2015). Pengolahan Limbah Kantong Plastik
Jenis Kresek Menjadi Bahan Bakar Menggunakan Proses Pirolisis.
Lhokseumawe: Universitas Malikulsaleh.
Wahyudi, J., & Prayitno, H. T., & Astuti, A. D. (2018). Pemanfaatan Limbah
Plastik sebagai Bahan Baku Pembuatan Bahan Bakar Alternatif. Pati: Jurnal
Litbang.
Wedayani, Ni Made (2018). Studi Pengelolaan Sampah Plastik di Pantai Kuta
sebagai Bahan Bakar Minyak. Denpasar: Universitas Mahasaraswati.

Anda mungkin juga menyukai