Anda di halaman 1dari 318

MODUL PEDAGOGI

1. Pembelajaran Abad 21
2. Pengembangan Profesi Guru
3. Teori Belajar dan Pembelajaran
4. Karekteristik Peserta Didik
5. Strategi Pembelajaran
6. Penilaian Hasil Belajar
KEGIATAN BELAJAR 1
Karakteristik Guru dan Siswa Abad 21

Capaian Pembelajaran

Setelah mempelajari kegiatan belajar ini, ibu bapak diharapkan dapat


menjelaskan pembelajaran abad 21, karakteristik guru abad 21, dan karakteristik
siswa abad 21.

Pokok-Pokok Materi

A. Pembelajaran Abad 21
B. Karakteristik guru abad 21
C. Karakteristik siswa abad 21

Uraian Materi

A. Pembelajaran Abad 21
Dalam pandangan paradigma positivistik masyarakat berkembang secara
linier seiring dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri yang ditopang
oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara berturut-turut
masyarakat berkembang dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, masyarakat
industri, dan kemudian pada perkembangan lanjut menjadi masyarakat informasi.
Situasi abad 21 sering kali diidentikan dengan masyarakat informasi tersebut, yang
ditandai oleh munculnya fenomena masyarakat digital. Meneruskan perkembangan
masyarakat industri generasi pertama, sekarang ini, abad 21 dan masa mendatang,
muncul apa yang disebut sebagai revolusi industri 4.0.
Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011
yang ditandai revolusi digital. Revolusi industri gelombang keempat, yang juga
disebut industri 4.0, kini telah tiba. Industry 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang
sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada
sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk kecerdasan buatan
(artificial intelligent), perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi finansial,
ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot. Bob Gordon dari Universitas
Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013), mencatat, sebelumnya telah
terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api
(1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia, dan minyak (1870-
1900). Ketiga, penemuan komputer, internet, dan telepon genggam (1960-sampai
sekarang). Versi lain menyatakan, revolusi ketiga dimulai pada 1969 melalui
kemunculan teknologi informasi dan komunikasi, serta mesin otomasi (dikutip dari
A. Tony Prasentiantono, Kompas 10 April 2018, hal. 1).
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat global, juga berkembang
sebagaimana alur linieristik tersebut, setidaknya dari sudut pandang pemerintah
sejak era Orde Baru. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi masyarakat Indonesia
tidak sama dengan perkembangan pada masyarakat Barat yang pernah mengalami
era pencerahan dan masyarakat industri. Perkembangan masyarakat Indonesia
faktanya tidak secara linier, tetapi lebih berlangsung secara pararel. Artinya, ada
masyarakat yang hingga fase perkembangannya sekarang masih menunjukkan
masyarakat primitif, ada yang masih agraris, ada yang sudah menunjukkan karakter
sebagai masyarakat industrial, dan bahkan ada yang memang sudah masuk dalam
era digital. Semuanya kategori karakter masyarakat tersebut faktanya berkembang
tidak secara linier, tetapi berlangsung secara pararel.
Oleh karena itu, meskipun era digital sudah begitu marak yang ditandai oleh
makin luasnya jangkauan internet; namun demikian ada juga masyarakat yang masih
belum terjangkau internet, dan bahkan masih berupa wilayah blank spot. Kondisi
seperti itu juga berimplikasi terhadap perkembangan pelayanan pendidikan,
sehingga juga berkonsekuensi terhadap karaktiristik guru dan siswanya, meskipun
sudah berada dalam abad 21. Sekolah, guru, dan siswa di daerah perkotaan memang
sudah terkoneksi jaringan internet, tetapi untuk daerah pedesaan masih ada juga yang
belum terambah oleh fasilitas internet, dan bahkan ada pula wilayah yang sama
sekali belum terjangkau infrastruktur telekomunikasi. Akan tetapi pada abad 21
sekarang ini masyarakat Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan
dengan era digital. Karena itu apa pun harus menyesuaikan dengan kehadiran era
baru berbasis digital, sehingga bagaimana menjadi bagian dari era digital sekarang
ini dengan memanfaatkan teknologi digital dan berjejaring ini secara produktif.
Menurut Manuel Castell kemunculan masyarakat informasional itu ditandai
dengan lima karateristik dasar: Pertama, ada teknologi-teknologi yang bertindak
berdasarkan informasi. Kedua, karena informasi adalah bagian dari seluruh kegiatan
manusia, teknologi-teknologi itu mempunyai efek yang meresap. Ketiga, semua
sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh ‘logika jaringan’
yang memungkinkan mereka memengaruhi suatu varietas luas proses-proses dan
organisasi-organisasi. Keempat, teknologi-teknologi baru sangat fleksibel,
memungkinkan mereka beradaptasi dan berubah secara terus-menerus. Akhirnya,
teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi sedang bergabung
menjadi suatu sistem yang sangat terintegrasi (dalam Ritzer, 2012: 969).
Menurut Castell sebenarnya sudah sejak dekade 1980-an muncul apa yang ia
sebut sebagai ekonomi informasional global baru yang semakin menguntungkan. “Ia
informasional karena produktivitas dan daya saing unit-unit atau agen-agen di dalam
ekonomi ini (entah itu firma-firma, region-region, atau wilayah-wilayah) yang
tergantung secara fundamental pada kapsitas mereka untuk menghasilkan,
memproses, dan menerapkan secara efisien informasi berbasis pengetahuan (Castell,
1996: 66). Ia global karena ia mempunyai “kapasitas untuk bekerja sebagai suatu
unit di dalam waktu nyata pada suatu skala planeter” (Castell, 1996: 92). Hal itu
dimungkinkan untuk pertama kalinya oleh kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi yang baru.
Meneruskan konsep ruang mengalir itu, kemudian Scott Lash menganalisis
kemunculan masyarakat informasional itu secara lebih mendalam, detail, dan
canggih. Sama seperti Castells, Lash setuju dengan kemunculan dunia baru, yaitu
masyarakat informasional yang meskipun merupakan kelanjutan dari kapitalisme
lama, tetapi memiliki berbagai karakter yang berbeda. Dengan pendekatan kritis,
Lash menganalisis kapitalisme informasional dengan berusaha memperluasnya
terkait dengan filsafat, teori sosiologi, teori kebudayaan, baik klasik maupun
kontemporer.
Dalam bukunya Critique of Information (2002), Lash memului dengan
sejumlah pertanyaan mendasar, bagaimana ilmu sosial kritis, teori kritik atau kritik
dapat dimungkinkan dalam masyarakat informasi? Apa yang terjadi dalam suatu era
ketika kekuasaan tidak lagi sebuah ideologi sebagaimana era abad sembilanbelas,
tetapi sekarang kekuasaan adalah sebuah informasional dalam arti luas? Ketika era
sebelumnya ideologi diperluas oleh ruang dan waktu, mengklaim universalitas, dan
berbentuk ‘metanaratif’, merupakan sistem kepercayaan, dan menyediakan waktu
untuk refleksi; tetapi sekarang era informasional, ketika informasi itu berada dalam
kemampatan ruang dan waktu, tidak mengklaim universal, dan sekadar titik, sinyal,
dan bahkan sekadar peristiwa dalam waktu. Berlangsung sangat cepat, sekilas, hidup
dalam era informasi hampir tidak ada waktu untuk refleksi. Jadi ketika ilmu sosial
kritik hidup dan berkembang dalam era ideologi kritik, apa yang terjadi ketika ilmu
sosial kritik hidup dalam era informasinal kritik? Dapatkah pemikiran kritis
beroperasi dalam era informasi?
Meskipun Lash adakalanya merujuk pada Castells, tetapi dalam
mendefinisikan informasi sedikit berbeda. Ia mengaku: “saya akan memahami
masyarakat informasi berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Bell (1973),
Touraine (1974), dan Castells (1996) yang fokus pada kualitas karakter utama
informasi itu sendiri. Tetapi Menurut Lash informasi harus dipahami secara tajam
dalam kontradiksinya dengan yang lain, kategori sosiokultural awal, yaitu sebagai
monumen naratif dan wacana (discourse) atau institusi. Karakter utama informasi
adalah aliran, tak melekat, kemampatan spasial, kemampatan temporal, hubungan-
hubungan real-time. Informasi tidaklah secara eksklusif, tetapi sebagian besar,
dalam kaitan ini bahwa kita hidup dalam era informasi. Sebagian orang menyebut
kita hidup dalam jaman modern lanjut (Giddens, 1990), sementara yang lain
menyebutnya sebagai jaman postmodern (Harvey, 1989), tetapi konsep tersebut
menurut Lash juga tidak berbentuk. Informasi tidak.
Lash memahami masyarakat informasi berbeda dengan apa yang sering
dirumuskan oleh kalangan sosiolog. Masyarakat informasi sering dipahami dalam
istilah produksi pengetahuan-intensif dan postindustrial di mana barang dan layanan
diproduksi. Kunci untuk memahami ini adalah apa yang diproduksi dalam produksi
informasi bukanlah barang-barang dan layanan kekayaan informasi, tetapi lebih
kurang adalah potongan informasi di luar kontrol. Produksi informasi meliputi
terutama adalah pentinggnya kemampatan. Sebagaimana diktum McLuhan medium
adalah pesan dalam pengertian bahwa media adalah peradigma medium era
informasi. Hanya saja jika dahulu medium dominan adalah naratif, lirik puisi,
wacana, dan lukisan. Tetapi sekarang pesan itu adalah pesan atau ‘komunikasi.’
media sekarang lebih seperti potongan-potongan. Media telah dimampatkan.
Lash mengingatkan bahwa infomasi itu sendiri bersifat statis, komunikasiah
yang membuat informasi menjadi dinamik, kuat, dan sumber energi. Mirip dengan
Habermas, Lash yakin bahwa komunikasi itulah yang sekarang telah menjadi basis
kehidupan sosial kontemporer, karena itu ia menjadikan komunikasi sebagai unit
dasar analisisnya, dan bukan informasi. Lash kemudian melangkah lebih jauh
dengan mengembangkan konsep di seputar isu perkembangan ICT. Ketika ICT itu
sendiri sering diposisikan sebagai entitas tersendiri yang berbeda dengan karakter-
karakter masyarakat sebelumnya dengan titik berat pada produksi industrial, maka
Lash menjelaskan bahwa dalam kategori era ICT itu sendiri telah berkembang
dengan karakter yang berbeda. Oleh karena itu ia mengatakan bahwa telah terjadi
dua generasi dalam perkembangan ICT.
Generasi pertama perkembangan ICT secara fundamental adalah
informasional, dengan sektor kuncinya adalah semikonduktor, sofware (sistem
operasi dan aplikasi), dan komputer. Akan tetapi generasi kedua, ekonomi baru
adalah komunikasional, karena itu sentralitasnya adalah internet dan sektor jaringan.
Itulah sebabnya menurut Lash, Cisco Systems, yang membuat sarana jalan, sebagai
‘pipa’ komunikasi internet, yang menjadi kapitalisme pasar lebih tinggi daripada
‘informational’ Microsoft. Inilah yang dikenal sebagai pasangnya media baru (new
media). Dalam pada itu konten dan komunikasi adalah sepenting kode, bukan
berbasis pada sektor kode informasi. Jika ICT generasi pertama sangat erat
berurusan dengan Lembah Silokan California, maka ICT generasi kedua bukan
perkara segar, bersih, dan semi desa Lembah Silokan, tetapi berurusan dengan kotor,
urban ‘silicon allys’. Silicon allys telah menjadi multimedia baru seperti CD-ROMs,
permainan komputer (Allen, Scott, 2000). Mereka adalah multimedia konvergensi
teknologi informasi dengan media.
Sikap Lash terhadap topik diskusi tersebut tetap menegaskan bahwa unit
dasar analisisnya adalah kmunikasi. Komunikasi adalah pertanyaan soal kultur jarak
jauh. Dalam masyarakat industri dulu hubungan-hubungan sosial diletakan pada
suatu tempat dengan prinsip kedekatan, dan hubungan sosial pada saat yang sama
sekaligus adalah ikatan sosial. Akan tetapi sekarang, dalam era informasional,
hubungan sosial dipindahkan oleh komunikasi. Komunikasi adalah intens, dalam
durasi pendek. Komunikasi memecah naratif menjadi pesan pendek/ringkas. Jika
hubungan sosial lama menempatkan tempat dengan prinsip kedekatan, ikatan
komunikasional adalah meletakan tempat pada jarak jauh. Jadi, komunikasi adalah
tentang kebudayaan, bukan kedekatan, yaitu kebudayaan jarak jauh. Culture at-a-
distance meliputi baik komunikasi yang datang dari jauh maupun orang datang dari
jauh agar bertemu secara tatap muka (Boden and Molotch, 1994). Intensitas,
keringkasan, dan ketidakhadiran kontinyuitas naratif adalah prinsip tata kelolanya
(Simmel, 1971; Sennett, 1998).
Suatu komunikasi dan aliran diletakan pada panggung pusat, daripada aturan
sosial dan lembaga/struktur. Sosiologi berargumen lebih progresif lagi, yaitu bahwa
sekarang ini secara umum telah muncul fenomena mediologi. Oleh karena itu
sekarang ini diberbagai universitas terkemuka di dunia telah mengenalkan dan
mengajarkan tentang sosiologi media. Khususnya sekarang ini telah muncul apa
yang dikenal sebagai logika mediologi. Mediologi akan mengharuskan bekerja
dengan logika media dan komunikasi. Jika sosiologi Durkheimian mengenalkan
konsep anomie, untuk menjelaskan perubahan dari feodalisme ke kapitalisme
pabrik, sekarang mediologi, berbicara anomie postindustri aliran-aliran. Sosiologi
setuju dengan re-teritorialisasi sosial, institusi modern, dan struktur masyarakat
industri. Mediologi berbicara re-teritorialisasi masyarakat jaringan yang datang dari
pengerasan aliran-aliran. Maka pada saat yang sama sekarang muncul fenomena
ekonomi tanda dan ruang.
Begitulah, menurut Lash, dalam masyarakat kapitalisme lanjut, komunikasi
adalah kunci, pergeseran dari logika struktur ke logika arus yang dimungkinkan oleh
jangkauan hubungan yang dibawa oleh outsorcing pada umumnya. Dan outsorcing
ini adalah re-teritorialisasi, misalnya perusahaan-perusahaan menjadi lebih bisa
dikerjakan di rumah tangga. Bahkan kemudian ada perusahaan membolehkan kerja
lembur per minggu di rumah, jadi tidak tergantung pada tempat atau ruang pabrik.
Jadi sekarang ini di jaman tata informasi dan komunikasi global, semuanya serba
outsorcing baik kerja di perusahaan firma, keluarga, negara, dan bahkan juga pada
bidang seni. Karena itu bisa juga refleksivitas di outsourced, dan di eksternalisasi.
Sekarang ini juga ada pergeseran dari akumulasi ke sirkulasi. Namun demikian juga
muncul apa yang disebut sebagai hegemoni sirkulasi di mana sirkulasi modal uang
dipisahkan dari bagian akumulasi modal.

1. Masyarakat Informasional di Indonesia


Pada fase masyarakat industrial fokus utama adalah bagaimana masyarakat
dengan segenap penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berusaha mengolah
bahan baku yang disediakan oleh alam menjadi komoditas yang berpotensi
meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi sekarang ini, ketika memasuki era
masyarakat informasional, bukan lagi perkara bagaimana berproduksi untuk
akumulasi kapital, akan tetapi bagaimana penguasaan dan kemampuan mengolah
informasi sebagai sumber daya utama untuk meningkatkan kualitas hidup.
Sekarang ini banyak yang sepakat bahwa masyarakat Indonesia mengalami
transisi dari masyarakat offline menuju masyarakat online. Ini mengindikasikan
bahwa masyarakat informasional dan komunikasional juga telah hadir yang siapa
pun tidak bisa menolaknya. Dengan kata lain, kehadiran masyarakat informasional
ini sudah merupakan imperatif, atau sebuah keniscayaan. Hampir seluruh aspek
kehidupan dalam bermasyarakat mulai dari aspek ekonomi, politik, kebudayan, dan
sosial-budaya terambah oleh moda-moda informasional dan komunikasional.
Sekarang ini informasi tidak lagi mewujud dalam bentuk pengetahuan yang
terdokumentasi secara padat seperti barang-barang cetakan, tetapi telah berubah
menjadi serba digital. Proses digitalisasi terjadi dalam berbagai aspek kehidupan
manusia yang tentu saja berimplikasi terhadap perubahan nilai, cara pandang, dan
pola-pola perilaku masyarakat.
Dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi
internet di Indonesia mencapai 132,5 juta orang pada 2016, tumbuh pesat dari 2015
yang baru 88,1 juta orang. Hal itu tidak lepas dari kerja keras para operator
telekomunikasi yang memperluas jangkauan layanan mereka. Bersamaan dengan
itu, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang mendukung (Kompas, 20 Maret
2017, hal. 12). Akan tetapi seiring dengan gegap-gempita tumbuhnya masyarakat
jaringan ini, juga menyodorkan persoalan sosio-kultural seperti kesenjangan digital.
Dalam insitusi keluarga pun juga menyodorkan persoalan kesenjangan antara
generasi para orangtua yang masih disebut sebagai digital immigrant dan generasi
anak-cucunya yang disebut sebagai generasi digital native.
Di Indonesia, target menjadi masyarakat informasi diarahkan pada ukuran
terhubungnya seluruh desa dalam jaringan teknologi komunikasi dan informasi pada
tahun 2015. Determinasi teknologi ini harus diwujudkan dalam determinasi sosial,
dimana masyarakat harus berdaya terhadap informasi. Konsep masyarakat informasi
tidak lagi mengarah seperti era media yang telah muncul pada era industrial atau
sering disebut the first media age dimana informasi diproduksi terpusat (satu untuk
banyak khalayak), arah komunikasi satu arah; Negara mengontrol terhadap semua
informasi yang beredar; reproduksi stratifikasi sosial dan ketidakadilan melalui
media; dan khalayak informasi yang terfragmentasi. Akan tetapi masyarakat
informasi yang berada pada the second media age yang memiliki karakter informasi
desentralistik; komunikasi dua arah; kontrol Negara yang distributif; demokratisasi
informasi; kesadaran individual yang mengutama; dan adanya orientasi individual.
Luapan konten informasi dan teknologi yang memungkinkan untuk user
generated sebagaimana karakter media baru seperti munculnya blogs, website,
citizen journalism, atau pun digitalisasi yang memungkinkan semakin banyaknya
jumlah siaran televisi, radio, webcast, dan juga semakin mudahnya menerima
terpaan informasi dimana saja, menjadikan masyarakat memiliki kesempatan yang
sangat besar menjadi konsumen informasi. Era informasi seharusnya menjadikan
masyarakat menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen informasi.
Ciri utama masyarakat informasi adalah bahwa semua aktivitas
masyarakatnya berbasis pada pengetahuan. Oleh karena itu, dalam dunia di mana
informasi dan pengetahuan terus beredar, pemerintah bercita-cita untuk membangun
negara sebagai masyarakat yang berpengetahuan. Akan tetapi justru di sinilah
kemudian menimbulkan masalah, sebab perkembangan masyarakat di Indonesia
tidak linier dan homogen. Ada sebagaian masyarakat yang sudah berada dalam tahap
siap memasuki masyarakat informasi karena telah mempunyai basis pengetahuan
kuat dan menggunakannya sebagai dasar utama bagi aktivitasnya. Sementara banyak
juga warga masyarakat yang berakar kuat pada kultur agraris, tradisional, penuh
mistik, dan pandangan dunianya kurang mampu cepat beradaptasi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya ketika pemerintah
membangun infrastruktur ICT secara signifikan, sebagian besar warga masyarakat
kurang mampu memanfaatkan ICT untuk kepentingan yang produktif, karena
rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pengetahuan.

2. Implikasinya terhadap Pendidikan


Perubahan peradapan menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge
society). menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu
mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT
Literacy Skills). Pendidikan memegang peranan sangat penting dan strategis dalam
membangun masyarakat berpengetahuan yang memiliki keterampilan: (1) melek
teknologi dan media; (2) melakukan komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4)
memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi. Akan tetapi persoalan ICT Literacy ini
dalam masyarakt kita masih masalah mendasar bagi upaya menuju masyarakat
informasi. Rendahnya tingkat ICT Literacy, terutama pada masyarakat pedesaan
menjadi faktor signifikan terhadap menetapnya fenomena kesenjangan informasi di
Indonesia.
Mark Poster pada awal dekade sembilanpuluhan telah mempublikasikan
buku The Second Media Age, yang mengakabarkan datangnya periode baru yaitu
hadirnya teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, terutama sejak hadirnya
internet, yang akan mengubah masyarakat. Jadi sudah sejak awal, para akademisi
telah memprediksi bahwa kehadiran Internet akan mempunyai pengaruh signifikan
terhadap perubahan social. World Wide Web (www) adalah dunia yang terbuka,
fleksibel, dan merupakan lingkungan informasi yang dinamik, yang membuat
keberadaan manusia mampu mengembangkan orientasi baru terhadap ilmu
pengetahuan, dan mendorong lebih banyak berinteraksi, community-base, dunia
demokrasi yang saling memberdayakan. Internet mengembangkan tempat untuk
bertemu secara virtual yang memperluas jaringan social ke seluruh dunia,
menciptakan kemungkinan baru untuk pengetahuan, dan memberi peluang untuk
berbagi perspektif secara lebih luas.
Merespons perkembangan baru, yaitu era masyararakat informasional dan
komunikasional yang ditandai oleh kehadiran media baru, pemerintah dalam
pembangunan sektor pendidikan mengeluarkan kebijakan. Beberapa kebijakan
Kementerian Pendidikan Indonesia yang berisi pemanfaatan ICT dalam
pembelajaran sudah cukup lama hingga sekarang, termasuk penerapan Kurikulum
2013 juga mendorong proses pembelajaran berbasis ICT, sehingga penetrasi media
baru (new media) dalam dunia pendidikan semakin intensif dan ekstensif. Terdapat
kesepakatan umum bahwa Information and Communication Technologies (ICT)
adalah baik untuk pengembangan dunia pendidikan. Bank Dunia mengarisbawahi
bahwa para pendidik dan para pengambil keputusan sepakat bahwa ICT merupakan
hal yang sangat penting bagi pengembangan masa depan pendidikan dalam era
Melinium. Teknologi ini, khususnya internet yang mampu membangun kemampuan
jaringan informasi dapat meningkatkan akses melalui belajar jarak jauh, membuka
jaringan pengetahuan bagi murid, melatih guru-guru, menyebarluaskan materi
pendidikan dengan kualitas standar, dan mendorong penguatan upaya efisiensi dan
efektivitas kebijakan administrasi pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan melalui
Pendidikan Jarak Jauh bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi
memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat
mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jarak jauh
diselenggarakan dalam bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh sarana dan
layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan
standar nasional pendidikan. Jadi sistem pendidikan jarak jauh telah menjadi suatu
inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan nasional. Sistem pendidikan jarak jauh
yang dimulai dengan generasi pertama korespondensi (cetak), generasi kedua
multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga pembelajaran jarak jauh
(telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran fleksibel (multimedia
interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based course), akhirnya generasi
keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www). Seperti tercantum secara
eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009,
terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran penting dalam menunjang tiga pilar
kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan dan pemerataan akses; (2)
peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola,
akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang
bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau rakyat banyak. Dalam Renstra
Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis TIK untuk pilar pertama, yaitu
perluasan dan pemerataan akses pendidikan, diprioritaskan sebagai media
pembelajaran jarak jauh. Sedangkan untuk pilar kedua, peningkatan mutu,
relevansi dan daya saing, peran TIK diprioritaskan untuk penerapan dalam
pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola,
akuntabilitas dan citra publik, peran TIK diprioritaskan untuk sistem informasi
manajemen secara terintegrasi.1
Perubahan era yang kemudian mengubah karakter masyarakat secara
bertahap, menghadirkan realitas baru seperti masyarakat informasional dan
komunikasional juga berimplikasi terhadap perkembangan media, yang kemudian
dikenal sebagai media baru. Media baru yang berbasis internet dan web ini
beroperasi secara masif, ekstensif, dan intensif merasuk ke berbagai sektor

1
Dikutip dari Adie E. Yusuf, Pemanfaatan ICT dalam Pendidikan: Kebijakan dan
Standarisasi Mutu, diunduh dari
https://teknologikinerja.wordpress.com/2010/03/11/.
kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Oleh karena itu dapat dipahami jika
pemerintah Indonesia mengantisipasi dan kemudian menstransformasikan diri
dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan berbasis TIK tersebut.
Berbagai regulasi juga terus diciptakan guna mengikuti kehadiran media baru ini.
Dengan hadirnya ICT dunia pendidikan bisa membawa dampak positif
apabila teknologi tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
tetapi bisa menjadi masalah baru apabila lembaga pendidikan tidak siap. Untuk itu,
perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak positif dan negatif dari pemanfataan
Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) sebagai media komunikasi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Kurniawati et,al (2005)
menunjukan bahwa pada umumnya pendapat guru dan siswa tentang manfaat ICT
khususnya edukasi net antara lain : (1) Memudahkan guru dan siswa dalam mencari
sumber belajar alternative; (2 ) Bagi siswa dapat memperjelas materi yang telah
disampaikan oleh guru, karena disamping disertai gambar juga ada animasi menarik;
(3) Cara belajar lebih efisien; (4) Wawasan bertambah; (5) Mengetahui dan
mengikuti perkembangan materi dan info-info lain yang berhubungan dengan
bidang studi; dan (5) Membantu siswa melek ICT (Pujiriyanto, 2012).
Atas perubahan tersebut, maka dalam proses pembelajaran juga sangat
intensif terekspose (terpaan) oleh kehadiran media baru, dan ini menyodorkan
fenomena tentang mediatisasi pembelajaran. Masif, ekstensif, dan intensifnya media
baru dalam proses pembelajaran ini akhirnya juga mengubah moda-moda belajar
yang bergantung pada media. Fenomena baru inilah yang kemudian dikenal sebagai
mediatisasi pembelajaran, di mana media tampil begitu kuat dan menentukan, dan
akhirnya aktivitas pembelajaran bukan sekadar memanfaatkan media akan tetapi
lebih dari itu mengikuti logika media.
Kuatnya logika media itu kemudian membawa konsekuensi terhadap
perubahan pola dan moda belajar pada lembaga strategis seperti sekolah. Misalnya,
hubungan guru dan murid dan aktivitas belajarnya tidak lagi bergantung pada satu
sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah, akan tetapi juga mau tidak mau
harus menerima kehadiran media baru berbasis internet dan web ini sebagai sumber
belajar. Karakter media baru sebagai penyedia konten (isi) begitu besar dan bahkan
tidak terbatas jauh melebihi gudang pengetahuan yang disediakan pada lingkungan
sekolah. Aksesnya pun terbuka lebar karena tata kelola informasinya sangat canggih
dan sangat mudah dan cepat diakses oleh siswa dalam aktivitas belajar. Sekarang ini
pokok-pokok bahasan yang diajarkan guru pada ruang kelas, akan dengan mudah
dikonfirmasikan melalui google atau pun yahoo yang begitu banyak dan mudah
menyediakan informasi pengetahuan yang relevan dengan pembelajaran di sekolah.
Lebih dari itu, media baru juga menyediakan aplikasi pembelajaran secara virtual
yang mirip dengan pembelajaran di ruang kelas pada setiap sekolah.
Akan tetapi, kehadiran media baru ini juga menghadirkan berbagai persoalan
yang berkait dengan perilaku belajar siswa dan sikap guru terhadap maraknya
pembelajaran digital ini. Sebut saja misalnya tentang sikap minimalis dan
pragmatisme belajar siswa yang sangat fenomenal seperti ketergantungan pada
google atau yahoo setiap kali menghadapi masalah atau pun penugasan dalam
pembelajaran di kelas. Sikap guru pun masih variatif dalam menghadapi hadirnya
media baru dan mediatisasi pembelajaran ini karena terkait kesenjangan
keterampilan dan pengetahuan tentang media baru, yang masuk dalam generasi
digital imigrant yang harus menghadapi murid yang masuk dalam kategori digital
native.

B. Karakteristik Guru Abad 21


Perubahan karakter masyarakat secara fundamental sebagaimana terjadi
dalam abad 21 tentu berimplikasi terhadap karakteristik guru. Dalam pandangan
progresif, perubahan karakteristik masyarakat perlu diikuti oleh transformasi kultur
guru dalam proses pembelajaran. Jadi jika sekarang masyarakat telah berubah ke
masyarakat digital, maka guru juga segera perlu mentransformasikan diri, baik
secara teknik maupun sosio-kultural. Oleh karena itu perlu mengidentifikasi,
karakteristik guru seperti apa yang mampu mentransformasikan diri pada era digital
pada abad 21 sekarang ini.
Terdapat ungkapan bahwa, buku bisa digantikan dengan teknologi, tetapi
peran guru tidak bisa digantikan, bahkan harus diperkuat. Pada era sekarang, abad
21, guru harus mampu memanfaatkan teknologi digital untuk mendesain
pembelajaran yang kreatif. Kemampuan para guru untuk mendidik pada era
pembelajaran digital perlu dipersiapkan dengan memperkuat pedagogi siber pada
diri guru. Guru yang lebih banyak berperan sebagai fasilitator harus mampu
memanfaatkan teknologi digital yang ada untuk mendesain pembelajaran kreatif
yang memampukan siswa aktif dan berpikir kritis (Kompas, 9 April 2018, hal. 12).
Menurut Ketua Divisi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Smart
Learning Center, Richardus Eko Indrajit mengatakan, guru harus mulai dibiasakan
untuk merasakan pembelajaran digital yang terus berkembang. Sebab, penggunaan
teknologi dalam pembelajaran berguna untuk memfasilitasi pembelajaran yang
berkualitas. Buku bisa digantikan dengan teknologi. Konten pembelajaran sudah
tersedia di internet. Namun, tetap ada peran guru yang tidak bisa digantikan. Di
sinilah kita harus memperkuat guru sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk
dapat memanfaatkan sumber belajar yang beragam. Oleh karena itu karakteristik
guru dalam abad 21 antara lain: Pertama, guru disamping sebagai fasilitator, juga
harus menjadi motivator dan inspirator.
Lebih lanjut Eko Indrajit mengatakan, pada era sekarang, siswa sudah
banyak mengetahui pembelajaran lewat internet terlebih dahulu, baru sekolah.
Jangan sampai guru gagap menghadapi kondisi siswa yang lebih banyak tahu konten
pembelajaran yang didapat dari internet. Oleh karena itu kemampuan guru sebagai
fasilitator harus diperkuat. Guru dapat mengarahkan pembelajaran lebih banyak
pada diskusi, memecahkan masalah, hingga melakukan proyek yang merangsang
siswa berpikir kritis (Kompas, 9 April, 2018, hal. 12).
Kemampuan guru dalam posisi sebagai fasilitator, ini berarti harus
mengubah cara berpikir bahwa guru adalah pusat (teacher center) menjadi siswa
adalah pusat (student center) sebagaimana dituntut dalam kurikulum 13. Ini berarti
guru perlu memposisikan diri sebagai mitra belajar bagi siswa, sehingga guru bukan
serba tahu karena sumber belajar dalam era digital sudah banyak dan tersebar, serta
mudah diakses oleh siswa melalui jaringan internet yang terkoneksi pada gawai. Ini
memang tidak mudah, karena berkait dengan transformasi kultural baik yang masih
berkembang dalam guru maupun siswa itu sendiri, dan bahkan masyarakat.
Kedua, salah satu prasyarat paling penting agar guru mampu
mentrasformasikan diri dalam era pedagogi siber atau era digital, adalah tingginya
minat baca. Selama ini berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa minat baca di
kalangan guru di Indonesia masih rendah, dan bahkan kurang memiliki motivasi
membeli atau mengoleksi buku. Tingkat kepemilikan buku di kalangan guru di
Indonesia masih rendah. Bahkan sering terdengar pemeo bahwa penambahan
penghasilan melalui program sertifikasi guru, tidak untuk meningkatkan
profesionalisme guru, tetapi hanya untuk gaya hidup konsumtif. Sudah sering
terdengar bahwa, tambahan penghasilan gaji guru melalui program sertifikasi bukan
untuk membeli buku, tetapi untuk kredit mobil.
Karakteristik seperti itu, adalah tidak cocok bagi pengembangan
profesionalisme guru pada abad 21. Oleh karena itu, guru harus terus meningkatkan
minat baca dengan menambah koleksi buku. Setiap kali terdapat masalah
pembelajaran, maka guru perlu menambah pengetahuan melalui bacaan buku, baik
cetak maupun digital yang bisa diakses melalui internet. Tanpa minat baca tinggi,
maka guru pada era pedagogi siber sekarang ini akan ketinggalan dengan
pengetahuan siswanya, sehingga akan menurunkan kredibilitas atau kewibawaan
guru. Hilangnya kewibawaan guru akan berdampak serius bukan saja pada
menurunya kualitas pembelajaran, tetapi juga bagi kemajuan sebuah bangsa.
Ketiga, guru pada abad 21 harus memiliki kemampuan untuk menulis.
Mempunyai minat baca tinggi saja belum cukup bagi guru, tetapi harus memiliki
keterampilan untuk menulis. Guru juga dituntut untuk bisa menuangkan gagasan-
gagasan inovatifnya dalam bentuk buku atau karya ilmiah. Tanpa kemampuan
menulis guru akan kesulitan dalam upaya meningkatkan kredibilitasnya di hadapan
murid. Guru yang memiliki kompetensi dalam menulis gagasan, atau menulis buku
dan karya almiah, maka akan semakin disegani oleh siswanya. Sebaliknya, jika guru
tidak pernah menulis, maka akan semakin dilecehkan oleh siswa.
Oleh karena itu, jika sudah memiliki kemampuan untuk menulis gagasan,
maka ketika terlibat dalam era digital bukan saja sebagai konsumen pengetahuan,
tetapi juga produsen pengetahuan. Dengan kata lain, guru dalam era informasi
sekarang ini, ketika terlibat dalam internet, bukan sekadar mengunduh, tetapi juga
mengunggah karya-karya tulisnya yang bisa memberikan sumbangan pemikiran
bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran.
Keempat, guru abad 21 harus kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
metode belajar atau mencari pemecahan masalah-masalah belajar, sehingga
meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis TIK. Penguasaan terhadap e-learning
bagi seorang guru abad 21 adalah sebuah keniscayaan atau keharusan, jika ingin
tetap dianggap berwibawa di hadapan murid. Guru yang kehilangan kewibawaan di
mata siswa adalah sebuah bencana, bukan saja bagi guru itu sendiri tetapi bagi
sebuah bangsa karena kunci kemajuan bangsa adalah guru. Oleh karena itu
kompetensi mengajar berbasis TIK adalah mutlak bagi guru pada abad 21. Jadi
seorang guru harus mampu menerapkan model pembelajaran misalnya yang
menggunakan pola hibrida (hybrid learning), karena proses pembelajaran dalam
abad 21 tidak hanya secara konvensional dengan tatap muka di kelas, tetapi juga
secara online melalui situs pembelajarannya. Jadi pembelajaran hibrida adalah
sebuah pola pembelajaran yang mengombinasikan pertemuan tatap muka dengan
pembelajaran berbasis online, teknologi hadir dalam proses belajar. Tujuan
utamanya untuk keperluan memperluas kesempatan belajar, meningkatkan kualitas
proses belajar, menumbuhkan kesempatan yang sama antarpeserta didik, dan
berbagai kemungkinan lainnya. Melalui pola pembelajaran hibrida yang
memanfaatkan perangkat komputer atau pun smartphone yang terkoneksi pada
jaringan internet memberikan peluang seluas-luasnya bagi guru dan siswa untuk
melakukan aktivitas belajar sambil melakukan aktivitas lain, termasuk rekreatif
secara bersama-sama. Atau inilah yang disebut pembelajaran multitasking.
Kehadiran e-learning guru abad 21 juga dituntut untuk kreatif dan inonvatif
dalam memanfaatkan media baru (new media) untuk pembelajaran berbasis web.
Oleh karena itu guru perlu mempunyai kompetensi untuk menerapkan mutltimedia.
Kalau toh tidak membuat aplikasi sendiri, tetapi setidaknya bisa memanfaatkan dan
menerapkan multimedia bagi pembelajaran. Demikian pula dengan gamifiication
atau pembelajaran berbasis pada permainan yang sekarang semakin diminati oleh
siswa, adalah peluang yang perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran. Berbagai bidang studi yang selama ini dirasa sulit oleh siswa, seperti
matematika, fisika, dan kimia misalnya, terbukti dapat menjadi pembelajaran yang
menyenangkan melalui kreasi pembelajaran berbasis permainan. Dengan demikian,
guru abad 21 juga perlu memiliki kemampuan perancangan pembelajaran berbasis
permainan, sehingga proses belajar menjadi mudah dan menyenangkan, sekalipun
itu pada bidang studi yang selama ini dianggap rumit dan membosankan.
Kelima, karakteristik guru abad 21 di tengah pesatnya perkembangan era
teknologi digital, bagaimanapun harus mampu melakukan transformasi kultural.
Karena itu transformasi mengandaikan terjadi proses pergantian dan perubahan dari
sesuai yang dianggap lama menjadi sesuatu yang baru. Atau paling tidak mengalami
penyesuaian terhadap kehadiran yang baru. Jika dipandang dari perspektif kritis,
konsep transformasi seperti itu segera akan mengundang kecurigaan bahwa konsep
transformasi mau tidak mau akan berbau positivistik. Ketika asumsi linearistik yang
menjadi karakter utama positivistik, pastilah mengandaikan bahwa yang lama akan
dipandang sebagai sesuatu yang tertinggal, atau paling tidak sedikit muatan
kemajuannya (Wahyono, 2011).
Selanjutnya Wahyono menjelaskan bahwa ketika transformasi digunakan
untuk menjelaskan konsep transformasi budaya, maka mengandaikan terjadinya
proses alih ubah nilai, sikap, dan praksis dalam aktivitas kebudayaan. Setidaknya
terdapat proses penyesuaian dari nilai, sikap, dan praksis budaya lama menuju
budaya baru. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggunakan konstruksi
budaya berbasis pada nilai budaya Barat, maka mau tidak mau nilai budaya lama
masyarakat pengadopsinya harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu
nilai yang imperatif dituntut oleh ilmu pengetahuan dan teknologi adalah apresiasi
tinggi terhadap logika kausalitas, akurasi, presisi, detail, dan terukur. Di samping itu
tentu saja penghargaan terhadap prinsip kejujuran, disiplin, dan kerja keras yang
merupakan etos masyarakat Barat dan negara maju lainnya di kawasan Asia. Oleh
karena itu tesis yang ditawarkan adalah, jika masyarakat, taruhlah yang masih
mengikuti prinsip tradisionalisme, ingin menjadi masyarakat modern berbasis pada
ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu melakukan transformasi kultural.
Transformasi di sini mengandaikan terjadinya proses alih ubah nilai, sikap, dan
praksis lama menuju yang baru. Transformasi kultural, bila diterapkan dalam
kaitannya dengan perkembangan model pembelajaran hibrida, maka konsep
transformasi kultural tentu mengandaikan proses alih ubah dari nilai tradisional ke
nilai pembelajaran modern. Secara umum sudah berkembang persepsi bahwa model
pembelajaran yang lebih lazim digunakan adalah berat pada karakter berorientasi
pada guru (teacher center) daripada berorientasi pada peserta didik (student center).
Oleh karena pembelajaran online masuk kategori belajar berbasis media baru (new
media) maka mengedepankan egalitarianism, kesetaraan, emansipatif, dan
partisipatif dalam proses komunikasinya, maka student-center lebih sesuai dengan
prinsip pembelajaran online. Dengan demikian diperlukan adanya transformasi
kultural dari model pembelajaran yang berprinsip searah, top-down, dan
memposisikan peserta didik sebagai pihak pasif, ke arah model pembelajaran
konstruktivistik yang berorientasi pada peserta didik. Pandangan bahwa guru adalah
sumber pengetahuan dan rujukan utama pengetahuan, perlu diubah ke arah
pandangan bahwa sumber pengetahuan bersifat menyebar. Semua pada prinsipnya
dapat menjadi sumber rujukan, tidak terkecuali peserta didik. Atau setidaknya murid
adalah pihak yang aktif mengkonstruksi dan memaknai pesan. Begitulah, guru
dalam pembelajaran abad 21 dituntut mengenali dan menguasai pembelajaran
berbasis TIK.
Jenjang kompetensi TIK yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pengajar atau
guru untuk menerapkan model e-learning meliputi lima tahapan. Upaya dini yang
harus dilakukan oleh pegelola sekolah adalah menyiapkan SDM guru yang melek
TIK (ICT literate). Ciri-ciri utama seorang guru yang melek TIK ialah guru yang
menggunakan TIK secara tepat, berdasarkan kebutuhan belajar, kompetensi,
karakteristik isi atau mata ajar, ketersediaan sarana. Selanjutnya ia mampu
mensinergikan kompetensi ini dalam penyajian di kelas konvensional, yaitu bersama
dengan peserta didik menggunakan TIK untuk proses belajar dan mengajar. Adapun
guru yang mahir meggunakan TIK dapat menjadi guru TIK, yaitu menularkan
perilaku positif dan mengintegrasikannya dalam materi ajar TIK serta
menumbuhkan kesadaran dalam berinternet sehat, misalnya ia dapat menjelaskan
bagaimana mengakses jejaring sosial sekaligus memanfaatkannya untuk diskusi
suatu mata ajar tertentu (Salma, 2016: 4). Oleh karena itu, setelah guru memiliki
karakteristik yang sesuai dengan tuntutan abad 21 yang serba digital, maka seorang
guru juga perlu mempunyai kompetensi di bidang perancangan atau desainer
pembelajaran.
Disainer pembelajaran menjadi sosok yang harus lebih banyak berperan
dalam menyelenggarakan e-learning. Disainer pembelajaran adalah ahli yang
terbuka dan dinamis, mampu memecahkan masalah di tingkat trouble shooting, di
depan monitor, atau hingga menjadi problem solver dalam tatanan menciptakan
proses belajar maya yang “hidup”, interaktif, dan manusiawi (Salma, 2016: 5).

C. Karakteristik Siswa Abad 21


Bagaimana karakteristik siswa abad 21 dalam suatu proses pembelajaran
berbasis web? Semua sepakat bahwa siswa jaman sekarang atau yang sedang
populer disebut sebagai siswa zaman now, adalah berbeda dengan karakteristik
siswa jaman dulu. Jika dahulu siswa praktis hanya memiliki peluang belajar pada
lembaga sekolah, tetapi sekarang sumber belajar ada di mana-mana dan bahkan
terbawa ke mana-mana. Melalui smartphone berbasis android misalnya, siswa jaman
sekarang bisa dengan mudah belajar sesuai dengan yang diinginkan. Sebuah mesin
pencari yang begitu populer, yaitu google, siswa sekarang bisa mendapatkan
berbagai informasi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. Sudah tidak diragukan
lagi, bahwa perilaku belajar siswa sekarang, sangat bergantung atau bahkan mengga
ntungkan diri pada mesin pencari google itu.
Jika ada pertanyaan keahlian apa yang diperlukan oleh siswa pada era abad
21? Menurut Bernie Trilling dan Charles Fadel (2009), dalam bukunya berjudul 21st
Century Skills: Learning for Life in Our Times, mengidentifikasi ada beberapa
kecakapan yang harus dimiliki oleh generasi abad 21 mencakup nilai dan perilaku
seperti rasa keingintahuan tinggi, kepercayaan diri, dan keberanian. Keterampilan
dan kecakapan abad 21 mencakup tiga kategori utama, yaitu:
1. Keterampilan belajar dan inovasi: berpikir kritis dan pemecahan masalah
dalam komunikasi dan kreativitas kolaboratif dan inovatif.
2. Keahlian literasi digital: literasi media baru dan literasi ICT.
3. Kecakapan hidup dan karir: memiliki kemamuan inisiatif yang fleksibel dan
inisiatif adaptif, dan kecakapan diri secara sosial dalam interaksi
antarbudaya, kecakapan kepemimpinan produktif dan akuntabel, serta
bertanggungjawab.
Dalam abad 21 menuntut karakteristik siswa yang memiliki keterampilan
belajar dan inovasi, yaitu yang berkait dengan kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan ini menuntut kebebasan berpikir dalam suatu proses pembelajaran.
Faktanya, dalam prosses belajar mengajar di lembaga sekolah sekarang ini masih
banyak siswa kesulitan bertanya, dan bahkan takut bertanya. Terdapat beberapa
penyebab mengapa siswa kurang memiliki kemampuan bertanya, karena selama ini
lebih banyak pendekatan pembelajaran berpusat pada guru (teacher center).
Memang tidak mudah menghilangkan kendala kultural ini, karena masih
berkembangnya persepsi bahwa guru adalah pusat sumber belajar utama, dan guru
harus serba tahu.
Akan tetapi dalam abad 21, pendekatan seperti itu sudah tidak cocok lagi jika
memang ingin membentuk karakteristik siswa yang memiliki kemampuan berpikir
kritis. Pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa (student center) sebagaimana
yang dianjurkan selama ini adalah suatu keharusan. Murid harus dipandang sebagai
subyek aktif yang memiliki daya seleksi dan daya interpretasi, serta daya kreasi
tinggi terhadap topic apa yang diangkat dalam suatu proses pembelajaran.
Pendekatan ini bukan berprinsip benar atau salah, tetapi prinsipnya bagaimana
mengembangkan kemampuan bernalar dan berargumentasi siswa. Oleh karena itu
penerapan model pembelajaran konstruktivistik seperti pembelajaran kooperatif,
metode diskusi, curah pendapat, dan debat perlu diintensifkan, sehingga melatih
siswa memiliki kemampuan bertanya dan tidak takut bertanya dalam upaya
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Dalam era berkemajuan seperti sekarang ini, maka siswa harus memiliki
karakter kreatif dan inovatif. Ketika sekarang dunia menyodorkan peluang untuk
mengembangkan industry kreatif berbasis digital, maka siswa perlu
mengembangkan diri kemampuan kreatif dan inovatif. Era industry kreatif menuntut
berbagai produk yang utamanya dihasilkan oleh pikiran atau ide-ide kreatif, bukan
keterampilan fisik. Fakta juga sudah menunjukkan bahw generasi muda sekarang
yang bergerak pada industry kreatif semakin banyak, dan industri daring ini sekarang
telah menjadi tumpuan harapan Indonesia di masa depan.
Abad 21 menuntut siswa memiliki keahlian literasi digital atau literasi media
baru dan literasi ICT. Secara keseluruhan, jika dibandingkan dengan guru, literasi
digital boleh dibilang lebih tinggi di kalangan siswa. Argumen ini berangkaat dari
logika berpikir sekuensial, bahwa generasi belakangan pasti lebih cepat dalam
menerima kehadiran teknologi baru. Sekarang dikenal apa yang disebut sebagai
generasi digital imigran dan digital natif. Generasi digital imigran adalah generasi
tua, termasuk sebagian besar guru di Indonesia. Sementara itu generasi digital natif
adalah mereka yang sejak usia dini sudah terbiasa dengan media digital dalam
aktivitas sehari-hari, mulai dari aktivitas bermain, belajar, dan kegiatan apa pun yang
relevan. Siswa generasi digital natif ini dapat dikatakan sudah relatif memiliki
tingkat literasi digital cukup tinggi.
Literasi ICT jika mengacu pada pengertian PBB cukup luas cakupannya. ICT
berarti meliputi juga media lama seperti radio dan televisi, jadi bukan saja media
baru seperti gawai atau telepon genggam yang berbasis android terkoneksi jaringan
internet. Oleh karena itu siswa pada abad 21 adalah mereka yang memiliki
kemampuan mengenali, menggunakan secara teknis, dan memanfaatkan pada
aktivitas pembelajaran. Penggunaan televisi sebagai media pembelajaran
instruksional misalnya, juga merupakan kemampuan literasi ICT, karena itu siswa
bisa juga terlibat dalam pembelajaran audiovisual. Lebih dari itu, sekarang yang
sedang tren adalah bahwa siswa terlibat secara intensif dalam proses pembelajaran
web, termasuk juga penggunaan multimedia interaktif.
Karakteristik siswa abad 21 berkaitan dengan kecakapan hidup yang bukan
saja sekadar pasif menerima begitu saja keadaan. Akan tetapi perlu senantiasa
mengambil insiatif dalam berbagai aktivitas pembelajaran, sehingga terus adaptif
dengan terhadap perkembang teknologi baru yang semakin canggih. Temuan
teknologi infomarsi dalam bidang pendidikan terus terjadi secara susul-menyusul
dalam rentang waktu yang semakin cepat jarak intervalnya. Karena itu, berbagai
aplikasi pembelajaran dalam elearning misalnya, terus menawarkan temuan baru
dalam jarak yang relatif pendek, sehingga siswa diterpa oleh kehadiran inovasi
pendidikan melalui temuan aplikasi baru. Dalam pada itu jika siswa tidak memiliki
kemampuan adaptif terhadap inovasi teknologi digital ini, maka akan semakin
tertinggal dan akibatnya kurang memiliki akses untuk masuk dalam dunia
masyarakat siber.
Siswa abad 21 juga dituntut memiliki karakter kecakapan sosial dalam
interaksi antarbudaya dan antarbangsa, karena dunia semakin mengglobal dan
menjadi satu kesatuan. Jika ingin mengembangkan berbagai pengetahuan dan
keterampilan, serta keahlian yang sesuai dengan minatnya, siswa bisa berbagi
(sharing) dengan berbagai siswa di seluruh dunia. Dunia siber telah memberikan
fasilitas memadai untuk bisa berkomunikasi kepada siapa pun melalui internet atau
pun media sosial ke seluruh dunia. Karena itu belajar dalam ruang virtual
memungkinkan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan keahlian sesuai dengan minat
dan bakatnya.
Dalam pada itu, siswa pada era digital juga dituntut untuk memiliki
kemampuan bekerjasama secara tim, bukan saja antarsiswa di lingkungan kelasnya,
tetapi bisa menembus batas ruang dan waktu, ke dunia siber antarsiswa di seluruh
dunia. Kerjasama dalam ini konteks ini menuntut kemampuan kreatif dan daya
inovatif agar apa yang dimiliki siswa memang memiliki daya tawar tinggi sehingga
menarik perhatian. Misalnya pengetahuan dalam bidang robotik, budidaya tanaman,
dunia permainan, dan temuan kreatif lain yang berguna bagi pemecahan masalah,
adalah hal-hal yang menarik perhatian generasi digital natif dewasa ini.
Akhirnya, siswa pada abad 21 juga perlu memiliki kecakapan dalam bidang
kepemimpinan produktif dan akuntabel. Artinya apa yang ditawarkan dalam bidang
keahlian masing-masing harus benar-benar bisa dievaluasi secara fair, sehingga
teruji. Ini enting untuk mencari kepercayaan dalam komunikasi antarbangsa
antarkultur di dalam dunia virtual. Oleh karena itu kepemimpinan produktif memang
harus disertai sikap tanggung jawab terhadap apa yang telah diputuskan secara
bersama tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi.
Begitulah, berbagai karakteristik yang dituntut dalam era digital, yang
semuanya memang harus dilandasi oleh sikap keingintahuan tinggi dan kehendak
untuk maju dan progresif. Di atas itu semua, dalam era digital dalam masyarakat
jejaring sekarang ini adalah kemampuan belajar mandiri. Jadi siswa zaman now mau
tidak mau harus memiliki kemampuan belajar mandiri, karena media baru telah
menyediakan berbagai informasi yang begitu melimpah. Jika sudah memiliki
kemampuan belajar mandiri, maka pemanfaatan fasilitas belajar berbasis web yang
bersifat serba digital.
KEGIATAN BELAJAR 2
PERAN TEKNOLOGI DAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN ABAD 21

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Capaian Pembelajaran : Dapat memanfaatkan teknologi dan media dalam


pembelajaran abad 21.

Pokok Pokok Materi

A. Integrasi teknologi dan media ke dalam pembelajaran abad 21


B. Pemanfaatan teknologi dan media informasi ke dalam pembelajaran abad 21

Uraian Materi

A. Integrasi Teknologi dan Media ke dalam pembelajaran Abad ke 21


Dijelaskan oleh Smaldino, S. E., dkk (2015: 7-11) bahwa kegiatan pembelajaran
di era digital dilakukan di dalam atau di luar kelas dimana teknologi berbasis komputer
merupakan komponen pembelajaran yang mudah diakses dan dapat dipakai untuk
menemukan sumber belajar.Perangkat dan koneksi digital memperluas kemampuan
siswa yang datang dari berbagai arah. Ada dua bentuk kegiatan belajar yang dapat
dilakukan dengan memanfaatkan media digital berbasis komputer diantaranya
interactive tools dan interacting with others.
Interactive tools atau media peralatan interaktif. Peserta didik di era digital
menggunakan perangkat nirkabel bergerak (internet) dengan berbagai cara di dalam dan
di luar aturan sekolah yaitu dengan memanfaatkan teknologi dan media informasi
internet kapanpun dan dimanapun saat diperlukan. Misalnya, siswa membaca
menemukan sumber belajar melalui sambungan internet di perpustakaan yang
menyediakan jaringan nirkabel wifi untuk membuat catatan dari artikel Koran atau
sumber belajar lain yang diarsipkan. Perangkat nirkabel ini memperluas dan
memberikan pengalaman belajar lebih kepada siswa di luar metode non digital.
Interacting with others (berinteraksi dengan orang lain). Penggunaan media
komputer berbasis internet memudahkan siswa untuk mencari sumber belajar dengan
mudah dan cepat dimanapun dan kapanpun. Ponsel pintar (android), tablet, dan laptop
yang terhubung dengan saluran internet dapat digunakan untuk mengirim pesan berupa
video, pesan suara, dan animasi. Selain itu juga dapat dimanfaatkan siswa untuk
mendengarkan dan melihat video terkait pelajaran, mendengarkan musik, mencari
informasi berita dan olahraga, serta untuk menonton video dan film musik terbaru yang
diminati siswa.
Peserta didik juga dapat melakukan komunikasi dengan menggunakan
perangkat digital yang mereka miliki melalui perintah suara, catatan tertulis,
menggunakan layar sentuh atau keyboard mini. Selain itu dokumen dengan komentar
dan penyuntingan yang dituliskan dalam media digital dapat dipertukarkan secara
instant antara peserta didik dengan guru, antar peserta didik, atau dengan para ahli
melalui pengiriman pesan email dan media chating lain yang tersedia. Komunitas
belajar peserta didik semacam ini tersebar di seluruh penjuru dunia melalui alat
komunikasi interaktif berbasis web dan situs media sosial seperti blog (jurnal pribadi
yang dapat diakses publik), wiki (informasi web yang dapat diedit oleh pengguna yang
terdaftar), dan podcast (file multimedia berbasis internet yang diformat untuk dapat
diunduh langsung ke perangkat seluler).
Dijelaskan oleh Saripudin (2015:3) bahwa teknologi informasi web mengalami
perkembangan sangat pesat. Hal ini ditandai dengan munculnya web 1.0 yang bersifat
statis dan searah. Kemudian digantikan web 2.0 yang mengedepankan prinsip
kolaborasi antar komponen maupun manusia. Proses dan teknologinya pun menjadi
fleksibel guna mendapatkan informasi yang sesuai kebutuhan pengguna dan tanpa
batas. Penggunaan web sebagai media interaktif manusia sudah menjadi kebutuhan
yang tidak bisa dipungkiri lagi di era digital abad 21 ini. Hal ini dikarenakan
penggunaannya yang mudah dan fleksibel sesuai kebutuhan.
Contoh pemanfaatan media dan informasi digital dalam kehidupan sehari-hari
oleh peserta didik adalah pembuatan blog tentang pemanasan global dimana mereka
secara teratur bertukar komentar dan tautan terkait materi pemanasan global dengan
peserta didik lain yang berada di seluruh penjuru dunia.Siswa tingkat sekolah
menengah menggunakan wiki untuk berinteraksi dengan mahasiswa yang menanggapi
kegiatan menulis mereka. Sementara peserta didik sekolah menengah kelas sastra di
Amerika mengunggah podcast wawancara dengan penulis terkemuka ke situs web kelas
(Smaldino, S. E., dkk, 2015: 11).

B. Pemanfaatan Teknologi dan Media Informasi ke dalam Pembelajaran Abad ke 21


Media digital mengembangkan dan meningkatkan kapabilitas guru untuk
memenuhi berbagai peran dan tanggungjawabnya yang berhubungan dengan menjadi
seorang pendidik. Media digital tersebut sebaiknya memberikan ruang gerak guru pada
era digital untuk merencanakan dan menyediakan pembelajaran interaktif ketika
berpartisipasi di dalam komunitas atau kelompok kerja guru dan praktik secara umum
dengan sesama rekan pendidik.
Smaldino, S. E., dkk (2012:7-9) mengemukakan beberapa kemampuan yang
dapat dikembangkan guru untuk menunjukkan potensinya terkait tugas dan perannya
di era digital yaitu sebagai berikut:
1. Interactive Instruction (Pembelajaran Interaktif)
Pembelajaran ini menunjukkan bahwa kegiatan seorang guru di era
digital berisi presentasi yang kaya akan media interaktif. Sebagai contoh
kegiatan konferensi video digital secara langsung yang mendatangkan
narasumber seorang sejarawan, novelis, dan pakar di dalam pembelajaran kelas.
Catatan dan peta konsep dari sesi brainstorming terekam dalam media digital
berupa laptop atau notebook dan secara instant langsung dapat dikirim melalui
email kepada peserta didik. Presentasi aturan pembelajaran terintegrasi secara
baik melalui streaming video dan audio digital dari file berbasis internet.
Tampilan media iniberkisar dari klip video pendek yang mendemonstrasikan
konsep spesifik hingga video documenter berdurasi panjang. Penyajian media
bentuk ini biasa berupa PowerPoint atau Prezi Presentation yang
mengintegrasikan animasi, suara, dan hyperlinks dengan informasi digital.
2. Personal Response System (PRS)
Flyn & Russell mengemukakan bahwa guru dalam pembelajaran
berbasis digital menggunakan perangkat digital handlehand, seperti personal
response system (PRS) atau biasa disebut sebagai “Clicker.” PRS merupakan
sebuah keypad wireless (tanpa kabel) seperti remot TV yang mentransmisikan
respon dari siswa. Karena setiap PRS diperuntukkan pada siswa yang ditunjuk,
maka sistem PRS dapat digunakan untuk mengecek kehadiran/presensi siswa.
Manfaat utama PRS adalah untuk mengetahui setiap respon dari siswa dalam
berbagai macam keadaan. Penggunaan PRS selama pembelajaran mampu
meningkatkan interaksi antara peserta didik dan guru di kelas guna
menghasilkan hasil pembelajaran yang lebih baik. Penggunaan PRS pada dunia
pendidikan diantaranya untuk mengukur pemahaman siswa terhadap konsep,
membandingkan sikap siswa terhadap ide-ide yang berbeda,memprediksi
situasi dengan perumpamaan kondisi “Bagaimana jika…”(“What if”), dan
memfasilitasi drill dan praktik skill(keterampilan) dasar. PRS juga dapat
digunakan sebagai media umpan balik bagi guru dan siswa. Guru dapat
menggunakan informasi ini untuk membimbing jalannya diskusiguna membuat
keputusan pembelajaran yang dibutuhkan siswa.
3. Mobile Assessment Tools
Weinstein mengemukakan sumber komputasi seluler (mobile computing
resources) memungkinkan guru untuk merekam data assessmen siswa secara
langsung dalam perangkat seluler (mobile Device) yang mentransfer data ke
komputer untuk membuat laporan. Sebagai contoh, perangkat digital seluler
digunakan untuk membuat catatan operasional kemampuan membaca siswa SD
atau data kinerja siswa yang diobservasi dalam presentasi, eksperimen di
laboratorium, atau tugas tulisan tangan siswa.
Perangkat seluler tidak hanya menghemat waktu guru tetapi juga
menyediakan pengaturan waktu dan penilaian otomatis hasil belajar siswa. Guru
dapat terus melakukan instruksi secara individual karena ketersediaan hasil
belajar langsung dapat diketahui. Data penilaian mudah diunduh ke situs web
yang aman dan dilindungi kata sandi yang menawarkan berbagai opsi laporan
dari seluruh siswa di kelas hingga siswa secara perorangan.
4. Community of Practice (Komunitas Praktik)
Guru di era digital juga berpartisipasi dalam kegiatan community of
practice (COP), dimana kelompok guru atau pendidik yang mempunyai tujuan
sama dari seluruh penjuru dunia saling berbagi ide dan sumber daya. Interaksi
berbasis internet ini memungkinkan guru untuk berkolaborasi maupun bertukar
gagasan dan materi. Komunitas guru dapat mencakup pendidik yang mengajar
dengan subjek pelajaran sama, atau guru yang mengajar pada tingkat kelas yang
sama. Guru yang tertarik dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam instruksi
dapat memanfaatkan sumber daya dan jaringan ahli, mentor, dan rekan-rekan
baru yang didukung oleh berbagai komunitas web.
Penggunaan teknologi dan media yang efektif menuntut agar para guru
lebih terorganisir di dalam menjalankan tugas pembelajarannya. Diawali
memikirkan tujuan pembelajaran, kemudian mengubah rutinitas kelas sehari-
hari sesuai kebutuhan, dan akhirnya mengevaluasi untuk menentukan dampak
dari instruksi yang digunakan pada kemampuan mental, perasaan, nilai,
interpersonal skill, dan keterampilan motoric siswa. Terdapat Standar
Teknologi Pendidikan Nasional untuk Guru (National Educational Technology
Standards for Teacher/NETS-T) yang memberikan lima pedoman dasar untuk
menjadi guru digital. Seperti yang terlihat pada Tabel NETS-T di bawah ini
menjelaskan praktik kelas, pengembangan pelajaran, dan harapan professional.
Standar Deskripsi

Memfasilitasi dan Guru menggunakan pengetahuan mereka tentang materi


Menginspirasi pelajaran, pengajaran dan pembelajaran, dan teknologi
Pembelajaran dan untuk memfasilitasi pengalaman yang memajukan
Kreativitas Siswa. pembelajaran siswa, kreativitas, dan inovasi baik di
lingkungan tatap muka dan virtual.

Merancang dan Guru merancang, mengembangkan, dan mengevaluasi


Mengembangkan pengalaman belajar otentik dan penilaian yang
Pengalaman dan menggabungkan alat dan sumber daya kontemporer untuk
Penilaian memaksimalkan pembelajaran konten dalam kontak dan
Pembelajaran Digital- mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
Age. yang diidentifikasi dalam NETS-S.

Model Kerja dan Guru menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan


Belajar Digital-Age. proses kerja yang mewakili profesional inovatif dalam
masyarakat global dan digital.

Mempromosikan dan Guru memahami masalah dan tanggung jawab sosial


Model Digital lokal dan global dalam budaya digital yang berkembang
Citizenship dan dan menunjukkan perilaku hukum dan etika dalam
Tanggung Jawab praktik profesional mereka.

Terlibat dalam Guru secara terus-menerus meningkatkan praktik


Pertumbuhan profesional mereka, memodelkan pembelajaran seumur
Profesional dan hidup, dan memamerkan para pemimpin dalam
Kepemimpinan. komunitas sekolah dan profesional mereka dengan
mempromosikan dan mendemonstrasikan penggunaan
alat-alat digital dan sumber daya secara efektif.

Standar Teknologi Pendidikan Nasional untuk Guru (National Educational


Technology Standards for Teacher) (NETS-T) oleh Smaldino, S. E., dkk (2015:
9)
KEGIATAN BELAJAR 3

MERANCANG DAN MENILAI PEMBELAJARAN ABAD KE 21

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Setelah mempelajari kegiatan belajar 3 ini diharapkan ibu/bapak memahami


desain dan penilaian pembelajaran abad ke 21

Pokok Pokok Materi

A. Prinsip-prinsip pembelajaran efektif abad ke 21


B. Merancang pembelajaran dan strategi pembelajaran abad ke 21
C. Prinsip-prinsip penilaian efektif abad ke 21

Uraian Materi

A. Prinsip-prinsip Pembelajaran Efektif abad ke 21


Berdasarkan hasil praktik penelitian tindakan kelas dalam periode waktu
tertentu Smaldino, S. E., dkk (2015: 23-24) menjelaskan bahwa ada 8 prinsip
pembelajaran yang efektif yaitu:
1. Mengkaji pengetahuan sebelumnya
2. Mempertimbangkan perbedaan individual
3. Sesuai dengan tujuan negara (state objectives)
4. Mengembangkan ketrampilan metakognisi
5. Memberikan interaksi sosial
6. Menggabungkan konteks yang realistik
7. Melibatkan siswa dalam konteks yang relevan
8. Pemberian umpan balik yang sering, tepat waktu, dan konstruktif.

Pembelajaran akan bisa efektif jika guru sebelum memulai pembelajaran


dengan mengingatkan kembali kepada siswa pada pengetahuan (materi ajar) yang
didapat sebelum inti materi yang akan disajikan. Keberhasilan pembelajaran dikatakan
berhasil apabila materi ajar dapat dipahami dengan baik sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Keaktifan siswa dapat dicapai apabila guru berperan
sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator selama proses pembelajaran
berlangsung. Guru dapat memanfaatkan tenologi digital dan media online sebagai
sumber pembelajaran dalam upaya mengaktifkan siswa.

Tidak kalah pentingnya yaitu menghubungkan materi ajar disesuaikan dengan


kehidupan nyata sehari-hari dimana lingkungan sosial siswa berada. Materi ajar yang
bersifat konseptual perlu dijelaskan melalui berbagai macam contoh yang dialami
siswa. Pengalaman nyata pada kehidupan siswa akan sangat membantu dalam
memahami materi ajar yang disamapaikan oleh guru.

B. Strategi Pembelajaran Abad ke 21


1. Strategi pembelajaran abad ke 21
Pada abad 21 terjadi perubahan strategi pengajaran yang dilakukan oleh guru
dari cara yang tradisional kini mengarah pada pendekatan digital yang dirasa lebih
relevan dalam memenuhi kebutuhan siswa. Akan tetapi proses transisi dari lingkungan
kelas yang menerapkan cara tradisional ke cara digital sangat bervariasi tergantung
pada cara guru dan sekolah yang bersangkutan dalam merespon dan menyikapinya.
Prensky mendeskripsikan guru sebagai variabel proses hasil adopsi dan adaptasi
teknologi yang bergerak, baik secara cepat atau lambat. Ada empat fase proses adopsi
dan adaptasi guru dalam pemebelajaran abad 21 diantaranya: (1) berkecimpung
(dabbling),(2) melakukan hal-hal lama dengan cara lama (old things in old ways), (3)
melakukan hal-hal lama dengan cara-cara baru (old things in new ways) dan (4)
melakukan hal-hal baru dengan cara-cara baru (doing new things in new ways)
(Smaldino, S. E., dkk, 2015: 12).
Proses ini dimulai dari tahap 1 yaitu berkecimpung dengan teknologi yaitu
dengan cara menambahkan teknologi ke beberapa situasi belajar secara acak. Pada
fase 2, teknologi digunakan untuk melakukan hal-hal lama dengan cara lama seperti
ketika guru menampilkan catatan belajar di PowerPoint dari pada menggunakan OHP
(tranparancy overhead). Fase 3 melakukan hal-hal lama dengan cara baru dimana
teknologi mulai digunakan, seperti ketika guru menggunakan model 3D Virtual untuk
mendemonstrasikan struktur sebuah senyawa. Contoh lain ketika siswa menggunakan
aplikasi pengolah kata dan clip art daripada menggunakan kertas notebook dan
menggambar langsung untuk membuat cerita pendek. Tahap Akhir (4), melakukan
hal-hal baru dengan cara-cara baru yang sepenuhnya memanfaatkan kekuatan
teknologi dan media. Hal ini mengharuskan siswa berorientasi ke masa depan guna
mengembangkan keterampilan mereka dalam pemrograman, penyaringan
pengetahuan, menggunakan konektivitas dengan teknologi canggih, dan penyediaan
miniature yang dapat dikustomisasi satu per satu.
Haryono (2017: 431-432) mengemukakan bahwa guna mewujudkan model
pembelajaran yang relevan dan kondusif untuk menyiapkan siswa menjadi warga negara
masyarakat gobal yang melek informasi dan pengetahuan abad 21, maka diperlukan strategi
pembelajaran sebagai berikut.
a. Fokus pembelajaran pada praktik belajar lebih dalam (deeper learning) dan
belajar kemitraan baru. Belajar lebih dalam adalah proses dimana individu
menjadi mampu mengambil intisari apa yang dipelajari dari satu situasi dan
mengamplikasikannya pada situasi lain. Belajar lebih dalam melibatkan lintas
kompetensi kognitif, interpersonal, dan intrapersonal.
b. Strategi pembelajaran mengaplikasikan strategi pedagogi yang mendukung
praktik deeper learning dan kemitraan baru. Hal ini dimaksudkan untuk
menyiapkan siswa agar mampu mencapai kesuksesan di masyarakat yang
berpengetahuan dengan kondisi ekonomi dinamis yang dicirikan dengan
kompleksitas, tidak terprediksi, keterhubungan global, perubahan yang
sekaligus peluang, pembelajaran harus bergeser dari model
c. Pembelajaran langsung ke arah model pembelajaran penemuan (inquiry based
model). Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi yang
dapat dikembangkan pembelajar karena pembelajaran ini tidak hanya
mempresentasikan informasi tetapi dalam jangka panjang juga menjadikan
siswalebih terampil dalam memecahan masalah).
d. Pemanfaatan teknologi diarahkan pada upaya membantu siswa dalam
mengembangkan keterampilan teknologis sebagai bagian dari kompetensi
abad 21. Pemanfaatan teknologi dalam dimensi produk maupun proses
diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan siswadalam proses belajar dan
peningkatan pecapaian prestasi. Teknologi memungkinkan individu oleh
memperoleh akses informasi (real-time data), memberikan simulasi tentang
suatu objek sebagaimana adanya (real world), dan mendapatkan peluang untuk
terkoneksi dengan berbagai objek belajar sesuai minat. Teknologi dapat
membantu dalam asesmen perkembangan performansi siswa, serta
memfasilitasi proses komunikasi dan kolaborasi.
e. Pendidikan informal dan belajar pengalaman berperan penting dalam
mengembangkan kompetensi peserta didik. Artinya pembelajaran yang
dikembangkan dan diterapkan kepada siswa harus mempertimbangkan
pengalaman belajar yang diperoleh di luar kelas, oleh karena itu perlu
mengembangkan berbagai aktivitas untuk memperkaya pengalaman belajar
siswa di luar kelas.
f. Assesmen dilakukan dengan pendekatan pedagogik transformatif. Assesmen
yang dikembangkan dimaksudkan untuk mendukung keberhasilan proses
pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian kompetensi abad 21 yaitu
mampu menjangkau seluruh aspek capaian pembelajaran. Assesmen autentik
memungkinkan guru untuk mengukur capaian pembelajaran secara
komprehensif, mulai dari dimensi kognisi, keterampilan, hingga sikap dan
sistem nilai, sehingga tidak hanya beorientasi pada produk (capaian hasil)
semata, tetapi juga dilihat dari dimensi proses pencapaiannya.
g. Dukungan infrastruktur pembelajaran berperan penting dalam pencapaian
kompetensi abad 21. Ruang fisik dimana dan kapan siswa melakukan proses
belajar menjadi faktor pendukung yang signifikan. Ruang fisik (physical
space) mencakup aspek desain yang fleksibel, memfasilitasi keterhubungan
yang konstruktif, konfigurasi perpustakaan yang menjadi pusat belajar, dan
desain yang memudahkan berhubungan dengan dunia luar yaitu dengan
komunitas yang lebih luas.
Smaldino, S. E., dkk (2015: 64-76) mengemukakan bahwa ada 10 tipe dari
strategi instruksional pembelajaran yang biasa digunakan di kelas diantaranya:
1. Presentation (Presentasi)
Pada kegiatan presentasi, guru atau siswa menyebarkan informasi yang
dieroleh melalui sumber informasi berupa guru, siswa, buku teks, internet, audio,
video, dan lain sebagainya. Presentasi interaktif melibatkan pertanyaan dan komentar
diantara guru dan siswa sebagai anggota keseluruhan kelas atau dalam kelompok kecil.
Bentuk integrasi metode presentasi dapat dilihat melalui sejumlah sumber daya
teknologi yang digunakan dapat meningkatkan kualitas penyajian informasi. Sebagai
contoh siswa dapat menggunakan aplikasi microsoft power point untuk menampilakn
hasil rangkuman hasil tulisan taks dan menyajikan video maupun gambar sekaligus
dalam satu tampilan presentasi.
2. Demontrastion (Demonstrasi)
Pada metode demonstrasi, siswa mempelajari pandangan dari suatu
keterampilan atau prosedur yang harus dipelajari. Demonstrasi dapat diterapkan pada
seluruh anggota kelas, kelompok kecil, atau individu yang membutuhkan sedikit
penjelasan tambahan tentang bagaimana melakukan suatu tugas. Tujuan demonstrasi
bagi siswa adalah untuk meniru kinerja fisik, seperti menggunakan alat ukur angin
digital, atau untuk mengadopsi sikap yang dicontohkan guru sebagai bentuk
keteladanan. Demonstrasi mengijinkan siswa untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan selama pembelajaran aktif berlangsung. Bentuk integrasi metode
demonstrasi dapat ditingkatkan melalui penggunaan peralatan teknologi seperti
kamera digital. Kamera video digital dapat digunakan untuk merekam demonstrasi
selama atau sebelum kelas berlangsung.
3. Drill and Practice (Latihan terus menerus dan Praktik)
Peserta didik menyelesaikan latihan latihan untuk menyegarkan atau
meningkatkan kapasitas isi pengetahuan dan keterampilan. Strategi penggunaan drill
and practice ini mengasumsikan bahwa siswa telah menerima beberapa instruksi
tentang konsep, prinsip, atau prosedur tertentu dari guru sebelumnya. Agar efektif
latihan terus menerus dan praktik harus diikuti umpan balik untuk menguatkan
jawaban benar dan memperbaiki jawaban salah yang mungkin dilakukan siswa.
Bentukintegrasi dari metode ini dengan penggunaan teknologi adalah banyak aplikasi
komputer yang ditawarkan kepada siswa memberikan kesempatan untuk mengingat
kembali dan melakukan praktik atas pengetahuan maupun ketrampilannya.
4. Tutorial
Tutorial merupakan metodepembelajaran yang melibatkan siswabekerjasama
dengan orang lain yang lebih ahli, atau perangkat lunak komputer tercetak khusus yang
menyajikan konten/isi, mengajukan pertanyaan atau masalah, meminta tanggapan
peserta, menganalisis tanggapan, memberikan umpan balik yang sesuai, dan
memberikan latihan sampai pelajar menunjukkan tingkat kemandirian yang telah
ditentukan. Siswa belajar melalui latihan denganpemberian umpan balik setelah setiap
bagian kecil selesai dilakukan. Integrasi dari bentuk metode ini dengan teknologi
adalah pengaturan tutorial termasuk instruktur untuk pelajar, pelajar untuk pelajar,
komputer untuk pelajar, cetak untuk pelajar.
5. Discussion (Diskusi)
Sebagai sebuah strategi pembeajaran, tutorial melibatkan pertukaran ide dan
pendapat di antara siswa atau di antara siswa dan guru. Diskusi akan efektif bila
dilakukan dnegan cara mengenalkan topik pemicaraa yang baru atau lebih mendalam
sampai konsep dasar. Integrasi antara metode diskusi dnegan teknologi adalah
teknologi mendukung diskusi menjadi metode yang dikenal di kelas seperti saat ini
seperti metode yang memperluas percakpaan di luar kelas.
6. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Merupakan sebuah strategi kelompok dimana siswa bekerjasama untuk saling
membantu dalam belajar. Integrasi dari metode ini adalah siswa dapat belajar tidak
hanya berdiskusi maslah materi task dan menonton media, tapi juga menghasilkan
media. Sebagai contoh siswa dapat mendesain dan menghasilkan sebuah podcast,
video, atau powerpoint atau prezi presentasi.
7. Problem-Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)
Melalui penggunaan pembelajaran berbasis masalah, siswa secara aktif akan
mencari solusi untuk masalah-masalah terstruktur atau tidak terstruktur yang terletak
di dunia nyata. Masalah terstruktur memberikan siswa pemahaman yang jelas tentang
apa yang mungkin menjadi jawabanatas permasalahan yang ada. Integrasi dari metode
ini dengan teknologi adalah banyaknya aplikasi komputer yang menyediakan dan
mendukung pembelajaran berbasis masalah. Sebagai contoh aplikasi microsoft access
dan excel yang mengijinkan siswa untuk mengembangkan dan menjelajahi data sets
untuk menemukan jawaban menggunakan rumus fungsi.
8. Games (Permainan)
Permainan pendidikan menyediakan sebuah lingkungan yang kompetitif
dimana siswa mengikuti aturan yang ditentukan saat mereka berusaha untuk mencapai
tujuan yang menantang dan menghadirkan siswa dengan pemahaman yang jelas
tentang apa yang mungkin merupakan jawaban yang tepat. Permainan seri meminta
siswa untuk menggunakan ketrampilan memecahkan masalah dalam mencari solusi
atau untuk mendemonstrasikan penguasaan konten spesifik yang menuntut tingkat
akurasi dan efisiensi yang tinggi. Integrasi dari metode ini dengan teknologi adalah
beberapa permainan menggunakan tujuan pendidikan, seperti permainan puzzle dan
sudoku.
9. Simulations (Simulasi)
Metode simulasi mengijinkan siswa untuk berada pada situasi nyata. Integrasi
dari metode simulasi dengan teknologi adalah kemampuan interpersonal dan
percobaan laboratorium pada fisika ilmu pengetahuan alam merupakan contoh subjek
simulasi.
10. Discovery (Penemuan)
Strategi penemuan diguanakan sebuah induktif, atau penemuan mandiri.
Integrasi dari metode discovery dengan teknologi adalah ada beberapavariasi cara
bahwa teknologi instruktusional dan media dapat membantu mengenalkan discovery
maupun inkuiri.
Sementara, menurut Saripudin (2015: 4-6) desain pembelajaran yang bisa
dikembangkan pada pembelajaran abad 21 diantaranya:
a. Project Base Learning
Ajeyalemi mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis proyek merupakan
model pembelajaran yang berpijak pada teori belajar konstruktivistik. Strategi
pembelajaran yang menonjol dalam pembelajaran konstruktivistik antara lain adalah
strategi belajar kolaboratif, mengutamakan aktivitas siswa daripada aktivitas
pengajarnya, mengenai kegiatan laboratorium, pengalaman lapangan, studi kasus,
pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstorming, dan simulasi.
Buck Institute for Education mendefinisikan bahwa karakteristik pembelajaran
project base learning sebagai berikut:
1) Pembelajar membuat keputusan, dan membuat kerangka kerja
2) Terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya
3) Pembelajar merancang proses untuk mencapai hasil
4) Pembelajar bertanggung jawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi
yang dikumpulkan
5) Melakukan evaluasi secara kontinyu
6) Pembelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan
7) Hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya
8) Kelas memiliki atmosfer yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
b. Project Oriented Learning
Project-oriented learning melibatkan pembelajar dalam suatu proyek misalnya
proyek tersebut berupa sebuah produk.Tujuan utamanya bukan hasil dari produk itu
sendiri akan tetapi lebih mengutamakan pada proses dan dampak dari pembelajaran
tersebut. Karakter utama dari project-oriented learning adalah bahwa proyek
merupakan bagian dari tugas riset dan pengembangan dimana prosesnya dibatasi oleh
waktu, pembelajar secara individu maupun kelompok diperkenalkan pada subyek, isi
dan metodologi, untuk bekerja secara bebas.
c. Problem Based Learning
Pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (problem-
based learning) mirip pendekatan belajar berbasis proyek (project-based learning)
yang awalnya berakar pada pendidikan medis dan diterapkan pada pendidikan bidang
kedokteran. Kedua model tersebut pada prakteknya menekankan lingkungan belajar
siswa aktif, kerja kelompok (kolaboratif), dan teknik evaluasi otentik (authentic
assessment). Perbedaannya terletak pada perbedaan objek. Jika dalam problem-based
learning, pembelajar lebih didorong dalam kegiatan yang memerlukan perumusan
masalah, pengumpulan data, dan analisis data (berhubungan dengan proses diagnosis
pasien). Sedangkan dalam project-based learning pembelajar lebih didorong pada
kegiatan mendesain merumuskan pekerjaan, merancang (designing), mengkalkulasi,
melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil yang diharapkan.
d. Cooperative Learning
Cooperative Learning (pembelajaran kooperatif) merupakan model
pembelajaran berkelompok dengan jumlah tertentu dan bertujuan untuk saling
memotivasidiantara sesama anggota kelompok agar mendapatklan hasil belajar secara
maksimal. Tujuan dari model ini adalah untuk memaksimalkan hasil belajar yang ingin
dicapai dari tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini didasarkan
karena anggota dari kelompok belajar ini memiliki tingkatan pengetahuan yang
berbeda dari rendah, sedang dan tinggi.
Adapun Tipe-tipe Cooperative Learning antara lain sebagai berikut:
1) Jigsaw
2) NHT (Number Heads Together)
3) STAD (Student Teams Achievement Divisions)
4) TAI (Team Assisted Individualization atau Team Accelerated Instruction)
5) Think-Pair-Share
6) Picture and Picture
7) Problem Posing
8) Problem Solving
9) Team Games Tournament (TGT)
10) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
11) Learning Cycle (Daur Belajar)
12) Cooperative Script (CS)

2. Menyusun rancangan pembelajaran di abad ke 21.


Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk
mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi
yang dimiliki peserta didik tidak akan dapat berkembang secara optimal tanpa bantuan
dari seorang guru. Guru diharapkan memperhatikan peserta didik secara optimal.
Itulah sebabnya, guru selain memperhatikan peserta didik secara kelompok juga
diharapkan pula memperhatikan peserta didik secara individual. Oleh karena itu,
pendidikan harus dirancang sedemikian rupa dan memungkinkan para peserta didik
dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami, kreatif dalam suasana
kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Selain itu, pendidikan harus dapat
menghasilkan lulusan yang bisa memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang
dapat mendukung kehidupan mereka di masyarakat (Mudiono, 2017: 2).
Perancangan pembelajaran bisa dimulai dari aspek perilaku (performance)
atau dari aspek keterangan (informasi). Jika berawal dari pendekatan perilaku maka
perancang harus terlebih dahulu menentukan hal-hal yang dapat dikerjakan oleh siswa
dan hal-hal yang seharusnya mereka kerjakan. Jika memulai dari pendekatan informasi
maka perancang harus menentukan pengetahuan atau informasi yang ada dan yang
diinginkan oleh peserta didik. Informasi adalah keterangan yang ada dan berada di luar
diri seseorang, sedangkan pengetahuan adalah keterangan yang telah dimiliki atau
tersimpan dalam diri seseorang (Oemar Hamalik, 2014:81-82).
Para guru dalam melaksanakan pembelajaran memerlukan kesiapan secara
profesional agar tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal. Salah satu
bentuk kesiapan guru sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas adalah menyusun
rancangan pembelajaran yang relevan dnegan perkembangan zaman dan kebutuhan
peserta didik. Rancangan pembelajaran yang harus disiapkan mencakup tiga hal pokok
yaitu meliputi tujuan pembelajaran, inti materi pembelajaran, dan evaluasi
pembelajaran.
Guru dalam menyusun tujuan pembelajaran berdasarkan pada kurikulum
dengan mengembangkan KI dan KD dan disesuaikan dengan lingkungan sosial
siswadalam kehidupan sehari-hari. Inti pembelajaran dikembangkan disesuaikan
dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berdasarkan pada kurikulum yang
digunakan. Sementara evaluasi disusun untuk melihat keberhasilan pembelajaran yang
telah dilaksanakan serta melakukan umpan balik refleksi kegiatan pembeljaran yang
teah dilakukan.
Rancangan pembelajaran di abad ke 21 ini diharapkan dapat disusun oleh guru
untuk mengembangkan potensi siswa melalui pemanfaatan teknologi berbasis
komputer dan media online. Guru dapat mengembangkan potensi siswa melalui tugas-
tugas yang dapat dikerjakan menggunakan teknologi berbasis komputer dan dapat
memanfaatkan media online sebagai alat untuk menemukan sumber belajar.
Kreativitas dan inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan memungkinkan
pemanfaatan secara optimal teknologi berbasis komputer dan media berbasis online
guna tercapainya tujuan pembelajaran.
Pembelajaran abad ke 21 memiliki karakteristik yang khas yaitu komunikatif
digital, informasi bersifat sangat dinamis, informasi tersedia di mana saja, dan
informasi tidak selalu valid (Dispora DIY, 2017:2). Guru sebagai tenaga profesional
dan pendidik di sekolah perlu mempersiapkan beberapa hal esensial terkait kegiatan
pembelajaran bersama siswa dengan penuh pertimbangan. Dalam hal ini tak terkecuali
juga perlu memperhatikan kondisi siswa sebagai subyek pembelajar.
Standar Teknologi Pendidikan Nasional untuk Siswa (National Educational
Technology Standards for Students/NETS-S) mengemukakan terdapat enam
keterampilan penting yang harus dimiliki dan ditanamkan guru kepada siswa guna
mencapai keberhasilan di sekolah dan kariernya di masa depan. Keterampilan siswa
ini penting diketahui guru guna menyesuaikan kebutuhan siswa dengan perkembangan
teknologi yang semakin pesat seperti sekarang ini. Hal ini nantinya akan berguna
untuk kepentingan pengintegrasian ke dalam rencana pembelajaran yang akan disusun
guru. Berikut Standar Teknologi Pendidikan Nasional untuk siswa (National
Educational Technology Standards for Students/NETS-S).

Standar Deskripsi
Kreativitas dan Siswa mendemonstrasikan perilaku berpikir kreatif,
inovasi membangun pengetahuan, dan mengembangkan
produk dan proses inovatif menggunakan teknologi.
Komunikasi dan Siswa menggunakan media digital dan lingkungan
Kolaborasi untuk berkomunikasi dan bekerja secara kolaboratif
(termasuk dari jarak jauh)untuk mendukung
pembelajaran individu dan berkontribusi pada
pembelajaran yang lain.
Penelitian dan Siswa menggunakan media digital untuk
kelancaran mengumpulkan, mengevaluasi, dan menggunakan
Informasi informasi.
Berpikir Kritis, Siswa menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk
Pemecahan merencanakan dan melakukan penelitian, mengelola
Masalah, dan proyek, memecahkan masalah, dan membuat
Pembuatan keputusan dengan menggunakan media digital dan
Keputusan sumber daya yang tepat.
Kewarganegaraan Siswa memahami masalah-masalah manusia, klise,
Digital (Digital dan kemasyarakatan yang terkait dengan teknologi
Citizenship) serta mempraktekkan perilakunya sesuai dengan
hukum dan etika.
Operasi Teknologi Siswa menunjukkan pemahaman yang kuat tentang
dan Konsep konsep, sistem, dan operasi teknologi.
National Educational Technology Standards for Students/NETS-S oleh Smaldino, S. E., dkk. (2015: 11).

C. Prinsip-prinsip Penilaian Efektif pada Pembelajaran Abad ke 21


Evaluasi untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan pembelajaran ada
bermacam-macam. Hasil belajar siswa akan dapat diketahui secara tepat apabila guru
dapat memilih metode penilaian yang tepat pula. Smaldino (2015: 29-35)
mengemukaka bahwa penilaian yang digunakan pada pembelajaran abad 21
hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip penilaian efektif seperti pada jenis
penilaian berikut.
1. Penilaian Autentik
Penilaian autentik meminta siswa untuk menggunakan proses yang sesuai
dengan isi materi dan keterampilan yang sedang dipelajari dan digunakan siswa pada
dunia nyata. Penilaian autentik dapat diterapkan pada sebagian besar kinerja atau
produk yang dikembangkan siswa untuk didemonstrasikan. Bentuk penilaian autentik
yang paling sering digunakan adalah penilain autentik dengan menggunakan daftar
ceklist, skala sikap, daftar periksa peringkat produk, dan rubrik.
2. Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio digunakan untuk menilai produk yang berwujud seperti
prestasi dalam hal analisis, sintaksis, dan evaluasi. Kunci utama dari penilaian
portofolio adalah permintaan untuk siswa merefleksi diri sendiri pada pembelajaran
demonstrasi yang sudah dilakukan pada produk portofolio. Untuk menggunakan
penilaian portofolio, kita harus menentukan apakah akan menggunakan portofolio
tradisional atau portofolio elektronik. Portofolio tradisional berwujud koleksi fisik dari
hasil karya siswa, sedangkan portofolio elektronik berisi pekerjaan menggunakan
karya digital.
3. Penilaian Tradisional
Ketika guru membutuhkan informasi terkait pengetahuan dan keterampilan
khusus yang dimiliki siswa, maka penilaian tradisional digunakan untuk
mendemonstrasikan tingkat pengetahuan siswa tersebut. Penilaian tradisional meliputi
soal pilihan ganda, mengisi bagian yang kosong, isian singkat, benar salah, dan isian
singkat. Penilaian tradisional menggunakan standar tes yang sudah ditentukan
sebelumnya untuk mengetahui progres belajar siswa.
Penjelasan lebih mendalam tentang keunggulan dan keterbatasan serta
integrasi strategi-media dalam pembelajarn berupa rancangan Pembelajaran akan
dibahas di Modul 5, sementara untuk penilaian dibahas di Modul 6.
MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 1
KOMPETENSI GURU

Capaian Pembelajaran

Setelah mempelajari kegiatan belajar ini diharapkan anda memiliki


pemahaman kompetensi guru secara utuh, membedakan kompetensi pedogogik,
kepribadian, sosial dan professional dan indikatornya, serta mampu menjelaskan
kompetensi pedagogik guru abad 21 dalam kaitan dengan pengembangan profesi
seorang guru.

Pokok Pokok Materi

1. Kompetensi guru
2. Kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian
3. Kompetensi pedagogik guru abad 21

Uraian Materi

A. Kompetensi Guru
Apakah anda pernah mendengar kata kompetensi? kompetensi
dapat diartikan kewenangan dan kecakapan atau kemampuan
seseorang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan sesuai
dengan jabatan yang disandangnya. Dalam hal ini tugas atau
pekerjaan yang dimaksud adalah profesi Guru.
Rumusan kompetensi guru yang dikembangkan di Indonesia sudah tertuang
dalam Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat (1)
kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan

1
profesi. Artinya diselengarakannya Pendidikan Profesi Guru (PPG) dimaksudkan
agar guru memiliki kompetensi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
tersebut. Guru yang memiliki kompetensi memadai sangat menentukan keberhasilan
tercapainya tujuan pendidikan.
Penjelasan kompetensi guru selanjutnya dituangkan dalam peraturan menteri
Pendidikan Nasional No 16 tahun 2007 tentang kualifikasi akademik dan
kompetensi guru yang berbunyi bahwa setiap guru wajib memenuhi kualifikasi
akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional. Kualifikasi akademik
Guru atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik
pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang
pendidikan (D-IV/S1) yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi. Adapun
kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
professional.

Pedagogik

Kompetensi
Profesional Kebribadian
Guru

Sosial

Gambar.1 Kompetensi Guru

Kualifikasi akademik Guru yaitu; S-1/D4 yang diperoleh dari program studi
terakreditasi dengan memiliki penguasaan empat kompetensi yaitu; pedagogi,
kepribadian, sosial dan professional.

2
1. Kompetensi Pedogogik
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru yang berkenaan dengan
pemahaman terhadap peserta didik dan pengelolaan pembeajaran mulai dari
merencanakan, melaksanakan sampai dengan mengevaluasi. Secara umum
kompetensi inti pedagogi meliputi; (a) menguasai karakteristik peserta didik dari
aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (b) menguasai teori
belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (c) mengembangkan
kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu,
(d) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (e) memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (f) memfasilitasi
pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimiliki, (g) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta
didik, (h) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (i)
memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, (j)
melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Berikut
diuraikan indikator masing-masing kompetensi inti pedagogi.
Pertama; menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial,
kultural, emosional, dan intelektual,
merupakan kompetensi inti pertama yang
harus dimiliki oleh guru. Indikator
penguasaan kompetensi ini ditunjukan dengan Ilustrasi: klearning.ict.kis.ac.th

kemapuan; (a) memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek
fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial-
budaya, (b) mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata pelajaran, (c)
mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik dalam mata pelajaran, (d)
mengidentifikasi kesulitan peserta didik.
Kedua; menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik, merupakan kompetensi inti pedagogi yang selanjutnya harus dimiliki oleh
seorang guru. Indikator penguasaan terhadap kompetensi ini ditunjukan dengan
kemampuan guru; (a) memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip

3
pembelajaran yang mendidik, (b) menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode,
dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif, (c) menerapkan pendekatan
pembelajaran berdasarkan jenjang dan karateristik bidang studi.
Ketiga; mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang
studi yang diampu merupakan kompetensi yang sudah semestinya dikuasai oleh guru.
Indikatornya seperti; (a) memahami prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, (b)
menentukan tujuan pelajaran, (c) menentukan pengalaman belajar yang sesuai untuk
mencapai tujuan pelajaran, (d) memilih materi
pelajaran yang terkait dengan pengalaman belajar
dan tujuan pembelajaran, (e) menata materi
pembelajaran secara benar sesuai dengan
pendekatan yang dipilih dan karakteristik peserta
didik, (f) mengembangkan indikator dan instrumen
penilaian. Kompetensi ini dilakukan oleh guru
dalam bentuk penyususnan RPP.
Keempat; kemampuan kompetensi pedagogi berikutnya yaitu
menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, indikatornya ditunjukan dengan; (a)
memahami prinsip-prinsip perancangan pembelajaran yang mendidik, (b)
mengembangkan komponen-komponen rancangan pembelajaran, (c) menyusun
rancangan pembelajaran yang lengkap, baik untuk kegiatan di dalam kelas,
laboratorium, maupun lapangan, (d) melaksanakan pembelajaran yang mendidik di
kelas, di laboratorium, dan di lapangan, (e) menggunakan media pembelajaran sesuai
dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran secara utuh, (f) mengambil keputusan transaksional dalam pelajaran
sesuai dengan situasi yang berkembang.
Kelima; memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran. Dengan kemajuan teknologi dan komunikasi saat ini sudah menjadi
keharusan bagi guru memiliki kemampuan dalam memanfaatkan TIK untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran yang mendidik, seperti penggunaan media dan
penggalian sumber belajar.
Keenam; memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, kompetensi ini ditunjukan guru

4
dengan; (a) menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mendorong peserta
didik mencapai prestasi belajar secara optimal, (b) menyediakan berbagai kegiatan
pembelajaran untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik, termasuk kreativitasnya.
Ketujuh; berkomunikasi secara efektif,
Pak Ali membangun hubungan baik
empatik, dan santun dengan peserta didik, dengan semua siswanya, mereka
merupakan kompetensi pedogogi yang penting seperti teman, interaksi keseharian
tak terlalu formal. Ternyata cara ini
dimiliki oleh guru, seperti; (a) memahami berbagai lebih memudahkan siswanya untuk
bertanya tanpa malu-malu kepada
strategi berkomunikasi yang efektif, empatik dan Pak Ali, dikesempatan lain ketika
santun, baik secara lisan maupun tulisan, (b) pak Ali meminta siswa untuk
mengerjakan tugas tertentu, respon
berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun siswa cepat.

dengan peserta didik dengan bahasa yang khas


dalam interaksi pembelajaran yang terbangun secara siklikal dari (1) penyiapan kondisi
psikologis peserta didik, (2) memberikan pertanyaan atau tugas sebagai ajakan kepada
peserta didik untuk ambil bagian, (c) respons peserta didik, (d) reaksi guru terhadap
respons peserta didik, dan seterusnya.
Kedelapan; menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses serta hasil belajar.
Kompetensi evaluasi sangat penting dikuasai oleh guru, karena evaluasi menjadi alat
ukur keberhasilan bagi guru dan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran.
Indikator kompetensi ini meliputi; (a) memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi
proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, (b)
menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan
dievaluasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu, (c) menentukan
prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (d) mengembangkan instrumen
penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (e) mengadministrasikan penilaian
proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan mengunakan berbagai
instrument, (f) menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk berbagai
tujuan, (g) melakukan evaluasi proses dan hasil belajar.
Kesembilan; selain memiliki kemampuan dalam mengevaluasi seorang guru
juga harus mampu untuk memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran, seperti; (a) menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk
menentukan ketuntasan belajar, (b) menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi
untuk merancang program remedial dan pengayaan, (c) mengkomunikasikan hasil

5
penilaian dan evaluasi kepada pemangku kepentingan, (d) memanfaatkan informasi
hasil penilaian dan evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kesepuluh; kompetensi terakhir dari pedogogi
yaitu kemampuan guru dalam melakukan tindakan reflektif
untuk peningkatan kualitas pembelajaran, indikator
kompetensi ini ditunjukkan dengan; (a) melakukan refleksi
terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan, (b)
memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan
pengembangan mata pelajaran, (c) melakukan penelitian
tindakan kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
mata pelajaran.

2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan personal yang mencerminkan kepribadian
yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan
berakhak mulia. Kompetensi inti kepribadian seperti (a) bertindak sesuai dengan norma
agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, (b) menampilkan diri
sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, (c) menampilkan diri sebagai
pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif,
dan berwibawa, (d) menunjukkan etos
kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa
bangga menjadi guru, dan rasa percaya
diri, dan (e) menjunjung tinggi kode etik
profesi guru. Secara rinci kompetesi
kepribadian diuraikan menjadi sub-
kompetensi sebagai berikut.
Pertama; bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan
kebudayaan nasional Indonesia, seperti; (a) menghargai peserta didik tanpa
membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat-istiadat, daerah asal, dan gender, (b)
bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum dan norma sosial yang berlaku
dalam masyarakat, serta kebudayaan nasional Indonesia yang beragam.

6
Kedua; menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan
teladan bagi peserta didik dan masyarakat, seperti; (a) berperilaku jujur, tegas, dan
manusiawi, (b) berperilaku yang mencerminkan ketakwaan dan akhlak mulia, (c)
berperilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik dan anggota masyarakat di
sekitarnya.
Ketiga; menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa, seperti; (a) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil, (b)
menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa.
Keempat; Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga
menjadi guru, dan rasa percaya diri, seperti; (a) menunjukkan etos kerja dan tanggung
jawab yang tinggi, (b) bangga menjadi guru dan percaya pada diri sendiri, Bekerja
mandiri secara professional.
Kelima; Menjunjung tinggi kode etik profesi guru, seperti; (a) memahami kode
etik profesi guru, (b) menerapkan kode etik profesi guru, (c) berperilaku sesuai dengan
kode etik guru.

3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial berkenaan dengan
Di sekolah guru menjadi pengajar,
kemampuan pendidik sebagai bagian dari pembimbing serta teladan bagi para
masyarakat untuk berkomunikasi dan siswa, di masyarakat guru merupakan
figur teladan bagi masyarakat di
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sekitarnya yang memberikan kontribusi
positif dalam norma-norma sosial di
sesama pendidik, tenaga kependidian, orang
masyarakat
tua siswa, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi sosial penting dimiliki bagi seorang pendidik yang profesinya
senantiasa berinteraksi dengan human (manusia) lain. Kompetensi ini memiliki
subkompetensi dengan indikator sebagai berikut.
Pertama, bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif
karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang
keluarga, dan status sosial ekonomi, seperti; (1) bersikap inklusif dan objektif
terhadap peserta didik, teman sejawat dan lingkungan sekitar dalam melaksanakan
pembelajaran, (2) tidak bersikap diskriminatif terhadap peserta didik, teman sejawat,

7
orang tua peserta didik dan lingkungan sekolah karena perbedaan agama, suku, jenis
kelamin, latar belakang keluarga, dan status sosial-ekonomi.
Kedua, berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat, kemampuan ini
ditunjukan dengan cara; (1) berkomunikasi dengan teman sejawat dan komunitas
ilmiah lainnya secara santun, empatik dan efektif, (2) berkomunikasi dengan orang
tua peserta didik dan masyarakat secara santun, empatik, dan efektif tentang program
pembelajaran dan kemajuan peserta didik, (3) mengikutsertakan orang tua peserta
didik dan masyarakat dalam program pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan
belajar peserta didik.
Ketiga, beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik
Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya. Kompetensi ini penting dikuasai
oleh pendidik, apalagi jika tugas tidak ditempatkan di daerah asal. Kemampuan ini
ditunjukan dengan; (1) beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja dalam rangka
meningkatkan efektivitas sebagai pendidik, termasuk memahami bahasa daerah
setempat, (2) melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang
bersangkutan.
Keempat, berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain
secara lisan dan tulisan atau bentuk lain, seperti; (1) berkomunikasi dengan teman
sejawat, profesi ilmiah, dan komunitas ilmiah lainnya melalui berbagai media dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan, (2) mengkomunikasikan hasil-hasil
inovasi pembelajaran kepada komunitas profesi sendiri secara lisan dan tulisan atau
bentuk lain.

4. Kompetensi Professional
Kompetensi professional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup
penguasaan substansi isi materi pembelajaran, dan substansi keilmuan yang

8
menaungi materi dalam kurikulum,
serta menambah wawasan keilmuan.
Berikut dijabarkan kompetensi dan
sub-kompetensi profesional.
Pertama, menguasai materi,
struktur, konsep, dan pola pikir
keilmuan yang mendukung mata
pelajaran yang diampu sesuai jenjang
pendidikan. Kemampuan ini sangat
penting dimiliki bagi seorang guru sebab apa yang akan disampaikan guru kepada
siswa berupa ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh guru.
Kedua, menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, seperti; (1) memahami standar
kompetensi mata pelajaran, (2) memahami kompetensi dasar mata pelajaran, (3)
memahami tujuan pembelajaran mata pelajaran.
Ketiga, mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif;
(1) memilih materi mata pelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta
didik, (2) mengolah materi mata pelajaran secara integratif dan kreatif sesuai dengan
tingkat perkembangan peserta didik.
Keempat, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
melakukan tindakan reflektif, seperti; (1) melakukan refleksi terhadap kinerja
sendiri secara terus-menerus, (2) memanfaatkan hasil refleksi dalam rangka
peningkatan keprofesionalan, (3) melakukan penelitian tindakan kelas untuk
peningkatan keprofesionalan, (4) mengikuti kemajuan zaman dengan belajar dari
berbagai sumber.
Kelima, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
berkomunikasi dan mengembangkan diri, seperti; (1) memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi dalam berkomunikasi, (2) memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk pengembangan diri.

9
B. KOMPETENSI PEDAGOGI GURU ABAD 21

Abad 21 yang ditadai dengan kehadiran era media (digital age) sangat
berpengaruh pada pengelolaan pembelajaran dan perubahan karateristik siswa.
Pembelajaran abad 21 menjadi keharusan untuk mengintegrasikan teknologi
informasi dan komunikasi, serta pengelolaan pembelajaran yang berpusat pada
siswa. Dalam mengembangkan pembelajaran abad 21, guru dituntut merubah pola
pembelajaran konvensional yang berpusat pada guru (teacher centred) menjadi
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centred) karena sumber belajar
melimpah bukan hanya bersumber guru, sehingga peran guru menjadi fasilitator,
mediator, motivator sekaligus leader dalam proses pembelajaran. Pola pembelajaran
yang konvensional bisa dipahami sebagai pembelajaran dimana guru banyak
memberikan ceramah (transfer of knowledge) sedangkan siswa lebih banyak
mendengar, mencatat dan menghafal. Kemampuan pedogogi dengan pola
konvensional dipandang sudah kurang tepat dengan era saat ini.
Karateristik siswa abad 21 sangat
berbeda dengan siswa era sebelumnya. Pada
abad 21 ini seseorang harus memiliki
keterampilan 4 C (Communication,
Collaboration, Critical Thinking and Problem
Solving, dan Creativity and Innovation).
Keteampilan ini sudah semestinya tercermin
dalam pembelajaran yang akan dilaksanakan
oleh seorang guru. Keterampilan Abad 21 dapat
di integrasikan dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga pilihan metode, media
dan pengelolaan kelas benar-benar meningkatkan keterampilat tersebut. Karena
itulah menjadi keharusan kemampuan pedogogi guru menyesuaikan dengan
karateristik dan keterampialn yang diperlukan di abad 21.
Kompetensi pedagogi merupakan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran seperti memahami karakteristik siswa, kemampuan merencanakan
pembelajaran, melaksanaan pembelajaran, mengevaluasi hasil belajar, serta
kemampuan mengembangan ragam potensi siswa. Kompetensi pedagogi guru abad

10
21 tidak cukup hanya mampu menyelenggrakan pembelajaran seperti biasanya, guru
dituntut untuk adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi
informasi dan komunikasi serta mampu memanfaatkannya dalam proses
pembelajaran, artinya kemampuan guru khususnya digital literasi perlu terus untuk
ditingkatkan.

Gambar 2. Keranga kompetensi abad 21

Kompetensi pedogogi mendasarkan peraturan menteri Pendidikan Nasional


No 16 tahun 2007 meliputi; (a) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek
fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (b) menguasai teori belajar
dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (c) mengembangkan kurikulum
yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, (d)
menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (e) memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (f) memfasilitasi
pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimiliki, (g) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta
didik, (h) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (i)

11
memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, (j)
melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kompetensi pedagogi menjadi bagian dari kompetensi profesi guru yang
terus untuk ditingkatkan dan dikembangkan baik secara mandiri maupun kelompok
dengan difasilitasi oleh pemerintah, organisasi profesi, komunitas, lembaga swadaya
masyarakat atau atas dasar inisiasi sendiri.

 Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek


fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional,
dan intelektual
 Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang mendidik.
 Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan
mata pelajaran yang diampu
 Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik
 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
Kompetensi untuk kepentingan pembelajaran
 Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik
Pedogogi untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki
 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun
dengan peserta didik
 Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses
dan hasil belajar
 Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk
kepentingan pembelajaran
 Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan
kualitas pembelajaran

Mendasarkan pada tantangan abad 21 maka guru harus mentrasformsi diri


dalam era pedogogi digital dengan terus mengembangkan kreativitas dan daya
inovatif. Sementara National Educational Technology Standards (NETS) dalam
buku Instruktional Technology and Media for Learning menyatakan guru yang
efektif adalah guru yang mampu mendesain, mengimplementasikan dan menciptkan
lingkungan belajar serta meningkatkan kemampuan siswa. Guru memiliki
kemampuan standar seperti (1) memfasilitasi dan menginspirasi siswa belajar secara
kreatif, (2) mendesain dan mengembangkan media digital untuk pengalaman belajar
dan mengevaluasi, (3) memanfaatkan media digital dalam bekerja dan belajar, (4)

12
memiliki jiwa nasionalisme dan rasa tanggungjawab tinggi di era digital, dan (5)
mampu menumbuhkan profesionalisme dan kepemimpinan.
Disisi lain dalam pengelolaan pembelajaran ada beberapa hal yang penting
diperhatikan oleh guru untuk mengembangkan pembelajaran abad 21 ini, yaitu; (1)
penguatan tugas utama sebagai perancang pembelajaran, (2) menerapkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking), (3) menerapkan metode
pembelajaran yang bervariasi, serta (4) mengintegrasikan teknologi dalam
pembelajaran. Secara umum kemampuan pedogogi guru abad 21 dalam mengelola
pembelajaran mencakup kemampuan menyusun perencanaan pembelajaran,
melaksanaan pembelajaran, penilaian prestasi belajar siswa, dan melaksanaan tindak
lanjut hasil penilaian dengan prinsip-prinsip pembelajaran kekinian (digital age).
Dalam mengelola pembelajaran guru mengawali dengan perencanaan
pembelajaran. Perencanaan pembelajaran yang disusun dengan terlebih dahulu guru
memahami karateristik siswa, memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip
pembelajaran, mengintegrasikan aneka sumber belajar berbasis digital dan non-
digital, mengintegrasikan pembelajaran dengan teknologi, memilih strategi
pembelajaran yang sesuai dengan potensi dan karakter siswa serta pilihan metode
yang berpusat pada siswa (student centred). Pada tahap perencanaan ini guru
mengebangkan rencanan pembelajaran (RPP) atau lesson plan yang memenuhi
prinsip-prinsip perencanaan yang mendidik.
Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan berpusat pada siswa (student
centered), hal ini tentu berpengaruh pada pilihan metode pembelajaran yang lebih
menekakanan siswa aktif seperti pembelajaan berbasis proyek (PBL), pembelajaran
kooperatif (CL), pembelajaran kontektual (CTL) dan lain-lain. Dalam pelaksanaan
pembelajaran variable pilihan metode dan media dapat berdampak pada pembjaran
yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Pelaksanaan pembelajaran
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Majid (2013:7) meliputi kemampuan-
kemampuan yang harus dimiliki mulai dari membuka pelajaran, menyajikan materi,
menggunakan metode/ media, menggunakan alat peraga, menggunakan bahasa
yang komonikatif, memotivasi siswa, mengorganisasi kegiatan, berintraksi dengan
siswa secara komonikatif, menyimpulkan pembelajaran, memberikan umpan balik,

13
memberikan penilaian, dan menggunakan waktu secara cermat. Kemampuan-
kemampuan tersebut akan sangat bergantung pada pilihan metode pembelajaran
yang digunakan dengan mengintegrasikan teknologi dalam pelaksanaanya.
Sehingga mulai dari membuka pelajaran sampai dengan menutup dan memberikan
umpan balik mampu membuat pembelajaran menjadi lebih aktif, efektif, kreatif dan
menyenangkan.
Guru dalam melaksanakan pembelajaran yang merupakan salah satu
aktivitas inti di sekolah, sudah semestinya menunjukkan penampilan terbaik di
depan siswanya. Penjelasannya mudah dipahami, penguasaan keilmuannya benar,
menguasai metodologi pengajaran, dan pengelola kelas sebagai pengendalian situasi
siswa di kelas. Seorang guru juga harus bisa menjadi teman belajar yang baik bagi
siswanya, sehingga siswa merasa senang dan termotivasi untuk belajar dengan baik
bersama guru. Pembelajaran yang dapat memotivasi siswa belajar dan dapat
memanfaatkan media pembelajaran, alat dan bahan pembelajaran, dan sarana
lainnya, dalam pembuatan persiapan mengajar harus memperhatikan bebagai
prinsip. Persiapan mengajar yang dibuat harus menjelaskan tujuan yang akan dicapai
sesuai dengan kompetensi siswa, perkembangan psikologis siswa, dan merupakan
pembelajaran yang utuh.
Kompetensi guru untuk memfasilitasi dan menginpirasi siswa dalam belajar
dan menumbuhkan kreatifitas tentunya harus diawali dengan penguasaan materi
yang baik dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut dalam pembelajaran,
menggunakan teknologi untuk memfasilitasi pengalaman belajar yang
menumbuhkan kreativitas siswa melalui pembelajaran dengan lingkungan tatap
muka maupun lingkungan virtual.
Di era digital ini, guru diharapkan mampu mendesain, mengembangkan dan
mengevaluasi pembelajaran secara autentik melalui pengalaman belajar dengan
menggabungkan alat evaluasi terkini dan mengoptimalkan isi dan lingkungan
pembelajaran untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku
siswa. Guru juga diharapkan mampu menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan
proses kerja yang representatif dari seorang profesional yang inovatif dalam
masyarakat global dan digital, dengan menunjukan sistem teknologi untuk

14
mentrasfer pengetahuan dalam berbagai situasi. Selain dari itu tuntutan
berkolaborasi dengan siswa, teman profesi, orang tua dan komunitas dengan
memanfaatkan tool digital dan peralatan untuk mendukung kesuksesan siswa dalam
belajar.
Selanjutnya kemampuan guru abad 21 juga harus memahami isu-isu lokal
dan global dan tanggap terhadap perubahan budaya digital yang berkembang dan
menunjukkan tindakan dengan menjunjung tinggi etika dalam praktik
profesionalnya. Kompetensi ini penting dimiliki oleh guru era digital, karena
pengetahuan dan informasi sangat cepat baik local maupun global yang terkadang
belum tentu sesuai dengan norma dan belum tentu teruji kebenarannya, karena itu
informasi dan pengetahuan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan ketika akan
dijadikan sebagai bahan kajian dalam pembelajaran.
Bagian akhir dari pengelolaan pembelajaran yang menjadi inti dari
kompetensi pedagogi yaitu kemampuan melakukan penilaian atau evaluasi.
Penilaian hasil pembelajaran merupakan akhir dari kegiatan proses pembelajaran
yang berfungsi untuk mengukur keberhasilan kompetensi yang dicapai siswa.
Penilaian hasil belajar dilakukan untuk melihat sejauh mana kompetensi yang
dicapai oleh peserta didik setelah proses pembelajaran berlangsung dan untuk
mengetahui efektifitas proses belajar mengajar yang telah dilakukan oleh guru.
Tahapan-tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan
tujuan, menentukan desain evaluasi, pengembangan instrunmen evaluasi,
pengumpulan informasi/ data, analisis dan interprestasi, dan tindak lanjut. Secara
singkat pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengolahan data, dan pelaporan evaluasi.

Pengembangan profesi guru dari aspek kemampuan pedagogi perlu untuk


ditingkatkan dengan berbagai strategi dan bentuk kegiatan. Strategi dan bentuk
kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pedagogi ini seperti
kegiatan seminar, workshop, dan pelatihan-pelatihan yang diselenggrakan oleh
lembaga profesi guru, forum guru (KKG), konsorsium, perguruan tinggi, swasta
maupun pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan.

15
Pembinaan dan Pengembangan

Profesi Karier

Kompetensi kompetensi Kompetensi Kompetensi Kenaikan


Penugasan Promosi
pedogogi kepribadian Sosial profesioal pangakat

Seminar,
pelatihan, KKG,
workshop
dll

16
Guru wajib memenuhi kualifikasi akademik minimum
diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang
pendidikan (D-IV/S1) yang diperoleh dari program studi yang
terakreditasi dan kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional.yang
sebagaimana tertuang dalam peraturan menteri Pendidikan Nasional No 16 tahun 2007.

Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru yang berkenaan dengan pemahaman terhadap peserta
didik dan pengelolaan pembeajaran mulai dari merencanakan, melaksanakan sampai dengan mengevaluasi.

Kompetensi kepribadian merupakan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhak mulia. Kompetensi sosial berkenaan dengan
kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta

didik, sesama pendidik, tenaga kependidian, orang tua siswa, dan masyarakat sekitar. Kompetensi professional
merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
mencakup penguasaan substansi isi materi pembelajaran, dan substansi keilmuan yang menaungi materi dalam
kurikulum, serta menambah wawasan keilmuan. Kompetensi pedagogik guru adab 21 menakankan pada kemampuan
adaptasi guru untuk mentrasformsi diri dalam era pedogogi digital dengan terus mengembangkan kreativitas dan daya
inovatif.
MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 2
STRATEGI PENINGKATAN PROFESIONALISME
BERKELANJUTAN

Capaian Pembelajaran

Setelah mempelajari kegiatan belajar 2 Anda diharapkan mampu membedakan profesi


guru dari perspektif yuridis dan akademik, menjelaskan arti penting pengembangan
keprofesian berkelanjutan, menilai syarat profesi, mengidentifikasi penilaian kinerja
guru, mengidentifikasi tantangan profesi abad 21, menjelaskan konsep pengembangan
keprofesian berkelanjutan, membedakan paradigma profesi guru abad 21 dengan
sebelumnya, dan memilih strategi pengembangan profesi diri dalam konteks abad 21

Pokok Pokok Materi

Pokok-pokok materi kegiatan belajar 2 ini meliputi:


1. Profesi guru dalam pandangan yuridis
2. Profesi guru dalam pandangan akademik
3. Kriteria profesi bidang pendidikan
4. Penilaian kinerja guru
5. Pengembangan keprofesian berkelanjutan
6. Merubah paradigma tentang profesi guru
7. Profesi guru abad 21
Uraian Materi

PENGEMBANGAN PROFESI GURU


A. Profesi Guru dalam Pandangan Yuridis
Tanggal 2 Desember 2004 merupakan momentum bersejarah dimana
pemerintah mencanangkan guru sebagai suatu profesi. Terbitnya Undang
-undang Guru dan Dosen nomor 14 Tahun 2005 diikuti beberapa kebijakan
untuk implementasinya. Guru adalah salah satu dari profesi tenaga
kependidikan sebagaimana diatur dalam Undang-undang RI nomor 20 tahun
2003. Tenaga kependidikan Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat
yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang Penyelenggaraan
Pendidikan.
Tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan
pendidikan, penilik, pengawas, peneliti, dan pengembang, di bidang
pendidikan, pustakawan laboran, teknisi sumber belajar, dan penguji. Tenaga
kependidikan dimaksud dapat dikatagorikan menjadi 2 bagian yaitu;
1. Tenaga kependidikan yang terlibat langsung dengan proses pendidikan
karena tugas utamanya sebagai pendidik atau mengemban tugas dan
berprofesi sebagai pendidik. Tenaga kependidikan ada yang berprofesi
sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor,
instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya.
Contohnya; widyaiswara di Balai Latihan Diklat, pamong belajar di
Sanggar Kegiatan Belajar dan SMP terbuka, fasilitator pelatihan
dimasyarakat, dan sebagainya.
2. Tidak terlibat langsung dalam proses pendidikan namun berpartisipasi
mensukseskan penyelenggaraan pendidikan. Termasuk didalamnya adalah;
(a) para kepala satuan pendidikan dan wakilnya yang sebenarnya
menjalankan peran sebagai edukator disamping bertugas sebagai manajer,
inovator, motivator, pemimpin, supervisor, dan mediator. Termasuk di
dalamnya para pengawas dan peneliti serta pengembang pendidikan.
Contoh; kepala sekolah, wakil kepala sekolah, direktur dan para wakil
direktur, rektor dan wakil rektor, dekan dan sebagainya. (b) Tata usaha
yang bertugas pada bidang administrasi baik keuangan, kearsipan,
kepegawaian, dan sebagainya. Contohnya; kepala tata usaha sekolah,
kepala bagian administrasi, petugas kearsipan, dan sebagainya, (c) Tenaga
Kependidikan lainnya seperti teknolog pembelajaran, laboran, pustakawan,
pelatih ekstrakurikuler, penjaga sekolah, tenaga kebersihan, dan
sebagainya.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (ps. 1). Guru juga diakui
mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional(ps. 2) yang dibuktikan
dengan sertifikat pendidik (ps 2 ayat 2). Profesi guru diakui sebagai bidang
pekerjaan khusus yang mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Sejak terbit Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) nomor 14 tahun
2005 munculah berbagai peraturan dan kebijakan untuk mendukung
implementasi berkaitan dengan upaya pengembangan keprofesian guru.
Perkembangan kebijakan dari tahun ke tahun pasca pencanangan guru sebagai
profesi tahun 2004 dapat digambarkan sebagai berikut;
Gambar 1. Berbagai kebijakan tentang profesi guru pasca UUGD 2005

Berbagai kebijakan dan peraturan pemerintah pasca terbitnya UUGD


memberikan dasar hukum yang jelas bahwa guru merupakan suatu profesi
dengan keahlian khusus. Silahkan bayangkan sosok Anda sebagai guru
sejauhmana sudah memiliki keahlian khusus yang bisa dibuktikan
perbedaannya dengan profesi orang lain. Selain proses pendidikan yang
panjang sejak menempuh pendidikan S1/D4 sampai Anda diangkat
mengemban tugas sebagai guru tentu perlu dimantabkan dengan status sebagai
seorang guru profesional dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat pendidik
yang sedang anda perjuangkan melalui Pendidikan Profesi Guru.
B. Profesi Guru dalam Pandangan Akademik
Esensi dan eksistensi makna strategis profesi guru diakui dalam realitas
sejarah pendidikan di Indonesia. Pengakuan itu memiliki kekuatan formal tatkala
tanggal 2 Desember 2004, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencanangkan
guru sebagai profesi. Satu tahun kemudian, lahir Undang-undang (UU) No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebagai dasar legal pengakuan atas profesi
guru dengan segala dimensinya. Sejak dikeluarkannya UUGD profesi guru tidak
hanya dipandang sebagai pelaksana kurikulum semata namun sebagai agen
pembelajaran untuk mensukseskan sistem pendidikan nasional dan tujuan
pendidkan nasional. Peran guru adalah melakukan transformasi kultur bukan
hanya transfer pengetahuan. Pada era globalisasi profesi guru bermakna strategis,
karena mengemban tugas sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan,
pencerdasan, pembudayaan, dan pembangun karakter bangsa.
Guru merupakan suatu pekerjaan profesional, yang memerlukan suatu
keahlian khusus sehingga kedudukan guru dalam proses pembelajaran masih
belum dapat digantikan oleh mesin secanggih apapun. Keahlian khusus inilah
yang membedakan profesi guru dengan profesi yang lainnya. Pendidikan guru
tidak diperoleh hanya saat mengikuti pendidikan formal sebelum menjadi guru
namun berlangsung seumur hidup (life long teacher education). Artinya meskipun
sudah memangku jabatan anda mengembangkan diri secara berkelanjutan atas
dasar refleksi (reflective professional). Guru selama proses melaksanakan
tanggungjawab dan tugasnya perlu melakukan up-grade kompetensinya. Sebagai
guru anda tidak hanya meningkatkan profesionalisme melalui jalur pendiidikan
dan latihan formal namun terlibat dalam kegiatan-kegiatan produktif bagi upaya
reformasi pendidikan.
Tantangan kompetensi guru abad 21 adalah kemampuan beradaptasi
(adaptability), memahami disiplin ilmunya dari berbagai konteks, dan peka
terhadap perkembangan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Guru harus mau
untuk berpacu mengikuti tuntutan perkembangan bukan hanya terlibat namun
bertindak inovatif. Seorang guru harus mampu untuk memformulasikan,
mengkonstruk, menyusun, memodifikasi dan peka terhadap informasi sehingga
dapat dipahami sebagai suatu pengetahuan. Mengapa demikian?
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membawa
perubahan di semua lini kehidupan. Peserta didik abad 21 hidup dalam
lingkungan digital yang penuh dengan arus informasi. Banyak banyak negara
melakukan reformasi terhadap tujuan dan praktek pendidikan akibat pengaruh
perkembangan TIK dan berbagai bentuk inovasi pendidikan. Harapan terbesar
dari inovasi pendidikan adalah adanya dukungan dan pengintegrasian TIK dalam
proses pembelajaran sehingga mempertinggi mutu pengalaman belajar peserta
didik. Guru harus terlibat aktif di dalam inovasi pedagogis. Menurut Power
(1997:6) guru memiliki peran utama bukan sekedar melaksanakan reformasi
pendidikan, namun harus terlibat di dalam merumuskan konsep dan desain
reformasi pendidikan yang diperlukan. Disinilah letak pentingnya guru untuk juga
bertindak akademis. Pada tataran praksis dalam melaksanakan tugas utama
memfasilitasi pembelajaran setiap tindakan guru harus berdasarkan keputusan
pedagogis, didasari teori belajar dan pembelajaran mutakhir, teori perkembangan
peserta didik, dan teori-teori lain yang relevan.
C. Kriteria Profesi Bidang Pendidikan
Nelson Mandela menyatakan pendidikan merupakan senjata paling
ampuh yang dapat digunakan untuk merubah dunia (Challen, February 2017).
Mengajar adalah profesi yang menciptakan seluruh profesi lain, bisa dikatakan
sebagai mother of profession (Stinnet & Huggen, 1963). Bagaimana? Tentu
Anda patut berbangga berprofesi sebagai guru yang identik dengan kaum
intelektual.
Sebagai suatu profesi guru memiliki kode etik yang perlu dipegang.
National Education Association (NEA) menyatakan suatu profesi bidang
pendidikan harus memiliki komitmen kepada peserta didik dan komitmen
kepada profesi. Komitmen kepada peserta didik berarti seorang guru
mengutamakan kemaslahatan peserta didik. Komitmen kepada profesi berarti
guru sebagai tenaga pendidik perlu terus meningkatkan kompetensi yang
menjadi ciri khusus dari profesinya. Profesi kependidikan itu menurut NEA
menuntut syarat-syarat; (1) merupakan aktivitas intelektual, (2) menggeluti
suatu batang tubuh ilmu khusus, (3) memerlukan proses pendidikan lama, (4)
menjanjikan karir hidup dan keanggotaan permanen, (5) memerlukan latihan
jabatan berkesinambungan, (6) karir hidup dan keanggotaan tetap, (5)
menentukan standar baku sendiri, (7) mengutamakan layanan dibanding
kepentingan pribadi, dan (8) memiliki organisasi profesi yang kuat.
Melibatkan aktivitas intelektual; seluruh aktivitas pendidik terutama terkait
proses pembelajaran harus dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan pilihan
kegiatan pembelajaran hendaknya mencerminkan keputusan pedagogis yang
rasional dan ilmiah sesuai teori-teori dalam bidang keilmuannya, bukan
bersifat intuitif. Contoh; Pak Amir memutuskan menggunakan metode
pembelajaran tertentu bukan didasari pertimbangan karena Pak Amir
menyukai, namun karena kesesuaian dengan tujuan pembelajaran,
karakteristik materi, dan karakteristik peserta didik
Menggeluti batang tubuh ilmu khusus; semua jabatan mempunyai monopoli
pengetahuan sehingga bisa dibedakan dengan profesi lain maupun orang awam.
Kejelasan batang tubuh memungkinkan mereka mengadakan pengawasan
jabatannya dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan jabatan. Ssayang
sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang bidang ilmu khusus yang melatari
pendidikan (education) atau keguruan (teaching) (Ornstein dan Levine, 1984).
Ada yang menganggap mengajar adala sebuah seni (art) dan ada yang
berpendapat mengajar adalah sains (science)
Proses penyiapan profesional lama; sejak dikeluarkannya kebijakan
pemerintah melalui UUGD nomor 14 Tahun 2005 untuk menyandang profesi
guru dipersyaratkan kualifikasi pendidikan umum minimal S1/D4 artinya
calon guru harus menempuh proses pendidikan di universitas atau pergurutan
tinggi yang diberikan kewenangan sesuai kurikulum masing-masing perguruan
tinggi. Pendidikan calon guru dalam bentuk pre service mengalami perubahan
dari waktu ke waktu menunjukkan upaya untuk mendapatkan calon guru yang
berkualitas.
Tabel 2: Perkembangan Pendidikan Calon Guru Sejak Kemerdekaan
Periode Program/ Jenjang Lama Keterangan
instituri kewenangan pendidikan
mengajar
1945-1960 SGB SD SD+ 4 tahun Menjadi SPG
SGA SD & SMP sampai SD+ 6 tahun awal 1960
akhir 1950
1960-1980 SPG/SGO SD SMP+1 tahun Ditutup tahun
1989
1945-1960 PGSLB/PG SD SMA + 2 Menjadi SPG
SMTP tahun awal 1960
1945-1960 Kursus B-1 SMP B-1+ 2 tahun Melebur menjadi
1950-1960 Kursus B-II SMA SMA+5 IKIP/FKIP sejak
tahun 1963
1950-1960 PTGP SD & SMP SMA+ 5
tahun
1990-2005 LPTK SAM+ 1-5 Diploma I sd
tahun Sarjana
2005-skrg Semua jenjang SMA+4-5 Sarjana
tahun

Sejak adanya UUGD nomor 14 tahun 2005 profesi guru memiliki dasar
kuat untuk menyandang sebagai guru profesional dibuktikan dengan sertifikat
pendidik. Selain kualifikasi pendidikan pemerintah untuk mendapatkan guru
profesional melalui program sertifikasi yang sempat bermetamorfosis. Saat ini
seorang guru harus berpendidikan S1/D4 ditambah Pendidikan Profesi Guru
(PPG) selama 1 tahun dan setelah lulus mendapatkan sertifikat sebagai
pendidik profesional. Program PPG mrupakan pengganti akta IV.
Program-program sebelumnya memiliki durasi lebih pendek seperti sertifikasi
guru melalui penilaian portofolio dan Program Pendidikan dan Latihan Guru
(PLPG). Syarat dan ketentuan peserta PPG diatur dalam Permendikbud nomor 37
tahun 2017 adalah;

a. Memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana (S1) atau Diploma Empat


(D4) dari program studi yang terakreditasi, kecuali program studi PGSD dan
PGPAUD.
b. Mengajar di satuan pendidikan di bawah binaan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud).
c. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) atau guru yang dipekerjakan (DPK) pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
d. Guru bukan PNS yang berstatus guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang
mengajar pada satuan pendidikan negeri yang memiliki surat keputusan dari
Pemda.
e. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
f. Memiliki masa kerja sebagai guru minimal lima tahun.
g. Bersedia mengikuti pendidikan sesuai dengan peraturan yang ada dan
mendapatkan izin belajar dari Kepala Sekolah dan Pemda.
Latihan jabatan berkesinambungan; pembinaan dan pengembangan karier
meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi sejalan dengan jabatan
fungsional guru yang bersangkutan. Pengembangan Profesi Berkelanjutan
dimaksudkan agar guru menjadi seorang pebelajar mandiri yang selalu
mengembangkan profesinya disamping mengikuti program pengembangan
profesi pemerintah. Pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, PKB adalah unsur utama yang
kegiatannya juga diberikan angka kredit untuk pengembangan karir guru,
selain kedua unsur utama lainnya, yakni: (1) pendidikan; (2)
pembelajaran/pembimbingan dan tugas tambahan dan/atau tugas lain yang
relevan.
Karir dan keanggotaan permanen; di Indonesia guru merupakan bidang
profesi dengan jumlah relatif besar mencapai 2 juta orang lebih baik guru PNS
maupun non PNS. Upaya pembinaan dan pengembangan karir menurut Nomor
74 tahun 2005 tentang guru mengamanatkan dua alur pembinaan dan
pengembangan profesi guru, yaitu; (a) pembinaan dan pengembangan profesi
guru dan (b) pengembangan karir. Pembinaan dan pengembangan profesi guru
meliputi pembinaan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan
dilakukan melalui jabatan fungsional. Pembinaan dan pengembangan profesi
dikelompokkan dalam 5 katagori yaitu; (1) pemahaman tentang konteks
pembelajaran, (2) penguatan penguasan materi, (3) pengembangan metode
pembelajaran, (4) inovasi pembelajaran, (5) pengalaman tentang teori-teori
terbaru. Guru sebagai profesi sudah mendapat dukungan kebijakan pemerintah.
Pendapatan guru relatif tidak besar namun jumlah guru di Indonesia yang
berpindah profesi atau pekerjaan relatif kecil sehingga cenderung dapat
mempertahankan jumlah dan keanggotaan. Bagi guru kejuruan pembinaan dan
pengembangan profesinya dilakukan melalui supervisi, pelatihan, dan
pendidikan lanjutan.
Standar baku; profesi guru di Indonesia belum ditentukan sendiri oleh
organisasi profesi guru sendiri. Profesi guru menyangkut hajat orang banyak
maka pemerintah masih memegang peranan dalam menetapkan standar (baku)
jabatan guru. Bidang lain sudah mempersyaratkan standar ketat sejak seleksi
sampai proses pendidikannya. Diakui profesi guru sempat mengalami
persoalan kompleks seperti disparitas mutu dan rentang kendali upaya
peningkatan mutu guru yang semakin pendek yang dikatalis secara historis
adanya program SD Center, terdiferensiasi oleh kebijakan otonomi daerah (PP
65 tahun 1951, UU no 5 tahun 1974, UU nomor 22 tahun 1999, UU nomor 32
tahun 2004), dan program rintisan sekolah bertaraf internasional menjadikan
guru seolah komputer yang perlu di upgrade bahkan overclocking. Namun,
seiring perhatian serius pemerintah ada kecenderungan skor prestasi calon
mahasiswa yang masuk pendidikan keguruan meningkat pada beberapa LPTK.
Banyak lulusan SMA/SMK sederajat yang berpretasi memilih mengikuti
seleksi pendidikan calon guru. Guru tidak lagi merupakan kelas kedua, namun
mulai menjadi salah satu profesi yang diminati generasi muda.
Mengutamakan layanan di atas kepentingan pribadi; jabatan guru
memiliki dimensi sosial diharapkan berperan sebagai agen perubahan
masyarakat. Jabatan guru erat dengan motivasi dan kemauan untuk mengabdi
dalam rangka membantu orang lain. Di Indonesia banyak guru tetap tulus
mengabdi meskipun dengan pendapatan di bawah standar kelayakan. Artinya
pada dimensi sosial mayoritas guru di Indonesia tidak sekedar
mempertimbangkan keuntungan ekonomi namun ada dimensi sosial dan
rohaniah selain kepuasan. Namun, seiring perkembangan di Indonesia guru
telah diakui sebagai suatu profesi dengan keahlian khusus maka merupakan
hak apabila guru mendapatkan penghargaan dalam bentuk pendapatan yang
layak selain pengembangan karir berkelanjutan.
Memiliki organisasi profesi yang kuat; organisasi profesi guru menurut
UU Guru dan Dosen pasal 1 poin (13) adalah perkumpulan yang berbadan
hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan
profesionalitas guru. Secara historis pada tahun 1912 berdiri Persatuan Guru
Hindia Belanda (PGHB) dan pada tahun 1932 berubah menjadi Persatuan
Guru Indonesia (PGI) tahun 1932 dan secara resmi menjadi Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) yang berdiri 25 November 1945. Adanya
organisasi profesi guru merupakan amanat UU nomor 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen. Fungsi organisasi profesi sesuai pasal 41 ayat (2) adalah
untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan
kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada
masyarakat. Begitu pentingnya organisasi profesi guru, bahkan pasal 41 ayat
(3) mengamanatkan, guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
D. Penilaian Kinerja Guru
Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan
harkat dan martabat pendidik. Memasuki abad 21 tentangan guru semakin
kompleks dengan adanya tuntutan pergeseran peran, penyesuaian terhadap teori
dan perkembangan ilmu pengetahuan baru, perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi, dan hasil-hasil inovasi bidang pendidikan. Guna menjaga mutu
diperlukan Penilaian Kinerja Guru yang secara teknis diatur oleh Permendiknas
no 35 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru
dan Angka Kreditnya yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2013. Profesi guru
menurut jabatan fungsional dan angka kreditnya disajikan pada tabel 1:
Tabel 2: Jabatan, pangkat dan golongan dan persyaratan angka kredit guru

Anda selaku guru perlu memahami pokok-pokok penilaian kerja guru


sehingga membantu dalam memilih, mengarahkan, dan mengelola kegiatan yang
dapat menunjang pemberdayaan profesinya. Kenaikan jabatan hanyalah
merupakan efek dari usaha pengembangan profesionalisme guru itu sendiri,
namun bukan tujuan segalanya. Menurut Permendiknas nomor 35 Tahun 2010
secara umum aspek yang dinilai dalam pelaksanaan tugas utama meliputi:
(a) Kinerja guru yang terkait dengan pelaksanaan proses pembelajaran meliputi
kegiatan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi dan
menilai, menganalisis hasil penilaian, dan melaksanakan tindak lanjut hasil
penilaian.
(b) Kinerja guru yang terkait dengan pelaksanaan proses pembimbingan meliputi
kegiatan merencanakan dan melaksanakan pembimbingan, mengevaluasi dan
menilai hasil bimbingan, menganalisis hasil evaluasi bimbingan, dan
melaksanakan tindak lanjut hasil pembimbingan.
(c) Kinerja guru yang terkait dengan melaksanakan tugas lain yang relevan
dengan fungsi sekolah/madrasah meliputi aspek-aspek yang sesuai dengan
kompetensi atau tugas pokok dan fungsinya. Tugas lain meliputi; (1) menjadi
kepala sekolah/madrasah per tahun; (2) menjadi wakil kepala
sekolah/madrasah per tahun; (3) menjadi ketua program keahlian/program
studi atau yang sejenisnya; (4) menjadi kepala perpustakaan; (5) menjadi
kepala laboratorium, bengkel, unit produksi atau yang sejenisnya; (6) menjadi
pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan inklusi, pendidikan terpadu atau yang sejenisnya; (7) menjadi wali
kelas; (8) menyusun kurikulum padasatuan pendidikannya; (9) menjadi
pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar; (10)
membimbing siswa dalamkegiatan ekstrakurikuler; (11) menjadi pembimbing
pada penyusunanpublikasi ilmiah dan karya inovatif; dan (12)
melaksanakanpembimbingan pada kelas yang menjadi tanggungjawabnya
(khusus guru kelas); meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan
pengembangan/ tindaklanjut
Penilaian kinerja guru pada pelaksanaan pembelajaran dilakukan didalam
kelas (untuk kegiatan yang dapat diamati) dan di luar kelas (untukkegiatan yang
tidak dapat diamati di dalam kelas). Kegiatan yang tidakdapat diamati di dalam
kelas misalnya: penyusunan silabus, RPP, pengembangan kurikulum, tingkat
kehadiran guru di kelas, praktikpembelajaran di luar kelas/sekolah/madrasah
dan sebagainya. Untuksemua kegiatan yang dilakukan guru, baik yang dapat
diamati di dalamkelas maupun yang tidak dapat diamati, penilai kinerja guru
wajib melampirkan bukti-bukti fisik yang berupa dokumen
E. Strategi Pengembangan Profesi Guru Abad 21
1. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
Menurut Permennegpan itu telah pula dijelaskan bahwa
pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) terdiri dari 3 komponen,
yaitu pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif.

Gambar 2: Komponen Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan

a. Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan upaya-upaya guru dalam rangka
meningkatkan profesionalismenya. Anda diakui profesional jika memiliki
penguasaan 4 kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan dan mampu
melaksanakan tugas-tugas pokok dan tugas tambahan yang relevan dengan
fungsi sekolah/madrasah dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
(PKB). Salah satu kegiatan PKB adalah melakukan pengembangan diri
melalui 2 cara; (1) diklat fungsional dan 2) kegiatan kolektif. Diklat
fungsional berupa kegiatan pendidikan atau latihan yang bertujuan untuk
mencapai standar kompetensi profesi dalam kurun waktu tertentu. Kegiatan
kolektif adalah kegiatan bersama dalam forum ilmiah untuk mencapai standar
kompetensi atau di atas standar kompetensi profesi yang ditetapkan. Contoh;
1) Anda mengikuti diklat pengembangan media di Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan (Diklat Fungsional)
2) Anda mengikuti pertemuan Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP), kelompok kajian, diskusi terbatas,
simposium, bedah buku, video conference, dan sebagainya (kegiatan
kolektif).
Diklat fungsional dan kolektif khususnya untuk memenuhi kebutuhan
guru dalam melaksanakan layanan pembelajaran bagi kemaslahatan peserta
didik. Kebutuhan dimaksud meliputi kompetensi;
1. Memahami konteks dimana guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar
2. Penguasaan materi dan kurikulum;
3. Penguasaan metode pembelajaran
4. Mengevaluasi peserta didik
5. Penguasaan Teknologi Informatika dan Komputer (TIK)
6. Mensikapi inovasi dalam sistem pendidikan di Indonesia
7. Menghadapi tuntutan teori terkini dan kompetensi lain yang mendukung
dan relevan dengan fungsi sekolah/madrasah
Melaksanakan penelitian tindakan kelas juga merupakan upaya untuk
pengembangan diri karena PTK bertujuan meningkatkan mutu pembelajaan
sekaligus meningkatkan profesionalisme guru. PTK merupakan kajian sosial
secara sistematis oleh para pelaksana program dengan mengumpulkan data
pelaksanaan kegiatan (kebrhasilan dan hambatan), mnyusun rencana tindakan
guna meningkatkan kualitas tindakan sebagai proses menciptakan hubungan
antara evaluasi dan peningkatan profesionalism. Jadi PTK itu merupakan
hasil refleksi terhadap program pembelajaran untuk;
1. Memperbaiki mutu praktek pembelajaran di kelas (masalah yang
dirasakan)
2. Melakukan tindakan yang diyakini lebih baik
3. Memecahkan masalah nyata di kelas, memperbaiki mutu pembelajaran,
mencari jawaban ilmiah mengapa dipecahkan dengan tindakanyang dipilih.
PTK memiliki ciri kolaboratif partisipatif, anda sebagai guru bisa
berkolaborasi dengan peneliti atau rekan sejawat. PTK lebih baik fokus
kepada pemecahan masalah spesifik dan kontekstual. Mengidentifikasi
masalah bisa dimulai dari pertanyaan pertanyaan reflektif
1. Apa yang terjadi dengan pembelajaran saya?
2. Mengapa masalah tersebut terjadi?
3. Bagaimana cara memperbaikinya?
4. Bagaimana cara melaksanakan atau masalah tersebtu dipecahkan?
5. Bagaimana untuk melihat hasilnya?
6. Apakah cara tersebut efektif ?
Masalah yang dapat dikaji bisa mencakup pengorganisasian materi,
penyampaian materi, dan pengoganisasian kelas. Secara umum langkah PTK
dalam 1 siklus meliputi perencanaan, melakukan tindakan dan pengamatan,
melakukan analisis hasil dan melakukan refleksi.

Gambar 3: Langkah satu siklus PTK

PTK bertujuan memperbaiki kinerja dan layanan pembelajaran,


pengembangan kemampuan diagnosis dan pemecahan masalah bagi guru dan
alternatif inovasi pembelajaran. Hasil PTK bisa dipublikasi baik dalam
bentuk laporan penelitian maupun artikel.
b. Publikasi Ilmiah
Publikasi ilmiah merupakan salah satu bentuk kontribusi guru terhadap
peningkatan mutu proses pembelajaran dan dunia pendidikan secara umum.
Publikasi ilmiah bisa berupa suatu karya tulis ilmiah yang disampaikan melalui
kegiatan presentasi karya ilmiah, menjadi narasumber, dan publikasi hasil
penelitian dan gagasan inovatif. Publikasi ilmiah mencakup karya;
1) Laporan hasil penelitian bidang pendidikan yang diterbitkan dalam bentuk;
buku ber-ISBN yang diedarkan nasional, majalah/jurnal ilmiah terakreditasi
(tingkat nasional, provinsi, dan tingkat kabupaten/kota), atau diseminarkan di
sekolah atau disimpan di perpustakaan.
2) Tulisan ilmiah populer di bidang pendidikan formal dan pembelajaran pada
satuan pendidikan yang dimuat jurnal tingkat nasional yang terakreditasi
maupun tidak terakreditasi/tingkat provinsi maupun jurnal tingkat lokal.
3) Publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan/atau pedoman guru.
Publikasi ini mencakup pembuatan buku pelajaran per tingkat atau buku
pendidikan per judul yang lolos penilaian BSNP, atau dicetak oleh penerbit
dan ber-ISBN, atau dicetak oleh penerbit dan belum ber-ISBN
4) Modul diklat pembelajaran per semester yang digunakan di tingkat provinsi
dengan pengesahan Dinas Pendidikan Provinsi; atau kabupaten/kota dengan
pengesahan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota; atau sekolah/madrasah
setempat.
5) Buku dalam bidang pendidikan dicetak oleh penerbit yang ber-ISBN dan/atau
tidak ber-ISBN; karya hasil terjemahan yang dinyatakan oleh kepala sekolah/
madrasah tiap karya; buku pedoman guru.

c. Karya inovatif
Karya inovatif bisa merupakan penemuan baru, hasil pengembangan, atau
hasil modifikasi sebagai bentuk kontribusi guru terhadap peningkatan kualitas
proses pembelajaran di sekolah dan pengembangan dunia pendidikan,
sains/teknologi, dan seni. Karya inovatif ini mencakup:
1) Penemuan teknologi tepat guna kategori kompleks dan/atau sederhana;
2) Penemuan/peciptaan atau pengembangan karya seni kategori kompleks
dan/atau sederhana;
3) Pembuatan/pemodifikasian alat pelajaran/peraga/-praktikum kategori
kompleks dan/ atau sederhana;
4) Penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya pada tingkat nasional
maupun provinsi.
2. Merubah Paradigma tentang Profesi Guru
Konsep pengembangan pada diri seorang guru perlu ditransformasi
menjadi berkelanjutan (continuous professional learning) dan diletakkan dalam
konsep belajar dalam bekerja (workplace learning). Hal ini sejalan dengan
suatu model pengembangan belajar mandiri yang dikemukakan Haris
Mudjiman yaitu bersifat siklikal dalam menimbulkan motivasi berkelanjutan
(2010: 47-54). Inilah letak tugas pemerintah dan lembaga penyelenggara
peningkatan mutu guru untuk menjamin bahwa guru mau mempertahankan
motivasinya untuk terus belajar. Bekal ketrampilan untuk belajar berkelanjutan
inilah yang penting dilatihkan kepada para calon guru dan para guru dalam
jabatan.
Profesionalisme harus dilihat terbentuk dari pengalaman holistik
(kombinasi dari berbagai faktor terkait) bukan sekedar dalam dimensi-dimensi
kompetensi yang sering dilihat secara diametrikal. Nampak seringkali ada
dikotomi antara berbagai kompetensi, padahal satu sama lain saling mengisi
dan mempengaruhi. Terkadang di dalamnya ada tacit knowledge yang tidak
bisa hanya didekati melalui sistem pengembangan profesi melalui kontrol
struktural, namun juga kontrol kultural yang menggambarkan konteks secara
holistik. Anda sebagai penyandang profesi guru perlu menyadari bahwa upaya
pengembangan profesionalisme dan peningkatan mutu guru sangat ditentukan
kemauan dan kemampuan melalui belajar mandiri yang didorong oleh niat
untuk mencapai kompetensi (self determined learning) secara berkelanjutan.
Apabila seluruh upaya pengembangan profesi guru berdasarkan atas dasar
kontrol struktural hanya menyebabkan Anda mengalami diskontinuitas
pengembangan diri yang berpotensi menyebabkan kemandegan akademik.
Salah satu ciri profesi adalah memiliki bidang kajian spesifik yang terus
digeluti, direfleksikan, dan dikembangkan secara terus menerus.
Perlu difahami konsep belajar seorang profesional adalah; (1) belajar dari
pengalaman terjadi secara siklikal yang disebut microgenetic development
moment by moment (experiential learning cycle), (2) belajar dari tindakan
reflektif yang disebut sebagai pusatnya praktek keprofesionalan karena melalui
aktifitas reflektif transformasi pengalaman menjadi aktifitas belajar, (3) belajar
dimediasi oleh konteks karena belajar selalu terjadi dalam konteks bukan
sekedar fisik namun juga interaksi sosial. Konteks ini oleh Boud dan Walker
(1998; 196) dianggap salah satu yang paling berpengaruh penting atas refleksi
dan belajar. Connely & Clandinnin (1995) menyatakan bahwa pengetahuan
praktis seorang guru atau dosen itu melibatkan personal, etik, intelektual dan
dimensi sosial. Anda sebagai seorang guru harus membiasakan melakukan
refleksi, bahkan bila perlu refleksi kritis karena guru bukan seja praktisi bagi
reformasi pendidikan namun juga seorang inisiator dan konseptor bagi
upaya-upaya reformasi itu sendiri.
Dari uraian rinci 4 kompetensi pada kegiatan belajar 1 sejauhmana Anda
sudah menguasai kompetensi tersebut? Guru profesional harus terus
mengembangkan diri menyesuaikan tuntutan perkembangan masyarakat.
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang berusaha
mengakomodasi perkembangan teori belajar dan pembelajaran membawa
konsekwensi perubahan dalam pendekatan dan metode pembelajaran termasuk
penggunaan media pembelajaran. Perkembangan perubahan karakteristik
peserta didik. Diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) akan
mendorong adanya kompetisi jasa pendidikan termasuk penyediaan tenaga
pendidik profesional. Guru dari Indonesia bisa saja menjadi tenaga pendidik di
negara lain dalam kawasan Asean asalkan memenuhi kualifikasi sebagai
seorang profesional. Guru profesional memiliki empat kompetensi yaitu
pedagogik, sosial, kepribadian, dan profesional yang integratif (bukan sebagai
sosok terpisah) dan kontekstual. Artinya tantangan profesi bukan sekedar
berkutat pada penguasaan empat kompetensi namun juga menekankan
kompetensi profesional berupa kemampuan belajar untuk meng up date
kompetensinya untuk menjawab tantangan abad 21. Guru profesional
mempersiapkan diri mengembangan kemampuan belajar baik pada dirinya
maupun pada peserta didik. Tantangan abad 21 nampak perlu ada orientasi
khusus dalam pengembangan profesi spesifik terhadap berbagai dimensi
kompetensi dalam rangka menjawab kebutuhan pembelajaran abad 21.
3. Profesi Guru abad 21
Pembelajaran abad 21 telah mengalami pergeseran terlebh adanya era
disrupsi dimana akan terjadi perubahan masif termasuk di dunia pendidikan.
Digitalisasi sistem pendidikan dan pola pembelajaran berbasis digital akan menjadi
kebutuhan generasi. Ruang-tuang kelas kepada ruang-ruang maya yang lebih
partisipatif, kreatif, beragam, multimedia, dan menyeluruh. Tawaran evolusi
pembelajaran Massive Open Online Course (MOOC) dan Artificial Intellegent (AI)
serta teknologi Virtual Reality (VR) dan gabungan pemanfaat teknologi komputer
dan pemanfaatan internet (Cloud) akan menggeser kelas-kelas tradisional.
Hubungan manusia dan mesin semakin akrab seolah-olah saling merespon.
Perkembangan penerapan teknologi informasi dan komumikasi (khususnya
komputer) dalam bidang pendidikan digambarkan berikut;

1977 1980-1987 1990-an


1959 1960-1970 1970 Komputer 1998
1980 1986
Pengajaran Time sharing CAI/ mini Authoring Sistem standar
berprograma diterapkan PBK hadir di Pengemb. NSFNet system jaringan komputer
(Skinner) sekolah courseware dikembang- dikembang- dikemb.
kan kan ISTE

1990

2000
1950

1960

1970

1980
1950 1959 1969 1970s-awal 1980 1980-1987 1980-1990 1994 2000 ke atas
Komputer ARPAnet PLATO, Program Sistem Penggunaan Video
Komputer
untuk cikal bakal Sistem LOGO Pembelajaran web conference
digunakan
pembela- Internet pembelajaran diajarkan Terpadu meluas dan PJJ
di sekolah
jaran tumbuh di sekolah berkembang melalui web

Gambar 4: Perkembangan Komputer dalam Dunia Pendidikan


Pertanyaan yang muncul selanjutnya apakah metode-metode pembelajaran
tradisional masih sesuai untuk dipergunakan karena perubahan orientasi pendidikan
saat ini? Banyak pendapat mengatakan bahwa metode konvensional itu menjadi
begitu klasik dan sepertinya harus dihindari, dan ini bisa menjadi doktrin yang
berbahaya. Evolusi pembelajaran memunculkan pertanyaan kritis, "masih
relevankah peran guru ke depan?". Guru tetap penting karena interaksi antara guru
dan peserta didik sesungguhnya merupakan respon budaya (idiosyncratic response)
yang tak tergantikan oleh mesin. Namun harus diakui, guru bukan tandingan mesin
dalam hal melaksanakan pekerjaan hapalan, hitungan, hingga pencarian sumber
informasi. Fungsi guru berubah namun kehadirannya masih tetap diperlukan,
sehingga upaya pengembangan profesi tetap penting diupayakan untuk menjawab
tantangan abad 21. Guru bukan saja perlu melek ICT sebagaimana disebutkan pada
modul 1 namun perlu melakukan kontekstualisasi informasi dan mengajarkan nilai
nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman, empati sosial, sikap-sikap, dan
keterampilan esensial abad 21 yaitu kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan
kreativitas (4C). Apabila didudukan pada konteks abad 21 dan berbagai kompetensi
maka pengembangan profesi perlu diarahkan pada;
1. Keterampilan pedagogis; mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
berpikir kritis, kebiasaan mencipta, dan menyelesaikan persoalan kompleks di
kehidupannya. Upaya harus sekuat kemauan guru dalam usaha menmfasilitasi
peserta didik menguasai materi.
2. Keterampilan melakukan penilaian terhadap dampak pembelajaran
menggunakan beragam pendekatan dan metode. Penilaian mencakup kemajuan
belajar didasarkan standar kompetensi nasional dalam kurikulum, pencatatan
sistematis pencapaian belajar, melaksanakan penilaian otentik, merumuskan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur kemajuan belajar peserta didik, dan
mengelola umpan balik dari hasil penilaian. Pembelajaran abad 21 banyak
dimediasi teknologi karena itu dalam penilaian bisa menggunakan bantuan
teknologi. Contoh; dalam penerapan e-learning berbasis moodle guru dapat
menggunakan learning management system (LMS) termasuk dalam penilaian
atas tugas-tugas belajar, memberikan umpan balik, mengolah nilai dan fitur lain
yang memudahkan aspek pengelolaan dan pengolahan nilai.
3. Keterampilan mengelola suasana pembelajaran; proses pembelajaran adalah
respon budaya dimana pada konteks tatap muka langsung guru mengelola kelas
yang menjamin adanya motivasi, saling berkomunikasi langsung, dan disiplin
belajar. Pada konteks pembelajaran berbasis teknologi (dimediasi teknologi)
guru perlu mengembangkan keterampilan cara menjaga motivasi dan
menghindarkan perilaku-perilaku menyimpang. Contoh; pada pembelajaran
e-learning guru harus mampu mengelola forum diskusi online atau yang
sederhana forum diskusi melalui whatsapp.
4. Keterampilan profesional; guru dihadapkan pada tuntutan mengantarkan peserta
didik memiliki kecakapan abad 21 (konsep 4C), di era dimana keterampilan
tingkat medium tergantikan keterampilan tingkat tinggi yang mengutamakan
kreativitas. Menghadapi situasi ini guru perlu melengkapi diri dengan rentang
keterampilan yang memadai, penguasaan materi, dan pengalaman praktis.
Keterampilan ini membawa peserta didik memenuhi kualifikasi di bidang
pekerjaan dan kehidupan era ekonomi berbasis pengetahuan atau ekonomi era
inovasi. Perkembangan masif mode pembelajaran dan jaringan komunikasi
membawa konsekwensi perubahan cara bekerja dan cara berinteraksi para guru,
khususnya dalam menggunakan perangkat (tool) berbasis ICT dan penerapan
paradigma baru pembelajaran.
Salah satu kompetensi penting guru perlu memahami konteks dimana
bekerja dan melaksanakan pembelajaran. Kelas ada dimana-mana, lingkungan
pendidikan tri pusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) bertambah
dengan hadirnya lingkungan media dan lingkungan digital atau maya.
Perkembangan media generasi terbaru (new media age) dan teknologi informasi dan
komunikasi memperkenalkan lingkungan baru yang memberi pengaruh signifikan
terhadap perkembangan belajar peserta didik. Lingkungan dimaksud adalah
lingkungan media dan lingkungan dunia maya. Masih ingat betapa besar pengaruh
media massa seperti televisi, koran, dan radio di era 1990-an terhadap perilaku
kehidupan dan perkembangan generasi muda dan masyarakat? Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi khususnya jaringan internet menghadirkan
lingkungan baru yang hadir setiap saat. Kedua jenis lingkungan terakhir justeru saat
ini justeru memberi pengaruh dominan bagi perkembangan emosional, intelektual,
dan sosial peserta didik.
Terkait profesi sebagai guru sangat penting untuk memahami karakteristik
peserta didik abad 21 meliputi fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual. Berbagai karakteristik peserta didik dibahas dalam modul 3. Dalam
pengembangan profesi hal paling penting adalah pengembangan kemampuan dalam
mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran yaitu suatu upaya mensinergikan
antara materi pembelajaran (content) dan strategi pembelajaran (paedagogy).
Guru harus menguasai materi dan pedagogi sehingga tidak ada kelemahan cara
pembelajarannya (empty pedagogy) maupun penguasaan materinya (empty content).
Demikian pula terkait penguasaan tenologi bukan sekedar melek komputer namun
ICT literacy dengan dimensi yang lebih luas (lihat modul 1) pengetahuan tentang
berbagai aplikasi kontemporer bagaimana perkembangan teknologi membawa
tuntutan baru kemampuan mengkombinasikan dan mengintegrasikan teknologi ke
dalam praktek pembelajaran disertai komitmen kualitas dalam konsep TPACK
(Technology, Paedagogy, Content, dan Knowledge).

PM
teri ( ) Pen geta
Ma hu
a
n
ua

nP
Pen getah

eda

PMP
PM PP
gogi (P P

PMPT
)

PTP Paket
PMT pengetahuan
dengan komitmen
PT kualitas
T)
Pe

ng
(P

e ta gi
h ua n Te knolo

Gambar 5: Paket pengetahuan dalam Integrasi Teknologi


Pengetahuan tentang materi (PM), pedagogi pembelajaran (PP), dan teknologi
(PT) dalam praktek pembelajaran tidak bekerja terpisah namun saling bekerjasama.
PMPT sebagai paket pengetahuan sebagai hasil interaksi dari ketiga pengetahuan
tersebut dan sangat berbeda dengan pengetahuan tersebut secara terpisah yaitu PM,
PP, dan PT. PMPT bisa dikatakan sebagai dasar untuk pembelajaran melalui
pengintegrasian teknologi secara efektif. PMPT adalah paket pengetahuan atau
konsep tentang penggunaan teknologi, teknik pembelajaran menggunakan teknologi
dengan cara konstruktif, memahami suatu konsep ada yang sulit dan mudah bagi
peserta didik dan menentukan bagaimana teknologi bisa mengembangkan dan
membantu. Pemahaman pengetahuan awal peserta didik dan epistimologi tentang
pengetahuan, pengetahuan bagaimana teknologi bisa membangun pengetahuan awal
dan mengembangkan cara-cara baru untuk memperkuat pengetahuan tersebut
menjadi sangat penting. Paket pengetahuan memiliki keterkaitan dan hubungan
yang harus dipahami guru sehingga bisa menjadi strategi metakognitif dalam
meningkatkan efektifitas pengintegrasian teknologi dalam pembelajaran.
Guru harus menyadari bahwa perangkat keras sebagai teknologi adalah “tool”
yang bernilai kecil sangat tergantung kepada ketrampilan penggunaan. Demikian
halnya ketrampilan penggunaan dan paket pengetahuan PMPT menjadi bernilai
kecil apabila tidak ada komitmen terhadap kualitas. Domain-domain pengetahuan
hasil refleksi dari proses kolaborasi ketiga jenis pengetahuan bisa menjadi bahan
pengembangan strategi atau kerangka dasar baru implementasi PMPT dalam
pembelajaran disertai komitmen perbaikan kualitas secara berkelanjutan.

Rangkuman

Guru secara yuridis diakui sebagai bagian dari tenaga kependidikan sebagai
suatu profesi dengan keahlian khusus. Berbagai produk hukum dan kebijakan telah
dikeluarkan pasca UUGD Nomor 14 tahun 2015 dalam rangkat meningkatkan
kualitas guru. Profesi guru bukan sekedar agen kurikulum namun secara akademis
ikut merancang konsep dan gagasan bagi upaya-upaya trasformasi dunia pendidikan
dan masyarakat pada umumnya. Profesi guru di Indonesia memenuhi kriteria
profesi pendidikan yang ditetapkan NEA. Pemerintah guna menjaga mutu guru
telah mengeluarkan Permendiknas no 35 Tahun 2010 tentang Jabatan Guru dan
Angka Kreditnya serta Permendiknas nomor 35 Tahun 2010 terkait aspek penilaian
meliputi pelaksanaan proses pembelajaran, pembimbingan, dan pelaksanaan tugas
tambahan lain yang relevan. Abad 21 menuntut perubahan peran guru lebih kepada
kontekstualisasi informasi dan mengajarkan nilai nilai-nilai etika, budaya,
kebijaksanaan, pengalaman, empati sosial, sikap-sikap, dan keterampilan esensial
abad 21 yaitu kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan kreativitas (4C). Guru
harus terus belajar dalam konteks Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Penting bagi guru
selalu melakukan refleksi pembelajaran, mengidentifikasi masalah, merancang
tindakan, melaksanakan mengevaluasi hasil dan tindaklanjut sebagai bagian dari
kebiasaaan pengembangan keprofesian bekelanjutan. Perkembangan masif
Teknologi Informasi dan Komunikasi membawa perubahan pola-pola pembelajaran
sehingga guru dituntut mampu menyesuaikan mode-mode pembelajaran baru.
Penting bagi guru memiliki ICT literacy dan paket pengetahuan dalam
mengintegrasikan kemampuan pedagogis, penguasaan materi, dan cara
pembelajarannya. Guru adalah pengembang gagasan dan ide bagi transformasi
pendidikan bukan sekedar pelaksana kurikulum.

Daftar pustaka

Boud, David & Walker, David (1998). Promoting reflection in professional courses.
The challenge of context. Studies in Higher Education, 23(2), 191-206, DOI:
10.1080/03075079812331380384

Challen, Christine (February, 2017)Teaching a job or a profession?


https://www.bera.ac.uk/blog/teaching-a-job-or-a-profession

Connelly, FM. & Clandinin, DJ (1997). Teachers' personal practical knowledge on


the professional knowledge landscape. Teaching and Teacher Education, 13(7),
665-674. DOI: 10.1016/S0742-051X(97)00014-0

Januszewski, Alan dan Michael Molenda (2008). Educational technology (A


definition with commentary). New York: Lawrence Erlbaum Associates

Mudjiman, Haris (2011). Belajar mandiri. Pembekalan dan penerapan. Cetakan 1.


UNS Press dan LPPS UNS: Surakarta..
Pujiriyanto (2012). Teknologi untuk Pengembangan media dan Pembelajaran.
Yogyakarta: UNY Press

Reigeluth (2009). Instructional-Design Theories and Models, Volume III. Building a


Common Knowledge Base. Routledge

Sarvage, Laura (2009). Who is the “Professional” in a Professional Learning


Community? An Exploration of Teacher Professionalism in Collaborative
Professional Development Settings. Canadian Journal Of Education 32, 1 (2009):
149-171

Stinnet, TM., & Hugget, AJ. (1963) Professional Problems of Teachers (2nd) London;
Collier-Macmillan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di


Daerah

Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.

Webster-Wright, Ann (2009). “Reframing Professional Development Through


Understanding Authentic Professional Learning” Journal of Education,
June 2009 pg. 702-739
Guru secara yuridis diakui sebagai bagian dari tenaga kependidikan sebagai suatu profesi
dengan keahlian khusus. Berbagai produk hukum dan kebijakan telah dikeluarkan pasca
UUGD Nomor 14 tahun 2015 dalam rangkat meningkatkan kualitas guru. Profesi guru
bukan sekedar agen kurikulum namun secara akademis ikut merancang konsep dan gagasan
bagi upaya-upaya trasformasi dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Profesi
guru di Indonesia memenuhi kriteria profesi pendidikan yang ditetapkan NEA. Pemerintah
guna menjaga mutu guru telah mengeluarkan Permendiknas no 35 Tahun 2010 tentang
Jabatan Guru dan Angka Kreditnya serta Permendiknas nomor 35 Tahun 2010 terkait aspek
penilaian meliputi pelaksanaan proses pembelajaran, pembimbingan, dan pelaksanaan tugas
tambahan lain yang relevan. Abad 21 menuntut perubahan peran guru lebih kepada
kontekstualisasi informasi dan mengajarkan nilai nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan,
pengalaman, empati sosial, sikap-sikap, dan keterampilan esensial abad 21 yaitu

kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan kreativitas (4C). Guru harus terus
belajar dalam konteks Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) meliputi

pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Penting bagi guru selalu
melakukan refleksi pembelajaran, mengidentifikasi masalah, merancang tindakan,
melaksanakan mengevaluasi hasil dan tindaklanjut sebagai bagian dari kebiasaaan
pengembangan keprofesian bekelanjutan. Perkembangan masif Teknologi Informasi dan
Komunikasi membawa perubahan pola-pola pembelajaran sehingga guru dituntut mampu
menyesuaikan mode-mode pembelajaran baru. Penting bagi guru memiliki ICT literacy dan
paket pengetahuan dalam mengintegrasikan kemampuan pedagogis, penguasaan materi,
dan cara pembelajarannya. Guru adalah pengembang gagasan dan ide bagi transformasi
pendidikan bukan sekedar pelaksana kurikulum.
MODUL 3
KEGIATAN BELAJAR I
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN

URAIAN MATERI

Sebelum bapak/ibu mempelajari lebih lanjut materi tentang


teori behavioristik, ada baiknya bapak/ibu berfikir ulang apa yang
dimaksud dengan ”BELAJAR” istilah ini bukanlah istilah baru,
hampir setiap hari bapak/ibu menggunakan istilah belajar. Namun
apa itu belajar?

1. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik


Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar
merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan
perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, siswa belum dapat berhitung
perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya sudah mengajarkan
dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan
perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan
perubahan perilaku sebagai hasil belajar.

http://www.karyatulisku.com/2016/04/konsep-dasar-belajar-dan-pembelajaran.html

1
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa
stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons.
Menurut bapak/ibu, apa yang dimaksud stimulus dan respon dalam proses
pembelajaran?

STIMULUS adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa


misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara
tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan RESPON adalah
reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut.
Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja
yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons),
semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat
terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative
reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika siswa diberi
tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat
belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif
(positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan
ini justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan
penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan
merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau
dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson,
Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Pada dasarnya para penganut aliran

2
behavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, namun ada beberapa
perbedaan pendapat di antara mereka.

1. Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut
maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu
dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang
tidak dapat diamati.

PENGUATAN

STIMULUS PROSES RESPON


Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia
PENGUATAN
tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang
tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan
pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori
Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).
2. Teori Belajar Menurut (1878-1958)
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah
Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang
dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses
belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu
diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam
benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah
seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar

3
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat
diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat
diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang
melakukan tindak belajar. Pemikiran Watson (Collin, dkk: 2012) dapat
digambarkan sebagai berikut:

Emosi manusia yang fundamental Pavlov mendemonstrasikan hewan


(yang tidak dipelajari) adalah dapat merespon tingkah laku
ketakutan, kemarahan dan cinta melalui pengkondisian

perasaan-perasaan ini dapat Manusia juga dapat dikondisikan


melekat pada objek melalui untuk menghasilkan respons fisik
pengondisian stimulus-respons terhadap objek dan peristiwa

Perasaan-perasaan ini dapat Siapapun terlepas dari sifatnya,


melekat pada objek melalui dapat dilatih menjadi apapun
pengondisian stimulus-respons
Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal
yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan
mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal
itu penting.

3. Teori Belajar Menurut Clark Leaonard Hull (1884-1952)


Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengrtian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh
teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya
teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga
kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa
kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan
menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam
kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan

4
praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih
sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.

5. Teori Belajar Menurut Edwin Ray Guthrie (1886-1959)


Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun
ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau
pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull.
Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya
bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering
mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat
lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat
dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan
dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada
saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun
setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan
(reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan
dalam belajar.

6.Teori Belajar Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)


Skinner merupakan tokoh behavioristik yang paling banyak dipebincangkan,
konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu meng-
ungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia
mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan
konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.

Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi


melalui interaksi dalam lingkungannya akan menimbulkan perubahan
tingkah laku.

5
Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan
saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan
mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon
yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau
menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami
tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan
antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat
dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru
dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-
program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus–respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan
teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat
belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus
lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Di
sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak mampu menjelaskan alasan-
alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini. Namun teori
behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus lainnya dan
seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun demikian, persoalannya

6
adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
Sebagai contoh, motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar.
Pandangan behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada
kegiatan-kegiatan di luar kelas (bermain video-game, berlatih atletik), tetapi tidak
termotivasi mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan
pengalaman penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiatan di luar pelajaran, tetapi
tidak mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas.
Pandangan behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan
yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa untuk tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam hidup ini yang
mempengaruhi proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak sesederhana yang
dilukiskan oleh teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi siswa untuk bebas berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie,
yaitu;

7
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian
dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif.
Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda
dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus
dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa
perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang
tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan
malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari penguat
negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk
memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah,
sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons.

8. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons
atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai

8
hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif,
perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping)
dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua
merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini
hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak
dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti
Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah,
bahkan sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill
(pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa.
Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami oleh murid.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga
makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di
dunia nyata telah tersetruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar
harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan

9
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau siswa adalah
obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus
dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan
peran yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Membentuk kebiasaan siswa. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk
dengan sendirinya
2. Berhati hati jangan smpai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah.
Karena mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.
3. Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika satu kebiasaan saja sudah
cukup
4. Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu
akan digunakan.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu
jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan
keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori
ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Salah satu contoh pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran
terprogram (PI/Programmed Instruction), dimana pembelajaran terprogram ini

10
merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip pembelajaran Operant conditioning
yang di bawa oleh Skinner. Dalam Schunk (2012) PI melibatkan beberapa prinsip
pembelajaran. Dalam pembelajaran terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame
secara berurutan yang setiap frame memberikan informasi dalam potongan kecil
dan dilengkapi dengan test yang akan direspon oleh siswa.
Pada jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada
pembelajaran dengan powerpoint dan multimedia. Dalam pembelajaran dengan
powerpoint, pembelajaran cenderung terjadi satu arah. Materi disampaikan dalam
bentuk powerpoint yang telah disusun secara rinci. Sementara itu pada
pembelajaran dengan multimedia, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang
sama dengan pengembang, materi disusun dengan perencanaan yang rinci dan ketat
dengan urutan yang jelas, latihan yang diberikan pun cenderung memiliki satu
jawaban benar. Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung
diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program
pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner (Collin, 2012), dimana Skinner
mengembangkan model pembelajaran yang disebut “teaching machine” yang
memberikan feedback kepada siswa bila memberikan jawaban benar dalam setiap
tahapan dari pertanyaan test, bukan sekedar feedback pada akhir test.

RANGKUMAN

Teori belajar behavioristik masih dirasakan manfaatnya dalam kegiatan


pembelajaran. Selain teori ini telah mampu memberikan sumbangan atau motivasi
bagi lahirnya teori-teori belajar yang baru, juga karena prinsip-prinsipnya
(walaupun terbatas) terasa masih dapat diaplikasikan secara praktis dalam
pembelajaran hingga kini. Walaupun teori ini mulai mendapatkan kritikan, namun
dalam hal-hal tertentu masih diperlukan khususnya dalam mempelajari aspek-aspek
yang sifatnya relatif permanen dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan secara
ketat.
Secara ringkas, teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan

11
tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu
menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui
pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang
berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons
dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa
diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.
Penguatan (reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan
adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Demikian
juga jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan
menguat. Tokoh-tokoh penting teori behavioristik antara lain Thorndike, Watson,
Skiner, Hull dan Guthrie.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan
sebagai aktifitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan
dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada
hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan
bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.

DAFTAR BACAAN

Asri Budiningsih. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu


Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta
Biehler, R.F. & Snowman, J. (1982). Psychology Applied to Teaching, Fourth
edition, Boston: Houghton Mifflin Company.
Collin, Catherine, dkk. 2012. The Psychology Book. London: DK.
Dahar, R. W., (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK.
Degeng, I.N.S., (1989). Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Degeng N.S., (1997). Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik: Pemecahan
Masalah Belajar Abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP.
Dimyati, M, (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,

12
P2LPTK
Gage, N.L., & Berliner, D. (1979). Educational Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand McNally.
Raka Joni, T. (1990). Cara belajar siswa aktif: CBSA: artikulasi konseptual,
jabaran operasional, dan verivikasi empirik. Pusat Penelitian IKIP Malang.
Ratna Wilis D. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Schunk, Dale. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi
keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smaldino, dkk. 2010. Instructional Technology and Media for Learning. 10th
edition. United State of America: Pearson.
Smaldino, dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11th
edition. United State of America: Pearson.

13
KEGIATAN BELAJAR II
TEORI BELAJAR KOGNITIF DAN PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN

URAIAN MATERI

Teori belajar kognitif menekankan pada perhatian terhadap


tahapan perkembangan anak. Namun tahukah bapak/ibu apa yang
dimaksud dengan teori kognitif? Pada kegiatan belajar ini,
bapak/ibu akan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
teori belajar kognitif.

1. Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif

Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori


belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para
penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik
yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model
belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai
model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku
seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan
pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling
berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau
membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-
kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini
berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup
ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.
Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.

1
Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan
menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di
dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam
rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh
J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner,
Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut
akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka.

2. Teori Perkembangan Jean Piaget (1896-1980)


Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya
terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget,
perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin
bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya
dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju
kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan
menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur
kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang
dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau
kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Collin,
dkk (2012) menggambarkan pemikiran Piaget sebagaiberikut:

Proses Anak-anak berubah


perkembangan kognitif melalui empat tahap
anak sangat ber-beda perkembangan secara
dari orang dewasa otonom dan mandiri

Guru harus memberikan


Tujuan akhir dari tugas yang sesuai
pendidikan adalah dengan
menciptakan manusia tahapan perkembangan
yang dapat membuat anak dan memelihara
sesuatu yang baru kemandirian berpikir
dan kreativitas 2
Bagaimana seseorang memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya
akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka
rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu
fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan. Bila seseorang dalam kondisi
sekarang dapat mengatasi situasi baru, keseimbangan mereka tidak akan terganggu.
Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya.
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami
sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang, sementara akomodasi adalah
proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain,
apabila individu menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi
tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah
dipunyainya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang
sudah dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka
hal ini disebut akomodasi.
Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik
kognitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa
yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur
kognitif. Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap
asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi
merupakan proses pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur
kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses
ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip pengurangan. Ketika
mempelajari prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip

3
pengurangan yang sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru).
Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal
pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya, anak tersebut sudah dapat
mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip pembagian dalam situasi yang baru
dan spesifik.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya
sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses
penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan
luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut
ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan
mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized). Hal ini misalnya tampak
pada caranya berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis,
dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam
struktur kognitif.
Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi
mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari
pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan
tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-
tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat
hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak
dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-
tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu;
a. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya
yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan
dilakukan langkah demi langkah. Kemampuan yang dimilikinya antara lain:
1) Melihat dirinya sendiri sebagai mahkluk yang berbeda dengan obyek di
sekitarnya.
2) Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
3) Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.
4) Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.

4
5) Memperhatikan obyek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah
tempatnya.
b. Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau
bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini
dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif.
Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa
dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka
sering terjadi kesalahan dalam memahami obyek. Karakteristik tahap ini
adalah:
1) Self counter nya sangat menonjol.
2) Dapat mengklasifikasikan obyek pada tingkat dasar secara tunggal dan
mencolok.
3) Tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek-obyek yang berbeda.
4) Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria
yang benar.
5) Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat
menjelaskan perbedaan antara deretan.
Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh
pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik
kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia
ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi
mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap ini adalah:
1) Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori obyek, tetapi kurang
disadarinya.
2) Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih
kompleks.
3) Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
4) Anak mampu memperoleh prinsip-prinsip secara benar. Dia mengerti
terhadap sejumlah obyek yang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak
kekekalan masa pada usia 5 tahun, kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan

5
kekekalan volume pada usia 7 tahun. Anak memahami bahwa jumlah obyek
adalah tetap sama meskipun obyek itu dikelompokkan dengan cara yang
berbeda.
c. Tahap operasional konkrit (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai
menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya
reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan
tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkrit. Operation adalah suatu
tipe tindakan untuk memanipulasi obyek atau gambaran yang ada di dalam
dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan proses transformasi informasi ke
dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-
coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan
menggunakan model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia
dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu
menangani sistem klasifikasi.
Namun sungguhpun anak telah dapat melakukan pengklasifikasian,
pengelompokan dan pengaturan masalah (ordering problems) ia tidak
sepenuhnya menyadari adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.
Namun taraf berpikirnya sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak
memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. Untuk menghindari
keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkrit, sehingga ia mampu
menelaah persoalan. Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih
memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.
d. Tahap Operasional formal (umur 11/12-18 tahun).
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu
berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”.
Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive dan inductive sudah
mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan
mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini kondisi berpikir anak sudah dapat:
1) Bekerja secara efektif dan sistematis.
2) Menganalisis secara kombinasi. Dengan demikian telah diberikan dua

6
kemungkinan penyebabnya, misalnya C1 dan C2 menghasilkan R, anak
dapat merumuskan beberapa kemungkinan.
3) Berpikir secara proporsional, yakni menentukan macam-macam
proporsional tentang C1, C2, dan R misalnya.
4) Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi. Pada tahap ini
mula-mula Piaget percaya bahwa sebagian remaja mencapai formal
operations paling lambat pada usia 15 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian
maupun studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan
mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat melakukan
formal-operations.
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan
berbeda dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap
preoperasiaonal, dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada
tahap operasional konkrit, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap
operasional formal.
Empat tahap perkembangan Piaget ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
(Collin, 2012)

1. Pada tahap sensorimotor, 2. Anak mulai mengatur objek


anak belajar tentang dunia secara logis pada tahapan
melalui sentuhan dan indera pra-operasional
lainnya

4. Dalam tahap operasional 3. Penalaran verbal dan


kongkrit, Kuantitas/ isi pemikiran hipotetis anak
dipengaruhi oleh bentuk berkembang pada tahap
yang berbeda operasi formal. 7
Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan
semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Guru seharusnya memahami
tahap-tahap perkembangan kognitif para muridnya agar dalam merancang dan
melaksanakan proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan tidak sesuai dengan kemampuan
dan karakteristik siswa tidak akan ada maknanya bagi siswa.

3. Teori Belajar Menurut Jerome Bruner (1915-2016)


Jerome Bruner adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam
studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia
sebagai berikut:
a. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam
menanggapi suatu rangsangan.
b. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan
informasi secara realis.
c. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada
diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa
yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan
kepercayaan pada diri sendiri.
d. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak
diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
e. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat
komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada
diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep
kepada orang lain.
f. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan
beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat

8
memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi.
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh
kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free
discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik
dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan
suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai
dalam kehidupannya. Jika Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa seseorang, maka Bruner menyatakan
bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap
yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan
symbolic.
1) Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk
memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.
2) Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan
perbandingan (komparasi).
3) Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-
gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa
dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-
simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan
dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam
proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak
berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media
dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya
sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan
dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap

9
perkembangan orang tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral (a spiral
curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro,
menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan meteri
secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama
dalam cakupan yang lebih rinci. Pendekatan penataan materi dari umum ke rinci
yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk
penyesuaian antara materi yang dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif
orang yang belajar.
Demikian juga model pemahaman konsep dari Bruner (dalam Degeng, 1989),
menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua
kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda
pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan
contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan
menggunakan dasar kriteria tertentu. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep
sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya,
yaitu tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru. Jadi merupakan tindakan
penemuan konsep.
Menurut Bruner, kegiatan mengkategori memiliki dua komponen yaitu; 1)
tindakan pembentukan konsep, dan 2) tindakan pemahaman konsep. Artinya,
langkah pertama adalah pembentukan konsep, kemudian baru pemahaman konsep.
Perbedaan antara keduanya adalah:
1) Tujuan dan tekanan dari kedua bentuk perilaku mengkategori ini berbeda.
2) Langkah-langkah dari kedua proses berpikir tidak sama.
3) Kedua proses mental membutuhkan strategi mengajar yang berbeda.
Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki 5 unsur, dan seseorang
dikatakan memahami suatu konsep apabila ia mengetahui semua unsur dari konsep
itu, meliputi;
1) Nama.
2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif.
3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak.
4) Rentangan karakteristik

10
5) Kaidah.
Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah lebih
banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang
mengembang-kan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat
penting bagi mereka yang menggeluti bidang matematika, biologi, fisika, dan
sebagainya, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur
yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk
akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery learning). Brunner meyakini
bahwa proses belajar akan berjalan dengan optimal apabila siswa diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana bagan
di atas, Brunner meyakini bahwa perkembangan bahasa memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Pemikiran Bruner (Collin, 2012)
yang digambarkan sebagai berikut:

Siswa belajar melalui pengalaman Perintah pada siswa bukan


aktif memberi tahu mereka tentang
sesuatu tetapi mendorong mereka
untuk berpartisipasi

Siswa memperoleh pengetahuan melalui penggunaan alasan, dengan


mengkonstruksikan arti dari informasi yang mereka terima

Proses informasi

Menjadi tahu merupakan sebuah proses bukan suatu produk.

4. Teori Belajar Bermakna David Ausubel (1918-2008)


Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada
belajar asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna
bagi siswa. Belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang

11
telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif.
Struktur kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan
seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke
dalam suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada
konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari
struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Yang paling awal mengemukakan
konsepsi ini adalah Ausubel.
Dikatakan bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam
struktur hirarkhis. Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan
abstrak membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan konkrit. Demikian juga
pengetahuan yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh
seseorang, akan dapat memudahkan perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci.
Gagasannya mengenai cara mengurutkan materi pelajaran dari umum ke khusus,
dari keseluruhan ke rinci yang sering disebut sebagai subsumptive sequence
menjadikan belajar lebih bermakna bagi siswa.
Advance organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel merupakan
penerapan konsepsi tentang struktur kognitif di dalam merancang pembelajaran.
Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka
dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang
dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif
siswa. Jika ditata dengan baik, advance organizers akan memudahkan siswa
mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan materi yang
telah dipelajarinya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan
oleh Ausubel tersebut, dikembangkanlah oleh para pakar teori kognitif suatu model
yang lebih eksplisit yang disebut dengan skemata. Sebagai struktur organisasional,
skemata berfungsi untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-
pisah, atau sebagai tempat untuk mengkaitkan pengetahuan baru. Atau dapat
dikatakan bahwa skemata memiliki funsi ganda, yaitu:
1) Sebagai skema yang menggambarkan atau merepresentasikan organisasi

12
pengetahuan. Seseorang yang ahli dalam suatu bidang tertentu akan dapat
digambarkan dalam skemata yang dimilikinya.
2) Sebagai kerangka atau tempat untuk mengkaitkan atau mencantolkan
pengetahuan baru.
Skemata memiliki fungsi asimilatif. Artinya, bahwa skemata berfungsi untuk
mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam hirarkhi pengetahuan, yang secara
progresif lebih rinci dan spesifik dalam struktur kognitif seseorang. Inilah proses
belajar yang paling dasar yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru ke dalam
skemata yang tersusun secara hirarkis. Struktur kognitif yang dimiliki individu
menjadi faktor utama yang mempengaruhi kebermaknaan dari perolehan
pengetahuan baru. Dengan kata lain, skemata yang telah dimiliki oleh seseorang
menjadi penentu utama terhadap pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh orang
tersebut. Oleh sebab itu maka diperlukan adanya upaya untuk mengorganisasi isi
atau materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan
proses asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif orang yang belajar.
Mendasarkan pada konsepsi di atas, Mayer (dalam Degeng, 1993)
menggunakan pengurutan asimilatif untuk mengorganisasi pembelajaran, yaitu
mulai dengan menyajikan informasi-informasi yang sangat umum dan inklusif
menuju ke informasi-informasi yang hkusus dan spesifik. Penyajian informasi pada
tingkat umum dapat berperan sebagai kerangka isi bagi informasi-informasi yang
lebih rinci.
Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwa skemata dapat dimodifikasi
oleh pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga menghasilkan makna baru.
Anderson (1980) dan Tennyson (1989) mengatakan bahwa pengetahuan yang telah
dimiliki individu selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan bagi masing-
masing individu. Semakin besar jumlah dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang,
makin besar pula peluang yang dimiliki untuk memilih. Demikian pula, semakin
baik cara penataan pengetahuan di dalam dasar pengetahuan, makin mudah
pengetahuan tersebut ditelusuri dan dimunculkan kembali pada saat diperlukan.
Konsepsi dasar mengenai struktur kognitif inilah yang dijadikan landasan
teoretik dalam mengembangkan teori-teori pembelajaran. Beberapa pemikiran ke

13
arah penataan isi bidang studi atau materi pelajaran sebagai strategi
pengorganisasian isi pembelajaran yang berpijak pada teori kognitif, dikemukakan
secara singkat sebagai berikut (Degeng, 1989):
a. Hirarhki belajar.
Gagne menekankan kajiannya pada aspek penataan urutan materi pelajaran
dengan memunculkan gagasan mengenai prasyarat belajar, yang dituangkan
dalam suatu struktur isi yang disebut hirarhki belajar. Keterkaitan di antara
bagian-bagian bidang studi yang dituangkan dalam bentuk prasyarat belajar,
berarti bahwa pengetahuan tertentu harus dikuasai lebih dahulu sebelum
pengetahuan yang lain dapat dipelajari.
b. Analisis tugas.
Cara lain yang dipakai untuk menunjukkan keterkaitan isi bidang studi adalah
information-processing approach to task analysis. Tipe hubungan prosedural
ini memerikan urutan dalam menampilkan tugas-tugas belajar. Hubungan
prosedural menunjukkan bahwa seseorang dapat saja mempelajari langkah
terahkir dari suatu prosedur pertama kali, tetapi dalam unjuk kerja ia tidak dapat
mulai dari langkah yang terahkir.
c. Subsumptive sequence.
Ausubel mengemukakan gagasannya mengenai cara membuat urutan isi
pengajaran yang dapat menjadikan pengajaran lebih bermakna bagi yang
belajar. Ia menggunakan urutan umum ke rinci atau subsumptive sequence
sebagai strategi utama untuk mengorganisasi pengajaran. Perolehan belajar dan
retensi akan dapat ditingkatkan bila pengetahuan baru diasimilasikan dengan
pengetahuan yang sudah ada.
d. Kurikulum spiral.
Gagasan tentang kurikulum spiral yang dikemukakan oleh Bruner dilakukan
dengan cara mengurutkan pengajaran. Urutan pengajaran dimulai dengan
mengajarkan isi pengajaran secara umum, kemudian secara berkala kembali
mengajarkan isi yang sama dengan cakupan yang lebih rinci.
e. Teori Skema.
Teori skema juga menggunakan urutan umum ke rinci. Teori ini memandang

14
bahwa proses belajar sebagai perolehan pengetahuan baru dalam diri seseorang
dengan cara mengkaitkannya dengan struktur kognitif yang sudah ada. Hasil
belajar sebagai hasil pengorganisasian struktur kognitif yang baru, merupakan
integrasi antara pengetahuan yang lama dengan yang baru. Struktur kognitif
yang baru ini nantinya akan menjadi assimilative schema pada proses belajar
berikutnya.
f. Webteaching.
Webteaching yang dikemukakan Norman, merupakan suatu prosedur menata
urutan isi bidang studi yang dikembangkan dengan menampilkan pentingnya
peranan struktur pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang, dan struktur
isi bidang studi yang akan dipelajari. Pengetahuan baru yang akan dipelajari
secara bertahap harus diintegrasikan dengan struktur pengetahuan yang telah
dimilikinya.
g. Teori Elaborasi.
Teori elaborasi mengintegrasikan sejumlah pengetahuan tentang strategi
penataan isi pelajaran yang sudah ada, untuk menciptakan model yang
komprehensif tentang cara mengorganisasi pengajaran pada tingkat makro.
Teori ini mempreskripsikan cara pengorganisasian isi bidang studi dengan
mengikuti urutan umum ke rinci, dimulai dengan menampilkan epitome
(struktur isi bidang studi yang dipelajari), kemudian mengelaborasi bagian-
bagian yang ada dalam epitome secara lebih rinci.

C. Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran


Teori kognitif menekankan pada proses perkembangan siswa. Meskipun
proses perkembangan siswa mengikuti urutan yang sama, namun kecepatan dan
pertumbuhan dalam proses perkembangan itu berbeda. Dalam proses pembelajaran,
perbedaan kecepatan perkembangan mempengaruhi kecepatan belajar siswa, oleh
sebab itu interaksi dalam bentuk diskusi tidak dapat dihindarkan. Pertukaan
gagasan menjadi tanda bagi perkembangan penalaran siswa. Perlu disadari bahwa
penalaran bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara langsung, namun
perkembangannya dapat disimulasikan.

15
Piaget memberikan penekanan bahwa setiap tahap perkembangan
memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar lebih baik. Menurut piaget, anak
bukanlah orang dewasa mini, anak tidak mengetahui sebanyak apa yang diketahui
oleh orang dewasa, akan tetapi anak melihat dunia dengan cara yang berbeda dan
berinteraksi secara berbeda pula.
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas
belajar yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan
proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini
sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran,
mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik
sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar
belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya.
Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya
dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan
dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki
si belajar.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar
bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan
hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui
siswa.

16
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatiakan, karena faktor
ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut
misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan
sebagainya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, proses belajar
menurut Piaget terjadi melalui tahapan asimilasi, akomodasi dan equilibirasi.
Sebagai contoh (www.nblognlife.com) siswa yang telah memahami prinsip
pengurangan, ketika siswa tersebut mempelajari prinsip pembagian, maka terjadi
proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya dengan
prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika siswa
tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Hal ini
berarti siswa tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip
pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik.
Dalam learning and teaching information (www.funderstanding.com),
dijelaskan bahwa Piaget melihat transisi perkembangan terjadi pada sekitar 18
bulan, 7 tahun dan 11 atau 12 tahun. Hal ini dapat diartikan bahwa sebelum usia ini
anak-anak tidak mampu (seberapa cerdaspun mereka) untuk memahami hal-hal
dengan cara-cara tertentu.
Pada siswa yang berada di rentang perkembangan preoperasional, untuk
mengaplikasikan teori perkembangan Piaget dalam pembelajaran di kelas,
University of Arkansas merekomendasikan enam tahap yang perlu diperhatikan
dalam perkembangan struktur pre-operasional. Enam tahap tersebut:
1. Gunakan contoh pendukung dan alat-alat visual jika memungkinkan.
2. Buat petunjuk pembelajaran yang tidak terlalu panjang, gunakan lebih banyak
contoh daripada kata-kata.
3. Jangan berharap siswa melihat dunia dari sudut pandang orang lain, karena
siswa memiliki sudut pandnag sendiri.
4. Peka terhadap kemungkinan bahwa siswa mungkin memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap kata yang sama atau pemahaman yang sama terhadap kata
yang berbeda. Siswa juga seringkali mengharapkan orang dewasa untuk
memahami kata-kata yang mereka ucapkan.

17
5. Berikan latihan langsung kepada siswa yang berfungsi untuk membantu siswa
membangun pemahaman yang lebih kompleks seperti pemahaman bacaan.
6. Berikan berbagai pengalaman untuk membangun landasan bagi pembelajaran
yang lebih kompleks.
Ketiga tokoh aliran kognitif di atas secara umum memililiki pandangan yang
sama yaitu mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Menurut
Piaget, hanya dengan mengaktifkan siswa secara optimal maka proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Sementara itu,
Bruner lebih banyak memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sendiri
melalui aktivitas menemukan (discovery). Cara demikian akan mengarahkan siswa
pada bentuk belajar induktif, yang menuntut banyak dilakukan pengulangan. Hal
ini tercermin dari model kurikulum spiral yang dikemukakannya. Berbeda dengan
Bruner, Ausubel lebih mementingkan strutur disiplin ilmu. Dalam proses belajar
lebih banyak menekankan pada cara berfikir deduktif. Hal ini tampak dari
konsepsinya mengenai Advance Organizer sebagai kerangka konseptual tentang isi
pelajaran yang akan dipelajari siswa.
Penerapan teori kognitif ini contohnya pada pembelajaran mandiri, dimana
siswa dapat belajar sesuai dengan tingkat perkembangannya sendiri dan sesuai
dengan kecepatannya sendiri. Sebagaimana yang disampaikan Piaget (Collin, dkk:
2012) dalam teorinya bahwa tujuan utama dalam proses pembelajaran adalah
menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang
baru”. Selain model pembelajaran mandiri, model diskusi dengan memfokuskan
pada perkembangan siswa dan guru sebagai fasilitator untuk membantu siswa
berkembang sesuai dengan struktur kognitifnya, juga merupakan contoh penerapan
teori kognitif.

RANGKUMAN

Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan


pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat

18
diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru
beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
Di antara para pakar teori kognitif, paling tidak ada tiga yang terkenal yaitu
Piaget, Bruner, dan Ausubel. Menurut Piaget, kegiatan belajar terjadi sesuai dengan
pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses
asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Sedangkan Bruner mengatakan bahwa belajar
terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi, dan
bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap
enaktif, ikonik, dan simbolik. Sementara itu Ausubel mengatakan bahwa proses
belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-
tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan
menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat
dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengkaitkan pengetahuan baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari
sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan,
karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

DAFTAR BACAAN

Asri Budiningsih. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu


Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta
Biehler, R.F. & Snowman, J. (1982). Psychology Applied to Teaching, Fourth
edition, Boston: Houghton Mifflin Company.
Collin, Catherine, dkk. 2012. The Psychology Book. London: DK.
Dahar, R. W., (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK.

19
Degeng, I.N.S., (1989). Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Dimyati, M, (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK
Gage, N.L., & Berliner, D. (1979). Educational Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand McNally.
Perkins, D.N., (1991). What Constructivism demands of the learner. Educational
Technology. Vol. 33, No. 9, pp.19-21
Raka Joni, T. (1990). Cara belajar siswa aktif: CBSA: artikulasi konseptual,
jabaran operasional, dan verivikasi empirik. Pusat Penelitian IKIP Malang.
Ratna Wilis D. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Schunk, Dale. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi
keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smaldino, dkk. 2010. Instructional Technology and Media for Learning. 10th
edition. United State of America: Pearson.
Smaldino, dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11th
edition. United State of America: Pearson.
Yuliani Nurani Sujiono, dkk, III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta
: Pusat penerbitan Universitas Terbuka
Anonymous. Jean Piaget: Cognitive development in the classroom. April 2011.
http://www.funderstanding.com/educators/jean-piaget-cognitive-
development-in-the-classroom/

20
MODUL 3
KEGIATAN BELAJAR III
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN PENERAPANNYA
DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN

URAIAN MATERI

Sebelum kita mempelajari materi pada bagian ini, cobalah


bapak/ibu renungkan sejenak, “manusia-manusia masa depan
seperti apa yang ingin kita hasilkan dari proses pembelajaran
yang terjadi saat ini?

Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharapkan


Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia
dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan
yang dikehendaki tersebut adalah menusia-manusia yang memiliki kepekaan,
kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan,
mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus
untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to)
learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas
dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun
kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu,
mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang
merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai
proses dan hasil berpikir sendiri di samping proses dan hasil berpikir orang lain,
serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu.
Tanggungjawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan
serta tindakan sendiri. Kolaborasi, berarti di samping mampu berbuat yang terbaik
bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri di atas juga mampu bekerja sama
dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah adanya layanan ahli

1
kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning
atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar
mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa di dalam proses belajar, adalah
landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang
diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik di
samping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990).
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna
bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk
melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap
aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain,
pendidikan ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia
masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar
konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju
kepada tujuan tersebut.
1. Konstruksi Pengetahuan
Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan, untuk memperbaiki pendidikan
terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara
mengajarnya. Ke dua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia
mengkonstruksi pengetahuannya tentang obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa
yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-
hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian
juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri.
Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan
dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa
pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara
pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Menurut bapak/ibu, apa yang dimaksud dengan pengetahuan?
Dalam pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari
suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal

2
menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus
oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya
pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran
seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang
belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer
konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu
akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman
dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinya dengan obyek dan
lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, membau, atau
merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu
yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak
seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungannya, pengetahuan dan
pemahamannya akan obyek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih
rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan
adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan
jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi
pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi
pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi
unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan
pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan
hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu
jaringan struktur kognitif dalam dirinya.

3
2. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik,
dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika
dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian
makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi
yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih
dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-
fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and
restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex
network of increasing conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap
obyek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri
oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu
pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam
memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan
lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang
dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
dan sebagainya.

4
https://tahjud69.blogspot.co.id/2016/12/teori-belajar-konstruktivisme.html

Peranan Siswa (Si-belajar). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar


merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus
dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir,
menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang
memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling
menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan
istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada
siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh
sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak
sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran
dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan
membantu agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa berjalan lancar. Guru
tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih

5
memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai
dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang
meliputi;
1) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak.
2) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar
siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan
pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan
terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang
dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan
pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa
lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain
yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha
mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar
antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik.
Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis,
sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada
konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan

6
tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan
pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur
dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi obyek-obyek nyata.
Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan
kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran
seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan
pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan
keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-
peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen
penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia
nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara
individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat
menginterpretasi-kan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan
minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi
fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual,
bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada
tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free
evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan
spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang
tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai,
proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi
mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan
pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe
obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar
konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang

7
digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses
pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas
autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang
lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi
kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi
pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan
berbagai perspektif.

3. Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)


Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang di pelopori oleh
Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut sebagai
teori belajar sosiokultur merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah
pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona
keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD) atau Zona
Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya
membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang
dihadapinya
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa
intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini
juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui
interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang
terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan
terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) Secara
spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah :
1. Membantu memecahkan masalah
Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya.
Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang
diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.
2. Memudahkan dalam melakukan tindakan

8
Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang
mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin
untuk mencapai tujuan.
3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir
dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang
ada di sekitarnya.
4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens
menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai
dengan kapasitasnya.

Inti dari teori belajar kokonstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir
seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya.
Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan
yang dimiliki oleh setiap individu.
Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan bahwa “siswa itu
sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki
aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori belajar kokonstruktivistik ini
menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang
telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya
memakai informasi-informasi baru. Teori belajar kokonstruktivistik meliputi tiga
konsep utama, yaitu :

1. Hukum Genetik tentang Perkembangan


Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta
atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang
melewati dua tataran. Tataran sosial (interpsikologis dan intermental) dan tataran
psikologis (intrapsikologis). Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya

9
lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang
bersangkutan.
Teori kokonstruktivistik menenpatkan intermental atau lingkungan sosial
sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta
perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang
diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini
dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan
internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru
akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses
internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang
menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang.
Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky meyakini bahwa
kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara spesifik,
namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan
akan menentukan kematangan selanjutnya.

2. Zona Perkembangan Proksimal


Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development (ZPD)
merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar
kokonstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky
berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai ‘level
perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan
potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky
mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan
Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak
antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan
masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan
lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi
dengan teman sebaya yang lebih mampu. Secara jelas Vygotsky memberikan
pandangan yang matang tentang konsep tersebut seperti yang dikutip oleh Luis C.
Moll (1993: 157) :

10
Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut
yang belum pernah matang, tetapi dalam proses pematangan. Fungsi-
fungsi tersebut akan matang dalam situasi embrionil pada waktu itu.
Fungsi-fungsi tersebut dapat diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga”
perkembangan yang dibandingkan dengan “buah” perkembangan.

Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan Proksimal sebagai


fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses
pematangan”. Karena fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak
membutuhkan orang lain untuk membantu proses pematangannya. Sedangkan I
Gusti Putu Suharta dalam makalahnya berpendapat bahwa :
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu.

Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa belajar


konsep paling baik apabila konsep itu berada pada zona perkembangan terdekat
mereka (Guruvalah). Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan
bahwa “ZPD merupakan suatu wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat
mengemudikan dengan kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang
yang lebih ahli yang memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky tentang
interaksi antara kawan sebaya dan pencontohan adalah cara-cara penting untuk
memfasilitasi perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan.
Dalam makalah lain, Julia berpendapat bahwa “ZPD merupakan level
perkembangan yang dicapai ketika anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial”.
Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada interaksi
sosial yang penuh, di mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang
dewasa atau kolaborasi antar kawan sebaya ataupun orang yang lebih faham
melampaui apa yang difahaminya.

11
Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD
yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran, yaitu :
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika
akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya
begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang
dewasa
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan.
Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru
memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap
pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus
dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap
untuk berfikir abstrak.
Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan
sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat
urutan suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang
dilakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah.

Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang
diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten
terhadap hal tersebut.

3. Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi

12
yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana
tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami
sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita,
kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi
pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan;
(2) scoffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang
memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang
tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada
orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda
atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan
sosiokultural di mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini,
anak-anak dibantu oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih
faham. Wertsch dalam Yuliana (2005: 45-46) berpendapat bahwa :
Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan fungsi-
fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik. Artinya tanda atau
lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai
penghubung antara rasionalitas-sosiokultural (intermental) dengan
individu sebagai tempat berlangsungnyaa proses mental.

Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal


yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :
1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang
luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
dari pada perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan
intramentalnya.

13
4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi

Dalam teori belajar kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki


seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk
mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut.
Pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus
diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar
kokonstruktivistik yang banyak digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah :
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar
5. Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
6. Guru adalah fasilitator

Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar kokonstruktivistik, proses


belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi
dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan
makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks
sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat
dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari
kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda.
Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu
dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di
mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi
sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.

14
4. Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran
Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti kegiatan belajar yang
sesungguhnya. Pada bagian ini akan dibahas ciri-ciri pembelajaran tradisional atau
behavioristik dan ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik.
Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori
behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran
melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan
respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru
banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan
urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan
guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan
interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak
dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan
tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara
pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak
memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada
gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus
memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai
sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran konstruktivistik
membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru.
Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan
membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar
untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan
kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah
diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan
pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Pada pembelajaran konstruktivistik, siswa yang diharapkan memiliki peran
optimal. Selain itu siswa juga diharapkan untuk dapat berkolaborasi dengan orang

15
lain untuk mencapai kemampuan yang optimal. Menurut Vygotsky sebagai salah
satu tokoh penghusung teori ini, Perubahan mental anak tergantung pada proses
sosialnya yaitu bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Lingkungan sosial yang menguntungkan anak adalah orang-orang dewasa atau
anak yang lebih mampu yang dapat memberi penjelasan tentang segala sesuatu
sesuai dengan kebutuhan anak yang sedang belajar.
Siswa dalam pembelajaran konstruktivistik di abad 21 (ISTE dalam smaldino,
dkk, 2010) dituntut untuk:
1. memiliki kreativitas dan inovasi,
2. dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain,
3. menggunakan kemampuannya untuk mencari informasi dan menganalisis
informasi yang dia dapatkan,
4. berpikir kritis dalam memecahkan masalah ataupun dalam membuat
keputusan,
5. memahami konsep-konsep dalam perkembangan teknologi dan mampu
mengoperasikannya.
Pembelajaran konstruktivistik meyakini bahwa setiap siswa adalah istimewa,
setiap siswa unik dan setiap siswa adalah manusia-manusia special yang memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, siswa harus dilihat dan dipahami
secara menyeluruh bukan hanya dari apa yang tanpak saja. Seperti penuturan Lev
Vygotsky, jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial dan budayanya
bukan dari apa yang ada dibalik otaknya semata. Selain itu, Vygotsky (Collin,2012)
juga menekankan bahwa kita menjadi dirikita sendiri melalui orang lain. Aplikasi
teori Vygotsky yang paling terkenal adalah model pembelajaran colaboratif.
Selain itu, contoh aplikasi teori konstruktivistik dalam proses pembelajaran
modern adalah berkembangnya pembelajaran dengan web (web learning) dan
pembelajaran melalui social media (social media learning). Dalam Smaldino, dkk
(2012) dijelaskan bahwa pembelajaran pada abad ke 21 telah banyak mengalami
perubahan, intergrasi internet dan social media memberikan perspektif baru dalam
pembelajaran.

16
Pembelajaran dengan social media memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berinteraksi, berkolaborasi, berbagi informasi dan pemikiran secara bersama.
Sama halnya dengan pembelajaran melalui social media,pembelajaran melalui web
juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk melengkapi satu atau lebih tugas
melalui jaringan internet. Selain itu juga dapat melakukan pembelajaran kelompok
dengan menggunakan fasilitas internet seperti google share. Model pembelajaran
melalui web maupun social media ini sejalan dengan teori konstruktivistik, dimana
siswa adalah pembelajar yang bebas yang dapat menentukan sendiri kebutuhan
belajarnya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau
behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut.
Pembelajaran tradisional Pembelajaran konstruktivistik
1. Kurikulum disajikan dari bagian- 1. Kurikulum disajikan mulai dari
bagian menuju ke seluruhan keseluruhan menuju ke bagian-
dengan menekankan pada bagian, dan lebih mendekatkan pada
ketrampilan-ke-trampilan dasar. konsep-konsep yang lebih luas.
2. Pembelajaran sangat taat pada kuri- 2. Pembelajaran lebih menghargai pada
kulum yang telah ditetapkan. pemunculan pertanyaan dan ide-ide
siswa.
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak 3. Kegiatan kurikuler lebih banyak
me-ngandalkan pada buku teks mengandalkan pada sumber-sumber
dan buku kerja. data primer dan manipulasi bahan.
4. Siswa-siswa dipandang sebagai 4. Siswa dipandang sebagai pemikir-
“kertas kosong” yang dapat pemikir yang dapat memunculkan
digoresi infor-masi oleh guru, teori-teori tentang dirinya.
dan guru-guru pada umumnya
menggunakan cara didak-tik
dalam menyampaikan informasi
kepada siswa.
5. Penilaian hasil belajar atau 5. Pengukuran proses dan hasil belajar
pengeta-huan siswa dipandang siswa terjalin di dalam kesatuan
sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran, dengan cara
pembelajaran, dan biasanya guru mengamati hal-hal yang
dilakukan pada akhir pelajaran sedang dilakukan siswa, serta
dengan cara testing. melalui tugas-tugas pekerjaan.
6. Siswa-siswa biasanya bekerja 6. Siswa-siswa banyak belajar dan
sendiri-sendiri, tanpa ada group bekerja di dalam group process.
process dalam belajar.

17
RANGKUMAN
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan,
mandiri, bertanggungjawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta
mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan
yang mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-
praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan kognitif-
konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian
makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang
menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada
tujuan tersebut. Oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan
kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu
konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya.
Guru-guru konstruktivistik yang mengakui dan menghargai dorongan diri
manusia/siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktivitas konstruksi
pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Karakteristik pembelajaran yang dilakukannya adalah:
1. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas
yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat
hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan
kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran
yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha
yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.

18
DAFTAR BACAAN

Asri Budiningsih. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu


Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta
Biehler, R.F. & Snowman, J. (1982). Psychology Applied to Teaching, Fourth
edition, Boston: Houghton Mifflin Company.
Brooks, J.G., & Brooks, M., (1993). The case for constructivist classrooms.
association for supervision and curriculum development. Alexandria,
Virginia.
Collin, Catherine, dkk. 2012. The Psychology Book. London: DK.
Dahar, R. W., (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK.
Degeng, I.N.S., (1989). Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Dimyati, M, (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK
Gage, N.L., & Berliner, D. (1979). Educational Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand McNally.
Guruvalah. (_____). Teori-teori Psikologi Belajar.
www.geocities.com/guruvalah/psikologi_belajar.pdtf-HasilTambahan
Jigna, DU. Application of Humanism Theoryin The Teaching Approach. CS
Canada: Higher Education of Social Sciences. Vol. 3, No. 1, 2012, pp. 32-36.
DOI:10.3968/j.hess.1927024020120301.1593
Ratna Wilis D. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Schunk, Dale. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi
keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smaldino, dkk. 2010. Instructional Technology and Media for Learning. 10th
edition. United State of America: Pearson.
Smaldino, dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11th
edition. United State of America: Pearson.
Velenvuela, Julia Scherba. (2003). Sociocultural Theory.

19
MODUL 3

KEGIATAN BELAJAR IV
TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN

URAIAN MATERI

Pendidikan harus berkualitas untuk menghasilkan lulusan yang mampu


menghadapi dinamika perkembangan masyarakat dan teknologi yang begitu pesat.
Di satu sisi teknologi mampu digunakan untuk membantu menyelesaikan berbagai
masalah, di sisi lain merupakan tantangan yang sangat besar bagi dunia pendidikan
untuk bertransformasi (Christensen, 1997). Pendidikan harus dikelola untuk
menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan yang dibutuhkan di abad 21, yaitu
mampu belajar dan berinovasi, berfikir kritis dan mampu memecahkan masalah,
memiliki kreativitas serta mampu berkomunikasi dan berkolaborasi.
Siswa harus menguasai literasi digital meliputi literasi informasi, literasi
media dan literasi teknologi. Siswa perlu memiliki kecakapan hidup yaitu
fleksibilitas dan adaptabilitas, inisiatif dan mandiri, mampu berinteraksi lintas
sosial budaya, produktifitas dan akuntabilitas serta sikap kepemimpinan dan
tanggung jawab. Di samping hal-hal tersebut, siswa harus kuat karakter moralnya,
seperti cinta tanah air, memiliki nilai-nilai budi pekerti luhur, jujur, adil, empati,
penyayang, rasa hormat dan kesederhanaan, pengampun dan rendah hati. Guna
mencapai semua tujuan tersebut diperlukan pembelajaran yang berkualitas. Ini
semua menjadi tantangan bagi para guru untuk membekali para siswanya dengan
berbagai pengetahuan ketrampilan dan sikap, guna mengakomodasi kebutuhan-
kebutuhan di atas.

Apa yang bapak/ibu ketahui tentang teori belajar


humanistik?
Dalam kegiatan belajar ini, bapak/ibu akan menemukan jawaban dari
pertanyaan di atas melalui uraian materi yang diberikan.

1
1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanistik
juga penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, proses belajar harus
dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh
sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang
kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi
belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses
belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep
pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik
pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman
tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh
teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam
pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar
bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif
ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam
peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka
tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara
optimal.
Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik
dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan
manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat
disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, akan ada
kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu

2
sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana
adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal
tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak ahli di dalam menyusun
teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat
perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan
penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa
keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan
yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai
dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu
dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut
pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi. Jadi
keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai
hal yang satu dan sama dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori
humanistik dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan
atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan
manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.

https://petikanhidup.com/soal-dan-pembahasan-teori-belajar-humanistik.html

Banyak tokoh penganut aliran humanistik, di antaranya adalah Kolb yang


terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”, Honey dan Mumford dengan pembagian
tentang macam-macam siswa, Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”, serta
Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”.

3
2. Pandangan David A. Kolb terhadap Belajar.
Kolb (1939-sekarang) seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-
tahap belajar menjadi 4, yaitu:
a. Tahap pengalaman konkrit
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau
dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat
melihat dan merasakannya, dapat menceriterakan peristiwa tersebut sesuai dengan
apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakekat dari
peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan
belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga
belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu.
Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal
dalam proses belajar.
b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan
semakin mampu melakukan observasi secara akatif terhadap peristiwa yang
dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian
tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan
mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya
semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada
tahap ke dua dalam proses belajar.
a. Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya
untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan
prosedur tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif
banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari
berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang
diamati tampak berbeda-beda, namun memiliki komponen-komponen yang sama
yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.

4
d. Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan
eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu
mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi
nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji
teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul
teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus
tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia
jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang
berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara
teoretis tahap-tahap belajar tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam
kenyataannya proses peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali
terjadi begitu saja sulit untuk ditentukan kapan terjadinya.

3. Pandangan Peter Honey dan Alan Mumford terhadap Belajar.


Tokoh teori humanistik lainnya adalah Peter Honey (1937- sekarang) dan Alan
Mumford (1933- sekarang). Pandangannya tentang belajar diilhami oleh pandangan
Kolb mengenai tahap-tahap belajar di atas. Honey dan Mumford menggolong-
golongkan orang yang belajar ke dalam empat macam atau golongan, yaitu
kelompok aktivis, golongan reflektor, kelompok teoritis dan golongan pragmatis.
Masing-masing kelompok memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompok
lainnya. Karakteristik yang dimaksud adalah:
a. Kelompok aktivis.
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang
senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan
tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini
mudah diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang
lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan sesuatu
tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak
didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar,

5
orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan
baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya, sehingga metode
yang cocok adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat
bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b. Kelompok reflektor.
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan
yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam
melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan penuh
pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu
diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian
tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
c. Kelompok Teoris.
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan
yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan
penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep
atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya
subyektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh
dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat
spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat,
sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis.
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-sifat yang
praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil,
dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu
yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat
dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak
dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya.
Bagi mereka, susuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan
bermanfaat bagi kehidupan manusia.

6
4. Pandangan Jurgen Habermas terhadap belajar.

http://ceipelenaquiroga.blogspot.co.id/2011/05/nos-vamos-al-instituto.html

Tokoh humanis lain adalah Hubermas (1929-sekarang). Menurutnya, belajar


baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah lingkungan alam maupun
lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan
pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu; 1)
belajar teknis ( technical learning), 2) belajar praktis ( practical learning), dan 3)
belajar emansipatoris (emancipatory learning). Masing-masing tipe memiliki cirri-
ciri sebagai berikut:
a. Belajar Teknis ( technical learning)
Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat
berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan
ketarampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat
menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu,
ilmu-ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam belajar teknis.
b. Belajar Praktis ( practical learning)
Sedangkan yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang
dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di
sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya
interaksi yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang
berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan

7
semacamnya, amat diperlukan. Sungguhpun demikian, mereka percaya bahwa
pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak
dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu,
interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan
tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.
c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning).
Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris menekankan
upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan
terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya.
Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta
sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk
itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat diperlukan.
Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural inilah yang oleh
Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi
kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.

5. Pandangan Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) dan David Krathwohl


(1921-2016) terhadap Belajar.
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl (1956) juga termasuk
penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang
mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-
peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga
kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi
Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan
dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran
praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk
merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah
dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan
dapat merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia,
taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling populer di lingkungan
pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut

8
adalah sebagai berikut:
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:
1) Pengetahuan (mengingat,
menghafal)
2) Pemahaman
(menginterpretasikan)
3) Aplikasi (menggunakan konsep
untuk memecahkan masalah)
4) Analisis (menjabarkan suatu
https://blog.commlabindia.com/elearning-design/blooms-
taxonomy-learning-objectives-part1
konsep)

5) Sintesis (menggabungkan bagian-bagian kosep menjadi suatu konsep


utuh)
6) Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide. metode, dsb.)

b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:


1) Peniruan (menirukan gerak)
2) Penggunaan (menggunakan konsep
untuk melakukan gerak)
3) Ketepatan (melakukan gerak dengan
benar)
4) Perangkaian (melakukan beberapa
gerakan sekaligus dengan benar).
https://impremedia.net/psycho-motor-domain/

5) Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)

9
c. Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1) Pengenalan (ingin menerima, sadar
akan adanya sesuatu)
2) Merespon (aktif berpartisipasi)
3) Penghargaan (menerima nilai-nilai,
setia kepada nilai-nilai tertentu)
4) Pengorganisasian (menghubung-
hubungkan nilai-nilai yang
dipercayainya)
5) Pengamalan (menjadikan nilai-nilai
http://edunesiania.blogspot.co.id/2017/01/penerapan-
teori-behaviorisme.html?m=1
sebagai bagian dari pola hidupnya)

C. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran


Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang
lebih praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori
kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar
meterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis.
Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori
humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran
untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada
terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang
mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan bagaimana
perkembangan siswa dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap
dirinya, serta realisasi diri.

10
https://ichanafisah.wordpress.com/2015/04/21/pertemuan-ke-2-artikel-3-
terapi-pendekatan-humanistik-clientperson-centered-therapy/

Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu


diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan
dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan
dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang.
Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang
ideal tersebut dapat dicapai.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami
arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun
dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai
tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam
langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan
teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang
telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami
hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam
menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan,
penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat
evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap
secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara
eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta
pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna

11
bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal
tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar
bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri.
Maka siswa akan mengalami belajar eksperiensial (experiential learning).
Pada teori humanistik, guru diharapkan tidak hanya melakukan kajian
bagaimana dapat mengajar yang baik, namun kajian mendlam justru dilakukan
untuk menjawab pertanyaan bagaimana agar siswa dapat belajar dengan baik. Jigna
dalam jurnal CS Canada (2012) menekankan bahwa “To learn well, we must give
the students chances to develop freely”. Pernyataan ini mengandung arti untuk
menghasikan pembelajaran yang baik, guru harus memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berkembang secara bebas.
Pendidikan modern mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan
pendidikan tradisional. Pada pendidikan modern, siswa menyadari hal-hal yang
terjadi dalam proses pembelajaran, hal ini menunjukkan hubungan dua arah antara
guru dan siswa. Sementara itu, dalm pendidikan tradisional Proses belajar terjadi
secara stabil, dimana siswa dituntut untuk mengetahui informasi melalui buku teks,
memahami informasi yang mereka dapatkan tesebut dan menggunakan informasi
terbut dalam aktivitas keseharian siswa. Sedangkan dalam pendidikan modern,
siswa memanfaatkan teknologi untuk membuat kognisi, pemahaman dan membuat
konten pembelajaran menjadi lebih menarik dan lebih berwarna.
Pada penerapan teori humanistic ini adalah hal yang sangat baik bila guru
dapat membuat hubungan yang kuat dengan siswa dan membantu siswa untuk
membantu siswa berkembang secara bebas. Dalam proses pembelajaran, guru dapat
menawarkan berbagai sumber belajar kepada siswa, seperti situs-situs web yang
mendukung pembelajaran. Inti dari pembelajaran humanistic adalah bagaimana
memanusiakan siswa dan membuat proses pembelajaran yang menyenangkan bagi
siswa.
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan
siswa secara aktif dalam proses belajar.

12
RANGKUMAN

Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan


manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai
aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifak eklektik,
maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Beberapa tokoh penganut aliran humanistik di antaranya adalah;
a. Kolb, dengan konsepnya tentang empat tahap dalam belajar, yaitu; pengalaman
konkrit, pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi
aktif.
b. Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi 4 yaitu; aktifis, reflektor,
teoris, dan pragmatis.
c. Hubermas, membedakan 3 macam atau tipe belajar yaitu; belajar teknis, belajar
praktis, dan belajar emansipatoris.
d. Bloom da Krathwohl, dengan 3 kawasan tujuan belajar yaitu; kognitif,
psikomotor, dan afektif.
e. Ausubel, walaupun termasuk juga ke dalam aliran kognitifisme, ia terkenal
dengan konsepnya belajar bermakna (Meaningful learning).
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung
mendorong siswa untuk berpikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan faktor
pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.

DAFTAR BACAAN

Asri Budiningsih. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu


Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta
Biehler, R.F. & Snowman, J. (1982). Psychology Applied to Teaching, Fourth
edition, Boston: Houghton Mifflin Company.
Collin, Catherine, dkk. 2012. The Psychology Book. London: DK.

13
Dahar, R. W., (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK.
Degeng, I.N.S., (1989). Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Dimyati, M, (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK
Gage, N.L., & Berliner, D. (1979). Educational Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand McNally.
Guruvalah. (_____). Teori-teori Psikologi Belajar.
www.geocities.com/guruvalah/psikologi_belajar.pdtf-HasilTambahan
Jigna, DU. Application of Humanism Theoryin The Teaching Approach. CS
Canada: Higher Education of Social Sciences. Vol. 3, No. 1, 2012, pp. 32-36.
DOI:10.3968/j.hess.1927024020120301.1593
Raka Joni, T. (1990). Cara belajar siswa aktif: CBSA: artikulasi konseptual,
jabaran operasional, dan verivikasi empirik. Pusat Penelitian IKIP Malang.
Ratna Wilis D. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Schunk, Dale. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi
keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smaldino, dkk. 2010. Instructional Technology and Media for Learning. 10th
edition. United State of America: Pearson.
Smaldino, dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11th
edition. United State of America: Pearson.
Velenvuela, Julia Scherba. (2003). Sociocultural Theory.
www.unm/~devalenz/handouts/sociocult.html - 9k – Chached – More from
this site
Yuliani Nurani Sujiono, dkk, III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta
: Pusat penerbitan Universitas Terbuka
Anonymous. Jean Piaget: Cognitive development in the classroom. April 2011.
http://www.funderstanding.com/educators/jean-piaget-cognitive-
development-in-the-classroom/

14
MODUL 4

KEGIATAN BELAJAR 1
KARAKTERISTIK UMUM PESERTA DIDIK

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Setelah membaca kegitan belajar ini ibu-bapak dapat menguasai secara mendalam
karakteristik umum peserta didik dan mengaplikasikan dalam pembelajaran.
Secara khusus dapat (1) mengidentifikasi karakteristik gender peserta didik dan
mengaplikasikan dalam pembelajaran, (2) mengidentifikasi karakteristik etnik
peserta didik dan mengaplikasikan dalam pembelajaran, (3) mengidentifikasi
karakteristik usia peserta didik dan mengaplikasikan dalam pembelajaran, (4)
mengidentifikasi karakteristik kultural peserta didik dan mengaplikasikan dalam
pembelajaran, (5) mengidentifikasi karakteristik status social peserta didik dan
mengaplikasikan dalam pembelajaran, (6) mengidentifikasi karakteristik minat
peserta didik dan mengaplikasikan dalam pembelajaran.

POKOK POKOK MATERI

A. Karateristik gender peserta didik


B. Karakteristik etnik peserta didik
C. Karakteristik usia peserta didik
D. Karakteristik kultural peserta didik
E. Karakteristik status social peserta didik
F. Karakteristik minat peserta didik.

URAIAN MATERI

Tahukah Anda mengapa pendidik perlu memahami karakteristik peserta


didik? Uraian ini berusaha memaparkan pentingnya dan klasifikasi karakteristik
peserta didik khususnya karakteristik umum peserta didik. Suatu proses
pembelajaran akan dapat berlangsung secara efektif atau tidak, sangat ditentukan
oleh seberapa tinggi tingkat pemahaman pendidik tentang karakteristik yang
dimiliki peserta didiknya. Pemahaman karakteristik peserta didik sangat
menentukan hasil belajar yang akan dicapai, aktivitas yang perlu dilakukan, dan
assesmen yang tepat bagi peserta didik. Atas dasar ini sebenarnya karakteristik
peserta didik harus menjadi perhatian dan pijakan pendidik dalam melakukan
seluruh aktivitas pembelajaran. Karakteristik peserta didik menurut Smaldino
(2015: 40) secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu karakteristik
umum, kemampuan awal dan gaya belajar..
Melalui kegiatan belajar ini akan diuraikan karakteristik umum peserta
didik (Smaldino 2015: 40; Muhammad Yaumi (2013: 118) yang meliputi: gender,
etnik, usia, kultural, status sosial, dan minat. Agar Anda memperoleh gambaran
yang lebih jelas tentang karakteristik umum peserta didik tersebut, maka akan
dijelaskan dalam paparan berikut.

A. Gender dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran


Peserta didik dalam suatu kelas dilihat dari segi gender pada umumnya
tidak homogen, bagaimana dengan kelas yang Anda beri pembelajaran? Jika kelas
Anda heterogen atau terdiri dari peserta didik laki-laki dan peserta didik
perempuan, tentunya memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan karakter laki-
laki dan perempuan menurut Barreca, Gina. 21 September 2014. Psychology
Today.Com. antara lain: 1) Laki-laki sedikit peduli dengan apa yang perempuan
katakan, sedangkan perempuan lebih memperhatikan apa yang dikatakan laki-laki.
2) Laki-laki lebih peduli dengan apa yang dilihat, sedangkan perempuan mencoba
untuk peduli dengan apa yang laki-laki lihat. 3) Perempuan akan tersenyum
walaupun tidak bahagia, tapi laki-laki tergantung sifat dasarnya. 4). Laki-laki
tertawa ketika menemukan sesuatu yang lucu, tapi perempuan tergantung situasi
yang tepat. …..”
Lebih lanjut Suprayekti dan Agustyarini (2015: 24) menjelaskan bahwa
anak laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki pesamaan dan perbedaan.
Perbedaannya pada fisiologis dan biologis, peran, perilaku, kegiatan dan atribut di
masyarakat. Sedangkan kesamaan peran dalam hak dan kewajiban sesuai dengan
adat istiadat, budaya masyarakat. Seperti kesetaraan dalam memperoleh pekerjaan,
peningkatan ilmu dan takwa, mencapai cita-cita menjadi guru, dokter, dan lain-
lain.
Atas dasar karakteristik yang demikian tentunya akan berimplikasi
terhadap pengelolaan kelas, pengelompokan peserta didik, dan pemberian tugas
yang dilakukan pendidik. Kelas yang peserta didiknya homogen tentunya tidak
sesulit kelas yang peserta didiknya heterogen. Contoh, Pak Irwan seorang guru
yang memiliki kelas dengan peserta didik laki-laki dan perempuan dalam
pembentukan kelompok diskusi atau eksperimen terdiri dari peserta didik
heterogen dari aspek gender, dipandang efektif untuk peserta didik yang tergolong
kanak-kanak, tetapi belum tentu efektif untuk peserta didik yang berada pada fase
remaja karena remaja sudah memiliki rasa ketertarikan pada lawan jenis, dan juga
kebiasaan kerja laki-laki dan perempuan berbeda. Pak Irwan ketika memberi tugas
tidak semuanya untuk dikerjakan di sekolah tetapi terkadang harus diselesaikan di
luar sekolah/kelas. Kelompok yang peserta didik heterogin juga kadang terdapat
kendala, karena laki-laki biasa mengerjakan tugasnya sampai larut malam, tetapi
bagi perempuan belum tentu cocok, dan juga aturan keluarga anak wanita pergi
sampai malam tidak semuanya mengizinkan dan memahaminya, berbeda dengan
peserta didik laki-laki yang pada umumnya orang tuanya mengizinkan putranya
belajar di luar rumah sampai malam.
Hal-hal tersebut tentunya perlu dipahami oleh seorang pendidik dalam
melakukan proses pembelajaran agar pembelajaran yang dilakukannya dapat
berjalan efektif. Berikut foto berikut merupakan gambaran situasi kelas dengan
peserta didik laki-laki dan perempuan sedang malakukan eksperimen secara
kelompok yang anggota terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Gambar 1. Peserta Didik Terdiri dari Laki-laki dan Perempuan

B. Etnik dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran


Negara Indonesia merupakan Negara yang luas wilayahnya dan kaya akan
etniknya. Namun berkat perkembangan alat transpotasi yang semakin modern,
maka seolah tidak ada batas antar daerah/suku dan juga tidak ada kesulitan menuju
daerah lain untuk bersekolah, sehingga dalam sekolah dan kelas tertentu terdapat
multi etnik/suku bangsa, seperti dalam satu kelas kadang terdiri dari peserta didik
etnik Jawa, Sunda, Madura, Minang, dan Bali, maupun etnik lainnya. Seorang
pendidik tentunya dalam melakukan proses pembelajaran perlu memperhatikan
kondisi etnik dalam kelasnya. Seorang pendidik yang menghadapi peserta didik
hanya satu etnik di kelasnya. Contoh Pak Ardi seorang pendidik di kelas 6 Sekolah
Dasar yang peserta didiknya terdiri dari etnik Jawa semua atau Sunda semua,
tentunya tidak sesulit ketika menghadapi peserta didik dalam satu kelas yang multi
etnik. Jika Pak Ardi melakukan proses pembelajaran dengan peserta didik yang
multi etnik maka dalam melakukan interaksi dengan peserta didik di kelas tersebut
perlu menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua peserta didiknya.
Kemudian ketika Pak Ardi memberikan contoh-contoh untuk memperjelas tema
yang sedang dibahasnya juga contoh yang dapat dimengerti dan dipahami oleh
semuanya. Berikut ini merupakan foto salah satu kelas yang multi etnik.

Foto diambil dari https://cdni.a.production.image.static6.com

Gambar 2: Peserta Didik Terdiri dari Berbagai Etnik.

C. Usia dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran


Usia yang dimiliki peserta didik akan berkonsekuensi terhadap pendekatan
pembelajaran, motode, media, dan jenis evaluasi yang digunakan pendidik. Ketika
pendidki menghadapi peserta didik Taman Kanak-kanak pada umumnya berusia
5-6 tahun, sudah tentu akan berbeda pendekatan, metode, dan media yang
digunakan ketika menghadapi peserta didik Sekolah Dasar yang umumnya berusia
7-11 tahun, dan peserta didik Sekolah Menengah Pertama yang usianya berkisar
12-14 tahun dan juga peserta didik Sekolah Menengah Atas atau Sekolah
Menengah Kejuruan , yang umumnya berusia 15-17 tahun, karena dilihat dari
perkembangan intelektualnya saja jelas berbeda. Menurut Piaget, Jean
perkembangan intelektual anak usia Taman Kanak-Kanak pada taraf pra
operasional konkrit sedangkan peserta didik Sekolah Dasar berada pada tahap
operasional konkrit, dan peserta didik Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas serta Sekolah Menengah Kejuruan pada tahap operasional formal.
Untuk selanjutnya fase-fase perkembangan intelektual peserta didik menurut
pendapat Piaget, Jean dalam Dwi Siswoyo, dkk. (2013: 100) dapat dicermati
sebagai berikut:
Umur Fase Perubahan Perilaku
(Tahun) Perkembangan
Kemampuan berfikir peserta didik baru melalui
gerakan atau perbuatan. Perkembangan panca indera
0,0 - 2,0 Tahap Sensori sangat berpengaruh dalam diri mereka. Keinginan
motor terbesarnya adalah keinginan untuk
menyentuh/memegang, karena didorong oleh
keinginan untuk mengetahui reaksi dari
perbuatannya. Pada usia ini mereka belum mengerti
akan motivasi dan senjata terbesarnya adalah
“menangis”. Memberi pengetahuan pada mereka
usia ini tidak dapat hanya sekedar dengan
menggunakan gambar sebagai alat peraga,
melainkan harus dengan sesuatu yang bergerak.
Kemampuan skema kognitif masih terbatas, suka
meniru perilaku orang lain, terutama meniru perilaku
orang tua dan guriu yang pernah ia lihat ketika orang
0,2 – 7,0 Tahap Pra- itu merespon terhadap perilaku orang, keadaan dan
operasional kejadian, yang dihadapi pada masa lampau. Mulai
mampu menggunakan kata-kata yang benar dan
mampu pula mengekspresikan kalimat pendek
secara efektif.
Peserta didik sudah mulai memahami aspek-aspek
kumulatif materi, misalnya volume dan jumlah;
7,0 – 11,0 Tahap mempunyai kemampuan memahami cara
Operasional mengkombinasikan beberapa golongan benda yang
Konkrit tingkatannya bervariasi. Sudah mampu berfikir
sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-
peristiwa konkrit.
Telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan
11,0 – Tahap dua ragam kemampuan kognitif secara serentak
14,0 operasional maupun berurutan. Misalnya kapasitas merumuskan
Formal hipotesis dan menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
Dengan kapasitas merumuskan hipotesis peserta
didik mampu berfikir memecahkan masalah dengan
menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan
lingkungan. Sedang dengan kapasitas menggunakan
prinsip-prinsip abstrak , peserta didik akan mampu
mempelajari materi pelajaran yang abstrak, seperti
agama, matematika, dan lainnya.

Berdasarkan teori perkembangan dari Piaget tersebut, selanjutnya dapat


diketahui tiga dalil pokok Piaget dalam kaintannya dengan tahap perkembangan
intelektual. Ruseffendi dalam Dwi Siswoyo, dkk. (2013: 101) menyebutkan
sebagai berikut: 1). Bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap
beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya setiap manusia
akan mengalami urutan tersebut dan dengan urutan yang sama; 2). Bahwa tahap-
tahap perkembangan didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokkan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual. 3) Bahwa gerak
melalui melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan
(equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara
pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Gambar 3: Peserta Didik Usia Gambar 4: Peserta Didik Usia


Taman Kanak-Kanak SMA

D. Kultural dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran

Setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan tentunya menjadi


pendukung kebudayaan tertentu. Begitu juga peserta didik kita sebagai anggota
suatu masyarakat memiliki budaya tertentu dan sudah barang tentu menjadi
pendukung budaya tersebut. Budaya yang ada di masyarakat kita sangatlah
beragam, seperti kesenian, kepercayaan, norma, kebiasaan, dan adat istiadat. Hal
ini sangat dimungkinkan karena Indonesia merupakan Negara kepulauan yang
masing-masing memiliki budaya, bahasa, dan etnis masing-masing. Peserta didik
yang kita hadapi mungkin berasal dari berbagai daerah yang tentunya memiliki
budaya yang berbeda-beda sehingga kelas yang kita hadapi kelas yang
multikultural.
Pendidikan multikultural sebagaimana diungkapkan Muhaemin el
Ma’hady (dalam Choirul Mahfud, 2016: 176) didefinisikan sebagai pendidikan
tentang keberagaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan
(global). Pendidikan multikultural menurut Choirul Mahfud (2016: 187) memiliki
ciri-ciri: 1) Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan manusia
berbudaya (berperadaban). 2). Materinya mangajarkan nilai-nilai luhur
kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural). 3)
metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme). 4).
Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang
meliputi aspek persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Atas dasar definisi dan ciri-ciri pendidikan multicultural tersebut di atas,
seorang pendidik dalam melakukan proses pembelajaran harus mampu mensikapi
keberagaman budaya yang ada di sekolahnya/kelasnya. Misalnya Pak Irwan
seorang pendidik disalah satu SMA ketika menjelaskan materi pelajaran dan dalam
memberikan contoh-contoh perlu mempertimbangkan keberagaman budaya
tersebut, sehingga apa yang disampaikan dapat diterima oleh semua peserta didik,
atau tidak hanya berlaku untuk budaya tertentu saja.

Gambar 5: Anggota masyarakat dengan kemajemukannya


E. Status Sosial dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran
Manusia diciptakan Tuhan dengan diberi rizki seperti berupa pekerjaan,
kesehatan, kekayaan, kedudukan, dan penghasilan yang berbeda-beda. Kondisi
seperti ini juga melatar belakangi peserta didik yang ada pada suatu kelas atau
sekolah kita. Peserta didik pada suatu kelas biasanya berasal dari berbagai status
sosial-ekonomi masyarakat, Dilihat dari latar belakang pekerjaan orang tua, di
kelas kita terdapat peserta didik yang orang tuanya wira usahawan, pegawai negeri,
pedagang, petani, dan buruh. Dilihat dari sisi jabatan orang tua, ada peserta didik
yang orang tuanya menjadi pejabat seperti presiden, menteri, gubernur, bupati,
camat, kepala desa, kepala kantor atau kepala perusahaan, Disamping itu ada
peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi mampu, ada yang berasal dari
keluarga yang cukup mampu, dan ada juga peserta didik yang berasal dari keluarga
yang kurang mampu.
Peserta didik dengan bervariasi status ekonomi dan sosialnya menyatu
untuk saling berinteraksi dan saling melakukan proses pembelajaran. Perbedaan ini
hendaknya tidak menjadi penghambat dalam melakukan proses pembelajaran.
Namun tidak dipungkiri kadang dijumpai status sosial ekonomi ini menjadi
penghambat dalam belajar secara kelompok. Oleh karena itu pendidik dituntut
untuk mampu mengakomodasi hal-hal seperti ini. Misal dalam proses
pembelajaran pendidik jangan sampai membeda-bedakan atau diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada peserta didiknya. Dan juga dalam memberikan
tugas-tugas juga yang sekiranya mampu diselesaikan oleh semua peserta didik
dengan latar belakang ekonomi sosial yang sangat beragam.
Gambar 6: Keluarga Sederhana Gambar 7: Profesi Petani

F. Minat dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran


Minat dapat diartikan suatu rasa lebih suka, rasa ketertarikan pada suatu hal
atau aktivitas. Hurlock, E. (1990: 114) menyatakan bahwa minat merupakan suatu
sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan yang
dipilihnya. Apabila seseorang melihat sesuatu yang memberikan manfaat, maka
dirinya akan memperoleh kepuasan dan akan berminat pada hal tersebut. Lebih
lanjut Sardiman, (2011: 76) menjelaskan bahwa minat sebagai suatu kondisi yang
terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang
dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Oleh karena itu apa yang dilihat seseorang sudah tentu akan membangkitkan
minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingan
orang tersebut.
Atas dasar hal tersebut sebenarnya minat seseorang khususnya minat
belajar peserta didik memegang peran yang sangat penting. Oleh karena itu
hendaknya terus ditumbuh kembangkan agar selalu tinggi. Namun sebagaimana
kita ketahui bahwa minat belajar peserta didik tidaklah sama, ada peserta didik
yang memiliki minat belajarnya tinggi, ada yang sedang, dan bahkan rendah.
Untuk melihat peserta didik memiliki minat belajarnya tinggi atau tidak
sebenarnya dapat dilihat dari indikator minat itu sendiri. Indikator yang dimaksud
meliputi: perasaan senang, ketertarikan peserta didik, perhatian dalam belajar,
keterlibatan siswa, manfaat dan fungsi mata pelajaran. Agar diperoleh gambaran
yang lebih jelas maka akan diuraikan lebih lanjut. Perasaan senang, seseorang
peserta didik yang memiliki perasaan senang ata suka terhadap mata pelajaran
tertentu, misal mata pelajaran matematika, maka siswa tersebut akan terus belajar
ilmu yang berkaiatan dengan matematika, tanpa ada perasaan terpaksa dalam
belajar matematika tersebut. Ketertarikan peserta didik, ini berkaitan dengan daya
gerak yang mendorong peserta didik untuk cenderung mersa tertarik pada orang,
benda, kegiatan, dapat berupa pengalaman yang dirangsang oleh kegiatan itu
sendiri, Perhatian dalam belajar, perhatian atau konsentrasi dapat diartikan
terpusatnya mental seseorang terhadap suatu objek. Peserta didik yang memiliki
minat terhadap objek tertentu, maka peserta didik tersebut dengan sendirinya
peserta didik tersebut akan memperhatikan objek tersebut. Misal peserta didik
memiliki minat pada seni musik maka peserta didik tersebut akan memperhatikan
ketika terdengar bunyi musik, bahkan mendatangi konser-konser musik,
Keterlibatan belajar, keterlibatan atau partisipasi peserta didik dalam belajar
sangat penting, karena apabila peserta didik terlibat aktif dalam belajar maka
hasilnya tentunya akan baik. Ketelibatan belajar akan muncul manakala tertarik
pada objek yang dipelajari yang kemudian merasa senang dan tertarik untuk
melakukan kegiatan dari objek tersebut. Manfaat dan fungsi mata pelajaran, jika
manfaat dari apa yang dipelajari peserta didik dapat diketahui dan dipahami secara
jelas, maka akan menumbuhkan motivasi peserta didik. Manfaat dari mata
pelajaran tertentu sebenarnya tidak hanya untuk sekarang tapi bisa manfaat untuk
masa mendatang, atau manfaat bukan hanya saat di sekolah tetapi bisa manfaat
ketika sudah bekerja atau dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, minat belajar merupakan faktor penting dalam
proses pembelajaran, dan perlu untuk selalu ditingkatkan. Berbagai upaya perlu
dilakukan pendidik untuk menumbuhkan minat belajar peserta didiknya
diantaranya pendidik menyampaikan tujuan/manfaat mempelajari suatu tema/mata
pelajaran, menggunakan media pembelajaran, dan menggunakan model
pembelajaran inovatif.
Contoh aplikasi dalam pembelajaran, Pak Ardi seorang pendidik dari salah
satu sekolah A, hari itu sudah disepakti membahas tema H, Pada saat melakukan
proses pembelajaran, di awal pembelajaran terlebih dahulu mengemukakan tema
yang akan dipelajrinya, menyampaikan tujuan pembelajaran yang diharapkan
dimiliki, dan manfaat yang peserta didik setelah mempelajari tema H. Kemudian
untuk melihat kemampuan awal peserta didiknya dilakukan pre tes terlebih dahulu.
Setelah tahap-tahap tersebut dilakukan kemudian Pak Ardi melakukan tahap inti
yaitu membahas tema H melalui media permainan ular tangga yang menjadi
kesukaannya tentang materi H yang telah disiapkan (Belajar melalui media
permainan Ular Tangga). Suasana kelas tampak antusias, aktif, dan
menyenangkan. Setelah materi dipahami dan waktunya cukup maka Pak Ardi
mengakhiri pelajaran dengan kegiatan penutup.
Berdasarkan ilustrasi apa yang dilakukan Pak Ardi tersebut peserta didik
tumbuh minatnya untuk belajar. Dengan dimilikinya minat belajar yang tinggi oleh
peserta didik maka hasilnya tentunya akan baik.

Gambar 8: Peserta Didik dengan Minat Belajar Tinggi


MODUL 4
KB 2
Pengertian Kemampuan Awal Peserta Didik

Setiap masing-masing peserta didik hadir ke ruang kelas dengan membawa berbagai
macam pengetahuan, keterampilan, keyakinan, dan sikap yang berbeda-beda yang mereka peroleh
dari pengalaman-pengalaman terdahulu (Beyer, 1991). Perbedaan latarbelakang inilah yang
kemudian berimplikasi dan berpengaruh terhadap bagaimana peserta didik hadir di kelas untuk
kemudian menafsirkan dan mengelola informasi yang diperoleh. Peserta didik pada hakekatnya
belajar ketika mereka mampu menghubungkan antara konsep-konsep baru dengan pengetahuan
atau konsep yang telah mereka punyai atau ketahui. Perbedaan cara peserta didik di dalam
memproses dan mengintegrasikan informasi baru dapat berakibat pada berbeda-bedanya pula
mereka dalam mengingat (memorizing), berpikir, menerapkan, dan menciptakan pengetahuan
baru. Kemampuan awal peserta didik tidak hanya berkaitan pula dengan pengetahuan atau materi
mata pelajaran tertentu. Namun, kemampuan awal yang dimaksud dapat berupa pengetahuan
dalam dimensi-dimensi yang berbeda, seperti misalnya proses metakognitif dan pemahaman diri
(self-understanding).

Pengetahuan pada dasarnya bukan sekedar komoditas yang dapat ditransfer dari satu
pikiran ke pikiran yang lain tanpa adanya transformasi (Bettencourt, 1993). Transformasi disini
artinya adalah pemerolehan makna atau pun pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan
atau pengalaman yang sudah diperoleh sebelumnya oleh peserta didik. Pengetahuan dan
pengalaman sebelumnya yang dimiliki oleh peserta didik merefleksikan pentingnya kemampuan
awal di dalam pembelajaran. Peserta didik pada hakekatnya bukan papan tulis kosong yang bisa
ditulisi apa saja oleh seorang guru. Peserta didik justru memiliki kemampuan yang cukup
signifikan dalam menginterpretasi situasi pembelajaran maupun fenomena lebih dari yang kita
sadari. Apa yang mereka pelajari dikondisikan oleh apa telah mereka ketahui atau pelajari.

Pengetahuan ini terdiri dari gabungan fakta, konsep, model, persepsi, keyakinan, nilai,
dan sikap, yang beberapa di antaranya akurat, lengkap, dan sesuai dengan konteks yang akan
dipelajari, namun beberapa di antaranya bisa jadi merupakan pengetahuan awal yang tidak akurat,
dan tidak mencukupi sebagai pra-syarat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu. Idealnya,
peserta didik membangun landasan pengetahuan yang kuat dan akurat sebelumnya, menjalin
hubungan antara pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dengan pengetahuan baru yang pada
akhirnya dapat membantu mereka membangun struktur pengetahuan yang semakin kompleks dan

1

kuat. Namun, bisa saja terjadi peserta didik mungkin tidak mampu membuat koneksi ke
pengetahuan sebelumnya yang relevan — dengan kata lain, jika pengetahuan itu tidak aktif —
sehingga berimplikasi pada tidak terfasilitasinya integrasi pengetahuan awal ke pengetahuan baru.
Hal ini disebabkan karena kemampuan awal peserta didik memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap desain dan pengembangan instruksional yang akan dilakukan oleh guru.

Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa kemampuan awal peserta didik terhadap


sebuah subyek tertentu akan mempengaruhi bagaimana dan apa yang akan mereka pelajari (Dick,
Carey, & Carey, 2009). Oleh karena itu, salah satu komponen penting yang diperlukan dalam
mendesain suatu mata pelajaran adalah mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik anda.
Guru dan peserta didik sudah seharusnya menjadikan karakteristik peserta didik yang terkait
dengan kemampuan awal sebagai pijakan dalam mendesain, mengembangkan dan melaksanakan
program-program pembelajaran.

Kemampuan awal adalah pemahaman, pengalaman, pengetahuan prasyarat, dan segala


sesuatu yang dimiliki oleh peserta didik sebagai pegetahuan awal (prior knowledge) dan disusun
secara hirarkis sebagai basis data pengalaman (experiential data base) di dalam diri peserta didik.
Dalam hal ini, jika guru mengajarkan materi yang tingkat kesulitannya di atas kemampuan peserta
didik, maka akan berimplikasi pada ketidak-efektifan proses dan hasil pembelajaran. Peserta didik
akan mengalami kesulitan memahami materi tersebut disebabkan oleh adanya materi prasyarat
(pre-requisite), pengetahuan atau kemampuan awal lainnya yang seharusnya menjadi pijakan bagi
perolehan pengetahuan baru belum dikuasai oleh peserta didik. Hal ini juga diperkuat oleh
pernyataan dari Ausubel dalam Driscoll (1994) yang menegaskan bahwa mengaktifkan
kemampuan awal (prior knowledge) yang relevan sangat penting untuk menghasilkan
pembelajaran yang bermakna.

Sementara itu Rebber (1988) dalam Muhibbin Syah (2006: 121) menyatakan bahwa
kemampuan awal peserta didik merupakan prasyarat awal yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui adanya perubahan. Selanjutnya Gerlach & Ely (1971) mengungkapkan bahwa
kemampuan awal peserta didik pada dasarnya ditentukan dengan cara memberikan entry test atau
tes masuk. Kemampuan awal ini juga sangat penting bagi pendidik untuk mendesain pembelajaran
dengan memberikan dosis muatan peljaran atau materi yang tepat dan memadai, termasuk juga
untuk menentukan tingkat kesukaran dan kemudahan materi. Selain itu juga kemampuan awal

2

sangat berguna bagi pendidik untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan di dalam proses
belajar mengajar.

Dalam hal ini, Gagne (1979) menyatakan bahwa kemampuan awal mempunyai
kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan atau pengetahuan baru di dalam
pembelajaran dimana kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki peserta didik
sebelum memasuki pembelajaran menuju materi berikutnya yang lebih tinggi. Dengan demikian,
seorang peserta didik yang sudah memiliki kemampuan awal yang baik akan lebih cepat
memahami materi pelajaran dibandingkan dengan dengan peserta didik yang tidak memiliki
kemampuan awal dalam proses pembelajaran.

Atwi Suparman (2001) juga menjelaskan bahwa kemampuan awal adalah pengetahuan
dan keterampilan yang telah dimiliki oleh peserta didik sehingga mereka dapat mengikuti pelajaran
dengan baik. Senada dengan itu, Dick & Carey (2005) menambahkan bahwa kemampuan awal
merupakan suatu keterampilan khusus yang dimiliki oleh peserta didik yang harus dapat mereka
tunjukkan sebelum mengikuti suatu kegiatan pembelajaran tertentu. John P. Decoco (1976) juga
berpendapat bahwa kemampuan awal merupakan keadaan pengetahuan dan keterampilan peserta
didik yang dimiliki saat ini, dan nantinya akan dihubungkan dengan keadaan pengetahuan dan
keterampilan mereka yang akan datang yang diharapkan oleh guru untuk dapat dicapai oleh peserta
didik.

Berdasarkan beberapa definisi kemampuan awal yang telah disampaikan oleh para ahli
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal merupakan seperangkat
pengetahuan dan keterampilan yang relevan yang dimiliki oleh peserta didik pada saat sekarang
(sebelum mengikuti pembelajaran) dan berfungsi sebagai referensi atau input utama bagi guru
sebelum melaksanakan proses pembelajaran, terutama untuk menetapkan tujuan pembelajaran
serta desain pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik. Selain itu, kemampuan awal ini juga
sangat penting diketahui oleh guru terutama untuk mengidentifikasi dua hal berikut: a) apakah
peserta didik telah mempunyai pengetahuan atau kemampuan yang merupakan prasyarat
(prerequisite) untuk mengikuti pembelajaran; dan b) sejauhmana peserta didik telah mengetahui
atau menguasai materi yang akan disajikan oleh guru.

Dengan demikian, diagnosis kemampuan awal (recognition of prior learning) merupakan


salah satu variabel penting dalam penentuan desain dan proses pembelajaran. Upaya pembelajaran

3

apapun yang dipilih dan dilakukan oleh guru jika tidak bertumpu pada kemampuan awal peserta
didik selaku subyek belajar yang aktif, maka pembelajaran tidak akan bermakna. Karakteristik
peserta didik yang terkait dengan pengetahuan awal dapat diidentifikasi sebagai faktor yang sangat
berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Oleh karena kedudukannya yang sangat signifiknan
tersebut, maka dibutuhkan kemampuan seorang guru untuk menganalisa karakteristik kemampuan
awal yang telah dimiliki peserta didik sebagai landasan dalam memilih metode dan strategi
pembelajaran yang sesuai. Kemampuan awal sangat berpengaruh pula terhadap proses-proses
internal yang berlangsung di dalam diri peserta didik ketika belajar dan juga secara tidak langsung
akan berpengaruh terhadap pelaksanaan dan hasil belajar peserta didik secara komprehensif. Hal
ini disebabkan karena kemampuan awal menggambarkan kesiapan (readiness) peserta didik dalam
menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh guru.

Kegunaan dari Identifikasi Kemampuan Awal Peserta Didik

Bapak dan Ibu, dalam upaya mendesain pembelajaran yang bermakna, peserta didik pada
hakekatnya harus memenuhi dua kriteria pemahaman, yaitu “keterhubungan" dan "kegunaan
dalam konteks sosial” (Smith, 1991). "Connectedness", atau yang disebut juga keterhubungan
tersebut dimulai ketika sebuah ide dipahami oleh sejauh mana siswa dapat dengan tepat
menggambarkannya dan menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya dalam konteks
sosial, hal ini disebut juga dengan struktur pengetahuan seseorang. Sedangkan "Kegunaan",
menggambarkan "fungsi dari pengetahuan seseorang", yakni ketika sebuah ide dipahami oleh
sejauh mana yang peserta didik dapat menggunakan ide itu dan berhasil melakukan tugas yang
signifikan sesuai dengan konteks sosial (Smith, 1991). Lalu, apakah Bapak dan Ibu memahami
bagaimanakah cara seorang pendidik dapat dengan tepat memfasilitasi peserta didik dalam
pembelajarannya? Berikut ini akan dideskripsikan beberapa kegunaan dari identifikasi
kemampuan awal peserta didik.

Pertama, pendidik harus memahami bagaimana struktur dan fungsi pengetahuan atau
kemampuan awal peserta didik terhubung selama proses pembelajaran. Dunkin dan Biddle (1974)
menggambarkan sebuah model (Gambar 1) untuk membantu memahami interaksi antara proses
dan faktor yang mengintervensi dalam situasi belajar mengajar. Memahami interaksi ini akan
sangat membantu peserta didik untuk belajar lebih bermakna. Keberhasilan maupun kegagalan

4

dalam proses pembelajaran sebagian besar tergantung pada faktor-faktor yang mengintervensi
dalam pembelajaran itu sendiri, terutama terkait dengan kemampuan awal peserta didik. Dalam
hal ini, Dochy (1992) menegaskan bahwa pengetahuan atau kemampuan awal yang telah dimiliki
oleh peserta didik, memiliki pengaruh yang besar terhadap cara dan tingkat pengetahuan baru
tersebut dipahami, disimpan, dan digunakan oleh peserta didik.

Gambar 1. Hubungan antara kemampuan awal, aktivitas pembelajaran, dan hasil belajar
peserta didik (Dunkin dan Biddle, 1974)

Kedua, dalam hal pentingnya mendiagnosis kemampuan awal ini, Harris (2000: 1) juga
mengemukakan bahwa diagnosis kemampuan awal (recognition of prior learning) merupakan
salah satu variabel penting dalam penentuan proses pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan bahwa
“the recognition of prior learning (RPL) refers to practice developed within education and training
to identify and recognise adults pevious learning. The broad principle is that previous learning –
acquired informally, non-formally, experientally or formally- can and should be recognised and
given currency within formal education and training framework”. Dalam hal ini, diagnosis
kemampuan awal perlu dilakukan untuk mengetahui pengetahuan atau pembelajaran yang telah
diperoleh oleh peserta didik baik secara formal maupun tidak formal. Pengetahuan akan

5

kemampuan awal tersebut perlu diidentifikasi agar proses pembelajaran dapat selaras antara guru
dengan peserta didik.

Ketiga, kemampuan awal juga digunakan tidak hanya untuk kepentingan keselarasan
dalam proses pembelajaran, melainkan juga untuk meningkatkan kebermaknaan pengajaran.
Kemampuan awal peserta didik juga berdampak pada kemudahan dalam mengikuti proses
pembelajaran dan juga memudahkan pengintegrasian proses-proses internal yang berlangsung
dalam diri peserta didik ketika belajar (Hamzah Uno, 2011). Martinis Yamin (2007: 32)
mengungkapkan salah satu manfaat dan kegunaan yang diperoleh ketika mengidentifikasi
kemampuan awal peserta didik adalah guru dapat memperoleh gambaran yang lengkap dan
terperinci tentang kompetensi/ kemampuan awal para peserta didik yang berfungsi sebagai
prerequisite bagi bahan materi baru yang akan disampaikan. Kegunaan selanjutnya adalah dengan
mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik maka guru dapat dengan lebih mudah dan tepat
dalam mengembangkan strategi, media, dan evaluasi pembelajarannya. Implikasi yang lebih luas
yaitu, kebutuhan peserta didik dapat diakomodasikan sehingga pembelajaran yang dilakukan dapat
memberikan hasil yang memuaskan.

Berdasarkan penjelasan tersebut terlihat bahwa kemampuan awal memiliki peranan


penting dalam pembelajaran. Telah dijelaskan di atas bahwa sebelum pembelajaran dilakukan,
guru harus mengetahui karakteristik awal dari peserta didiknya, salah satunya yaitu kemampuan
awal siswa. Menurut Smaldino (1996) seperti yang dikutip Dewi Salma (2008: 20) bahwa setiap
peserta didik berbeda satu sama lain karena karakteristik umum, kemampuan awal prasyarat dan
gaya belajar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kemampuan awal atau prasyarat merupakan
kemampuan dasar yang harus dimiliki sebelum peserta didik akan mempelajari kemampuan baru.
Oleh sebab itu, penting bagi seorang guru untuk mengetahui karakteristik awal siswa sebelum
merencanakan pembelajaran karena jika kurang, kemampuan awal ini menjadi mata rantai
penguasaan materi dan menjadi penghambat dalam proses belajar. Dalam hal ini, guru dapat
mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan
informal seperti menanyakan tentang topik-topik tertentu pada saat pembelajaran di kelas. Selain
itu, guru dapat pula memberikan tes formal berupa tes-tes standar yang dikembangkan
sebelumnya.

6

Peserta didik menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan apa yang sudah mereka
ketahui, menafsirkan informasi yang masuk, dan bahkan mempersepsikannya melalui indra,
melalui lensa pengetahuan, keyakinan, dan asumsi mereka yang mereka ketahui (Vygotsky, 1978;
National Research Council, 2000). Bahkan, ada kesepakatan luas di kalangan peneliti bahwa
sangat penting bagi peserta didik untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
sebelumnya untuk kepentingan pembelajaran (Bransford & Johnson, 1972; Resnick, 1983).
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa mengajukan pertanyaan kepada peserta didik yang
dirancang secara khusus untuk memicu retensi atau pengungkapan kembali informasi atau
pengetahuan yang lama dapat membantu mereka menggunakan pengetahuan sebelumnya tersebut
untuk melakukan integrasi dan retensi terhadap informasi baru (Woloshyn, Paivio, & Pressley,
1994).

Menurut Suprayekti dan Agustyarini (2015: 50), identifikasi pengetahuan tentang


kemampuan awal peserta didik sangat penting karena memiliki kegunaan sebagai berikut:

a. Memberikan dosis pelajaran yang tepat. Artinya, materi yang diberikan dapat
diorganisasikan dengan lebih baik, tidak terlalu mudah bagi peserta didik karena materi
yang akan diajarkan ternyata sudah dikuasai oleh peserta didik; ataupun tidak terlalu sulit
karena bisa saja terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara kemampuan awal awal peserta
didik dengan pengetahuan baru yang harus dikuasai.
b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan, seperti misalnya apakah peserta didik
memerlukan remedial sebelum mereka siap menerima materi baru. Melalui identifikasi
kemampuan awal peserta didik maka guru dapat merancang kegiatan pembelajaran yang
tepat termasuk pemilihan strategi, media, dan penilaian pembelajaran dengan lebih baik.
c. Mengukur apakah peserta didik memiliki prasyarat yang dibutuhkan. Prasyarat disini
adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik sebelum mengikuti pelajaran
tertentu. Analisis kemampuan peserta didik berfungsi juga untuk menggambarkan statistik
kemampuan yang dimiliki peserta didik. Dalam hal ini, jika kemampuan prasyarat untuk
mengikuti pembelajaran telah dimiliki peserta didik, maka pembelajaran dapat dilanjutkan
ke topik/materi berikutnya. Sebaliknya, jika tidak maka guru dapat meminta peserta didik
mengambil tambahan pelajaran khusus/tertentu atau bahkan melakukan review/kajian
terhadap materi terkait sebelum masuk pada materi pembelajaran yang sebenarnya.

7

d. Memilih pola-pola pembelajaran yang lebih baik. Dengan mengidentifikasi kemampuan
awal peserta didik, maka guru dapat mendesain skenario pembelajaran dengan lebih baik,
serta menentukan materi dengan lebih terorganisir, memilih strategi apa yang akan
digunakan, serta menentukan media pembelajaran apa yang tepat dan dapat digunakan
untuk membantu kegiatan pembelajaran.

Teknik-Teknik Mendeteksi Kemampuan Awal Peserta Didik

Bapak dan Ibu setelah mengetahui dan memahami kegunaan atau fungsi dari
mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik, selanjutnya akan dibahas beberapa teknik dalam
mendeteksi kemampuan awal peserta didik. Teknik-teknik yang dimaksud bisa dilakukan baik
secara informal (seperti misalnya mengajukan pertanyaan ke kelas) maupun dengan cara-cara yang
lebih formal (misalnya, melakukan kajian/tinjauan terhadap hasil ujian terstandardisasi atau
memberikan ujian dan penilaian yang dibuat oleh guru). Ujian masuk merupakan penilaian yang
menentukan apakah peserta didik memiliki prasyarat atau kompetensi-kompetensi yang
diperlukan sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan optimal. Sebagai contoh, jika anda
akan mengajar peserta didik tentang proses pemilihan Presiden, maka peserta didik harus sudah
memahami makna “presiden” terlebih dahulu sebagai salah satu konten prasyarat atau kemampuan
awal peserta didik. Dengan demikian, konten terkait presiden ini tidak perlu lagi disertakan ke
dalam mata pelajaran.

Untuk membantu mengklarifikasi kemampuan awal, sangat penting bagi seorang guru
untuk membuat daftar kemampuan awal apa sajakah yang diperlukan di dalam rencana mata
pelajaran. Dalam melakukan pendataan atau pencermatan terhadap jenis-jenis kemampuan awal
yang akan dimasukkan ke dalam rencana mata pelajaran, guru dapat melakukannya dengan cara
menyatakan jenis-jenis kemampuan awal tersebut ke dalam format “jenis tujuan”. Dalam materi
pemilihan presiden misalnya, kemampuan awalnya bisa ditentukan sebagai berikut: “para peserta
didik bisa mendefinisikan presiden”. Sedangkan untuk materi Geometri, kemampuan awal yang
bisa dituliskan adalah: ‘para peserta didik bisa/mampu mengalikan”. Setelah kemampuan awal
sudah berhasil diidentifikasi dan ditentukan, maka guru bisa menggunakan ujian masuk (entry test)
untuk mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan sebelum masuk ke mata
pelajaran yang akan diajarkan. Ujian masuk tersebut, mungkin dibutuhkan untuk menilai konten

8

yang akan diajarkan untuk mengetahui apakah peserta didik belum menguasai apa yang guru
rencanakan untuk ajarkan.

Lebih lanjut, Suprayekti dan Agustyarini (2015: 52) menyatakan bahwa teknik
mendeteksi kemampuan awal peserta didik dapat dilakukan diantaranya dengan:

a. Menggunakan catatan atau dokumen yang tersedia. Dalam hal ini, catatan kemajuan
peserta didik (raport) dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi untuk mendeteksi
kemampuan awal peserta didik.
b. Menggunakan tes prasyarat (prerequisite test) dan tes awal (pre-test). Tes prasyarat adalah
tes untuk mengetahui apakah peserta didik telah memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan ataupun dipersyaratkan sebelum mengikuti pelajaran tertentu. Sedangkan
tes awal merupakan tes yang dilakukan untuk mendeteksi seberapa jauh peserta didik telah
memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait pelajaran yang akan diikuti. Teknik yang
dapat dilakukan oleh guru diantaranya adalah dengan menggunakan wawancara, observasi,
dan memberikan kuesioner kepada peserta didik.
c. Mengadakan konsultasi individual. Teknik ini dapat dilakukan oleh guru dengan cara
mewawancarai peserta didik secara informal, bisa berupa konseling untuk mengetahui
prestasi peserta didik ataupun untuk mengelaborasi masalah yang mungkin sedang dimiliki
oleh peserta didik.
d. Menggunakan angket atau kuesioner kepada peserta didik untuk memperoleh informasi
terkait bagaimana karakteristik peserta didik khususnya kemampuan awal ataupun
pengalaman yang sudah dimiliki oleh peserta didik.

Beberapa teknik tersebut di atas dapat dipergunakan oleh guru sebagai alternatif dalam
mendeteksi kemamppuan awal peserta didik sebelum mendesain pembelajaran sehingga
pembelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, mendeteksi kemampuan awal peserta didik juga
dapat dilakukan dengan mendiskusikan beberapa topik yang relevan sebelum guru memulai
pelajaran serta menggunakan pengetahuan/keterampilan yang sudah akrab bagi peserta didik.
Dengan demikian, peserta didik dapat lebih siap dalam menerima materi baru dan lebih termotivasi
untuk terlibat dalam aktivitas maupun tugas-tugas pembelajaran yang telah di rancang oleh guru.

9

Guru dapat mengukur tingkat pengetahuan peserta didik sebelumnya tersebut dan
menggunakannya sebagai landasan untuk mempersiapkan pembelajaran.

Jenis-Jenis Kemampuan Awal Peserta Didik

Pembelajaran pada hakekatnya berkontribusi terhadap perkembangan intelektual manusia


karena sifatnya yang kumulatif. Peserta didik pada dasarnya berkembang dari satu titik ke titik
berikutnya di dalam perkembangannya, dimana mereka juga belajar serangkaian atau pun
seperangkat kemampuan melalui proses diferensiasi, mengingat (recall), dan transfer
pembelajaran.
Llewellyn (2002) berpendapat bahwa pembelajaran harus lebih bersifat kognitif dan tidak
didasarkan pada transfer pengetahuan secara langsung dari pendidik kepada peserta didik semata.
Peserta didik pada dasarnya merupakan individu yang 'unik' dan respon mereka terhadap
konstruksi pengetahuan dalam konteks pembelajaran harus dipandang unik pula karena perbedaan
dalam kemampuan awal mereka. Artinya adalah bahwasanya pengetahuan peserta didik adalah
produk dari konstruksi mereka sendiri.
Pada hakekatnya, mengaitkan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya
dapat memfasilitasi proses pembelajaran. Peserta didik dapat dengan lebih mudah melakukan
coding dan menyimpan informasi dalam memori jangka panjang ketika ada tautan ke pengalaman
dan pengetahuan pribadi. Cara sederhana untuk merangsang ingatan adalah dengan mengajukan
pertanyaan tentang pengalaman sebelumnya, pemahaman tentang konsep sebelumnya, atau isi
konten yang akan dipelajari. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk membangun pengetahuan
atau keterampilan mereka sebelumnya.
Pada bagian ini, akan dibahas terkait jenis-jenis kemampuan awal untuk belajar
keterampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, sikap, dan psikomotorik. Gagne
(1977) mengklasifikasikan hasil belajar ke dalam lima kategori atau taksonomi. Kelima taksonomi
tersebut pada dasarnya merepresentasikan berbagai macam luaran sebagai hasil dari proses
pembelajaran. Klasifikasi pembelajaran menurut Gagne (1977) meliputi lima jenis kemampuan
atau ranah belajar, yakni: keterampilan intelektual, startegi kognitif, informasi verbal, sikap, dan
psikomotor. Berikut akan diuraikan masing-masing jenis taksonomi atau kategori tersebut
kaitannya dengan kemampuan awal peserta didik.

10

a. Keterampilan Intelektual
Keterampilan intelektual merupakan jenis pengetahuan prosedural yang memerlukan
kemampuan awal dengan jenis komponen keterampilan yang lebih sederhana. Keterampilan
intelektual ini meliputi: 1) Diskriminasi; 2) Konsep konkret; 3) Penggunaan aturan; dan 4)
Pemecahan masalah (problem solving).
Diskriminasi yang dimaksud disini adalah membuat respon-respon yang berbeda untuk
masing-masing peserta didik dengan melihat dan mengamati beragam perbedaan esensial
diantara input yang berbeda-beda tersebut serta meresponnya dengan beragam pula terhadap
tiap-tiap input. Belajar memperbedakan disini adalah belajar membedakan hubungan stimulus
respon sehingga bisa memahami bermacam-macam objek fisik dan konsep. Dalam merespon
lingkungannya, peserta didik membutuhkan keterampilan-keterampilan sederhana sehingga
dapat membedakan suatu objek dengan objek lainnya, dan membedakan satu simbol dengan
simbol lainnya. Terdapat dua macam belajar memperbedakan yaitu memperbedakan tunggal
dan memperbedakan jamak. Contoh memperbedakan tunggal, “siswa dapat menyebutkan
segitiga sebagai lingkungan tertutup sederhana yang terbentuk dari gabungan tiga buah ruas
garis”. Contoh memperbedakan jamak, siswa dapat menyebutkan perbedaan dari dua jenis
segitiga berdasarkan besar sudut dan sisi-sisinya. Berdasarkan besar sudut yang paling besar
adalah sudut siku-siku dan sisi terpanjang adalah sisi miringnya, sementara pada segitiga sama
sisi besar sudut-sudutnya sama begitu pula dengan besar sisi-sisinya. Dalam hal ini guru dapat
memberikan tes kemampuan awal dengan beragam jenis tes, misalnya dengan cara menanyakan
kepada peserta didik tentang bentuk segitiga; meminta peserta didik yang lainnya
menggambarkan bentuk segitiga; atau peserta didik diminta membedakan perbedaan sudut dan
sisi.
Konsep konkret disebut juga belajar pembentukan konsep dimana peserta didik belajar
mengenal sifat bersama dari benda-benda konkret, atau peristiwa untuk mengelompokkannya
menjadi satu. Misalnya, untuk memahami konsep persegi panjang, peserta didik diminta
mengamati jendela rumah (yang bentuknya persegi panjang), batu bata, meja kerja dan
sebagainya. Benda-benda konkret ini diupayakan sedekat mungkin dengan pengalaman peserta
didik sebelumnya, artinya peserta didik memang sudah familiar betul dengan benda-benda yang
disebutkan sebagai contoh oleh guru.

11

Penggunaan aturan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang sudah dipelajari.
Aturan merupakan pernyataan verbal, dalam matematika misalnya adalah: teorema, dalil, atau
sifat-sifat. Contoh aturan dalam segitiga siku-siku berlaku kuadrat sisi miring sama dengan
jumlah kuadrat sisi-sisi siku-sikunya. Dalam belajar pembentukan aturan memungkinkan anak
untuk dapat menghubungkan dua konsep atau lebih. Sebagai contoh, terdapat sebuah segitiga
dengan sisi siku-sikunya berturut-turut mempunyai panjang 3 cm dan 4 cm. Guru meminta anak
untuk menentukan panjang sisi miringnya. Untuk menghitung panjang sisi miringnya, anak
memerlukan suatu aturan Pythagoras yang berbunyi “pada suatu segitiga siku-siku berlaku
kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi siku-sikunya”. Dengan menggunakan
aturan di atas maka akan diperoleh perhitungan berupa 32 + 42 = 25 = 52, jadi panjang sisi
miring yang ditanyakan adalah 5 cm. Dalam hal ini kemampuan awal yang bisa dielaborasi oleh
guru adalah pemahaman peserta didik terkait aturan-aturan dalam rumus phythagoras. Guru
juga bisa melakukan cek terhadap pemahaman peserta didik terkait segitiga siku-siku.
Pemecahan masalah dimaksudkan bahwasanya belajar memecahkan masalah adalah
tipe belajar yang lebih tinggi tingkatnya dan lebih kompleks daripada tipe belajar aturan (rule
learning). Pada tiap tipe belajar memecahkan masalah, aturan yang telah dipelajari terdahulu
untuk membuat formulasi penyelesaian masalah. Contoh belajar memecahkan masalah yang
dilakukan oleh guru misalnya mencari selisih kuadrat dua bilangan yang sudah diketahui jumlah
dan selisihnya. Dalam hal ini, kemampuan awal yang bisa dimasukkan ke dalam daftar atau
format tujuan oleh guru berupa kemampuan peserta didik dalam memahami kuadrat dua
bilangan. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan
kompleks dibandingkan dengan tipe belajar dimulai prasyarat yang sederhana, yang kemudian
meningkat pada kemampuan kompleks. Gagne mengemukakan bahwa transfer belajar akan
terjadi apabila pengetahuan dan keterampilan matematika yang telah dipelajari dan yang
berkaitan dengan konsep dan prinsip, berhubungan langsung dengan permasalahan baru yang
kita hadapi. Tetapi sebaliknya, apabila konteks yang baru tersebut membutuhkan suatu konsep
dan prinsip yang berbeda dari kemampuan spesifik yang sudah dikuasai sebelumnya, maka
transfer belajar tidak akan terjadi.

12

b. Strategi Kognitif
Kapabilitas strategi kognitif adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan serta
mengembangkan proses berpikir dengan cara merekam, membuat analisis dan juga sintesis.
Kapabilitas ini terorganisasikan secara internal sehingga memungkinkan beberapa aspek seperti
perhatian, belajar, mengingat, dan berfikir peserta didik menjadi terarah.

Contoh penerapan dari kapabilitas strategi kognitif, adalah Guru Arya akan memberikan materi
kepada peserta didik yakni terkait dengan macam-macam bencana alam. Di dalam apersepsi,
untuk menggali kemampuan awal peserta didik, guru tersebut perlu mengembangkan proses
berpikir mereka dengan memintanya untuk membaca artikel di majalah ilmiah terkait dengan
macam-macam bencana alam. Apa yang dipelajari peserta didik dari artikel tersebut mungkin
hanya berupa fakta, strategi, atau penerapan teori. Namun, untuk menyeleksi informasi yang
dibacanya, dan memberikan kode terhadap informasi yang direkam dipikirannya, serta
menemukan kembali informasi tersebut untuk keperluan pemerolehan pengetahuan baru, maka
peserta didik harus mempergunakan strategi kognitif untuk memahami apa yang sudah dibaca
dan dipelajarinya, terutama untuk memecahkan masalah ketika guru memberikan beberapa
studi kasus di pembelaran inti. Berdasarkan kemampuan awal yang telah dimilikinya tersebut,
maka peserta didik dapat membuat beberapa alternatif pemecahan masalah terkait mitigasi
bencana.

c. Informasi Verbal
Kapabilitas informasi verbal merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan secara
lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta. Informasi verbal diperoleh secara lisan, membaca
buku dan sebagainya. Informasi ini dapat diklasifikasikan sebagai fakta, prinsip, nama
generalisasi. Informasi Verbal juga merupakan kemampuan untuk mengenal dan menyimpan
nama atau istilah, fakta, dan serangkaian fakta yang merupakan kumpulan pengetahuan.
Contoh, ketika guru akan memberikan materi tentang perhitungan segitiga dengan
menggunakan rumus Phytagoras, guru dapat membuat daftar kemampuan awal yang harus
dimiliki oleh peserta didik tersebut dengan diantaranya dengan peserta didik mampu
menyebutkan dalil Phytagoras yang berbunyi, “pada segitiga siku-siku berlaku kuadrat sisi
miring sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi siku-sikunya.

13

Contoh penerapan yang lain adalah jika guru akan mengajar peserta didik untuk menghitung
luas bidang geometri, maka guru perlu memberikan pengetahuan prasyarat atau kemampuan
awal terkait dengan penyebutan bidang-bidang geometri oleh peserta didik untuk
mengidentifikasi peserta didik mana yang membutuhkan perbaikan sebelum memasuki
pelajaran geometri.

Contoh kemampuan awal lainnya adalah, pada mata pelajaran Pengoperasian dan Perakitan
Sistem Kendali (PPSK), proyek tugas akhir merupakan pembelajaran yang digunakan dalam
materi pengendali elektronik. Sebelum membuat suatu barang tentu, peserta didik harus
mengetahui dasar-dasarnya terlebih dahulu. Materi pengendali elektronik merupakan suatu
rangkaian pengendali yang menggunakan prinsip dasar elektronika. Dengan demikian, peserta
didik perlu mengetahui dasar-dasar mengenai elektronika yang berhubungan dengan sistem
kendali. Oleh karenanya, kemampuan awal yang harus dimiliki peserta didik dalam pengendali
elektronik pada mata pelajaran PPSK diantaranya adalah menyebutkan prinsip pengoperasian,
merencanakan rangkaian, membuat rangkaian dan mengoperasikan sistem pengendali
elektronik.

d. Sikap
Kapabilitas sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap
stimulus atas dasar penilaian terhadap stimulus tersebut. Respon yang diberikan oleh seseorang
terhadap suatu objek mungkin positif mungkin pula negatif, hal ini tergantung kepada penilaian
terhadap objek yang dimaksud, apakah sebagai objek yang penting atau tidak.
Contoh, seorang pserta didik memasuki toko buku yang didalamnya tersedia berbagai macam
jenis buku, bila peserta didik tersebut memiliki sikap positif dan senang terhadap matematika,
tentunya sikap yang dimilikinya tersebut akan berimplikasi terhadap terpengaruhnya peserta
didik tersebut dalam memilih buku matematika dibandingkan dengan buku lain.

e. Psikomotor
Untuk mengetahui seseorang memiliki kapabilitas keterampilan motorik, kita dapat
melihatnya dari segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot, serta anggota
badan yang diperlihatkan orang tersebut. Kemampuan dalam mendemonstrasikan alat-alat

14

peraga matematika merupakan salah satu contoh tingkah laku kapabilitas ini. Dalam hal ini
maka kemampuan awal yang harus dikuasai oleh peserta didik adalah diantaranya mampu
menggunakan penggaris, jangka, sampai kemampuan menggunakan alat-alat tadi untuk
membagi sama panjang suatu garis lurus.

Contoh penerapan yang lain adalah jika guru akan mengajar peserta didik untuk menghitung
luas bidang geometri, maka guru perlu memberikan pengetahuan prasyarat atau kemampuan
awal terkait dengan kemampuan perkalian peserta didik untuk mengidentifikasi peserta didik
mana yang membutuhkan perbaikan sebelum memasuki pelajaran geometri.

Contoh kemampuan awal lainnya adalah, pada mata pelajaran Pengoperasian dan Perakitan
Sistem Kendali (PPSK), proyek tugas akhir merupakan pembelajaran yang digunakan dalam
materi pengendali elektronik. Sebelum membuat suatu barang tentu, peserta didik harus
mengetahui dasar-dasarnya terlebih dahulu. Materi pengendali elektronik merupakan suatu
rangkaian pengendali yang menggunakan prinsip dasar elektronika. Dengan demikian,
kemampuan awal yang harus dimiliki oleh peserta didik tidak hanya perlu mengetahui dasar-
dasar mengenai elektronika yang berhubungan dengan sistem kendali saja melainkan juga dapat
merencanakan rangkaian, membuat rangkaian dan mengoperasikan sistem pengendali
elektronik.

15

Glosarium
Kemampuan Awal
Kemampuan atau pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah dikuasai peserta didik
sehingga mereka dapat mengikuti kegiatan instruksional seperti yang sudah dirancang
oleh guru.

Kapabilitas
Hasil belajar yang bersifat kognitif dan belum sampai ke tingkat kompetensi, namun dapat
digunakan sebagai dasar dalam belajar lebih lanjut untuk mencapai kompetensi.

Strategi Kognitif
Keterampilan yang terorganisasi secara internal. Kemampuan strategis menyangkut
bagaimana cara mengingat, dan cara belajar berpikir tanpa terikat pada materi apa yang
dipelajari atau dipikirkan.

Keterampilan Intelektual
Hasil belajar yang meliputi cara melakukan atau pengetahuan yang bersifat prosedural.

Informasi Verbal
Kemampuan menjelaskan secara verbal tentang sesuatu yang dipelajari baik berbentuk
fakta, prinsip, maupun penggunaan aturan.

16

KEGIATAN BELAJAR 3
GAYA BELAJAR PESERTA DIDIK

CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KEGIATAN

Peserta PPG menguasai secara mendalam gaya belajar peserta didik dengan
sub capaian (1) mengidentifikasi kekuatan dan preferensi perseptual dan
mengaplikasinya dalam pembelajaran, (2) mengidentifikasi kebiasaan informasi
dan aplikasinya dalam pembelajaran, (3) memahami kecerdasan majemuk dan
strategi mengembangkannya, (4) memahami motivasi dan penerapannya dalam
pembelajaran, (5) menganalisis faktor – faktor fisiologis dan aplikasinya dalam
pembelajaran.

POKOK POKOK MATERI

Kekuatan dan preferensi perseptual dan mengaplikasinya dalam pembelajaran.


A. Kekuatan dan preferensi perseptual dan mengaplikasinya dalam
pembelajaran
B. Kebiasaan memproses informasi dan aplikasinya dalam pembelajaran.
C. Kecerdasan majemuk dan strategi mengembangkannya.
D. Motivasi dan penerapannya dalam pembelajaran.
E. Faktor – faktor fisiologis dan aplikasinya dalam pembelajaran.

URAIAN MATERI

Bapak ibu guru apakah tahu jika setiap peserta didik memiliki “design
otak”?. Otak setiap individu berbeda dengan individu lain seperti juga sidik jari.
Beberapa peneliti telah menelaah tentang hal tersebut dan mulai mencari tahu
mengenai gaya belajar peserta didik, dan fakta bahwa setiap individu belajar
dengan cara yang berbeda dan memiliki preferensi yang berbeda mengenai dimana,
kapan dan bagaimana kita belajar. Contoh-contohnya meliputi; kekuatan dan
persepsi perseptual, kebiasaan memproses informasi, kecedasan majemuk,
motivasi dan faktor-faktor fisiologis.

A. Kekuatan dan persepsi perseptual

Peserta didik memiliki gerbang sensorik (visual, auditori, jasmani, dan


kinestetik) yang mereka lebih suka gunakan dan mana yang mahir penggunaannya.
Bobi de porter (2000) mengemukakan bahwa gaya belajar visual, auditori dan
kinestetik. Dalam kenyatannya, kita semua memiliki ketiga gaya belajar itu; hanya
saja biasanya satu gaya mendominasi (Rose dan Nicholl, 1997). Bapak ibu guru
setelah Anda memahami tentang hal tersebut, selanjutnya buatlah peserta didik
menyadari gaya belajar masing-masing. Tes berikut akan membantu setiap peserta
didik mengidentifikasi gayanya belajarnya. Tandailah kotak yang sesuai untuk
setiap pertanyaan. Jumlahkan nilai Anda untuk setiap bagian. Kemudian buatlah
grafik dari hasilnya.

VISUAL SERING KADANG- JARANG


KADANG
 Apakah Anda rapi dan teratur?
 Apakah Anda berbicara dengan cepat?
 Apakah Anda perencana dan pengatur
jangka panjang yang baik?
 Apakah Anda pengeja yang baik dan
dapatkah Anda melihat kata-kata dalam
pikiran Anda
 Apakah Anda lebih ingat apa yang dilihat
daripada yang didengar?
 Apakah Anda menghafal dengan asosiasi
visual?
 Apakah Anda sulit mengingat perintah lisan
kecuali jika dituliskan, dan apakah Anda
sering meminta orang mengulang
 ucapannya?
 Apakah Anda lebih suka membaca daripada
dibacakan?
 Apakah Anda suka mencoret-coret selama
menelepon/menghadiri rapat?
 Apakah Anda lebih menyukai seni daripada
musik?
Apakah Anda tahu apa yang harus dikatakan,
tetapi tidak terpikir kata yang tepat?
SUBTOTAL

AUDITORIAL SERING KADANG- JARANG


KADANG
 Apakah Anda berbicara kepada diri sendiri
saat bekerja?
 Apakah Anda mudah tergangu oleh
keributan?
 Apakah Anda sering menggerakan
 bibir/melafalkan kata saat membaca
 Apakah Anda suka membaca keras-keras
dan mendengarkan?
 Dapatkah Anda mengulang dan menirukan
nada, perubahan, dan warna suara Anda?
 Apakah Anda merasa menulis itu sulit,
tetapi pandai bercerita?
 Apakah Anda berbicara dengan pola
berirama?
 Apakah menurut Anda, anda adalah
pembicara yang fasih?
 Apakah Anda lebih menyuakai music
daripada seni?
 Apakah Anda belajar melalui mendengar
mengingat apa yang didiskusikan daripada
yang dilihat
 Apakah Anda banyak bicara, suka
berdiskusi, dan menjelaskan panjanglebar?
 Apakah Anda lebih baik mengeja
 keras-keras daripada menulisnya?
SUBTOTAL

KINESTETIK SERING KADANG- JARANG


KADANG
 Apakah Anda berbicara lambat?
 Apakah Anda menyentuh orang untuk
mendapatkan perhatiannya?
 Apakah Anda berdiri dekat-dekat saat
berbicara dengan seseorang?
 Apakah Anda berorientasi pada fisik dan
bentuk bergerak?
 Apakah Anda belajar melalui manipulasi
dan praktek?
 Apakah Anda menghafal dengan berjalan
dan melihat?
 Apakah Anda menggunakan jari untuk
menunjuk saat membaca?
 Apakah Anda banyak menggunakan isyarat
tubuh?
 Apakah Anda tidak bisa duduk tenang
untuk waktu lama?
 Apakah Anda membuat keputusan
berdasarkan perasaan?
 Apakah Anda mengentuk-ngetuk pena, jari,
atau kaki saat mendengarkan?
 Apakah Anda meluangkan waktu untuk
berolahraga dan berkegiatan fisik lainnya?
SUBTOTAL

Berikut ini merupakan cara yang dapat digunakan untuk membantu peserta
didik memanfaatkan preferensi belajar mereka:

Pelajar Visual
Dorong pelajar visual mempunyai banyak simbol dan gambar dalam
catatan mereka. Dalam matematika dan ilmu pengetahuan, tabel dan grafik akan
memperdalam pemahaman mereka. Peta pikiran dapat menjadi alat yang bagus
bagi para pelajar visual belajar terbaik saat mulai dengan “gambaran keseluruhan,”
melakukan tinjauan umum mengenai bahan pelajaran akan sangat membantu.
Membaca bahan secara sekilas misalnya, memberikan gambaran umum mengenai
bahan bacaan sebelum mereka terjun kedalam perinciannya.
Pelajar Auditorial
Para pelajar Auditorial mungkin lebih suka merekam pada kaset dari pada
mencatat, karena mereka suka mendengarkan informasi berulang-ulang. Jika
mereka kesulitan dengan satu konsep bantulah mereka berbicara dengan diri
mereka sendiri untuk memahaminya. Anda dapat membuat fakta panjang yang
mudah diingat oleh siwa auditorial dengan mengubahnya menjadi lagu, dengan
melodi yang sudah dikenal dengan baik.
Pelajar Kinestetik
Pelajar-pelajar ini menyukai terapan. Lakon pendek dan lucu terbukti dapat
membantu. Pelajar kinestetik suka belajar melalui gerakan dan paling baik
menghafal informasi dengan mengasosiasikan gerakan dengan setiap fakta.
Banyak pelajar kinestetik menjauhkan diri dari bangku, mereka lebih suka duduk
di lantai dan menyebarkan pekerjaan di sekeliling mereka.
B. Kebiasaan memproses informasi dan aplikasinya dalam pembelajaran

Bapak ibu selain peserta didik memiliki preferensi perseptual berbeda


mereka juga memiliki gaya berfikir seperti yang diungkapkan Anthony Gregorc
(1982) yang mengembangkan teori gaya berfikir berdasarkan dua variable, yaitu
bagaimana cara kita melihat dunia (bagaimana kita melihat dunia secara abstrak
dan konkrit). Dan juga cara kita memahami dunia (dalam pemahaman sistemasis
dan acak). Menggunakan dua variable tersebut, Gregorc mengkombinasikannya
sehingga membentuk empat gaya berfikir:
a. Concrete Random Thinkers. pemikir ini, adalah pemikir yang menikmati
eksperimen, juga dikenal sebagai pemikir yang berbeda. Mereka ingin
mengambil lompatan intuitif untuk menciptakan. Mereka menemukan cara
alternatif dalam melakukan sesuatu. Dengan demikian di dalam kelas, jenis
pemikir perlu diizinkan untuk memiliki kesempatan guna membuat pilihan
tentang pembelajaran mereka dan tentang bagaimana mereka menunjukkan apa
yang meraka pahami. peserta didik menikmati menciptakan model baru dan
hal-hal praktis yang dihasilkan dari pengembangan pembelajaran dan konsep
baru mereka. Pebelajar dengan tipe ini mudah belajar melalui permainan,
simulasi, proyek mandiri, dan discovery learning
b. Concrete Sequential Thinkers. pemikir ini berbasis pada aktifitas fisik yang
dimaknai dengan rasa. Mereka adalah detail oriented, dan mengingat
merupakan hal mudah bagi mereka. Mereka membutuhkan struktur, kerangka,
jadwal, dan organisasi pembelajaran. Mereka menyukai pembelajaran dan
kegiatan yang diarahkan oleh guru. Pebelajar dengan tipe ini akan mudah
belajar melalui workbook, pembelajaran berbasis komputer, demonstrasi, dan
praktik laboratorium yang terstruktur.
c. Abstract Sequential Thinkers. Pemikir ini senang dalam dunia teori dan
pemikiran abstrak. proses berpikir mereka adalah rasional, logis, dan
intelektual. Mereka nyaman ketika terlibat dengan pekerjaan dan investigasi
mereka sendiri. Peserta didik ini perlu memiliki waktu untuk memeriksa
sepenuhnya ide baru, konsep, dan teori-teor yang ada di hadapan mereka.
Mereka ingin mendukung informasi baru dengan menyelidiki dan menganalisa
sehingga pembelajaran masuk akal dan memiliki arti nyata bagi mereka.
Pebelajar dengan tipe ini mudah belajar melalui membaca dan mendengarkan
presentasi.
d. Abstract Random Thinkers. pemikir ini mengatur informasi melalui berbagi
dan berdiskusi. Mereka hidup di dunia perasaan dan emosi dan belajar dengan
mempersonalisasi informasi. Pembelajar ini ingin membahas dan berinteraksi
dengan orang lain ketika mereka belajar. Kooperatif pada kelompok belajar,
menjadi pusat belajar, dan mitra kerja memfasilitasi pemahaman mereka.
Pebelajar dengan tipe ini akan mudah belajar melalui diskusi grup, ceramah,
tanya jawab, dan penggunaan.

C. Kecerdasan majemuk dan strategi mengembangkannya


Penting bagi Bapak ibu guru untuk mengenali semua kecerdasan peserta
didik yang bervariasi. Jika guru menyadari hal ini, maka akan memiliki
kesempatan untuk menangani masalah belajar secara tepat. Menurut Howard
Gardner ada 8 jenis kecerdasan manusia, yaitu:
a. Kecerdasan Logis Matematis
Kecerdasan ini mencakup tiga bidang yang saling berhubungan yaitu;
matematika, Ilmu Pengetahuan (sains), dan logika, yang melibatkan banyak
komponen seperti perhitungan secara matematis, berpikir logis, pemecahan
masalah, pertimbangan deduktif induktif, ketajaman pola dan hubungan.
Karakteristik kecerdasan logis matematis adalah :
1. Menggunakan angka, penalaran, hubungan sebab-akibat dan hubungan
logis suatu peristiwa.
2. Menunjukkan ketrampilan pemecahan yang logis.
3. Berpikir secara matematis dengan mengumpulkan bukti, membuat
hipotesis, merumuskan berbagai model, mengembangkan contoh-
contoh tandingan, dan membuat argument yang kuat.
4. Menyukai operasi yang kompleks seperti kalkulus, fisika, pemograman
komputer, atau metode penelitian.
5. Mengungkapkan ketertarikan dalam karir-karir seperti akuntansi,
teknologi komputer, hokum, mesin, dan ilmu kimia.
Pembelajaran logis matematis di sekolah dapat dikembangkan
melalui beberapa strategi seperti berikut ini:
1. Menceritakan masalah yang dihadapi sehari-hari, kemudian
dipecahkan dengan bantuan pemikiran matematis dengan mengatur
waktu penyelesaian dengan tepat dan efektif.
2. Merencanakan suatu eksperimen dengan menggunakan metode ilmiah
yang diawali dengan mengungkapkan masalah, membuat hipotesis,
melakukan percobaan, menafsirkan data, dan menarik kesimpulan.
3. Membuat diagram venn untuk mempolakan masalah agar mudah
membangun pengertian sehingga mudah dipecahkan.
4. Membuat analogi untuk menjelaskan sesuatu sehingga mudah
dipahami, misalnya menjelaskan tentang peristiwa erosi diwujudkan
dengan analogi menumpahkan air pada kepala yang tidak berambut, air
akan cepat mengalir ke badan.
5. Menggunakan ketrampilan berpikir dari tingkat rendah hingga berpikir
tingkat tinggi untuk menyelesaikan masalah.
6. Mengkategorikan fakta – fakta yang dipelajari sesuai sifat dan jenisnya
untuk memudahkan mengingat.
7. Merancang suatu pola atau kode, atau simbol untuk mengetahui obyek
yang ingin dipelajari.
b. Kecerdasan Bahasa
Merupakan kemampuan menggunakan kata, baik itu verbal maupun
tulisan, termasuk keahlian berbahasa. Orang – orang yang kurang dalam
penglihatan, pendengaran, atau berbicara akan mengembangkan bahasa
dan ketrampilan berkomunikasi dengan cara lainnya. Kecerdasan ini
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Menirukan suara, bahasa, membaca, menulis, dari orang lainnya.
2. Menggunakan ketrampilan menyimak, berbicara, menulis, dan
membaca untuk mengingat, berkomunikasi, berdiskusi, menjelaskan,
mempengaruhi, menciptakan pengetahuan, menyusun makna, dan
menggambarkan bahasa itu sendiri.
3. Membaca secara efektif, memahami, meringkas, menafsirkan, atau
menerangkan, mengingat yang telah dibaca.
4. Menulis secara efektif, menerapkan aturan tata bahasa, ejaan, tanda
baca, dan menggunakan kosakata yang efektif
5. Menunjukkan minat dalam jurnalisme, puisi, bercerita, debat,
berbicara, menulis, atau menyunting.
Pembelajaran yang dapat membangkitkan kecerdasan linguistik
dalam diri pesera didik dengan strategi berikut;
1. Bercerita
Peserta didik akan senang menceritakan kisah yang dimiliki kepada
temannya sebayanya, sebagian yang lain merasa malu. Mendengarkan
cerita melibatkan ketrampilan mendengar dan linguistik. Metode
bercerita bisa diajarkan kepada peserta didik dengan pendahuluan
yang menarik, pemilihan karakter, cerita yang dipilih mengandung
imajinasi yang bias dibayangkan oleh pendengar, memakai efek suara,
tangan dan gerakan tubuh, suara jelas serta ekspresif, dan kontak mata
dengan pendengar.
2. Diskusi
Diskusi kelas digunakan hampir disetiap mata pelajaran dan semua
tingkat. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar hasilnya positif
dan memuaskan. Lima tahap diskusi yang harus diperhatikan guru
adalah:
a) Menjelaskan tujuan diskusi dengan menyampaikan apa yang
akan dibahas serta perilaku peserta didik yang seharusnya.
b) Mempertahankan jaannya diskusi, dengan menyampaikan atau
meminta sukarelawan untuk mengawali pembicaraan,
memastikan bahwa tanggapan didengarkan dengan sopan.
Peserta didik bias memakai papan tulis, flip chart, atau mind
map.
c) Mengawasi jalan diskusi supaya topic tidak bergeser dari yang
telah ditentukan.
d) Mengakhiri diskusi dengan merangkum apa yang telah
disampaikan, dan menghubungkan dengan pembelajaran kelas
lainnya.
e) Melakukan Tanya jawab mengenai diskusi yang telah
dilaksanakan dan meminta peserta didik menyampaikan
manfaat yang diperoleh.
3. Merekam dengan tape recorder
Tape recorder digunakan untuk sebagai pengumpul informasi,
wawancara, dan dapat digunakan untuk menyediakan informasi.
Peserta didik dapat menggunakan untuk mempersiapkan tulisan,
mengolah gagasan, sekaligus membicarakan topic mereka. Peserta
didik yang kurang cakap menulis mungkin bisa merekam pemikiran
mereka sebagai mode ekspresi alternative. Manfaat lain bias
digunakan mengirim surat lisan kepada peserta didik lain untuk
menceritakan pengalaman pribadi mereka, dan memperoleh umpan
balik tentang sosialisasi di lingkungan kelas.
4. Menulis jurnal
Jurnal ini dapat dibuat sangat pribadi dan hanya diceritakan pada guru
atau dibacakan secara teratur di depan kelas. Jurnal ini dapat
merangkum kecerdasan majemuk dengan menggunakan gambar,
sketsa foto, dialog, dan data non verbal. Topic yang ditulis bias bidang
umum, spesifik, catatan matematika, gagasan baru, dan mata pelajaran
lain
5. Publikasi
Publikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tulisan peserta didik
dapat difotocopi dan disebarkan. Tulisan – tulisan dapat dijilid dalam
bentuk buku dan ditempatkan khusus dikelas atau perpustakaan, dan
dipublikasikan di web site sekolah. Jika memungkinkan membentuk
kelompok khusus kepenulisan utuk diskusi buku dan tulisan peserta
didik. Apabila peserta didik tahu bahwa orang lain menggandakan,
mendiskusikan, bahkan memperdebatkan tulisan mereka, hal itu
memotivasi untuk terus mengembangkan keahliannya.
c. Kecerdasan Musikal
Merupakan kecerdasan yang meliputi kepekaan irama, melodi, ataupun
warna suara. Kecerdasan ini memilii karakteristik sebagai berikut:
1. Mendengarkan dan merespon dengan ketertarikan terhadap berbagai
bunyi, termasuk suara manusia, suara dari lingkungan alam, dan
mengorganisasikan beberapa jenis suara ke dalam pola yang
bermakna.
2. Mengoleksi musik dan informasi musik dalam berbagai bentuk.
3. Mengembangkan kemampuan menyanyi dan memainkan instrument
secara sendiri atau bersama orang lain.
4. Dapat memberikan interpretasi mengenai composer dan menganalis
serta mengkritik musik terpilih.
5. Mengungkapkan ketertarikan dalam bidang music seperti penyanyi,
pemain instrument music, pengolah suara, produser, guru music, atau
konduktor.
Pembelajaran yang dapat mengembangkan kecerdasan musikal di
dalam kelas adalah;
1. Irama, lagu dan senandung
Mengambil inti materi pelajaran dan dikemas secara berirama
misalnya untuk menghafalkan kata, tabel perkalian dengan lagu
popular. Peserta didik diminta untuk menciptakan sendiri lagu untuk
merangkum materi yang sudah dipelajari.
2. Diskografi
Menambahkan referensi pembelajaran dengan daftar lagu yang cukup
popular misalnya yang berkaitan dengan mengenang pahlawan adalah
lagu syukur kemudian meminta peserta didik mendiskusikan lagu
tersebut.
3. Musik supermemori
Peserta didik dapat mengingat informasi ketika mendengar penjelasan
guru sambil mendengarkan musik dalam keadaan rileks.
4. Konsep musikal
Nada dan music dapat digunakan sebagai alat kreatif untuk
mengekspresikan konsep pola atau skema pembelajaran dengan
bersenandung sampai mengggunakan nada rendah atau tinggi.
5. Music suasana
Menggunakan rekaman musik yang membangun suasana hati
misalnya suara alam, music klasik yang bisa membangun kondisi
emosional tertentu.
d. Kecerdasan Visual Spasial
Kemampuan untuk mempersepsi & mentransformasikan dunia spasial-
visual, berupa kepekaan terhadap warna, garis, bentuk, ruang & hubungan
yang terjadi di dalamnya. Karakteristik kecerdasan visual spasial sebagai
berikut:
1. Belajar dengan melihat, mengamati, mengenali wajah – wajah, benda
– benda , warna, detail – detail, dan pemandangan.
2. Melihat hal atau benda dengan perspektif baru.
3. Merasakan pola – pola yang lembut maupun rumit.
4. Cakap mendesain secara abstrak atau representasional
5. Mengekspresikan ketertarikan menjadi artis, fotografer, teknisi,
videographer, arsitek, perancang, pengamat seni, pilot dan lainnya
Pembelajaran yang dirancang untuk mengaktifkan kecerdasan visual
spasial adalah
1. Visualisasi
Penerapan metode ini dengan menciptakan “layar lebar” di benak
peserta didik, guru dapat membimbing dengan memejamkan mata dan
membayangkan apa yang baru saja mereka pelajari dan diminta untuk
menceritakan kembali.
2. Penggunaan warna
Penggunaan warna untuk memberi penekanan pada pola peraturan
atau klasifikasi selama proses pembelajaran, misal warna merah pada
semua kata – kata penting yang harus dipahami peserta didik. Warna
juga sebagai penghilang stress peserta didik ketika menghadapi hal
sulit menemukan makna.
3. Metafora gambar
Metafora gambar adalah pengekspresian gagasan melalui pencitraan
visual. Nilai pendidikan metafora ada pembentukan hubungan hal
yang sudah diketahui peserta didik dan yang diajarkan.
4. Sketsa gagasan
Strategi sketsa gagasan ini meminta peserta didik menggambarkan
poin kunci, gagasan utama, tema sentral, atau konsep yang diajarkan,
agar cepat dan mudah sketsa tidak harus rapi menyerupai kenyataan.
e. Kecerdasan Kinestetis
Meliputi kemampuan fisik, baik itu kecepatan, kelenturan, kekuatan, dan
lain - lain. Karakteristik kecerdasan kinestetik sebagai berikut:
1. Belajar dengan langsung terlibat
2. Sensitive dan responsive terhadap lingkungan dan system secara fisik
3. Mendemostrasikan keseimbangan, ketrampilan, dan ketelitian dalam
tugas fisik
4. Mempunyai kemampuan untuk memperbaiki segala sesuatu dan
sempurna secara pementasan fisik.
5. Mengekspresikan ketertarikan pada karir atlit, penari, ahli bedah, atau
pembuat gedung
Pembelajaran dikelas yang dapat mengaktifkan kecerdasan
kinestetik adalah;
1. Respon tubuh
Mintalah peserta didik menanggapi pelajaran menggunakan tubuh
sebagai media respon misalnya mengangkat tangan, mengangguk, atau
tersenyum jika memahami penjelasan guru.
2. Teater kelas
Meminta peserta didik memerankan teks, soal, atau materi lain yang
harus dipelajari dengan mendramakan isinya.
3. Konsep kinestetis
Permainan tebak – tebakan yang dilakukan dengan gerakan yang
menantang kemampuan peserta didik untuk mengungkapkan
pengetahuan dengan cara tidak konvensional.
4. Hands on thinking
Memberi kesempatan peserta didik untuk memanipulasi obyek atau
menciptakan sesuatu dari tangan mereka dengan membuat patung,
kolase, atau bentuk kerajinan lain.
5. Peta tubuh
Tubuh manusia dapat digunakan sebagai alat pedagogis yang berguna,
missal jari untuk menghitung, dengan menggunakan gerakan fisik
akan menginternalisasikan gagasan.
f. Kecerdasan Interpersonal
Kepekaan terhadap ekspresi wajah, suara, gerak-isyarat serta kemampuan
membedakan aneka tanda interpersonal & menanggapinya secara efektif.
Karakteristik kecerdasan interpersonal sebagai berikut:
1. Terikat dengan orang tua dan berinteraksi dengan orang lain.
2. Merasakan pikiran, perasaan, motivasi, tingkah laku orang lain.
3. Mempengaruhi pendapatan dan perbuatan orang lain
4. Menyesuaiakan diri terhadap lingkungan dan grup yang berbeda
5. Tertarik pada karir seperti mengajar, pekerjaan social, konseling,
manajemen, dan politik.

Pembelajaran dikelas yang mengaktifkan kecerdasan interpersonal


adalah;
1. Berbagi rasa dengan teman sekelas
Mengajari teman sebaya kepada teman lain, berbagi pengalaman
dengan teman yang berbeda-beda.
2. Kerja kelompok
Kelompok akan efektif jika terdiri atas tiga sampai delapan orang
untuk mengerjakan tugas dengan cara yang berbeda-beda dengan
diskusi, menganalisis video, menyusun laporan dan lain sebagainya.
3. Simulasi
Simulasi melibatkan sekelompok orang yang bias bersifat spontan atau
improvisasi memainkan skenario yang dibuat guru.
g. Kecerdasan Intrapersonal
Merupakan kecerdasan untuk memahami diri sendiri & bertindak sesuai
pemahaman tersebut, termasuk juga kecerdasan untuk menghargai diri
sendiri. Karakteristik kecerdasan interpersonal adalah sebagai berikut:
1. Sadar akan wilayah emosinya
2. Membangun hidup dengan suatu system nilai etik (agama)
3. Bekerja madiri
4. Berusaha untuk mengaktualisasikan diri
5. Termotivasi untuk mengidentifikasi dan memperuangkan tujuannya.
Pembelajaran dikelas yang dapat mengembangkan kecerdasan
intrapersonal adalah:
1. Sesi refleksi satu menit
Sesi ini memberikan waktu pada peserta didik untuk mencerna
informasi yang mereka terima, atau menghubungkan informasi dengan
peristiwa dalam kehidupan mereka.
2. Moment mengekspresikan perasaan
Selama proses pembelajarn peserta didik harus bias menciptakan
momen dimana peserta didik untuk tertwa, merasa marah,
mengungkapkan pendapat dengan membuat peserta didik merasa
nyaman mengekspresikan emosi di kelas.
3. Sesi perumusan tujuan
Sesi perumusan tujuan yang realistis pada peserta didik baik tujuan
jangka pendek atau panjang dengan bimbingan guru.
h. Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan mengenali benda-benda fisik & fenomena alam. Biasanya
kecerdasan naturalis ini dimiliki oleh ahli biologi, pecinta alam, aktivis
lingkungan, pendaki gunung, dan lainnya. Karakteristik kecerdasan
naturalis sebagai berikut:
1. Suka dan akrab pada berbagai hewan peliharaan.
2. Sangat menikmati berjalan-jalan di alam terbuka
3. Suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara binatang.
4. Menghabiskan waktu di dekat akuarium atau sistem kehidupan alam.
5. Suka membawa pulang serangga, daun bunga atau benda alam lainnya.
6. Berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan hidup.
Pembelajaran di kelas yang mengembangkan kecerdasan naturalis adalah;
1. Jalan – jalan di alam terbuka
Cara ini untuk menguatkan materi yang akan dipelajari untuk semua
mata pelajaran, misalnya untuk napak tilas perjuangan pahlawan,
mempelajari pertumbuhan dan cuaca.
2. Melihat keluar jendela
Untuk mengurangi kebosanan peserta didik di kelas, metode ini dapat
dilakukan oleh guru dengan observasi diluar kelas, melakukan
pengamatan, dan mencatatat hasilnya.
3. Ekostudi
Strategi ini mengintegrasikan kepedulian peserta didik pada
kelangsungan bumi untuk semua mata pelajaran.

D. Motivasi

Bapak ibu pernahkah menjumpai ada peserta didik yang kehilangan


semangat dalam pembelajaran, tidak fokus pada yang guru sampaikan? Salah satu
pedekatan yang membantu memahami motivasi peserta didik adalah model ARCS
dari Keller. Empat aspek mendasar dari motivasi yang bisa dipertimbangkan para
guru ketika merancang mata pelajaran:
a. Perhatian (attention). Mengembangkan mata pelajaran yang para peserta
didik anggap menarik dan berharga untuk diperhatikan.
b. Relevansi (relevance). Memastikan bahwa pengajaran bermakna dan sesuai
dengan kebutuhan dan tujuan belajar peserta didik.
c. Percaya diri (confidence). Merancang mata pelajaran yang membangun
ekspektasi peserta didik untuk sukses berdasarkan usaha mereka sendiri.
d. Kepuasan (satisfaction). Menyertakan ganjaran instrinsik dan ekstrinsik
yang peserta didik terima dari pembelajaran.
E. Faktor – faktor fisiologis

Bapak ibu guru faktor – faktor yang terkait dengan perbedaan gender,
kesehatan, dan kondisi lingkungan juga mempengaruhi pembelajaran. Peserta
didik lelaki dan perempuan cenderung merespon secara berbeda terhadap berbagai
pengalaman sekolah. Misalnya peserta didik lelaki cenderung agresif dan
kompetitif daripada peserta didik perempuan dan akibatnaya respon lebih baik
terhadap permainan kompetitif, sementara peserta didik perempuan cenderung
lebih menyukai aktivitas belajar diskusi dan berbagi gagasan. Hal lain yang harus
dipertimbangkan adalah hirarki kebutuhan dari Maslow saat menganalisis
kebutuhan peserta didik. Jika kebutuhan dasar peserta didik seperti rasa lapar, suhu,
kebisingan, cahaya, dan waktu dalam sehari tidak diperhatikan, secara mental
kurang mendapat aktivitas belajar yang bermakna. Anda akan dapati bahwa para
peserta didik anda memiliki preferensi dan toleransi yang berbeda terkait dengan
faktor – faktor tersebut. Lingkungan menjadi salah satu faktor eksternal yang dapat
mendukung agar suasana pembelajaran menjadi kondusif. Berikut ini adalah teknik
untuk menciptakan lingkungan pembelajaran;

a. Lingkungan sekeliling
Lingkungan kelas berpengaruh pada kemampuan peserta didik untuk
berfokus dan menyerap informasi. Peningkatan seperti poster ikon dapat
menampilkan isi pelajaran secara visual. Sementara poster afirmasi
menguatkan dialog internal peserta didik karena isi dari poster afirmasi
mengandung suatu motivasi dalam belajar. Penggunaan warna dapat membatu
dalam penguatan pembelajaran, karena otak berpikir dalam warna.
b. Alat bantu
Alat bantu merupakan benda yang dapat mewakili suatu gagasan misalnya:
1) Boneka: mewakili tokoh dalam karya sastra.
2) Bola lampu: menandakan dimulainya brainstorming , atau menyoroti ide
cemerlang
3) Panah : secara visual menunjukan “poin” yang dimaksud.
4) Kacamata besar : menunjukan pengambilan perspektif yang berbeda.
5) Topi Sherlock Holmes : menandakan pemikiran deduktif.
c. Pengaturan Bangku
Disebagian besar ruangan kelas, bangku peserta didik dapat disusun
untuk mendukung tujuan belajar bagi pelajaran apapun. Adapun beberapa
pilihan dalam mengatur bangku kelas :
1) Setengah lingkaran : untuk diskusi kelompok besar yang dipimpin seorang
fasilitator, yang menulis gagasan pada media yang disediakan.
2) Merapatkan bangku ke dinding jika member tugas individu dan
mengosongkan pusat ruangan untuk member petunjuk kepada kelompok
kecil ataumengadakan diskusi kelompok besar sambil duduk dilantai.
3) Menggunakan kursi lipat agar lebih fleksibel.
d. Tumbuhan, Aroma, Hewan Peliharaan, Dan Unsur Organik Lainnya
1) Tumbuhan
Dalam biologi dan Botani mengajarkan tumbuhan menyediakan oksigen
dalam udara kita, dan otak kita berkembang karena adanya oksigen.
Semakin banyak oksigen yang didapatnya akan baik pula otak akan
berfungsi.
2) Aroma
Manusia dapat meningkatkan kemampuan berpikir sacara kreatif sebanyak
30% saat diberi wangi bunga tertentu (Hirch 1993). Didalam kelas dengan
sedikit penyemprotan aroma berikut akan meningkatakan kewaspadaan
mental : lavender, mint, kemangi, jeruk, kayu manis,dan rosemary.
Lavender, mawar dan jeruk memberikan ketenangan dan relaksasi.
3) Hewan Peliharaan
Binatang peliharaan di kelas dapat menciptakan kesempatan melatih
tanggung jawab, gizi, kesehatan dan perawatan.
MODUL 5
Kegiatan Belajar 1:
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
Uraian Materi
Proses pendidikan abad-21 dapat kita wujudkan melalui penyelenggaraan proses
pembelajaran yang mendidik dan yang berkualitas sesuai paradigma pendidikan abad-21.
Dalam paradigma tersebut, pembelajaran perlu kita selenggarakan untuk mengembangkan
seluruh potensi siswa secara holistik (utuh) melalui penggunaan atau penerapan pendekatan,
model dan metode pembelajaran yang lebih inovatif, berpusat pada keaktifan belajar siswa
(student centered learning-SCL), kontekstual, serta memanfaatkan aneka sumber belajar dan
teknologi pendidikan secara integratif dengan materi pembelajaran yang Anda ajarkan.
Dalam Materi 1 ini Anda dapat mempelajari tentang pendekatan saintifik dan model-
model pembelajaran sebagaimana tersebut pada pokok materi di atas. Setelah memahami
kedua materi tersebut Anda diharapkan dapat menerapkannya dalam pembelajaran. Nah,
untuk menambah wawasan, Anda dapat mencermati video tentang contoh penerapan
pendekatan saintifik dan model-model pembelajaran berbasis SCL pada link yang diberikan.

A. Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran


Pembelajaran pada kurikulum 2013 dilaksanakan mengacu pada pembelajaran dengan
pendekatan saintifik (scientific approach) sebagaimana disebutkan pada Permendikbud No.
103 tahun 2014. Pendekatan ini merupakan bagian dari pendekatan pedagogis dalam kegiatan
pembelajaran yang diarahkan pada penerapan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan
serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperimen, mengolah
informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis. Nusfiqon
& Nurdyansyah (2015:51) menyebutkan bahwa pendekatan saintifik dalam kegiatan
pembelajaran bukan hanya mengembangkan kompetensi peserta didik untuk melakukan
kegiatan observasi atau eksperimen saja, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir
kritis dan kreatif peserta didik dalam berinovasi atau berkarya. Pendekatan saintifik dapat
mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan siswa.
Secara umum, pembelajaran dilaksanakan melalui kegiatan pendahuluan, inti, dan
penutup. Pada pendekatan saintifik, kegiatan pendahuluan dilakukan untuk memantapkan
pemahaman peserta didik tentang pengetahuan awal yang telah dikuasai dilanjutkan dengan
penyampaian tujuan pembelajaran sehingga menimbulkan rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa
ingin tahu tersebut dapat menjadi dasar yang kuat untuk belajar pada kegiatan inti. Pada
kegiatan inti peserta didik melakukan kegiatan belajar dengan metode ilmiah. Agar kegiatan
pembelajaran inti dapat menjadi terarah dan bermakna, maka pendidik harus menyusun
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) secara sistematis sesuai langkah metode ilmiah.
Dalam rancangan tersebut peserta didik diarahkan dan dibimbing untuk mengkonstruksi
pengetahuan, sikap, serta keterampilannya melalui mengamati, menanya, menalar, mencoba,
dan mengkomunikasikan. Sementara pada kegiatan penutup siswa diarahkan untuk
melakukan validasi temuan serta pengayaan materi yang telah dipelajari.
Sani (2017:53) memaparkan lima tahapan pendekatan saintifik yang sesuai dengan
Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah, yaitu (1) mengamati; (2) menanya; (3) mencoba/mengumpulkan informasi; (4)
menalar/mengasosiasi; (5) dan membentuk jejaring/melakukan komunikasi. Langkah-langkah
tersebut dapat ditambahkan dengan mencipta. Tahapan pendekatan saintifik tidak harus
dilakukan secara urut, akan tetapi dapat dilakukan sesuai dengan pengetahuan yang akan
dipelajari. Berikut ini penjabaran tahapan pembelajaran dengan pendekatan saintifik (dalam
Sufairoh, 2016:121-122).
1. Mengamati, merupakan kegiatan mengidentifikasi suatu objek melalui penginderaan,
yaitu melalui indera penglihat (membaca, menyimak), pembau, pendengar, pencecap dan
peraba pada saat mengamati suatu objek menggunakan ataupun tidak menggunakan alat
bantu sehingga siswa dapat mengidentifikasi suatu masalah.
2. Menanya, merupakan kegiatan mengungkapkan suatu hal yang ingin diketahuinya baik
yang berkenaan dengan suatu objek, peristiwa, suatu proses tertentu. Pertanyaan dapat
diajukan secara lisan mapun tulisan dan dapat berupa kalimat pertanyaan atau kalimat
hipotesis sehingga siswa dapat merumuskan masalah dan hipotesis.
3. Mengumpulkan data, merupakan kegiatan mencari informasi sebagai bahan untuk
dianalisis dan disimpulkan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan membaca buku,
observasi lapangan, uji coba, wawancara, menyebarkan kuesioner, dan lain-lain,
sehingga siswa dapat menguji hipotesis yang telah dibuat sebelumnya.
4. Mengasosiasi, merupakan mengolah data dalam serangkaian aktivitas fisik dan pikiran
dengan bantuan peralatan tertentu. Pengolahan data dapat dilakukan dengan klasifikasi,
mengurutkan, menghitung, membagi, dan menyusun data dalam bentuk yang lebih
informatif, serta menentukan sumber data sehingga lebih bermakna. Bentuk pengolahan
data misalnya tabel, grafik, bagan, peta konsep, menghitung, dan pemodelan. Selanjutnya
siswa menganalisis data untuk membandingkan ataupun menentukan hubungan antara
data yang telah diolahnya dengan teori yang ada sehingga dapat ditarik suatu simpulan.
5. Mengomunikasikan, merupakan kegiatan siswa dalam mendeskripsikan dan
menyampaikan hasil temuannya dari kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan dan
mengolah data, serta mengasosiasi yang ditujukan kepada orang lain baik secara lisan
maupun tulisan dalam bentuk diagram, bagan, gambar, dan sejenisnya dengan bantuan
perangkat teknologi sederhana dan atau teknologi informasi dan komunikasi.
Pendekatan saintifik sendiri merupakan suatu prosedur atau proses, yakni langkah-
langkah sistematis yang perlu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah
yang didasarkan pada persepsi indrawi dan melibatkan uji hipotesis serta teori secara
terkontrol (Sudarminta, 2002: 164). Melalui model pembelajaran yang relevan dengan
pendekatan saintifik akan dihasilkan output (siswa) dengan kemampuan intelektual dan
karakter yang baik.
Untuk menambah pemahaman Anda tentang pendekatan saintifik silakan klik link
berikut ini dan silakan mencermati pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan
saintifik pada link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=kHpvPXbTHjA
Dalam video tersebut diperlihatkan tahap-tahap pendekatan saintifik dalam
pembelajaran. Pendekatan saintifik yang dilandasi paradigma konstruktivistik, berpusat
pada siswa (student centered learning), dan berorientasi pada kelompok kerjasama
diharapkan dapat memaksimalkan proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Model-
model pembelajaran yang mengacu pada pendekatan saintifik tersebut di antaranya:
model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran berbasis proyek, model
pembelajaran kooperatif, dan model pembelajaran Simulasi. Bagaimana model-model
pembelajaran tersebut dapat Anda implementasikan? Mari, kita cermati bersama uraian
model-model tersebut berikut ini.

B. Beberapa Model Pembelajaran Berpusat pada Peserta Didik (SCL)


Sebelum membahas tentang model pembelajaran perlu kita ketahui terlebih dulu
pengertian pembelajaran dan pengertian model. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas pada pasal 1, ayat 20 dinyatakan bahwa pembelajaran merupakan proses
interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam suatu lingkungan
belajar. Sejalan dengan UU Sisdiknas tersebut Permendikbud RI No.103 Tahun 2014
pasal 1 lebih jelas menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antarpeserta
didik dan antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar (BSNP, 2016). Mengacu pada pengertian pembelajaran tersebut dapat kita pahami
bahwa dalam pembelajaran ada tiga unsur penting yaitu: 1) subjek, 2) aktivitas atau
proses interaksi, dan 3) lingkungan belajar. Siswa dan guru adalah subjek yang aktif.
Ahli pembelajaran, seperti Gagne, Briggs dan Wager (1992) juga menyatakan hal
senada, bahwa pembelajaran adalah serangakaian kegiatan yang dirancang untuk
terfasilitasinya proses belajar siswa. Kiranya jelas, bahwa tujuan dari semua upaya
pembelajaran adalah agar siswa belajar. Dalam pembelajaran, siswa adalah subjek yang
aktif belajar. Tentu saja, guru juga memainkan peranan penting. Peran guru tersebut
adalah memilih, menetapkan, dan menata kegiatan-kegiatan (events) pembelajaran agar
efektif bagi proses belajar siswa. Untuk itulah guru harus merancang kegiatan
pembelajaran (events of instruction) dengan baik, termasuk dalam menggunakan metode
dan model pembelajaran yang tepat, semata-mata agar proses belajar siswa berhasil.
Mengenai pengertian “model”, kita ikuti pendapat Winataputra (2001:3) yang
mengartikan model sebagai kerangka konseptual. Dengan demikian, jelaslah sekarang
bahwa yang dimaksud model pembelajaran dalam modul ini, sebagaimana dinyatakan
Joyce & Weil (1996) dan Winataputra (2001), adalah kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman atau yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Model
pembelajaran dapat berfungsi atau bermanfaat sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Model pembelajaran memiliki lima unsur dasar sebagaimana dikemukakan oleh
Joyce & Weil (1996) dan Winataputra (2001), yaitu: a) sintakmatik, b) sistem sosial, c)
prinsip reaksi, d) sistem pendukung, dan dampak instruksional dan pengiring. Setiap
model pembelajaran memiliki sintakmatiknya. Hal ini berarti bahwa jika suatu model
pembelajaran tidak jelas sintakmatiknya maka sesungguhnya model tersebut belum dapat
dikategorikan sebagai model pembelajaran.
Sintakmatik (syntax) ialah tahap-tahap atau langkah-langkah operasional kegiatan
pembelajaran dari model itu, sedangkan Sistem Sosial (social system) adalah suasana atau
situasi dan norma yang berlaku dalam model pembelajaran tersebut. Prinsip Reaksi
(principles of reaction), adalah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana
seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa, termasuk merespon siswa, dan
mengunakan aturan main yang berlaku dalam setiap model. Sistem pendukung (support
system), yaitu segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung
pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dampak instruksional (instructional effect) dan
dampak pengiring atau efek ikutan (nurturant effect) adalah hasil belajar kurikuler
langsung sesuai tujuan kurikulum, dan hasil belajar pengiring yaitu hasil belajar ikutan
yang diperoleh di samping hasil pembelajaran yang disasar secara kurikuler.
Berdasarkan pengertian dan manfaat model pembelajaran tersebut jelas bahwa
dalam pembelajaran guru perlu memahami model-model pembelajaran agar dapat
memilihnya dengan tepat dan efektif dalam upaya membelajarkan peserta didik. Beberapa
model pembelajaran yang mendukung pendekatan saintifik dan paradima pembelajaran
abad-21 diuraikan berikut ini.
1. Beberapa Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning).
Implementasi berbagai model yang mengacu pada pendekatan saintifik sangat
berguna dalam upaya meningkatkan kinerja pembelajaran. Terdapat lebih dari seratus
model pembelajaran yang dapat digunakan dalam implementasi pendekatan sainfitik, dan
salah satunya adalah cooperative learning (Budiyanto, dkk, 2016: 48). Sejak
diterapkannya pertama kali di Universitas John Hopkins, pembelajaran kooperatif telah
dikembangkan secara intensif melalui berbagai penelitian yang bertujuan untuk
meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk hubungan positif,
mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik melalui
aktivitas belajar kelompok. Para ahli dan peneliti pembelajaran kooperatif, seperti
Johnson dan Johnson (1991), Slavin (1995), Sharan dan Sharan (1992), Hill & Hill
(1993), Arends (2004), maupun Heinich, dkk. (2002), mendefinisikan bahwa
pembelajaran kooperatif pada intinya adalah suatu strategi pembelajaran yang terstruktur
secara sistematis di mana siswa bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dengan
anggota antara empat sampai lima orang secara heterogen untuk mencapai tujuan
bersama.
Mengacu pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pembelajaran
dikatakan merupakan pembelajaran kooperatif jika pembelajaran tersebut mencerminkan
karakteristik sebagai berikut: a) siswa-siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri
atas empat sampai enam anggota dengan level dan latar belakang yang bervariasi, b)
siswa-siswa melakukan interaksi sosial satu sama lain dalam bentuk diskusi, curah
pendapat, dan sejenisnya, c) tiap-tiap individu memiliki tanggungjawab dan
sumbangannya bagi pencapaian tujuan belajar baik tujuan individu maupun kelompok, d)
dan guru lebih berperan sebagai fasilitator dan coacher dalam proses pembelajaran.
Beberapa elemen yang menjadi karakteristik atau ciri pembelajaran kooperatif
menurut Slavin (1995) adalah: 1) saling ketergantungan positif (positive
interdependence), 2) interaksi tatap muka (face-to-face promotive interaction), (3)
tanggungjawab individual (individual accountability, 4) keterampilan-keterampilan
kooperatif (cooperative skills), 5) proses kelompok (group proces), 6) pengelompokan
siswa secara heterogen, dan 7) kesempatan yang sama untuk sukses (equal opportunities
for success). Dengan kata lain, dalam pembelajaran kooperatif terdapat saling
ketergantungan positif di antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap siswa
mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat pada siswa
dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling
mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa
lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta
mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif
memungkinkan siswa menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama.
Secara umum Tim PKP Dikti (2007) menyebutkan ada empat tahap pembelajaran
kooperatif yaitu:
Langkah Orientasi, guru menyampaikan tujuan, materi, waktu, langkah-langkah
serta hasil akhir yang diharapkan dikuasai oleh siswa, serta sistem penilaiannya. Pada
langkah ini siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang apa saja,
termasuk cara kerja dan hasil akhir yang diharapkan atau sistem penilaiannya. Negosiasi
dapat terjadi antara guru dan siswa, hingga terjadi kesepakatan bersama di akhir orientasi.
Langkah Kerja Kelompok, nerupakan tahap inti kegiatan pembelajaran. Kerja
kelompok dapat berbentuk kegiatan memecahkan masalah, atau memahami dan
menerapkan suatu konsep yang dipelajari dengan berbagai cara seperti berdiskusi,
eksplorasi, observasi, percobaan, hingga browsing melalui internet, dan sebagainya. Guru
perlu membuat panduan untuk mengarahkan kegiatan kelompok. Panduan memuat
tujuan, materi, waktu, cara kerja kelompok dan tanggung jawab masing-masing anggota
kelompok, serta hasil akhir yang diharapkan dapat dicapai.
Langkah Tes/Kuis, yaitu langkah di mana semua siswa diharapkan telah mampu
memahami konsep/topik/masalah yang sudah dikaji bersama dan mampu menjawab tes
atau kuis untuk mengetahui pemahaman mereka terhadap konsep/topik/ masalah yang
dikaji. Penilaian individu ini mencakup penguasaan ranah kognitif, afektif dan
ketrampilan sosial.
Langkah Penghargaan Kelompok, yaitu langkah untuk memberikan
penghargaan kepada kelompok yang berhasil memperoleh kenaikan skor dalam tes
individu. Kenaikan skor dihitung dari selisih antara skor dasar dengan skor tes individual.
Menghitung skor yang didapat kelompok dengan cara menjumlahkan skor yang didapat
siswa di dalam kelompok tersebut kemudian dihitung rata-ratanya. Selanjutnya
berdasarkan skor rata-rata tersebut ditentukan penghargaan masing-masing kelompok.
Evaluasi belajar dilakukan pada awal pelajaran sebagai pra tes, selama
pembelajaran, serta hasil akhir belajar siswa baik individu maupun kelompok. Selama
proses pembelajaran, evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap, keterampilan dan
kemampuan berpikir serta berkomunikasi siswa. Kesungguhan mengerjakan tugas, hasil
eksplorasi, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan pkitangan atau
argumentasi, kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama,
tanggungjawab, keterbukaan, empati, menghormati orang lain, persatuan, dan lain-lain,
merupakan contoh aspek-aspek yang dapat dinilai selama proses pembelajaran
berlangsung. Penilaian dilakukan dalam bentuk penilaian individu dan kelompok.
Penilaian individu adalah evaluasi terhadap tingkat pemahaman siswa terhadap materi
yang dikaji, meliputi ranah kognitif, afektif, dan keterampilan. Sedangkan, penilaian
kelompok meliputi berbagai indikator keberhasilan kelompok meliputi kekohesifan,
dinamika kelompok, kepemimpinan, kerjasama, dan sebagainya. Untuk kriteria penilaian
dapat disepakati bersama pada waktu orientasi awal.
Selain langkah-langkah atau sintak pembelajaran kooperatif secara umum,
terdapat langkah-langkah khusus atau spesifik pembelajaran kooperatif berdasarkan
karakteristik tipe model tertentu. Ada lebih dari 50 tipe model pembelajaran kooperatif,
namun hanya beberapa yang biasa digunakan misalnya langkah pembelajaran kooperatif
tipe STAD (student Team-Achievement Division), Jigsaw, GI (Group Investigation) dan
sebagainya. Berikut ini penjelasan langkah-langkah atau sintaks beberapa tipe
pembelajaran kooperatif tersebut. Anda sebagai pendidik profesional di abad-21
diharapkan dapat menerapkan model-model tersebut dalam pembelajaran.
Langkah atau sintak inti pembelajaran pada kooperatif tipe STAD berdasarkan
pendapat penemunya, yaitu Slavin (1995), adalah: 1) presentasi materi (oleh guru), 2)
siswa belajar dalam kelompok, 3) siswa mengerjakan kuis individual, 4) pemberian skor
peningkatan individual, dan 5) penghargaan kelompok. Sintak secara lengkap, jika kita
ingin menerapkan pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: 1) Orientasi
(apersepsi, penyampaian tujuan, dan memotivasi), 2) guru mempresentasikan materi, 3)
siswa belajar atau berdiskusi dalam kelompok, 4) siswa mengerjakan kuis individual, 5)
pemberian skor peningkatan individual, 6) penghargaan kelompok, dan 7) Penutup
(penyampaian review dan tindak lanjut).
Bagi anda yang ingin menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw,
sebagaimana dikemukakan oleh penemunya (Sharan& Sharan, dalam Slavin, 1995),
prosedur pembelajaran tipe Jigsaw adalah: 1) pemberiaan materi yang sudah dipecah
berikut lembar kerja ahli (expert sheet) kepada kelompok asal (home team), 2) diskusi
kelompok ahli (expert team) yang terdiri dari gabungan anggota-anggota kelompok asli
dengan materi yang sama mendalami materi tersebut, 3) diskusi kelompok asli (home
team) di mana setiap anggota menjelaskan materi masing-masing kepada anggota lain
dalam kelompoknya, 4) mengerjakan kuis dengan bahan semua materi yang dipelajari, 5)
pemberian penghargaan kelompok.
Sama seperti tipe model pembelajaran kooperatif yang lain, dalam tipe Jigsaw ini
anda dapat menambah sintaks di awal dengan Orientasi dan Penutup. di mana guru
menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Langkah
Orientasi dipandang penting sesuai kultur sosial kehidupan kita yaitu pemberian
pengantar atau petunjuk belajar, penyampaian tujuan pembelajaran, pengaktivan
pengetahuan awal (apersepsi), dan memotivasi belajar siswa. Sedangkan tahap Penutup
merupakan langkah closing pembelajaran di mana guru perlu memberikan peneguhan
pengusaan materi yang dipelajari, bisa juga berupa pemberian rangkuman, atau diberikan
pesan-pesan moral yang relevan dalam rangka pendidikan karakter secara terintegrasi.
Model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) atau Investigasi
Kelompok yang ditemukan oleh Herbart Thelen (1960) yang mengacu pada pendapat
John Dewey (1916) tentang demokrasi dalam pendidikan. Thelen menyatakan bahwa
hendaknya kelas dapat menjadi miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-
masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998). Sesuai dengan pendapat Arends tersebut
sekaitan dengan pmbelajaran sosial, Martorella mencoba menerapkan model GI ini dalam
pendidikan ilmu sosial (social studies). Joyce & Weil (1996: 73) dan disarikan oleh
Winataputra (2001: 35-36) merumuskan sintak pembelajaran model GI ke dalam enam
tahap, yaitu tahap: 1) siswa dihadapkan pada situasi yang problematis, 2) siswa
melakukan eksplorasi sebagai respon terhadap situasi yang problematis itu, 3) siswa
merumuskan tugas-tugas belajar (learning task) dan mengorganisasikannya untuk
membangun proses pendidikan, 4) siswa melakukan kegiatan belajar individual dan
kelompok, 5) siswa menganalisis kemajuan dan proses yang dilakukan dalam proses
penelitian kelompok, dan 6) melakukan proses pengulangan kegiatan.
Kemdikbud (2017) juga menjelaskan bahwa model GI atau investigasi kelompok
memberikan pengalaman kepada siswa dalam memecahkan suatu permasalahan dengan
caranya sendiri dan dibicarakan dalam kelompok secara demokratis. Secara umum
pembelajaran dengan model GI menurut Depdiknas tersebut mencakup enam tahap, yaitu:
1) memilih topik, 2) perencanaan kooperatif, 3) implementasi, 4) analisis dan sintesis, 5)
presentasi hasil final, dan 6) evaluasi.
Kegiatan pembelajaran dengan model GI secara rinci mencakup: 1) siswa dibagi
kedalam kelompok (4-5 orang); 2) guru memberikan pengarahan tentang hal-hal yang
harus dilakukan oleh siswa di masing-masing kelompok; 3) siswa dihadapkan pada suatu
situasi yang memerlukan pemecahan atau suatu keputusan yang harus ditentukan; 4)
siswa mengeksplorasi situasi tersebut; 5) siswa merumuskan tugas-tugas yang harus
dilakukan dalam menghadapi situasi tersebut, antara lain merumuskan masalah,
mennetukan peran anggota kelompok, dan merumuskan alternatif cara yang akan
digunakan; 6) dalam melaksanakan tiga langkah di atas, siswa dapat dibimbing oleh guru
(guru bertindak sebagai mentor); 7) masing-masing kelompok melaksanakan kerja
mandiri; 8) siswa melakukan pengecekan terhadap kemajuan dalam menyelesaikan
tugasnya, kemudian hasil tugas kelompoknya dipresentasikan di depan kelas agar siswa
lain memiliki perspektif lebih luas tentang topik yang dipelajari; dan 9) siswa saling
memberikan umpan balik mengenai topik yang telah dikerjakan berdasarkan tugas
masing-masing kelompok, selanjutnya siswa bersama guru mengevaluasi pembelajaran.
Untuk menambah wawasan Anda tentang beberapa model pembelajaran
kooperatif, silakan buka dan cermati video contoh model pembelajaran tentang penerapan
model pembelajaran kooperatif dengan cara mengklik link berikut ini.
video 1
https://www.youtube.com/watch?v=2Q6nHGBb6U4
video 2
https://www.youtube.com/watch?v=bsI9PYgc75Y
video 3
https://www.youtube.com/watch?v=pbUmJcCbDCQ

Dengan menyimak dan menganalisis tahapan pada tiga rangkaian video di atas, Anda
dapat mengidentifikasi tipe model koopertaif apa yang digunakan dalam contoh
pembelajaran tersebut berdasarkan sintaknya.

2. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)


Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning (PBL)
menurut Arends (1997: 2001; 2004: 406) dalam bukunya yang berjudul Learning to
Teach, sering disebut sebagai model Anchored Instruction dan Authentic Learning.
Arends selanjutnya memaparkan bahwa model PBL merupakan model pembelajaran yang
memberikan berbagai situasi permasalahan kepada siswa dan dapat berfungsi sebagai
batu loncatan dalam penyelidikan. Model PBL menyuguhkan situasi atau berbagai
masalah otentik yang mendorong siswa untuk melakukan investigasi dan penyelidikan.
Putu Arnyana (2004) mendeskripsikan pembelajaran berbasis masalah tersebut sebagai
pembelajaran yang dirancang berdasarkan masalah riil kehidupan yang bersifat tidak
tentu, terbuka, dan mendua.
Model pembelajaran ini dilandasi oleh teori konstruktivistik yang mengakomodasi
keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah otentik. Pada model ini dalam
pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar
bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi
masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi
argumentasi mengenai pemecahan masalah, dan bekerja secara individual atau kolaborasi
dalam pemecahan masalah.
Mengacu pada pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran berbasis masalah merupakan kerangka konseptual tentang proses
pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah riil dalam kehidupan nyata (otentik),
bersifat tidak tentu, terbuka dan mendua untuk merangsang dan menantang siswa berpikir
kritis untuk memecahkannya. Dalam pemecahan masalah tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh Tan (dalam Rusman, 2014), siswa menggunakan berbagai macam
kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata,
kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada.
Suatu pembelajaran dikatakan menerapkan model PBL jika pembelajaran tersebut
memiliki ciri-ciri sebagaimana dikemukakan oleh Putu Arnyana (2004) sebagai berikut:
a) terdapat kegiatan mengajukan pertanyaan atau masalah, b) pembelajaran terfokus pada
keterkaitan antar disiplin, c) penyelidikan autentik, d) siswa menghasilkan produk berupa
karya nyata seperti laporan, e) kerjasama, siswa bekerjasama kelompok. Arends (2004:
406) mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk
mengimplementasikan PBL. Kelima tahap model PBL tersebut secara rinci dapat dilihat
pada tabel sintak model PBL di bawah ini.
Tabel 1. Sintak Model PBL (Arends, 1996; 2004)
No Langkah- Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
langkah Pokok
1 Tahap 1 Menyampaikan tujuan Memperhatikan tujuan yang
Orientasikan pembelajaran, menyiapkan dan harus dikuasai, menerima dan
siswa pada memotivasi siswa untuk terlibat memahami masalah yang
masalah aktual aktif dalam pemecahan masalah, dipresentasikan guru, siswa
dan otentik Guru mendiskusikan rubric berada dalam kelompoknya
asesmen yang akan digunakan sampai semua jelas trhadap
dalam menilai kegiatan/hasil karya penyelesaiannya.
siswa
2 Tahap 2: Guru membantu siswa Membatasi permasalahan yang
Mengorganisasika mendefinisikan dan akan dikaji
n siswa untuk mengorganisasikan tugas belajar
belajar yang berhubungan dengan masalah
tersebut
3 Tahap 3: Guru mendorong siswa untuk Melakukan inkuiri, investigasi,
Membimbing mengumpulkan informasi yang dan bertanya untuk
penyelidikan sesuai, melaksanakan eksperimen mendapatkan jawaban atas
individu maupun untuk mendapatkan penjelasan dan permasalahan yang dihadapi
kelompok pemecahan masalah.
4 Tahap 4: Guru membantu siswa dalam Menyusun laporan dalam
Mengembangkan merencanakan dan menyiapkan kelompok dan menyajikannya
dan menyajikan karya yang sesuai seperti laporan, dalam diskusi kelas
hasil karya video, dan model dan membantu
mereka untuk berbagi tugas dengan
temannya.
5 Tahap 5: Guru membantu siswa untuk Mengikuti tes dan menyerahkan
Menganalisis dan melakukan efleksi atau evaluasi tugas-tugas sebagai bahan
mengevaluasi terhadap penyelidikan mereka dan evaluasi proses belajar
proses pemecahan proses-proses yang mereka gunakan
masalah

Sistem sosial dalam model ini antara lain adalah interaksi guru dengan siswa lebih
dekat dalam proses teacher-asisted instruction, peran guru sebagai transmitter
pengetahuan menjadi berkurang, interaksi sosial makin efektif, dan siswa berlatih
menginvestigasi masalah yang kompleks. Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah
peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan
secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah. Sarana
pendukung model pembelajaran ini meliputi lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan
bahan ajar siswa dan guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen
yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruang kelas
yang telah dikondisikan.
Dampak pembelajaran (instructional effect) model PBL adalah pemahaman
tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan
pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah
mempercepat pengembangan self-regulated learning, siswa terbentuk kemampuan
berpikir kritisnya, keterampilan sosial dan karakter siswa meningkat, seperti: sikap
kerjasama, tangungjawab, peduli, toleran, dan sebagainya. Anda dapat mencermati video
contoh penerapan model PBL pada link berikut ini atau pada …(materi 2 daring)
https://www.youtube.com/watch?v=YMFrrrT5C8w
Setelah mengamati dan mengidentifikasi tahapan (sintak) pembelajaran pada video
tersebut, analisislah kesesuaiannya dengan sintak model mengacu pada konsep PBL.

3. Model Pembelajaran Project Based Cooperative Learning


Model project based cooperative learning atau PjBCL merupakan model yang
dikembangkan berdasarkan penerapan projek dengan melibatkan siswa menyelidiki
masalah dunia nyata melalui kelompok kooperatif (Yam & Rosini, 2010: 1). Penerapan
pembelajaran projek merupakan salah satu cara yang dapat Anda pilih sebagai guru untuk
melibatkan siswa dengan materi atau konten pembelajaran mereka. Model dengan projek
ini dipandang menarik karena memiliki format instruksional yang inovatif di mana siswa
dapat memilih berbagai aspek tugas dan termotivasi oleh masalah lingkungan sekitar
bahkan mungkin akan memberikan kontribusi kepada mereka (Bender, 2012: 7). Projek
pembelajaran pada model ini dilaksanakan secara kelompok kooperatif dengan siswa-
siswa yang heterogen sebagai anggotanya.
Pengembangan model project based learning dengan konsep kelompok kooperatif
ditujukan untuk lebih mempermudah pengimplementasian projek dalam pembelajaran
melalui kegiatan kelompok. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan
pembelajaran projek yaitu membutuhkan banyak waktu dan biaya untuk menyelesaikan
sebuah projek. Projek yang dilaksanakan secara kooperatif akan lebih efektif serta
menghemat waktu dan biaya. Pembelajaran kooperatif sangat cocok untuk
mengorganisasi kegiatan dalam pembelajaran berbasis projek sehingga menjadi model
gabungan bernama project based cooperative learning (Wang, 2008: 265). Pada model
ini suatu situasi perlu diciptakan di mana tujuan individu dapat dicapai hanya ketika
kelompok itu bekerjasama demi kerhasilan menyelesaikan projek. Dengan cara ini
hubungan yang kompetitif di antara para peserta didik telah diubah menjadi "kerja sama
dari dalam" dan "kompetisi dari luar". Selanjutnya komunikasi tradisional antara pendidik
dan peserta didik telah diubah menjadi komunikasi multi-arah.
Model ini dikembangkan mengacu pada model project based learning yang secara
khusus mengajukan satu atau lebih masalah (problem) yang harus dipecahkan oleh siswa
melalui projek. Pendekatan pembelajaran berbasis projek menggunakan tahapan produksi,
yaitu: siswa menetapkan tujuan untuk pembuatan produk akhir dan mengidentifikasi
audien mereka. Selanjutnya, siswa mengkaji topik, mendesain produk, dan membuat
perencanaan pengelolaan projek. Siswa kemudian memulai projek, memecahkan masalah
dan isu-isu yang timbul dalam produksi, serta menyelesaikan produk mereka. Siswa
mungkin menggunakan atau menyajikan produk yang mereka buat dan idealnya mereka
diberi waktu untuk mengevaluasi hasil kerja mereka (Moursund, Bielefeldt, &
Underwood; Oakey; dalam Waras 2004). Sejalan dengan paparan tersebut, Hosnan (2013:
325) menjabarkan tahapan pembelajaran berbasis projek dalam 6 langkah yaitu: 1)
menentukan pertanyaan mendasar, 2) mendesain perencanaan projek, 3) menyusun
jadwal, 4) memonitor peserta didik dan kemajuan projek, 5) menguji hasil, dan 6)
mengevaluasi pengalaman.
Model project based cooperative learning dikembangkan sintak dengan prinsip
pemerataan kelompok heterogen dan kerja sama dalam penyelesaian projek maupun
diskusi. Hal utama dalam model ini adalah efektivitas projek yang dilaksanakan dalm
kegiatan pembelajaran. Berikut sintak model PjBCL yang dapat Anda diterapkan:
Tabel 2. Sintak Model PjBCL (Wang, 2008: 2655)
Tahapan Kegiataan siswa Kegiatan guru
Tahap 1 Siswa diberikan pembelajaran Guru menentukan apakah akan
dasar terkait tema. menerapkan PjBCL
Tahap 2 Siswa memilih topik penelitian Guru menganalisis tujuan pengajaran
dan memperjelas tujuan dan membimbing siswa untuk memilih
pembelajaran topic
Tahap 3 Siswa membetuk kelompok Guru menganalisis karakteristik siswa
kooperatif dan mengelompokkan siswa dengan
cara yang heterogen dan komplementer
Tahap 4 Siswa memecahkan masalah, Guru menganalisis tugas dan
membagi peran, membagi menciptakan situasi pertanyaan, dan
pekerjaan dalam kelompok, dan membangun kelompok kasus
memperjelas tugas kelompok dan
individu
Tahap 5 Siswa secara kooperatif menyusun Guru menciptakan lingkungan yang
dan merancang rencana untuk kooperatif
kelompok dan individu
Tahap 6 Siswa melakukan penelitian Guru bertindak sebagai penyelenggara,
kooperatif pengamat, instruktur, dan konselor
Tahapan Kegiataan siswa Kegiatan guru
Tahap 7 Siswa bertukar dan merangkum Guru mengomentari hasil dan
hasil proyek keteraturan proyek
Tahap 8 Secara bersama mengevaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar melalui
hasil pembelajaran dengan cara komentar dan membimbing siswa dari
ringkasan praktik ke teori

Sesuai konsep pembelajaran kooperatif, pada model pembelajaran project based


cooperative learning Anda, sebagai guru, dapat melakukan proses penilaian bersama
siswa. Proses penilaian oleh guru dilakukan dengan mengevaluasi proses belajar melalui
penilaian terhadap peran masing-masing anggota sesuai tugasnya, penilaian perilaku
kerjasama dalam kelompok kooperatif, dan penilaian seluruh kelompok kooperatif, serta
memberikan umpan balik pada waktunya. Sedangkan penilaian proses pembelajaran oleh
siswa dilakukan dengan mengevaluasi proses pembelajaran melalui penilaian diri dari
peran yang sesuai dalam tugas kelompok, penilaian timbal balik dan penilaian perilaku
kooperatif dalam kelompok kooperatif dan penilaian seluruh kelompok kooperatif.
Sistem sosial pada model project based cooperative learning mengacu pada
konsep kooperatif yang dikenal dengan istilah pembelajaran gotong royong yaitu sistem
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan
peserta didik lain dalam tugas yang terstruktur (Lie, 2008: 28). Anda dapat melibatkan
siswa dalam pengalaman nyata atau proyek dan menjadi pembelajaran yang mandiri
berpusat pada siswa atau student center melalui model ini. Seperti disampaikan Parkay
(2010: 387), penerapan projek dalam pembelajaran merupakan cara untuk melibatkan
para peserta didik, mengurangi ketidakhadiran, meningkatkan keterampilan pembelajaran
kooperatif, dan meningkatkan skor tes.
Secara umum, dalam model project based cooperative learning guru berperan
sebagai fasilitator bagi kegiatan siswa dalam melaksanakan projek secara kooperatif.
Dengan bantuan guru siswa dapat meningkatkan kemampuan yang dimiliki melalui
proses pembelajaran. Model ini membutuhkan kemandirian dan kemampuan berpikir
tinggi dari siswa untuk menentukan topik hingga menyelesaikan projek, sehingga dapat
dilaksanakan sepenuhnya mulai pada jenjang SMP dan SMA/SMK.
Penerapan model ini dilakukan dengan memberikan siswa tugas mengembangkan
tema/ topik pembelajaran dengan melakukan kegiatan projek yang realistik. Sebagaimana
disampaikan Bender (2012: 7), pembelajaran yang menggunakan projek menjadikan
pembelajaran tersebut menarik karena tugas yang diberikan dihubungkan dengan masalah
yang ada di dunia nyata. Penerapan pembelajaran projek mendorong tumbuhnya
kreativitas, kemandirian, tanggungjawab, kepercayaan diri, serta berpikir kritis dan
analitis pada siswa. Berkaitan dengan hal ini perlu ada sistem dukungan dari lingkungan
siswa. Pengimplementasian model ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
berpikir dan karakter siswa dengan pendekatan ilmiah melalui projek dan pemerataan
penyampaian informasi melalui kelompok kooperatif.
Model PjBCL termasuk model yang jarang digunakan karena masih banyak guru
yang belum mengetahui model pembelajaran gabungan ini. Umumnya, guru baru
mengenal model project based learning. Berikut ini contoh video penerapan model
project based cooperative learning pada pembelajaran:
https://www.youtube.com/watch?v=wJz6QgSGGTs
Anda dapat menganalisis tahapan model pembelajaran pada video ini, untuk selanjutnya
dapat dijadikan pilihan model yang dapat diterapkan di sekolah guna meningkatkan
kemampuan berpikir siswa.

4. Model Pembelajaran Simulasi (role playing)


Penggunaan model simulasi sudah diterapkan di dalam dunia pendidikan lebih
dari tiga puluh tahun. Model pembelajaran ini berasal dari penerapan prinsip sibernetik.
Belajar dengan konsep sibernetik adalah proses mengalami konsekuensi lingkungan
secara sensorik dan melibatkan perilaku koreksi diri (self corrective behavior) sehingga
tercipta suatu lingkungan yang dapat menghasilkan umpan balik yang optimal bagi siswa.
Pelaksanaan model simulasi pada dasarnya digunakan untuk mengembangkan
pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa yang lebih banyak mengarah
kepada psikomotor agar kegiatan lebih bermakna bagi siswa.
Penyajian yang nyata pada model simulasi melibatkan siswa secara aktif dalam
berinteraksi dengan situasi di lingkungannya. Siswa mengaplikasikan pengetahuan yang
telah dipelajari sebelumnya dengan memperagakan dalam bentuk replikasi dan
visualisasi. Hal ini berguna untuk untuk memberikan respons (membuat keputusan atau
melakukan tindakan) untuk mengatasi masalah/situasi dan menerima umpan balik tentang
respons tersebut (Rheba & Thompson dalam Anitah, 2007). Penerapan model simulasi
menurut Trianto (2010: 140-141) terdapat beberapa jenis, diantaranya 1) sosiodrama, 2)
psikodrama, 3) role playing atau bermain peran, 4) peer teaching dan 5) simulasi game.
Penerapan model simulasi memiliki empat tahap menurut Joyce, Weil dan
Calhoun, (2009: 441-442). Tahap pertama yaitu orientasi, guru menyampaikan topik yang
akan dibahas dan konsep yang akan digunakan dalam aktivitas simulasi. Tahap kedua,
yaitu persiapan simulasi atau latihan partisipasi. Pada tahap ini guru menyusun sebuah
skenario yang memaparkan peran, aturan, proses, skor, jenis, keputusan yang akan dibuat
dan tujuan simulasi. Guru memimpin praktik dalam jangka waktu singkat untuk
memastikan bahwa siswa telah memahami semua arahan dan bisa melaksanakan
perannya masing-masing. Tahap ketiga, yaitu pelaksanaan simulasi. Siswa berpartisipasi
dalam permainan atau simulasi, dan guru/dosen juga memainkan perannya sebagai wasit
dan pelatih. Secara periodik, permainan simulasi bisa dihentikan sehingga siswa dapat
menerima umpan balik, mengevaluasi penampilan dan keputusan mereka serta
mengklarifikasi kesalahan-kesalahan konsepsi. Tahap keempat adalah wawancara
partisipasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh, guru dapat membantu siswa fokus pada hal-
hal melalui wawancara partisipasi. Berikut ini tabel sintak model pembelajaran simulasi
yang dapat diterapkan disekolah.

Tabel 3. Sintak Model Simulasi Adaptasi Joyce, Weil dan Calhoun (2009:442)
Tahap Pertama: Orientasi Tahap Kedua:Latihan Partisipasi
- Menyajikan topik luas mengenai simulasi - Membuat skenario (aturan peran, prosedur,
dan konsep yang dipakai dalam aktivitas skor, tipe, keputusan yang akan dipilih dan
simulasi tujuan
- Menjelaskan simulasi dan perma-inan - Menugaskan peran
- Menyajikan ikhtisar simulasi - Melaksanakan praktik dalam jangka waktu
yang singkat
Tahap Ketiga: Pelaksanaan Simulasi Tahap Keempat:Wawancara Partisipan
- Memimpin aktivitas permainan dan - Menyimpulkan kejadian dan persepsi
administrasi permainan - Menyimpulkan kesulitan dan pandangan-
- Mendapatkan umpan balik dan evaluasi pandangan
(mengenai penampilan dan pengaruh - Menganalisis proses
keputusan) - Membandingkan aktivitas simulasi dengan
- Menjelaskan kesalahan persepsi dunia nyata
- Melanjutkan simulasi - Menghubungkan aktivitas simulasi dengan
materi pembelajaran
- Menilai dan kembali merancang simulasi

Sistem sosial dalam model simulasi sangat kental, karena guru di dalam simulasi
harus dengan sengaja memilih aktivitas simulasi dengan cermat dan mengarahkan siswa
pada aktivitas yang telah digambarkan dimana kegiatan yang akan dilakukan telah
dirancang secara utuh dan padat mengenai suatu proses terstruktur. Senada dengan apa
yang diungkapkan oleh Winataputra (2001: 68) bahwa model simulasi termasuk dalam
model yang terstruktur. Dalam hal ini guru sangat berperan dalam merancang dan
mengkondisikan pembelajaran dalam suatu proses yang terstruktur dan memperhatikan
kerjasama antar peserta. Oleh karena itu menurut Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 443)
dalam sistem pembelajaran yang terstruktur ini dapat mengembangkan lingkungan
pembelajaran dengan interaksi kooperatif. Kesuksesan terakhir dalam simulasi juga
ditentukan oleh kerja sama dan kemauan untuk berpartisipasi dalam diri siswa. Di
samping mempelajari peran dan menjalankan suatu peran yang ditugaskan kepadanya,
siswa juga dilibatkan dalam aktivitas kerjasama. Dengan kerjasama siswa bisa saling
membagi gagasan dan saling mengevaluasi antar teman sebaya di samping evaluasi guru.
Oleh karena itu sistem sosial dalam model simulasi seharusnya dapat menciptakan
aktivitas pembelajaran yang menyenangkan dan penuh dengan kerjasama.
Seperti halnya cooperative learning, dalam model simulasi guru berperan sebagai
fasilitator, terutama dalam memfasilitasi pemahaman dan penafsiran tentang aturan
kegiatan simulasi. Hal paling penting yang perlu dilakukan oleh guru adalah memberikan
reaksi berupa umpan balik atau menarik benang merah terkait makna dari simulasi yang
telah dilakukan. Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 440) merumuskan empat hal yang perlu
dilakukan guru (pendidik) dalam model simulasi, yaitu:
1) Menjelaskan kepada siswa tentang aturan-aturan kegiatan simulasi, agar siswa
memahami aturan-aturan yang cukup memadai untuk bisa melaksanakan aktivitas-
aktivitas simulasi.
2) Mewasiti dan melihat apakah peraturan benar-benar diikuti dan ditaati, namun guru
seharusnya tidak terlalu ikut campur dalam kegiatan simulasi.
3) Melatih dan menjadi penasehat yang sportif bukan seorang pendakwah atau seorang
ahli suatu disiplin ilmu.
4) Melakukan diskusi bersama siswa tentang bagaimana kaitan simulasi dengan dunia
nyata, kesulitan dan pandangan yang dimiliki siswa dan hubungan yang ditemukan
antara simulasi dengan materi yang dipelajari.
Sarana yang diperlukan dalam menerapkan model pembelajaran simulasi ini juga
bervariasi. Sarana tersebut dapat berupa sesuatu yang sederhana dan murah seperti kartu
dan kelereng, dapat pula berupa sesuatu yang kompleks dan mahal seperti simulator
elektronik (Winataputra, 2001:68). Sarana tersebut diperlukan untuk menunjang
efektivitas simulasi untuk mendekati situasi nyata yang diinginkan. Dalam model
pembelajaran simulasi ditemukan dampak instruksional seperti: kapasitas pengajaran-diri,
pengetahuan dan skill, dan kepercayaan diri sebagai siswa. Sedangkan dampak
pengiringnya antara lain responsif pada umpan balik, kemandirian sebagai siswa, dan
sensitivitas pada hubungan sebab dan pengaruh (Joyce, Weil dan Calhoun, 2009: 444).
Salah satu bentuk model simulasi adalah role playing atau bermain peran.
Penerapan model simulasi dalam bentuk role playing dapat Anda simak dan pahami pada
link video berikut ini.
https://www.youtube.com/watch?v=u8sZFgZ0KYU
Video ini dapat dijadikan sebagai gambaran model simulasi di sekolah guna
meningkatkan aktivitas belajar siswa.
Kegiatan Belajar 2:
MEDIA PEMBELAJARAN
Uraian Materi
Pengalaman empirik observasi di sekolah, dan diskusi dengan Guru, ketika hasil belajar
peserta didik tidak memenuhi target yang diinginkan, pasti peserta didik sering menjadi
kambing hitam. Keluhan yang disampaikan, seperti peserta didik kurang memperhatikan
ketiga guru menerangkan pelajaran, peserta didik tidak dapat konsentrasi menerima pelajaran
dalam 90 menit, peserta didik lebih sering berbicara dengan teman dekatnya, dlsb. Keadaan
tersebut memang bisa terjadi. Tetapi sudahkan pada guru kelas atau guru mata pelajaran
melakukan refleksi diri terhadap kerja profesi sebagai pendidik profesional? Apakah para
guru telah menyiapkan segenap kemampuan pedagogik dalam mengajar peserta didik?
Selaras dengan tuntutan profesi sebagai pendidik, guru memiliki empat kompetensi
(kepribadian, profesional, pedagogik, dan sosial). Kemampuan mengembangkan dan
memanfaatkan media pembelajaran merupakan salah satu aspek kewajiban yang diemban
guru untuk mengembangkan kompetensi pedagogik, pada gilirannya dapat meningkatkan
aktivitas belajar lebih menarik, dan motivasi peserta didik.
A. Persepsi
Setiap peserta didik tentu memiliki pandangan atau pendapatnya masing-masing di
dalam melihat atau mendengar pesan (materi ajar) yang disampai guru (atau sumber belajar
lainnya). Perbedaan pendapat serta pandangan ini tentu saja akan ditindaklanjuti dengan
respon dan tindakan peserta didik yang berbeda. Konsep ini yang disebut dengan persepsi.
Persepsi dari peserta didik terhadap materi ajar akan menentukan bagaimana caranya
memandang sebuah mata pelajaran. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi persepsi
seorang peserta didik, antara lain:
1. Pengamatan, penginterpretasikan dari apa yang dilihat dan didengar oleh seseorang peserta
didik tergantung dari karakteristik pribadi yang dimilikinya,
2. Motif, alasan yang berada di balik tindakan yang telah dilakukan oleh seseorang peserta
didik yang mana mampu menstimulasi serta memberikan pengaruh yang cukup kuat
kepada pembentukan persepsi seseorang akan segala sesuatu yang ada.
3. Sikap atau attitude yang dimiliki seseorang juga akan mempengaruhi sebuah persepsi yang
dibentuknya mengenai hal-hal yang ada di sekitarnya.
4. Pengalaman, pengetahuan, ataupun kejadian sebagai pengalaman yang sudah pernah
dialami seseorang peserta didik,

1
5. Ketertarikan atau interest, fokus perhatian seseorang peserta didik pada hal-hal yang
sedang dihadapinya, sehingga membuat persepsi seseorang menjadi berbeda beda satu
sama lainnya.
6. Harapan atau ekspektasi, merupakan gambaran atau deskripsi yang dapat membentuk
sebuah pencitraan kondisi belajar.
Persepsi merupakan suatu proses yang bersifat kompleks yang menyebabkan peserta
didik dapat menerima dan/atau meringkas informasi yang diperolehnya dari lingkungan dan
pengalaman belajar (Fleming & Levie, 1981). Semua proses menerima pesan atau informasi
selalu di awali dengan persepsi setelah peserta didik menerima suatu stimulus atau pola
stimuli dari lingkungan pembelajaran. Karenanya persepsi dianggap sebagai tingkat awal
struktur kognitif seseorang peserta didik. Persepsi bersifat:
1. relatif, tidak absolut, tergantung pada pengalaman sebelumnya yang relevan,
2. selektif, tergantung pada pengalaman sebelumnya, minat, kebutuhan dan kemampuan
peserta didik untuk mengadakan persepsi, dan
3. sesuatu yang tidak teratur akan sukar dipersepsikan. Suatu objek akan dapat
dipersepsikan dengan baik apabila objek tersebut lebih menonjol dibandingkan dengan
lingkungannya.
Sejak awal menerima materi ajar, peserta didik sudah menangkap rangsangan
(stimulus) untuk dipersepsikan (seakurat mungkin) apa yang diajarkan guru. Kesalahan
dalam mempersepsi materi ajar, seringkali terjadi karena penyajian materi ajar terlalu banyak
pada kurun waktu tertentu, atau karena pengamatan (observasi) yang dilakukan peserta didik
terlalu cepat dan tidak teliti. Sekali peserta didik mempunyai persepsi yang salah materi ajar
yang disajikan guru, maka untuk selanjutnya akan sukar mengubah persepsi tadi, dengan
demikian peserta didik juga akan mempunyai struktur kognitif yang salah (Lawther, 1977).
Agar dapat kemampuan untuk mengadakan persepsi efektif, maka harus dikembangkan
kebiasaan (habit) peserta didik untuk belajar. Untuk membentuk persepsi yang akurat serta
mengembangkannya menjadi suatu kebiasaan, perlu adanya strategi pembelajaran yang
bervariasi (tidak monoton). Pengembangan strategi pembelajaran, sangat ditentukan
kemampuan guru dalam memilih dan menentukan metode dan media pembelajaran.

B. Peran Media Dalam Komunikasi Pembelajaran


Media adalah kata jamak dari medium, yang artinya perantara. Dalam proses
komunikasi pembelajaran, media hanyalah satu dari empat komponen yang harus ada.
Komponen tersebut, yaitu : sumber pesan, media pembelajaran, metode pembelajaran, dan

2
penerima pesan. Seandainya satu dari keempat komponen tersebut tidak ada, maka
komunikasi pembelajaran tidak optimal. Interaksi dan saling ketergantungan keempat
komponen dapat divisualkan seperti Gambar 1. Media pembelajaran harus diimplementasikan
secara simultan bersama metode pembelajaran oleh sumber pesan (guru), sehingga sumber
pesan (materi ajar) dapat diterima oleh penerima pesan (peserta didik) secara efisien dan
efektif.
Gambar 1, menunjukkan bahwa konsep sumber pesan atau penerima pesan adalah
konsep relatif. Artinya, di suatu saat seseorang guru dapat berperan sebagai sumber pesan
(menyampaikan materi ajar), namun pada saat lain (atau pada tempat yang berbeda), guru
bisa juga menjadi penerima pesan (menerima respon peserta didik). Pembelajaran abad 21,
guru lebih dominan berperan sebagai fasilitator belajar peserta didik. Guru memfasilitasi
peserta didik untuk berkomunikasi dengan banyak sumber belajar dalam lingkungan belajar
yang terencana.

Metode
Pembelajaran

Sumber Pesan Penerima Pesan


Media
Pembelajaran Sumber Pesan
Penerima Pesan

Gambar 1. Proses Komunikasi Dalam Pembelajaran

Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh efektif tidaknya komunikasi yang terjadi di


dalamnya. Komunikasi efektif dalam pembelajaran merupakan proses transformasi pesan
berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dari pendidik (guru) kepada peserta didik, dimana
peserta didik mampu memahami maksud pesan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan, sehingga terjadi perubahan tingkah laku menjadi lebih baik. Dengan demikian,
guru adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap berlangsungnya komunikasi yang
efektif dalam pembelajaran, sehingga guru dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi
yang baik agar menghasilkan proses pembelajaran yang efektif.

Dengan mentransformasi konsep Lasswell (1972) menekankan bahwa komunikasi


pembelajaran meliputi lima unsur , meliputi:

3
1. Komunikator (communicator, source, sender). Komunikator (guru) merupakan sumber dan
pengirim pesan. Kompetensi komunikator (guru) yang membuat komunikan (peserta
didik) percaya terhadap isi pesan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi.
2. Pesan (message). Pesan harus memiliki daya tarik tersendiri, sesuai dengan kebutuhan
komunikan (peserta didik), dan ada peran pesan dalam memenuhi kebutuhan komunikan.
Pesan dapat dirancang berupa Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), handout, wallchart,
jobsheet, program video instruksional, program multimedia pembelajaran, dlsb.
3. Media (channel, media). Sistem penyampaian berkaitan dengan media dan metode. Media
dan metode yang digunakan dalam proses komunikasi harus disesuaikan dengan strategi
pembelajaran, karakteristik komunikan (peserta didik), dan tujuan pembelajaran.
4. Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient). Agar komunikasi (peserta
didik) berjalan lancar, peserta didik harus mampu menafsirkan pesan, sadar bahwa pesan
sesuai dengan kebutuhannya, dan harus ada perhatian terhadap pesan yang diterima.
5. Efek (effect, impact, influence). Terjadinya efek dalam suatu proses komunikasi dalam
pembelajaran sangat tergantung dari guru dalam penyampaian materi serta kebutuhan
peserta didik. Dalam pembelajaran, efek dirancang guru dalam bentuk tujuan
pembelajaran.
Dalam pembelajaran berpusat pada guru (teacher center learning), media dan teknologi
digunakan untuk membantu komunikasi pembelajaran. Misalnya papan tulis elektronik
dimanfaatkan guru untuk menampilkan berbagai visual pertumbuhan penduduk Indonesia.
Dalam pembelajaran berpusat pada peserta didik (student center learning), pengguna utama
media dan teknologi adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik akan memanfaatkan media
komputer dan teknologi jaringan internet yang menampilkan pesan berupa data pertumbuhan
penduduk Indonesia. Dalam pembelajaran yang berpusat pada peserta didik memungkinkan
guru untuk menghabiskan waktu lebih banyak, untuk mengarahkan pembelajaran peserta
didik, menilai dan membimbing peserta didik secara individual (Smaldino at.al,2015).

C. Pengertian Media Pembelajaran


Dalam pembelajaran (instructional), sumber pesan dapat berupa sumber belajar,
antara lain: guru, instruktur, bahan ajar terprogram (multimedia), lingkungan belajar dan
sebagainya. Penerima pesan adalah: peserta didik, atau peserta didik.
Media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan (atau informasi) yang dapat
dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran (Schramm,1977). Briggs (1977) mendifinisikan
media pembelajaran sebagai sarana fisik untuk menyampaikan isi / materi pembelajaran.

4
Gagne (1990) mengartikan media pembelajaran sebagai jenis komponen dalam lingkungan
peserta didik yang dapat merangsang mereka untuk belajar. Arief S. Sadiman (1986)
menyampaikan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima, sehingga dapat merangsang pikiran,
perasaan, perhatian dan minat peserta didik agar terjadi proses belajar.
Dari keempat definisi di atas, terdapat perbedaan konsep media pembelajaran yang
sangat prinsip. Lakukan analisis dari keempat pendapat tersebut, selanjutnya guru dapat
menentukan pengertian yang relevan untuk pemanfaatan media dalam pembelajaran mata
pelajaran di unit satuan pendidikan masing-masing.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, optimalisasi penggunaan model pembelajaran dan
media pembelajaran sangat menentukan keberhasilan guru dalam mengelola pembelajaran
serta ketercapaian tujuan pembelajaran. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
pemilihan media pembelajaran yang tepat. Bagi guru yunior yang masih memiliki sedikit
pengalaman dalam mengelola pembelajaran, tidak jarang menemui realitas (misalnya capaian
hasil belajar peserta didik) yang berbeda dengan perencanaan pembelajaran sebelumnya.
Untuk itu, setiap guru yunior sangat perlu memahami berbagai karakteristik media
pembelajaran, dan cara pemanfaatannya.

A. Ciri-ciri Media Pembelajaran


Untuk mengenali beberapa alasan mengapa media pembelajaran digunakan, Gerlach
dan Ely (1971) mengemukakan tiga ciri media pembelajaran sebagai berikut:
1. Ciri fiksatif (fixative property). Ciri ini menggambarkan kemampuan media
pembelajaran untuk merekam, menyimpan, menampilkan, dan mengkonstruksi suatu
peristiwa atau obyek. Cara ini amat penting bagi guru karena kejadian-kejadian atau
objek yang telah direkam atau disimpan dengan format media yang ada dapat digunakan
setiap perkuliahan. Media pembelajaran dengan ciri tersebut yang dapat dikembangkan
seperti: photo, program video, program audio, program multimedia, file presentasi
komputer. Maka media pembelajaran memungkinkan suatu rekaman kejadian yang terjadi
pada satu waktu tertentu ditransportasikan tanpa mengenal waktu.
2. Ciri manipulatif (manipulatif property). Suatu kejadian yang memerlukan waktu
panjang (produksi berhari-hari) dapat disajikan kepada peserta didik dalam waktu dua
atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar atau time-lapse recording.
Kemampuan media dari ciri manipulative seperti ini, memerlukan tim pengembangan
yang memiliki keahlian subtansi (konten materi ajar) dan keahlian produksi, karena

5
apabila terjadi kesalahan dalam pengaturan kembali urutan kejadian atau potongan
bagian-bagian yang salah, maka akan terjadi pula kesalahan penafsiran yang tentu saja
akan membingungkan, dan bahkan menyesatkan peserta didik dalam pencapaian tujuan
pembelajaran yang diinginkan. Misalnya proses metamorphosis kupu-kupu. Proses larva
menjadi kepompong, kemudian menjadi kupu-kupu dapat dipercepat dengan teknik
rekaman fotografer di samping itu juga dapat diperlambat menayangkan kembali hasil
rekaman video. Selain itu juga bisa diputar mundur.
3. Ciri distributif (distributive property). Ciri distributif dari media memungkinkan suatu
objek atau kejadian ditrasnspormasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian
tersebut disajikan kepada peserta didik dengan stimulus pengalaman yang relatif sama
mengenai kejadian ini. Sekali materi ajar direkam dalam format media apa saja. Materi
ajar tersebut dapat direproduksi seberapa kali, serta siap disajikan secara bersamaan di
berbagai kelas, atau disajikan dalam tunda waktu di kelas berbeda. Konsistensi informasi
(materi ajar) yang telah direkam akan terjamin sama atau hampir sama dengan aslinya.

B. Fungsi Media Pembelajaran


Ada dua fungsi utama media pembelajaran yang perlu dieksplor oleh para guru, yaitu:
1. Media pembelajaran sebagai alat bantu dalam pembelajaran
Dipahami bahwa setiap materi ajar memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada
satu sisi ada materi ajar yang tidak memerlukan alat bantu, tetapi di sisi lain ada materi ajar
yang sangat memerlukan alat bantu berupa media pembelajaran. Media pembelajaran yang
dimaksud, antara lain berupa peta, grafik, gambar, model, simulator, dan sebagainya. Materi
ajar dengan tingkat kesukaran yang tinggi tentu sukar dipahami oleh peserta didik. Tanpa
bantuan media, maka materi ajar menjadi sukar dicerna dan dipahami oleh setiap peserta
didik. Hal ini akan semakin terasa apabila materi ajar tersebut abstrak, dan kompleks.
Sebagai alat bantu, media pembelajaran mempunyai fungsi untuk memperlancar
tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa kegiatan pembelajaran
dengan bantuan media pembelajaran dapat mempertinggi kualitas belajar peserta didik dalam
tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti, pengalaman belajar peserta didik dengan
bantuan media pembelajaran akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik
daripada tanpa bantuan media pembelajaran.
2. Media pembelajaran sebagai sumber belajar
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai bahan
pembelajaran untuk belajar peserta didik. Sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi

6
enam kategori, yaitu pesan, manusia, mesin, alat, strategi dan lingkungan. Media
pembelajaran, sebagai salah satu sumber belajar, dapat membantu guru dalam memudahkan
tercapainya pemahaman peserta didik terhadap materi ajar, serta dapat memperkaya wawasan
peserta didik.

C. Manfaat Media Pembelajaran


Secara umum manfaat media dalam pembelajaran adalah memperlancar interaksi
guru dengan peserta didik, dan membantu peserta didik belajar secara optimal. Namun
demikian, secara khusus manfaat media pembelajaran dikemukakan oleh Kemp dan Dayton
(1985), yaitu :
1. Penyampaian materi ajar dapat diseragamkan
Guru mungkin mempunyai gaya dan penafsiran yang beraneka ragam dalam
menyampaikan subtansi materi ajar. Untuk mata pelajaran yang diampu secara team
teaching dan banyak guru, maka dimungkinkan terjadi perbedaan penafsiran terhadap
materi ajar. Dengan media yang dirancang bersama, penafsiran yang beragam ini dapat
direduksi dan disampaikan kepada peserta didik secara seragam.
2. Proses pembelajaran menjadi lebih menarik
Media dapat menyampaikan materi ajar, yang dapat didengar (program audio) dan dapat
dilihat (media visual), sehingga dapat mendeskripsikan prinsip, konsep, proses atau
prosedur yang bersifat abstrak dan tidak lengkap menjadi lebih kongkrit dan lengkap.
3. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif
Jika dipilih dan dirancang dengan benar, media dapat membantu guru dan peserta didik
melakukan komunikasi dua arah secara aktif. Tanpa media, guru mungkin akan cenderung
berbicara “satu arah” kepada peserta didik.
4. Waktu belajar mengajar lebih efisien
Sering kali terjadi, para guru memerlukan waktu yang lama untuk menjelaskan materi ajar,
sehingga estimasi waktu yang disediakan tidak mencukupi. Padahal waktu untuk
menjelaskan dapat diefisienkan, jika guru memanfaatkan media pembelajaran dengan
baik.
5. Kualitas belajar peserta didik dapat ditingkatkan
Pemanfaatan media tidak hanya membuat proses pembelajaran lebih efisien, tetapi proses
pembelajaran dapat lebih ditingkatkan efektivitasnya untuk membantu peserta didik
menyerap materi ajar secara lebih mendalam dan utuh.

7
6. Proses pembelajaran dapat terjadi dimana saja dan kapan saja
Media pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa sehingga pembobotan belajar
terstruktur dan mandiri dapat peserta didik dilakukan untuk belajar dimana saja dan kapan
saja mereka mau, tanpa tergantung pada sumber belajar primer (guru).
7. Sikap positif peserta didik terhadap proses belajar dapat ditingkatkan
Dengan media, proses pembelajaran menjadi lebih menarik. Dan hal ini dapat
meningkatkan kecintaan dan apresiasi peserta didik terhadap ilmu pegetahuan yang telah
disampaikan guru, yang akhirnya mendorong peserta didik untuk aktif untuk mendalami
secara mandiri.
8. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif
Dengan media guru tidak perlu mengulang-ulang penjelasan dan dapat mengurangi
penjelasan verbal (lisan), sehingga guru dapat memberikan perhatian lebih banyak kepada
aspek pemberian motivasi, perhatian, dan pembimbingan peserta didik.

D. Klasifikasi Media Pembelajaran


Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses
penyampaian pesan dari sumber pesan, melalui saluran atau perantara tertentu, ke penerima
pesan. Di dalam pembelajaran pesan tersebut berupa materi ajar yang disampaikan oleh guru,
sedang saluran atau perantara yang digunakan untuk menyampaikan pesan/materi ajar adalah
media pembelajaran atau teknologi. Fungsi media pembelajaran dalam proses belajar mengajar
adalah untuk : (1) memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat verbalistis, (2) mengatasi
keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, (3) menghilangkan sikap pasif pada subjek belajar,
(4) membengkitkan motivasi pada subjek belajar. Untuk mendapatkan gambaran yang agak
rinci tentang macam-macam media pembelajaran, perlu diadakan pembahasan seperlunya
tentang taksonomi media pembelajaran.
Bretz (1972) mengidentifikasikan ciri utama media menjadi tiga unsur, yaitu unsure :
suara, visual, dan gerak. Media visual sendiri dibedakan menjadi tiga, yaitu: gambar, garis, dan
simbol, yang merupakan suatu bentuk yang dapat ditangkap dengan indera penglihatan. Di
samping ciri tersebut, Bretz (1972) juga membedakan antara media siar (telecomunication) dan
media rekam (recording), sehingga terdapat delapan klasifikasi media, yaitu: (1) media audio
visual gerak, (2) media audio visual diam, (3) media visual gerak, (4) media visual diam, (5)
media semi gerak, (6) media audio, dan (7) media cetak. Secara lengkap dapai dilihat pada
skema berikut ini.

8
Heinich, Molenda, & Russel, mengemukakan klasifikasi dan jenis media yang dapat
digunakan dalam kegiatan pembelajaran yaitu :
1. Media yang tidak diproyeksikan,
a. Realita : Benda nyata yang digunakan sebagai bahan belajar
b. Model: Benda tiga dimensi yang merupakan representasi dari benda
sesungguhnya
c. Grafis: Gambar atau visual yang penampilannya tidak diproyeksikan (Grafik, Chart,
Poster, Kartun)
d. Display: Medium yang penggunaannya dipasang di tempat tertentu sehingga dapat
dilihat informasi dan pengetahuan di dalamnya.
2. Media yang diproyeksikan (projected media), slide presentasi dengan LCD (liqiud Cristal
Diaplay),
3. Media audio, program audio, audio vission, aktive audio vission
4. Media video dan film,
5. Multimedia berbasis computer, Computer Assisted Instructional (CAI), program
multimedia pembelajaran,
6. Multimedia Kit, perangkat praktikum (program simulator,
Smaldino dkk (2015) menjelaskan enam klasifikasi utama dari media pembelajaran,
yaitu:
1. Media teks: buku cetak, modul pembelajaran, Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), e-
book, webpages,
2. Media audio: compact disk, presenter live, podcast
3. Media visual: poster, wallchart, photo, gambar yang interactive whiteboard,
4. Media video: program video pembelajaran, DVD (Digital Versatile Disc), streaming
video,
5. Media Manipulatif: mockup, trainning kit, berbagai bangun matematik, simulator.
6. Orang: dalam kenyataannya, orang sangat penting dalam belajar. Peserta didik di sekolah
belajar dari guru dan teman lainnya, di masyarakat peserta didik belajar dari orang
dewasa lainnya.

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan media pembelajaran


Dalam menentukan media pembelajaran yang akan dimanfaatkan dalam proses belajar
mengajar, pertama-tama seorang guru harus mempertimbangkan:
1. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai,

9
2. Karakteristik peserta didik,
3. Karakteristik media yang akan dimanfaatkan,
4. Jenis rangsangan belajar yang diinginkan (audio atau visual),
5. Ketersediaan sumber setempat,
6. Efektifitas biaya dalam jangka waktu panjang.

F. Perkembangan Pemanfaatan Media Pembelajaran sebagai Sumber Belajar


Media pembelajaran diciptakan untuk membantu guru dalam menyampaikan materi
pelajaran. Media pembelajaran awalnya berupa alat bantu visual untuk memberikan
pengalaman konkrit dan motivasi belajar. Contoh alat bantu visual: gambar, model, objek dan
lain-lain. pada awalnya media pembelajaran hanya berpusat pada alat bantu visual tanpa
memperhatikan apek desain, pengembangan dan evaluasi. Untuk menghindari verbalisme
karena alat bantu visual maka media pembelajaran di lengkapi dengan alat audio, sehingga
media yang digunakan menjadi audio visual. Fungsi media pembelajaran terus berkembang,
dimulai saat teori komunikasi pada tahun 1950 fungsi media pembelajaran yang semula
hanya sebagai alat bantu mengajar berkembang menjadi penyalur informasi. Pada tahun
1960-1965 diciptakan media yang dapat mengubah tingkah laku peserta didik sebagai hasil
proses belajar, buah pengembangan dari teori tingkah-laku (behaviorism theory) oleh B. F.
Skinner. Teori ini digunakan dalam ranah pendidikan untuk mengubah tingkah laku peserta
didik agar menjadi kebiasaan yang positif. Media instruksional terkenal yang dihasilkan dari
teori ini adalah teaching machine dan programmed instruction. Pada tahun 1965-1970
pendekatan sistem (system approach). Mendorong digunakan media sebagai integral dalam
program pembelajaran. Program pembelajaran direncanakan berdasar kebutuhan peserta
didik dan karakteristik yang nantinya tingkah laku peserta didik akan diubah sesuai dengan
tujuan yang akan di capai, menggunakan media yang telah di rancang secara seksama.
Gurupun mulai merencanakan kegiatan pembelajaran dengan media yang dibutuhkan. Seiring
berjalannya waktu peranan media pembelajaran meningkat muncul kekhawatiran jika media
pembelajaran akan menggeser guru sebagai sumber belajar. Kekhawatiran ini dipicu dengan
ditemukannya mesin cetak yang dapat menghasilkan buku teks sebagai salah satu sumber
belajar. Padahal selain sumber belajar guru juga memberikan perhatian dan bimbingan secara
individu terhadap peserta didik (Sadiman, 2014)
Menginjak abad ke-20 negara kita mengalami perkembangan era informasi yang
sangan pesat. Media pendidikanpun mengalami perkembangan dari media pembelajaran
sederhana seperti gambar, bagan, poster, rekaman suara menjadi multimedia pembelajaran

10
berupa video pembelajaran. Penggunaan multimedia pembelajaran diawali dengan
diudaranya Televisi Pendidikan oleh pihak swasta pada tahun 1991 (Susiliana & Riyana,
2008).
Di masa sekarang ini perkembangan Bentuk multimedia pembelajaranpun bervariatif.
Video pembelajaran dikembangkan bukan hanya siaran televisi namun dibuat dalam bentuk
DVD agar setiap sekolah dapat mempergunakan multimedia tersebut setiap saat. Sampai saat
teknologi Komputer masuk ke dunia pendidikan kita. Teknologi ini menjadi gebrakan baru
untuk membatu pembuatan media pembelajaran. Terbukti dari banyaknya bentuk media
pendidikan yang dapat dihasilkan, seperti: presentasi power point, buku/materi pembelajaran
berupa soft file, video pembelajaran, media pendidikan berupa software dan lain-lain.
kemudian media pembelajaran terus berkembang dengan adanya internet. Di internet kita
dapat mengakses berbagai macam hal tidak terkecuali materi pelajaran. Internet secara non-
formal menjadi salah satu media pendidikan bagi peserta didik, karena jangkauannya yang
luas, kelengkapan informasi, mudah digunakan dan dapat menarik minat peserta didik dengan
sendirinya.
Perkembangan media pada masa sekarang, sampai pada pemanfaatan media
pembelajaran menggunakan smart phone (ponsel pintar). Smart phone merupakan teknologi
terkini dalam bidang komunikasi. Dengan smart phone semua orang tidak hanya dimudahkan
dalam komunikasi saja, tapi dapat berbagi informasi dengan mudah dan gambang terlebih
karena ukuran smart phone yang kecil dan dapat dibawa kemana saja. Teknologi ini juga
dilengkapi dengan fitur dan aplikasi yang dapat dikembangkan untuk dunia pendidikan.
Aplikasi smart phone dapat dibuat dan dikembangkan untuk media pembelajaran, contoh
bentuk media pembelajaran dari aplikasi smart phone adalah: aplikasi game edukatif, aplikasi
materi pembelajaran interaktif, video tutorial.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berdampak pada kemudahan
memperoleh informasi dan mengembangkan strategi pembelajaran. Banyak dan beragamnya
informasi yang tersedia menuntut kemampuan seorang guru untuk menentukan strategi
pembelajaran yang tepat untuk menawarkan berbagai pengalaman kepada peserta didik
sehingga mampu membangun pemahamannya di lingkungan sekitarnya. Guru perlu
merencanakan dan mengelola lingkungan belajar yang menarik untuk memastikan bahwa
para peserta didik merasa tertantang dan ingin berhasil mencapai tujuan pembelajaran.
Kesiapan guru dalam merencanakan dan melaksanakan strategi pembelajaran akan
mempunyai dampak yang signifikan terhadap pencapaian hasil belajar peserta didiknya.
Strategi pembelajaran meliputi pemilihan model/metode pembelajaran, serta pemanfaatan

11
media pembelajaran dan sumber belajar. Oleh karena itu, guru perlu selektif dalam
menentukan strategi mengintegrasikan media pembelajaran dan sumber belajar ke dalam
pembelajaran. Adapun strategi yang akan dijelaskan pada kegiatan belajar ini antara lain: (a)
presentasi, (b) demonstrasi, (c) latihan (drill and practice), (d) tutorial, dan (e) diskusi.
1. Strategi Presentasi
Di dalam presentasi, sumber menjelaskan, menceritakan, atau menyampaikan informasi
(materi ajar) kepada peserta didik. Komunikasi di dalam presentasi dikontrol oleh sumber
dengan respon (dari peserta didik) secara terbatas. Guru sebagai salah satu sumber
komunikasi. Sumber belajar yang lain bisa berupa buku teks, situs internet, program audio,
program video, program multimedia, dan lain sebagainya. Seorang guru yang menyajikan
presentasi bisa dilakukan dengan menyisipkan pola komunikati interaktif, di mana peserta
didik bisa bertanya, memberi respon dengan menjawab, mengklarifikasi atas inisiatif sendiri
maupun ditunjuk oleh guru. Atau, peserta didik dapat menanyakan berkaitan dengan materi
yang sedang dipresentasikan.

Gambar 2. Guru mempresentasikan materi pelajaran di kelas


(Sumber: www.google.com)

• Keunggulan
Strategi presentasi mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya (a) penyajian materi
ajar (realtime) hanya sekali untuk didengarkan oleh semua peserta didik, dan informasi yang
disajikan tidak berulang-ulang sehingga lebih efesiensi waktu, (b) peserta didik dapat
mengunakan berbagai strategi untuk menangkap informasi (materi ajar) yang dipresentasikan
guru. Kegiatan peserta didik, selain mendengar, juga mencatat, menggambar atau bahkan
merekam, serta (c) teknologi dan media yang ada saat ini, dapat menyajikan sumber
informasi yang berkualitas.

12
• Keterbatasan
Strategi presentasi juga memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya: (a) dianggap sulit
untuk beberapa peserta didik, karena tidak semua peserta didik memiliki kemampuan
mempersepsi dan merespon informasi (materi ajar) secara baik dan cepat, (b) presentasi yang
tidak memberi kesempatan untuk berinteraksi, berpotensi membosankan, (c) peserta didik
yang memiliki keterampilan kurang dalam mencatat akan kesulitan untuk menangkap
informasi, (c) sulit untuk menerapkan presentasi pada peserta didik kelas rendah karena
mereka belum mampu berpikir secara abstrak.
• Integrasi dalam Pembelajaran
Terdapat beberapa sumber belajar yang relevan untuk dimanfaatkan memperkaya
informasi. Dalam presentasi, tidak harus selalu membuat peserta didik berdiri di depan kelas.
Membaca buku, mendengarkan program audio, menonton program video, merupakan contoh
dari strategi presentasi. Meskipun tidak selalu dipertimbangkan sebagai pendekatan
pembelajaran yang paling tepat untuk digunakan, strategi presentasi dapat digunakan dengan
cara yang efektif. Karakteristik peserta didik (khususnya umur dan pengalaman peserta
didik) akan menjadi faktor pertimbangan bagi guru untuk menentukan kapan strategi
presentasi tepat untuk digunakan.

2. Strategi Demonstrasi
Di dalam strtaegi demonstrasi, peserta didik dapat mengamati secara intensif
keterampilan atau prosedur yang ditampilkan oleh sumber secara faktual dan kongkrit.
Demonstrasi dapat dilakukan oleh guru, atau sumber program video yang diputar ulang
dengan menggunakan media (video player). Jika menginginkan terjadi interaksi dua arah atau
praktik dengan umpan balik, maka diperlukan kehadiran guru, instruktur atau tutor. Strategi
demonstrasi biasanya diperlukan untuk menunjukkan sesuatu proses, prosedur atau unjuk
kerja. Di dalam pembelajaran sering dilakukan bentuk demonstrasi oleh guru, instruktur atau
tutor, selanjutnya diikuti oleh kegiatan eksperimen. Dalam kegiatan eksperimen peserta didik
mempraktikan proses, prosedur atau ujuk kerja yang baru saja diamati, dilihat dan didengar
dengan bimbingan guru, instruktur atau tutor.

13
Gambar 3. Contoh penerapan strategi demonstrasi
• Keunggulan
Strategi demonstrasi merupakan salah satu metode yang tepat, sebelum peserta didik
melakukan langsung (learning by doing) dengan obyek praktikum. Strategi demonstrasi
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain (a) peserta didik mendapatkan keuntungan
dengan melihat sesuatu sebelum mereka melakukannya (seeing before doing), (b) guru dapat
memandu kelompok besar untuk menyelesaikan tugas yang diberikan (task guidance), (c)
lebih ekonomis karena tidak perlu menyiapkan bahan pembelajaran untuk masing-masing
peserta didik (economy of supplies), (d) meminimalisir bahaya praktikum, karena guru dapat
mengontrol bahan-bahan yang berpotensi bahaya terhadap peserta didik.
• Keterbatasan
Strategi demonstrasi juga memiliki beberapa keterbatasan, yaitu (a) peserta didik tidak
mengalaminya secara langusung (hanya menyaksikan demonstrasi), kecuali bagi peserta
didik yang melakukan demonstrasi (karena dianggap telah memiliki kemampuan dan
keterampilan yang baik), (b) setiap peserta didik mungkin memiliki keterbatasan penglihatan
dan pendengaran yang berbeda-beda dalam menyaksikan demonstrasi, sehingga
dimungkinkan ada beberapa aspek yang terlewatkan oleh peserta didik, dan (c)
memungkinkan tidak semua peserta didik mengikuti demonsrasi apabila hanya menggunakan
satu cara.
• Integrasi dalam Pembelajaran
Bagaimana mengintegrasikan strategi demonstrasi dalam Pembelajaran? Perhatikan
penjelasan berikut. Guru dapat menggunakan berbagai sumber belajar untuk menunjang
demonstrasi yang dilakukan. Guru dapat menyiapkan sebuah program video demonstrasi
sebelum pembelajaran dimulai, kemudian menayangkannya di dalam kelas dan berbicara
kepada para peserta didik mengenai apa yang akan mereka saksikan. Hal ini dapat mewakili
Guru dalam melakukan demonstrasi proses, prosedur atau unjuk kerja yang komplek. Guru

14
dapat mengontrol dengan menghentikan sementara (puase), atau memutar balik rekaman
program video untuk memperjelas dan penguatan materi ajar, serta guru dapat menberi
penjelasan tambahan tentang keselamatan kerja. Ini efektif jika prosedur demontrasi cukup
kompleks. Anda juga dapat menggunakan objek sebenarnya untuk melakukan demonstrasi.
Satu hal yang perlu diperhatikan, pastikan semua peserta didik dapat menyaksikan
demonstrasi tersebut dengan saksama. Demonstrasi dapat di lakukan di depan kelas satu
demonstrasi untuk semua peserta didik, kelompok kecil, maupun secara individu bagi peserta
didik yang memerlukan penjelasan tambahan secara khusus bagaimana menyelesaikan tugas
tersebut.
3. Strategi Latihan (drill and practice)
Strategi drill and practice merupakan serangkaian latihan kognitif (thingking skills) dan
latihan keterampilan (motor skills) yang didesain untuk menyegarkan atau meningkatkan
pengetahuan yang spesifik atau keterampilan yang baru. Tujuan dari strategi drill and
practice yaitu peserta didik menjadi ahli atau belajar tanpa adanya kesalahan. Strategi ini
menganggap bahwa peserta didik sebelumnya telah mendapatkan pembelajaran secara
konsep, prinsip, atau prosedur yang mereka kerjakan. Agar lebih efektif, strategi ini perlu
disertai dengan umpan balik untuk memperkuat hasil yang benar dan memperbaiki kesalahan
yang terjadi selama pembelajaran.

Gambar 4. Strategi drill and practice dalam


pembelajaran matematika (Sumber: www.google.com)

• Keunggulan
Beberapa keunggulan strategi drill and practice yaitu: (a) peserta didik mendapatkan
umpan balik yang sesuai dengan respon yang diberikan (corrective feedback), (b) informasi

15
disajikan dalam bentuk kecil-kecil (small chunks) sehingga memberikan kesempatan kepada
peserta didik meninjau kembali materi tersebut, dan (c) latihan yang dibangun dalam
informasi yang kecil-kecil memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengujicobakan pengetahuan baru tersebut melalui beberapa cara yang positif.
• Keterbatasan
Beberapa keterbatasan dalam strategi drill and practice antara lain sebagai berikut: (a)
pengulangan terus menerus. Tidak semua peserta didik menyambut baik pengulangan yang
terjadi selama drill and practice. (b) cenderung membosankan. Beberapa materi dalam drill
and practice memiliki cukup banyak item sehingga dapat membuat peserta didik menjadi
bosan karena terlalu banyak pengulangan dengan item yang monoton. (c) potensi belajar.
Apabila peserta didik membuat kesalahan berulang-ulang, penggunaan strategi drill and
practice secara terus menerus tidak akan membantu peserta didik belajar.
• Integrasi dalam Pembelajaran
Strategi Drill and practice biasa digunakan untuk tugas-tugas seperti mempelajari
matematika, bahasa asing dan membangun kosa kata. Banyak aplikasi komputer multimedia
yang menawarkan kesempatan pada peserta didik untuk meninjau kembali informasi serta
melatih pengetahuan dan keterampilan mereka. Kaset audio, flash card, dan lembar kerja
dapat digunakan secara efektif untul drill and practice dalam belajar mengeja (spelling),
aritmatika, dan bahasa. Peserta didik dapat bekerja secara berkelompok melalui drill and
practice. Guru dapat menunjuk peserta didik yang memiliki kemampuan lebih untuk
dikelompokan bersama peserta didik yang masih perlu ditingkatkan kemampuannya.
Pekerjaan rumah yang didesain agar peserta didik dapat berlatih di luar kelas, dapat
disajikan dalam bentuk drill and practice. Guru perlu mempertimbangkan nilai dari pekerjaan
rumah tersebut dan seberapa baik persiapan peserta didik untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Banyak orang tua yang mengeluhkan atau bahkan menjadi stres dengan pekerjaan rumah
anaknya karena tidak familiar dengan subtansi materi ajar. Dalam memberikan pekerjaan
rumah sebaiknya materi yang telah disajikan di kelas atau mungkin beberapa persoalan yang
menantang sebagai tugas tambahan. Peserta didik akan menemukan nilai dari pekerjaan
rumah ketika tugas tersebut memberikan latihan yang dapat memperkuat apa yang telah
dipelajarinya di dalam kelas.
4. Strategi Tutorial
Strategi tutorial dilakukan untuk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan
dalam belajar. Tutorial biasanya dilakukan tatap muka dengan peserta didik secara individual,

16
dan sering digunakan untuk mengajarkan keterampilan dasar seperti membaca dan aritmatika.
Perbedaan antara tutorial dan drill and pravtice adalah tutorial memperkenalkan dan
mengajarkan materi baru, sedangkan drill and practice berfokus pada konten yang telah
dipelajari dalam format lain (misalnya latihan mengerjakan soal dan pengulangan sampai
mencapai ketuntasan hasil belajar). Peserta didik biasanya berkerja secara mandiri atau satu-
satu yang dilengkapi dengan beberapa latihan dengan umpan balik disetiap bagiannya.
• Keunggulan
Dibandingkan dengan strategi lainnya, tutorial memiliki beberapa keuntungan, di
antaranya (a) peserta didik dapat bekerja secara mandiri pada saat ada materi baru dan
menerima umpan balik kemajuan belajar; (b) peserta didik dapat belajar sesuai dengan
kecepatannya, mengulangi informasi jika dibutuhkan sebelum beralih ke materi selanjutnya;
dan (c) tutorial berbasis komputer (multimedia model tutorial) dapat merespon jawaban
peserta didik secara langsung dan cepat. Respon komputer memberikan tindak lanjut kegiatan
belajar, apakah peserta didik belajar ke topik berikutnya, atau peserta didik ikut program
meremedial.

Gambar 5. Kegiatan tutorial (Sumber: www.google.com)

• Keterbatasan
Sama halnya dengan strategi lainnya, tutorial juga memiliki kelemahan, antara lain (a)
adanya pengulangan dapat menyebabkan peserta didik menjadi bosan jika materi yang
disajikan hanya dalam bentuk satu pola saja, (b) dapat menyebabkan peserta didik menjadi
frustasi jika tidak terlihat kemajuan belajarnya saat tutorial, serta (c) berpotensi adanya
kesalahan dalam membimbing peserta didik.
• Integrasi dalam Pembelajaran

17
Kegiatan tutorial dapat berupa pembelajaran guru dengan peserta didik, antar peserta
didik (peer tutoring), komputer dengan peserta didik (computer assisted tutorial), dan buku
dengan peserta didik. Guru dapat bekerja dengan peserta didik secara individual maupun
kelompok kecil, membimbing peserta didik sesuai dengan kecepatan belajarnya. Strategi
tutorial dengan sumber belajar: guru, program komputer multimedia, sangat cocok untuk
peserta didik yang memiliki kesulitan belajar dalam kelompok besar. Dengan demikian, guru
dapat mempertimbangkan pemanfaatan media pembelajaran atau sumber belajar dalam
strategi tutorial. Saat ini, banyak model multimedia yang didesain untuk membantu
menyajikan pembelajaran kepada peserta didik, Misalnya: sistem pembelajaran terintegrasi
(integrated learning system), model blanded learning.
5. Strategi Diskusi
Strategi pembelajaran diskusi merupakan aktivitas belajar bertukar ide, gagasan dan
opini antar peserta didik, maupun antara peserta didik dengan guru. Diskusi dapat digunakan
di setiap pembelajaran dalam kelompok kecil maupun besar. Ini merupakan cara yang tepat
digunakan untuk menilai pengetahuan, keterampilan, dan sikap sekelompok peserta didik.
Strategi diskusi relevan untuk memberikan pengalaman belajar baru, terutama ketika pada
pengenalan topik baru, atau pada awal tahun ajaran baru ketika guru belum mengenali peserta
didik secara lebih dalam.

Gambar. 6. Siswa melakukan diskusi di kelas


(Sumber: www.google.com)

Diskusi dapat dipimpin oleh guru dengan memberikan pertanyaan pengantar, untuk
mengetahui respon dari peserta didik. Hendaknya guru tidak memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang menghendaki jawaban faktual sederhana, karena tidak memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir. Sebaiknya diawali dengan pertanyaan
“bagaimana” atau “mengapa” untuk mendorong terjadinya diskusi.

18
• Keunggulan
Strategi diskusi memiliki beberapa kengggulan, di antaranya: (a) diskusi biasanya lebih
menarik bagi peserta didik daripada duduk dan mendengarkan sesorang menceritakan suatu
fakta, (b) peserta didik merasa tertantang untuk memikirkan tentang topik dan penerapan apa
yang telah mereka ketahui, (c) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
membawa ide baru dalam menyajikan informasi.
• Keterbatasan
Strategi diskusi juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain (a) memungkinkan
tidak semua peserta didik ikut berpartisipasi, sehingga sebaiknya guru harus menyakinkan
kepada semua bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk berbicara, (b) terkadang peserta
didik tidak belajar di luar dari apa yang telah mereka ketahui dan kurang tertantang untuk
memperluas pengalaman belajarnya, (c) beberapa pertanyaan yang dilontarkan mungkin
terlalu sulit bagi peserta didik untuk berpikir sesuai dengan tingkat pengetahuannya, serta (d)
diskusi mungkn bukan strategi yang efektif digunakan kepada peserta didik kelas rendah,
yang masih membutuhkan penjelasan langsung dari guru.
• Integrasi dalam Pembelajaran
Diskusi merupakan cara yang efektif untuk memperkenalkan suatu topik baru.
Menyaksikan sebuah program video pembelajaran, memberikan pengalaman belajar yang
biasa. Namun jika program video itu diangkat menjadi sebuah isu, maka akan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berdiskusi, bertukar pikiran atau opini. Setelah
melakukan diskusi, selanjutnya ada forum tanya jawaban untuk memperkuat pemahaman
peserta didik.
G. Pengertian Multimedia Pembelajaran
Pada tahun 80-an, konsep multimedia mulai bergeser sejalan dengan perkembangan
teknologi komputasi yang demikian cepat. Saat ini istilah multimedia diartikan bentuk
transmisi teks, audio dan grafik dalam periode bersamaan (Simonson dan Thompson, 1994).
Sementara itu, Gayestik memberi pengertian istilah “multimedia” dimaknai sebagai suatu
sistem komunikasi interaktif berbasis komputer yang mampu menciptakan, menyimpan,
menyajikan dan mengakses kembali informasi berupa teks, grafik, suara, video atau animasi
(Gayestik,1992). Dengan perkembangan teknologi komputer saat ini, sudah memungkinkan
untuk menyimpan, mengolah dan menyajikan kembali unsur media: teks, gambar, suara dan
video dalam format digital. Hooper (2002) menyebutkan bahwa multimedia sebagai media
presentasi berbeda dari multimedia sebagai media peserta didikan. Media presentasi tidak

19
menuntut peserta didik berinteraktivitas secara aktif di dalam penyajiannya, sekalipun ada
interaktif maka interaktif tersebut hanya berbentuk interaktivitas yang samar (covert). Lalu
bagaimana dengan istilah multimedia peserta didikan?
Hackbart (1996) mendefinisikan Multimedia pembelajaran sebagai suatu program
Pembelajaran yang mencakup berbagai sumber yang terintegrasi berbagai unsur-unsur media
dalam suatu program (software) komputer. Program komputer tersebut secara sengaja
dirancang dalam bagian-bagian dan secara terstruktur memberi peluang untuk terjadinya
interaktivitas antara pengembang dengan peserta didik (peserta didik) secara fleksibel,
sehingga terjadi proses belajar pada diri peserta didik. Multimedia pembelajaran melibatkan
peserta didik dalam aktivitas-aktivitas yang menuntut proses mental di dalam peserta didikan.
Dari perspektif ini aktivitas mental spesifik yang dibutuhkan untuk terjadinya Pembelajaran
dapat dibangkitkan melalui manipulasi peristiwa-peristiwa instruksional (instructional
events) yang sistematis. Disini Hooper secara tegas menyatakan peran penting suatu desain
instruksional di dalam multimedia pembelajaran (educational multimedia).
Johnston (1990) mendefinisikan multimedia pembelajaran sebagai kemampuan untuk
memproses berbagai jenis “media'” yaitu, teks, data grafis, gambar diam, animasi, video,
audio, dan efek khusus pada komputer pada waktu yang sama. Program multimedia dapat
disajikan pada satu layar, dua layar, monitor digital, Liquid Cristal Display, atau projector.
Dengan demikian, pengertian multimedia pembelajaran adalah program instruksional
yang mencakup berbagai unsur media (teks, gambar diam, suara, video, dan animasi) yang
terintegrasi dalam instruksi program sistem komputer. Program multimedia pembelajaran
dapat dirancang dan dikembangkan secara linear maupun secara interaktif. Multimedia
pembelajaran linier suatu multimedia pembelajaran yang tidak dilengkapi dengan alat
pengontrol apapun yang dapat dioperasikan oleh penguna (peserta didik) multimedia.
Multimedia pembelajaran interaktif adalah suatu multimedia pembelajaran yang dilengkapi
dengan alat pengontrol sistem komputer yang dapat dioperasikan oleh peserta didik (peserta
didik), sehingga peserta didik dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses
pemberdayaan belajar selanjutnya. Dengan demikian multimedia pembelajaran interaktif
adalah paket multimedia pembelajaran yang diaplikasikan dalam pembelajaran, dimana
desain dan pengembanganannya sesuai dengan sistem instruksional untuk melibatkan atau
memperdayakan peserta didik secara aktif di dalam proses pembelajaran.

20
H. Prinsip-prinsipMultimedia Pembelajaran
Mayer (2009) menyatakan prinsip multimedia pembelajaran adalah peserta didik dapat
belajar lebih baik dengan gambar dan kata-kata dari pada hanya kata-kata saja. Kemudian
Mayer mengklarifikasikan prinsip multimedia menjadi beberapa jenis yaitu:
a. Prinsip kedekatan ruang: gambar dan kata-kata akan lebih baik jika di letakkan
berdekatan,
b. Prinsip kedekatan waktu: gambar dan kata-kata yang berkaitan dapat disajikan secara
bersamaan,
c. Prinsip koherensi: tidak perlu menambah unsur media lain yang kurang relevan dengan
materi yang disampaikan, membuat multimedia pembelajaran yang singkat padat dan
jelas,
d. Prinsip modalitas: saat membuat animasi dalam multimedia pembelajaran, baiknya kata-
kata disajikan dalam bentuk suara narasi bukan berupa teks on screen.
e. Prinsip redundansi: animasi dalam multimedia cukup diberi suara narasi, dan tidak perlu di
tambah teks yang mengulangi narasi.
f. Prinsip perbedaan individual: multimedia membantu peserta didik yang berpengetahuan
kurang (atau rendah) untuk lebih memahami materi pembelajaran.

21
Kegiatan Belajar- 3:
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR

Uraian Materi.
Abad-21, yang merupakan abad pengetahuan dan teknologi, khususnya
teknologi komunikasi dan informasi, sangat memungkinkan bagi para siswa,
sebagai subjek belajar, dapat belajar apa saja, kapan saja, dan di mana saja, baik
yang sengaja dirancang maupun yang tinggal diambil manfaatnya. Peran guru
menjadi sedikit berubah. Guru menjadi bukan satu-satunya sumber belajar. Selain
dirinya, guru dapat mengembangkan dan memanfaatkan beraneka sumber belajar
untuk memfasilitasi belajar anak didiknya.
Dalam proses pembelajaran, di mana dalam belajar siswa dibatasi, “diikat”,
atau dikontrol oleh tujuan-tujuan kurikuler dalam kurikulum, materi atau bahan
yang dipelajari perlu dipilih dan disesuaikan dengan tujuan tersebut. Pada saat
inilah peran guru dan bahan ajar menjadi penting dan urgen untuk memfasilitasi
belajar siswa baik di sekolah maupun ketika belajar di rumah atau di manapun
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kurikuler yang telah ditetapkan.
Bahan ajar yang digunakan guru dan siswa dalam pembelajaran, jika
dirancang dan dikembangkan dengan cermat dan sesuai prosedur yang benar
mengacu pada prinsip-prinsip pembelajaran dan prinsip desain pesan yang efektif
bagi proses belajar siswa, akan sangat efektif dalam menunjang atau memfasilitasi
proses belajar mereka. Dengan bahan ajar siswa dapat mengulang mempelajari
materi kembali di rumah.
Mengembangkan bahan ajar merupakan salah satu kemampuan yang harus
dimiliki oleh guru (Sadjati, dalam Tian Belawati, 2003). Kemampuan itu harus
diwujudkan dalam upaya menyediakan berbagai bahan ajar yang dibutuhkan
siswa dalam rangka mencapai kompetensi yang diharapkan. Sebagai guru,
sekaligus pengembang bahan ajar, guru merupakan orang yang paling
bertanggungjawab dalam pengaturan penyampaiann informasi dan penataan
lingkungan dalam proses penguasaan ilmu pengetahuan anak didik. Dalam
mengembangkan bahan ajar, apapun bentuk dan jenisnya, Anda perlu mengacu
pada sumber acuan utama yaitu tujuan kurikulum yang harus dikuasai siswa.
Selain itu, ketika mengembangkan bahan ajar Anda juga perlu
mempertimbangkan karakteristik siswa agar bahan ajar dapat dipelajari dengan
baik oleh siswa. Agar dapat mengembangkan bahan ajar, mari kita pahami
bersama terlebih dahulu pengertian, karakteristik dan jenis-jenis bahan ajar, baik
tercetak maupun noncetak (offline-online), dan prosedur pengembangannya.

A. Pengertian dan Karakteristik Bahan Ajar.


Definisi bahan ajar dapat kita temukan di berbagai literatur. Dalam kegiatan
belajar ini disampaikan beberapa definisi yang lebih sesuai dengan maksud modul
ini. Menurut Pannen (1995), bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi pelajaran
yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan siswa dalam proses
pembelajaran. Selanjutnya, bahan ajar menurut Heman D. Surjono (2013) bahan
ajar adalah segala bentuk bahan (informasi, alat, dan teks) yang digunakan oleh
guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Depdikbud (2008:6)
juga mendefinisikan bahan ajar sebagai segala bentuk bahan yang digunakan
untuk membantu guru dan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Surjono dan Depdikbud menambahkan bahwa bahan ajar itu bias tertulis dan tidak
tertulis. Dengan demikian, mengacu pada definisi-definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi pelajaran yang
disusun secara sistematis, tertulis atau tidak tertulis, yang digunakan guru dan
siswa dalam proses pembelajaran atau kegiatan belajar-mengajar dalam upaya
memfasilitasi belajar siswa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
Ada dua hal penting dalam definisi bahan ajar tersebut yaitu bahwa bahan
ajar itu adalah “bahan atau materi pelajaran” dan bahawa bahan ajar itu “disusun
secara sistematis”. Bahan ajar itu merupakan bahan atau materi pelajaran, artinya
jika bahan ajar itu tidak memuat materi pelajaran, maka bahan itu sesungguhnya
bukan yang dimaksud bahan ajar. Begitu juga, untuk dapat disebut sebagai bahan
ajar, suatu bahan ajar harus disusun secara sistematis; artinya, selain materinya
disusun secara runtut menurut struktur tertentu, logis, dan uraiannya mengalir dan
mudah diikuti dan dipahami pembaca, bahan ajar tersebut juga harus memuat
komponen-komponen ajar (kompenen sistem pembelajaran) yang lengkap, dalam
uraian materinya dilengkapi dengan contoh-contoh, ilustrasi dan latihan-latihan
atau tugas yang sesuai dengan tujuan dan materi. Secara tampilan dan format,
bahan ajar harus menarik untuk dipelajari, konsisten (ajeg) dan tertib
pemaparannya.
Mengembangkan atau menulis bahan ajar merupakan salah satu tugas
profesional dan kemampuan yang harus dimiliki oleh guru (Sadjati, dalam Tian
Belawati, 2003; Purwanto dan Sadjati, dalam Dewi Padmo, dkk, 2004). Jika
dirancang dengan benar, bahan ajar akan efektif dalam menunjang proses belajar
dan pembelajaran guru dan siswa. Untuk dapat mengembangkan bahan ajar yang
efektif guru, sebagai pengembang/penulis bahan ajar perlu memahami
karakteristik bahan ajar yang baik.
Karakteristik bahan ajar, terutama untuk bahan ajar mandiri, mengacu pada
pendapat Dewi Padmo, dkk, 2004) antara lain adalah: 1) bahan ajar itu dapat
dipelajari sendiri oleh peserta didik, bahkan tanpa bantuan guru (self-
instructional), 2) bahan ajar itu mampu menjelaskan sendiri karena disusun
mengunakan bahasa sederhana dan isinya runtut, sistematis (self-explanatory
power, (3) bahan ajar itu lengkap dengan sendirinya sehingga siswa tidak perlu
tergantung bahan lain (self-contained), 4) bahan ajar itu didesain sesuai dengan
kemampuan dan karakteristik peserta didik yang belajar. Selain itu, bahan ajar
yang baik itu juga adaptif, disampaikan dengan bahasa yang komunikatif, dan
mudah atau fleksibel dipelajari atau dioperasikan (user friendly).
Purwanto dan Sadjati (dalam Dewi Padmo, 2004) menjelaskan lebih khusus
tentang karakteristik bahan ajar yang baik. Menurut kedua ahli tersebut, bahan
ajar yang baik memenuhi kriteria berikut: pertama, kriteria tentang isi, berarti isi
bahan ajar yang baik harus sesui dengan tujuan pembelajaran, akurat, mutakhir,
komprehensif cakupan isinya, tepat dalam menyikapi ras dan agama, dan jenis
kelamin; memuat daftar pustaka, senarai, dan indeks. Kedua, kriteria penyajian,
berarti bahan ajar yang baik harus menyajikan materi secara menarik perhatian
anak, materi terorganisasi secara sistematis, terdapat petunjuk belajar, mampu
mengajak pembaca untuk merespon, berkonsentrasi, gaya bahasa, warna, dan
sebagainya. Ketiga, kriteria tentang ilustrasi, berarti bahan ajar yang baik
memuat ilustrasi yang sesuai, ilustrasi sesuai/terkait dengan teks, penempatan
ilustrasi tepat; ukuran, fokus, dan tampilan seimbang dan serasi. Keempat,
kriteria unsur pelengkap, bahan ajar yang baik dilengkapi petunjuk dan tes.
Kelima, kriteria tentang kualitas fisik, artinya bahan ajar yang baik dicetak dan
dijilid dengan baik, kertas yang digunakan bermutu, serta jenis dan ukuran huruf
yang digunakan tepat sesuai karakteristik peserta didik penggunanya.
Heinich, dkk. (1996) mengelompokkan jenis bahan ajar berdasarkan cara
kerjanya, di antaranya adalah:
 Bahan ajar yang tidak diproyeksikan, seperti foto, diagram, display,
model;
 Bahan ajar yang diproyeksikan, seperti slide, filmstrips, overhead
transparencies, proyeksi komputer;
 Bahan ajar audio, seperti kaset dan compact disc;
 Bahan ajar video, misalnya video dan film; serta
 Bahan ajar (media) komputer, misalnya Computer Mediated
Instruction (CMI), Computer Based Multimedia atau Hypermedia.
Lain halnya menurut Sadjati (2012:1.7), bahan ajar dapat dikategorikan
kedalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu bahan ajar cetak dan bahan ajar non
cetak. Jenis bahan ajar cetak yang dimaksud Sadjati tersebut adalah modul,
handout, dan lembar kerja siswa (LKS). Selanjutnya Sadjati mengelompokkan
bahan ajar noncetak di antarnya adalah realia, bahan ajar yang dikembangkan dari
barang sederhana, bahan ajar diam dan display, video, audio dan overhead
transparencies (OHT).
Bahan ajar yang akan dibahas dalam kegiatan belajar ini dibatasi hanya dua
kelompok yaitu bahan ajar cetak dan noncetak. Bahan ajar cetak yang akan
diuraikan meliputi modul, handout, dan LKS. Sedangkan bahan ajar noncetak
dibatasi pada bahan ajar Audio, Video, Presentasi, Modul Elektronik, Multimedia
Pembelajaran Interaktif.
B. Aspek-aspek Pengembangan Bahan Ajar Cetak
Bahan ajar, termasuk bahan ajar cetak, merupakan bagian dari media
pendidikan. Bahan ajar berbeda dengan bukan bahan ajar. Bahan ajar, selain
memuat materi ajar juga disusun secara sistematis untuk membantu siswa dan
guru dalam proses pembelajaran (Degeng, 2004). Hingga saat ini, bahan ajar
cetak masih merupakan bahan ajar utama atau baku dalam proses pembelajaran di
kebanyakan sekolah. Kemp dan Dayton (dalam Sadjati, 2012:1.8) mendefinisikan
bahan ajar cetak sebagai sejumlah bahan yang disiapkan dalam kertas yang dapat
berfungsi untuk keperluan pembelajaran atau penyampaian informasi. Djauhar
Siddiq, dkk. (2008), mendefinisikannya sebagai bahan yang memuat materi atau
isi pelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dituangkan dengan
menggunakan teknologi cetak. Berdasarkan pendapat tersebut, bahan ajar cetak
adalah bahan ajar yang bentuknya tercetak, bukan digital.
Bahan ajar cetak banyak sekali jenisnya. Mengacu pendapat Rowntree,
Sadjati (dalam Tian Belawati, 2003:15) menyebutkan bahwa selain modul,
handout (HO), dan lembar kerja siswa (LKS), yang termasuk bahan ajar cetak
juga berupa: 1) buku dan pamflet, dan lain-lain bahan cetak yang dipublikasikan
atau khusus ditulis dan dikembangkan untuk keperluan tertentu; 2) panduan
belajar siswa yang sengaja dikembangkan untuk melengkapi buku baku atau buku
utama; 3) bahan belajar mandiri tercetak, yang sengaja dikembangkan untuk
program pendidikan jarak jauh, contohnya modul UT; 4) buku kerja guru maupun
siswa yang sengaja dikembangkan untuk melengkapi program-program audio,
program video, program komputer, dan lainnya; serta 5) panduan praktikum, dan
lain-lain. Dalam Kegiatan Belajar ini, pembahasan bahan ajar cetak dibatasi pada
bahan ajar yang dapat dikembangkan dan sering dimanfaatkan guru, yaitu modul,
Hand-out (HO), dan Lembar Kerja Siswa (LKS). Apa karakteristik ketiga bahan
ajar cetak tersebut dan bagaimana pengembangannya sebagai bahan ajar cetak,
silakan ikuti uraian berikut.
1. Bahan Ajar Modul
Modul merupakan bahan ajar yang khas, memiliki struktur yang sistematis,
dan bersifat utuh (Degeng, 2004). Modul, sering disebut modul instruksional, atau
modul pembelajaran, adalah satu set bahan pembelajaran dalam kemasan terkecil
dilihat dari lingkup isi, namun mengandung semua unsur dalam sistem
instruksional, sehingga dapat dipelajari secara terpisah dari modul yang lain (Atwi
Suparman, 2014: 312). Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang
dikemas secara utuh dan sistematis, di dalamnya memuat seperangkat pengalaman
belajar yang terencana dan didesain untuk membantu siswa menguasai tujuan
belajar yang spesifik. Modul berfungsi sebagai sarana belajar yang bersifat
mandiri, sehingga siswa dapat belajar secara mandiri sesuai dengan kecepatan
masing-masing.
Hal utama yang harus diperhatikan pada proses pengembangan modul
adalah prosedur, fakta, kejadian, ide harus disusun sedemikian rupa sehingga
didapat kesinambungan berpikir. Hal ini dilakukan supaya pembaca mudah
mengikuti ide yang diungkapkan dan mengerti apa yang dibacanya (Durri
Andriani, dalam Tian Belawati, 2003). Modul yang baik untuk memotivasi
kemandirian belajar siswa memiliki karakteristik sebagaimana telah disebutkan
pada uraian sebelumnya, yaitu: self-instructional, self-explanatory power, self-
pace learning, self-contained, individualized learning materials, flexible and
mobile learning materials, dan communicative and interactive. Modul yang
demikian akan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa serta lebih sesuai
dengan karakteristik siswa termasuk kecepatan dan ketepatan waktu belajarnya,
dan sebagainya.
Hal yang juga merupakan ciri modul, yaitu stand-alone, adaptive, dan user
friendly. Stand Alone (berdiri sendiri) memiliki arti bahwa modul ini tidak
tergantung pada bahan ajar lain. Apabila siswa masih membutuhkan bahan ajar
lain selain modul tersebut maka bahan ajar tadi tidak dapat dikategorikan sebagai
modul yang berdiri sendiri. Adaptif, berarti modul yang kita kembangkan
hendaknya memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan
teknologi. Modul dikatakan adaptif apabila modul tersebut dapat menyesuaikan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. User Friendly, memiliki arti
bahwa setiap pembelajaran dan paparan informasi pada modul tersebut bersifat
membantu dan akrab dengan siswa. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah
dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan siswa merupakan
salah satu bentuk user friendly.
Untuk menghasilkan modul yang baik kita perlu menempuh tahap-tahap
yang menurut Rowntree (1999) adalah: 1) mengidentifikasi tujuan pembelajaran
2) menjabarkan materi dalam garis-garis besar materi sesuai rumusan tujuan
pembelajaran 3) menulis materi secara lengkap berdasarkan garis-garis besar
materi dengan gaya bahasa yang komunikatif (semi formal) dan 4) menentukan
format dan tata letak (layout). Selain tahap-tahap pengembangan modul, perlu
diperhatikan unsur-unsur atau format yang harus ada pada sebuah modul yaitu
pendahuluan, inti, penutup (Degeng, 2004).
Format modul yang lengkap memuat Cover, Daftar Isi, Pendahuluan
(rasional deskripsi singkat, relevansi, petunjuk belajar), Kegiatan Belajar 1
(capaian pembelajaran, sub-capaian pembelajaran, pokok-pokok materi, uraian
materi, rangkuman, tugas, tes formatif), Kegiatan Belajar 2 (capaian
pembelajaran, sub-capaian pembelajaran, pokok-pokok materi, uraian materi,
rangkuman, tugas, tes formatif), Kegiatan Belajar 3 (capaian pembelajaran, sub-
capaian pembelajaran, pokok-pokok materi, uraian materi, rangkuman, tugas, tes
formatif), Tugas Akhir, Tes Akhir, Daftar Pustaka, Kunci Jawaban Tes
Formatif. Setelah mamahami karakteristik modul Anda dapat mencoba
menyusun modul sebagai bahan ajar bagi siswa-siswa di sekolah Anda.

2. Bahan Ajar Hand-out


Hand-out merupakan bahan pembelajaran yang dibuat secara ringkas
bersumber dari beberapa literatur yang relevan dengan kompetensi dasar dan
materi pokok yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran. Hand-out
memiliki beberapa fungsi, yaitu: a) membantu siswa agar tidak perlu mencatat b)
sebagai pendamping penjelasan c) Sebagai bahan rujukan siswa d) memotivasi
siswa agar lebih giat belajar e) pengingat pokok-pokok materi yang diajarkan f)
memberi umpan balik, dan g) memberi umpan balik.
Selain fungsi yang telah disebutkan di atas, handout juga memiliki ciri-ciri
atau karakteristik, di antaranya adalah: a) merupakan jenis bahan ajar cetak yang
dapat memberikan informasi kepada siswa b) berhubungan dengan materi yang
diajarkan pendidik, dan c) terdiri atas catatan (baik lengkap atau kerangkanya
saja) tabel, diagram, peta dan materi tambahan.
Anda sebagai guru harus bisa mengembangkan bahan ajar hand-out. Berikut
ini prosedur/tahapan pengembangan hand-out yang dapat Anda ikuti, yaitu: a)
mengevaluasi bahan ajar yang digunakan dengan menggunakan tujuan
pembelajaran sebagai acuan, b) berdasarkan hasil evaluasi, putuskan materi apa
yang akan Anda kembangkan dengan menggunakan handout, baru atau
pengayaan, c) memutuskan isi handout atau overview atau ringkasan, dan d)
memutuskan cara penyajian yang meliputi narasi, tabel, gambar, diagram, atau
kombinasi semuanya. Setelah tahapan-tahapan tersebut Anda pahami, selanjutnya
Anda dapat mengisi handout dengan: a) peta atau diagram konsep yang
menghubungkan antartopik atau bagian dalam topik, b) anotated bibliografi
meliputi kumpulan abstrak dari sumber yang relevan, c) informasi tambahan
untuk meluruskan kesalahan atau bias yang ada dalam bahan ajar, d) memberikan
contoh baru atau tambahan konsep yang disesuaikan dengan kondisi siswa, dan e)
memberikan kasus untuk dipelajari dan diselesaikan siswa.
Penggunaan handout dalam proses pembelajaran akan lebih bermanfaat
apabila ditambah media lain yang saling mendukung. Untuk mendapatkan hasil
pembelajaran yang optimal diperlukan pemilihan dan pemanfaatan media belajar
yang terintegrasi. Melaui handout pembelajaran diharapkan dapat berjalan lancar.
Dalam proses pembelajaran handout dapat digunakan untuk bahan rujukan,
pemberi motivasi, pengingat, memberi umpan balik, dan menilai hasil belajar.

3. Lembar Kerja Siswa


Sebelum kita membahas lebih jauh tentang lembar kerja siswa, perlu kita
ketahui bersama tentang pengertian lembar kerja siswa (LKS). Djauhar Siddiq,
dkk. (2008) mengartikan LKS merupakan bahan pembelajaran cetak yang
sederhana, komponennya didominasi oleh soal-soal dan latihan. Sedangkan
menurut Andi Prastowo dalam Haryanto (2015), lembar kerja siswa (LKS)
merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembaran kertas yang berisi ringkasan
materi, petunjuk pelaksanaan tugas pembelajaran yang harus dikerjakan siswa dan
mengacu pada kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa.
Isi materi pada LKS dapat berupa ringkasan. Namun untuk materi tertentu
yang memiliki tingkat kesulitan tinggi hendaknya dipaparkan/diuraikan lebih rinci
(Djauhar Siddiq, dkk. 2008). Perlu kita ketahui bahwa dalam mengembangkan
bahan ajar cetak jenis LKS, pada analisis kompetensi sampai dengan indikator
ketercapaiannya harus benar-benar mewakili standar kompetensi dan kompetensi
dasar yang dirumuskan. Indikator-indikator inilah yang nanti akan dijadikan
panduan dalam menyusun soal-soal. Dalam menyusun soal dan latihan dapat
digunakan beragam bentuk teknik pengembangan soal supaya tidak
membosankan. Apabila soal yang digunakan berbentuk essai, maka cantumkanlah
langkah-langkah pengerjaannya.
Berikut ini komponen-komponen LKS menurut Djauhar Siddiq, dkk. (2008)
yang dapat Anda susun, yaitu: a) Kata Pengantar, b) Daftar Isi, c) Pendahuluan
(berisi tujuan pembelajaran dan indikator hasil belajar), d) Bab 1 (ringkasan
materi 1), e) Lembar Kerja, f) Bab 2 (ringkasan materi 2), dst..., dan g) Daftar
Pustaka. Dengan acuan komponen tersebut, Anda menjadi terarahkan dalam
menyusun lembar kerja siswa sebagai bahan ajar tercetak bagi para siswa Anda.

C. Aspek-aspek Pengembangan Bahan Ajar Noncetak


Bahan ajar noncetak (digital) merupakan inovasi baru dalam dunia
pendidikan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sangat pesat
dalam mendorong berbagai lembaga pendidikan kita untuk memanfaatkan bahan
ajar noncetak yang diolah dengan komputer. Ketika mengajar guru lebih efektif
menyampaikan isi pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar. Dalam
kegiatan ini, Anda akan belajar tentang cara membuat bahan ajar noncetak hingga
meng-online-kan bahan ajar tersebut dengan cara meng-upload bahan ajar
kedalam e-course atau e-learning sehingga siswa dapat mempelajarinya sendiri
dengan menggunduhnya terlebih dahulu untuk dipelajari di lain waktu (offline).
Dengan demikian, penggunaan bahan ajar noncetak di bisa offline maupun online
terintegrasi dengan e-learning (sebagai komponen bahan ajar utama dalam e-
learning) dalam rangka mengatasi keterbatasan ruang dan waktu.
Rembuk Nasional (Rembuknas) Pendidikan dan Kebudayaan 2015 dalam
rangka meningkatkan efektivitas dan fleksibilitas pembelajaran telah mendapat
beberapa keputusan, salah satunya adalah perlu adanya sistem pembelajaran
berbasis web seperti e-learning dan e-book serta bahan ajar yang menarik lainnya
untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Saluky, 2016:80). Menurut Weggen
dalam Herman D.Surjono, 2013: 3) e-learning adalah bagian dari pembelajaran
jarak jauh, sedangkan pembelajaran online adalah bagian dari e-learning. Istilah
e-learning meliputi berbagai aplikasi dan proses seperti computer-based learning,
web based learning, dan virtual classroom, sementara itu pembelajaran on-line
merupakan pembelajaran berbasis teknologi yang memanfaatkan sumber daya
internet, intranet dan extranet.
Dalam konsep e-learning materi pelajaran disediakan secara online dan
dapat mengatur dan memonitor interaksi antara guru dan siswa, baik secara
langsung (synchronoius) atau tidak langsung (asynchronoius). Sistem pengelolaan
pembelajaran secara online ini biasa disebut dengan istilah LMS (Learning
Management System). Dalam LMS, terdapat komponen-komponen pembelajaran,
salah satunya adalah bahan ajar noncetak yang di-upload ke dalamnya. Mari kita
pelajari dan bahas pengembangannya dalam kegiatan belajar ini.
Bahan ajar noncetak didefinisikan sebagai bahan atau materi pelajaran yang
disusun oleh guru secara sistematis dan digunakan oleh peserta didik (siswa)
dalam pembelajaran offline maupun online atau bahan ajar yang diakses
menggunakan jaringan internet. Beberapa jenis bahan pembelajaran digital yang
lazim digunakan dalam pembelajaran secara online yaitu bahan ajar Audio, Video,
PowerPoint Presentation (PPT), Modul Elektronik/Buku Sekolah Elektronik
(BSE), dan Multimedia Pembelajaran Interaktif (MPI).
Dalam merancang bahan ajar pada umumnya guru harus melakukan analisis
tugas, pengetahuan, serta keterampilan yang diperlukan dalam rangka penentuan
jenis bahan pembelajaran apa yang nanti dikembangkan. Selanjutnya, guru
mengembangkan bahan ajar sesuai prosedur masing-masing bahan ajar, hingga
cara penyebaran bahan ajar tersebut. Mari kita cermati penjelasan selengkapnya.
1. Bahan Ajar Audio
Bahan ajar audio merupakan sebuah bahan ajar yang hanya mengandalkan
bunyi dan suara untuk menyampaikan informasi dan pesan kepada peserta didik.
Penggunaan rekaman audio dalam pembelajaran merupakan sebuah strategi untuk
membantu peserta didik (siswa) dalam membaca. Program pembelajaran dengan
audio meliputi seluruh sistem yang menggunakan gelombang suara secara
langsung yang dapat dimainkan atau didengar oleh orang.
Menurut Sudjana & Rivai (2013: 130), karakteristik audio umumnya
berhubungan dengan segala kegiatan melatih keterampilan yang berhubungan
dengan aspek-aspek keterampilan mendengarkan. Media audio dalam bentuk
suara, musik, dan kata-kata dapat digunakan untuk pembelajaran langsung, namun
juga bisa digunakan untuk pembelajaran tidak langsung yaitu dengan cara
merekamnya kemudian disebarluaskan secara online dalam bentuk digital atau
dalam format MP3.
Pengembangan bahan ajar audio diawali dengan penyusunan Garis Besar Isi
Program Media (GBIPM), kemudian perancangan naskah bahan ajar audio,
produksi bahan pembelajaran audio dengan melakukan rekaman dalam sebuah
studio, pemberian sound efek dan penggabungan setiap bagian dari rekaman
menjadi sebuah program audio utuh. Selanjutnya dilakukan evaluasi program
audio pembelajaran oleh judgement expert. Apabila masih ditemukan noisy, suara
yang tidak seharusnya ada, volume intonasi dan pelafalan yang salah, maka
dilakukan perbaikan berulangkali hingga audio siap digunakan.
Setelah bahan ajar audio dalam bentuk digital sudah jadi, dengan
menggunakan jaringan internet sekarang ini, bahan ajar audio dapat
didistribusikan secara online supaya siswa yang jauh dapat menggunakannya di
mana saja serta kapan saja dibutuhkan. Ada lembaga pemerintah yang sudah
mengembangangkan produk-produk audio pembelajaran yaitu Pustekkom. Kita
dapat memperoleh contoh bahan ajar audio dengan mengunjungi Balai
Pengembangan Media Radio Pendidikan (BPMRP) yang beralamat di Jl.
Sorowajan Baru No. 367, Yogyakarta, atau Anda dapat mengakses pada laman
http://radioedukasi.kemdikbud.go.id/

2. Bahan Ajar Video


Video pembelajaran merupakan bahan ajar yang diperoleh dari kamera
berisi pesan-pesan pembelajaran dan dikemas dalam tampilan visual digital.
Penerapan penggunaan bahan pembelajaran berbentuk video dapat melalui dua
cara, yaitu synchronus (langsung) dan asynchronus (tidak langsung).
Pembelajaran langsung menggunakan video merupakan pembelajaran yang terjadi
melalui sarana elektronik dengan akses kecepatan internet tinggi yang bersifat
realtime (dijadwal dalam satu waktu yang sama), kolektif, atau kolaboratif dengan
ada siswa, fasilitator, dan instruktur. Perhatikan kegiatan dalam contoh berikut:
 Video Conference
Video Conference dapat digunakan untuk pembelajaran jarak jauh
melalui aplikasi yang dapat mengkonferensikan siswa-siswa dengan guru.
 Web Casting
Guru bisa streaming atau live pada sebuah web atau youtube untuk
dimanfaatkan dalam proses belajar-mengajar secara “siaran langsung”,
dimana guru disuatu tempat berbeda dengan siswa yang menontonnya

Pembelajaran tidak langsung (asynchronus) menggunakan bahan ajar video


yang dapat diakses kapan saja tidak harus di waktu yang sama dengan perekaman
video. Pengembangan bahan ajar video jenis ini dapat dirancang dengan
menggunakan storyboard dan interface. Selanjutnya, proses pengembangan, yang
dimulai dari pengambilan gambar sesuai teknik yang telah diatur dalam
storyboard. Berikutnya, proses editing, meliputi kegiatan penyusunan potongan-
potongan video, teks, dan suara sehingga tergabung menjadi video pembelajaran
yang utuh. Misalnya kita ingin membuat bahan ajar percobaan kimia suatu zat cair
menjadi padat seketika, maka kita dapat merekam dan mengisi suara setiap
adegan dan membuang potongan video yang tidak diperlukan. Setelah itu kita
dapat menyebarkannya untuk siswa melalui email atau meng-upload-nya pada
sebuah e-learning. Berikut ini link contoh video pembelajaran yang telah
diunggah ke Youtube
https://www.youtube.com/watch?v=viidycPX0jc

3. PowerPoint Presentation (PPT)


Software PowerPoint Presentation merupakan salah satu bahan ajar untuk
dapat menampilkan sebuah presentasi dengan berbagai ilustrasi, gambar, teks,
audio, dan video. Menggunakan software ini seorang guru dapat merancang
pembelajaran yang menarik. PowerPoint mudah dibuat dengan memasukkan
komponen-komponen yang dibutuhkan dalam bahan ajar.
Pengembangan PowerPoint dapat dilakukan dengan beberapa langkah,
yaitu: 1) identifikasi tujuan pembelajaran, 2) analisis kebutuhan dan karakteristik
pengguna (3) membuat desain outline PowerPoint, 4) menuangkan desain
kedalam Powerpoint, 5) menambahkan multimedia seperti clip art, picture,
image, background dan kebutuhan materi lainnya, serta 6) evaluasi kembali
PowerPoint sehingga menjadi bahan ajar yang sesuai tujuan pembelajaran.
Setelah PowerPoint selesai dikembangkan, pemanfaatannya dapat melalui
dua cara, yaitu secara offline dipresentasikan di kelas atau secara online, yaitu
dengan meng-upload-nya sebagai bahan ajar dalam sebuah e-learning. Berikut
contoh PowerPoint materi tentang teknik penyusunan modul oleh Depdikbud
yang telah diunggah dapat diunduh pada:
https://grisamesin.files.wordpress.com/2010/03/1-teknik-penyusunan-modul-
smk.ppt

4. Modul Elektronik/Buku Sekolah Elektronik (BSE)


Modul Elektronik merupakan bahan ajar noncetak yang bertujuan agar
siswa mampu belajar mandiri dan bersifat lengkap yang menyajikan per-unit
terkecil dari materi berbentuk elektronik atau digital. Modul elektronik dapat
dibuat menggunakan software MS.Word. Modul ini dapat juga digunakan secara
online seperti yang banyak dikembangkan di Era 21 ini. Semua komponen dalam
modul seperti gambar, suara, dan video harus di-insert-kan ke dalam format
digital. Dalam pengembangannya apabila komponen tersebut ada yang bersifat
analog, maka harus diubah menjadi digital sehingga proses ini disebut dengan
digitalisasi.
Dalam suatu modul digital terdapat tiga komponen, yaitu: bahan belajar,
panduan belajar, dan petunjuk belajar. Selain itu, karaketeristik modul elektronik
ini juga sama dengan modul cetak seperti yang sudah kita bahas pada pembahasan
sebelumnya. Hanya saja, pada penggunaannya atau penyajiannya, modul
elektronik memerlukan bantuan perangkat elektronik dalam pemanfaatannya.
Modul elektronik ini memiliki karakteristik dapat dikontrol sendiri oleh siswa
baik dalam hal navigasi maupun materi. Jadi siswa dapat dengan leluasa
berpindah antar halaman, menonton, menjeda, maupun memutar ulang komponen
bahan ajar berbentuk video/animasi yang ada di dalam modul.
Tahapan pengembangan modul elektronik sama dengan modul cetak.
Tahapan tersebut yaitu: 1) mengidentifikasi tujuan pembelajaran, 2)
memformulasikan garis besar materi, 3) menulis materi, 4) menentukan format
dan tata letak (Tian Belawati, 2003). Apabila modul cetak hanya diketik dan
disusun pada MS. Word, sementara pada modul elektronik biasanya
menggunakan software Flip Book Maker dalam penyusunan materinya, seperti:
text, gambar, audio, dan video. Efek flipbook ini dapat menampilkan seperti
membaca buku sungguhan karena software ini dapat membuka atau membalik
lembar demi lembar halaman buku. Tidak hanya kualitas secara teknik di atas
yang perlu dipertimbangkan, namun pengembangan modul juga didasarkan pada
teori psikologi, khususnya teori belajar, sosiokultural peserta didik, desain
pembelajaran, dan riset fitur-fitur tipologis bahan ajar cetak yang dapat membantu
peserta didik untuk belajar (Haryanto, 2015:72).
Bahan ajar modul elektronik dapat disebarluaskan (di-upload) pada sebuah
Blog, website, atau e-learning dengan cara meng-insert-kan file Modul tersebut
pada sebuah LMS. Berikut ebook lengkap cara memasukkan materi ke dalam
sebuah e-learning dapat di download pada
https://drive.google.com/file/d/1WY2N7YE-
Mb_GOR1WFy2iYCEAU5EA5APp/view?usp=sharing berikut ini ada contoh
modul elektronik (BSE) berjudul “Membuka Cakrawala” dapat Anda unduh pada
https://drive.google.com/file/d/1l3BSZN8taTOROxrlQL9OuDExVsUkeAVw/vie
w?usp=sharing

5. Multimedia Pembelajaran Interaktif (MPI)


Pada Era 21 ini guru diharapkan dapat memanfaatkan ICT secara optimal
untuk memfasilitasi aktivitas pembelajaran yang inovatif. Strategi dan metode
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik sangat cocok guna mendorong
pengembangan pengetahuan dan skill peserta didik (Herman D. Surjono, 2017).
Definisi multimedia secara terminologis adalah kombinasi berbagai media
seperti teks, gambar, suara, animasi, video dan lainnya secara terpadu dan sinergis
melalui komputer atau peralatan elektronik lain untuk mencapai tujuan tertentu.
(Herman D. Surjono, 2017:2). Yusufhadi Miarso (2004:464) mengartikan
multimedia sebagai kumpulan bahan ajar yang dipadukan, dikombinasikan, dan
dipaketkan ke dalam bentuk modul yang disebut sebagai “kit” dan dapat
digunakan untuk belajar mandiri baik secara individu maupun kelompok tanpa
harus didampingi oleh guru. Multimedia dibuat untuk tujuan tertentu tergantung
pemanfaatannya. Dalam hal ini multimedia digunakan sebagai bahan ajar yang
dapat memudahkan siswa memahami materi dalam uapaya mencapai tujuan-
tujuan pembelajaran.
Multimedia Interaktif memiliki karakteristik sebagai proses pembelajaran
yang komunikasinya terjadi dua arah antara siswa dan bahan ajar. MPI sebagai
bahan ajar memiliki beberapa komponen di antaranya: 1) Pendahuluan yang berisi
title page, menu, tujuan pembelajaran, dan petunjuk penggunaan; 2) Isi Materi
meliputi kontrol, interaksi, navigasi, teks, suara, gambar, video, dan simulasi;
serta 3) Penutup, yang berisi ringkasan, latihan, dan evaluasi. Navigasi dalam MPI
atau Graphichal User Interface (GUI) biasanya berupa icon, button, scroll bar,
menu yang dapat dioperasikan oleh pengguna untuk menonton, memutar maupun
membuka jendela informasi lain dengan bantuan sarana Hyperlink.
Setelah kita memahami karakteristik MPI pada bahasan sebelumnya,
selanjutnya kita belajar mengembangkan MPI dengan model APPED. Model ini
memiliki lima langkah sebagaimana dapat Anda lihat pada gambar di bawah ini:

Analisis Perancangan Produksi Evaluasi Diseminasi

Gambar 1. Proses Pengembangan MPI


Dalam analisis kebutuhan awal, pengembang menetapkan tujuan
pembelajaran untuk disesuaikan dengan karakteristik siswa, tugas dan sebagainya.
Selanjutnya kita melakukan perancangan pembelajaran dimulai dengan
pembuatan GBIM, flowchart, screendesign dan storyboard. Apabila rancangan
sudah selesai, kita dapat mulai memproduksinya dengan membuat dan
menyatukan Video, audio, teks, dan animasi menggunakan authoring tools seperti
Ms. Powerpoint, Adobe Flash, Lectora dan sejenisnya mengacu pada prinsip-
prinsip pengembangan MPI oleh Mayer (2009) ebook tersebut dapat didownload,
pada sebuah link https://drive.google.com/file/d/1UQKDYfqoNjHuPZp62t-
yckVDa-VMRXYC/view?usp=sharing
Selanjutnya pada tahap evaluasi, kita bisa menggunakan instrumen yang
berisi pedoman pengembangan MPI untuk menguji kelayakannya oleh ahli materi,
ahli media dan ahli (desain) pembelajaran. Dalam kegiatan evaluasi ini juga
dilakukan serangkaian uji coba lapangan hingga efektif digunakan dalam
pembelajaran. Setelah produk MPI dinilai baik, maka MPI layak untuk dilakukan
diseminasi atau penyebarluasan MPI. Diseminasi ini dapat dilakukan melalui
sebuah link dalam website maupun diunggah kedalam e-learning.
Untuk memahami materi ini lebih jelas, berikut disajikan buku
pengembangan Multimedia Pembelajaran yang dapat di unduh pada
https://drive.google.com/file/d/1UQKDYfqoNjHuPZp62t-yckVDa-
VMRXYC/view?usp=sharing . Sedangkan contoh penggunaan MPI dapat dilihat
pada https://www.youtube.com/watch?v=mUad8P2n9cA
Kegiatan Belajar 4:
PERENCANAAN PEMBELAJARAN
Uraian Materi
Seseorang yang menginginkan kesuksesan dalam melaksanakan suatu kegiatan, tentu
diawali dengan perencanaan yang baik. Kualitas suatu perencanaan, sangat menentukan
optimalisasi pelaksanaan kegiatan. Seseorang yang melakukan kegiatan tanpa perencanaan
dapat dipastikan akan menghasilkan kegiatan yang kurang optimal, atau bahkan cenderung
mengalami kegagalan karena tidak memiliki acuan yang jelas.
Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar (UU No 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional). Hasil belajar yang diharapkan tersurat pada konsep Slavin (1994), pembelajaran
didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku individu yang disebabkan oleh pengalaman.
Menganalisis dari dua pengertian di atas mengandung makna bahwa “pembelajaran”
merupakan suatu kegiatan kompleks yang harus didesain agar terjadi interaksi (dua individu
yang berbeda karakternya) pada lingkungan belajar yang kondusif. Hasil interaksi tersebut
diharapkan mampu mengembangkan potensi dan perubahan tingkah peserta didik sesuai
masanya.
Pendidikan di Indonesia, perencanaan kegiatan belajar mengajar dikenal dengan konsep
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP merupakan rencana yang menggambarkan
prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi yang telah
ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus. Pengalaman empirik di beberapa
sekolah, banyak guru beranggapan bahwa menyusun RPP tidak penting. Gejala ini dapat
diidentifikasi, makin banyak guru yang copy paste, RPP beberapa tahun sebelumnya.
Padahal kondisi dan karakteristik peserta didik berubah setiap semester. Bagi mereka, yang
terpenting adalah mengajar dan siswa mendapat pelajaran. Pemikiran guru seperti ini, perlu
dilurus. Hakikat jabatan profesional bahwa semua kegiatan jabatan dari aspek perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian dalam pembelajaran harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
pemangku jabatan. Dengan demikian sebutan guru profesional, memang layak disandang
oleh guru.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru tidak menyusun Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Faktor penyebab guru tidak menyusun RPP antara lain tidak
memahami dengan benar apa sesungguhnya hakikat RPP, bagaimana prinsip-prinsip penyusunan
RPP serta apa pentingnya RPP disusun. Materi hakikat RPP ini akan memberikan pemahaman

1
kepada Saudara tentang apakah RPP itu? Bagaimana prinsip-prinsip penyusunan RPP? Dan
mengapa RPP penting disusun oleh guru?
A. Hakikat RPP
1. Mengapa Guru perlu menyusun RPP?
Untuk mengoptimalkan hasil suatu kegiatan, tentunya diawali oleh
perencanaan kegiatan yang berkualitas. Pendidikan (atau dalam arti mikro disebut
pembelajaran) merupakan aktivitas profesi yang komplek. Peraturan Pemerintah No
74 tahun 2008 tentang Guru, mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini,
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Bahkan UU
14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, memberikan penekanan bahwa guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan, berkewajiban merencanakan pembelajaran,
melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran.
Bagi guru profesional, perlu menyadari bahwa proses pembelajaran harus
dapat menjadikan proses belajar secara internal pada diri peserta didik, akibat adanya
stimulus luar yang diberikan guru, teman, lingkungan yang dikondisikan. Proses
belajar tersebut, mungkin pula terjadi akibat dari stimulus dalam diri peserta didik,
karena dorongan keingintahuan yang besar. Proses pembelajaran dapat pula terjadi
sebagai gabungan dari stimulus luar dan dari dalam peserta didik. Dalam proses
pembelajaran, guru perlu mendesain/merancang kedua stimulus pada diri setiap
peserta didik. Guru wajib mempertimbangkan karakteristik peserta didik dan
karakteristik materi yang akan dibelajarkan. Dengan perencanaan pembelajaran yang
matang dan sistematis, guru dapat mengelola fasilitas belajar, dan interaksi peserta
didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya menjadi kompetensi. Inilah
sebabnya penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran penting untuk dilakukan
guru.
Bahkan dalam permendikbud No 22 tahun 2016 secara tegas dijelaskan bahwa
setiap pendidik (guru) pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara
lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
2
2. Pengertian RPP
Permendikbud No 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan
menengah menjelaskan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah
rencana kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP
dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik
dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD).
RPP disusun berdasarkan KD atau subtema yang dilaksanakan satu kali
pertemuan atau lebih. Dalam Permendikbud No 22 tahun 2016, secara tegas
menjelaskan komponen minimal RPP terdiri atas:
a. Identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan;
b. Identitas mata pelajaran atau tema/subtema, mencakup: 1) kelas/semester, 2) materi
pokok, dan 3) alokasi waktu ditentukan berdasarkan keperluan untuk pencapaian
KD dan beban belajar, dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang
tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai;
c. Kompetensi Dasar, adalah sejumlah kemampuan minimal yang harus dikuasai
peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator
pencapaian kompetensi. Kompetensi dasar dalam RPP, merujuk kompetensi dasar
yang tercantum dalam silabus;
d. Indikator pencapaian kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau
diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu. Indikator
pencapaian kompetensi menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator
pencapaian kompetensi disusun guru dengan merujuk kompetensi dasar. Dengan
pertimbangan tertentu, guru dapat menentukan tingkatan indikator lebih tinggi dari
kompetensi dasar (kemampuan minimal) yang ditentukan silabus. Pertimbangan
tertentu yang dimaksud, antara lain: agar lulusan memiliki nilai kompetitif, atau
kelengkapan fasilitas laboratorium lebih baik dari satuan pendidikan sejenis.
Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja
operasional yang dapat diamati dan/atau diukur, yang mencakup kompetensi
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor);
e. Tujuan Pembelajaran dirumuskan lebih spesifik atau detail dengan merujuk
indikator pencapaian kompetensi. Jika cakupan dan kedalaman materi
pembelajaran sudah tidak dapat dijabarkan lebih detail dan spesifik lagi, maka
tujuan pembelajaran disusun sama persis dengan indikator pencapaian kompetensi.

3
f. Materi pembelajaran memuat fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang relevan, dan
ditulis dalam bentuk butir-butir pokok bahasan/sub pokok bahasan sesuai dengan
rumusan indikator pencapaian kompetensi. Materi pembelajaran secara lengkap
dalam bentuk Lembar Kerja Peserta Didik dapat dilampirkan.
g. Model/Metode pembelajaran, model pembelajaran (lebih luas dari metode, dan
mempunyai sintak jelas) digunakan guru untuk mewujudkan proses pembelajaran
dan suasana belajar yang mengaktifkan peserta didik untuk mencapai kompetensi
dasar. Penggunaan model pembelajaran hendaknya mempertimbangkan
karakteristik peserta didik, dan karakteristik materi pembelajaran. Untuk
memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar
matapelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan
pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (model pembelajaran
discovery/inquiry). Untuk mendorong kemampuan berpikir peserta didik abad 21,
baik secara individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan
model pembelajaran berbasis pemecahan masalah (problem based learning). Untuk
menstimulan kemampuan ketrampilan dan berkarya peserta didik, baik secara
individual maupun kelompok, maka pemilihan model pembelajaran berbasis
proyek sangat tepat. Tentunya para guru harus memahami berbagai model
pembelajaran lain yang dapat mengaktifkan pengalaman belajar peserta didik.
h. Media Pembelajaran, berupa alat bantu guru untuk menyampaikan materi
pembelajaran, agar peserta didik termotivasi, menarik perhatian, dan berminat
mengikuti pelajaran. Jenis-jenis media pembelajaran dan karakterisnya, perlu
dipahami pada guru, sehingga pemilihan media pembelajaran dapat
mengoptimalkan perhatian dan hasil belajar peserta didik.
i. Sumber belajar, dapat berupa buku cetak, buku elektronik, media yang berfungsi
sebagai sumber belajar, peralatan, lingkungan belajar yang relevan;
j. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran, serangkaian aktivitas pengelolaan
pengalaman belajar siswa, melalui tahapan pendahuluan, inti dan penutup. Pada
tahapan pendahuluan, guru melakukan kegiatan: 1) memimpin doa dan
mempresensi kehadiran peserta didik, 2) memberikan apersepsi, 3) menyampaikan
tujuan pembelajaran, dan 4) memotivasi peserta didik. Pada tahapan inti, guru
mengelola pembelajaran merujuk pada sintak (prosedur) model pembelajaran yang
dipilihnya. Tahapan penutup, guru melakukan kegiatan: 1) rangkuman materi
pembelajaran, 2) penilaian, dan 3) tindak lanjut pembelajaran berikutnya.
4
k. Penilaian, penilaian proses belajar dan hasil belajar dikembangkan oleh guru,
dilakukan dengan prosedur :
1) menetapkan tujuan penilaian dengan mengacu pada RPP yang telah
disusun;
2) menyusun kisi-kisi penilaian;
3) membuat instrumen penilaian serta pedoman penilaian;
4) melakukan analisis kualitas instrumen penilaian;
5) melakukan penilaian;
6) mengolah, menganalisis, dan menginterpretasikan hasil penilaian;
7) melaporkan hasil penilaian; dan
8) memanfaatkan laporan hasil penilaian.
Setiap guru di setiap satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP untuk
kelas di mana guru tersebut mengajar (guru kelas) di SD dan untuk guru mata
pelajaran yang diampunya untuk guru SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK.
Pengembangan RPP, sebaiknya dilakukan pada setiap awal semester atau awal tahun
pelajaran, dengan maksud agar RPP telah tersedia terlebih dahulu sebelum
pelaksanaan pembelajaran. Pengembangan RPP dapat dilakukan secara mandiri atau
secara berkelompok. Pengembangan RPP yang dilakukan oleh guru secara mandiri
dan/atau secara bersama-sama melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di
dalam satu sekolah difasilitasi dan disupervisi kepala sekolah atau guru senior yang
ditunjuk oleh kepala sekolah. Pengembangan RPP yang dilakukan oleh guru secara
berkelompok melalui MGMP antar sekolah atau antar wilayah dikoordinasikan dan
disupervisi oleh pengawas atau dinas pendidikan kota/kabupaten atau propinsi.

3. Prinsip-Prinsip Pengembangan RPP


Prinsip-prinsip pengembangan RPP, secara tegas dipaparkan dalam
Permendikbud No 22 tahun 2016 bahwa penyusunan RPP hendaknya
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a RPP disusun guru sebagai terjemahan dari kurikulum dan silabus yang telah
dikembangkan secara tingkat nasional;
b Perbedaan individual peserta didik, antara lain kemampuan awal, tingkat
intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, kemampuan sosial,
emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang
budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik;
5
c Partisipasi aktif peserta didik;
d Berpusat pada peserta didik untuk mendorong semangat belajar, motivasi,
minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi dan kemandirian;
e Pengembangan budaya membaca dan menulis yang dirancang untuk
mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan
berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan;
f Pemberian umpan balik dan tindak lanjut program pembelajaran dengan
mendesain program: pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan
remedi;
g Penekanan pada keterkaitan dan keterpaduan antara KD, indikator
pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian,
dan sumber belajar menjadi satu keutuhan pengalaman belajar;
h Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan lintas mata
pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya;
i Penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis,
dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.

4. Sistematika RPP

Kurikulum KI K

Silabus
SilabusMata Pelajaran
SilabusMata
MataPelajaran
Pelajaran KI K

KI K
RPP
• Identitas Sekolah IND
• Identitas Mata Pelajaran
• Kompetensi Dasar
• Indikator Pencapaian Kompetensi TP
• Tujuan Pembelajaran
• Materi Pokok
• Model Pembelajaran
• Media Pembelajaran
• Langkah-langkah Pembelajaran
• Sumber belajar
• Penilaian Pembelajaran

6
5. Cakupan Indikator Pencapaian Kompetensi dan Tujuan Pembelajaran
Penyusunan RPP mata pelajaran merupakan tugas profesi guru kelas maupun
guru mata pelajaran. Dengan diberlakukannya kurikulum 2013, beberapa kebijakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam penyusunan RPP mengalami beberapa
kali perubahan. Pada Permendikbud No. 103 Tahun 2014 Tentang Pembelajaran pada
Pendidikan Dasar dan Menengah, menjelaskan format RPP tidak mengharuskan
disusun tujuan pembelajaran atau bersifat opsional.
Sementara Permendikbud No 22 tahun 2016, menjelaskan bahawa indikator
pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran disusun oleh guru dengan merujuk
kompetensi dasar. Kompetensi dasar telah difomulakan secara nasional dan tertuliskan
pada kurikulum dan silabus. Kompetensi dasar sebagai standar kemampuan minimal
pencapaian pembelajaran suatu mata pelajaran disusun bersifat luas, umum, dan belum
operasional. Sesuai dengan karakteristik keunikan satuan pendidikan (kelengkapan
fasilitas belajar, guru, potensi peserta didik, dlsb.) guru harus menjabarkan KD menjadi
perilaku yang lebih spesifik, operasional, teramati, dan terukur. Untuk mengukur
perilaku spesifik peserta didik dirumuskan indikator pencapaian kompetensi. Namun
demikian, jika rumusan indikator pencapaian kompetensi masih bisa lebih spesifik dan
detail, maka disusun tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran tetap
dibutuhkan untuk mengukur perilaku spesifik (kemampuan yang lebih mendasar dan
detail) peserta didik, dan sebagai indikator atau penanda tercapainya tujuan proses
belajar mengajar, setelah peserta didik menerima pesan pembelajaran yang terkandung
dalam materi yang disampaikan guru.
Berdasarkan Bloom (1956), serta Anderson dan Krathwol (2001), menyatakan
bahwa tujuan pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Ramuan konsep Bloom, Anderson dan Krathwol, serta Dave
(1967), serta Permendikbud No 22 tahun 2016, menjelaskan bahwa formula indikator
dan tujuan pembelajaran disusun dengan memperhatikan tiga ranah dan tingkatannya,
yaitu ranah: sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Ranah Afektif Ranah Kognitif Ranah Psikomotor


Menerima Mengingat Meniru
Menjalankan Memahami Manipulasi
Menghargai Menerapkan Presisi
Menghayati Menganalisis Artikulasi
Mengamalkan Mengevaluasi Naturalisasi
Mencipta

7
Cognitive Domain (Ranah Kognitif) merupakan perilaku-perilaku yang
menekankan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan pengembangan
kemampuan intelektual serta ketrampilan berpikir (Atwi Suparman, 2014). Dengan kata
lain, aspek kognitif merupakan aspek yang berkaitan dengan nalar atau proses berpikir,
yaitu kemampuan dan aktivitas otak untuk mengembangkan kemampuan rasional.
Anderson dan Krathwol (2001) menjelaskan ranah kognitif meliputi enam jenjang,
yaitu mengingat (remembering), mengerti (comprehension), menerapkan (application),
menganalisis (analysis), mengevaluasi (evaluation) dan mencipta (create). Keenam
jenjang tersebut bersifat hierarkis. Artinya jenjang pertama memerlukan kemampuan
rasional dan proses berpikir lebih mudah dibandingkan jenjang kedua. Kemampuan
rasional dan proses berpikir yang paling dasar.
Affective domain (Ranah Afektif) merupakan tujuan pembelajaran yang
menekankan perilaku-perilaku yang berkenaan dengan minat, sikap, nilai, apresiasi, dan
cara penyesuaian diri. Ranah afektif dibagi menjadi lima jenjang, yaitu: penerimaan
(receiving), pemberian respon (responding), pemberian nilai atau penghargaan
(valuing), pengorganisasian (organizing), dan karakteristik (characterization).
Psikomotorik merupakan ranah yang berkaitan dengan ketrampilan (skill) dan
kemampuan bertindak setelah peserta didik menerima pengalaman belajar tertentu.
Hasil belajar ranak psikomotor sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar
kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru nampak dalam bentuk
kecenderungan-kecenderungan perilaku). Ranah psikomotor berhubungan dengan
aktivitas fisik, misalnya: melompat, menggergaji, mengetik, menari, melukis, dlsb.
Ranah psikomotor dibagi menjadi lima jenjang, yaitu: meniru (imitation), manipulasi
(manipulation), presisi (precesion) , artikulasi (articulation), dan naturalisasi
(naturalisation).

6. Rumusan Indikator Pencapaian dan Tujuan Pembelajaran


Polemik bagaimana merumuskan indikator dan tujuan pembelajaran yang baik
berkembang dari tahun 70-an hingga saat ini. Pandangan pertama, praktisi pendidikan
berpendapat bahwa menyusun indikator pencapaian kompetensi dan tujuan
pembelajaran yang paling mencantumkan perilaku (behavior). Alasan yang
dikemukakan pandangan praktisi, merumuskan indikator pencapaian kompetensi dan
tujuan pembelajaran yang memenuhi komponen ABCD (Smaldino, dkk., 2015) dalam
desain pembelajaran (RPP), akan merepotkan dan terkesan formalitas. Dipertajam

8
dengan pandangan bahwa RPP masih tahapan rancangan pembelajaran, yang
penerapannya masih bisa dikreasi sesuai dengan kesiapan guru, kesiapan siswa, dan
strategi pengelolaan pembelajaran.
Pandangan kedua, akademisi berasumsi penerapan formula Robert Mager (1962)
dalam menyusun tujuan pembelajaran yang memenuhi unsur ABCD akan memberikan
petunjuk yang jelas bagi guru untuk menerapkan strategi pembelajaran yang baik, serta
menjadi petunjuk yang baik bagi penyusun tes yang benar-benar mengukur perilaku
peserta didik. Unsur-unsur ABCD yang berasal dari empat kata sebagai berikut:
A : Audience
B : Behavior
C : Condition
D : Degree
a Audience (A), adalah peserta didik yang akan belajar. Dalam merumuskan indikator
dan tujuan pembelajaran harus dijelaskan siapa peserta didik yang akan mengikuti
pelajaran, atau peserta didik yang mana? Pembelajaran memiliki sasaran yang
sempit, kelas dan semester berapa? Namun demikian, jika format RPP telah diawali
dengan identitas sekolah dan identitas mata pelajaran, maka sebutan “peserta didik
atau siswa” sudah terwakili.
b Behavior (B), adalah perilaku yang spesifik yang akan dimunculkan oleh peserta
didik setelah selesai memperoleh pengalaman belajar dalam pelajaran tersebut.
Perilaku ini terdiri dari atas dua bagian penting, yaitu: kata kerja dan obyek. Kata
kerja menunjukkan kemampuan minimal (standart performance) bagaimana peserta
didik menunjukkan sesuatu, seperti: menjelaskan, menunjukkan, menganalisis,
mengkikir, mengebor dlsb. Objek (standart content) menunjukkan apa yang akan
dilakukan peserta didik, misalnya definisi hukum kirchoff 1, terjadinya fotosintesis,
prosedur mengkikir, dlsb. Komponen perilaku dalam indikator pencapaian
kompetensi dan tujuan pembelajaran adalah tulang punggung RPP secara
keseluruhan. Tanpa perilaku yang jelas, komponen yang lain menjadi tidak bermakna.
Bila contoh kata kerja dan obyek di atas disatukan dalam bentuk perilaku dan obyek,
akan tersusun sebagai berikut:
1) menjelaskan hukum kirchoff 1
2) menganalisis terjadinya fotosintesis pada tumbuhan,
3) menjelaskan prosedur mengkikir, dlsb

9
Komponen perilaku diformulakan dengan kata kerja operasional dan single
performance. Kata kerja operasional, artinya perilaku yang dilakukan peserta didik
harus dapat diamati, dan terukur. Contoh kata kerja yang bermakna kabur: mengetahui
(know), mengerti (understand), menghargai (appreciate), dlsb. Single performance,
maknanya dalam satu indikator pencapaian kompetensi dan satu tujuan pembelajaran
hanya mengdung perilaku tunggal yang akan dilakukan perserta didik, sehingga
pengukuran hasil belajar mudah (tidak ambigu). Contoh: peserta didik akan mampu
menjelaskan dan menghitung volume kubus dengan masing-masing sisi 15 cm.
c Condition (C), Komponen ketiga dalam perumusan indikator dan tujuan
pembelajaran adalah condition (C). C adalah kondisi, yang berarti batasan yang
dikenakan kepada peserta didik atau alat/peralatan yang digunakan peserta didik pada
saat dilakukan penilaian. Kondisi itu bukan keadaan pada saat peserta didik belajar.
Indikator dan tujuan pembelajaran mempunyai komponen peserta didik dan perilaku
seperti kebanyakan digunakan orang seharusnya mengandung komponen yang
memberikan petunjuk kepada pengembang tes tentang kondisi atau dalam keadaan
bagaimana peserta didik diharapkan mendemonstrasikan perilaku yang dikehendaki
pada saat dilakukan penilaian. Misalnya:
1) Diberikan tiga rumus menghitung rata-rata skor,......
2) Dengan kalkulator,....
3) Setelah pembelajaran,..
Kondisi contoh 1) dan 2), adalah keadaan yang spesifik diperlukan untuk
melakukan pengalaman belajar, yang tentukannya akan mempengaruhi tingkat
(kualitas) hasil belajar. Sementara kondisi contoh 3), adalah keadaan umum yang mesti
terjadi pada peserta didik selama proses belajar.
d Degree (D), dalam contoh perumusan indikator dan tujuan pembelajaran telah
tercakup unsur peserta didik, perilaku, dan kondisi. Tetapi, sebagai suatu indikator
pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran yang dapat dijadikan petunjuk dalam
menilai keberhasilan dalam mencapai perilaku yang terdapat di dalamnya, masih
diperlukan jawaban terhadap pertanyaan berikut: “seberapa baik peserta didik
diharapkan menampilkan perilaku tsb? Untuk itu, diperlukan satu komponen terakhir
yang harus ada dalam indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran,
yaitu komponen Degree (D). Degree adalah tingkat keberhasilan peserta didik dalam
mencapai perilaku tsb. Contoh degree sbb:

10
1) peserta didik diharapkan mengukur jari-jari lingkaran tabung kertas dengan
kebenaran 70%,
2) peserta didik diharapkan mengukur jari-jari silinder torak dengan tingkat
kesalahan 0,1 mm
Degree contoh 1), guru pada saat penilaian masih memberikan toleransi yang besar.
Dengan pertimbangan bahwa tabung yang terbuat dari kertas, pasti memiliki
kelenturan bahan, sehingga besar kemungkinan hasil pengukuran kurang tepat. Guru
lebih menekankan pada prosedur pengukuran yang benar.
Degree contoh 2), guru pada saat penilaian tidak memberikan toleransi kesalahan
pengukuran. Dengan pertimbangan torak (piston) terbuat dari bahan campuran
almunium, tembaga, silikon dan nikel agar piston tidak karat, kuat dengan temperatur
tinggi. Kesalahan pengukuran lebih dari 0,1 mm, akan menyebabkan torak (piston)
tidak dapat masuk silinder atau jika dapat masuk, daya kompresi berkurang.
Tingkat keberhasilan ditunjukkan dengan batas minimal dari penampilan suatu
perilaku yang dianggap dapat diterima. Di atas batas itu, berarti peserta didik belum
mencapai indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Keempat komponen rumusan indikator pencapaian kompetensi dan tujuan
pembelajaran tersebut dapat dilakukan oleh guru (sebagai desainer pembelajaran) yang
telah memahami dan menghayati essensi sistem pembelajaran sebagai investasi masa
depan bangsa yang harus dipertanggung jawabkan akuntabilitas keprofesiannya.

7. Mendesain Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran


Langkah-langkah kegiatan pembelajaran adalah serangkaian aktivitas pengelolaan
pengalaman belajar siswa, melalui tahapan pendahuluan, inti dan penutup.
a Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan, guru mendesain aktivitas:
1) menyiapkan peserta didik secara psikologis dan fisik untuk siap mengikuti
proses pembelajaran;
2) memberi motivasi peserta didik untuk belajar secara kontekstual dengan
kehidupan sehari-hari, dengan memberikan contoh materi ajar yang relevan
dengan kondisi lokal, nasional dan internasional, serta disesuaikan dengan
karakteristik dan jenjang peserta didik;
3) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan mengaitkan

11
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
4) menjelaskan kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai;
dan
5) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan
pembelajaran sesuai silabus.
b Kegiatan Inti
Kegiatan inti, guru mendesain langkah-langkah penerapan model pembelajaran
dan/atau metode pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik. Demikian pula
guru mendesain penerapan media pembelajaran, dan sumber belajar yang
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan
pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri
dan penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya
berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan
karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan.
c Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru bersama peserta didik baik ( secara
individual maupun kelompok) melakukan refleksi untuk mengevaluasi:
1) seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang diperoleh
untuk selanjutnya secara bersama menemukan manfaat langsung maupun
tidak langsung dari hasil pembelajaran yang telah berlangsung;
2) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
3) melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas, baik
tugas individual maupun kelompok; dan
4) menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan
berikutnya.

Dalam Permendikbud Nomor 22 tahun 2016 dinyatakan bahwa komponen-


komponen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) RPP sebagai berikut:

12
Identitas Sekolah,
Identitas Mata Pelajaran, Kelas/Semester, Materi Pokok, Alokasi Waktu
A. Kompetensi Inti (KI)
B. Kompetensi Dasar
1. …………………..(KD pada KI-3)
2. …………………..(KD pada KI-4)
C. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. .........................................
2. .........................................
D. Tujuan Pembelajaran
E. Materi Pembelajaran (rincian dari Materi Pokok)
F. Metode Pembelajaran (Rincian dari Kegiatan Pembelajaran)
G. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media
2. Alat/Bahan
3. Sumber Belajar
H. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran (Jika dalam 1 RPP terdiri dari beberapa pertemuan)
1. Pertemuan Kesatu:
a. Pendahuluan/Kegiatan Awal (…menit)
1)………………………………………………………………………….
2)………………………………………………………………………….
3)………………………………………………………………………….
4)………………………………………………………………………….
b. Kegiatan Inti (...menit)
Sesuaikan sintaks dengan model / pendekatan/metode yang dipilih
1). Mengamati
2). Menanya
3). Mengumpulkan dan Mengasosiasikan
4). Mengkomunikasikan hasil
c. Penutup (…menit)
1)………………………………………………………………………..
2). ……………………………………………………………………….
3). ……………………………………………………………………….
4). ………………………………………………………………………
2. Pertemuan Kedua:
a. Pendahuluan/Kegiatan Awal (…menit)
1)………………………………………………………………………….
2)………………………………………………………………………….
3)………………………………………………………………………….
4)………………………………………………………………………….
b. Kegiatan Inti (...menit)
Sesuaikan sintaks dengan model / pendekatan/metode yang dipilih
1). Mengamati
2). Menanya
3). Mengumpulkan dan Mengasosiasikan
4). Mengkomunikasikan hasil
c. Penutup (…menit)
1)………………………………………………………………………..
2). ……………………………………………………………………….
3). ……………………………………………………………………….
I. Penilaian
1. Jenis/teknik penilaian
(Unjuk Kerja / Kinerja melakukan Praktikum / Sikap / Proyek / Portofolio / Produk /
penilaian diri / tes tertulis)
1. Bentuk instrumen dan instrumen
Isi sesuai (Daftar chek/skala penilaian/Lembar penilaian kinerja/Lembar penilaian
sikap/Lembar Observasi/Pertanyaan langsung/Laporan Pribadi/ Kuisioner/ Memilih
jawaban/ Mensuplai jawaban/Lembar penilaian portofolio
3. Pedoman penskoran

13
Contoh RPP 1

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA


DINAS PENDIDIKAN
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 5 YOGYAKARTA
Alamat : Jl. Kenari No. 71 Telp. (0274) 513463 Yogyakarta 55165

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN


Satuan Pendidikan : SMK Negeri 5 Yogyakarta
Mata Pelajaran : Pengetahuan Bahan
Kelas/Semester : X/Dua
Paket Keahlian : Desain Komunikasi Visual
Jumlah Pertemuan : 2 x Pertemuan
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

A. Kompetensi Inti
KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI 2 : Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan
menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa
dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam
menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 : Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan
bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar
3.1. Mengidentifikasi jenis, sifat, dan fungsi bahan alam dari tanaman untuk produk karya
seni rupa dan kriya.
4.1. Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
C. Indikator
3.1.1. Menjelaskan jenis, sifat dan fungsi bahan alam dari tanaman untuk produk karya
seni rupa dan kriya.
4.1.1. Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
4.1.2. Membedakan bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
4.1.3. Menunjukkan bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
D. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses mencari informasi, bertanya, berdiskusi siswa dapat
1. Menjelaskan jenis, sifat dan fungsi bahan alam dari tanaman untuk produk karya seni
rupa dan kriya dengan benar
2. Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya secara tepat
3. Membedakan bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya dengan benar
4. Menunjukkan bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya dengan benar
E. Materi Ajar (Terlampir)
1. Memilih bahan alam dari tanaman.

14
F. Metode Pembelajaran
1. Diskusi kelompok
2. Presentasi
3. Penugasan
G. Langkah Kegiatan/Skenario Pembelajaran
1. Pertemuan Pertama
Rincian Kegiatan Waktu
Pendahuluan
a. Berdo’a
b. Presensi Siswa
c. Memotivasi siswa
15 menit
d. Guru menyampaikan kompetensi dasar dan tujuan dari pembelajaran materi yang akan
diajarkan.
e. Mengadakan tanya jawab berbagai hal terkait dengan wawasan siswa mengenai materi
yang akan disajikan.
Kegiatan Inti
a. Guru menjelaskan Terlebih dahulu segala sesuatu yang berhubungan dengan bahan
alam dari tanaman untuk produk karya seni rupa dan kriya.
b. Mengadakan tanya jawab berdasarkan penjelasan guru sebelumnya.
c. Menegaskan jawaban siswa.
d. Siswa melakukan diskusi pokok bahasan mengenai bahan alam dari tanaman untuk
produk karya seni rupa dan kriya. 60 menit
e. Mempresentasikan hasil diskusi siswa.
f. Mengadakan tanya jawab tentang pokok bahasan yang telah dipersentasikan.
g. Guru memperjelas jawaban siswa tentang pokok bahasan yang telah telah
dipersentasikan.
h. Siswa dan guru menyimpulkan hasil diskusi.

Penutup
a. Guru bersama siswa menyimpulkan materi pembelajaran yang telah diberikan.
b. Guru memberikan beberapa pertanyaan secara lisan atau tertulis sebagai tes untuk 15 Menit
mengetahui pemahaman siswa terhadap pembelajaran yang telah dilakukan.
c. Guru memberikan tugas kepada siswa mengenai memilih bahan alam dari tanaman.

2. Pertemuan Kedua
Rincian Kegiatan Waktu
Pendahuluan
a. Berdo’a
b. Presensi Siswa
c. Memotivasi siswa
d. Guru mengingatkan kembali pelajaran yang telah lalu dengan melakukan test. 15 menit
e. Guru menyampaikan kompetensi dasar dan tujuan dari pembelajaran materi yang akan
diajarkan.
f. Mengadakan tanya jawab berbagai hal terkait dengan wawasan siswa mengenai materi
yang belum di pahami dan tugas yang akan dikerjakan.
Kegiatan Inti
a. Guru menjelaskan terlebih dahulu segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas
bahan alam dari tanaman untuk produk karya seni rupa dan kriya.
b. Guru membagikan karton kepada siswa untuk menempel tugas bahan alam dari
tanaman.
c. Siswa mulai menempel tugas bahan alam dari tanaman.
60 menit
d. Siswa melakukan pemberian nama pada tugas bahan alam dari tanaman yang telah di
tempel.
e. Siswa membuat kesimpulan dari tugas bahan alam dari tanaman.
f. Mempresentasikan hasil tugas siswa.
g. Mengadakan tanya jawab tentang pokok bahasan yang telah dipersentasikan.
h. Guru memperjelas jawaban siswa tentang pokok bahasan yang telah telah

15
Rincian Kegiatan Waktu
dipersentasikan.

Penutup
a. Siswa mengumpulkan tugas yang telah dibuat dan di presentasikan.
b. Guru bersama siswa menyimpulkan materi pembelajaran yang telah diberikan.
15 Meni
c. Guru memberikan beberapa pertanyaan secara lisan untuk mengetahui pemahaman
t
siswa terhadap pembelajaran yang telah dilakukan.
d. Guru memberikan tugas kepada siswa unruk membaca atau pun searching materi
selanjutnya di rumah.

H. Alat/Media/Bahan ajar
1. Alat : komputer dan proyektor digital
2. Bahan ajar : Modul pengetahuan bahan.
3. Media : media elektronik

I. Penilaian
1. Teknik penilaian
a.Pengamatan
b. Tes
c.Penugasan
2. Prosedur penilaian

No Aspek yang dinilai Teknik Penilaian Waktu Penilaian


1. Sikap Pengamatan aktivitas di Selama pembelajaran berlangsung
a. Terlibat aktif dalam kelas dan kerja kelompok dan saat diskusi di kelas
pembelajaran
b. Bekerjasama dalam kegiatan
diskusi kelompok.
c. Toleran terhadap proses
pemecahan masalah yang
berbeda dan kreatif.
2. Pengetahuan Kemampuan siswa Pada saat pendalaman materi dan
a. Menjelaskan kembali konsep, dalam menjelaskan diskusi
definisi, ruang lingkup dan materi yang dikuasasinya
contoh aplikasi kegunaan di depan kelas
mengenal bahan alam dari kuis dan tes
tanaman.
b. Menyatakan kembali
hubungan bahan alam dari
tanaman dengan berbagai
aplikasi di dunia kerja secara
tepat dan kreatif.
3. Keterampilan Kemampuan siswa Presentasi di depan kelas dan
a. Terampil menerapkan dalam berkomunikasi Penyelesaian tugas (baik individu
konsep/prinsip dan strategi secara lisan dan maupun kelompok) dan saat
pemecahan masalah yang menyusun laporan tugas. diskusi
relevan yang berkaitan
dengan konsep, definisi,
ruang lingkup dan contoh
aplikasi bahan alam dari
tanaman dalam kehidupan
nyata di dunia kerja dan
industri

16
J. Sumber/Referensi
J.F.Dumanauw.2001.Mengenal Kayu. Yogyakarta:Kanisius
Wiyoso Yudoseputro. 1983. Seni Kerajinan Indonesia. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Yogyakarta, April 2018
Mengetahui
Kepala SMK Negeri 5 Yogyakarta Guru

Lampiran

a. Materi Ajar
1) Pengertian Tanaman
Tanaman adalah beberapa jenis organisme yang dibudidayakan pada suatu ruang atau
media untuk dipanen pada masa ketika sudah mencapai tahap pertumbuhan tertentu.
Kayu merupakan salah satu dari bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan menjadi
karya seni dan kriya. Bagian – bagian dari tanaman yang dapat digunakan untuk
membuat karya seni dan kriya diantaranya:
a) Batang
Batang adalah bagian dari pohon dimulai dari pangkal akar sampai ke bagian
bebas cabang. Batang berfungsi sebagai tempat tumbuhnya cabang, ranting, tunas
dan daun.
Contoh batang yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya
adalah : batang jati, batang sonokeling, batang rotan, batang bambu, batang sungkai,
batang pinus, batang suren, batang mahoni,batang mindi, batang bengkirai, dll.
b) Daun
Daun adalah salah satu organ tumbuhan yang tubuh dari ranting dan umumnya
berwarna hijau.
Contoh dedaunan yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya
adalah : daun kelapa, daun lontar, daun pandan, daun mendong, dan daunan sejenis
pohon palem.
c) Pelepah
Pelepah adalah tulang daun yang terbesar.
Contoh pelepah yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya
adalah : pelepah pisang, enceng gondok.
d) Akar
Akar adalah bagian bawah dari batang yang berfungsi sebagai penegak tanaman
dan menyalurkan makanan ke bagian-bagian batang.
Contoh akar yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya adalah:
akar wangi, akar pohon kelapa.
e) Kulit buah
Contoh kulit buah yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya
adalah : batok kelapa
2) Sifat-sifat tanaman
a) Sifat kayu
Sifat-sifat kayu yang berbeda-beda antara lain:
1) Sifat anatomi kayu
2) Sifat fisik

17
Beberapa hal yang tergolong dalam sifat fisik kayu adalah berat jenis, keawetan
alami, warna, hidroskopik, tekstur, serat, berat, kekerasan, bau dan rasa, dan nilai
dekoratif.
3) Sifat mekanik
Sifat mekanik kayu atau kekuatan kayu adalah kemampuan kayu ubtuk menahan
muatan dari luar diantaranya adalah keteguhan tarik, keteguhan tekan, keteguhan
geser, keteguhan lengkung, kekakuan, keuletan, kekerasan, dan keteguhan belah.
4) Sifat kimia
Pada umumnya komponen kimia kayu daun lebar dan daun jarum terdiri dari tiga
macam unsur yaitu unsur karbohidrat yang terdiri dari selulosa dan hemi selulosa,
unsur non-karbohidrat yag terdiri dari lignin, unsur yang diendapkan dalam kayu
selam proses pertumbuhan yang sering disebut zat ekstraktif.
3) Contoh hasil karya bahan alam dari tanaman :
Karya dari kayu

Gambar 1. Karya dari kayu rotan Gambar 2. Karya dari kayu jati Gambar 3. Karya dari bambu

Karya dari daun Karya dari pelepah

Gambar 4. Karya seni dari daun lontar Gambar 5. Karya dari eceng gondok

18
Karya dari pelepah Karya dari akar

Gambar 6. Karya dari pelepah pisang Gambar 7. Karya dari akar wangi

Karya dari akar pohon Karya dari kulit buah

Gambar 8. Karya dari akar jati Gambar 9. Karya dari batok kelapa

19
b. Lembar Penilaian

INSTRUMEN TES TERTULIS


PILIHAN GANDA
1. Beberapa jenis organisme yang dibudidayakan dan dipanen ketika sudah mencapai tahap petumbuhan
tertentu adalah....
a. Tumbuhan c. Pohon e. Semak
b. Tanaman d. Kayu

2. Bagian dari pohon dimulai dari pangkal akar sampai ke bagian bebas cabang yang dapat dibuat karya
seni rupa dan kriya adalah....
a. Batang c. Cabang e. Kayu
b. Ranting d. Akar

3. Dibawah ini karya seni dan kriya terbuat dari....


a. Pelepah
b. Batang
c. Daun
d. Buah
e. Akar

4. Kayu yang memiliki sifat ringan, tekstur halus, warna bersih adalah....
a. Jelutung, melur, pulai, pinus d. Pasang, mahoni, sonokeling, jati
b. Mahoni, bangkirai, jati, pasang e. Jambu, pinus, mangga, waru
c. Jati, mahoni, pinus, sonokeling

5. Daun yang dapat digunakan untuk membuat karya seni rupa dan kriya adalah....
a. Daun kelapa, daun lontar, daun pandan.
b. Daun mendong, daun palem, daun pisang.
c. Daun jati, daun mangga, daun lontar.
d. daun kelapa, daun pisang, daun palem.
e. Daun pandan, daun palem, daun mangga.

6. Kayu yang memiliki sifat ringan, kuat, dan elastis adalah....


a. Kayu jati c. Kayu rotan e. Kayu pulai
b. Kayu pinus d. Kayu mahoni
7. Gambar dibawah ini merupakan hasil karya dari....
a. Rotan
b. Bambu
c. Mendong
d. Pelepah pisang
e. Pandan

20
8. Gambar dibawah ini merupakan hasil karya dari....
a. Akar
b. Kayu jati
c. Sabut kelapa
d. Batok kelapa
e. Akar wangi

9. Tulang daun yang terbesar disebut....


a. Pelepah c. Serat e. Ranting
b. Daun d. Akar

10. Gambar dibawah ini merupakan karya dari bahan tanaman....


a. Akar
b. Serabut
c. Pelepah
d. Ecenggondok
e. Serbuk kopi

Kunci Jawaban
1. B
2. A
3. C
4. A
5. A
6. C
7. B
8. D
9. A
10. C
Skor : benar x 4 = Nilai

21
LEMBAR OBSERVASI
Mata Pelajaran : Pengetahuan Bahan
Kelas/Program : X.A/ Desain Komunikasi Visual
Kompetensi : Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
Observasi
Jml Kode Nilai
No Nama Siswa Akt Disk Kerjsm Nilai
Skor

1.
2.
3.
4.
5.

Rubrik lembar pengamatan observasi dapat disusun sebagai berikut:

Kriteria Skor Indikator


Sangat Baik 4 Selalu aktif dalam kegiatan pembelajaran dan diskusi, dapat
(SB) bekerja sama dengan teman sekelompok.
Baik (B) 3 Sering aktif dalam kegiatan pembelajaran dan diskusi, dapat
bekerja sama dengan teman sekelompok.
Cukup (C) 2 Kadang-kadang aktif dalam kegiatan pembelajaran dan diskusi,
dapat bekerja sama dengan teman sekelompok.
Kurang (K) 1 Tidak pernah aktif dalam kegiatan pembelajaran dan diskusi,
dapat bekerja sama dengan teman sekelompok.

Keterangan:
1. Skor maksimal = Jumlah sikap yang dinilai x jumlah kriteria
2. Skor sikap = Jumlah skor : jumlah sikap yang dinilai
Skor sikap ditulis dengan dua desimal. Rentang skor sikap: 1.00 – 4.00
3. Kode nilai/Predikat:
3.25 - 4.00 = SB (Sangat baik)
2.50 – 3.24 = B (Baik)
1.75 – 2.49 = C (Cukup)
1.00 – 1.74 = K (Kurang)

LEMBAR KINERJA PRESENTASI


Mata Pelajaran : Pengetahuan Bahan
Kelas/Program : X.A/ Desain Komunikasi Visual
Kompetensi : Memilih bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa dan kriya.
Kinerja Presentasi
Jml Kode Nilai
No. Nama Siswa Persentasi Visual Isi Nilai
Skor

1.
2.

22
Rubrik lembar kinerja persentasi dapat disusun sebagai berikut:
Kriteria Skor Indikator
Sangat Baik (SB) 4 Tampilan persentasi, visual dan isi sangat
menarik
Baik (B) 3 Tampilan persentasi, visual dan isi sedikit
menarik
Cukup (C) 2 Tampilan persentasi, visual dan isi cukup menarik
Kurang (K) 1 Tampilan persentasi, visual dan isi kurang
menarik

Keterangan:
1. Skor maksimal = Jumlah sikap yang dinilai x jumlah kriteria
2. Skor sikap = Jumlah skor : jumlah sikap yang dinilai
Skor sikap ditulis dengan dua desimal. Rentang skor sikap: 1.00 – 4.00
3. Kode nilai/Predikat:
3.25 - 4.00 = SB (Sangat baik)
2.50 – 3.24 = B (Baik)
1.75 – 2.49 = C (Cukup)
1.00 – 1.74 = K (Kurang)

LEMBAR PENGAMATAN SIKAP


Bubuhkan tanda (√) pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan
Religius Jujur Tanggung jawab
No. Nama Siswa
BT MT MB MK BT MT MB MK BT MT MB MK
1.

2.

3.

4.

5.

23
LEMBAR PENGAMATAN PENILAIAN KETERAMPILAN
Mata Pelajaran : Pengetahuan Bahan
Kelas/Program : X.A/ Desain Komunikasi Visual

Semester : II
Tahun Ajaran : 2013/2014
Waktu Pengamatan : 2x45 menit
Indikator terampil menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang
relevan yang berkaitan dengan konsep bahan alam dari tanaman untuk karya seni rupa
dan kriya, ruang lingkup dan contoh aplikasi dalam dunia nyata dan dunia kerja dan
industri.
1. Kurang terampil jika sama sekali tidak dapat menerapkan konsep/prinsip dan
strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan konsep memilih
bahan alam dari tanaman, ruang lingkup dan contoh aplikasi dalam dunia nyata dan
dunia kerja dan industri
2. Terampil jika menunjukkan sudah ada usaha untuk menerapkan konsep/prinsip dan
strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan konsep memilih
bahan alam dari tanaman, ruang lingkup dan contoh aplikasi dalam dunia nyata dan
dunia kerja dan industri tetapi belum tepat.
3. Sangat terampill, jika menunjukkan adanya usaha untuk menerapkan konsep/prinsip
dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan konsep
memilih bahan alam dari tanaman, ruang lingkup dan contoh aplikasi dalam dunia
nyata dan dunia kerja dan industri dan sudah tepat.
Keterampilan
Menerapkan konsep/prinsip dan
No Nama Siswa
strategi pemecahan masalah
KT T ST
1.

2.

3.

4.

5.

Keterangan:
KT : Kurang terampil
T : Terampil
ST : Sangat terampil

24
LEMBAR PENGAMATAN PENILAIAN KETERAMPILAN
Mata Pelajaran : Pengetahuan Bahan
Kelas/Program : X.B/ Desain Komunikasi Visual

Contoh RPP2

No. Dokumen
SMK NEGERI 2 DEPOK SLEMAN
No. Revisi
RENCANA PELAKSANAAN Tgl Berlaku
PEMBELAJARAN Halaman

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : SMK NEGERI 2 DEPOK SLEMAN


Kompetensi Keahlian : TEKNIK OTOMASI INDUSTRI
Mata Pelajaran : SISTEM KONTROL TERPROGRAM
Tahun Pelajaran : 2017/2018
Kelas/Semester : XI/2
Alokasi Waktu : 2 x 6 JP x 45 menit

A. Kompetensi Inti
KI 3:
Memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi tentang pengetahuan
faktual, konseptual, operasional dasar, dan metakognitif sesuai dengan bidang
dan lingkup kerja Teknik Instalasi Tenaga Listrik pada tingkat teknis, spesifik,
detil, dan kompleks, berkenaan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
budaya, dan humaniora dalam konteks pengembangan potensi diri sebagai bagian
dari keluarga, sekolah, dunia kerja, warga masyarakat nasional, regional, dan
internasional.
KI 4:
Melaksanakan tugas spesifik dengan menggunakan alat, informasi, dan prosedur
kerja yang lazim dilakukan serta memecahkan masalah sesuai dengan bidang
kerja Teknik Instalasi Tenaga Listrik Menampilkan kinerja di bawah bimbingan
dengan mutu dan kuantitas yang terukur sesuai dengan standar kompetensi kerja.
Menunjukkan keterampilan menalar, mengolah, dan menyaji secara efektif,
kreatif, produktif, kritis, mandiri, kolaboratif, komunikatif, dan solutif dalam
ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah,
serta mampu melaksanakan tugas spesifik di bawah pengawasan langsung.
Menunjukkan keterampilan mempersepsi, kesiapan, meniru, membiasakan, gerak
mahir, menjadikan gerak alami dalam ranah konkret terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah, serta mampu melaksanakan
tugas spesifik di bawah pengawasan langsung.
B. Kompetensi Dasar
3.7 Mendeskripsikan sistem dan komponen perangkat keras PLC berdasarkan
operation manual.
4.7 Mengidentifikasi sistem dan komponen perangkat keras PLC.
C. Indikator Pencapaian Kompetensi
3.7.1 Menjelaskan kondisi operasi sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual.
3.7.2 Menerapkan kondisi operasi sistem dan komponen perangkat keras PLC

25
berdasarkan operation manual.
4.7.1 Mengidentifikasi sistem dan komponen perangkat keras PLC.
4.7.2 Mendemonstrasikan sistem dan komponen perangkat keras PLC.
D. Tujuan Pembelajaran
1. Setelah melaksanakan proses pembelajaran dan menggali informasi melalui diskusi,
peserta didik dapat:
a. Menjelaskan kondisi operasi sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual secara benar dengan penuh rasa percaya diri.
b. Menerapkan kondisi operasi sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual dengan kebenaran minimal 80% dan penuh
tanggung jawab.
2. Setelah melaksanakan proses pembelajaran dan praktikum, peserta didik dapat:
a. Mengidentifikasi sistem dan komponen perangkat keras PLC dengan benar secara
santun.
b. Mendemonstrasikan sistem dan komponen perangkat keras PLC dengan benar
dan penuh percaya diri.

E. Materi Pembelajaran
1. Deskripsi penggunaan PLC pada system otomasi industry.
2. Prinsip Sistem Kontrol diskrit (berbasis data diskrit): Sequensial dan Kondisional,
dan Sistem control Kontinyu (berbasis data kontinyu): Linier (PID Controller) dan
Non-Linier (Fuzzy Logic).
3. Komponen-komponen PLC (Processor/CPU, power Supply,memory, dan
programming device).
4. Sistem memory dan interaksi I/O: Jenis memory, struktur dan kapasitas memory,
organisasi memory dan interaksi I/O, konfigurasi memory.
5. Sistem input output diskrit (digital): Sistem I/O diskrit, Modul I/O dan pemetaan
table, jenis input diskrit (AC/DC), Instruksi PLC untuk output diskrit, Output
diskrit (AC/DC, Output TTL).
<<Materi selengkapnya terlampir>>
F. Pendekatan, Model dan Metode
1. Pendekatan Pembelajaran : Scientific Approach
2. Model Pembelajaran : Inquiry Learning (terbimbing)
a. Orientasi masalah
b. Pengumpulan data dan verifikasi
c. Pengumpulan data melalui eksperimen
d. Pengorganisasian dan formulasi eksplanasi
e. Analisis proses inkuiri
3. Metode Pembelajaran : Ceramah interaktif, Tanya jawab, Demontrasi dan
Praktikum.
G. Kegiatan Pembelajaran
1. Pertemuan pertama
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
Pendahuluan Orientasi, motivasi, dan apersepsi 15 mnt
1. Guru menyampaikan salam
2. Guru menanyakan kondisi peserta didik
3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
4. Guru menyampaikan K3 kelistrikan yang harus
diperhatikan peserta didik selama proses pembelajaran.
5. Guru menampilkan video motivasi sebagai pengantar
proses pembelajaran.

26
6. Brain storming (Guru memberi pertanyaan dan narasi
pengantar sebelum masuk materi)
Kegiatan Inti a. Orientasi Masalah (Mengamati, Menanya) 240 mnt
1) Guru menyampaikan materi tentang definisi dan
pengenalan sistem dan komponen perangkat keras
PLC berdasarkan operation manual.
2) Mengarahkan peserta didik supaya mengamati
penjelasan dan media pembelajaran tentang sistem
dan komponen perangkat keras PLC berdasarkan
operation manual.
b. Pengumpulan data dan verifikasi (Menanya,
Mengumpulkan Informasi)
1) Peserta didik membentuk kelompok (3-4 peserta
didik) mendiskusikan mengenai sistem dan
komponen perangkat keras PLC berdasarkan
operation manual.
2) Peserta didik berupaya memecahkan masalah yang
muncul saat mendiskusikan sistem dan komponen
perangkat keras PLC berdasarkan operation manual.
c. Pengumpulan data melalui eksperimen
(Mengumpulkan Informasi, Menalar)
1) Peserta didik mencari solusi dari studi kasus materi
tentang sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual.
2) Peserta didik menghimpun setiap solusi yang
ditemukan oleh anggota kelompok.
d. Pengorganisasian dan formulasi eksplanasi (Menalar,
Mengkomunikasikan)
1) Peserta didik berdiskusi menentukan solusi yang
paling solutif terhadap studi kasus materi tentang
sistem dan komponen perangkat keras PLC
berdasarkan operation manual.
2) Peserta didik mengambil kesimpulan terhadap solusi
untuk menyelesaikan masalah yang ada di studi
kasus materi tentang sistem dan komponen perangkat
keras PLC berdasarkan operation manual.
e. Analisis proses inkuiri (Menalar, Mengkomunikasikan)
1) Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi
kelompok mengenai materi sistem dan komponen
perangkat keras PLC berdasarkan operation manual.
2) Peserta didik melakukan Tanya jawab antar
kelompok mengenai hasil diskusi kelompok yang
melakukan presentasi.
Penutup 1. Peserta didik diminta membuat rangkuman secara 15 menit
individu.
2. Guru memberikan feedback dari hasil rangkuman dan
diskusi peserta didik (refleksi).
3. Peserta didik menyimpulkan hasil pembelajaran di
bawah bimbingan guru.
4. Guru menyampaikan materi yang akan disampaikan
pada pertemuan berikutnya (tindak lanjut).
5. Guru menyampaikan salam penutup.

27
2. Pertemuan kedua
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
Pendahuluan Orientasi, motivasi, dan apersepsi 15 mnt
1. Guru menyampaikan salam
2. Guru menanyakan kondisi peserta didik
3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
4. Guru menyampaikan K3 kelistrikan yang harus
diperhatikan peserta didik selama proses
pembelajaran.
5. Guru menampilkan video motivasi sebagai pengantar
proses pembelajaran.
6. Brain storming (Guru memberi pertanyaan dan narasi
pengantar sebelum masuk materi)
Kegiatan Inti a. Orientasi Masalah (Mengamati, Menanya) 240 mnt
1) Guru menyampaikan materi tentang bagaimana
mengoperasikan sistem dan komponen perangkat
keras PLC.
2) Mengarahkan peserta didik supaya mengamati
penjelasan dan media pembelajaran tentang bagaimana
mengoperasikan sistem dan komponen perangkat keras
PLC.
b. Pengumpulan data melalui eksperimen (Mengumpulkan
Informasi, Menalar)
1) Peserta didik membentuk kelompok (3-4 peserta didik)
mendiskusikan mengenai bagaimana mengoperasikan
sistem dan komponen perangkat keras PLC.
2) Peserta didik berlatih mengidentifikasi sistem dan
komponen perangkat keras PLC.
3) Peserta didik mengoperasikan sistem dan komponen
perangkat keras PLC.
c. Analisis proses inkuiri (Menalar, Mengkomunikasikan)
1) Peserta didik mendemontrasikan cara pengoperasian
sistem dan komponen perangkat keras PLC.
2) Peserta didik membuat laporan hasil praktik yang telah
dilaksanakan, yaitu mengenai mengoperasikan sistem
dan perangkat keras PLC.
Penutup 1. Guru memberikan feedback dari hasil pembelajaran 15 menit
praktikum yang telah dilakukan (refleksi).
2. Peserta didik menyimpulkan hasil pembelajaran di
bawah bimbingan guru.
3. Guru menyampaikan materi yang akan disampaikan
pada pertemuan berikutnya (tindak lanjut).
4. Guru memimpin doa syukur dan menyampaikan salam
penutup.

H. Penilaian Pembelajaran, Remedial dan Pengayaan


Aspek Penilaian Jenis Tes Bentuk Tes Jumlah Soal Waktu
Pilihan
10 PG
Pengetahuan Tes Tertulis Ganda & 30 Menit
5 Essay
Essay

28
Keterampilan Non Tes Uji Kinerja 2 Soal 30 Menit

1. Instrumen Penilaian
a. Soal tes tulis.
b. Lembar observasi sikap peserta didik
c. Lembar Pengamatan Uji kinerja/presentasi peserta didik.
d. Lembar soal wawancara.
2. Pembelajaran Remedial dan Pengayaan
 Pembelajaran remedial dilakukan bagi peserta didik yang capaian KD nya belum
tuntas.
 Tahapan pembelajaran remedial dilaksanakan melalui remidial teaching
(klasikal), atau tutor sebaya, atau tugas dan diakhiri dengan tes.
<<Instrumen penilaian terlampir>>

I. Media, Alat/Bahan, dan Sumber Belajar


1. Media : Slide presentasi interaktif, Pointer, Video motivasi.
2. Alat : LCD Proyektor, trainer PLC zelio atau omron.
3. Bahan :Kertas A4, LKPD sistem operasi dan komponen perangkat keras PLC,
Labsheet sistem operasi dan komponen perangkat keras PLC.
4. Sumber Belajar : Buku BSE sistem kontrol terprogram, Internet mengenai artikel
PLC (jagootomasi.com).
Yogyakarta, 13 Maret 2018
Guru Mata Pelajaran,

29
MODUL 6

Kegiatan Belajar 1: Pengertian Pengukuran, Penilaian, Tes, dan Evaluasi

Uraian Materi
1. Pengukuran
a. Batasan Pengukuran
Dalam aktivitas kehidupan sehari-hari semua orang pasti selalu melakukan
pengukuran, misalnya mengukur waktu, kecepatan, jarak, berat, suhu, dan sebagainya. Hasil
pengukuran tersebut selalu diikuti dengan satuan sesuai dengan karakteristik obyek yang
diukur sehingga memberikan informasi yang bermakna. Tanpa ada satuan yang mengikuti
hasil pengukuran maka informasi yang diperoleh tidak memberikan makna apa-apa. Intinya
bahwa dalam melakukan pengukuran suatu obyek ukur diperlukan pengetahuan dan
keterampilan menggunakan peralatan ukur dan kemampuan menginterpretasikan hasil
pengukurannya.
Demikian juga halnya dengan pengukuran hasil belajar. Batasan pengukuran
(measurement) telah banyak dikemukakan oleh para ahli di bidang asesmen pembelajaran.
Secara garis besar, pengukuran adalah proses pemberian angka atau bentuk kuntitatif pada
objek-objek atau kejadian-kejadian menurut sesuatu aturan yang ditetapkan.Artinya, proses
pemberian bentuk kuantitatif dalam pengukuran dilakukan atas dasar ketentuan atau aturan
yang sudah disusun secara cermat. Dengan demikian, bentuk angka atau bilangan yang
dikenakan kepada objek yang diukur dapat mempresentasikan secara kuantitatif sifat-sifat
objek tersebut. Berdasarkan deskripsi di atas dapat dikemukakan bahwa pengukuran pada
padasarnya adalah proses memberi bentuk kuantitatif pada atribut seseorang, kelompok atau
objek-objek lainnya berdasarkan aturan-aturan atau formulasi yang jelas. Artinya, dalam
memberiangka atau sekor pada subjek, objek atau kejadian harus menggunakan aturan-aturan
atau formula yang jelas dan sudah disepakati bersama.Hal ini dimaksudkan agar angka atau
sekor yang diberikan betul-betul dapat menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dari
orang, obyek, kejadian yang diukur. Semakin jauh seseorang meninggalkan aturan-aturan
pengukuran maka semakin besar kesalahan pengukuran yang terjadi.

b. Skala Penggukuran
Karakteristik utama dalam proses pengukuran adalah adanya penggunaan angka
(sekor) atau skala tertentu dan dalam menentukan angka tersebut didasarkan atas aturan atau

1
formula tertentu. Skala atau angka dalam pengukuran dapat diklasifikasikan kedalam 4
(empat) kategori, yaitu: skala nominal, skala ordinal, skala interval, dan skala rasio.
Skala nominal adalah skala yang bersifat kategorikal, jenis datanya hanya
menunjukkan perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, misalnya, jenis
kelamin, golongan, organisasi, dan sebagainya. Sebagai contoh, golongan darah hanya dapat
membedakan antara golongan darah A dan B, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa golongan
darah A lebih baik dari pada B. Jika golongan darah A diberi sekor 1 dan B diberi sekor 2
tidak berarti bahwa golongan darah B dengan simbol angka 2 lebih dari pada golongan dara
A dengan simbol angka 1.
Skala ordinal adalah skala yang menunjukkan adanya urutan atau jenjang tanpa
mempersoalkan jarak antar urutan tersebut. Misalnya, prestasi peserta didik ranking 1, 2 dan
3. Ranging1 tidak berarti dua kali kecerdasan ranking 2, atau 3 kali kecerdasan ranking 3.
Jarak kecerdasan antara peserta didik ranking 1 dan ranking 2 tidak sama dengan jarak
kecerdasan antara peserta didik ranking 2 dan ranking 3, dan seterusnya.
Skala interval adalah skala yang menunjukkan adanya jarak yang sama dari angka
yang berurutan dari yang terendah ke tertinggi dan tidak memiliki harga nol mutlak, artinya
harga 0 yang dikenakan terhadap sesuatu obyek menunjukkan bahwa nilai atau harga 0
tersebut ada (dapat diamati keberadaannya). Contoh sederhana skala interval misalnya,
ukuran panjang suatu bendadalam satuan meter. Selisih jarak antara 1 meter dan 2 meter
adalah sama dengan selisih jarak antara 3 meter dan 4 meter, dan seterusnya. Ukuran untuk
suhu, selisih suhu antara -10C dan 00C adalah sama dengan selisih suhu antara 00 C dan 10 C.
Skala rasio pada dasarnya sama dengan skala interval, bedanya skala rasio memiliki
harga nol mutlak, artinya harga 0 tidak menunjukkan ukuran sesuatu (tidak ada). Misalnya,
tinggi badan A 100 cm, tidak ada tinggi badan yang 0 cm. Berat badan 100 kg, tidakada berat
badan 0 kg.
Dalam kegiatan pengukuran, hasil pengukuran terhadap keberhasilan belajar peserta
didik selalu dinyatakan dalam bentuk angka yang menggunakan skala angka dari 0 sampai
dengan 10 atau dari 0 sampai dengan 100. Ketentuan kapan memberi angka 6,5 atau 65 pada
hasil belajar seseorang harus didasarkan atas formula yang sudah disepakati. Formula ini
harus bersifat terbuka sehingga diketahui oleh orang diukur. Untuk keperluan
pendeskripsian terhadap hasil belajar, skala angka tersebut selanjutnya dijabarkan dalam
bentuk kualitatif.

c. Kesalahan Pengukuran
2
Dalam proses pengukuran hasil belajar selalu melibatkan empat faktor yakni
sipembuat alat ukur, individu/obyek yang diukur, alat ukur, dan lingkungan. Dengan
demikian, dalam proses pengukuran selalu terjadi kesalahan pengukuran. Hal ini
menunjukkan bahwa baik tidaknya hasil pengukuran sangat tergantung pada keempat faktor
tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil pengukuran yang memiliki kesalahan
pengukuran sekecil mungkin perlu memperhatikan keempat faktor di atas. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1) Si pembuat alat ukur harus memiliki kompetensi dalam mengembangkan dan menyusun
alat ukur, mengoreksi hasil pengukuran, dan menginterpretasi hasil pengukuran.
2) Alat ukur harus memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas yang baik. Alat ukur
berbentuk tes juga harus memenuhi persyaratan tingkat kesukaran, daya beda, dan
keberfungsian pengecoh.
3) Individu yang diukur yang harus dalam kondisi yang baik, baik dari segi pisik maupun
mental.
4) Lingkungan sekitar tempat dilakukan pengukuran harus kondusip sehingga tidak
mengganggu kenyamanan proses pengukuran.

2. Penilaian
a. Batasan Penilaian
Istilah penilaian (assessment) sering disamaartikan dengan evaluasi (evaluation).
Beberapa ahli mengatakan bahwa terdapat kesamaan pengertian antara evaluasi dan
penilaian, namun para ahli lainnya menganggap bahwa kedua hal itu berbeda. Penilaian
adalah proses pengumpulan informasi secara sistematis berkaitan dengan belajar siswa,
pengetahuan, keahlian, pemanfaatan waktu, dan sumber daya yang tersedia dengan tujuan
untuk mengambil keputusan mengenai hal-hal yang mempengaruhi pembelajaran peserta
didik. Penilaian adalah penggunaan berbagai macam teknik untuk mengumpulkan data yang
digunakan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan berkaitan dengan tingkat
kemajuan belajar dan hasil pembelajaran.
Berdasarkan uraian- uraian di atas dapat dideskripsikan batasan penilaian sebagai
berikut. Penilaian adalah proses memberikan atau menentukan bentuk kualitatif kepada
atribut atau karakteristik seseorang, kelompok, atau objek tertentu berdasarkan suatu kriteria
tertentu. Penilaian merupakan kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran.
Penilaian adalah proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang

3
diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun
non tes. Contoh hasil penilaian adalah penetapan lulus dan tidak lulus, kompeten dan tidak
kompeten, baik dan tidak baik, memuaskan dan tidak memuaskan, dan sebagainya.
Secara garis besar, penilaian dapat dibagi menjadi dua, yaitu penilaian formatif dan
penilaian sumatif. Penilaian yang bersifat formatif dilakukan dengan maksud untuk
mengetahui sejauhmanakah suatu proses pembelajaran berlangsung sudah sesuai dengan
rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah direncanakan. Dengan kata lain, penilaian
formatif dilakukan untuk mengetahui sejauhmanakah peserta didik menguasai materi ajar
yang sudah disampaikan pada setiap kali pelaksanaan proses pembelajaran. Penilaian
formatif dapat dilakukan pada setiap tatap muka atau beberapa kali tatap muka pada
penyampaian materi pokok bahasan atau sub pokok bahasan. Penilaian yang bersifat sumatif
dilakukan untuk mengetahui sejauhmanakah peserta didik telah menguasai materi ajar dalam
periode waktu tertentu sehingga peserta didik dapat melanjutkan atau pindah ke unit
pembelajaran berikutnya.

b. Acuan Penilaian
Dalam kegiatan penilaian pembelajaran dapat merujuk pada dua macam acuan yakni
penilaian acuan norma (norm reference test) dan penilaian acuan kriteria/patokan (criterion
reference test). Perbedaan utama antara kedua acuan tersebut adalah pada penafsiran skor
hasil tes. Dengan demikian, informasi yang diperoleh memiliki makna yang berbeda satu
sama lain. Kedua acuan tersebut menggunakan asumsi yang berbeda dalam melihat
kemampuan seorang peserta didik. Penilaian acuan norma memiliki asumsi bahwa
kemampuan belajar peserta didik adalah berbeda dengan peserta didik lain yang diukur dalam
waktu yang sama. Pada acuan ini dapat dilihat posisi tiap peserta didik dibandingkan dengan
kondisi kelompok dalam satu kelas. Dengan menggunakan rerata sekor dan simpangan baku
nilai kelompok maka hasil penilaian dapat diaplikasikan pada analisis dengan menggunakan
konsep distribusi normal.Penilaian acuan kriteria/patokan berasumsi bahwa kemampuan
belajar semua peserta didik adalah sama untuk periode waktu yang berbeda. Tingkat
kemampuan belajar antar peserta didik berbeda, ada yang relatif cepat dapat menyerap materi
ajar, tetapi ada juga yang membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Hal ini membawa
implikasi bahwa untuk membuat kemampuan semua peserta didik dalam satu kelas relatif
sama atau memenuhi kriteria minimal diperlukan upaya-upaya pembelajaran yang relevan.
Salah satu program pembelajaran yang digunakan untuk membawa peserta didik memiliki
kompetensi memenuhi kriteria minimal adalah program remidial.

4
c. Prinsip-Prinsip Penilaian
Dalam melaksanakan kegiatan pelaksanaan penilaian hasil belajar peserta didik perlu
diperhatikan kaidah-kaidah penilaian yang baik dan tepat.Untuk itu, penilaian hasil belajar
harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: obyektip, terpadu, sistematis,
terbuka, akuntabel, menyeluruh dan berkesinambungan, adil, valid, andal, dan manfaat.
Obyektip dimaksudkan bahwa penilaian harus sesuai dengan kriteria atau ketentuan sudah
ditetapkan dan tidak dipengaruhi faktor subyektivitas penilai atau pertimbangan-
pertimbangan lain yang tidak ada kaitannya dengan penilaian. Terpadu dimaksudkan bahwa
penilaian harus memperhatikan dan memadukan kegiatan belajar yang dilakukan peserta
didik, baik yang menyangkut belajar pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Sistematis artinya, penilaian harus dilakukan secara terencana dan mengikuti tahapan-
taahaapan yang baku. Terbuka diartikan bahwa penilaian harus terbuka bagi siapa saja
sehingga tidak ada hal-hal yang dirahasiakan dalam memutuskan hasil penilaian.Akuntabel
diartikan bahwa penilaian yang sudah direncanakan dan dilakukan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang disepakati.Menyeluruh dan
berkenambungan dimaknai bahwa setiap kegiatan penilaian harus memperhatikan semua
aspek kompetensi dan bentuk penilaian yang tepat sehingga mampu menilai perkembangan
kompetensi peserta didik. Adil dimaksudkan bahwa dalam penilaian harus menguatamakan
keadilan sehingga tidak ada peserta didik yang diuntungkan atau merasa dirugikan dilihat dari
aspek apapun. Valid adalah bahwa penilaian harus mampu mengukur kompetensi hasil
belajar sesuai dengan indikator yang sudah ditetapkan sehingga penilaian tersebut tepat
sasaran. Andal diartikan penilaian harus dapat dipercaya dan memberikan hasil yang stabil
pada pengukuran berulang. Manfaat artinya bahwa penilaian harus dapat memberikan nilai
tambah, memberi kebermaknaan, dan kebermanfaatan khususnya bagi peserta didik.

d. Bentuk Penilaian
Untuk memperoleh data hasil penilaian yang akurat, otentik dan bermakna, maka
pendidik dapat menggunakan berbagai teknik penilaian secara komplementer (saling
melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Dengan mengkombinasikan berbagai
teknik penilaian akan memberikan informasi yang lengkap tentang hasil belajar yang
sesungguhnya. Beberapa bentuk penilaian yang bisa digunakan antara lain: tes kinerja sering

5
juga disebut tes unjuk kerja (performance test), observasi, tes tertulis, tes lisan, penugasan,
portofolio, wawancara, tes inventori, jurnal, penilaian diri, dan penilaian antar teman.

3. Tes
a. Batasan Tes
Untuk dapat melaksanakan pengukuran diperlukan alat untuk mengukur yaitu tes. Tes
adalah sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang memiliki jawaban yang benar. Pertanyaan
atau pernyataan tersebut menuntut adanya keharusan orang yang diuji untuk menjawab
dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu dari orang yang diuji tersebut. Dalam
menjawab pertanyaan atau pernyataan tersebut harus mengikuti aturan-aturan atau petunjuk
yang sudah dirumuskan. Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis untuk mengukur
karakteristik orang atau obyek tertentu dengan ketentuan atau cara yang sudah ditentukan.

b. Macam-Macam Tes
Secara umum tes dapat dipilahkan kedalam bentuk tes penampilan atau unjuk kerja
(performance test), tes lisan, dantes tulis. Tes penampilan adalah tes dalam bentuk tindakan
atau unjuk kerja untuk mengukur seberapajauh seseorang dapat melakukan sesuatu tugas atau
pekerjaan sesuai dengan standar atau kriteria yang ditetapkan. Misalnya tes keterampilan
dalam mengoperasikan alat atau peralatan seperti komputer, peralatan produk teknologi,
memperagakan gerakan, dan kegiatan belajar lain yang sejenis. Dengan menggunakan tes
penampilan atau tes keterampilan maka dapat diketahui secara langsung tingkat atau kualitas
keterampilan peserta didik yang sudah dirumuskan dan ditetapkan dalam kompetensi dasar.
Di samping itu, tes keterampilan atau tes praktek dapat berfungsi sebagai media belajar untuk
mengurangi kejenuhan. Namun demikian, penggunaan tes keterampilan akan menghadapi
kendala jika peralatan yang digunakan tidak memadai untuk mendukung pelaksanaan tes itu
sendiri. Dilihat dari segi biaya, tes keterampilan relatif mahal manakala dibutuhkan
kelengkapan fasilitas tes keterampilan yang lebih kompleks.
Tes lisan (oral test) yang dilaksanakan secara lisan, soal atau pertanyaan diberikan
secara lisan dan jawaban yang diberikan juga dinyatakan secara lisan. Tes tulis (written test)
adalah tes yang dilaksanakan secara tertulis, pertanyaan atau soal dinyatakan secara tertulis
dan jawaban yang diberikan oleh peserta tes juga dinyatakan secara tertulis. Tes tulis dapat
dikelompokkan menjadi dua yakni tes bentuk uraian (essay test) dan tes bentuk obyektif
(objective test). Tes bentuk uraian adalah tes yang jawabannya tidak disediakan pada lembar

6
soal, tetapi harus diungkap atau diberikan sendiri oleh peserta tes. Pengungkapan jawaban
oleh peserta tes sangat bervariasi dilihat dari sisi gaya bahasa dan keluasan lingkup jawaban.
Berdasarkan sifat jawaban inilah maka tes bentuk uraian dapat dipilah menjadi uraian bebas
dan uraian terbatas. Tes uraian bebas memberi keleluasaan pada peserta tes untuk
mengungkapkan secara panjang lebar jawaban yang diberikan. Tes uraian terbatas membatasi
peserta tes dalam menjawab berdasarkan aspek-aspek tertentu dari materi yang diujikan.
Tes bentuk obyektip adalah yang jawabannya disediakan oleh pembuat soal, peserta
tes hanya memilih jawaban yang benar dengan cara memberi tanda silang (X), tanda centang
(V), atau lingkaran (O). Secara umum tes bentuk obyektip dapat dipilahkan menjadi dua yaitu
tes menyajikan (supply test) dan tes pilihan (selection test). Tes bentuk pilihan (selection
test) dapat dipilah menjadi benar – salah (true – false), menjodohkan (matching test), pilihan
ganda (multiple choice), tes analogi (analogy test), dan tes menyusun kembali
(rearrangement test) .
Tes menyajikan (supply test) adalah tes yang pertanyaan atau soalnya disusun
sedemikian rupa dengan maksud agar peserta tes memberikan jawaban cukup dengan satu
atau dua kata saja. Tes bentuk pilihan (selection test) adalah tes yang formatnya disusun
sedemikian rupa yang mengharuskan peserta tes menjawab dengan cara memilih alternatif
jawaban yang disediakan dengan memberi tanda sesuai petunjuk. Tes bentuk pilihan ini
dapat disusun dalam bentuk benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda.Tes benar-salah
(true-false) adalah bentuk tes yang soal atau pertanyaannya berupa pernyataan. Pernyataan
tersebut dapat berupa pernyataan yang benar dan pernyataan yang salah. Peserta tes diminta
untuk merespons pernyataan tersebut dengan cara memberi tanda atau memilih huruf B jika
pernyataan benar dan memberi tanda atau memilih S jika pernyataan salah.Tes menjodohkan
(matching test) adalah format tes yang disusun dalam dua bagian yaitu bagian pertanyaan
atau pernyataan dan bagian jawaban.Tes pilihan ganda adalah bentuk tes yang disusun berupa
pertanyaan sebagai pokok soal (stem) dan alternatif pilihan jawaban. Alternatif pilihan
jawaban dapat terdiri tiga, empat, atau lima. Peserta tes diminta memilih satu jawaban yang
benar dari alternatif jawaban yang disediakan dengan cara memberi tanda sesuai dengan
petunjuk. Tes pilihan ganda ini dapat dipilah menjadi pilihan ganda, pilihan ganda sebab –
akibat, pilihan ganda analisis kasus, pilihan ganda kompleks, dan pilihan ganda membaca
diagram/grafik/peta. Tes analogi (analogy test) adalah jenis tes bentuk obyektif yang disusun
sedemikian rupa dimana dalam menjawab pertanyaan atau pernyataan peserta tes diminta
memilih bentuk yang sesuai dengan pernyataan sebelumnya. Tes menyusun kembali
(rearrangement test) adalah jenis tes obyektif yang disusun sedemikian rupa sehingga format

7
pernyataan atau pertanyaan tersusun dalam kalimat yang tidak teratur. Dalam tes jenis ini
peserta tes diminta untuk menyusun kembali rangkaian kalimat yang tidak teratur tersebut
menjadi urutan pengertian atau proses yang benar.

c. Kelebihan dan Kelemahan antara Tes Uraian dan Tes Obyektip


Kelebihan tes bentuk uraian
1) Mengembangkan kemampuan dalam menyusun kalimat yang baik.
2) Menjawab soal dengan ekspresi pikiran tanpa menebak.
3) Mengukur kemampuan yang lebih kompleks.
4) Mengembangkan daya nalar peserta tes.
5) Mengembangkan dan menyusun soal relatif mudah.
6) Memudahkan dalam melacak proses berpikir peserta tes berdasarkan jawaban yang
diberikan.

Kelemahan tes bentuk uraian


1) Materi terbatas sehingga validitas isi rendah.
2) Proses koreksi relatif lama dan cenderung bersifat subyektip.
3) Jawaban yang diberikan peserta tes tidak terkait dengan pertanyaan.
4) Proses koreksi hanya bisa dilakukan oleh si pembuat soal.
5) Tingkat reliabilitas relatif rendah.
6) Kemampuan peserta tes menyusun kalimat mempengaruhi kualitas jawaban.
7) Sifat soal cenderung hanya mengungkap pengetahuan yang dangkal.

Kelebihan tes bentuk obyektip

1) Lingkup materi yang diujikan luas sehingga dapat mewakili materi yang sudah
diajarkan (representatif)
2) Tingkat validitas isi relatif tinggi
3) Proses koreksi dan penyekoran mudah dan obyektif;
4) Tidak memungkinkan peserta tes untuk mengemukakan hal-hal yang tidak berkaitan
dengan pertanyaan
5) Informasi hasil tes dapat lebih cepat
6) Tingkat reliabilitas tinggi
7) Memungkinkan penyelenggaraan tes bersama pada wilayah yang luas.

8
Kelemahan tes obyektif

1) Tidak mengembangkan daya nalar peserta tes.


2) Peserta tes cenderung menjawab dengan jalan menerka.
3) Memungkinkan terjadinya kecurangan, saling menyontek.
4) Mengembangkan dan menyusun soal relatif sulit dan waktu lama.
5) Membutuhkan waktu untuk membaca soal dan jawabannya sehinnga mengurangi
waktu ujian.

c. Fungsi Penilaian, Pengukuran, dan Tes


Penilaian, pengukuran, dan tes memiliki peran yang sangat penting dalam
pelaksanaan program pembelajaran yang sudah dirancang dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Dengan tes inilah seorang pendidik dapat melakukan kegiatan penilaian
dan pengukuran terhadap tingkat daya serap peserta didik setelah mengikuti program
pembelajaran. Dalam pendidikan dan pembelajaran tes memiliki banyak fungsi di antaranya
fungsi untuk pengelolaan kelas, fungsi untuk program bimbingan, dan fungsi untuk
administrasi.
Ditinjau dari aspek fungsi untuk pengelolaan kelas, hasil penilaian, pengukuran, dan
tes dapat digunakan untuk hal-hal berikut seperti: diagnosis kesulitan belajar, evaluasi jarak
antara bakat dan pencapaian, peningkatan pencapaian prestasi belajar, pengelompokkan
peserta didik dalam belajar kelompok, pengembangan program pembelajaran inividual,
memonitor peserta didik yang memerlukan bimbingan tambahan atau khusus. Ditinjau dari
aspek fungsi untuk program bimbingan, hasil penilaian, pengukuran, dan tes dapat digunakan
untuk hal-hal seperti berikut: fokus pembicaraan dengan orang tua tentang anak mereka,
pengarahan dalam menentukan pilihan, membimbing peserta didik dalam pencapaian tujuan
pendidikan dan program studi, membantu pembimbing, pendidik, dan orang tua dalam
memahami kesulitan dan hambatan peserta didik.Berkaitan dengan aspek fungsi administrasi,
hasil penilaian, pengukuran, dan tes dapat dimanfaatkan untuk hal-hal sebagai berikut:
membuat petunjuk pengelompokkan peserta didik, penempatan peserta didik baru, penilaian
kurikulum, membina dan memperluas kerjasama dengan masyarakat, menyediakan data atau
informasi untuk pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan peserta didik dan sekolah.

4. Evaluasi

9
a. Batasan Evaluasi
Salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan
suatu program, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro, adalah evaluasi. Evaluasi
merupakan kegiatan untuk menentukan mutu atau nilai suatu program yang di dalamnya ada
unsur pembuatan keputusan. Evaluasi pada dasarnya merupakan kegiatan pengumpulan data
yang dilakukan secara sistematis melalui suatu pengukuran, yang selanjutnya data dianalisis
dan hasil analisis data tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan berbagai alternatif
keputusan atau kebijakan yang relevan.
Pelaksanaan program pendidikan melibatkan berbagai komponen seperti masukan,
proses, hasil, sarana prasarana, dan lingkungan. Evaluasi program pendidikan dapat
difokuskan pada komponen-komponen pendidikan tersebut sesuai dengan tujuan evaluasi.
Secara umum, evaluasi program pendidikan dapat dikelompokkan menjadi evaluasi yang
bersifat makro dan bersifat mikro. Evaluasi yang bersifat makro dikenakan pada pelaksanaan
progam pendidikan yang dilaksanakan sekolah dalam rangka peningkatan kaulitas
pembelajaran. Evaluasi yang bersifat mikro dikenakan pada pembelajaran di kelas, utamanya
yang berkaitan dengan keberhasilanbelajar peserta didik.
Evaluasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam pembelajaran, karena
dari evaluasi akan diketahui tingkat keberhasilan belajar siswa dan tercapai atau tidaknya
tujuan pembelajaran. Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran
(pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran dan pertimbangan untuk membuat
keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan
belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

b. Tujuan Evaluasi
Tujuan utama adanya kegiatan evaluasi pada dasarnya adalah untuk meningkatkan
bukan untuk membuktikan. Tujuan evaluasi pada hakekatnya adalah untuk memperoleh
informasi yang tepat, terkini dan objektif terkait dengan penyelenggaraan suatu program yang
dengan informasi tersebut dapat diambil suatu keputusan. Secara rinci tujuan evaluasi
program pembelajaran adalah sebagai berikut:
1) Memutuskan seberapa jauh tujuan programberhasil dicapai.
2) Menyimpulkan tepat tidaknya program yang dilaksanakan.
3) Mengetahui besarnya biaya yang digunakan untuk pelaksanaan program.
4) Mengetahui kekuatan dan kelemahan pelaksanaan program pembelajaran.

10
5) Mengindentifikasi pihak-pihak yang memperoleh manfaat, baik maksimum maupun
minimum.
6) Merumuskan kebijakan berkaitan dengan siapa yang harus terlibat pada program
berikutnya.

c. Model Evaluasi
Setiap kegiatan atau program memiliki karakteristik yang berbeda dengan program
lain. Untuk dapat mengevaluasi suatu program perlu memperhatikan model evaluasi yang
digunakan agar hasil evaluasi tepat sasaran. Beberapa model yang telah dikembangkan adalah
model Tyler, model Sumatif-Formatif, model Countenance, model Bebas Tujuan, model
Context Input Process Prodct (CIPP), model Ahli/Connoisseurship. Secara singkat deskripsi
model-model evaluasi tersebut adalah sebagai berikut.
Model Tyler sangat populer di bidang pendidikan karena model evaluasi ini
menekankan adanya proses evaluasi langsung berdasarkan atas tujuan instruksional yang
sudah ditetapkan. Esensi dari model evaluasi ini adalah suatu proses dan kegiatan yang
dilakukan oleh evaluator untuk menentukan pada kondisi seperti apa tujuan program dapat
dicapai. Model evaluasi Sumatif-Formatif merupakan aplikasi atau pengembangan dari model
Tyler, banyak digunakan oleh pengajar untuk melakukan evaluasi terhadap program
pengajaran. Evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dilaksanakan untuk periode
waktu tertentu. Dalam evaluasi sumatif biasanya digunakan acuan penilaian, yaitu acuan
norma atau acuan patokan. Evaluasi formatif dilakukan pada setiap pada akhir satu unit
kegiatan untuk setiap tatap muka. Model evaluasi Countenance dikembangkan oleh Stake,
yang secara garis besar model ini difokuskan pada evaluasi bagian awal (antecedent), tahap
transaksi (transaction), dan pada hasil (outcomes). Model evaluasi bebas tujuan
dikembangkan oleh Scrieven yang intinya bahwa evaluasi program dapat dilakukan tanpa
mengetahui tujuan program itu sendiri. Model evaluasi context input process product (CIPP)
merupakan model evaluasi yang menekankan pada evaluasi untuk aspek konteks (context),
masukan (inpu)t, proses (process), dan hasil (product). Model evaluasi CIPP pada prinsipnya
sangat mendukung proses pengambilan keputusan dengan mengajukan alternatif dan
penindaklanjutan kosekuensi dari suatu keputusan. Model evaluasi ahli merupakan model
evaluasi yang memiliki dua ciri khas yaitu a) manusia dijadikan sebagai instrumen untuk
pengambillan keputusan dan b) menggunakan kritikan untuk menghasilkan konsep-konsep
dasar evaluasi.

11
d. Langkah-Langkah Evaluasi
Untuk mendapatkan hasil yang benar dan tepat dalam kegiatan evaluasi perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tujuan Evaluasi (mengapa evaluasi dilakukan).
2) Desain Evaluasi (model evaluasi, evaluator, jadwal, instrumen, dan biaya).
3) Instrumen Evaluasi (kualitas, uji coba).
4) Pengumpulan Data (sifat data, ketersediaan data, responden, dan waktu).
5) Analisis/Interpretasi Data (proses data: manual/ computer, pembaca/penafsir).
6) Tindak Lanjut (hasil untuk apa, obyektivitas hasil)_

12
MODUL 6
Kegiatan Belajar 2. Penilaian Otentik (Authentic Assessment)

Uraian Materi
1. Hakikat Penilaian Otentik
Penilaian otentik adalah merupakan salah satu bentuk penilaian hasil belajar peserta
didik yang didasarkan atas kemampuannya menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki
dalam kehidupan yang nyata di sekitarnya. Makna otentik adalah kondisi yang sesungguhnya
berkaitan dengan kemampuan peserta didik. Dalam kaitan ini, peserta didik dilibatkan secara
aktif dan realisitis dalam menilai kemampuan atau prestasi mereka sendiri. Dengan demikian,
pada penilaian otentik lebih ditekankan pada proses belajar yang disesuaikan dengan situasi
dan keadaan sebenarnya, baik itu di dalam kelas maupun di luar kelas. Pada penilaian otentik,
peserta didik diarahkan untuk melakukan sesuatu dan bukan sekedar hanya mengetahui
sesuatu, disesuaikan dengan kompetensi mata pelajaran yang diajarkan. Di samping itu, pada
penilaian otentik, penilaian hasil belajar peserta didik tidak hanya difokuskan pada aspek
kognitif, tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik.
Dibandingkan dengan penilaian tradisonal yang selama ini banyak dilakukan oleh
peendidik, penilaian otentik lebih dapat menunjukkan hasil belajar yang komprehensip.
Beberpa kelebihan penilaian otentik antara lain:
a.Peserta didik diminta untuk menunjukkan kemampuan melakukan tugas yang lebih
kompleks yang mewakili aplikasi yang lebih bermakna dalam dunia nyata.
b.Peserta didik diminta untuk menganalisis, mensintesis, dan menerapkan apa yang telah
mereka pelajari.
c. Peserta didik untuk memilih dan mengonstruksi jawaban yang menunjukkan
kemampuannya.
d.Peserta didik diminta untuk membuktikan kemampuannya secara langsung melalui aplikasi
dan konstruksi pengetahuan yang dimilikinya.
Dilihat dari sifat dan proses pelaksanaannya, penilaian otentik sering disamakan
artinya dengan beberapa istilah dalam penilaian, yaitu penilaian berbasis kinerja, penilaian
langsung, dan penilaian alternatif. Penilaian otentik diseebut juga sebagai penilaian berbasis
kinerja karena peserta didik diminta untuk melakukan tugas-tugas belajar yang bermakna.
Penilaian otentik disebut juga sebagai penilaian langsung karena mampu memberikan bukti
secara langsung dan aplikasi bermakna dari pengetahuan dan keterampilan. Penilaian otentik
disebut juga dengan istilah penilaian alternatif karena penilaian otentik merupakan suatu

1
alternatif bagi penilaian tradisional.Jadi dapat dikatakan bahwa penilaian otentik merupakan
penilaian yang menyeluruh berkaitan dengan kompetensi dalam belajar, baik dilihat dari
aspek kognitif, afektif, dan maupun psikomotor. Di samping itu, penilaian otentik lebih
mengutamakan proses daripada hasil pembelajaran dan lebih menekankan praktek daripada
teori yang diterima di kelas, yang kesemuanya dilakukan sesuai dengan kondisi yang nyata di
lapangan.
Prinsip dasar penilaian otentik dalam pembelajaran adalah peserta didik harus dapat
mendemonstrasikan atau melakukan apa yang mereka ketahui. Penilaian otentik perlu
dilakukan karena beberapa hal, yaitu
a. Penilaian otentik merupakan penilaian secara langsung terhadap kemampuan dan
kompetensi peserta didik.
b. Ppenilaian otentik memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengkonstruksikan
hasil pembelajaran.
c. penilaian otentik mengintegrasikan kegiatan belajar, mengajar, dan penilaian.
d. penilaian otentik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mendemonstrasikan kemampuannya yang beragam.

2. Ruang Lingkup Penilaian Otentik


Penilaianotentik adalah penilaian yang dilakukan secara menyeluruh berimbang
antara kompetensi pengetahuan, sikap,dan keterampilan.
a. Sasaran penilaian pada aspek pengetahuan adalah sebagai berikut:
Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge) adalah kemampuan peserta didik untuk
mengingat-ingat kembali (recall) istilah, fakta- fakta, metode, prosedur, proses, prinsip-
prinsip, pola, struktur atau susunan. Contoh beberapa kata kerja operasional adalah :
mengutip, meniru, mencontoh, membuat label, membuat daftar, menjodohkan, menghafal,
menyebutkan , mengenal, mengingat, menghubungkan, membaca, menulis, mencatat,
mentabulasi, mengulang, menggambar, memilih dan memberi kode.
Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang dalam: menafsirkan
suatu informasi, menentukan implikasi-implikasi, akibat-akibat maupun pengaruh-
pengaruh.Beberapa kata kerja operasional adalah memperkirakan, mencirikan, merinci,
mambahas, menjelaskan, menyatakan, mengenali, menunjukkan, melaporkan, mengulas,
memilah, menceritakan, menerjemahkan, mengubah, mempertahankan, mempolakan,
mengemukakan, menyipulkan, meramalkan, dan merangkum.

2
Penerapan (application) adalah kemampuan menerapkan abstraksi-abstraksi: hukum,
aturan, metoda, prosedur, prinsip, teori yang bersifat umum dalam situasi yang khusus.
Beberapa kata kerja operasional adalah menyesuaikan, menentukan, mencegah, memecahkan,
menerapkan, mendemonstrasikan, mendramatisasikan, menggunakan, menggambarkan,
menafsirkan, menjalankan, menyiapkan, mempraktekkan, menjadwalkan, membuat gambar,
mensimulasikan, mengoperasikian, memproduksi, mengkalkulasi, dan menyelesaikan
(masalah).
Analisis (analysis) adalah kemampuan menguraikan informasi ke dalam bagian-
bagian, unsur-unsur, sehingga jelas: urutan ide-idenya, hubungan dan interaksi diantara
bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut. Beberapa contoh kata kerja operasional adalah
menganalisis, menghitung, mengelompokkan, membandingkan, membuat diagram, meneliti,
melakukan percobaan, mengkorelasikan, menguji, mengkorelasikan, merasionalkan,
menginventarisasikan, menanyakan, mentransfer, menelaah, mendiagnosis, mengaitkan, dan
menguji.
Evaluasi/penghargaan/evaluasi (evaluation) adalah kemampuan untuk menilai
ketepatan: teori, prinsip, metoda, prosedur untuk menyelesaikan masalah tertentu. Beberapa
kata operasional yang menunjukkan kemampuan pada tingkat analisis ini antara lain adalah
mendebat, menilai, mengkritik, membandingkan, mempertahankan, membuktikan,
memprediksi, memperjelas, memutuskan, memproyeksikan, menafsirkan,
mempertimbangkan, meramalkan, memilih, dan menyokong.
Kreatif adalah kemampuan mengambil informasi yang telah dipelajari dan
melakukan sesuatu atau membuat sesuatu yang berbeda dengan informasi itu.
Beberapacontoh kata kerja operasional adalah membangun, mengkompilasi, menciptakan,
mengabstraksi, mengarang, mengkategorikan, merekonstruksi, memproduksi, memadukan,
mereparasi, menanggulangi, menganimasi, mengoreksi, memfasilitasi, menampilkan,
menyiapkan, mengatur, merencanakan, meningkatkan, merubah, mendesain, menyusun,
memodifikasi, menguraikan, menggabungkan, mengembangkan, menemukan, dan membuat.

b. Sasaran penilaian pada aspek sikap adalah sebagai berikut:


Menerima (receiving) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan
(stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan
lain-lain. Beberapa contoh kata kerja operasional adalah memilih, mempertanyakan,
mengikuti, memberi, menganut, mematuhi, meminati.

3
Menanggapi (responding) adalah kemampuan seseorang untuk mengikut sertakan
dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya. Beberapa
contoh kata kerja operasional adalah menjawab, membantu, mengajukan, mengompromikan,
menyenangi, menyambut, menampilkan, mendukung, menyetujui, menampilkan,
mepalorkan, mengatakan, menolak.
Menilai (valuing) adalah kemampuan seseorang untuk menghargaiatau menilai
sesuatu. Beberapa contoh kata kerja operasional adalah mengasumsikan, meyakini,
melengkapi, meyakinkan, memperjelas, memprakarsai, mengimani, mengundang,
menggabungkan, memperjelas, mengusulkan, menekankan, menyumbang.
Mengelola/mengatur (organization) adalah kemampuan seseorang untuk mengatur
atau mengelola perbedaan nilai menjadi nilai baru yang universal. Beberapa contoh kata kerja
operasional adalah mengubah, menata, mengklasifikasi, mengkombinasikan,
mempertahankan, membangun, membentuk pendapat, memadukan, mengelola,
mengorganisasi, menegosiasi, merembuk.
Menghayati (characterization) adalah kemampuan seseorang untuk memiliki sistem
nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya dalam waktu yang cukup lama dan menjadi
suatu pilosofi hidup yang mapan. Beberapa contoh kata kerja operasional adalah mengubah
perilaku, barakhlak mulia, mempengaruhi, mendengarkan, mengkualifikasi, melayani,
menunjukkan, membuktikan, memecahkan

c. Sasaran penilaian pada aspek keterampilan sebagai berikut:


Persepsi (perception) mencakup kemampuan mengadakan diskriminasi yang tepat
antara dua atau lebih perangsang menurut ciri-ciri fisiknya.Beberapa contoh kata kerja
operasional adalah mengidentifikasi, mempersiapkan, menunjukkan, memilih, membedakan,
menyisihkan, dan menghubungkan.
Kesiapan (set) yakni menempatkan diri dalam keadaan akan memulai suatu gerakan.
Beberapa kata kerja opersional antara lain menunjukkan, menafsirkan, menerjemahkan,
memberi contoh, mengklasifikasikan, merangkum, memetakan menginterpolasikan,
mengekstrapolasikan, membandingkan, dan mengkontraskan,
Gerakan terbimbing (guided response) yaitu kemampuan untuk melakukan
serangkaian gerak sesuai contoh. Contoh kata kerja operasional antara adalah
mendemonstrasikan, melengkapi, menunjukkan, menerapkan, dan mengimplementasikan.

4
Gerakan terbiasa (mechanical response) berupa kemampuan melakukan gerakan
dengan lancar karena latihan cukup. Contoh kata kerja operasional antara lain menguraikan,
menghubungkan, memilih, mengorganisasikan, membuat pola, dan menyusun.
Gerakan kompleks (complex response) mencakup kemampuan melaksanakan
keterampilan yang meliputi beberapa komponen dengan lancar, tepat, urut, dan efisien.
Contoh kata kerja operasional antara lain membuat hipotesis, merencanakan, mendesain,
menghasilkan, mengkonstruksi, menciptakan, dan mengarang.
Penyesuaian pola gerakan(adjusment) yaitu kemampuan mengadakan perubahan
dan penyesuaian pola gerakan sesuai kondisi yang dihadapi.Beberapa contoh kata kerja
operasional adalah mengubah, mengadaptasikan, mengatur kembali, dan membuat variasi.
Kreativitas(creativity) yang berupa kemampuan untuk menciptakan pola gerakan
baru berdasarkan inisiatif dan prakarsa sendiri. Contoh kata kerja operasional adalah
merancang, menyusun, menciptakan, mengkombinasikan, dan merencanakan.

3. Karakteristik Penilaian Otentik


Peniaian otentik memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan penilaian
tradisional. Beberapa karakteristik tersebut adalah:
a. Penilaian otentik dapat digunakan untuk keperluan penilaian yang bersifat formatif atau
sumatif.
b. Penilaian otentik tidak digunakan semata untuk pengetahuan saja tetapi juga menyangkut
aspek sikap dan kinerja.
c. Penilaian otentik dilaksanakan secara berkesinambungan sehingga dapat mengukur
perkembangan kemampuan peserta didik.
d. Penilaian otentik dapat dijadikan sebagai umpan balik untuk pengembangan kompetensi
pesertadidik secara komprehensif.
Pada pelaksanaan penilaian otentik dalam pembelajaran peserta didik diminta
mendemonstrasikan atau melakukan apa yang mereka ketahui. Oleh karena itu, penilaian
otentik menjadi penting untuk dilakukan oleh pendidik karena beberapa hal, yaitu
a. Penilaian otentik merupakan penilaian secara langsung terhadap kemampuan dan
kompetensi peserta didik.
b. Penilaian otentik memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengkonstruksikan
hasil pembelajaran.
c. Penilaian otentik mengintegrasikan kegiatan belajar, mengajar, dan penilaian.

5
d. Penilaian otentik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mendemonstrasikan kemampuannya yang beragam.

4. Model Penilaian Otentik


Model penilaian yang dapat dikembangkan untuk kegiatan penilaian otentik antara
lain penilaian kinerja, penilaian proyek, penilaian portofolio, penilaian diri, penilaian antar
teman, jurnal, penilaian tertulis, eksperimen atau demonstrasi, pertanyaan terbuka,
pengamatan, menceriakan kembali teks, dan menulis sampel teks. .

a. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja sering disebut sebagai penilaian unjuk kerja (performance
assessment). Bentuk penilaian ini digunakan untuk mengukur status kemampuan belajar
peserta didik berdasarkan hasil kerja dari suatu tugas. Pada penilaian kinerja peserta didik
diminta untuk mendemonstrasikan tugas belajar tertentu dengan maksud agar peerta didik
mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Instrumen yang dapat
digunakan untuk merekam hasil belajar pada penilaian kinerja ini antara lain: daftar cek
(check list), catatan anekdot/narasi, skala penilaian ( rating scale).

b. Penilaian Proyek
Penilaian proyek (project assessment)adalah bentuk penilaian yang diujudkan dalam
bentuk pemberian tugas kepada peserta didik secara berkelompok. Penilaian ini difokuskan
pada penilaian terhadap tugas belajar yang harus diselesaikan oleh peserta didik dalam
periode/waktu tertentu. Penilaian proyek dapat juga dikatakan sebagai penilaian berbentuk
penugasan yang bertujuan untuk mengukur kemampuan peserta didik menghasilkan karya
tertentu yang dilakukan secara berkelompok. Dengan menggunakan penilaian proyek
pendidik dapat memperoleh informasi berkaitan dengan kemampuan peserta didik dalam hal
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, sintesis informasi atau data, sampai dengan pemaknaan
atau penyimpulan.

c. Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio merupakan salah satu penilaian otentik yang dikenakan pada
sekumpulan karya peserta didik yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun
waktu tertentu. Karya-karya ini berkaitan dengan mata pelajaran dan disusun secara

6
sistematis dan terogansir . Proses penilaian portofolio dilakukan secara bersama antara antara
peserta didik dan guru.Hal ini dimaksudkan untuk menentukan fakta-fakta peserta didik dan
proses bagaimana fakta-fakta tersebut diperoleh sebagai salah satu bukti bahwa peserta didik
telah memiliki kompetensi dasar dan indikator hasil belajar sesuai dengan yang telah
ditetapkan.
Untuk melakukan penilaian portofolio secara tepat perlu memperhatikan hal-hal
seperti berikutini, yaitu: kesesuaian,saling percaya antara pendidik dan peserta didik,
kerahasiaan bersama antara pendidik dan peserta didik, kepuasan, milik bersama antara
pendidik guru dan peserta didik, penilaian proses dan hasil.

d. Jurnal
Jurnal belajar merupakan rekaman tertulis tentang apa yang dilakukan peserta didik
berkaitan dengan apa-apa yang telah dipelajari. Jurnal belajar ini dapat digunakan untuk
merekam atau meringkas aspek-aspek yang berhubungan dengan topik-topik kunci yang
dipelajari. Misalnya, perasaan siswa terhadap suatu pelajaran, kesulitan yang dialami, atau
keberhasilan di dalam memecahkan masalah atau topik tertentu atau berbagai macam catatan
dan komentar yang dibuat siswa.Jurnal merupakan tulisan yang dibuat peserta didik untuk
menunjukkan segala sesuatu yang telah dipelajari atau diperoleh dalam proses pembelajaran.
Jadi, jurnal dapat juga diartikan sebagai catatan pribadi siswa tentang materi yang
disampaikan oleh guru di kelas maupun kondisi proses pembelajaran di kelas.

e. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis mensuplai jawaban isian atau melengkapi, jawaban singkat atau
pendek dan uraian. Penilaian tertulis yang termasuk dalam model penilaian otentik adalah
penilaian yang berbentuk uraian atau esai yang menuntut peserta didik mampu mengingat,
memahami, mengorganisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi dan
sebagainya atas materi yang telah dipelajari. Penilaian ini sebisa mungkin bersifat
komprehensif, sehingga mampu menggambarkan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan
peserta didik.Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal
seperti kesesuaian soal dengan indikator pada kurikulum, konstruksisoal atau pertanyaan
harus jelas dan tegas, dan bahasa yang digunakan tidak menimbulkan penafsiran ganda.
f. Penilaian Diri
Penilaian diri(self assessment)adalah suatu teknik penilaian di mana peserta didik
diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan proses dan tingkat pencapaian

7
kompetensi yang diperolehnya dalam pelajaran tertentu. Dalam proses penilaian diri, bukan
berarti tugas pendidik untuk menilai dilimpahkan kepada peserta didik semata dan terbebas
dari kegiatan melakukan penilaian. Dengan penilaian diri, diharapkan dapat melengkapi dan
menambah penilaian yang telah dilakukan pendidik.
Untuk melaksanakan penilaian diri oleh peserta didik di kelas perlu memperhatikan
hal-halseperti: menentukan terlebih dahulu kompetensi atau aspek apa yang akan dinilai;
langkah berikutnya menentukan criteria penilaian yang akan digunakan; merancang format
penilaian yang akan digunakan seperti pedoman penskoran, daftar tanda cek, atau skala
penilaian; peserta didik diminta untuk melakukan penilaian diri; pendidik mengkaji sampel
hasil penilaian secara acak, untuk mendorong peserta didik supaya senantiasa melakukan
penilaian diri secara cermat dan objektif; dan pendidik menyampaikan umpan balik kepada
peserta didik yang didasarkan pada hasil kajian terhadap sampel hasil penilaian yang diambil
secara acak.

g. Penilaian Antarteman
Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peseta
didik untuk saling menilai temannya terkait dengan pencapain kompetensi, sikap, dan
perilaku keseharian peserta didik. Penilaian ini dapat dilakukan secara berkelompok untuk
mendapatkan informasi sekitar kompetensi peserta didik dalam kelompok. Informasi inidapat
dijadikan sebagai bahan menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.

h. Pertanyaan Terbuka
Ppenilaian otentik juga dilakukan dengan cara meminta peserta didik membaca materi
pelajaran, kemudian merespon pertanyaan terbuka. Penilaian ini lebih difokuskan terhadap
bagaimana peserta didik mengaplikasikan informasi daripada seberapa banyak peserta didik
memanggil kembali apa yang telah diajarkan. Pertanyaan terbuka tesebut harus dibatasi
supaya jawabannya tidak terlalu luas dan bermakna sesuai dengan tujuannya.

i. Menceritakan Kembali Teks atau Cerita


Menceritakan kembali teks atau cerita merupakan model penilaian otentik yang
meminta peserta didik membaca atau mendengarkan suatu teks kemudian menceritakan
kembali ide pokok atau bagian yang dipilihnya. Penilaian model ini dimaksudkan untuk
mengetahui keampuan peserta didik dalam mengungkapkan kembali apa yang sudah dibaca
tidak sebatas pada apa yang didengar.

8
j. Menulis Sampel Teks
Menulis sampel teks adalah bentuk penilaian yang meminta peserta didik untuk
menulis teks narasi, ekspositori, persuasi, atau kombinasi berbeda dari teks-teks tersebut.
Penggunaan model penilaian ini disarankan menggunakan rubrik yang dapat menilai secara
analitis dan menyeluruh dalam ranah penulisan, seperti kosakata, komposisi, gaya bahasa,
konstruksi kalimat, dan proses penulisan.

k. Ekperimen atau Demonstrasi


Pada penilaian melalui eksperimen atau demonstrasi peserta didik diminta melakukan
eksperimen dengan bahan sebenarnya atau mengilustrasikan bagaimana sesuatu bekerja.
Peserta didik dapat dinilai dengan menggunakan rubrik berdasarkan semua aspek yang
dilakukan sesuai dengan karakteristik materi yang dieksprimenkan.

l. Pengamatan
Pada penilaian dengan pengamatan pendidik mengamati perhatian peserta didik dalam
mengerjakan tugas, responnya terhadap berbagai jenis tugas, atau interaksi dengan peserta
didik lain ketika sedang bekerja kelompok. Pengamatan dapat dilakukan dalam pembelajaran
secara spontan maupun dengan perencanaan sebelumnya.

5. Langkah-Langkah Penyusunan Penilaian Otentik


Untuk dapat melaksanakan penilaian otentik secara tepat dan benar perlu diperhatikan
beberapa langkah seperti berikut.
a. Identifikasi dan Penentuan Standar yang akan dicapai.Tentukan kriteria keberhasilan
belajar yang harus dikuasai oleh peserta didik secara jelas dan terukur.
b. Penentuan Tugas Otentik . Tentukantugas-tugas belajar yang harus dikerjakan oleh
peserta didik dengan memperhatikan keterkaitan antara kompetensi belajar dan dunia
nyata.
c. Pembuatan Kriteria Tugas Otentik. Kriteria dalam penilaian otentik digunakan untuk
menilai seberapa baik peserta didik menyelesaikan tugas dan seberapa baik mereka telah
memenuhi standar. Kemampuan peserta didik pada suatu tugas ditentukan dengan
mencocokkan kinerja peserta didik terhadap seperangkat kriteria untuk menentukan
sejauh mana kinerja peserta didik memenuhi kriteria untuk tugas tersebut.

9
d. Pembuatan Rubrik. Rubrik digunakan sebagai patokan untuk menentukan tingkat
pencapaian peserta didik. Rubrik biasanya dibuat dengan berisi kriteria penting dan
tingkat capaian kriteria yang bertujuan untuk mengukur kinerja peserta didik. Kriteria
dirumuskan dengan kata-kata tertentu yang menunjukkan apa yang harus dicapai peserta
didik. Tingkat capaian kinerja ditunjukkan dalam bentuk angka-angka, besarkecilnya
angka tersebut bermakna tinggi rendahnya capaian hasil belajar peserta didik.
e. Pengolahan Skor Penilaian Otentik. Hasil belajar peserta didik pada penilaian otentik
berujud sekor. Sekor ini merupakanjumlah jawaban benar peserta didik yang merupakan
hasil koreksi dari pendidik terhadap pekerjaan peserta didik. Proses penyekoran dapat
dilakukan secara langsung, namundemikinaakan lebih baik jika proses penilaian
menggunakan rubrik. Sekor hasil belajar otetik ini selanjutya dianalisis dan diolah
menjadi nilai. Nilai ini menunjukkan bentuk kualitatif capaian hasil belajar peserta didik
dalam pembelajaran.

1. Tujuan Penilaian Otentik


Penerapan penilaian otentik merupakan salah satu bentuk penilaian aternatif yang
dapat dilakukan oleh peserta didik. Dalam rangka menciptakan situasi dan kondisi
lingkungan belajar yang kondusif untuk menumbuhkan keaktifan dan kreativitas peserta didik
maka penilaian otentik adalah sangat tepat oleh pendidik. Secara rinci tujuan dilakukannya
enilaian otentik antara lain adalah:penilaian autentik memiliki beberapa tujuan, yaitu:
a. Melihat seberapa jauh tingkat kemampuan dan keterampilan peserta didik melaksanakan
tugas-tugas tertentu.
b. Menentukan berbagai macam kebutuhan yang diperlukan dalam pembelajaran.
c. Menciptakan situasi belajar yang kondusif untuk menumbuhkan dan mendorong semagat
belajar peserta didik.
d. Membantu pendidik untuk membawa peserta didik dapat lebih baik.
e. Membantu pendidik untuk menentukan strategi pembelajaran.
f. Menunjang prinsip akuntabilitas sekolah sebagai lembaga pedidikan.
g. Mendorong peningkatan kualitas pendidikan.

10
MODUL 6

Kegiatan Belajar 3: Menulis Tes Hasil Belajar

Uraian Materi

Secara umum, langkah-langkah kegiatan penilaian hasil belajar yang dilakukan Guru
meliputi: (1) Perencanaan penilaian dan pengembangan perangkat, (2) Pelaksanaan penilaian
atau pengujian, (3) Penyekoran, (4) Pelaporan, dan (5) Pemanfaatan hasil penilaian. Salah
satu kegiatan yang dilakukan Guru dalam perencanaan penilaian dan pengembangan
perangkat adalah penulisan soal tes.

1. Penulisan Tes

Guru harus memiliki pemahaman dan keterampilan untuk mengembangkan atau menulis
instrumen penilaian, termasuk tes. Penulisan tes hendaknya dilakukan secara sistematis sesuai
kaidah penulisan tes yang baik, yaitu melalui langkah-langkah: (a) Perumusan tujuan tes, (b)
Penentuan bentuk pelaksanaan tes, (c) Penyusunan kisi-kisi tes, (d) Penulisan butir soal, (e)
Penelaahan butir soal, (f) Uji coba/analisis, (g) Perakitan soal/perangkat tes. Setelah perakitan
soal tes tersebut selesai dilakukan, maka perangkat tes siap digunakan untuk pelaksanaan tes.

a. Merumuskan Tujuan Tes


Perumusan tujuan tes harus dilakukan dengan memperhatikan untuk apa tes tersebut disusun.
Tes hasil belajar disusun umumnya digunakan untuk penempatan, diagnostik, perkembangan
hasil belajar, dan tujuan lainnya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan Guru di kelas
atau laboratorium, perumusan tujuan tes mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) yang telah disusun. Di dalam RPP umumnya telah tercantum tujuan pembelajaran,
materi-materi sesuai Kompetensi Dasar (KD) yang akan diajarkan, dan indikator ketercapain
KD.
b. Menentukan Bentuk Pelaksanaan Tes
Berdasarkan tujuan tes, langkah selanjutnya adalah menetapkan bentuk pelaksanaan tes.
Secara umum tes dapat diklasifikasikan kedalam bentuk tes penampilan atau tes unjuk kerja,
tes lisan, dan tes tertulis. Tes tertulis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu tes bentuk
uraian, dan tes bentuk objektif. Guru dalam menentukan bentuk tes harus mempertimbangkan
tujuan tes, kesesuaian dengan KD atau karakteristik materi yang diujikan, peserta didik,
fasilitas pendukung, dan berbagai hak terkait lainnya.
c. Menyusun Kisi-Kisi
Kisi-kisi adalah suatu format berbentuk matriks berisi informasi yang dapat dijadikan
pedoman dalam menulis atau merakit soal. Kisi-kisi tes hendaknya memenuhi persyaratan
berikut: (1) mewakili isi kurikulum yang akan diujikan, (2) komponen-komponennya rinci,
jelas, dan mudah dipahami, dan (3) indikator soal harus jelas dan dapat dibuat soalnya sesuai
dengan bentuk soal yang telah ditetapkan.

Langkah-langkah utama dalam menyusun kisi-kisi adalah sebagai berikut: (a) menentukan
Kompetensi (KD) yang akan diukur; (b) memilih materi esensial yang representatif; dan (c)
merumuskan indikator yang mengacu pada KD dengan memperhatikan materi.
1) Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar merupakan kemampuan minimal yang harus dikuasai peserta didik
setelah mempelajari materi pelajaran tertentu. KD ini diambil dari kurikulum yang
digunakan sekolah.
2) Materi
Materi merupakan materi esensial yang harus dikuasai peserta didik berdasarkan KD
yang akan diukur. Kriteria pemilihan materi esensial antara lain: (a) materi yang sudah
dipelajari sebelumnya, (b) penting dan harus dikuasai peserta didik, (c) sering diperlukan
untuk mempelajari mata pelajaran lain, (d) berkesinambungan pada semua jenjang kelas,
dan (e) memiliki nilai terapan tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
3) Indikator
Indikator dijadikan acuan dalam membuat soal. Di dalam indikator tergambar kompetensi
yang harus dicapai dalam KD. Kriteria perumusan indikator: (a) memuat ciri-ciri KD
yang akan diukur, (b) memuat kata kerja operasional yang dapat diukur, (c) berkaitan
dengan materi/konsep yang dipilih, (d) dapat dibuat soalnya sesuai dengan bentuk soal
yang telah ditetapkan. Komponen-komponen indikator soal yang perlu diperhatikan
adalah subjek, perilaku yang akan diukur, dan kondisi/konteks/stimulus.
Berikut merupakan salah satu contoh kisi-kisi penulisan soal (Direktorat Pembinaan SMP
Kemdikbud, 2017).
KISI-KISI PENULISAN SOAL

Jenjang Pendidikan : SMP/MTs


Mata Pelajaran : PPKn
Kurikulum : 2013
Kelas : VIII
Jumlah Soal :3
Bentuk Soal : 2 PilihanGanda (PG) + 1 Uraian

No. Kompetensi Kelas Materi Indikator soal Level No Bentuk


Dasar
kognitif Soal Soal
1 3.1 Menelaah VIII Pancasila Disajikan kasus Penerapan 1 PG
Pancasila sebagai dasar pelanggaran HAM, (L2)
sebagai dasar negara dan peserta didik dapat
negara dan pandangan menentukan sikap
pandangan hidup bangsa yang sesuai dengan
hidup bangsa Pancasila.
3.4 Menga- VIII Makna dan Peserta didik dapat Penerapan 2 PG
nalisa makna arti menunjukkan (L2)
dan arti Kebangkitan pilihan tindakan
Kebangkitan nasional 1908 dalam bidang
nasional 1908 dalam perju- politik sesuai
dalam angan kemer- makna Kebangkitan
perjuangan dekaan
Nasional 1908..
kemerdekaan Republik
Republik Indonsia
Indonsia
Disajikan teks Penalaran 3 Uraian
kasus (L3)
keterbelakangan
pendidikan di suatu
daerah di
Indonesia, peserta
didik dapat
memprediksi
alternatif tindakan
yang dapat
digunakan sebagai
solusi sesuai makna
Kebangkitan
Nasional 1908.
d. Menulis Butir Soal Tes

1). Soal Tes Uraian

Tes bentuk uraian dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu soal uraian bebas, dan soal
uraian terbatas (terstruktur). Tes bentuk uraian bebas memberi kebebasan kepada peserta tes
untuk memberikan jawaban selengkap mungkin. Pada tes bentuk uraian terbatas, jawaban
yang diberikan peserta tes dibatasi berdasarkan aspek-aspek khusus dari mata pelajaran yang
diujikan. Di samping itu, bentuk soal uraian dapat dibedakan menjadi soal uraian objektif dan
uraian non objektif. Soal bentuk uraian objektif adalah rumusan soal atau pertanyaan yang
menuntut sehimpunan jawaban dengan konsep tertentu, dan dapat diidentifikasi kata-kata
kunci jawabannya, sehingga penskorannya dapat dilakukan secara objektif. Soal bentuk
uraian non-objektif adalah rumusan soal yang menuntut sehimpunan jawaban berupa konsep
menurut pendapat masing-masing siswa. Penskorannya sukar dilakukan secara objektif, dan
sulit diidentifikasi kata-kata kunci jawabannya, sehingga skor diberikan dalam bentuk
rentang yang sifatnya holistik.

Pada tahap menulis butir soal tes, kita menulis soal berdasarkan indikator-indikator yang ada
pada kisi-kisi soal. Setiap indikator soal dapat dituangkan menjadi satu atau lebih butir soal
sesuai dengan tuntutan indikator. Kaidah-kaidah penyusunan soal tes uraian antara lain: Soal
harus sesuai dengan indikator; Batasan pertanyaan dan jawaban yang diharapkan (ruang
lingkup) harus jelas; Isi materi sesuai dengan petunjuk pengukuran; Isi materi yang
ditanyakan sudah sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, atau tingkat kelas; Rumusan kalimat
soal atau pertanyaan harus menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut jawaban
terurai: seperti mengapa, uraikan, jelaskan, bandingkan, hubungkan, tafsirkan, buktikan,
hitunglah; tabel, gambar, grafik, peta, atau yang sejenisnya harus disajikan dengan jelas dan
terbaca, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan juga harus bermakna;
Rumusan butir soal menggunakan bahasa sederhana dan komunikatif; Rumusan soal tidak
mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan peserta didik atau kelompok
tertentu; Butir soal menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Soal tes uraian harus dilengkapi dengan pedoman penskoran. Pedoman penskoran
merupakan panduan atau petunjuk yang menjelaskan tentang batasan atau kata-kata
kunci atau konsep untuk melakukan penskoran terhadap soal-soal bentuk uraian objektif
dan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang diharapkan atau kriteria-kriteria jawaban
yang digunakan untuk melakukan penskoran terhadap soal-soal uraian non objektif.
Pedoman penskoran untuk setiap butir soal uraian harus disusun segera setelah penulisan
soal.

Berikut ini merupakan contoh kisi-kisi soal uraian, dan pedoman penskorannya (Direktorat
Pembinaan SMP Kemdikbud, 2017).

Jenis Pendidikan : SMP


Mata Pelajaran : PPKn
Kurikulum : 2013
Bentuk soal : Uraian
Tahun Pelajaran : 2017/2018

Bahan/
Kompetensi Konten Level Nomor
No. Kelas Indikator Soal
Dasar /Materi Kognitif Soal
Semester
1 1 Menganalisis VII/1 BPUPKI 2 Peserta didik 1
proses dapat
perumusan dan menjelaskan latar
penetapan belakang
Pancasila pembentukan
sebagai Dasar BPUPKI
Negara

- Contoh Soal Uraian:

Tuliskan 3 (tiga) alasan Jepang mengijinkan pembentukan BPUPKI.


- Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian

No. Kunci Jawaban Skor


Soal
1 Jepang mengalami kekalahan perang di wilayah Asia Pasifik. 1
Pembentukan BPUPKI diperbolehkan dengan tujuan rakyat 2
Indonesia membantu Jepang dalam perang dunia ke-2.
Desakan kaum pergerakan Indonesia untuk mempersiapkan 1
kemerdekaan Indonesia.
Skor Maksimum 4
2 ……………………………………………………………….
Skor Maksimum
… ……………………………………………………………….
……………………………………………………………….
Skor Maksimum
Total Skor Maksimum
2). Soal Tes Objektif

(a) Bentuk Soal Pilihan Ganda


Tes bentuk pilihan ganda merupakan jenis tes yang paling banyak digunakan. Soal pilihan
ganda adalah soal yang jawabannya harus dipilih dari beberapa kemungkinan jawaban yang
telah disediakan. Butir soal ini memiliki alternative jawaban lebih dari dua. Umumnya
alternative jawabannya 4 (empat) atau 5 (lima). Soal pilihan ganda terdiri dari pokok soal
(stem) dan pilihan jawaban (option). Pokok soal memuat masalah atau materi atau
kemampuan yang akan diukur atau ditanyakan kepada peserta tes. Pilihan jawaban terdiri atas
kunci jawaban dan pengecoh (distractor) yang berhubungan dengan materi yang diukur atau
ditanyakan.

(b) Bentuk Soal Benar Salah


Bentuk soal ini menuntut peserta didik (peserta tes) untuk memilih dua ke­ mungkinan
jawaban. Bentuk kemungkinan jawaban yang sering digunakan adalah “Benar dan Salah”
atau “Ya dan Tidak”. Peserta tes diminta untuk memilih jawaban benar atau salah untuk
pernyataan yang disajikan.

(c) Bentuk Soal Menjodohkan


Bentuk soal menjodohkan terdiri dari dua kelompok pernyataan. Kelompok pertama ditulis
pada lajur sebelah kiri, biasanya merupakan pernyataan soal atau pernyataan stimulus.
Kelompok kedua ditulis pada lajur sebelah kanan, biasanya merupakan pernyataan jawaban
atau pernyataan respon. Peserta tes diminta untuk menjodohkan atau memilih pasangan yang
tepat bagi pernyataan yang ditulis pada lajur sebelah kiri di antara pernyataan yang ditulis
pada lajur sebelah kanan.

Dalam menyusun soal bentuk menjodohkan terdapat kaidah penulisan yang harus
diperhatikan yaitu: menuliskan seluruh pernyataan dalan lajur kiri maupun kanan dengan
materi sejenis; pernyataan jawaban lebih banyak dari pernyataan soal; menyusun jawaban
yang berbentuk angka secara berurutan dari besar ke kecil atau sebaliknya; dan menuliskan
petunjuk mengerjakan tes yang jelas dan mudah dipahami.

e. Menelaah Butir Soal


Butir-butir soal yang sudah ditulis harus ditelaah terlebih dulu sebelum digunakan. Hal ini
perlu dilakukan untuk melihat sejauhmana kualitas soal ditinjau dari substansi materi,
konstruksi, dan bahasa yang digunakan. Telaah aspek materi berkaitan dengan kesesuaian
materi soal dengan indikator kompetensi. Telaah aspek konstruksi berkaitan dengan
kesesuaian format penulisan soal dengan kaidah-kaidah penulisan soal yang baik. Telaah
aspek bahasa berkaitan dengan ketepatan penggunaan bahasa sehingga mudah dimengerti.

f. Uji coba dan analisis


Perangkat soal yang sudah ditelaah secara teoritis perlu juga ditelaah secara empiris. Untuk
telaah empiris diperlukan data-data dari lapangan. Oleh karena itu, perangkat soal yang sudah
ditelaah secara teoritis perlu dilakukan uji coba untuk mendapatkan data dari lapangan.
Berdasarkan analisis data lapangan dapat dilakukan koreksi dan revisi butir-butir soal yang
tidak memenuhi persyaratan. Di samping itu, berdasarkan analisis data lapangan juga dapat
diketahui seberapa jauh tingkat kualitas soal terutama menyangkut masalah tingkat
kesukaran, daya beda, keberfungsian pengecoh, validitas, dan reliabilitas.
g. Merakit Perangkat Tes

Butir-butir soal yang sudah memenuhi persyaratan selanjutnya dirakit menjadi satu perangkat
tes. Dalam perakitan perangkat tes perlu memperhatikan identitas soal, petunjuk pengerjaan,
urutan nomor soal, pengelompokkan bentuk-bentuk soal, dan tata letak penulisan.

Rangkuman
Penulisan tes hasil belajar hendaknya dilakukan secara sistematis sesuai kaidah penulisan tes
yang baik, yaitu melalui langkah-langkah: (a) Perumusan tujuan tes, (b) Penentuan bentuk
pelaksanaan tes, (c) Penyusunan kisi-kisi tes, (d) Penulisan butir soal, (e) Penelaahan butir
soal, (f) Uji coba/analisis, (g) Perakitan soal/perangkat tes. Setelah perakitan soal tes tersebut
selesai dilakukan, maka perangkat tes siap digunakan untuk pelaksanaan tes.

Perumusan tujuan tes harus dilakukan dengan memperhatikan untuk apa tes tersebut disusun.
Tes hasil belajar disusun umumnya digunakan untuk penempatan, diagnostik, perkembangan
hasil belajar, dan tujuan lainnya. Berdasarkan tujuan tes, langkah selanjutnya adalah
menetapkan bentuk pelaksanaan tes, misalnya tes tertulis bentuk uraian. Langkah-langkah
menyusun kisi-kisi: (a) menentukan Kompetensi (KD) yang akan diukur; (b) memilih
materi esensial yang representatif; dan (c) merumuskan indikator yang mengacu pada KD
dengan memperhatikan materi.

Kaidah-kaidah penyusunan soal tes uraian antara lain: Soal harus sesuai dengan indikator; Isi
materi yang ditanyakan sudah sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, atau tingkat kelas;
Rumusan kalimat soal atau pertanyaan harus menggunakan kata tanya atau perintah yang
menuntut jawaban terurai; Tabel, gambar, atau yang sejenisnya harus disajikan dengan jelas
dan terbaca, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan juga harus bermakna;
Rumusan butir soal menggunakan bahasa sederhana dan komunikatif. Soal tes hendaknya
memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas,
MODUL 6

Kegiatan Belajar 4: Menelaah Tes Hasil Belajar

Uraian Materi
1. Menelaah Kualitas Soal Tes Bentuk Objektif
Sebagaimana telah anda pelajari sebelumnya, bahwa analisis kualitas perangkat soal tes hasil
belajar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: analisis secara teoritik (kualitatif) dan analisis
secara empiris (kuantitatif). Analisis secara teoritis adalah telaah soal yang difokuskan pada
aspek materi, konstruksi, dan bahasa. Aspek materi berkaitan dengan substansi keilmuan
yang ditanyakan serta tingkat berpikir yang terlibat, aspek konstruksi berkaitan dengan teknik
penulisan soal, dan aspek bahasa berkaitan dengan kejelasan hal yang ditanyakan. Analisis
empiris adalah telaah soal berdasarkan data lapangan (uji coba). Pada modul ini Anda akan
mempelajari penelaahan kualitas tes bentuk objektif, pengolahan hasil tes, dan pemanfaatan
hasil tes.
a. Analisis Kualitas Soal Secara Teoritis
Analisis secara teoritis adalah telaah soal yang difokuskan pada aspek materi, konstruksi, dan
bahasa. Penelaahan kualitas soal bentuk objektif pada aspek materi dimaksudkan untuk
mengetahui apakah materi yang diujikan sudah sesuai dengan kompetensi atau hasil belajar
yang ditetapkan, dan apakah materi soal sudah sesuai dengan tingkat atau jenjang
kemampuan berpikir peserta tes, serta apakah kunci jawaban sudah sesuai dengan isi pokok
soal. Telaah kualitas soal pada aspek konstruksi dimaksudkan untuk mengetahui teknik
penulisan butir-butir soal sudah merujuk pada kaidah-kaidah penulisan soal yang baik. Pada
aspek bahasa, telaah soal dimaksudkan untuk mengetahui apakah bahasa yang digunakan
cukup jelas dan mudah dimengerti, tidak menimbulkan multi interpretasi, serta sesuai dengan
kaidah penggunaan bahasa yang berlaku.

Secara teoritis, kualitas soal tes bentuk objektif dapat ditelaah dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1). Materi:
a) Butir harus sesuai dengan indicator yang ditetapkan
b) Hanya ada satu jawaban yang benar
c) Pengecoh homogin, dan berfungsi.
2). Konstruksi
a) Pokok soal harus dirumuskan secara jelas.

1
b) Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan pernyataan yang diperlukan
saja.
c) Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban benar.
d) Pokok soal jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda.
e) Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjaudari segi materi.
f) Panjang rumusan pilihan jawaban relatif sama.
g) Pilihan jawaban yang berbentu angka atau waktu disusun berdasarkan urutan besar
kecilnya
angka atau kronologis waktunya.
h) Gambar/grafik/tabel/diagaram dan sejenisnya harusn jelas dan berfungsi.
i) Butir tes tidak tergantung pada jawaban sebelumnya.
(3). Bahasa
a) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indoensia.
b) Menggunakan bahasa yang komunikatif dan mudah dimengerti.
c) Pilihan jawaban jangan mengulang kata atau frase yang bukan merupakan satu kesatuan
pengertian.
d) Menggunakan istilah baku

b. Analisis Kualias Tes Bentuk Objektif Secara Empiris


Sebagaimana telah Anda pelajari pada modul sebelumnya, analisis empiris adalah telaah soal
berdasarkan data lapangan (uji coba). Analisis karakteristik butir soal mencakup analisis
parameter kuantitatif dan kualitatif butir soal. Parameter kuantitatif berkaitan dengan analisis
butir soal berdasarkan atas tingkat kesukaran, daya beda, dan keberfungsian alternative
pilihan jawaban. Parameter kualitatif berkaitan dengan analisis butir soal berdasarkan atas
pertimbangan ahli (expert judgement).
1). Tingkat Kesukaran
Seperti telah Anda pelajari pada modul sebelumnya, tingkat kesukaran adalah angka yang
menunjukkan besarnya proporsi peserta tes yang menjawab betul pada suatu butir. Rentang
angka ini adalah 0,00 sampai 1,00. Jika suatu butir soal memiliki tingkat kesukaran 0,00
berarti tidak ada peserta tes yang menjawab butir soal tersebut dengan benar. Dengan kata
lain butir soal terlalu sukar. Sebaliknya, jika butir soal memiliki tingkatkesukaran 1,00 berarti
semua peserta tes dapat menjawab butir soal dengan benar. Dengan kata lain, butir soal
terlalu mudah. Rentang tingkat kesukaran yang dapat digunakan sebagai kriteria adalah: lebih

2
kecil dari 3,00 masuk kategori sukar, antara 0,30 – 0,80 termasuk cukup/sedang, dan lebih
besar dari 0,80 termasuk mudah.
2). Daya Beda
Daya beda butir soal adalah indeks yang menggambarkan tingkat kemampuan suatu butir soal
untuk membedakan kelompok yang pandai dari kelompok yang kurang pandai. Interpretasi
daya beda selalu dikaitkan dengan kelompok peserta tes. Artinya, suatu daya beda butir soal
yang dianalisis berdasarkan data kelompok tertentu belum tentu dapat berlaku pada kelompok
yang lain. Interpretasi daya beda butir soal untuk peserta tes kelas bias berbeda dengan
interpretasi daya beda kelas B untuk mata pelajaran yang sama. Hal ini sangat tergantung
pada kemampuan masingmasing kelompok. Penjelasan lebih lanjut mengenai daya beda juga
sudah Anda pelajari pada modul sebelumnya.
3). Keberfungsian Alternatif Pilihan Jawaban
Dalam tes hasil belajar berbentuk objektif dengan model pilihan ganda, umumnya memiliki
(4) empat atau (5) lima alternatif pilihan jawaban dimana salah satu alternatif jawabannya
adalah jawaban yang benar (kunci jawaban). Alternatif pilihan jawaban yang salah sering
disebut dengan istilah pengecoh (distractor). Alternatif pilihan jawaban dalam suatu butir
soal dikatakan berfungsi jika semua pilihan jawaban tersebut dipilih oleh peserta tes dengan
kondisi dimana jawaban yang benar lebih dipilih dari pada alternatip pilihan jawaban yang
lain. Pengecoh berfungsi jika paling sedikit 5% dari peserta tes memilih jawaban tersebut.
4). Omit
Omit adalah proporsi peserta tes yang tidak menjawab pada semua alternatif jawaban. Butir
soal yang baik jika omit paling banyak 10% dari peserta tes.
5). Validitas
Soal tes bentuk objektif dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila tes tersebut
menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai
dengan maksud dikenakannya pengukuran tersebut. Konsep validitas juga terkait dengan
kecermatan pengukuran, yaitu kemampuan untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan kecil
sekalipun yang ada dalam atribut yang diukurnya. Secara empiris, suatu instrumen dapat
dikatakan valid apabila memenuhi dua criteria, yaitu: (a). instrumen tersebut harus mengukur
konsep atau variable yang diharapkan hendak diukur dan harus tidak mengukur konsep atau
variable lain yang tidak diharapkan untuk diukur, dan (b). instrumen tersebut dapat
memprediksi perilaku yang lain yang berhubugan dengan variabel yang diukur. Analisis
validitas dapat dilakukan pada dua kawasan yaitu analisis untuk keseluruhan isi instrumen
dan analisis untuk masing-masing butir soal atau tes.

3
6). Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menggambarkan sejauhmana suatu instrumen dapat
diandalkan. Analisis reliabilitas selalu dikaitkan dengan konsistensi pengukuran, yaitu
bagaimana hasil pengukuran tetap (konstan) dari satu pengukuran kepengukuran yang lain.
Untuk lebih memahami makna reliabilitas dapat didekati dengan memperhatikan tiga aspek
yang terkait dengan alat ukur, yaitu: kemantapan, ketepatan, dan homogenitas. Kemantapan
merujuk pada hasil pengukuran yang sama pada pengukuran berulang-ulang dalam kondisi
yang sama. Ketepatan merujuk pada istilah tepat dan benar dalam mengukur dari sesuatu
yang diukur. Artinya, instrumen tersebut memiliki pernyataan-pernyataan yang jelas, mudah
dimengerti, dan detail. Homogenitas merujuk pada tingkat keterkaitan yang erat antar unsur-
unsurnya.

2. Mengolah Dan Memanfaatkan Hasil Penilaian


a. Mengolah Hasil Tes
Data yang terkumpul dari penilaian dengan teknik tes akan berupa data kuantitatif. Data
tersebut merupakan data mentah yang memerlukan pengolahan lebih lanjut. Guru
melaksanakan penilaian hasil belajar sesuai perencanaan penilaian yang telah ditetapkan
sebelumnya. Setelah selesai melakukan penilaian (pengujian), Guru mengolah atau
melakukan pemeriksaan hasil penilaian. Lembar jawaban bentuk pilihan ganda dapat
diperiksa secara manual atau menggunakan alat pemindai. Lembar jawaban soal bentuk
uraian diperiksa secara manual oleh Guru sesuai mata pelajaran dengan mengacu pada
pedoman penskoran. Apabila dalam suatu tes terdapat dua bentuk soal, yaitu uraian dan soal
objektif (misalnya pilihan ganda), maka nilai akhir merupakan gabungan nilai soal pilihan
ganda dan nilai soal uraian, sesuai dengan bobot yang telah direncanakan.

Prosedur pelaksanaan pengolahan hasil penilaian adalah sebagai berikut:


1. Melakukan Pensekoran, yakni memberikan skor pada hasil penilaian yang dapat dicapai
oleh responden (peserta didik). Untuk menskor atau memberikan angka diperlukan kunci
jawaban, kunci pensekoran dan pedoman pengangkaan. Tiga macam alat bantu penskoran
atau pengangkaan berbeda-beda cara penggunaannya untuk setiap butir soal yang ada
dalam alat penilai.
2. Mengkonversi skor mentah menjadi skor standar, yakni menghitung untuk mengubah
skor yang diperoleh peserta didik yang mengerjakan alat penilaian disesuaikan dengan
norma yang dipakai.

4
3. Mengkonversikan skor standar ke dalam nilai, yakni kegiatan akhir dari pengolahan hasil
penilaian yang berupa pengubah skor ke nilai, baik berupa huruf atau angka. Hasil
pengolahan hasil penilaian ini akan digunakan dalam kegiatan penafsiran hasil penilaian.
Untuk memudahkan penafsiran hasil penilaian, maka hasil akhir pengolahan hasil
penilaian dapat diadministrasikan dengan baik.

Setelah data hasil tes diolah, langkah selanjutnya adalah menafsirkan data sehingga dapat
memberikan makna. Interpretasi terhadap suatu hasil tesdidasarkan atas kriteria tertentu yang
disebut norma. Norma bisa ditetapkan terlebih dahulu secara rasional dan sistematis sebelum
kegiatan tes dilaksanakan. Guru dapat menggunakan kriteria yang bersumber pada tujuan
atau kompetensi setiap mata pelajaran, yang dijabarkan menjadi indikator yang dapat diukur
dan diamati.

Untuk menafsirkan data, dapat digunakan dua jenis penafsiran data, yaitu penafsiran
kelompok dan penafsiran individual. Penafsiran kelompok adalah penafsiran yang dilakukan
untuk mengetahui karakteristik kelompok berdasarkan data hasil tes, seperti prestasi
kelompok, rata-rata kelompok, sikap kelompok terhadap guru dan materi pelajaran yang
diberikan, dan distribusi nilai kelompok. Tujuan utamanya adalah sebagai persiapan untuk
melakukan penafsiran kelompok, untuk mengetahui sifat-sifat tertentu pada suatu kelompok,
dan untuk mengadakan perbandingan antar kelompok. Penafsiran individual adalah
penafsiran yang hanya tertuju pada individu saja.

Pada prinsipnya nilai akhir suatu mata pelajaran adalah gabungan dari seluruh pencapaian
KD yang ditargetkan. Dengan demikian, pendidik harus membuat tabel spesifikasi yang
memuat macam KD dan pencapaian hasil setiap KD, termasuk aspek yang dinilai dalam
setiap KD. Pendidik juga harus membuat pembobotan atas dasar hasil yang diperoleh sesuai
dengan jenis penilaian yang dilakukan. Perlu diperhatikan bahwa yang lebih penting adalah
penilaian harus terbuka dalam arti bahwa peserta didik sejak awal sudah memahami
bagaimana pendidik dalam menilai keberhasilan belajarnya.

b. Memanfaatkan Hasil Tes


Hasil tes atau hasil penilaian dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan dan
perkembangan peserta didik dalam menerapkan pengetahuan dalam tugas tertentu. Di
samping itu hasil penilaian dapat juga memberi gambaran tingkat keberhasilan pendidikan

5
pada satuan pendidikan. Berdasarkan analisis hasil penilaian, dapat ditentukan langkah atau
upaya yang harus dilakukan oleh pendidik dan peserta didik dalam meningkatkan kualitas
proses dan hasil belajar. Oleh sebab itu hasil penilaian yang diperoleh harus diinformasikan
langsung kepada peserta didik sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peserta didik
(assessment as learning), pendidik (assessment for learning), dan satuan pendidikan selama
proses pembelajaran berlangsung (melalui Penilaian Harian/pengamatan harian) maupun
setelah beberapa kali program pembelajaran (Penilaian Tengah Semester), atau setelah selesai
program pembelajaran selama satu semester.

Hasil penilaian berupa informasi tentang peserta didik yang telah mencapai kriteria
ketuntasan minimal (KKM) dan peserta didik yang belum mencapai KKM, perlu
ditindaklanjuti dengan program pembelajaran remedial dan pengayaan bagi peserta didik
yang telah melampaui KKM. Penilaian yang dilakukan oleh pendidik juga digunakan untuk
mengetahui capaian akhir penguasaan kompetensi peserta didik yang dituangkan dalam
rapor.

Hasil penilaian merupakan cerminan prestasi dan tingkah laku peserta didik selama
melakukan kegiatan belajar. Dengan melihat hasil akhir beserta keterangan yang ada peserta
didik dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga dia dapat memperbaiki
sikap dalam pembelajaran selanjutnya. Bagi pendidik, hasil belajar yang dicapai peserta didik
merupakan cerminan prestasi dan kondisi yang dapat dicapainya dalam
mengimplementasikan program pembelajaran yang sudah dirancang di dalam Silabus dan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Oleh karena itu, hasil penilaian yang diperoleh
peserta didik menjadi bahan untuk memperbaiki program pembelajaran yang disusunnya
sekaligus mencari upaya untuk meningkatkan keprofesionalannya.

Selain itu, pendidik bertanggung jawab pula untuk memperbaiki prestasi peserta didik yang
belum berhasil melalui program perbaikan/remediasi. Bagi peserta didik yang sudah
mencapai batas maksimum, pendidik dapat memberi program pengayaan dengan tujuan
mengembangkan prestasinya. Hal yang tidak boleh dilupakan dalam pemanfaatan hasil
penilaian peserta didik adalah untuk menyusun laporan hasil penilaian sebagai fungsí
administrasi.

6
Pada prinsipnya nilai akhir suatu mata pelajaran adalah gabungan dari seluruh pencapaian
KD yang ditargetkan. Dengan demikian, pendidik harus membuat tabel spesifikasi yang
memuat macam KD dan pencapaian hasil setiap KD, termasuk aspek yang dinilai dalam
setiap KD. Pendidik juga harus membuat pembobotan atas dasar hasil yang diperoleh sesuai
dengan jenis penilaian yang dilakukan. Perlu diperhatikan bahwa yang lebih penting adalah
penilaian harus terbuka dalam arti bahwa peserta didik sejak awal sudah memahami
bagaimana pendidik dalam menilai keberhasilan belajarnya.

Anda mungkin juga menyukai