Anda di halaman 1dari 18

REFARAT JUNI 2021

Prosedur Penanganan Kasus – Kasus Medikolegal di Rumah


Sakit

Disusun Oleh :

NAMA : Lukman Nur Rahman

NIM : N 111 20 020

PEMBIMBING
Dr.dr. Hj Annisa Anwar Muthaher, S.H., M.Kes., Sp.F

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang
bersangkutan sebagai berikut:

Nama:
Syahraeni N 111 20 048
Rezeky Rahmah Transari N 111 20 055

Judul Referat: Prosedur Penanganan Kasus – Kasus Medikolegal di Rumah Sakit

Telah menyelesaikan tugas referat ini sebagai tugas kepaniteraan klinik


pada Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal di Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako

Palu, Juni 2021


Mengetahui
Pembimbing

Dr. dr. Hj. Annisa Anwar M., SH, M.Kes, Sp.F


NIP. 197903092008042001
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL........................................................................................... iv
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 2
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 56
5.1 Kesimpulan .................................................................................56
5.2 Saran ...........................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................57
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini sering diberitakan di media massa seorang
dokter atau tenaga kesehatan dituntut ganti rugi oleh pasien akibat kesalahan
atau kelalaiannya dalam menjalankan tugas profesinya atau hasil pengobatan
yang tidak sesuai dengan harapan pasien[1]. Kasus-kasus yang umum diterima
dikepolisian khususnya mengenai malpraktek[2].
Tercatat ada 405 laporan masalah medis dari berbagai daerah di
Indonesia yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan
dengan sebanyak 73 kasus di antaranya dilaporkan ke kepolisian [3]. Selama
tahun 1994-2004, kasus sengketa medis yang diajukan ke Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Wilayah Jawa Tengah tercatat 68 kasus, dengan kisaran 2-13 kasus per tahun,
rata-rata 6 kasus per tahun dan 3 dokter diadukan per 1000 dokter yang ada di
Jawa Tengah[3]. Di wilayah IDI Jawa Tengah selama tahun 2011-2014
sebanyak 6 kasus, diantaranya adalah dugaan malpraktik di RSU Santa Maria
Pemalang[4].
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Praktik dokter umum
menduduki peringkat pertama kasus dugaan malpraktik sepanjang kurun 2006
hingga 2015. Dari 317 kasus dugaan malpraktik yang dilaporkan ke Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI), 114 diantaranya adalah dokter umum, disusul
dokter bedah 76 kasus, dokter obgyn (spesialis kandungan) 56 kasus dan
dokter anak 27 kasus[2].
Proses penyelesaian sengketa medis yang ditempuh oleh pasien
seringkali melalui jalur hukum dari pada melalui organisasi profesi tenaga
kesehatan. Proses panjang harus dilewati oleh dokter ketika dilaporkan ke
polisi oleh pihak pasien yang selanjutnya melewati proses penyidikan hingga
proses pengadilan[5]. pengaduan yang dilakukan pasien ke kepolisian di
tingkat Polsek, Polres maupun Polda diterima dan diproses seperti layaknya
sebuah perkara pidana. Menggeser kasus perdata ke ranah pidana,
penggunaan pasal yang tidak konsisten, kesulitan dalam pembuktian fakta
hukum serta keterbatasan pemahaman terhadap bidang medis oleh para
penegak hukum di hampir setiap tingkatan menjadikan sengketa medik
terancam terjadinya tindakan pidana[6]. Seharusnya, penyelesaian sengketa
medis terlebih dahulu melalui mediasi, atau dilaporkan ke lembaga yang
berwenang untuk mempertimbangkan pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)[7].
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui proses penanganan kasus medikolegal di Rumah Sakit
2. Untuk mengetahui tahap – tahap prosedur penanganan kasus – kasus
medikolegal di rumah sakit
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1 Kasus Medikolegal
Kasus medikolegal dapat didefinisikan sebagai kasus cedera, cacat atau
meninggal dimana penyelidikan dari lembaga penegak hukum sehingga kasus
hukum yang memerlukan keahlian medis dalam penyelesaiannya sangat
penting untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas cedera, cacat
atau ,meninggal tersebut, apakah dokter yang bertanggung jawab? Atau
pasien sendiri yang bertanggung jawab atas cedera, cacat atau meninggal
tersebut?[8].
Medicolegal adalah sebagian kecil dari health law yang meliputi kajian
disekitar dunia medis, misalnya Dokter, Dokter Gigi, Pasien, Perawat, Bidan,
Mantri, Rumah sakit, Klinik dan Apoteker dll. Pelanggaran yang sering
terjadi juga hanya terbatas pada perbuatan Medical Negligence, Informed
Consent, Prudent Patient Test, Liability of Hospitals, Aborsi, Eutanasia[2].
Menurut Hermien Hadiati Koeswadji Hakekat aspek medicolegal, adalah
pendekatan medikolegal dalam ilmu pengetahuan hukum, khususnya terhadap
masalah yang timbul karena praktek profesi medik. Pendekatan ini berbeda
dengan pendekatan dari segi ilmu hukum pada umumnya, karena harus masuk
dalam pertimbangan dua bidang ilmu, yaitu ilmu kedokteran/medik dan ilmu
hokum[2].
Istilah lain dari medikolegal ini ialah Medical Law atau hukum medis.
Hukum Kedokteran bertumpu pada 2 (dua) hak manusia yang sifatnya asasi,
yang merupakan hak dasar sosial, yaitu hak atas perawatan kesehatan (the
right to health care), dan yang ditopang oleh hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right to self determination), dan hak atas informasi (the right to
information) yang merupakan hak dasar individual[2].
2.2 Hukum Kesehatan
Health Law atau hukum kesehatan merupakan disiplin ilmu yang lebih
luas jika dibandingkan dengan disiplin ilmu hukum medis. Menurut
Sampurno, Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan
penerapannya. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis
mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan
masyarakat atau anggota masyarakat. Dengan sendirinya hukum kesehatan itu
mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan
penerima pelayanan atau masyarakat[2].
Di Indonesia, perangkat hukum kesehatan berkembang sangat baik,
selain UU yang besar seperti KUHP dan KUHPerdata ada lagi UU yang
mengatur tentang hukum Kesehatan misalnya UU No 23 tahun 1992 tentang
Kesihatan yunto UU No 36 tahun 2009 tentang Kesihatan dan UU No 29
tahun 2004 tentang Kedokteran, ialah UU khas mengenai mediko legal,
namun UU ini belumlah lengkap untuk menyelesaikan kasus-kasus
malpraktik medik di Indonesia[2].
Contoh lain adalah, Undang-undang no. 29 tahun 2004 mengenai praktek
kedokteran. Undang-undang ini menetapkan berbagai perkara mengenai
prinsip-prinsip dan masalah dalam kedokteran, pembentukan Majlis Konsil
Kedoktoran, pelaksanaan amalan kedokteran, pembentukan dan peraturan
MKDKI dan pengaturan mengenai tuduhan jenazah. Dalam peraturan itu
diatur mengenai hak dan tanggungjawab pakar-pakar perbuatan dan dokter
gigi, hak-hak dan kewajipan perlindungan undang-undang bagi pesakit dan
dokter dan dokter gigi[2].
2.3 Etika Profesi dan Hukum
Aspek medikolegal Sesudah diterbitkannya dalam Undang-Undang
Praktik kedokteran No. 29 Tahun 2004 (UU Praktek Kedokteran) terdapat
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang didalamnya ada lembaga yang
disebut sebagai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) dengan tujuan menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran hubungan dokter dengan pasien[9] :
1. Hubungan Kebutuhan
2. Hubungan Kepercayaan
3. Hubungan Keprofesian
4. Hubungan Hukum
Hubungan antara dokter dengan pasien dalam transaksi “terapeutik”
didasari oleh dua macam hak asasi manusia, dengan demikian keberadaan
hubungan antara dokter dengan pasien, baik ditinjau dari sudut hukum
maupun aspek pelayanan kesehatan, tidak terlepas dari hak asasi manusia
yang melekat dalam diri manusia, khususnya hak untuk menentukan nasib
sendiri dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan[10].
Tabel 1. Perbedaan etika profesi dan hukum[9][10]

ETIK PROFESI HUKUM


Mengatur perilaku pelaksana / Mengatur perilaku manusia pada
pengemban profesi umumnya
Dibuat berdasarkan consensus / Dibuat oleh lembaga
kesepakatan diantara para pihak resminegara yang berwenang
pelaksana / pengemban bagi setiaporang
kekuatan mengikatnya untuk satu Mengikat sebagai sesuatu yang
waktu tertentu dan mengenai satu hal wajib secara umumsampai
tertentu dicabut / diganti dengan yang
baru
Sifat sanksinya moral psikologis Sifat saksinya berupa derita
jasmani / material
Macam saksinya dapat berupa Macam saksinya dapat berupa
diskreditasi profesi pidana, ganti kerugian atau
tindakan
Control dan penilaian atas Control dan penilaian atas
pelaksanaannya dilakukan oleh pelaksanaannya dilakukan oleh
ikatan / organisasi profesi terkai masyarakat dan lembaga resmi
penegak hukum struktural
Pelanggaran terhadap KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia)
merupakan pelanggaran etik namun pada umum ada pelanggaran etik
sekaligus pelanggaran hukum, salah satu contoh pelanggaran etik murni
yaitu:
a. Menarik imbalan yang tidak wajar
b. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya
c. Memuji diri sendiri dihadapan pasien
d. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang
berkesinambungan
e. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri
Contoh pelanggaran etikolegal yaitu :
a. Pelayanan dokter dibawah standar
b. Menerbitkan surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP)
c. Memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 286 KUHP)
d. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (Pasal 322 KUHP)
e. Abortus Provocatus Criminalis (Pasal 299, 348, 349 KUHP)
f. Pelecehan seksual
2.4 Prosedur Medikolegal
Prosedur medikolegal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan dan
berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum. Secara garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa bidang
juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran[10].
Dalam Prosedur mediko-legal ada tata-cara atau prosedur
penatalaksanaan dan berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran
untuk kepentingan hukum. Secara garis besar prosedur mediko-legal mengacu
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dan pada
beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika
kedokteran[10].
Ruang lingkup prosedur medikolegal adalah pengadaan visum et
repertum, pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan
pemberian keterangan ahli di dalam persidangan, kaitan visum et repertum
dengan rahasia kedokteran, penerbitan surat kematian dan surat keterangan
medik, pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka (psikiatri forensik), dan
kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik[10].
Menurut Pasal 133 KUHAP DASAR PENGADAAN VISUM ET
REPERTUM (masa penyidikan) di jelaskan bahwa [11]:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli
lainnya”.
Sedangkan Pasal 133 (2-3) KUHAP : Permintaan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam
surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat yang dikirim kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan
secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi
label yang memuat identitas mayat, dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan
pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat[10].
Sedangkan sanksi Hukum bila Menolak Menurut Pasal 216 KUHP
adalah[10]: “Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang
tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya,
demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak
pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-
halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda
paling banyak sembilan ribu rupiah”.
2.5 Prosedur Penanganan Kasus – Kasus Medikolegal di Rumah Sakit
Sengketa medis dalam hukum dikenal dengan istilah malpraktik.
Sebenarnya dari asal katanya malpraktik tidak hanya ditujukan pada profesi
kesehatan, namun secara umum mulai digunakan di luar negeri maka istilah
itu sekarang diasosiasikan atau ditujukan pada profesi kesehatan. Pengertian
malpraktik adalah any professional misconduct or unreasonable lack of skill
or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or
immoral conduct. Pemahaman malpraktik sampai sekarang masih belum
seragam. Dengan belum diaturnya malpraktik dalam peraturan perundang-
undangan yang ada sekarang ini (tidak mempunyai kepastian hukum),
penanganan dan penyelesaian masalah malpraktik juga menjadi tidak pasti[3].
Seharusnya penyelesaian sengketa ini dilakukan secara berjenjang,
mengingat profesi tenaga kesehatan atau lembaga yang menaunginya ini
rentan terhadap pembunuhan karakter oleh media massa atau rentan terhadap
pemerasan oleh oknum yang tak bertanggungjawab[3].
1. Jika sengketa mulai muncul karena ketidakpuasan hanya ditujukan ke
pihak RS, sebaikanya pihak rumah sakit melalui bagian humas segera
melakukan pendeketan guna menjawab atau klarifikasi terhadap
permasalahan yang ada sehingga pihak pengadu/pelapor merasa puas
dan terselesaikan permasalahannya.
2. Jika sengketa telah meluas (laporan ketidakpuasan pelayanan ditujukan
ke RS dan ditembuskan ke LSM/LPK/Ombudsman) dan melibatkan
pihak ke‐3 (kuasa hukum/LSM/masyarakat) maka diperlukan adanya
mediator yang dianggap netral untuk membantu penyelesaian
sengketanya.
3. Jika laporan sengketa kesehatan sudah meluas pada lembaga peradilan
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan) maka mutlak mediator bersertifikat
menjadi sangat diperlukan bila pendekatan penyelesaian sengketa
secara tertutup masih di inginkan oleh pihak Rumah Sakit/ lembaga
pemberi layanan kesehatan/tenaga kesehatan. Bila proses mediasi gagal
maka penyelesaian sengketa akan dilanjutkan melalui proses
persidangan di pengadilan.
Dalam proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu
litigasi (pengadilan) dan non litigasi/ konsensual/non-ajudikasi[3].
a. Litigasi (Pengadilan)
Penyelesaian sengketa medik secara litigasi yaitu dengan melalui
hukum pidana dan perdata. Sengketa medik yang sering terjadi karena
adanya pengaduan atau tuntutan pasien bahwa dokter telah atau diduga
melakukan kesalahan dan yang tersering adalah kelalaian medik. Pada
proses hukum pidana, penegak hukum kemudian melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus dugaan kelalaian medis
tersebut. Kemudian kasus tersebut di limpahkan kekejaksaan dan
akhirnya dilakukan proses persidangan. Di persidangan jaksa harus
dapat membuktikan bahwa dokter telah melakukan kelalaian dan
terdakwa juga berhak menghadirkan saksi-saksi atau keterangan ahli
yang meringankan terdakwa. Permasalahan timbul sejak proses
penyelidikan karena kurangnya pengetahuan penegak hukum mengenai
masalah kedokteran, sulitnya pembuktian dan saksi ahli yang netral
serta kredibel.
b. Non litigasi/ konsensual/non-ajudikasi
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas
tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua majelis kehormatan
disiplin kedokteran Indonesia (MKDKI). Salah satu penyelesaian
sengketa medik non litigasi adalah melalui MKDKI yang berada di
Jakarta atau di provinsi jika sudah dibentuk. MKDKI berada dibawah
Konsil Kedokteran Indonesia. Keanggotaannya terdiri dari dokter yang
mewakili organisasi profesi dan asosiasi rumah sakit serta ahli hukum.
Lembaga ini dapat menghukum dokter jika terbukti telah melakukan
pelanggaran disiplin. Hukuman yang diberikan dapat berupa
teguran/peringatan tertulis, pencabutan surat tanda registrasi (STR), dan
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan. Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan
pengaduan pada organisasi profesi. Pengaduan ke MKDKI tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan
tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat
kerugian perdata ke pengadilan.
Selain itu, mediasi non-litigasi bisa juga dilakukan oleh MKDKI
(Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sebagai lembaga
yang menjaga marwah kehormatan Dokter/ Dokter gigi dalam
menjalankan disiplin keilmuan Kedokteran. Oleh karena itu, MKDKI
merupakan badan yang ditunjuk oleh KKI untuk menangani kasus-
kasus dugaan pelanggaran disiplin Kedokteran atau Kedokteran gigi
dan menetapkan sanksi dimana penyelesaian dilakukan secara mediasi.
Surat Edaran Petunjuk Rahasia dari Kejaksaan Agung No. B006/ R-
3/I/1982 Jaksa Agung, tanggal 19 Oktober 1982 tentang “Perkara
Profesi Kedokteran” menyatakan bahwa agar tidak meneruskan perkara
sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan setempat atau
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Demikian pula dalam
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa sengketa
medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi.
Mediasi dilaksanakan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) bertugas untuk mengawasi keilmuwan kedokteran dalam
melakukan praktek kedokteran di Indonesia ikut mengawasi medis ada 3
bagian: MKEK yaitu yang menangani etika kedokteran. MKDKI yaitu yang
menangani disiplin kedokteran pengadilan yaitu yang menangani sengketa.
Akan tetapi jika terjadi kelailaian medis langkah awal penyelesaiannya
melalui mediasi, tertuang dalam pasal 29 UndangUndang No.36 tahun
Kesehatan yang menyebutkan “Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”[3].
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, mengatur bagaimana tahapan dalam prosedur
penanganan kasus medikolegal yaitu [12]:

Pasal 66

(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas


tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian
perdata ke pengadilan.
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan
memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin
dokter dan dokter gigi.
Pasal 68
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada
organisasi profesi. Bagian Keempat Keputusan
Pasal 69
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik;
dan/atau,
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata
cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur
dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, mengatur proses penyidikan dalam kasus tindakan pidana
dalam bidang medis.
Pasal 189
(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang
menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan
tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang kesehatan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang
tindak pidana di bidang kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh
penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Kasus Medikolegal

Penyelesaian

Litigasi Non Litigasi Mediasi


Gambar 1. Alur Proses Penanganan kasus medikolegal.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Proses penangan kasus medikolegal dapat dilakukan dengan dua proses
yaitu melalui jalur litigasi dan non litigasi.
2. Berdasarkan undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
penyelesaian kasus medikolegal yang dimaksud terlebih dahulu diselesai
melalui jalur perhimpunan profesi.
3. Penyelesaian kasus-kasus medikolegal dirumah sakit diatur dalam undang-
undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Undang-Undang No.29
Tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
4. Penyelesain kasus-kasus medikolegal lebih diutamakan melalui jalur non
ligitasi yaitu secara mediasi.
3.2 Saran
Sebaiknya dalam proses pembuatan refarat ini menggunakan referensi
berdasarkan Evidance Based Medicine agar sesuai kaidah-kadiah ilmu
kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
1. Indarwati H, Widyarto D, Suroto V. Urgensi Pembentukan Komite Etik Dan Hukum
Rumah Sakit Dalam Penyelesaian Sengketa Medik Secara Non Litigasi. SOEPRA
Jurnal Hukum Kesehatan. 2017;3(1):74–86.
2. Harianja H, Muda AK. Analisa kebijakan sistem informasi hukum kesehatan di
indonesia. Jurnal abdi ilmu.2020;13(2):114–22.
3. Afandi D. Mediasi : Alternatif Penyelesaian Sengketa Medis. Maj Kedokt Indon.
2009;59(4)189–93.
4. Trismadi, S. Perlindungan hukum profesi dokter dalam penyelesaian sengketa
medis. Jurnal Pembaharuan Hukum.2017;IV(1):24–40.
5. Razak A, Riza M. Gagasan Pengadilan Khusus Dalam Penyelesaian Sengketa Medis
Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Medis. Jurisprudentie.
2020;7:116–43.
6. Prahara, D. Penyelesaian Dugaan Kelalaian Medik Melalui Mediasi (Studi Pasal 29
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). de Jure Jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum. 2020;2(1):28-41.
7. Mangkey, M., D., Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Memberikan
Pelayanan Medis. Lex et Societatis.2014;II(8):14-22.
8. Koeswadji,Hermien Hadiati 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan
Medik, PT Chitra Aditya Bakti, Bandung
9. Ameln, Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, 1991
Guwandi,J, Kelalaian Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 1994.
10. Triana Y.A Ohoiwutun. Bunga Rampai Hukum Kedokteran (Tinjauan dari
Berbagai Peraturan Perundang-undangan dan UU Praktik Kedokteran),
Bayumedia Publishing:Malang. 2008.
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran.
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai