Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak
yang paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per
tahun,1 dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.3 Perbandingan anak laki-
laki dan perempuan 2:1. Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital,
primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus

eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein, dan lain lain. 1


Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila
lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-
kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare.
Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis
atau hipovolemia. Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney
Diseases in Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi,
dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat

sementara. 1
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada sindrom nefrotik karena
penyakitnya sendiri atau akibat pemberian obat. Komplikasi pada sindrom
nefrotik antara lain hipovolemia, renjatan, gangguan ginjal akut, infeksi,
tromboembolisme, gangguan elektrolit, gangguan endokrin, anemia,
malnutrisi, dan pertumbuhan terlambat.1-3 Berbagai komplikasi ini umumnya
disebab kan karena hilangnya berbagai protein melalui urin, seperti albumin,
faktor koagulasi, imunoglobulin, hormone-protein binding, transferin,
eritropoietin.4 Selain albuminuria terjadi juga ekskresi protein plasma

1
berukuran intermediate seperti transferin dan vitamin D-binding protein serta
pengeluaran elektrolit atau mikronutrien sehingga terjadi perubahan kadarnya

dalam plasma. 2

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir/Usia : 5 Bulan
Tanggal pemeriksaan : 21 mei 2021

ANAMNESIS
Keluhan utama : badan bengkak
Riwayat penyakit sekarang :
Anak laki-laki usia 5 bulan, diantarkan oleh orang tuanya ke RS Undata palu
dengan keluhan badan membangkak pada seluruh tubuh dan kencing sedikit,ibu
mengatakan anaknya mulai kencing sedikit sejak tgl 16 mei 2021 diikuti badan yang
membengkak dan mulai pucat. BAB cair berwarna coklat kehitaman dan BAK
frekuensinya berkurang berwarna kemerahan dan berbusa.
Riwayat penyakit terdahulu :
Tidak pernah menderita hal yang sama
Riwayat penyakit keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat keluhan yang sama.
Riwayat sosial ekonomi : Menengah
Riwayat kebiasaan dan lingkungan :
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasien merupakan anak yang aktif.
Kemampuan dan kepandaian anak : Sesuai dengan usia

Anamnesis makanan:
3
Pasien mengkomsumsi ASI usia 0-2 bulan kemudian usia 2 bulan hingga sekarang
konsumsi susu formula
Riwayat kehamilan dan persalinan :
Saat mengandung ibu pasien mengaku rutin memeriksakan ANC. Pasien merupakan
anak ke 4 dari ibu G4P4A0. Lahir secara normal, cukup bulan 37 minggu BBL : 3900
gr
Riwayat imunisasi : HB0 pada bulan ketiga satu kali
Riwayat alergi : Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Sakit berat
Kesadaran : Somnolen
2. Pengukuran Tanda vital :
Nadi : 127 kali/menit
Suhu : 36,5° C
Respirasi : 46 kali/menit
Spo2 : 76%
Berat Badan : 5,9 kg
Tinggi Badan : 53 cm
Lingkar lengan atas : 11 cm
Status Gizi :
BB/U : -2 – 0 (Normal)
TB/U : <-3 (sangat pendek)
BB/TB : >3 ( Gizi lebih)
3. Kulit : Warna: putih pucat
Pigmentasi: tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Turgor : Lambat kembali >2 detik
4
Kelembaban : Cukup
Ruam : Tidak ada
4. Kepala : Bentuk : Normocephal
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, tebal, alopesia (-)
Palpebra : Edema (+/+)
5. Mata : Konjungtiva : Anemis(+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Reflek cahaya : (+/+)
Refleks kornea : (+/+)
Pupil : Bulat, isokor
Exophthalmus : (-/-)
Cekung : (+/+)
6. Telinga: Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada
7. Hidung: Cuping hidung : Tidak ada
Epistaksi : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
8. Mulut : Bibir : Kering (+), tidak sianosis, tidak hiperemis
9. Lidah : Tremor/tidak : Tidak tremor
Kotor/tidak : Tidak kotor
Warna : Kemerahan
10. Faring: Hiperemis : Tidak
11. Leher : Pembesaran kelanjar : Tidak
Trakea : Ditengah
12. Tonsil : T1-T1 hiperemis : Tidak
13. Thoraks : Dinding dada/ paru
Inspeksi : Bentuk :Simetris
5
Dispnea : Ada
Retraksi :Tidak ada
Palpasi : Vokal fremitus : kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Bronkovesikuler (+/+)
Suara Napas Tambahan : Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
14. Jantung :Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC IV linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC V linea
parasternal dextra, batas kiri janttung SIC V linea
axillaanterior
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, murmur (-)
15. Abdomen: Inspeksi : Perut tampak cebung
Auskultasi : Peristaltik usus kesan normal
Perkusi : pekak pada seluruh permukaan abdomen
Palpasi : Hepatomegali (+), nyeri tekan (-)
16. Ekstremitas : Akral dingin, atas : (+/+ ) bawah : (+/+)
Edema : Atas : + Bawah : +

Pemeriksaan Laboratorium :
Darah Rutin :

WBC 7,92 x 103/uL


RBC 2,62 x 106/uL (↓)
HGB 5,9 g/dL (↓)
HCT 16,3 % (↓)
MCV 62,2 fL (↓)
MCH 22,5 pg (↓)

6
MCHC 34.2 g/dl (N)

PLT 43x103/uL (↓)

Urinalisis
Albumin : 1,2 gr/dl
Protein : +3
Leukosit : +1
Eritrosit : +3

Kimia darah
Creatinin : 0,64
Urea : 21,1 mg/dl
AST/GOT : 2937 U/L
ALT/GPT : 438 U/L

RESUME

Anak laki-laki usia 5 bulan, diantarkan oleh orang tuanya ke RS Undata palu
dengan keluhan badan membangkak pada seluruh dan kencing sedikit,ibu
mengatakan anaknya mulai kencing sedikit sejak tgl 16 mei 2021 diikuti badan yang
membengkak dan mulai pucat. BAB berwarna coklat kehitaman dan BAK
frekuensinya berkurang dan berbusa,
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis , tanda vital N : 127
x/m, R : 46 x/m, S; 36,5 ° C Spo2:76%, status gizi; TB/U : Sangat Pendek , BB/U :
Normal, BB/TB : gizi lebih, turgor kulit kembali lambat >2 detik, cekung (+/+), bibir
kering (+), Abdomen: cembung, hepatomegali (+). Pemeriksaan dapat didapatkan
RBC 2,62 x 106/uL (↓), HGB 5,9 g/dL (↓), HCT 16,3 % (↓), MCV 62,2 fL (↓), MCH
22,5 pg (↓),PLT 43x103/uL (↓). Pada pemeriksaan urinalisis Albumin : 1,2 gr/dl,
7
Protein : +3, Leukosit : +1, Eritrosit : +3. Kimia darah Creatinin : 0,64, Urea : 21,1
mg/dl, AST/GOT : 2937 U/L, ALT/GPT : 438 U/L

ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan tambahan untuk mengetahui adanya kemungkinan glomerulonefritis,
penyakit infeksi dan genetik :

1. Konsentrasi serum komplemen c3 dan c4


2. Serum imunoglobulin
3. Pemeriksaan kolesterol

DIAGNOSA
Sindrom nefrotik + hipoalbuminemia berat + anemia

Terapi
Ivfd kaEn 3B 10 tetes/menit
Ceftriaxon 2x150 mg
Metilprednison 2x5 mg
Furosemid 2x5 mg
Transfusi prc 100 ml

BAB III

PEMBAHASAN

8
SINDROM NEFROTIK

A. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling banyak terjadi pada
anak. Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit glomerulus yang ditandai
dengan proteinuria masif (>40 mg/m2 /jam), hipoalbuminemia (200 mg/dL).
Sindrom nefrotik termasuk dalam suatu kelainan yang bersifat kronis yang

memerlukan perhatian khusus dalam evaluasi dan tatalaksananya. 3

B. Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat
dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,1 dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak.2 Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun.3 Perbandingan anak laki-laki dan perempuan

2:1. 1

C. Etiologi
 Sindrom nefrotik kongenital
Sindrom nefrotik kongenital (SNK) adalah sindrom nefrotik yang terjadi
pada usia 3 bulan pertama sedangkan jika terjadi setelah usia 3 bulan
sampai 12 bulan disebut sebagai sindrom nefrotik infantil. Pasien SNK
biasanya tidak responsif terhadap steroid dan imunosupresan lain. Remisi
spontan sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah terjadi, sedangkan
SN infantil masih responsif terhadap steroid atau imunosupresan dan
dapat terjadi remisi spontan. Adanya SNK akan menyebabkan kerentanan

9
terhadap infeksi dan dapat menyebabkan malnutrisi, hipovolemia, dan

tromboemboli. 4

 Sindrom nefrotik primer/ idiopatik


Factor etiologinya belum diketahui, dikatakan sindrom nefrotik primer
oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat
kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa Adanya penyebab

penyakit lain. 5

 Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat

dari berbagai sebba yang nyata seperti misalnya efek samping obat. 5

D. Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, Sindrom Nefrotik bisa dikelompokkan menjadi tiga,

yaitu kongenital, idiopatik atau primer, dan sekunder. 6

 Kongenital
Tipe kongenital paling sering disebabkan mutasi pada NPHS1, NPHS2,
dan WTI1, tetapi dapat juga disebabkan mutasi pada gen lain dengan
uraian sebagai berikut

1. Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)


2. Denys-Drash syndrome (WT1)
3. Frasier syndrome (WT1)
4. Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
5. .Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
6. Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-
4;TRPC6)

10
7.Nail-patella syndrome (LMX1B)
 Primer atau idiopatik
Pada kejadian primer atau idopatik dapat disebabkan oleh kelainan
histopatologi
1. Sindrom nefrotik kelainan minimal ( SNKM )
2. Glomerulosklerosis fokal segmental ( GSF)
3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNMPD )
4. Glomerulonefritis membrano-proliferatif ( GNMP )
5. Glomerulopati membranosa ( GNM )
 Sekunder
sindrom nefrotik sekunder terkadang dapat mengikuti penyakit lain baik
infeksi, penyakit sistemik, maupun obat-obatan. Hal ini dapat
memperburuk prognosis. 8
Berikut ini penyakit lain yang dapat mengikuti sindrom nefrotik
sekunder:

a.Infeksi
1.Sifilis, toxoplasmosis, cytomegalovirus, rubella kongenital
2.Hepatitis B dan C
3.AIDS
4.Malaria.
5.Penyakit sistemik
6. Lupus erimatosus sistemik (LES)
7. Keganasan, seperti leukimia dan limfoma
b.Obat-obatan
1. Penicillamine
2. Obat anti inflamasi non steroid (NSAID)
E. Patofisiologi

11
Sindrom nefrotik terjadi karena disfungsi limfosit T sistemik yang mengeluarkan
sitokin toksik terhadap membran basalis glomerulus, 8,9 yaitu
ketidakseimbangan sel T helper dan sel T regulator. Sel T helper akan
mengeluarkan faktor permeabilias vaskular yaitu sitokin proinflamasi yang akan
menyebabkan perubahan muatan (charge) dan ukuran (size) pada membran
basalis glomerulus yang meningkatkan permeabilitas dinding glomerulus
sehingga terjadi proteinuria,10 sedangkan sel T regulator akan mengeluarkan
sitokin antiinflamasi yang menghambat peran sitokin proinflamasi yang
dikeluarkan sel T helper.11 Pada sindrom nefrotik idiopatik terdapat penurunan
aktivasi sel T regulator yang akan mengalami perbaikan fungsi pada saat remisi
dan pemberian imunosupresan. Penelitian Araya dkk12 melaporkan penurunan
sel T regulator pada sindrom nefrotik idiopatik relaps yang berbeda bermakna
dibandingkan dengan anak sehat dan pada keadaan remisi. Penurunan mekanisme
sel T regulator menyebabkan menurunnya pelepasan sitokin antinflamasi
sehingga terjadi aktivasi sel T helper untuk mengeluarkan sitokin proinflamasi

dan sitokin lainnya yang menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus. 2


Faktor permeabilitas vaskular yang utama adalah sitokin. Sitokin akan
berinteraksi dengan dinding kapiler glomerulus melalui reseptor permukaan.
Kompleks adhesi reseptor menimbulkan sinyal ke sitoskeletalaktin submembran
sehingga terjadi berbagai perubahan intraselular, seperti rearrangements
sitoskeletal.14,15 Perubahan muatan membran basalis glomerulus terjadi karena
berkurangnya proteoglikan heparan sulfat dan asam sialat membran basalis
glomerulus akibat meningkatnya katabolisme heparan sulfat membran basalis
glomerulus. Hilangnya muatan negatif membran basalis glomerulus akan
menimbulkan hilangnya reaksi penolakan antara membran basalis glomerulus
dan protein plasma yang bermuatan negatif, yang berarti permeabilitas dinding

membran basalis glomerulus meningkat dan terjadilah proteinuria. 2

12
Selain perubahan muatan membran basali glomerulus, kelainan nefrin dan neph-1
sebagai komponen utama slit diafragma akan menyebabkan kelainan integritas
slit diafragma juga akan menimbulkan proteinuria. Dengan demikian ada
beberapa mekanis me terjadinya proteinuria: 1. Pengurangan muatan anion
membran basalis glomerulus yang akan meningkatkan pasase protein plasma
yang bermuatan negatif melalui filter.16 2. Lepasnya foot processes podosit dari
membran basalis glomerulus yang akan meningkatkan aliran plasma melewati
membran basalis glomerulus tanpa foot processes. 3. Kelainan fungsional dan
struktural pada komponen slit diafragma yang menyebabkan kebocoran protein
melalui slit pore podosit,17 namun penyebab utama proteinuria adalah perubahan

muatan anion membran basalis glomerulus. 2


Selain disfungsi limfosit T, limfosit B ikut berperan dalam patogenesis sindrom
nefrotik. Pendapat ini didukung oleh penelitian tentang pemberian rituximab,
yaitu antibodi monoklonal anti-CD20 yang dapat menyebabkan remisi pada
sindrom nefrotik. Antibodi antimonoklonal menyebabkan deplesi sel B.18 Peran
sel B dalam patogenesis sindrom nefrotik idiopatik didukung oleh meningkatnya
produksi nitric oxide oleh sel B selama relaps. Jumlah nitric oxide yang
diproduksi oleh limfosit B serum lebih tinggi pada pasien sindrom nefrotik
idiopatik relaps dibandingkan dengan pada pasien dengan penyakit ginjal lainnya
dan anak sehat. 2
Perubahan ukuran dan muatan membran basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus yang mengakibatkan proteinuria. Protein
yang keluar melalui urin terlihat pada Tabel 1.

13
F. Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema

4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. 1


G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah yaitu darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis
leukosit, trombosit, hematokrit, LED), Albumin dan kolesterol serum, Ureum,

14
kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz,
Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-

DNA1

BATASAN . Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/
jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu . Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria
>40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu . Relaps jarang:
relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang
dari 4 x per tahun pengamatan . Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2 x
dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun .
Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan . Resisten steroid:
tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2
mg/kgbb/hari selama 4 minggu. . Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian

prednison dosis penuh selama 4 minggu. 1


H. Komplikasi
 Infeksi
Pada pasien SN resiko yang tinggi untuk terkena infeksi. Infeksi sendiri
merupakan penyebab utama kematian pada pasien sindrom nefrotik ,
biasanya infeksi disebabkan oleh kuman streptococcus pneumoniae yang
dapat menyebabkan peritonitis yang luas dan septicemia. Insidensi
peritonitis pada anak SN terjadi kisaran 2-6 % dan mungkin disertai
sepsis atau bacteremia. Infeksi baik yang disebabkan oleh virus atau
bakteri dapat memicu kambuhnya sindrom nefrotik
 Gangguan ginjal akut (GGA) prerenal derajat ringan sering
ditemukan pada pasien sindrom nefrotik karena hypovolemia. Hal ini
15
lebih sering dijumpai pada sindrom nefrotik yang disertai sepsis yang
ditunjukan terdapat kelainan histologis berupa nekrosis tubular akut
 Anemia pada sindrom nefrotik terjadi karena pengeluaran berlebih
zat besi, transferin, eritropoietin melalu air kencing
 Terjadi akibat penggunan kortikosteroid, walaupun kortikosteroid
berhasil menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas SN yang tinggi,
kortikosteroid dapat menimbulkan efek samping karena dosis
terapinya yang tinggi dan digunakan dalam waktu yang jangka lama,

efek sampingnya yang ditimbulkan adalah hipertensi. 7

I. Tatalaksana sindrom nefrotik


Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal,
atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan

16
dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah. Anak
dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. 8

1. Non farmakologi
- Diet tinggi kalori,tinggi protein 1-2 gr/kgBB/hari
- Diet rendah garam
- Terapi suportif : tirah baring dapat membantu mengontrol
edema
2. Farmakologi
- Diuretik : furosemide 1-2mg/kgbb/hari
- Infus albumin (diberikan untuk anak yang syok karena
komplikasi)
- Kortikosteroid :prednisone 60 mg/kg/hari atau 2 mgkgbb/hari
sesuai BB ideal dibagi menjadi 3 dosis (maksimal 80 mg/hari)

selama 4 minggu 8

Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2

g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema 1

17
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema
refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1
g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4
jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian
furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat
diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan,
suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat
sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema
pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1. intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik
untuk mengatasi edema tampak pada gambar

18
Imunisasi Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/

kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien

imunokompromais.11 Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah

obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated

polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan

vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi

pneumokokus dan varisela. 1

19
j. Prognosis
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi
gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal.9 Pada berbagaipenelitian jangka panjang ternyata
respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan
prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu
pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik yaitu:
Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS). 1

20
BAB III
PENUTUP

Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling banyak terjadi pada
anak. Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit glomerulus yang ditandai dengan
Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia
(200 mg/dL), edema, Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. . Di Indonesia
dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.3
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.

Sindrom nefrotik secara etiologi terbagi atas 3 yaitu sindrom nefrotik kongenital
(SNK) adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia 3 bulan pertama, Sindrom
nefrotik primer/ idiopatik Factor etiologinya belum diketahui, dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat
kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa Adanya penyebab penyakit lain, dan
sindrom nefrotik sekunder timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebba yang nyata seperti misalnya efek samping obat.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urinalisis dan pemeriksaan


darah, anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Terapi
first line yang dapat diberikan yaitu prednisone 60 mg/kg/hari atau 2 mgkgbb/hari
sesuai BB ideal dibagi menjadi 3 dosis (maksimal 80 mg/hari) selama 4 minggu

21
DAFTAR PUSTAKA

1.IDAI. 2012. KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK


IDIOPATIK PADA ANAK. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia:jakarta

2. pardede,o,s.2020. Anemia pada Sindrom Nefrotik Anak: Patogenesis dan Tata


Laksana. Vol 22 (1). https://saripediatri.org/

3. juliantika,r. lestari,h,i.2017. Korelasi antara Hipoalbuminemia dan


Hiperkolesterolemia pada Anak dengan Sindrom Nefrotik. Vol 49 (2).
https://core.ac.uk/

4. pardede, s.2016. sindrom nefrotik kongenital. Vol 7(3).


https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/843/777

5. . Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 3, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta
2017

6. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,


Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi kedua. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2010
7. . Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tata Laksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Nefrologi IDAI,
2012
8. . Handayani I, Rusli B, Hardjoeno. Gambaran kadar kolesterol, albumin dan
sedimen urin penderita anak sindrom nefrotik. Indonesian jurnal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory. 2007

22
23

Anda mungkin juga menyukai