Pembimbing : Dr. dr. Hj. Annisa Anwar Muthaher, S.H., M.Kes., Sp. F
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2021 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pelayanan Kedokteran forensik adalah pelayanan kesehatan yang meliputi korban
hidup dan korban mati yang berhubungan dengan tindak pidana. Dalam penanganan medis korban yang masih hidup ataupun korban yang sudah meninggal mungkin saja akan melibatkan berbagai dokter dengan keahlian klinis yang tidak hanya dokter spesialis forensik, akan tetapi juga melibatkan dokter klinisi lain dan yang tidak kalah pentingnya adalah dokter umum yang ada di Instalasi Gawat Darurat. Siapapun dokter yang terlibat dalam penanganan korban tindak pidana, haruslah memakai ilmu kedokteran forensik, yang memegang prinsip pengumpulan barang bukti yang sebanyak –banyaknya. Dokter diharapkan memberikan keterangan tentang luka atau cedera yang dialami korban, penyebab luka, dan seberapa parah luka tersebut mempengaruhi kesehatan korban (derajat luka atau kwalifikasi luka)[1]. Tugas pokok seorang dokter dalam bidang forensik adalah membantu pembuktian melalui pembuktian ilmiah termasuk dokumentasi informasi/prosedur, dokumentasi fakta, dokumentasi temuan, analisis dan kesimpulan[2]. Pasien yang termasuk kedalam lingkup pelayanan forensik klinik adalah pasien datang dengan surat permintaan visum, pasien korban tindak pidana penganiayaan, pasien korban kecelakaan lalu lintas, pasien dengan luka yang tidak jelas penyebabnya, pasien korban kekerasan seksual, pasien korban kecarunan/peracunan, pasien datang dengan surat permintaan visum. Jika pasien yang diperiksa termasuk ke dalam salah satu kriteria diatas, maka dokter mestinya sudah siap denganpencatatan luka/cedera yang lengkap. Dokter baru akan mengelurkan hasil visum et repertum jika ada permintaan tertulis dari penyidik yaitu berupa surat permintaan visum (SPV). Beberapa hal yang akan dituangkan dalam visum et repertum korban hidup adalah kronologis kejadian, keadaan umum pasien, luka atau cedera yang ditemukan, tindakan yang dilakukan terhadap pasien, keadaan sewaktu dalam perawatan dan keadaan waktu pulang, dan kesimpulan harus dijelaskan luka atau cedera, kekerasan penyebab dan derajat atau kwalifikasi luka. Kesemua unsur diatas harus dituangkan ke dalam visum et repertum, yang dibuatkan dalam bentuk kalimat dan dalam bahasa Indonesia yang baku[1]. Langkah-langkah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien meliputi : (1) Periksa apakah terdapat Surat Permintaan Visum (SPV) dari kepolisian, bila ada, periksa keabsahan SPV dan pemeriksaan yang diminta, (2) Jelaskan dan minta persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan (informed consent) kepada pasien (direct consent) atau orangtua/wali yang mengantar (proxy consent), (3) Lakukan penggalian informasi (anamnesis) secara menyeluruh. Pada pasien anak dilakukan kepada orangtua. Bila anak diatas 3 tahun dilakukan privacy setting dengan melakukan penggalian informasi lagi secara langsung kekorban anak tanpa didampingi orangtua/wali yang mengantar, (4) Lakukan pemeriksaan fisik umum dan khusus pada lokasi tubuh yang mengalami kekerasan. Pada pemeriksaan lokal, luka-luka difoto dan dicatat. Secara naratif, luka dilukiskan sesuai dengan sistematika penulisan luka (lokasi luka, koordinat luka, jenis luka, gambaran luka, ukuran luka, dan sekitar luka), (5) Foto dan catat seluruh pemeriksaan penunjang yang dilakukan[3]. Instalasi gawat darurat merupakan ujung tombak pelayanan rumah sakit yang terus meningat jumlah pasiennya, baik karena kurangnya staf, kurangnya tempat tidur, proses operasional yang buruk, kurangnya akses universal terhadap pencegahan dan perawatan primer. Pelayanan di IGD merupakan layanan yang bersifat integratif dengan melibatkan sejumlah tenaga Kesehatan secara Bersama sama untuk memberikan pelayanan kepada pasien. Apabila terjadi persoalan yang kompleks dan fenomena multi disiplin akan mengakibatkan lambatnya penanganan pasien, kelelahan dokter dan staf ,ketidak puasan pasien, tertundanya pengobatan dan perawatan pasien[4]. Kendala yang ditemui oleh dokter yang melakukan visum pada saksi korban kadang keterangan dari saksi yang berbelit belit, seakan tidak ada kesusian alur cerita, karena dalam penyeledikan suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan[5]. Kendala yang paling utama dihadapi adalah surat permintaan visum terkadang tidak bersamaan dengan barang bukti yang dimintakan, jadi sering kali surat permintaan dari penyidik itu sering terlambat. Permasalahan atau kendala yang terjadi pada administrasi surat yang dilakukan penyidik dalam kaitannya ini polisi ke dokter yang melakukan visum terhadap saksi korban. Keterlambatan terjadi karena adanya proses visum et repertum yang terlalu lama, dalam suatu penyelidikan surat yang dikeluarkan oleh dokter dari laporan et repertum harus sesuai dengan KUHAP[5]. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti dengan Judul “Penanganan Kasus-kasus Forensik di Rumah Sakit” 1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah penanganan kasus forensik pada Rumah Sakit Bhayangkara Palu sudah sesuai ? 2. Apa saja kendala yang dialami dokter dalam penanganan kasus forensik pada Rumah Sakit ? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penanganan kasus forensik pada Rumah Sakit telah sesuai atau tidak 2. Untuk mengetahui kendala yang dialami dokter dalam penanganan kasus forensik pada Rumah Sakit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjaun Umum 1. Prosedur pemeriksaan forensik a. Antemortem6 Terperiksa sebagai korban merupakan barang bukti yang dinyatakan dalam Surat permintaan Visum (SPV) dari penyidik kepolisian. Bila terperiksa datang tanpa membawa SPV, terperiksa ditangani sebagai pasien dimana semua bukti-bukti serta tindakan-tindakan medis dicatat dalam Rekam Medis. Jika SPV datang terlambat, maka Visum et Repertum dibuat di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik berdasarkan data Rekam Medis. Apabila terperiksa masuk Rumah Sakit dengan membawa SPV, maka terperiksa sebagai pasien ditangani oleh dokter klinis yang sesuai dan sekaligus sebagai korban yang dikumpulkan bukti medisnya oleh dokter forensik. Visum Et Repertum diterbitkan oleh Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. 1) Pemeriksaan Korban Kekerasan Fisik Pemeriksaan korban kekerasan fisik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik lokal, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir kekerasan fisik yang telah ditentukan dan dilakukan fotografi forensik. Khusus untuk korban kekerasan fisik pada anak dilakukan serangkaian tindakan- tindakan medis yang mengacu kepada standar penanganan korban kekerasan fisik pada anak dari WHO, yakni:
a) Pemeriksaan radiologi berupa Bone Survey.
b) Pemeriksaan serum amilase bila dicurigai terjadi kekerasan pada perut. c) Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi. d) Dokumentasi dan fotografi forensik. e) Pemeriksaan saudara kandung (sibling examination). f) Skrining tumbuh kembang. g) Skrining tingkah laku. Langkah-langkah pemeriksaan korban pemeriksaan fisik antara lain: a) Periksa apakah terdapat Surat Permintaan Visum (SPV) dari kepolisian. Bila ada, periksa keabsahan SPV dan pemeriksaan yang diminta. b) Jelaskan dan mintakan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan (informed consent) kepada korban (direct consent) atau orang tua / wali yang mengantar (proxy consent). c) Lakukan penggalian informasi (anamnesis) secara menyeluruh. Pada korban anak dilakukan kepada orang tua. Bila anak di atas 3 tahun dilakukan privacy setting dengan melakukan penggalian informasi lagi secara langsung ke korban anak tanpa didampingi orang tua / wali yang mengantar. d) Lakukan pemeriksaan fisik umum dan khusus pada lokasi tubuh yang mengalami kekerasan. Pada pemeriksaan lokal, luka-luka difoto dan dicatat. Secara naratif, luka dilukiskan sesuai dengan sistematika penulisan luka (lokasi luka, koordinat luka, jenis luka, gambaran luka, ukuran luka, dan sekitar luka). e) Foto dan catat seluruh pemeriksaan penunjang yang dilakukan. 2) Pemeriksaan Korban Kekerasan Seksual Pemeriksaan korban kekerasan seksual meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan genitalia, pengambilan sampel, dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir kekerasan seksual yang telah ditentukan dan dilakukan fotografi forensik. Bukti-bukti medis yang dikumpulkan merupakan bukti sirkumstansial kekerasan seksual, meliputi: tanda kedewasaan, tanda kekerasan, tanda persetubuhan, waktu persetubuhan, dan akibat persetubuhan bila ada. Langkah-langkah pemeriksaan korban kekerasan seksual pada perempuan dewasa: 1. Periksa apakah terdapat Surat Permintaan Visum (SPV) dari kepolisian. Bila ada, periksa keabsahan SPV dan pemeriksaan yang diminta. 2. Lakukan informed consent mengenai prosedur pemeriksaan genitalia dan pengambilan sampel. 3. Lakukan anamnesis umum dan khusus 4. Lakukan pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda kedewasaan (pertumbuhan gigi dan perkembangan tanda kelamin sekunder), tanda kekerasan, dan tanda keracunan. 5. Bila terdapat luka-luka, foto dan deskripsikan sesuai dengan sistematika penulisan luka (lokasi luka, koordinat luka, jenis luka, gambaran luka, ukuran luka, dan sekitar luka). 6. Lakukan pemeriksaan alat kelamin: a. Posisikan terperiksa secara litotomi. b. Lakukan pengambilan sampel swab vagina: 1) Informed consent. 2) Pakai sarung tangan yang bersih. 3) Lidi kapas diusapkan dengan arah maju, mundur, atas dan bawah serta memutar selama 20 detik di sekitar vulva / vagina. 4) Usapkan lidi kapas pada kaca preparat. 5) Berikan label pada lidi kapas dan kaca preparat. 6) Lakukan pemeriksaan spermatozoa di laboratorium IGD. 7) Ambil kembali swab vagina sebanyak dua kali. 8) Berikan label pada dua lidi kapas tersebut lalu masukkan ke dalam plastik bening. 9) Dua lidi kapas disimpan dalam suhu 4oC di laboratorium forensik untuk pemeriksaan PSA, golongan darah, dan DNA. c. Lakukan pemeriksaan dengan traksi lateral, yaitu dengan cara membuka bagian luar alat dengan kedua tangan pemeriksa secara kontralateral antara tangan satu dengan yang lainnya. d. Inspeksi alat kelamin luar, apakah terdapat luka-luka terutama di daerah fourchette posterior dan labia minora. Bila terdapat luka, foto dan deskripsikan lokasi luka sesuai dengan arah jarum jam, jenis luka, gambaran luka, ukuran luka, dan sekitar luka. e. Lakukan pemeriksaan selaput dara. Bila utuh, deskripsikan bentuk, kelainan, lokasi terhadap saluran vagina, lalu ukur diameter lubang selaput dara. Bila terdapat robekan, foto dengan aturan makro pada kamera dan narasikan lokasi robekan sesuai dengan arah jarum jam, robekan baru atau lama, sampai ke dasar atau tidak. f. Pemeriksaan selaput dara dengan teknik colok dubur (rectal touche) dan foley catheter sudah tidak direkomendasikan. g. Inspeksi alat kelamin dalam (tidak diperkenankan apabila selaput dara utuh), apakah terdapat luka-luka pada liang vagina. Bila terdapat luka, deskripsikan lokasi luka sesuai dengan arah jarum jam, jenis luka, gambaran luka, ukuran luka, dan sekitar luka. h. Lakukan pengambilan sampel bilasan vagina (tidak diperkenankan apabila selaput dara utuh): 1) Informed consent. 2) Persiapkan spuit 3 cc yang penuh berisi akuades. 3) Masukkan spekulum dengan ukuran yang sesuai. 4) Semprotkan akuades dalam spuit ke dalam fornix posterior. 5) Goyangkan spekulum secara lembut sebanyak 5-10 kali. 6) Aspirasi kembali cairan bilasan vagina dengan spuit. 7) Berikan label pada spuit. 8) Lakukan pemeriksaan spermatozoa di laboratorium IGD. i. Lakukan tes kehamilan menggunakan alat uji cepat dan USG bila diperlukan. j. Berikan obat anti hamil bila diperlukan. k. Ambil sampel darah dan urin untuk pemeriksaan toksikologi bila terdapat indikasi. l. Simpan sampel darah dan urin dalam suhu 4 0C di laboratorium forensik untuk pemeriksaan racun 2.2 Tinjauan Khusus Berikut ini beberapa kasus forensik yang mendominasi di RS Bhayangkara Palu. a. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, semakin lama semakin meningkat jumlahnya. Kekerasan terhadap perempuan dan anak seolah-olah menjadi sebuah budaya yang memang berlangsung dengan sendirinya. Berbagai upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan memang telah dilakukan. Namun demikian upaya-upaya tersebut terus menghadapi kendala karena kultur budaya patriakhi yang masih mengedepankan laki-laki dibandingkan perempuan. Kultur budaya tersebut tidak hanya terjadi dalam rumah tangga, namun juga terjadi di ruang publik termasuk berkaitan dengan kebijakan-kebijakan publik. Kendala kedua adalah penegakan hukum yang masih belum sepenuhnya berjalan dan belum mencerminkan keadilan bagi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan dan perlindungan anak. saat ini KDRT merupakan salah satu jenis kekerasan yang menjadi masalah kesehatan global, karena kejadian KDRT dapat menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi kesehatan mental pada korban. Kasus KDRT yang tidak ditangani secara tuntas akan menimbulkan “lingkaran kekerasan”. Pola kekerasan ini akan terus berulang, bahkan korban kekerasan suatu saat dapat menjadi pelaku kekerasan7. KDRT merupakan salah satu jenis kekerasan yang menjadi masalah kesehatan global. Studi dari berbagai negara menunjukkan, angka kejadian KDRT berkisar antara 15- 71%. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung mengalami peningkatan. Jumlah kasus kekerasan pada tahun 2010 meningkat sekitar 5 kali dibandingkan tahun 2006. KDRT merupakan kasus yang mendominasi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu 96% pada 2010. Dalam catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2011, korban KDRT yang terbanyak adalah perempuan dalam rentang usia produktif (25-40 tahun)5. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, yang dimaksud dengan KDRT adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi suami, istri, dan anak”7. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 200422: a) Kekerasan fisik (Pasal 6 UU PKDRT). Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau Iuka berat b) Kekerasan psikis (Pasal 7 UU PKDRT). Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. c) Kekerasan seksual (Pasal 8 UU PKDRT). Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. d) Kekerasan ekonomi Berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan. e) Penelantaran Rumah Tangga (Pasal 9 UU PKDRT). a) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. b) Penelantaran yang dimaksud sebelumnya juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut b. Penganiayaan Salah satu persoalan yang sering muncul di kehiduan masyarakat ialah Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang baik itu secara individu maupun secara bersama-sama, yang tanpa disadari ini dapat menimbulkan keresahan dimasyarakat karena sering kali penganiayaan yang dilakukan justru mengakibatkan kematian pada korbannya. Pada kenyataannya walaupun sanksi pidana telah diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP, namun dalam kehidupan sehari-hari tindak pidana masih kerap kali dilakukan, terutama tindak pidana terhadap tubuh seperti halnya penganiayaa. Dalam kasus penganiayaan maupun kejahatan lain yang ditujukan terhadap nyawa maupun tubuh manusia disebabkan karena emosi yang tak terkendalikan, tidak menghargai hak hidup orang lain, sikap mau menang sendiri kerasnya persaingan hidup, iklim kompetisi yang tidak sehat atau fair sebagai penyebab terjadinya kejahatan8. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materil terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan, penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara. Kejahatan penganiayaan merupakan salah satu kejahatan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu. Salah satunya dapat dilihat dari pelakunya yang bukan lagi hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak . Maraknya tindak penganiayaan yang terjadi dari berbagai sumber menjadi pertanda bahwa hal tersebut tidak lepas dari perilaku masyarakat yang tidak terkontrol baik dari rendahnya pendidikan maupun pergaulan lingkungan yang tidak baik9. Secara umum tindakan yang bersinggungan dengan menganiaya, patut untuk diketahui dan diterapkan dengan baik oleh aparat penegak hukum dalam mewujudkan suatu keadilan yang dikehendaki sehingga dengan memperhatikan dengan cermat dan jeli terhadap unsure-unsur yang cocok dengan rumusan delik dapat menjadi langkah awal dalam keadilan. Seiring dengan meningkatnya kasus criminal dengan motif dan modus yang beragam, diperlukan ilmu yang menkomondasi kepentingan penegak hukum. Ilmu kedokteran forensik atau disebut juga dengan ilmu kedokteran kehakiman menjadi semakin penting untuk proses peradilan untuk memperoleh keadilan. Dalam perkara penganiayaan, biasanya tidak semua korban meninggal dunia, tetapi juga terdapat korban hidup. Selain sebagai korban penganiayaan, si korban juga berperan sebagai pasien, yaitu sebagai manusia yang merupakan subyek hukum dengan segala tuntutan hak dan kewajibannya. Hal ini berarti bahwa seorang korban hidup tidak seutuhnya merupakan barang bukti, namun disalin ke dalam bentuk visum et repertum sesuai dengan definisinya, maka visum et repertun sangat bermanfaat dalam pembuktian suatu perkara berdasarkan hukum acara. Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakikatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkaar tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang sah untuk mengungkap suatu perkara pada tahap pemeriksaan9. Pemeriksaan tanda-tanda kekerasan6 : 1. Periksa dan temukan luka-luka dan patah tulang. 2. Membandingkan kondisi luka sebelum dan sesudah dibersihkan. 3. kondisi luka dari jarak jauh dan jarak dekat dengan memperhatikan anatomical landmark. 4. Amati luka dan catat. 5. Deskripsikan lokasi luka, koordinat luka, jenis luka, gambaran luka, dan ukuran luka. 6. Bila perlu deskripsikan sekitar luka: apakah terdapat lukaluka lain atau hal-hal lain. 7. Temukan patah tulang tertutup dengan cara memeriksa tulang-tulang apakah terdapat kelainan bentuk (deformitas), pemendekan, bengkak, memar, krepitasi, dan false movement saat tulang digerakkan. 8. Temukan patah tulang terbuka. 9. Tentukan lokasi patah tulang. c. Kecelakaan lalu lintas Lalu lintas merupakan salah satu sarana komunikasi masyarakat yang memegang peranan vital dalam memperlancar pembangunan yang kita laksanakan. Karena dengan adanya lalu lintas tersebut, memudahkan akses bagi masyarakat untuk melakukan kegiatannya untuk pemenuhan perekonomiannya. Tanpa adanya lalu lintas, dapat dibayangkan bagaimana sulitnya kita untuk menuju tempat pekerjaan atau melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan jalan raya. Tidak ada satu pun pekerjaan yang tidak luput dari penggunaan lalu lintas10. Keamanan, Keselamatan, Ketertiban dan Kelancaran lalu lintas merupakan salah satu bagian yang penting dalam mendukung terciptanya kondisi perekonomian, industri dan pariwisata yang selalu dinamis seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun dalam prakteknya, penyelenggaraan transportasi itu seiring mengalami hambatan yang berdampak luas pada jasa pemakai jasa transportasi maupun masyarakat umum. Untuk mengantisipasi berbagi hambatan dan kelemahan system lalu lintas oleh pengguna jalan, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang bertujuan untuk menjamin keselamatan manusia dalam hubungannya dengan para pengguna jalan, angkutan dan kendaraan bermotor yang kesemuanya memiliki resiko tinggi dalam praktek berlalu lintas di jalan raya, kelangsungan ketertiban berlalu lintas serta kehidupan manusia11. Salah satu permasalahan dalam transportasi adalah kecelakaan lalu lintas. Permasalahan ini pada umumnya terjadi ketika sarana transportasi, baik dari segi jalan, kendaraan, dan sarana pendukung lainnya belum mampu mengimbangi perkembangan yang ada di masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang besar menyebabkan meningkatnya aktivitas pemenuhan kebutuhan yang tentunya meningkatkan pula kebutuhan akan alat transportasi, baik itu yang pribadi maupun yang umum. Kecelakaan lalu lintas akhir-akhir ini sangat sering terjadi dan banyak menimbulkan kerugian. Akibat dari kecelakaan lalu lintas berupa kerusakan terhadap fasilitas-fasilitas umum dan timbulnyakorban yang meninggal dunia. Kondisi lalu lintas yang semakin kompleks ini dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat secara langsung maupun tidak turut andil dalam peningkatan jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas. Di negara maju, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama kematian untuk semua kelompok umur, kecuali untuk mereka yang sangat tua. Gejala ini pun sekarang dialami oleh negara-negara berkembang. Pengamatan umum menunjukkan, bahwa tingkat kecelakaan lalu lintas meningkat seiring dengan naiknya tingkat kepemilikan kendaraan. Tingkat keselamatan disini diukur dengan banyaknya jumlah korban akibat kecelakaan10. Pola cedera akibat kecelakaan lalu lintas memiliki perbedaan dengan pola cedera akibat kekerasan lain sebagai contoh adalah pola dimana trauma mekanik dan luka bakar ditemukan pada korban yang sama, akibat gesekan tangki bahan bakar dengan aspal pada saat sepeda motor terlempar. Pemeriksaan luar kemudian dianggap adekuat untuk menggantikan manfaat autopsi forensik pada kasus kecelakaan lalu lintas24. Luka dapat diakibatkan benturan pertama, benturan kedua, dan luka sekunder akibat benturan dengan obyek lain. Pada penumpang kendaraan penting ditentukan posisi korban dalam kendaraan saat kecelakaan, dan bila memungkinkan, menentukan pengemudi. Pada kendaraan roda tiga/ lebih, pengemudi biasanya mengalami Iuka pada pergelangan tangan (karena menahan kemudi) dan tulang femur atau pelvis (karena menginjal pedal), sementara penumpang terutama mendapat Iuka pada kepala karena terbentur jendela23 d. Pencabulan dan pemerkosaan Dorongan seksual adalah salah satu aspek kompleks dari pengalaman manusia yang berkaitan dengan unsur kognitif, emosional, sensual, dan perilaku dari individu yang menjadi pola pengalaman pribadi yang unik yang berasal dari fantasi internal dan perilaku eksternal. Keinginan seksual juga didorong oleh aspek biologis, fisiologis, dan psikoseksual, yang jika terlalu besar dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan seksual untuk memenuhi keinginannya. Secara umum, kejahatan seksual banyak terjadi di seluruh dunia, khususnya terhadap wanita. Mayoritas korban kejahatan seksual adalah wanita, kebanyakan pelaku kejahatan seksual adalah laki-laki, dan sebagian besar korban mengenal atau bahkan dekat sekali hubungannya dengan pelaku. Diperkirakan sekitar 700.000 wanita mengalami kejahatan seksual tiap tahun di Amerika Serikat. Tidak menutup kemungkinan, kejahatan seksual terhadap laki-laki juga dapat terjadi. Namun, sangat sulit untuk memastikan insiden kejahatan seksual karena memberikan laporan menjadi korban kejahatan seksual dan diketahui menjadi tidak perawan bagi wanita masih dianggap tabu oleh keluarga dan masyarakat, sehingga ada kecenderungan terjadi underreport dari kasus kejahatan seksual ini12. Pemerkosaan adalah suatu tindakan kekerasan, bukan seksual karena suka sama suka. Sangat banyak klasifikasi psikologi yang telah diusulkan untuk mengkarakteristik perkosaan, tapi perubahan psikodinamik pada korban yang terlibat dalam seluruh skema meliputi feelings of inadequacy, kemarahan yang tidak tersalurkan (misalnya, impulse control disorders), atau penyimpangan gangguan karakter lain13. Di Indonesia, kasus kejahatan seksual terhadap anak mulai marak diberitakan. Menurut kutipan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan laporan kekerasan terhadap anak pada tahun 2011, 58% dari 2.509 kasus kekerasan merupakan kekerasan seksual. Dan pada tahun 2012 tercatat 2.637 kasus dimana 62% merupakan kasus kekerasan seksual. Data tersebut ditambah pada semester pertama 2013 tercatat sebanyak 1.824 kasus dengan 724 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual12. Penegakan kasus pencabulan dan pemerkosaan dapat dilakukan dengan melakukan tahap-tahap yaitu19 a. Anamnesis 1) Waktu dan tanggal kejadian Anamnesis waktu dan tanggal kejadian membantu dokter dalam menentukan tanda klinis pada tubuh korban seperti bekas perlukaan dan warna kemerahan pada tubuh korban. Waktu dan tanggal kejadian sangat penting karena apabila kejadian sudah melebihi dari lima hari akan membingungkan dokter dalam hasil pemeriksaan cairan sperma19. 2) Anamnesis umum Pemeriksaan Anamnesis umum menurut WHO bertujuan untuk membantu dokter dalam melakukan tatalaksana awal yang harus dilakukan saat pasien pertama kali datang atau mengatasi kedaruratan korban kejahatan seksual. Anamnesis yang menurut “The Seven Attributes of a Symptom” yaitu20 a) Lokasi. Dimana tempatnya? Apakah menjalar? b) Kualitas. Bagaiman sifatnya? c) Kuatitas atau intensitas. Bagaimana deraiat keparahannya? (Untuk keluhan nyeri, suruh pasien menentukan delajatnya pada skala 1 hingga 10) d) Saat terjadinya. Kapan dimulainya? Berapa lama gejala itu berlangsung Berapa sering gejala itu terjadi? e) Situasi pada saat terjadi. Meliputi fuktor lingkungan, aktivitas, reaksi emosional, atau keadaan lain yang turut menimbulkan penyakit. f) Faktor yang memperberat atau meringankan gejala. Apakah ada sesuatu yang mengurangi atau memperparahnya? g) Manifestasi yang menyertai. Apakah Anda memperhatikan sesuatu yang menyertainya? 3) Riwayat Menstruasi dan Riwayat hubungan seksual sebelumnya Pemeriksaan HPHT sangat penting dan berguna bagi dokter untuk memfasilitasi korban yang hamil akibat kasus kejahatan seksual serta untuk memfasilitasi korban dalam pencegahan penyakit menular seksual yang diakibatkan oleh pelaku kejahatan seksual serta untuk menghindari kesalahan diagnosis apakah perlukaan terjadi pasangan seksual yang sah atau akibat dari perkosaan19. 4) Kronologis Kejahatan Seksual Tujuan anamnesis kronologis menurut WHO adalah untuk mendapatkan informasi mengenai latar belakang kejadian secara runut. Dokter dalam melakukan anamnesis kronologis harus mempersilahkan pasien untuk menceritakan secara rinci menurut kalimat dan sudut pandang korban. Dokter harus menghindari penggunaan kata yang bersifat menyudutkan dan menuduh agar pasien cenderung membuka diri sehingga mau menceritakan secara rinci kronologis kejadian. Kronologis juga berperan untuk menjadi bukti hukum apabila kasus tersebut dilanjutkan ke ranah hokum serta kronologis merupakan gambaran yang penting untuk dokter pemeriksa dalam melakukan prosedur pemeriksaan berikutnya19 5) Apa yang dilakukan korban sesudah mengalami tindakan kejahatan seksual Pentingnya pemeriksaan ini adalah untuk mempermudah dokter dalam melacak sampel yang ditinggalkan oleh pelaku kejahatan seksual. Korban kejahatan seksual biasanya merasa kotor sesudah mendapat tindakan kejahatan seksual. Menanyakan apa yang dilakukan korban sesudah mengalami tindakan kejahatan seksual memiliki 2 peran penting yaitu turut dalam membantu penyelidik mengumpulkan sampel pelaku dari tubuh korban dan aktivitas yang dilakukan oleh korban tersebut dapat mempengaruhi hasil interpretasi pemeriksaan laboratorium forensik19. 6) Identitas Pelaku Kejahatan seksual Identitas pelaku kejahatan seksual yang ditanyakan oleh dokter saat melakukan anamnesis terhadap korban kejahatan seksual sangat penting dalam membantu proses hukum dari suatu kasus kejahatan seksual serta identitas pelaku bertujuan untuk mendapatkan data – data yang diperlukan dalam hukum dan pembuatan visum et repertum19. 7) Lokasi dan Keadaan Sekitar Saat Terjadinya Kejahatan Seksual Lokasi dan keadaan sekitar saat terjadinya kejahatan seksual harus ditanyakan kepada pasien karena sangat penting dan berperan dalam membantu dokter dalam mengumpulkan barang bukti dan sampel yang terdapat di tempat kejadian perkara19. 8) Deskripsi Kejahatan Seksual Jenis kejahatan seksual ini membantu dokter dalam pemeriksaan fisik yang dilakukan agar menjadi lebih akurat dan terarah misalnya pemerkosaan atau pencabulan. b. Pemeriksaan fisik 1) Peran dokter dalam melakukan pemeriksaan tanda vital adalah19: a. Mengukur suhu tubuh pasien dengan metode oral, rectal, dan axillar b. Mengukur denyut nadi pasien dengan menilai irama nadi dan kekuatan dari setiap denyutan c. Mengukur laju pernafasan pasien d. Mengukur tekanan darah pasien dengan menggunakan monitor aneroid, monitor digital dan dengan metode finger and wrist blood pressure monitor 2) Pemeriksaan Top to Toe atau Head to Toe Pemeriksaan top to toe dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan bukti pada tubuh korban dan didokumentasikan. Pemeriksaan top to toe berperan untuk menemukan adanya luka – luka yang dialami korban yang akan didokumentasikan sebagai barang bukti pada proses hukum korban. Apabila terdapat luka pada tubuh korban harus dideskripsikan secara detail dan didokumentasikan19 3) Pemeriksaan Anogenital Peran dokter menurut WHO dalam pemeriksaan anogenital ini terdiri dari19: 1. Memeriksa genitalia eksterna dan anus , memeriksa mons pubis , menilai labia mayora , labia minora , hymen , clitoris dan perineum. 2. Melakukan pemeriksaan dalam dengan menggunakan spekulum apabila ditemukan adanya darah atau sekret dilakukan swab 3. Memeriksa anus korban dengan menggunakan rectal touché. 4. Dokter pemeriksa disarankan untuk melakukan pemeriksaan digital rectal examination apabila ketika melakukan anamnesis didapatkan dari pengakuan korban adanya suatu objek yang dimasukkan ke lubang anus. Langkah-langkah pemeriksaan korban kekerasan seksual pada anak perempuan (kurang dari 18 tahun)6: 1. Pemeriksaankorbankekerasanseksualpadaanakperempuan pada prinsipnya sama dengan korban perempuan dewasa. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada korban anak yaitu kelainan-kelainan (luka-luka) pada alat kelamin terutama robekan selaput dara sangat jarang ditemukan. Jarangnya kelainan ini disebabkan oleh : a. Lokasi selaput dara anak perempuan yang relatif lebih dalam dari muara lubang liang senggama (introitus vagina). Dalamnya lokasi selaput dara disebabkan timbunan lemak berlebih pada mons veneris. b. Pada darah anak perempuan terdapat hormon estrogen maternal yang lewat melalui sawar darah plasenta saat dalam kandungan. c. Secara anatomi,genitalia anakmasihbelumberkembang sehingga sulit mengalami penetrasi total (lebih sering penetrasi minimal atau penetrasi partial). 2. Kelainan-kelainan selaput dara pada anak yang perlu diperhatikan: a. Robekan selaput dara (deflorasi). b. Bercak noktah pada selaput dara. c. Bentuk U atau V pada tepi dalam selaput dara. d. Celah pada selaput dara. e. Memar, kemerahan, dan sembab pada selaput dara. f. Penyempitan lokal pada lubang selaput dara. g. Kehilangan jaringan selaput dara. h. Pelebaran diameter transversal lubang selaput dara. 3. Diameter transversal lubang selaput dara pada anak berkembang sesuai dengan umur anak. Pada balita bergaris tengah 5 mm dan setelah 6 sampai 10 tahun bertambah 1 mm sesuai dengan umur. 4. Bila diameter transversal lubang selaput dara melebihi umur, maka hal ini dapat disebabkan karena penetrasi tumpul yang mengakibatkan “folding mechanism” pada tepi dalam lubang selaput dara. 5. Oleh karena minimalnya kelainan-kelainan pada selaput dara anak, maka pemeriksaan genetalia harus dilakukan dengan berbagai macam posisi pemeriksaan. Awalnya dilakukan dengan posisi litotomi lalu diubah menjadi posisi knee-chest kemudian diganti menjadi posisi lateral decubitus. Jika terdapat kelainan selaput dara pada lokasi yang sama, maka kelainan tersebut baru dapat dipastikan. c. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan sampel dan swab Pemeriksaan Swab dan sampel sangat penting untuk dijadikan sebagai bukti adanya kontak seksual antara korban dengan pelaku dan membantu penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual. analisis DNA yang diperoleh dari pemeriksaan swab dan sampel, sangat membantu investigasi dan penyelesaian kasus kejahatan seksual. Swab yang diperoleh dari tubuh korban diperlukan untuk pemeriksaan DNA yang dapat digunakan oleh penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual. Peran dokter dalam mengumpulkan swab dan sampel yaitu 1. Melakukan swab sesuai dengan teknik pemeriksaan yang benar. 2. Melakukan pemeriksaan terhadap sampel dan swab yang didapat dari tubuh korban bila terdapat fasilitas di rumah sakit / merujuk sampel kepada laboratorium yang lebih berkompeten untuk dilakukan pemeriksaan. 3. Mampu menjelaskan kepada penyidik mengenai hasil dari sampel secara detail dan lengkap. 2) Pemeriksaan darah dan urin Pemeriksaan darah dan urin harus dilakukan terutama apabila ada riwayat konsumsi obat – obat dan alkohol. Peran sampel darah dan urin adalah untuk dilakukan pemeriksaan analisis toksikologi. Pemeriksaan darah berperan dalam membantu dokter mencegah penyakit menular seksual terutama HIV. Pemeriksaan darah juga membantu dokter dalam mencegah penularan penyakit hepatitis B yang ditularkan melalui cairan tubuh. Peran dokter dalam pemeriksaan darah dan urin adalah 1. Mengambil sampel darah dan urin yang dapat digunakan untuk pemeriksaan toksikologi dan intoksikasi obat. 2. Mengambil sampel darah yang digunakan untuk pemeriksaan serologi khususnya penyakit menular seksual. 3. Memeriksa sampel darah dan urin korban di laboratorium dan menjelaskan hasil kepada penyidik. 3) Pemeriksaan kehamilan Pemeriksaan kehamilan dengan metode β-HCG sangat penting untuk membuktikan apakah korban hamil akibat dari kasus kejahatan seksual sehingga dokter dapat melakukan tatalaksana yang tepat untuk kehamilannya. Peran dokter dalam pemeriksaan kehamilan adalah19 1. Melakukan tes kehamilan atau pregnancy test 2. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan tes kehamilan Tanda-tanda kemungkinan kehamilan mencakup21: a. Pembesaran abdomen b. Perubahan bentuk, ukuran, dan konsistensi uterus c. Perubahan anatomis pada serviks d. Kotraksi Braxton hicks e. Ballottement f. Kontur fisik janin g. Adanya gonadotropin korionik diurin atau serum Tiga tanda positif kehamilan adalah21: a. Identifikasi kerja jantung janin yang terpisah dan tersendiri dari kerja jantung janin wanita hamil. b. Persepsi gerakan janin aktif oleh pemeriksa c. Pengenalan mudigah dan janin setiap saat selama kehamilan dengan teknik sonografi atau pengenalan janin yang lebih tua secara radiografis pada paruh kedua kehamilan. e. Pelecehan seksual Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan mengganggu kehormatan orang lain. Kejahatan seksual adalah sebuah bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja menjadi masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah menjadi masalah hukum semua negara di dunia atau masalah global Data WHO bersama dengan London School of Hygiene and Tropical Medicine and the medical Research of Council mengenai kasus kejahatan seksual terhadap wanita yang terjadi di 80 negara menyatakan bahwa hampir 30 % dari semua perempuan pernah mengalami kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual. Prevalensi terjadinya tindak kekerasan ini menurut WHO sebesar 23,2% pada negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan sebanyak 24,2 % terjadi pada negara pasifik timur dan sebanyak 37,7 % terjadi di Asia Tenggara14. Pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak dikehendaki oleh korban dan mengganggu diri korban pelecehan. Perilaku-perilaku yang digolongkan sebagai tindakan pelecehan seksual antara lain pemaksaan tindakan seksual, sikap merendahkan orientasi seksual, permintaan tindakan seksual yang disukai pelaku dan ucapan atau perilaku yang bersifat seksual, tindakan tersebut dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung15. Perilaku pelecehan seksual terhadap anak sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga dapat dilakukan oleh anak terhadap anak. Anak-anak yang melakukan pelecehan seksual biasanya mencontoh perbuatan yang mereka lihat ataupun dengar dari media, yang dapat diakses dari perangkat elektronik seperti ponsel pintar dan komputer yang sudah dilengkapi dengan koneksi internet sehingga mereka dapat memperoleh informasi seputar kegiatan seksual dengan sangat mudah. Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan pelecehan seksual pada anak adalah setiap perkataan ataupun pemaksaan tindakan atau perilaku seksual terhadap anak yang menjadikan anak sebagai korban pelecehan seksual sehingga korban merasa tidak nyaman, trauma, merasa ketakutan, depresi ataupun mengalami luka secara fisik15. Berdasarkan bentuknya, pelecehan seksual dapat dibagi menjadi15: a. Pelecehan seksual verbal Pelecehan seksual verbal seperti perkataan yang ditujukan kepada orang lain namun berkaitan dengan seksual, pelecehan ini seperti: Bercandaan, menggoda lawan jenis atau sejenis, ataupun membicarakan hal mengenai seksualitas dalam diskusi atau obrolan yang tidak pada tempatnya Bersiul yang bermaksud pada hal seksual Memberitahukan pada orang lain tentang keinginan seksual ataupun kegiatan seksual yang pernah dilakukan, yang membuat orang tidak nyaman Mengkritik bentuk fisik yang mengarah pada bagian seksualitas b. Pelecehan seksual non-verbal Pelecehan non-verbal merupakan tindakan pelecehan seksual yang tidak bersentuhan secara langsung antara pelaku dengan korbannya, seperti Memperlihatkan alat kelamin dihadapan banyak orang atau umum Melihat bagian seksual orang lain dengan tatapan yang menggoda Menggesek-gesekan alat kelamin ke orang lain. c. Pelecehan seksual secara fisik Dalam katagori ini pelecehan seksual antara pelaku dan korban sudah melibatkan kontak fisik, seperti: Memegang tubuh seseorang yang tidak diinginkan oleh korban Perkosaan atau pemaksaan melakukan tindakan seksual Memeluk, mencium atau menyentuh seseorang yang berorientasi seksual. d. Pembunuhan (bunuh bayi) Anak yang dalam hukum digolongkan dalam subyek hukum melekat hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap dirinya. Dalam pembahasan kali ini hak-hak nya lah yang lebih diutamakan untuk dipenuhi karena anak sudah pasti belum cakap hukum untuk dikenakan suatu kewajiban hukum, namun tidak meniadakan pengertian anak sebagai suatu subyek hukum. Tidak ada atau belum adanya peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang bayi menjadikan dalam pebahasan kali ini bayi tersebut dianggap sama dengan anak (karena memiliki persamaan konsep yaitu sama-sama belum dewasa). Dengan demikian segala peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anak dapat pula dipakai kepada bayi dalam setiap hak-hak dan kewajiban yang melekat padanya16. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 2 ayat (1) sampai ayat (4) menyatakan16: • Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar; • Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna; • Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kanudngan maupun dilahirkan • Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Beberapa kasus pembuangan anak kebanyakan dilakukan oleh Ibu kandungnya sendiri dan biasanya dilakukan setelah proses melahirkan, karena sebagian besar melakukan hal tersebut karena merasa takut dan khawatir diketahui oleh orang lain bahwa dirinya sedang mengandung dan melahirkan seorang anak. Kejahatan yang dilakukan seorang Ibu terhadap anaknya sendiri dinyatakan sebagai sesuatu yang mustahil terjadi jika tidak ada sebab yang bersifat khusus. Kasus pembuangan anak yang baru dilahirkan lebih cenderung pada masalah kejiwaan, adanya tekanan atau beban pikiran psikologis yang ditanggung seorang Ibu terhadap anak yang dilahirkannya, dan juga masalah lingkungan sosial16. Dalam memeriksa mayat bayi, dokter harus dapat menentukan hal-hal berlkut23 : 1. Bayi lahir hidup atau mati. Penentuan bayi lahir mati atau hidup penting karena bila bayi lahir mati, kasus tersebut tidak termasuk pembunuhan namun hanya dikenakan tuntutan menyembunyikan kelahiran dan kematian orang. 2. Tanda bayi lahir hidup ialah dada sudah mengembang dan diafragma turun sampai sela iga 4-5. Secara makroskopik, paru sudah mengisi rongga dada, berwarna merah muda tidak merata dengan pleura tegang, gambaran mozaik dan marmer, konsistensi seperti spans, teraba derik udara. serta uji apung paru positif. Secara mikroskopik, tampak alveoli mengembang sempurna. Pada saluran cerna tampak udara pada foto roentgen atau adanya makanan di lambung. 3. Tanda bayi lahir mati adalah adanya tanda maserasi, yaitu pembusukan intrauterin yang terjadi 8-10 hari in-utero, vesikel dan bula berisi cairan kemerahan (kematian in-utero 3-4 hari). Perlunakan tubuh, dada belum mengembang, paru ungu kelabu, padat, tidak teraba derik udara. serta uji apung paru negatif. 4. Penentuan umur bayi: a. Penentuan umur janin, dapat ditentukan dengan rumus de Haas: Untuk 5 bulan pertama, panjang kepala-tumit (cm) = kuadrat umur gestasi (bulan) , dan Usia selanjutnya = umur gestasi (bulan) x 5. Penentuan umur bayi dapat pula dilakukan dengan melihat pusat penulangan. Bila pusat penulangan di klavikula, maka usia 1,5 bulan, dan jika pusatnya di distal femur, proksimal tibia, atau kuboid. maka usianya 9 bulan. Bayi disebut viable (dapat hidup di luar kandungan) jika umur kehamilan >28 minggu, berat >1000 g, lingkar kepala >32 cm, panjang badan >35 cm. dan tidak ada cacat bawaan fatal. b. Penentuan umur bayi ekstrauterin, dilakukan dengan melihat udara dalam saluran cerna: Dalam lambung-duodenum: hidup sesaat; Usus halus: 1-2 jam; Usus besar: 5-6 jam: Rektum: hidup > 12 jam. atau dengan tanda lainnya: Mekonium: keluar semua 24 jam setelah lahir: Hilangnya eritrosit berinti: 24 jam: Deposit asam urat di ginjal: hari ke-2 hingga 4; Perubahan tali pusat: mengering setelah 6-8 hari dan penyembuhan sempurna 15 hari; Perubahan sirkulasi darah (obliterasi arteri vena umblikus 3-4 hari, duktus venosus 3-4 minggu, foramen ovale menutup 3 minggu-1 bulan). 5. Ada/tidaknya tanda perawatan, antara lain pemotongan dan perawatan tali pusat, pembersihan lemak bayi dan bekas darah, serta adanya pakaian atau penutup tubuh bayi. 6. Menentukan sebab kematian. Penyebab kematian tersering pada kasus pembunuhan anak sendiri adalah asfiksia (mati lemas), selain itu dapat juga disebabkan trauma lahir pada proses persalinan. 7. Ada tidaknya kelainan bawaan, dapat diketahui dengan melihat jantung untuk kelainan defek atrial/ventrikel, pertumbuhan otak yang normal atau tidak. dan saluran cerna untuk mencari adanya stenosis esofagus. Selain pemeriksaan-pemeriksaan yang telah dijelaskan di atas, khusus pada jenazah bayi perlu diperhatikan beberapa hal, sehingga pemeriksaan dapat memberi terang perkara dengan memberikan jawaban sebagai berikut6: 1. Perkiraan umur dalam kandungan dengan cara6: a. Mengukur panjang badan dari puncak kepala sampai tumit. Hasil pengukuran dalam sentimeter dimasukan ke dalam rumus De Haas sehingga didapatkan perkiraan umur bayi dalam kandungan. b. Mengukur panjang badan dari puncak kepala sampai bokong. c. Mengukur berat badan bayi. d. Mengukur lingkar kepala bayi. e. Memeriksa opasitas kulit, apakah pembuluh darah besar tampak samar atau jelas. f. Memeriksa pertumbuhan dan jumlah lanugo pada dahi, punggung, dan bahu. g. Memeriksa keadaan rambut kepala apakah kasar dan mudah dipilah atau halus dan sukar dipilah. h. Memeriksa pertumbuhan alis, apakah sudah dapat dikenali dan sudah tumbuh sampai ke tepi. i. Memeriksa daun telinga dengan cara dilipat, apakah cepat kembali atau lambat kembali ke posisi semula. j. Memeriksa aerola mammae, apakah sudah dan diameternya sama dengan atau lebih besar dari 0,7 sentimeter. k. Memeriksa jari-jari apakah kuku-kuku sudah melewati ujung-ujung jari. l. Memeriksa kemaluan, bila laki-laki apakah testis sudah turun ke scrotum, bila perempuan apakah labia mayora sudah menutupi labia minora. m. Memeriksa telapak kaki, apakah garis-garis telapak kaki sudah melebihi 2/3 bagian depan kaki. 2. Viabilitas (kemampuan hidup terpisah di luar kandungan ibu). Selain tanda-tanda maturitas seperti yang telah dijelaskan dalam perkiraan umur dalam kandungan, perlu juga dilakukan pemeriksaan untuk memperkirakan tanda-tanda cacat genetik yang dapat dikenali dari pemeriksaan luar. Bila bayi belum matur atau matur namun terdapat cacat genetik berat, maka bayi tersebut dinyatakan tidak viable. 3. Tanda-tanda bayi sudah dirawat. Bayi yang belum dirawat menunjukan belum adanya rasa kasih sayang dari ibu terhadap anaknya. Hal ini penting dalam kasus pembunuhan anak sendiri terkait dengan keadaan psikis atau kejiwaan ibu, seperti tercantum dalam KUHP pasal 341 dan 342. Tanda bayi belum dirawat antara lain: a. Tubuhnya masih berlumuran darah. b. Vernix caseosa (lemak bayi) masih melekat pada tubuh seperti dahi, belakang telinga, lipat leher, lipat ketiak, lipat paha, dan bokong. c. Tali pusat masih tersambung antara perut dan plasenta, apabila terpotong, ujungnya menunjukan tepi potongan yang tidak teratur saat diapungkan di dalam air. d. Bayi belum diberi pakaian 4. Tanda-tanda kekerasan. 5. Hubungan bayi dengan ibunya. Ambil sampel darah atau rambut atau kuku untuk pemeriksaan golongan darah dan DNA. 6. Tanda-tanda lahir hidup. 7. Penyebab kematian. Pemeriksaan luar tidak dapat menentukan lahir hidup dan penyebab kematian, sehingga untuk menentukan kedua hal tersebut, kasus ini perlu dirujuk untuk dilakukan otopsi oleh dokter spesialis forensik. e. Abortus Salah satu akibat dari pesatnya perkembangan zaman dan peradaban manusia sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan, karena kebutuhan dan aspirasi masyarakat tersebutmenempati kedudukan yang tinggi, apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum pun dapat berubah. Akibat dari dianutnya gaya hidup bebas seiring dengan perkembangan zaman di mana budaya timur telah banyak ditinggalkan, dan orang-orang mulai mengikuti masyarakat barat yang menganut system demokrasi liberal di mana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilainilai moral mulai ditinggalkan dan siapapun, termasuk pemerintah, tidak boleh mencampuri hak individu tersebut. Salah satu dampak perkembangan zaman tersebut adalah maraknya perilaku seks bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah. Ketika pelaku seks bebas tersebut hamil di luar nikah, jarang pelakunya mempertahankan kandungannya tersebut. Akibatnya mereka akan mencoba menggugurkan kandungannya atau melakukan aborsi. Kehamilan yang tidak diinginkan menimbulkan kepanikan yang luar biasa pada wanita yang bersangkutan sehingga ia mau menghalalkan segala cara untuk melenyapkan kehamilan tersebut. Setelah upaya yang dilakukan sendiri gagal total, pada kasus yang lazim terjadi di Indonesia, si wanita tersebut mendatangi orang yang biasa menggugurkan kandungannya dan biasa melakukan pekerjaan seperti sehari-harinya. Cara-cara yang dilakukan biasanya jauh lebih mengerikan dibanding upaya pengguguran yang dilakukan sendiri oleh wanita yang bersangkutan, karena dilakukan dengan kekerasan atau dengan bantuan alat17. Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. hal ini hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan,karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku mapun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa. Aborsi merupakan cara yang paling sering digunakan mengakhri kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga cara yang paling berbahaya18. Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa : “Kesehatan merupakan hak asasi manusia salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pancasila dan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Hadirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, membahas masalah abortus, yaitu pada pasal 75 ayat 1 “setiap orang dilarang melakukan aborsi ” namun dikecualikan dalam ayat 2, yaitu18 : Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak dini kehamilan baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan,atau Kehamilan akibat perkosaan.
Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia, dikenal adanya
ancaman untuk pelaku tindakan penghilangan hak hidup manusia, dalam hal ini seperti pembunuhan berencana yang dapat diancam hukuman mati, selain itu ada juga penganiayaan yang menyebabkan kematian orang lain, termasuk didalamnya pembunuhan yang dilakukan terhadap bayi yang masih dalam kandungan yang dikenal dengan tindak pidana aborsi. Di dalam KUHP, pasal-pasal yang membicarakan tindak pidana aborsi antara lain adalah pasal 299, 346, 347, 348, 349, dan 535 yang berbicara tentang aborsi yang dilakukan oleh seorang wanita, dokter, ahli, atau pihak lain yang tanpa ataupun dengan disengaja menggugurkan kandungan seorang wanita baik melalui persetujuan ataupun tidak dengan persetujuan wanita yang mengandung tersebut18.
Pemeriksaan Korban Abortus terdiri dari23 :
a. Korban hidup Tanda kehamilan (perubahan payudara, pigmentasi, hormon, mikroskopik misalnya pemeriksaan sel trofoblas) ; Usaha penghentian kehamilan (kekerasan pada genitalia interna dan eksterna, serta perut bagian bawah); Toksikologik (untuk mengetahuai obat/zat yang menyebabkan abortus); Pemeriksaan intra-uterine fetal death (pemeriksaan mikroskopik sisa jaringan); Kaitan genetik janin dengan tersangka ibu. b. Jenazah Pemeriksaan luar seperti biasa; Autopsi. Dianjurkan pembukaan abdomen sebagai langkah pertama. Periksalah pembesaran uterus, krepitasi, Iuka atau perforasi. Lakukan juga tes emboli udara pada vena kava inferior dan jantung. Kemudian periksa genitalia interna (ada tidaknya pucat, kongesti, dan memar), pengambilan darah dari jantung dan urin untuk uji toksikologik, urin untuk pemeriksaan kehamilan; Mikroskopik, untuk menemukan sel polimorfonuklear sebagai tanda intravitalitas; Umur janin atau usia kehamilan; Kaitan genetik janin/jaringan aborsi dengan ibu. 2.3 Manfaat penelitian a. Bagi masyarakat Sebagai sumber pengetahuan bagi masyarakat bahwa terdapat gambaran kasus-kasus forensik yang terbanyak terjadi di Rumah Sakit Bhayangkara Palu Sulawesi Tengah. b. Bagi institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan dasar bagi institusi untuk mengembangkan ilmu dibidang ilmu kedokteran dan penelitian ini dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya yang sejenis. c. Bagi peneliti 1. Mengaplikasikan teori yang diperoleh saat kuliah dalam praktek penelitian di bidang kesehatan 2. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan 2.4 Hipotesa Penelitian H0 Tidak ada gambaran kasus-kasus forensik dan medikolegal terbanyak di Rumah Sakit Bhayangkara Rumah Sakit Bhayangkara Palu Sulawesi Tengah H1 Ada gambaran kasus-kasus forensik dan medikolegal terbanyak di Rumah Sakit Bhayangkara Rumah Sakit Bhayangkara Palu Sulawesi Tengah DAFTAR PUSTAKA 1. Susanti R. Paradigma Baru Peran Dokter Dalam Pelayanan Kedokteran Forensik. Maj Kedokteran Andalas 2012;36(2):145 2. Munandar FW, Oscandar F, Malinda Y, Dardjan M. Manajemen Instalasi Forensik di Rumah Sakit Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagai Acuan Pembentukan Instalasi Forensik Kedokteran Gigi. Jurnal Kedokteran Universitas Padjadjaran 2016;28(3) 3. Aflanie I, Nirmalasari N, Arizal MH. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. 2017 4. Limantara R, Herjunianto, Roosalina A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingginya Angka Kematian di IGD Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2015; 28(2) 5. Iskandar O, Suwanda NH. Peranan Ilmu Forensik Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Rumah Tangga yang Dilakukan Istri Terhadap Suami (Studi Kasus Putusan No.1550/PID.SUS/2015/PN.MKS) Jurnal Kertha Bhayangkara.2019; 13(1) 6. Henky, et al. Panduan Belajar Koas Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. 2017 7. Utama W, Sukohar A. Kekerasan dalam Rumah Tangga : Laporan Kasus. Bagian Etikomedikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Juke Unila 2015;5(9):54-60 8. Yusuf M, Karim M Said, Badaru B, Kedudukan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Dakwaan Penuntut Umum Terhadap Penganiayaan Berat. Journal OF Lex Generalis 2020;1(2) 9. Purba O, Silalahi R. Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Pembuktian Tindak Pidana Penganiayaan. Universitas Darma Agung. Jurnal Rentrum. Jurnal Rentrum 2020;1(2):127- 133 10. Enggarsasi U, Sa’diyah NK. Kajian Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Upaya Perbaikan Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas 2017;22(3) 11. Rochman F, Husen LO, Djanggih H. Efetivitas Fungsi Kepolisian Dalam Penegakkan Hukum Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas. Indonesia Journal of Criminal Law. 2020;2(22):76-92 12. Wijaya CK, Henky, Alit IBP. Gambaran Bukti Medis Kasus Kejahatan Seksual yang Diperiksan di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Periode Januari 2009 – Desember 2013. E-Jurnal Medika 2017;6(2):1-6 13. Kalangit A, Mallo J, Tomuka D. Peran Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan Sebagai Kejahatan Kekerasan Seksual. Universitas Samratulangi Manado 14. Samatha SA, Dhanardhono T, Bhima SKL, Aspek Medis Kasus Kejahatan Seksual. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Jurnal Kedokteran Diponegoro 2018;(7)2:1-18 15. Ocviyanti D, et al. Peran Dokter Dalam Menangani Pelecehan Seksual pada Anak di Indonesia. Journal Indoinesia Medical Association 2019;(69)2:1-8 16. Justitia A, Pembuangan Bayi dalam Perspektif Penelantaran Anak. UBELAJ 2018;(3)1 17. Santoso B, Intansari W. Pembuktian Berdasarkan Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum pada Perkara Aborsi Menurut Undang-Undang Kesehatan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 343/Pid.Sus/2014/PN.Clp). Verstek 2019;(7)1:1-6 18. Marfuatun L, Aborsi dalam Perspektif Medis dan Yuridis. Jurnal Kebidanan dan Kesehatan 2018;(5)2:1-5 19. Samatha SA, Dhanardhono T, Kirana S, Bhima L, Medis A. Aspek medis pada kasus kejahatan seksual. Jurnal Kedokteran Diponegoro.2018;7(2):1012–29. 20. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Edisi- 8. Jakarta:EGC.2012 21. Cunningham FG, et al. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York : McGraw-Hill. 2010 22. Suwarni L, Haryanto JI. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Pria. The Indonesian Association of Forensic Medicine Proceeding Annual Scientific Meeting.2017;15–6. 23. Tanto C. et al. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi-4. Jakarta: Media Aesculapius.2016 24. Kristanto E, Mallo JF, Yudhistira A. Cedera akibat kecelakaan lalu lintas di kota manado. Jurnal Biomedik.2005;180–4.