Anda di halaman 1dari 45

Referat

MALPRAKTEK PADA VAKSINASI DAN IMUNISASI

Oleh:
Nada Laila Ayunindia, S.Ked 04084822326124
Yasmin Arista Anisa, S.Ked 04084822326024
Princeka Khoirunnisa, S.Ked 04084822326150
Fakih Jerian Ramadhani, S.Ked 04084882326005

Pembimbing:
dr. Nur Adibah, Sp.FM

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FORENSIK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
MALPRAKTEK PADA VAKSINASI DAN IMUNISASI

Oleh:
Nada Laila Ayunindia, S.Ked 04084822326124
Yasmin Arista Anisa, S.Ked 04084822326024
Princeka Khoirunnisa, S.Ked 04084822326150
Fakih Jerian Ramadhani, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang
periode 9 Oktober – 5 November 2023.

Palembang, Oktober 2023


Pembimbing,

dr. Nur Adibah, Sp.FM

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini dengan judul
“Malpraktek pada Vaksinasi dan Imunisasi” yang merupakan bagian sistem
pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Departemen
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.
Nur Adibah, Sp.FM selaku pembimbing yang telah membimbing dan memberikan
pengarahan dalam penyusunan referat ini.
Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
referat ini masih terdapat kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan.
Sehingga apabila ada kritik dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan
referat, penulis ucapkan terimakasih. Demikian penulisan referat ini, semoga
dapat bermanfaat.

Palembang, Oktober 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1. Malpraktek...................................................................................................3
2.1.1. Definisi...................................................................................................3
2.1.2. Undang-Undang Terkait Malpraktek.....................................................4
2.1.3 Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktek oleh Dokter. 13
2.1.4 Upaya Pencegahan Malpraktik dalam Bidang Kesehatan....................19
2.1 Imunisasi dan Vaksinasi..............................................................................21
2.2.1 Definisi Vaksin, Vaksinasi dan Imunisasi............................................21
2.2.2 Komplikasi............................................................................................21
2.2.3 Standard Operating Procedure..............................................................24
BAB III KESIMPULAN........................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................37

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Profesi dokter haruslah betul-betul mampu untuk mengusahakan


kepentingan masyarakat akan terciptanya pelayanan kesehatan yang aman dan
memadai. Dalam pemenuhan kebutuhan prasarana kesehatan ini tak dipungkiri
dapat terjadi hal-hal yang merugikan pasien. Kerugian yang dialami oleh pasien
dalam hal ini terjadi suatu akibat yang didapatkan setelah mendapatkan pelayanan
medis dari dokter, baik yang didasakan kepada kesalahan ataupun akibat
kelalaian. Perbuatan dokter yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun
materiil yang diderita oleh pasien tersebut sering dikatakan sebagai malapraktik
kedokteran. 1

Malapraktik kedokteran adalah suatu bentuk perbuatan yang dilakukan


oleh tenaga ahli kesehatan yaitu dokter yang dalam pelaksanaan kewajibannya
menyimpang dari yang seharusnya. Apabila tindakan yang dilakukan
menimbulkan kerugian baik fisik maupun material bagi orang lain yang dalam hal
ini adalah pasien, tindakan yang menyimpang tersebut dapat dimintai
pertanggungjawaban baik secara pidana, perdata, maupun administrasif. 1

Terjadinya malapraktik kedokteran ini disebabkan oleh ketidakmampuan


dari dokter dalam manjalankan kewajibannya terhadap hak-hak pasien. Kewajiban
dan hak daripada dokter dan pasien dianalogikan hubungan timbal baik. Hak
pasien merupakan kewajiban bagi dokter dan sebaliknya hak dokter adalah
kewajiban dari pasien. Sejatinya dalam upaya pemulihan atau pengobatan dari
dokter terhadap pasiennya dapat menghasilkan kesembuhan atau setidaknya
meringankan beban penderitaan dari pasiennya. 1

Berdasarkan data dari Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik


Indonesia, didapatkan adanya 67 kasus malpraktek yang dikasuskan. 2 Malpraktek
medik terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu malpraktek etik dan malpraktek yuridis.
Malpraktek etik ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi
kedokteran. Kemajuan teknologi ini sebenarnya bertujuan untuk memberikan

1
kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, serta membantu dokter mempermudah
menentukan diagnosa dengan lebih cepat, tepat, akurat sehingga rehabilitasi
pasien tidak memberikan dampak negatif yang merugikan. Efek samping tersebut
meliputi: komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang, etika
kedokteran terkontaminasi kepentingan bisnis, harga pelayanan medis sangat
tinggi, serta berbagai perusahaan yang menawarkan obat kepada dokter dengan
janji kemudahan yang akan diperoleh dokter jika mau menggunakan obat tersebut
sehingga mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada
pasien. 3

Kejadian malpraktek di Indonesia menjadi urgensi dibuatnya karya tulis


ini. Dalam karya tulis ini lebih membahas secara komprehensif baik dari segi
upaya perlindungan bagi pasien korban malpraktek serta upaya pencegahan
malpraktek di bidang kesehatan, serta mengenai imunisasi dan vaksinasi yang
merupakan salah satu perhatian dalam kasus malpraktek di Indonesia.
Berdasarkan pemaparan tersebut, didapatkan suatu persoalan yang untuk diangkat
melalui tulisan ini yakni mengkaji dan membahas dengan mengambil judul tulisan
sebagai berikut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Malpraktek
2.1.1. Definisi
Malpraktik merupakan tindakan profesional yang tidak benar atau
kegagalan profesi untuk menerapkan keterampilan. Secara etimologi “malpraktik”
berasal dari kata malpractice yang berarti cara mengobati yang salah atau
tindakan yang salah. Malpraktik medis adalah tindakan seorang profesional medis
yang salah dan mengakibatkan kerugian terhadap pasien. Malpraktik merupakan
istilah yang sangat umum tetapi sering disalahpahami oleh masyarakat luas.
Secara harafiah “mal” mempunyai arti “salah”, dan “praktik” mempunyai arti
“tindakan”, sehingga malpraktik dapat berarti tindakan yang salah atau
pelaksanaan yang salah. Namun kebanyakan istilah tersebut digunakan untuk
menyatakan adanya tindakan yang tidak semestinya dalam rangka pelaksanaan
profesi. 4

Secara materiil, suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum


apabila dipenuhi ketiga syarat berikut: 4

1. Mempunyai indikasi medis kearah suatu tujuan perawatan yang konkret.

2. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.

3. Telah mendapat persetujuan pasien.

Kedua syarat yang pertama disebut juga sebagai tindakan yang lege artis
atau sesuai dengan standar profesi medis. Syarat yang ketiga merupakan salah
satu hak pasien yang penting yaitu hak atas informed consent. Perikatan dokter –
pasien di mana pasien di satu pihak lain dokter/tim dokter/rumah sakit yang akan
melahirkan suatu pertanggung jawaban secara hukum, bisa terjadi dalam bentuk
perjanjian. 4

3
2.1.2. Undang-Undang Terkait Malpraktek
Aspek hukum malpraktik kedokteran disini akan dijelaskan dari tiga aspek
hukum, yaitu: (1) Aspek Hukum Perdata Malpraktik Kedokteran, (2) Aspek
Hukum Pidana Malpraktik Kedokteran, dan (3) Aspek Hukum Administrasi
Malpraktik Kedokteran. Ketiga aspek hukum tersebut bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum kepada dokter yang diduga melakukan
malpraktek medik serta pasien yang menjadi korban malpraktik medik. Suatu
tindakan dokter dapat digolongkan sebagai tindakan malpraktek medik, jika
memenuhi berbagai elemen yuridis. Elemen yuridis tersebut meliputi: 3
1. Adanya tindakan pengabaian;
2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau orang di bawah
pengawasannya;
3. Tindakan tersebut berupa tindakan medis, yaitu tindakan diagnosis,
terapeutik, manajemen kesehatan;
4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya;
5. Tindakan tersebut dilakukan secara: a. Melanggar hukum, dan atau; b.
Melanggar kepatutan, dan atau; c. Melanggar kesusilaan, dan atau; d.
Prinsip-prinsip profesional.
6. Dilakukan dengan kesengajaan atau ketidakhati-hatian (kelalaian,
kecerobohan);
7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasien dalam perawatannya: a. Salah
tindak, dan atau; b. Rasa sakit, dan atau; c. Luka, dan atau; d. Cacat, dan
atau; e. Kematian, dan atau; f. Kerusakan pada tubuh dan atau jiwa, dan
atau; g. Kerugian lainnya terhadap pasien.
8. Menyebabkan dokter harus bertanggungjawab secara administrasi,
perdata, dan pidana.
Dalam hal terjadi malpraktek medik, dokter seringkali dituduh melakukan
kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek medik. Malpraktek
medik terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu malpraktek etik dan malpraktek yuridis.
Dalam hal terjadi malpraktek medik, dokter seringkali dituduh melakukan
kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek medik. 3

4
Malpraktek medik terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu malpraktek etik dan
malpraktek yuridis. Malpraktek etik ini merupakan dampak negatif dari kemajuan
teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi ini sebenarnya bertujuan untuk
memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, serta membantu dokter
mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, tepat, akurat sehingga
rehabilitasi pasien tidak memberikan dampak negatif yang merugikan. Efek
samping tersebut meliputi: komunikasi antara dokter dengan pasien semakin
berkurang, etika kedokteran terkontaminasi kepentingan bisnis, harga pelayanan
medis sangat tinggi, serta berbagai perusahaan yang menawarkan obat kepada
dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter jika mau
menggunakan obat tersebut sehingga mempengaruhi pertimbangan dokter dalam
memberikan terapi kepada pasien. 5
Malpraktek yuridis dapat dibedakan menjadi 3 (tiga). Hal tersebut meliputi
malpraktek perdata, malpraktek pidana, dan malpraktek administrasi. 5
1. Aspek Hukum Perdata Malpraktik Kedokteran
Aspek hukum perdata disini menyangkut hubungan dokter dan pasien.
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan
tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi
terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada
pasien. Dalam malpraktik perdata yang dijadikan ukuran dalam malpraktik
yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan
(culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa
lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktik
pidana. Contoh dari malpraktik perdata, misalnya seorang dokter yang
melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si
pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian
dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut.
Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan
tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
a. Hubungan hukum dokter-pasien dalam kontrak terapeutik
membentuk pertanggung jawaban perdata

5
Dari sudut hukum perdata, hubungan hukum dokter-pasien
berada dalam suatu perikatan hukum (verbintenis). Perikatan
artinya hal yang mengikat subjek hukum yang satu terhadap subjek
hukum yang lain. Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua
atau lebih subjek hukum untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu (Pasal 1313 juncto
Pasal 1234 BW) yang disebut prestasi.
Dalam hubungan hukum dokter-pasien disamping melahirkan
hak dan kewajiban para pihak, juga membentuk
pertanggungjawaban hukum masingmasing. Bagi para dokter,
prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu in casu tidak
berbuat salah atau keliru dalam perlakuan medis yang semata-mata
ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien, adalah kewajiban
hukum yang sangat mendasar dalam perjanjian dokter pasien
(kontrak terapeutik), yang dalam Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebut dengan kalimat
singkat ialah “kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan
pasien” (Pasal 39).
Dari sudut perdata, malapraktik kedokteran terjadi apabila
perlakuan salah dokter dalam hubungannya dengan pemberian
prestasi pelayanan medis pada pasien menimbulkan kerugian
keperdataan. Hal ini terkadang berbarengan dengan akibat yang
menjadi unsur tindak pidana tertentu. Unsur adanya kerugian
kesehatan fisik, jiwa maupun nyawa pasien akibat dari salah
perlakuan oleh dokter, merupakan unsur esensial malapraktik
kedokteran perdata maupun pidana. Dengan timbulnya akibat
kerugian perdata bagi pasien sebagai dasar terbentuknya
pertanggungjawaban hukum perdata bagi dokter. 5

b. Wanprestasi dalam malapraktik kedokteran


Beban pertanggungjawaban dokter terhadap akibat malapraktik
kedokteran dari sebab perbuatan melawan hukum, karena dari

6
pasal 1236 juncto Pasal 1236 BW selain pergantian kerugian,
pasien juga dapat menuntut biaya dan bunga. Tuntutan terhadap
kerugian idiil (immateriil) akibat dari perbuatan melawan hukum
dapat dilakukan, sedangkan wanprestasi tidak. Tidak menjadi
sembuhnya pasien bukan merupakan alasan wanprestasi bagi
dokter selama perlakuan medis dokter tidak menyimpang dari
Standar Profesi Medis dan Standar Prosedur Operasional. Karena
hubungan dokter pasien bukan hubungan yang memuat kewajiban
hukum dokter yang ditujukan pada hasil (resultaat) pelayanan
medis, melainkan kewajiban untuk perlakuan medis dengan sebaik-
baiknya dan secara maksimal, tidak salah langkah atau salah
prosedur (berdasarkan Standar Profesi dan Standar Prosedur). 5
Jadi, sepanjang perlakuan medis terhadap pasien telah
dilakukan secara besar dan patut menurut standar profesi dan
standar prosedur operasional dan sesuai dengan kebutuhan medis
pasien, tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan tidak
menimbulkan malapraktik kedokteran. Namun apabila setelah
perlakuan medis terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana yang
diharapkan (tanpa penyembuhan) atau bisa jadi lebih parah sifat
penyakitnya, oleh sebab perlakuan medis dokter yang menyalahi
Standar Profesi atau Standar Prosedur Operasional atau tidak
sesuai dengan kebutuhan medis pasien, maka dokter dapat berada
dalam keadaan malapraktik kedokteran. Tentu dengan syarat, ialah
tidak sembuh atau lebih parah penyakit pasien setelah perlakuan
medis, dan dari sudut Standar Profesi, Standar Prosedur dan
prinsip-prinsip umum kedokteran, keadaan itu benar-benar sebagai
akibat langsung (caussaal verband) dari salah perlakuan medis oleh
dokter. 5

c. Perbuatan melawan hukum dalam malapraktik kedokteran 5


Pasien berhak menuntut ganti rugi akibat kesalahan dalam
perlakuan medis yang menimbulkan kerugian, berdasarkan

7
perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW). Pasal ini
merumuskan: “Tiap perbuatan yang melawan hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut”.
Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum dari pasal
1365 BW tersebut maka ada 4 syarat yang harus dipenuhi untuk
menuntut kerugian adanya perbuatan melawan hukum termasuk
malapraktik kedokteran yang masuk kualifikasi perbuatan melawan
hukum. Syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1) Adanya perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi
perbuatan melawan hukum.
2) Adanya kesalahan (dolus maupun culpoos) si pembuat.
3) Adanya akibat kerugian (schade).
4) Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian
(oorzakelijk verband atau causaal verband) orang lain.
Malpraktik kedokteran juga erat hubungannya dengan hukum
perlindungan konsumen karena menyangkut mengenai kerugian
konsumen (konsumen disini dimaksudkan pasien) yang pada
akhirnya berujung ganti kerugian. Sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pasal 19 ayat 1 dan 2 yang berisi: (1)”Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” (2)
“Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.

2. Aspek Hukum Pidana Malapratik Kedokteran 5

8
Suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana apabila memenuhi
unsur-unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam perundang-
undangan pidana. Dalam hukum pidana maka kesalahan dapat disebabkan
karena kesengajaan atau karena kelalaian (culpa). Malpraktek kedokteran
bisa masuk lapangan hukum pidana, jika memenuhi syarat-syarat tertentu
dalam tiga aspek, antara lain: 1) syarat dalam perlakuan medis; 2) syarat
dalam sikap batin dokter; dan 3) syarat mengenai hal akibat. Syarat
perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang, Syarat sikap
batin adalah syarat sengaja atau culpa dalam perlakuan medis. Syarat
akibat adalah syarat timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien.
a. Perlakuan Menyimpang Dalam Malpraktik Kedokteran 5
Perbuatan adalah wujud-wujud tingkah laku konkret yang
merupakan bagian dari perlakuan atau pelayanan medis.
Berdasarkan pengertian tersebut, tercakup didalam aspek perlakuan
medis, yakni wujud dan prosedur serta alat yang digunakan dalam
pemeriksaan untuk memperoleh data-data medis dalam
mendiagnosis, cara atau prosedur dan menggunakan alat terapi,
bahkan termasuk pula perbuatan-perbuatan dalam perlakuan pasca
terapi. Syarat lain dalam aspek ini ialah kepada siapa perlakuan
medis itu diberikan dokter. Semua perbuatan dalam pelayanan
medis tersebut dapat mengalami kesalahan yang pada ujungnya
menimbulkan malapraktik kedokteran, apabila dilakukan secara
menyimpang dan menimbulkan akibat yang merugikan kesehatan
atau kematian pasien.
b. Sikap batin dalam malapraktik kedokteran 5
Sikap batin adalah sesuatu yang ada dalam batin sebelum
seseorang berbuat. Sesuatu yang ada dalam batin ini, bisa berupa
kehendak, pengetahuan, pikiran, perasaan dan apapun namanya
yang melukiskan keadaan batin seseorang sebelum berbuat. Dalam
keadaan normal, setiap orang normal memiliki kemampuan
mengarahkan dan mewujudkan sikap batinnya kedalam perbuatan-
perbuatan. Apabila kemampuan mengarahkan dan mewujudkan

9
alam batin kedalam perbuatanperbuatan tertentu disadarinya
dilarang, hal itu disebut dengan kesengajaan. Adapun apabila
kemampuan berpikir, kemampuan berperasaan dan berkehendak
itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal melakukan
suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang, maka sikap
batin yang demikian dinamakan kelalaian (culpa).
c. Adanya akibat kerugian pasien 5
Dari sudut hukum pidana, akibat yang merugikan masuk dalam
lapangan pidana, apabila macam/bentuk kerugian disebut dalam
rumusan kejahatan dan menjadi unsur tindak pidana tertentu.
Akibat kematian atau luka tubuh merupakan unsur kejahatan pasal
359 dan pasal 360 KUHP, maka bila kelalaian/culpa perlakuan
medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka seperti
ditentukan dalam pasal tersebut, maka perlakuan medis masuk
kategori malapraktik pidana.
Pasal 359 KUHP menyebutkan bahwa: “Barangsiapa karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang mati, dipidana
dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun atau pidana
kurungan selama-lamanya satu tahun”. Sedangkan Pasal 360 ayat
(1) KUHP menyebutkan : “Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang luka berat dipidana dengan
pidan penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun”. Pasal 360 ayat (2) menyebutkan :
“Barangsiapa karena kekhilafan menyebabkan orang luka
sedemikian rupa sehingga oran itu menjadi sakit sementara atau
tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya Sembilan bulan
atau pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau pidana
denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah”.
Dalam konteks pemahaman diatas maka ada tiga undang-
undang yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik
medik: 1) Kitab Undang-Udang Hukum Pidana; 2) Undang-

10
Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan; 3) Undang-
Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Pasal
267 KUHP adalah pasal yang khusus dikenakan bagi dokter, yang
menyebutkan bahwa:
1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat
keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit,
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk
memasukkan seseorang kedalam rumah sakit jiwa atau
untuk menahannya disitu, dijatuhkan pidana penjara paling
lama delapan tahun enam bulan.
3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan
sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah
isinya sesuai dengan kebenaran.
Agar rumusan dalam pasal 267 KUHP ini bisa dikenakan pada
dokter, unsur sengaja harus terpenuhi, karena bisa saja terjadi
kesalahan dalam penerbitan surat keterangan itu. Untuk dapat
dinyatakan bahwa perbuatan dokter merupakan kesengajaan harus
dibuktikan bahwa palsunya keterangan dalam surat merupakan
perbuatan yang dikehendaki, didasari, dan dituju oleh dokter
tersebut. Dengan perkataan lain, dokter memang menghendaki
perbuatan membuat palsu dan atau memalsu surat dan mengetahui
bahwa keterangan yang diberikan dalam surat itu adalah
bertentangan dengan yang sebenarnya. 5
Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan: Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan
medik tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan
sebagai mana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,. (lima ratus juta
rupiah). 5

11
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran tindak pidana praktik dokter tanpa surat tanda registrasi
(STR), dirumuskan dalam Pasal 75: 5
1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang
dengan sengaja melakukan prakti kedokteran tnpa memiliki
surat tanda registrasi sementara sebagai mana dimaksud
dalam Pasal 31 Ayat 1 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang
dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 5

3. Aspek hukum administrasi malapraktik kedokteran


Dari sudut hukum, praktik dokter dengan melanggar semata-mata
hukum administrasi kedokteran bukanlah malapraktrik. Akan tetapi,
pelanggaran hukum administrasi kedokteran menjadi tempat atau letak
sifat melawan hukumnya perbuatan malapraktik apabila menimbulkan
akibat buruk pada pasien. Akibat kerugian pasien merupakan unsur
esensial yang tidak dapat dihilangkan sebagai unsur penentunya.
Pelanggaran kewajiban administrasi tidak selamanya bersanksi
administrasi, seperti pencabutan izin praktik dan sebagainya. Selama
dokter praktik dengan melanggar hukum administrasi tidak membawa

12
kerugian kesehatan atau nyawa pasien, dokter hanya dapat dipidana
berdasarkan Pasal 75-80 UU No. 29 Tahun 2004. Tindak pidana dalam
kedua pasal tersebut merupakan lex specialis dari tindak pidana dalam
Pasal 85 dan 86 UU No. 36 Tahun 2014. 5
Pelanggaran administrasi dan malapraktik kedokteran bisa dikatakan
sama apabila pelanggaran administrasi mengakibatkan kerugian bagi
pasien. Sesuai dengan Pasal 36 UU No. 29 Tahun 2004 yang menyebut
“Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”. Apabila dokter ada unsur
kesengajaan melakukan praktik tanpa surat izin maka dapat dikenakan
pasal 76 UU No. 29 Tahun 2004. 5?

2.1.3 Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktek oleh Dokter


Bentuk perlindungan hukum terhadap korban malpraktek oleh dokter yang
diatur dalam KUH Perdata, yaitu berupa pengaturan pertanggungjawaban dokter
yang melakukan malpraktek untuk memberikan ganti rugi kepada korban
malpraktek atas kerugian yang timbul karena: 6
a. Tidak ditepatinya perjanjian terapeutik yang telah disepakati oleh dokter
atau wanprestasi (cidera janji), yaitu berdasarkan Pasal 1239 KUH
Perdata.
b. Perbuatan melawan hukum, yaitu berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.
c. Kelalaian atau ketidakhati-hatian dalam berbuat tau bertindak, yaitu
berdasarkan Pasal 1366 KUH Perdata.
d. Melalaikan kewajiban berdasarkan Pasal 1367 Ayat (3).
Dalam UU Perlindungan Konsumen tidäk diatur dengan jelas mengenai
pasien atau korban malpraktek, tetapi pasien tau korban malpraktek dalam hal in
juga merupakan seorang konsumen. Selain itu, Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.756/MEN.KES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan
Jasa di Bidang Kesehatan, menyatakan bahwa jasa layanan kesehatan termasuk
bisnis. Bahkan, World Trade Organisation (WHO) memasukkan Rumah Sakit
(RS), dokter, bidan maupun perawat sebagai pelaku usaha. 6

13
Perlindungan hukum terhadap korban malpraktek kedokteran sebagai
konsumen dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 19 Ayat (1) UU Perlindungan
Konsumen yang selengkapnya dinyatakan bahwa "Pelaku usaha bertanggung
jawab untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan." 6
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen,
kerugian yang diderita korban malpraktek sebagai konsumen jasa akibat tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter sebagai pelaku usaha jasa dapat dituntut dengan
sejumlah ganti rugi. Ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh korban
malpraktek menurut Pasal 19 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa
pengembalian uang penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk perlindungan
hukum terhadap korban malpraktek yang diatur dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu berupa pengaturan
pertanggungjawaban dokter untuk memberikan ganti rugi kepada korban
malpraktek selaku konsumen, sebagai akibat adanya kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatannya tau malpraktek yang di lakukan oleh dokter selaku
pelaku usaha seta pengaturan pemberlakuan ketentuan hukum pidana yang disertai
dengan pidana tambahan. 6
Yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 (1) adalah "
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan untuk melakukan upaya kesehatan. Menurut
Undang-Undang No. 23/1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 (3) yang dimaksud
tenaga kesehatan adalah "setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan. 6

14
Dari pengertian Tenaga Kesehatan diatas perlu untuk diketahui kategori dari
tenaga kesehatan itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
262/Menkes/Per/ VII/1979 tentang ketenagaan rumah sakit pemerintahan, ada
empat kategori yang dikenal, diantaranya: 6
1. Tenaga medis, yakni lulusan fakultas kedokteran atau kedokteran gigi dan
pasca sarjana yang memberikan pelayanan medis dan pelayanan
penunjang medis. Kategori ini mencakup:
a. dokter ahli
b. dokter umum
c. dokter gigi, dan lain-lain
2. Tenaga Paramedis Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi perawat
kesehatan yang memberikan pelayanan perawatan paripurna, yakni :
a. penata rawat
b. perawat kesehatan bidan
c. perawat khusus, dan lain-lain
3. Tenaga Paramedis Non Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi
bidang kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan penunjang, yakni;
a. penata rontgen
b. sarjana muda fisioterapi
c. sarjana muda gizi
d. asisten analisis
e. asisten apoteker
f. pengatur rawat roentgen
g. pengatur rawat gigi
h. pengatur teknik gigi
i. pengatur rawat gigi tenaga sanitasi
j. penata anastesi, dan lain-lain
4. Tenaga Nonmedis, yakni seorang yang mendapat pendidikan ilmu
pengetahuan yang tidak termasuk pendidikan pada butir 1, 2, dan 3 di atas,
yaitu:
a. sarjana administrasi perumah sakitan
b. sarjana muda pencatatan medis

15
c. apoteker
d. sarjana kimia
e. sarjana kesehatan masyarakat
f. sarjana biologi
g. sarjana fisika medis
h. sarjana jiwa
i. sarjana ekonomi
j. sarjana hukum
k. sarjana teknik
l. sarjana akuntansi
m. sarjana ilmu sosial
n. sarjana muda teknik elektro medis
o. sarjana muda teknik sipil
p. sarjana muda fisika kesehatan
q. sarjana muda statistic
r. lulusan STM
s. pekerja sosial medis
t. lulusan SD, SLTP, SLTP.
Rincian tenaga kesehatan seperti yang tertuang di atas sangat penting
terutama untuk menentukan tanggung jawab profesional dan tanggung jawab
hukumnya. Dalam Undang-undang Kesehatan yang baru yaitu Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang No.
23 Tahun 1992 disebutkan perlindungan hukum terhadap korban malpraktek yang
hampir sama dengan perlindungan yang ada dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
1992, hanya saja ada ketentuan tambahan sebagai batasan bentuk perlindungan
hukum yang diberikan. Adapun ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 58 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3), yaitu: 6
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.

16
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pemberian hak untuk menuntut ganti rugi kepada korban malpraktek
merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang
(korban malpraktek) atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik
karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan (dalam hal ini adalah dokter).
Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan dari dokter
tersebut mungkin dapat menyebabkan rasa sakit, luka, cacat, kematian, atau
kerusakan pada tubuh dan jiwa. 6
Bentuk perlindungan hukum terhadap korban malpraktek kedokteran yang
diatur dalam
Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu berupa pemberian hak
kepada korban malpraktek untuk menuntut pertanggungjawaban dokter yang
melakukan malpraktek kedokteran, memberikan ganti rugi atas kerugian yang
timbul karena kesalahan maupun kelalaian dokter, baik melalui gugatan ganti rugi
secara perdata maupun penggabungan penuntutan hukum pidana dan gugatan
ganti rugi dalam proses hukum pidana ke pengadilan.
Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga
kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai
penerima jasa pelayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi
jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. 7
Ketentuan Pasal 29 UU No.36 tahun 2009 menentukan : “Dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Ketentuan ini
memberikan indikasi bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya
tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan pasien untuk
mendapatkan penanganan yang baik dan memperoleh kesembuhan dari penyakit
yang diderita. Jika terjadi sengketa antara pasien dan tenaga kesehatan pemberi

17
pelayanan kesehatan yang diduga melakuka kelalaian, maka sebelum berlanjut
pada penyelesaian sengketa lewat pengadilan, maka ditempuh jalur mediasi
dengan menunjuk mediator yang disepakati oleh para pihak. Penyelesaian
sengketa melalui mediasi diharapkan dapat mempertemukan para pihak yang
bersengketa untuk menempuh jalan damai dengan keputusan yang tidak
merugikan para pihak. Adapun keuntungan yang didapat oleh pihak tenaga
kesehatan dengan penyelesaian sengketa melalui mediasi yaitu sengketa yang
terjadi tidak akan tersebar meluas ke masyarakat sehingga tidak akan menurunkan
pamor dari tenaga kesehatan. Demikian pula keuntungan bagi pasien yang
menyelesaikan sengketa melalui mediasi, tidak akan banyak menyita waktu dan
biaya sebagaimana terjadi jika diselesaikan melalui pengadilan. 7
Pihak korban ataupun keluarga korban yang mengalami kasus malpraktek
dapat menuntut ganti rugi terhadap pihak yang mengakibatkan terjadinya
malpraktek. Hal ini diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 yang
selengkapnya berbunyi : “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya”. Ketentuan ini dengan tegas memberikan
kesempatan kepada pihak yang merasa dirugikan untuk menuntut ganti rugi
terhadap tenaga kesehatan atau pihak penyelenggara kesehatan dalam hal ini
Rumah Sakit ataupun Klinik kesehatan. Namun demikian dalam kasus tertentu
tuntutan ganti rugi tidak dimungkinkan dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal
58 ayat (2) yang berbunyi : “Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan
nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat”. 7
Adapun Ketentuan yang terkait dengan malpraktek medik dalam rangka
memberikan perlindungan hukum terhadap korban malpraktek dalam UU No.44
tahun 2009 tentang Rumah Sakit, diatur dalam Pasal 32 huruf q dan Pasal 46.
Ketentuan Pasal 32 huruf q mengatur tentang hak pasien yang selengkapnya
berbunyi : “Setiap pasien berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit
apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar baik secara perdata ataupun pidana”. Selanjutnya ketentuan Pasal 46

18
mengatur tentang pertanggung jawaban hukum Rumah Sakit, selengkapnya
berbunyi : “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Rumah Sakit”. 6
Dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
disebutkan dalam Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran, diatur suatu keadaan
di mana terjadi kesalahan yang melibatkan pelayan kesehatan dalam hal ini
olehdokter, yang dapat diajukan pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) oleh setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan. 6
Di samping dapat mengadukan kerugian yang dideritanya kepada Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, menurut Pasal 66 Ayat (3) UU
Praktik Kedokteran, korban malpraktek yang dirugikan atas kesalahan atau
kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medis juga dapat melaporkan adanya
dugaan pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian secara
perdata ke pengadilan. Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 67 dan 68 UU Praktik
Kedokteran bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran berwenang untuk
memeriksa dan memberikan keputusan atas pengaduan yang diterima. Apabila
ditemukan adanya pelanggaran etika (berdasarkan KODEKI) maka Majelis
Kehormatan Kedokteran yang akan meneruskan pengaduan pada organisasi
profesi. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk
perlindungan hukum terhadap korban malpraktek kedokteran yang diatur dalam
Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran, yaitu berupa
pemberian hak kepada korban malpraktek untuk melakukan upaya hukum
pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin. 6
2.1.4 Upaya Pencegahan Malpraktik dalam Bidang Kesehatan
Definisi malpraktek medis berdasarkan World Medical Association (WMA)
adalah: “Medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the
standard of care for treatment of the patient's condition, or a lack of skill, or
negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of injury to
the patient.” 8

19
Berdasarkan pengertian malpraktek menurut World Medical Association,
suatu malpraktek mencakup kegagalan seorang dokter dalam memberikan
pelayanan yang sesuai dengan standar, atau kurangnya kemampuan (terampil dan
kompeten) seorang dokter dalam memberikan pelayanan. Berkaitan dengan
keterampilan dan kompetensi, setiap dokter haruslah memiliki kompetensi dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan.
Tentunya untuk mencegah terjadinya malpraktek dalam menjalankan
tugasnya, seorang dokter haruslah memiliki kompetensi yang kompeten. Hal ini
berkesesuaian dengan kode etik kedokteran indonesia pasal 8 yaitu :
“Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,disertai rasa
kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.” 9
Untuk mencegah terjadinya malpraktik dalam menjalankan tugasnya, seorang
dokter juga wajib memberikan pelayanan sesuai dengan standar. Hal ini di atur
dalam UU No. 17 tahun 2023 pasal 274 bagaian 9 tentang kewajiban dan hak
tenaga medis dan tenaga kesehatan, dimana seorang dokter memiliki kewajiban :
10

Pasal 274
a. memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan Kesehatan Pasien;
b. memperoleh persetujuan dari Pasien atau keluarganya atas tindakan yang
akan diberikan;
c. menjaga rahasia Kesehatan Pasien;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/ atau dokumen tentang pemeriksaan,
asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
e. merujuk Pasien ke Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai.

Pasal 275

20
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada
Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama
kepada Pasien dalam keadaan Gawat Darurat dan/ atau pada bencana.
(2) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan Pelayanan
Kesehatan dalam rangka tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kedisabilitasan seseorang pada keadaan Gawat Darurat dan/ atau pada
bencana dikecualikan dari tuntutan ganti rugi.
Serta dalam menjalankan tugasnya, seorang dokter memiliki hak untuk
menolak hal-hal yang bertentangan dengan standar profesi, guna mencegah
terjadinya malpraktek yang diatur dalam pasal 273 huruf I, yang berbunyi :
menolak keinginan Pasien atau pihak lain yang bertentangan dengan standar
profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, kode etik, atau ketentuan
peraturan perundang-undangan;

2.1 Imunisasi dan Vaksinasi


2.2.1 Definisi Vaksin, Vaksinasi dan Imunisasi
Vaksin merupakan agen biologis yang yang menyebabkan respon imun
tubuh terhadap antigen spesifik yang berasal dari patogen penyebab penyakit. 11,12
Vaksin melatih sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi yang sama
ketika tubuh terkena suatu penyakit. Namun, vaksin tidak menyebabkan penyakit
pada saat dimasukan ke dalam tubuh manusia, karena vaksin hanya mengandung
antigen yang telah dibunuh atau dilemahkan. 11,13 Proses memasukan vaksin
kedalam tubuh manusia, dengan menggunakan berbagai macam cara untuk
meningkatkan atau menghasilkan kekebalan spesifik terhadap suatu penyakit
disebut dengan vaksinasi. 11 Sedangkan imunisasi merupakan proses sistem
kekebalan tubuh manusia diperkuat terhadap agen infeksi. 12

2.2.2 Komplikasi
Seperti obat-obatan pada umumnya, vaksin dapat menyebabkan efek
samping. Efek samping dari vaksin dapat juga disebut Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi atau yang dikenal sebagai KIPI, yaitu kejadian medik yang terjadi
setelah imunisasi dan diduga berhubungan dengan imunisasi. Kejadian ini dapat
21
berupa reaksi vaksin, kesalahan prosedur, koinsiden, reaksi kecemasan, atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. 13,14
Menurut Uppsala Monitoring Centre (UMC), KIPI diklasifikasikan
menjadi KIPI Serius dan KIPI Non-serius. KIPI serius adalah setiap kejadian
medik setelah imunisasi yang menyebabkan rawat inap, kecacatan, kematian dan
menimbulkan masalah medikolegal, serta yang menimbulkan keresahan di
masyarakat. Klasifikasi serius KIPI serius tidak berhubungan dengan tingkat
keparahan (berat atau ringan) dari reaksi KIPI yang terjadi. KIPI non-serius
adalah kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi dan tidak menimbulkan
risiko potensial pada kesehatan si penerima. (Permenkes RI No. 12 Tahun
2017) 15,16
Contoh KIPI ringan adalah demam ringan, atau nyeri atau kemerahan di
tempat suntikan. Nyeri otot lokal juga dapat terjadi. Reaksi ringan semacam ini
akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Gejala-gejala ini disebabkan
oleh respons imun yang meningkat terhadap antigen yang diberikan oleh vaksin
dan biasanya berlangsung selama satu atau dua hari. 14,17
Efek samping yang parah atau bertahan lama sangat jarang terjadi.
Keamanan vaksin terus dipantau untuk mendeteksi efek samping yang jarang
terjadi. Anafilaksis dapat terjadi sebagai respons terhadap vaksin atau salah satu
bahannya. Reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas sistemik yang berat,
terjadi dengan cepat (umumnya 5-30 menit sesudah suntikan), serius dan dapat
menyebabkan kematian. Reaksi anafilaktik menjadi risiko pada setiap pemberian
vaksinasi, obat, makanan dan lainnya dan merupakan KIPI serius yang harus
mendapat penanganan segera. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat
menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik
membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Tatalaksananya mulai dari penegakan
diagnosis sampai pada terapinya di tempat kejadian, dan setelah tanda-tanda vital
dari kasus stabil baru dipertimbangkan untuk dirujuk ke RS terdekat. Setiap
petugas pelaksana imunisasi harus sudah kompeten dalam mengenali dan
menangani reaksi anafilaktik. Tanda awal anafilaktik adalah kemerahan (eritema)
menyeluruh dan gatal (urtikaria) dengan obstruksi jalan nafas atas dan/atau
bawah. Pada kasus berat dapat terjadi keadaan lemas, pucat, hilang kesadaran dan

22
hipotensi. Petugas sebaiknya dapat mengenali tanda dan gejala anafilaktik. Pada
dasarnya makin cepat reaksi timbul, makin berat keadaan penderita. Penurunan
kesadaran jarang sebagai manifestasi tunggal anafilaktik, ini hanya terjadi sebagai
suatu kejadian lambat pada kasus berat. Denyut nadi sentral yang kuat (contoh:
karotis) tetap ada pada keadaan pingsan, tetapi tidak pada keadaan anafilaktik. 16
Contoh komplikasi vaksinasi lain yang sangat jarang terjadi adalah
Sindrom Guillain-Barre (SGB), suatu kondisi yang berpotensi mengancam jiwa
yang mempengaruhi sistem saraf tepi. Mekanisme vaksinasi menyebabkan
Guillain-Barre tidak diketahui. Gejalanya meliputi parestesia asendens dan
kelumpuhan, yang berpotensi menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan. 14
Sebagai contoh, berdasarkan penelitian oleh Ogunjimi et al. 18 (2023), prevalensi
gabungan SGB setelah vaksinasi COVID-19 per orang telah ditetapkan sebesar
8,1 (95% CI 30-220) per 1.000.000 vaksinasi. Vaksinasi dengan vaksin vektor –
tetapi bukan vaksin mRNA – telah dikaitkan dengan peningkatan risiko GBS.
Lebih dari 80% pasien mengalami GBS dalam waktu 21 hari setelah dosis
pertama vaksinasi.
Contoh kasus lainnya, misalnya dari vaksin BCG, komplikasi imunisasi
BCG terjadi 2-6 minggu setelah imunisasi daerah bekas suntikan timbul bisul
kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2-4
bulan. 19 Sementara itu, mengenai vaksin PCV, berdasarkan hasil Post Marketing
Surveillance imunisasi PCV yang dilakukan di Provinsi NTB, didapatkan data
Direktorat Pengelolaan Imunisasi, Kementerian Kesehatan RI Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Imunisasi Pneumokokus Konyugasi (PCV) pada pemberian PCV
bersamaan dengan pentabio dan polio oral dari 544 subjek: pada pemberian dosis
pertama berupa demam 14,6%, nyeri lokal 90,1%, kemerahan 67,6%, bengkak
35,6%, rewel 72,6% dan pada pemberian dosis kedua berupa demam 9,0%, nyeri
lokal 8,5%, kemerahan 62,2%, bengkak 30,8%, rewel 64,7%. 16
Perdarahan sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) jarang
dilaporkan terjadi pada anak, meski bisa menjadi kekhawatiran orang tua. Episode
perdarahan dengan tingkat keparahan mulai dari ringan hingga berat dan
didefinisikan sebagai perdarahan eksternal dan/atau internal yang dapat
disebabkan oleh kelainan yang didapat atau diturunkan. Kasus perdarahan yang

23
dilaporkan sebagai KIPI sebagian besar merupakan perdarahan defisiensi vitamin
K yang dianggap sebagai kejadian kebetulan setelah imunisasi dengan hubungan
temporal, dan kategori tidak berhubungan berdasarkan hasil penilaian kausalitas.
Vitamin K harus diberikan kepada semua bayi baru lahir sebagai profilaksis dan
surveilans KIPI harus ditingkatkan mengingat rendahnya jumlah KIPI yang
dilaporkan di Indonesia. 20

2.2.3 Standard Operating Procedure 15


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Imunisasi
Program.
Pasal 13 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Perencanaan penyelenggaraan Imunisasi Program dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan mengacu pada
komitmen global serta target pada RPJMN dan Renstra yang berlaku.
(2) (2) Perencanaan penyelenggaraan Imunisasi Program oleh Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus memperhatikan
usulan perencanaan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan
Pemerintah Daerah provinsi secara berjenjang yang meliputi jumlah
sasaran pada daerah kabupaten/kota, kebutuhan logistik, dan
pendanaan Imunisasi Program di tingkat pusat dan daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Perencanaan penyelenggaraan Imunisasi Program oleh Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi operasional
penyelenggaraan pelayanan, pemeliharaan peralatan Cold Chain,
penyediaan alat pendukung Cold Chain, dan Dokumen Pencatatan
Pelayanan Imunisasi.

Pasal 14 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Usulan perencanaan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan
Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

24
ayat (2) disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal paling
lambat pada triwulan ketiga untuk tahun berikutnya.
(2) Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah
provinsi tidak menyampaikan usulan perencanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat akan melakukan
perencanaan berdasarkan estimasi dari perhitungan tahun sebelumnya.
(3) Usulan perencanaan penyelenggaraan Imunisasi Program Pemerintah
Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan:
a. analisa hasil evaluasi;
b. upaya yang sudah dilakukan; dan
c. rincian data sarana, prasarana, alat, tenaga, dan biaya.
(4) Apabila dibutuhkan verifikasi terhadap usulan perencanaan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah provinsi dapat
dibentuk tim verifikasi yang terdiri dari unit teknis terkait.

Mengenai penyediaan dan distribusi logistik imunisasi, Pasal 15


Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Logistik yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Imunisasi Program
meliputi:
a. Vaksin;
b. ADS;
c. Safety Box;
d. Peralatan Anafilaktik;
e. peralatan Cold Chain;
f. peralatan pendukung Cold Chain; dan
g. Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi.
(2) Peralatan Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
terdiri atas:
a. alat penyimpan Vaksin meliputi cold room, freezer room,
vaccine refrigerator, dan freezer;

25
b. alat transportasi Vaksin meliputi kendaraan berpendingin
khusus, cold box, vaccine carrier, cool pack, dan cold pack; dan
c. alat pemantau suhu, meliputi termometer, termograf, alat
pemantau suhu beku, alat pemantau/mencatat suhu secara terus-
menerus, dan alarm.
(3) Peralatan pendukung Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f meliputi automatic voltage stabilizer (AVS), standby
generator, dan suku cadang peralatan Cold Chain.

Pasal 16 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Pemerintah Pusat bertanggung jawab terhadap penyediaan dan
pendistribusian logistik Imunisasi berupa Vaksin, ADS, Safety Box,
dan peralatan Cold Chain yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
Imunisasi Program.
(2) Dalam penyediaan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu
memperhatikan batas masa kadaluarsa.
(3) Penyediaan dan pendistribusian peralatan Cold Chain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi fasilitas kesehatan milik
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(4) Pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. Vaksin, ADS, dan Safety Box dilaksanakan sampai ke provinsi;
dan
b. Peralatan Cold Chain dilaksanakan sampai ke lokasi tujuan.
(5) Dalam hal terjadi kekosongan atau kekurangan ketersediaan Vaksin di
satu daerah maka Pemerintah Pusat dapat melakukan relokasi Vaksin
dari daerah lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 17 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Dalam memenuhi kebutuhan Vaksin, Menteri dapat menugaskan
badan usaha milik negara yang bergerak di bidang produksi Vaksin
sesuai dengan perencanaan nasional.

26
(2) Dalam hal badan usaha milik negara sebagaimanadimaksud pada ayat
(1) tidak dapat memenuhi kebutuhan Vaksin nasional, Menteri dapat
menunjuk badan usaha milik negara di bidang kefarmasian untuk
melakukan impor.

Pasal 18 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota
bertanggung jawab terhadap penyediaan:
a. peralatan Cold Chain, peralatan pendukung Cold Chain, Peralatan
Anafilaktik, dan Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi sesuai
dengan kebutuhan; dan
b. ruang untuk menyimpan peralatan Cold Chain dan logistik
Imunisasi lainnya yang memenuhi standar dan persyaratan.
(2) Peralatan Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
kecuali alat penyimpan Vaksin.
(3) Peralatan Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
cold box, vaccine carrier, cool pack, cold pack, termometer, termograf,
alat pemantau suhu beku, alat pemantau/pencatat suhu secara terus-
menerus, alarm, dan kendaraan berpendingin khusus.
(4) Peralatan pendukung Cold Chain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi automatic voltage stabilizer (AVS), standby generator,
dan suku cadang peralatan Cold Chain.
(5) Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab terhadap
pendistribusian ke seluruh daerah kabupaten/kota di wilayahnya
meliputi:
a. Vaksin;
b. ADS;
c. Safety Box;
d. Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi;
e. dokumen suhu penyimpanan Vaksin; dan
f. dokumen pencatatan logistik.

27
(6) Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap
pendistribusian ke seluruh Puskesmas dan fasilitas pelayanan
kesehatan lain di wilayahnya meliputi:
a. Vaksin;
b. ADS;
c. Safety Box;
d. Peralatan Anafilaktik;
e. Dokumen Pencatatan Pelayanan Imunisasi; dan
f. dokumen suhu penyimpanan Vaksin.
(7) Dalam hal Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota tidak mampu memenuhi tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat membantu penyediaan
peralatan agar kualitas Vaksin tetap terjaga dengan baik.

Pasal 19 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Penyediaan dan pendistribusian logistik untuk penyelenggaraan
Imunisasi Program dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pendistribusian Vaksin harus dilakukan sesuai standar untuk menjamin
kualitas Vaksin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 20 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Pada kondisi tertentu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi,
dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berhak menarik Vaksin yang
beredar di fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa adanya
kebijakan nasional dan/atau hasil kesepakatan internasional.

Pasal 21 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa: “Menteri


dapat menetapkan logistik lain yang diperlukan dalam penyelenggaraan Imunisasi

28
Program sesuai dengan perkembangan teknologi dan efektifitas efisiensi
pencapaian tujuan program Imunisasi.”
Mengenai penyimpanan dan pemeliharaan logistik vaksinasi, Pasal 22
Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa: “Pemerintah Daerah
provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap
penyimpanan dan pemeliharaan logistik Imunisasi Program di wilayah kerjanya.”
Pasal 23 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Untuk menjaga kualitas, Vaksin harus disimpan pada tempat dengan
kendali suhu tertentu.
(2) Tempat menyimpan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya diperuntukkan khusus menyimpan Vaksin saja.
Mengenai tenaga pengelola vaksin, Pasal 24 Permenkes RI No 12 Tahun
2017 menyatakan bahwa:
(1) Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota
bertanggung jawab dalam penyediaan tenaga pengelola untuk
penyelenggaraan Imunisasi Program di wilayahnya masing-masing.
(2) Tenaga pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
pengelola program dan pengelola logistik.
(3) Tenaga pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memenuhi kualifikasi dan kompetensi tertentu yang diperoleh dari
pendidikan dan pelatihan yang dibuktikan dengan sertifikat
kompetensi yang diatur dan ditetapkan oleh Menteri.
(4) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Mengenai pelaksanaan pelayanan vaksinasi, Pasal 25 Permenkes RI No 12


Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Pelayanan Imunisasi Program dapat dilaksanakan secara massal atau
perseorangan.

29
(2) Pelayanan Imunisasi Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan keluarga untuk
meningkatkan akses pelayanan imunisasi.
(3) Pelayanan Imunisasi Program secara massal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan di posyandu, sekolah, atau pos pelayanan
imunisasi lainnya.
(4) Pelayanan Imunisasi Program secara perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di rumah sakit, Puskesmas,
klinik, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Pasal 26 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan Imunisasi Program, wajib menggunakan Vaksin yang
disediakan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. berdasarkan alasan medis yang tidak memungkinkan diberikan
Vaksin yang disediakan oleh Pemerintah Pusat yang dibuktikan
oleh surat keterangan dokter atau dokumen medis yang sah; atau
b. dalam hal orang tua/wali anak melakukan penolakan untuk
menggunakan Vaksin yang disediakan Pemerintah Pusat.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan pelanggaraan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. pencabutan izin.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh Menteri
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pasal 27 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Pelaksanaan pelayanan Imunisasi rutin harus direncanakan oleh
fasilitas pelayanan kesehatan penyelenggara pelayanan Imunisasi
secara berkala dan berkesinambungan.

30
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jadwal
pelaksanaan, tempat pelaksanaan, dan pelaksana pelayanan Imunisasi.

Pasal 28 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab menyiapkan
biaya operasional untuk pelaksanaan pelayanan Imunisasi rutin dan
Imunisasi tambahan di Puskesmas, posyandu, sekolah, dan pos
pelayanan imunisasi lainnya.
(2) Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya:
a. transportasi dan akomodasi petugas;
b. bahan habis pakai;
c. penggerakan masyarakat;
d. perbaikan serta pemeliharaan peralatan Cold Chain dan kendaraan
Imunisasi;
e. distribusi logistik dari daerah kabupaten/kota sampai ke fasilitas
pelayanan kesehatan; dan
f. f. pemusnahan limbah medis Imunisasi.

Pasal 29 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan
jajarannya bertanggung jawab menggerakkan peran aktif masyarakat
dalam pelaksanaan pelayanan Imunisasi Program.
(2) Penggerakkan peran aktif masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pemberian informasi melalui media cetak, media sosial, media
elektronik, dan media luar ruang;
b. advokasi dan sosialisasi;
c. pembinaan kader;
d. pembinaan kepada kelompok binaan balita dan anak sekolah;
dan/atau
e. pembinaan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat.

31
Pasal 30 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa: “Pelayanan
Imunisasi Program dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
Proses pemberian imunisasi harus memperhatikan:
a. keamanan, mutu, dan khasiat Vaksin yang digunakan; dan
b. penyuntikan yang aman (safety injection) agar tidak terjadi penularan
penyakit terhadap tenaga kesehatan yang melaksanakan pelayanan
imunisasi dan Masyarakat serta menghindari terjadinya KIPI.
Pasal 32 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Sebelum pelayanan Imunisasi Program, tenaga Kesehatan harus
memberikan penjelasan tentang Imunisasi meliputi jenis Vaksin yang
akan diberikan, manfaat, akibat apabila tidak diimunisasi,
kemungkinan terjadinya KIPI dan upaya yang harus dilakukan, serta
jadwal Imunisasi berikutnya.
(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan
alat bantu seperti media komunikasi massa.
(3) Kedatangan masyarakat di tempat pelayanan Imunisasi baik dalam
gedung maupun luar gedung setelah diberikan penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
persetujuan untuk dilakukan Imunisasi.
(4) Dalam pelayanan Imunisasi Program, tenaga kesehatan harus
melakukan penyaringan terhadap adanya kontra indikasi pada sasaran
Imunisasi.
Pasal 33 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa: “Seseorang
atau sekelompok orang yang melakukan Tindakan menghalang-halangi
penyelenggaraan Imunisasi Program dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Mengenai pengelolaan limbah vaksinasi, Pasal 34 Permenkes RI No 12
Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Rumah sakit, Puskesmas, klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya yang menyelenggarakan Imunisasi bertanggung jawab

32
terhadap pengelolaan limbah imunisasi sesuai dengan persyaratan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal penyelenggaraan Imunisasi dilakukan oleh dokter atau
bidan praktek perorangan, pemusnahan limbah vial dan/atau ampul
Vaksin harus diserahkan ke institusi yang mendistribusikan Vaksin.
(3) Dalam hal pelayanan Imunisasi Program yang dilaksanakan di
posyandu dan sekolah, petugas pelayanan Imunisasi bertanggung
jawab mengumpulkan limbah ADS ke dalam Safety Box, vial
dan/atau ampul Vaksin untuk selanjutnya dibawa ke Puskesmas
setempat untuk dilakukan pemusnahan limbah imunisasi sesuai
dengan persyaratan.
(4) Pemusnahan limbah Imunisasi harus dibuktikan dengan berita acara.

Mengenai pemantauan dan evaluasi vaksinasi, Pasal 35 Permenkes RI No


12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota wajib melaksanakan pemantauan dan evaluasi
penyelenggaraan Imunisasi Program secara berkala,
berkesinambungan, dan berjenjang.
(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk mengukur kinerja penyelenggaraan Imunisasi.
(3) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan menggunakan instrumen:
a. pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk pemantauan dan
analisis cakupan;
b. data quality self assessment (DQS) untuk mengukur kualitas data;
c. effective vaccine management (EVM) untuk mengukur kualitas
pengelolaan Vaksin dan alat logistik lainnya;
d. supervisi suportif untuk memantau kualitas pelaksanaan program;
e. surveilens KIPI untuk memantau keamanan Vaksin;
f. recording and reporting (RR) untuk memantau hasil pelaksanaan
Imunisasi;

33
g. stock management system (SMS) untuk memantau ketersediaan
Vaksin dan logistik;
h. Cold Chain equipment management (CCEM) untuk inventarisasi
peralatan Cold Chain;
i. rapid convinience assessment (RCA) untuk menilai secara cepat
kualitas pelayanan imunisasi;
j. survei cakupan Imunisasi untuk menilai secara eksternal pelayanan
Imunisasi; dan
k. pemantauan respon imun untuk menilai respon antibodi hasil
pelayanan Imunisasi.

Mengenai pemantauan dan penanggulanggan KIPI, Pasal 40 Permenkes RI


No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Dalam rangka pemantauan dan penanggulangan KIPI, Menteri membentuk
Komnas PP KIPI dan Gubernur membentuk Komda PP KIPI.
(2) Keanggotaan Komnas PP KIPI dan Komda PP KIPI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur perwakilan dokter
spesialis anak, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis kandungan
dan kebidanan, dokter spesialis syaraf, dokter spesialis forensik,
farmakolog, vaksinolog dan imunolog, dan/atau unsur lintas sektor terkait.
(3) Dalam hal dibutuhkan untuk mendukung tugas Komda PP KIPI dan
Komnas PP KIPI, bupati/walikota dapat membentuk Pokja PP KIPI yang
paling sedikit terdiri atas unsur perwakilan dokter spesialis anak dan
dokter spesialis penyakit dalam.
(4) Pembiayaan operasional Komnas PP KIPI dibebankan pada anggaran
pendapatan belanja negara dan Komda PP KIPI atau Pokja PP KIPI
dibebankan pada anggaran pendapatan belanja daerah.
(5) Pemantauan dan penanggulangan KIPI harus dilaksanakan melalui
kegiatan: a. surveilans KIPI dan laman (website) keamanan Vaksin; b.
pengobatan dan perawatan pasien KIPI; dan c. penelitian dan
pengembangan KIPI.

34
Pasal 41 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
(1) Masyarakat yang mengetahui adanya dugaan terjadinya KIPI, harus segera
melapor kepada fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan
pelayanan Imunisasi atau dinas kesehatan setempat
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelayanan Imunisasi
atau dinas kesehatan setempat yang menerima laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus melakukan investigasi.
(3) Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus segera
dilaporkan secara berjenjang kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota dan kepala dinas kesehatan provinsi.
(4) Kepala dinas kesehatan provinsi menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Komnas PP KIPI, Komda PP KIPI, dan
Pokja PP KIPI.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat disampaikan melalui
laman (website) keamanan Vaksin.
(6) Terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan kajian
etiologi lapangan oleh Komda PP KIPI dan kajian kausalitas oleh Komnas
PP KIPI.
(7) Hasil kajian KIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan
kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dan diumpan balik kepada
provinsi.

Pasal 42 Permenkes RI No 12 Tahun 2017 menyatakan bahwa:


(1) Pasien yang mengalami gangguan kesehatan diduga akibat KIPI diberikan
pengobatan dan perawatan selama proses investigasi dan pengkajian
kausalitas KIPI berlangsung.
(2) Dalam hal gangguan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai gangguan kesehatan akibat KIPI, maka pasien
mendapatkan pengobatan dan perawatan.
(3) Pembiayaan untuk investigasi dan kajian kasus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibebankan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah

35
provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta sumber pembiayaan
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pembiayaan untuk pengobatan, perawatan, dan rujukan bagi seseorang
yang mengalami gangguan kesehatan diduga KIPI atau akibat KIPI
dibebankan pada anggaran pendapatan belanja daerah atau sumber
pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

2.4 Contoh Kasus


Pemerintah mengupayakan program kesehatan yang prima bagi seluruh
masyarakat. Tapi, sejauh ini program masih tersendat artinya belum dilaksanakan
secara baik oleh petugas kesehatan di lapangan. Seperti yang terjadi di Pekon
Waysindi Kecamatan Karyapenggawa, Kabupaten Lampung Barat (Lambar) yang
disinyalir telah melakukan malpraktek yang dilakukan oleh Bidan Desa Lidia
Mispita terhadap Marisa Febiola yang berusia 3 bulan. Akibat kecerobohan dan
tidak ketelitiannya dalam menangani pasien berusia 3 bulan itu, meninggal dunia.
Menurut keluarga yang ditemui Sergap di kediamannya, mengungkapkan
kronologis kejadian, yakni pada hari Kamis (23/5) pihak Puskesmas mengadakan
kegiatan pemeriksaan kesehatan Balita di Posyandu Balai Pekon, yang ditangani
bidan.
Ketika itu Bidan Lidia Maspita memasukkan vaksin ke tubuh pasien
Marisa melalui suntikan pada paha kiri. Pada sore harinya bekas suntikan tersebut
mengalami pembengkakkan dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi Marisa.
Sejak pembengkakkan itu, Marisa tidak henti-hentinya menangis karena menahan
rasa sakit yang ia alami. Tak hanya itu, bahkan bekas suntikan itu mengeluarkan
darah segar yang tiada henti-hentinya dan pembengkakkan itu merata ke seluruh
kaki sebelah kiri.
Upaya yang dilakukan pihak keluarga pada saat itu tepatnya hari Jum’at,
mereka telah memanggil bidan Lidia untuk mengecek atau melakukan

36
penanggulangan atas derita yang dialami pasien Marisa. Akan tetapi bidan Lidia
tidak segera datang untuk memeriksa pasien Marisa, bahkan bidan itu sempat
berkata bahwa ia akan datang. Hingga menjelang sorenya bidan itu ditunggu-
tunggu tidak kunjung tiba, bahkan si bidan malah mengutus pembantu rumah
tangganya untuk menanyakan apakah pasien masih mengalami pendaharan atau
tidak lagi. Sore itu, pihak keluarga pasien menambahkan, pendarahan yang
dialami Marisa telah berhenti.
Keesokan harinya, Sabtu, bidan baru menjenguk pasien di kediamannya
karena pasien mengalami pendarahan kembali dan terus menangis. Pada akhirnya
bidan itu memberikan obat yang dibawa dari puskesmas. Diakui pihak keluarga
setelah diberi obat yang dibawa bidan itu, tangis anaknya agak berkurang, tapi
tidak mengurangi panasnya suhu paha sebelah kiri dan tidak mengurangi kejang-
kejang pada kaki kirinya. Minggu pukul 03 dini hari, Marisa akhirnya meninggal
dunia. Kuat dugaan anak tersebut mengalami infeksi disebabkan karena kelalaian
dan ketidakcermatan si bidan dalam menangani pasien karena dimana ada sebab
disitu ada akibat. Dikonfirmasi Sergap di kediamannya (26/5), Bidan Lidia
Maspita mengatakan dirinya tidak ada wewenang untuk memberikan keterangan
mengenai hal itu, sebab semuanya telah ia kuasakan terhadap pimpinannya.
“Saya tidak berhak memberikan penjelasan atas masalah ini, sebaiknya
saudara menemui Kepala Puskesmas saja,” katanya. Sedangkan Kepala
Puskesmas, dr. Edwin H. Ma’as disela kesibukannya mengungkapkan bahwa
permasalahan itu telah ia laporkan ke dinas terkait, dan mereka segera akan turun
untuk mengecek kebenaran dan penyebab dari peritiwa itu. “Ini masalah
kedinasan, jadi saya harus melaporkan kejadian tersebut secepatnya serta dirinya
tidak memihak kepada siapa-siapa,” tutur Edwin.
Selanjutnya imbuh Edwin, kemungkinan ada beberapa faktor masalah
yang menyebabkan tentang tragedi itu. Pertama, mungkin masalah obat yang
diberikan, apakah obat itu terlalu keras dengan kata lain dosisnya terlalu tinggi
sehingga menimbulkan pembengkakkan. Kedua, mungkin apakah anaknya
mengidap penyakit tertentu dan ketiga hal itu perlu diteliti. Saat disinggung
Sergap tentang versi kronologis dari pihak Puskesmas, Edwin menambahkan
pihaknya tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti, sebab hal itu sedang

37
dilakukan pedalaman tentang keterangan si bidan itu sendiri. Oleh karena itu
pihaknya bukan tidak mau memberikan pernyataan.
“Nanti akan dicocokkan keterangan dari pihak keluarga yang bersangkutan
dengan keterangan dari bidan itu sendiri, nanti juga kelihatan benang merahnya
antara yang jujur dengan yang tidak jujur, kita tunggu saja,” ungkapnya

1. Jelaskan apa masalahnya?


Pada kasus diatas bisa kita ketahui bahwa kelalaian bidan dalam meberikan
suntikan vaksin yang tidak tepat berdampak negative pada klien.
2. Apa penyebab masalahnya?
Peradangan tersebut mungkin cukup parah karena langsung terjadi setelah
beberapaja jam, tidak diketahui penyebab peradangan tersebut, tapi kemungkinan
yang bisa di tebak peradangan tersebut karena bidan salah memberi dosisi pada
vaksin tersebut, atau bisa juga karena alat suntikan kurang steril.
3. Bagaimana solusi dan tindak lanjutnya?
Seorang yang provesional pastinya mejalankan amanah tugasnya sampai tuntas
agar mendapatkan proses dan hasil yang optimal, kenapa malah bidan Lidia
menyuruh pembantunya yang menjenguk, apakah professional sikap bidan Lidia
ini. Setidaknya bidan Lidia setelah diberitahu saat sore harinya langsung
menjenguk keadaan Marisa dan mengkaji apa yang sebenarnya terjadi kalau bisa
langsung dirujuk ke tenaga kesehatan yang lebih tinggi, supaya peradangan tidak
semakin parah.
Setelah Marisa benar-benar meninggal dan orang tuanya meminta
pertangung jawaban, semua pihak yang terlibat saling mengamankan diri sendiri.
Tidak ada yang berani untuk mempertangungjawabkan secara langsung. Kalau
sudah begitu siapa yang mau bertangungjawab. Sungguh miris kasus ini, orang-
orang yang berpendidikan dan orang-orang yang harusnya bertangugn jawab
semuanya melarikan diri.

38
BAB III
KESIMPULAN

Malpraktik medis adalah tindakan seorang profesional medis yang salah dan
mengakibatkan kerugian terhadap pasien. Malpraktek medik terdiri dari 2 (dua)
jenis, yaitu malpraktek etik dan malpraktek yuridis. Aspek hukum malpraktik
kedokteran disini akan dijelaskan dari tiga aspek hukum, yaitu: (1) Aspek Hukum
Perdata Malpraktik Kedokteran, (2) Aspek Hukum Pidana Malpraktik
Kedokteran, dan (3) Aspek Hukum Administrasi Malpraktik Kedokteran. Untuk
mencegah terjadinya malpraktek dalam menjalankan tugasnya, seorang dokter
haruslah memiliki kompetensi yang kompeten. Hal ini berkesesuaian dengan kode
etik kedokteran indonesia pasal 8.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiraditya GGA. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Malapraktik Kedokteran


Dalam Perspektif Hukum Kesehatan Indonesia. Jurnal Kertha Desa.
2021;9(1):55–68.

2. Direktori Putusan [Internet]. [cited 2023 Oct 17]. Available from:


https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html?q=
%22Majelis+kehormatan+disiplin+kedokteran+indonesia%22&page=3

3. Widhiantoro DC. Aspek Hukum Malpraktik Kedokteran dalam Perundang-


undangan di Indonesia. Lex Privatum. 2021;IX(9):103–12.

4. Mantiri YD. Pertanggungjawaban Perdata Tenaga Medis Terhadap Kasus


Malpraktik Ditinjau Dari Sudut Pandang Medicolegal. Lex Privatum.
2019;7(7):76–86.

5. Widhiantoro DC, Barama M, Mamesah EL. Aspek Hukum Malpraktik


Kedokteran dalam Perundang-Undangan di Indonesia. Lex Privatum. 2021;9(9).

6. Sibarani S. Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktek Dilihat dari


Sudut Pandang Hukum di Indonesia. Law Rev. 2016;26(1).

7. Benhard F. Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Malpraktek


menurut UU No. 36 tahun 2009. Lex Administratum. 2017;5(1).

8. World Medical Association. Archived: World Medical Association Statement On


Medical Malpractice. 2005;

9. Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Indonesia; 2012.

10. Indonesia. UU Nomor 17 Tahun 2023. 2023.

11. Czochor J, Turchick A. Introduction. Vaccines. Yale J Biol Med. 2014


Dec;87(4):401–2.

12. Ginglen JG, Doyle MQ. Immunization. 2023.

13. WHO. Vaccines and immunization: What is vaccination? 2021.

14. Ginglen JG, Doyle MQ. Immunization. StatPearls [Internet]. 2023 Feb 7 [cited
2023 Oct 17]; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459331/

15. Kementerian Kesehatan RI. Permenkes RI Nomor 12 Tahun 2017 Tentang


Penyelenggaraan Imunisasi. Kementerian Kesehatan RI. 2017.
40
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Imunisasi Pneumokokus Konyugasi (PCV). Kementerian Kesehatan RI. 2022.

17. Vaccines and immunization: What is vaccination? [Internet]. [cited 2023 Oct 17].
Available from:
https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/vaccines-and-
immunization-what-is-vaccination

18. Ogunjimi OB, Tsalamandris G, Paladini A, Varrassi G, Zis P. Guillain-Barré


Syndrome Induced by Vaccination Against COVID-19: A Systematic Review and
Meta-Analysis. Cureus. 2023 Apr 14;

19. Jumpandang P, Makassar Tahun B, Institut R, Kesehatan I, Abstrak PM.


Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian Imunisasi Dasar Pada Bayi 0-12
Bulan di. Vol. 5, Jurnal Kesehatan Delima Pelamonia. 2021.

20. Susanah S, Fadlyana E, Dhamayanti M, Tarigan R, Ariyanto EF, Pamela Y, et al.


Temporal association between serious bleeding and immunization: vitamin K
deficiency as main causative factor. BMC Pediatr. 2020 Dec 21;20(1):82.

41

Anda mungkin juga menyukai