UNIVERSITAS PADJADJARAN
NOVEMBER 2018
LEMBAR PENGESAHAN
RINGKASAN
Kekurangan air pada tanaman dapat ditambahkan dengan pemberian air irigasi;
namun metode pemberian air irigasi seyogyanya mengacu pada efisiensi dalam segala
ukuran irigasi. Salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan di Eropa, Malaysia,
Australia dan Inggris adalah autopot system. Sistem fertigasi Autopot adalah suatu sistem
pemberian air otomatis tanpa menggunakan listrik dan pompa, namun memberikan hasil
pemberian air yang sangat efisien. Aplikasi sistem fertigasi Autopot untuk industri
pertanian di Indonesia membutuhkan investisi awal yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan
produk tersebut belum tersedia di Indonesia sehingga harus impor. Oleh karena itu dalam
penelitian ini akan dilakukan modifikasi pada sistem Autopot yang ada yaitu membuat
Autopot Modifikasi dengan memanfaatkan alat dan bahan yang sederhana dan mudah
didapatkan di lingkungan sekitar yang berbeda dengan sistem Autopot yang ada sehingga
penggunaan alat sederhana dapat dijadikan sebagai bagian dari modifikasi sistem Autopot.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi sistem fertigasi
Autpot Modifikasi dengan kinerja irigasi sama dengan Autopot namun menggunakan
bahan lokal yang mudah didapat dengan harga terjangkau. Adapun tujuan khusus pada
tahun pertama dari penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1. Merancang sistem Autopot Modikasi 02 (AM02) untuk budidaya sayuran daun
(kangkung) skala produksi/komersial (Tahun 1)
2. Menguji rancangan Autopot Modikasi 02 (AM02) pada budidaya tanaman kangkung
(Tahun 1)
3. Mengetahui nilai kebutuhan air tanaman, kebutuhan air konsumtif dan nilai koefisien
tanaman pada budidaya sayuran kangkung menggunakan sistem fertigasi Autopot
Modikasi 02 (AM02) (Tahun 1)
4. Mengetahui keragaan kinerja sistem fertigasi menggunakan Autopot Modifikasi 02
berdasarkan nilai keseragaman pertumbuhan, keseragaman produksi, keseragaman
irigasi, efisiensi irigasi dan efisiensi penggunaan air irigasi pada budidaya sayuran
kangkung (Tahun 1)
Penelitian “Modifikasi Sistem Fertigasi Autopot pada Budidaya Tanaman Hortikultura
Bernilai Ekonomi Tinggi” dilaksanakan dalam dua tahapan penelitian. Penelitian tahap
pertama (tahun 1) dilaksanakan menggunakan metode rekayasa dan metode deskriptif
analitis. Metode rekayasa digunakan dalam merancang sistem fertigasi Autopot Modifikasi
2. Rancangan Autopot Modifikasi 02 pada tahun pertama digunakan untuk budidaya
tanaman sayuran daun (kangkung). Selanjutnya sistem Autopot Modifikasi 02 dibangun
dan diujicobakan untuk budidaya sayuran dalam greenhouse yang dibangun untuk
pelaksanaan penelitian. Dalam tahapan ini metode penelitian yang digunakan adalah
metode Deskriptif Analitik dengan mengamati kinerja sistem fertigasi Autopot Modifikasi
02 pada pertumbuhan dan produksi tanaman.
Kata kunci : Autopot Modifikasi; irigasi hemat air; efisiensi irigasi; fertigasi; hidroponik;
hortikultura
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan berkah dan rahmat-Nya Tim
Peneliti dapat menyelesaikan laporan kemajuan penelitian Tahun-1 yang berjudul
“Modifikasi dan Pengembangan Sistem Fertigasi Autopot pada Budidaya Tanaman
Hortikultura”. Penelitian tahap pertana ini sesuai dengan payung penelitian Fakultas
Teknologi Industri Pertanian hanya difokuskan mendapatkan formulasi sistem fertigasi
Autpot Modifikasi dengan kinerja irigasi sama dengan Autopot namun menggunakan
bahan lokal yang mudah didapat dengan harga terjangkau. Penelitian ini dilaksanakan
melalui skema pendanaan Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi Universitas
Padjadjaran yang didanai Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Riset,
Teknologi dan Tinggi. Tim Peneliti menyadari bahwa mulai dari pelaksanaan hingga
penyelesaian laporan ini menerima banyak bantuan baik berupa dorongan moral maupun
material dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini perkenankanlah Tim Peneliti
menyampaikan terima kasih berturut-turut kepada :
1. Direktorat Riset dan Pengandian Masyarakat, Ditjen Penguatan Riset dan
Pengembangan c.q. Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat
2. Direktur Riset, Pengabdian kepada Masyarakat dan Inovasi Universitas
Padjadjaran
3. Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu, yang telah
banyak memberikan bantuan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
Semoga segala amal baiknya dinilai oleh Allah SWT sebagai pahala dan mendapat balasan
yang lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak. Jatinangor.
November 2018
Tim Peneliti
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................2
RINGKASAN............................................................................................................................3
PRAKATA................................................................................................................................4
DAFTAR ISI.............................................................................................................................5
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................6
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................................7
1.1. Latar Belakang............................................................................................................7
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................11
2.1. State of The Art............................................................................................................11
2.1.1. Sistem Autopot......................................................................................................11
2.2 Sistem Fertigasi.........................................................................................................12
2.2. Peta Jalan (Roadmap) Penelitian..................................................................................13
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN..............................................................15
3.1. Tujuan Riset..............................................................................................................15
3.2. Urgensi Penelitian....................................................................................................15
BAB 4. METODE PENELITIAN...........................................................................................17
4.1. Lokasi dan Waktu Riset............................................................................................17
4.2. Rancangan Riset........................................................................................................17
4.3. Data, Teknik Pengumpulan dan Sumber Data..........................................................18
4.4. Pengambilan/Pemilihan Sampel...............................................................................20
4.5. Pengolahan dan Analisis Data...................................................................................20
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI...............................................................22
5.1. Rumah Tanaman (Greenhouse)....................................................................................22
5.2. Karakteristik Media Tanam..........................................................................................26
5.3. Karakteristik Suhu, Kelembaban dan Intensitas Cahaya Matahari..............................28
5.4. Perancangan Sistem Fertigasi Autopot Modifikasi......................................................32
5.5. Uji Kinerja Autopot Modifikasi....................................................................................34
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA..................................................................35
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................37
LAMPIRAN............................................................................................................................40
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3. Sistem Fertigasi Autopot (a) Tampak Atas; (b) Tampak Samping (Fah, 2006)....11
Smartvalve
Batas Lubang
maksimum botol
a.
Gambar 3. Sistem Fertigasi Autopot (a) Tampak Atas; (b) Tampak Samping (Fah,
2006)
Smart valve merupakan benda yang terpenting pada sistem Autopot karena smart valve
yang akan mengontrol masuknya air ke reservoir. Smart valve cukup kecil untuk muat
pada telapak tangan, dengan konstruksi utama plastik dan terdiri dari dua ruang. Alat ini
berbeda dengan jenis katup pelampung konvensional karena memungkinkan pengurangan
total kadar cairan sebelum isi ulang (Fah, 2006). Sistem Autopot terdiri dari beberapa
bagian yaitu tangki penampung, pipa berdiameter 4 mm, baki, pot serta smart valve.
Larutan nutrisi yang terdapat pada tangki penampung akan dialirkan dengan pipa
berdiameter 15 mm yang telah terhubung dengan smart valve. Larutan nutrisi yang akan
masuk ke dalam baki akan dikontrol dengan smart valve dan dialirkan ke dalam baki
yang akan diserap oleh tanaman yang terdapat pada pot.
Ketika terhubung ke pasokan air katup terbuka untuk memungkinkan air memasuki
bagian bawah wadah dengan kedalaman yang telah ditentukan (biasanya 35mm). Katup
kemudian menutup dan akan mengizinkan air untuk memasuki wadah sampai semua
pasokan pertama telah dialirkan dari ruang air ke pot dan akhirnya menuju tanaman.
Penyerapan ini dicapai dengan aksi kapiler yang secara alami terjadi pada media tumbuh.
Setelah air diserap sejauh lapisan air di bawah katup telah habis, katup kembali membuka
dan pasokan air yang lain memasuki wadah. Ini adalah bagaimana siklus basah dan
kering terjadi pada sistem Autopot (Fah, 2006).
Selain terkait dengan tema riset unggulan Universtitas Padjadjaran untuk bidang riset
Pangan, keterkaitan penelitian ini dengan Pusat Studi Pengembangan Teknologi Pertanian
juga dapat dilihat pada Gambar 5 berikut. Dalam Pusat Studi Pengembangan Teknologi
Pertanian penelitian ini termasuk dalam bidang riset Pengelolaan Lahan dan Air.
Gambar 5. Keterkaitan Penelitian dengan Bidang Riset Pusat Studi Pengembangan
Teknologi Pertanian
Teknologi budidaya yang tepat guna dan ramah lingkungan merupakan aspek penting yang
saat ini sedang dikembangkan untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia.
Penelitian mengenai Autopot Modifikasi ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pemahaman mengenai kinerja sistem Autopot Modifikasi pada budidaya tanaman
hortikultura. Sistem Autopot Modifikasi ini dapat diterapkan dan dikembangkan dalam
budidaya pertanian modern skala industry atau komersial. Secara khusus manfaat hasil
penelitian untuk petani dan pembangunan pertanian pada umumnya adalah :
LOKASI PENELITIAN
Parameter yang diamati antara lain adalah kondisi mikroklimat, pertumbuhan tanaman,
penggunaan air konsumtif, dan kualitas larutan nutrisi. Hasil pengamatan dilapangan
dianalisis untuk mengetahui nilai koefisien tanaman dan kehandalan sistem fertigasi
autopot berdasarkan nilai efisiensi irigasi, keseragaman irigasi, keseragaman pertumbuhan
tanaman, keseragaman produksi dan efisiensi penggunaan air.
c. Analisis keseragaman
Analisis keseragaman meliputi keseragaman irigasi, keseragaman
pertumbuhan dan dan keseragaman produksi. Analisis keseragaman
dilakukan dengan menggunakan persamaan Cristiansen Uniformity
berikut ini :
∑|X − x|
CU = 100 1 −
∑X
Dimana :
CU = Tingkat Keseragaman (%)
Xi = parameter keseragaman (kedalaman air irigasi, pertumbuhan,
dan produksi)
= Rata – rata parameter keseragaman
d. efisiensi penggunaan air irigasi
Efisiensi penggunaan air (WUE) dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan dibawah ini :
hasil produksi
WUE (kg ∙ m ) =
total penggunaan air
Hasil produksi dinyatakan dalam satuan kg, total air yang digunakan untuk
menghasilkan produk dinyatakan dalam m3 serta efisiensi penggunaan air
(WUE) dinyatakan dalam satuan kg/m3.
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Dari bahan tersebut yang paling populer adalah PE, ini diakibatkan dengan
adanya tambahan UV stabilizer harganya cukup relatif muran dan daya tahan yang cukup
baik, dan bersifat fleksibilitas yang cukup tinggi. Selain bahan yang fleksibilitas, ada juga
bahan yang bersifat kaku, namun cukup baik juga untuk digunakan sebagai bahan dari
atap greenhouse, yaitu antara lain corrugated fiberglass, acrylic, dan polycarbonate
(Tabel 3).
Tabel.3 Karakteristik tambahan pada beberapa bahan atap greenhouse
Berdasarkan Tabel 8 diatas diketahui bahwa media tanam cocopeat dan arang sekam
memiliki nilai pH di bawah tujuh. Sebagian nutrisi tanaman dapat diserap oleh tanaman
dengan mudah pada kisaran pH antara 5.5 – 6.5, dengan demikian media tanam cocopeat
dan arang sekam lebih sesuai untuk digunakan sebagai media tanam. Selain itu kedua
media tanam ini relatif mudah didapatkan dan tidak terlalu mahal. Selain itu, media
tanam cocopeat memiliki keunggulan untuk digunakan sebagai media tanam dalam
proses persemaian karena lebih mudah dalam proses penanaman benih. Namun demikian,
pada sistem fertigasi yang menggunakan air sebagai kultur budidayanya seperti NFT,
DFT dan Rakit Apung, penggunaan media tanam cocopeat maupun arang sekam dapat
menyebabkan terbentuknya endapan yang berasal dari kedua jenis media tanam tersebut.
Hal ini dapat mengganggu kerja pompa dalam mensirkulasikan larutan nutrisi. Untuk itu
dalam budidaya tanaman sayuran dengan sistem fertigasi Autopot Modifikasi dengan
prinsip dasar sistem rakit apung ini akan digunakan rockwool sebagai media tanamnya.
Cahaya matahari adalah sumber energi utama bagi kehidupan seluruh makhluk hidup
didunia. Bagi tumbuhan khususnya yang berklorofil, cahaya matahari sangat menentukan
proses fotosintesis. Fotosintesis adalah proses dasar pada tumbuhan untuk menghasilkan
makanan. Makanan yang dihasilkan akan menentukan ketersediaan energi untuk
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (http://afriathinks.blogspot.com). Menurut
(http://www.silvikultur.com) cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya
fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat
berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman.
Pengaruh cahaya juga berbeda pada setiap jenis tanaman. Tanaman C4, C3, dan CAM
memiliki reaksi fisiologi yang berbeda terhadap pengaruh intensitas, kualitas, dan lama
penyinaran oleh cahaya matahari (Onrizal, 2009). Selain itu, setiap jenis tanaman
memiliki sifat yang berbeda dalam hal fotoperiodisme, yaitu lamanya penyinaran dalam
satu hari yang diterima tanaman. Perbedaan respon tumbuhan terhadap lama penyinaran
atau disebut juga fotoperiodisme, menjadikan tanaman dikelompokkan menjadi tanaman
hari netral, tanaman hari panjang, dan tanaman hari pendek
(http://thejeber.wordpress.com).
Kekurangan cahaya matahari akan mengganggu proses fotosintesis dan pertumbuhan,
meskipun kebutuhan cahaya tergantung pada jenis tumbuhan. Selain itu, kekurangan
cahaya saat perkembangan berlangsung akan menimbulkan gejala etiolasi, dimana batang
kecambah akan tumbuh lebih cepat namun lemah dan daunnya berukuran kecil, tipis dan
berwarna pucat ( tidak hijau ). Gejala etiolasi tersebut disebabkan oleh kurangnya cahaya
atau tanaman berada di tempat yang gelap. Cahaya juga dapat bersifat sebagai
penghambat (inhibitor) pada proses pertumbuhan, hal ini terjadi karena dapat memacu
difusi auksin ke bagian yang tidak terkena cahaya (http://kampoengpintar.blogspot.com).
Cahaya yang bersifat sebagai inhibitor tersebut disebabkan oleh tidak adanya cahaya
sehingga dapat memaksimalkan fungsi auksin untuk penunjang sel – sel tumbuhan
sebaliknya, tumbuhan yang tumbuh ditempat terang menyebabkan tumbuhan – tumbuhan
tumbuh lebih lambat dengan kondisi relative pendek, lebih lebar, lebih hijau, tampak
lebih segar dan batang kecambah lebih kokoh (http://afriathinks.blogspot.com).
Pertumbuhan pada tumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan
eksternal. Salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pada
tumbuhan adalah cahaya matahari. Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan
hijau karena cahayanya diperlukan untuk membuat makanannya sendiri. Pengaruh cahaya
juga berada pada setiap jenis tanaman. Selain itu, setiap jenis tanaman memiliki sifat yang
berbeda dalam hal fotoperiodisme, yaitu lamanya penyinaran dalam satu hari yang
diterima tanaman. Perbedaan respon tumbuhan terhadap intensitas cahaya matahari juga
berpengaruh terhadap kondisi fisik tumbuhan. Gambar 13 berikut menunjukkan rata rata
intensitas cahaya matahari pada tiga waktu pengukuran yang berbeda di lokasi penelitian.
Intensitas Cahaya (Lux)
90,000
80,000
70,000
60,000
50,000
40,000
30,000
20,000
10,000
-
Tanaman kangkung tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang sulit. Salah satu
syarat yang penting adalah air yang cukup, terutama untuk kangkung air. Bagi kangkung
darat apabila kekurangan air pertumbuhannya akan mengalami hambatan, sehingga perlu
dilakukan penyiraman. Pada budidaya secara hidroponik menggunakan sistem fertigasi
autopot modifikasi pemberian air dilakukan secara otomatis. Tanaman kangkung dapat
tumbuh dengan baik pada suhu lingkungan antara 25 oC – 30 oC. Grafik dibawah ini
menggambarkan kondisi suhu lingkungan pada lokasi penelitian.
40.0
Suhu Udara (oC)
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
12345678910111213141516
HST
Suhu Harian Minimum Suhu Harian Maksimum Suhu Harian Rata Rata
Gambar 14. Kondisi suhu lingkungan di lokasi penelitian
Gambar 14 diatas menunjukkan bahwa suhu lingkungan di lokasi penelitian sesuai dengan
syarat tumbuh tanaman kangkung.
Selain suhu lingkungan dan intensitas cahaya matahari, faktor lain yang mempengaruhi
adaptasi cukup luas terhadap kondisi iklim tropis dan dapat ditanam di berbagai daerah
atau wilayah di Indonesia. Kangkung dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di
dataran rendah sampai dataran tinggi (pegunungan) + 2000 mdpl, dan diutamakan lokasi
lahanya terbagi atau sinar matahari yang cukup (Rukmana, 1994). Kebutuhan sinar
matahari untuk tanaman kangkung adalah 400-800 footcandles yang akan mempengaruhi
pertumbuhan optimum. Oleh karena itu, kangkung dapat tumbuh pada lahan terbuka tetapi
tidak terlalu panas (Bandini dan Azis, 2001). Untuk pertumbuhan kangkung diperlukan
iklim yang toleran. Pertumbuhan kangkung biasanya optimal bola dipengaruhi oleh suhu
daerah setempat. Suhu yang dibutuhkan tanaman kangkung yaitu rata-rata 20-300 C
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
12345678910 11 12 13 14 15 16
HST
Rencana tahapan berikutnya dalam penelitian tahun kedua yang berjudul “Modifikasi dan
Pengembangan Sistem Fertigasi Autopot Untuk Budidaya Tanaman Hortikultura”,
difokuskan pada modifikasi dan uji kinerja sistem Fertigasi Autopot untuk budidaya
tanaman sayuran buah. Komoditas yang dicobakan berupa tanaman tomat sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 19 berikut.
7.1. Kesimpulan
1. Atap bangunan gedung perkantoran dan fasilitas umum seperti gedung perguruan
tinggi memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam mengembangkan sistem
pertanian perkotaan (urban farming). Budidaya hidroponik tanaman hortikultura
cocok diterapkan pada sistem pertanian perkotaan ini. Salah satunya dengan
menggunakan sistem fertigasi autopot yang telah dimodifikasi (Automod)
sehingga tidak bergantung pada produk impor.
2. Sistem fertigasi automod memiliki kinerja sistem yang sangat baik dilihat dari
nilai nilai keseragaman irigasi, nilai keseragaman pertumbuhan dan produksi serta
nilai efisiensi penggunaan air
7.2. Saran
Perlu dikembangkan sistem yang mampu menampung budidaya sayuran secara komersial
Penggunaan prinsip bejana berhubungungan memiliki kelemahan, karena sistem baru
dapat berjalan jika tangki nutrisi bersifat vakum sehinga kapasitasnya terbatas. Untuk itu
perlu dicoba
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, H. 2009. Efisiensi Penggunaan Air pada Tiga Teknik Hidroponik untuk
Budidaya Amaranthus viridis L (Bayam) .Makalah. Biologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia: Depok.
Agustin, D. A., Riniarti dan Duryat. 2014. Pemanfaatan Limbah Gergaji dan Arang
Sekam Sebagai Media Sepih untuk Cempaka Kuning (Michelia champaka). Jurnal
Sylva Lestari Volume 2 No 3 Halaman 49-58.
Agoes, D. 1994. Berbagai Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. Penebar Swadaya:
Jakarta.
Albaho, M., B. Thomas and A. Christopher. 2008. Evaluation of Hydroponic Techniques
on Growth and Productivity of Greenhouse Grown Bel Pepper and Strawberry.
International Journal of Vegetable Science 14: 23-40.
Alexander, T. dan D. Parker. 1994 -2002. The Best of the Growing Edge. New Moon
Publishing, Inc: New York.
Allen, R. G., L. S. Pereira, D. Raes and M. Smith. 2006. Crop Evapotranspiration:
guidelines for computing crop water requirements. FAO Irrigation and Drainage
Paper No. 56: Rome.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Airan Sungai. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Ayars, J. E., C.J. Phene, R. B. Hutmacher, K. R. Davis, R. A.Schoneman, S. S.Vail and
R. M. Mead. 1999. Subsurface drip irrigation of row crops : a review of 15 years
research at the Water Management Research Laboratory. Agric. Water Manage 42
(1) 1- 27. Elsevier B. V.
Brooks, P. D., J. M. Stark., T. Preston and B. B. Mclnteer. 1989. Diffusion Method To
Prepare Soil Extracts for Automated Nitrogen 15 Analysis. Soil ScienceSociety of
America Journal.
Brouwer, C. and W. Heibloem. 1986. Irrigation Water Management: Irrigation Water
Needs. Food and Agriculture Organization. Rome.
Buck, J. S. 2008. The Use of Ground Parboiled Fresh Rice Hulls as an Alternative
Horticultural Root Subtrate Component for Containerized Greenhouse Crop
Production. University of Arkansas: United States.
Bugbee, B. 2003. Nutrient Management in Recirculating Hydroponic Culture. The South
Pasific Soilless Culture Conference: New Zealand.
Ciptaningtyas, D. 2011. Simulasi Pola Sebaran Suhu Media Tanam Arang Sekam pada
Sistem Hidroponik Substrat Dengan Menggunakan ComputationalFluid Dynamics
(CFD). Skripsi. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Defriyadi, Y. S. 2014. Pengendali Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban Pada
Rumah Kaca dengan Metode PID .Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Bengkulu:
Bengkulu.
Doorenbos, J and W. O. Pruitt. 1977. Crop Evapotranspiration: guidelines for predicting
crop water requirements. FAO Irrigation and Drainage Paper No.24: Rome.
Doorenbos, J and A. H. Kassam. 1979. Yield Respons to Water. Irrigation and Drainage
Paper Volume 33. Food and Agriculture Organization of the United Nations: Rome.
Douglas, J. S. 1985. Advance Guide to Hydroponics. Perhalm Books: London.
Dunne, T. and L. B. Leopold. 1978. Water in Enviromental Planning. W. H. Freeman and
Company: New York.
Dwiratna, Sophia, Dita Komalasari, Bambang Aris Sistanto. 2016. Modifications and
Performance Test of Autopot System Using Simple Device. Globelic International
Conference. Bandung
Edmond, J. B., A. M. Musser and F. S. Andrews. 1957. Fundamentals of Holticulture : A
Textbook Design for Courses in General Holticulture. Mc Graw Hill Book
Company Inc: Texas.
Epstein, E. 1997. The Science of Composting. CRC Press: New York.
Fah, J. 2006. Hydroponics Made Easy 2nd Edition: A Guide to Hydroponic Growing The
Revolutionary Autopot Way. Agromatic Corporation Pty Limited.
Frank, A. B., R. E. Barker and J. D. Berdahl. 1987. Water Use Efficiency of Grasses
Grown Under Controlled Andfield . Agronomy Journal 79.
Garcia-Tejero, I. F., V. H. Duran-Zuazo, J. L. Muriel-Fernandez and C. R. Rodriguez-
Pleguezuelo. 2011. Water and Sustainable Agriculture. Springer: Berlin.
Ginting, C. 2010. Analisis Pertumbuhan Selada (Lactuca sativa) Dibudidayakan Secara
Hidroponik Pada Musim Kemarau dan Penghujan. Agriplus Vol. 20No 1 Januari
2010 ISSN 0854-0128.
Hansen, V. E., W. O. Israelsen dan G. E. Stringham. 1979. Irrigation Principles and
Practices. John Wiley and Sons Inc: New York.
Hansen, V. E., W. O. Israelsen dan G. E. Stringham. 1986. Dasar-dasar dan Praktek
Irigasi. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Harris, D. 1988. Hydroponics : The Complete Guide to Gardening Without Soil. A
Practical Handbook for Beginners, Hobbyists and Commercial Growers. New
Holland Publisher: London.
Hendra, H. A. dan A. Andoko. 2014. Bertanam Sayuran Hidroponik. PT. Agromedia
Pustaka: Jakarta.
Hermansyah, R. 2015. Kajian Data Suhu Udara, Kelembaban Relatif Udara dan
Intensitas Cahaya Matahari Terhadap Perkembangan Tanaman Selada Merah
(Lactuva sativa L) di Luar dan di Dalam Rumah Kaca. Skripsi.. Fakultas Teknologi
Industri Pertanian. Universitas Padjadjaran.
James, L. G. 1988. Principle of Farm Irrigation System Design. John Wiley and Sons
Inc: Canada.
Junior, J. Benton Jones. 2005. Hydroponics: A Partical Guide for the Soilless Grower
Second Edition. CRC Press: New York
Kafkafi, U. and J. Tarchitzky. 2011. Fertigation: a Tool for Efficient Fertilizer and
Water Management. International Fertilizer Industry Association and International
Potash Institute: Paris.
Mas'ud, H. 2009. Sistem Hidroponik dengan Nutrisi dan Media Tanam Berbeda terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Selada. Media Penelitian dan Pengembangan Sulawesi
Tengah 2 (2).
Michael, A. M. 1978. Irrigation Theory and Practises Volume 2. Terjemahan. Vikas
Publishing House PVT LTD: New Delhi.
Miller, J. H. and N. Jones. 1995. Organic and Compost Based Growin Media For Tree
Seedling Nurseries. The World Bank: Washington DC.
Morimoto, Y. and Y. Hashimoto. 1991. Application of Fuzzy Logic and Neural Network
to The Process Control of Solution pH in Deep Hydroponic Culture. IFAC/ISHS
Workshop. Matsuyama, Japan.
Nisa, S. N. 2014. Uji Komparasi Media Tanam Arang Sekam dan Cocopeat pada Metode
Hidroponik Substrat Tanaman Selada Lollo Rossa. Skripsi. Fakultas Teknologi
Industri Pertanian. Universitas Padjadjaran.
Patterson, S. 2015. 7 Steps to Make an Autopots Hydroponic System. Retrieved from Do
It YourSelf: http://doityourself.com
Resh, H. M. 1985. Hydroponic Food Production. Woodbridge Press Publishing Co:
California.
Rubatzky, V. E. and M. Yamaguchi. 1997. World Vegetable : Principle, Production and
Nutritive Value 2nd Edition. Chapman and Hall: New York.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Selada dan Andewi. Kanisius: Yogyakarta.
Rosliani, R. dan N. Sumarni. 2005. Budidaya Tanaman Sayuran dengan Sistem
Hidroponik. Balai Penelitian Tanaman Sayuran: Bandung.
Savage, A. J. 1985. Hydroponics Worldwide : State of The Art in Soilless Crop
Production. Honolulu, HI: International Center for Special Studies.
Sinclair, T. R., C. B. Tanner and J. M. Bennett. 1984. Water use efficiency in crop
production. Bioscience 34.
Singh, A., N. Aggarwal, G. S. Aulakh and R. K. Hundal. 2012. Ways to Maximize Water
Use Efficiency in Field Crops. Greener Journal of Agricultural Science 2 (4).
LAMPIRAN
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Hidroponik adalah tren dalam budidaya tanaman, karena memberikan kesan baru untuk
kegiatan budidaya tanaman khususnya aneka jenis sayur yang sebelumnya terkesan ribet
dan kotor. Metode hidroponik menggunakan larutan nutrisi mineral dalam air tanpa
menggunakan tanah untuk proses pertumbuhan tanaman. Teknik hidroponik bermacam-
macam dibagi menjadi enam jenis, yaitu Wick, Deep Water Culture (DWC), Ebb dan Flow
(Flood & Drain), Drip (recovery atau nonrecovery), Nutrient Film Technique (NFT) dan
Aeroponik. Ada ratusan variasi pada sistem hidroponik, tetapi semua metode hidroponik
adalah variasi dan kombinasi dari jenis dasar (Domingues dkk, 2012). Hidroponik dengan
menggunakan self watering system atau disebut autopot system. Sistem ini merupakan
pemberian air otomatis tanpa menggunakan listrik dan pompa, Nurpilihan (2000)
berpendapat bahwa agar selalu dicarikan inovasi ataupun teknologi baru yang murah,
ramah lingkungan dan tidak memerlukan biaya tinggi agar teknologi yang diterapkan dapat
diadopsi oleh petani di pedesaaan (rural farming) ataupun dikembangkan dalam konteks
pertanian perkotaan (urban farming). Sistem ini memberikan hasil pemberian air yang
sangat efisien. Pemberian air yang mengalir pada saluran autopot dapat bersamaan diiringi
dengan pemberian nutrisi dan pupuk atau dinamakan fertigasi.
Unsur utama tanaman hidroponik dengan bantuan air, maka selain faktor lain
ketergantungan terhadap larutan nutrisi menjadi salah satu faktor penentu yang paling
penting dalam menentukan hasil dan kualitas tanaman (Toshiki, 2012). Sedangkan pada
tanaman tomat membutuhkan unsur hara makro dan mikro untuk memenuhi kebutuhan
tanaman. Dimana unsur tersebut sudah tersedia pada pupuk AB Mix yang berupa cairan
pekat antara berbagai unsur hara makro maupun mikro. Ada 2 variabel utama yang harus
dipertimbangkan dalam larutan nutrisi, yaitu konduktivias listrik / Electrical Conductivity
(EC) dan potensi ion hydrogen (pH). Konduktivias listrik / Electrical Conductivity (EC)
larutan hara dalam hidroponik dapat mewakili jumlah total garam dalam larutan nutrisi
yang juga merupakan indikator jumlah ion untuk tanaman. Nilai EC yang tinggi dapat
mengambat serapan hara dengan meningkatkan tekanan osmotik, sedangkan nilai EC yang
rendah dapat mempengaruhi kesehatan tanaman (Ibrahim dkk, 2015). Sedangkan larutan
untuk proses penanaman hidroponik tomat ceri membutuhkan nilai EC yang berbeda setiap
fase. Pada fase pertumbuhan atau vegetatif dibutuhkkan nilai EC berkisar antara 1-1,5
mS/cm. Setelah dewasa atau menjelang berbunga/berbuah yang disbut fase generatif, EC
bisa ditingkatkan sampai 2,5-5 mS/cm. Pada umumnya, angka EC lebih dari 4 akan
menimbulkan toksisitas pada tanaman (Untung, 2000). Perubahan suhu lingkungan dapat
mempengaruhi nilai Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik. Hal ini sesuai
dengan (Karsono, dkk, 2002) yang menyatakan bahwa temperatur tinggi mengakibatkan
reaksi kimia semakin cepat. Peningkatan suhu akan mengakibatkan reaksi kimia dalam
larutan semakin cepat dan pergerakan ion-ion dalam larutan aktif dan cepat. Peningkatan
ini akan megakibatkan nilai Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik semakin
meningkat
Pada tanaman tomat membutuhkan pH larutan yang direkomendasikan adalah 5,5
sampai 6,5. Perubahan tingkat pH akan berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis
tanaman, Karena CO2 mudah larut dalam air dan menurunkan pH. Karena nilai pH dapat
memberikan pengaruh terhadap aktivitas tanaman, tingkat pH dalam larutan air harus
dikontrol untuk menghindari tanaman mengalami kerusakan (Said dkk, 2015). Nilai pH
merupakan indikator yang sangat penting dalam menentukan kesuburan karena
ketersediaan unsur hara bagi tanaman sangat berkaitan dengan nilai pH nutrisi. Semakin
rendah nilai pH berarti semakin asam larutan nutrisi tersebut. Populasi dan kegiatan
mikroorganisme di dalam nutrisi juga sangat dipengaruhi oleh pH. Sutiyoso (2003)
menyatakan bahwa dalam perjalanan pertumbuhan suatu tanaman, akan terjadi perubahan
fluktuasi nilai pH.
Peningkatan suhu dalam larutan nutrisi dapat menyebabkan oksigen terlarut di
dalamnya berkurang. Daerah perakaran merupakan bagian tanaman yang paling peka
terhadap fluktuasi suhu. Kandungan oksigen yang tidak cukup mengakibatkan
permeabilitas akar terhadap air menurun dan menimbulkan terjadinya penimbunan bahan
beracun. Kondisi tersebut berakibat pada penyerapan air dan hara yang tidak cukup untuk
mendukung pertumbuhan tanaman. Dalam sistem hidroponik sangat penting untuk
menjaga stabilitas suhu larutan agar tetap optimal untuk mendukung pertumbuhan akar dan
menjaga efektivitas penyerapan hara oleh akar. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan
untuk mengetahui bagaimana pengaruh perubahan suhu lingkungan terhadap kualitas
larutan nutrisi pada sistem fertigasi autopot.
07:0006:00
waktu
35
30
rata-rata suhu
25 harian
T minimum
20
15
0 20 40 60 80 100
35
30
25
T rata-rata perjam
20
15
10
06:00
07:00
08:00
09:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
18:00
Gambar 3. Grafik Rata-rata Suhu Udara Greenhouse
RH
60
50 Rh rata-rata
40
30
20 07:0006:00
10
0
waktu
100
80
60
40
20 RH harian
RH Max RH min
0
0 50 100 150
Seperti yang ditunjukan pada grafik pada Gambar 11 rata-rata kelembaban udara
58%, kelembaban udara maksimum 100% dan kelembaban udara minimum 33%. Gardner
et al. (1991) mengemukakan tingkat kelembaban udara menentukan : 1). berbagai proses
yang berhubungan dengan pergerakan atau perpindahan air (dalam bentuk gas, cair
maupun padat, di dalam tanaman dan di luar tanaman), yakni evaporasi dan transpirasi,
translokasi hara dan hara, membuka dan menutupnya stomata. 2). pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme di lingkungan tanaman, baik yang merugikan (patogen,
penyebab penyakit) maupun yang menguntungkan. Kelembaban udara berhubungan
dengan tingkat radiasi surya sebagai sumber energi panas, sehingga berkaitan juga dengan
suhu udara. Menurut Handoko (1995) kelembaban udara merupakan fungsi dari suhu, jika
suhu udara bervariasi maka kelembaban udara juga bervariasi.
Hubungan Suhu Larutan dengan Suhu Lingkungan
Pengaruh perubahan suhu lingkungan terhadap suhu air nutrisi didapatkan untuk
mengetahui apakah ada pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu nutrisi pada autopot.
Hubungan suhu air dan suhu lingkungan dapat dilihat pada grafik berikut ini: Gambar 12.
Grafik Hubungan Suhu Air dengan Suhu Lingkungan Air adalah salah satu media yang
digunakan pada hidroponik dengan sistem autopot dengan aspek fertigasi. Air berfungsi
sebagai pengikat unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Untuk tetap menjaga suhu
larutan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman maka pengecekan suhu terus dipantau.
45
40
35
30
25
suhu
20
15
10 T lingkungan
5 T nutrisi
0
waktu
40
35
30
25
20
15
10 T Lingkungan
5 T udara
0
06:00
07:00
b. Hubungan Suhu lingkungan dan suhu larutan fase generatif
24.33
23.47
a. 29.33
26.90
Fa
30.27 se 32.30
Ve
33.80
w 31.97 ge su
ak tat hu
34.53
tu 33.50
35.90
35.10
37.03
35.07
36.20
32.87
33.10
27.63
EC 30.80
27.17
EC
27.70
25.80
25.93
25.73
b.Fase Generatif
Suhu lingkungan yang semakin meningkat setiap jamnya berpengaruh terhadap nilai
Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik pada tiap-tiap autopot setiap rak. Untuk
mengetahui hubungan suhu lingkungan dengan nilai Electrical Conductivity
(EC)/konduktivitas listrik dilakukan pengamatan pada 15 HST 22 HST dan 29 HST dimana
merupakan periode pertumbuhan atau disebut juga fase vegetatif, yang ditentukan untuk
mewakili tiap-tiap periode pertumbuhan. Dapat dilihat pada Gambar 13 a nilai EC mengalami
naik turun tiap jamnya dimana ketika suhu larutan menurun pada pukul 13:00 WIB nilai
Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik larutan nutrisi pun menurun berbanding
terbalik dengan meningkatnya suhu lingkungan, nilai Electrical Conductivity
(EC)/konduktivitas listrik suhu lingkungan mengalami penurunan menjadi 30,8°C. Nilai
Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik tertinggi rata-rata pada pukul 18.00 WIB
yaitu sebesar 2,13 , dan nilai EC terendah terjadi pada pukul 10.00 WIB yaitu mencapai 1,98
mS/cm dimana pada saat jam tersebut tanaman sedang aktif menyerap hara sehingga EC yang
didapatkan rendah. Kepekatan larutan nutrisi dipengaruhi oleh kandungan garam total serta
akumulasi ion-ion yang ada dalam larutan nutrisi. Konduktivitas listrik dalam larutan
mempengaruhi metabolisme tanaman, yaitu dalam hal kecepatan fotosintesis, aktivitas enzim
dan potensi penyerapan ion-ion oleh akar. Parameter keberhasilan dalam penyerapan nutrisi
oleh akar dapat dilihat dengan mengetahui selisih nilai EC pada awal pemberian dan setelah
aplikasi. Jika nilai EC pada awal pemberian berkurang setelah aplikasi, maka penyerapan
unsur hara pada nutrisi berjalan dengan baik. Namun sebaliknya, jika nilai EC pada awal
pemberian bertambah atau stagnan, maka penyerapan hara oleh akar terganggu. Pada fase
vegetatif pemberian nutrisi tidak lebih dari 2,5 mS/cm pada drum nutrisi dan setelah dialirkan
nilai EC yang terkandung dalam autopot cenderung berkurang hal ini berarti penyerapan unsur
hara pada nutrisi berjalan dengan baik untuk fase pertumbuhan tanaman tomat.
Berbeda pada grafik yang tertera pada Gambar 13 b dimana nilai kepekatan Electrical
Conductivity (EC)/konduktivitas listrik lebih tinggi dibanding Gambar 13 a, hal ini karena
pada kondisi fase generatif tanaman tomat membutuhkan hara lebih banyak daripada ketika
1
fase pertumbuhan guna untuk proses pembuahan pada tanaman tomat cherry sehingga EC
dinaikan menjadi kurang dari 3 mS/cm karena rentan EC yang baik menurut (Untung,2000)
adalah 2,5-5 mS/cm. Namun saat penelitian EC yang paling optimal untuk fase generatif
tanaman tomat cherry adalah kurang dari 3 mS/cm saat dialirkan ke autopot EC kepekatan EC
semakin berkurang karena adanya penyerapan unsur hara pada nutrisi oleh tanaman tomat.
Ketika pukul 12.00 WIB nilai EC mulai mengalami penurunan nilai EC minimum terjadi pada
pukul 12.00 WIB sebesar 2,28 mS/cm, dimana suhu lingkungan pada jam tersebut sedang
meningkat. Namun semakin sore ketika udara mulai lembab nilai kepekatan larutan juga
semakin meningkat.
Nilai EC pada pertumbuhan generatif berpengaruh pada pertumbuhan buah tomat dan
kadar kemanisan buah. Selain itu nilai EC sangat berpengaruh pada pertumbuhan tunas baru,
ketika fase generatif tidak hanya berpengaruh pada proses pembuahan tetapi pada batang.
Tunas lateral atau cabang sering kali muncul pada setiap antara batang tanaman tomat cherry
upaya yang dilakukan saat penelitian adalah melakukan pewiwilan rutin setiap 2 hari sekali
guna untuk membuang baik tunas maupun daun yang sudah tua bertujuan agar nutrisi yang
diserap oleh tanaman terpusat pada batang utama sehingga akan menghasilkan kualitas buah
yang baik.
2
nilai pH pada drum air dan autopot. Perubahan tersebut terjadi karena selama
pertumbuhannya, tanaman tomat cherry menyerap nutrisi dalam bentuk kation dan anion
sehingga terjadi fluktuasi pada nilai pH. Peristiwa semacam ini menunjukkan adanya pengaruh
perubahan nilai pH terhadap penyerapan nutrisi oleh tanaman tomat cherry selama hidupnya.
6.8
6.7
6.7
pH
6.6
6.6
6.5
33.10
30.80
24.33 18.93
36.20
27.70
25.93
6.5
6.4
a. Fase Vegetatif
6.4
6.4
6.3 suhu
6.3
6.2
6.2
pH
6.1
6.1
suhu lingkungan
33.50
35.07 35.10
23.47 18.53
b.
b. Fase Generatif
Data hasil pengukuran nilai pH larutan nutrisi dapat dilhat pada Gambar 13. Dari data
pengukuran pH larutan nutrisi tersebut menunjukkan bahwa pH larutan nutrisi pada autopot
cenderung mengalami fluktuasi pada setiap jam, pada talang air dengan kapasitas 1200 liter air
dengan sumber air yaitu air hujan hasil pemanenan dari atap greenhouse kualitasnya cukup
baik hanya saja sedimen yang terdapat pada atap greenhouse terbawa ke dalam talang. Untuk
mengukur tingkat keasaman dari air tersebut maka perlu menggunakan alat, yaitu pH meter.
3
Hasil pengukuran menggunakan pH meter menunjukkan bahwa pada awal pertumbuhan
tanaman tomat cherry ketika fase vegetatif pada autopot pH rata-rata berkisar 6 hingga 6,7
termasuk dalam kategori pH yang ideal, pada pukul 06.00 berkisar 6,5 ketika pukul 12.00
menurun menjadi 6,5 setiap suhu naik maka pH akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa
pada larutan nutrisi lebih banyak mengandung anion dibandingkan dengan kation. Kation
adalah ion ion yang bermuatan positif antara lain NH4+, K+ , Ca2+, Mg2+, Cu2+, Mn2+ , Mo2+, dan
Zn2+. Pada periode awal dan tengah pertumbuhan tanaman lebih banyak menyerap Anion.
Anion adalah ionion yang bermuatan negatif antara lain NO3- , PO4 2-
, SO4 2-
dan BO3 3-
.
Hal ini sesuai dengan Sutiyoso (2003) yang menyatakan dalam perjalanan pertumbuhan
tanaman mungkin akan ada perubahan pH atau pH akan mengalami naik dan turun. Misalnya
pada tanaman yang masih kecil lebih banyak menyerap anion dan ketika tumbuh besar lebih
banyak menyerap kation. Ketika fase generatif pH maksimum tanaman tomat yaitu mencapai
6,4 dan paling rendah 6,2. Perbahan pH terjadi dari berbagai faktor selain suhu diantaranya
adalah faktor dari media tanam dan air baku. Media tanam yang dipakai adalah arang sekam
dengan campuran zeolit 9:1, kandungan pH arang sekam cukup tinggi, yaitu antara 8,5 sampai
9.0 sehingga sangat baik digunakan untuk menigkatkan pH pada larutan nutrisi autopot. Pada
dasarnya jika pH terlalu rendah atau dibawah 5 dapat menyebabkan penyerapan hara yang
kurang baik oleh akar sehingga dapat menyebabkan pembusukan pada akar. Selain itu faktor
yang mempengaruhi pH adalah air baku yang baik untuk melarutkan nutrisi hidroponik adalah
air yang memiliki pH 7,0 atau netral. Air dengan pH kurang dari 7,0 bersifat asam, dan akan
lebih asam ketika nutrisi hidroponik dilarutkan. pH air akan turun setelah nutrisi ab mix
dilarutkan, hal ini disebabkan oleh kandungan unsur hara yang terdapat pada nutrisi ab mix,
terutama unsur nitrogen. pH larutan nutrisi hidroponik harus dicek sesering mungkin.
Perubahan pH larutan nutrisi ab mix berdampak langsung pada laju pertumbuhan tanaman.
Analisis Data
Model analisis regresi linear berganda ini bertujuan untuk menganalisis suhu lingkungan
(X) yang mempengaruhi EC dan pH larutan nutrisi dalam autopot pada pertumbuhan
tanaman tomat cherry. Berdasarkan hasil analisis regresi pada tabel 6 diatas menunjukan
bahwa besarnya nilai yang didapat adalah 519,11881 dan untuk koefisien regresi variabel EC
sebesar -39,949275. Koefisien untuk pH adalah sebesar -61,283818. Hasil pengujian
sebagaimana pada tabel 7 diatas menunjukan bahwa besarnya nilai F hitung 26,12216334
4
pada tingkat signifikan 0,000107029. Menunjukan bahwa suhu lingkungan dapat
mempengaruhi nilai EC dan pH larutan nutrisi dalam autopot. Berikut ini merupakan tabel
koefisien korelasi dan koefisien determinasi dari analisis regresi linier berganda pengaruh
suhu terhadap EC dan pH.
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept 519,12 77,73 6,68 5,51E-05 345,92 692,32 345,92 692,32
EC (mS/cm) -39,95 19,92 -2,005 0,073 -84,34 4,44 -84,34 4,44
pH -61,28 14,52 -4,219 0,0018 -93,64 -28,92 -93,64 -28,92
Sumber: Data primer diolah, 2018
Dapat dilihat bahwa perubahan suhu lingkungan 80,7% mempengaruhi pada variabel
EC dan pH selebihnya 19,3% adalah dari pengaruh lainnya yang tidak ada dalam model.
Nilai R square sebesar 80,7% menunjukkan bahwa perubahan EC dan pH dapat dipengaruhi
5
oleh suhu lingkungan karena perubahan suhu lingkungan cenderung mempengaruhi reaksi
kimia dalam larutan nutrisi sehingga Electrical Conductivity (EC)/konduktivitas listrik pada
larutan meningkat.
KESIMPULAN
Kenaikan suhu lingkungan mempengaruhi suhu larutan nutrisi. Semakin tinggi suhu
lingkungan maka sumakin tinggi pula suhu larutan nutrisi. Suhu tertinggi terdapat pada pukul
12.00 hingga 14.00 WIB rata-rata suhu udara maksimum 36,4 oC. Sehingga berdapak kurang
baik pada pertumbuhan tanaman tomat cherry; Nilai EC pada larutan nutrisi mengalami
fluktuasi tergantung pada suhu lingkungan yang terjadi. Semakin tinggi nilai EC maka
semakin rendah nilai pH. Namun pH yang didapat selama penelitian pada fase vegetatif
terlampau tinggi yaitu berkisar 6,8 namun pada fase generatif pH yang didapatkan cukup
optimal yaitu rata-rata 5,8.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan J dan Baharsjah J, 2010.Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. SITC, Jakarta.
Handoko. 1994. Dasar penyusunan dan aplikasi model simulasi computer untukpertanian.
Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematikadan Ilmu Pengetahuan Alam.
Institut Pertanian Bogor. 112p.
Kartapradja, R. dan D. Djuariah, 1992.Pengaruh tingkat kematangan buah tomat terhadap daya
kecambah, pertumbuhan dan hasil tomat.Buletin Penelitian Hortikultura Vol XXIV/2.
Salisbury F dan Ross C. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid II. ITB, Bandung
Susila, A.D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Agroforestry and Sustainable
Vegetable Production in Southeast Asian Wathershed Project.SANREM-CRSP-
USAID.131 hal.
6
Yamaguci M. 1983. World vegetables : principle, production and nutritive values. AVI
Publishing company, Inc. Westport, Connecticut.