Anda di halaman 1dari 154

Buku Rencana Strategis (Renstra)

Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Tahun 2020-2024

Diterbitkan oleh:
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Gedung Kantor Slamet Bratanata,
Jl. Pegangsaan Timur no.1, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, 10320
Telp. (021) 39830077, email: ebtke@esdm.go.id

Dicetak:
Jakarta, April 2020
Kata Pengantar

K etersediaan energi merupakan prasyarat dalam pem-


bangunan nasional. Seiring dengan meningkatnya taraf
hidup masyarakat dan pertumbuhan ekonomi maka kebutuhan
energi semakin besar, diantaranya mengakibatkan konsumsi
listrik nasional semakin meningkat sehingga tren konsumsi
menyerupai negara maju. Dalam perspektif suplai energi, ada
beragam pilihan energi untuk memenuhi konsumsi listrik,
namun rata-rata yang tersedia masih berbasis fosil hal ini
disebabkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil masih
sangat tinggi. Sedangkan energi terbarukan yang lebih ramah
lingkungan, masih memiliki porsi yang lebih kecil dalam Bauran
Energi Nasional. Hal ini memberikan gambaran bahwasanya
pengembangan Energi Terbarukan masih menjanjikan.
Dalam menyeimbangkan laju ketersediaan energi dengan kebutuhan energi di masyarakat,
tentunya menjadi kewajiban Pemerintah untuk dapat meningkatkan peran pemanfaatan Energi
Baru Terbarukan sebagai solusi penyediaan energi yang ramah lingkungan. Peran pemerintah
dalam hal melakukan transisi dengan menggunakan energi EBT memiliki tantangan besar dengan
kondisi geografis Indonesia akan tetapi kondisi tersebut juga memiliki potensi yang besar dalam
pengembangan energi terbarukan untuk masa yang akan datang. Salah satu tantangan tersebut
mulai dari keterbatasan lahan terbuka untuk pemanfaatan energi dari solar PV ataupun biaya
investasi yang tinggi untuk pemanfaatan dan pengembangan teknologi baru dan terbarukan yang
lebih bertahan lama/sustainable.
“Komitmen pemerintah dalam rangka memperluas pemanfaatan energi baru terbarukan yaitu
dengan menciptakan kebijakan pertumbuhan berbasis produktivitas dan inovasi. Pemerintah
serius dalam melaksanakan Program Mandatori B30, ini salah satu prioritas pengembangan EBT
sekaligus pencapaian target bauran EBT nasional dan penurunan emisi gas rumah kaca”.
Peranan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi yaitu mendorong
penurunan Emisi CO2 sebagaimana komitmen nasional dalam penurunan emisi (sesuai UU
Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to UNFCC dan Perpres Nomor 61
Tahun 2011 tentang RAN-GRK) dengan capaian semester I 46,7 Juta Ton CO2 dari Target 48,8
Juta Ton CO2 di Tahun 2019.
Tantangan bidang Energi Baru Terbarukan memang bukan hal mudah, namun pemerintah juga
telah menyiapkan langkah-langkah untuk mewujudkan program tersebut antara lain:
1. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015, dimulai Januari 2020 akan
diimplementasikan B30 untuk seluruh sektor. Selain itu terdapat pula rencana pengembangan
uji coba biodiesel sebagai pengganti solar fosil dengan teknologi pengembangan B100 yang
mengandung 100% bahan alami tanpa dicampur BBM. Pengembangan tersebut merupakan
salah satu peluang untuk penghematan devisa sehingga ke depannya diharapkan Indonesia
tidak lagi bergantung pada impor BBM.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


i
2. Dalam rangka melaksanakan pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Bioetanol sesuai
Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 direncanakan implementasi pencampuran
Bahan Bakar Minyak RON 92 di Jawa Timur.
3. Dalam rangka tindak lanjut atas Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang
Percepatan program Pembangunan PLTSa, terdapat 12 kota yang telah dipilih sebagai awal
pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah
lingkungan. Saat ini pemerintah telah membentuk tim task force yang bertugas memastikan
seluruh proyek percepatan pengembangan PLTSa di 12 kota agar dapat COD tepat waktu.
Kementerian ESDM juga bertugas untuk melakukan formulasi harga pembelian listrik yang
tepat sehingga nantinya bisa digunakan sebagai dasar Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL)
antara PLN dan pengembang. Harapannya pembangunan PLTSa memberikan dapat
memperbesar porsi bauran EBT PLN, yang ditargetkan mencapai 23% pada 2025, serta ikut
berkontribusi dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan
sehat.
4. Terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN yang baru disosialisasikan oleh
Kementerian ESDM. Payung hukum tersebut memudahkan masyarakat (baik perkantoran
maupun perumahan) untuk memasang jajaran panel surya pada atap, dinding, atau bagian
luar gedung lainnya sehingga masyarakat juga bisa membayar tagihan listrik lebih murah
melalui mekanisme “ekspor-impor” listrik dengan PLN.
5. Dalam hal mewujudkan tata kelola investasi, proses bisnis berupa pengurusan izin dan
persyaratan operasi pengusahaan yang semula terpisah dari setiap unit dan menghambat
proses pelayanan investasi, diperbaiki dengan cara pemangkasan birokrasi. Baru-baru ini
ESDM meresmikan Aplikasi Perizinan Online ESDM yang terintegrasi dengan data sumber
daya alam, operasional, produksi, pemasaran/penjualan setiap jenis energi. Aplikasi ini
telah mampu terintegrasi dengan 56 perizinan layanan dari total 70 layanan yang harus
disiapkan, dan telah terintegrasi dengan Online Single Submission (OSS) dan Konfirmasi
Status Wajib Pajak (KSWP) Ditjen Pajak. Dengan sistem ini, para pelaku usaha akan lebih
mudah, terpusat dan cepat dalam melakukan pengurusan perizinan.
Rencana Strategis Direktorat Jenderal EBTKE Tahun 2020-2024 disusun bukan hanya untuk
menetapkan target pengembangan sektor EBTKE, akan tetapi juga menetapkan langkah-
langkah strategi dan arah kebijakan untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Renstra Ditjen
EBTKE dapat dijadikan panduan bagi Pemerintah baik Pemerintah Pusat dan Daerah, maupun
pihak swasta dan stakeholders lainnya yang terlibat dalam pengembangan EBTKE supaya
program-program yang telah dan akan ditetapkan dapat berjalan secara berkesinambungan dan
berkelanjutan.

Ja
Jaka
k rta,
Jakarta, April 2020
Diirreekt
D ktur Jenderal EBTKE
Direktur

F.X
F. X.. Sutijastoto
F.X. Su

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


ii
Daftar Isi
halaman
Kata Pengantar .......................................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................................... iii
Daftar Gambar ........................................................................................................................... v
Daftar Tabel ............................................................................................................................... vi
Daftar Singkatan ........................................................................................................................ viii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1


A. LATAR BELAKANG...................................................................................................... 1
B. KONDISI UMUM DAN CAPAIAN DIREKTORAT JENDERAL EBTKE ............. 2
1. Kondisi Umum ......................................................................................................... 3
2. Capaian Kinerja ....................................................................................................... 27
3. Capaian Regulasi ..................................................................................................... 30
4. Tata Kelola Energi Baru dan Terbarukan ............................................................ 32

C. POTENSI PENGEMBANGAN SEKTOR EBTKE ..................................................... 37


1. Potensi pengembangan Panas Bumi ................................................................... 37
2. Potensi pengembangan Bioenergi ........................................................................ 38
3. Potensi pengembangan Aneka EBT ..................................................................... 45
4. Potensi penurunan emisi CO2 Konservasi Energi ............................................. 32

D. TANTANGAN SEKTOR EBTKE ................................................................................. 46


1. Tantangan pengembangan PLT Panas Bumi ..................................................... 46
2. Tantangan pengembangan Bidang Bioenergi ..................................................... 49
3. Tantangan pengembangan Bidang Aneka EBT ................................................. 53
4. Tantangan Bidang Konservasi Energi ................................................................. 55
5. Tantangan Bidang Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBT ....... 56

BAB II VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS ......................................... 59


A. VISI ................................................................................................................................. 59
B. MISI ................................................................................................................................ 60
C. NILAI-NILAI ORGANISASI ..................................................................................... 60
D. TUJUAN ........................................................................................................................ 61
E. SASARAN STRATEGIS ............................................................................................... 62

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


iii
BAB III ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, REGULASI, DAN KERANGKA
KELEMBAGAAN ............................................................................................................ 65
A. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL ................................................. 68
1. Agenda Pembangunan 1 : Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk
Pertumbuhan yang Berkualitas ............................................................................. 69
2. Agenda Pembangunan 2 : Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi
Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan ............................................................ 71
3. Agenda Pembangunan 5 : Memperkuat Infrastruktur Mendukung
Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar ................................................. 71
4. Agenda Pembangunan 6 : Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan
Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim .......................................................... 73

B. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEMENTERIAN ........................................ 74


1. Agenda Pembangunan 1 : Memperkuat Ketahanan Ekonomi
untuk Pertumbuhan yang Berkualitas ................................................................. 74
2. Agenda Pembangunan 2 : Mengembangkan Wilayah untuk
Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan ..................................... 80
3. Agenda Pembangunan 5 : Memperkuat Infrastruktur Mendukung
Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar ................................................. 80
4. Agenda Pembangunan 6 : Membangun Lingkungan Hidup,
Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim ............................... 85

C. KERANGKA REGULASI .............................................................................................. 86

D. KERANGKA KELEMBAGAAN ................................................................................... 87


1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Energi dan Sumber Daya Mineral .................. 87
2. Struktur Organisasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ............. 88
3. Arah Kebijakan Kelembagaan Kementerian ESDM ........................................... 90
4. Pengelolaan Sumber Daya Aparatur (SDA)......................................................... 91

BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN ..................................... 121

A. TARGET KINERJA ....................................................................................................... 121

B. KERANGKA PENDANAAN......................................................................................... 139

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


iv
Daftar Gambar
halaman
Gambar 1. Perkembangan Energi Baru Terbarukan ............................................................ 3
Gambar 2. Kapasitas Pembangkit EBT ................................................................................. 4
Gambar 3. Optimalisasi PNBP Energi Terbarukan .............................................................. 5
Gambar 4. Statistik Capaian Pengembangan Energi Panas Bumi ....................................... 8
Gambar 5. Peta Wilayah Kerja Panas Bumi .......................................................................... 9
Gambar 6. Realisasi Implementasi Biodiesel ....................................................................... 13
Gambar 7. Kapasitas terpasang PLT Bioenergi .................................................................... 16
Gambar 8. Produksi Biogas ................................................................................................... 19
Gambar 9. Konsumsi Energi per Sektor Tahun 2006-2018 ................................................. 20
Gambar 10. Intensitas Energi Primer (IEP) dan Energi Final (IEF) ..................................... 21
Gambar 11. Grafik capaian kapasitas tenaga air .................................................................... 24
Gambar 12. Grafik capaian kapasitas tenaga surya ................................................................ 25
Gambar 13. Peningkatan Kapasitas Infrastruktur Energi Terbarukan .................................. 26
Gambar 14. Penyebaran Lampu Tenaga Surya Hemat Energi Tahun 2019 .......................... 27
Gambar 15. Alur Tata Kelola Direktorat Panas Bumi ............................................................ 35
Gambar 16. Tata kelola Direktorat Bioenergi ......................................................................... 36
Gambar 17. Tata Kelola Direktorat Aneka EBT ...................................................................... 37
Gambar 18. Peta potensi energi surya Indonesia (P3TKEBTKE, KESDM, 2017) ................. 42
Gambar 19. Peta Potensi Energi Angin Indonesia (Sumber : RUEN) ................................... 45
Gambar 20. Flores Geothermal Island .................................................................................... 65
Gambar 21. Skema Microgrid PLT Hybrid ............................................................................ 79
Gambar 22. Peta PLTSa ........................................................................................................... 81
Gambar 23. Struktur Organisasi Kementerian ESDM ........................................................... 88
Gambar 24. Konseptual Model Tingkatan Risiko selama Pengembangan Panas Bumi
(modifikasi ESMAP Geothermal Handbook, World Bank, 2012,
Robertson-Tait et al. 2015).................................................................................. 94
Gambar 25. Pola Pikir usulan insentif pengembangan panas bumi ...................................... 101
Gambar 26. Aturan Pelaksanaan Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBTKE ... 108

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


v
Daftar Tabel
halaman
Tabel 1. Daftar Wilayah Kerja Panas Bumi di Indonesia ....................................................... 11
Tabel 2. Pentahapan Mandatori Pemanfaatan BBN dalam Permen ESDM No. 12/2015 ..... 14
Tabel 3. Implementasi pengembangan PLT Bioenergi .......................................................... 15
Tabel 4. Kapasitas Pembangkit Listrik Bioenergi 2014 s.d. semester 1 Tahun 2019 ............ 17
Tabel 5. Target NDC Indonesia............................................................................................... 23
Tabel 6. Capaian Indikator Kinerja Ditjen EBTKE Tahun 2015-2019................................... 28
Tabel 7. Regulasi Subsektor EBTKE yang Dicabut ................................................................ 30
Tabel 8. Perizinan/Non Perizinan terkait Subsektor EBTKE yang Dicabut .......................... 30
Tabel 9. Tabel alur proses pengusahaan panas bumi............................................................. 32
Tabel 10. Tabel alur proses pengusahaan PLTBm dan PLTBg ................................................ 33
Tabel 11. Tabel alur proses pengusahaan PLT Bioenergi (Excess Power) .............................. 33
Tabel 12. Tabel alur proses pengusahaan PLTSa ..................................................................... 34
Tabel 13. Tabel alur proses pengusahaan Bahan Bakar Nabati ............................................... 34
Tabel 14. Tabel alur proses pengusahaan PLT Aneka EBT ...................................................... 35
Tabel 15. Tabel Sumber Daya Panas Bumi di Indonesia (Badan Geologi, 2019) .................... 37
Tabel 16. Potensi Bioenergi per Provinsi.................................................................................. 39
Tabel 17. Potensi Bioenergi per Komoditas ............................................................................. 40
Tabel 18. Potensi Tenaga Air per Provinsi di Indonesia .......................................................... 40
Tabel 19. Potensi Mini dan Mikrohidro ................................................................................... 41
Tabel 20. Potensi Teknis Surya Per Provinsi ............................................................................ 43
Tabel 21. Potensi Angin Per Provinsi ....................................................................................... 45
Tabel 22. Potensi penurunan emisi CO2 sektor energi ............................................................. 46
Tabel 23. Kondisi Sumber Daya Aparatur berdasarkan Golongan .......................................... 91
Tabel 24. Kondisi Sumber Daya Aparatur berdasarkan Tingkat Pendidikan ......................... 92
Tabel 25. Proyeksi Sumber Daya ASN tahun 2020-2024 ........................................................ 92
Tabel 26. Kerangka Regulasi Direktorat Bioenergi .................................................................. 104
Tabel 27. Summary RPJM Ditjen EBTKE Tahun 2020-2024 ................................................. 121
Tabel 28. Sasaran Strategis, Indikator dan Target Kinerja Direktorat Jenderal EBTKE,
Kementerian ESDM 2020-2024 ............................................................................... 122
Tabel 29. Indikator dan Target Kinerja Indeks Kemandirian Energi ...................................... 123
Tabel 30. Indikator dan Target Kinerja Indeks Ketahanan Energi sektor EBTKE ................. 125
Tabel 31. Indikator dan Target Kinerja Optimalisasi kontribusi Sektor ESDM
yang bertanggung jawab ........................................................................................... 127

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


vi
Tabel 32. Indikator dan Target Kinerja Indeks Kepuasan Layanan Sektor ESDM ................. 129
Tabel 33. Indikator dan Target Kinerja Sasaran Strategis Pengawasan, Pengendalian,
Monitoring & Evaluasi sektor ESDM yang efektif .................................................... 132
Tabel 34. Indikator dan Target Kinerja Sasaran Strategis Terwujudnya birokrasi yang
efektif, efisien, dan berorientasi pada layanan prima .............................................. 134
Tabel 35. Indikator dan Target Kinerja Indikator Nilai Evaluasi Kelembagaan ..................... 138
Tabel 36. Indikator dan Target Kinerja Indeks Profesionalitas ASN ...................................... 139
Tabel 37. Indikator dan Target Kinerja Sasaran Strategis Pengelolaan Sistem Anggaran
yang Optimal ............................................................................................................. 139

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


vii
Daftar Singkatan
3T : Terluar, Terdepan, Tertinggal
AKIP : Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APIP : Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
BBM : Bahan Bakar Minyak
BBN : Bahan Bakar Nabati
BU : Badan Usaha
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CO2 : Karbon Dioksida
COD : Commercial Operation Date
CPO : Crude Palm Oil
DAK : Dana Alokasi Khusus
DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
Ditjen : Direktorat Jenderal
EBT : Energi Baru dan Terbarukan
EBTKE : Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral
FAME : Fatty Acid Methyl Ester
FEED : Front End Engineering Design
FGD : Focus Group Discussion
FSA : Facility Sharing Agreement
GCB : Generator Circuit Breaker
GRK : Gas Rumah Kaca
IGA : Investment Grade Energi Audit
IKU : Indikator Kinerja Utama
IPP : Independent Power Producer
JCM : Joint Crediting Mechanism
KK : Kartu Keluarga
KL : Kilo Liter
Km : Kilometer
KPI : Key Performance Indicator
KSP : Kantor Staf Kepresidenan
LAKIN : Laporan Kinerja
LHKASN : Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara
LHKPN : Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


viii
LP2P : Laporan pajak-pajak pribadi yang wajib disampaikan Pegawai Negeri Sipil
Pusat
LTSHE : Lampu Tenaga Surya Hemat Energi
MW : Mega Watt
Off grid : Sistem terpisah jaringan PLN/Menghasilkan Listrik Sendiri
On grid : Terkoneksi Jaringan PLN
PAN dan RB : Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
PDB : Product Domestic Bruto
PIUPTL : Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
PJB : Perjanjian Jual Beli
PJU-TS : Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya
PK : Perjanjian Kinerja
PLT : Pembangkit Listrik Tenaga
PLTA : Pembangkit Listrik Tenaga Air
PLTB : Pembangkit Listrik Tenaga Bayu
PLTBg : Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
PLTM : Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro
PLTMH : Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
PLTP : Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
PLTS : Pembangkit Listrik Tenaga Surya
PLTSa : Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak
PNS : Pegawai Negeri Sipil
POME : Pelaporan Online Manajemen Energi
PP : Peraturan Pemerintah
PPA : Power Purchase Agreement
PSO : Public Service Obligation
PT KAI : PT Kereta Api Indonesia
PT PLN (Persero) : PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
RAN-GRK : Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
RB : Reformasi Birokrasi
RE : Rasio Elektrifikasi
Renstra : Rencana Strategis
RKAB : Rencana Kerja dan Anggaran Biaya
RKP : Rencana Kerja Pemerintah
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJPN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
SAKIP : Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


ix
Satker : Satuan Kerja
SBM : Standar Biaya Miliar
SDA : Sumber Daya Alam
SDM : Sumber Daya Manusia
SLO : Sertifikat Laik Operasi
TOE : Tonne of Oil Equivalent
TKDN : Tingkat Kandungan Dalam Negeri
TNI : Tentara Nasional Indonesia
UKL/UPL : Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup
UU : Undang-Undang
URC : Unit Rated Capacity
WBBM : Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani
WBK : Wilayah Bebas Korupsi
WK : Wilayah Kerja
WKP : Wilayah Kerja Panas Bumi
WTP : Wajar Tanpa Pengecualian

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


x
BAB I
Pendahuluan
BAB I
Pendahuluan

A. LATAR BELAKANG
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa
guna mencapai tujuan bernegara. Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional
tersebut, diperlukan adanya perencanaan pembangunan nasional yang ditujukan agar
kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan tepat sasaran. Selanjutnya, agar dapat
disusun perencanaan pembangunan nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan
Negara maka diperlukan adanya sistem perencanaan pembangunan nasional, sebagaimana
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Undang-undang tersebut mendefinisikan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah,
dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
Pusat dan Daerah.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) selanjutnya dituangkan ke dalam


4 (empat) tahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) dengan periode
perencanaan pada setiap tahapannya adalah selama 5 (lima) tahun. Dalam pentahapan
RPJPN tersebut, RPJMN Tahun 2020-2024 merupakan tahap IV pencapaian Visi dan
Misi pembangunan nasional. Tahap IV RPJMN ini bertujuan untuk lebih memantapkan
pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan
kompetitif perekonomian yang berbasis pada sumberdaya alam yang tersedia, sumberdaya
manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rancangan pembangunan RPJMN 2020-2024 Perpres Nomor 18/2020 tentang RPJM


Nasional Tahun 2020-2024 disusun dengan metode Teknokratik yang berdasar pada
kerangka berpikir ilmiah untuk menganalisis kondisi obyektif dengan mempertimbangkan
beberapa skenario pembangunan. Tema dan agenda pembangunan yaitu “Indonesia
Berpenghasilan Menengah – Tinggi yang sejahtera, adil dan berkesinambungan”. Dalam
hal mendukung rencana pembangunan yang dimaksud, 7 Agenda Pembangunan RPJMN IV
tahun 2020-204 yaitu:
1. Memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas.
2. Mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan.
3. Meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
4. Membangun kebudayaan dan karakter bangsa.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


1
5. Memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan
dasar.
6. Membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim.
7. Memperkuat stabilitas polhukhankam dan transformasi pelayanan publik.

Dalam hal mendukung RPJMN tersebut, Kementerian ESDM, dalam hal ini Direktorat
Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) menetapkan Rencana
Strategis Direktorat Jenderal EBTKE Tahun 2020-2024 yang berisi capaian dan tantangan
pada periode 2015-2019, sasaran strategis, arah kebijakan, target kinerja, serta kerangka
pendanaan pada sektor EBTKE.

B. KONDISI UMUM DAN CAPAIAN DIREKTORAT JENDERAL EBTKE


Pada periode 2015-2019, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) memiliki
visi pembangunan nasional yaitu dengan mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri,
dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Dalam mewujudkan visi tersebut, KESDM
khususnya Direktorat Jenderal EBTKE menetapkan delapan sasaran strategis dengan empat
tujuan utama. Delapan sasaran strategis tersebut yaitu:
1. Meningkatkan alokasi energi domestik
2. Meningkatkan akses dan infrastruktur energi
3. Meningkatkan diversifikasi energi
4. Menignkatkan efisiensi energi dan pengurangan emisi
5. Mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor EBTKE
6. Meningkatkan investasi sektor ESDM
7. Mewujudkan manajemen dan sumber daya manusia yang professional
8. Meningkatkan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi

Delapan sasaran strategis tersebut memiliki tujuan untuk dapat mewujudkan tujuan sebagai
berikut:
a) Terjaminnya penyediaan energi dan bahan baku domestik
b) Terwujudnya optimalisasi peneimaan negara sektor EBTKE
c) Terwujudnya peningkatan investasi sektor EBTKE
d) Terwujudnya manajemen dan sumber daya manusia yang professional serta
meningkatkan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan berdampak pada
meningkatny kualitas layanan sektor EBTKE.

Beberapa arah dan kebijakan yang disusun dan dilakukan Direktorat Jenderal EBTKE dalam
mencapai sasaran strategi dan tujuan utama yaitu:
• Meningkatkan peranan energi baru terbarukan dalam bauran energi seperti: i) insentif
dan harga yang tepat untuk mendorong investasi, ii) pemanfaatan aneka energi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


2
terbarukan dan bioenergi untuk pembangkit listrik dan iii) pemanfaatan bahan bakar
nabati.
• Meningkatkan aksesibilitas: penyediaan listrik untuk pulau-pulau dan desa-desa
terpencil termasuk desa nelayan dalam bentu energi surya dan atau energi terbarukan
lainnya.
• Meningkatkan efisiensi dalam penggunaan energi: i) kampanye hemat energi, ii)
pengembangan insentif dan mekanisme pendanaan untuk pembiayaan dalam upaya
mewujudkan efisiensi energi, iii) peningkatan kemampuan teknis manajer dan auditor
energi, iv) peningkatan peran dan kapasistas perusahaan dalam layanan energi
(ESCO), v) pengembangan penggunaan sistem dan teknologi hemat energi di industri,
vi) optimalisasi instrumen kebijakan konservasi energi (PP Nomor 70/2009 tentang
konservasi energi).
• Memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk PLT EBT, diantaranya: i) insentif untuk
percepatan pembangunan PLT EBT, yaitu dispensasi pemanfaatan kawasan hutan dan
daerah khusus lainnya untuk pembangunan PLT EBT, pengaturan harga jual listrik dan
penyediaan lahan, ii) penyederhanaan regulasi dan dokumen persyaratan perizinan
pembangunan PLT EBT.

Penjabaran kondisi umum dan capaian Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan
Konservasi Energi periode tahun 2015-2019 terbagi dalam empat kategori diantaranya,
kondisi umum Ditjen EBTKE, capaian kinerja, capaian regulasi dan tata kelola Energi Baru
Terbarukan.

1. Kondisi Umum

Perkembangan 76 Kontrak EBT terdiri dari:


Energi Terbarukan Sampah 1 Unit

76
5 MW Biogas 6 Unit
76 kontrak EBT ditandatangani %)
(0,3%) 10,8 MW SSurya 6 Unit
sejak 2017 s.d 2019 (0,7%) 445 MW
Biomass 6 Unit
nitt ((2,8%)
42,4 MW
W
(2,7%)
%) Panas Bumi 1 Unit
86 MW
(5,4%)
Minihidro 51 Unit
1.591 MW 297,84 MW

14 14
(18,72%)

Hidro 5 Unit
1.104 MW
1.251 MW (69,39%)

1.829 MW 116 MW

Gambar 1. Perkembangan Energi Baru Terbarukan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


3
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi berkomitmen
secara berkelanjutan untuk dapat mewujudkan energi ramah lingkungan di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari progres perkembangan energi baru terbarukan
dengan meningkatkan kontrak pembangunan infrastruktur yang terdiri dari
PLT Panas Bumi, Minihidro, Hidro, Surya, Biogas, Biomass dan Sampah. Dalam
penerapannya tersebut, pemerintah berupaya semaksimal mungkin untuk dapat
menyediakan akses energi ramah lingkungan dalam kapasitas yang cukup besar
pada tahun 2019 (lihat Gambar 1). 76 kontrak EBT yang ditandatangani sejak tahun
2017 sampai dengan tahun 2019 memiliki total kapasitas terpasang sebesar 1.591
MW yang terdiri dari 5 unit PLTSa, 6 unit PLT Biomass, 6 unit PLT Biogas, 6 unit
PLT Surya, 1 unit PLT Panas Bumi, 51 unit PLT Minihidro, dan 5 unit PLT Hidro.

Peran pemerintah dalam mewujudkan energi ramah lingkungan dengan


meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk mendapatkan listrik dapat dilihat
pada gambar 2 dengan meningkatnya besaran total nilai kapasitas terpasang
pembangkit listrik EBT dari tahun 2014 sampai dengan 2019. Pada gambar 2
menjelaskan, PLT Panas Bumi memiliki peningkatan terbesar dalam hal penyediaan
kapasitas terpasang pembangkit EBT sebesar 727 MW sejak tahun 2014, yang diikuti
PLT Aneka EBT sebesar 554 MW, dan PLT Bioenergi sebesar 487 MW yang tersebar
di seluruh Indonesia.

Kapasitas Pembangkit EBT Kapasitas terpasang PLTS, PLTB PLTMH (MW)


PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), PLTMH (Pembangkit Listrik

Terus Meningkat Tenaga Mikrohidro), PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin)

Rencana penambahan 190 MW pembangkit 753,3 766,6


EBT tahun 2019: 576,3
55 80
396,7
Lumut Balai Muara Laboh 351,9
Realisasi

MW MW
212,4 273,7
Target

45 Sorik Marapi 10 Sokoria


MW MW
2014 2015 2016 2017 2018 2019
Kapasitas terpasang Pembangkit
Panas Bumi (MW) Kapasitas terpasang PLT Bioenergi (MW)
2.138,3 2.130,7 Pembangkit Listrik Tenaga Bioenergi (Biomassa, Biogas, PLTSa
dan Biofuel) sebagian besar merupakan PLT off-grid
1.948,3
1.881,9
1.889,8
1.808,3
1.882,8
1.533,3 1.856,8
1.438,3 1.783,1
1.403,3 1.741,7
Realisasi

Realisasi
Target

1.402,7
Target

2014 2015 2016 2017 2018 2019


2014 2015 2016 2017 2018 2019

Gambar 2. Kapasitas Pembangkit EBT

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


4
Peningkatan yang signifikan pada sektor panas bumi tidak lepas dari peran penentu
arah kebijakan dalam hal mendukung regulasi yang dapat menguntungkan seluruh
kalangan terutama dalam hal regulasi dan perizininan (dapat dilihat pada pencapaian
regulasi). Proses tersebut juga meningkatkan iklim investasi di sektor panas bumi
sehingga memungkinkan dapat menarik bertambahnya calon investor baik di dalam
maupun luar negeri. Selain itu, peningkatan dan harmonisasi kebijakan dan peraturan
perundang-undangan dan turunannya di bidang panas bumi sudah dilakukan dan terus
dievaluasi sesuai dengan kondisi lingkungan terkini sehingga dapat diimplementasikan.
Ditambah lagi, pemberian insentif fiskal untuk pengembang yang dapat mempermudah
kegiatan percepatan proses pengembangan dan pembangunan panas bumi. Selanjutnya
di masa depan, sektor panas bumi dalam hal penyediaan kapasitas terpasang dapat
menjadi sektor penting di penyediaan Energi Baru Terbarukan sebagai komitmen
pemerintah Indonesia untuk menyediakan energi bersih dan ramah lingkungan.

Optimalisasi PNBP Energi Terbarukan


Target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) energi terbarukan
tahun 2019 sebesar Rp. 880 M, realisasi Rp 1.930 M.

Satuan: Miliar Rp 2.280


1.930

833
932 933 880
756 700
350
Target Realisasi Target Sem-I
Realisasi

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Gambar 3. Optimalisasi PNBP Energi Terbarukan

Energi Panas Bumi merupakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Hingga
triwulan IV 2019 Kapasitas terpasang dari energi panas bumi di Indonesia sudah
sebesar 2130,7 MW atau peringkat kedua dari seluruh dunia. Dari energi panas bumi
dapat berkontribusi untuk menyediakan tenaga listrik yang membantu elektrifikasi di
Indonesia. Selain berperan dalam kelistrikan, dari hasil produksi tersebut, energi panas
bumi juga berperan besar menyumbang PNBP terhadap Negara Indonesia. Hal itu
tercermin dari Realisasi PNBP sejak Tahun 2014 sampai dengan Triwulan IV Tahun
2019 sebesar Rp 7,7 Triliun.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


5
Pada Tahun 2014, realisasi PNBP dari energi panas bumi sebesar Rp 756 Miliar atau 160%
dari target APBN. Tingginya realisasi ini disebabkan adanya percepatan COD PLTP Ulubelu
dan PLTP Lahendong. Pada Tahun 2015, realisasi PNBP dari energi panas bumi sebesar
Rp 833 Miliar atau sebesar 156% dari target APBN TA 2015. Tingginya realisasi disebabkan
adanya kenaikan produksi dari PLTP Lahendong dan adanya kenaikan kurs. Pada Tahun
2016, realisasi PNBP dari energi panas bumi sebesar Rp 932 Miliar atau 152% dari APBN TA
2016. Tingginya realisasi disebabkan adanya Adanya setoran atas hasil Audit BPKP tahun
2013 s.d. 2014 sebesar Rp 169 Milyar, Kenaikan Harga Jual Listrik PLTP Wayang Windu
sejak April tahun 2016, 2 PLTP mencapai COD lebih cepat dari rencana yaitu PLTP Ulubelu
unit 3 (55 MW, COD: Juli 2016) dan PLTP Lahendong Unit 5 (20 MW, COD: September
2016).Pada Tahun 2017, realisasi PNBP dari energi panas bumi sebesar Rp 933 Miliar atau
143% dari target APBN. Tingginya realisasi disebabkan PLTP Kamojang Unit 3 kembali
beroperasi normal lebih cepat setelah major overhaul, PLTP Ulubelu Unit 4 COD lebih
cepat pada bulan Maret 2017 (target awal: Juni 2017) dan rendahnya realisasi OPEX akibat
penundaan program pengeboran di JOC Wayang Windu. Pada Tahun 2018, realsasi PNBP
melonjak mencapai Rp 2,28 Triliun, begitu tingginya realisasi ini disebabkan karena:
1. Rendahnya realisasi biaya operasi (Opex) antara lain adanya penundaan kegiatan
pengeboran 3 sumur make up (anggaran USD 30 Juta) yang dilaksanakan pada
Triwulan IV 2018 dan 2019;
2. Adanya biaya claim insurance pengeboran pada area Wayang Windu sebesar USD
11 Juta;
3. Realisasi reimbursement PPN hanya sebesar 69% dari rencana Rp 802 Milyar
4. Tambahan penerimaan sebesar Rp 600 Milyar dari Pencadangan PPN
Reimbursement Tahun 2015 dan 2016 yang tidak terealisasi;
5. Adanya setoran atas hasil audit BPKP sebesar Rp 49 Milyar;
6. Penugasan 8 WKP kepada PT PLN pada tahun 2018.
7. Adanya kenaikan kurs dari asumsi APBN sebesar Rp 13.800 menjadi sekitar Rp
14.500

Pada Tahun 2019, PNBP Panas Bumi ditargetkan Rp 878 Miliar, dan hingga Triwulan
IV realisasi sebesar Rp 1.93 Triliun atau 219% dari target. Prognosa Tahun 2019 sebesar
Rp 985 Miliar. Dilihat dari data-data tersebut, dapat dikatakan bahwa target PNBP
Panas Bumi selalu di atas target dan begitu berkontribusi dalam penerimaan Negara
di Indonesia. Realisasi yang selalu di atas target rata-rata disebabkan karena adanya
efisiensi biaya operasional oleh badan usaha.

Sektor Panas Bumi


Panas bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air,
serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


6
dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi. Panas bumi merupakan salah satu energi
terbarukan yang ramah lingkungan dan akan menjadi energi yang berkelanjutan apabila
sistem panas bumi dikelola dengan baik.

Indonesia patut memanfaatkan potensi energi panas bumi sebagai salah satu penunjang
kebutuhan energi industri dan rumah tangga. Indonesia sebagai salah satu negara
dengan populasi terbanyak di dunia memiliki kebutuhan energi yang setiap tahun
terus bertumbuh. Kepulauan Indonesia secara geografis terletak di wilayah pertemuan
antara Lempeng Benua Eurasia (Eropa-Asia), Lempeng Hindia-Australia, dan Lempeng
Samudra Pasifik. Pertemuan lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng
benua mengakibatkan adanya aktivitas tektonik yang menyebabkan pembentukan
rangkaian gunung api aktif yang tersebar sepanjang Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi
hingga ke Maluku serta kemunculan jalur-jalur pegunungan dan sesar-sesar aktif. Zona
ini merupakan tempat yang ideal untuk pembentukan sistem panas bumi. Sistem gunung
api ini ditemukan di banyak tempat di dunia dan panas bumi menjadi salah satu sumber
energi terbarukan yang sedang intensif dikembangkan baik untuk pembangkitan tenaga
listrik maupun untuk pemanfaatan langsung.

Proyeksi pengembangan energi panas bumi ditargetkan mencapai 7,2 GW (Gigawatt)


pada 2025 dan 17,6 GW pada tahun 2050 dalam menunjang kebutuhan listrik. Panas
Bumi menjadi salah satu kontributor yang memerlukan kapasitas pembangkit cukup
banyak. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memformulasikan keharusan
pelaksanaan kegiatan strategis penunjang pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTP) sebagai berikut:
a. Menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Layanan Umum (BLU)
untuk mengembangkan PLTP.
b. Mengalokasikan pembiayaan pengembangan energi panas bumi melalui Penyertaan
Modal
c. Negara (PMN) dan pinjaman kepada BUMN.
d. Meningkatkan kualitas dan kuantitas survei potensi sumber daya dan cadangan
panas bumi.
e. Melakukan pelelangan Wilayah Kerja (WK) Panas Bumi minimal 7 WK per tahun.
f. Menyiapkan rekomendasi WK panas bumi minimal 4 WK per tahun.
g. Memberikan penugasan survei pendahuluan dan/atau eksplorasi kepada Badan
Usaha.
h. Menyusun kebijakan harga jual listrik panas bumi.
i. Meningkatkan survei pendahuluan dan/atau eksplorasi oleh instansi Pemerintah.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


7
Pengembangan energi panas bumi di Indonsia juga memberikan kontribusi melalui
pembangkitan listrik sebesar 13.979 GWh pada tahun 2019 atau setara produksi uap
sebesar 100.16 juta ton dengan statistik capaian pada Gambar 4. Pembangkitan yang
dilaksanakan oleh 8 pengembang energi panas bumi telah turut serta memberikan
kontribusi penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp. 1,93 triliun pada tahun 2019
dan bonus produksi sebesar Rp. 90,6 milyar yang dibagihasilkan kepada Daerah
Penghasil Panas Bumi. Penerimaan Negara dari sektor panas bumi berasal dari iuran
tetap (eksplorasi & operasi produksi), iuran produksi (royalti), dan setoran bagian
Pemerintah dari WKP eksisting.

Gambar 4. Statistik Capaian Pengembangan Energi Panas Bumi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


8
Gambar 5. Peta Wilayah Kerja Panas Bumi

Peta Wilayah Kerja Panas Bumi dapat dilihat pada gambar 5 dengan mendeskripsikan
sebaran lokasi wilayah kerja panas bumi dan wilayah penugasan survey pendahuluan
dan eskplorasi. Selain itu pada tahun 2014-2019, Rincian pengembangan PLTP COD
dengan total 605 MW adalah sebagai berikut:
1. Tahun 2014 = Total 60 MW
a. PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) oleh PT Geo Dipa Energi
b. PLTP Ulumbu Unit 3 dan 4 (2x2.5 MW) oleh PT PLN (Persero)
2. Tahun 2015 = Total 35 MW
PLTP Kamojang Unit 5 (35 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
3. Tahun 2016 = Total 205 MW
a. PLTP Sarulla Unit 1 (110 MW) oleh Sarulla Operation Limited
b. PLTP Lahendong Unit 5 dan 6 (2x20 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
c. PLTP Ulubelu Unit 3 (55 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
4. Tahun 2017 = Total 165 MW
a. PLTP Ulubelu Unit 4 (55 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
b. PLTP Sarulla Unit 2 (110 MW) oleh Sarulla Operation Limited
5. Tahun 2018 = Total 140 MW
a. PLTP Sarulla Unit 3 (110 MW) oleh Sarulla Operation Limited
b. PLTP Karaha Unit 1 (30 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


9
6. Tahun 2019 = Total 182.4 MW
a. PLTP Lumut Balai 1 (55 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
b. PLTP Sorik Marapi Unit 1 (42,4 MW) oleh PT Sorik Marapi Geothermal Power
c. PLTP Muara Laboh Unit 1 (85 MW) oleh PT Supreme Energy Muara Laboh

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi


Nasional, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) harus diprioritaskan.
Pemerintah menargetkan kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga
listrik pada tahun 2025 dapat mencapai setidaknya 23% dan pada tahun 2050 naik
menjadi 31%. Saat ini, kontribusi EBT baru mencapai sekitar Bauran energi 9%
(9,15%) dari total bauran energi nasional. Pencapaian target kontribusi EBT di tahun
2025 sebesar 23 persen adalah sebuah tantangan yang berat meskipun tidak mustahil
untuk dicapai. Panas bumi sebagai salah satu EBT yang diunggulkan diharapkan dapat
memiliki kontribusi sebesar 7,2 GW dari 45,2 GW EBT yang ingin dicapai di tahun
2025. Dengan kapasitas terpasang PLTP 2,13 GW di akhir tahun 2019 (EBTKE, 2019),
masih diperlukan investasi untuk tambahan listrik dari PLTP sebesar kurang lebih
5,1 GW. Investasi ini tentu saja tidak dapat dilakukan sekaligus sehingga rasionalnya
harus segera didorong agar target kontribusi EBT dapat tercapai di 2025.

Rationalitas Pemanfaatan Panas Bumi


1. Potensi yang sangat besar:
• Panas bumi memiliki potensi 23,9 GW (B.Geologi, Des 2019) dan kapasitas
terpasang baru sekitar 2,1 GW.
• Pemanfaatan Panas Bumi dapat lebih membangun mewujudkan kemandirian
energi daerah setempat => Energi tidak dapat didistribusikan
2. Lebih handal dibandingkan Energi Fosil
• Masa Operasi PLTP dapat lebih dari 30 tahun
• Pengembangan Infrastruktur Energi yang Berkelanjutan (Fosil Fuel dapat habis)
• Tidak membutuhkan bahan bakar
• Tidak ada eskalasi biaya bahan bakar => Harga lebih stabil di masa depan
• Availability Factor yang paling tinggi (90-95%)
3. Ramah lingkungan
• Memiliki dampak potensi pencemaran yang minimal;
• Emisi CO2 hanya berkisar di angka 75 gram/kWh (pakai referensi lapangan
indonesia), jauh lebih rendah dari emisi yang dihasilkan oleh gas alam, minyak
bumi, diesel ataupun batubara;
• Tidak merusak kondisi bentang awal seperti pada kegiatan pertambangan;
• Keanekaragaman hayati terjaga;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


10
4. Lebih handal dibandingkan EBT yang lain
• Tidak tergantung musim
• Tidak bersifat intermittent
• Availability Factor yang paling tinggi (90-95%)
• Penggunaan lahan yang lebih kecil daripada EBT lainnya.

Tabel 1. Daftar Wilayah Kerja Panas Bumi di Indonesia


Tahun Tahun
Sumber Sumber
Wilayah Kerja Di- Wilayah Kerja Di-
No Provinsi Daya Ket. No Provinsi Daya Ket.
Panas bumi tetap- Panas bumi tetap-
(MWe) (MWe)
kan kan
1 Sibayak Sinabung Sumatera Utara 2012 38 43 Gn. Ciremai Jawa Barat 2016 60
2 Cibeureum - Parabakti Jawa Barat 2012 706 44 Gn. Endut Banten 2011 180

WKP Existing (Sebelum Terbit UU No. 27 Tahun 2003)


3 Pangalengan Jawa Barat 2012 464 45 Way Ratai Lampung 2012 330
4 Kamojang - Darajat Jawa Barat 2012 691 46 Umbul Telomoyo Jawa Tengah 2012 92
5 Dataran Tinggi Dieng Jawa Tengah 2012 352 47 Bora - Pulu Sulawesi Tengah 2012 123
6 Lahendong - Tompaso Sulawesi Utara 2012 300 48 Gn. Lawu Jawa Tengah - Jawa 2012 332
7 Sibual-buali Sumatera Utara 2012 610 Timur

WKP Setelah UU No. 27 Tahun 2003


8 Ulubelu Lampung 2012 353 49 Sembalun NTB 2012 100
9 Kotamobagu Sulawesi Utara 2012 185 50 Oka Ile Ange NTT 2012 50
10 Lumut Balai Sumatera Selatan 2012 554 51 Kepahiang Bengkulu 2012 254
11 Karaha - Cakrabuana Jawa Barat 2012 174 52 Gn. Arjuno - Wlirang Jawa Timur 2014 302
12 Hululais Bengkulu 2012 618 53 Gn. Pandan Jawa Timur 2014 60
13 Sungai Penuh Jambi 2012 195 54 Gn. Gede Pangrango Jawa Barat 2014 160
14 Tulehu Maluku 1997 31 55 Telaga Ranu Maluku Utara 2014 72
15 Tangkuban Perahu Jawa Barat 2007 375 56 Songgonti Jawa Timur 2014 58
16 Cibuni Jawa Barat 2008 140 57 Gn. Talang - Bukit Kili Sumatera Barat 2014 90
17 Ulumbu NTT 2016 86 58 Gn. Wilis Jawa Timur 2014 50
18 Iyang Argopuro Jawa Timur 2012 295 59 Gn. Galunggung Jawa Barat 2014 289
19 Tabanan Bali 2012 276 60 Laenia Sulawesi Tenggara 2016 66
20 Liki Pinangawan Sumatera Barat 2009 310 61 Gn. Sirung NTT 2016 152
Muaralaboh 62 Wapsalit Maluku 2016 70
21 Gn. Rajabasa Lampung 2009 283 63 Suamani Sumatera Barat 2017 100
22 Jaboi NAD 2008 132 64 Waesano NTT 2017 151
23 Sorik Marapi - Sumatera Utara 2008 301 TOTAL 13.371,5
Roburan - Sampuraga
24 Cisolok Cisukarame Jawa Barat 2007 45
25 Gn. Tampomas Jawa Barat 2007 100
WKP Setelah UU No. 27 Tahun 2003

26 Gn. Ungaran Jawa Tengah 2007 150


27 Sokoria NTT 2012 80
28 Atadei NTT 2008 40
29 Jailolo Maluku Utara 2007 75
30 Rantau Dedap Sumatera Selatan 2010 411
31 Baturaden Jawa Tengah 2010 258
32 Guci Jawa Tengah 2010 100
33 Kaldera Danau Banten Banten 2009 270
34 Blawan - Ijen Jawa Timur 2008 209
35 Telaga Ngebel Jawa Timur 2007 120
36 Seulawah Agam Aceh 2007 345
37 Suwawa Gorontalo 2009 70
38 Songa Wayaua Maluku Utara 2008 42
39 Sipaholon Ria-Ria Sumatera Utara 2018 60
40 Marana Sulawesi Tengah 2008 70
41 Danau Ranau Lampung dan 2011 210
Sumatera Selatan
42 Mataloko NTT 2011 52,5

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


11
Sektor Bioenergi
Percepatan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) dilaksanakan berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan
Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Program pemanfaatan Biodiesel telah
dilaksanakan sejak tahun 2006 di 500 SPBU di DKI Jakarta, Surabaya, Malang dan
Denpasar. Selanjutnya sejak tahun 2008 ditetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor
32 Tahun 2008 yang mewajibkan (mandatori) kepada para pelaku usaha maupun
konsumen Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk lebih mendorong pemanfaatan Bahan
Bakar Nabati (BBN) sebagai campuran dalam BBM. Program mandatori tersebut pada
dasarnya sejalan dengan komitmen Presiden Republik Indonesia pada Conference of
Parties (COP) 21 Paris 2015 dan Marakesh (Maroko) 2016 untuk menurunkan emisi
sebesar 29% pada tahun 2030, salah satunya melalui peningkatan penggunaan sumber
energi terbarukan hingga 23% dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025 termasuk
Biodiesel.

Program mandatori biodiesel merupakan program strategis nasional sehingga


pengembangannya harus terus dilaksanakan secara kontinyu walaupun dengan kondisi
harga minyak dunia yang terus turun. Hal tersebut didasarkan pada multiplier effect
yang dapat diberikan dari pemanfaatan biodiesel mulai dari pengurangan impor
minyak bumi, penghematan devisa, peningkatan harga CPO dan industri hilir kelapa
sawit hingga peningkatan penyerapan tenaga kerja dan dapat menurunkan emisi gas
rumah kaca secara signifikan, karena biodiesel merupakan bahan bakar yang ramah
lingkungan dan menghasilkan emisi yang rendah.

Perkembangan program mandatori Biodiesel sejak diterapkan pada tahun 2008 terus
mengalami kecenderungan yang positif, dimana realisasi produksi maupun konsumsi
domestik terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2008 persentase
campuran baru sebesar 2.5%, pada Januari 2016, meningkat menjadi 20% (B20) sesuai
Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Dan sejak 1 Januari 2020, Indonesai
sudah mulai mengimplementasikan program B30 secara nasional, menjadikan Indonesia
kembali sebagai pioneer negara yang sudah mengimplementasikan pencampuran
biodiesel sebesar 30% di dunia.

Kesuksesan implementasi mandatori Biodiesl didukung oleh kapasitas terpasang


industri biodiesel yang mencapai 12,06 juta KL, insentif pendanaan untuk menutup
selisih Harga Indeks Pasar Biodiesel (HIP Biodiesel) dengan Harga Indeks Pasar Solar,
pelaksanaan monitoring yang dilakukan secara regular dan menetapkan standard
nasional yang berfungsi untuk memberikan jaminan produk biodiesel kepada konsumen
domestik.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


12
Insentif pendanaan program biodiesel didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden Nomor
61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit
sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018. Pada
awalnya insentif ini hanya diberikan kepada sektor PSO, namun pada 1 September
2018 Pemerintah memperluas pemberian insentif pendanaan biodiesel tersebut kepada
seluruh sektor terkait.

Realisasi penyerapan Biodiesel domestik pada tahun 2016 sebesar 3 juta KL, dan
sedikit menurun pada tahun 2017 menjadi sebesar 2,5 juta KL. Pada tahun 2018 terjadi
peningkatan yang cukup signifikan setelah perluasan pemberian insentif untuk seluruh
sektor, sehingga penyerapan biodiesel domestic naik menjadi sebesar 3,7 juta KL.
Pada tahun 2019, realisasi penyerapan Biodiesel domestik kembali meningkat tajam
mencapai sebesar 6,39 juta KL.

Sebagai persiapan pelaksanaan implementasi mandatori B30, pada tahun 2019 telah
dilakukan Uji Jalan (Road Test) B30 pada kendaraan bermesin diesel dengan bobot
< 3,5 ton dan > 3,5 ton dengan melibatkan stakeholder terkait (Kementerian ESDM,
Kemenko Perekonomian, Kemenko Maritim, Kemenperin, Kemenhub, BPDPKS, BPPT
(BTBRD dan BT2MP), Pertamina, APROBI, GAIKINDO, Komite Teknis Bioenergi,
ITB, dan IKABI. Hasil road test tersebut menunjukkan bahwa program B30 siap
diimplementasikan secara nasional.

Gambar 6. Realisasi Implementasi Biodiesel

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


13
Tabel 2. Pentahapan Mandatori Pemanfaatan BBN dalam Permen ESDM
Nomor 12/2015

BIODIESEL (Minimum)
April Januari Januari Januari
Sektor
2015 2016 2020 2025
Usaha Mikro, Usaha Perikanan, 15% 20% 30% 30%
Usaha Pertanian, Transportasi, dan
Pelayanan Umum (PSO)
Transportasi Non PSO 15% 20% 30% 30%
Industri dan Komersial 15% 20% 30% 30%
Pembangkit Listrik 25% 30% 30% 30%
BIOETANOL (Minimum)
April Januari Januari Januari
Sektor
2015 2016 2020 2025
Usaha Mikro, Usaha Perikanan, 1% 2% 5% 20%
Usaha Pertanian, Transportasi, dan
Pelayanan Umum (PSO)
Transportasi Non PSO 2% 5% 10% 20%
Industri dan Komersial 2% 5% 10% 20%
Pembangkit Listrik - - - -
MINYAK NABATI MURNI (Minimum)
April Januari Januari Januari
Sektor
2015 2016 2020 2025
Industri dan Industri 10% 20% 20% 20%
Transportasi Transportasi 10% 20% 20% 20%
(Low and Laut
Medium Speed
Engine)
Transportasi Udara - 2% 3% 5%
Pembangkit Listrik 15% 20% 20% 20%

Implementasi pemanfaatan bioetanol belum dapat berkembang seperti biodiesel karena


sumber bahan baku bioetanol tidak sebanyak biodiesel dan belum adanya mekanisme
untuk menutup selisih harga produksi bioetanol dengan harga jual BBM jenis minyak
bensin. Implementasi bioetanol pernah dilakukan tahun 2010 saat harga BBM lebih
tinggi dibandingkan biaya produksi bioetanol domestik. Pencampuran bioethanol
terakhir kali dilakukan PT Pertamina (Persero) pada Pertamax racing di Plaju tahun
2016. Saat ini upaya untuk mengimplementasikan mandatori bioetanol masih terus
dilakukan. Salah satunya adalah dengan berkoordinasi dengan stakeholder terkait dan
Pemerintah provinsi Jawa Timur untuk merealisasikan pencampuran bioetanol 2%
(E2) atau 5% (E5) dengan bensin RON 92 di Jawa Timur.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


14
Biomassa, Biogas dan Sampah Kota
Berdasarkan Rekonsiliasi yang dilaksanakan antara Ditjen EBTKE, Ditjen
Ketenagalistrikan, dan PT PLN (Persero) pada bulan Januari 2020 didapat bahwa
hingga triwulan IV tahun 2019 realisasi jumlah kapasitas terpasang PLT Bioenergi
yaitu sebesar 1.889,8 MW (PLT on-grid 205.02 MW dan PLT off-grid 1.684,78 MW)
yang terdiri dari (PLT) biomassa, biogas, dan sampah kota. Umumnya pengembangan
biomassa dan biogas untuk menghasilkan listrik menggunakan limbah kelapa sawit
baik cair maupun padat dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS), pabrik tebu, pabrik tapioka,
industry pulp dan paper, industri kayu, dan industri penggilingan padi.

Selain dikembangnya oleh swasta atau Independence Power Producer (IPP),


Kementerian ESDM c.q Ditjen Energi Baru Terbarukandan Konservasi Energi juga
membangun beberapa PLT Bioenergi pada kurun waktu 2015 - 2016 menggunakan
APBN adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Implementasi pengembangan PLT Bioenergi

Tahun Kapasitas
No Jenis Interkoneksi Lokasi
Pembangunan (MW)
1 PLTBm 2015 1 On-grid Desa Bondohula, Kab. Sumba
Barat, Provinsi NTT
2 PLTBg 2016 1 On-grid Desa Jorong, Kab. Tanah Laut,
Provinsi Kalimantan Selatan
3 PLTBg 2016 1 On-grid Desa Bukit Makmur,
Kab. Lamandau, Provinsi
Kalimantan Tengah
4 PLTBg 2016 1 On-grid Desa Tabru Pasir Damai, Kab.
Paser, Provinsi Kalimantan
Timur
5 PLTBg 2016 1 On-grid Desa Karang Anyar, Kab.
Merangin, Provinsi Jambi
6 PLTBn 2016 5 On-grid Desa Pegantungan, Kab.
Belitung, Provinsi Bangka
Belitung

Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 tahun 2014 dan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 jo Peraturan Menteri ESDM Nomor 53 tahun
2018 yang mengatur pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga
listrik, sampai dengan akhir tahun 2019 pengembangan pembangkit listrik berbasis
bioenergi telah mencapai kapasitas sebesar 1.889,8 MW (PLT on-grid 205.02 MW dan
PLT off-grid 1.684,78 MW).

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


15
Sedangkan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga sampah kota (PLTSa),
sejak diterbitkan Permen ESDM Nomor 19 tahun 2013 yang mengatur harga jual listrik
kepada PT PLN (Persero) dari pembangkit listrik tenaga sampah kota sampai dengan
semester 1 tahun 2019, baru mencapai 16 MW yang tersambung ke jaringan PT PLN
(Persero) yang terdiri dari PLTSa Sumur Batu Kota Bekasi dengan kapasitas sebesar
14 MW dan PLTSa Benowo Kota Surabaya dengan kapasitas sebesar 2 MW. PLTSa
yang ada saat ini masih menggunakan teknologi sanitary landfill, ditargetkan pada
Semester II 2020 akan mulai beroperasi PLTSa zero waste sebesar 9 MW di
Benowo, Surabaya. Kapasitas PLTSa ini diharapkan akan terus meningkat sejalan
dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2018 tetang Percepatan
Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi
Ramah Lingkungan.

Dengan terbitnya Peraturan Presiden ini, diharapkan pengelolaan sampah dapat


dilakukan secara terintegrasi mulai dari pengurangan sampah hingga peningkatan
nilai tambah sampah menjadi energi listrik. Adapun 12 Kota yang menjadi pilot project
percepatan pembangunan PLTSa, antara lain: Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang,
Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta,
Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado.
Hingga akhir 2019 terdapat 6 Kota yang telah memperoleh Pengembang PLTSa
diantaranya: Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Denpasar, Provinsi DKI Jakarta,
Kota Bekasi dan Kota Palembang. Sisanya dalam proses lelang (Kota Tangerang),
proses persiapan lelang (Kota Bandung dan Kota Tangerang Selatan) serta dalam proses
penyusunan dokumen pra FS (Kota Semarang, Kota Makassar dan Kota Manado).

Pembangkit Listrik Tenaga


Bioenergi (Biomassa, Biogas, PLTSa
dan Biofuel) sebagian besar 1.889,8
merupakan PLT off-grid
1.881,9
1.882,8
1.856,8
1.783,1
1.741,7
Realisasi

1.402,7

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Gambar 7. Kapasitas terpasang PLT Bioenergi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


16
Untuk mendukung pengembangan PLT Bioenergi, Pemerintah telah mengeluarkan
serangkat peraturan terkait harga pembelian listrik oleh PT PLN (Persero). Adapun
regulasi yang dikeluarkan pada tahun 2015 – 2019, sebagai berikut:
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 44 Tahun 2015 tentang Pembelian Tenaga Listrik
Oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Kota.
• Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 jo Peraturan Menteri ESDM Nomor
53 tahun 2018 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan
Tenaga Listrik.

Tabel 4. Kapasitas Pembangkit Listrik Bioenergi 2014 s.d. semester 1 Tahun 2019

Tarif (Berdasarkan Permen ESDM No.


50/2017 jo No 53/2018)
Jenis Mekanisme
No BPP Regional BPP Regional
PLT Pembelian
> ≤
BPP Nasional BPP Nasional
1 PLTBm Pemilihan Langsung Maksimal 85% x Kesepakatan para pihak
Regional BPP
2 PLTBg Pemilihan Langsung Maksimal 85% x Kesepakatan para pihak
Regional BPP
3 PLT BBN Pemilihan Langsung Kesepakatan antar pihak
4 PLTSa Pemilihan Langsung (ber- Maksimal 100% x Kesepakatan para pihak
dasarkan lelang oleh Pemda) Regional BPP

• Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2018 tetang Percepatan Pembangunan Instalasi


Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

TARIF LISTRIK UNTUK PROYEK PERCEPATAN PLTSa


(Berdasarkan Peraturan Presiden No. 35/2018)

Jenis Kapasitas Kapasitas


No Mekanisme Pembelian
PLT ≤ 20 MW > 20 MW
1 PLTSa Pemilihan Langsung US$ 13.35 cent / = 14.54 – (0.076 x
(berdasarkan lelang oleh kWh kapasitas kontrak
Pemda)

Pada bulan Februari tahun 2020 telah diterbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 4
Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Peraturan Menteri ESDM Nomor 50
tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga
Listrik, Diharapkan dengan terbitnya peraturan ini akan terjadi peningkatan investasi
dan penambahan kapasitas pembangkit listrik terutama dengan adanya perubahan
pada mekanisme pengadaan, kejelasan proses pembelian, penambahan masa kontrak,
penghapusan pola BOOT, serta adanya pembinaan dan pengawasan yang lebih baik.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


17
Investasi Bioenergi
Capaian investasi di bidang Bioenergi tahun dari tahun 2012 hingga tahun 2019 yaitu
sebesar 0,966 Milliar USD. Dimana capaian investasi sebesar 0,671 Miliar USD berasal
dari investasi Badan Usaha BBN dan capaian investasi sebesar 0,295 Miliar USD berasal
dari investasi Pengembang PLT Bioenergi.

Sebagai upaya untuk terus meningkatkan pengembangan dan pemanfaatan bioenergi


dan keberlanjutannya, Pemerintah mendorong setiap investor untuk berinvestasi di
bidang bioenergi melalui kebijakan regulasi Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2018,
Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 jo Peraturan Menteri ESDM Nomor 4
tahun 2020 serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015.

Ada beberapa tantangan yang dihadapi dan mempengaruhi pengembangan bioenergi


khususnya terkait dengan investasi di bidang bioenergi. Tantangan tersebut dibagi
menjadi empat kelompok utama yaitu: ketersediaan bahan baku, teknologi, kelembagaan
pengelolaan dan sumber pendanaan.

Ketersediaan bahan baku menjadi syarat utama dalam melakukan investasi di bidang
bioenergi, namun terkadang sumber bahan baku berbasis bioenergi yang berasal dari
sumber daya hayati tidak dikhususkan untuk menjadi bioenergi atau merupakan hasil
sampingan dari suatu unit usaha (by product). Oleh karena itu, sumber bahan baku
menentukan keberlanjutan proyek pengembangan di bidang bioenergi.

Pengembangan teknologi bioenergi masih memerlukan dukungan pemerintah untuk


dapat bersaing dengan teknologi energi konvensional yang telah lama digunakan
oleh masyarakat, baik dari sisi kehandalan maupun dari sisi ekonomis. Hal tersebut
dikarenakan masih sedikit penyedia teknologi di bidang bioenergi sehingga pilihan
investasi pada peralatan menjadi terbatas.

Kelembagaan pengelolalaan yang baik khususnya terkait pengembangan sampah kota


menjadi energi, merupakan hal utama yang perlu diperhatikan. Kelembagaan tersebut
dimulai dari sisi hulu yaitu pengelolaan sampah sebagai bahan baku energi hingga hilir
yaitu pengelolaan pembangkit listrik berbasis sampah kota, merupakan hal yang sangat
berbeda dari sisi pekerjaan dan memerlukan keahlian khusus pada setiap sektornya,
sehingga kelembagaan pengelolaan yang terintegrasi dan baik mutlak diperlukan untuk
pengembangan energi berbasis sampah kota.

Sumber pendanaan khususnya yang berasal dari pinjaman, memerlukan jaminan


dari ketiga sektor diatas yang telah disebutkan sebelumnya. Dimana pihak penyedia
pendanaan memerlukan jaminan ketersediaan bahan baku, teknologi dan pengelolaan
yang baik dalam mengembangkan investasi di bidang bioenergi. Oleh karena itu, untuk
mendorong pihak-pihak penyedia pendanaan pada tahap awal diperlukan peran besar

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


18
pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Oleh karena itu, saat ini
pemerintah mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif melalui pengaturan
harga beli listrik untuk pembangkit listrik berbasis bioenergi dan mandatori penggunaan
BBN.

Biogas
Pengembangan bioenergi berbasis non listrik dapat juga diimplementasikan
dalam program pengembangan biogas. Dalam pengembangan biogas ini terdapat
pengembangan biogas skala rumah tangga dan biogas komunal. Adapun biogas ini
dikembangkan oleh berbagai pihak diantaranya oleh APBN Ditjen EBTKE, Program BIRU
sebagai kerjasama DJEBTKE dengan HIVOS, Kementerian/Lembaga lainnya, APBD
Pemda, Dana Alokasi Khusus, dan swasta lainnya. Kebanyakan pengembangan biogas
ini memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku, akan tetapi telah dikembangkan
pula biogas komunal dengan memanfaatkan kotoran manusia yang diimplementasikan
pemanfaatannya pada Biogas Komunal Pondok Pesantren. Pengembangan biogas
tersebut terus dikembangkan sehingga pada akhir tahun 2019 didapatkan produksi
biogas sebesar 26,28 juta m3/tahun atau sebesar 26.276.724 m3/tahun.

Gambar 8. Produksi Biogas

Sektor Konservasi Energi

Kondisi Energi
Konsumsi energi digolongkan atas beberapa sektor pengguna, yaitu sektor industri,
transportasi, rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya. Sektor lainnya merupakan
total dari penggunaan energi pada sub-sektor pertanian, konstruksi, dan pertambangan.
Konsumsi energi final meningkat rata-rata 4% (empat persen) per tahun dalam kurun

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


19
waktu tahun 2008-2018 sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Total konsumsi energi
final tahun 2018 mencapai 869 Juta SBM dengan bauran sektor transportasi sebesar
45% (empat puluh lima persen), sektor industri sebesar 33% (tiga puluh tiga persen),
sektor rumah tangga sebesar 15% (lima belas persen), sektor komersial sebesar 5% (lima
persen) dan sektor lainnya sebesar 2% (dua persen). Data konsumsi energi final pada
Gambar 9 tidak mempertimbangkan penggunaan biomassa.

Gambar 9. Konsumsi Energi per Sektor Tahun 2006-2018

Tingginya pertumbuhan kepemilikan kendaraan roda dua dan roda empat telah
mendorong konsumsi energi final sektor transportasi pada tahun 2018 sehingga dalam
beberapa tahun trend konsumsi energinya melampaui konsumsi energi final di sektor
industri. Pada sektor industri, diversifikasi energi dari BBM ke batubara, gas dan
biomassa sudah berlangsung sehingga konsumsi BBM tidak lagi dominan. Sedangkan
pada sektor transportasi, peranan BBM masih sulit tergantikan dengan jenis energi
fosil lainnya. Adapun pada sektor rumah tangga, energi listrik dan LPG merupakan
jenis energi terbesar yang dikonsumsi, dimana penggunaan LPG semakin meningkat
menggantikan minyak tanah yang semakin menurun. Pada sektor komersial, energi
listrik merupakan jenis energi terbanyak dikonsumsi karena sektor ini mencakup sektor
gedung perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan/mall, rumah sakit, dan lainnya. Adapun
penggunaan energi pada sektor lainnya masih berupa BBM untuk konsumsi traktor &
pertanian, peralatan konstruksi, dan pertambangan.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


20
Indikator Efisiensi Energi
Adapun keberhasilan penghematan konsumsi energi secara nasional diukur berdasarkan
intensitas energi. Intensitas energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi untuk
mendapatkan satu satuan PDB (produk domestik bruto). Satuan yang digunakan untuk
menggambarkan intensitas energi adalah setara barel minyak per miliar rupiah (SBM/
Miliar Rupiah).

Intensitas energi merupakan indikator keberhasilan penerapan konservasi energi yang


diukur dengan seberapa besar energi yang dapat dihemat untuk menghasilkan produk
atau output yang sama. Intensitas energi dapat dihitung dengan menggunakan data
realisasi penyediaan energi primer atau konsumsi energi final, dibagi dengan PDB
nasional yang dihasilkan. Intensitas energi primer menggambarkan efisiensi seluruh
rangkaian proses konversi energi di sisi penyediaan (supply side), sedangkan intensitas
energi final menggambarkan efisiensi pemanfaatan energi oleh pengguna energi final
(demand side).

Gambar 10. Intensitas Energi Primer (IEP) dan Energi Final (IEF)

Gambar 10 menunjukkan indikator konservasi energi nasional yang diukur berdasarkan


energi primer dan energi final selama kurun waktu 2010 - 2018. Intensitas energi
final (IEF) dan intensitas energi primer (IEP) selama tahun 2010-2018 ditargetkan
rata-rata turun 1% (satu persen) per tahun. Tingkat penurunan intensitas energi final
dan intensitas energi primer dapat berbeda tergantung dari kegiatan efisiensi yang
dilakukan di sisi primer atau final. Selama kurun waktu 2010-2018 terjadi korelasi
yang cukup relevan antara intensitas energi final dan intensitas energi primer. Adanya
gap atau selisih nilai antara intensitas energi final dan primer dapat diartikan bahwa
dalam menyediakan energi untuk memenuhi kebutuhan energi final terjadi inefisiensi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


21
penggunaan energi akibat proses dan konversi sumber energi menjadi energi final, serta
losses selama transmisi dan distribusi energi, terutama energi listrik.

Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.


Sektor energi dalam konteks perubahan iklim adalah aktivitas yang menghasilkan emisi
yang terkait dengan penggunaan energi dan rangkaian aktivitas penyediaan energi.
Aktivitas penggunaan energi terdiri atas dua kelompok yaitu aktivitas penggunaan energi
yang berupa pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi GRK (penggunaan BBM
transportasi, memasak, boiler industri dll.) dan aktivitas yang tidak secara langsung
menghasilkan emisi GRK (penggunaan peralatan listrik yang listriknya dipasok oleh
pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil). Aktivitas penyediaan energi yang
menghasilkan emisi GRK terdiri atas dua kelompok yaitu yang terkait pembakaran
bahan bakar fosil (pembangkit listrik dan pengilangan migas) dan emisi fugitive saat
penambangan dan pengangkutan bahan bakar fosil.

Pada COP-21 di Paris tahun 2015, Indonesia telah meningkatkan komitmennya untuk
mengurangi tingkat emisi GRK sebanyak 29 % dengan usaha sendiri di bawah Business
as Usual pada tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional. Komitmen dalam
Nationally Determined Contribution (NDC) pertama yang merupakan bagian dari
Persetujuan Paris (Paris Agreement). Hal ini kemudian dituangkan dalam UU Nomor
16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework
Convention On Climate Change. Dalam NDC, Pemerintah Indonesia memproyeksikan
emisi GRK dari Sektor Energi pada tahun 2030 meningkat hampir 4 (empat) kali lipat
dibanding dengan emisi GRK tahun 2010. Total emisi GRK Sektor Energi pada tahun
2030 akan menjadi yang terbesar dengan pangsa 60% dari total emisi GRK, diikuti oleh
Sektor Kehutanan dan Pertanian (27%), Sektor Limbah (11%), dan Sektor IPPU (2%).
Oleh karena itu, Pemerintah menyampaikan bahwa fokus program mitigasi emisi GRK
nasional akan beralih dari Sektor Lahan ke Sektor Energi. Adapun target reduksi emisi
GRK Sektor Energi pada tahun 2030 adalah sebesar 314 juta ton CO2e dari kondisi
business as usual atau sebesar 11% dari total target reduksi 29%. Target yang cukup
besar ini merupakan tantangan bagi Sektor Energi.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


22
Tabel 5. Target NDC Indonesia

Dari target pada table 5, Sektor energi memegang peranan penting dalam komitmen
tersebut dimana energi menyumbang sebesar 11% dari target nasional, untuk mencapai
target tersebut diperlukan sinergi dan komunikasi dari seluruh stakeholder terkait
terutama dalam hal keterbukaan data dan informasi aksi mitigasi.

Aksi mitigasi di sektor energi dikelompokkan menjadi empat sub kategori aksi mitigasi,
yaitu:
• efisiensi energi;
• energi baru dan terbarukan;
• pembangkit energi bersih/clean coal technology (CCT); dan
• penggunaan bahan bakar rendah karbon/fuel switching.

Sedangkan aksi mitigasi Reklamasi Pasca Tambang (akan dilaporkan sebagai capaian
sektor lahan). Sebagai bukti komitmen pemerintah Indonesia telah menuangkan
rencana pembangunan sektor energi dengan mempertimbangkan aspek pembangunan
berkelanjutan dengan mengedepankan penggunaan teknologi yang bersih dan efisien
seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 mengenai
Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan dipertajam dalam Peraturan Presiden Nomor 22
Tahun 2017 mengenai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dari sub sektor Energi
Baru Terbarukan (EBT).

Sektor Aneka EBT

Energi Air (Mini, Mikrohidro)


Direktorat Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan melalui Anggaran dan
Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2014 hingga tahun 20171 melaksanakan
pembangunan berupa 36 unit Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dan 2
Unit Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) dengan kapasitas total pembangkitan
1 Untuk perencanaan dan pembangunan 2018 dan 2019 berada pada Direktorat Renbangstruktur EBTKE

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


23
sebesar 4.001,9 kW dan mampu melistriki 4.728 baik untuk rumah maupun untuk
fasilitas umum.

Direktorat Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, dalam salah satu fungsinya
juga melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan melalui Dana
Alokasi Khusus (DAK) Bidang Energi Skala Kecil yang kegiatannya dilaksanakan oleh
Dinas ESDM Provinsi (2016-2018), dimana dalam DAK tersebut salah satu menu
pemanfaatannya adalah untuk pembangunan PLTMH. Pada tahun 2014 hingga tahun
20182 telah melaksanakan pembangunan berupa 27 unit Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro(PLTMH) dengan total kapasitas sebesar 1.443 kW.

Selain dari sektor pendanaan yang bersumber melalui APBN, Direktorat Aneka Energi
Baru dan Energi Terbarukan melakukan monitoring pembangunan PLTA, PLTM,
PLTMH yang dibangun oleh pihak swasta dan PLN, monitoring terhadap PLTA, PLTM,
PLTMH yang dibangun oleh pihak swasta, PLN, maupun BUMN lainnya. Adapun
berdasarkan monitoring yang telah dilakukan,kapasitas terpasang PLTA,PLTM, PLTMH
sampai dengan Desember 2019 adalah sebesar 5969.15 MW.

Adapun grafik capaian kapasitas dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro(PLTMH)


dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM), dari tahun 2014 hingga tahun 2019
(semester pertama) dapat dilihat pada gambar 11. Grafik capaian kapasitas tenaga air di
bawah ini.

Gambar 11. Grafik capaian kapasitas tenaga air

Energi Surya (PLTS)


Direktorat Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan melalui Anggaran dan Pendapatan
Belanja Negara (APBN) pada tahun 2014 hingga tahun 2017 telah melaksanakan
pembangunan berupa 324 unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan
kapasitas total pembangkitan sebesar 19.005kWp dan mampu melistriki 47.081 baik
untuk rumah maupun untuk fasilitas umum.

2 Untuk tahun 2019 kegiatan DAK ditiadakan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


24
Direktorat Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, dalam salah satu fungsinya
juga melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan melalui Dana
Alokasi Khusus (DAK) Bidang Energi Skala Kecil yang kegiatannya dilaksanakan oleh
Dinas ESDM Provinsi (2016-2018), dimana dalam DAK tersebut salah satu menu
pemanfaatannya adalah untuk pembangunan PLTS Terpusat dan tersebar. Pada
tahun 2014 hingga tahun 20183 telah melaksanakan pembangunan berupa 168 unit
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terpusat dan 22.541 unit PLTS tersebar dengan
total kapasitas sebesar 274,67 MW.

Selain dari sektor pendanaan yang bersumber melalui APBN, Direktorat Aneka Energi
Baru dan Energi Terbarukan juga melakukan monitoring terhadap PLTS yang dibangun
oleh pihak swasta, PLN, maupun BUMN lainnya. Adapun berdasarkan monitoring
yang telah dilakukan, kapasitas terpasang PLTS sampai dengan Desember 2019 adalah
sebesar 86.5 MW.

Adapun grafik capaian kapasitas dari PLTS dari tahun 2014 hingga tahun 2019 (semester
pertama) dapat dilihat pada gambar 12 di bawah ini.

Gambar 12. Grafik capaian kapasitas tenaga surya

Energi Bayu/Angin (PLTB)


Direktorat Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan juga melakukan monitoring
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang dibangun oleh pihak
swasta dan PLN, adapun monitoring terhadap PLTB yang dibangun oleh pihak swasta
dan PLN. Berdasarkan monitoring yang telah dilakukan, kapasitas terpasang PLTS
sampai dengan Desember 2019 adalah sebesar 153.83 MW.

3 Untuk tahun 2019 kegiatan DAK sementara ditiadakan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


25
Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur
Pada Juli 2016 Kementerian ESDM membentuk Direktorat Perencanaan dan
Pembangunan Infrastruktur pada Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan
Konservasi Energi sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 13 Tahun 2016 tentang
organisasi dan tata kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tujuan utama
pembentukan Direktorat tersebut adalah untuk mempercepat program pemerintah
dalam upaya penyediaan infrastruktur energi bersih di seluruh Indonesia. Dalam
pelaksanaannya Direktorat Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi
Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi mempunyai tugas melaksanakan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria,
pemberian bimbingan teknis dan supervisi, evaluasi dan pelaporan, serta pengendalian
dan pengawasan di bidang perencanaan, pengadaan, dan pengawasan pembangunan
infrastruktur energi baru, terbarukan, dan konservasi energi. Dua tugas dan fungsi
Direktorat baru ini yaitu:
a) Penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, evaluasi dan
pelaporan, serta pengendalian dan pengawasan di bidang perencanaan dan
pengadaan pembangunan infrastruktur energi baru, terbarukan, dan konservasi
energi; dan
b) Penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, evaluasi
dan pelaporan, serta pengendalian dan pengawasan di bidang pengawasan
pembangunan infrastruktur energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.

Program peningkatan kapasitas infrastruktur Energi Terbarukan dapat di lihat pada


gambar 13.

Gambar 13. Peningkatan Kapasitas Infrastruktur Energi Terbarukan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


26
Salah satu upaya meningkatkan pencapaian rasio elektrifikasi yang merupakan salah
satu indikator pemerataan aksesisbilitas terhadap energi adalah dengan meningkatkan
aksesibilitas terhadap sumber energi listrik terutama untuk masyarakat yang memang
belum terjangkau oleh jaringan listrik baik itu oleh PLN maupun penyedia listrik lainnya.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan sumber energi surya
secara mandiri untuk masing-masing rumah tangga. Melalui Peraturan Presiden No. 47
Tahun 2017 tentang Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi bagi Masyarakat
yang belum mendapatkan akses listrik pemerintah mengupayakan penyediaan lampu
penerangan dengan sumber listrik tenaga surya untuk ribuan rumah atau keluarga yang
membutuhkan di seluruh Indonesia.

LAMPU SURYA GRATIS UNTUK RAKYAT Tahun 2017-2019:


Untuk desa yang belum menikmati listrik sama sekali Total Lampu Tenaga Surya
Hemat Energi (LTSHE) yang
Telah dibagikan sebanyak 110.668 unit telah dibagikan sebanyak
lebih banyak dibandingkan target sebesar 100.546
unit di 22 Provinsi 363.220 unit
4.590

3.078 3.633
1.630
6.160
4.896 4.614 4.350 3.833

3.956 13.252

2.178
5.557
3.136 4.688
3.633
3.467 4.974

4.272

1.367
1.846 21.558

Gambar 14. Penyebaran Lampu Tenaga Surya Hemat Energi Tahun 2019

Dari tahun 2017 pemerintah berhasil mengimplementasikan Peraturan Presiden No.


47 tahun 2017 tersebut. Pada tahun 2017 Pemerintah telah berhasil memberikan akses
listrik untuk penerangan rumah dengan membagikan LTSHE kepada 79.556 rumah di 5
provinsi di Indonesia. Kemudian pada tahun 2018 program ini mengalami peningkatan
pencapaian yaitu dengan menyediakan listrik menggunakan LTSHE kepada 172.996
rumah di 16 provinsi di Indonesia. Sementara itu, untuk tahun 2019 sebagai tahun
terakhir penyediaan LTSHE ini, Telah dibagikan sebanyak 110.668 unit tersebar pada
22 Provinsi di Indonesia.

2. Capaian Kinerja
Capaian kinerja Direktorat Jenderal EBTKE pada tahun 2015 sampai tahun 2019 dapat
dilihat pada tabel berikut:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


27
Tabel 6. Capaian Indikator Kinerja Ditjen EBTKE Tahun 2015-2019
NO INDIKATOR KINERJA 2015 2016 2017 2018 2019
Sasaran strategis: Terwujudnya peran penting sub sektor Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
dalam penerimaan negara
1. PNBP sub sektor Energi Baru, Target 0,58 0,63 0,65 0,7 0,88
Terbarukan, dan Konservasi Energi Realisasi 0,88 0,93 0,93 2,28 1,93
(Triliun Rp.) Persentase Capaian 152 148 138 326 219,32%
Predikat Kinerja
Sasaran strategis: Meningkatnya investasi sub sektor Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
2. Jumlah Wilayah Kerja Panas Bumi Target 5 8 8 5 5
yang ditawarkan : Realisasi 5 8 10 5 6
Persentase Capaian 100 100 125 100 120
3. Investasi di bidang EBTKE
a. Panas Bumi (Miliar US$) Target 0,94 0,96 1,104 1,21 1,23
Realisasi 0,876 1,13 1,152 1,21 0,83
Persentase Capaian 93,24 117 104,34 100 67,48%
Predikat Kinerja
b. Bioenergi (Miliar US$) Target 0,28 0,31 0,595 0,072 0,051
Realisasi 0,439 0,419 0,749 0,073 0,105
Persentase Capaian 156,7% 133% 125,8% 101,4% 205,88%
Predikat Kinerja
c. Aneka Energi Baru dan Terbarukan Target 3,26 0,1 0,197 0,718 0,511
(Miliar US$) Realisasi 0,92 0,056 0,06 0,2425 0,754
Persentase Capaian 28 56 30,4 33,77 147,55%
Predikat Kinerja
d. Konservasi Energi (Miliar US$) Target - 0,00166 0,003 0,005 0,007
Realisasi - 0,003 0,00359 0,00623 0,012
Persentase Capaian - 180 119,58 124,6 181,43%
Predikat Kinerja
Sasaran strategis: Meningkatnya kemampuan pasokan energi untuk domestik
4. Jumlah Produksi
- Uap panas bumi`( Juta Ton) Target 71,46 73,8 86,73 97,84 103,8
Realisasi 74,26 79,7 92,11 101,47* 100,16
Persentase Capaian 104 108 106,21 103,7 96,49%
Predikat Kinerja
- Biofuel (Juta KL) Target 4,07 6,48 4,2 3,92 7,37
Realisasi 1,65 3,65 3,42 6,17 8,39
Persentase Capaian 41 % 56 % 81,42 % 157,39% 113,84%
Predikat Kinerja
- Biogas*) (ribu M3/tahun) Target 18.615 22.995 24.651 24.786 26.606
Realisasi 18.953,3 22.800 24.786 25.670 26.276
Persentase Capaian 101,8 % 99,15 % 100,5% 101,76 % 98,75 %
Target
5. Jumlah Kepala Keluarga (KK)/Rumah 83.350 17.624 81.328
Target 250.013 98.481
Tangga di wilayah terpencil (remote) (KK)
dan atau daerah perbatasan yang Realisasi 69.588 15.796 15.067 249.453 110668
dilistriki dengan pembangkit berbasis Persentase Capaian 83,48 90 18,52 99,78 112,37%
Energi Baru dan Terbarukan*) (Kepala
Keluarga) Predikat Kinerja
Sasaran strategis: Meningkatkan pembangunan infrastruktur energi
6. Jumlah Kapasitas Terpasang
Pembangkit Listrik Energi Baru dan
Terbarukan*):
a. Panas Bumi (MW) Target 1.438,5 1.657,5 1.858,5 2.058,5 2.128,5
Realisasi 1.438,5 1.643,5 1.808,5 1.948,5 2.130,7
Persentase Capaian 100 99,15 97,31 95 100,1%
Predikat Kinerja

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


28
NO INDIKATOR KINERJA 2015 2016 2017 2018 2019
b. Bioenergi (MW) Target 1.892 2.069,4 1.881 1.881 1.881,9
Realisasi 1.767,1 1.787,9 1.840,7 1.858,5 1.889,8
Persentase Capaian 93,39 86,3 97,86 98,80 100,42%
Predikat Kinerja
c. Air (MW) Target 8.340 6,12 112,55 167,02 318,07
Realisasi 5.331,85 2,81 43,77 31,04 203,8
Persentase Capaian 63,93 46 38,88 19 64,07%
Predikat Kinerja
d. Laut (MW) Target - - - - -
Realisasi - - - - -
Persentase Capaian - - - - -
e. Surya (MW) Target 76,9 15,59 11,78 51,11 15
Realisasi 85,02 6,62 5,12 1,5 85,62
Persentase Capaian 110,55 42 43,46 2,93 570,8%
Predikat Kinerja
f. Angin (MW) Target 5,8 0,85 - 135 60
Realisasi 2,42 0 - - 72
Persentase Capaian 41,72 0 - - 120%
Predikat Kinerja
g. Nuklir (MW) Target - - - - -
Realisasi - - - - -
Persentase Capaian - - - - -
Sasaran strategis: Meningkatkan efisiensi pemakaian dan pengelolaan energi
7. Intensitas Energi Pimer (Penurunan Target 482,2 477,3 434 429 425
Rata - rata 1% per tahun) (SBM/ Milliar Realisasi 501 438 434 428,6 424,87
Rp) Persentase Capaian 96,24 100 100 100,1 103,25%
Predikat Kinerja
8. Penurunan emisi CO2*) (Juta ton) Target 14,71 16,79 33,6 35,6 48,8
Realisasi 14,71 31,6 33,95 43,8 54,8
Persentase Capaian 100 188 101,05 112,5 112,3%
Predikat Kinerja
9. Jumlah Gedung bangunan pemerintah Target 10 10 - - -
yang menjadi objek audit energi Realisasi 10 10 - - -
(Objek) Persentase Capaian 100 100 - - -
10. Penerbitan Standar Kinerja Energi Target - 3 - - -
Minimum (SKEM)/ Label Peralatan - 3 draft -
Rumah Tangga (Peralatan) standar
untuk
peralatan
Realisasi - -
kulkas, rice
cooker,
dan motor
listrik
Persentase Capaian - 70 - - -
11. Pelaksanaan Investment Grade Audit Target - 4 - - -
(IGA) (Objek) Realisasi - 5 - - -
Persentase Capaian - 125 - - -
Sasaran strategis: Meningkatkan pengembangan berbagai sumber energi dalam rangka diversifikasi energi
12. Persentase Pemanfaatan BBN Target 10 20 20 20 20
pada BBM PSO (usaha mikro, Realisasi 4,92 18 18,85 19,38 20,29
usaha perikanan, usaha pertanian, Persentase Capaian 49,2% 90% 94% 96,90% 100%
transportasi dan pelayanan umum) (%)
Predikat Kinerja

13. Persentase Pemanfaatan BBN pada Target 10 20 10 15 20


BBM non-PSO (transportasi, industri, Realisasi 6,87 9,5 10,98 7,66 20,29
dan komersial, pembangkit listrik) (%) Persentase Capaian 68,7% 48% 110% 51,07% 100%
Predikat Kinerja

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


29
3. Capaian Regulasi
Pada periode RPJMN 2015-2019, beberapa regulasi dan perizinan/non perizinan
subsektor EBTKE dilakukan perubahan sesuai dengan arahan presiden “kita pangkas
perizinan dan birokrasi untuk menciptakan iklim investment friendly, mendukung
pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja”. Untuk mendukung tujuan tersebut,
subsektor ebtke melakukan revisi 5 regulasi dan 9 perizinan sebagai berikut:

Tabel 7. Regulasi Subsektor EBTKE yang Dicabut


Manfaat dan nilai tambah
Peraturan yang Latar belakang
No Peraturan yang dihapus penghapusan peraturan bagi
menghapus penghapusan/revisi
dunia usaha
1. 19/2015 Tentang Pembelian Tenaga Permen ESDM No. 9 Sudah terakomodir dalam Permen 50 Tahun untuk menyelaraskan kebijakan harga
Listrik dari PLTA dengan Kapasitas Tahun 2018 tentang 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi pembelian tenaga listrik berbasis
sampai dengan 10 MW oleh PT. PLN Pencabutan Permen Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik EBT memakai pola BPP PLN sesuai
2. 19/2016 Tentang Pembelian Tenaga Esdm Terkait Kegiatan dengan Permen ESDM SO Tahun 2017
listrik dari PLTS Fotovoltaik Oleh PT. di Bidang Energi tentang Pemanfaatan Sumber Energi
PLN Baru, Terbarukan dan Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga
Konservasi Energi listrik
3. 21/2016 Tentang Pembelian Listrik
PLTBm dan PLTBg oleh PT. PLN
4. 14/2016 Tentang Penyelenggaraan - Pengaturan SKT sebagai tanda izin tidak diperlukan lagi Surat Keterangan
Usaha Jasa Konservasi Energi penyelenggaran usaha efisiensi energi Terdaftar sebagai tanda izin
bersifat pilihan bukan kewajiban penyelenggaran usaha efisiensi energi
- Keharusan instansi pemerintah, instansi (upaya penyederhanaan perizinan)
pemerintah daerah, BUMN dan BUMD
untuk menggunakan jasa efisiensi energi
yang telah memiliki SKT tidak disertai
dengan sanksi
5. 13/2012 Tentang Penghematan - Kebijakan Penghematan Pemakaian tenaga sebagai upaya simplikasi peraturan
Pemakaian Tenaga listrik listrik pada lingkup Bangunan Gedung perundang-undangan subsektor
Negara, Gedung BUMN, Rumah Tinggal EBTKE, karena secara substansi
Pejabat dan Penerangan Jalan Umum Permen ESDM Nomor 13/2012 tidak
tidak berjalan efektif, karena tidak ada berkaitan langsung dengan lnvestasi
sanksi yang mengikat; pada Subsektor EBTKE

Tabel 8. Perizinan/Non Perizinan terkait Subsektor EBTKE yang Dicabut


Perizinan/Sertifikasi/Persetujuan/Rekomendasi Manfaat dan nilai tambah penghapusan Perizinan/Sertifikasi/
No
yang dihapus* Persetujuan/Rekomendasi
1. lzin Penggunaan Gudang Bahan Peledak Panas Bumi Tidak diperlukan lagi lzin Penggunaan Gudang Bahan Peledak Panas Bumi, karena
pegawasan keteknikan dan keselamatan gudang bahan peledak akan digabung
dengan aspek Kesehatan, Keselamatan Kerja dan lingkungan (K3L) lainnya,
Sehingga tidak diperlukan izin khusus untuk penggunaan gudang bahan peledak.
2. Rekomendasi Pembelian dan penggunaan bahan peledak panas Tidak diperlukan lagi Rekomendasi Pembelian dan penggunaan bahan peledak
bumi panas bumi dan Rekomendasi pemusnahan bahan peledak Panas Bumi, karena
3. Rekomendasi pemusnahan bahan peledak Panas Bumi DJEBTKE hanya memastikan bahwa bahan peledak yang dibeli, digunakan atau
dimusnahkan oleh badan usaha merupakan bahan peledak yang diperuntukkan
untuk kegiatan panas bumi, sehingga penerbitan rekomendasi dapat diganti dengan
koordinasi langsung antara POLRI dengan Kementerian KESDM.
4. Rekomendasi rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) prosedur pengurusan perizinan tenaga kerja asing dapat disederhanakan
5. Rekomendasi izin mempergunakan tenaga kerja asing {IMTA)
6. Penerbitan Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan Panas Bumi untuk lebih mengefektifkan proses pengawasan kelayakan penggunaan peralatan
7. Penerbitan Sertifikat Kelayakan Penggunaan lnstalasi Panas Bumi dan instalasi panas bumi, proses sertifikasi dilakukan oleh pihak ketiga yang memilki
kopetensi dibidang keteknikan panas bumi (Perusahaan Jasa lnspeksi Teknis/PJIT)
8. Persetujuan Spesifikasi Prosedur Las dan Rekaman Kualifikasi Untuk lebih mengefektifkan proses pengawasan, mekanisme persetujuan
Prosedur Las (WPS/PQR) serta Kualifikasi Juru las Spesifikasi Prosedur las dan Rekaman Kualifikasi Prosedur las (WPS/PQR) serta
Kualifikasi Juru Las, dapat dilaksanakan melalui pembinaan dan pengawasan aspek
Kesehatan, Keselamatan Kerja dan lingkungan (K3L) lainnya. Dengan catatan
bahwa pengujiannya tetap disaksikan oleh Petugas Direktorat Panas Bumi guna
memenuhi kaidah keteknikan yang baik dan benar.
9. Persetujuan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Perusahaan Jasa/ prosedur pengawasan Perusahaan Jasa/Penunjang Panas Bumi dapat
Penunjang Panas Bumi disederhanakan, karena kegiatan penerbitan SKT sifatnya hanya mendata badan
usaha jasa/penunjang panas bumi yang izin usahanya telah diterbitkan oleh instansi
yang berwenang untuk mengeluarkan izin tersebut.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


30
Dalam hal mendukung kegiatan iklim usaha dan kegiatan subsektor EBTKE, beberapa
pencapaian produk regulasi Direktorat Jenderal EBTKE sampai dengan tahun 2019
berdasarkan masing-masing kategori adalah sebagai berikut :

1. Sektor Panas Bumi


UNDANG-UNDANG PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN
1. UU 30/2007 tentang Energi. 1. PP 9/2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis 1. Perpres 56/2018 jo Perpres 3/2016 tentang Percepatan
2. UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. PNBP yang Berlaku pada KESDM. Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
3. UU 21/2014 tentang Panas Bumi. 2. PP 79/2014 tentang KEN. 2. Perpres 14/2017 jo Perpres 4/2016 tentang Percepatan
4. UU 16/2016 tentang Ratifikasi Paris 3. PP 28/2016 tentang Besaran dan Tata Cara Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Agreement. Pemberian Bonus Produksi Panas Bumi. 3. Perpres 22/2017 tentang RUEN.
4. PP 7/2017 tentang Panas Bumi untuk
Pemanfaatan Tidak Langsung.

PERATURAN / KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


1. Permen ESDM 11/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi.
2. Permen ESDM 17/2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Uap Panas Bumi untuk PLTP oleh PT PLN.
3. Permen ESDM 40/2014 tentang Perubahan Keempat atas Permen 15/2010 Tentang Daftar Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik
Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas Bumi serta Transmisi Terkait PP 79/2014 tentang KEN.
4. Permen ESDM 44/2016 tentang Bentuk dan Tata Cara Penempatan Serta Pencairan Komitmen Eksplorasi Panas Bumi.
5. Permen LHK 46/2016 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan.
6. Permen ESDM 21/2017 tentang Pengelolaan Limbah Lumpur dan Serbuk Bor pada Pemboran Panas Bumi.
7. Permen ESDM 23/2017 tentang Tata Cara Rekonsiliasi, Penyetoran dan Pelaporan Bonus Produksi Panas Bumi.
8. Permen ESDM 36/2017 tentang Tata Cara PSP dan PSPE Panas Bumi.
9. Permen ESDM 37/2017 tentang Wilayah Kerja Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
10. Permen ESDM 49/2017 tentang Perubahan Atas Permen ESDM 10/2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik.
11. Permen ESDM 53/2018 jo Permen ESDM 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber EBT Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
12. Permen ESDM 33/2018 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data dan Informasi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.
13. Permen ESDM 37/2018 tentang Penawaran Wilayah Kerja Panas Bumi, Pemberian Izin Panas Bumi dan Penugasan Pengusahaan Panas Bumi.

2. Sektor Bioenergi
UNDANG-UNDANG PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN
1. UU No. 30/2007 tentang Energi. 1. PP 81/2012 tentang Pengelolaan 1. Perpres No. 3 tahun 2016 jo No. No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan
2. UU No. 18/2008 tentang Sampah Rumah Tangga dan Sampah Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pengelolaan Sampah. Sejenis Sampah Rumah Tangga. 2. Perpres No. 4 tahun 2016 jo No. Perpres No. 14 tahun 2017 tentang
3. UU No. 30/2009 tentang 2. PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK).
Ketenagalistrikan. Energi Nasional. 3. Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
4. Perpres No. 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi
Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah
Lingkungan.

PERATURAN / KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


1. Permen ESDM No. 35/2013 jo No. 12/2016 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Ketenagalistrikan.
2. Permen ESDM No. 10/2017 jo No. 49/2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik.
3. Permen ESDM No. 19/2017 tentang Pemanfaatan Batubara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik (Excess Power).
4. Permen ESDM No. 48/2017 tentang Pengawasan Pengusahaan di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral.
5. Permen ESDM No. 50/2017 jo No. 53/2018 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Listrik.
6. Kepmen ESDM No. 55/2019 tentang Besaran Biaya Pokok Penyediaan Pembangkitan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tahun 2018.

3. Sektor Bioenergi
UNDANG-UNDANG PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN
1. UU No. 30/2007 tentang Energi. 1. PP No. 79/2014 tentang Kebijakan 1. Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
2. UU No. 39/2014 tentang Energi Nasional. 2. PP No. 66/2018 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 61/2015 tentang
Perkebunan. 2. PP No. 24/2015 tentang Penghimpunan Penghimpunan & Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dana Perkebunan.

PERATURAN / KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL


1. Permen ESDM No. 12/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan
Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
2. Permen ESDM No. 41/2018 jo Permen ESDM No. 45/2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Dalam Kerangka
Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
3. Kepmen ESDM No. 1770/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Kepmen ESDM No. 6034/2016 tentang Harga Indeks Pasar BBN (Biofuel) Yang Dicampurkan Ke
Dalam Bahan Bakar Minyak.
4. Keputusan Dirjen EBTKE No. 332K/10/DJE/2018 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) BBN Jenis Biodiesel.

PERATURAN LAIN YANG TERKAIT


1. Peraturan Menkeu No.113/PMK.01/2015 tentang Organisasi & Tata Kerja Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
2. Peraturan Menkeu 152/PMK.05/2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU) BPDPKS pada Kementerian Keuangan.
3. Peraturan Menkeu No. 164/PMK.010/2018 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
4. Peraturan Mendag No. 54/2015 tentang Verifikasi Kelapa Sawit, CPO dan Turunannya.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


31
4. Sektor Aneka EBT
UNDANG-UNDANG PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN
1. UU No. 30/2007 tentang Energi. 1. PP No. 79/2014 tentang Kebijakan 1. Perpres No. 56/2018 jo Perpres 3/2016 tentang Percepatan
2. UU No. 30/2009 tentang Energi Nasional. Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Ketenagalistrikan. 2. PP No. 14/2002 jo PP 23/2014 tentang 2. Perpres No. 14/2017 jo Perpres 4/2016 tentang Percepatan
3. UU No. 7/2007 tentang Sumber Daya Air. Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
4. UU No.16/2016 tentang Komitmen Listrik. 3. Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.
Terhadap Perubahan Iklim. 4. Perpres No. 47/2017, Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat
Energi bagi Masyarakat yang Belum Mendapatkan Akses Listrik.
5. Perpres No. 194/2014, Perubahan Kedua Atas Peraturan
PERATURAN / KEPUTUSAN MENTERI ENERGI
Presiden No.4 Tahun 2010 tentang Penugasan Kepada PLN untuk
DAN SUMBER DAYA MINERAL Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik
yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas.
1. Permen ESDM 16/2015, Kriteria dan/atau Persyaratan Dalam Pemanfaatan Fasilitas
6. Perpres No. 38/2015, Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu di Daerah-
Usaha (KPBU).
Daerah Tertentu pada Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral.
2. Permen ESDM 38/2016, Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan Belum Berkembang,
Terpencil, Perbatasan dan Pulau Kecil Berpenduduk Melalui Pelaksanaan Usaha PERATURAN LAIN YANG TERKAIT
Penyediaan Tenaga Listrik untuk Skala Kecil.
3. Permen ESDM No. 33/2017, Tata Cara Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi 1. Permenperin No.54/M-IND/PER/3/2012, Pedoman Penggunaan
bagi Masyarakat yang Belum Mendapatkan Akses Listrik. Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur
4. Permen ESDM No. 12/2018, Perubahan atas Permen ESDM No. 39/2017 tentang Ketenagalistrikan.
Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan EBTKE. 2. Permenperin No.5/M-IND/PER/2/2017, Perubahan Atas
5. Permen ESDM No. 49 Tahun 2018, Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap Permenperin No.54/M-IND/PER/3/2012 tentang Pedoman
oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan
6. Permen ESDM No. 50/2017 Jo 53/2018 Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Pembangkit Listrik.
7. Kepmen ESDM No. 39 K/20/MEM/2019, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) 2019-2028.

4. Tata Kelola Energi Baru dan Terbarukan


Dalam mewujudkan sistem tata kelola Direktorat Jenderal EBTKE yang baik, diperlukan
kejelasan alur pengusahaan sektor EBTKE dan sinkronisasi penyediaan data dan
informasi baik kebijakan, regulasi, program, layanan, data potensi, data pembangkit,
pembinaan dan pengawasan. Berikut Tabel diagram alur pengusahaan masing-masing
sektor di EBTKE:

Tabel 9 . Tabel alur proses pengusahaan panas bumi

Potensi/ STADIUM PENGUSAHAAN


STADIUM (S-X) (S-X)
PENGUSAHAAN
Potensi
Stadium Panas Survei Survei Pendahuluan Penetapan Penawaran Penerbitan Eksplorasi - FS PPA Eksploitasi dan
Keterangan
Bumi Pendahuluan / SP dan Eksplorasi / SPE WKP WKP IUP Pemanfaatan

Instansi (S-0) (S-1) (S-3) (S-4) (S-5) (S-6) (S-7) (S-8)


(S-2)

Kementerian Peta Biaya Biaya


Evaluasi Laporan Pelelangan
Penugasan pembelian
Hasil SP atau WKP Persetujuan dan pengaturan harga
ESDM Potensi APBN Lap. APBN
SPE FS listrik oleh Ditjen Gatrik
(Bageol/
Ditjen EBTKE/ Penugasan
WKP WKP
Ditjen Gatrik)

Pemda Prov./ Biaya


Kab./Kota APBD

Lembaga/ Biaya
Institusi Pihak
Lain
Penelitian
Pemanfaatan
Eksplorasi -

Eksploitasi

Badan Biaya
IPB
FS

dan

Pihak
Usaha Lain

- PLN mensyaratkan 85% BPP


PLN (Permen 50/2017 100% BPP)
PPA - Amandemen PPA mensyaratkan
(off taker) 85% BPP (lebih rendah dari
harga PPA sebelumnya sehingga
negosiasi alot)
- Persetujuan Harga oleh Menteri

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


32
Tabel 10. Tabel alur proses pengusahaan PLTBm dan PLTBg

STADIUM Penunjukan Langsung/


Pelelangan Terbatas Persetujuan Harga PJBL COD
(S-2) (S-3) Keterangan
(S-1) (S-4)
(Permen 19/2017 dan Perdir PLN (Perdir PLN 0005/2018 ps 8) (Perdir PLN 0005/2018)
INSTANSI 0005/2018 ps 12)

PLN • Jika kriteria wilayah setempat


Persetujuan Harga deĮsit tenaga listrik , maka Harga
Penunjukan Pembelian Listrik
pembelian excess power paling
Langsung dari Menteri
ESDM ƟŶggi sebesar 90% BPP setempat
• Jika kriteria wilayah setempat

Harga Pembelian Listrik


Permohonan Persetujuan
Kesepakatan Harga
ƟĚĂŬ deĮsit tenaga listrik
Badan Usaha (menurunkan BPP pembangkitan
Pemenang Lelang sistem ketenagalistrikan
dan Kesepakatan PLT harus telah
Penanda tanganan setempat), maka Harga
COD
Harga beroperasi PJBL pembelian excess power paling
ƟŶggi sebesar 70% BPP setempat.
Pemerintah • Berdasrkan Permen 19/2017,
harga maksimum 90% BPP
Daerah Izin Operasii
harus sudah setempat.
dimiliki sebelum
proses lelang

Kementerian Pengaturan harga listrik oleh


Evaluasi
Ditjen Ketenagalistrikan
ESDM Permohonan &
Dokumen Kelengkapan
Pendukung Untuk Persyaratan
Persetujuan Harga

Persetujuan
Harga

Tabel 11. Tabel alur proses pengusahaan PLT Bioenergi (Excess Power)

STADIUM Lelang Oleh Penunjukkan Persetujuan


Pemda Langsung Harga PJBL FC IUPTL Konstruski COD
(S-0) (S-1) (S-2) (S-3) (S-4) (S-5) (S-6) (S-7) Ket.
(Permen 50/2017 (Permen 50/2017 (Permen 10/2017) (Permen 35/2013
INSTANSI ps 10) ps 14) jo No. 12/2016)

Pemerintah 1. KOMPETISI BU •Tidak semua


-Hasil veriĮkasi FS
Pemda bersedia
Daerah 2. PENUGASAN & Studi Jaringan. membayar BLPS
BUMD -PKS •Di luar proyek
3. PENUGASAN -Jaminan percepatan
BUMN feedstock PLTSa, harga
mengacu BPP
setempat
BU/ PKS Hasil veriĮkasi dianggap belum
Penanda
BUMD/ FS dan Studi tanganan
Pemenuhan
Konstruksi COD
memenuhi
FC kelayakan.
BUMN Penyusunan FS & Jaringan PJBL •Proyek
Studi Jaringan percepatan
PLTSa
PLN Evaluasi FS, Studi Penugasan difokuskan
Jaringan & Pembelian pada kota yang
Listrik dari mengalami
Kesepakatan Menteri darurat
Harga ESDM sampah. Kota
Kesepakatan Harga
lain dimungkin-
KESDM kan selama
Dokumen Evaluasi Evaluasi memenuhi
Pendukung Untuk Permohonan & Permohonan & persyaratan,
Persetujuan Harga Kelengkapan Kelengkapan memiliki
Persyaratan Persyaratan komitmen
pendanaan dan
ketersediaan
Persetujuan dana
Harga & IUPTL SLO pemerintah
Penugasan pusat . 11

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


33
Tabel 12. Tabel alur proses pengusahaan PLTSa

STADIUM Pemilihan Persetujuan PJBL FC IUPTL Konstruksi COD


Langsung Harga
(S-1) (S-2) (S-3) (S-4) (S-5) (S-6) (S-7) Keterangan

INSTANSI (Permen 50/2017 ps 8 & 9) (Permen 50/2017 ps 14) (Permen 10/2017) (Permen 35/2013 jo No. 12/2016)

PLN Penugasan Negosiasi


Pemilihan Pembelian kesepakatan harga
Langsung Listrik dari PLN dan BU : PLN

Penugasan Pembelian Listrik


Permohonan Persetujuan Harga &
Menteri ESDM pada umumnya
mensyaratkan 70%
Kesepakatan Harga BPP (Permen
50/2017 85% BPP)
Pemenang
Badan Usaha Lelang dan Penanda Pemenuhan
Kesepakatan tanganan PJBL FC Konstruksi COD
Harga Permohonan
Izin Lokasi

Pemerintah
Izin Lokasi
Daerah

Kementerian Evaluasi Penugasan


Evaluasi Permohonan
Permohonan & pembelian dan
ESDM Dokumen Kelengkapan
& Kelengkapan
pengaturan harga
Persyaratan
Pendukung Untuk Persyaratan listrik oleh Ditjen
Persetujuan Harga Gatrik
Persetujuan
IUPTL SLO
Harga &
Penugasan

Tabel 13. Tabel alur proses pengusahaan Bahan Bakar Nabati

STADIUM Penyediaan Penyaluran


Penerbitan Proses Penetapan Kontrak
Fasilitas dan VeriĮkasi Pembayaran
Izin Usaha Pengadaan Alokasi Pengadaan Keterangan
Produksi Pencampuran InsenƟĨ InsenƟĨ
Niaga BBN BBN BBN BBN
INSTANSI BBN BBN
Penerbitan Izin
DJEBTKE : DJM: Keputusan VeriĮŬĂƐi
1. Reviu admin
Niaga BU BBN
Penyampaian Menteri volume
dan ƚĞŬŶŝƐ mengacu pada
BU BBM dan
KESDM 2. Penerbitan DJEBTKE:
ESDM
tentang ŽŶŐŬŽƐ
Permen ESDM No.
izin usaha Penetapan BU ĂŶŐŬƵƚ
32/2008.
AloŬasi BBN
BBN

Proses pengadaan
Perhitungan BBN jenis biodeisel
Perjanjian
WƌŽLJĞŬsi Kerjasama dan mengacu pada
BPDPKS Ketersediaan dengan BU Pembayaran
/ŶƐĞŶƟĨ BBN
Permen ESDM No.
Dana BBN 41/2018 jo Permen
ESDM No. 45/2018

Perjanjian VeriĮŬĂƐŝ volume


Pembangunan Kerjasama dan ongŬos angŬut
BADAN Unit WƌŽĚƵŬƐŝ dengan Penyaluran Penerimaan
/ŶƐĞŶƟĨ BBN dilaŬƵŬan oleh
dan Pengajuan BPDPKS dan BBN Ŭe BU
USAHA Izin Usaha KontraŬ BBM Ditjen Migas.
Niaga BBN
BBN dengan BU
BBM

OFF WƌŽLJĞŬsi
Demand BBM KontraŬ Pencampuran
TAKER/ dan Kebutuhan dengan BU
BBN
dan Distribusi
BBN Ŭe end user
BU BBM

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


34
Tabel 14. Tabel alur proses pengusahaan PLT Aneka EBT

STADIUM Pemilihan Persetujuan


Langsung Harga PJBL FC IUPTL Konstruski COD
(S-1) (S-2) (S-3) (S-4) (S-5) (S-6) (S-7) Keterangan
(Permen 50/2017 (Permen 50/2017 (Permen 10/2017) (Permen 35/2013 jo No.
INSTANSI ps 5, 6 & 7) ps 14) 12/2016)

PLN Penugasan Pemilihan


Pemilihan Pembelian langsung
Langsung

Penugasan Pembelian Listrik


Permohonan Persetujuan Harga &
Listrik dari dilakukan
Menteri ESDM berdasarkan
kuota dan DPT

Badan Badan Usaha


Pemenang
Pemenang
Usaha Lelang dan Penanda Pemenuhan
Konstruksi COD Lelang
Kesepakatan tanganan PJBL FC
Harga mendapatkan
kepasƟan
Pemerintah kapasitas dan
harga jual listrik
Daerah Permohonan
Izin Lokasi
untuk diminta
Izin Lokasi persetujuan
kepada Menteri
Kementerian Evaluasi Evaluasi
ESDM Permohonan & Permohonan &
Permohonan Kelengkapan Kelengkapan
Persetujuan Harga Persyaratan Persyaratan

Persetujuan SLO
IUPTL
Harga &
Penugasan

Selain itu, sinkronisasi penyediaan data dan informasi juga sangat diperlukan untuk
menunjang terlaksananya program mandatory pemerintah terutama pada sektor panas
bumi, bioenergi, dan aneka EBT.

Gambar 15. Alur Tata Kelola Direktorat Panas Bumi

Rincian tahapan dalam pengusahaan panas bumi sesuai Undang-Undang Nomor 21


Tahun 2014 Tentang Panas Bumi dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017
tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung adalah sebagai berikut:

1. Survei Pendahuluan : kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan


penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan
geokimia, serta survei landaian suhu apabila diperlukan, untuk memperkirakan
letak serta ada atau tidak adanya sumber daya Panas Bumi.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


35
2. Eksplorasi : rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika,
geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk
memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan
mendapatkan perkiraan cadangan Panas Bumi.

3. Studi Kelayakan : kajian untuk memperoleh informasi secara terperinci terhadap


seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan teknis, ekonomis, dan
lingkungan atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan Panas Bumi
yang diusulkan.

4. Eksploitasi : rangkaian kegiatan pada Wilayah Kerja tertentu yang meliputi


pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas
lapangan dan penunjangnya, serta operasi produksi Panas Bumi.

5. Pemanfaatan Tidak Langsung : kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas


Bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi
energi listrik.

Di tahap awal pengembangan, Pemerintah memberi kesempatan kepada lembaga


atau institusi penelitian untuk melakukan Penugasan Survei Pendahuluan (PSP) dan
badan usaha untuk melakukan Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE),
sebagaimana tercantum dalam Permen ESDM Nomor 37/2017 tentang Tata Cara PSP dan
PSPE Panas Bumi. Pada proses PSPE, badan usaha diberikan kesempatan untuk melakukan
proses survei pendahuluan dan eksplorasi selama 3+1+1 tahun dengan menyetorkan dana
komitmen eksplorasi sebesar 5% dari biaya yang ditentukan. Badan usaha untuk PSPE
dipilih melalui mekanisme kontes dengan output yang diharapkan berupa hasil survey 3G
(Geofisika, Geokimia, Geologi) dan minimal pengeboran 1 sumur eksplorasi.

PERUMUSAN
KEBIJAKAN/REGULASI/PROGRAM/LAYANAN

REGULASI PROGRAM LAYANAN


KEBIJAKAN 1. Perizinan Badan Usaha BBN
1. Perpres 35/2018 2. Rekomendasi Ekspor Impor BBN
2. Permen ESDM No. 12/2015 1. RPJMN, RENSTRA 1. PLTBm, PLTBg, PLTSa dan PLT BBN 3. Rekomendasi Tax Allowance, Tax
2. Biogas Rumah Tangga Holiday, Pembebasan Pajak
3. Permen ESDM No. 50/2017 jo 53/2018 2. Pemberlakuan SNI Wajib
3. Biogas Komunal 4. Fasilitasi Badan Usaha, Pemda,
4. Permen ESDM No. 41/2018 jo 45/2018 3. Penyusunan RSNI dan RSKKNI
BUMN, calon investor dan donor.
5. Keputusan Dirjen EBTKE No. 4. Mandatori BBN
5. Pedoman dan Petunjuk Teknis
332K/10/DJE/2018 5. Pengembangan Green Fuels
6. Pengaduan masyarakat
7. Promosi Investasi
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PENGUSAHAAN BIDANG BIOENERGI
PENGUJIAN TEKNIS PEMANFAATAN BIOENERGI
MONEV IMPLEMENTASI
PLT BIOENERGI PENGUJIAN TEKNIS
MONEV PENGUJIAN TEKNIS
MANDATORI BBN PEMANFAATAN BBN PADA PEMANFAATAN BBN PADA
KENDARAAN BERMOTOR KERETA API
MONEV REALIASI MONEV K3LL
BIOGAS
MONEV INVESTASI
BIDANG BIOENERGI

PENGUJIAN TEKNIS PENGUJIAN TEKNIS PENGUJIAN TEKNIS


EDUKASI PROGRAM PEMANFAATAN BBN PEMANFAATAN BBN PADA PEMANFAATAN BBN PADA
SOSIALISASI DAN BIMTEK MONEV TKDN BIOENERGI PADA ALAT BERAT ALUTSISTA ALAT INDUSTRI PERTANIAN
PROGRAM BIOENERGI MONEV GRK

Gambar 16. Tata kelola Direktorat Bioenergi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


36
PERUMUSAN
KEBIJAKAN/REGULASI/PROGRAM/LAYANAN

REGULASI PROGRAM LAYANAN


1. Rekomendasi Tax Allowance, Tax
Holiday, Pembebasan Pajak
KEBIJAKAN 2. Pengaduan masyarakat
1. RPJMN, RENSTRA 1. IdenƟĮkasi Data Potensi Bekerja sama
1. Permen 49/2018 tentang PLTS Atap 2. Pemberlakuan SNI Wajib dengan PEMDA dan Balitbang 3. Fasilitasi Usulan Pemda untuk
2. Sinkronisasi dengan K/L, Pemda, IPP, PLN, ĚŝƟndaklanjuƟ PLN
3. Penyusunan SNI dan SKKNI
mitra kerja sama dan CSR Badan Usaha 4. Fasilitasi Usulan Pengembang
3. Kerja sama pengembangan Aneka EBT untuk masuk RUPTL atau
secara regional, bilateral, ŵƵůƟůateral mendapat Wilayah Usaha
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 5. Promosi Investasi
PENGUSAHAAN BIDANG ANEKA EBT

DATA POTENSI ANEKA EBT DATA PEMBANGKIT IPP ANEKA EBT

MONEV MONEV IMPLEMENTASI MONEV INVESTASI MONEV


IMPLEMENTASI PLTS RUPTL BIDANG ANEKA EBT BIDANG ANEKA EBT MONEV RAN GRK IMPLEMENTASI
ATAP RUEN DAN RUED

Update dan Monitoring VĞƌŝĮkasi dan Monitoring


Data dan Informasi Potensi Data Pembangkit IPP
MONEV IPP MONEV PROYEK KSP, MONEV TKDN MONEV MONEV Aneka EBT (Pemda dan
BIDANG SUMBA ICONIC ISLAND, PLT ANEKA KEBERLANJUTAN TENAGA Aneka EBT (Pengembang,
ANEKA EBT PEMANFAATAN WADUK EBT PLT ANEKA EBT EX KERJA (LOKAL PLN) Pemda dan PLN)
APBN DJEBTKE DAN ASING)

Gambar 17. Tata Kelola Direktorat Aneka EBT

C. POTENSI PENGEMBANGAN SEKTOR EBTKE


Pembahasan pada bagian ini akan lebih fokus kepada potensi pengembangan sektor Energi
Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi yang terbagi dalam empat kategori yaitu potensi
pengembangan panas bumi, bioenergi, aneka EBT, dan penurunan emisi CO2 Konservasi
Energi.

1. Potensi pengembangan Panas Bumi

Tabel 15. Tabel Sumber Daya Panas Bumi di Indonesia (Badan Geologi, 2019)

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


37
Hingga tahun 2019, pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkitan listrik
telah menghasilkan kapasitas terpasang sebesar 2130,7 MW atau sebesar 8.9% dari
sumber daya panas bumi, yang terdapat pada 11 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP)
seperti dijelaskan pada Tabel 3. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014
tentang Panas Bumi yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung dijelaskan bahwa proses
pengusahaan panas bumi dimulai dari tahapan penyiapan wilayah kerja. Penyiapan
wilayah kerja dapat berasal dari skema survei penudahuluan dan eksplorasi yang
dilakukan oleh Pemerintah maupun Penugasan Survei Pendahuluan dan Penugasan
Survei Pendahuluan dan Eksplorasi yang dilaksanakan oleh Badan Usaha. Tahapan
selanjutnya dilakukan kegiatan penawaran wilayah panas bumi kepada Badan Usaha
atau dengan memberikan Penugasan pengusahaan panas bumi kepada Badan Usaha
Milik Negara. Badan Usaha yang ditetapkan sebagai pemenang lelang maupun yang
diberi penugasan oleh Pemerintah akan diberikan Izin Panas Bumi yang ditetapkan
oleh Menteri ESDM yang berlaku selama 37 tahun meliputi 5 tahun untuk eksplorasi
dengan opsi perpanjangan selama 2 kali masing-masing 1 tahun dan 30 tahun jangka
waktu untuk eksploitasi dan pemanfaatan.

2. Potensi pengembangan Bioenergi


Potensi bioenergi tersebar diseluruh Indonesia dengan berbagai macam jenis dan
pemanfaatannya. Pemanfaatan untuk pembangkit biomassa menggunakan bahan
baku dari hasil industry/limbah pabrik kelapa sawit (EFB/tankos), pabrik pulp dan
paper (black liquor), pabrik tebu (ampas tebu), pabrik penggilingan padi (sekam padi),
pabrik pengolahan jagung (bonggol jagung), sedangkan untuk pembangkit biogas
menggunakan bahan baku limbah cair kelapa sawit, limbah cair pabrik tapioca, dan
terakhir untuk pembangkit sampah kota bahan baku yang digunakan adalah sampah
kota yang berada di TPA masing-masing daerah.

Untuk pemanfaatan non-listrik bioenergi dalam hal ini adalah biofuel (biodiesel dan
bioethanol) menggunakan bahan baku yang berasal dari industry kelapa sawit (CPO)
dan industry gula (molases), sedangkan untuk biogas skala rumah tangga/komunal,
bahan baku yang digunakan adalah limbah peternakan (sapi/kambing/babi/ayam).

Besaran nilai potensi yang dapat di-generate menjadi listrik hingga saat ini
belum terpetakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM.
Potensi bioenergi tersebar diseluruh Indonesia dengan berbagai macam jenis dan
pemanfaatannya. Pemanfaatan untuk pembangkit biomassa, baik untuk PLT Biomassa
maupun co-firing dengan batubara pada PLTU, menggunakan bahan baku dari hasil
industry/limbah pabrik kelapa sawit (EFB/tankos), pabrik pulp dan paper (black liquor),

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


38
pabrik tebu (ampas tebu), pabrik penggilingan padi (sekam padi), pabrik pengolahan
jagung (bonggol jagung), kayu dari hutan industri, serta limbah pada agro industri
lainnya, sedangkan untuk pembangkit biogas menggunakan bahan baku limbah cair
kelapa sawit, limbah cair pabrik tapioca, pemanfaatan untuk pembangkit listrik ber
basis CPO, dan terakhir untuk pembangkit sampah kota bahan baku yang digunakan
adalah sampah kota yang berada di TPA masing-masing daerah.

Untuk pemanfaatan non-listrik bioenergi dalam hal ini adalah biofuel (biodiesel dan
bioethanol) menggunakan bahan baku yang berasal dari industry kelapa sawit (CPO)
dan industry gula (molases), sedangkan untuk biogas skala rumah tangga/komunal,
bahan baku yang digunakan adalah limbah peternakan (sapi/kambing/babi/ayam) dan
kotoran manusia (pondok pesantren).

Besaran nilai potensi yang dapat di-generate menjadi listrik hingga saat ini belum
terpetakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM sehingga
Direktorat Bioenergi berinisiasi untuk memetakan potensi tersebut, adapun hasil
pemetaan yang telah dilakukan saat ini adalah potensi yang berasal dari limbah industri
agro.

Berdasarkan kajian yang dilaksanakan oleh Direktorat Bioenergi tahun 2012 sebesar 32
GW dengan tabel rincian sebagaimana data berikut:

Tabel 16. Potensi Bioenergi per Provinsi


Nusa
No Potensi Sumatera Kalimantan Jamali Sulawesi Maluku Papua Total (MWe)
Tenggara
1 Kelapa Sawit 8,812 3,384 60 - 323 - 75 12,654
2 Tebu 399 - 854 - 42 - - 1,295
3 Karet 1,918 862 - - - - - 2,781
4 Kelapa 53 10 37 7 38 19 14 177
5 Sekam Padi 2,255 642 5,353 405 1,111 22 20 9,808
6 Jagung 408 30 954 85 251 4 1 1,733
7 Singkong 110 7 120 18 12 2 1 271
8 Kayu 1,212 44 14 19 21 4 21 1,335
9 Limbah ternak 96 16 296 53 65 5 4 535
10 Sampah Kota 326 66 1,527 48 74 11 14 2,066
Total (MWe) 15,588 5,062 9,215 636 1,937 67 151 32,654

* Kajian Data Potensi Tahun 2012

Potensi per komoditas yang saat ini sedang diinisiasi oleh Direktorat Bioenergi sebagai
berikut:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


39
Tabel 17. Potensi Bioenergi per Komoditas

No Komoditas Potensi Teknis (MW)


1 Gula 117,43
2 Kayu 18,69
3 Kelapa Sawit 5.422,31
4 Padi 172,44
5 Pulp dan Kertas 206,77
6 Tapioka 0
Total 5.937,64
* Saat ini komoditas terkait potensi bioenergi dari hutan energi masih
dalam proses updating

3. Potensi pengembangan Aneka EBT


Potensi Energi Air
Sebagai negara yang berada di wilayah khatulistiwa, Indonesia memiliki curah hujan
yang sangat tinggi setiap tahunnya sehingga memiliki sumber air yang cukup besar
baik itu run off river ataupun bendungan, sehingga memiliki potensi energi air yang
potensiaI untuk dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik untuk pembangkit listrik.
Sesuai dengan data yang disebutkan dalam RUEN, Indonesia memiliki total potensi
PLTA sebesar 75.091 MW. Potensi energi air secara detail berdasarkan RUEN dapat
dilihat pada tabel 18 di bawah ini:

Tabel 18. Potensi Tenaga Air per Provinsi di Indonesia

No Wilayah/Provinsi Potensi (MW)


1. Papua 22.371
2. Kalsel, Kalteng, Kaltim 16.844
3. Sulsel, Sultra 6.340
4. Aceh 5.062
5. Kalimantan Barat 4.737
6. Sulut, Sulteng 3.967
7.
3.808
Sumatera Utara
8. Sumatera Barat, Riau 3.607
9. Sumsel, Bengkulu, Jambi, Lampung 3.102
10. Jawa Barat 2.861
11. Jawa Tengah 813
12. Bali, NTB, NTT 624
13. Jawa Timur 525
14. Maluku 430
Total 75.091
Sumber : RUEN

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


40
Minihidro dan Mikrohidro
Selain memiliki potensi energi air yang dapat dimanfaatkan menjadi Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) berskala besar, Indonesia juga memiliki Potensi energi air lainnya,
yaitu berupa Pembangkit listrik minihidro dan mikrohidro (PLTM/H) berskala kecil.
Sesuai dengan data yang disebutkan dalam RUEN, Indonesia memiliki total potensi
PLTM/H sebesar 19.385 MW. Potensi minihidro dan mikrohidro (PLTM/H) secara
detail berdasarkan RUEN dapat dilihat pada tabel 19 di bawah ini :

Tabel 19. Potensi Mini dan Mikrohidro

No. Provinsi Potensi (MW)


1. Kalimantan Timur 3.562
2. Kalimantan Tengah 3.313
3. Aceh 1.583
4. Sumatera Barat 1.353
5. Sumatera Utara 1.204
6. Jawa Timur 1.142
7. Jawa Tengah 1.044
8. Kalimantan Utara 943
9. Sulawesi Selatan 762
10. Jawa Barat 647
11. Papua 615
12. Sumatera Selatan 448
13. Jambi 447
14. Sulawesi Tengah 370
15. Lampung 352
16. Sulawesi Tenggara 301
17. Riau 284
18. Maluku 190
19. Kalimantan Selatan 158
20. Kalimantan Barat 124
21. Gorontalo 117
22. Sulawesi Utara 111
23. Bengkulu 108
24. Nusa Tenggara Timur 95
25. Banten 72
26. Nusa Tenggara Barat 31
27. Maluku Utara 24
28. Bali 15
29. Sulawesi Barat 7
30. DI. Yogyakarta 5
31 Papua Barat 3
Total 19.385
Sumber : RUEN

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


41
Tenaga Surya
Sebagai negara yang berada di wilayah khatulistiwa, Indonesia hampir sepanjang tahun
mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga memiliki potensi energi surya yang
potensiaI untuk dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik untuk pembangkit listrik
ataupun untuk keperluan lainnya. Sesuai dengan data yang disebutkan dalam RUEN,
Indonesia memiliki total potensi energi surya sebesar 207.898 MWp yang dapat dilihat
pada tabel 20 yang mencakup di 34 Provinsi. Peta penyebaran potensi energi surya
dapat dilihat pada gambar 18 berikut:

Gambar 18. Peta potensi energi surya Indonesia (P3TKEBTKE, KESDM, 2017)

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


42
Sedangkan potensi teknis surya per provinsi adalah sebagai berikut:

Tabel 20. Potensi Teknis Surya Per Provinsi

Potensi Teoritikal Potensi Teknis


No Provinsi
(MW) (MW)
1 Aceh 52.540 7.881
2 Bali 8.362 1.254
3 Bangka-Belitung 18.736 2.810
4 Banten 16.407 2.461
5 Bengkulu 23.167 3.475
6 D.I Yogyakarta 6.639 996
7 DKI Jakarta 1.499 225
8 Gorontalo 8.122 1.218
9 Jambi 58.977 8.847
10 Jawa Barat 60.660 9.099
11 Jawa Tengah 58.355 8.753
12 Jawa Timur 68.903 10.335
13 Kalimantan Barat 134.089 20.113
14 Kalimantan Selatan 40.209 6.031
15 Kalimantan Tengah 56.390 8.459
16 Kalimantan Timur 89.859 13.479
17 Kalimantan Utara 30.956 4.643
18 Kepulauan Riau 5.019 753
19 Lampung 51.754 7.763
20 Maluku 14.920 2.238
21 Maluku Utara 13.466 2.020
22 Nusa Tenggara Barat 20.243 3.036
23 Nusa Tenggara Timur 66.205 9.931
24 Papua 48.478 7.272
25 Papua Barat 13.567 2.035
26 Riau 42.047 6.307
27 Sulawesi Barat 11.178 1.677
28 Sulawesi Selatan 50.586 7.588
29 Sulawesi Tengah 41.244 6.186
30 Sulawesi Tenggara 26.113 3.917
31 Sulawesi Utara 14.805 2.113
32 Sumatera Barat 39.323 5.898
33 Sumatera Selatan 114.883 17.233
34 Sumatera Utara 79.006 11.851
TOTAL 1.359.988 207.898
Sumber : RUEN

Potensi energi ini berdasarkan seluruh luas daratan Indonesia yang telah dipotong
oleh luasan kawasan hutan Indonesia, untuk potensi teknis berdasarkan 15% efisiensi
konversi fotovoltaik.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


43
Tenaga Angin/Bayu
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai yang panjang dan dapat
dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Salah satu program
yang harus dilakukan sebelum mengembangkan PLTB adalah pemetaan potensi energi
angin di Indonesia.

Identifikasi potensi energi baru terbarukan dapat didefinisikan menjadi 5 (lima) jenis,
antara lain : potensi teoritis (potensi terukur berdasarkan data lapangan melalui sistem
permodelan), potensi teknis (potensi yang teridentifikasi apabila suatu teknologi dapat
diterapkan di lokasi tersebut), potensi praktis (potensi teridentifikasi apabila teknologi
dan alat pengukur bisa diterapkan dan dipasang di lokasi potens), potensi aksesibel
(potensi yang memperhitungkan demand, infrastruktur jalan, tata masyarakat dan
jaringan listrik eksisting) dan potensi ekonomis (potensi energi yang benar-benar bisa
dimanfaatkan).

Salah satu program yang harus dilakukan sebelum mengembangkan Pembangkit Listrik
Tenaga Bayu (PLTB) adalah pemetaan potensi energi angin di Indonesia. Potensi energi
angin di Indonesia umumnya berkecepatan antara 3 sampai 6 meter per detik (m/
detik). Hasil pemetaan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada
120 lokasi menunjukkan, beberapa wilayah di Indonesia memiliki kecepatan angin di
atas 5 m/detik, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan
Pantai Selatan Jawa.

Analisis potensi energi angin dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan data profil
energi angin secara spesifik untuk daerah-daerah terduga berpotensi dengan energi
angin, membantu daerah yang ingin mengembangkan pemanfataan sumber energi baru
terbarukan, dan mendorong komersialisasi energi angin di Indonesia. Pengukuran dan
analisis potensi angin pada daerah-daerah yang prospek secara ekonomi dan teknis
pada ketinggian 30-50 m antara lain di Sukabumi mempunyai kecepatan rata-rata
7m/s, Bantaeng 4,66 m/s, Jayapura 3,05 m/s, dan di Pulau Sangihe 6,4 m/s.

Sesuai dengan data yang disebutkan dalam RUEN, Indonesia memiliki total potensi
energi angin sebesar 60,6 GWp yang tercakup di 34 Provinsi. Peta penyebaran potensi
energi angin dapat dilihat pada gambar berikut:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


44
Gambar 19. Peta Potensi Energi Angin Indonesia (Sumber : RUEN)

Adapun potensi angin dengan kecepatan ≥ 4 m/s dapat dilihat pada Tabel 21 dibawah ini.

Tabel 21. Potensi Angin Per Provinsi


Potensi Potensi
No. Provinsi No. Provinsi
(MW) (MW)
1 Nusa Tenggara Timur 10.188 18 Kepulauan Riau 922
2 Jawa Timur 7.907 19 Sulawesi Tengah 908
3 Jawa Barat 7.036 20 Aceh 894
4 Jawa Tengah 5.213 21 Kalimantan Tengah 681
5 SulawesI Selatan 4.193 22 Kalimantan Barat 554
6 Maluku 3.188 23 Sulawesi Barat 514
7 Nusa Tenggara Barat 2.605 24 Maluku Utara 504
8 Bangka Belitung 1.787 25 Papua Barat 437
9 Banten 1.753 26 Sumatera Barat 428
10 Bengkulu 1.513 27 Sumatera Utara 356
11 Sulawesi Tenggara 1.414 28 Sumatera Selatan 301
12 Papua 1.411 29 Kalimantan Timur 212
13 Sulawesi Utara 1.214 30 Gorontalo 137
14 Lampung 1.137 31 Kalimantan Utara 73
15 DI. Yogyakarta 1.079 32 Jambi 37
16 Bali 1.079 33 Riau 22
17 Kalimantan Selatan 1.006 34 DKI Jakarta 4
Sumber : RUEN TOTAL 60.647

4. Potensi penurunan emisi CO2 Konservasi Energi


Sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC) sektor energi Indonesia
berdasarkan Paris Agreement potensi penurunan emisi CO2 sektor energi pada tahun
2030 adalah sebesar 314 juta ton CO2 dengan rincian masing-masing :

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


45
Tabel 22. Potensi penurunan emisi CO2 sektor energi
Potensi Reduksi Emisi GRK Sektor Energi
Sub Sektor 2020 2025 2030
Juta Ton CO2e Juta Ton CO2e Juta Ton CO2e
EBT 28.79 108.69 170.39
Efisiensi Energi 33.01 57.27 96.33
Pembangkit Energi Bersih 8.19 15.74 31.8
Fuel Switching 10.02 10.02 10.02
Reklamasi Paska Tambang 2.72 4.08 5.46
Total 82.73 195.8 314

Dari tabel di atas potensi dari sub sektor EBT dan Efisiensi Energi menjadi andalan
sektor energi untuk mencapai target dari NDC Paris Agreement di tahun 2030. Berbagai
aksi mitigasi yang telah dilakukan oleh sektor energi khususnya di sub sektor EBTKE,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penerapan mandatori manajemen energi untuk pengguna padat energi;
2. Penerapan efisiensi peralatan rumah tangga melalui penerapan standar kinerja
energi minimum dan label tanda hemat energi;
3. Penyediaan dan Pengelolaan Energi Baru dan Energi Terbarukan;
a. PLT Panas Bumi
b. PLT Surya
c. PLT Air
d. PLT Mini/Mikro Hidro
e. PLT Bayu
f. PLT Bioenergi
g. PLT Bioenergi Lainnya.
4. Pembangunan Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU TS);
5. Retrofit Lampu Hemat Energi;
6. Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE).

D. TANTANGAN SEKTOR EBTKE


1. Tantangan pengembangan PLT Panas Bumi
Pemanfaatan dan pengembangan energi panas bumi yang sesuai secara efektif
membutuhkan waktu tujuh tahun hingga pembangkit listrik tersebut beroperasi. Akan
tetapi, pada realitas di lapangan, proses tersebut memerlukan waktu yang lebih lama
yang dikarenakan beberapa tantangan baik dari sisi teknis, ekonomi, lingkungan,
dinamika sosial. Ada lima tantangan yang dihadapi dari pihak badan usaha antara
lain:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


46
a. Area prospek berada pada kawasan hutan konservasi
Pemanfaatan panas bumi telah dapat dilaksanakan pada kawasan konservasi
sebagaimana UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Akan tetapi,
pemanfaatan panas bumi tersebut hanya dapat dilaksanakan pada zona pemanfaatan
sebagaimana diatur pada PP Nomor 108 Tahun 2015 tentang Kawasan Pelestarian
Alam dan Kawasan Suaka Alam.

Saat ini, sebagian area prospek panas bumi teridentifikasi berada pada zona inti yang
belum bisa dikembangkan melalui pemanfaatan jasa lingkungan hutan konservasi.
Kementerian ESDM dan Kementerian LHK sedang membahas penataan zonasi
agar dimungkinkan area prospek panas bumi yang berada pada hutan konservasi
dapat dimanfaatkan dengan optimal.

Selain isu zonasi, kawasan hutan konservasi yang terletak di Pulau Sumatera
telah ditetapkan sebagai world heritage oleh UNESCO atas usulan Pemerintah
Indonesia yang dikenal dengan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS).
Sebagaimana ketentuan dari UNESCO untuk suatu kawasan yang ditetapkan
sebagai world heritage tidak dapat dilakukan kegiatan penambangan. Semantara
itu, regulasi di Indonesia telah menyatakan bahwa pemanfaatan panas bumi bukan
dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan.

Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan position paper untuk mengusulkan


pengembangan energi panas bumi pada kawasan TRHS yang tetap dapat dilakukan
dengan memperhatikan parameter UNESCO untuk menjaga Outstanding
Universal Values (keindahan alam, kelestarian habitat, dan konservasi flora dan
fauna) dalam menetapkan suatu kawasan menjadi world heritage. Pengusulan
tersebut akan dibahas pada sidang world heritage committee pada Juni 2019.

Pemanfaatan energi panas bumi pada zona pemanfaatan di hutan konservasi


melalui mekanisme Izin Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi (IPJLPB) yang
saat ini masih disiapkan baik dari tata cara maupun dari kewajiban Badan Usaha
untuk mengelola lingkungan.

b. Risiko pengembangan Energi Panas Bumi


Pengembangan energi panas bumi mempunyai beberapa risiko yang berbeda-beda
di setiap tahapan. Semakin tinggi tahapan pengembangan, risiko akan semakin
kecil. Grafik risiko pengembangan menunjukkan bahwa pada tahap rekonaisan
risiko pengembangan dapat mencapai 100%. Selanjutnya pada tahap Survei Detil,
risiko pengembangan akan turun hingga 60% dan pada tahap pengeboran sumur
Landaian Suhu tingkat risiko pengembangan akan turun menjadi 50%.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


47
Pada tahap pengeboran eksplorasi, pengeboran sumur pertama akan menurunkan
risiko menjadi 40% dan pengeboran sumur kedua akan menurunkan risiko
menjadi 30%. Selanjutnya pengeboran sumur ketiga hingga kelima akan semakin
memperkecil risiko pengembangan menjadi hanya sebesar 20%.

Risiko pengembangan pembangkit listrik panas bumi dapat diminimalisir apabila


Badan Usaha melakukan pengembangan dengan mengikuti Good Engineering
Practices dan evaluasi lapangan secara komprehensif.

c. Efisiensi biaya untuk mencapai keekonomian harga listrik


Besaran risiko pengembangan proyek energi panas bumi dapat mempengaruhi
biaya pembangkitan listrik suatu proyek PLTP. Dengan adanya kepastian
pendanaan dan juga kepastian pembelian listrik oleh PLN, risiko pengembangan
proyek energi panas bumi dapat berkurang sehingga tingkat pengembalian proyek
panas bumi (return) masih memenuhi tingkat keekonomian atau kelayakan suatu
proyek. Pada umumnya, Badan Usaha mengharapkan IRR sebesar 16%, namun
dengan kepastian pendanaan dan pembelian IRR tersebut dapat turun menjadi
10% - 12%.

Ketersediaan data yang semakin lengkap akan meningkatkan tingkat kepastian


cadangan. Pemerintah mendukung keterbukaan data dan informasi energi panas
bumi yang telah diperoleh Badan Usaha untuk dilakukan evaluasi bersama dalam
rangka mengurangi risiko pengembangan berikutnya. Keekonomian proyek PLTP
dapat dicapai bersama-sama dengan melakukan efisiensi pada komponen biaya
kapital, seperti efisiensi biaya pengeboran, penerapan teknologi yang tepat, dan
pemanfaatan insentif fiskal.

d. Isu sosial
Isu sosial dapat berupa penolakan masyarakat sekitar terhadap pengembangan
energi panas bumi. Penolakan masyarakat yang sering terjadi dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis penolakan, yang pertama penolakan karena isu lingkungan,
yaitu masyarakat khawatir dengan adanya proyek panas bumi ketersediaan air akan
terganggu dan kekhawatiran kerusakan lingkungan. Penolakan yang kedua sering
terjadi karena isu tanah ulayat atau tanah leluhur, yaitu masyarakat menganggap
dengan adanya proyek panas bumi akan mengakibatkan hilangnya kesucian lokasi.
Bentuk penolakan lain dari masyarakat berkaitan dengan isu adat istiadat daerah
sekitar, masyarakat sekitar beranggapan dengan kehadiran proyek panas bumi
akan mengganggu budaya dan kebiasaan masyarakat.
Proses dinamika penerimaan masyarakat dalam pengembangan energi panas bumi,
sejak dalam tahap awal eksplorasi akan berdampak pada kepastian penerbitan izin
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


48
e. Pendanaan proyek panas bumi
Permasalahan untuk kegiatan eksplorasi pada umumnya dilakukan dengan
menggunakan pembiayaan equity, yang mengakibatkan mayoritas pengembang
panas bumi memiliki kemampuan pendanaan yang terbatas untuk dapat membiayai
kegiatan eksplorasi khususnya pengeboran yang memerlukan biaya tinggi.

Tahapan pengembangan energi panas bumi dibagi dalam tiga tahap utama, yaitu
tahap eksplorasi, eksploitasi dan operasi. Risiko pengembangan energi panas bumi
pada tahap eksplorasi masih sangat tinggi sehingga terbatasnya lembaga keuangan,
baik lokal dan internasional, yang mau memberikan pinjaman modal. Pengembang
energi panas bumi harus menggunakan modal sendiri (equity) untuk melakukan
kegiatan eksplorasi. Oleh karena itu, badan usaha yang dapat melaksanakan proyek
panas bumi sesuai dengan tata waktu pengembangan yang ideal membutuhkan
kekuatan finansial yang sehat.

2. Tantangan pengembangan Bidang Bioenergi


Beberapa hal yang menjadi tantangan dalam pengembangan bioenergi secara umum
adalah:
a. Harga: tidak ada jaminan kepastian harga bioenergi karena sangat dipengaruhi
oleh harga bahan baku yang merupakan 60% komponen biaya produksi.
b. Pendanaan dan Investasi: perbankan kurang tertarik untuk mendanai. Biaya
investasi awal untuk implementasi teknologi bioenergi dinilai masih tinggi yang
mengakibatkan biaya produksi energi dari sumber bioenergi relatif tinggi sehingga
tidak mampu bersaing dengen energi konvensional yang masih disubsidi.
c. Lahan: Belum tersedianya lahan khusus untuk penanaman tanaman diversifikasi
bahan baku BBN.
d. Bahan Baku: kurangnya jaminan ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan
untuk beberapa komoditi bioenergi.
e. Infrastruktur: Pengembangan infrastruktur pendukung yang masih kurang.
f. Sosial Budaya: Masyarakat masih lebih tertarik untuk menggunakan energi
konvensional (karena masih disubsidi).

Adapun tantangan dari masing-masing pengembangan bioenergi:

a. Pembangkit Listrik berbasis Bioenergi


1. Teknologi yang telah terbukti dan teruji sebagian besar masih tergantung dari
luar negeri
2. Memerlukan peningkatan infrastruktur pendukung, khususnya untuk
mendukung investasi di Indonesia Timur

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


49
3. Adanya konfluk antara pemanfaatan bahan baku untuk PLT Bioenergi dengan
pemenuhan kebutuhan pangan, pakan dan pupuk
4. Data potensi yang ada perlu diperbarui dan perlu melakukan pemetaan potensi
beserta strategi pengembangannya
5. Jaminan keberlanjutan penyediaan bahan baku dan kestabilan harga biomassa
6. Perlu menciptakan model bisnis bioenergi dari hulu-hilir, jaminan off-taker
dan distribusi yang handal
7. Kesulitan mendapat pinjaman (dengan bunga murah) karena dianggap
beresiko tinggi dan kurang menguntungkan

b. Biofuel
1. Kapasitas produksi
1). Biodiesel : Kesiapan produsen FAME pada tahun 2019 untuk pengadaan
biodiesel 2020 terbatas. Diharapkan penambahan kapasitas pabrik FAME
terjadi pada 2020. Demand FAME BU BBM per shipment impor Solar
tidak imbang dengan produksi bulanan BU BBN.
2). Bioetanol : Saat ini hanya terdapat 2 BU BBN dengan kapasitas total
40.000 kL
2. Pendanaan/Insentif
1). Biodiesel : Volume penyaluran yang semakin besar dan juga terjadinya
selisih antara HIP Biodiesel dengan HIP Solar yang meningkat
disebabkan oleh harga CPO yang saat ini sedang tinggi dan harga
crude yang masih stabil (belum mengalami kenaikan yang signifikan).
Hal tersebut menyebabkan dibutuhkannya pendanaan insentif yang
semakin besar
2). Bioetanol : Tidak tersedianya insentif untuk menitip selisih harga
gasoline dan bioetanol.
3. Bahan Baku : kurangnya jaminan ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan
(molasses untuk bioetanol dan CPO untuk biodiesel).
4. Infrastruktur: Perlunya peningkatan infrastruktur penyaluran khususnya jetty,
tangki, perpipaan, dan metering system sehingga dapat mengurangi biaya
demurage dan roundtrip days (RTD) kapal. Diperlukannya laboratorium uji
yang tersertifikasi / telah melakukan uji korelasi pada setiap titik serah demi
memastikan spesifikasi B100 maupun Bxx.
5. Harga : Harga biofuel lebih tinggi dari Bahan bakar fosil karena faktor biaya Bahan
baku dan biaya teknologi proses pengolahan. Bahan baku CPO untuk biodiesel
dan Molases untuk Tetes tebu mendominasi dalam komponen harga indeks pasar.
Sehingga kepastian harga sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


50
6. Logistik : Keterbatasan kapal pengangkut FAME dengan volume besar yang
memiliki sertifikasi PSA dan terbatasnya truk non Over Dimension over load
(ODOL). Diperlukannya nitrogen blanketing pada kapal untuk meminimalisasi
kenaikan water content pada saat pengiriman.
7. Kualitas : Perbaikan spesifikasi Bahan Bakar menyebabkan biaya investasi
meningkat serta menurunnya kapasitas produksi dari beberapa BU BBN demi
meningkatkan kualitas tersebut.Diperlukan personil yang memiliki sertifikasi
ataupun kemampuan teknis dalam hal pengambilan maupun pengujian sampel.
Perlu adanya suatu pedoman umum penanganan dan penyimpanan B100
maupun BXX, yang diturunkan menjadi SOP penanganan dan penyimpanan
pada masing-masing unit yang terlibat.
8. Penerimaan Masyarakat: Masyarakat masih lebih tertarik untuk menggunakan
energi konvensional. Serta adanya kekhawatiran terkait keamanan dan
dampak penggunaan Biodiesel

c. Biogas
1. Pendanaan melalui APBN maupun APBD yang masih terbatas untuk
pengembangan program biogas
2. Kurangnya sinkronisasi dan koordinasi antar Kementerian/Lembaga terkait
pengembangan biogas
3. Implementasi pembangunan biogas kurang berkelanjutan yang bisa
diintegrasikan dengan kegiatan produktif lainnya
4. Edukasi masyarakat masih kurang untuk pemanfaatan biogas

Permasalahan pengembangan bioenergi dan rekomendasi penyelesaiannya, antara lain:


a. Permasalahan Harga
Dalam mengatasi permasalahan harga bioenergi, diperlukan perumusan harga
bioenergi yang kompetitif melalui antara lain:
1. Penetapan indeks harga BBN yang didasarkan pada factor-faktor produksi
yang efisien
2. Regulasi yang mendukung kebijakan fiskal untuk mendapatkan sumber-
sumber energi biomassa
3. Harga listrik dari PLT Bioenergi mempertimbangkan masukan seluruh pihak
terkait keekonomiannya

b. Permasalahan Ketersediaan Infrastruktur


Dalam mengatasi permasalahan ketersediaan infrastruktur bioenergi, diperlukan
antara lain:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


51
1. Koordinasi dengan instansi terkait untuk penambahan dan penyesuaian
sarana distribusi yang mendukung implementasi BBN
2. Percepatan pembangunan infrastruktur produksi bioenergi melalui antara lain:
1). Pembangunan jaringan listrik berbasis biomassa untuk mendukung
interkoneksi
2). Promosi investasi bioenergi ke pihak perbankan dan calon investor lainnya

c. Permasalahan Jaminan Pasokan Bahan Baku


Dalam mengatasi permasalahan jaminan pasokan bahan baku bioenergi, diperlukan
antara lain:
1. Kebijakan fiskal untuk pembatasan ekspor bahan baku energi biomassa
2. Pengaturan harga bahan baku
3. Koordinasi dengan Kementerian Pertanian mengenai litbang peningkatan
produktivitas tanaman sawit yang saat ini masih relatif rendah
4. Pemetaan lahan bioenergi yang potensial
5. Koordinasi dengan K/L mengenai pemanfaatan lahan marginal untuk tanaman
bioenergi
6. Pengaturan tata niaga bahan baku biomassa untuk PLT Bioenergi
7. Permasalahan Kebijakan/Regulasi

d. Dalam mengatasi permasalahan kebijakan/regulasi bioenergi, diperlukan


antara lain:
1. Payung hukum pelaksanaan pengembangan EBT yang memadai
2. Peningkatan koordinasi antar instansi (Kementerian, Pemda, BUMN,
Swasta, dll)
3. Kebijakan insentif fiskal/non-fiskal bagi produsen bioenergi
4. Pengintegrasian kebijakan lintas sektoral
5. Revisi Indeks Pasar BBN yang memenuhi keekonomian
6. Kebijakan optimalisasi pemanfaatan biomassa/limbah
7. Permasalahan Lainnya

e. Dalam mengatasi permasalahan lainnya dalam pengembangan bioenergi,


diperlukan antara lain:
1. Penyusunan model-model bisnis yang dapat menjawab tantangan di sisi hulu
dan hilir
2. Peningkatan dukungan Badan Usaha dalam peningkatan pemanfaatan
bioenergi
3. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam mendukung pemanfaatan bioenergi
4. Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia nasional dalam penguasaan
teknologi PLT biomassa

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


52
5. Peningkatan jumlah ahli bioenergi nasional
6. Peningkatan kapasitas industri lokal dalam usaha penunjang bioenergi
7. Law enforcement penerapan persentase pemanfaatan BBN oleh perusahaan
otomotif

3. Tantangan pengembangan Bidang Aneka EBT


Salah satu tantangan pengembangan Aneka EBT di Indonesia adalah sumber pendanaan
projek khususnya dari dalam negeri. Lembaga pembiayaan dalam negeri khususnya
perbankan masih menilai projek EBT masih belum bankable. Masih minim sekali
pembiayaan EBT yang memberikan bunga yang kompetitif dan tenor yang panjang.

Tantangan berikutnya adalah belum digunakannya smart grid di Indonesia. Hal ini
mengakibatkan pengaturan kebutuhan dan pasokan listrik secara otomatis belum dapat
dilakukan. Tantangan lain adalah tidak seusainya penyelesaian jadwal pekerjaan. Dalam
suatu kawasan terdapat rencana supply dan demand energi. Pada kondisi tersebut, baik
dari sisi target supply dan demand meleset dari yang telah direncanakan baik karena
wilayah industri yang belum terbangun karena masih pengurusan tata ruang maupun
pembebasan lahan, di lain pihak pengembangan pembangkit EBT juga tidak segera
memulai kegiatannya karena ketidakjelasan demand atau proyeksi kebutuhan yang
tidak sesuai perencanaan.

Perbedaan peraturan di masing-masing lembaga juga perlu di sinkronkan sehingga


pemanfaatan fasilitas atau aset negara seperti halnya waduk/bendungan yang fungsinya
bisa ditingkatkan untuk kepentingan yang lebih luas khususnya untuk energi.

Faktor terakhir yang tidak kalah penting adalah perlu didukungnya peran pengawasan
pemerintah dalam pengembangan EBT. Saat ini proses bisnis pembangkit EBT lebih
banyak dilakukan secara B to B antara Pengembang dengan PLN, dan belum diaturnya
kewajiban pelaporan terintegrasi yang melibatkan Ditjen EBTKE. Hal ini berdampak
pada kurang optimalnya fungsi pengawasan yang akan berdampak pada tingkat
kevalidan data.

Tenaga Air (Mini, Mikrohidro)


Lokasi geografis Indonesia yang berada di wilayah khatulistiwa membuat wilayah
Indonesia memiliki potensi energi air yang cukup sepanjang tahun. Indonesia memiliki
jumlah aliran sungai (DAS) yang mencapai 458 di Indonesia serta musim penghujan
yang rata-rata turun pada bulan November-Maret memberikan manfaat tersendiri
dalam pengembangan energi alternatif yang bersumber dari air.

Hal ini membuat potensi energi air yang dapat dimanfaatkan Indonesia juga cukup besar,
tetapi hal ini tidak sejalan dengan pengembangan pemanfaatan energi air di Indonesia.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


53
Dari 94.476 MW potensi energi air di Indonesia, baru sebesar 6.256 MW (data pusdatin
ESDM) yang telah dimanfaatkan dan sebesar 88.200 MW belum termanfaatkan, hal ini
dikarenakan terdapat beberapa kendala antara lain:
1. Terbatasnya ketersediaan data potensi dan informasi energi air yang siap
diimplementasi.
2. Terbatasnya kemampuan industri dalam negeri di bidang energi air.
3. Masih terbatasnya penelitian dan pengkajian terkait dengan pengembangan energi
berbasis air terutama dalam menghadapi permasalahan yang terkait dengan
kondisi hidrologi serta dampak perubahan iklim.
4. Terbatasnya jumlah dan kompetensi SDM dalam bidang energi air.
5. Terbatasnya kehandalan sistem jaringan PLN.
6. Potensi demand dan potensi pasokan seringkali tidak match, karena pada umumya
lokasi demand jauh dari lokasi sumber energi terbarukan.
7. Kurangnya optimalnya dukungan pembiayaan dalam negeri terhadap
pengembangan energi air.
8. Terbatasnya akses publik terhadap data kebutuhan listrik di setiap wilayah oleh PT
PLN

Tenaga Surya
Lokasi geografis Indonesia yang berada di wilayah khatulistiwa membuat wilayah
Indonesia mendapatkan sinar matahari yang cukup sepanjang tahun. Hal ini membuat
potensi energi surya yang dapat dimanfaatkan Indonesia juga cukup besar, tetapi hal
ini tidak sejalan dengan pengembangan pemanfaatan energi surya di Indonesia. Dari
207.898 MWp potensi energi surya di Indonesia, baru sebesar 135,01 MWp yang telah
dimanfaatkan, hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya harga jual listrik,
regulasi pengusahaan dan industri dalam bidang energi surya dalam negeri yang belum
mendukung penuh, misalnya untuk industri modul surya dalam negeri yang belum
menyentuh sisi hulu, sebagian besar produsen modul surya memproduksi modul surya
dari tahap assembling walaupun sudah ada yang memulai dari tahap printing cell. Selain
itu regulasi atau kebijakan fiskal dan non fiskal di Indonesia yang belum optimal dalam
mendukung pengembangan energi surya.

Pengembangan dan pemanfaatan energi surya yang telah dilakukan hingga saat ini
sebagian besar diperuntukan untuk pembangkit listrik dengan menggunakan solar
panel atau fotovoltaik, sedangkan masih terdapat teknologi lainnya yang belum
dikembangkan salah satunya teknologi dengan memanfaatkan solar thermal. United
States Energi Information Administration mengklasifikasikan teknologi solar thermal
menjadi 3 bagian yaitu :
1) Solar thermal dengan suhu rendah;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


54
2) Solar thermal dengan suhu menengah;dan
3) Solar thermal dengan suhu tinggi.

Disisi lain pengembangan energi surya juga masih terkendala sumber daya manusia,
Pemerintah harus menyiapkan sumber daya manusia sebagai tenaga ahli dan terampil.
Hal lainnya yaitu kesiapan sistem dan kondisi jaringan distribusi PLN untuk menerima
pembangkit yang bersumber dari energi surya juga perlu ditingkatkan, agar pemanfaatan
energi surya untuk listrik dapat dilakukan dengan optimal dengan tidak mengganggu
sistem yang sudah ada.

Tenaga Angin/Bayu
Pengembangan energi angin di Indonesia dirasakan masih belum optimal, hal ini
disebabkan beberapa kendala antara lain:
1. Terdapat banyak lokasi potensial yang belum termanfaatkan, belum teridentifikasi,
belum terukur serta jauh dari pusat beban.
2. Teknologi turbin angin dan pasar dalam negeri untuk turbin angin skala kecil
belum berkembang.
3. Umur teknologi sangat tergantung material pembuat komponen, kondisi dan iklim
lingkungan lokasi pemasangan. Korosif dan lembab mempengaruhi umur turbin
angin.
4. Investasi PLTB yang relatif masih tinggi dibanding dengan pembangkit listrik
konvensional.
5. Regulasi fiskal dan non fiskal belum dapat mendukung investasi terkait
pengembangan energi angin secara optimal.
6. Untuk menerima pembangkit listrik yang sifatnya intermitten pada penetrasi
yang sedang-tinggi, dalam sistem harus disediakan pembangkit peaker sebagai
compensator atau buffer sebagai sistem penyimpan energi untuk menjaga
kestabilan sistem.
7. Jumlah dan kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan pengoperasian PLTB masih terbatas.
8. Program dan anggaran Pemerintah dalam hal pengukuran potensi, penelitian dan
pengembangan energi angin masih terbatas.
9. Keterbatasan infrastruktur pendukung pada lokasi potensial

4. Tantangan Bidang Konservasi Energi


Hingga saat ini telah diidentifikasi beberapa hal yang menjadi tantangan dalam
penerapan konservasi energi antara lain:
a. Perlu adanya integrasi regulasi antar Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam
rangka Pelaksanaan Konservasi Energi yang lebih massif;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


55
b. harga energi masih disubsidi sejak tahun 2015 dimana subsidi bahan bakar
premium sudah dihapuskan sedangkan listrik bersubsidi hanya untuk pelanggan
rumah tangga dengan kapasitas lebih kecil atau sama dengan 900 Watt
c. Masih kurangnya jumlah Manajer dan Auditor Energi yang dimiliki oleh perusahaan
menyebabkan program efisiensi energi tidak berjalan maksimal
d. Investasi untuk Program Efisiensi Energi masih terkendala dalam hal Pendanaan
sehingga tidak menarik bagi para pelaku usaha;
e. insentif untuk pelaksanaan konservasi dan efisiensi energi belum secara signifikan
menarik minat pelaku usaha untuk menerapkan konservasi dan Efisiensi Energi.
f. Pengenaan disinsentif bagi pelaku usaha yang dapat berimplikasi menghambat
iklim investasi;
g. tingkat kesadaran hemat energi bagi pengguna masih rendah;
h. daya beli teknologi/peralatan yang efisien/hemat energi masih rendah;
i. kurangnya koordinasi antar instansi dalam menyusun peraturan teknis yang
mengatur kewajiban pelaksanaan konservasi energi;
j. pengetahuan dan pemahaman terhadap pentingnya dan manfaat konservasi energi
masih terbatas; dan
k. sistem monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan konservasi energi lintas sektor
belum tersedia

5. Tantangan Bidang Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBT


a. Kompetensi teknis Sumber Daya Manusia yang masih perlu ditingkatkan.
b. Ketersediaan data penunjang mengenai kebutuhan energi nasional terutama untuk
daerah yang belum terlistriki atau daerah 4T belum akurat
c. Kendala koordinasi antar instansi terkait
d. Luasnya wilayah di Indonesia yang menjadi target pembangunan infrastruktur
e. Budaya masyarakat yang berbeda-beda dalam menyikapi pembangunan infrastruktur
f. Masalah sosial dan keamanan di sebagian wilayah 4T
g. Masalah kondisi geografis dan alam yang mempengaruhi proses pembangunan
infrastruktur
h. Regulasi terkait serah terima aset yang belum sepenuhnya dapat mengakselerasi
percepatan proses serah terima

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


56
BAB II
Visi, Misi, Tujuan dan
Sasaran Strategis
BAB II
Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Strategis

A. VISI
Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur,
Kementerian ESDM khususnya Direktorat Jenderal EBTKE terus melakukan pembenahan
dan penyempurnaan di seluruh aspek sub sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi
Energi. Dengan mempertimbangkan capaian kinerja sub sektor EBTKE yang masih dapat
dioptimalkan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi, serta memperhatikan peluang
dan aspirasi dari seluruh pihak dalam hal mendukung visi dan misi Presiden Republik
Indonesia, maka tema visi Direktorat Jenderal EBTKE tahun 2020-2024 adalah :

“Menjadi Penggerak Utama Pembangunan Nasional melalui Pengelolaan Energi


Baru Terbarukan dan Konservasi Energi yang Optimal demi Terwujudnya
Kemandirian dan Ketahanan Energi untuk Kesejahteraan Rakyat yang Adil dan
Merata.”

Tema ini dibentuk dari perspektif kelembagaan secara utuh, dimana Direktorat Jenderal
EBTKE mengambil posisi sebagai penggerak utama transformasi energi dengan pemanfaatan
energi yang ramah lingkungan dalam mewujudkan pengelolaan energi baru terbarukan yang
optimal demi terwujudnya kemandirian dan ketahanan energi dengan tujuan utama untuk
kesejahteraan Rakyat yang adil dan merata.

Dalam pemenuhan kebutuhan energi, Pemerintah menggunakan kaidah pengelolaan


energi yang optimal, dimana energi tidak lagi dijadikan sebagai komoditi, namun sebagai
modal pembangunan bangsa serta memberikan jaminan ketersediaan energi yang adil dan
merata dengan pemerataan pembangunan infrastruktur dan rasionalisasi harga energi.
Begitu pula dalam pengelolaan sumber daya mineral dimana Pemerintah akan terus
mengusahakan pembangunan infrastruktur pengolahan dan industri manufaktur turunan
untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri.

Kemandirian energi merupakan indikator jaminan pemenuhan kebutuhan energi secara


mandiri dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri.
Kebijakan yang diharapkan dapat mewujudkan kemandirian energi nasional yang baik yaitu
dengan meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan serta melakukan diversifikasi
energi di seluruh sektor energi agar tidak bergantung pada satu jenis sumber energi. Selain
itu, indikator utama lainnya dalam menilai keberhasilan pengelolaan energi adalah indikator
ketahanan energi nasional. Dimana Pemerintah akan terus meningkatkan kondisi terjaminnya

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


59
ketersediaan energi secara berkesinambungan yang diselaraskan dengan penyediaan akses
energi yang merata pada harga yang terjangkau untuk seluruh masyarakat dalam waktu
jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Kementerian ESDM khususnya Direktorat Jenderal EBTKE melalui visi 2020-2024 terus
berkomitmen dan berusaha dengan baik menjalankan amanah dalam mengoptimalkan
pengelolaan energi yang telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat dan sektor lainnya serta
menjadi modal pembangunan nasional.

B. MISI
Adapun misi Direktorat Jenderal EBTKE sebagai upaya sistemis yang dapat dilakukan dalam
mewujudkan tercapainya visi dan misi Presiden Republik Indonesia adalah :
1. Meningkatkan kualitas SDM melalui penerapan nilai-nilai KESDM (Jujur, Profesional,
Melayani, Inovatif dan Berarti);
2. Mengoptimalkan pengelolaan dan meningkatkan nilai tambah energi baru terbarukan
yang berkelanjutan;
3. Mengakselerasi pemanfaatan energi baru, energi terbarukan dan konservasi energi;
4. Menjamin ketersediaan energi nasional;
5. Meningkatkan aksesibilitas energi baru terbarukan dengan harga terjangkau kepada
seluruh masyarakat;
6. Meningkatkan peran konservasi energi dalam hal komitmen pemerintah dalam
penurunan CO2 secara massif dan terstruktur.

Dalam mengemban amanah besar sebagai penggerak utama pengelolaan energi nasional
dalam rangka mewujudkan visi dan misi sampai dengan tahun 2024, Kementerian ESDM
terus bertransformasi ke arah yang lebih baik untuk menjadi sebuah institusi pemerintahan
yang profesional, berkualitas, bermartabat, terpercaya, dihormati, dan disegani yang
didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas.

C. NILAI-NILAI ORGANISASI
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1808 K/07/MEM/2015 tentang Nilai-nilai
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ditetapkan bahwa nilai-nilai KESDM terdiri
atas jujur, professional, melayani, inovatif dan berarti.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


60
Jujur
Berpikir, berperilaku, bertindak dengan amanah, transparan, penuh integritas, memegang
teguh kode etik, dan loyal kepada bangsa dan negara

Profesional
Bekerja dengan semangat, cermat, akuntabel, disiplin, akurat, dan tuntas atas dasar
kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab, komitmen yang tinggi, membangun
sinergi internal dan eksternal, serta mampu melihat perkembangan jauh ke depan.

Melayani
Memberikan layanan prima dengan memahami kebutuhan pemangku kepentingan,
dilakukan dengan sepenuh hati, proaktif, profesional, simpel, efisien, dan tepat waktu dalam
rangka memenuhi kepuasan internal dan publik.

Inovatif
Berwawasan terbuka, selalu belajar untuk peningkatan diri, memiliki ide baru yang
bermanfaat, mampu membuat solusi alternatif dalam pekerjaan untuk mempercepat
tercapainya target kinerja.

Berarti
Menjadi manusia yang memanusiakan manusia, memberi manfaat bagi diri sendiri, orang
lain, Kementerian ESDM, masyarakat, bangsa dan negara, sehingga menjadi teladan, tempat
bertanya, mampu memimpin, dan memecahkan masalah.

Adapun budaya organisasi yang dikenal dengan nama 6R yang terdiri dari Ramah, Rajin,
Resik, Ringkas, Rapi, dan Rawat. Diharapkan dengan budaya tersebut seluruh pegawai dapat
menciptakan lingkungan kerja yang ramah dan nyaman.

D. TUJUAN
Dalam mewujudkan visi dan misi Kementerian ESDM 2020-2024, dapat dirumuskan tujuan
yang akan dicapai yaitu:
1. Optimalisasi pengelolaan energi baru terbarukan yang berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan nilai tambah;
2. Peningkatan kemandirian dan ketahanan energi;
3. Penguatan kapasitas organisasi dalam rangka menjadi penggerak utama sub sektor
EBTKE;
4. Peningkatan peran pelayanan konservasi energi dalam penurunan CO2 di Indonesia

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


61
E. SASARAN STRATEGIS
Dalam rangka mendukung pencapaian 4 tujuan sebagaimana disebutkan di atas, Direktorat
Jenderal EBTKE telah menetapkan 9 sasaran strategis sebagai berikut:

1. Sasaran strategis yang ingin dicapai dalam tujuan optimalisasi pengelolaan energi baru
terbarukan yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan nilai tambah adalah:
a. Optimalisasi kontribusi sub sektor EBTKE yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan;
b. Perumusan kebijakan dan regulasi sub sektor EBTKE yang berkualitas;
c. Layanan sub sektor EBTKE yang optimal.

2. Sasaran strategis yang ingin dicapai dalam tujuan peningkatan kemandirian dan
ketahanan energi adalah Meningkatnya kemandirian dan ketahanan energi nasional.

3. Sasaran strategis yang ingin dicapai dalam tujuan penguatan kapasitas organisasi dalam
rangka menjadi penggerak utama sub sektor EBTKE adalah:
a. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian sub sektor EBTKE yang efektif;
b. Terwujudnya birokrasi yang efektif, efisien, dan berorientasi pada layanan prima;
c. Organisasi yang fit dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul;
d. Optimalisasi teknologi informasi yang terintegrasi;
e. Pengelolaan sistem anggaran yang optimal.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


62
BAB III
Arah Kebijakan, Strategi,
Regulasi, dan Kerangka
Kelembagaan
BAB III
Arah Kebijakan, Strategi, Regulasi,
dan Kerangka Kelembagaan

U ntuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran strategis Direktorat Jenderal EBTKE, peran
pemerintah sebagai pembuat kebijakan sangat diperlukan dalam hal ini sektor EBTKE,
diantaranya sebagai berikut:

1. Mendorong peningkatan kapasitas unit-unit PLT EBT baik yang prosesnya sedang berjalan
(project pipeline) sesuai RUPTL maupun yang telah dibangun (eksisting).

2. Upaya penciptaan pasar.


a. PLTP
- Pengembangan Flores Geothermal Island.
- Pengembangan klaster ekonomi berbasis sumber daya setempat dengan PLTP seperti
Klaster Halmahera dan Klaster Bacan.

Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi berdasarkan


Keputusan Menteri ESDM No. 2268 <ͬϯϬͬDDͬ2017
18 LocaƟŽŶƐ
RĞƐŽƵrce : 402.5 MWe
RĞƐĞrvĞƐ.: 557 MWe
4. Mapos: 50 MWe
5. Rana Masak: 20 MWe
6. Rana Kulan: 7.5 MWe 17. Oka Ile Ŷge: 50 MWe
1. hůƵŵbƵ: 12.5 MWe 18. Oyang Barang: 37 MWe
7. Ulagalung: 5 MWe
2. Wai Pesi: 54 MWe
3. Wae ^ĂŶŽ͗ϯϯ MWe Pulau Flores

12. Komandaru: 11 MWe


8. Nage ͗ϯϬ MWe 9. Gou-inelika: 28 Mwe 13. Ndetusoko: 10 MWe
14. Sokoria: 25 MWe
10. Mataloko: 5 MWe 15. Jopu: 5 MWe
16. Lesugolo: 45 MWe
11. Mangeruda: 5 MWe

Gambar 20. Flores Geothermal Island

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


65
b. PLTA
- Mendorong pemanfaatan PLTA untuk pemenuhan kebutuhan industri di wilayah KI/
KEK, khususnya pemenuhan kebutuhan industri smelter di Sulawesi dan Kalimantan.
- Pengembangan PLTMH untuk ekonomi masyarakat berbasis sumber daya setempat.

c. PLTS
- Sinergi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan amanat
RUEN yang memberlakukan kewajiban pemanfaatan sel surya minimum sebesar
30% dari luas atap bangunan Pemerintah dan 25% dari luas atap bangunan rumah
mewah, kompleks perumahan, apartemen melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
- Sinergi dengan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewajiban pemasangan
PLTS Atap yang telah diamanatkan dalam Peraturan Daerah;
- Pengembangan Klaster PLTS / PLT Hybrid untuk melistriki kegiatan ekonomi
masyarakat berbasis sumber daya setempat
- Pengembangan green dan smart commercial building;
- Pengembangan PLTS di lahan-lahan pertanian dan perikanan;
- Pengembangan green dan ecotourism serta smart regions/ cities.

d. PLT Bioenergi
- Mengembangkan program co-firing (pelet biomassa) di PLTU;
- Mengembangkan dedicated PLTBn CPO
- Meningkatkan investasi PLTBn baru berbahan bakar CPO;
- Pengembangan PLT Biomassa skala kecil dan tersebar;
- Pengembangan hutan energi untuk listrik dan BBN serta pemanfaatan lahan-lahan
sub optimal untuk biomassa melalui kerjasama dengan KLHK, K/L terkait dan
Pemda;
- Mengembangkan Bio CNG sebagai bahan bakar alternatif pengganti gas, pemanfaatan
biogas terkompresi untuk substitusi bahan bakar PLTD/PLTG/PLTMG;
- Menciptakan pasar, pemerintah mewajibkan PT. PLN untuk membeli listrik dari
PLTSa;
- Memberi dukungan dan fasilitasi pada pengembangan PLTSa;
- Melaksanakan pembinaan dan pengawasan pada pengembangan PLTSa;
- Penetapan tarif listrik untuk proyek percepatan PLTSa;
- Mendorong inovasi teknologi dan implementasi teknologi ramah lingkungan;
- Menyiapkan regulasi pendukung untuk mendorong pengembangan bioenergi;
- Bekerjsama dengan lembaga internasional/donor/institusi finansial lainnya;
- Memberikan insentif dan menyederhanakan perizinan;
- Memfasilitasi pendanaan proyek.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


66
e. BBN (Biofuel)
- Pelaksanaan Mandatori B20 dan B30;
- Pengembangan Green Biofuel (co-processing dan standalone), baik pertamina dan
non pertamina.

f. Upaya peningkatan akses energi kepadamasyarakat langsung melalui pendanaan APBN


(LTSHE, PJU TS, Biogas Komunal, dan PLTS Atap)
- Memudahkan akses kepada pendanaan yang kompetitif;
- Dukungan kebijakan dan perbaikan tata kelola dalam rangka upaya percepatan
proyek EBTKE :
- Kemudahan Perizinan
- Penerapan system perizinan online di KESDM;
- Perbaikan data dan informasi;
- Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan fasilitasi problem solving untuk proyek-proyek
panas Bumi;
- Perbaikan standar dan sertifikasi SDM
- Menggerakkan seluruh pemangku kepentingan

g. Penerapan program-program konservasi energi antara lain:


- manajemen energi;
- standar kinerja energi dan label hemat Energi;
- pembiayaan konservasi energi;
- usaha jasa konservasi energi;
- penerapan efisiensi energi di fasilitas milik negara;
- pengukuran dan verifikasi pelaksanaan konservasi energi;
- peningkatan kesadaran konservasi energi;
- peningkatan kapasitas sumber daya manusia;
- penelitian dan pengembangan; dan
- kerja sama bidang konservasi energi.

3. Memudahkan akses kepada pendanaan yang kompetitif.

4. Dukungan Kebijakan dan perbaikan tata kelola dalam rangka upaya percepatan proyek
EBTKE.
1. Dukungan kebijakan dan perbaikan tata kelola dalam rangka upaya percepatan proyek
EBTKE :
2. Kemudahan Perizinan
3. Penerapan system perizinan online di KESDM;
4. Perbaikan data dan informasi;
5. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan fasilitasi problem solving untuk proyek-proyek
panas Bumi;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


67
6. Perbaikan standar dan sertifikasi SDM

5. Menggerakkan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendukung upaya


pengembangan proyek-proyek EBTKE.

A. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL


Arah Pembangunan Nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah memasuki fase akhir dari pelaksanaan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Pada tahap ini visi
yang akan dicapai dalam 5 tahun ke depan adalah:

“Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur


melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan
terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan
kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas yang
berdaya saing”

Dengan melihat capaian yang telah dilaksanakan sampai dengan fase ketiga dari konsep
pembangunan jangka panjang yang tertuang dalam RPJPN 2005-2025, serta melihat
tantangan, peluang dan daya dukung yang dimiliki oleh bangsa ini, maka diperlukan
penerapan sasaran strategis yang lebih agresif serta sinergitas yang baik antar Kementerian/
Lembaga untuk mewujudkan misi RPJPN 2005-2025.

Wujud masyarakat Indonesia yang akan dicapai adalah Mandiri yaitu setiap masyarakat
Indonesia mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan
mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Yang kedua adalah Maju yaitu
kualitas individu dari setiap masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang diukur
dari kualitas SDM, tingkat kemakmuran, dan kemantapan sistem dan kelembagaan politik
dan hukum. Yang ketiga adalah Adil yaitu setiap masyarakat Indonesia akan diperlakukan
sama dan sederajat tanpa adanya pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apa pun, baik
antar individu, gender, maupun wilayah. Dan yang terakhir adalah Makmur yaitu setiap
masyarakat Indonesia terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan
makna dan arti penting serta warna bagi aspek kehidupan sosial.

Terdapat 4 (empat) pilar dari RPJMN ke IV tahun 2020-2024 yang merupakan amanat
RPJPN 2005-2025 untuk mencapai tujuan utama dari rencana pembangunan nasional
periode terakhir yaitu:
1. Kelembagaan politik dan hukum yang mantap
2. Kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat
3. Struktur ekonomi yang semakin maju dan kokoh
4. Terwujudnya keanekaragaman hayati yang terjaga

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


68
Keempat pilar tersebut diterjemahkan ke dalam 7 agenda pembangunan yang di dalamnya
terdapat Program Prioritas, Kegiatan Prioritas, dan Proyek Prioritas.

Tujuh Agenda Pembangunan RPJMN IV 2020-2024 adalah:


1. Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas;
2. Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan;
3. Meningkatkan SDM berkualitas dan berdaya saing;
4. Membangun Kebudayaan dan Karakter Bangsa;
5. Memperkuat Infrastruktur Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar.
6. Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan
Iklim;
7. Memperkuat Stabilitas Polhukhankam dan Transformasi Pelayanan Publik.

Agenda pembangunan yang terkait langsung dengan tugas dan fungsi Kementerian ESDM
adalah:
1. Agenda 1: Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas;
2. Agenda 2: Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin
Pemerataan;
3. Agenda 3: Meningkatkan SDM berkualitas dan berdaya saing
4. Agenda 5: Memperkuat Infrastruktur Mendukung Pengambangan Ekonomi dan
Pelayanan Dasar; dan
5. Agenda 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan
Perubahan Iklim.

Dalam rangka mewujudkan 5 (lima) agenda pembangunan nasional 2020-2024, telah


disusun arah kebijakan dan strategi nasional sebagai berikut:

1. Agenda Pembangunan 1: Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk


Pertumbuhan yang Berkualitas

Pondasi makro ekonomi yang kokoh dengan memperkuat kualitas investasi beserta
inovasi dalam negeri merupakan arah dari rencana pembangunan ekonomi Indonesia.
1. Sektor ekonomi Indonesia akan dipacu untuk terbuka dengan perdagangan global
melalui peningkatan daya saing ekspor, produktivitas, dan keterkaitan hulu-hilir
industri,
2. Peningkatan daya saing sektor pariwisata melalui peningkatan infrastruktur dan
citra,
3. Membangun ekosistem yang mendukung peningkatan daya saing ekonomi kreatif,
4. Peningkatan iklim investasi untuk peningkatan daya saing perekonomian,
5. Mendorong pengembangan perpajakan digital dan peningkatan jasa keuangan.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


69
Arah Kebijakan
Arah kebijakan yang terkait dengan sektor ESDM pada agenda memperkuat ketahanan
ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas adalah pengelolaan sumber daya
ekonomi dan peningkatan nilai tambah ekonomi.

1. Pengelolaan Sumber Daya Ekonomi


Arah kebijakan dalam rangka pengelolaan sumber daya ekonomi pada tahun 2020-
2024 mencakup:
a. Pemenuhan kebutuhan energi dengan mengutamakan peningkatan energi
baru terbarukan (EBT) yang akan dilaksanakan dengan strategi
- mengakselerasi pengembangan pembangkit energi terbarukan;
- meningkatkan pasokan bahan bakar nabati;
- meningkatkan pelaksanaan konservasi dan efisiensi energi;
- meningkatkan pemenuhan energi bagi industri;
- mengembangkan industri pendukung EBT.
b. Pemanfaatan sumber daya gas bumi dan batubara untuk industri dan
kelistrikan ke depan akan difokuskan pada:
- pemanfaatan gas dari ladang Blok A Aceh, Natuna Timur, Jambaran Tiung
Bumi (Jawa Timur), Tangguh Train 3 dan Asap-Kido-Merah (Papua Barat),
dan Abadi (Maluku); dan
- pemanfaatan batubara dari Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur.
c. Pengembangan bahan bakar nabati yang berbasis biohidrokarbon (green fuel)
d. Penyediaan energi bagi industri dan kelistrikan juga akan dipenuhi melalui
pengembangan potensi energi terbarukan di Kawasan Industri yang
dikombinasikan dengan energi yang telah tersedia. Pola penyediaan ini akan
difokuskan pada Kawasan Industri di Sumatera bagian utara, Sumatera bagian
selatan, Jawa, Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian utara dan selatan,
Maluku Utara dan Papua Barat.

2. Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi


Arah kebijakan dalam rangka peningkatan nilai tambah ekonomi pada tahun
2020-2024 yang terkait sektor ESDM adalah:
a. Meningkatkan industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam, termasuk
melalui pengembangan smelter dan kawasan industri terutama di luar
Jawa. Pembangunan smelter akan difokuskan pada fasilitasi pembinaan dan
pengawasan untuk pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian sub
sektor mineral dan batubara terutama di luar pulau Jawa ,
b. Sumber Gas Bumi dan Batubara untuk Industri dan Listrik,

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


70
c. Potensi Pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan.
d. Pemanfaatan CPO pada pembangkit listrik dalam rangka mengurangi
penggunaan bahan bakar minyak fosil
e. Pemanfaatan Batubara untuk Peningkatan Nilai Tambah

2. Agenda Pembangunan 2: Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi


Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan

Pengembangan wilayah ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan


pemenuhan pelayanan dasar dengan memperhatikan harmonisasi antara rencana
pembangunan dengan pemanfaatan ruang. Pengembangan wilayah yang mampu
menciptakan kesinambungan dan keberlanjutan ini dapat dilakukan melalui:
1. Pengembangan sektor/komoditas/kegiatan unggulan daerah,
2. Distribusi pusat-pusat pertumbuhan (PKW) ke wilayah belum berkembang,
3. Peningkatan daya saing wilayah yang inklusif,
4. Memperkuat kemampuan SDM dan iptek berbasis kewilayahan dalam mendukung
ekonomi unggulan daerah, serta
5. Meningkatkan IPM melalui pemenuhan pelayanan dasar secara merata.
6. Pemasangan PV Rooftop di daerah dalam rangka meningkatkan penggunaan EBT.

Arah Kebijakan
Secara umum arah kebijakan pokok pembangunan berbasis kewilayahan untuk
kurun waktu 2020-2024 mencakup pembangunan desa terpadu dan pengembangan
kawasan perdesaan, kawasan transmigrasi, kawasan perbatasan, dan daerah tertinggal
yang difokuskan pada pemenuhan pelayanan dasar, peningkatan aksesibilitas, dan
pengembangan ekonomi yang mendukung pusat pertumbuhan wilayah.

3. Agenda Pembangunan 5: Memperkuat Infrastruktur Mendukung


Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar

Perkuatan infrastruktur ditujukan untuk mendukung aktivitas perekonomian serta


mendorong pemerataan pembangunan nasional. Pemerintah Indonesia akan memastikan
pembangunan infrastruktur akan didasarkan kebutuhan dan keunggulan wilayah melalui:
1. Menjadikan keunggulan wilayah sebagai acuan untuk mengetahui kebutuhan
infrastruktur wilayah,
2. Peningkatan pengaturan, pembinaan dan pengawasan dalam pembangunan,
3. Pengembangan infrastruktur perkotaan berbasis TIK,
4. Rehabilitasi sarana dan prasarana yang sudah tidak efisien,
5. Mempermudah perijinan pembangunan infrastruktur.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


71
Arah Kebijakan

1. Infrastruktur Perkotaan
Energi dan Listrik Berkelanjutan untuk Perkotaan Arah kebijakan dan strategi
dalam rangka pemenuhan energi dan listrik berkelanjutan untuk perkotaan adalah:
a. Pengembangan pembangkit berbasis EBT, melalui pengembangan dan
pemanfaatan PLTSa untuk pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan
menghasilkan produk samping listrik, dan pengembangan waste to energi;
dan
b. Memudahkan akses pendanaan dan insentif untuk menurunkan biaya modal
bagi pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).
c. Penerapan smart building untuk bangunan Gedung perkotaan.

2. Energi dan Ketenagalistrikan


Arah kebijakan dan strategi dalam rangka pemenuhan akses dan pasokan energi
dan tenaga listrik merata, andal, efisien, dan berkelanjutan, adalah :
a. Diversifikasi energi dan ketenagalistrikan untuk pemenuhan kebutuhan,
melalui:
- pemanfaatan EBT seperti panas bumi, air, surya, bayu, laut, dan biomassa;
- pemanfaatan pengembangan mini/micro grid berbasis energi bersih;
- pembangunan Pembangkit Listrik PLTA Pumped Storage; dan
- pemanfaatan teknologi yang high efficiency and low emission (HELE).
b. Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi dan tenaga listrik, melalui
- Penetapan Specific Fuel Consumption untuk pembangkit listrik,
- memperluas, merehabilitasi dan uprating sistem transmisi dan distribusi;
- mengembangkan sistem informasi manajemen dan data control;
- mengembangkan dan memanfaatkan teknologi smart grid.
c. Penguatan dan perluasan pelayanan pasokan energi dan tenaga listrik, melalui
- penambahan kapasitas pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik;
- pemenuhan tenaga listrik di kawasan-kawasan prioritas;
d. Peningkatan tata kelola energi dan ketenagalistrikan, melalui
- peningkatan tugas dan fungsi badan regulator;
- penguatan independensi operator sistem transmisi;
- penerapan power wheeling untuk mendorong proyek EBT dapat langsung
menjual ke pelanggan;
- mereviu kebijakan harga/ tarif energi dan penerapannya sehingga mencapai
harga keekonomian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional;
- mereviu kebijakan harga EBT berbasis batas biaya pokok penyediaan (BPP)
pembangkitan; dan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


72
- implementasi metode penentuan revenue requirement yang optimal.
e. Pengembangan kebijakan pendanaan dan pembiayaan, melalui :
- pengembangan subsidi tepat sasaran melalui subsidi langsung dan realokasi
belanja;
- penerapan penyesuaian tarif dan/atau dukungan pemerintah untuk
peningkatan finansial PT PLN;
- penerapan kembali automatic tariff adjustment; dan
- memanfaatkan pembiayaan murah, alternatif instrumen dan leverage asset.

4. Agenda Pembangunan 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan


Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim

Pembangunan nasional perlu mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan


ekonomi, target penurunan emisi & intensitas emisi, dan kapasitas daya dukung SDA &
daya tampung LH; serta meningkatkan ketahanan terhadap bencana.

Kebijakan pembangunan rendah karbon akan diarahkan pada bidang lahan, energi
dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk. Peningkatan
ketahanan iklim dan bencana diarahkan melalui:
1. Penguatan mitigasi bencana;
2. Penguatan kapasitas penanggulangan bencana;
3. Peningkatan sarana dan prasarana kebencanaan;
4. Penanganan darurat dan pemulihan pascabencana; serta
5. Penguatan manajemen kebencanaan.

Arah Kebijakan
Arah kebijakan untuk prioritas nasional membangun lingkungan hidup, meningkatkan
ketahanan bencana, dan perubahan iklim terdiri dari:

1. Pembangunan Rendah Karbon


Arah kebijakan pembangunan rendah karbon yang terkait dengan Sektor ESDM
mencakup Pembangunan Energi Berkelanjutan, yang dilaksanakan dengan:
a. Pengelolaan energi baru terbarukan melalui pengembangan pembangkit
energi terbarukan serta meningkatkan pasokan bahan bakar nabati dari bahan
baku rendah karbon,
b. Efisiensi dan konservasi energi,
c. Peningkatan teknologi pembangkit dan distribusi.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


73
B. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEMENTERIAN
Arah kebijakan Energi dan Sumber Daya Mineral berpedoman pada paradigma bahwa
sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata, tetapi sebagai modal
pembangunan nasional untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi. Kemandirian
dan ketahanan energi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
• Kemandirian energi merupakan terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan
semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri.
• Ketahanan energi nasional adalah suatu kondisi ketersediaan energi (availability), akses
masyarakat terhadap energi (accessibility) pada harga yang terjangkau (affordability)
dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan
hidup (acceptability).

Untuk periode 2020-2024 kebijakan sub sektor energi dan sumber daya mineral difokuskan
pada pembangunan energi yang berkelanjutan dan berkeadilan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi serta mendorong pengembangan industri. Adapun arah kebijakan
diprioritaskan pada ketersediaan energi dengan memaksimalkan pemanfaatan EBT,
keadilan sosial di bidang energi yang menekankan kepada ketersediaan energi dengan harga
terjangkau dan kegiatan ekstraktif yang ramah lingkungan.

Strategi kementerian ESDM dalam rangka mendukung arah kebijakan sektor ESDM yang
terutama sub sektor EBTKE tercakup dalam 4 (empat) agenda pembangunan adalah sebagai
berikut:

1. Agenda Pembangunan 1 : Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk


Pertumbuhan yang Berkualitas

Pengelolaan Sumber Daya Ekonomi


Pemenuhan kebutuhan energi dengan mengutamakan peningkatan energi baru
terbarukan (EBT) yang terdapat pada lampiran I RPJMN 2020-2024 agenda
pembangunan 1 memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas
dan Berkeadilan akan dilaksanakan dengan strategi:

PLTS

a. Menciptakan pasar-pasar energi yang baru melalui:


- Sinergi BUMN (contoh: LEN-Pertamina-PLN-BUMN Lainnya)
- Sinergi dengan rencana pembangunan daerah (contoh; Provinsi Bali, DKI,
Provinsi Jateng, Provinsi Jatim, Provinsi Sumut, Provinsi Sulsel)
- Sinergi dengan rencana pengembangan dengan Kementerian/Lembaga (contoh:
PLTS Atap dengan APBN – Kemenkeu dan KLHK)

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


74
b. Memberikan fasilitasi akses kepada pengembang dalam hal :
- Pemberian insentif fiscal (pemberian tax allowance, tax holiday, pengurangan
pajak impor, pembebasan bea masuk dll).
- Kemudahan akses pendanaan internasional.
c. Pengembangan akses pembiayaan dengan :
- Penyediaan pinjaman lunak (suku bunga lebih rendah dan tenor lebih Panjang)
- Pelatihan bagi pengembang dalam membuat proposal pendanaan yang baik
sehingga meningkatkan peluang untuk mendapatkan fasilitas pendanaan.
- Pelatihan bagi sumber daya manusia di kalangan perbankan agar dapat
melakukan penilaian resiko kredit yang lebih baik/fair dari sektor PLTM/MH.
d. Pengembangan PLTS dalam skala besar. Pembangunan PLTS skala besar, diinisiasi
pemerintah, menggunakan lahan negara/BUMN, IPP, target: menunjukkan harga
murah di Indonesia.
e. Mendorong penguasaan industri dalam negeri melalui pengembangan industri
hulu PLTS
f. Mendorong peran pemerintah dalam penyediaan lahan bagi pengembang PLTS
g. Mendukung PLN dalam kesediaan dan kesiapan grid
h. Mendorong pemanfaatan sistem smart grid
i. Mendorong pengembangan teknologi energi storage sebagai salah satu solusi
pembangkit tenaga listrik intermitten.
j. Mendorong pemerintah segera mewujudkan carbon trading di Indonesia
k. Substitusi Genset dengan PLTS untuk mengurangi pemakaian BBM
l. Pembangunan PLTS untuk mendukung kebutuhan listrik pada program K/L terkait
m. Pemberlakukan mandatori RUEN untuk pemasangan PLTS Atap
n. Menyusun rancangan perubahan kebijakan pengusahaan EBT, termasuk salah
satunya pengusahaan PLTS, yang meliputi mekanisme pengusahaan dan harga
untuk mempercepat implementasi bauran energi air.
o. Mendukung perencanaan dan pembangunan infrastruktur transmisi PLN dalam
rangka pengembangan EBT
p. Internalisasi biaya eksternalitas untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil,
sehingga harga jual tenaga listrik dari PLTS lebih kompetitif.

Bioenergi

a. Mengembangkan program biodiesel menjadi B30


b. Penerapan konversi PLTD menggunakan CPO
c. Peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit
d. Pembangunan sarana pendukung distribusi bahan bakar nabati.
e. Investasi PLTBN baru berbahan bakar CPO

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


75
f. Penerapan green diesel co processing Pertamina
g. Penerapan green gasoline co processing Pertamina
h. Pembangunan refinery green diesel stand alone
i. Pengembangan PLT Biomassa skala kecil dan tersebar (20-200 kW)
j. Pengembangan hutan energi untuk listrik dan BBN
k. Fasilitas pendanaan proyek
l. Inovasi teknologi
m. Penguatan investasi
n. Pemberian insentif
o. Persiapan implementasi B50 pada akhir tahun 2020:
- B50 berbasis FAME, Januari – November
• Perumusan usulan revisi standar/spesifikasi biodiesel (B100) untuk campuran
B50  penetapan standar/spesifikasi biodesel (B100) untuk campuran B50;
• Pelaksanaan Road Test / Uji Fungsi / Uji Terapan / Uji stabilitas penyimpanan;
• Revisi Pedoman Umum Handling dan Storage Biodiesel dan Campurannya;
• Penyusunan SOP-SOP Handling dan Storage Biodiesel per Sektor;
• Persiapan kualitas biodiesel sesuai Spesifikasi  Pengembangan Teknologi
(untuk mendapatkan kualitas sesuai spek untuk campuran biodiesel 50%);
- Persiapan peningkatan produksi biodiesel yang dibutuhkan untuk B50;
Kebutuhan Biodiesel untuk B50 adalah sebesar 16 juta kL, sementara kapasitas
produksi saat in 12,06 juta kL  investasi baru
• Penyiapan/penambahan volume tangki penyimpanan.
- B50 berbasis FAME dan Green Diesel, Januari – November
• Perumusan usulan revisi standar/spesifikasi biodiesel (B100) untuk campuran
B50. Untuk spesifikasi green diesel berasal dari co processing mengacu pada
spesifikasi minyak solar dari Ditjen Migas. Untuk spesifikasi green diesel yang
standalone mengacu pada spesifikasi/SNI green diesel yang akan ditetapkan
Ditjen EBTKE, yang saat ini sedang disiapkan. Sebagai tahap awal akan
digunakan green diesel dari co processing
• Pelaksanaan Road Test / Uji Fungsi / Uji Terapan / Uji stabilitas penyimpanan
• Revisi Pedoman Umum Handling dan Storage Biodiesel dan campurannya
dan Penyusunan SOP-SOP Handling dan Storage Biodiesel per sektor
• Persiapan kualitas dan kuantitas Green Diesel  kesiapan untuk memproduksi
green diesel sesuai dengan kebutuhan, kesiapan pengujian lab untuk
mengetahui kandungan minyak nabati di dalam greendiesel dari co processing
tersebut  akan berdampak pada mekanisme/kebijakan insentif yang
diberikan.
• Penyiapan/penambahan volume tangki penyimpanan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


76
PLTA

- Melakukan revitalisasi PLTMH yang telah dibangun dengan dana APBN KESDM,
untuk mengoptimalkan penyerapan akses energi ke masyarakat di daerah 4T;
- Menyusun prioritas pengembangan PLTA/M/MH berdasarkan progres maupun
kelengkapan perizinan dan kesiapan pendanaan, serta prioritas untuk proyek/
perusahaan yang telah lulus DPT;
- Mendorong implementasi PLTA/M/MH yang terdapat pada rencana pembangunan
pembangkit pada RUPTL melalui monitoring dan fasilitasi;
- Pemanfaatan waduk/bendungan eksisting sebagai infrastruktur Pembangkit Listrik
Tenaga Air. Pembangunan pembangkit dengan memanfaatkan waduk/bendungan
eksisting akan mempercepat realiasi penambahan kapasitas. Dimana dapat
meminimalisir resiko adanya permasalahan pembebasan lahan, resettlement, serta
berlapisnya perizinan. Selain itu konstruksi akan lebih singkat dan nilai investasi
pekerjaan sipil menjadi lebih kecil;
- Menginisiasi dan mendorong kerjasama PLN-PUPR dalam pemanfaatan bendungan
eksisting maupun bendungan baru sebagai pembangkit listrik untuk mempercepat
implementasi PLTA/M milik PLN;
- Mendorong implementasi ekspansi kapasitas PLTM eksisting yang telah berkontrak
dengan PLN dan telah siap melaksanakan ekspansi;
- Mendorong pemanfaatan PLTA untuk pemenuhan kebutuhan industri di wilayah KI/
KEK, khususnya pemenuhan kebutuhan industri smelter di Sulawesi dan Kalimantan;
- Memberikan fasilitasi kepada pengembang, dalam hal:
• pemberian insentif fiskal (pemberian tax allowance, tax holiday, pengurangan
pajak impor, pembebasan bea masuk, dll.) .
• kemudahan akses pendanaan internasional
- Pengembangan akses pembiayaan dengan:
• penyediaan pinjaman lunak (suku bunga lebih rendah dan tenor lebih panjang)
• Pelatihan bagi pengembang dalam membuat proposal pendanaan yang baik
sehingga meningkatkan peluang untuk mendapatkan fasilitas pendanaan
• Pelatihan bagi sumber daya manusia di kalangan perbankan agar dapat melakukan
penilaian risiko kredit yang lebih baik/fair dari sektor PLTM/MH
- Melakukan sinergi program pengembangan PLTA/M/MH dengan PLN, Pemda, dan
K/L lainnya;
- Mendorong peran serta Pemda serta K/L lainnya dalam impelementasi pengusahaan
PLTA/M/MH khususnya terkait perizinan dan pembebasan lahan;
- Menyusun rancangan perubahan kebijakan pengusahaan EBT, termasuk salah
satunya pengusahaan PLTA/M/MH, yang meliputi mekanisme pengusahaan dan
harga untuk mempercepat implementasi bauran energi air;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


77
- Mendukung perencanaan dan pembangunan infrastruktur transmisi PLN dalam
rangka pengembangan EBT;
- Internalisasi biaya eksternalitas untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil,
sehingga harga jual tenaga listrik dari PLTA/M/MH lebih kompetitif;
- Mendorong pemberlakuan carbon trading di Indonesia.

PLTB

1. Pengembangan akses pembiayaan dengan:


- Penyediaan pinjaman lunak (suku bunga lebih rendah dan tenor lebih panjang);
- Pelatihan bagi pengembang dalam membuat proposal pendanaan yang baik
sehingga meningkatkan peluang untuk mendapatkan fasilitas pendanaan.
2. Memberikan fasilitasi kepada pengembang, dalam hal :
- pemberian insentif fiskal (pemberian tax allowance, tax holiday, pengurangan
pajak impor, pembebasan bea masuk, dll);
- kemudahan akses pendanaan internasional;
- Pemberian insentif tambahan atas pembangunan infrastruktur sipil, lingkungan
dan risiko ekonomi.
3. Mendorong pemanfaatan sistem smart grid.
4. Mendorong pengembangan teknologi energy storage sebgai salah satu solusi
pembangkit listrik energi intermitten.
5. Mendorong penguasaan industri PLTB dalam negeri.
6. Penelitian dan pengembangan teknologi PLTB serta Pelaksanaan alih teknologi
dalam rangka peningkatan kapasitas SDM dalam negeri.
7. Pengembangan standar teknis dan grid code.
8. Mendukung penguatan sistem jaringan kelistrikan PLN sehingga dapat menerima
suplai listrik PLTB dengan optimal.
9. Melakukan sinergi program pengembangan PLTB dengan PLN, Pemda, dan K/L
lainnya.
10. Mendorong peran serta Pemda serta K/L lainnya dalam impelementasi pengusahaan
PLTB khususnya terkait perizinan dan pembebasan lahan.
11. Menyusun rancangan perubahan kebijakan pengusahaan EBT, termasuk salah
satunya pengusahaan PLTB, yang meliputi mekanisme pengusahaan dan harga
untuk mempercepat implementasi bauran energi angin.
13. Mendukung perencanaan dan pembangunan infrastruktur transmisi PLN dalam
rangka pengembangan EBT.
14. Internalisasi biaya eksternalitas untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil,
sehingga harga jual tenaga listrik dari PLTB lebih kompetitif.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


78
Panas Bumi
a. Pemberian insentif sebagai Levelized Cost of Electricity (LCOE) sebagai perwujudan
reimbursement terhadap biaya-biaya yang pada hakikatnya bukan tanggung jawab
pengembang;
b. Fasilitasi akses pendanaan proyek;
c. Regulasi dan advokasi untuk pemanfaatan di kawasan konservasi;
d. Social-engineering untuk dukungan masyarakat;
e. Penciptaan demand dengan pengembangan klaster ekonomi; dan
f. Integrasi dan kolaborasi dalam sistem pengelolaan dan perbaikan tata kelola.
g. Pengembangan Flores geothermal island

PLT Hybrid
a. Pengembangan microgrid PLT hybrid untuk klaster ekonomi khususnya di daerah
pulau terdepan dan pulau-pulau kecil antara lain di daerah Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku dan
Maluku Utara terutama di Halmahera dan Bacan.

Gambar 21. Skema Microgrid PLT Hybrid

b. Pengembangan PLT Hybrid untuk mendukung pengembangan 13 desa wisata.


Ke-13 desa wisata itu antara lain terletak di Pulau Balai Kabupaten Aceh Selatan,
Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pulau Pisang Kabupaten Pesisir
Barat, Pulau Pantar Kabupaten Alor, dan Pulau Mules Kabupaten Manggarai.
Pulau Papan Kabupaten Tojo Una Una, Pulau Lingayan Kabupaten Toli Toli,

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


79
Desa Wawobili Kabupaten Konawe Kepulauan, Desa Pulau Bungin Kabupaten
Sumbawa, Desa Tulakadi Kabupaten Belu, Pulau Rote Kabupaten Rote Ndao, Pulau
Sabu Kabupaten Sabu Raijua, Desa Lorang Kabupaten Kepulauan Aru, dan Pulau
Pangalasiang Kabupaten Donggala.

2. Agenda Pembangunan 2 : Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi


Kesenjangan dan Menjamin Pemerataan

Strategi Pemenuhan Kebutuhan Energi untuk menjamin pemerataan energi dilakukan


dengan cara sebagai berikut :

1. PV Rooftop
a. Pembangunan PV Rooftop di daerah dalam rangka peningkatan pemanfaatan
EBT;
b. Sosialisasi tax allowance dan tax holiday kepada pengembang;
c. Tersedianya pinjaman dengan suku bunga rendah dan tenor yang panjang;
d. Standardisasi format PPA dalam mata uang rupiah yang dikaitkan dengan
mata uang USD;
e. Mendorong penguasaan industri dalam negeri, yang terdiri dari modul surya,
baterai, dan inverter;
f. Mendorong peran pemerintah dalam penyediaan lahan bagi pengembang
PLTS;
g. Mendorong pemerintah segera mewujudkan skema carbon trading;
h. Pemasangan PLTS Atap di gedung pemerintah dan gedung BUMN, di rumah
pelanggan golongan tarif R1 (pelanggan 450 VA dan 900 VA), pada pelanggan
PLN golongan >1300 VA dengan diberikan insentif atau skema pembiayaan
yang menarik (contoh diskon PBB, rebate dan kredit dari bank), di gedung
komersial dan dalam pembangunan rumah baru (program PUPR dan REI);
i. Pemasangan PLTS melalui sinergi BUMN untuk penerangan jalan, bandara,
SPBU, stasiun, tambang, pabrik BUMN, perkebunan, pelabuhan, gudang
BULOG dan kantor BUMN.

2. Penerangan Jalan Umum PV


Pembangunan untuk masyarakat pedesaan, daerah perbatasan dan daerah terluar.

3. Agenda Pembangunan 5 : Memperkuat Infrastruktur Mendukung


Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar

Dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi masyarakat baik di perkotaan


maupun perdesaan dan untuk pencapaian target pada lampiran II RPJMN 2020-2024
agenda pembangunan 5 memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan
ekonomi dan pelayanan dasar diperlukan strategi antara lain:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


80
1. Infrastruktur Perkotaan
Energi dan Listrik Berkelanjutan untuk Perkotaan adalah:
a. Pengembangan diversifikasi energi di perkotaan
- Percepatan pembangunan PLTSa:
• Menciptakan pasar, pemerintah mewajibkan PT PLN untuk membeli
listrik dari PLTSa;
• Memberikan insentif dan menyederhanakan perizinan;
• Bekerja sama dengan lembaga internasional/donor/institusi finansial
lainnya;
• Memberikan bantuan biaya layanan pengolahan sampah bagi proyek yang
masuk dalam program percepatan pembangunan PLTSa;
• Memberikan bimbingan teknis dan dukungan pelaksanaan pra-FS kepada
pemerintah daerah;
• Menyusun buku panduan bagi calon investor pengembang.

Gambar 22. Peta PLTSa

- Pemasangan PV Rooftop di Gedung pemerintah, BUMN, dan perkantoran;


- Mengimplementasi teknologi zero waste;
- Penggunaan teknologi sanitary landfill;
- Penetapan tarif listrik untuk proyek percepatan PLTSa.

2. Energi dan Ketenagalistrikan


Arah kebijakan pengembangan pasokan listrik sejalan dengan tujuan pembangunan
nasional di sektor kelistrikan adalah untuk memastikan ketersediaan jumlah listrik
yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar. Strategi dalam rangka
pemenuhan akses dan pasokan energi dan tenaga listrik merata, andal, efisien, dan
berkelanjutan, adalah :

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


81
a. Diversifikasi energi dan ketenagalistrikan untuk pemenuhan kebutuhan,
melalui:
- Menjaga keseimbangan supply and demand serta keandalan sistem;
- Menurunkan Biaya Pokok Penyediaan Pembangkitan (BPP) dengan
mengembangkan pemanfaatan sumber energi primer setempat yang
memiliki skala prioritas pemanfaatan pertama adalah sumber Energi Baru
Terbarukan berikutnya adalah sumber energi fosil, seperti batu bara mulut
tambang dan gas well-head;
- Pencapaian target porsi Energi Baru Terbarukan dalam bauran energi
(energi mix) pembangkitan tenaga listrik sekitar 23% pada tahun 2025;
- Prioritas utama yang harus dikembangkan oleh PT PLN (Persero) adalah
pembangkit load follower dan peaker serta pembangkit untuk daerah
perdesaan dan daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T).
b. Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi dan tenaga listrik, melalui:
- Kegiatan konservasi energi yang dilakukan untuk menghemat energi di
sektor rumah tangga antara lain:
• Penerapan regulasi Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Label
untuk peralatan rumah tangga;
• Penurunan rugi-rugi standby power dengan penerapan teknologi
pengawasan digital dan sosialisasi;
• Konversi dari minyak tanah ke LPG dan/atau kompor listrik.
- Kegiatan efisiensi energi di sektor bangunan komersial dilakukan melalui
cara:
• Kewajiban penerapan bangunan energi hijau untuk bangunan baru;
• Kewajiban penerapan konservasi energi untuk gedung pemerintah;
• Kewajiban manajemen energi untuk bangunan komersial.
- Penggunaan dan retrofit lampu jalan (PJU) hemat energi tenaga surya
Efisiensi pada sektor industri difokuskan pada dua langkah utama, yaitu:
• Manajemen Energi (kewajiban melaksanakan manajemen energi untuk
pengguna sektor industri); dan
• Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) untuk peralatan
industri.
- Kebijakan konservasi energi di dalam sistem transportasi antara lain:
• implementasi kendaraan listrik;
• perpindahan moda transportasi dari kendaraan pribadi ke transportasi
publik;
• manajemen transportasi; dan
• peningkatan standar efisiensi bahan bakar.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


82
- Menetapkan target efisiensi penyediaan tenaga listrik di sisi pembangkit,
jaringan dan konsumen;
- Efisiensi jaringan ditetapkan melalui indikator susut jaringan tenaga listrik;
- Pengukuran dan verifikasi pelaksanaan konservasi energi;
- Peningkatan kapasitas SDM;
- Memudahkan akses pembiayaan kegiatan Konservasi Energi.
c. Penguatan dan perluasan pelayanan pasokan energi dan tenaga listrik, melalui:
Pasokan Energi
Pasokan Tenaga listrik
- Pembangkit
• Pembangkit tenaga listrik yang akan dibangun harus berlokasi sedekat
mungkin dengan sumber energi primer sehingga meminimalisir biaya
dan permasalahan logistik sumber energi primer.
• Terdapat skala prioritas dalam pemanfaatannya, prioritas pertama adalah
sumber EBT, berikutnya adalah sumber energi fosil seperti batubara
mulut tambang dan gas mulut sumur (wellhead).
• Potensi panas bumi yang membentang sepanjang bukit barisan di Pulau
Sumatera akan terus didorong pemanfaatannya secara optimal untuk
pembangkitan tenaga listrik.
• Potensi tenaga air yang tersebar mulai dari Aceh sampai Lampung yang
belum termanfaatkan terus didorong agar dimanfaatkan menjadi PLTA/
PLTM/PLTMH.
• Optimalisasi pemanfaatan potensi panas bumi menjadi PLTP di Pulau
Lombok dan Pulau Flores diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tenaga
listrik bagi pulau tersebut
• Provinsi Kalimantan Utara yang kaya akan potensi tenaga air perlu
didorong sebagai penghasil energi dari PLTA.
• Potensi tenaga air di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan juga didorong
pemanfaatannya sehingga dapat memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi
kedua provinsi dan dapat ditransfer ke provinsi tetangga yaitu Provinsi
Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara.
• Pulau di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara yang memiliki
potensi panas bumi seperti Pulau Ambon dan Pulau Halmahera
pemenuhan kebutuhan tenaga listriknya diprioritaskan dari PLTP.
• Untuk pulau-pulau kecil dan daerah pedalaman dapat memanfaatkan
tenaga surya dengan PLTS menggunakan baterai.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


83
• Pulau Papua yang kaya akan potensi tenaga air dan gas bumi pemenuhan
kebutuhan tenaga listriknya dapat dipenuhi oleh kedua sumber energi
tersebut.
• Selain itu PLTA Pumped Storage perlu dikembangkan, selain untuk
memperbaiki faktor beban dan menurunkan BPP pembangkitan pada
waktu beban puncak, dapat juga berfungsi sebagai alternatif penyimpanan
apabila terdapat kelebihan energi listrik dari pembangkit EBT variable
yang tidak terserap oleh beban.
• PLTSa dapat menggunakan cara pengumpulan dan pemanfaatan gas
metana dengan teknologi sanitary landfill, anaerob digestion, atau yang
sejenis dari hasil penimbunan sampah atau melalui pemanfaatan panas/
termal dengan menggunakan teknologi thermochemical.
- Implementasi Smart Grid
Memperhatikan besarnya manfaat smart grid bagi peningkatan
keandalan, peningkatan porsi Energi Baru Terbarukan dalam bauran
energi pembangkitan tenaga listrik, dan peningkatan efisiensi energi,
maka penerapan smart grid perlu dilakukan secara bertahap dengan
memperhatikan kesiapan sumber daya manusia, teknologi, serta biaya.
Untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan sebagai upaya
alih teknologi maka perlu dilakukan kerja sama dengan negara – negara
yang telah berhasil menerapkan smart grid. Diharapkan paling lama pada
tahun 2020, smart grid sudah mulai diterapkan di beberapa wilayah di
Jawa Bali dan secara bertahap diterapkan pada sistem Luar Jawa Bali. Hal
ini dapat mendorong percepatan pencapaian porsi Energi Baru Terbarukan
dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik.
- Menjaga reserve margin memenuhi kriteria N-1 yaitu kapasitas pembangkit
terbesar pada system
d. Pengembangan kebijakan pendanaan dan pembiayaan, melalui:
- Perumusan insentif dan fasilitas asistensi pendanaan
- Perumusan dan penerapan skema KPBU
- Perumusan skema blended finance ICCTF (Indonesia Climate Change Trust
Funds)
- Optimalisasi pemanfaatan skema Green Sukuk dan Green Bond
- Subsidi listrik yang tepat sasaran
- Tarif tenaga listrik yang kompetitif
- Peningkatan penyertaan modal negara (PMN) khususnya untuk
pengembangan listrik perdesaan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


84
- Pemberian fasilitas bebas bea masuk untuk mesin dan peralatan yang
digunakan pada pembangunan pembangkit oleh pemegang izin usaha untuk
kepentingan umum.

4. Agenda Pembangunan 6 : Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan


Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim

Dalam rangka pencapaian target pada RPJMN 2020-2024 agenda pembangunan 6


Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, Dan Perubahan
Iklim yang dapat di lihat pada lampiran III, dapat dilakukan beberapa langkah strategi
sebagai berikut :

1. Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup;


Strategi peningkatan kualitas lingkungan hidup yang terkait dengan sektor ESDM
adalah:
a. Penanggulangan pencemaran dan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan
hidup:
- Menerapkan standar emisi pembangkit listrik;
- Evaluasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan sektor ketenagalistrikan;
- Pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup pertambangan
sesuai dengan dokumen lingkungan hidup;
- Penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup apabila terjadi
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

2. Pembangunan Rendah Karbon


Strategi pembangunan rendah karbon yang terkait dengan Sektor ESDM mencakup
Pembangunan Energi Berkelanjutan, yang dilaksanakan dengan:
a. Pengelolaan energi baru terbarukan melalui pengembangan pembangkit
energi terbarukan serta meningkatkan pasokan bahan bakar nabati dari bahan
baku rendah karbon;
b. Efisiensi dan konservasi energi:
- Penyusunan dan penerapan standar dan label untuk peralatan rumah tangga
dan industri;
- Kewajiban manajemen energi untuk sektor industri, bangunan Gedung, dan
transportasi;
- Penerapan kendaraan listrik;
- Penerapan standar efisiensi bahan bakar dan kendaraan;
- Pengembangan dan penerapan green and smart commercial building;
- Penerapan teknologi hemat energi (seperti kompor induksi, PJU hemat
energi, dll);
- Edukasi dan sosialisasi;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


85
- Ditujukan tidak hanya kepada masyarakat umum tetapi juga pada lembaga
keuangan dan investor sehingga lebih mengenal konservasi energi sebagai
proyek yang menjanjikan serta meningkatkan perilaku hemat energi;
- Peningkatan jumlah ahli konservasi energi;
- Secara bertahap meningkatkan kualitas sertifikasi profesi serta
memperbanyak jumlah auditor dan manajer energi tersertifikasi dengan
bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan;
- Pengembangan business model;
- Mengembangkan model bisnis efisiensi energi yang sederhana namun
mampu memberikan kepastian pengembalian imbal hasil investasi;
- Pengembangan manajemen risiko proyek efisiensi energi;
- Mengembangkan manajemen risiko dengan menyusun rencana, assessment,
mitigasi, dan pemilihan strategi risiko. Bekerja sama dengan lembaga
keuangan dan asuransi untuk menyusun opsi transfer risiko, mitigasi risiko,
dan penghindaran risiko.

C. KERANGKA REGULASI
Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran strategis Kementerian ESDM, akan diusulkan
rancangan peraturan dan regulasi yang menjadi bidang tugas Kementerian ESDM
berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan akibat adanya perubahan Arah Pembangunan
Nasional, Indikator Kinerja Utama KESDM, dan perubahan kelembagaan. Usulan peraturan
dan regulasi terdiri dari Rancangan Undang-Undang (RUU), RPP (RPP), Rancangan
Peraturan Presiden (RPerpres) dan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) antara lain:

Sub Sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi


1. RUU tentang Energi Baru Terbarukan
2. Rperpres tentang Pembelian Energi Listrik Terbarukan oleh PT. PLN (Persero)
3. RPM perubahan permen ESDM Nomor 39 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan (Bertujuan untuk Mempermudah
Proses Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan
dengan Pemerintah Daerah)
4. RPM perubahan permen ESDM Nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan Pemanfaatan
dan Tata Niaga BB Sebagai Bahan Bakar (Perluasan dan Redefinisi BBN Terutama
Karena Perkembangan Teknologi Terkait BBN)
5. RPP tentang perubahan PP Nomor 70 tahun 2009 dalam rangka meningkatkan
implementasi konservasi energi
6. RPP tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


86
7. RPM tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Kaidah Teknis Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung
8. RPM tentang Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum dan Pencantuman Label
Hemat Energi untuk Peralatan Pemanfaat Energi
9. Insentif pembangunan infrastruktur, lingkungan, risiko ekonomi untuk pembangunan
PLTP
10. Kebijakan pemanfaatan teknologi energi air
11. Kebijakan standarisasi dan sertifikasi untuk pembangkit listrik tenaga air (pengembangan
standar teknis dan kompetensi bidang energi air)
12. Kebijakan penguatan industri dalam negeri di bidang energi air
13. Kebijakan insentif fiskal dan non fiskal
14. Regulasi terkait kewajiban wilayah usaha kelistrikan untuk mengembangkan energi surya

D. KERANGKA KELEMBAGAAN
Kerangka kelembagaan digunakan sebagai perangkat organisasi yang melaksanakan tugas
untuk mencapai visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, serta program Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara.

1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Energi dan Sumber Daya Mineral

Dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral ditetapkan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber
daya mineral untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud, Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
1. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan
pengawasan minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, energi
baru, energi terbarukan, konservasi energi, dan geologi;
2. pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan
minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, energi baru, energi
terbarukan, konservasi energi, dan geologi serta pengelolaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak sektor energi dan sumber daya mineral sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
3. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan kebijakan di bidang
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan,
mineral dan batubara, energi baru, energi terbarukan, konservasi energi, dan geologi;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


87
4. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang energi dan sumber daya mineral;
5. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang energi dan sumber
daya mineral;
6. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
7. pembinaan dan pemberian dukungan administrasi di lingkungan Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral;
8. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; dan
9. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral.

2. Struktur Organisasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

1. Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral:


Tugas dan Fungsi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 dituangkan dalam Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan
Tata Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dibantu oleh Wakil Menteri
yang secara umum mempunyai tugas membantu Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral dalam memimpin pelaksanaan tugas Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dibantu oleh 9 (Sembilan)
unit Eselon I.

MENTERI
Staf Ahli
WAKIL MENTERI

INSPE KTORAT SEKRETARIAT


JENDERAL JENDERAL

DITJEN
DITJEN DITJEN DITJEN BADAN
ENERGI BARU, BADAN BADAN
MINYAK DAN KETENAGA MINERAL DAN TERBARUKAN, DAN PENGEMBANGAN
GEOLOGI LITBANG ESDM
GAS BUMI LISTRIKAN BATUBARA KONSERVASI E NERGI SDM ESDM

PUSDATIN PPBMN

Gambar 23. Struktur Organisasi Kementerian ESDM

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


88
Masing-masing unit eselon I memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda dan
spesifik yaitu:
a. Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan
tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
b. Inspektorat Jenderal mempunyai tugas untuk melaksanakan pengawasan
intern di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
c. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi mempunyai tugas menyelenggarakan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian,
dan pengawasan substansi masing-masing bidang direktorat.
d. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan mempunyai tugas menyelenggarakan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengusahaan,
keteknikan, keselamatan kerja, dan lingkungan di bidang ketenagalistrikan.
e. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mempunyai tugas perumusan
dan pelaksanaan kebijakan serta penyusunan norma, standar, prosedur,
dan kriteria dan pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di
bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan pengusahaan,
keteknikan, keselamatan kerja, lingkungan, dan pembangunan sarana dan
prasarana tertentu, serta pengelolaan penerimaan Negara Bukan Pajak sektor
mineral dan batubara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi mem-
punyai tugas perumusan dan pelaksanaan kebijakan serta penyusunan norma,
standar, prosedur, dan kriteria dan pelaksanaan pemberian bimbingan teknis
dan supervisi di bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan
pengusahaan, keteknikan, keselamatan kerja, lingkungan, serta pembangunan
sarana dan prasarana tertentu di bidang panas bumi, bioenergi, aneka energi
baru dan terbarukan, dan konservasi energi.
g. Badan Geologi mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian, penyelidikan,
dan pelayanan di bidang sumber daya geologi, vulkanologi dan mitigasi
bencana geologi, air tanah, dan geologi lingkungan, serta survei geologi.
h. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral
mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang
minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, energi baru,
energi terbarukan, konservasi energi, dan geologi kelautan.
i. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Energi dan Sumber Daya Mineral
mempunyai tugas menyelenggarakan pengembangan sumber daya manusia di
bidang minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, energi
baru, energi terbarukan, konservasi energi, dan geologi.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


89
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga memiliki Staf Ahli mempunyai
tugas memberikan telaahan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
mengenai masalah tertentu sesuai bidang tugasnya. Staf ahli terdiri atas:
a. Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis;
b. Staf Ahli Bidang Investasi dan Pengembangan Infrastruktur;
c. Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam; dan
d. Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang.

3. Arah Kebijakan Kelembagaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Pembentukan organisasi/lembaga pemerintah berdampak pada beberapa aspek


termasuk beban belanja negara, untuk itu inisiatif penataan organisasi harus
memperhatikan prinsip-prinsip kerangka kelembagaan sebagai berikut:
1. Sejalan dengan kebijakan Pembangunan nasional
2. Sejalan dengan peraturan perundangan
3. Memperhatikan asas manfaat
4. Mendukung outcome pembangunan
5. Sejalan dengan perkembangan lingkungan strategis pembangunan
6. Dilakukan dengan transparan, partisipatif, dan akuntabel
7. Mengedepankan kerja sama multi pihak yang kolaboratif
8. Memperhatikan efisiensi dan efektivitas anggaran
9. mendorong pembatasan pembentukan lembaga baru
10. Memperhatikan pembagian kewenangan/urusan antara pemerintah pusat dan
daerah

Penataan organisasi telah menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk
membentuk sebuah kepemerintahan yang baik (good governance). Penataan organisasi
yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat struktur organisasi ramping, sehingga
kelembagaan menjadi lebih efektif dan efisien.

Seiring dengan perkembangan arah kebijakan Pemerintah, organisasi yang telah


dibentuk dan dianggap cukup memadai akan ditemui kekurangannya. Untuk itulah
perlu dilakukan penataan organisasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
dalam upaya pencapaian sasaran strategis, dengan cara melakukan evaluasi struktur
organisasi serta tugas dan fungsi yang disesuaikan dengan perkembangan, kebutuhan
pelaksanaan tugas, dan tuntutan stakeholders.

Pada prinsipnya, penataan organisasi tersebut ditujukan untuk meningkatkan


efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas di bidang energi dan sumber daya mineral
sehingga menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing), mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), dan meningkatkan mutu pelayanan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


90
pada masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan tugas, beban
kerja, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, tuntutan stakeholders, dan
perkembangan yang terjadi.

Namun demikian, penataan organisasi sebagaimana tersebut di atas merupakan upaya


yang bersifat tentatif yang pelaksanaannya sangat bergantung dengan perkembangan
internal dan eksternal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, perubahan
kebijakan nasional terkait tugas, fungsi dan peran Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, dan kebijakan nasional yang digariskan oleh Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

4. Pengelolaan Sumber Daya Aparatur (SDA)

1. Kondisi SDA Kementerian ESDM saat ini


Jumlah keseluruhan pegawai Kementerian ESDM pada akhir tahun 2019 adalah
6.073 pegawai. Sedangkan jumlah pegawai ESDM yang dilihat berdasarkan
kelompok jabatan adalah jabatan Eselon I sebanyak 13 orang, Eselon II sebanyak
59 orang, Eselon III sebanyak 215 orang, Eselon IV sebanyak 500 orang, jabatan
fungsional terdiri dari jabatan fungsional tertentu sebanyak 2.084 orang dan
jabatan fungsional umum sebanyak 3.202 orang.

Tabel 23. Kondisi Sumber Daya Aparatur berdasarkan Golongan

Dari keseluruhan SDA Kementerian ESDM yang terbagi dalam pangkat/golongan,


adalah golongan IV sejumlah 764 orang, golongan III sejumlah 4.568 orang,
golongan II sejumlah 712 orang, serta golongan I sebanyak 29 orang. Jumlah
pegawai ESDM yang digolongkan berdasarkan pendidikan yaitu gelar strata yang

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


91
terdiri dari spesialis sebanyak 8 orang, S3 sebanyak 89 orang, S-2 sebanyak 1.376
orang, S-1 sebanyak 2.977 orang, gelar diploma yang teriri dari D-4 sebanyak 106
orang, D-3 sebanyak 297 orang, D-2 sebanyak 7 orang, D-1 sebanyak 22 orang.

Tabel 24. Kondisi Sumber Daya Aparatur berdasarkan Tingkat Pendidikan

2. Proyeksi kebutuhan SDA tahun 2020-2024

Perencanaan pegawai guna memenuhi standar mekanisme kelembagaan salah


satunya dengan melakukan pemenuhan kebutuhan pegawai. Hal ini dilakukan
untuk menyeimbangkan kebutuhan pegawai di setiap unit melalui alokasi yang
dilakukan oleh Biro Sumber daya Manusia. Adapun proyeksi kebutuhan pegawai
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral adalah sebagai berikut:

Tabel 25. Proyeksi Sumber Daya ASN tahun 2020-2024

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


92
Arah Kebijakan Sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi

Dalam rangka penjabaran kondisi yang diharapkan serta strategi untuk mencapai tujuan dan
sasaran pada Renstra 2020-2024 Direktorat Jenderal EBTKE diperlukan strategi penyusunan
arah kebijakan yang tepat sasaran dan dapat dinikmati seluruh kalangan masyarakat di
Indonesia. Arah kebijakan dan strategi Direktorat Jenderal EBTKE berdasarkan unit kerja
adalah sebagai berikut:

1. Sektor Panas Bumi


Berdasarkan progres pelaksanaan pembangunan proyek PLTP di lapangan,
permasalahan yang menjadi penyebab kurang optimalnya pengembangan energi panas
bumi antara lain: pengembang menanggung biaya infrastruktur yang sebenarnya
menjadi tanggung jawab Pemerintah, upfront-risk dan kebutuhan investasi awal yang
besar, beberapa lokasi potensi panas bumi berada di kawasan konservasi, daya beli
masyarakat yang relatif rendah, dan ketimpangan antara kebutuhan listrik setempat
dengan sumber daya energi panas bumi yang ada. Selain itu, pengembang panas bumi
di Indonesia juga masih menghadapi risiko bisnis seperti:
1) Risiko sumber daya (resource-risk), merupakan risiko pengembangan yang
disebabkan oleh ketidakpastian kondisi sumber daya panas bumi pada saat proses
eksplorasi. Salah satu contoh dari risiko sumber daya ini adalah tidak ditemukannya
sumur panas bumi yang produktif dengan temperatur tinggi. Hal ini disebabkan
karena tingkat keberhasilan pengeboran sumur eksplorasi hanya sekitar 50%.
Tingkat risiko ini akan berkurang sejalan dengan progres kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi yang dilakukan pengembang.
2) Risiko kenaikan biaya proyek, merupakan risiko yang diakibatkan utamanya dari
bertambahnya durasi kegiatan pengeboran panas bumi akibat permasalahan sumur
dan ketidakpastian kondisi bawah tanah dari lapangan panas bumi.
3) Risiko sosial, merupakan risiko yang dihadapi pengembang terkait isu sosial yang
berpotensi pada penolakan masyarakat di sekitar proyek pengembangan PLTP.
Resistensi masyarakat dan isu sosial ini dapat mengakibatkan keterlambatan
penyelesaian proyek yang akhirnya akan berdampak pada keekonomian proyek.
4) Risiko perubahan kebijakan dan regulasi, merupakan risiko yang muncul akibat
perubahan kebijakan atau munculnya peraturan baru yang sebelumnya tidak
diperhitungkan oleh pengembang sehingga dapat mempengaruhi keekonomian
proyek panas bumi. Sebagai contoh, terdapat peraturan-peraturan baru seperti
penerapan Iuran Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi (IPJLPB), pengenaan
Pajak Tubuh Bumi pada tahap eksploitasi, dan sebagainya.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


93
Gambar 24. Konseptual Model Tingkatan Risiko selama Pengembangan Panas Bumi
(modifikasi ESMAP Geothermal Handbook, World Bank, 2012, Robertson-Tait et al. 2015)

Berdasarkan situasi tersebut, perlu diusulkan enam strategi dalam rangka optimalisasi
potensi energi panas bumi dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Enam strategi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemberian insentif sebagai Levelized Cost of Electricity (LCOE) sebagai perwujudan
reimbursement terhadap biaya-biaya yang pada hakikatnya bukan tanggung jawab
Pengembang;
2. Fasilitasi akses pendanaan proyek;
3. Regulasi dan advokasi untuk pemanfaatan di kawasan konservasi;
4. Social-engineering untuk dukungan masyarakat;
5. Pengeboran eksplorasi oleh pemerintah yang diawali kegiatan akuisisi data geosains;
6. Penyusunan regulasi tentang harga listrik dari PLTP untuk meningkatkan kepastian
investasi dan mencapai keekonomian proyek;
7. Penciptaan demand dengan pengembangan cluster ekonomi; dan
8. Integrasi dan kolaborasi dalam sistem pengelolaan dan perbaikan tata kelola.

Pengembangan energi panas bumi diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap
kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan lingkungan, peningkatan ekonomi lokal,
peningkatan investasi, dan perbaikan neraca perdagangan.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


94
2. Sektor Bioenergi

Direktorat Bioenergi selama 5 tahun ke depan dalam memenuhi target-target Nasional


energi baru terbarukan memiliki beberapa rencana strategis, diantaranya adalah
pemanfaatan Biofuel/Bahan Bakar Nabati dalam rangka mengurangi impor bahan
bakar minyak, pengembangan Biomassa skala kecil dan tersebar, memfasilitasi berbagai
inovasi teknologi bidang bioenergi, skema pendanaan bidang bioenergi, serta penguatan
investasi dan pemberian insentif bidang bioenergi.

Pemanfaatan Biofuel 5 tahun ke depan masih berbasis pada kelapa sawit. Peningkatan
produktivitas perkebunanan kelapa sawit menjadi salah satu aspek penting dalam
pengembangan biofuel di Indonesia.

Pada bulan Januari 2020, Program Biodiesel B30 juga telah dilaksanakan sehingga
Indonesia menjadi negara yang terdepan dalam pemanfaatan biodiesel di Dunia.
Untuk mendukung keberlanjutan dari program biodiesel ini, diperlukan pembangunan
sarana pendukung distribusi bahan bakar nabati yang mumpuni. Tidak berhenti pada
B30, saat ini KESDM juga sedang menyiapkan implementasi Program Biodiesel B40
dan B50. 5 tantangan utama pada pengembangan ini adalah pada aspek Pemilihan
Teknologi, Teknis, Finansial, Feedstock, dan Infrastruktur Pendukung. Upaya yang
perlu dilakukan diantaranya adalah meningkatkan kapasitas produksi Badan Usaha
Bahan Bakar Nabati, memperbaiki spesifikasi biodiesel, memperhatikan ketersediaan
insentif fund, meningkatkan sarana dan prasarana pada badan usaha bahan bakar
nabati, serta melaksanakan uji jalan untuk seluruh sektor pengguna.

Selain program Biodiesel B30, KESDM mendorong proses persiapan penerapan


green diesel dan green gasoline co-processing yang dilakukan oleh PT Pertamina
(Persero). Secara paralel, pembangunan refinery green diesel stand-alone juga sedang
dipersiapkan.

Selain itu, bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit juga disiapkan untuk menggantikan
bahan bakar minyak pada PLTD, yaitu PLTBn berbahan bakar CPO. Pengembangan dan
penyempurnaan terkait hal ini yang akan diimplementasikan pada PLTD eksisting PT.
PLN (Persero) masih terus dilaksanakan dengan dikoordinasikan dengan stakeholder
terkait.

Pengembangan biomassa 5 tahun ke depan memiliki cita-cita agar energi berbasis


biomassa dapat dirasakan secara menyeluruh hingga daerah-daerah yang terpelosok di
seluruh Indonesia. Indonesia memiliki potensi bahan bakar dari biomassa dan sampah
yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Pemanfaatan bahan
bakar dari biomassa dan sampah untuk pembangkit listrik dapat dilaksanakan dengan
cepat tanpa perlu melakukan pembangunan pembangkit melalui implementasi cofiring

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


95
PLTU batubara, yang mana bahan baku campuran cofiring adalah biomassa termasuk
sampah yang dilakukan pengolahan menjadi pellet sampah, pellet kayu maupun
wood chip. Selain itu, pengembangan PLT Biomassa skala kecil dan tersebar (20-200
kW) menjadi salah satu senjata utama. Untuk itu, pengembangan hutan energi yang
didedikasikan untuk listrik dan bahan bakar nabati menjadi faktor pendukung yang
vital.

Selain PLT Biomassa perlu juga mengembangkan PLTSa dimana perlu adanya penciptaan
pasar, Pemerintah mewajibkan PT. PLN (Persero) untuk membeli listrik dari PLTSa,
memberikan dukungan dan fasilitasi pada pengembangan PLTSa, dan melaksanakan
pembinaan dan pengawasan pada pengembangan PLTSa.

Dalam lain hal, bahan bakar alternatif pengganti gas perlu pula mengembangkan bio-
CNG dimana merupakan bentuk biogas yang telah dibersihkan (gas metan murni)
dimana gas-gas yang tidak dikehendaki telah dibuang untuk menghasilkan metan lebih
dari 95% yang dapat digunakan untuk memasak, bahan bakar kendaraan dan industri.

Beberapa upaya pemerintah dalam mendukung dan memfasilitasi percepatan investasi,


skema pendanaan, memberikan insentif dan menyederhanakan perizinan, menyiapkan
regulasi pendukung pendorong pengembangan bioenergi serta inovasi teknologi di
bidang bioenergi diantaranya adalah penyediaan infrastruktur penunjang, insentif fiscal
untuk investasi pembiayaan, penyesuaian model bisnis PT. PLN (Persero) khusus untuk
Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, skema pembiayaan yang khusus, serta
perencanaan dan penentuan kebijakan ketenagalistrikan nasional berbasis Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi.

3. Sektor Aneka EBT

Energi Air (Mini/Mikrohidro)


Pengembangan energi air di Indonesia pada hakikatnya bertujuan untuk memaksimalkan
pemanfaatan potensi energi air di Indonesia sehingga target pemanfaatan energi air
sebesar 20.986,7 MW untuk memenuhi target dalam bauran energi nasional sebesar
23% pada tahun 2025 yang di jabarkan kedalam target-target yang telah ditetapkan
dalam Rencana Umum Energi Nasional dapat tercapai.

Di tahun 2019, ditargetkan capaian Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik Tenaga


Air (PLTA) bertambah sebesar 318,07 MW, diharapkan dengan meningkatnya kapasitas
terpasang tersebut, dapat memenuhi target energi terbarukan dalam bauran energi
nasional.

Berbagai permasalahan yang menjadi kendala dalam pengembangan energi air saat ini
harus dicarikan solusinya, melihat kondisi dan kendala dalam pengembangan energi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


96
air saat ini, maka kondisi yang diharapkan atau sasaran pengembangan energi air yang
dapat dipetakan antara lain yaitu:
1. Tersedianya data potensi energi air yang siap untuk diimplementasikan.
2. Meningkatnya Penguasaan Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Air Nasional.
3. Tersedianya data kebutuhan listrik dari PLN per wilayah yang dapat diakses publik
untuk pengembangan energi air serta mendorong PT. PLN (Persero) memperkuat
kehandalan sistem jaringan.
4. Tersedianya pendanaan jangka panjang yang terjangkau serta mekanime insentif
untuk pengembangan energi air.
5. Meningkatnya kemampuan Industri dalam negeri guna mempermudah
pengembangan penggunaan tenaga air
6. Meningkatnya Peran Badan Usaha Nasional di Bidang Energi Air dengan
Memberdayakan Peran Swasta Nasional, BUMN dan BUMD untuk masuk di
Bidang Energi Air
7. Meningkatnya penerapan Standar nasional untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air
8. Terwujudnya proyek-proyek pembangkit energi air yang berkelanjutan dan berjalan
dengan baik

Untuk mempercepat implementasi PLTA/M/MH, dibutuhkan kebijakan pengusahaan


yang meliputi:
1. Mekanisme kerja sama menggunakan skema BOO, namun dapat dimungkinkan
BOOT atas kesepakatan para pihak
2. Penetapan tarif harga jual tenaga listrik dari PLTA/M/MH dengan memperhatikan
faktor lokasi, termasuk kemahalan biaya investasi lahan
3. Menggunakan skema penunjukan langsung untuk:
- yang telah memiliki perizinan lengkap;
- yang telah mendapatkan penetapan pemenang atas lelang pemanfaatan
bendungan sebagai pembangkit listrik yang dilaksanakan oleh Kementerian
PUPR;
- ekspansi kapasitas di lokasi yang sama;
- yang dibangun menggunakan anggaran pemerintah (sebagian/seluruhnya),
termasuk hibah;
- pengembang yang merupakan satu-satunya calon penyedia tenaga listrik di
suatu sistim;
- Penunjukan langsung juga dapat dilakukan apabila sistem tenaga listrik setempat
dalam kondisi kritis atau darurat penyediiaan tenaga listrik

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


97
Energi Surya
Di tahun 2019, ditargetkan capaian Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik Tenaga
Surya (PLTS) bertambah sebesar 15 MW, diharapkan dengan meningkatnya kapasitas
terpasang tersebut, dapat memenuhi target energi terbarukan dalam bauran energi
nasional. Dalam mendorong pemanfaatan energi surya yang semakain massif, maka
pemerintah perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Melakukan sosialisasi fasilitas tax allowance dan tax holiday secara massif dan
kepada semua pengembang
b. Tersedianya pinjaman dengan suku bunga rendah dan tenor yang panjang di dalam
negeri.
c. Untuk mengakses pinjaman bunga rendah dari luar negeri diperlukan perubahan
format PPA/standar PPA dan pemberlakukan harga jual listrik pada PPA dalam
mata uang rupiah yang dikaitkan dengan mata uang dollar.
d. Mendorong penguasaan industri dalam negeri:
- Modul surya: mengembangkan penguasaan teknologi lebih ke sisi hulu
- Baterai: mengembangkan penguasaan teknologi lebih ke sisi hulu
- Inverter: penguasaan teknologi inverter
e. Mendorong peran pemerintah dalam penyediaan lahan bagi pengembang PLTS
f. Mendorong pemerintah segera mewujudkan carbon trading di Indonesia

Untuk mendukung pengembangan PLTS Atap di Indonesia, khususnya di Pulau


Jawa dan Bali yang saat ini sistem kelistrikannya mengalami surplus, perlu didorong
percepatan pemanfaatan kompor induksi dan kendaraan listrik untuk meningkatkan
konsumsi listrik.

Energi Angin/Bayu
Pengembangan energi angin di Indonesia pada hakikatnya bertujuan untuk
memaksimalkan pemanfaatan potensi energi angin di Indonesia sebesar 1.800 MW
sesuai target pemanfaatan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar
23% pada tahun 2025 yang dijabarkan kedalam target-target yang telah ditetapkan
dalam Rencana Umum Energi Nasional dapat tercapai.

Di tahun 2019, ditargetkan capaian Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik Tenaga


Bayu/Angin (PLTB) bertambah sebesar 60 MW, diharapkan dengan meningkatnya
kapasitas terpasang tersebut, dapat memenuhi target energi terbarukan dalam bauran
energi nasional.

Bebagai permasalahan yang menjadi kendala dalam pengembangan energi angin saat
ini harus dicarikan solusinya, melihat kondisi dan kendala dalam pengembangan energi
angin saat ini, maka kondisi yang diharapkan atau sasaran pengembangan energi angin
yang dapat dipetakan dalam roadmap ini antara lain yaitu:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


98
1. Meningkatnya kualitas dan kuantitas data potensi energi angin, yaitu data potensi
energi angin yang akurat, terkini dan mengikuti standar yang berlaku.
2. Berkembangnya teknologi turbin angin dan pasar dalam negeri.
3. Adanya kebijakan/regulasi insentif fiskal dan non fiskal yang mendukung investasi
pengembangan energi angin.
4. Meningkatnya investasi dan akses pendanaan terkait pengembangan PLTB.
5. Tersusunnya standardisasi teknis (SNI) maupun kompetensi (SKKNI) terkait
energi angin yang mengakomodir seluruh kebutuhan standardisasi terkait bidang
energi angin.
6. Meningkatnya dukungan program dan anggaran Pemerintah dalam hal pengukuran
potensi, penelitian dan pengembangan energi angin.
7. Meningkatnya pengembangan sumber daya manusia dalam bidang energi angin.
8. Meningkatnya peran swasta nasional serta BUMN dalam pengembangan industri
dalam negeri bidang energi angin.
9. Meningkatnya kapasitas PLTB dalam RUPTL dari tahun ke tahun.
10. Terlaksananya perencanaan sistem secara menyeluruh dan meningkatnya
kehandalan sistem jaringan oleh PT. PLN (Persero) khususnya pada sistem jaringan
dengan potensi PLTB yang besar.

4. Sektor Konservasi

Sasaran konservasi energi nasional sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79


Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres Nomor 22 tahun 2017
tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) adalah tercapainya penurunan
intensitas energi sebesar 1% (satu persen) per tahun yang diselaraskan dengan target
pertumbuhan ekonomi dan tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada
tahun 2025 serta terwujudnya bauran energi primer (energi mix) yang optimal pada
tahun 2025. Bauran energi yang diharapkan adalah minyak bumi menjadi kurang dari
25% (dua puluh lima persen), gas bumi minimal 22% (dua puluh dua persen), batubara
minimal 30% (tiga puluh persen) dan energi baru terbarukan paling sedikit 23% (dua
puluh tiga persen). Target konservasi energi yang tercantum dalam RUEN adalah
berupa penurunan konsumsi energi sebesar 17% pada tahun 2025 dengan tahun dasar
tahun 2015.

Kebijakan Energi Nasional disusun sebagai pedoman untuk mewujudkan ketahanan


dan kemandirian energi guna mendukung pembangunan nasional berkelanjutan,
dengan mewujudkan:
a. sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata tetapi sebagai
modal pembangunan nasional;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


99
b. kemandirian pengelolaan energi;
c. ketersediaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri;
d. pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;
e. pemanfaatan energi secara efisien di semua sektor;
f. akses masyarakat terhadap energi secara adil dan merata;
g. pengembangan kemampuan dan kemandirian teknologi, industri energi dan jasa
energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia;
h. terciptanya lapangan kerja; dan
i. terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Dalam mencapai sasaran penurunan intensitas energi final sebesar 1% (satu persen)
per tahun dan untuk mencapai target Renstra 2019-2024, perlu disusun strategi
pelaksanaan kegiatan konservasi energi. Strategi penerapan konservasi energi terdiri
dari 7 (tujuh) strategi antara lain:
a. pendekatan lintas sektoral;
b. peningkatan kesadaran pengguna Sumber Energi dan Pengguna Energi;
c. penurunan pemakaian Sumber Energi dan/atau Energi dengan mempertimbangkan
daya saing dan produktivitas;
d. penerapan teknologi efisien Energi;
e. peningkatan efisiensi peralatan pemanfaat energi;
f. peningkatan kapasitas sumber daya manusia; dan
g. diversifikasi Energi dan substitusi bahan bakar.

5. Bidang Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBT

Arah kebijakan dalam perencanaan dan pembangunan Infrastruktur EBTKE adalah


pemberian dukungan di Sektor Panas Bumi, Bio Energi, Aneka Energi Baru dan
Energi Terbarukan, dan Konservasi Energi. Dukungan ini berupa pembangunan segala
jenis Infrastruktur yang memanfaatkan sumber daya EBT dan mendukung kegiatan
Konservasi Energi yang menggunakan sumber dana dari APBN. Kebijakan perencanaan
dan pembangunan infrastruktur EBTKE mempertimbangkan hal-hal di bawah ini yaitu:
a. Tercapainya rasio elektrifikasi sesuai target;
b. Aksesibilitas terhadap sumber energi listrik yang adil dan merata;
c. Peningkatan kemampuan kemandirian ekonomi, sosial, dan pendidikan masyarakat
atas pembangunan infratruktur EBTKE;
d. Penyediaan energi bersih;
e. Peningkatan pengembangan teknologi pemanfaatan EBTKE;
f. Pengembangan infrastruktur energi untuk masyarakat yang berada di daerah
tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


100
Kerangka Regulasi sektor EBTKE
Dalam rangka penyusunan kerangka usulan perubahan peraturan dan regulasi untuk
mencapai tujuan dan sasaran pada sektor EBTKE, berikut adalah kerangka regulasi
berdasarkan sektor EBTKE yang terdiri dari:

1. Sektor Panas Bumi

Dalam rangka pengembangan Panas Bumi tidak terlepas dari kerangka regulasi
yang baik. Telah dilakukan koordinasi yang intensif dengan para pengembang untuk
menginventarisir hambatan-hambatan pengembangan proyek panas bumi, disepakati
bahwa hambatan utama dalam pengembangan proyek panas bumi yaitu perlunya
penyempurnaan regulasi untuk dapat mengakomodir nilai keekonomian yang
diharapkan oleh para pengembang.

Keekonomian proyek PLTP menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan
panas bumi di Indonesia. Menurut Permen ESDM 50/2018 tarif pembangkit listrik
diwajibkan mengacu pada nilai Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkitan listrik
setempat. Tarif PLTP dapat mengikuti 100% nilai BPP setempat atau sesuai dengan
kesepakatan bisnis dengan PLN jika nilai BPP setempat di bawah nilai BPP Nasional.

Gambar 25. Pola Pikir usulan insentif pengembangan panas bumi

Sistem Sumatera-Jawa-Bali memiliki 89,3% dari total kapasitas pembangkit di


Indonesia. Oleh karena itu untuk mencapai target bauran energi sebesar 23% di tahun
2025 perlu dilakukan pengembangan EBT, termasuk panas bumi, di Sistem Sumatera-
Jawa-Bali secara signifikan. Namun demikian, Nilai BPP di Sistem Jawa-Bali sangat
rendah karena telah banyak PLTU yang beroperasi. Hal ini yang mengakibatkan
penentuan tarif dengan menggunakan pendekatan BPP tidak bisa diterapkan untuk
mencapai harga keekonomian proyek pengembangan panas bumi.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


101
Sebaliknya, nilai BPP untuk daerah diluar Sumatera-Jawa-Bali masih diatas
keekonomian harga panas bumi. Namun kontribusi terhadap pencapaian target EBT
23% tidaklah sebesar pengembangan Panas Bumi di wilayah Jawa-Sumatra dan Bali.

Dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengembangan panas bumi dan


kemampuan daya beli listrik PLN serta untuk mencapai pengembangan panas bumi
sesuai dengan road map, diusulkan perlunya insentif pengembangan proyek panas
bumi guna memenuhi kelayakan proyek PLTP. Adapun skema insentif tersebut antara
lain:

1. Insentif pembangunan infrastruktur


Pengembangan proyek PLTP selama ini turut membangun infrastruktur pada daerah
setempat seperti jalan raya, jembatan, instalasi air, dermaga, dan tentunya infrastruktur
kelistrikan. Fasilitas infrastruktur tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Selain dimanfaatkan oleh warga dan
industri kecil sekitar, fasilitas tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk mendorong
pengembangan pariwisata lokal, mendukung kegiatan lingkungan dan konservasi
hutan, serta peningkatan pencegahan dan penanganan bencana. Hal ini pada akhirnya
mendukung peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum tersebut, sebenarnya bukan


sepenuhnya tanggung jawab pengembang panas bumi. Dalam kasus pembangunan
PLTU, pengembang proyek PLTU dapat memilih lokasi yang strategis dengan
infrastruktur yang mapan. Tidak jarang lokasi proyek PLTU berdekatan dengan
aktivitas dan pemukiman masyarakat walaupun proyek PLTU berdampak pada
kualitas dan kesehatan lingkungan di sekitarnya. Contoh lain pada proyek PLTA,
pembangunan beberapa infrastruktur ditanggung oleh Pemerintah dengan bantuan
untuk membangun bendungan.

Proyek PLTP memiliki kebutuhan investasi dan risiko pengembangan yang sangat
besar di awal tahap pengembangan. Adanya bantuan/insentif pembangunan
infrastruktur sangat membantu kelayakan dan keberlangsungan pengembangan
proyek PLTP. Untuk mengurangi beban APBN/APBD terhadap pembangunan
infrastruktur tersebut, skema insentif dapat berupa reimbursement terhadap
selisih tarif keekonomian proyek dan kemampuan beli PLN secara detail untuk
masing-masing proyek PLTP.

2. Insentif lingkungan
Pengembangan proyek PLTP yang ramah lingkungan dapat mengurangi emisi GRK
dengan laju 0,77 ton CO2e/MWhe pada setiap produksi listriknya. Karena emisi
GRK yang lebih rendah dibandingkan PLTU atau PLTD, suatu insentif lingkungan
dapat diberikan sebagai bantuan terhadap kelayakan proyek PLTP.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


102
3. Insentif risiko ekonomi
Pemanfaatan energi panas bumi tidak memerlukan bahan bakar fosil sehingga
tarifnya stabil dan mendukung pengembangan nasional secara berkelanjutan.
Pemanfaatan energi panas bumi juga berpotensi menghemat penggunaan BBM
secara nasional. Kontribusi PLTP terhadap stabilitas ekonomi nasional dapat
dihitung dengan pangsa sektor ketenagalistrikan sebesar 3,34% dari PDB Indonesia.

Selain itu, risiko pengembangan proyek panas bumi di awal tahap pengembangan
juga membuat proyek PLTP sulit mendapatkan dukungan pendanaan dari bank
atau institusi keuangan lainnya. Proses Financial Close umumnya dapat dicapai
setelah pembuktian 40% keberadaan energi panas bumi (uap) di kepala sumur dari
total kapasitas pengembangan proyek.

Tahap awal pengembangan ini membutuhkan dukungan Pemerintah sepertihalnya


program Goverment Drilling yang saat ini telah dilakukan. Keterlibatan Pemerintah
dalam tahap awal eksplorasi panas bumi juga umum dilakukan di negara pengguna
energi panas bumi seperti, Filipina, Jepang, Selandia Baru, Amerika Serikat, dll.
Terbatasnya pendanaan untuk program Government Drilling dapat digantikan
dengan insentif untuk menutupi selisih tarif keekonomian proyek dan kemampuan
beli PLN secara detail untuk masing-masing proyek PLTP.

Sebagai implementasi, saat ini pemerintah sedang merencanakan kegiatan


peningkatan kualitas data geosains Panas Bumi melalui akuisisi data yang
dilanjutkan dengan pengeboran eksplorasi panas bumi oleh pemerintah dibawah
kolaborasi unit Ditjen EBTKE, Badan Geologi, dan Badan Litbang KESDM.
Disamping skema sebagaimana disajikan di atas terkait dengan skema insentif, saat
ini sedang disusun Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang Harga Pembangkit
Listrik dari PLTP yang akan mencakup topik penyiapan dan pembahasan konsep
eksplorasi melalui akusisi data dan pengeboran oleh pemerintah, Penyiapan
konsep pengaturan harga listrik dengan skema eksplorasi oleh Pemerintah, serta
pembahasan dan finalisasi Peraturan Harga Listrik Panas Bumi. Adapun manfaat
yang diharapkan dari regulasi ini sebagai berikut:
1. Menurunkan risiko eksplorasi dan harga listrik panas bumi;
2. Mengkontribusikan penurunan harga sebesar 0,01-0,4 sen USD/kwh dari
Survei 3G dan Landaian suhu, dan penurunan harga sebesar 0,46 – 1,52 sen
USD/kwh dari pengeboran eksplorasi untuk pemerintah;
3. Menyediakan opsi tambahan berupa pengeboran eksploitasi, pembebasan
PPh Badan, pemberian soft loan yang berdampak 0,62 – 4,53 sen USD/kwh;
4. Mendukung pencapaian pengembangan panas bumi untuk pemenuhan target
Bauran Energi.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


103
2. Sektor Bioenergi:

Tabel 26. Kerangka Regulasi Direktorat Bioenergi

Arah Kerangka Regulasi/ Hal-hal yang diatur dan


No Legislasi/Regulasi
Latar Belakang dan Urgensi substansi pengaturan
1 RPermen tentang Mempermudah proses Merevisi harga jual listrik
Perubahan atas Permen pelaksanaan dari PLT Bioenergi (PLTBg,
ESDM No 39 Tahun 2017 kegiatan fisik pemanfaatan PLTBm, dan PLTSa) yang
tentang pelaksanaan energi baru dan energi dibangun dengan dana
Kegiatan Fisik Pemanfaatan terbarukan dengan pemerintah APBN
Energi Baru daerah
dan Energi Terbarukan

2 RPermen tentang Perluasan dan redefinisi Bahan Komoditi yang diatur tidak
Perubahan atas Permen Bakar Nabati terutama karena hanya Biodiesel, bioethanol
ESDM No 32 Tahun 2008 perkembangan teknologi terkait dan biooil. Hal yang diatur
tentang Penyediaan, Bahan Bakar Nabati. terkait tata niaga Bahan
Pemanfaatan dan Tata bakar Nabati padat, cair dan
Niaga Bahan Bakar Nabati gas sebagai Bahan Bakar
(Biofuel) sebagai Bahan Lainnya
Bakar Lainnya

3. Sektor Aneka EBT

Kebijakan Pengembangan Energi Air

Dalam pengembangan energi air di Indonesia terdapat beberapa kebijakan-kebijakan


yang dapat dijadikan pendukung antara lain:

1. Kebijakan pemanfaatan teknologi energi air


Kebijakan pemanfaatan teknologi energi air melibatkan stakeholder yang terdiri
dari Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang meliputi pembuatan database
potensi dan pemanfaatan energi air;

2. Kebijakan untuk memperkuat penguasaan teknologi pembangkit listrik tenaga air


nasional
a. Identifikasi Lembaga/Institusi terkait litbang PLTA
b. Penelitian dan Pengembangan Teknologi komponen utama PLTA (Mechanical-
Electrical)

3. Kebijakan standarisasi dan sertifikasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air.


Kebijakan standarisasi dan sertifikasi melibatkan stakeholder yang terdiri dari
Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang meliputi:
a. Pengembangan standar teknis bidang energi air;
b. Pengembangan standar kompetensi bidang energi air;

4. Kebijakan penguatan industri dalam negeri di bidang energi air.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


104
Kebijakan penguatan industri di bidang energi air dalam negeri melibatkan
stakeholder yang terdiri dari Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang
meliputi pengoptimalan peran Pemerintah, BUMN, BUMD, Swasta Nasional dan
Koperasi dalam pengembangan dan penguatan industri dalam negeri di bidang
energi air (engineering, procurement, construction, dan manufacture).

5. Kebijakan standarisasi dan sertifikasi.


Kebijakan standarisasi dan sertifikasi melibatkan stakeholder yang terdiri dari
Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang meliputi:
a. Penyusunan standar teknis dan standar kompetensi bidang energi air;
b. Kewajiban penerapan standar teknis dan kompetensi bidang energi air;
c. Kewajiban untuk melakukan sertifikasi baik produk maupun profesi.

6. Kebijakan insentif fiskal dan non fiskal


Kebijakan insentif fiskal dan non fiskal bidang energi air melibatkan stakeholder
yang terdiri dari Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang meliputi:
a. Mendiseminasikan Regulasi Terkait Insentif
b. Mengevaluasi Regulasi Terkait Insentif
c. Meningkatkan Akses Pendanaan Nasional Dan InternasionalMengevaluasi
Dan Kajian Regulasi Non Insentif

Kebijakan Energi Surya


Dalam mendukung pengembangan PLTS di Indonesia, dibutuhkan juga regulasi-
regulasi terkait, baik yang sudah ada maupun regulasi yang belum ada, antara lain:
a. Perubahan terhadap regulasi yang telah ada:
• Mekanisme kerja sama menggunakan skema BOO, namun dapat dimungkinkan
BOOT atas kesepakatan para pihak;
• Menggunakan skema penunjukan langsung selama tidak bertentangan dengan
peraturan yang berlaku;
• Pengurangan biaya parallel (capacity charge) untuk pelanggan industri yang
akan memasang PLTS Atap;
• Adanya standarisasi biaya SLO dan kapasitas yang wajib SLO.
b. Regulasi insentif:
Untuk menjamin kepastian diperolehnya fasilitas insentif fiskal pada kegiatan
impor barang bagi pengembang PLTS, diperlukan peraturan khusus mengenai
fasilitas insentif fiscal bagi pengembangan energi baru terbarukan. Selain bagi
pengembang PLTS juga insentif fiskal juga diberikan kepada industri produk PLTS.
Fasilitas insentif fiskal yang diharapkan adalah pembebasan bea masuk, PPN, dan
PPh 22. Selain itu pembebasan kegiatan impor barang ini juga berlaku bagi suku
cadang.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


105
Terdapat PMK Nomor 21 tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan
dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan yang
telah menyediakan fasilitas insentif fiscal yang lengkap bagi pengembang energi
terbarukan, tetapi PMK 21/2010 ini bukanlah PMK implementasi.

Usulan pada alenia pertama dapat dilakukan dengan cara membuat PMK yang
baru khusus bagi pengembangan energi baru terbarukan atau merevisiPMK Nomor
21/2010
c. Kesediaan dan kesiapan grid
Kuota Energi Terbarukan diutamakan sebelum pembangkit fosil pada RUPTL.
Pengutamaan EBT sesuai amanah UU Energi diimplementasikan sampai ke RUPTL
dengan keterlibatan penuh Ditjen EBTKE dalam proses pengadaanya. Untuk itu
diperlukan kejelasan kemampuan PLN dalam mengerjakan proyek EBT (Pelepasan
Wilayah Usaha)
d. Peraturan lainnya
• Mengusulkan agar kewajiban persyaratan TKDN sebesar 60% diterapkan setelah
adanya pertumbuhan industri dalam negeri;
• Mendorong diterbitkannya UU pengganti UU Nomor 7/2004 tentang sumber
daya air yang sudah mengakomodir pemanfaatan genangan waduk/bendung
bagi energi;
• Membuat kajian mengenai dampak pembangunan PLTS Terapung terhadap
lingkungan dan keselamatan waduk/bendung, sebagai bahan pertimbangan bagi
Kementerian PUPR;
• Untuk memasyarakatkan PLTS Atap di rumah/bangunan, mengusulkan
penetapan desain bangunan yang siap dipasang PLTS Atap (merevisi Peraturan
Desain Bangunan Kementerian PUPR).
e. Dibuatnya peraturan percepatan pengembangan PLTS dalam bentuk PERPRES
yang memayungi usulan strategi dan terobosan dalam implementasi roadmap
PLTS.
f. Dibuatnya peraturan yang mewajibkan Badan Usaha pemilik pembangkit fosil
membangun PLTS (energi terbarukan)
g. Dibuatnya peraturan yang mewajibkan Wilayah Usaha Kelistrikan untuk
mengembangkan energi surya (energi terbarukan)
h. Menerapkan mandat UU Nomor 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi khusus pasal
3 ayat 1 (huruf f), untuk pengembangan energi terbarukan di KEK.

Kebijakan Energi Angin/Bayu


Kebijakan pengembangan energi angina/bayu dibagi ke dalam empat kebijakan antara
lain:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


106
1. Kebijakan pemanfaatan teknologi energi angin:
kebijakan pemanfaatan teknologi energi angin melibatkan stakeholder yang terdiri
dari Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang meliputi:
a. Pembuatan database potensi dan pemanfaatan energi angin;
b. Perencanaan sistem secara menyeluruh serta meningkatkan kehandalan
sistem jaringan oleh PT PLN terkait rencana pengembangan energi angin; dan
c. Penerapan teknologi pemanfaatan energi angin selain untuk pembangkit.
2. Kebijakan penguatan industri angin dalam negeri.
Kebijakan penguatan industri angin dalam negeri melibatkan stakeholder yang terdiri
dari Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang meliputi: Mengoptimalkan peran
Pemerintah, BUMN, BUMD, Swasta Nasional dan Koperasi dalam pengembangan dan
penguatan industri fotovoltaik dalam negeri bidang energi angin.
3. Kebijakan standardisasi dan sertifikasi.
Kebijakan standardisasi dan sertifikasi melibatkan stakeholder yang terdiri dari
Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang meliputi:
a. Penyusunan standar teknis dan standar kompetensi bidang energi angin;
b. Kewajiban penerapan standar teknis dan kompetensi bidang energi angin;
c. Kewajiban untuk melakukan sertifikasi baik produk maupun profesi.
4. Kebijakan insentif fiskal dan non fiskal untuk energi angin.
Kebijakan insentif fiskal dan non fiskal untuk energi angin melibatkan stakeholder
yang terdiri dari Kementerian/lembaga serta asosiasi terkait yang meliputi:
Regulasi berupa insentif fiskal dan non fiskal untuk mendukung pengembangan
dan pemanfaatan energi angin.

4. Sektor Konservasi Energi

Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2009 tentang Konservasi


Energi
Pelaksanaan konservasi energi di Indonesia sudah berjalan cukup panjang. Dasar dari
implementasi kegiatan konservasi energi adalah adanya UU Nomor 30 tahun 2007
tentang Energi dan turunanya berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2009
tentang Konservasi Energi. Melalui PP tersebut, pelaksanaan kegiatan konservasi energi
mencakup sisi penyediaan, pengusahaan dan pemanfaatan energi. Namun demikian,
saat ini waktu pelaksanaan PP yang sudah lebih dari 5 (lima) tahun dan perlunya
dilakukan penyesuaian terhadap kondisi terkini adalah hal yang melatarbelakangi
perlunya dilakukan revisi.

Kegiatan konservasi energi sebagai salah satu strategi penghematan energi selama ini
dipandang sangat lambat berjalan. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain belum

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


107
optimalnya pelaksanaan konservasi di sektor pengguna energi dan penyediaan energi.
Sektor-sektor pengguna energi yaitu sektor transportasi, industri, bangunan komersial
dan rumah tangga berkembang sangat cepat sehingga dipandang sangat perlu dilakukan
perluasan cakupan pengaturan konservasi energi. Selain itu, masih kurangnya partisipasi
perusahaan dalam menerapkan manajemen energi dan adanya isu kewenangan yang
masih membatasi pelaksanaan konservasi energi baik secara sektoral, pusat dan daerah.
Selama ini, dalam memahami PP 70 tahun 2009 tentang Konservasi Energi masih
sering terjadi multi-tafsir khususnya terhadap peran tanggung jawab, kewenangan, dan
pembinaan pengawasan antar sektor, pemerintah, dan pemerintah daerah. Selain itu,
latar belakang lain perlunya untuk merevisi regulasi ini adalah terkait isu teknis dengan
mengenai pengaturan pembiayaan dan investasi serta pengenaan insentif-disinsentif
yang masih belum berjalan dengan baik.

Oleh karena itu, revisi terhadap Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Energi
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dan sekaligus menjembatani
atas hal-hal lain yang masih belum diatur sebagai upaya mencapai sasaran dan target
konservasi energi yaitu penurunan intensitas energi 1% per tahun dan penurunan 17%
konsumsi energi terhadap Business as Usual (BaU) pada tahun 2025 serta mendukung
target Renstra 2019-2024.

5. Bidang Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBT

Gambar 26. Aturan Pelaksanaan Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBTKE

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


108
Pelaksanaan Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBTKE mengacu kepada 4
peraturan pelaksanaan yang masing-masing memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penyediaan Lampu Tenaga


Surya Hemat Energi bagi masyarakat yang belum mendapatkan akses listrik.
Kebijakan pembangunan infrastruktur pemanfaatan energi terbarukan dengan
memanfaatkan tenaga surya dalam skala rumahan dipandang sebagai salah satu
strategi untuk dapat mempercepat pemerataan akses terhadap energi listrik.
Lampu Tenaga Surya Hemat Energi merupakan salah satu jenis infrastruktur untuk
memudahkan akses penerangan bagi masyarakat yang belum pernah mendapatkan
listrik. Peraturan presiden tersebut mengatur secara jelas bahwa penerima
program ini harus memenuhi syarat khusus yaitu Warga Negara Indonesia yang
rumah tinggalnya belum tersambung dengan jaringan tenaga listrik yang berada
di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, daerah terisolir, dan pulaupulau terluar.

2. Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Operasional


DAK Penugasan Fisik Energi Skala Kecil. Peraturan ini mengatur mengenai dana
yang dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara kepada daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan pembangunan energi
terbarukan yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

3. Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 33 Tahun 2017 tentang Tata
Cara Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi Bagi Masyarakat Yang Belum
Mendapatkan Akses Listrik. Peraturan ini mengatur secara detail mekanisme
Penyediaan LTSHE yang merupakan amanat dari Perpres RI Nomor 50 Tahun
2017

4. Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2018 tentang Perubahan atas Permen
ESDM Nomor 39/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan EBTKE
Regulasi ini mengatur secara umum mengenai setiap perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan fisik pemanfaatan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Konservasi
Energi untuk percepatan pembangunan kegiatan fisik pemanfaatan energi baru
dan energi terbarukan serta konservasi energi, perlu mengatur kembali ketentuan
mengenai pengusulan dan pembelian tenaga listrik kegiatan fisik pemanfaatan
energi baru dan energi terbarukan serta konservasi energi.

Jenis pemanfaatan yang diatur dalam peraturan ini adalah sebagai berikut :
a. Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik dari energi baru dan/atau energi
terbarukan;
b. Instalasi penyediaan bahan bakar non tenaga listrik bioenergi;
c. Peralatan efisiensi energi;

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


109
d. Revitalisasi/rehabilitasi instalasi pemanfaatan energi baru, energi terbarukan,
dan konservasi energi;
e. Kegiatan fisik pemanfaatan EBTKE lainnya.

Kerangka Kelembagaan Sektor EBTKE


Dalam rangka penguatan perangkat organisasi di lingkungan Direktorat Jenderal Energi
Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, berikut susunan kerangka kelembagaan
berdasarkan unit-unit kerja Ditjen EBTKE:

1. Sektor Panas Bumi

Kerangka pengelolaan kelembagaan panas bumi dapat dibagi dalam tiga kelompok
besar, yang pertama pemerintah melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan,
kemudian yang kedua adalah perusahaan terbatas ataupun Kerja Sama Operasi
(KOB) atau BUMN sebagai operator atau pelaksana survey eksplorasi, eksploitasi dan
produksi, sementara yang terakhir BUMN PT PLN (Persero) sebagai offtaker (single
buyer).

Untuk melakukan perubahan tatakelola kelembagaan guna pencapaian target proyek


panas bumi sampai dengan tahun 2030, sangat memerlukan dukungan dari masing-
masing pimpinan lembaga baik itu lembaga pengawasan dan pembinaan sebagai
regulator, badan usaha swasta, BUMN maupun KOB sebagai eksekutor. Perubahan
tatakelola yang diharapkan adalah tatakelola yang dapat membangun sinergi antar
lembaga, diantaranya kemudahan perizinan dan tersedianya insentif.

Berikut akan diuraikan aspek-aspek yang diharapkan dapat disinergikan antar lembaga
dan mendapatkan kemudahan dalam pencapaian target pengembangan panas bumi
pada tahun 2030.

Sinergi Aspek Tata Guna Lahan Kehutanan dan Perizinan

Penentuan tempat atau lokasi proyek panas bumi sering kali tidak mudah dan
sering mengalami tantangan ataupun hambatan. Hal ini ikut serta memperlambat
pengembangan proyek panas bumi, karena waktu yang dibutuhkan untuk perolehan
lokasi cukup lama. Disamping lamanya waktu perolehan lokasi, sering terjadi
pengeluaran-pengeluaran tambahan dari pengembang yang sangat mempengaruhi
keekonomian pengembangan proyek panas bumi. Hasil identifikasi permasalahan dan
alternatif solusi yang dapat digunakan sebagai pemecah permasalahan dimaksud adalah
sebagai berikut:

1. Sinerga Tata Guna Lahan Kehutanan

1) Hutan Lindung

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


110
Koordinasi tata guna lahan hutan lindung berhubungan dengan Perum
Perhutani, Kementerian BUMN, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan
Pertanahan Nasional. Isu yang dapat terjadi di lapangan berhubungan dengan
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari KLHK. Izin ini memerlukan
beberapa pemenuhan persyaratan yang dapat memudahkan penyelesaian
proses penerbitan izin di lapangan.

2) Hutan Produksi
Koordinasi tata guna lahan hutan produksi berhubungan dengan Perum
Perhutani, PT Perkebunan Nasional, Kementerian BUMN, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang, Badan Pertanahan Nasional.

3) Hutan Konservasi
Koordinasi tata guna lahan hutan konservasi berkaitan dengan Kementerian
LHK, Balai dan Unit Pengelola Kawasan Hutan, Dinas Kehutanan Provinsi.
Isu yang terjadi di lapangan dapat meliputi:

a) Mekanisme dan Proses Bisnis Pengusahaan di Kawasan Konservasi.


Perlu adanya pedoman pertimbangan teknis yang jelas dari pengelola
kawasan konservasi, seperti pertimbangan teknis dari Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk kawasan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa dan Taman Wisata Alam, Balai Taman Nasional untuk
kawasan Taman Nasional, Unit Pengelola Teknis untuk Taman Hutan
Raya. Diharapkan pedoman pertimbangan teknis ini akan memperjelas
tata waktu dari setiap tahapan proses pesetujuan Izin Jasa Lingkungan.

b) Persyaratan dalam melakukan kegiatan survei.


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7/2017 tentang Panas Bumi
untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, ruang lingkup kegiatan usaha
meliputi eksplorasi, eksploitasi dan pemanfaatan sehingga kegiatan
survei pendahuluan yang telah didefinisikan sebagai kegiatan penelitian
seharusnya tidak masuk dalam ruang lingkup usaha pemanfaatan jasa
lingkungan panas bumi dan dapat dilaksanakan dengan menggunakan
Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi. Oleh karena itu diperlukan
harmonisasi peraturan tentang pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi
dengan peraturan perundang-undangan tentang panas bumi.

c) Proses Perubahan Peruntukan dan Fungsi serta Evaluasi Zonasi/Blok


Kawasan Konservasi
Evaluasi zona atau blok pemanfaatan yang digunakan sebagai wilayah
usaha pemanfaatan jasa lingkungan memerlukan waktu yang lama,
karena harus melakukan kajian untuk menilai kesesuaian zona atau blok

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


111
oleh Tim terpadu yang melibatkan Pemerintah Pusat, Pemda, Badan
Pengelola Kawasan serta Badan Penelitian. Hasil kajian Tim Terpadu
juga dilaksanakan proses hearing ke masyarakat. Sehingga hasil penilaian
masyarakat juga dapat berdampak kepada penilaian teknis yang dilakukan
oleh Tim Terpadu. Oleh karena itu, perlu disusun tata waktu dan proses
bisnis baik untuk tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
hutan serta tata cara evaluasi zona atau blok menjadi blok pemanfaatan
untuk memberikan kepastian tata waktu pelaksanaan proyek panas bumi.

d) Besaran Iuran dan Pungutan IPJLPB


Pengusahaan panas bumi di kawasan konservasi dilaksanakan melalui
mekanisme pemanfaatan jasa lingkungan hutan konservasi. Dalam
mekanisme tersebut pengembang panas bumi mempunyai kewajiban
untuk membayar iuran dan pungutan jasa lingkungan. Namun
besaran tariff dan iuran IPJLPB tersebut masih dalam pembahasan
antar Kementerian Keuangan, KLHK, dan ESDM. Untuk itu, agar
pengembangan panas bumi dapat segera dilaksanakan, perlu segera
diterbitkan peraturan pemerintah yang mengatur jenis dan tariff IPJLPB
serta pedoman pelaksanaan pelestarian ekosistem hutan yang mendukung
keekonomian proyek panas bumi.

e) Status Tropical Rain forest Heritage of Sumatera (TRHS) pada WKP dan
WPSPE di Sumatera
Status TRHS pada 3 (tiga) taman nasional di Sumatera yaitu TN Gunung
Leuser, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan yang menjadi kendala
pengembangan WKP dan WPSPE di wilayah tersebut mengakibatkan
tidak dapat dilakukan aktifitas pengusahaan panas bumi karena dengan
telah ditetapkannya sebagai warisan dunia maka harus memenuhi
ketentuan untuk mempertahankan keberadaan Universal Outstanding
Value (UOV). Saat ini sedang dilakukan koordinasi antar Kementerian
dan Lembaga Pemerintah (Kemenko PMK, Kemenlu, Kemendikbud,
KLHK). Adapun monitoring terhadap kemajuan usaha ini harus terus
ditingkatkan mengingat kaitannya dengan target-target dan jadwal
pengembangan panas bumi baik di WPSPE maupun WKP.

2. Sinergi Perizinan
Tantangan dari sisi penerbitan perizinan untuk pengembangan proyek panas bumi
adalah waktu penyelesaian/penerbitan perizinan. Waktu yang dimaksud adalah
lambatnya penyelesaian penerbitan baik untuk rekomendasi maupun untuk
perizinan. Berikut beberapa hal yang terkait perizinan yang harus diperhatikan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


112
untuk diperbaiki untuk dapat menunjang kelancaran pengembangan panas bumi
agar pencapaian target dapat tercapai :

1) Izin Lokasi dari Bupati


Pada prakteknya proses persetujuan izin lokasi dari Bupati selama ini relative
lama, hal ini dikarenakan sulitnya ketersedian waktu dari pemerintah daerah
untuk melakuka survey lokasi dan pembebasan tanaman yang ada dalam
lokasi. Diperlukan standar harga atas kompensasi penggantian tanaman
rakayat yang ada dalam lokasi.

2) Surat Izin Pengambilan Air Permukaan (SIPAP) dan Surat Izin Pengambilan
dan Pemanfaatan Air (SIPPA)
Pengambilan air tanah permukaan di kawasan hutan diperlukan izin
pengambilan air permukaan hal tersebut tumpang tindih antara IPPKH
yang diterbitkan dengan Permen PUPR. Sesuai dengan pasal 54 ayat 2
permen PUPR Nomor 1 / PRT/M/2016 dimana diatur bahwa pemanfaatan
aliran air dan pemanfaatan air yang berada pada kawasan hutan lindung dan
hutan produksi, izin pengusahaan SDA atau izin penggunaan SDA diberikan
oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi teknis dari Instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kehutanan. Hal tersebut
dalam pelaksanaannya tidak dapat diterbitkan oleh kehutanan. Oleh karena
itu, perlu dilakukan sinkronisasi kedua peraturan tersebut disertai dengan
proses penerbitan dan tata kelola waktu yang jelas.

3) Izin Lintas
Dalam setiap aktifitas tahapan panas bumi memerlukan peralatan berat
dan komponen berukuran besar. Untuk memobilisasi peralatan komponen
tersebut pengmbang panas bumi harus melewati jalan baik jalan nasional
provinsi maupun kabupaten yang memiliki kelas dan batas tonase tersendiri.
Mobilisasi tersebut sesuai aturan harus mendapatkan izin melintas dari pihak
sesuai kewenangannya meskipun pihak transporter sudah mempunyai izin
trayek. Oleh karena itu, diperlukan petunjuk teknis mengenai penerbitan izin
lintas dan tata kelola waktu yang jelas.

4) IMB di kawasan kehutanan


Adanya permintaan dari pemerintah daerah untuk penerbitan IMB bagi
sarana prasarana proyek panas bumi yang dibangun dalam kawasan hutan
yang sudah diterbitkan IPPKH.

5) Permasalahan Transmisi yang dibangun Pengembang ke PT PLN (Persero)


Dalam pembangunan transmisi yang dibangun pengembang, diperlukan
kepastian beberapa hal berikut:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


113
• Mekanisme dan Prosedur Pengadaan Lahan dan Kompensasi Right Of Way
(ROW). Khususnya mengenai keterlibatan dan posisi PT PLN (Persero)
(termasuk pendokumentasian dokumen, misalnya mengenai atas nama
dalam sertifikat lahan yang dibebaskan, dll).
• Kejelasan mengenai prosedur pemindahtanganan pemegang izin
(diantaranya IPPKH dan Izin Lingkungan).
• Mekanisme dan proses serah terima transmisi

2. Sektor Bioenergi:

Sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Nomor 13 Tahun 2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Direktorat Bioenergi mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian bimbingan
teknis dan supervisi, evaluasi dan pelaporan, serta pengendalian dan pengawasan di
bidang bioenergi.

Kerangka pengelolaan kelembagaan bioenergi dapat dibagi dalam empat kelompok besar,
yang pertama pemerintah melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan, kemudian
yang kedua adalah Badan Usaha ataupun Institusi Keuangan sebagai pengembang/
operator atau pendana atas pemanfaatan bioenergi, selanjutnya yang ketiga adalah
Akademi/ Balitbang melakukan fungsi dalam inovasi dan peningkatan efisiensi teknologi
serta capacity building sementara yang terakhir Komunitas sebagai penerima manfaat
namun juga berperan aktif/ berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan implementasi
pemanfaatan bioenergi.

3. Sektor Aneka EBT

Pelaksanaan kegiatan energi hidro di Indonesia membutuhkan penguatan kelembagaan


diantaranya melalui mengidentifikasi Lembaga/Institusi terkait Litbang PLTA
diperlukan kegiatan atau rencana aksi antara lain:
1) Mengidentifikasi lembaga/institusi litbang yang melakukan penelitian dan
pengembangan di bidang energi air dan melakukan koordinasi dan
2) Sinergi litbang komponen PLTA antar lembaga/institusi litbang.

Standardisasi, Lembaga Penyertifikasi dan Tempat Uji Kompetensi Bidang Energi


Surya:
a) Standardisasi Teknis
Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2014
tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, menyebutkan bahwa standardisasi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


114
dan penilaian kesesuaian bertujuan :
1. Meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional,
persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian
usaha, dan kemampuan Pelaku Usaha, serta kemampuan inovasi teknologi;
2. Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja,
dan masyarakat lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan,
kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
3. Meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan
barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan luar negeri.
b) Standardisasi Kompetensi
Standar kompetensi merupakan pondasi pengembangan SDM berbasis kompetensi.
Standardisasi kompetensi kerja nasional dilakukan dan dikembangkan sebagai
upaya bersama di semua sektor/ subsektor dan profesi. Standar kompetensi dapat
memfasilitasi dan memberi acuan kepada pemangku kepentingan di semua sektor/
sub sektor atau profesi, dalam melakukan standardisasi kompetensi kerja nasional
di sektor/sub sektor atau bidang profesi yang bersangkutan.
c) Identifikasi Lembaga Litbang Terkait
Identifikasi teknologi PLTB yang sudah ada dan lembaga litbang terkait mencakup
beberapa kegiatan yaitu perlunya mengidentifikasi teknologi PLTB yang sudah
ada di dalam dan luar negeri, menganalisis dan mengevaluasi teknologi PLTB
yang sudah diidentifikasi, menetapkan kapasitas PLTB yang akan dikembangkan
di Indonesia berdasarkan kemampuan manufaktur dalam negeri, dan selanjutnya
dengan mengidentifikasi lembaga/institusi litbang yang melakukan penelitian dan
pengembangan di bidang energi angin.

4. Sektor Konservasi Energi

Pelaksanaan kegiatan konservasi energi di Indonesia membutuhkan penguatan


kelembagaan diantaranya melalui:
1. Peningkatan sumber daya manusia melalui penguatan lembaga pendidikan dan
pelatihan konservasi energi.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam bidang konservasi energi dapat
dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu:
• pelatihan di bidang konservasi energi
• sertifikasi di bidang konservasi energi
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia sangat diperlukan dalam mendukung
keberadaan tenaga profesional maupun peningkatan kapasitas dan pengetahuan
masyarakat dalam menerapkan prinsip-prinsip konservasi energi.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


115
2. Peningkatan penelitian dan pengembangan konservasi energi.
Penelitian dan Pengembangan sangat diperlukan dan dapat dilaksanakan melalui
kegiatan:
• penelitian dan pengembangan proses penyediaan dan pemanfaatan energi yang
efisien;
• penelitian dan pengembangan teknologi efisien energi; dan/atau
• percontohan dan replikasi penerapan teknologi maju hemat energi.

Kegiatan percontohan dan replikasi sangat diperlukan sebagai upaya pengenalan


teknologi dan transfer pengetahuan sehingga dapat mendorong proyek-proyek
kegiatan efisiensi energi selanjutnya.

3. Pembentukan Usaha Jasa Konservasi Energi.


• Untuk meningkatkan penerapan konservasi energi, maka pemerintah harus
mendorong pengembangan Usaha Jasa Konservasi Energi. Usaha Jasa Konservasi
Energi dapat membantu implementasi proyek konservasi energi mulai dari
perumusan konsep dan ruang lingkup proyek efisiensi energi, pelaksanaan
audit energi, pembiayaan, instalasi pekerjaan monitoring & pengawasan,
pengoperasian & pemeliharaan, dan/atau sampai dengan pengukuran dan
verifikasi (M&V) kinerja penghematan energi.
• Adapun skema pembayaran atas pembiayaan proyek efisiensi energi dapat
dilaksanakan berdasarkan kontrak jasa penghematan energi melalui pola bisnis
guaranteed savings, shared savings atau jenis kontrak jasa lainnya.
• Selain itu, Pemerintah perlu mendorong penerapan Usaha Jasa Konservasi
Energi berupa audit energi berstandar investasi (Investment Grade Audit) yang
termasuk di dalamnya terdapat perhitungan biaya terperinci dan sistematis
untuk menentukan nilai investasi yang diperlukan dalam mengimplementasikan
Proyek Efisiensi Energi.

4. Keterlibatan Badan Layanan Umum dalam mendukung Konservasi Energi.


Badan Layanan Umum (BLU) dapat turut serta terlibat dalam penerapan konservasi
energi melalui:
• Peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) melalui pelatihan dan
sertifikasi bidang konservasi energi;
• Keikutsertaan dalam penyaluran dana pembiayaan konservasi energi; dan/atau
• Melaksanakan Usaha Jasa Konservasi Energi;

5. Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Konservasi Energi.


Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan konservasi energi dilakukan dengan
berkoordinasi antar Kementerian/Lembaga dan sektor terkait. Selain itu,
diperlukan koordinasi pembianaan dan pengawasan dengan Pemerintah Daerah

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


116
yang dikoordinasikan melalui Kementerian Dalam Negeri dan Dinas ESDM
terkait.

5. Bidang Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur EBT

Dalam rangka pelaksanaan perencanaan dan pembangunan infrastruktur terdapat aspek


penting dalam tata kelola kelembagaan untuk menjamin pelayanan optimal, efektif,
dan efisien dalam kerangka profesionalitas dengan hasil keluaran yang bermanfaat bagi
masyarakat yang membutuhkan. Aspek yang harus dikelola dengan baik adalah :

1. Pembentukan organisasi yang proporsional, efektif, dan efisien (organisasi yang


tepat fungsi dan tepat ukuran).

2. Pembuatan sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur
dan sesuai prinsip-prinsip good governance:
• Pengayaan dan pemanfaatan sumber data mengenai kebutuhan penyediaan
energi dan potensi Energi Baru Terbarukan secara berkesinambungan;
• Perencanaan pembangunan dengan analisis yang komprehensif dengan
melibatkan Bappenas dan Stakeholder lainnya;
• Koordinasi dan sinkronisasi data mengenai demografi, energi, dan potensi
dengan Pemerintah Daerah dan entitas swasta yang terlibat.

3. Peningkatan Sumber daya manusia guna melahirkan sumber daya manusia yang
berintegritas, kompeten, dan profesional:
• Sertifikasi di bidang Energi Baru Terbarukan dan konservasi energi;
• Pelatihan di bidang Energi Baru Terbarukan dan konservasi energi;
• Pelatihan dalam manajemen proyek dan pengadaan barang dan jasa pemerintah;
• Pelatihan lain yang menunjang perencanaan dan pengawasan infrastruktur
EBTKE.

4. Sistem Pengawasan yang tersinergi dengan setiap stakeholder yang berkepentingan.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


117
BAB IV
Target Kinerja dan
Kerangka Pendanaan
BAB IV
Target Kinerja dan Kerangka Pendanaan

A. TARGET KINERJA
Berikut adalah rencana target pada RPJMN sektor EBTKE Tahun 2020-2024:

Tabel 27. Summary RPJM Ditjen EBTKE Tahun 2020-2024

No. Indikator Satuan 2020 2021 2022 2023 2024


1 Porsi EBT dalam bauran energi %
13.4 14.5 15.7 17.9 19.5
nasional
2 Penurunan Intensitas Energi Final SBM/Miliar Rp 0.9 0.9 0.9 0.8 0.8
3 Kapasitas tambahan pembangkit
MW 686.50 1,001.10 1,921.80 1,778.20 3,662.70
EBT
PLTA MW 165.20 440.30 955.90 397.00 1,951.40
PLT Panas Bumi (PLTP) MW 140.00 80.00 132.00 300.00 375.00
PLT Bioenergi MW 246.70 152.00 484.80 159.00 252.60
PLT Surya (PLTS) MW 134.60 328.80 339.10 643.20 643.70
PLT Bayu (PLTB) MW - - 10.00 279.00 440.00
4 Pemanfaatan Biofuel untuk
Juta kilo liter 10 10.2 14.15 14.55 17.35
domestik
5 TKDN Sektor Pembangkit EBT % 30 30 33 33 35
- Bayu % 40 40 40 40 40
- Surya % 40 40 40 40 40
- PLTM/PLTMH % 70 70 70 70 70
- Bioenergi % 40 40 40 40 40
- Panas Bumi % 30 30 33 33 35
6 Reduksi Emisi GRK Sektor Energi Juta Ton 58 67 91 116 142
7 Investasi Milliar USD 2.31 2.92 5.56 3.62 7.53
Panas Bumi Milliar USD 1.35 1.33 1.29 1.31 1.56
Bioenergi Milliar USD 0.42 0.2 1.76 0.19 0.33
Aneka EBT Milliar USD 0.53 1.38 2.50 2.11 5.63
Konservasi Energi Milliar USD 0.008 0.01 0.011 0.013 0.014
8 PNBP Panas Bumi Milliar Rp 1196.24 1369.72 1598.97 1970.42 2181.93

Indikator Kinerja Utama merupakan acuan ukuran kinerja yang digunakan oleh masing-
masing unit utama di lingkungan Kementerian ESDM dalam hal ini Direktorat Jenderal
EBTKE dalam:
1. Menetapkan rencana kinerja tahunan
2. Menyampaikan rencana kerja dan anggaran
3. Menyusun dokumen penetapan kinerja
4. Menyusun laporan akuntabilitas kinerja, dan
5. Melakukan evaluasi pencapaian kinerjas sesuai dengan organisasi dan dokumen
Rencana Strategis Kementerian ESDM

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


121
Pada dokumen renstra ini, target kinerja telah ditetapkan berdasarkan perencanaan dan
perkiraan yang dibuat pada tahun 2019/2020, sehingga tidak menutup kemungkinan pada
tahun berjalan perencanaannya dapat berubah seiring dengan penetapan RPJMN, APBN,
APBN-P, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan dokumen perencanaan lainnya.

Terwujudnya visi dan misi Kementerian ESDM sampai dengan tahun 2024 sangat
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan dan sasaran strategis Kementerian. Untuk itu setiap
sasaran strategis memiliki indikator kinerja yang terukur dengan metode penilaian yang
transparan dalam rangka menilai pencapaian secara akurat serta memetakan kendala dan
hambatan sedini mungkin, untuk menentukan rekomendasi serta menjalankan langkah-
langkah strategis sebagai upaya mengoptimalkan kinerja Kementerian ESDM. Penjabaran
indikator kinerja dari Kementerian ESDM sampai dengan tahun 2024 disajikan secara rinci
pada tabel di bawah ini.

Tabel 28. Sasaran Strategis, Indikator dan Target Kinerja


Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM 2020-2024
Target
No. Sasaran Strategis/Indikator Kinerja Utama Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
1 Meningkatnya Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional
TKDN Sektor EBT dalam rangka mendukung Kemandirian % 55,45 55,45 55,45 55,45 55,45
Energi Nasional
Indeks Ketahanan Energi Sektor EBTKE Indeks 49,50 49,95 50,52 51,38 52,30
2 Optimalisasi Kontribusi Sektor ESDM yang Bertanggung Jawab Dan Berkelanjutan
Persentase Realisasi PNBP Panas Bumi % 93 93 93 94 94
Persentase Realisasi Investasi % 90 90 90 90 90
3 Layanan Sektor ESDM yang Optimal
Indeks Kepuasan Layanan Ditjen EBTKE Indeks Skala 4 3,10 3,15 3,20 3,25 3,30
4 Pembinaan, Pengawasan, Dan Pengendalian Sektor ESDM yang Efektif
Indeks Efektivitas Pembinaan dan Pengawasan Indeks 75,5 76,5 77,5 78,5 79,5
Indeks Maturitas SPIP Indeks Skala 5 3,5 3,6 3,7 3,8 3,9
Nilai SAKIP Ditjen EBTKE Nilai 80,1 80,1 80,5 80,5 81
5 Terwujudnya Birokrasi yang Efektif, Efisien, dan Berorientasi pada Layanan Prima
Indeks Reformasi Birokrasi % 80 85 85 90 90
6 Organisasi Fit dan SDM yang Unggul
Nilai Evaluasi Kelembagaan % 73,25 74 74 74 75
Indeks Profesionalitas ASN % 71 73 75 78 82
7 Pengelolaan Sistem Anggaran yang Optimal
Nilai Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA) Nilai 90 90,25 90,5 90,75 91

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


122
Setiap indikator kinerja dibangun dengan asas transparansi dengan metode penilaian yang
akurat yang menghubungkan antar komponen-komponen yang terkait. Metode penilaian
dan komponen terkait yang menjadi pengungkit indikator kinerja akan diutarakan secara
rinci di bawah ini.

Sasaran Strategis 1: Meningkatnya Kemandirian dan Ketahanan Energi


Nasional

TKDN Sektor EBT dalam rangka mendukung Kemandirian Energi Nasional


Dalam rangka mengukur kemandirian energi nasional yaitu terjaminnya ketersediaan
energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri, maka
ditetapkan indikator kinerja yang dapat dijadikan instrumen penilaian yang terukur untuk
mencapai sasaran tersebut. Indikator kinerja yang dimaksud yaitu indeks kemandirian
energi nasional. Untuk mengukur hal tersebut, maka ditentukan sub indeks, Indikator
dan parameter yang merupakan komponen-komponen pengungkit dari penilaian indeks
tersebut. Komponen-komponen tersebut yaitu:

Kemandirian terhadap teknologi


Merupakan penilaian terhadap kondisi penguasaan teknologi suatu bangsa dalam
membangun akses dan infrastruktur energi nasional yang didasarkan persentase tingkat
kandungan dalam negeri terhadap seluruh infrastruktur sektor ESDM yang meliputi TKDN
Sektor EBT diantaranya Panas Bumi, Bioenergi, Surya, Air, dan Bayu.

Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian indeks kemandirian energi
nasional pada Direktorat Jenderal EBTKE sebagai berikut:

Tabel 29. Indikator dan Target Kinerja Indeks Kemandirian Energi Nasional

Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
1 TKDN Sektor EBT dalam rangka
mendukung Kemandirian Energi % 55,45 55,45 55,45 55,45 55,45
Nasional
Presentase TKDN Barang dan Jasa % 55,45 55,45 55.45 55.45 55.45
TKDN Sektor EBT % 55.45 55.45 55.45 55.45 55.45

Indeks Ketahanan Energi


Dalam rangka mengukur peningkatan kualitas pelayanan utama Kementerian ESDM
yaitu Ketersediaan, Aksesibilitas, Keterjangkauan, dan Penerimaan Masyarakat, maka
ditetapkan indikator kinerja yang dapat dijadikan instrumen penilaian yang terukur untuk
mencapai sasaran tersebut. Indikator kinerja yang dimaksud yaitu indeks ketahanan
energi nasional. Sesuai dengan Perpres No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


123
Nasional bahwa Ketahanan energi nasional adalah suatu kondisi ketersediaan energi,
akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang
dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Untuk mengukur
hal tersebut, maka ditentukan sub indeks, indikator dan parameter yang merupakan
komponen-komponen pengungkit dari penilaian indeks tersebut. Komponen-komponen
tersebut yaitu:

1. Availability
Merupakan penilaian dari kondisi ketersediaan energi nasional dalam rangka memenuhi
kebutuhan energi saat ini maupun dimasa mendatang dengan mempertimbangkan
pasokan dalam negeri maupun impor. Kondisi ini dipengaruhi oleh potensi Energi Baru
dan Terbarukan diversifikasi energi.
a. Potensi EBT memperlihatkan perkembangan besaran potensi yang dimiliki oleh
negara terhadap jenis energi baru dan terbarukan baik yang dikembangkan dalam
bentuk listrik seperti panas bumi, surya, angin, air, laut dan biomassa untuk
pembangkit, maupun untuk direct use seperti bahan bakar nabati, biomassa untuk
memasak, biogas dan lainnya. Adapun parameter yang menjadi penilaian yaitu
Rasio Cadangan terhadap potensi Panas Bumi dan Rasio potensi terukur (potensi
teknis) terhadap total potensi tenaga air (PLTA/M/MH), Bayu, Surya, Laut dan
Bioenergi (untuk listrik maupun langsung).

2. Accessibility
Merupakan penilaian terhadap kondisi keandalan infrastruktur energi dalam rangka
menjamin distribusi energi ke seluruh masyarakat Indonesia dengan tetap menjaga
keberlanjutannya. Penilaian dari kondisi ini dipengaruhi oleh keandalan infrastruktur
energi, optimalisasi pemanfaatan batubara dan penyediaan infrastruktur EBT.
a. Penyediaan dan Infrastruktur EBT sebagai salah satu indikator untuk mengukur
kemampuan pengembangan EBT dengan penilaian yang dititik beratkan pada
Rasio Pembangkit EBT terhadap Total Pembangkit, Rasio Pemanfaatan terhadap
Cadangan terukur Panas Bumi, Rasio Pemanfaatan terhadap Potensi terukur Air,
Angin, Surya, Laut dan Bio untuk listrik, Rasio Penggunaan Biofuel (murni bukan
campuran) terhadap BBM, dan Jumlah Pemanfaatan Biogas (tidak termasuk
pembangkit).

3. Affordability

Merupakan penilaian terhadap kemampuan masyarakat dalam menjangkau harga


energi yang disediakan berdasarkan besaran kebutuhan dasar energi sehari-hari, yang
mempertimbangkan daya beli masyarakat. Penilaian dari kondisi ini dipengaruhi oleh
efisiensi penggunaan energi.
a. Efisiensi Penggunaan Energi sebagai salah satu indikator untuk mengukur

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


124
kemampuan penghematan penggunaan energi dengan tetap mempertahankan
dan/atau meningkatkan output/produk yang dihasilkan. Adapun parameter yang
menjadi penilaian yaitu Intensitas Energi Final dan Rata-Rata Efisiensi Pembangkit
Listrik khusus fosil;

4. Acceptability
Merupakan penilaian terhadap tingkat penerimaan masyarakat dalam kaitan
terhadap keberlangsungan lingkungan terhadap jenis energi yang digunakan saat ini.
Penilaian ini sangat dipengaruhi tingkat emisi gas rumah kaca untuk memperlihatkan
peningkatan emisi GRK sektor energi dan pangsa EBT dalam bauran energi primer yang
memperlihatkan seberapa besar kemampuan Pemerintah dalam memanfaatkan energi
yang lebih ramah lingkungan dalam kaitannya mengurangi penggunaan energi fosil
yang memiliki emisi yang besar.

Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian indeks ketahanan energi
nasional pada Direktorat Jenderal EBTKE sebagai berikut:

Tabel 30. Indikator dan Target Kinerja Indeks Ketahanan Energi Sektor EBTKE

Indikator Kinerja / Komponen Satuan 2020 2021 2022 2023 2024

INDEKS KETAHANAN ENERGI SEKTOR EBTKE Nilai 49,50 49,95 50,52 51,38 52,30

12,67 12,72 12,77 12,82 12,87


A. Availability Nilai 31,16 31,29 31,41 31,54 31,67
Potensi EBT Nilai 31 31 31 32 32
a. Rasio Cadangan terhadap potensi (cadangan + % 61 61 61 61 62
sumber daya) Panas Bumi
Potensi Pabum MWe 23.966 23.966 23.966 23.966 23.966
Cadangan Pabum MWe 14.652 14.677 14.702 14.727 14.752
b. Rasio potensi terukur (potensi teknis) terhadap total % 37 37 38 38 38
potensi Hidro
Potensi Hidro (GW) GWe 94 94 94 94 94
Potensi Teknis Hidro (GW) GWe 35 35 35 35 36
c. Potensi Surya % 15 15 15 15 15
Potensi Surya (MW) MWe 1.385.988 1.385.988 1.385.988 1.385.988 1.385.988
Potensi Teknis Surya (MW) MWe 207.918 208.038 208.158 208.278 208.398
d. Potensi Bayu % 30 30 31 31 31
Potensi Bayu MWe 60.650 60.650 60.650 60.650 60.650
Potensi Teknis Bayu MWe 18.180 18.380 18.580 18.780 18.980
e. Potensi Ocean % 35 35 35 35 35
Potensi Ocean MWe 4.294 4.294 4.294 4.294 4.294
Potensi Teknis Ocean MWe 1.503 1.503 1.503 1.503 1.503
f. Potensi Bioenergi % 9 9 9 9 9
Potensi Bioenergi MWe 32.654 32.654 32.654 32.654 32.654
Potensi Teknis Bioenergi MWe 2.812 2.872 2.932 2.992 3.052

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


125
Indikator Kinerja / Komponen Satuan 2020 2021 2022 2023 2024

6,57 6,72 6,99 7,29 7,83


B. Accessibility Nilai 25,14 25,72 26,76 27,92 29,96
Penyediaan Infrastruktur EBT Nilai 25 26 27 28 30
a. Rasio Pembagkit EBT terhadap Total Pembangkit % 24 27 31 35 43
(dibandingkan target RUEN)
Kapasitas Pembangkit EBT MW 11.008 12.009 13.931 15.709 19.372
Kapasitas Pembangkit EBT RUEN MW 45.156 45.156 45.156 45.156 45.156
b. Rasio Pemanfaatan Cadangan Terukur Panas Bumi % 16 16 17 19 21
Kapasitas PLTP MWe 2.271 2.351 2.483 2.783 3.158
Cadangan MWe 14.652 14.677 14.702 14.727 14.752
c. Rasio Pemanfaatan Potensi terukur EBT Lainnya % 3 4 4 5 6
untuk Listrik
Hidro MWe 6.141 6.582 7.537 7.934 9.886
Bayu MWe 154 154 164 443 883
Surya MWe 281 609 949 1.592 2.235
Ocean MWe - - - - -
Bio MWe 2.139 2.291 2.776 2.935 3.187
Lainnya (Hybrid, PJUTS, LTSHE, Pump Storage) MWe 22 22 22 22 22
d. Rasio Penggunaan Biodisel terhadap Minyak Solar % 100 100 100 100 100
% Campuran Biodiesel % 30% 50% 50% 50% 50%
Biodisel Ribu KL 10.000 10.200 14.150 14.550 17.350
e. Pemanfaatan Biogas (dibandingkan Target RUEN) % 7,7 8,1 8,5 9,0 9,4
Konsumsi Biogas Komunal RT Juta M3 29 31 32 34 35
Target Biogas RUEN (juta m3) 2024 = 376,8 Juta M3 376,8 376,8 376,8 376,8 376,8

18,10 18,13 18,16 18,19 18,21


C. Affordability (Keterjangkauan) Nilai 94,76 94,91 95,06 95,21 95,36
Efisiensi penggunaan Energi Nilai 100 100 100 100 100
a. Penurunan Intensitas Energi Final % 100 100 100 100 100
Penurunan Intensitas Energi Final SBM/Miliar IDR 0,90 0,90 0,90 0,80 0,80
Target Penurunan Intensitas Energi Final (1%) SBM/Miliar IDR 0,90 0,90 0,90 0,80 0,80
c. Intensitas Energi Primer % 100 100 100 100 100
b. Penyusunan SKEM % 100 100 100 100 100
Jumlah Peralatan yang disusun SKEM Peralatan 3 2 1 - -
Jumlah Peralatan yang disusun SKEM Peralatan 3 2 1 - -
Produktivitas Energi Sektoral % 87 88 88 88 89
a. Konsumsi Energi Industri per PDB Industri % 75 75 76 77 78
b. Konsumsi Energi Komersial per PDB Komersial % 100 100 100 100 100

12,16 12,38 12,60 13,09 13,39


D. Acceptability Nilai 86,09 87,62 89,17 92,61 94,76
Emisi gas rumah kaca Nilai 86 88 89 93 95
a. Emisi GRK Sektor Energi % 100 100 100 100 100
Reduksi Emisi GRK Sektor Energi Juta Ton 58,00 67,00 91,00 116,00 142,00
Reduksi Target NDC Juta Ton 57,63 67,05 91,33 115,90 142,35
b. Pangsa EBT dalam Bauran Energi Primer % 58 63 68 78 85
Pangsa EBT dalam Bauran Energi Primer (termasuk % 13,40% 14,50% 15,70% 17,90% 19,50%
biomasa modern)
Bauran EBT RUEN % 23,00% 23,00% 23,00% 23,00% 23,00%
c. Intensitas Emisi GRK Sektor Energi % 100 100 100 100 100

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


126
Sasaran Strategis 2 : Optimalisasi kontribusi sektor ESDM yang bertanggung
jawab dan berkelanjutan
Dalam rangka mengukur Optimalisasi kontribusi sektor ESDM yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan, maka ditetapkan 2 (dua) indikator kinerja yang dapat dijadikan instrumen
penilaian yang terukur. indikator kinerja yang dimaksud yaitu Persentase Realisasi
Penerimaan PNBP dan Persentase Realisasi Investasi. Adapun metode penilaian dan
komponen pengungkit dari kedua indikator tersebut yaitu:
1. Penilaian persentase realisasi PNBP diukur berdasarkan tingkat keberhasilan capaian
berdasarkan target PNBP dalam tahun yang sama, dimana target akan ditetapkan 1
(satu) tahun sebelumnya melalui mekanisme tertentu. Sumber PNBP sektor EBTKE
berasal dari Panas Bumi.
2. Persentase realisasi investasi diukur berdasarkan tingkat keberhasilan capaian
berdasarkan target realisasi investasi sektor ESDM yang ditetapkan 1 (satu) tahun
sebelumnya melalui mekanisme tertentu. Investasi sektor EBTKE berasal dari Panas
Bumi, Bioenergi, Aneka EBT dan Konservasi Energi.

Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian Persentase Realisasi
Penerimaan PNBP dan Persentase Realisasi Investasi sebagai berikut:

Tabel 31. Indikator dan Target Kinerja Optimalisasi kontribusi sektor ESDM
yang bertanggung jawab dan berkelanjutan

Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Meningkatnya kontribusi sektor ESDM
1 Persentase Realisasi PNBP % 93,00 93,00 93,00 94,00 94,00
PNBP Panas Bumi Miliar Rp 1.196,24 1.369,72 1.598,97 1.970,42 2.181,93
2 Persentase Realisasi Investasi % 90,00 90,00 90,00 90,00 90,00
Investasi EBTKE Miliar USD 2,31 2,92 5,56 3,62 7,53

Sasaran Strategis 3 : Layanan Sektor ESDM yang Optimal


Dalam rangka mengukur Layanan Sektor ESDM yang Optimal, maka ditetapkan indikator
kinerja yang dapat dijadikan instrumen penilaian yang terukur. indikator kinerja yang
dimaksud yaitu Indeks Kepuasan Layanan Sektor ESDM. Sejalan dengan gerakan reformasi
birokrasi guna membangun kepercayaan publik yang lebih baik, Kementerian ESDM telah
berupaya meningkatkan kualitas layanan melalui beberapa terobosan inovatif berupa
penetapan standar-standar pelayanan yang terukur, guna mengukur sejauh mana kualitas
pelayanan yang telah diberikan Kementerian ESDM kepada masyarakat, perlu dilakukan
pengukuran tingkat kepuasan pengguna layanan berdasarkan indikator-indikator spesifik
yang ditetapkan berdasarkan kepentingan aspek dari setiap layanan dan kepuasan dari
pelayanan yang diberikan. Indikator tersebut yaitu:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


127
1. Persyaratan layanan/Standar Operasional Prosedur (SOP)
Aspek Persyaratan layanan/Standar Operasional Prosedur (SOP) didefinisikan sebagai
persepsi pengguna layanan mengenai kepentingan terhadap kebutuhan persyaratan
layanan/Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam sebuah layanan serta penilaian
kepuasan terhadap kesesuaian pelayanan dengan persyaratan layanan/ Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan sebelumnya.

2. Kemudahan Prosedur Pelayanan


Aspek Kemudahan Prosedur Layanan didefinisikan sebagai persepsi pengguna layanan
mengenai kepentingan terhadap kebutuhan prosedur pelayanan yang mudah dalam sebuah
layanan serta penilaian kepuasan terhadap kemudahan prosedur pelayanan yang diberikan.

3. Kecepatan Waktu Layanan


Aspek Kecepatan Waktu Layanan didefinisikan sebagai persepsi pengguna layanan
mengenai kepentingan terhadap kebutuhan waktu layanan yang cepat dalam sebuah
layanan serta penilaian kepuasan terhadap kecepatan waktu pelayanan yang diberikan.
4. Kewajaran terhadap Biaya/Tarif yang dibebankan
Aspek Kewajaran terhadap Biaya/Tarif yang dibebankan didefinisikan sebagai persepsi
pengguna layanan mengenai kepentingan terhadap kebutuhan tarif yang wajar dalam
sebuah layanan serta penilaian kepuasan terhadap kewajaran tarif yang dibebankan
terhadap pengguna layanan dengan jenis layanan yang diberikan.
5. Kesesuaian Produk Pelayanan pada standar pelayanan dengan hasil produk pelayanan
Aspek Kesesuaian Produk Pelayanan pada standar pelayanan dengan hasil produk
pelayanan didefinisikan sebagai persepsi pengguna layanan mengenai kepentingan
terhadap kebutuhan pencantuman produk layanan yang dikeluarkan dalam standar
layanan serta penilaian kepuasan terhadap hasil produk pelayanan jika dibandingkan
dengan produk pelayanan yang dijanjikan dalam standar pelayanan.
6. Kompetensi dan kemampuan petugas (Layanan Tatap Muka) atau Ketersediaan
informasi sistem online (Layanan Online)
a. Kompetensi dan kemampuan petugas (Layanan Tatap Muka)
Aspek Kompetensi dan Kemampuan Petugas didefinisikan sebagai persepsi
pengguna layanan mengenai kepentingan terhadap perlu tidaknya kompetensi
dan kemampuan petugas pada sebuah layanan serta penilaian kepuasan terhadap
kompetensi dan kemampuan petugas yang diberikan.
b. Ketersediaan informasi sistem online (Layanan Online)
Aspek Ketersediaan informasi sistem online didefinisikan sebagai persepsi
pengguna layanan mengenai kepentingan terhadap ketersediaan informasi pada
sebuah layanan serta penilaian kepuasan terhadap tingkat ketersediaan informasi
pada sistem online untuk layanan yang diberikan.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


128
7. Perilaku petugas (Layanan Tatap Muka) atau kemudahan dan kejelasan fitur sistem
online (Layanan Online)
a. Perilaku petugas (Layanan Tatap Muka)
Aspek Perilaku Petugas didefinisikan sebagai persepsi pengguna layanan mengenai
kepentingan terhadap penilaian perilaku petugas pada sebuah layanan serta
penilaian kepuasan terhadap perilaku petugas yang diberikan.
b. Kemudahan dan kejelasan fitur sistem online (Layanan Online)
Aspek kemudahan dan kejelasan fitur sistem online didefinisikan sebagai persepsi
pengguna layanan mengenai kepentingan terhadap kemudahan dan kejelasan fitur
pada sebuah layanan serta penilaian kepuasan terhadap tingkat kemudahan dan
kejelasan fitur sistem online untuk layanan yang diberikan.

8. Kualitas Sarana dan Prasarana


Aspek Kualitas Sarana dan Prasarana didefinisikan sebagai persepsi pengguna
layanan mengenai kepentingan terhadap kualitas sarana dan prasarana pada
sebuah layanan serta penilaian kepuasan terhadap kualitas sarana dan prasarana
yang sediakan.
9. Penanganan pengaduan
Aspek Penanganan Pengaduan didefinisikan sebagai persepsi pengguna layanan
mengenai kepentingan terhadap keberadaan fasilitas dan penanganan pengaduan
dalam sebuah layanan serta penilaian kepuasan terhadap fasilitas dan penanganan
pengaduan yang diberikan.

Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian Indeks Kepuasan Layanan
Sektor ESDM sebagai berikut:

Tabel 32. Indikator dan Target Kinerja Indeks Kepuasan Layanan Sektor ESDM

Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024

Sasaran Strategis: Layanan Sektor ESDM yang Optimal


Indeks Kepuasan Layanan Ditjen EBTKE Nilai (Skala 4) 3,10 3,15 3,20 3,25 3,30

Sasaran Strategis 4: Pengawasan, Pengendalian, Monitoring & Evaluasi sektor


ESDM yang efektif
Dalam rangka mengukur efektivitas terhadap Pengawasan, Pengendalian, Monitoring &
Evaluasi sektor ESDM, maka ditetapkan indikator kinerja yang dapat dijadikan instrumen
penilaian yang terukur untuk mencapai sasaran tersebut. indikator kinerja yang dimaksud
yaitu Indeks Efektivitas Pembinaan dan Pengawasan, Indeks Maturitas Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (SPIP) dan Nilai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


129
(SAKIP) ESDM. Untuk mengukur hal tersebut, maka ditentukan komponen-komponen
pengungkit dari penilaian indeks tersebut. Komponen-komponen tersebut yaitu:
1. Indeks Efektivitas Pembinaan dan Pengawasan
Indeks Efektivitas Pembinaan dan Pengawasan merupakan metode penilaian yang
digunakan Kementerian ESDM dalam meningkatkan efektivitas pembinaan dan
pengawasan terhadap proses dari seluruh bidang usaha sektor ESDM. Adapun
komponen penilaian dalam menentukan nilai indeks tersebut yaitu:
a. Sub Sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
Merupakan indikator penilaian terhadap pembinaan dan pengawasan sub sektor
Ketenagalistrikan mencakup Badan Usaha Perusahaan Listrik Negara (PLN),
Independent Power Producer (IPP), Private Power Utility (PPU), mengacu pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, Permen ESDM Nomor 32
Tahun 2018 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan
Bakar Lain, Permen ESDM Nomor 39 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Fisik Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Peraturan
Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, Permen ESDM
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Energi dan peraturan turunannya.

Metode penilaian indeks Efektivitas Pembinaan dan Pengawasan dengan melakukan


survei terhadap badan usaha sektor ESDM (Ditjen minyak dan gas bumi, mineral
dan batubara, ketenagalistrikan, dan energi baru terbarukan dan konservasi energi)
dengan mengambil sampel pada setiap jenis usaha dan sub sektor.
2. Indeks Maturitas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
Tingkat maturitas penyelenggaraan SPIP adalah proses yang integral pada tindakan
dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai
untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui
kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset
negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara
menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan daerah.
a. Lingkungan Pengendalian
Merupakan penilaian terhadap kemampuan pimpinan dalam menciptakan dan
memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan dampak perilaku positif
dan kondusif untuk penerapan sistem pengendalian intern dalam lingkungan
kerjanya, melalui penegakan integritas dan etika, komitmen terhadap kompetensi,
kepemimpinan yang kondusif, struktur organisasi sesuai kebutuhan, delegasi
wewenang dan tanggung jawab, kebijakan pembinaan SDM, peran APIP yang
efektif, hubungan kerja yang baik.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


130
b. Penilaian Risiko
Merupakan penilaian terhadap kemampuan pimpinan dalam menetapkan
tujuan Kementerian yang memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur,
dapat dicapai, realistis dan terikat waktu. Pernyataan dan arahan ini wajib
dikomunikasikan kepada seluruh pegawai. Adapun parameter dari penilaian ini
yaitu identifikasi risiko dan analisis risiko.
c. Kegiatan Pengendalian
Merupakan penilaian terhadap kemampuan pimpinan dalam melakukan kegiatan
Pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan
fungsi Kementerian. Kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok
Kementerian, dikaitkan dengan proses penilaian risiko, dipilih sesuai dengan sifat
khusus Kementerian, serta kebijakan dan prosedur ditetapkan secara tertulis.
Adapun kegiatan pengendalian yang dimaksud, dilaksanakan dengan reviu
kinerja, pembinaan SDM, pengendalian sistem informasi, pengendalian fisik aset,
penetapan persentase review indikator, pemisahan fungsi, otorisasi, pencatatan,
pembatasan akses, akuntabilitas, dokumentasi SPI.
d. Informasi dan Komunikasi
Merupakan penilaian terhadap kemampuan pimpinan dalam mengidentifikasi,
mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang
tepat. Komunikasi atas informasi tersebut harus diselenggarakan secara efektif
yaitu menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi
serta mengelola, mengembangkan dan memperbarui sistem informasi secara terus
menerus dengan parameter penilaian mencakup Informasi dan komunikasi efektif.
e. Pemantauan
Merupakan penilaian terhadap kemampuan pimpinan dalam melakukan
pemantauan Sistem Pengendalian Intern yang dilakukan secara berkelanjutan,
evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan review lainnya.
Parameter penilaian mencakup pemantauan berkelanjutan dan evaluasi terpisah.
3. Nilai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) merupakan penerapan
pelaksanaan Manajemen Kinerja berupa rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas,
alat, dan prosedur yang bertujuan untuk memastikan terdapat perbaikan berkelanjutan
guna meningkatkan kinerja K/L sesuai dengan sasaran pembangunan nasional,
pencapaian target-target, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Penerapan SAKIP
dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN yang merupakan asas akuntabilitas dalam
penyelenggaraan negara serta UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang merupakan Asas pengelolaan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


131
keuangan negara adalah akuntabilitas berorientasi hasil dan penerapan anggaran berbasis
prestasi kinerja. Kewajiban melaporkan akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja
pemerintah tercantum pada PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah. SAKIP diperlukan untuk meningkatkan efektivitas
penggunaan anggaran berorientasi pada hasil tercantum pada Perpres Nomor 29 Tahun
2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Adapun target dan komponen yang digunakan dalam menilai efektivitas Pembinaan,
Pengawasan dan Pengendalian Sektor ESDM sebagai berikut:

Tabel 33. Indikator dan Target Kinerja Sasaran Strategis Pengawasan, Pengendalian,
Monitoring & Evaluasi sektor ESDM yang efektif

Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024

Sasaran Strategis: Pengawasan, Pengendalian, Monitoring & Evaluasi sektor ESDM yang efektif

A. Indeks Efektivitas Pembinaan dan


Nilai 75,5 76,5 77,5 78,5 79,5
Pengawasan
B. Indeks Maturitas SPIP Skor (Skala 5) 3,5 3,6 3,7 3,8 3,9
C. Nilai SAKIP Ditjen EBTKE Nilai 80,1 80,1 80,5 80,5 81

Sasaran Strategis 5: Terwujudnya birokrasi yang efektif, efisien, dan berorientasi


pada layanan prima
Dalam rangka mengukur peningkatan nilai dari birokrasi yang efektif, efisien, dan
berorientasi pada layanan prima, maka ditetapkan indikator kinerja yang dapat
dijadikan instrumen penilaian yang terukur untuk mencapai sasaran tersebut. indikator
kinerja yang dimaksud yaitu Indeks Reformasi Birokrasi. Indeks reformasi Birokrasi
merupakan penilaian terhadap evaluasi birokrasi yang berpedoman pada Peraturan
Menteri PAN dan RB Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi
Birokrasi Instansi Pemerintah. Evaluasi difokuskan pada upaya-upaya yang dilakukan
oleh Kementerian ESDM dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Tujuan evaluasi
adalah untuk menilai kemajuan pelaksanaan program reformasi birokrasi dalam
rangka mencapai sasaran yaitu mewujudkan birokrasi yang bersih dan akuntabel,
birokrasi yang efektif dan efisien, serta birokrasi yang mampu memberikan pelayanan
publik yang baik. Selain itu, evaluasi ini juga bertujuan untuk memberikan saran
perbaikan dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi di
lingkungan Kementerian ESDM. Untuk mengukur nilai reformasi birokrasi tersebut,
maka ditentukan komponen-komponen pengungkit dari penilaian indeks tersebut.
Komponen-komponen tersebut yaitu:

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


132
1. Manajemen Perubahan
Manajemen perubahan sebagai salah satu indikator untuk menilai perubahan secara
sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir
dan budaya kerja individu atau unit kerja di dalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan
tujuan dan sasaran RB.

2. Penataan Peraturan Perundang-undangan


Penataan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu indikator untuk menilai
tingkat efektivitas pengelolaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
instansi pemerintah.

3. Penataan dan Penguatan Organisasi


Penataan dan penguatan organisasi sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat
efisiensi dan efektivitas organisasi instansi pemerintah secara proporsional sesuai
dengan kebutuhan pelaksanaan tugas masing-masing sehingga menjadi tepat fungsi.

4. Penataan Tatalaksana
Penataan tatalaksana sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat efisiensi dan
efektivitas sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien dan terukur pada
masing-masing instansi pemerintah

5. Penataan Sistem Manajemen SDM


Penataan sistem manajemen SDM sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat
profesionalisme SDM pada masing-masing instansi pemerintah

6. Penguatan Akuntabilitas
Penguatan akuntabilitas sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat kapasitas
dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah

7. Penguatan Pengawasan
Penguatan pengawasan sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing
instansi pemerintah

8. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik


Peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai salah satu indikator untuk menilai
tingkat kualitas pelayanan publik pada masing-masing instansi pemerintah sesuai
kebutuhan dan harapan masyarakat.

Penilaian terhadap indeks reformasi birokrasi Kementerian ESDM ini nantinya akan
dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kemenpan RB) dengan berbasis pada Nilai Akuntabilitas Kerja, Survei Internal Integritas
Organisasi, Survei Eksternal Persepsi Korupsi, Opini BPK, dan Survei Eksternal Pelayanan
Publik.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


133
Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian indeks reformasi birokrasi
sebagai berikut:

Tabel 34. Indikator dan Target Kinerja Sasaran Strategis Terwujudnya birokrasi yang efektif,
efisien, dan berorientasi pada layanan prima

Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Terwujudnya birokrasi yang efektif, efisien, dan berorientasi pada layanan prima
Indeks Reformasi Birokrasi % 80 85 85 90 90

Sasaran Strategis 6: Organisasi yang fit dan SDM yang Unggul


Dalam rangka mengukur peningkatan kinerja dari Organisasi Kementerian ESDM untuk
mewujudkan reformasi birokrasi, maka ditetapkan standar terbaik yang menjadi target
terwujudnya organisasi Kementerian ESDM yang sehat, kuat dan bersih. Untuk mewujudkan
hal tersebut, maka ditetapkan indikator kinerja yang dapat dijadikan instrumen penilaian
yang terukur untuk mencapai sasaran tersebut. indikator kinerja yang dimaksud yaitu Nilai
Evaluasi Kelembagaan dan Indeks Profesional ASN.

Nilai Evaluasi Kelembagaan


Penilaian evaluasi kelembagaan berpedoman kepada Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 20 Tahun 2018 tentang Pedoman Evaluasi
Kelembagaan Instansi Pemerintah. Evaluasi kelembagaan instansi pemerintah dimaksudkan
untuk dijadikan landasan bagi Kementerian ESDM dalam memperbaiki, menyesuaikan,
dan menyempurnakan struktur dan proses organisasi yang sesuai dengan lingkungan
strategisnya. Pedoman evaluasi kelembagaan instansi pemerintah ini mencakup dua dimensi
pokok organisasi, yakni struktur dan proses organisasi. Dimensi struktur mencakup tiga sub
dimensi dan dimensi proses organisasi mencakup lima sub dimensi sebagai berikut:
1. Dimensi Struktur Organisasi
Dalam dimensi struktur organisasi terdapat 3 (tiga) sub dimensi, yaitu kompleksitas,
formalisasi, dan sentralisasi. Konsep ketiga dimensi tersebut diuraikan di bawah ini.
a. Sub dimensi Kompleksitas
Kompleksitas adalah banyaknya tingkat diferensiasi yang dilakukan dalam
pembagian kerja (division of labor). Pada umumnya organisasi pemerintah
memiliki kompleksitas yang tinggi karena beragamnya tugas dan fungsi yang
dijalankan. Kompleksitas merujuk pada tingkat diferensiasi (pemisahan tugas-
tugas) yang ada pada suatu organisasi. Semakin kompleks organisasi, semakin
dibutuhkan koordinasi, kontrol, dan komunikasi yang efektif bagi unit-unit yang
ada sehingga para pimpinan bisa memastikan bahwa setiap unit bekerja dengan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


134
baik. Diferensiasi atau pemisahan tugas-tugas merujuk pada tiga hal, yaitu:
- Diferensiasi Horizontal
Diferensiasi horizontal merupakan pemisahan tugas-tugas dalam struktur
horizontal antar unit-unit organisasi berdasarkan perbedaan orientasi unit
organisasi, tugas, fungsi, pendidikan, keahlian dan sebagainya. Pada organisasi
pemerintah, diferensiasi horizontal dipisahkan di antaranya berdasarkan
visi dan misi pemerintah pusat atau daerah, urusan pemerintahan yang
diselenggarakan, kewenangan yang dimiliki, dan pengelompokan bidang tugas
organisasi.
- Diferensiasi Vertikal
Diferensiasi vertikal merujuk pada tingkat hierarki organisasi. Semakin tinggi
tingkat hierarki di dalam struktur organisasi, maka kompleksitasnya akan
semakin tinggi dan potensi distorsi komunikasi dari manajemen tingkat tinggi
hingga unit organisasi paling rendah akan semakin besar. Satu hal yang perlu
diperhatikan dari diferensiasi ini adalah rentang kendali, yaitu seberapa banyak
unit organisasi yang dapat dibentuk secara efektif oleh unit organisasi yang
di atasnya. Semakin kompleks pekerjaan semakin kecil rentang kendali yang
diperlukan dalam pengawasan. Dalam praktik penataan organisasi pemerintah,
perlu memperhatikan dimensi diferensiasi vertikal ini.
- Diferensiasi Spasial
Diferensiasi spasial merujuk pada tempat kedudukan, fasilitas, dan penyebaran
unit organisasi secara geografis. Semakin jauh dan semakin banyak tempat
kedudukan, fasilitas, dan penyebaran unit organisasi secara geografis, maka
akan semakin tinggi kompleksitas organisasi tersebut. Diferensiasi Spasial
merupakan pertimbangan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia, khususnya dalam penataan kelembagaan instansi pemerintah. Hal
ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau
yang tersebar.
b. Subdimensi Formalisasi
Formalisasi merupakan suatu kondisi dimana aturan-aturan, prosedur, instruksi,
dan komunikasi dibakukan. Formalisasi yang tinggi akan meningkatkan
kompleksitas. Formalisasi merupakan sesuatu yang penting bagi organisasi
karena dengan standardisasi akan dicapai produk yang konsisten dan seragam
serta mengurangi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu terjadi. Selain itu,
formalisasi akan mempermudah koordinasi antar bagian/unit organisasi dalam
menghasilkan suatu produk atau jasa. Formalisasi di dalam restrukturisasi
organisasi merupakan suatu proses penyeragaman melalui aturan-aturan,
prosedur, instruksi dan komunikasi yang telah dibakukan. Sebagai contoh

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


135
ketentuan mengenai kelembagaan kementerian negara diatur dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 2008 dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015.
c. Subdimensi Sentralisasi
Sentralisasi adalah tingkat dimana kewenangan (authority) dalam pengambilan
keputusan-keputusan organisasi berada pada manajemen tingkat tinggi.
Sentralisasi dapat diartikan sebagai tingkatan pengkonsentrasian kekuasaan
secara formal. Sentralisasi dapat menurunkan tingkat kompleksitas dan
menyederhanakan struktur organisasi. Semakin sederhana struktur organisasi
akan semakin gesit gerak dan perkembangannya. Sedangkan bagi organisasi yang
strukturnya besar, sentralisasi dapat mengakibatkan organisasi tersebut bergerak
lamban. Di sisi lain, bertolak belakang dari sentralisasi adalah desentralisasi, yaitu
pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kepada unit organisasi tingkat
bawah yang berada dekat dengan masyarakat. Desentralisasi menciptakan banyak
spesialisasi atau kekhususan.
2. Dimensi Proses Organisasi
Dalam dimensi proses organisasi terdapat 5 (lima) subdimensi, yaitu keselarasan
(alignment), tata kelola (governance) dan kepatuhan (compliance), perbaikan dan
peningkatan proses, manajemen risiko, dan teknologi informasi. Konsep kelima
dimensi tersebut diuraikan di bawah ini.
a. Subdimensi Keselarasan (Alignment)
Keselarasan (alignment) antara strategi organisasi dengan visi, tujuan, dan misi
organisasi. Strategi organisasi pada dasarnya merupakan pedoman di dalam
mengimplementasikan proses organisasi. Di dalam strategi organisasi dirumuskan
berbagai sasaran strategis organisasi dan proses organisasi dilaksanakan dan
dikembangkan untuk mencapai berbagai sasaran yang telah ditetapkan sesuai
dengan visi dan tujuan pokok organisasi. Selain dimaksudkan untuk mencapai
sasaran strategis organisasi, di dalam implementasinya proses organisasi juga
harus memiliki keselarasan dengan struktur organisasi.
b. Subdimensi Tata kelola (Governance) dan Kepatuhan (Compliance)
Tata kelola (governance) dan kepatuhan (compliance) yang dimaksudkan untuk
memastikan apakah seluruh elemen pokok di dalam organisasi telah menempati
kedudukan dan menjalankan peran sesuai dengan struktur yang disepakati dan
berlaku di organisasi. Dalam perspektif ini seluruh pengambilan dan pelaksanaan
keputusan organisasi telah berjalan sesuai dengan prinsip tata kelola (governance)
yang mencakup transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi
(kemandirian), dan kewajaran (fairness). Di dalam penerapannya, aspek tata
kelola organisasi tidak dapat dipisahkan dengan aspek kepatuhan (compliance),
yakni sejauh mana seluruh elemen organisasi bersinergi di dalam melaksanakan

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


136
proses organisasi sesuai dengan dan patuh terhadap berbagai ketentuan dan
regulasi yang berlaku, baik secara internal maupun eksternal.
c. Subdimensi Perbaikan dan Peningkatan Proses
Dimensi proses harus menyesuaikan terhadap tuntutan perubahan lingkungan.
Dalam perspektif ini proses organisasi umumnya berlaku efektif hanya dalam
kurun waktu tertentu. Akibat perubahan lingkungan, proses organisasi dapat
menjadi tidak relevan dan membutuhkan pembaharuan. Dalam kaitan ini, setiap
organisasi dituntut untuk melakukan evaluasi dan inovasi secara berkelanjutan
terhadap proses yang diterapkan, dengan harapan proses organisasi dapat tetap
relevan dan optimal untuk menciptakan rangkaian nilai (value chain) dalam
rangka mencapai tujuan organisasi.
d. Subdimensi Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah upaya untuk melakukan identifikasi, penilaian,
dan penentuan prioritas risiko dan diikuti oleh penerapan sumber daya
yang terkoordinasi serta ekonomis untuk meminimalkan, memantau, dan
mengendalikan probabilitas atau dampak kejadian yang tidak menguntungkan.
Tujuannya adalah untuk memastikan ketidakpastian agar tidak menghalangi
pencapaian tujuan organisasi.
e. Subdimensi Teknologi Informasi
Kemajuan teknologi membawa peluang besar serta tantangan bagi semua bentuk
organisasi tidak terkecuali organisasi pemerintah. Dalam skenario ekonomi global
yang kompetitif saat ini, organisasi yang gagal maju secara teknologi berpotensi
mengalami risiko tertinggal dibandingkan dengan organisasi lain dalam hal
persaingan dan produktivitas. Oleh karena itu, saat ini seluruh organisasi
pemerintah telah berupaya untuk mengadopsi teknologi di dalam membantu
pelaksanaan tugas dan fungsinya, khususnya teknologi informasi. Di dalam
penggunaan teknologi informasi bagi organisasi pemerintah, agar implementasinya
dapat berjalan dengan baik, memerlukan adanya suatu perencanaan yang strategis
mulai dari kebijakan pengaturan, integrasi, dan interoperabilitas.

Metode yang digunakan dalam melaksanakan evaluasi kelembagaan adalah metode


survei yaitu persepsi kelompok (per-Eselon II) di dalam organisasi mengenai kondisi
organisasi saat ini. Kuesioner ini terdiri dari 2 dimensi sebagaimana tersebut di atas,
8 sub dimensi, 30 indikator dan 66 pertanyaan, dimana dalam setiap pertanyaan
kelompok harus berdiskusi untuk menjawab Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS) untuk menghasilkan jawaban persepsi
kelompok mengenai kondisi organisasi saat ini.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


137
Adapun target dan dimensi yang digunakan dalam penilaian indeks kemandirian energi
sebagai berikut:

Tabel 35. Indikator dan Target Kinerja Indikator Nilai Evaluasi Kelembagaan

Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024

Sasaran Strategis: Organisasi Fit dan SDM yang Unggul

Nilai Evaluasi Kelembagaan % 73,25 74 74 74 75

Indeks Profesionalitas ASN – berdasarkan Perka BKN 8 tahun 2019


Dalam rangka mengukur peningkatan nilai dari kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN)
Kementerian ESDM, maka ditetapkan indikator kinerja yang dapat dijadikan instrumen
penilaian yang terukur untuk mencapai sasaran tersebut. indikator kinerja yang dimaksud
yaitu Indeks Profesionalitas ASN. Indeks Profesionalitas ASN ini juga mencakup Kompetensi
dan Integritas SDM, dimana kompetensi merupakan kemampuan dan karakteristik
yang dimiliki seorang ASN berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya sebagai landasan dalam melaksanakan
tugas secara profesional, efektif dan efisien. Sedangkan integritas adalah suatu konsep yang
memerlukan konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip, serta digunakan untuk
menggambarkan kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang.

Indeks Kompetensi dan integritas ini merupakan penyederhanaan penilaian terkait dengan
pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian ESDM yang terdiri dari capaian individu
dari nilai-nilai KESDM (jujur, Profesional, melayani, inovatif dan berarti), output sasaran
kinerja pegawai, kepatuhan dalam melaksanakan segala ketentuan dalam beraktivitas termasuk
jam kerja dan pelaporan harta kekayaan serta capaian individu lainnya. Untuk mengukur hal
tersebut, maka ditentukan komponen-komponen pengungkit dari penilaian indeks tersebut.

Komponen-komponen tersebut yaitu:


1. Penilaian Kualifikasi
Merupakan penilaian terhadap ketepatan jenjang pendidikan dan/atau kemampuan
ASN terhadap posisi dalam kaitannya tugas dan fungsi yang diemban, dengan tujuan
untuk meningkatkan output yang dihasilkan
2. Penilaian kompetensi
Merupakan penilaian terhadap kompetensi setiap ASN dalam penyelenggaraan
reformasi birokrasi dengan melakukan assessment secara berkala terhadap seluruh
pegawai. Penilaian ini juga dijadikan dasar dalam penempatan ASN pada posisi baru,
dengan tujuan agar kualifikasi ASN sesuai dengan tupoksi.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


138
3. Penilaian Kinerja
Merupakan penilaian terhadap kinerja setiap ASN baik yang menjabat pada posisi
struktural maupun Fungsional berdasarkan target kinerja organisasi maupun target
Sasaran Kerja Pegawai (SKP) yang direncanakan dalam bentuk bulanan untuk
mencapai sasaran organisasi
4. Penilaian Kedisiplinan
Merupakan penilaian terhadap sikap, perilaku dan kepatuhan setiap ASN dalam
menjalankan tugas dan fungsi sehari-harinya

Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian Indeks Profesionalitas ASN
sebagai berikut:

Tabel 36. Indikator dan Target Kinerja Indeks Profesionalitas ASN

Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Organisasi Fit dan SDM yang Unggul
Indeks Profesionalitas ASN % 71 73 75 78 82

Sasaran Strategis 7: Pengelolaan Sistem Anggaran yang Optimal


Dalam rangka mengukur optimalisasi pengelolaan sistem anggaran Kementerian ESDM
c.q. Ditjen EBTKE, maka. Persentase capaian IKPA ditetapkan menjadi indikator kinerja
yang dapat dijadikan instrumen penilaian yang terukur untuk mencapai Pengelolaan Sistem
Anggaran yang Optimal.

Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian indeks kemandirian energi
sebagai berikut:

Tabel 37. Indikator dan Target Kinerja Sasaran Strategis Pengelolaan


Sistem Anggaran yang Optimal

Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Pengelolaan Sistem Anggaran yang Optimal

1. Nilai Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran


Nilai 90 90,25 90,5 90,75 91
(IKPA) Ditjen EBTKE

B. KERANGKA PENDANAAN
Pemberian insentif merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan daya
tarik investasi. Kekuatan finansial suatu negara akan meningkatkan keleluasan kebijakan
fiskal suatu negara, termasuk pemberian insentif kepada pengembang. Kementerian

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


139
ESDM sebagai kementerian teknis yang bertanggungjawab di sektor Energi dan Sumber
Daya Mineral bertanggungjawab atas keteersediaan dan ketahanan energi, mempunyai
kepentingan atas perolehan skema insentif yang menarik yang akan ditawarkan kecalon
investor. Oleh karena itu, Kementerian ESDM harus mampu meningkatkan komunikasi dan
koordinasi untuk mendapatkan persetujuan pemberian insentif dari Kementerian Keuangan
sebagai CFO keuangan negara.

Beberapa insentif dan fiskal yang diperlukan guna meningkatkan keekonomian


pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), diantaranya sebagai berikut:
a. Pembebasan Tarif PBB.
b. Pemberlakuan tax holiday.
c. Kemudahan transfer material sisa/belum/tidak terpakai, untuk mengurangi leadtime
pengadaan.
d. Persetujuan import besi dan baja.

Diperlukan izin persetujuan import dari Kementerian perdagangan dan pertimbangan teknis
dari Kementerian Perindustrian. Ketika menerbitkan pertimbangan teknis, Kementerian
Perindustrian membutuhkan penegasan bahwa barang tersebut tidak dapat diproduksi di
dalam negeri. Pihak pengembang mengalami kesulitan dalam mendapatkan penegasan
tersebut dikarenakan ketidakjelasan ketentuan yang mengatur tentang pihak atau otoritas
yang mengeluarkan penegasan tersebut. Sehingga diperlukan pengecualian persetujuan
impor besi baja untuk kegiatan pengembangan energi panas bumi dalam Permendag Nomor
110/2018.

Program percepatan pengembangan EBT pasti membutuhkan dana yang sangat besar,
pemeritah harus mampu menjembatani dan merekomendasikan kebijakan sebagai intervensi
terhadap lembaga keuangan untuk dapat memberikan kemudahan pendanaan terhadap
pengembangan proyek EBT. Beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah dalam
mendukung ketersediaan dana bagi pengembangan EBT dapat melalui Pemanfaatan Dana
Energi Terbarukan dan/atau Pemanfaatan Dana PISP untuk perusahaan swasta. Akan tetapi,
agar sesuai dengan Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pokok-pokok Perjanjian
Jual-Beli Listrik, persyaratan pendanaan mengenai kepastian pembelian listrik sebaiknya
dihilangkan karena pendanaan diperlukan jauh sebelum PPA dapat disepakati dengan PLN.
Selain itu, jangka waktu tenor peminjaman sebaiknya diperpanjang untuk meningkatkan
keekonomian proyek pengembangan EBT.

Penetapan nilai tukar dalam transaksi PJBL sangat memengaruhi nilai perolehan ataupun
pengeluaran dalam rentang waktu tertentu. Tren penguatan atau pelemahan salah satu nilai
tukar mendorong penjual menentukan nilai tukar yang paling menguntungkan, sebaliknya
Pemerintah dapat menentukan pilihan nilai kurs yang dapat meminimalisir pengeluaran.

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


140
Indikasi Kebutuhan APBN Ditjen EBTKE Tahun 2020-2024
Berdasarkan sasaran program (outcome)/sasaran kegiatan (output)

Alokasi (dalam Juta Rupiah)


Sasaran Program (Outcome)/ Sasaran Kegiatan (Output) 2020 2021 2022 2023 2024
Total
Anggaran

Program Pengelolaan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi 1.389.651 1.047.753 1.065.606 1.048.402 1.005.479 5.556.890
Kegiatan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengusahaan Bioenergi 12.607 15.455 17.047 17.884 18.763 81.755
1 Regulasi di Bidang Bioenergi 532 548 565 582 599 2.827
2 Layanan Bidang Bioenergi 9.132 11.817 13.238 13.895 14.587 62.669
a) Layanan Penyiapan Program Bioenergi 2.804 2.889 2.975 3.065 3.156 14.889
b) Layanan Investasi dan Kerjasama Bioenergi 3.670 5.138 5.446 5.773 6.119 26.146
c) Layanan Keteknikan di Lingkungan Bioenergi 2.657 3.790 4.817 5.058 5.311 21.634
3 Layanan Pelayanan dan Pengawasan Usaha Bioenergi 2.943 3.090 3.244 3.407 3.577 16.260

Kegiatan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengusahaan Aneka Energi Baru


14.699 18.408 20.097 21.877 24.046 99.127
Terbarukan
1 Regulasi Bidang Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan 1.853 2.708 2.708 2.572 2.572 12.413
2 Layanan Bidang Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan
a) Layanan Penyiapan Program Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan 3.572 4.108 4.724 5.433 6.247 24.084
Layanan Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru dan Energi
b) 2.804 3.225 3.708 4.265 4.904 18.906
Terbarukan
c) Layanan Investasi dan Kerjasama Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan 2.941 3.235 3.558 3.914 4.306 17.954
d) Layanan Keteknikan dan Lingkungan Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan 1.096 2.455 2.455 2.455 2.455 10.916
e) Layanan Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan 2.433 2.677 2.944 3.238 3.562 14.854

Kegiatan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengusahaan Konservasi Energi 14.958 16.385 17.954 16.401 15.580 81.278
1 Regulasi Bidang Konservasi Energi

3 Layanan Bidang Bimbingan Teknis dan Kerjasama Konservasi Energi


4 Rekomendasi Investment Grade Energi Audit (IGA)
5 Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Label Hemat Energi pada Peralatan
Pemanfaat Energi 691 691 691 - - 2.073
6 Penurunan Intensitas Energi Final 12.098 13.308 14.639 13.907 13.211 67.162
7 Penurunan Emisi CO2 1.007 1.108 1.218 1.158 1.100 5.591
8 Investasi di Bidang Konservasi Energi 1.162 1.278 1.406 1.336 1.269 6.451

Kegiatan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengusahaan Panas Bumi 19.607 28.653 30.402 32.962 35.967 147.591
1 Regulasi Bidang Panas Bumi 1.750 1.965 1.610 1.675 1.785 8.785
2 Penerimaan Negara Bukan Pajak Sub Sektor Panas Bumi 2.223 2.600 2.730 2.867 3.075 13.495
3 Layanan Bidang Panas Bumi 14.248 22.208 24.065 25.918 28.485 114.924
4 Wilayah Panas Bumi yang Ditawarkan 858 1.300 1.359 1.800 1.850 7.167
5 Wilayah Panas Bumi yang Ditetapkan 528 580 638 702 772 3.220

Kegiatan Dukungan Manajamen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Ditjen


94.730 104.203 114.623 126.086 138.694 578.336
Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
1 Perencanaan [SBKU]
a) DOKUMEN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN (RKA) SATKER ESELON 1 523 575 633 696 766 3.193

b) DOKUMEN LAKIN SATKER ESELON I 409 450 495 544 599 2.497
2 Layanan Dukungan Manajemen Eselon I
a) Layanan Dukungan Manajemen Eselon I 20.181 22.199 24.419 26.861 29.547 123.207
3 Layanan Sarana dan Prasarana Internal 2.366 2.603 2.863 3.149 3.464 14.445
4 Layanan Perkantoran 71.251 78.376 86.214 94.835 104.319 434.994

Kegiatan Perencanaan, Pembangunan dan Pengawasan Infrastruktur Energi 1.233.050 864.649 865.482 833.193 772.429 4.568.803
1 Infrastruktur EBTKE
a) PLT EBT (Revitalisasi) 50.000 52.083 62.500 66.666 72.916 304.165
b) PLT Hybrid - - - - - -
c) Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Penunjang Tugas Teknis K/L 120.000 - - - - 120.000
2 Layanan Pembangunan Infrastruktur EBTKE
a) Layanan Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Infrastruktur EBTKE 25.078 27.586 30.344 33.379 36.717 153.104
b) Layanan Dukungan Pembangunan Infrastruktur EBTKE 34.372 37.809 41.590 45.749 50.324 209.844

a) Pembangunan Penerangan Jalan Umum (PJU) dengan PV 800.000 - - - - 800.000


175.000 747.171 731.048 687.399 612.472 2.953.090
5 Biogas Komunal
a) Pembangunan Biogas Komunal di Lingkungan Pondok Pesantren 28.600 - - - - 28.600

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


141
142
Lampiran I
RPJMN 2020-2024 Agenda Pembangunan 1 Memperkuat Ketahanan Ekonomi
untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan

Program Prioritas (a) - Kegiatan


Prioritas (b) - Target
Indikator Satuan
Proyek Prioritas Nasional (c) -
Program K/L (d) 2020 2021 2022 2023 2024
Pemenuhan kebutuhan energi dengan Porsi EBT dalam Bauran Persen 13.4 14.5 15.7 17.9 19.5
mengutamakan peningkatan Energi Energi Nasional*
Baru Terbarukan (EBT) Indeks Ketahanan Energi Indeks 68.0 68.0 68.8 69.2 70.3

Akselerasi pengembangan pembangkit Kapasitas Tambahan MW 686.5 1001.1 1921.8 1778.2 3662.7
energi terbarukan Pembangkit EBT
PLTA Kapasitas Tambahan MW 165.2 440.3 955.9 397.0 1951.4

PLT Panas Bumi (PLTP) Kapasitas Tambahan MW 140.0 80.0 132.0 300.0 375.0

PLT Bioenergi Kapasitas Tambahan MW 246.7 152.0 484.8 159.0 252.6

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


PLT Surya (PLTS) Kapasitas Tambahan MW 134.6 328.8 339.1 643.2 643.7

PLT Bayu (PLTB) Kapasitas Tambahan MW 0.0 0.0 10.0 279.0 440.0

PLT Hybrid Kapasitas Tambahan MW 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Pembangunan PLTN Komersial PLTN Komersial yang Meneliti pengembangan Mendorong Membangun Menyusun analisis Menyusun peta jalan
(Tambahan Baru) Dibangun teknologi PLTN disertai penguasaan teknologi kerja sama multikriteria terhadap (roadmap)
aspek-aspek keekonomian PLTN sejalan dengan internasional implementasi PLTN implementasi PLTN
dan keselamatan perkembangan terkini terkait studi mencakup kepentingan sebagai pilihan
kemajuan pengembangan PLTN mendesak, berbagai terakhir dalam
teknologi PLTN di pandangan dari berbagai prioritas pengembanga
dunia stakeholder. n energi nasional.
Peningkatan pasokan bahan bakar Pemanfaatan biofuel Juta kilo 10.00 10.20 14.15 14.55 17.35
nabati untuk Domestik liter
Akselerasi Pengembangan BBN

Kilang BBN Tahapan Pembangunan Tahapan Penyusunan BEDP: Penyusunan dokumen EPC EPC Mid 2024 Start Up dan
Green Refinery Stand Basic Engineering Design FEED dan persetujuan On Stream
Alone kapasitas 20 ribu Project dan tender DFC FID (Final Investment
Barrel per Day di RUIII (Dual Feed Competition) Decision)
Plaju
Program Prioritas (a) - Kegiatan
Prioritas (b) - Target
Indikator Satuan
Proyek Prioritas Nasional (c) -
Program K/L (d) 2020 2021 2022 2023 2024
Pengembangan Teknologi FCC untuk Penelitian dan Unit - 1 (Penyempurnaan 1 1 1
Pembuatan Green Gasoline Berbasis Pengembangan Teknologi Pilot Plant (alat kontrol (Simulasi (Simulasi menggunakan (FS dan DED skala
CPO 100% FCC untuk Green Gasoline dan alat ukur)) menggunakan bahan bahan baku RBDPO (refine, komersial dan simulasi
berbasis CPO 100% baku Olein (Co-Product bleached, deodorized, palm konversi minyak nabati
hingga Pembuatan Desain CPO)) oil) (Main Product CPO)) menjadi green gasoline)
Skala Komersial

Peningkatan pelaksanaan konservasi Intensitas energi primer SBM/Rp 139.5 138.0 136.6 135.2 133.8
dan efisiensi energi Miliar
penurunan Intensitas SBM/Rp 0.9 0.9 0.9 0.8 0.8
energi final Miliar

Perluasan Penerapan Efisiensi Energi

Penyusunan Standar Kinerja Energi Jumlah peralatan yang Peralatan 3 2 1 - -


Minimum disusun SKEM-nya
Pengembangan Industri EBT

TKDN Pembangkit PLT Bayu TKDN Pembangkit PLT Persen 40 40 40 40 40


Bayu
TKDN Pembangkit PLT Surya TKDN Pembangkit PLT Persen 40 40 40 40 40
Surya
TKDN Pembangkit PLT Air TKDN Pembangkit PLT Persen 70 70 70 70 70
Air
TKDN Pembangkit PLT Bioenergi TKDN Pembangkit PLT Persen 40 40 40 40 40
Bioenergi
TKDN Pembangkit PLT Panas Bumi TKDN Pembangkit PLT Persen 30 30 33 33 35
Panas Bumi

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


143
144
Lampiran II
RPJMN 2020-2024 Agenda Pembangunan 5 Memperkuat Infrastruktur
untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar

PROGRAM PRIORITAS/KEGIATAN TARGET


PN PRIORITAS/PROYEK PRIORITAS/ INDIKATOR SATUAN
PROYEK KL 2020 2021 2022 2023 2024
05 KP : Keberlanjutan Penyediaan Energi
dan Ketenagalistrikan
05 Penurunan Intensitas Energi Final SBM/Miliar Rupiah 0.9 0.9 0.9 0.8 0.8
(SBM/Miliar Rupiah)
SBM/Miliar Rupiah 0.9 0.9 0.9 0.8 0.8
05 Porsi kapasitas terpasang pembangkit Persen 15.0% 15.0% 16.0% 17.0% 20.0%
EBT terhadap total pembangkit (%)
Persen 15.0% 15.0% 16.0% 17.0% 20.0%
05 ProP : Perbaikan efisiensi dan emisi Kapasitas Terpasang EBT Tambahan MW 686.5 1001.1 1921.8 1778.2 3662.7
energi dan ketenagalistrikan (MW)
MW 686.5 1001.1 1921.8 1778.2 3662.7

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


05 Peningkatan standarisasi dan labelling Jumlah Standar Kinerja Energi Minimum Peralatan 3 2 1 - -
(SKEM) dan Label Hemat Energi pada
Peralatan Pemanfaat Energi (Peralatan )
05 Pembangunan PLTP Jumlah kapasitas terpasang PLTP (MW)- MW 140.0 80.0 132.0 300.0 375.0
kumulatif
05 Pembangunan PLTA Kapasitas Tambahan MW 165.2 440.3 955.9 397.0 1951.4
05 Pembangunan PLT Bioenergi Kapasitas Tambahan MW 246.7 152.0 484.8 159.0 252.6
05 Pembangunan PLT Surya (PLTS) Kapasitas Tambahan MW 134.6 328.8 339.1 643.2 643.7
05 Pembangunan PLT Bayu (PLTB) Kapasitas Tambahan MW 0.0 0.0 10.0 279.0 440.0
05 Pembangunan PLT Hybrid Kapasitas Tambahan MW 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
05 PLTS Rooftop Pembangunan PLTS Rooftop (MW) MW
34.63 35.88 38.53 47.37 51.78
05 Wilayah Panas Bumi yang Ditawarkan Jumlah Wilayah Panas Bumi yang Wilayah
Ditawarkan (Wilayah) 5 5 5 4 3
05 Rekomendasi Wilayah Kerja Panas Bumi Jumlah Rekomendasi Wilayah Kerja Panas Wilayah
Bumi (Wilayah) 2 2 2 2 2
Lampiran III
RPJMN 2020-2024 Agenda Pembangunan 6 Membangun Lingkungan Hidup,
Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim

PROGRAM PRIORITAS/KEGIATAN TARGET


PRIORITAS/PROYEK PRIORITAS/ INDIKATOR SATUAN
PROYEK KL 2020 2021 2022 2023 2024
PP: PEMBANGUNAN RENDAH Penurunan emisi GRK terhadap persen 11.8 12.5 12.8 12.8 13.2
KARBON baseline pada sektor energi

KP: Pembangunan Energi Porsi energi baru terbarukan dalam persen 13.4 14.5 15.7 17.9 19.5
Berkelanjutan bauran energi nasional

Penurunan Intensitas Energi Final SBM/milyar Rp 0.90 0.90 0.90 0.80 0.80

ProP: Pengelolaan Energi Baru Kapasitas Tambahan Pembangkit EBT MW 686.5 1001.1 1921.8 1778.2 3662.7
Terbarukan
Pemanfaatan biofuel untuk Domestik Juta kilo liter 10.00 10.20 14.15 14.55 17.35

ProP: Efisiensi dan Konservasi Peningkatan Implementasi SKEM peralatan 3 2 1 - -


Energi
Penyusunan Standar Kinerja Energi Jumlah peralatan yang disusun SKEM- peralatan 3 2 1 - -
Minimum nya

Rencana Strategis Ditjen EBTKE


145

Anda mungkin juga menyukai