Buku Renstra EBTKE 2020-2024
Buku Renstra EBTKE 2020-2024
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Tahun 2020-2024
Diterbitkan oleh:
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Gedung Kantor Slamet Bratanata,
Jl. Pegangsaan Timur no.1, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, 10320
Telp. (021) 39830077, email: ebtke@esdm.go.id
Dicetak:
Jakarta, April 2020
Kata Pengantar
Ja
Jaka
k rta,
Jakarta, April 2020
Diirreekt
D ktur Jenderal EBTKE
Direktur
F.X
F. X.. Sutijastoto
F.X. Su
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa
guna mencapai tujuan bernegara. Dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional
tersebut, diperlukan adanya perencanaan pembangunan nasional yang ditujukan agar
kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan tepat sasaran. Selanjutnya, agar dapat
disusun perencanaan pembangunan nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan
Negara maka diperlukan adanya sistem perencanaan pembangunan nasional, sebagaimana
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Undang-undang tersebut mendefinisikan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah,
dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
Pusat dan Daerah.
Dalam hal mendukung RPJMN tersebut, Kementerian ESDM, dalam hal ini Direktorat
Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) menetapkan Rencana
Strategis Direktorat Jenderal EBTKE Tahun 2020-2024 yang berisi capaian dan tantangan
pada periode 2015-2019, sasaran strategis, arah kebijakan, target kinerja, serta kerangka
pendanaan pada sektor EBTKE.
Delapan sasaran strategis tersebut memiliki tujuan untuk dapat mewujudkan tujuan sebagai
berikut:
a) Terjaminnya penyediaan energi dan bahan baku domestik
b) Terwujudnya optimalisasi peneimaan negara sektor EBTKE
c) Terwujudnya peningkatan investasi sektor EBTKE
d) Terwujudnya manajemen dan sumber daya manusia yang professional serta
meningkatkan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan berdampak pada
meningkatny kualitas layanan sektor EBTKE.
Beberapa arah dan kebijakan yang disusun dan dilakukan Direktorat Jenderal EBTKE dalam
mencapai sasaran strategi dan tujuan utama yaitu:
• Meningkatkan peranan energi baru terbarukan dalam bauran energi seperti: i) insentif
dan harga yang tepat untuk mendorong investasi, ii) pemanfaatan aneka energi
Penjabaran kondisi umum dan capaian Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan
Konservasi Energi periode tahun 2015-2019 terbagi dalam empat kategori diantaranya,
kondisi umum Ditjen EBTKE, capaian kinerja, capaian regulasi dan tata kelola Energi Baru
Terbarukan.
1. Kondisi Umum
76
5 MW Biogas 6 Unit
76 kontrak EBT ditandatangani %)
(0,3%) 10,8 MW SSurya 6 Unit
sejak 2017 s.d 2019 (0,7%) 445 MW
Biomass 6 Unit
nitt ((2,8%)
42,4 MW
W
(2,7%)
%) Panas Bumi 1 Unit
86 MW
(5,4%)
Minihidro 51 Unit
1.591 MW 297,84 MW
14 14
(18,72%)
Hidro 5 Unit
1.104 MW
1.251 MW (69,39%)
1.829 MW 116 MW
MW MW
212,4 273,7
Target
Realisasi
Target
1.402,7
Target
833
932 933 880
756 700
350
Target Realisasi Target Sem-I
Realisasi
Energi Panas Bumi merupakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Hingga
triwulan IV 2019 Kapasitas terpasang dari energi panas bumi di Indonesia sudah
sebesar 2130,7 MW atau peringkat kedua dari seluruh dunia. Dari energi panas bumi
dapat berkontribusi untuk menyediakan tenaga listrik yang membantu elektrifikasi di
Indonesia. Selain berperan dalam kelistrikan, dari hasil produksi tersebut, energi panas
bumi juga berperan besar menyumbang PNBP terhadap Negara Indonesia. Hal itu
tercermin dari Realisasi PNBP sejak Tahun 2014 sampai dengan Triwulan IV Tahun
2019 sebesar Rp 7,7 Triliun.
Pada Tahun 2019, PNBP Panas Bumi ditargetkan Rp 878 Miliar, dan hingga Triwulan
IV realisasi sebesar Rp 1.93 Triliun atau 219% dari target. Prognosa Tahun 2019 sebesar
Rp 985 Miliar. Dilihat dari data-data tersebut, dapat dikatakan bahwa target PNBP
Panas Bumi selalu di atas target dan begitu berkontribusi dalam penerimaan Negara
di Indonesia. Realisasi yang selalu di atas target rata-rata disebabkan karena adanya
efisiensi biaya operasional oleh badan usaha.
Indonesia patut memanfaatkan potensi energi panas bumi sebagai salah satu penunjang
kebutuhan energi industri dan rumah tangga. Indonesia sebagai salah satu negara
dengan populasi terbanyak di dunia memiliki kebutuhan energi yang setiap tahun
terus bertumbuh. Kepulauan Indonesia secara geografis terletak di wilayah pertemuan
antara Lempeng Benua Eurasia (Eropa-Asia), Lempeng Hindia-Australia, dan Lempeng
Samudra Pasifik. Pertemuan lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng
benua mengakibatkan adanya aktivitas tektonik yang menyebabkan pembentukan
rangkaian gunung api aktif yang tersebar sepanjang Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi
hingga ke Maluku serta kemunculan jalur-jalur pegunungan dan sesar-sesar aktif. Zona
ini merupakan tempat yang ideal untuk pembentukan sistem panas bumi. Sistem gunung
api ini ditemukan di banyak tempat di dunia dan panas bumi menjadi salah satu sumber
energi terbarukan yang sedang intensif dikembangkan baik untuk pembangkitan tenaga
listrik maupun untuk pemanfaatan langsung.
Peta Wilayah Kerja Panas Bumi dapat dilihat pada gambar 5 dengan mendeskripsikan
sebaran lokasi wilayah kerja panas bumi dan wilayah penugasan survey pendahuluan
dan eskplorasi. Selain itu pada tahun 2014-2019, Rincian pengembangan PLTP COD
dengan total 605 MW adalah sebagai berikut:
1. Tahun 2014 = Total 60 MW
a. PLTP Patuha Unit 1 (55 MW) oleh PT Geo Dipa Energi
b. PLTP Ulumbu Unit 3 dan 4 (2x2.5 MW) oleh PT PLN (Persero)
2. Tahun 2015 = Total 35 MW
PLTP Kamojang Unit 5 (35 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
3. Tahun 2016 = Total 205 MW
a. PLTP Sarulla Unit 1 (110 MW) oleh Sarulla Operation Limited
b. PLTP Lahendong Unit 5 dan 6 (2x20 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
c. PLTP Ulubelu Unit 3 (55 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
4. Tahun 2017 = Total 165 MW
a. PLTP Ulubelu Unit 4 (55 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
b. PLTP Sarulla Unit 2 (110 MW) oleh Sarulla Operation Limited
5. Tahun 2018 = Total 140 MW
a. PLTP Sarulla Unit 3 (110 MW) oleh Sarulla Operation Limited
b. PLTP Karaha Unit 1 (30 MW) oleh PT Pertamina Geothermal Energi
Perkembangan program mandatori Biodiesel sejak diterapkan pada tahun 2008 terus
mengalami kecenderungan yang positif, dimana realisasi produksi maupun konsumsi
domestik terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2008 persentase
campuran baru sebesar 2.5%, pada Januari 2016, meningkat menjadi 20% (B20) sesuai
Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Dan sejak 1 Januari 2020, Indonesai
sudah mulai mengimplementasikan program B30 secara nasional, menjadikan Indonesia
kembali sebagai pioneer negara yang sudah mengimplementasikan pencampuran
biodiesel sebesar 30% di dunia.
Realisasi penyerapan Biodiesel domestik pada tahun 2016 sebesar 3 juta KL, dan
sedikit menurun pada tahun 2017 menjadi sebesar 2,5 juta KL. Pada tahun 2018 terjadi
peningkatan yang cukup signifikan setelah perluasan pemberian insentif untuk seluruh
sektor, sehingga penyerapan biodiesel domestic naik menjadi sebesar 3,7 juta KL.
Pada tahun 2019, realisasi penyerapan Biodiesel domestik kembali meningkat tajam
mencapai sebesar 6,39 juta KL.
Sebagai persiapan pelaksanaan implementasi mandatori B30, pada tahun 2019 telah
dilakukan Uji Jalan (Road Test) B30 pada kendaraan bermesin diesel dengan bobot
< 3,5 ton dan > 3,5 ton dengan melibatkan stakeholder terkait (Kementerian ESDM,
Kemenko Perekonomian, Kemenko Maritim, Kemenperin, Kemenhub, BPDPKS, BPPT
(BTBRD dan BT2MP), Pertamina, APROBI, GAIKINDO, Komite Teknis Bioenergi,
ITB, dan IKABI. Hasil road test tersebut menunjukkan bahwa program B30 siap
diimplementasikan secara nasional.
BIODIESEL (Minimum)
April Januari Januari Januari
Sektor
2015 2016 2020 2025
Usaha Mikro, Usaha Perikanan, 15% 20% 30% 30%
Usaha Pertanian, Transportasi, dan
Pelayanan Umum (PSO)
Transportasi Non PSO 15% 20% 30% 30%
Industri dan Komersial 15% 20% 30% 30%
Pembangkit Listrik 25% 30% 30% 30%
BIOETANOL (Minimum)
April Januari Januari Januari
Sektor
2015 2016 2020 2025
Usaha Mikro, Usaha Perikanan, 1% 2% 5% 20%
Usaha Pertanian, Transportasi, dan
Pelayanan Umum (PSO)
Transportasi Non PSO 2% 5% 10% 20%
Industri dan Komersial 2% 5% 10% 20%
Pembangkit Listrik - - - -
MINYAK NABATI MURNI (Minimum)
April Januari Januari Januari
Sektor
2015 2016 2020 2025
Industri dan Industri 10% 20% 20% 20%
Transportasi Transportasi 10% 20% 20% 20%
(Low and Laut
Medium Speed
Engine)
Transportasi Udara - 2% 3% 5%
Pembangkit Listrik 15% 20% 20% 20%
Tahun Kapasitas
No Jenis Interkoneksi Lokasi
Pembangunan (MW)
1 PLTBm 2015 1 On-grid Desa Bondohula, Kab. Sumba
Barat, Provinsi NTT
2 PLTBg 2016 1 On-grid Desa Jorong, Kab. Tanah Laut,
Provinsi Kalimantan Selatan
3 PLTBg 2016 1 On-grid Desa Bukit Makmur,
Kab. Lamandau, Provinsi
Kalimantan Tengah
4 PLTBg 2016 1 On-grid Desa Tabru Pasir Damai, Kab.
Paser, Provinsi Kalimantan
Timur
5 PLTBg 2016 1 On-grid Desa Karang Anyar, Kab.
Merangin, Provinsi Jambi
6 PLTBn 2016 5 On-grid Desa Pegantungan, Kab.
Belitung, Provinsi Bangka
Belitung
Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 tahun 2014 dan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 jo Peraturan Menteri ESDM Nomor 53 tahun
2018 yang mengatur pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga
listrik, sampai dengan akhir tahun 2019 pengembangan pembangkit listrik berbasis
bioenergi telah mencapai kapasitas sebesar 1.889,8 MW (PLT on-grid 205.02 MW dan
PLT off-grid 1.684,78 MW).
1.402,7
Tabel 4. Kapasitas Pembangkit Listrik Bioenergi 2014 s.d. semester 1 Tahun 2019
Pada bulan Februari tahun 2020 telah diterbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 4
Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Peraturan Menteri ESDM Nomor 50
tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga
Listrik, Diharapkan dengan terbitnya peraturan ini akan terjadi peningkatan investasi
dan penambahan kapasitas pembangkit listrik terutama dengan adanya perubahan
pada mekanisme pengadaan, kejelasan proses pembelian, penambahan masa kontrak,
penghapusan pola BOOT, serta adanya pembinaan dan pengawasan yang lebih baik.
Ketersediaan bahan baku menjadi syarat utama dalam melakukan investasi di bidang
bioenergi, namun terkadang sumber bahan baku berbasis bioenergi yang berasal dari
sumber daya hayati tidak dikhususkan untuk menjadi bioenergi atau merupakan hasil
sampingan dari suatu unit usaha (by product). Oleh karena itu, sumber bahan baku
menentukan keberlanjutan proyek pengembangan di bidang bioenergi.
Biogas
Pengembangan bioenergi berbasis non listrik dapat juga diimplementasikan
dalam program pengembangan biogas. Dalam pengembangan biogas ini terdapat
pengembangan biogas skala rumah tangga dan biogas komunal. Adapun biogas ini
dikembangkan oleh berbagai pihak diantaranya oleh APBN Ditjen EBTKE, Program BIRU
sebagai kerjasama DJEBTKE dengan HIVOS, Kementerian/Lembaga lainnya, APBD
Pemda, Dana Alokasi Khusus, dan swasta lainnya. Kebanyakan pengembangan biogas
ini memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku, akan tetapi telah dikembangkan
pula biogas komunal dengan memanfaatkan kotoran manusia yang diimplementasikan
pemanfaatannya pada Biogas Komunal Pondok Pesantren. Pengembangan biogas
tersebut terus dikembangkan sehingga pada akhir tahun 2019 didapatkan produksi
biogas sebesar 26,28 juta m3/tahun atau sebesar 26.276.724 m3/tahun.
Kondisi Energi
Konsumsi energi digolongkan atas beberapa sektor pengguna, yaitu sektor industri,
transportasi, rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya. Sektor lainnya merupakan
total dari penggunaan energi pada sub-sektor pertanian, konstruksi, dan pertambangan.
Konsumsi energi final meningkat rata-rata 4% (empat persen) per tahun dalam kurun
Tingginya pertumbuhan kepemilikan kendaraan roda dua dan roda empat telah
mendorong konsumsi energi final sektor transportasi pada tahun 2018 sehingga dalam
beberapa tahun trend konsumsi energinya melampaui konsumsi energi final di sektor
industri. Pada sektor industri, diversifikasi energi dari BBM ke batubara, gas dan
biomassa sudah berlangsung sehingga konsumsi BBM tidak lagi dominan. Sedangkan
pada sektor transportasi, peranan BBM masih sulit tergantikan dengan jenis energi
fosil lainnya. Adapun pada sektor rumah tangga, energi listrik dan LPG merupakan
jenis energi terbesar yang dikonsumsi, dimana penggunaan LPG semakin meningkat
menggantikan minyak tanah yang semakin menurun. Pada sektor komersial, energi
listrik merupakan jenis energi terbanyak dikonsumsi karena sektor ini mencakup sektor
gedung perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan/mall, rumah sakit, dan lainnya. Adapun
penggunaan energi pada sektor lainnya masih berupa BBM untuk konsumsi traktor &
pertanian, peralatan konstruksi, dan pertambangan.
Gambar 10. Intensitas Energi Primer (IEP) dan Energi Final (IEF)
Pada COP-21 di Paris tahun 2015, Indonesia telah meningkatkan komitmennya untuk
mengurangi tingkat emisi GRK sebanyak 29 % dengan usaha sendiri di bawah Business
as Usual pada tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional. Komitmen dalam
Nationally Determined Contribution (NDC) pertama yang merupakan bagian dari
Persetujuan Paris (Paris Agreement). Hal ini kemudian dituangkan dalam UU Nomor
16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework
Convention On Climate Change. Dalam NDC, Pemerintah Indonesia memproyeksikan
emisi GRK dari Sektor Energi pada tahun 2030 meningkat hampir 4 (empat) kali lipat
dibanding dengan emisi GRK tahun 2010. Total emisi GRK Sektor Energi pada tahun
2030 akan menjadi yang terbesar dengan pangsa 60% dari total emisi GRK, diikuti oleh
Sektor Kehutanan dan Pertanian (27%), Sektor Limbah (11%), dan Sektor IPPU (2%).
Oleh karena itu, Pemerintah menyampaikan bahwa fokus program mitigasi emisi GRK
nasional akan beralih dari Sektor Lahan ke Sektor Energi. Adapun target reduksi emisi
GRK Sektor Energi pada tahun 2030 adalah sebesar 314 juta ton CO2e dari kondisi
business as usual atau sebesar 11% dari total target reduksi 29%. Target yang cukup
besar ini merupakan tantangan bagi Sektor Energi.
Dari target pada table 5, Sektor energi memegang peranan penting dalam komitmen
tersebut dimana energi menyumbang sebesar 11% dari target nasional, untuk mencapai
target tersebut diperlukan sinergi dan komunikasi dari seluruh stakeholder terkait
terutama dalam hal keterbukaan data dan informasi aksi mitigasi.
Aksi mitigasi di sektor energi dikelompokkan menjadi empat sub kategori aksi mitigasi,
yaitu:
• efisiensi energi;
• energi baru dan terbarukan;
• pembangkit energi bersih/clean coal technology (CCT); dan
• penggunaan bahan bakar rendah karbon/fuel switching.
Sedangkan aksi mitigasi Reklamasi Pasca Tambang (akan dilaporkan sebagai capaian
sektor lahan). Sebagai bukti komitmen pemerintah Indonesia telah menuangkan
rencana pembangunan sektor energi dengan mempertimbangkan aspek pembangunan
berkelanjutan dengan mengedepankan penggunaan teknologi yang bersih dan efisien
seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 mengenai
Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan dipertajam dalam Peraturan Presiden Nomor 22
Tahun 2017 mengenai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dari sub sektor Energi
Baru Terbarukan (EBT).
Direktorat Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, dalam salah satu fungsinya
juga melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan melalui Dana
Alokasi Khusus (DAK) Bidang Energi Skala Kecil yang kegiatannya dilaksanakan oleh
Dinas ESDM Provinsi (2016-2018), dimana dalam DAK tersebut salah satu menu
pemanfaatannya adalah untuk pembangunan PLTMH. Pada tahun 2014 hingga tahun
20182 telah melaksanakan pembangunan berupa 27 unit Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro(PLTMH) dengan total kapasitas sebesar 1.443 kW.
Selain dari sektor pendanaan yang bersumber melalui APBN, Direktorat Aneka Energi
Baru dan Energi Terbarukan melakukan monitoring pembangunan PLTA, PLTM,
PLTMH yang dibangun oleh pihak swasta dan PLN, monitoring terhadap PLTA, PLTM,
PLTMH yang dibangun oleh pihak swasta, PLN, maupun BUMN lainnya. Adapun
berdasarkan monitoring yang telah dilakukan,kapasitas terpasang PLTA,PLTM, PLTMH
sampai dengan Desember 2019 adalah sebesar 5969.15 MW.
Selain dari sektor pendanaan yang bersumber melalui APBN, Direktorat Aneka Energi
Baru dan Energi Terbarukan juga melakukan monitoring terhadap PLTS yang dibangun
oleh pihak swasta, PLN, maupun BUMN lainnya. Adapun berdasarkan monitoring
yang telah dilakukan, kapasitas terpasang PLTS sampai dengan Desember 2019 adalah
sebesar 86.5 MW.
Adapun grafik capaian kapasitas dari PLTS dari tahun 2014 hingga tahun 2019 (semester
pertama) dapat dilihat pada gambar 12 di bawah ini.
3.078 3.633
1.630
6.160
4.896 4.614 4.350 3.833
3.956 13.252
2.178
5.557
3.136 4.688
3.633
3.467 4.974
4.272
1.367
1.846 21.558
Gambar 14. Penyebaran Lampu Tenaga Surya Hemat Energi Tahun 2019
2. Capaian Kinerja
Capaian kinerja Direktorat Jenderal EBTKE pada tahun 2015 sampai tahun 2019 dapat
dilihat pada tabel berikut:
2. Sektor Bioenergi
UNDANG-UNDANG PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN
1. UU No. 30/2007 tentang Energi. 1. PP 81/2012 tentang Pengelolaan 1. Perpres No. 3 tahun 2016 jo No. No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan
2. UU No. 18/2008 tentang Sampah Rumah Tangga dan Sampah Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pengelolaan Sampah. Sejenis Sampah Rumah Tangga. 2. Perpres No. 4 tahun 2016 jo No. Perpres No. 14 tahun 2017 tentang
3. UU No. 30/2009 tentang 2. PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK).
Ketenagalistrikan. Energi Nasional. 3. Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
4. Perpres No. 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi
Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah
Lingkungan.
3. Sektor Bioenergi
UNDANG-UNDANG PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN
1. UU No. 30/2007 tentang Energi. 1. PP No. 79/2014 tentang Kebijakan 1. Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
2. UU No. 39/2014 tentang Energi Nasional. 2. PP No. 66/2018 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 61/2015 tentang
Perkebunan. 2. PP No. 24/2015 tentang Penghimpunan Penghimpunan & Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dana Perkebunan.
Lembaga/ Biaya
Institusi Pihak
Lain
Penelitian
Pemanfaatan
Eksplorasi -
Eksploitasi
Badan Biaya
IPB
FS
dan
Pihak
Usaha Lain
Persetujuan
Harga
Tabel 11. Tabel alur proses pengusahaan PLT Bioenergi (Excess Power)
INSTANSI (Permen 50/2017 ps 8 & 9) (Permen 50/2017 ps 14) (Permen 10/2017) (Permen 35/2013 jo No. 12/2016)
Pemerintah
Izin Lokasi
Daerah
Proses pengadaan
Perhitungan BBN jenis biodeisel
Perjanjian
WƌŽLJĞŬsi Kerjasama dan mengacu pada
BPDPKS Ketersediaan dengan BU Pembayaran
/ŶƐĞŶƟĨ BBN
Permen ESDM No.
Dana BBN 41/2018 jo Permen
ESDM No. 45/2018
OFF WƌŽLJĞŬsi
Demand BBM KontraŬ Pencampuran
TAKER/ dan Kebutuhan dengan BU
BBN
dan Distribusi
BBN Ŭe end user
BU BBM
Persetujuan SLO
IUPTL
Harga &
Penugasan
Selain itu, sinkronisasi penyediaan data dan informasi juga sangat diperlukan untuk
menunjang terlaksananya program mandatory pemerintah terutama pada sektor panas
bumi, bioenergi, dan aneka EBT.
PERUMUSAN
KEBIJAKAN/REGULASI/PROGRAM/LAYANAN
Tabel 15. Tabel Sumber Daya Panas Bumi di Indonesia (Badan Geologi, 2019)
Untuk pemanfaatan non-listrik bioenergi dalam hal ini adalah biofuel (biodiesel dan
bioethanol) menggunakan bahan baku yang berasal dari industry kelapa sawit (CPO)
dan industry gula (molases), sedangkan untuk biogas skala rumah tangga/komunal,
bahan baku yang digunakan adalah limbah peternakan (sapi/kambing/babi/ayam).
Besaran nilai potensi yang dapat di-generate menjadi listrik hingga saat ini
belum terpetakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM.
Potensi bioenergi tersebar diseluruh Indonesia dengan berbagai macam jenis dan
pemanfaatannya. Pemanfaatan untuk pembangkit biomassa, baik untuk PLT Biomassa
maupun co-firing dengan batubara pada PLTU, menggunakan bahan baku dari hasil
industry/limbah pabrik kelapa sawit (EFB/tankos), pabrik pulp dan paper (black liquor),
Untuk pemanfaatan non-listrik bioenergi dalam hal ini adalah biofuel (biodiesel dan
bioethanol) menggunakan bahan baku yang berasal dari industry kelapa sawit (CPO)
dan industry gula (molases), sedangkan untuk biogas skala rumah tangga/komunal,
bahan baku yang digunakan adalah limbah peternakan (sapi/kambing/babi/ayam) dan
kotoran manusia (pondok pesantren).
Besaran nilai potensi yang dapat di-generate menjadi listrik hingga saat ini belum
terpetakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM sehingga
Direktorat Bioenergi berinisiasi untuk memetakan potensi tersebut, adapun hasil
pemetaan yang telah dilakukan saat ini adalah potensi yang berasal dari limbah industri
agro.
Berdasarkan kajian yang dilaksanakan oleh Direktorat Bioenergi tahun 2012 sebesar 32
GW dengan tabel rincian sebagaimana data berikut:
Potensi per komoditas yang saat ini sedang diinisiasi oleh Direktorat Bioenergi sebagai
berikut:
Gambar 18. Peta potensi energi surya Indonesia (P3TKEBTKE, KESDM, 2017)
Potensi energi ini berdasarkan seluruh luas daratan Indonesia yang telah dipotong
oleh luasan kawasan hutan Indonesia, untuk potensi teknis berdasarkan 15% efisiensi
konversi fotovoltaik.
Identifikasi potensi energi baru terbarukan dapat didefinisikan menjadi 5 (lima) jenis,
antara lain : potensi teoritis (potensi terukur berdasarkan data lapangan melalui sistem
permodelan), potensi teknis (potensi yang teridentifikasi apabila suatu teknologi dapat
diterapkan di lokasi tersebut), potensi praktis (potensi teridentifikasi apabila teknologi
dan alat pengukur bisa diterapkan dan dipasang di lokasi potens), potensi aksesibel
(potensi yang memperhitungkan demand, infrastruktur jalan, tata masyarakat dan
jaringan listrik eksisting) dan potensi ekonomis (potensi energi yang benar-benar bisa
dimanfaatkan).
Salah satu program yang harus dilakukan sebelum mengembangkan Pembangkit Listrik
Tenaga Bayu (PLTB) adalah pemetaan potensi energi angin di Indonesia. Potensi energi
angin di Indonesia umumnya berkecepatan antara 3 sampai 6 meter per detik (m/
detik). Hasil pemetaan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada
120 lokasi menunjukkan, beberapa wilayah di Indonesia memiliki kecepatan angin di
atas 5 m/detik, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan
Pantai Selatan Jawa.
Analisis potensi energi angin dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan data profil
energi angin secara spesifik untuk daerah-daerah terduga berpotensi dengan energi
angin, membantu daerah yang ingin mengembangkan pemanfataan sumber energi baru
terbarukan, dan mendorong komersialisasi energi angin di Indonesia. Pengukuran dan
analisis potensi angin pada daerah-daerah yang prospek secara ekonomi dan teknis
pada ketinggian 30-50 m antara lain di Sukabumi mempunyai kecepatan rata-rata
7m/s, Bantaeng 4,66 m/s, Jayapura 3,05 m/s, dan di Pulau Sangihe 6,4 m/s.
Sesuai dengan data yang disebutkan dalam RUEN, Indonesia memiliki total potensi
energi angin sebesar 60,6 GWp yang tercakup di 34 Provinsi. Peta penyebaran potensi
energi angin dapat dilihat pada gambar berikut:
Adapun potensi angin dengan kecepatan ≥ 4 m/s dapat dilihat pada Tabel 21 dibawah ini.
Dari tabel di atas potensi dari sub sektor EBT dan Efisiensi Energi menjadi andalan
sektor energi untuk mencapai target dari NDC Paris Agreement di tahun 2030. Berbagai
aksi mitigasi yang telah dilakukan oleh sektor energi khususnya di sub sektor EBTKE,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penerapan mandatori manajemen energi untuk pengguna padat energi;
2. Penerapan efisiensi peralatan rumah tangga melalui penerapan standar kinerja
energi minimum dan label tanda hemat energi;
3. Penyediaan dan Pengelolaan Energi Baru dan Energi Terbarukan;
a. PLT Panas Bumi
b. PLT Surya
c. PLT Air
d. PLT Mini/Mikro Hidro
e. PLT Bayu
f. PLT Bioenergi
g. PLT Bioenergi Lainnya.
4. Pembangunan Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU TS);
5. Retrofit Lampu Hemat Energi;
6. Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE).
Saat ini, sebagian area prospek panas bumi teridentifikasi berada pada zona inti yang
belum bisa dikembangkan melalui pemanfaatan jasa lingkungan hutan konservasi.
Kementerian ESDM dan Kementerian LHK sedang membahas penataan zonasi
agar dimungkinkan area prospek panas bumi yang berada pada hutan konservasi
dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Selain isu zonasi, kawasan hutan konservasi yang terletak di Pulau Sumatera
telah ditetapkan sebagai world heritage oleh UNESCO atas usulan Pemerintah
Indonesia yang dikenal dengan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS).
Sebagaimana ketentuan dari UNESCO untuk suatu kawasan yang ditetapkan
sebagai world heritage tidak dapat dilakukan kegiatan penambangan. Semantara
itu, regulasi di Indonesia telah menyatakan bahwa pemanfaatan panas bumi bukan
dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan.
d. Isu sosial
Isu sosial dapat berupa penolakan masyarakat sekitar terhadap pengembangan
energi panas bumi. Penolakan masyarakat yang sering terjadi dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis penolakan, yang pertama penolakan karena isu lingkungan,
yaitu masyarakat khawatir dengan adanya proyek panas bumi ketersediaan air akan
terganggu dan kekhawatiran kerusakan lingkungan. Penolakan yang kedua sering
terjadi karena isu tanah ulayat atau tanah leluhur, yaitu masyarakat menganggap
dengan adanya proyek panas bumi akan mengakibatkan hilangnya kesucian lokasi.
Bentuk penolakan lain dari masyarakat berkaitan dengan isu adat istiadat daerah
sekitar, masyarakat sekitar beranggapan dengan kehadiran proyek panas bumi
akan mengganggu budaya dan kebiasaan masyarakat.
Proses dinamika penerimaan masyarakat dalam pengembangan energi panas bumi,
sejak dalam tahap awal eksplorasi akan berdampak pada kepastian penerbitan izin
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Tahapan pengembangan energi panas bumi dibagi dalam tiga tahap utama, yaitu
tahap eksplorasi, eksploitasi dan operasi. Risiko pengembangan energi panas bumi
pada tahap eksplorasi masih sangat tinggi sehingga terbatasnya lembaga keuangan,
baik lokal dan internasional, yang mau memberikan pinjaman modal. Pengembang
energi panas bumi harus menggunakan modal sendiri (equity) untuk melakukan
kegiatan eksplorasi. Oleh karena itu, badan usaha yang dapat melaksanakan proyek
panas bumi sesuai dengan tata waktu pengembangan yang ideal membutuhkan
kekuatan finansial yang sehat.
b. Biofuel
1. Kapasitas produksi
1). Biodiesel : Kesiapan produsen FAME pada tahun 2019 untuk pengadaan
biodiesel 2020 terbatas. Diharapkan penambahan kapasitas pabrik FAME
terjadi pada 2020. Demand FAME BU BBM per shipment impor Solar
tidak imbang dengan produksi bulanan BU BBN.
2). Bioetanol : Saat ini hanya terdapat 2 BU BBN dengan kapasitas total
40.000 kL
2. Pendanaan/Insentif
1). Biodiesel : Volume penyaluran yang semakin besar dan juga terjadinya
selisih antara HIP Biodiesel dengan HIP Solar yang meningkat
disebabkan oleh harga CPO yang saat ini sedang tinggi dan harga
crude yang masih stabil (belum mengalami kenaikan yang signifikan).
Hal tersebut menyebabkan dibutuhkannya pendanaan insentif yang
semakin besar
2). Bioetanol : Tidak tersedianya insentif untuk menitip selisih harga
gasoline dan bioetanol.
3. Bahan Baku : kurangnya jaminan ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan
(molasses untuk bioetanol dan CPO untuk biodiesel).
4. Infrastruktur: Perlunya peningkatan infrastruktur penyaluran khususnya jetty,
tangki, perpipaan, dan metering system sehingga dapat mengurangi biaya
demurage dan roundtrip days (RTD) kapal. Diperlukannya laboratorium uji
yang tersertifikasi / telah melakukan uji korelasi pada setiap titik serah demi
memastikan spesifikasi B100 maupun Bxx.
5. Harga : Harga biofuel lebih tinggi dari Bahan bakar fosil karena faktor biaya Bahan
baku dan biaya teknologi proses pengolahan. Bahan baku CPO untuk biodiesel
dan Molases untuk Tetes tebu mendominasi dalam komponen harga indeks pasar.
Sehingga kepastian harga sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku.
c. Biogas
1. Pendanaan melalui APBN maupun APBD yang masih terbatas untuk
pengembangan program biogas
2. Kurangnya sinkronisasi dan koordinasi antar Kementerian/Lembaga terkait
pengembangan biogas
3. Implementasi pembangunan biogas kurang berkelanjutan yang bisa
diintegrasikan dengan kegiatan produktif lainnya
4. Edukasi masyarakat masih kurang untuk pemanfaatan biogas
Tantangan berikutnya adalah belum digunakannya smart grid di Indonesia. Hal ini
mengakibatkan pengaturan kebutuhan dan pasokan listrik secara otomatis belum dapat
dilakukan. Tantangan lain adalah tidak seusainya penyelesaian jadwal pekerjaan. Dalam
suatu kawasan terdapat rencana supply dan demand energi. Pada kondisi tersebut, baik
dari sisi target supply dan demand meleset dari yang telah direncanakan baik karena
wilayah industri yang belum terbangun karena masih pengurusan tata ruang maupun
pembebasan lahan, di lain pihak pengembangan pembangkit EBT juga tidak segera
memulai kegiatannya karena ketidakjelasan demand atau proyeksi kebutuhan yang
tidak sesuai perencanaan.
Faktor terakhir yang tidak kalah penting adalah perlu didukungnya peran pengawasan
pemerintah dalam pengembangan EBT. Saat ini proses bisnis pembangkit EBT lebih
banyak dilakukan secara B to B antara Pengembang dengan PLN, dan belum diaturnya
kewajiban pelaporan terintegrasi yang melibatkan Ditjen EBTKE. Hal ini berdampak
pada kurang optimalnya fungsi pengawasan yang akan berdampak pada tingkat
kevalidan data.
Hal ini membuat potensi energi air yang dapat dimanfaatkan Indonesia juga cukup besar,
tetapi hal ini tidak sejalan dengan pengembangan pemanfaatan energi air di Indonesia.
Tenaga Surya
Lokasi geografis Indonesia yang berada di wilayah khatulistiwa membuat wilayah
Indonesia mendapatkan sinar matahari yang cukup sepanjang tahun. Hal ini membuat
potensi energi surya yang dapat dimanfaatkan Indonesia juga cukup besar, tetapi hal
ini tidak sejalan dengan pengembangan pemanfaatan energi surya di Indonesia. Dari
207.898 MWp potensi energi surya di Indonesia, baru sebesar 135,01 MWp yang telah
dimanfaatkan, hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya harga jual listrik,
regulasi pengusahaan dan industri dalam bidang energi surya dalam negeri yang belum
mendukung penuh, misalnya untuk industri modul surya dalam negeri yang belum
menyentuh sisi hulu, sebagian besar produsen modul surya memproduksi modul surya
dari tahap assembling walaupun sudah ada yang memulai dari tahap printing cell. Selain
itu regulasi atau kebijakan fiskal dan non fiskal di Indonesia yang belum optimal dalam
mendukung pengembangan energi surya.
Pengembangan dan pemanfaatan energi surya yang telah dilakukan hingga saat ini
sebagian besar diperuntukan untuk pembangkit listrik dengan menggunakan solar
panel atau fotovoltaik, sedangkan masih terdapat teknologi lainnya yang belum
dikembangkan salah satunya teknologi dengan memanfaatkan solar thermal. United
States Energi Information Administration mengklasifikasikan teknologi solar thermal
menjadi 3 bagian yaitu :
1) Solar thermal dengan suhu rendah;
Disisi lain pengembangan energi surya juga masih terkendala sumber daya manusia,
Pemerintah harus menyiapkan sumber daya manusia sebagai tenaga ahli dan terampil.
Hal lainnya yaitu kesiapan sistem dan kondisi jaringan distribusi PLN untuk menerima
pembangkit yang bersumber dari energi surya juga perlu ditingkatkan, agar pemanfaatan
energi surya untuk listrik dapat dilakukan dengan optimal dengan tidak mengganggu
sistem yang sudah ada.
Tenaga Angin/Bayu
Pengembangan energi angin di Indonesia dirasakan masih belum optimal, hal ini
disebabkan beberapa kendala antara lain:
1. Terdapat banyak lokasi potensial yang belum termanfaatkan, belum teridentifikasi,
belum terukur serta jauh dari pusat beban.
2. Teknologi turbin angin dan pasar dalam negeri untuk turbin angin skala kecil
belum berkembang.
3. Umur teknologi sangat tergantung material pembuat komponen, kondisi dan iklim
lingkungan lokasi pemasangan. Korosif dan lembab mempengaruhi umur turbin
angin.
4. Investasi PLTB yang relatif masih tinggi dibanding dengan pembangkit listrik
konvensional.
5. Regulasi fiskal dan non fiskal belum dapat mendukung investasi terkait
pengembangan energi angin secara optimal.
6. Untuk menerima pembangkit listrik yang sifatnya intermitten pada penetrasi
yang sedang-tinggi, dalam sistem harus disediakan pembangkit peaker sebagai
compensator atau buffer sebagai sistem penyimpan energi untuk menjaga
kestabilan sistem.
7. Jumlah dan kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan pengoperasian PLTB masih terbatas.
8. Program dan anggaran Pemerintah dalam hal pengukuran potensi, penelitian dan
pengembangan energi angin masih terbatas.
9. Keterbatasan infrastruktur pendukung pada lokasi potensial
A. VISI
Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur,
Kementerian ESDM khususnya Direktorat Jenderal EBTKE terus melakukan pembenahan
dan penyempurnaan di seluruh aspek sub sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi
Energi. Dengan mempertimbangkan capaian kinerja sub sektor EBTKE yang masih dapat
dioptimalkan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi, serta memperhatikan peluang
dan aspirasi dari seluruh pihak dalam hal mendukung visi dan misi Presiden Republik
Indonesia, maka tema visi Direktorat Jenderal EBTKE tahun 2020-2024 adalah :
Tema ini dibentuk dari perspektif kelembagaan secara utuh, dimana Direktorat Jenderal
EBTKE mengambil posisi sebagai penggerak utama transformasi energi dengan pemanfaatan
energi yang ramah lingkungan dalam mewujudkan pengelolaan energi baru terbarukan yang
optimal demi terwujudnya kemandirian dan ketahanan energi dengan tujuan utama untuk
kesejahteraan Rakyat yang adil dan merata.
Kementerian ESDM khususnya Direktorat Jenderal EBTKE melalui visi 2020-2024 terus
berkomitmen dan berusaha dengan baik menjalankan amanah dalam mengoptimalkan
pengelolaan energi yang telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat dan sektor lainnya serta
menjadi modal pembangunan nasional.
B. MISI
Adapun misi Direktorat Jenderal EBTKE sebagai upaya sistemis yang dapat dilakukan dalam
mewujudkan tercapainya visi dan misi Presiden Republik Indonesia adalah :
1. Meningkatkan kualitas SDM melalui penerapan nilai-nilai KESDM (Jujur, Profesional,
Melayani, Inovatif dan Berarti);
2. Mengoptimalkan pengelolaan dan meningkatkan nilai tambah energi baru terbarukan
yang berkelanjutan;
3. Mengakselerasi pemanfaatan energi baru, energi terbarukan dan konservasi energi;
4. Menjamin ketersediaan energi nasional;
5. Meningkatkan aksesibilitas energi baru terbarukan dengan harga terjangkau kepada
seluruh masyarakat;
6. Meningkatkan peran konservasi energi dalam hal komitmen pemerintah dalam
penurunan CO2 secara massif dan terstruktur.
Dalam mengemban amanah besar sebagai penggerak utama pengelolaan energi nasional
dalam rangka mewujudkan visi dan misi sampai dengan tahun 2024, Kementerian ESDM
terus bertransformasi ke arah yang lebih baik untuk menjadi sebuah institusi pemerintahan
yang profesional, berkualitas, bermartabat, terpercaya, dihormati, dan disegani yang
didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
C. NILAI-NILAI ORGANISASI
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1808 K/07/MEM/2015 tentang Nilai-nilai
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ditetapkan bahwa nilai-nilai KESDM terdiri
atas jujur, professional, melayani, inovatif dan berarti.
Profesional
Bekerja dengan semangat, cermat, akuntabel, disiplin, akurat, dan tuntas atas dasar
kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab, komitmen yang tinggi, membangun
sinergi internal dan eksternal, serta mampu melihat perkembangan jauh ke depan.
Melayani
Memberikan layanan prima dengan memahami kebutuhan pemangku kepentingan,
dilakukan dengan sepenuh hati, proaktif, profesional, simpel, efisien, dan tepat waktu dalam
rangka memenuhi kepuasan internal dan publik.
Inovatif
Berwawasan terbuka, selalu belajar untuk peningkatan diri, memiliki ide baru yang
bermanfaat, mampu membuat solusi alternatif dalam pekerjaan untuk mempercepat
tercapainya target kinerja.
Berarti
Menjadi manusia yang memanusiakan manusia, memberi manfaat bagi diri sendiri, orang
lain, Kementerian ESDM, masyarakat, bangsa dan negara, sehingga menjadi teladan, tempat
bertanya, mampu memimpin, dan memecahkan masalah.
Adapun budaya organisasi yang dikenal dengan nama 6R yang terdiri dari Ramah, Rajin,
Resik, Ringkas, Rapi, dan Rawat. Diharapkan dengan budaya tersebut seluruh pegawai dapat
menciptakan lingkungan kerja yang ramah dan nyaman.
D. TUJUAN
Dalam mewujudkan visi dan misi Kementerian ESDM 2020-2024, dapat dirumuskan tujuan
yang akan dicapai yaitu:
1. Optimalisasi pengelolaan energi baru terbarukan yang berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan nilai tambah;
2. Peningkatan kemandirian dan ketahanan energi;
3. Penguatan kapasitas organisasi dalam rangka menjadi penggerak utama sub sektor
EBTKE;
4. Peningkatan peran pelayanan konservasi energi dalam penurunan CO2 di Indonesia
1. Sasaran strategis yang ingin dicapai dalam tujuan optimalisasi pengelolaan energi baru
terbarukan yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan nilai tambah adalah:
a. Optimalisasi kontribusi sub sektor EBTKE yang bertanggung jawab dan
berkelanjutan;
b. Perumusan kebijakan dan regulasi sub sektor EBTKE yang berkualitas;
c. Layanan sub sektor EBTKE yang optimal.
2. Sasaran strategis yang ingin dicapai dalam tujuan peningkatan kemandirian dan
ketahanan energi adalah Meningkatnya kemandirian dan ketahanan energi nasional.
3. Sasaran strategis yang ingin dicapai dalam tujuan penguatan kapasitas organisasi dalam
rangka menjadi penggerak utama sub sektor EBTKE adalah:
a. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian sub sektor EBTKE yang efektif;
b. Terwujudnya birokrasi yang efektif, efisien, dan berorientasi pada layanan prima;
c. Organisasi yang fit dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul;
d. Optimalisasi teknologi informasi yang terintegrasi;
e. Pengelolaan sistem anggaran yang optimal.
U ntuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran strategis Direktorat Jenderal EBTKE, peran
pemerintah sebagai pembuat kebijakan sangat diperlukan dalam hal ini sektor EBTKE,
diantaranya sebagai berikut:
1. Mendorong peningkatan kapasitas unit-unit PLT EBT baik yang prosesnya sedang berjalan
(project pipeline) sesuai RUPTL maupun yang telah dibangun (eksisting).
c. PLTS
- Sinergi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan amanat
RUEN yang memberlakukan kewajiban pemanfaatan sel surya minimum sebesar
30% dari luas atap bangunan Pemerintah dan 25% dari luas atap bangunan rumah
mewah, kompleks perumahan, apartemen melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
- Sinergi dengan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewajiban pemasangan
PLTS Atap yang telah diamanatkan dalam Peraturan Daerah;
- Pengembangan Klaster PLTS / PLT Hybrid untuk melistriki kegiatan ekonomi
masyarakat berbasis sumber daya setempat
- Pengembangan green dan smart commercial building;
- Pengembangan PLTS di lahan-lahan pertanian dan perikanan;
- Pengembangan green dan ecotourism serta smart regions/ cities.
d. PLT Bioenergi
- Mengembangkan program co-firing (pelet biomassa) di PLTU;
- Mengembangkan dedicated PLTBn CPO
- Meningkatkan investasi PLTBn baru berbahan bakar CPO;
- Pengembangan PLT Biomassa skala kecil dan tersebar;
- Pengembangan hutan energi untuk listrik dan BBN serta pemanfaatan lahan-lahan
sub optimal untuk biomassa melalui kerjasama dengan KLHK, K/L terkait dan
Pemda;
- Mengembangkan Bio CNG sebagai bahan bakar alternatif pengganti gas, pemanfaatan
biogas terkompresi untuk substitusi bahan bakar PLTD/PLTG/PLTMG;
- Menciptakan pasar, pemerintah mewajibkan PT. PLN untuk membeli listrik dari
PLTSa;
- Memberi dukungan dan fasilitasi pada pengembangan PLTSa;
- Melaksanakan pembinaan dan pengawasan pada pengembangan PLTSa;
- Penetapan tarif listrik untuk proyek percepatan PLTSa;
- Mendorong inovasi teknologi dan implementasi teknologi ramah lingkungan;
- Menyiapkan regulasi pendukung untuk mendorong pengembangan bioenergi;
- Bekerjsama dengan lembaga internasional/donor/institusi finansial lainnya;
- Memberikan insentif dan menyederhanakan perizinan;
- Memfasilitasi pendanaan proyek.
4. Dukungan Kebijakan dan perbaikan tata kelola dalam rangka upaya percepatan proyek
EBTKE.
1. Dukungan kebijakan dan perbaikan tata kelola dalam rangka upaya percepatan proyek
EBTKE :
2. Kemudahan Perizinan
3. Penerapan system perizinan online di KESDM;
4. Perbaikan data dan informasi;
5. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan fasilitasi problem solving untuk proyek-proyek
panas Bumi;
Dengan melihat capaian yang telah dilaksanakan sampai dengan fase ketiga dari konsep
pembangunan jangka panjang yang tertuang dalam RPJPN 2005-2025, serta melihat
tantangan, peluang dan daya dukung yang dimiliki oleh bangsa ini, maka diperlukan
penerapan sasaran strategis yang lebih agresif serta sinergitas yang baik antar Kementerian/
Lembaga untuk mewujudkan misi RPJPN 2005-2025.
Wujud masyarakat Indonesia yang akan dicapai adalah Mandiri yaitu setiap masyarakat
Indonesia mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan
mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Yang kedua adalah Maju yaitu
kualitas individu dari setiap masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang diukur
dari kualitas SDM, tingkat kemakmuran, dan kemantapan sistem dan kelembagaan politik
dan hukum. Yang ketiga adalah Adil yaitu setiap masyarakat Indonesia akan diperlakukan
sama dan sederajat tanpa adanya pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apa pun, baik
antar individu, gender, maupun wilayah. Dan yang terakhir adalah Makmur yaitu setiap
masyarakat Indonesia terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan
makna dan arti penting serta warna bagi aspek kehidupan sosial.
Terdapat 4 (empat) pilar dari RPJMN ke IV tahun 2020-2024 yang merupakan amanat
RPJPN 2005-2025 untuk mencapai tujuan utama dari rencana pembangunan nasional
periode terakhir yaitu:
1. Kelembagaan politik dan hukum yang mantap
2. Kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat
3. Struktur ekonomi yang semakin maju dan kokoh
4. Terwujudnya keanekaragaman hayati yang terjaga
Agenda pembangunan yang terkait langsung dengan tugas dan fungsi Kementerian ESDM
adalah:
1. Agenda 1: Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas;
2. Agenda 2: Mengembangkan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan dan Menjamin
Pemerataan;
3. Agenda 3: Meningkatkan SDM berkualitas dan berdaya saing
4. Agenda 5: Memperkuat Infrastruktur Mendukung Pengambangan Ekonomi dan
Pelayanan Dasar; dan
5. Agenda 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan
Perubahan Iklim.
Pondasi makro ekonomi yang kokoh dengan memperkuat kualitas investasi beserta
inovasi dalam negeri merupakan arah dari rencana pembangunan ekonomi Indonesia.
1. Sektor ekonomi Indonesia akan dipacu untuk terbuka dengan perdagangan global
melalui peningkatan daya saing ekspor, produktivitas, dan keterkaitan hulu-hilir
industri,
2. Peningkatan daya saing sektor pariwisata melalui peningkatan infrastruktur dan
citra,
3. Membangun ekosistem yang mendukung peningkatan daya saing ekonomi kreatif,
4. Peningkatan iklim investasi untuk peningkatan daya saing perekonomian,
5. Mendorong pengembangan perpajakan digital dan peningkatan jasa keuangan.
Arah Kebijakan
Secara umum arah kebijakan pokok pembangunan berbasis kewilayahan untuk
kurun waktu 2020-2024 mencakup pembangunan desa terpadu dan pengembangan
kawasan perdesaan, kawasan transmigrasi, kawasan perbatasan, dan daerah tertinggal
yang difokuskan pada pemenuhan pelayanan dasar, peningkatan aksesibilitas, dan
pengembangan ekonomi yang mendukung pusat pertumbuhan wilayah.
1. Infrastruktur Perkotaan
Energi dan Listrik Berkelanjutan untuk Perkotaan Arah kebijakan dan strategi
dalam rangka pemenuhan energi dan listrik berkelanjutan untuk perkotaan adalah:
a. Pengembangan pembangkit berbasis EBT, melalui pengembangan dan
pemanfaatan PLTSa untuk pengolahan sampah yang ramah lingkungan dan
menghasilkan produk samping listrik, dan pengembangan waste to energi;
dan
b. Memudahkan akses pendanaan dan insentif untuk menurunkan biaya modal
bagi pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).
c. Penerapan smart building untuk bangunan Gedung perkotaan.
Kebijakan pembangunan rendah karbon akan diarahkan pada bidang lahan, energi
dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk. Peningkatan
ketahanan iklim dan bencana diarahkan melalui:
1. Penguatan mitigasi bencana;
2. Penguatan kapasitas penanggulangan bencana;
3. Peningkatan sarana dan prasarana kebencanaan;
4. Penanganan darurat dan pemulihan pascabencana; serta
5. Penguatan manajemen kebencanaan.
Arah Kebijakan
Arah kebijakan untuk prioritas nasional membangun lingkungan hidup, meningkatkan
ketahanan bencana, dan perubahan iklim terdiri dari:
Untuk periode 2020-2024 kebijakan sub sektor energi dan sumber daya mineral difokuskan
pada pembangunan energi yang berkelanjutan dan berkeadilan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi serta mendorong pengembangan industri. Adapun arah kebijakan
diprioritaskan pada ketersediaan energi dengan memaksimalkan pemanfaatan EBT,
keadilan sosial di bidang energi yang menekankan kepada ketersediaan energi dengan harga
terjangkau dan kegiatan ekstraktif yang ramah lingkungan.
Strategi kementerian ESDM dalam rangka mendukung arah kebijakan sektor ESDM yang
terutama sub sektor EBTKE tercakup dalam 4 (empat) agenda pembangunan adalah sebagai
berikut:
PLTS
Bioenergi
- Melakukan revitalisasi PLTMH yang telah dibangun dengan dana APBN KESDM,
untuk mengoptimalkan penyerapan akses energi ke masyarakat di daerah 4T;
- Menyusun prioritas pengembangan PLTA/M/MH berdasarkan progres maupun
kelengkapan perizinan dan kesiapan pendanaan, serta prioritas untuk proyek/
perusahaan yang telah lulus DPT;
- Mendorong implementasi PLTA/M/MH yang terdapat pada rencana pembangunan
pembangkit pada RUPTL melalui monitoring dan fasilitasi;
- Pemanfaatan waduk/bendungan eksisting sebagai infrastruktur Pembangkit Listrik
Tenaga Air. Pembangunan pembangkit dengan memanfaatkan waduk/bendungan
eksisting akan mempercepat realiasi penambahan kapasitas. Dimana dapat
meminimalisir resiko adanya permasalahan pembebasan lahan, resettlement, serta
berlapisnya perizinan. Selain itu konstruksi akan lebih singkat dan nilai investasi
pekerjaan sipil menjadi lebih kecil;
- Menginisiasi dan mendorong kerjasama PLN-PUPR dalam pemanfaatan bendungan
eksisting maupun bendungan baru sebagai pembangkit listrik untuk mempercepat
implementasi PLTA/M milik PLN;
- Mendorong implementasi ekspansi kapasitas PLTM eksisting yang telah berkontrak
dengan PLN dan telah siap melaksanakan ekspansi;
- Mendorong pemanfaatan PLTA untuk pemenuhan kebutuhan industri di wilayah KI/
KEK, khususnya pemenuhan kebutuhan industri smelter di Sulawesi dan Kalimantan;
- Memberikan fasilitasi kepada pengembang, dalam hal:
• pemberian insentif fiskal (pemberian tax allowance, tax holiday, pengurangan
pajak impor, pembebasan bea masuk, dll.) .
• kemudahan akses pendanaan internasional
- Pengembangan akses pembiayaan dengan:
• penyediaan pinjaman lunak (suku bunga lebih rendah dan tenor lebih panjang)
• Pelatihan bagi pengembang dalam membuat proposal pendanaan yang baik
sehingga meningkatkan peluang untuk mendapatkan fasilitas pendanaan
• Pelatihan bagi sumber daya manusia di kalangan perbankan agar dapat melakukan
penilaian risiko kredit yang lebih baik/fair dari sektor PLTM/MH
- Melakukan sinergi program pengembangan PLTA/M/MH dengan PLN, Pemda, dan
K/L lainnya;
- Mendorong peran serta Pemda serta K/L lainnya dalam impelementasi pengusahaan
PLTA/M/MH khususnya terkait perizinan dan pembebasan lahan;
- Menyusun rancangan perubahan kebijakan pengusahaan EBT, termasuk salah
satunya pengusahaan PLTA/M/MH, yang meliputi mekanisme pengusahaan dan
harga untuk mempercepat implementasi bauran energi air;
PLTB
PLT Hybrid
a. Pengembangan microgrid PLT hybrid untuk klaster ekonomi khususnya di daerah
pulau terdepan dan pulau-pulau kecil antara lain di daerah Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku dan
Maluku Utara terutama di Halmahera dan Bacan.
1. PV Rooftop
a. Pembangunan PV Rooftop di daerah dalam rangka peningkatan pemanfaatan
EBT;
b. Sosialisasi tax allowance dan tax holiday kepada pengembang;
c. Tersedianya pinjaman dengan suku bunga rendah dan tenor yang panjang;
d. Standardisasi format PPA dalam mata uang rupiah yang dikaitkan dengan
mata uang USD;
e. Mendorong penguasaan industri dalam negeri, yang terdiri dari modul surya,
baterai, dan inverter;
f. Mendorong peran pemerintah dalam penyediaan lahan bagi pengembang
PLTS;
g. Mendorong pemerintah segera mewujudkan skema carbon trading;
h. Pemasangan PLTS Atap di gedung pemerintah dan gedung BUMN, di rumah
pelanggan golongan tarif R1 (pelanggan 450 VA dan 900 VA), pada pelanggan
PLN golongan >1300 VA dengan diberikan insentif atau skema pembiayaan
yang menarik (contoh diskon PBB, rebate dan kredit dari bank), di gedung
komersial dan dalam pembangunan rumah baru (program PUPR dan REI);
i. Pemasangan PLTS melalui sinergi BUMN untuk penerangan jalan, bandara,
SPBU, stasiun, tambang, pabrik BUMN, perkebunan, pelabuhan, gudang
BULOG dan kantor BUMN.
C. KERANGKA REGULASI
Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran strategis Kementerian ESDM, akan diusulkan
rancangan peraturan dan regulasi yang menjadi bidang tugas Kementerian ESDM
berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan akibat adanya perubahan Arah Pembangunan
Nasional, Indikator Kinerja Utama KESDM, dan perubahan kelembagaan. Usulan peraturan
dan regulasi terdiri dari Rancangan Undang-Undang (RUU), RPP (RPP), Rancangan
Peraturan Presiden (RPerpres) dan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) antara lain:
D. KERANGKA KELEMBAGAAN
Kerangka kelembagaan digunakan sebagai perangkat organisasi yang melaksanakan tugas
untuk mencapai visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, serta program Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral ditetapkan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber
daya mineral untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud, Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
1. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan
pengawasan minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, energi
baru, energi terbarukan, konservasi energi, dan geologi;
2. pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan
minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, energi baru, energi
terbarukan, konservasi energi, dan geologi serta pengelolaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak sektor energi dan sumber daya mineral sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
3. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan kebijakan di bidang
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan,
mineral dan batubara, energi baru, energi terbarukan, konservasi energi, dan geologi;
MENTERI
Staf Ahli
WAKIL MENTERI
DITJEN
DITJEN DITJEN DITJEN BADAN
ENERGI BARU, BADAN BADAN
MINYAK DAN KETENAGA MINERAL DAN TERBARUKAN, DAN PENGEMBANGAN
GEOLOGI LITBANG ESDM
GAS BUMI LISTRIKAN BATUBARA KONSERVASI E NERGI SDM ESDM
PUSDATIN PPBMN
Penataan organisasi telah menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk
membentuk sebuah kepemerintahan yang baik (good governance). Penataan organisasi
yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat struktur organisasi ramping, sehingga
kelembagaan menjadi lebih efektif dan efisien.
Dalam rangka penjabaran kondisi yang diharapkan serta strategi untuk mencapai tujuan dan
sasaran pada Renstra 2020-2024 Direktorat Jenderal EBTKE diperlukan strategi penyusunan
arah kebijakan yang tepat sasaran dan dapat dinikmati seluruh kalangan masyarakat di
Indonesia. Arah kebijakan dan strategi Direktorat Jenderal EBTKE berdasarkan unit kerja
adalah sebagai berikut:
Berdasarkan situasi tersebut, perlu diusulkan enam strategi dalam rangka optimalisasi
potensi energi panas bumi dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Enam strategi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemberian insentif sebagai Levelized Cost of Electricity (LCOE) sebagai perwujudan
reimbursement terhadap biaya-biaya yang pada hakikatnya bukan tanggung jawab
Pengembang;
2. Fasilitasi akses pendanaan proyek;
3. Regulasi dan advokasi untuk pemanfaatan di kawasan konservasi;
4. Social-engineering untuk dukungan masyarakat;
5. Pengeboran eksplorasi oleh pemerintah yang diawali kegiatan akuisisi data geosains;
6. Penyusunan regulasi tentang harga listrik dari PLTP untuk meningkatkan kepastian
investasi dan mencapai keekonomian proyek;
7. Penciptaan demand dengan pengembangan cluster ekonomi; dan
8. Integrasi dan kolaborasi dalam sistem pengelolaan dan perbaikan tata kelola.
Pengembangan energi panas bumi diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap
kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan lingkungan, peningkatan ekonomi lokal,
peningkatan investasi, dan perbaikan neraca perdagangan.
Pemanfaatan Biofuel 5 tahun ke depan masih berbasis pada kelapa sawit. Peningkatan
produktivitas perkebunanan kelapa sawit menjadi salah satu aspek penting dalam
pengembangan biofuel di Indonesia.
Pada bulan Januari 2020, Program Biodiesel B30 juga telah dilaksanakan sehingga
Indonesia menjadi negara yang terdepan dalam pemanfaatan biodiesel di Dunia.
Untuk mendukung keberlanjutan dari program biodiesel ini, diperlukan pembangunan
sarana pendukung distribusi bahan bakar nabati yang mumpuni. Tidak berhenti pada
B30, saat ini KESDM juga sedang menyiapkan implementasi Program Biodiesel B40
dan B50. 5 tantangan utama pada pengembangan ini adalah pada aspek Pemilihan
Teknologi, Teknis, Finansial, Feedstock, dan Infrastruktur Pendukung. Upaya yang
perlu dilakukan diantaranya adalah meningkatkan kapasitas produksi Badan Usaha
Bahan Bakar Nabati, memperbaiki spesifikasi biodiesel, memperhatikan ketersediaan
insentif fund, meningkatkan sarana dan prasarana pada badan usaha bahan bakar
nabati, serta melaksanakan uji jalan untuk seluruh sektor pengguna.
Selain itu, bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit juga disiapkan untuk menggantikan
bahan bakar minyak pada PLTD, yaitu PLTBn berbahan bakar CPO. Pengembangan dan
penyempurnaan terkait hal ini yang akan diimplementasikan pada PLTD eksisting PT.
PLN (Persero) masih terus dilaksanakan dengan dikoordinasikan dengan stakeholder
terkait.
Selain PLT Biomassa perlu juga mengembangkan PLTSa dimana perlu adanya penciptaan
pasar, Pemerintah mewajibkan PT. PLN (Persero) untuk membeli listrik dari PLTSa,
memberikan dukungan dan fasilitasi pada pengembangan PLTSa, dan melaksanakan
pembinaan dan pengawasan pada pengembangan PLTSa.
Dalam lain hal, bahan bakar alternatif pengganti gas perlu pula mengembangkan bio-
CNG dimana merupakan bentuk biogas yang telah dibersihkan (gas metan murni)
dimana gas-gas yang tidak dikehendaki telah dibuang untuk menghasilkan metan lebih
dari 95% yang dapat digunakan untuk memasak, bahan bakar kendaraan dan industri.
Berbagai permasalahan yang menjadi kendala dalam pengembangan energi air saat ini
harus dicarikan solusinya, melihat kondisi dan kendala dalam pengembangan energi
Energi Angin/Bayu
Pengembangan energi angin di Indonesia pada hakikatnya bertujuan untuk
memaksimalkan pemanfaatan potensi energi angin di Indonesia sebesar 1.800 MW
sesuai target pemanfaatan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar
23% pada tahun 2025 yang dijabarkan kedalam target-target yang telah ditetapkan
dalam Rencana Umum Energi Nasional dapat tercapai.
Bebagai permasalahan yang menjadi kendala dalam pengembangan energi angin saat
ini harus dicarikan solusinya, melihat kondisi dan kendala dalam pengembangan energi
angin saat ini, maka kondisi yang diharapkan atau sasaran pengembangan energi angin
yang dapat dipetakan dalam roadmap ini antara lain yaitu:
4. Sektor Konservasi
Dalam mencapai sasaran penurunan intensitas energi final sebesar 1% (satu persen)
per tahun dan untuk mencapai target Renstra 2019-2024, perlu disusun strategi
pelaksanaan kegiatan konservasi energi. Strategi penerapan konservasi energi terdiri
dari 7 (tujuh) strategi antara lain:
a. pendekatan lintas sektoral;
b. peningkatan kesadaran pengguna Sumber Energi dan Pengguna Energi;
c. penurunan pemakaian Sumber Energi dan/atau Energi dengan mempertimbangkan
daya saing dan produktivitas;
d. penerapan teknologi efisien Energi;
e. peningkatan efisiensi peralatan pemanfaat energi;
f. peningkatan kapasitas sumber daya manusia; dan
g. diversifikasi Energi dan substitusi bahan bakar.
Dalam rangka pengembangan Panas Bumi tidak terlepas dari kerangka regulasi
yang baik. Telah dilakukan koordinasi yang intensif dengan para pengembang untuk
menginventarisir hambatan-hambatan pengembangan proyek panas bumi, disepakati
bahwa hambatan utama dalam pengembangan proyek panas bumi yaitu perlunya
penyempurnaan regulasi untuk dapat mengakomodir nilai keekonomian yang
diharapkan oleh para pengembang.
Keekonomian proyek PLTP menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan
panas bumi di Indonesia. Menurut Permen ESDM 50/2018 tarif pembangkit listrik
diwajibkan mengacu pada nilai Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkitan listrik
setempat. Tarif PLTP dapat mengikuti 100% nilai BPP setempat atau sesuai dengan
kesepakatan bisnis dengan PLN jika nilai BPP setempat di bawah nilai BPP Nasional.
Proyek PLTP memiliki kebutuhan investasi dan risiko pengembangan yang sangat
besar di awal tahap pengembangan. Adanya bantuan/insentif pembangunan
infrastruktur sangat membantu kelayakan dan keberlangsungan pengembangan
proyek PLTP. Untuk mengurangi beban APBN/APBD terhadap pembangunan
infrastruktur tersebut, skema insentif dapat berupa reimbursement terhadap
selisih tarif keekonomian proyek dan kemampuan beli PLN secara detail untuk
masing-masing proyek PLTP.
2. Insentif lingkungan
Pengembangan proyek PLTP yang ramah lingkungan dapat mengurangi emisi GRK
dengan laju 0,77 ton CO2e/MWhe pada setiap produksi listriknya. Karena emisi
GRK yang lebih rendah dibandingkan PLTU atau PLTD, suatu insentif lingkungan
dapat diberikan sebagai bantuan terhadap kelayakan proyek PLTP.
Selain itu, risiko pengembangan proyek panas bumi di awal tahap pengembangan
juga membuat proyek PLTP sulit mendapatkan dukungan pendanaan dari bank
atau institusi keuangan lainnya. Proses Financial Close umumnya dapat dicapai
setelah pembuktian 40% keberadaan energi panas bumi (uap) di kepala sumur dari
total kapasitas pengembangan proyek.
2 RPermen tentang Perluasan dan redefinisi Bahan Komoditi yang diatur tidak
Perubahan atas Permen Bakar Nabati terutama karena hanya Biodiesel, bioethanol
ESDM No 32 Tahun 2008 perkembangan teknologi terkait dan biooil. Hal yang diatur
tentang Penyediaan, Bahan Bakar Nabati. terkait tata niaga Bahan
Pemanfaatan dan Tata bakar Nabati padat, cair dan
Niaga Bahan Bakar Nabati gas sebagai Bahan Bakar
(Biofuel) sebagai Bahan Lainnya
Bakar Lainnya
Usulan pada alenia pertama dapat dilakukan dengan cara membuat PMK yang
baru khusus bagi pengembangan energi baru terbarukan atau merevisiPMK Nomor
21/2010
c. Kesediaan dan kesiapan grid
Kuota Energi Terbarukan diutamakan sebelum pembangkit fosil pada RUPTL.
Pengutamaan EBT sesuai amanah UU Energi diimplementasikan sampai ke RUPTL
dengan keterlibatan penuh Ditjen EBTKE dalam proses pengadaanya. Untuk itu
diperlukan kejelasan kemampuan PLN dalam mengerjakan proyek EBT (Pelepasan
Wilayah Usaha)
d. Peraturan lainnya
• Mengusulkan agar kewajiban persyaratan TKDN sebesar 60% diterapkan setelah
adanya pertumbuhan industri dalam negeri;
• Mendorong diterbitkannya UU pengganti UU Nomor 7/2004 tentang sumber
daya air yang sudah mengakomodir pemanfaatan genangan waduk/bendung
bagi energi;
• Membuat kajian mengenai dampak pembangunan PLTS Terapung terhadap
lingkungan dan keselamatan waduk/bendung, sebagai bahan pertimbangan bagi
Kementerian PUPR;
• Untuk memasyarakatkan PLTS Atap di rumah/bangunan, mengusulkan
penetapan desain bangunan yang siap dipasang PLTS Atap (merevisi Peraturan
Desain Bangunan Kementerian PUPR).
e. Dibuatnya peraturan percepatan pengembangan PLTS dalam bentuk PERPRES
yang memayungi usulan strategi dan terobosan dalam implementasi roadmap
PLTS.
f. Dibuatnya peraturan yang mewajibkan Badan Usaha pemilik pembangkit fosil
membangun PLTS (energi terbarukan)
g. Dibuatnya peraturan yang mewajibkan Wilayah Usaha Kelistrikan untuk
mengembangkan energi surya (energi terbarukan)
h. Menerapkan mandat UU Nomor 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi khusus pasal
3 ayat 1 (huruf f), untuk pengembangan energi terbarukan di KEK.
Kegiatan konservasi energi sebagai salah satu strategi penghematan energi selama ini
dipandang sangat lambat berjalan. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain belum
Oleh karena itu, revisi terhadap Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Energi
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dan sekaligus menjembatani
atas hal-hal lain yang masih belum diatur sebagai upaya mencapai sasaran dan target
konservasi energi yaitu penurunan intensitas energi 1% per tahun dan penurunan 17%
konsumsi energi terhadap Business as Usual (BaU) pada tahun 2025 serta mendukung
target Renstra 2019-2024.
3. Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 33 Tahun 2017 tentang Tata
Cara Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi Bagi Masyarakat Yang Belum
Mendapatkan Akses Listrik. Peraturan ini mengatur secara detail mekanisme
Penyediaan LTSHE yang merupakan amanat dari Perpres RI Nomor 50 Tahun
2017
4. Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2018 tentang Perubahan atas Permen
ESDM Nomor 39/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan EBTKE
Regulasi ini mengatur secara umum mengenai setiap perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan fisik pemanfaatan Energi Baru, Energi Terbarukan, dan Konservasi
Energi untuk percepatan pembangunan kegiatan fisik pemanfaatan energi baru
dan energi terbarukan serta konservasi energi, perlu mengatur kembali ketentuan
mengenai pengusulan dan pembelian tenaga listrik kegiatan fisik pemanfaatan
energi baru dan energi terbarukan serta konservasi energi.
Jenis pemanfaatan yang diatur dalam peraturan ini adalah sebagai berikut :
a. Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik dari energi baru dan/atau energi
terbarukan;
b. Instalasi penyediaan bahan bakar non tenaga listrik bioenergi;
c. Peralatan efisiensi energi;
Kerangka pengelolaan kelembagaan panas bumi dapat dibagi dalam tiga kelompok
besar, yang pertama pemerintah melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan,
kemudian yang kedua adalah perusahaan terbatas ataupun Kerja Sama Operasi
(KOB) atau BUMN sebagai operator atau pelaksana survey eksplorasi, eksploitasi dan
produksi, sementara yang terakhir BUMN PT PLN (Persero) sebagai offtaker (single
buyer).
Berikut akan diuraikan aspek-aspek yang diharapkan dapat disinergikan antar lembaga
dan mendapatkan kemudahan dalam pencapaian target pengembangan panas bumi
pada tahun 2030.
Penentuan tempat atau lokasi proyek panas bumi sering kali tidak mudah dan
sering mengalami tantangan ataupun hambatan. Hal ini ikut serta memperlambat
pengembangan proyek panas bumi, karena waktu yang dibutuhkan untuk perolehan
lokasi cukup lama. Disamping lamanya waktu perolehan lokasi, sering terjadi
pengeluaran-pengeluaran tambahan dari pengembang yang sangat mempengaruhi
keekonomian pengembangan proyek panas bumi. Hasil identifikasi permasalahan dan
alternatif solusi yang dapat digunakan sebagai pemecah permasalahan dimaksud adalah
sebagai berikut:
1) Hutan Lindung
2) Hutan Produksi
Koordinasi tata guna lahan hutan produksi berhubungan dengan Perum
Perhutani, PT Perkebunan Nasional, Kementerian BUMN, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang, Badan Pertanahan Nasional.
3) Hutan Konservasi
Koordinasi tata guna lahan hutan konservasi berkaitan dengan Kementerian
LHK, Balai dan Unit Pengelola Kawasan Hutan, Dinas Kehutanan Provinsi.
Isu yang terjadi di lapangan dapat meliputi:
e) Status Tropical Rain forest Heritage of Sumatera (TRHS) pada WKP dan
WPSPE di Sumatera
Status TRHS pada 3 (tiga) taman nasional di Sumatera yaitu TN Gunung
Leuser, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan yang menjadi kendala
pengembangan WKP dan WPSPE di wilayah tersebut mengakibatkan
tidak dapat dilakukan aktifitas pengusahaan panas bumi karena dengan
telah ditetapkannya sebagai warisan dunia maka harus memenuhi
ketentuan untuk mempertahankan keberadaan Universal Outstanding
Value (UOV). Saat ini sedang dilakukan koordinasi antar Kementerian
dan Lembaga Pemerintah (Kemenko PMK, Kemenlu, Kemendikbud,
KLHK). Adapun monitoring terhadap kemajuan usaha ini harus terus
ditingkatkan mengingat kaitannya dengan target-target dan jadwal
pengembangan panas bumi baik di WPSPE maupun WKP.
2. Sinergi Perizinan
Tantangan dari sisi penerbitan perizinan untuk pengembangan proyek panas bumi
adalah waktu penyelesaian/penerbitan perizinan. Waktu yang dimaksud adalah
lambatnya penyelesaian penerbitan baik untuk rekomendasi maupun untuk
perizinan. Berikut beberapa hal yang terkait perizinan yang harus diperhatikan
2) Surat Izin Pengambilan Air Permukaan (SIPAP) dan Surat Izin Pengambilan
dan Pemanfaatan Air (SIPPA)
Pengambilan air tanah permukaan di kawasan hutan diperlukan izin
pengambilan air permukaan hal tersebut tumpang tindih antara IPPKH
yang diterbitkan dengan Permen PUPR. Sesuai dengan pasal 54 ayat 2
permen PUPR Nomor 1 / PRT/M/2016 dimana diatur bahwa pemanfaatan
aliran air dan pemanfaatan air yang berada pada kawasan hutan lindung dan
hutan produksi, izin pengusahaan SDA atau izin penggunaan SDA diberikan
oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi teknis dari Instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kehutanan. Hal tersebut
dalam pelaksanaannya tidak dapat diterbitkan oleh kehutanan. Oleh karena
itu, perlu dilakukan sinkronisasi kedua peraturan tersebut disertai dengan
proses penerbitan dan tata kelola waktu yang jelas.
3) Izin Lintas
Dalam setiap aktifitas tahapan panas bumi memerlukan peralatan berat
dan komponen berukuran besar. Untuk memobilisasi peralatan komponen
tersebut pengmbang panas bumi harus melewati jalan baik jalan nasional
provinsi maupun kabupaten yang memiliki kelas dan batas tonase tersendiri.
Mobilisasi tersebut sesuai aturan harus mendapatkan izin melintas dari pihak
sesuai kewenangannya meskipun pihak transporter sudah mempunyai izin
trayek. Oleh karena itu, diperlukan petunjuk teknis mengenai penerbitan izin
lintas dan tata kelola waktu yang jelas.
2. Sektor Bioenergi:
Sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Nomor 13 Tahun 2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Direktorat Bioenergi mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian bimbingan
teknis dan supervisi, evaluasi dan pelaporan, serta pengendalian dan pengawasan di
bidang bioenergi.
Kerangka pengelolaan kelembagaan bioenergi dapat dibagi dalam empat kelompok besar,
yang pertama pemerintah melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan, kemudian
yang kedua adalah Badan Usaha ataupun Institusi Keuangan sebagai pengembang/
operator atau pendana atas pemanfaatan bioenergi, selanjutnya yang ketiga adalah
Akademi/ Balitbang melakukan fungsi dalam inovasi dan peningkatan efisiensi teknologi
serta capacity building sementara yang terakhir Komunitas sebagai penerima manfaat
namun juga berperan aktif/ berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan implementasi
pemanfaatan bioenergi.
2. Pembuatan sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur
dan sesuai prinsip-prinsip good governance:
• Pengayaan dan pemanfaatan sumber data mengenai kebutuhan penyediaan
energi dan potensi Energi Baru Terbarukan secara berkesinambungan;
• Perencanaan pembangunan dengan analisis yang komprehensif dengan
melibatkan Bappenas dan Stakeholder lainnya;
• Koordinasi dan sinkronisasi data mengenai demografi, energi, dan potensi
dengan Pemerintah Daerah dan entitas swasta yang terlibat.
3. Peningkatan Sumber daya manusia guna melahirkan sumber daya manusia yang
berintegritas, kompeten, dan profesional:
• Sertifikasi di bidang Energi Baru Terbarukan dan konservasi energi;
• Pelatihan di bidang Energi Baru Terbarukan dan konservasi energi;
• Pelatihan dalam manajemen proyek dan pengadaan barang dan jasa pemerintah;
• Pelatihan lain yang menunjang perencanaan dan pengawasan infrastruktur
EBTKE.
A. TARGET KINERJA
Berikut adalah rencana target pada RPJMN sektor EBTKE Tahun 2020-2024:
Indikator Kinerja Utama merupakan acuan ukuran kinerja yang digunakan oleh masing-
masing unit utama di lingkungan Kementerian ESDM dalam hal ini Direktorat Jenderal
EBTKE dalam:
1. Menetapkan rencana kinerja tahunan
2. Menyampaikan rencana kerja dan anggaran
3. Menyusun dokumen penetapan kinerja
4. Menyusun laporan akuntabilitas kinerja, dan
5. Melakukan evaluasi pencapaian kinerjas sesuai dengan organisasi dan dokumen
Rencana Strategis Kementerian ESDM
Terwujudnya visi dan misi Kementerian ESDM sampai dengan tahun 2024 sangat
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan dan sasaran strategis Kementerian. Untuk itu setiap
sasaran strategis memiliki indikator kinerja yang terukur dengan metode penilaian yang
transparan dalam rangka menilai pencapaian secara akurat serta memetakan kendala dan
hambatan sedini mungkin, untuk menentukan rekomendasi serta menjalankan langkah-
langkah strategis sebagai upaya mengoptimalkan kinerja Kementerian ESDM. Penjabaran
indikator kinerja dari Kementerian ESDM sampai dengan tahun 2024 disajikan secara rinci
pada tabel di bawah ini.
Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian indeks kemandirian energi
nasional pada Direktorat Jenderal EBTKE sebagai berikut:
Tabel 29. Indikator dan Target Kinerja Indeks Kemandirian Energi Nasional
Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
1 TKDN Sektor EBT dalam rangka
mendukung Kemandirian Energi % 55,45 55,45 55,45 55,45 55,45
Nasional
Presentase TKDN Barang dan Jasa % 55,45 55,45 55.45 55.45 55.45
TKDN Sektor EBT % 55.45 55.45 55.45 55.45 55.45
1. Availability
Merupakan penilaian dari kondisi ketersediaan energi nasional dalam rangka memenuhi
kebutuhan energi saat ini maupun dimasa mendatang dengan mempertimbangkan
pasokan dalam negeri maupun impor. Kondisi ini dipengaruhi oleh potensi Energi Baru
dan Terbarukan diversifikasi energi.
a. Potensi EBT memperlihatkan perkembangan besaran potensi yang dimiliki oleh
negara terhadap jenis energi baru dan terbarukan baik yang dikembangkan dalam
bentuk listrik seperti panas bumi, surya, angin, air, laut dan biomassa untuk
pembangkit, maupun untuk direct use seperti bahan bakar nabati, biomassa untuk
memasak, biogas dan lainnya. Adapun parameter yang menjadi penilaian yaitu
Rasio Cadangan terhadap potensi Panas Bumi dan Rasio potensi terukur (potensi
teknis) terhadap total potensi tenaga air (PLTA/M/MH), Bayu, Surya, Laut dan
Bioenergi (untuk listrik maupun langsung).
2. Accessibility
Merupakan penilaian terhadap kondisi keandalan infrastruktur energi dalam rangka
menjamin distribusi energi ke seluruh masyarakat Indonesia dengan tetap menjaga
keberlanjutannya. Penilaian dari kondisi ini dipengaruhi oleh keandalan infrastruktur
energi, optimalisasi pemanfaatan batubara dan penyediaan infrastruktur EBT.
a. Penyediaan dan Infrastruktur EBT sebagai salah satu indikator untuk mengukur
kemampuan pengembangan EBT dengan penilaian yang dititik beratkan pada
Rasio Pembangkit EBT terhadap Total Pembangkit, Rasio Pemanfaatan terhadap
Cadangan terukur Panas Bumi, Rasio Pemanfaatan terhadap Potensi terukur Air,
Angin, Surya, Laut dan Bio untuk listrik, Rasio Penggunaan Biofuel (murni bukan
campuran) terhadap BBM, dan Jumlah Pemanfaatan Biogas (tidak termasuk
pembangkit).
3. Affordability
4. Acceptability
Merupakan penilaian terhadap tingkat penerimaan masyarakat dalam kaitan
terhadap keberlangsungan lingkungan terhadap jenis energi yang digunakan saat ini.
Penilaian ini sangat dipengaruhi tingkat emisi gas rumah kaca untuk memperlihatkan
peningkatan emisi GRK sektor energi dan pangsa EBT dalam bauran energi primer yang
memperlihatkan seberapa besar kemampuan Pemerintah dalam memanfaatkan energi
yang lebih ramah lingkungan dalam kaitannya mengurangi penggunaan energi fosil
yang memiliki emisi yang besar.
Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian indeks ketahanan energi
nasional pada Direktorat Jenderal EBTKE sebagai berikut:
Tabel 30. Indikator dan Target Kinerja Indeks Ketahanan Energi Sektor EBTKE
INDEKS KETAHANAN ENERGI SEKTOR EBTKE Nilai 49,50 49,95 50,52 51,38 52,30
Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian Persentase Realisasi
Penerimaan PNBP dan Persentase Realisasi Investasi sebagai berikut:
Tabel 31. Indikator dan Target Kinerja Optimalisasi kontribusi sektor ESDM
yang bertanggung jawab dan berkelanjutan
Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Meningkatnya kontribusi sektor ESDM
1 Persentase Realisasi PNBP % 93,00 93,00 93,00 94,00 94,00
PNBP Panas Bumi Miliar Rp 1.196,24 1.369,72 1.598,97 1.970,42 2.181,93
2 Persentase Realisasi Investasi % 90,00 90,00 90,00 90,00 90,00
Investasi EBTKE Miliar USD 2,31 2,92 5,56 3,62 7,53
Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian Indeks Kepuasan Layanan
Sektor ESDM sebagai berikut:
Tabel 32. Indikator dan Target Kinerja Indeks Kepuasan Layanan Sektor ESDM
Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Adapun target dan komponen yang digunakan dalam menilai efektivitas Pembinaan,
Pengawasan dan Pengendalian Sektor ESDM sebagai berikut:
Tabel 33. Indikator dan Target Kinerja Sasaran Strategis Pengawasan, Pengendalian,
Monitoring & Evaluasi sektor ESDM yang efektif
Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Pengawasan, Pengendalian, Monitoring & Evaluasi sektor ESDM yang efektif
4. Penataan Tatalaksana
Penataan tatalaksana sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat efisiensi dan
efektivitas sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien dan terukur pada
masing-masing instansi pemerintah
6. Penguatan Akuntabilitas
Penguatan akuntabilitas sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat kapasitas
dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
7. Penguatan Pengawasan
Penguatan pengawasan sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing
instansi pemerintah
Penilaian terhadap indeks reformasi birokrasi Kementerian ESDM ini nantinya akan
dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kemenpan RB) dengan berbasis pada Nilai Akuntabilitas Kerja, Survei Internal Integritas
Organisasi, Survei Eksternal Persepsi Korupsi, Opini BPK, dan Survei Eksternal Pelayanan
Publik.
Tabel 34. Indikator dan Target Kinerja Sasaran Strategis Terwujudnya birokrasi yang efektif,
efisien, dan berorientasi pada layanan prima
Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Terwujudnya birokrasi yang efektif, efisien, dan berorientasi pada layanan prima
Indeks Reformasi Birokrasi % 80 85 85 90 90
Tabel 35. Indikator dan Target Kinerja Indikator Nilai Evaluasi Kelembagaan
Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Indeks Kompetensi dan integritas ini merupakan penyederhanaan penilaian terkait dengan
pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian ESDM yang terdiri dari capaian individu
dari nilai-nilai KESDM (jujur, Profesional, melayani, inovatif dan berarti), output sasaran
kinerja pegawai, kepatuhan dalam melaksanakan segala ketentuan dalam beraktivitas termasuk
jam kerja dan pelaporan harta kekayaan serta capaian individu lainnya. Untuk mengukur hal
tersebut, maka ditentukan komponen-komponen pengungkit dari penilaian indeks tersebut.
Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian Indeks Profesionalitas ASN
sebagai berikut:
Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Organisasi Fit dan SDM yang Unggul
Indeks Profesionalitas ASN % 71 73 75 78 82
Adapun target dan komponen yang digunakan dalam penilaian indeks kemandirian energi
sebagai berikut:
Target
No. Indikator Kinerja/Komponen Satuan
2020 2021 2022 2023 2024
Sasaran Strategis: Pengelolaan Sistem Anggaran yang Optimal
B. KERANGKA PENDANAAN
Pemberian insentif merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan daya
tarik investasi. Kekuatan finansial suatu negara akan meningkatkan keleluasan kebijakan
fiskal suatu negara, termasuk pemberian insentif kepada pengembang. Kementerian
Diperlukan izin persetujuan import dari Kementerian perdagangan dan pertimbangan teknis
dari Kementerian Perindustrian. Ketika menerbitkan pertimbangan teknis, Kementerian
Perindustrian membutuhkan penegasan bahwa barang tersebut tidak dapat diproduksi di
dalam negeri. Pihak pengembang mengalami kesulitan dalam mendapatkan penegasan
tersebut dikarenakan ketidakjelasan ketentuan yang mengatur tentang pihak atau otoritas
yang mengeluarkan penegasan tersebut. Sehingga diperlukan pengecualian persetujuan
impor besi baja untuk kegiatan pengembangan energi panas bumi dalam Permendag Nomor
110/2018.
Program percepatan pengembangan EBT pasti membutuhkan dana yang sangat besar,
pemeritah harus mampu menjembatani dan merekomendasikan kebijakan sebagai intervensi
terhadap lembaga keuangan untuk dapat memberikan kemudahan pendanaan terhadap
pengembangan proyek EBT. Beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah dalam
mendukung ketersediaan dana bagi pengembangan EBT dapat melalui Pemanfaatan Dana
Energi Terbarukan dan/atau Pemanfaatan Dana PISP untuk perusahaan swasta. Akan tetapi,
agar sesuai dengan Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pokok-pokok Perjanjian
Jual-Beli Listrik, persyaratan pendanaan mengenai kepastian pembelian listrik sebaiknya
dihilangkan karena pendanaan diperlukan jauh sebelum PPA dapat disepakati dengan PLN.
Selain itu, jangka waktu tenor peminjaman sebaiknya diperpanjang untuk meningkatkan
keekonomian proyek pengembangan EBT.
Penetapan nilai tukar dalam transaksi PJBL sangat memengaruhi nilai perolehan ataupun
pengeluaran dalam rentang waktu tertentu. Tren penguatan atau pelemahan salah satu nilai
tukar mendorong penjual menentukan nilai tukar yang paling menguntungkan, sebaliknya
Pemerintah dapat menentukan pilihan nilai kurs yang dapat meminimalisir pengeluaran.
Program Pengelolaan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi 1.389.651 1.047.753 1.065.606 1.048.402 1.005.479 5.556.890
Kegiatan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengusahaan Bioenergi 12.607 15.455 17.047 17.884 18.763 81.755
1 Regulasi di Bidang Bioenergi 532 548 565 582 599 2.827
2 Layanan Bidang Bioenergi 9.132 11.817 13.238 13.895 14.587 62.669
a) Layanan Penyiapan Program Bioenergi 2.804 2.889 2.975 3.065 3.156 14.889
b) Layanan Investasi dan Kerjasama Bioenergi 3.670 5.138 5.446 5.773 6.119 26.146
c) Layanan Keteknikan di Lingkungan Bioenergi 2.657 3.790 4.817 5.058 5.311 21.634
3 Layanan Pelayanan dan Pengawasan Usaha Bioenergi 2.943 3.090 3.244 3.407 3.577 16.260
Kegiatan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengusahaan Konservasi Energi 14.958 16.385 17.954 16.401 15.580 81.278
1 Regulasi Bidang Konservasi Energi
Kegiatan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengusahaan Panas Bumi 19.607 28.653 30.402 32.962 35.967 147.591
1 Regulasi Bidang Panas Bumi 1.750 1.965 1.610 1.675 1.785 8.785
2 Penerimaan Negara Bukan Pajak Sub Sektor Panas Bumi 2.223 2.600 2.730 2.867 3.075 13.495
3 Layanan Bidang Panas Bumi 14.248 22.208 24.065 25.918 28.485 114.924
4 Wilayah Panas Bumi yang Ditawarkan 858 1.300 1.359 1.800 1.850 7.167
5 Wilayah Panas Bumi yang Ditetapkan 528 580 638 702 772 3.220
b) DOKUMEN LAKIN SATKER ESELON I 409 450 495 544 599 2.497
2 Layanan Dukungan Manajemen Eselon I
a) Layanan Dukungan Manajemen Eselon I 20.181 22.199 24.419 26.861 29.547 123.207
3 Layanan Sarana dan Prasarana Internal 2.366 2.603 2.863 3.149 3.464 14.445
4 Layanan Perkantoran 71.251 78.376 86.214 94.835 104.319 434.994
Kegiatan Perencanaan, Pembangunan dan Pengawasan Infrastruktur Energi 1.233.050 864.649 865.482 833.193 772.429 4.568.803
1 Infrastruktur EBTKE
a) PLT EBT (Revitalisasi) 50.000 52.083 62.500 66.666 72.916 304.165
b) PLT Hybrid - - - - - -
c) Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Penunjang Tugas Teknis K/L 120.000 - - - - 120.000
2 Layanan Pembangunan Infrastruktur EBTKE
a) Layanan Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Infrastruktur EBTKE 25.078 27.586 30.344 33.379 36.717 153.104
b) Layanan Dukungan Pembangunan Infrastruktur EBTKE 34.372 37.809 41.590 45.749 50.324 209.844
Akselerasi pengembangan pembangkit Kapasitas Tambahan MW 686.5 1001.1 1921.8 1778.2 3662.7
energi terbarukan Pembangkit EBT
PLTA Kapasitas Tambahan MW 165.2 440.3 955.9 397.0 1951.4
PLT Panas Bumi (PLTP) Kapasitas Tambahan MW 140.0 80.0 132.0 300.0 375.0
PLT Bayu (PLTB) Kapasitas Tambahan MW 0.0 0.0 10.0 279.0 440.0
Pembangunan PLTN Komersial PLTN Komersial yang Meneliti pengembangan Mendorong Membangun Menyusun analisis Menyusun peta jalan
(Tambahan Baru) Dibangun teknologi PLTN disertai penguasaan teknologi kerja sama multikriteria terhadap (roadmap)
aspek-aspek keekonomian PLTN sejalan dengan internasional implementasi PLTN implementasi PLTN
dan keselamatan perkembangan terkini terkait studi mencakup kepentingan sebagai pilihan
kemajuan pengembangan PLTN mendesak, berbagai terakhir dalam
teknologi PLTN di pandangan dari berbagai prioritas pengembanga
dunia stakeholder. n energi nasional.
Peningkatan pasokan bahan bakar Pemanfaatan biofuel Juta kilo 10.00 10.20 14.15 14.55 17.35
nabati untuk Domestik liter
Akselerasi Pengembangan BBN
Kilang BBN Tahapan Pembangunan Tahapan Penyusunan BEDP: Penyusunan dokumen EPC EPC Mid 2024 Start Up dan
Green Refinery Stand Basic Engineering Design FEED dan persetujuan On Stream
Alone kapasitas 20 ribu Project dan tender DFC FID (Final Investment
Barrel per Day di RUIII (Dual Feed Competition) Decision)
Plaju
Program Prioritas (a) - Kegiatan
Prioritas (b) - Target
Indikator Satuan
Proyek Prioritas Nasional (c) -
Program K/L (d) 2020 2021 2022 2023 2024
Pengembangan Teknologi FCC untuk Penelitian dan Unit - 1 (Penyempurnaan 1 1 1
Pembuatan Green Gasoline Berbasis Pengembangan Teknologi Pilot Plant (alat kontrol (Simulasi (Simulasi menggunakan (FS dan DED skala
CPO 100% FCC untuk Green Gasoline dan alat ukur)) menggunakan bahan bahan baku RBDPO (refine, komersial dan simulasi
berbasis CPO 100% baku Olein (Co-Product bleached, deodorized, palm konversi minyak nabati
hingga Pembuatan Desain CPO)) oil) (Main Product CPO)) menjadi green gasoline)
Skala Komersial
Peningkatan pelaksanaan konservasi Intensitas energi primer SBM/Rp 139.5 138.0 136.6 135.2 133.8
dan efisiensi energi Miliar
penurunan Intensitas SBM/Rp 0.9 0.9 0.9 0.8 0.8
energi final Miliar
KP: Pembangunan Energi Porsi energi baru terbarukan dalam persen 13.4 14.5 15.7 17.9 19.5
Berkelanjutan bauran energi nasional
Penurunan Intensitas Energi Final SBM/milyar Rp 0.90 0.90 0.90 0.80 0.80
ProP: Pengelolaan Energi Baru Kapasitas Tambahan Pembangkit EBT MW 686.5 1001.1 1921.8 1778.2 3662.7
Terbarukan
Pemanfaatan biofuel untuk Domestik Juta kilo liter 10.00 10.20 14.15 14.55 17.35