Disusun Oleh:
NIK : 030013
NIP/NIK : 030013
Mengetahui,
-ii-
KATA PENGANTAR
Dalam kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada yang tersebut
dibawah ini:
Demikian yang dapat kami sampaikan, segala usul, saran, komentar, dan
koreksi dari manapun datangnya akan kami terima dengan senang hati. Kami
masih perlu banyak belajar.
-iii- Kurniawan S.
MOTTO
-iv-
A. SEJARAH RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
Rumah sakit militer Malang (sekitar 1930)
Sebelum Perang Dunia ke II , RSUD Dr. Saiful Anwar ( pada waktu itu
bernama Rumah Sakit Celaket ) , merupakan rumah sakit militer KNIL, yang
pada pendudukan Jepang diambil alih oleh Jepang dan tetap digunakan
sebagai rumah sakit militer . Pada saat perang kemerdekaan RI , Rumah Sakit
Celaket dipakai sebagai rumah sakit tentara, sementara untuk umum ,
digunakan Rumah Sakit Sukun yang ada dibawah Kotapraja Malang pada saat
itu . Tahun 1947 ( saat clash II ) , karena keadaan bangunan yang lebih baik
dan lebih muda, serta untuk kepentingan strategi militer, Rumah Sakit Sukun
diambil alih oleh tentara pendudukan dan dijadikan rumah sakit militer,
sedangkan Rumah Sakit Celaket dijadikan rumah sakit umum.
-v-
1. Sampai tahun 1982, Anestesi masih merupakan salah satu seksi dari
Bagian Ilmu Bedah FK Unibraw/ RS dr. Saiful Anwar. Pada saat itu,
pelayanan anestesi dilaksanakan oleh perawat yang terlatih. Bila
diperlukan, konsultasi anestesi diberikan oleh dr.Wayan Tharsana,SpAn
yang saat itu aktif di RS Tentara Soepraoen.
-vi-
2. Tahun 1982 dr. Effendi SpAn datang ke Malang sebagai dokter Anestesi
pertama di Seksi Anestesi Bagian Bedah, dan beliau sekaligus menjadi
Kepala OK Sentral.
3. Tahun 1983 dr. Hari Bagianto, SpAn datang ke Malang dan bergabung
dengan Seksi Anestesi Bagian Bedah.
4. Tahun 1985, Anestesi menjadi bagian tersendiri dan Ruang Intensif Bedah
sebagai cikal bakal ICU.
5. Tahun 1988, berdiri IRD dengan sistem sentralisasi (Sistem Satu Pintu)
dan dr. Hari Bagianto, SpAn menjabat Kepala IRD yang pertama.
6. Tahun 1990 dr. Waskito, SpAn bergabung ke Malang.
7. Tahun 1994 dr. Gunung Mahameru, SpAn bergabung. Ruang perawatan
intensif saat itu berisi 7 tempat tidur (sampai dengan tahun 2006) setelah
melepaskan diri dari perawatan intensif bedah.
8. Tahun 1996 dr. Hari Bagianto, SpAn kembali ke Bagian Anestesi dan
menjabat kepala bagian anestesi dan ruang perawatan intensif.
9. Tahun 1997 dr. Djudjuk RB SpAn bergabung. Disusul bergabungnya dr.
Karmini Yupono, SpAn (tahun 1998), dr. Banowati Sutjiadi, SpAn (2001),
dan dr. Wiwi Jaya, SpAn (2002), dan dr. Agus Sunandar, SpAn (2003).
10. Tahun 2005 mengajukan pengampuan ke Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif Universitas Indonesia. Pada tanggal 19 Desember 2006
ditandatangani MOU antara FKUI dan FK Unibraw tentang
pengembangan program pendidikan dokter spesialis I anestesiologi dan
Terapi Intensif di FK Unibraw.
11. Tahun 2006 pembangunan gedung kantor/ sekretariat yang baru
diselesaikan. Tahun 2006 tersebut dr. Wisnu Wijanarko, SpAn bergabung.
12. Tahun 2006 dr. Waskito, SpAn K-IC menjadi kepala Instalasi Anestesi
dan ICU, dan dr. Gunung Mahameru, SpAn sebagai kepala SMF Anestesi
dan Reanimasi.
13. Tahun 2008 dr. Isngadi, SpAn bergabung dan disusul dr. A. Andyk
A.,SpAn.
-vii-
14. Tahun 2009 dr. Gunung Mahameru, SpAnK-IC menjadi Kepala Instalasi
Anestesi dan ICU; dan dr.Karmini Yupono, SpAn K-AP sebagai Kepala
SMF Anestesi dan Reanimasi.
15. Tahun 2010 sampai dengan sekarang dr. Wiwi Jaya, SpAn menjabat
Kepala Instalasi Anestesi dan Terapi Intensif;
16. Tahun 2010 IPDS Anestesi dan Terapi Intensif melalui SK Menteri
Pendidikan Nasional tertanggal 5 Oktober 2010 dengan No
151/D/O/2010, dinyatakan mandiri untuk melaksanakan PPDS I.
17. Tahun 2011 IPDS Anestesi dan Terapi Intensif meluluskan 2 peserta didik
atas nama dr. Ristiwana. M.L, SpAn dan dr. Ruddi Hartono, SpAn.
18. Tahun 2011 bergabung dr. Ristiawan M.L, SpAn, dr. Ruddi Hartono,
SpAn, dan dr Buyung H.L,, SpAn.
19. Tahun 2012 IPDS Anestesi dan Terapi Intensif berhasil memperoleh
Akreditasi dengan peringkat B berdasarkan keputusan Kolegium Anestesi
dan Terapi Intensif Indonesia tertanggal 6 Mei 2012 No.
138/KATI/kep/V/2012.
-viii-
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………………………… i
Lembar Pengesahan……………………………………………………………… ii
Kata Pengantar……………………………………………………...…………….iii
Motto……………………………………………….…………………………….iv
Sejarah SMFAnastesiologi………………………..……………………….……...vi
Daftar Isi…………………………………..………………………………………
ix
BAB I :
Pendahuluan……………………………………………………………………….1
a. Latar
Belakang…………………………………………………………..1
b.
Tujuan…………………………………………………………………...1
a. Pengertian……………………………………………………………….2
b. Manifestasi Klinis………………………………………………………2
c. Etiologi………………………………………………………………….3
d. Komplikasi……………………………………………………………...3
e. Patofisiologi…………………………………………………………….3
-ix-
a. Kesimpulan………………………………………………………….....27
b. Saran…………………………………………………………………...27
Daftar Pustaka………………………………………………………………..…..28
Lembar Konsultasi……………………………………………………………….29
-x-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
a. Sehat adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan
fungsi tubuh dengan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya
(Perkin, 1938).
b. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera sempurna fisik, mental, dan sosial
yang tidak hanya terbatas pada bebas dari penyakit atau kelemahan saja
(WHO, 1947 dan UU Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960).
c. Sehat adalah suatu keadaan dan kualitas organ tubuh yang berfungsi
secara wajar dengan segala factor keturunan dan lingkungan yang
dipunyainya (WHO, 1957)
e. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan ekonomi
(UU Kesehatan No. 23 tahun 1992)
B. Tujuan
Maka untuk mewujudkan keadaan sehat tersebut perlu ditunjang dengan
meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga dalam menjaga kesehatan salah
satunya dengan berolahraga secara rutin dan makan teratur.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Intra Cerebral Presure (ICP) adalah tekanan yang ada di dalam tulang
kranium yang mana berisi otak, system vaskuler cerebral dan cairan
cerebrospinal. Tekanan biasanya diukur melalui caioran otak dengan
tekanan normal antara 5-15 mmHg atau antara 60-180 mmH2O.
B. Manifestasi Klinis
Gejala sebagai akibat dari pembengkakan adalah tekanan pada duramater
sehingga nyeri dan gangguan berbagai struktur dalam otak dan belakang mata.
Indikasi adanya TIK meningkat berhubungan dengan lokasi, kecepatan dan
luasnya perkembangan tersebut. Gejala tersebut diantaranya adalah penurunan
tingkat kesadaran sampai dengan coma, gelisah, iritebel, papil edema, muntah
yang kadang proyektil yang mana dikenal dengan trias TIK. Selanjutnya dapat
ditemukan berbagai penurunan fungsi neurologis seperti : perubahan bicara,
perubahan reaksi pupil, sensori motorik berubah, sakit kepala, mual, muntah dan
pandangan kabur (diplopia) mungkin juga akan ditemukan.
C. Etiologi
Peningkatan TIK paling sering berhubungan dengan lesi otak yang meluas (seperti
perdarahan), obstruksi pada aliran CSF (seperti pada tumor) dan formasi CSF
meningkat (seperti hidrocepalus) dan swelling dan edema otak.
D. Komplikasi
- Kejang-kejang
- Aliran darah ke otak menurun
- Gangguan metabolisme
- Gangguan saluran nafas
- Sepsis/septik syok
- Anemia
- Shock
E. Patofisiologi
lambung
TINJAUAN TEORI
DM HIPERGLIKEMI
A. DEFINISI
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah
(Mansjoer dkk,1999).
Sedangkan menurut Francis dan John (2000), Diabetes Mellitus klinis adalah
suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak
semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya
efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.
Sedangkan menurut Waspadji (1996) keluhan yang sering terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus adalah: Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat badan menurun,
Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun, Bisul/luka, Keputihan.
C. ETIOLOGI
1. Diabetes Mellitus tergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetic :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe
I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses
imun lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
6
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel β pancreas.
2. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai
pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi
insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi
dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya
kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel.
Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat
reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi
penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system
transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu
yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya
sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan
euglikemia (Price,1995). Diabetes Mellitus tipe II disebut juga Diabetes
Mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen
bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang
dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
7
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik
D. KOMPLIKASI
1. Akut
a. Koma hipoglikemia
b. Ketoasidosis
2. Kronik
c. Neuropati diabetic
d. Rentan infeksi.
e. Kaki diabetic.
E. PATOFISIOLOGI
HIPERGLIKEMI
Insulin
Hiperglikemi
8
POLI PHAGI
Glukosa tidak lewat membran sel
Metabolisme meningkat
Hiperosmolaritas
Sering kencing
1. Pengkajian
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada kulit yang
disertai bisul/lalu tidak sembuh-sembuh, kesemutan/rasa berat, mata kabur,
kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga mengeluh poli urea, polidipsi,
anorexia, mual dan muntah, BB menurun, diare kadang-kadang disertai nyeri
perut, kramotot, gangguan tidur/istirahat, haus-haus, pusing-pusing/sakit
kepala, kesulitan orgasme pada wanita dan masalah impoten pada pria.
d. Pemeriksaan Fisik
1. Neuro sensorik
2. Kardiovaskuler
Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural,
hipertensi dysritmia, krekel, DVJ (GJK)
3. Pernafasan
10
4. Gastro intestinal
Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah
meringis pada palpitasi, bising usus lemah/menurun.
5. Eliminasi
Urine encer, pucat, kuning, poliuria, urine berkabut, bau busuk, diare
(bising usus hiper aktif).
6. Reproduksi / seksualitas.
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria, dan sulit
orgasme pada wanita
7. Muskuloskeletal
Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek
tendon menurun kesemuatan/rasa berat pada tungkai.
8. Integumen
Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek,
pembesaran tiroid, demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak,
lesi/ulserasi/ulkus.
e Aspek psikososial
Stress, anxientas, depresi
Peka rangsangan
Tergantung pada orang lain
f. Pemeriksaan diagnostic
2. Diagnosa keperawatan
a. Resti infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi
leukosit, perubahan sirkulasi
12
3. Intervensi
a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan
fungsi lekosit/perubahan sirkulasi.
Data : -
Kriteria hasil : Infeksi tidak terjadi
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan. Pasien mungkin masuk
dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau
infeksi nasokomial.
2. Tingkatkan upaya pencegahan dengan mencuci tangan bagi semua orang
yang berhubungan dengan pasien, meskipun pasien itu sendiri. Mencegah
timbulnya infeksi nasokomial.
3. Pertahankan teknik aseptik prosedur invasif. Kadar glukosa tinggi akan
menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Pantau tanda vital Hipovolemia dapat ditandai dengan hipotensi dan
takikardi.
2. Kaji suhu, warna kulit dan kelembaban. Demam, kulit kemerahan,
kering sebagai cerminan dari dehidrasi.
13
2. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dihabiskan pasien. Mengidentifikasi kekurangan dan
penyimpangan dari kebutuhan.
3. Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri, abdomen, mual, muntah.
Hiperglikemi dapat menurunkan motilitas/ fungsi lambung (distensi atau ileus
paralitik) yang akan mempengaruhi pilihan intervensi.
4. Identifikasi makanan yang disukai. Jika makanan yang disukai dapat
dimasukkan dalam pencernaan makanan, kerjasama ini dapat diupayakan
setelah pulang.
5. Libatkan keluarga pada perencanaan makan sesuai indikasi.
Memberikan informasi pada keluarga untuk memahami kebutuhan nutrisi
pasien.
6. Kolaborasi dengan ahli diet Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan
penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan pasien.
d. Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sugguh, massage daerah
yang tertekan. Jaga kulit tetap kering, linen tetap kering dan kencang.
Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan
resiko terjadinya iritasi kulit dan infeksi.
1. Bantu pasien melakukan oral higiene. Menurunkan resiko terjadinya
penyakit mulut.
2. Anjurkan untuk makan dan minum adekuat. Menurunkan kemungkinan
terjadinya infeksi.
15
4. Penatalaksanaan
a. Diit DM
BB
x 100
BBR % = TB−100
BB = Berat Badan ( kg )
TB = Tinggi Badan ( cm )
16
BAB III
A. Identitas Klien
a. Nama : Tn. J
b. Umur : 70 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Suku Bangsa : Jawa
f. Bahasa : Jawa
g. Pendidikan Terakhir : SD
h. Pekerjaan : Swasta
i. Alamat : Desa Sumberejo Rt.2 Rw.2 Selorejo
BLITAR
j. No Register : 122980
B. Diagnosa Medis
Diabetes Melitus
C. Keluhan Utama
Keluarga mengatakan pasien gelisah
17
a. Breathing
Nafas suport ventilator dengan Mode BIPAP ASB, VTe: 642 ml, Fi O2%:
50%, Ftot: 16x/mnt, Tinsp: 1,2dtk, Pinsp: 18mbar, MV: 9,3ltr, PEEP: 6,
SpO2: 100%, bentuk thorak simetris, terlihat gerakan naik turun dada
b. Blood
c. Brain
Kesadaran Undersedatif, tidak ada kejang, Mata bentuk normal, pupil
Anisokor, Reflek cahaya tidak ada.
d. Bladder
e. Bowel
Pasien terpasang NGT, Produksi NGT warna kehitaman, diit D5% 50cc
setelah produksi jernih, BB: 60kg
18
f. Bone
I. Pemeriksaan penunjang
Hematologi
Serum Elektrolit
Faal Hati
SGOT : 64 mU/dl
SGPT : 46 mU/dl
Albumin : 2,05 g/dl
Faal Ginjal
PH : 7,29
PCO2 : 31,8 mmHg
PO2 : 247 mmHg
19
Bikarbonat (HCO3) : 16,3 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) : -11,9 mmol/L
Saturasi O2 : 99 %
Faal Hemostasis
PPT
Pasien : 16.3 dtk
Kontrol : 10,8 dtk
INR : 1,45
APTT
Pasien :72,2 dtk
Kontrol : 27, 2 dtk
Golongan Darah : B Rh +
Serum Elektrolit
20
ANALISA DATA
Umur : 70 tahun
No.
Data Penunjang Masalah Etiologi
Dx
I DS : - Resiko tinggi kadar glukosa tinggi
DO : infeksi
GDA: HIGH
Suhu: 38,5c
Leukosit: 10,85
PRIORITAS MASALAH
Umur : 70 tahun
Umur : 70 tahun
NO. Tujuan /
Tanggal Rencana Tindakan Rasional
Dx Kriteria Hasil
16 I Setelah 1. Lakukan Rehidrasi 1. Untuk
Oktober dilakukan Cairan memenuhi
2012 tindakan kebutuhan cairan
keperawatan 2. Observasi tanda- dalam tubuh
selama 12 jam tanda infeksi dan 2. Pasien
pasien tidak ada peradangan mungkin masuk
tanda-tanda dengan infeksi
infeksi. yang biasanya
Kriteria hsil: telah mencetuskan
GDA < keadaan
250mg/dl ketoasidosis atau
Suhu: infeksi
36-37c nasokomial
WBC: 3. Tingkatkan upaya
3. Mencegah
4,3-10,3 pencegahan
timbulnya infeksi
dengan mencuci
nasokomial.
tangan bagi semua
orang yang
berhubungan
dengan pasien
5. Peningkatan suhu
dapat
menyebabkan
pasien kejang
6. Regulasi cepat
Insulin
6. Kadar glukosa
tinggi menjadi
media terbaik bagi
pertumbuhan
kuman
7. Observasi GDA /
Jam 7. Observasi GDA /
Jam Untuk
mencegah
terjadinya
Hipoglikemi saat
8. Kolaborasi dengan regulasi cepat
tim medis Insulin
24
IMPLEMENTASI
Umur : 70 tahun
25
CATATAN PERKEMBANGAN
Umur : 70 Tahun
K/U Lemah
GDA masih HIGH
Suhu 37,8c
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan.
S:-
Resiko tinggi infeksi berhubungan
17 Oktober 2012 O: GDA 476 mg/dl
dengan kadar glukosa tinggi
Jam 09.00 Suhu 37,6 c
P: Intervensi dilanjutkan
18 Oktober 2012
Resiko tinggi infeksi berhubungan S : -
Jam 09.00 dengan kadar glukosa tinggi O: GDA 277mg/dl
Suhu 37,5c
A: masalah teratasi
sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
26
BAB I V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus yang penulis temukan selama pelatihan telah dipersiapkan
dengan baik, berdasarkan hasil dan kegiatan penyusunan Asuhan Keperawatan
Diabetes mellitus diruang ICU RSU Dr. Saiful Anwar Malang, maka penulis
menyimpulkan. Dengan memahami gambaran penyakit Diabetes Melitus
mulai dari definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pencegahan dan
pengobatan.
Untuk mengetahui masalah keperawatan yang ada, diperoleh dari
data subyektif dan data obyektif, data subyektif diperoleh dari keluarga pasien
saat masuk ruang ICU. Sehingga penulis dapat memprioritaskan masalah
keperawatan yang ada yaitu Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar
glukosa tinggi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari didapatkan
hasil yang cukup memuaskan. Dimana pada hari pertama GDA pasien HIGH,
kemudian hari ke-2 GDA 476 mg/dl, dan pada hari ke-3 GDA 277mg/dl
dengan suhu 37,5c
B. Saran
1. Untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang baik, maka harus
diawali dengan tahap pengkajian yang lengkap.
2. Dalam menyusun rencana tindakan sebaiknya ada suatu pedoman atau
prosedur tetap mengenai diagnose keperawatan
3. Dokumentasi yang berkesinambungan mulai dari awal pengkajian sampai
evaluasi harus dilakukan dengan cermat sehingga didapatkan gambaran
yang utuh dari kasus yang sedang dipelajari.
27
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 2.
Jakarta : EGC.
28
LEMBAR KONSULTASI
29