Anda di halaman 1dari 26

STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT

SINDROM STEVEN JOHNSON

Dosen Pengampu

apt. Dwi Ningsih, M. Farm.

Nama Anggota

Hanum Salsabila (2120414620)


I Gst. Ngr. Manik Satria Wibawa Putra (2120414621)

KELOMPOK 2
KELAS : B2

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
KASUS 2
SINDROM STEVEN JOHNSON

A. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. ZN
b. Umur : 38 tahun
c. Alamat : Dsn Ringinanom Solo
d. Pekerjaan : Tidak Bekerja
e. No RM : 571279
B. Keluhan utama : kulit melepuh
C. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang melalui UGD RS 10 hari yang lalu (25 Agustus 2019), dengan
keluhan kulit melepuh di muka, badan, tangan, kelamin dan paha. Keluhan disertai rasa
perih, nyeri tenggorokan dan sukar menelan sejak 2 minggu yang lalu. Sebulan yang lalu
pasien mengaku terkena penyakit cacar, pasien berobat ke mantri dan diberikan obat
minum. Keluarga pasien mengaku tidak mengetahui obat apa saja yang diberikan.
Beberapa hari setelah pengobatan cacar, bintik cacar pada pasien timbul semakin banyak.
keluarga psien merasa keadaan pasien tidak membaik sehingga pasien datang kembali ke
mantri dan pasien diberikan suntikan antibiotik. Keluarga pasien tidak mengetahui
antibiotik apa yang diberikan. Tiga hari setelah berobat ke mantri (12 hari sebelum masuk
rumah sakit), dikatakan pasien mengeluh perih dan merah pada mata disertai kotoran
mata dan bercak putih pada bagian mata, badan terasa panas, tulang-tulang terasa nyeri,
dan sesak napas. Segera pasien berobat ke dokter dan keluhan masih tetap tidak
berkurang. Keesokan hari pasien pun berobat kembali ke puskesmas dan dirujuk ke RS.
D. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum
tampak sakit berat, tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 70x/m, pernapasan 25x/m.
Tampak eritema disertai multipel vesikel di ekstremitas superior dan inferior serta regio
genital. Tampak multipel bula di regio antebrachii sinistra dan metacarpal sinistra.
Tampak lesi hiperpigmentasi di regio abdomen dan regio thoraks anterior dan posterior.
Mukosa mulut mengalami erosi, ekskoriasi dan krusta. Tampak mukosa mata bersekret
mengalami peradangan. Belum tampak adanya epidermolysis
E. Diagnosa dokter :
Steven jonhnson syndrome
Riwayat pengobatan sekarang: pasien mendapatkan resep dokter sbb

Pemerintah Kota Surakarta


RUMAH SAKIT ENGGAL SENGGAL
Jl. Let.Jen. Sutoyo Mojosongo Surakarta

Dokter : Shifa Nur A Surakarta, 25 Agustus 2019


Ruang rawat/Poloklinik : Anggrek 807

R. Infuse dekstrosa 2 fl
Simm 18 tpm inj.

R/ Infus RL 2 fl
Simm 18 tpm inj.

R/ dexamethasone 3 ampul
Simm 1 ampul/8 jam

R/ Gentamisin inj
Simm 100 mg/12 jam iv

R/ antacid syr fl 1
S 2 dd 1 po

R/ Gentamisin krim 0,3% tub 2

R/ sulfadiazine perak krim


Sue

Pro : Ny. ZN Umur : 38 th


Alamat : dsn Ringinanom Surakarta

Tugas :

1. Buatlah latar belakang singkat, tentang patofisologi dan farmakoterapinya


2. Masukkan data base pasien ke dalam format database (termasuk data subyektif dan
obyektif)
3. Buatlah assessment termasuk melakukan skrining resep dokter
4. Buatlah rekomendasi terapi pada pasien, rute pemberian, regimentasi dosis, dan
karakteristik fisika– kimia obat.
5. Sampaikan kepada dokter penulis resep jika rese pada masalah (tulis bagaimana cara
menyampaikannya ke dokter).
6. Sarankan terapi non farmakologi untuk mendukung penyembuhan pasien
7. Lakukan Pemantauan Terapi Obat
1. Buatlah latar belakang singkat, tentang patofisologi dan farmakoterapinya
A. Latar Belakang
Penyakit kulit seringkali mempunyai gejala klinis dalam mulut. Salah
satunya adalah sindroma Stevens Johnson. Sindrom Stevens-Johnson pertama
diketahui pada 1922 oleh dua orang dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua
pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan
penyebabnya (Adithan, 2006). Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit
mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan
bentuk yang tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang
tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang
lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa
dari dua organ atau lebih (V.K Sharma, 1996). Sindrom Stevens Johnson
umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda terutama pria. Tanda-tanda
oral sindrom Stevens Johnson sama dengan eritema multiforme, perbedaannnya
yaitu melibatkan kulit dan membran mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala
umum yang lebih parah, termasuk demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri
dada, diare, muntah dan arthralgia (A Mansjoer, 2000).
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan
pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan
vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh
makula dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena
trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus
yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu
kuning menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami
perdarahan dan menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak
terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat
adalah lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai
faring, saluran pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi.
Lesi oral yang hebat dapat menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan,
sedangkan lesi pada saluran pernafasan bagian atas dapat menyebabkan keluhan
sulit bernafas (A Mansjoer, 2000).
Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti obat-obatan atau
infeksi virus. Mekanisme terjadinya sindroma adalah reaksi hipersensitif terhadap
zat yang memicunya. Sindrom Stevens-Johnson muncul biasanya tidak lama
setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan
kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh
reaksi tubuh pasien (Sri, 2011).
B. Patofisiologi Stevens Johnson Syndrome (SJS)
Hingga saat ini patofisiologi SSJ-NET masih belum jelas sepenuhnya.
Secara patologi, kerusakan jaringan berupa nekrolisis epidermal merupakan
gambaran dari adanya kematian sel keratinosit secara masif melalui proses
apoptosis. Apoptosis juga merupakan penanda awal dari SSJ-NET. Rangsangan
yang dapat menginduksi apoptosis antara lain tekanan seluler, kerusakan DNA
dan keberadaan sitokin intraselular. Apoptosis juga dapat terjadi akibat peranan
dari sel T sitotoksik terhadap keratinosit, melalui perforin-granzim B atau
interaksi Fas–FasL. Didapatkan bukti bahwa terdapat molekul sitotoksik lain yang
berperan dalam apoptosis keratinosit pada SSJ-NET, yaitu granulisin. Granulisin
merupakan sebuah protein kationik, sitolitik yang diproduksi oleh limfosit T
sitotoksik, sel natural killer (NK) dan sel natural killer T (NKT) yang ditemukan
dengan konsentrasi yang tinggi di dalam cairan bula pasien SSJ. Selain itu, injeksi
granulisin rekombinan pada kulit hewan coba tikus dapat menginduksi munculnya
nekrolisis epidermal dan infiltrat sel radang (Diana & Irawanto, 2020).
C. Farmakoterapi Stevens Johnson Syndrome (SJS)
Berikut merupakan tatalaksana dari Stevens Johnson Syndrome (SJS)
(Diana & Irawanto, 2020):
1) Terapi khusus
Nekrolisis epidermal sangat berhubungan dengan mekanisme
imunologi dan sitotoksik sehingga sejumlah besar obat imunosupresif
dan/atau terapi antiinflamasi diberikan untuk menghentikan perkembangan
penyakit ini, walaupun tidak ada yang jelas terbukti efektivitasnya.
Rendahnya prevalensi penyakit ini menyebabkan percobaan klinis acak
sulit dilakukan.
2) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid masih bersifat kontroversial.
Kortikosteroid dapat mencegah perpanjangan penyakit apabila diberikan
selama fase awal, yaitu dalam kurun waktu 72 jam sejak timbulnya gejala
pertama, misalnya melalui pemberian dexamethasone intravena (IV) 1,5
mg/kg/hari selama 3 hari berturut-turut. Terapi dengan infus
methypredinisolone 1.000 mg/hari selama 3 hari berturut-berturut juga
telah terbukti efektif. Methypredinisolone IV 500 mg per hari selama 2
hari dan 250mg per hari selama 3 hari berikutnya juga pernah
dilaporkan.23 Kim dkk memberikan terapi methypredinisolone 250-1.000
mg/hari pada pasien NET dan dilakukan tapering off dose secara bertahap
dengan methypredinisolone oral. Disarankan tapering off dose
predinisolone oral selama 7-10 hari.
3) Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Intravenous immunoglobulin (IVIG) merupakan antibodi yang
dapat menghambat ikatan FasL dengan Fas. Berdasarkan hipotesis bahwa
kematian sel yang dipicu oleh Fas dapat dihambat oleh anti-Fas, dosis
IVIG yang disarankan adalah dosis yang tinggi yaitu 0,75 g/kg/hari selama
4 hari berturut-turut. Semakin tinggi dosis IVIG yang diberikan akan
berbanding lurus dengan peningkatan angka harapan hidup. Akan tetapi,
IVIG juga tidak dapat dijadikan standar terapi dikarenakan adanya
penemuan yang menyatakan bahwa tidak hanya jalur Fas-FasL yang
terlibat dalam terjadinya nekrolisis epidermal.
4) Plasmaferesis atau hemodialysis
Penggunaan plasmaferesis atau hemodialisis dapat mengeluarkan
obat yang beredar di sirkulasi, berikut juga metabolitnya ataupun mediator
inflamasi seperti sitokin. Plasmaferesis dapat digunakan sebagai terapi
ajuvan yang efektif untuk pasien SSJ yang tidak merespon kortikosteroid
sistemik maupun IVIG dengan adekuat, serta untuk pasien dengan
komplikasi klinis yang parah seperti ensefalopati hepatik serta pada pasien
NET yang melibatkan lebih dari 70% luas permukaan tubuh.
5) Cyclosporine
Cyclosporine merupakan calcineurin inhibitor yang sering
digunakan pada pasien transplantasi dan penyakit autoimun. Obat ini dapat
memperpendek masa re-epitelisasi lengkap secara signifikan dan sedikit
yang mengalami kegagalan fungsi organ dan kematian pada observasi.
Mekanisme kerja cyclosporine sangat penting penggunaannya dalam
pengobatan SSJ-NET. Stevens-Johnson (SSJ)-NET ditandai dengan
apoptosis keratinosit luas yang diprakarsai oleh sel NK, sel T sitotoksik
dan TNF α. Sebagai imunosupresan kuat, cyclosporine pada NE
mempunyai efek biologis yang dapat menghambat aktivasi sel T,
mencegah produksi sitokin yang penting dalam patofisiologi SSJ-NET.
Dengan demikian cyclosporine secara selektif bekerja pada perubahan
imunologi yang memicu kematian keratinosit dan mencegah apoptosis.
Cyclosporine dengan dosis 5 mg/kg/hari selama 10 hari sejak onset SSJ-
NET dapat menurunkan risiko kematian dan dapat memberikan
penyembuhan lesi lebih cepat.
6) Terapi Pendukung
Pemberian terapi pendukung pada SSJ-NET mirip dengan
penatalaksanaan pada pasien luka bakar dengan tujuan untuk menghindari
komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Komplikasi yang dapat
timbul antara lain hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi
ginjal, serta sepsis. Terapi pendukung yang dibutuhkan antara lain
perawatan luka setiap hari, hidrasi dan dukungan nutrisi.
2. Masukkan data base pasien ke dalam format database (termasuk data subyektif dan
obyektif)
a. Database pasien
Identitas Pasien
▪ Nama Ny. ZN
▪ No. Rek Medik : 571279
▪ Tempat & tanggal lahir :-
▪ Dokter yg merawat : Shifa Nur A
▪ Umur : 38 Tahun
▪ Alamat : Dusun Ringinanom Solo
▪ Ras :-
▪ Pekerjaan : Tidak Bekerja
▪ Sosial :-
Riwayat masuk RS :-
Riwayat penyakit terdahulu : Cacar air
Riwayat sosial :-
Riwayat alergi :-
Riwayat pengobatan : diberikan suntik antibiotik oleh mantri
b. Pemeriksaan
Subyektif • Kulit melepuh di muka, badan, tangan, kelamin, dan paha
disertai rasa perih, nyeri tenggorokan dan sukar menelan sejak
2 minggu yang lalu.
• Terkena cacar dan bintik cacar timbul semakin banyak setelah
pengobatan sebulan yang lalu.
• 12 hari sebelum masuk RS pasien mengeluh perih dan merah
pada mata disertai kotoran mata dan bercak putih pada bagian
mata, badan terasa panas, tulang-tulang terasa nyeri, dan sesak
napas.
• Hasil pemeriksaan fisik di RS menunjukkan:
1. Kesadaran compos mentis dan sakit berat
2. Tampak eritema disertai multipel vesikel di ekstremitas
superior dan inferior serta regio genital.
3. Tampak multiple bula di region antebrachii sinistra dan
metacarpal sinistra.
4. Tampak lesi hiperpigmentasi di region abdomen dan
region thoraks anterior dan posterior.
5. Mukosa mulut mengalami erosi, ekskoriasi dan krusta.
6. Tampak mukosa mata bersekret mengalami peradangan.
Belum tampak adanya epidermolysis
Objektif • Tekanan darah 110/90 mmHg (Normal)
• Nadi 70x/menit (Normal)
• Pernapasan 25x/menit (Di atas normal)

3. Buatlah assessment termasuk melakukan skrining resep dokter


• Assessment
• Pemberian infus dekstrosa dan RL sudah sesuai dengan kondisi pasien, pemberian
terapi tersebut bertujuan sebagai perbaikan terhadap keseimbangan cairan, elektrolit,
dan protein. Pasien tersebut tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat
adanya lesi oral dan tenggorokan selama 2 minggu. Sehingga besar kemungkinan
pasien kehilangan banyak cairan dan elektrolit. Pasien mendapat terapi cairan berupa
infus Ringer Laktat (RL) dan dekstrosa sehingga kekurangan cairan dan elektrolit
pada pasien cukup dapat diatasi.
• Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid
yang diberikan kepada pasien yaitu deksametason dengan dosis 1 ampul tiap 8 jam.
Menurut literature, kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg/hari. Masa kritis biasanya dapat segera
diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi
baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5 mg
secara cepat setiap hari
• Pemberian gentamisin injeksi secara iv sudah sesuai untuk pasien yang menggunakan
preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi
dapat menyebabkan imunitas penderita menurun, maka antibiotik harus diberikan
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik.
• Pasien diberikan krim gentamisin 0,3% dan krim sulfadiazine perak untuk mengatasi
lesi kulit yang erosif. Hal tersebut karena adanya lesi hiperpigmentasi di region
abdomen dan region thoraks anterior dan posterior. Mukosa mulut juga mengalami
erosi, ekskorasi, dan posterior. Namun pemberian krim gentamisin dihentikan untuk
menghindari polifarmasi karena sudah diberikan gentamisin dalam bentuk injeksi dan
untuk mengatasi lesi pada kulit cukup diberikan krim sulfadiazine perak.
• Tidak diperlukan adanya antacid syr karena tidak ada data hasil lab ataupun keluhan
yang dirasakan pasien yang berhubungan dengan asam lambung, gastritis, tukak
lambung, tukak usus dua belas jari.
• Skrining Resep
A. Skrining administratif

PADA RESEP
NO URAIA TIDAK
N ADA
ADA
1 INSCRIPTIO
Identitas dokter √
Nama dokter √
SIP √
Alamat praktek √
Nomor telepon √
Tempat penulisan resep √
Tanggal penulisan resep √
2 INVOCATIO
Tanda penulisan resep (R/) √
3 PRESCRIPTIO/ORDONATIO
Nama obat √
Bentuk sediaan √
Kekuatan obat √
Jumlah obat √
4 SIGNATURA
Aturan pakai obat √
5 SUBSCRIPTIO
Tanda tangan/paraf dokter √
6 PRO
Nama √
BB √
Umur √
Alamat √

B. Skrining Farmasetis

NO. KRITERIA PERMASALAHAN


1. Bentuk sediaan -
2. Stabilitas obat Tidak tercantum.
3. Inkompatibiltas Tidak tercantum
4. Jumlah dan aturan Tidak ada kekuatan, jumlah, dan aturan pakai krim
pakai
sulfadiazine perak
Tidak ada cara pengguannya gentamisin krim
5. Cara pemberian
obat

C. Skrining Klinis
DRP Keterangan
Duplikasi obat Pasien diberikan gentamisin injeksi dan
gentamisin krim
Regimen dosis yang tidak sesuai - Frekuensi pemberian deksametason
injeksi yang kurang
- Dosis gentamisin yang diberikan
berlebih
Ada obat tidak ada indikasi Pasien diberikan antacid syrup,
sedangkan tidak ada data hasil lab
ataupun keluhan yang dirasakan pasien
yang berhubungan dengan asam
lambung, gastritis, tukak lambung, tukak
usus dua belas jari.
Ada indikasi tidak ada obat Pasien mengalami mengalami erosi,
ekskoriasi dan krusta di mulut tetapi
belum di terapi

Pasien mengeluh perih dan merah pada


mata disertai kotoran mata dan bercak
putih pada bagian mata,badan terasa
panas, belum ada terapi untuk mencegah
infeksi sekunder

RR Pasien diatas normal tetapi belum


diberikan terapi untuk sesak nafas

Kontraindikasi -
Reaksi obat yang tidak diinginkan Tidak tercantum
Aturan, cara dan lama penggunaan Tidak tercantum
Interaksi obat -
D. Monografi Obat

Rute
No Nama obat Indikasi Dosis Interaksi ESO Kontraindikasi
pemberian
Penggantian 18tpm Injeksi Tidak ada Demam, infeksi Penderita
cairan & kalori interaksi yang atau jar nekrosis sindrom
dibutuhkan. signifikan pd tempat malabsorpsi
diketahui. suntikan, glukosa-galaktos,
1 Infuse
trombosis vena penderita
dextrosa
atau flebitis di diabetikum
lokasi suntikan,
hipernatremia.
Untuk 18tpm Injeksi Preparat K & Ruam kulit, Hipernatremia
pengobatan Ca. Pembengkakan
kekurangan mata, Batuk
2 Infuse RL cairan dimana Pilek, Kesulitan
rehidrasi bernapas,
Demam, Sakit
kepala
Anti- 5 mg/8 Injeksi Acarbose, Penggunaan Infeksi jamur
inflamasi jam aspirin, jangka panjang: sistemik, herpes
sistemik karbamazepin, tukak lambung, simplex okuler
simetidin, hipoglikemia, aktif, malaria.
3 Dexametason ciprofloxacin, atropi kulit, lemah
antibiotic otot, menstruasi
golongan tidak teratur, sakit
makrolida, kepala
ibuprofen
Antibiotik 100mg/ Injeksi Sefalosporin, Gangguan Hipersensitivitas
untuk 12 jam metisilin, vestibuler dan terhadap
mengobati amfoterisin B, pendengaran, aminoglikosida,
septicemia, siklosporin, nefrotoksisitas, insufiensi ginjal
4 Gentamisin
ISK, infeksi - Krim cisplatin, hipomagnesemia
saluran nafas, diuretik poten pada pemberian
meningitis, (misalnya Asam jangka panjang,
infeksi kulit etakrilat,
dan jaringan
lunak.
Gejala yg 2 x sehari Sirup Simetidin & Urtikaria, ruam Penderita
terkait tetrasiklin. kulit, pruritus, gangguan fungsi
dengan asam angioedema & ginjal
lambung gangguan GI spt
berlebih; diare, mual,
gastritis, muntah, glositis
ulkus & stomatitis.
5 Antasid peptikum dan
duodenum
dgn gejala
seperti, mual,
nyeri
lambung &
nyeri ulu
hati.
Profilaksis - Krim Mempotensiasi Reaksi alergi Gagal ginjal,
dan efek termasuk rasa gangguan fungsi
pengobatan antidiabetes terbakar, gatal hai yang berat,
infeksi pada dari dan ruam; porfiria
6 Sulfadiazine perak
luka bakar; sulfonylureas. argyria
infeksi pada dilaporkan
leg ulcer dan menyusul
pressure penggunaan
sores; yang lama;
profilaksis leukopenia
infeksi di dilaporkan
tempat skin (awasi kadar
graft donor darah).
dan abrasi
ekstensif;
untuk
perawatan
konservatif
luka ujung
jari.
4. Buatlah rekomendasi terapi pada pasien, rute pemberian, regimentasi dosis, dan karakteristik fisika– kimia obat.

Problem Medik Rekomendasi Terapi Indikasi Rute Regimen Terapi


Pemberian
Steven Jhonson Syndrome 1 amp (5 mg) tiap
Dexamethasone Antiinflamasi IV 6 jam
Gentamisin Antibiotik IV 2 x 80 mg
Lesi pada kulit
Sulfadiazine perak krim Topikal Pemakaian luar
Antibiotik
Gentamisin Optalmik 1-2 tetes setiap 4 jam
Kenalog in oral Oleskan sebanyak 2-3
base Topical
kali/hari
Lesi pada mulut
Betadine gargle Topical 3-5 kali sehari.
Kekurangan nutrisi dan Infus RL Elektrolit IV 18 tpm
elektrolit Infus Dextrose Nutrisi parenteral IV 18 tpm
Sesak nafas Salbutamol Nebulizer 2,5
Bronkodilator Inhalasi 3x2,5 mg tiap 20 menit
mg
Karakteristik fisika– kimia obat

Nama obat Rumus Molekul Rumus Struktur Berat Molekul (gr/mol) Pemerian Kelarutan
Dexametason C22H29FO5 392,47 Serbuk hablur, Praktis tidak larut dalam air;
putih sampai agak sukar larut dalam aseton,
praktis putih; dalam dioksan dan dalam
tidak berbau; methanol; sukar larut dalam
stabil diudara; kloroform; sangat sukar larut
melebur pada dalam eter
suhu lebih
kurang 250°
Gentamicin C21H43N5O7 477,6 Berbentuk Sangat mudah larut dalam air;
padat, bentuk larut dalam piridin,
amorf putih dimetilformamida, dalam
media asam dengan
pembentukan garam; cukup
larut dalam metanol, etanol,
aseton; praktis tidak larut dalam
benzena, hidrokarbon
terhalogenasi
Sulfadiazine C10H9AgN4O2S 357,14 Bubuk kristal Praktis tidak larut dalam
perak putih ke putih alkohol, kloroform, dan eter;
krem, tidak sedikit larut dalam aseton; larut
berbau atau bebas dalam larutan amonia
hampir tidak 30%. Ini terurai dalam asam
berbau. Ini mineral yang cukup kuat.
menjadi kuning
saat terkena
cahaya.
Salbutamol C13H21NO3 239,31 Serbuk hablur, Agak sukar larut dalam air;
putih larut dalam etanol; melebur
pada suhu lebh kurang 156°

Triamisinolon C₂₁H₂₇FO₆ 434.5 g/mol Serbuk putih Tidak larut dalam air, sangat
acetonide
hablur mudah larut dalam etanol
Iodine I2 126,96 keping atau sangat sukar larut dalam air,
granul, berat, mudah larut dalam karbon
hitam keabu- disulfida, kloroform, eter,
abuan, bau etanol, dan larutan iodida, agak
khas, berkilau sukar larut dalam gliserin
seperti metal.
5. Sampaikan kepada dokter penulis resep jika resep pada masalah (tulis bagaimana cara
menyampaikannya ke dokter).

LEMBAR KERJA
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI (CPPT)
Nama pasien : Ny. ZN Diagnosa dokter: Sindrom Steven Johnson
Umur : 38 tahun Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dsn Ringinanom Solo
Ruang perawatan : Anggrek 807 Pekerjaan :-

TGL SOAP INSTRUKSI/PLAN

25/8 S: 1. Pemberhentian penggunaan Gentamicin


krim 0,3%
1. Kesadaran compos mentis dan tampak
sakit berat 2. Pemberhentian penggunaan Antasid syrup

2. Tampak eritema disertai multipel 3. Penambahan salbutamol inhalasi untuk


vesikel di ekstremitas superior dan sesak nafas
inferior serta regio genital.
4. Penambahan tetes mata gentamisin untuk
3. Tampak multipel bula di regio
antebrachii sinistra dan metacarpal mencegah infeksi mata
sinistra. 5. Penambahan betadine gargle dan Kenalog
4. Tampak lesi hiperpigmentasi di regio in oral base
abdomen dan regio thoraks anterior
6. Frekuensi pemberian dexamethasone
dan posterior.
injeksi di tingkatkan menjadi 4 kali sehari.
5. Tampak mukosa mulut mengalami
erosi, ekskoriasi dan krusta. 7. Penurunan dosis untuk gentamicin injeksi
6. Tampak mukosa mata bersekret menjadi 80 mg/12 jam.
mengalami peradangan.
7. Belum tampak adanya epidermolysis

O:

TD : 110/90 mmHg
RR : 25x/menit

N : 70 x/menit

A:

1. Terdapat duplikasi obat


2. Terdapat pengobatan tanpa indikasi
3. Terdapat indikasi tanpa obat
4. Terdapat obat yang melebihi dosis
5. Terdapat obat yang dosisnya kurang.

P:
1. Pemberhentian penggunaan Gentamicin
krim 0,3%
2. Pemberhentian penggunaan Antasid syrup
3. Penambahan salbutamol inhalasi untuk
sesak nafas
4. Penambahan tetes mata gentamisin untuk
mencegah infeksi mata
5. Penambahan betadine gargle dan Kenalog
in oral base
6. Frekuensi pemberian dexamethasone
injeksi di tingkatkan menjadi 4 kali sehari.
7. Penurunan dosis untuk gentamicin injeksi
menjadi 80 mg/12 jam.

Komunikasi kepada Dokter:

Apoteker : Selamat siang dok, apakah benar ini dengan dokter Shifa Nur A?
Dokter : Iya benar mba
Apoteker : Perkenalkan saya Hanum apoteker penanggung jawab di Instalasi Rumah Sakit
Enggal Senggal
Dokter : Oh iya mba, ada yang bisa dibantu mba?
Apoteker : Iya dok, saya ingin mengkonfirmasikan kembali mengenai resep dari dokter
untuk pasien atas nama Ny ZN yang berada di ruang Anggrek 807
Dokter : Baik, silahkan mba
Apoteker : Begini dok, jadi setelah saya melakukan skrining resep tadi ditemukan bahwa
terdapat duplikasi obat, adanya pengobatan tanpa indikasi maupun indikasi tanpa
obat, terdapat obat yang tidak sesuai dosis, serta terdapat beberapa obat yang tidak
lengkap aturan penggunaannya
Dokter : Kalau boleh tau untuk obat duplikasi apa saja ya mba?
Apoteker : Untuk duplikasi terdapat Gentamicin injeksi dan Gentamicin krim dok
Dokter : Begitu ya, kira-kira menurut mba bagaimana?
Apoteker : Menurut saya sebaiknya untuk penggunaan krimnya dihentikan saja dok, karena
sudah terdapat juga krim sulfadiazine perak
Dokter : Iya begitu saja, lalu tadi yang belum lengkap aturan pakainya obat apa ya mba?
Apoteker : Sebenarnya diresep tadi untuk Gentamicin krim sama sekali tidak ada aturan
penggunaannya dok, lalu untuk salep Sulfadiazine perak hanya dikatakan untuk
penggunaan luar
Dokter : Oh iya, tapi tadi kan Gentamicin krim sudah tidak jadi dipakai. Berarti tinggal
yang sulfadiazine perak kan? Itu digunakan seperlunya saja mba tiap 4 jam
Apoteker : Baik dok. Ohiya dok untuk Dexametason sebaiknya dilakukan penambahan
interval penggunaan menjadi 4 kali sehari dan untuk dosis Gentamicin sebaiknya
diturunkan menjadi 80 mg dok untuk tatalaksana pada pasien dengan Sindrom
Steven-Johnson ini
Dokter : Dexametasonnya apa tidak kelebihan kalau begitu?
Apoteker : Menurut jurnal untuk pasien dengan sindrom ini saat pengobatan pertama ada
baiknya diberikan 4-6 kali sehari, setelah lesinya membaik maka dilakukan
tappering off sampai dosis 5 mg/hari dok.
Dokter : Baik kalau seperti itu, kita tingkatkam saja frekuensi pemberian Dexametason
menjadi 4 kali, apakah ada lagi?
Apoteker : Untuk keluhan pasien lesi pada mulut itu sebaiknya diberikan tambahan terapi
kenalog in oral base 2-3 kali/hari, kemudian betadine gargle 3-5 kali sehari dok,
Dokter : Baik kalau seperti itu, kita tambahkan saja pemberian obat tersebut, apakah ada
lagi?
Apoteker : Untuk pemberian antasida pada pasien saya sarankan untuk dihentikan saja dok,
karena tidak ada data hasil lab ataupun keluhan yang dirasakan pasien yang
berhubungan dengan asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak usus dua belas
jari dok
Dokter : Baik kalau seperti itu, kita hentikan pemberian obat tersebut, apakah ada lagi?
Apoteker : Untuk sesak nafas yang dikeluhkan pasien saya dapat sarankan untuk diberikan
salbutamol inhalasi 3 x 2,5 mg tiap 20 menit, mengingat kondisi pasien yang sulit
menelan dan mulutnya luka Dok itu saja dok.
Dokter : Okey, kita ikuti saran dari mba dan nanti akan dilakukan monitoring terhadap
pasien ya
Apoteker : Baik dok, kalau begitu saya permisi dulu. Terimakasih dok, selamat siang
Dokter : Iya silahkan mba, selamat siang

6. Sarankan terapi non farmakologi untuk mendukung penyembuhan pasien


Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan untuk mendukung penyembuhan pasien
sebagai berikut:
1. Perawatan:
▪ Perawatan area genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel untuk perawatan area sekitar genital
dan kateterisasi untuk mempermudah BAK pasien.
▪ Perawatan area mulut
Untuk lesi dibagian mulut dapat menggunakan betadine gargele.
▪ Perawatan pada mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres dengan
larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial.
2. Diet rendah garam dan tinggi protein dianjurkan kepada penderita. Akibat
penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita mengalami
retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein
diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal.
3. Mengkonsumsi buah dan sayur yang kaya akan vitamin B kompleks dan vitamin C
4. Menjaga kebersihan diri, termasuk kebersihan mata dan mulut
5. Menggunakan pelembab
6. Kompresi dingin sekitar 20 hingga 30 menit
7. Lakukan Pemantauan Terapi Obat

PEMANTAUAN TERAPI OBAT

Tgl S O TERAPI ASESMEN DRP P M


25-08 - Tampak sakit berat TD : Infus Dekstrosa - Pernapasan Terdapat duplikasi - Pemberhentian Monitoring
tinggi obat (Gentamicin inj pernapasan normal
- Tampak eritema disertai 110/90 penggunaan Gentamicin
Infus RL ≥ 16x/ menit dan Geentamicin (12-16)
multipel vesikel di ekstremitas mmHg krim) krim
Dexamethasone - Kekurangan Monitoring lesi jika
superior dan inferior serta regio ampul Terdapat Pemberian - Pemberhentian lesi lama
elektrolit
sehingga pasien obat tanpa indikasi penggunaan Antacid mengalami
genital. Gentamicin inj (Antacid) involusi, maka
RR : lemas
- Penambahan tetes mata dosis
- Tampak multipel bula di regio
25x/menit Antacid syr - Mengalami lesi Terdapat indikasi gentamisin untuk Dexamethason
antebrachii sinistra dan tanpa terapi segera diturunkan
Gentamicin krim mencegah infeksi mata 5mg secara cepat
metacarpal sinistra. 0,3% Dosis setiap hari.
- Penambahan terapi
- Tampak lesi hiperpigmentasi di N : Dexamethasone
Sulfadiazine perak belum mencapai kenalog in oral base dan
regio abdomen dan regio krim dosis terapi betadine gargle untuk
70x/menit
thoraks anterior dan posterior. lesi di mulut
Dosis Gentamicin
- Tampak mukosa mulut melebihi dosis terapi - Penambahan salbutamol
mengalami erosi, ekskoriasi dan untuk sesak nafas

krusta. - Peningkatan frekuensi


pemberian injeksi
- Tampak mukosa mata bersekret
Dexametason menjadi 4
mengalami peradangan.
kali sehari
- Belum tampak adanya
- Penurunan dosis
epidermolysis
gentamicin menjadi 2 x
80 mg
DAFTAR PUSTAKA

A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Erupsi Alergi Obat. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Media Aesculapius

Adithan, C., 2006. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert Departement of Pharmacology
Volume 2 Issue 1. India: JIPMER, 1-4

Bunker, C. B., Ardern-Jones, M. R., Watson, K. M. T., Wong, G. A. E., Philippidou, M.,
Vercueil, A., Martin, R. V., Williams, G., Shah, M., Brown, D., Williams, P., Mohd
Mustapa, Creamer, D., Walsh, S. A., Dziewulski, P., Exton, L. S., Lee, H. Y., Dart, J. K.
G., Setterfield, J., M. F., & Smith, C. H. (2016). UK guidelines for the management of
Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis in adults 2016. Journal of Plastic,
Reconstructive and Aesthetic Surgery, 69(6), e119–e153.
https://doi.org/10.1016/j.bjps.2016.01.034

Diana, R., & Irawanto, M. E. (2020). Patofisiologi dan Manajemen Terapi Sindrom Steven-
Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (Net ). MEDICINUS, 33(2), 50–62.

Djuanda, A. (2007). Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi 5).
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Fakoya, A. O. J., Omenyi, P., Anthony, P., Anthony, F., Etti, P., Otohinoyi, D. A., & Olunu, E.
(2018). Stevens - Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis; extensive review of
reports of drug-induced etiologies, and possible therapeutic modalities. Open Access
Macedonian Journal of Medical Sciences, 6(4), 730–738.
https://doi.org/10.3889/oamjms.2018.148

Fitriany, J., & Alratisda, F. (2019). Stevens Johnson syndrome. Jurnal Averrous, 5(1), 487–488.

Karsenda, Y. (2013). Pemberian Kortikosteroid Pada Pasien Sindrom Steven- Johnson. Medula,
1(3), 93–97. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/viewFile/118/116

Ramayanti, S. (2011). Manifestasi Oral Dan Penatalaksanaan Pada Penderita Sindrom Stevens-
Johnson. Majalah Kedokteran Andalas, 35(2), 91.
https://doi.org/10.22338/mka.v35.i2.p91- 97.2011

Sharma, V. K., & Sethuraman, G. (1996). Adverse cutaneous reactions to drugs: an overview.
Journal of Postgraduate Medicine, 42(1), 15–22.

Anda mungkin juga menyukai