Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 13 DESEMBER 2022


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

SINDROM STEVEN JOHNSON

Disusun Oleh:

Patimah Sri Ayu Bijak Lestari Assagaf, S.Ked

Fitri Liana Sari H, S.Ked

PEMBIMBING :

dr. Helena Kendengan, Sp.KK

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan


Kulit dan Kelamin )

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW.
Referat berjudul “Sindrom Steven Johnson” ini dapat terselesaikan dengan
baik dan tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Secara khusus
penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr.
Helena Kendengan, Sp.KK selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan
koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya dan
memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik
moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis
berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, 13 Desember 2022

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Patimah Sri Ayu Bijak Lestari Assagaf, S.Ked
NIM : 105501100922
Nama : Fitri Liana Sari H, S.Ked
NIM : 105501100522
Judul Referat : SINDROM STEVEN JOHNSON

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 13 Desember 2022

Pembimbing

dr. Helena Kendengan, Sp.KK


BAB I

PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) pertama diketahui pada 1922 oleh dua
dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter
tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya Stevens Johnson Syndrome dijelaskan
pertama kali pada tahun 1922, Stevens Johnson Syndrome merupakan
hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat dari
eritema multiforme. Stevens Johnson Syndrome (SJS) (ektodermosis erosiva
pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema
multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel, bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan
dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang
mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari Sindrom
Stevens Johnson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang
memicu timbulnya Sindrom Stevens Johnson seperti obat-obatan atau infeksi virus.
Mekanisme terjadinya sindroma pada Sindrom Stevens Johnson adalah reaksi
hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Stevens Johnson Syndrome muncul
biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan
yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat
ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling
diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tidak disadari pasien,
jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien
akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika Stevens Johnson Syndrome akan
membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian
seperti syok anafilaktik. 1
BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Definisi

Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson atau nekrolisis


epidermal toksik adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi.
Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel
kulit sehingga epidermis mengelupas dan memisahkan dari dermis. Sindrom ini
dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput
lendir. Stevens Johnson Syndrome adalah sindroma yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel, bula dapat disertai purpura.3Stevens
Johnson Syndrome adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala
sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai
macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh,
terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh,
serta melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih.Sindrom Stevens
Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda terutama pria. Tanda-
tanda oral sindrom Stevens Johnson sama dengan eritema multiforme,
perbedaannnya yaitu melibatkan kulit dan membran mukosa yang lebih luas, disertai
gejala-gejala umum yang lebih parah, termasuk demam, malaise, sakit kepala, batuk,
nyeri dada, diare, muntah dan arthralgia. 1

Stevens Sindrom Johnson (SJS) mengancam jiwa akut reaksi mukokutan


ditandai dengan ekstensif nekrosis dan pelepasan epidermis. Stevens dan Johnson
pertama kali melaporkan dua kasus disebarluaskan erupsi kulit terkait dengan
stomatitis erosif dan keterlibatan okular yang parah.Pada tahun 1956, Lyell
menggambarkan pasien dengan hilangnya epidermal sekunder nekrosis dan
memperkenalkan istilah nekrolisis epidermal toksik. 2
TEN adalah varian maksimal dari SJS yang berbeda hanya sejauh keterlibatan
permukaan tubuh. Keduanya bisa dimulai dengan lesi makula dan seperti target;
Namun, sekitar 50% dari TEN kasus tidak, dan dalam hal ini, kondisinya berkembang
dari eritema difus menjadi segera nekrosis dan pelepasan epidermal. SJS: <10%
pelepasan epidermal, SJS/TEN tumpang tindih: 10–30% pelepasan epidermal, TEN :
>30% pelepasan epidermal. 2

B. Epidemiologi

Insiden keseluruhan SJS diperkirakan 1 sampai 6 kasus per juta orang-tahun


dan 0,4 hingga 1,2 kasus per juta orang-tahun, masing-masing.8,9 EN dapat terjadi
kapan saja dengan risiko meningkat seiring bertambahnya usia setelah yang keempat
dekade, dan lebih sering mempengaruhi wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6.
Pasien yang terinfeksi virus human immunodeficiency dan pada tingkat yang lebih
rendah pasien dengan penyakit vaskular kolagen dan kanker meningkat risiko.10–12
Kematian keseluruhan yang terkait dengan EN adalah 20% hingga 25%, bervariasi
dari 5% hingga 12% untuk SJS hingga lebihdari 30%. Bertambahnya usia,
komorbiditas yang signifikan, dan tingkat keterlibatan kulit yang lebih besar
berkorelasi dengan prognosis buruk. 2

Usia Onset. Usia berapa pun, tetapi paling umum di dewasa >40 tahun. Insiden
seks yang setara. Insiden keseluruhan. TEN: 0,4–1,2 per juta orang-tahun. SJS: 1,2–6
per juta orang-tahun. Faktor risiko. Lupus eritematosus sistemik, HLA-B12, HLA-
B1502, dan HLA-B5801 di Han Cina, HIV/AIDS.3

Insidensi SSJ diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan
Amerika Serikat. Angka kematian akibat SSJ bervariasi antara 5-12%. Berdasarkan
kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 1-3 kaus per satu juta
penduduk setiap tahunnya. Sindroma StevensJohnson juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari
semua usia dan tampaknya anak-anak lebih rentan. Penyebab utama sindroma
StevensJohnson adalah alergi obat (>50%). Dilaporkan terdapat lebih dari 100 obat
yang dapat menjadi penyebab yang mungkin dari SSJ. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan selama 5 tahun (1998- 2002), obat tersering yang diduga sebagai
penyebab SSJ adalah analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), dan jamu
(13,3%).4

Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya


Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat
yang sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan
analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya
merupakan golongan obat lain seperti amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin,
dan seftriakson.

C. Etiologi

Mekanisme pasti terjadinya sindrom steven Johnson belum sepenuhnya


diketahui. dikatakan multifaktorial. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini
merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multiforme mayor,
sehinga dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain:1

1. Infeksi

a) Virus

Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi saluran
nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu, Lympho
Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi Smalpox virus. Virus-virus
Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelits juga dapat menyebabkan Sindroma Stevens-
Johnson. Penyakit virus yang dapat menyebabkan SJS termasuk:6

 Herpes Simplex Virus (HSV)


 AIDS
 Infeksi virus coxsackie
 Influenza
 Hepatitis
 Mumps

Pada anak-anak, virus Epstein-Barr dan enterovirus dapat menyebabkan SJS. Lebih
dari setengah pasien dengan SJS dilaporkan mengalami infeksi saluran pernafasan
atas.

b) Bakteri1

Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma Stevens- Johnson


ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia, Psitacosis,
Tuberculosis, Tularemia,Lepromatous Leprosy atau Typhoid Fever.

Penyebab pasti dari Stevens Johnson Syndrome saat ini belum diketahui,
namun ditemukan beberapa hal sebagai pemicu seperti obat-obatan atau infeksi virus.
Stevens Johnson Syndrome biasanya muncul tidak lama setelah pemberian obat
suntik atau oral dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan tergantung reaksi tubuh
pasien.
c) Jamur1

Cocidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema Multiforme


Bulosa, yang pada keadan berat juga dikatakan sebagai Sindroma Stevens-Johnson.

1
d) Parasit Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.
2. Penyakit – penyakit kolagen vaskuler1

3. Alergi :

a) Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson antara


lain adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin,
analgesik/antipiretik (misalnya deriva salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron
dan paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin antipirin,
chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan.
Obat Antibiotik paling sering menyebabkan SJS, diikuti analgetik, obat flu dan
batuk, NSAID, psychoepileptics, dan obat-obatan anti asam urat. Antibiotik yang
sering menimbulkan SJS yaitu golongan penisilin dan obat-obatan sulfat, dan
ciprofloxacin. Obat-obatan antikonvulsan yaitu: phenytoin, carbamazepine,
oxcarbazepine (trileptal), valproic acid, lamotrigine, dan barbiturates. Obat-obatan
antiretroviral yaitu : nevirapine dan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor.
NSAIDs yaitu : devirat salisilat, pirazolon, metamizol, metamphiron, dan
paracetamol. Obat-obatan lain yaitu : Allopurinol , Mirtazapine ,TNF alpha antagonis
( contoh : infliximab, etanercept, adalimumab) ,Cocaine e. Sertraline , Pantoprazob
,Tramadol.6

Gambar 1 : obat dapat menyebabkan SJS2


SJS merupakan jenis reaksi hipersensitivitas obat yang tertunda, dengan masa
laten yang khas antara 4 sampai 28 harus dan kasus yang jarang terjadi selama 8
minggu setelah inisiasi obat. Obat-obatan dengan berat molekul rendah dan sering
berfungsi sebagai antigen asing yang diakui oleh reseptor sel T (TCRs) untuk
mengaktifkan respon imun adaptif. Dalam beberapa kasus, obat berinteraksi
langsung dengan TCRs yang terlibat dalam menyajikan molekul HLA antigent
presenting cell (APC). Model ini dikenal sebagai konsep p-i ( interaksi farmakologis
obat dengan reseptor imun).6
3. Faktor genetic yaitu system HLA yang berperan pada proses terjadinya sindrom
steven Johnson.1 Pembawa antigen leukosit dapat meningkatkan kemungkinan
timbulnya SJS. Alel HLA berhubungan dengan peningkatan timbulnya SJS dengan
eksposur pada obatobatan yang spesifik. HLA yang mungkin menyebabkan SJS
adalah : HLA-B*5801 berkaitan dengan obat allopurinol. HLA-A29, HLA-B12, dan
HLADR7 berkaitan dengan obat sulfonamide. HLA-B12 dan HLA-A2 berkaitan
dengan obat-obatan NSAID. HLA-A*0206 dan HLA-DQB1*0601 berkaitan dengan
obatobatan penyakit mata. reaksi alergi obat NSAIDs, yaitu asam mefenamat dimana
ikatan HLAB12 dan HLA-A2 dengan obat dan TCRs mengaktifkan CD8+ dan sel
NK sehingga menyebabkan apoptosis keratinosit yang menyebabkan timbulnya bula,
eritema, krusta, dan pseudomembran.6

D. Patofisilogi

1
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi
kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen
antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau
jaringan.Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap
dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik
ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi
pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut.1 Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin
dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga
terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan
endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi
akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun
sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan
kerusakan epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan
kulit sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan
cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia
dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.16
Sindrom steven johnson sampai saat ini masih belum didefinisikan pasti . Pada lesi
sindrom steven johnson terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratoinosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan
sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebabnya. Berbagai sitokin yang
terlibat yaitu IL-6, TNF-a , IFN-y, IL-8, Fas-L, granulisin, perforin , granzim-B.

F. Manifestasi klinis

Waktu dari paparan obat pertama hingga onset gejala: 1-3 minggu. Terjadi
lebih cepat dengan tantangan ulang, seringkali setelah beberapa hari; baru saja obat
tambahan adalah yang paling dicurigai. Prodromal : demam, malaise, artralgia 1-3
hari sebelum erupsi. Kelembutan kulit ringan sampai sedang, konjungtiva terbakar
atau gatal, lalu nyeri kulit, sensasi terbakar, nyeri tekan, parestesia. Lesi mulut
menyakitkan, lembut. Gangguan pencernaan, fotofobia, nyeri berkemih, kecemasan. 2

Lesi Kulit : Ruam Prodromal. Apakah morbiliform,bisa berupa lesi mirip target,
dengan/tanpa purpura (Gambar. 1); luka; sebagai alternatif, dapat dimulai dengan
eritema difus dan tanpa ruam (Gambar. 2).2
(Gambar 1): TEN, presentasi eksantema Ada ruam makula konfluen yang meluas
dengan kerutan epidermis di beberapa daerah. Ada detasemen epidermis di lokasi
tekanan (tanda Nikolsky) menghasilkan erosi merah. Letusan ini disebabkan
allopurinol.

(Gambar 2 ) : TEN, presentasi eksantema Ruam makulamulai menyatu. Dislodgment


dan penumpahan nekrotik epidermis telah menyebabkan erosi yang besar, mengalir,
dan sangat menyakitkan. Itu erupsi disebabkan oleh sulfonamida.

Lebih awal : Epidermis nekrotik pertama kali muncul sebagai area makula dengan
permukaan berkerut yang membesar dan menyatu (Gambar 1). Hilangnya epidermis
seperti lembaran (Gambar 2 ). Mengangkat lepuh lembek yang menyebar dengan
tekanan lateral (tanda Nikolsky) pada area eritematosa. Detasemen epidermis
ketebalan penuh menghasilkan dermis yang terbuka, merah, dan mengalir (Gambar
3.) menyerupai luka bakar termal tingkat dua. Distribusi: Eritema awal pada wajah,
ekstremitas, menjadi konfluen selama beberapa jam atau hari.
(Gambar 4). TEN, non-eksantema presentasi difus Pria berusia 60 tahun
inimengembangkan eritema difus hampir sepanjang seluruh tubuh, yang kemudian
menghasilkan epidermis berkerut, detasemen, dan shedding epidermis meninggalkan
erosi besar. Ini mengingatka pada luka bakar yang luas

Gejala prodromal SJS dapat berupa demam tinggi, astenia, sakit otot, diare, muntah,
atralgia dan faringitis yang mendahului keterlibatan 2 atau lebih mukosa dalam
beberapa hari. Gejala klinis SSJ biasanya timbul cepat 5 dengan keadaan umum yang
berat, disertai dehidrasi, gangguan pernafasan, muntah, , melena, pembesaran kelenjar
getah bening, hepatosplenomegali, sampai pada penurunan kesadaran dan
kejang.Perjalanan penyakit dapat berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu,
tergantung dari derajat berat penyakitnya.

1
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara
lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.
Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau targetoid
lesions. Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom
Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna
dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga
ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson. Lesi yang muncul
dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh
rentan terhadap infeksi sekunder. Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini,
ditandai dengan tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area
tubuh yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan
menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson.
Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome.

Gambar 1 : Gambaran makula eritema pada kulit wajah dan leher,


blepharokonjungtivitis serta krusta pada bibir. 5

Gambar 2 : Gambaran makula eritema – plakat pada bagian punggung,


telapak tangan dan kaki pasien.5
Status dermatologis pasien terdapat effloresensi berupa makula eritem dan erosi,
dari berbentuk bulat hingga tidak tegas, berukuran miliar-plakat yang berlokasi di
wajah, leher, dada, punggung, kedua lengan atas, telapak tangan dan telapak kaki
(gambar 1 dan 2 ).5

1
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital. Adanya
kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan,
ulserasi, dan nekrosis. Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada
bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan
timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat
menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama. pada bibir penderita. Selain itu,
lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan
esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna
makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia
atau buang air kecil.

Gambar 3 : Krusta pada bibir bagian atas, lesi mukosa bukal sinistra 6
1
Kelainan pada mata Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia
konjungtiva. Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka
dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat
menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali
dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.

Gambar 44

simblefaron dan erosi kornea didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
slit lamp yaitu adanya mata merah yang diikuti dengan perlekatan antara selaput
lendir pada kelopak mata dalam dan bulbus okuli. Berdasarkan literatur, manifestasi
akut sindroma Stevens-Johnson pada mata adalah inflamasi konjungtiva yang
menyebabkan defek epitel pada konjungtiva. Permukaan konjungtiva yang kasar
dapat berlanjut pada terjadinya perlekatan antara konjungtiva palpebral dan
konjungtiva bulbi yang disebut dengan simblefaron.

Gejala klinis SSJ biasanya timbul cepat dengan keadaan umum yang berat,
disertai demam, dehidrasi, gangguan pernafasan, muntah, diare, melena, pembesaran
kelenjar getah bening, hepatosplenomegali, sampai pada penurunan kesadaran dan
kejang.Perjalanan penyakit dapat berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu,
tergantung dari derajat berat penyakitnya.7
G. Diagnosis

1. Anamnesis 10,11

o Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.


o Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara
pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada
kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau mukosa.
o Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit (segera,
beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).
o Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae, virus,
imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.

2. Pemeriksaan fisis 8,10,11

o SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.
o Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta
kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis.Tanda Nikolsky positif.
o Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan
eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata
berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus. Kelainan mukosa oral
berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup pseudomembran putih keabuan
dan krusta. Kelainan genital berupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia
(perlekatan).
o Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ
dalam seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan
pernapasan dan batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif,
malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon.
3. Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis yang
terlepas (epidermolisis), yaitu: SSJ (<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap
NET (10-30%), dan NET (>30%).

4. Pemeriksaan Penunjang 9,10,11

a. Pemeriksaan laboratorium dilakukan bukan untuk kepentingan diagnosis,


tetapi untuk evaluasi derajat keparahan dan tatalaksana keadaan yang
mengancam jiwa. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi hematologi rutin, urea
serum, analisis gas darah, dan gula darah sewaktu.
b. Uji kultur bakteri dan kandida dari tiga area lesi kulit pada fase akut.
c. Pemeriksaan histopatologis dilakukan apabila diagnosis meragukan.
d. Diagnosis kausatif dilakukan setelah minimal 6 minggu setelah lesi kulit
hilang dengan:
o Uji tempel tertutup
o Uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte proliferation assays (LPA) dapat
digunakan secara retrospektif untuk menentukan obat yang diduga menjadi
pencetus.

Catatan: Uji provokasi peroral tidak dianjurkan.


3,10,11,12,13,14,15
H. Diagnosis Banding

1. Eritema multiforme major (EEM)

2. Pemfigus vulgaris
3. Mucous membrane pemphigoid
4. Pemfigoid bulosa

5. Pemfigus paraneoplastik
6. Linear IgA dermatosis

7. Generalized bullous fixed drug eruption


8. Bullous acute graft-versus-host disease

9. Staphylococcal scalded skin syndrome


10. Acute generalized exanthematous pustulosis
I. Tatalaksana 9,10,11

1. Penatalaksanaan Non Medikamentosa


a. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres dan
mencegah infeksi sekunder.
c. Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral maupun
nasogastrik.
2. Medikamentosa
a. Prinsip

 Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.


 Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan dimonitor
ketat untuk mencegah hospital associated infections (HAIs).
 Atasi keadaan yang mengancam jiwa.

b. Topikal
Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih banyak,
infeksi mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi.

Penanganan lesi kulit dapat secara konservatif maupun pembedahan


(debrideman).

 Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel petroleum dengan


50% cairan parafin.
 Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter spesialis mata.
c. Sistemik

 Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena dengan dosis setara


prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-
NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari untuk NET.
 Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan
parasetamol, dan jika nyeri berat dapat diberikan analgesik opiate-
based seperti tramadol.3

Pilihan lain:

 Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat diberikan


segera setelah pasien didiagnosis NET dengan dosis 1 g/kgBB/hari
selama 3 hari
 Siklosporin dapat diberikan
 Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat mempersingkat
waktu penyembuhan, tetapi tidak menurunkan angka mortalitas.
 Antibiotik sistemik hanya diberikan jika terdapat indikasi.

J. Edukasi10,11

1. Penjelasan mengenai kondisi pasien dan obat-obat yang diduga menjadi


penyebab.
2. Memberikan pasien catatan tertulis mengenai obat-obat yang diduga menjadi
pencetus dan memberikan edukasi pada pasien untuk menghindari obat-
obatan tersebut.
K. Komplikasi

1. Sepsis
2. Kegagalan organ dalam

L. Prognosis 9,11

Angka mortalitas sindrom steven johnson sekitar 5-12% dari seluruh kejadian,
prognosis pada SSJ sangat dipengaruhi oleh penyakit penyerta terutama penyakit
kronis sebelumnya seperti keganasan, prognosis dari SSJ tergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan keadaan umum pasien sebelumnya

Quo ad vitam : Dubia

Quo ad fungsionam : Dubia

Quo ad sanactionam : Dubia


Bagan Alur
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitriany Julia. Alratida Fajri. Steven Johnson Syndrome. Universitas Jurnal


Averrous. 2019 : 5(1).
2. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. Edisi ke-8 Volume 2. New York :
McGraw-Hill Education. 2012
3. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatologi. Edisi ke-7. New
York : McGraw-Hill Education. 2013
4. Suryowati Indah Daniar. Doemillah Ratna. Laporan Kasus Manifestasi Okuli Pada
Sindrom Stevens –johnson. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2021
:10(2).
5. Citra Dewi Bevi. Ravein. Steven Johnson Syndrome Pada Pasien HIV. Universitas
Andalas. 2020 : 5(2)
6. Meliawaty Florence. Putriani Wivda. Steven Johnson Syndrome Disebabkan Oleh
Drug Eruption Obat Aanalgetik. Universitas Jendral Achmad Yani. 2018 : 1(1)
7. Witarini Ayu Komang. Diagnosis Dan Tatalaksana Sindroma Steven Johnson Pada
Anak Tinjauan Pustaka. Fakultas Kedokteran Universitas Undaya. 2019 : 10(3).
8. Suwarsa O, Yuwita W, Dharmadji HP, Sutedja E. Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung,
Indonesia from 2009- 2013. Asian. Pac. J. Allergy Immunol. 2016.
9. Ye L, Zhang C, Zhu Q. The effect of intravenous immunoglobulin combined with
corticosteroid on the progression of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis: a meta- analysis. PLos One. 2016;1-17.

10. Creamer D, Walsh SA, Dziewulski P, et al. UK guidelines for the management of
Stevens- Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis in adults 2016. Br J
Dermatol. 2016;174:pp1194- 1227.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin. Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kulit Dan Kelamin Indonesia (Perdoski). Jakarta. 2017; 398-402
12. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Atlas Penyakit Kulit Dan Kelamin
Edisi 2. DEP./SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK.Unair/RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya. 2017
13. Aimee S. Payne. Mocus Membrane Pemphigoid (Mocus Membrane [Cicatricial]
Pemphigoid, Cicatricial Pemphigoid, Benign Mucosal Pemphigoid). 2019
14. Melvin I. Roat, MD, FACS, Ocular Mocous Membrane Pemphigoid. Sidney
Kimmel Medical Collenge at Thomas Jefferson University. 2022
15. Malviya Neeta. Curus Nika MD. Travis Vandergriff MD. Melissa Mauskar MD.
Generalized bullous fixwd drug eruption treated with cyclosporine. Affiliation :
Department of Dermatology, University of Texas Southwestern Medical Center.
Texas. 2017

Anda mungkin juga menyukai