Disusun Oleh:
PEMBIMBING :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW.
Referat berjudul “Sindrom Steven Johnson” ini dapat terselesaikan dengan
baik dan tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Secara khusus
penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr.
Helena Kendengan, Sp.KK selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan
koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya dan
memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik
moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis
berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pembimbing
PENDAHULUAN
Stevens Johnson Syndrome (SJS) pertama diketahui pada 1922 oleh dua
dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter
tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya Stevens Johnson Syndrome dijelaskan
pertama kali pada tahun 1922, Stevens Johnson Syndrome merupakan
hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat dari
eritema multiforme. Stevens Johnson Syndrome (SJS) (ektodermosis erosiva
pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema
multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel, bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan
dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang
mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari Sindrom
Stevens Johnson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang
memicu timbulnya Sindrom Stevens Johnson seperti obat-obatan atau infeksi virus.
Mekanisme terjadinya sindroma pada Sindrom Stevens Johnson adalah reaksi
hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Stevens Johnson Syndrome muncul
biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan
yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat
ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling
diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tidak disadari pasien,
jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien
akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika Stevens Johnson Syndrome akan
membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian
seperti syok anafilaktik. 1
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. Definisi
B. Epidemiologi
Usia Onset. Usia berapa pun, tetapi paling umum di dewasa >40 tahun. Insiden
seks yang setara. Insiden keseluruhan. TEN: 0,4–1,2 per juta orang-tahun. SJS: 1,2–6
per juta orang-tahun. Faktor risiko. Lupus eritematosus sistemik, HLA-B12, HLA-
B1502, dan HLA-B5801 di Han Cina, HIV/AIDS.3
Insidensi SSJ diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan
Amerika Serikat. Angka kematian akibat SSJ bervariasi antara 5-12%. Berdasarkan
kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 1-3 kaus per satu juta
penduduk setiap tahunnya. Sindroma StevensJohnson juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari
semua usia dan tampaknya anak-anak lebih rentan. Penyebab utama sindroma
StevensJohnson adalah alergi obat (>50%). Dilaporkan terdapat lebih dari 100 obat
yang dapat menjadi penyebab yang mungkin dari SSJ. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan selama 5 tahun (1998- 2002), obat tersering yang diduga sebagai
penyebab SSJ adalah analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), dan jamu
(13,3%).4
C. Etiologi
1. Infeksi
a) Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi saluran
nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu, Lympho
Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi Smalpox virus. Virus-virus
Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelits juga dapat menyebabkan Sindroma Stevens-
Johnson. Penyakit virus yang dapat menyebabkan SJS termasuk:6
Pada anak-anak, virus Epstein-Barr dan enterovirus dapat menyebabkan SJS. Lebih
dari setengah pasien dengan SJS dilaporkan mengalami infeksi saluran pernafasan
atas.
b) Bakteri1
Penyebab pasti dari Stevens Johnson Syndrome saat ini belum diketahui,
namun ditemukan beberapa hal sebagai pemicu seperti obat-obatan atau infeksi virus.
Stevens Johnson Syndrome biasanya muncul tidak lama setelah pemberian obat
suntik atau oral dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan tergantung reaksi tubuh
pasien.
c) Jamur1
1
d) Parasit Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.
2. Penyakit – penyakit kolagen vaskuler1
3. Alergi :
D. Patofisilogi
1
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi
kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi
yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen
antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau
jaringan.Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap
dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik
ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi
pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut.1 Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin
dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga
terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan
endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi
akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun
sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan
kerusakan epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan
kulit sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan
cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia
dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.16
Sindrom steven johnson sampai saat ini masih belum didefinisikan pasti . Pada lesi
sindrom steven johnson terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratoinosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan
sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebabnya. Berbagai sitokin yang
terlibat yaitu IL-6, TNF-a , IFN-y, IL-8, Fas-L, granulisin, perforin , granzim-B.
F. Manifestasi klinis
Waktu dari paparan obat pertama hingga onset gejala: 1-3 minggu. Terjadi
lebih cepat dengan tantangan ulang, seringkali setelah beberapa hari; baru saja obat
tambahan adalah yang paling dicurigai. Prodromal : demam, malaise, artralgia 1-3
hari sebelum erupsi. Kelembutan kulit ringan sampai sedang, konjungtiva terbakar
atau gatal, lalu nyeri kulit, sensasi terbakar, nyeri tekan, parestesia. Lesi mulut
menyakitkan, lembut. Gangguan pencernaan, fotofobia, nyeri berkemih, kecemasan. 2
Lesi Kulit : Ruam Prodromal. Apakah morbiliform,bisa berupa lesi mirip target,
dengan/tanpa purpura (Gambar. 1); luka; sebagai alternatif, dapat dimulai dengan
eritema difus dan tanpa ruam (Gambar. 2).2
(Gambar 1): TEN, presentasi eksantema Ada ruam makula konfluen yang meluas
dengan kerutan epidermis di beberapa daerah. Ada detasemen epidermis di lokasi
tekanan (tanda Nikolsky) menghasilkan erosi merah. Letusan ini disebabkan
allopurinol.
Lebih awal : Epidermis nekrotik pertama kali muncul sebagai area makula dengan
permukaan berkerut yang membesar dan menyatu (Gambar 1). Hilangnya epidermis
seperti lembaran (Gambar 2 ). Mengangkat lepuh lembek yang menyebar dengan
tekanan lateral (tanda Nikolsky) pada area eritematosa. Detasemen epidermis
ketebalan penuh menghasilkan dermis yang terbuka, merah, dan mengalir (Gambar
3.) menyerupai luka bakar termal tingkat dua. Distribusi: Eritema awal pada wajah,
ekstremitas, menjadi konfluen selama beberapa jam atau hari.
(Gambar 4). TEN, non-eksantema presentasi difus Pria berusia 60 tahun
inimengembangkan eritema difus hampir sepanjang seluruh tubuh, yang kemudian
menghasilkan epidermis berkerut, detasemen, dan shedding epidermis meninggalkan
erosi besar. Ini mengingatka pada luka bakar yang luas
Gejala prodromal SJS dapat berupa demam tinggi, astenia, sakit otot, diare, muntah,
atralgia dan faringitis yang mendahului keterlibatan 2 atau lebih mukosa dalam
beberapa hari. Gejala klinis SSJ biasanya timbul cepat 5 dengan keadaan umum yang
berat, disertai dehidrasi, gangguan pernafasan, muntah, , melena, pembesaran kelenjar
getah bening, hepatosplenomegali, sampai pada penurunan kesadaran dan
kejang.Perjalanan penyakit dapat berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu,
tergantung dari derajat berat penyakitnya.
1
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara
lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.
Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau targetoid
lesions. Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom
Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna
dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga
ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson. Lesi yang muncul
dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh
rentan terhadap infeksi sekunder. Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini,
ditandai dengan tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area
tubuh yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan
menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson.
Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome.
1
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital. Adanya
kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan,
ulserasi, dan nekrosis. Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada
bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan
timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat
menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama. pada bibir penderita. Selain itu,
lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan
esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna
makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia
atau buang air kecil.
Gambar 3 : Krusta pada bibir bagian atas, lesi mukosa bukal sinistra 6
1
Kelainan pada mata Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia
konjungtiva. Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka
dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat
menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali
dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.
Gambar 44
simblefaron dan erosi kornea didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
slit lamp yaitu adanya mata merah yang diikuti dengan perlekatan antara selaput
lendir pada kelopak mata dalam dan bulbus okuli. Berdasarkan literatur, manifestasi
akut sindroma Stevens-Johnson pada mata adalah inflamasi konjungtiva yang
menyebabkan defek epitel pada konjungtiva. Permukaan konjungtiva yang kasar
dapat berlanjut pada terjadinya perlekatan antara konjungtiva palpebral dan
konjungtiva bulbi yang disebut dengan simblefaron.
Gejala klinis SSJ biasanya timbul cepat dengan keadaan umum yang berat,
disertai demam, dehidrasi, gangguan pernafasan, muntah, diare, melena, pembesaran
kelenjar getah bening, hepatosplenomegali, sampai pada penurunan kesadaran dan
kejang.Perjalanan penyakit dapat berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu,
tergantung dari derajat berat penyakitnya.7
G. Diagnosis
1. Anamnesis 10,11
o SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.
o Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta
kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis.Tanda Nikolsky positif.
o Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan
eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata
berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus. Kelainan mukosa oral
berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup pseudomembran putih keabuan
dan krusta. Kelainan genital berupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia
(perlekatan).
o Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ
dalam seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan
pernapasan dan batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif,
malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon.
3. Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis yang
terlepas (epidermolisis), yaitu: SSJ (<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap
NET (10-30%), dan NET (>30%).
2. Pemfigus vulgaris
3. Mucous membrane pemphigoid
4. Pemfigoid bulosa
5. Pemfigus paraneoplastik
6. Linear IgA dermatosis
b. Topikal
Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih banyak,
infeksi mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi.
Pilihan lain:
J. Edukasi10,11
1. Sepsis
2. Kegagalan organ dalam
L. Prognosis 9,11
Angka mortalitas sindrom steven johnson sekitar 5-12% dari seluruh kejadian,
prognosis pada SSJ sangat dipengaruhi oleh penyakit penyerta terutama penyakit
kronis sebelumnya seperti keganasan, prognosis dari SSJ tergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan keadaan umum pasien sebelumnya
10. Creamer D, Walsh SA, Dziewulski P, et al. UK guidelines for the management of
Stevens- Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis in adults 2016. Br J
Dermatol. 2016;174:pp1194- 1227.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin. Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kulit Dan Kelamin Indonesia (Perdoski). Jakarta. 2017; 398-402
12. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Atlas Penyakit Kulit Dan Kelamin
Edisi 2. DEP./SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK.Unair/RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya. 2017
13. Aimee S. Payne. Mocus Membrane Pemphigoid (Mocus Membrane [Cicatricial]
Pemphigoid, Cicatricial Pemphigoid, Benign Mucosal Pemphigoid). 2019
14. Melvin I. Roat, MD, FACS, Ocular Mocous Membrane Pemphigoid. Sidney
Kimmel Medical Collenge at Thomas Jefferson University. 2022
15. Malviya Neeta. Curus Nika MD. Travis Vandergriff MD. Melissa Mauskar MD.
Generalized bullous fixwd drug eruption treated with cyclosporine. Affiliation :
Department of Dermatology, University of Texas Southwestern Medical Center.
Texas. 2017