Anda di halaman 1dari 4

JEJAK TANAH

Danarto

S aya meloncat dari tempat tidur ketika terdengar dering panjang bunyi bel dari pintu depan.
Dengan bersungut saya menuju ke ruang tamu sementara di luar hujan deras terdengar
menghempas-hempas tembok dan jendela yang didobrak-dobrak angin puyuh ditingkah geledek
yang menggelegar-gelegar. Jam menunjukkan dini hari ketika baru saja saya pulas setelah dua hari
dua malam tidak tidur. Dengan benak penuh tanda tanya, kenapa satpam di depan membiarkan bel
pintu ditekan terus-menerus, juga para pembantu yang tidak seorang pun muncul, saya meraba
gerendel dan memutar kunci. Begitu pintu saya buka, hujan dan angin menerpa keras tubuh saya
hingga terhuyung ke belakang, basah-kuyup, tampak sesuatu mengapung diam di depan pintu. Saya
berteriak sambil secepat kilat menutup pintu. Saya berlari ke tangga. Di lantai dua, kamar ibu saya
gedor-gedor. Terdengar dari dalam kamar, ibu berteriak, lalu membuka pintu.
“Jenazah ayah! Jenazah ayah!” teriak saya sambil memeluk ibu erat-erat.
“Jenazah ayahmu, kenapa? Jenazah ayahmu, kenapa?” teriak ibu sambil menggoyang-
goyang tubuh saya.
Saya seret ibu ke depan diikuti adik-adik dan para pembantu yang mendadak terbangun.
Saya buka cepat pintu kamar tamu, seketika hujan dan angin mengguyur tubuh. Ibu menjerit
menghambur keluar sambil memeluk jenazah ayah yang mengapung itu, diikuti jeritan adik-adik
yang tidak tahu apa yang sedang terjadi sambil menatap kosong jenazah berbalut kain kafan yang
tidak menyentuh tanah itu, yang ditarik-tarik ibu sekenanya.
“Kita harus bawa kembali ke kuburan!” teriak saya mencoba mengatasi deburan hujan dan
angin yang kesetanan ini. “Bangunkan sopir! Cepat!”
Ibu dan adik-adik saya terus menjerit-jerit sambil erat memeluk jenazah ayah yang tetap
mengapung tak dapat digaet ke tanah. Baru siang tadi kami kuburkan ayah.
Sekitar seribu demonstran, yang menentang pembebasan tanah untuk real-estate, sehari
sebelumnya mengepung kantor ayah. Mereka menuduh ayah pengembang yang haus darah.
Mereka menuduh seluruh real-estate yang dikembangkan ayah adalah perumahan mewah yang
dibangun dengan darah dan air mata. Mereka menuduh ayah penindas rakyat miskin.
Untuk menjaga keselamatan kami sekeluarga, ayah selalu dikawal dua orang body-guard,
ibu satu, dan anak-anak masing-masing satu. Di rumah dijaga enam satpam bersenjata yang bergilir
setiap delapan jam, selama dua puluh empat jam.
Sudah puluhan tahun penduduk dengan masing-masing keluarga mereka, pemukim tanah
yang dibebaskan itu, tinggal di kawasan itu. Merasa tanah permukiman itu miliknya dengan
memperlihatkan surat-surat kepemilikan, mereka gigih mempertahankannya meski ayah sudah
memperlihatkan surat pembebasan yang sah. Beberapa kali diadakan pertemuan dengan jumlah
uang pembebasan yang dirasa pantas, mereka tetap menolak untuk pindah. Alasan mereka, di tanah
itu, keluarga mereka berkembang, termasuk lahan pencarian nafkah dan lahan pendidikan anak-
anak mereka.
Kata mereka, memaksa pergi mereka sama dengan membunuh mereka. Lalu berkali-kali
mereka berdemonstrasi di gubernuran dan ingin berdialog dan meminta pertolongan gubernur.
Pada demonstrasi yang menentukan, ayah terbunuh. Bukan oleh senjata tajam, melainkan
oleh peluru. Musibah ini menyebabkan persoalan pembebasan tanah itu jadi melebar. Diseret-seret
pula masalah di luar soal jual-beli tanah, menjadikan petaka itu dianggap pembunuhan politik.
Sejumlah demonstran ditangkap. Mereka ditahan. Mereka jadi tersangka mendalangi
pembunuhan ayah. Mereka menolak tuduhan itu. Mereka berunjuk-rasa kembali menuntut
pembebasan teman-teman mereka sambil memasang tenda untuk menginap di tempat penahanan
rekan-rekannya. Mereka terus-menerus melakukan pendekatan, mencoba meyakinkan aparat

1
bahwa mereka tak mungkin mampu melakukan pembunuhan, misalnya, dengan membayar
pembunuh bayaran.
Di dalam mobil yang ngebut, ibu memeluk jenazah ayah dengan erat. Saya meringkus
bagian kaki, adik-adik menekan pundak dan kepala. Sesampai di kuburan, hujan dan angin masih
juga menggila. Sebatang senter saya sorotkan ke sana kemari, mencoba menembus kegelapan
malam yang meringkus kawasan pemakaman, mencari kuburan ayah. Berkali-kali kami jatuh
karena tersandung gundukan-gundukan kuburan, menyebabkan jenazah ayah terlepas dari tangan
kami. Terguling dan menjadi kotor oleh lumpur, kain kafan yang menghitam itu licin yang
membuat jenazah ayah semakin sulit dijamah.
Akhirnya ketemu juga, lubang kuburan itu menganga, yang segera kami cemplungkan
kembali jenazah ayah ke dalamnya. Dengan tangan, kami menggusur dan menggerus tanah di
samping lubang itu untuk menutupnya kembali. Kami berpacu dengan hujan dan angin kencang
serta lumpur, inilah kali pertama kami melakukan pekerjaan segenting ini.
Pagi harinya, dalam keadaan sangat kelelahan, saya perintahkan dua orang satpam yang
baru bergilir, ke pemakaman untuk menengok kuburan ayah. Beberapa saat kemudian satpam itu
menelepon bahwa kuburan ayah telah kosong. Ini berarti jenazah ayah telah kabur lagi. Saya belum
mau membangunkan ibu dan adik-adik karena pasti masih kelelahan dan dalam ketegangan. Lalu
saya lari ke seorang kiai yang menjadi penasihat keluarga kami.
“Bumi menolak jenazah ayah Nakmas,” kata kiai itu penuh keyakinan.
“Kenapa tanah menolak ayah yang telah jadi mayat, Kiai?” tanya saya.
“Karena ayah Nakmas tidak bersahabat dengan tanah,” jawab kiai.
“Tidak bersahabat bagaimana, Kiai?”
“Ayah Nakmas memusuhi tanah.”
“Memusuhi tanah, Kiai?”
“Ayah Nakmas menjadikan tanah sebagai barang dagangan sambil menyengsarakan warga
miskin yang sudah puluhan tahun tinggal di situ.”
“Ayah saya membeli tanah itu, Kiai.”
“Ayah Nakmas tidak membeli semua tanah yang dibebaskan, tapi menyengsarakan tanah.”
“Menyengsarakan?”
“Ayah Nakmas tidak memindahkan kuburan di tanah yang sudah dibebaskan itu. Tidak
peduli terhadap mesjid, sumur, maupun pohon, yang ikut menopang kehidupan di situ, langsung
dirobohkan begitu saja.”
“Tidak mungkin,” kata saya. “Ayah sangat memperhatikan semua kekayaan spiritual yang
ada pada seluruh tanah yang dibebaskan.”
“Nakmas. Semua tanah yang dibebaskan ayah Nakmas itu menangis.”
“Saya tidak percaya, Kiai.”
“Saya juga tidak percaya.”
“Ayah saya memegang teguh nilai-nilai agama dan mempraktikkannya dengan baik.”
“Saya percaya Nakmas berkata benar.”
“Tapi Pak Kiai mengungkapkan kata-kata yang tidak benar.”
“Saya berharap saya berkata tidak benar kepada Nakmas.”
“Saya merasa sulit memahami Pak Kiai.”
“Harus dibedakan antara saya dengan kebenaran.”
“Seluruh pendapat Pak Kiai berada di dalam diri Pak Kiai.”
“”Saya sangat terbatas. Kebenaran tak terbatas.”
“Maksud Pak Kiai, seluruh pendapat Pak Kiai tentang ayah saya adalah pendapat
kebenaran.”
“Nakmas sudah bisa membedakan, yang mana kebenaran, yang mana mulut saya.”
“Alangkah mengerikan.”
“Bisa saja ayah Nakmas tidak sadar atau tidak tahu apa yang telah beliau lakukan.”
“Lebih mengerikan lagi.”

2
“Saya tidak mampu menilai siapa pun. Juga terhadap ayah Nakmas. Jika saya bisa berkata-
kata, itu suara dari sumber yang tidak saya pahami.”
“Saya mencoba memahami Kiai.”
“Siapa yang mampu melihat penderitaan orang lain, Nakmas, kecuali yang tak terpahami.”
“Beban masing-masing kita sudah cukup berat, Kiai.”
“Kita hanya bisa saling ingat-mengingatkan.”
Pertemuan saya dengan Pak Kiai ini diakhiri dengan tanda tanya besar bagi keluarga kami.
Saya harus bisa mengambil hikmah. Tidak mungkin saya mendapat jawaban yang menyenangkan.
Pendapat Pak Kiai tentang ayah, saya rasa cukup objektif.
Kehidupan Pak Kiai sekeluarga, meski terbuka juga menyiratkan banyak keunikan.
Misalnya, Pak Kiai selalu menghidangkan makan kepada tamu-tamunya seberapa pun jumlahnya.
Nasi dengan lauk, lalapan dengan sambal, teh dan kopi. Saya melihat di meja tamu di sebelah ada
sekitar lima orang tamu sedang makan. Sedang di meja tamu yang lebih besar dengan sekitar lima
belas orang, juga sedang makan. Boleh dikata para tamu tidak menolak makanan yang
dihidangkan. Bahkan para tamu yang waktu datang sudah makan pun, ketika ditawari, bersedia
makan lagi. Banyak tamu yang mencari berkah dari makanan yang dihidangkan itu. Pak Kiai
sendiri tidak makan.
Saya tahu, Pak Kiai berkata apa adanya. Hanya saja kami sering tidak memahaminya.
Terlalu cerewet dengan macam-macam pertanyaan yang sering tidak ada gunanya, termasuk dari
saya.
Sebenarnya sudah lama Pak Kiai memberi peringatan kepada tamu-tamunya lewat cerita
yang umum yang bisa dipegang oleh setiap orang yang merasa. Misalnya, setelah menginjak usia
tua, setiap orang seharusnya menanjak pula kekuatan spiritualnya, namun justru banyak yang
menurun. Bahkan melenceng, sehingga cukup berbahaya bagi jalan hidupnya. Puluhan tahun
seseorang membina hidupnya untuk bisa berjalan lurus, berusaha sekuat tenaga untuk tidak
tergelincir, justru di hari tuanya sudah tidak mampu berpegangan lagi, lalu jatuh terguling-guling.
Mestinya seseorang cukup layak masuk surga, akhirnya malah sebaliknya. Dari cerita begini
banyak pula yang sadar – begitu kisah dari Kiai selanjutnya – lalu banyak orang yang tidak siap
mati, memohon diberi kesempatan sedikit untuk meluruskan kembali jalan hidupnya. Tapi apa mau
dikata, orang itu tiba-tiba mati. Maka setiap kali dalam pengajiannya, Kiai selalu mengingatkan
bahwa kematian tidak mengetuk pintu.
Ibu menjerit setelah sore harinya saya beri tahu bahwa jenazah ayah telah meninggalkan
kuburannya. Kami lalu tancap gas ngebut ke pemakaman lagi. Dua orang satpam yang
menungguinya mematung. Lubang kuburan itu menganga seolah menantang kami untuk
mengembalikan jenazah ayah ke dalamnya. Sambil menangis kedua adik saya menanyakan ke
mana perginya jenazah ayah. Adik-adik lalu dipeluk ibu, ketiganya bertangisan.
Malam harinya, bel pintu berdering panjang. Saya, ibu, adik-adik, satpam, para pembantu,
bersamaan keluar dan menyaksikan jenazah ayah mengapung diam di pelataran. Kami bertangisan
sambil memasukkan jenazah ayah ke dalam mobil, mengantarkannya ke makam dan
menguburkannya kembali. Esoknya, satpam menelepon bahwa lubang kuburan kembali menganga
tanpa jenazah ayah di dalamnya. Malam harinya kembali bel berdering panjang dan kami
berbondong keluar mendapatkan kembali jenazah ayah mengapung diam di pelataran.
Dengan persiapan matang, kami seberangkan jenazah ayah ke Pulau Seribu dan
menguburkannya di sana. Makam itu kami beton dan dua orang satpam menjaganya. Beberapa hari
kemudian, satpan menelepon bahwa kuburan itu kembali kosong dan tak tahu ke mana jenazah
ayah pergi.
Saya sudah sangat lelah. Begitu pula ibu. Kedua adik saya sudah tidak tahan lagi, mereka
ke Yogya untuk melupakan semuanya itu.
Malam hari, bel pintu berdering panjang lagi. Saya dan ibu mengintip dari korden jendela,
terlihat jenazah ayah mengapung diam di pelataran. Kami sudah memutuskan untuk tidak hirau lagi
terhadap nasib yang menimpa jenazah ayah.

3
Masya Allah! Pagi harinya ternyata jenazah ayah itu masih mengapung diam di pelataran.
Kami jadi ribut karena bau busuk jenazah itu memenuhi udara, mengepung rumah kami.

***

Tangerang, 11 Desebmer 2000


Dikutip dari Jejak Tanah, kumpulan cerpen pilihan Kompas 2002 (ed. Kenedi Nurhan)

Anda mungkin juga menyukai