Penyunting:
La Ode Adili
Amirudin
Ahid Hidayat
UHO EduPress
Kendari, 2021
Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa dan Sastra:
“Penguatan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”
Kendari, 5–6 November 2020
Penerbit
UHO EduPress
Kampus Hijau Bumi Tridarma
Jalan Eddy A. Mokodompit, Kendari 93231
WA : 0811 404 044
surel : press@uho.ac.id
x + 154 hlm., 17,5 cm x 25 cm
ISBN 978-623-91098-8-2 (e/pdf)
Juni, 2021
v
Sambutan Rektor Universitas Halu Oleo
vii
belum semaju saat ini. Hal ini merupakan hikmah; Allah Swt. memberikan
cobaan kepada kita sesuai dengan batas kemampuan.
Seminar hari ini berkaitan dengan Sumpah Pemuda yang diikrarkan
pada 28 Oktober 1928. Jadi, peringatan Bulan Bahasa dan Sastra berkaitan
dengan itu. Dari dulu hingga sekarang banyak yang terjadi dengan bahasa,
termasuk istilah-istilah yang baru muncul. Dalam seminar ini tentu akan
terjadi diskusi dan berbagi pendapat antara narasumber dan peserta seminar.
Semua ilmu harus beradaptasi dengan kemajuan, termasuk perkembangan
bahasa Indonesia.
Mudah-mudahan dari seminar hari ini dapat kita mengambil manfaat,
terutama dari para ahli bahasa seperti Kepala Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa—dapat memberikan penjelasan arah pembinaan bahasa
dewasa ini sesuai dengan visi dan misi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Semoga kegiatan seminar ini dapat memberi manfaat kepada
kita sekalian.
viii |
Laporan Ketua Panitia Seminar Nasional Bulan Bahasa
ix
menghadirkan tiga belas pemakalah. Hari pertama—Kamis, 5 November
2020—akan diisi oleh empat pemakalah, yakni Prof. E. Aminudin Aziz
(Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia), Prof. La Ode Sidu Marafad (Universitas
Halu Oleo), Prof. Muhammad Rapi Tang (Program Pascasarjana Universitas
Negeri Makassar), dan Prof. Ketut Artawa (Program Pascasarjana Universitas
Udayana). Hari kedua—Jumat, 6 November 2020—akan diisi oleh sembilan
pemakalah, yakni Prof. Zalili Sailan, Prof. Barlian, Prof. Haerun Ana, La Ode
Sahidin, Sulfiah, Amirudin, La Ode Adili, Sahlan, dan La Ode Balawa—para
dosen di Universitas Halu Oleo.
Mewakili panitia, saya menyampaikan terima kasih atas kehadiran
narasumber dan seluruh peserta dalam seminar ini dan menyampaikan
permohonan maaf bila dalam pelaksanaan seminar ini banyak terdapat
kekurangan dan menyebabkan ketidaknyamanan. Kami berharap Bapak
Rektor Universitas Halu Oleo dapat memberikan sambutan sekaligus
membuka dengan resmi kegiatan Seminar Nasional Bulan Bahasa dan Sastra
Tahun 2020.
x|
Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas Bangsa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
1
BAHASA DAN PIKIRAN
Bila merujuk kepada teori, akan ditemukan sejumlah teori tentang pikiran
dan bahasa. Ada yang mengatakan bahasa menentukan pikiran atau ada yang
mengatakan pikiran itu justru menentukan konstruksi bahasa. Ada juga yang
mengatakan bahwa ada hubungan antara bahasa dan pikiran, tetapi hubungan
itu tidak saling menentukan. Hal tersebut dipelajari dalam sosiolinguistik
yang mengkaji bagaimana bahasa dan pikiran itu saling terkait satu sama lain.
Wilhelm von Humboldt memandang pikiran manusia bergantung pada
bahasa. Suatu masyarakat hidup pada ketentuan bahasa masyarakatnya itu
sendiri dan tidak dapat menyimpang lagi dari garis yang ditentukan oleh
bahasanya. Bila masyarakat mengubah pandangan hidupnya, berarti harus
mempelajari bahasa yang baru.
Edward Sapir & Benjamin Lee Whorf mengemukakan Whorfian
hypotheses berikut. Pertama, pandangan hidup suatu masyarakat ditentukan
oleh struktur bahasanya. Kedua, setiap bahasa menggambarkan cara berpikir
penuturnya. Ketiga, sistem linguistik setiap bahasa tidak hanya menyuarakan
ide, tetapi justru merupakan pembentuk ide, merupakan program untuk melihat
kegiatan mental seseorang, penentu analisis kesan, dan sintesis struktur mental
seseorang. Tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran. Keempat, untuk
menjelaskan bahasa memengaruhi pikiran manusia, Whorf mengambil contoh
bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena
orang Jepang mempunyai banyak kosakata dalam menjelaskan sebuah realitas.
Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail
tentang realitas. Kelima, orang yang menggunakan bahasa yang berbeda akan
mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap suatu hal. Bahasa adalah
kunci untuk memahami perbedaan cara pandang manusia terhadap dunia.
Pada tahun 1980-an, John Gumperz dan Levinson berbicara tentang
filsafat relativitas bahasa dan pikiran. Teori relativitas bahasa merupakan
bagian dari filsafat relativisme. Filsafat ini memandang bahwa bahasa
bukanlah sebuah entitas yang statis atau mutlak. Bahasa diyakini dapat
memengaruhi pikiran seseorang. Bahasa memengaruhi cara berpikir individu
dan bagaimana mereka melihat dunia atau realitas.
TAKSONOMI BAHASA
Suatu fakta yang bisa ditemukan ketika berbicara tentang bahasa dan pikiran,
teori yang disebut dengan teori taksonomi bahasa. Taksonomi itu, dapat
diambil contoh beberapa saja. Istilah dalam sistem kekerabatan misalnya,
sistem kekerabatan dalam bahasa Sunda ada tujuh istilah—ada istilah
anak, bapak, kakek, nenek dan seterusnya ke atas itu dalam tujuh tingkatan.
Sementara, di dalam bahasa Inggris istilah itu tidak ditemukan. Dalam bahasa
Inggris hanya ada dua level, yakni son and daughter, father and mother. Bahasa
Arab juga memiliki yang berbeda. Kembali ke dalam contoh bahasa Inggris,
ketika menunjuk kepada kakek, tidak ada istilah khusus untuk kakek sehingga
digunakan istilah grandfather. Bahasa Inggris juga tidak memiliki istilah untuk
nenek sehingga muncullah istilah grandmother. Kemudian, kalau misalnya
untuk yang lebih atasnya lagi seperti bapaknya kakek (buyut), dalam bahasa
Inggris digunakan istilah great grandfather. Ini menunjukkan bagaimana mereka
sesungguhnya berbudaya. Berbeda dengan bahasa Arab, mungkin juga berbeda
dengan bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa daerah di Kendari yang pasti memiliki
keunikan. Keunikan itu menunjukkan bagaimana sesungguhnya kedekatan
hubungan antara seorang anak dengan seorang bapak/ibu dan keluarga ke atas
atau ke bawah sampai kepada cucu cicit dan seterusnya.
Spektrum warna itu juga menunjukkan hal yang sama. Ada sebuah
budaya yang hanya memiliki istilah hitam, putih, merah, dan biru. Namun, ada
juga bahasa yang tidak memiliki istilah warna untuk warna tertentu, misalnya
istilah untuk jingga. Orang Inggris tidak memiliki istilah jingga karena
mereka menyebutnya orange, sementara orange adalah nama buah. Demikian
juga, bahasa Indonesia tidak mempunyai istilah brown yang dipadankan
dalam bahasa Indonesia menjadi cokelat. Padahal, cokelat adalah nama buah.
Kemudian juga penunjuk waktu dan seterusnya yang menunjukkan bahwa
hidup dipengaruhi oleh budaya.
(Aziz, 2011)
Tabel 2 Aspek Budaya yang Membuat Orang Sunda Menjadi “Sunda Sejati”
(Aziz, 2011)
PENUTUP
Sekalipun bahasa Indonesia belum/bukan/tidak akan menjadi nilai budaya
inti masyarakat Indonesia secara kolektif, ia lambat laun akan memiliki posisi
yang menguat dalam setiap bentuk dan fungsinya. Setiap warga Indonesia
akan menemukan bahasa Indonesia sebagai salah satu ciri nasionalisme yang
akan mengokohkan integrasi bangsa dan bisa menapaki martabat tinggi dalam
pergaulan internasional. Ini adalah harapan kita tentang bahasa Indonesia
yang sangat ideal.
DAFTAR RUJUKAN
Aziz, E. A. (2011). Budaya inti, sikap bahasa, dan pembangunan karakter bangsa:
Kasus penutur bahasa-bahasa daerah utama di Indonesia. Prosiding Kongres
Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) 2011. Bandung: UPI
Press.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016) Kamus besar bahasa Indonesia
(edisi V). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hudson, R. A. (1980). Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Malinowski, B. (1936). The problem of meaning in primitive languages. Dalam C.
K. Ogden & I. A. Richards, The meaning of meaning (Supplement I: 296–336).
London: Kegan Paul.
Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. New York: Harcourt
Brace.
Smolicz, J. J. & Secombe, M. J. (1985). The Australian school through children’s eyes.
Melbourne: Melbourne University Press.
Whorf, B. (1956), Carroll, J. B. (ed.). Language, thought, and reality: Selected writings
of Benjamin Lee Whorf. Massachusetts: MIT Press.
La Ode Sidu Marafad Kebijakan bahasa sangat penting dalam kerangka menjaga
dan melestarikan bahasa-bahasa daerah yang ada di
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Sayangnya, pemerintah belum terlalu serius untuk
dan Sastra Indonesia mengurusi hal ini. Bahasa daerah di Indonesia berjumlah
FKIP Universitas Halu Oleo
ribuan. Namun, bahasa daerah yang sudah terdata baru
sekitar 700 bahasa. Diperkirakan jumlah bahasa daerah
yang belum tercatat masih lebih banyak daripada yang
sudah terdata. Jumlah bahasa daerah menggambarkan pula
ragam budaya di Indonesia karena setiap produk budaya
dilabel dengan bahasa daerah. Setiap bahasa daerah
memiliki fungsi, peran, dan manfaat bagi penuturnya.
Bahasa daerah memiliki fungsi yang sangat penting bagi
masyarakat penuturnya. bahasa daerah memiliki fungsi
dan peran strategis dalam kelestarian budaya lokal. Karena
itu, bahasa daerah sangat penting untuk dilestarikan,
dipelihara, dan dilindungi. Pemertahanan bahasa daerah
dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga, lingkungan
masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan pemerintah,
teknologi, media cetak, media elektronik, musik modern,
media seni dan media sastra, upacara-ritual, serta permainan
tradisional/permainan rakyat.
kata kunci: strategi, pemertahanan, bahasa daerah,
globalisasi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
13
PENDAHULUAN
Bahasa daerah di Indonesia berjumlah ribuan. Namun, bahasa daerah yang
sudah terdata baru sekitar 700 bahasa. Diperkirakan jumlah bahasa daerah
yng belum tercatat masih lebih banyak daripada yang sudah terdata. Bahasa
daerah yang sudah terdata itu, di antaranya: bahasa Muna, bahasa Tolaki,
bahasa Moronene, bahasa Wawonii, bahasa Kulisusu, bahasa Wakatobi,
bahasa Tulambatu, bahasa Kodeoha, bahasa Menui, bahasa Wolio, bahasa
Cia-Cia, bahasa Bosoa, bahasa Makassar, bahasa Bugis, bahasa Toraja,
bahasa Kaili, bahasa Minahasa, bahasa Totemboa, bahasa Miangas, bahasa
Paso, bahasa Wanat, bahasa Tulehu, bahasa Hitu, bahasa Gotom, bahasa Kei,
bahasa Tanimbar, bahasa Sula, bahasa Sanana, bahasa Waigeo, bahasa Biak,
bahasa Genyem, bahasa Wamena, bahasa Nabire, Merauke, Jawa, bahasa
Madura, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Sumba, bahasa Sumbawa, bahasa
Flores, bahasa Kupang, bahasa Pura, bahasa Blagar, bahasa Lamholot, bahasa
Melayu, bahasa Batak, bahasa Mentawai, bahasa Palembang, bahasa Sasak,
bahasa Ngadha, dan bahasa Lio.
Jumlah bahasa daerah di atas menggambarkan pula ragam budaya di
Indonesia karena setiap produk budaya dilabel dengan bahasa daerah. Setiap
bahasa daerah memiliki fungsi, peran, dan manfaat bagi penuturnya. Fungsi
bahasa daerah di antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut ini: (1)
identitas suatu suku bangsa; (2) alat pemersatu suatu suku bangsa; (3) alat
komunikasi luas suatu suku bangsa; (4) sumber pemerkaya kosakata bahasa
Indonesia; (5) media seni dan sastra daerah; (6) media upacara-ritual suatu
suku bangsa; (7) bahasa mantra suatu suku bangsa; dan (7) alat pelestari
produk budaya suatu suku bangsa.
Pada umumnya, kondisi kebertahanan bahasa daerah di Indonesia
sekarang sudah memprihatinkan bagi pencinta dan pemerhati bahasa daerah.
Kenyataan di lapangan, jumlah penutur bahasa daerah—baik di kota maupun
di desa—semakin menurun. Bila diamati dengan saksama, penutur aktif
bahasa daerah sisa orang-orang dewasa dan orang-orang tua, nenek-nenek/
kakek-kakek yang ada di desa. Sementara anak-anak dan remaja sebagian
besar bukan lagi penutur aktif. Mereka memilih menggunakan bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi karena tidak lagi menguasai bahasa daerah.
Apa penyebab mereka tidak lagi menguasai bahasa daerah? Ada
beberapa faktor yang menyebabkan mereka tidak menguasai bahasa daerah.
Pertama, sikap berbahasa: (a) malu berbahasa daerah; (b) bahasa daerah
SIMPULAN
1) Bahasa daerah memiliki fungsi-fungsi dan peran strategis dalam kelestarian
budaya lokal.
2) Bahasa daerah sangat penting untuk dilestarikan, dipelihara, dan dilindungi.
3) Pemertahanan bahasa daerah dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga,
lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan pemerintah,
teknologi, media cetak, media elektronik, musik modern, media seni dan
media sastra, upacara-ritual, serta permainan tradisional/permainan rakyat.
REKOMENDASI
1) Di lingkungan keluarga, sebaiknya anggota keluarga menggunakan dua
bahasa: bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bagi keluarga yang mampu
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A. (2010). Pengantar sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ellis, E. (1986). Bahasa daerah sebuah pengantar pembelajaran komunikatif. Jakarta:
Gramedia Utama.
Halim, A. (1981). Fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia. Dalam Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Politik bahasa nasional. Jakarta: Balai Pustaka.
Huda, N. (1999). Bahasa dan pengajaran. Malang: Penerbit IKIP Malang.
Nababan, P. W. (1993). Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia.
Purwo, B. K. (2000). Bangkitnya kebinekaan: Dunia linguistik dan pendidikan.Jakarta:
Mega Media.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
19
PENDAHULUAN
Hakikat sastra pada dasarnya bukanlah ilmu. Sastra adalah cabang seni yang
ditentukan oleh faktor manusia dan penafsiran, khususnya masalah perasaan,
semangat, dan kepercayaan. Oleh karena itu, sastra mempunyai cakupan yang
sangat luas, tergantung dari sisi mana manusia memandangnya.
Dalam dunia pendidikan, kajian sastra mampu memberikan sumbangsih
yang cukup besar dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial, dan dalam sastra itu
sendiri. Sastra mampu menjawab apa yang pernah ada di muka bumi, karena
sastra berasal dari hasil pengamatan tentang apa yang terjadi di sekelilingnya
sebagai opini yang harus diungkapkan serta hasil dari akibat pengalaman
batin. Sastra adalah hasil dari olah pikir, rasa, dan karsa manusia sehingga
sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.
Berdasarkan pengamatan, proses pembelajaran sastra di berbagai jenjang
pendidikan belum mendapatkan hasil yang maksimal jika ditinjau dari aspek
kreativitas dan humanitas. Padahal, aspek yang sangat diperlukan dalam
membuat sastra adalah kreativitas, baik sebagai pencipta maupun selaku
penikmat yang mengapresiasi karya sastra. Peranan pengajar sangat diperlukan
dalam menciptakan model pembelajaran sastra. Karena itu, seorang pengajar
haruslah mengetahui hakikat sastra serta hakikat pembelajaran sastra.
Proses pembelajaran sastra adalah suatu proses yang mempunyai
fungsi yang berbeda, proses yang sama, dan terpisah. Fungsi berbeda,
yakni meningkatkan daya apresiasi sastra bagi pembelajar sesuai dengan
tujuan pembelajaran. Proses yang sama, yakni pembelajaran dilaksanakan
sesuai dengan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif yang sering
diterapkan pada pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar bagi
pembelajar. Terpisah artinya materi pembelajaran sastra seharusnya berdiri
sendiri dan tidak terintegrasi dalam pembelajaran bahasa. Proses belajar ini
harus diefektifkan. Apabila proses pembelajaran sastra berlangsung efektif,
itu berarti telah terbina suatu hubungan yang unik antara pengajar dan
pembelajar. Proses itu adalah mata rantai yang menghubungkan keduanya
(Gordon dalam Sahabuddin, 1995: 2). Sama halnya dengan pembelajaran
sastra di sekolah, keberhasilannya ditentukan oleh guru dan siswa itu sendiri.
Pembelajaran sastra merupakan suatu proses memperkaya pengalaman
dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya.
Tujuan akhirnya adalah menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan
kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi serta pengenalan dan rasa
SIMPULAN
Beberapa model pembelajaran sastra sebagai solusi dan alternatif pada
situasi pembelajaran online, yaitu model pembelajaran Stratta, Taba, Moody,
dan Rodrigues-Badaczewski yang merupakan model pembelajaran sastra
yang berpusat pada pembelajar untuk meningkatkan kreativitas. Model-
model tersebut dapat diimplementasikan dengan basis learning centered,
yakni pembelajaran didominasi oleh pembelajar dengan penuh kebebasan
melalui proses diskusi dan pemeranan untuk mengembangkan kerja sama,
komunikasi, inovasi, dan kreativitas.
Implementasi model tersebut dapat dilakukan secara online dengan
memanfaatkan berbagai fitur internet dan media sosial. Materi dan bahan
ajar sastra, baik bentuk teks, gambar, dan audiovisual disajikan secara online,
kemudian pembelajaran membaca materi yang telah disajikan melalui online
tersebut. Setelah itu, pembelajar mengeksplorasi materi sampai pada tahap
memerankan atau memproduksi karya sastra yang selanjutnya ditampilkan
secara online pula.
DAFTAR PUSTAKA
Alpian, M. & Suryaman, M. (2016). Pengaruh motivasi, keyakinan diri, dan persepsi
siswa terhadap apresiasi karya sastra siswa SMP. LingTera, 3(1), 60-74. doi:http://
dx.doi.org/10.21831/lt.v3i1.8663
Aminuddin. (2004). Pengantar apresiasi karya sastra. Bandung: Sinar Baru.
Bernardin, H. J. & Russel, J. A. (1998). Human resource management: An experiential
approach. Singapore: McGraw-Hill.
Bruce, J., Weil, M. & Calhoun, E. (2015). Models of teaching (9 ed.). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Endraswara, S. (2005). Metode dan teori pengajaran sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Erlita. (2016). Pengembangan kurikulum model Taba. http: //erlitapunya cerita.
blogspot. com/2016/01/pengembangan-kurikulum-model-taba.html.
Freire, P. (2007). Pedagogy of the oppressed. New York: Continum.
Taba, H. (1962). Curriculum develompent theory and practice. New York: Harcourt,
Brace & Word.
Ketut Artawa Penggunaan tanda luar ruang adalah bagian dari praktik
sosial yang dapat berfungsi sebagai instrumen yang kuat
Prodi Doktor Linguistik dalam produksi dunia sosial. Tanda luar ruang ini bisa hadir
Fakutas Ilmu Budaya secara monolingual, bilingual, dan multilingual. Penggunaan
Universitas Udayana
bahasa di ruang publik memiliki fungsi simbolik sebagai
ketut_artawa@unud.ac.id penanda identitas sosial yang kuat. Penggunaan bahasa
dapat dilihat sebagai sistem semiotik yang bekerja sebagai
sistem pemosisian sosial dan hubungan kekuasaan karena
tidak ada pilihan yang netral di dunia sosial. Lanskap
Linguistik menyediakan cara memandang hubungan
penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa di ruang publik.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dalam tanda luar
tak resmi, penggunaan bahasa Indonesia tergambar jelas
keberadaanya dan pada tanda luar ruang bahasa Indonesia
juga berkontestasi dengan bahasa asing dan bahasa
daerah. Kombinasi penggunaan bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris dapat dikatakan sebagai implementasi status
bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mencerminkan
identitas nasional. Namun, dalam kontestasi ini ada juga
pola urutan penggunaan bahasa Inggris diikuti dengan
bahasa Indonesia dan ada juga tanda luar ruang yang
menggunakan multibahasa, Selain memberikan fungsi
informasi, penggunaan bahasa pada tanda luar ruang ini
juga memberikan makna simbolis akan dominasi kekuatan
arus globalisasi yang tecermin dalam penggunaan bahasa
di ruang publik.
kata kunci: ruang publik, lanskap linguistik, kontestasi
bahasa, fungsi informasi, fungsi simbolis
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
31
PENDAHULUAN
Status, fungsi, dan penggunaan bahasa Indonesia sudah diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 25 dari undang-undang
tersebut menyatakan bahwa (1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai
bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan
dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan
yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. (2) Bahasa
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri
bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta
sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. (3) Bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat
nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi
niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Berdasarkan Pasal 36, (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
nama geografi di Indonesia. (2) Nama geografi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) nama resmi. (3) Bahasa Indonesia
wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau
permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga
usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga
negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. (4) Penamaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau
bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau
keagamaan. Pasal 37 (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi
tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang
beredar di Indonesia. Pasal 38 (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi
lain yang merupakan pelayanan umum. (2) Penggunaan Bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/atau
bahasa asing. Pasal 39 (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi
melalui media massa. (2) Media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan
khusus atau sasaran khusus.
Gambar 2 Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
Gambar 3 Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia
SIMPULAN
Pola penggunaan bahasa pada LL merupakan penggunaan bentuk linguistik
dengan bentuk kode tertentu. Dapat berbentuk monolingual, bilingual, atau
multilingual yang berfungsi sebagai penanda informasi dan penanda simbolik
sebuah wilayah. Pola penggunaan bahasa yang dihadirkan pada LL merupakan
kode kebahasaan merupakan simbol atau tanda dengan kode tersendiri dari
suatu kelompok sosial. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dalam tanda
luar tak resmi, penggunaan bahasa Indonesia tergambar jelas keberadaannya
dan pada tanda luar ruang bahasa Indonesia juga berkontestasi dengan bahasa
asing dan bahasa daerah. Kombinasi penggunaan bahasa Indonesia diikuti
oleh bahasa Inggris dapat dikatakan sebagai implementasi status bahasa
Indonesia sebagai bahasa yang mencerminkan identitas nasional. Namun,
DAFTAR PUSTAKA
Artawa, K., & Mulyawan, I. W. (2015). Keberadaan outdoor sign di kawasan wisata
Kuta (Kajian linguistic landscapes). Bali: Program Studi Sastra Inggris Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
Artawa, K., & Sartini, N. W. (2018). ‘Linguistic landscapes: A study of human
mobility and identity change.’ Dalam Kerr, T., Ndimande, B. van der Putten, J.
Johnson-Mardones, D. F., Arimbi, D. A., & Amalia, Y. S., Urban studies: Border
and mobility, proceedings of the 4th International Conference on Urban Studies
(ICUS 2017), December 8-9, 2017, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
(165–172). London: Taylor & Francis Group.
Backhaus, P. (2007). Linguistic landscapes: A comparative study of urban multilingualism
in Tokyo. Toronto: Multilingual Matters.
Ben-Rafael, E., Shohamy, E., Amara, M. H., & Trumper-Hecht, N. (2006). Linguistic
landscape as symbolic construction of the public space: The case of Israel.
Dalam D. Gorter (Ed.). Linguistic landscape: A new approach to multilingualism
(7–31). Clevedon: Multilingual Matters.
Blackwood, R., Lanza, E., & Woldemariam, H. (2016). Negotiating and contesting
identities in linguistic landscapes. London: Bloomsbury Publishing.
Gorter, D. (2006). Introduction: the study of the linguistic landscape as a new
approach to multilingualism. Dalam D. Gorter (Ed.). Linguistic landscape: A
new approach to multilingualism (1–6). Clevedon: Multilingual Matters.
Gorter, D. (2018). Methods and techniques for linguistic landscape research: About
definitions, core issues and technological innovations. Pre-final version in Putz
& Mundt 2018.
Landry, R., & Bourhis, R. Y. (1997). ‘Linguistic landscape and ethnolinguistic vitality:
An empirical study.’ Journal of Language and Social Psychology, 16(1), 23–49.
Reh, M. (2004). Multilingual writing: A reader-oriented typology–with examples
from Lira municipality (Uganda). International Journal of the Sociology of
Language, 170, 1–41.
Rosenbaum, Y., Nadel, E. Cooper, R. L., & Fishman, J. A. (1977). ‘English on Keren
Kayemet Street.’ Dalam J. A. Fishman, R. L. Cooper, & A. W. Conrad (Eds.). The
spread of English (179-196). Rowley MA: Newbury House.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
45
PENDAHULUAN
Salah satu kajian yang cukup menarik dalam bahasa dan budaya adalah
bahasa dan gender. Diskusi bahasa dan gender dianggap menarik karena dua
alasan. Pertama, bahasa memiliki sumbangan besar bagi proses konstruksi
sosial gender. Kedua, bahasa sangat terkait dengan mekanisme kekuasaan
yang memiliki implikasi pada pemberdayaan.
Bahasa dan gender memiliki daya tarik akademis karena tidak hanya
menjanjikan kemajuan teori linguistik dan sosial, tetapi juga memberikan
kritik sosial dan merupakan suatu program aksi politis yang bertujuan
mengeliminasi ketidaksetaraan hak sosial akibat perbedaan gender. Isu
gender sendiri akhir-akhir ini sering diangkat dalam forum-forum ilmiah,
walaupun istilah gender sering diartikan secara keliru. Terjadinya kerancuan
makna tentang apa yang disebut gender memperlihatkan pemahaman yang
tidak pada tempatnya di masyarakat.
Sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola, dan merawat
kebersihan rumah tangga—atau dengan kata lain urusan domestik,
melayani suami—sering kali dianggap kodrat perempuan. Sementara itu,
mencari nafkah urusan laki-laki sehingga di pedesaan sering kali ditemukan
perempuan terpolakan sebagai makhluk domestik.
Domestikasi perempuan juga dapat dilihat pada upacara pernikahan;
laki-laki cenderung menempatkan diri di ruang depan rumah sementara
perempuan cenderung menempatkan diri di rung tengah atau belakang. Hal
ini terkait dengan tugas-tugas yang dilabelkan kepada perempuan, bahwa
pada ruang tengah dan belakang terdapat pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga.
Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa
sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial (Sumarsono,
2002: 113). Dalam faktanya, secara sosial laki-laki dan perempuan berbeda
karena masyarakat menempatkan peranan sosial yang berbeda. Jadi ragam
bahasa antara pria dan wanita itu akibat dari perbedaan sikap sosial.
KONSEPTUALISASI GENDER
Gender diartikan sebagai konstruksi sosial kultural yang membedakan
karakteristik maskulin dan feminism. Gender berbeda dengan seks atau jenis
kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (More, 1988, 1994).
Teori Nurture
Teori ini membedakan antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil
konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang
berbeda. Hal ini menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan
peran dan kontribusinya dalam keluarga, masyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kaum penindas (borjuis) dan
perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Teori ini melahirkan paham
sosial konflik yang banyak dianut komunitas sosial yang menghilangkan strata
masyarakat (egalitarian). Paham sosial konflik memperjuangkan kesamaan
proporsional (perfec quality) dalam segala aktivitas masyarakat seperti di
bidang politik. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, disusunlah program
khusus (affirmative action) untuk memberikan peluang bagi pemberdayaan
perempuan agar termotivasi untuk meraih posisi yang selama ini didominasi
oleh kaum laki-laki.
Teori Nature
Teori ini menunjukkan adanya perbedaan perempuan dan laki-laki merupakan
kodrat sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi
dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas
yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang
tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.
Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang
bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang
memuaskan karena manusia memerlukan kemitraan dan kerja sama secara
struktural dan fungsional. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsi masing-masing. Dalam
kehidupan sosial ada pembagian tugas (division of labor), begitu dalam
kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami dan istri, siapa yang
menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi kepala rumah tangga. Dalam
organisasi sosial juga dikenal ada pemimpin dan ada bawahan (anggota) yang
masing-masing mempunyai tugas, fungsi, dan kewajiban yang berbeda dalam
mencapai tujuan.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep gender adalah
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Dalam hal ini gender
adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukan sesuatu
yang bersifat kodrati. Peran yang dilakukan laki-laki dan perempuan ini tidak
ada hubungannya sama sekali dengan tanda-tanda biologis yang dibawa
manusia sejak lahir.
Ekspresi berbahasa yang dilakukan masyarakat sering memperlihatkan
kecenderungan ketidaksetaraan gender. Hal tersebut merupakan gejala
alamiah, yakni satu kelompok berupaya mengekalkan dominasinya atas
kelompok yang lain.
Bahasa Indonesia secara generik terbebas dari bias gender. Namun,
politik bahasa yang belum tegas arahnya justru membawa bahasa Indonesia
menjadi bahasa seksis. Berbagai penelitian yang mengkaji bahasa dan gender
menyimpulkan bahwa penutur bahasa Indonesia sering memperlihatkan
tuturan yang bias gender.
DAFTAR BACAAN
Budiman, K. (2000). Feminis laki-laki dan wacana gender. Magelang: Indonesia
Tera.
Fakih, M. (2001). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Graddol, D., & Swann, J. (1989). Gender voices, Cambridge: Basil Blackwell.
Kuntjara, E. (2003). Gender, bahasa, dan kekuasaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Siregar, A., Pasaribu, R., & Prihastuti, I. (2002). Eksplorasi gender di ranah jurnalisme.
Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
55
PENDAHULUAN
Kurikulum adalah dasar sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan.
Tanpa kurikulum yang jelas, apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali,
maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak
efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi
yang maksimal.
Pengembangan kurikulum muatan lokal adalah kegiatan menghasilkan
kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan, pelaksanaan,
dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Isi kurikulum dan strategi
penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, sosial, budaya, serta
kebutuhan pembangunan daerah yang dapat difungsikan sebagai sumber
belajar dalam latar yang menyerupai tempat pembuatan produk.
Menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0209/U/1984, pengembangan muatan lokal dilakukan dengan “menyisipkan”
unsur-unsur muatan lokal ke dalam kurikulum, dalam hal ini Garis-garis
Besar Program Pembelajaran (GBPP) yang sudah ada. Jadi, tidak membuat
kurikulum/GBPP baru yang terpisah sama sekali dari GBPP yang sudah ada.
Secara umum, pola GBPP yang saat ini berlaku di sekolah (yang dapat
dijadikan rujukan) sebagai produk atau wujud dari kurikulum muatan lokal,
sebaiknya memiliki komponen-komponen berikut:
1) tujuan kurikuler;
2) tujuan pembelajaran;
3) isi pembelajaran: (a) pokok bahasan, dan (b) uraian;
4) jam pembelajaran: (a) teori, dan (b) praktik/lapangan;
5) strategi pembelajaran: (a) penyampaian pembelajaran; (b) pengorganisasian
pembelajaran; dan (c) pengelolaan pembelajaran;
6) penilaian; dan
7) keterangan.
Komponen-komponen produk yang disebutkan di atas disesuaikan
dengan pandangan Reigeluth & Stein (1983), Degeng (1989); khususnya
terhadap istilah ‘strategi pembelajaran’ menggantikan istilah ‘metode
pembelajaran’ dalam GBPP yang ada dalam kurikulum sekolah saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Barlian. (1993). Pengembangan kurikulum muatan lokal tingkat SMA di Kabupaten
Muna (Tesis). Program Pascasarjana IKIP Malang, Malang.
Barlian. (2015). Rekonstruksi kurikulum: Bahan kuliah mahasiswa program magister
(S-2). Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo.
Beeby, C. E. (1982). Assessment of Indonesian education: A guide in planning (terj.
BP3K). Jakarta: Depdikbud.
Bell-Gredler, M. E. (1991). Belajar dan membelajarkan (terj. Munandir). Jakarta:
Rajawali bekerja sama dengan PAU-UT.
Degeng, I N. S. (1989). Ilmu pengajaran: Taksonomi variabel. Jakarta: Depdikbud.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
63
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu aspek yang mendasar dalam usaha
mempersiapkan sumber daya manusia dalam menghadapi proses dan dinamika
kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara di tengah-tengah
pluralitas. Pendidikan merupakan suatu sarana strategis untuk meningkatkan
kualitas suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa dapat ditandai dan diukur
dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak
terlepas dari kemajuan yang dimulai dan dicapai dari pendidikannya (Maksum
& Ruhendi, 2004). Untuk mengantisipasi era globalisasi dengan karakteristik
suku dan budaya yang beragam ini diperlukan suatu arah dan kebijakan
pendidikan yang membumi dan realistik untuk bisa dilaksanakan di sekolah.
Arah prioritas pendidikan harus lebih diarahkan pada pemecahan masalah-
masalah permanen pendidikan yang selama ini tak pernah terselesaikan.
Berbagai kasus yang terjadi di awal reformasi menunjukkan bahwa
masih banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Menurut Jalal dkk.
(2005), perubahan struktural belum selalu ditunjang oleh perubahan kultural
yang sesuai. Arah perubahan struktural yang terjadi adalah ditinggalkannya
model negara sebagai penentu masyarakat dan pendidikan, menuju suatu
sistem yang menempatkan negara dalam posisi yang berhubungan secara
interaktif dengan masyarakat, industri, dan pendidikan. Sementara itu, kultur
masyarakat memang tidak begitu saja dengan cepat dapat berubah menyertai
perubahan struktural yang terjadi. Sebagian masyarakat mengalami
kerancuan, bahkan kebingungan akan nilai-nilai dan norma.
Masalah krisis yang amat kompleks menjadi tantangan berat bagi
bangsa Indonesia ini menyadarkan kita betapa sistem pendidikan yang kita
lakukan selama ini belum mampu membentuk pribadi yang tangguh serta
mengembangkan pemikiran yang kreatif untuk memecahkan berbagai
persoalan. Menurut Tilaar (2006), peralihan kehidupan bermasyarakat
yang bebas, sayang sekali akhir-akhir ini berada dalam kondisi kebablasan
sehingga tidak jarang terjadi hal-hal positif yang telah tercapai sebelumnya
turut menjadi korban dari keinginan untuk membebaskan diri. Dalam masa
transisi sejak krisis ekonomi kemudian menjadi krisis multidimensional yang
dialami oleh masyarakat Indonesia, berdampak terhadap sistem pendidikan
nasional. Pendidikan dituntut dapat mempertanggungjawabkan tugas sesuai
dengan misinya kepada masyarakat yang ikut memiliki dan sekaligus harus
dan oleh pendidikan. Lemahnya kemampuan masyarakat dalam berbagai
PENUTUP
Berdasarkan kajian teori dan pembahasan tersebut di atas, dapat dikemukakan
simpulan sebagai berikut.
1) Pendidikan multibudaya dapat dikembangkan menjadi suatu pengakuan,
penghargaan, dan keadilan terhadap suatu etnik atau bangsa.
2) Pembelajaran bahasa Indonesia dalam konteks multikultural di sekolah,
khususnya di tingkat sekolah menengah perlu dilakukan karena para
siswa hidup dalam masyarakat yang beragam. Sehubungan dengan
hal itu, pembelajaran bahasa Indonesia yang bertujuan meningkatkan
kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia
pendidikan. Millah, Jurnal Studi Agama, 1(1), 55–69.
Alwi, H. (2002). Pemberdayaan bahasa Indonesia dalam menghadapi kemungkinan
timbulnya kecemburuan global. Seminar Internasional Prospek Pengembangan
Kajian Indonesia dalam Konteks Kemajemukan Budaya, 25 Juni 2002. Semarang.
Bakhtiar, A. (2007). Filsafat ilmu. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Kurikulum 2004 standar kompetensi mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah menengah pertama dan madrasah
tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
Dimyati, M. (1989). Landasan pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti.
Engkoswara. (2007). Pendidikan berbasis unggul lokal. Dalam M. Ali, R. Ibrahim,
N. S. Sukmadinata, D. Sudjana, & W. Rasyidin (Eds.), Ilmu dan aplikasi
pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
81
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini membawa pengaruh terhadap
pembatasan ilmu pengetahuan. Semakin ke sini semakin sempit batasan ilmu
pengetahuan. Satu sisi ilmu pengetahuan semakin berkembang, di sisi lainnya
ilmu pengetahuan semakin mengerucut. Induk ilmu pengetahuan semakin
banyak menghasilkan sub-subilmu. Munculnya sub-subilmu mengarah pada
keahlian dalam sebuah kajian keilmuan tertentu.
Seseorang menekuni kajian ilmu tertentu akan menjadi ahli pada bidang
yang ditekuninya. Kita dapat melihat formasi bidang studi pada tingkat sekolah
dasar (SD) sampai perguruan tinggi. Pada jenjang SD, mata pelajaran yang ada
hanya empat bidang studi, yakni matematika, bahasa, ilmu pengatahuan alam
(IPA), dan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Di sekolah menengah pertama (SMP)
dan sekolah menengah atas (SMA), mata pelajaran itu dikembangkan menjadi
beberapa mata pelajaran dan mulai penjurusan. Jurusan-jurusan yang ditetapkan
oleh pemerintah diharapkan siswa masuk pada jurusan sesuai dengan minat.
Pada saat penjurusan SMA, siswa yang ada di pelosok dan bahkan sebagian
siswa di kota berpendapat bahwa ilmu itu hanya tiga jurusan, yakni ilmu bahasa,
ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu pengetahuan alam. Banyak didapati siswa
yang memiliki keinginan untuk melanjutkan di perguruan tinggi mengalami
kesulitan disebabkan oleh spesifikasi ilmu yang belum dikenal oleh siswa.
Kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut juga
menimpa dunia kesusatraan. Konsepsi mengenai sastra juga mengalami
pergeseran di tengah masyarakat. Awalnya karya sastra pada umumnya
dijadikan sebagai tuntunan dan saat ini mulai terjadi perubahan ke hiburan.
Untuk itu lebih jauh perubahan ini akan dibahas pada pembahasan.
(Sumber: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/)
RUJUKAN
Azwar, S. (2007). Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Yogyakarya: Pustaka
Pelajar.
Endaswara, S. (2010). Folklor Jawa: Macam, bentuk, dan nilainya. Jakarta: Penaku.
Gunawan, H. (2017). Siapa itu Aristoteles? https://anakbertanya.com/siapa-itu-
aristoteles/
Hadits tentang larangan menulis hadits. http://kajian-ayat-quran.blogspot.
com/2015/06/hadits-tentang-larangan-menulis-hadits.html
Katsir, I. (2015). Qishashul anbiya: Kisah para nabi (terj. M. S. Hasan). Surabaya:
Amelia.
Legenda Siti Nurbaya di tanah Minang. http://henirahma369.blogspot.com/2012/04/
legenda-siti-nurbaya-di-tanah-minang.html Novel: Sitti Nurbaya karya Marah
Rusli. https://riniintama.wordpress.com/3790-2/
Piaget, J., & Inhelder, B. (2010). Psikologi anak (terj. M. Jannah) Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pradotokusumo, P. S. (2001). Pengkajian sastra. Bandung: Wacana.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan ilmu sastra: Pengantar teori sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, R., & Warren, A. (1993). Teori kesusastraan (terj. M. Budianta). Jakarta:
Gramedia.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
91
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi. Pada hakikatnya manusia
sebagai makhluk sosial dalam berkomunikasi antarsesama; maka dari itu
bahasalah sebagai alat yang menghubungkan bahasa. Oleh karena itu, bahasa
bagi manusia menjadi alat primer, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia
hidup dengan berbahasa dan tanpa bahasa masyarakat tak mungkin terwujud.
David Crystal menegaskan bahwa negara tanpa bahasa adalah negara tanpa
hati. Oleh karena itu, bahasa menunjukkan bangsa, atau bahasa adalah jati
diri bangsa. Bahasa bagi manusia merupakan alat dan cara berpikir. Hal ini,
berarti manusia hanya mampu berpikir dengan bahasa. Berbagai kelengkapan
hidup manusia seperti kebudayaan, ilmu pengetahuan, serta teknologi dan
seni hanya dapat dibudidayakan dengan menggunakan bahasa.
Identitas berarti ciri-ciri, sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga
menunjukkan suatu keunikan serta membedakannya dengan hal-hal lain.
Nasional berasal dari kata nation yang memiliki arti ‘bangsa’, menunjukkan
kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat, cita-
cita, tujuan serta ideologi bersama. Jadi, identitas nasional adalah ciri-ciri
atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Sejalan dengan pendapat Wibisono (2005), identitas
nasional pada hakikatnya adalah manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa (nasional) dengan ciri-
ciri khas dan dengan yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain
dalam kehidupannya.
Bahasa nasional atau bahasa kebangsaan adalah suatu bahasa (atau varian
bahasa, contohnya dialek) yang memiliki sejenis hubungan de facto atau de jure
dengan seseorang dan mungkin melalui perluasan wilayah yang mereka duduki,
sebutan ini digunakan bermacam. Sebuah bahasa nasional bisa mewakili
identitas nasional suatu bangsa atau negara. Bahasa nasional secara alternatif
bisa merupakan sebuah penetapan yang diberikan pada suatu bahasa atau lebih
yang dituturkan sebagai bahasa pertama di wilayah sebuah negara.
C. M. B. Brann (1994), merujuk Afrika, menyatakan bahwa ada empat
arti berbeda untuk bahasa nasional: (1) bahasa teritorial (ktonolek) dari
suatu masyarakat tertentu; (2) bahasa daerah koralek; (3) bahasa umum atau
masyarakat (demolek) digunakan di sebuah negara; dan (4) bahasa sentral
(politolek) digunakan oleh pemerintah dan mungkin memiliki nilai simbolis
dan biasa dikatakan bahasa yang resmi.
PENUTUP
Simpulan yang dapat dipetik dari uraian di atas bahwa negara tanpa bahasa
adalah negara tanpa identitas menggambarkan bahwa manusia tanpa bahasa
maka tidak saling mengenal antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain, dan kata dari identitas merupakan jati diri atau ciri khas seseorang
dalam berbahasa. Misalnya, antara bahasa Indonesia dan bahasa asing pada
kata ‘beras’ dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-macam maknanya yakni
bisa diartikan ‘beras’, apabila belum diolah dapat dikatakan ‘padi’, apabila sudah
dimasak dapat dikatakan ‘nasi’, dan apabila sudah dimasak menjadi hancur
atau lunak maka dapat dikatakan ‘bubur’; itulah ciri khas bahasa Indonesia.
Adapun dalam bahasa asing (Inggris) ‘beras’ dikatakan rice, walaupun sudah
diolah tetap rice. Itulah keunikan bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J. L. (1962). How to do things with words. Cambridge: Harvard University
Press.
Brann, C. M. B. (1994). The national language question: Concepts and terminology.
Logos, 14, 125–134.
Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness some universals in language usage.
Cambridge: Cambridge University Press.
Crystal, D. (1988). Cambridge encyclopedia of language. Cambridge: Cambridge
University Press.
Eelen, G. (2001). A critique of politeness theories. Manchester: St. Jeronie Publishing.
Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. Dalam P. Cole & J. L. Morgan (Eds.),
Syntax and semantics 3: Speech acts (41–58). New York: Academic Press.
Kridalaksana, H. (1982). Fungsi bahasa dan sikap bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.
Levinson, S. C. (1983). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1975). Indirect speech acts. Dalam P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax
and semantics 3: Speech acts (59–82). New York: Academic Press.
Amirudin Rahim Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan apa dan bagaimana
pengembangan keterampilan menulis mahasiswa dan
Jurusan Pendidikan Bahasa tantangan plagiarisme pada era milenial. Kemudahan
dan Sastra Indonesia memperoleh sumber dan bahan tulisan pada era digital
FKIP Universitas Halu Oleo
dapat membuka pintu tindak plagiarisme pada tulisan
amirta.rahim@gmail.com yang dihasilkan oleh mahasiswa. Ini merupakan tantang
berat karena kasus-kasus yang telah terjadi merupakan
pelanggaran atas Undang-Undang Hak Cipta yang
mencoreng dunia akademik. Pengembangan komponen
pembelajaran (perkuliahan) merupakan tuntutan zaman,
meskipun penyebab terjadinya kasus plagiarisme
disebabkan oleh faktor lain yang berasar dari luar aspek
keterampilan menulis. Menjadikan pembelajaran menulis di
perguruan tinggi sebagai kelanjutan dari pembelajaran di
tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan memutus
mata rantai terjadinya plagiarisme merupakan tawaran solusi
yang perlu dilakukan.
kata kunci: keterampilan menulis, plagiarisme
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
101
LATAR BELAKANG
Pada era milenium ketiga atau lebih dikenal dengan istilah era milenial ini,
teknologi digital telah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Salah satu
variabel penting yang ikut melejit dengan adanya teknologi digital adalah teks,
dari manual ke digital. Capaian ini memberi kemudahan kepada para penulis
untuk beralih dari piranti fisik ke piranti virtual. Buku-buku elektronik dalam
berbagai format dapat ditemukan dengan mudah di dunia maya.
Kemudahan yang disediakan oleh teknologi digital adalah melimpahnya
informasi dari mesin pencari (searching engine) seperti Google, Bing, Yahoo,
dan piranti lain. Hal ini bukan saja menyediakan kemudahan akses informasi,
melainkan juga memudahkan seseorang menyalin (copy) teks dari berbagai
sumber. Teks yang disalin untuk berbagai kebutuhan memiliki berbagai
kemungkinan ketika berada di tangan penyalin pertama dan seterusnya:
1) penyalin pertama teks menuliskan sumber teks secara jelas;
2) penyalin pertama teks tidak menuliskan sumber teks;
3) penyalin kedua teks menuliskan sumber teks dari penyalin pertama, tetapi
tidak mengetahui dengan pasti dari mana sumber penyalin pertama;
4) penyalin kedua menyalin dari dari penyalin pertama dan tidak memedulikan
asal usul sumber teks tersebut.
5) penyalin pertama, kedua, dan seterusnya sama sekali tidak peduli dengan
sumber teks yang disalinnya.
Sementara itu, tindak plagiarisme di bidang kepenulisan masih terus
terjadi. Sebagian kasus telah diproses secara hukum dan mendapat sanksi
pidana, sedangkan kasus lainnya tidak/belum dilakukan proses apa pun secara
hukum. Bahkan, di dunia akademik seperti di kampus-kampus di perguruan
tinggi pun masih dapat kita temukan tindak plagiarisme ini.
Dalam kegiatan akademik, kegiatan menulis terus dipacu untuk
ditingkatkan. Di jurusan atau program studi (pendidikan) bahasa dan sastra
disediakan mata kuliah yang khusus mengajarkan keterampilan menulis, baik
menulis ilmiah maupun menulis kreatif. Semua itu pada umumnya ditujukan
untuk kepentingan peningkatan keterampilan menulis, baik untuk penyelesaian
studi maupun untuk peningkatan kompetensi menulis mahasiswa. Pada saat
penyelesaian studi inilah para mahasiswa harus membuktikan kemampuan
dalam menulis, sejak menyusun proposal penelitian sampai penyusunan laporan
penelitian berupa skripsi. Selama proses itu, keterampilan menulis mahasiswa
diuji sebanyak dua atau tiga kali, yaitu melalui ujian seminar proposal, seminar
Proses Pengembangan
Sebagai sebuah proses, keterampilan menulis mahasiswa merupakan
kelanjutan dari proses pembelajaran pada jenjang pendidikan sebelumnya,
yaitu jenjang pendidikan SMA, SMP, dan SD. Seirama dengan proses
perkembangan kepribadian peserta didik pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah, seharusnya sejak dini sudah ditanamkan karakter jujur
dan karakter-karakter lainnya yang sejenis. Hal ini juga sudah merupakan
tuntutan kurikulum seperti yang dikemukakan di atas (K-13), terutama pada
Komponen Inti (KI) 1 berupa sikap spiritual dan KI 2 berupa sikap sosial.
Hal yang jauh lebih penting adalah memutus mata rantai terjadinya
tindak plagiat, antara lain dengan tiga cara berikut: (1) dosen menjadi teladan
dalam orisinalitas dan kejujuran dalam menulis; (2) menggunakan aplikasi
teknologi untuk uji similaritas tulisan mahasiswa; dan (3) menguatkan teknik
sitasi yang benar.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama,
pembelajaran atau perkuliahan keterampilan menulis tidak cukup dengan
ditekankan pada aspek keterampilan, tetapi perlu diperkuat dasar afektifnya.
Muatan kurikulum diseimbangkan antara domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Kedua, menjadikan pembelajaran menulis sebagai kelanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, H. (2005). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional & Balai Pustaka.
Amirudin. (2011). Peningkatan keterampilan menulis argumentatif melalui model
halaqah (Studi pengembangan model pembelajaran dan kepribadian menulis
pada siswa kelas X SMA Kartika Kendari) (Disertasi). Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Tadjuddin, M. (2000). Orisinalitas gagasan dalam penulisan tesis dan disertasi.
Materi Kuliah Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Trim, B. (2016). Menulis pedia: Panduan menulis untuk mereka yang insaf menulis.
Bandung: Penerbit Nuansa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Beserta
Penjelasannya. Bandung: Citra Umbara.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
107
PENDAHULUAN
Salah satu kebutuhan manusia yang paling utama adalah bahasa. Manusia tidak
dapat berkomunikasi dengan sesamanya tanpa bahasa. Manusia dapat beradaptasi
dengan orang lain karena adanya bahasa. Manusia juga dapat mengekspresikan
kemampuan yang ada dalam dirinya. Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa
dapat dibentuk, dibina, dan dikembangkan serta diwariskan kepada generasi
berikutnya. Dengan demikian, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat penuturnya.
Pada umumnya, bahasa daerah merupakan bahasa ibu, terutama anak
yang dilahirkan dari orang tua yang bahasa ibunya sama. Keberadaan bahasa
daerah merupakan sarana atau media untuk menurunkan peradaban manusia
dari masa lalu. Kepunahan suatu bahasa daerah akan menyebabkan hilangnya
peradaban yang luhur dari masyarakat pemilik bahasa itu.
Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun
oleh penuturnya. Bahasa daerah memiliki tiga fungsi, yakni (1) pembentuk
kepribadian suku bangsa; (2) peneguh jati diri kedaerahan; dan (3) sarana
pengungkapan serta pengembangan sastra dan budaya daerah dalam bingkai
keindonesiaan. Berdasarkan fungsi bahasa daerah tersebut, dapat dipahami
bahwa melalui penguasaan bahasa daerah yang baik dapat membentuk
kepribadian yang baik pula. Melalui penguasaan bahasa daerah yang baik
pula akan memperkuat identitas kedaerahan. Selanjutnya, melalui bahasa
daerah pula, sastra dan budaya daerah dapat diungkapkan dan dikembangkan
dengan baik oleh masyarakat pemilik bahasa daerah itu.
Kondisi penutur bahasa daerah, khususnya bahasa Muna saat ini sudah
memprihatinkan. Memasuki era globalisasi, jumlah penutur bahasa Muna
semakin menurun. Hal itu dapat dilihat pada kalangan anak-anak dan remaja
di perkotaan. Bahkan di perdesaan pun, sudah banyak ditemukan anak-anak
dan remaja yang enggan menggunakan bahasa Muna dalam berkomunikasi di
masyarakat. Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi sehari-hari. Bahkan, di kalangan rumah tangga, sudah banyak
anak-anak yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu (B-1).
Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewajiban
untuk mengembangkan, membina, dan melindungi keberadaan bahasa
daerah. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2009 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan. Dalam Pasal 42 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib
Landasan Teoretis
Kurikulum muatan lokal bahasa Muna dikembangkan atas teori “pendidikan
berdasarkan standar” dan teori kurikulum berbasis kompetensi. Pendidikan
berdasarkan standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas
minimal warga negara yang dirinci menjadi standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian pendidikan.
Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan
pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan
kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan, berketerampilan, dan bertindak.
Landasan Psikologis
Salah satu muatan kurikulum adalah materi yang akan dipelajari oleh peserta
didik. Oleh karena itu, pengembangan materi kurikulum muatan lokal bahasa
Muna harus didasarkan pada aspek perkembangan psikologis peserta didik.
Hal itu memberi isyarat bahwa susunan materi dalam kurikulum muatan
lokal bahasa Muna harus didasarkan pada tingkat perkembangan psikologi
peserta didik sebagai pembelajar.
Landasan psikologis sangat penting diperhatikan dalam pengembangan
kurikulum muatan lokal bahasa Muna. Tingkat kesulitan materi dalam suatu
kurikulum akan menyebabkan tingkat persepsi peserta didik terhadap materi
pelajaran tersebut. Menurut Piaget (dalam Dahar, 2011), setiap individu
mengalami tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut.
1) Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun). Menurut Piaget, bayi lahir dengan
sejumlah refleks bawaan selain dorongan untuk mengeksplorasi dunianya.
Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut.
2) Periode praoperasional (usia 2–7 tahun). Pemikiran (pra-)operasi dalam
teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap
objek-objek. Ciri tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara
logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya
masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang
orang lain. Anak dapat mengklasifikasi objek menggunakan satu ciri,
seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-
beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-
beda. Tahapan praoperasional mengikuti tahapan sensorimotor dan
muncul antara usia 2–7 tahun. Dalam tahapan ini anak mengembangkan
keterampilan berbahasanya.
3) Periode operasional konkret (usia 7–11 tahun). Pada tahap ini, pada
umumnya anak-anak berada pada usia sekolah dasar. Pada tahap ini,
Landasan Yuridis
Landasan yuridis kurikulum muatan lokal bahasa Muna sebagai berikut.
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3) Undang-Undang No. 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional, beserta segala ketentuan yang dituangkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
4) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
5) Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57 Tahun 2014 tentang
Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta
Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.
Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Mulok Bahasa Muna
Tujuan kurikulum mencakup empat kompetensi, yaitu (1) kompetensi sikap
spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Kompetensi
tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan/
atau ekstrakurikuler. Rumusan kompetensi inti (KI) mata pelajaran muatan
lokal bahasa Muna mengadapatasi rumusan KI dalam Kurikulum 2013.
Kompetensi inti muatan lokal bahasa Muna meliputi kompetensi sikap
spiritual (KI 1), kompetensi sikap sosial (KI 2), kompetensi pengetahuan (KI
3), dan kompetensi keterampilan (KI 4). Rumusan kompetensi sikap spiritual
(KI 1), yakni menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
Selanjutnya, rumusan kompetensi sikap sosial (KI 2), yaitu menunjukkan
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri
dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru. Kedua kompetensi
tersebut dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching),
yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan
karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik.
Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang
proses pembelajaran berlangsung dan dapat digunakan sebagai pertimbangan
guru dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih lanjut.
Rumusan kompetensi pengetahuan (KI 3) adalah memahami
pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat, membaca)
dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan
Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan
di sekolah. Selanjutnya, rumusan kompetensi keterampilan (KI 4), yakni
Silabus
Menurut Majid (2008), silabus adalah ancangan pembelajaran yang berisi
rencana bahan ajar mata pelajaran tertentu pada jenjang dan kelas tertentu,
sebagai hasil dari seleksi, pengelompokkan, pengurutan, dan penyajian
Bahan Ajar
Iskandarwassid (2016) mengemukakan bahwa secara umum, bahan ajar
dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu fakta, konsep, prinsip, dan
keterampilan. Dijelaskan, fakta merupakan sifat suatu gejala, peristiwa, benda
yang nyata atau wujudnya dapat dilihat atau dirasa oleh indra. Fakta dapat
dipelajari melalui informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau kalimat,
istilah, atau pernyataan. Konsep atau pengertian merupakan serangkaian
perangsang yang mempunyai sifat-sifat yang sama. Prinsip adalah hubungan
Rencana Pembelajaran
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan
pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih (Kemdikbud,
2016). Lebih lanjut dijelaskan bahwa RPP dikembangkan dari silabus untuk
mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai
kompetensi dasar (KD). Setiap pendidik pada satuan pendidikan berkewajiban
menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. RPP disusun berdasarkan
KD atau subtema yang dilaksanakan kali pertemuan atau lebih.
RPP terdiri atas dua belas komponen: (a) identitas sekolah yaitu nama
satuan pendidikan; (b) identitas mata pelajaran atau tema/subtema; (c) kelas/
semester; (d) materi pokok; (e) alokasi waktu ditentukan sesuai dengan
PENUTUP
Pembelajaran bahasa Muna diarahkan untuk dua hal: (1) menyesuaikan
keberadaan bahasa dan sastra Muna sebagai unsur kebudayaan Muna untuk
mewujudkan keadaan masyarakat yang lebih berbudaya; dan (2) menggali
nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa dan sastra Muna sebagai bahan
masukan untuk pembangunan karakter dan ketahanan budaya nasional.
Strategi kebijakan terhadap pelindungan, pembinaan, dan pengembangan
bahasa dan sastra Muna dilaksanakan melalui upaya di lingkungan pendidikan
formal, meliputi (1) menyusun dan menyempurnakan kurikulum muatan
lokal bahasa dan sastra Muna sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
masyarakat; (2) menyediakan dan mengangkat guru mulok bahasa Muna yang
profesional sesuai dengan strata pendidikannya; (3) meningkatkan kualitas
guru mulok bahasa Muna yang profesional melalui pendidikan dan pelatihan;
(4) menyediakan bahan ajar, buku pelajaran, buku bacaan sastra daerah Muna,
dan media pembelajaran bahasa Muna; (5) meningkatkan kegiatan apresiasi
dan kompetisi mengenai penulisan dan penggunaan bahasa dan sastra Muna;
(6) melakukan kegiatan penelitian dan pengajian terhadap bahasa dan sastra
Muna; dan (7) meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap kegiatan
literasi bahasa dan sastra Muna yang memiliki nilai-nilai unggul.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, R. W. (2011). Teori-teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Depdiknas. (2006). Model mata pelajaran muatan lokal SD/MI/SDLB-SMP/MTs/
SMPLB–SMA/MA/SMALB/SMK. Jakarta: Depdiknas.
Iskandarwassid & Sunendar, D. (2016). Strategi pembelajaran bahasa. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Kemdikbud. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 79 Tahun
2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud. (2016). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:
Kemdikbud.
Kemdikbud. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun
2016 tentang Standar Proses. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun
2016 tentang KI dan KD. Jakarta: Kemdikbud.
Majid, A. (2008). Perencanaan pembelajaran: Mengembangkan standar kompetensi
guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2009). Implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan, kemandirian
guru dan kepala sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Priyatni, E. T. (2014). Desain pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013.
Jakarta: Bumi Aksara.
Yaumi, M. (2014). Prinsip-prinsip desain pembelajaran (Disesuaikan dengan
kurikulum 2013). Jakarta: Kencana.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
121
PENGANTAR
Masa pandemi covid-19 merupakan salah satu ruang untuk me-refresh
peradaban dan kesadaran manusia di dunia. Ini bukan hanya kemunculan
virus, tetapi ini merupakan momentum peradaban manusia, ruang refleksi
ketika manusia dihentakkan hanya dengan makhluk kecil yang tidak
kelihatan. Sejarah peradaban manusia telah mencatatkan berbagai legenda
dan cerita untuk mengabadikan setiap peradaban itu (Mansyur, 2020).
Berbagai peristiwa diabadikan dalam berbagai karya sastra, baik sastra lisan
maupun sastra tertulis telah mengabadikan kisah hubungan manusia dengan
berbagai pandemi (Muzakka, 2020). Bahkan, sebelum manusia mengenal
tulisan, banyak artefak yang mengabadikan itu. Berbagai lukisan di dinding
gua dan pahatan di batu telah memberikan informasi penting mengenai
perbagai peristiwa yang pernah terjadi di dalam peradaban manusia.
Pada era new normal covid-19, tentunya menjadi tantangan tersendiri
bagi sastrawan. Di tengah covid-19, banyak warga masyarakat tinggal di
rumah sehingga menjadi peluang untuk adanya prospek pasar literasi,
terutama karya sastra bagi para pembaca. Namun, di sisi yang lain, era new
normal covid-19 merupakan sebuah momentum sejarah bangsa ini dan
dunia. Melalui covid-19, pembangunan bangsa yang tidak pro pada pertanian
dan pangan akan menjadi momok bagi sebuah bangsa dan negara yang
ada. Melalui karya sastra, semua dinamika sosial budaya yang ada di dalam
masyarakat bisa jadi direkam oleh sastra yang ditulis pada era pandemi ini.
Hal ini dapat dilihat dari teori-teori yang bekerja dalam kajian-kajian sastra
sebagai sebuah refleksi dari masyarakat pendukungnya (Isenberg & Abrams,
1954). Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan sastra yang memuat
tentang pandemi akan menjadi salah satu momentum agar sastra dapat
membangun sejarah zaman. Hal ini sebagaimana terlihat dalam sejarah
sastra Indonesia yang mampu merekam jejak peradaban kita, termasuk
jejak berbagai bencana alam dan beberapa pandemi yang pernah terjadi di
bangsa ini. Dalam konteks sastra, sastra merupakan refleksi dari masyarakat
pendukungnya (Taussig, 2018). Sastra bekerja untuk merefleksikan apa yang
ada di dalam masyarakatnya (Isenberg & Abrams, 1954).
Dalam beberapa referensi bahkan bencana termasuk pandemi adalah
sebuah momentum kebangkitan sastra. Di era new normal, sastra sebaiknya
memegang peranan penting karena ini adalah momentum para sastrawan
membicarakan mengenai desain peradaban baru yang pas pada era new
PENUTUP
Perkembangan sastra pada era new normal dapat dilihat dalam berbagai
pandangan guna menemukan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan
yang dihadapi oleh masyarakat sastra saat ini. Di era new normal seperti ini,
perkembangan teknologi yang begitu massif, dapat memberikan kontribusi
positif pada pengembangan sastra di Indonesia.
Perkembangan sastra Indonesia di tengah era new normal menunjukkan
bahwa sastra memiliki kelebihan dan kelemahan serta hambatan dan
keunggulan. Saat ini, dunia digital telah memberikan fasilitas kepada siapa
pun untuk mengembangkan diri hanya dengan menghubungkan dirinya
dengan internet. Semua bahan untuk menulis sastra tersedia dengan baik.
Sementara dari sisi kelemahannya, adalah era pandemi, memberikan dampak
ketika berbagai aktivitas fisik tidak dapat dilakukan sehingga keterlibatan
fisik menjadi kurang. Di sisi lain, era new normal adalah peluang untuk
munculnya ruang kreativitas bagi anak-anak milenial karena waktu tinggal di
rumah begitu besar. Selanjutnya, ada banyak masalah yang ditemukan pada
era new normal, perkembangan sastra bisa lebih baik dengan mengangkat isu-
isu yang lebih mendorong produktivitas yang dapat meningkatkan ekonomi
kreatif masyarakat. Kendalanya adalah belum adanya kesadaran untuk
mengembangkan sastra hingga pada ruang ekonomi kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. (2006). Konstruksi dan reproduksi kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Alamsyah, R. (2018). Lambung Mangkurat. Yogyakarta: Laksana. https: //www.goodreads.
com/book/show/44566150-lambung-mangkurat
Astini, N. K. S. (2020). Pemanfaatan teknologi informasi dalam pembelajaran tingkat
sekolah dasar pada masa pandemi Covid-19. Lampuhyang, 11(2), 13–25. https://
doi.org/10.47730/jurnallampuhyang.v11i2.194
Cronk, N. (2009). The Cambridge companion to Voltaire. Cambridge: Cambridge
University Press. https://doi.org/10.1017/CCOL9780521849739
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
135
PENDAHULUAN
Kearifan lokal dalam dunia pendidikan menjadi aspek penting dalam
pengembangan pembelajaran. Hal ini tanpak pada Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013,
yang menekankan agar setiap satuan pendidikan mengembangkan muatan lokal
dalam implementasi Kurikulum 2013. Pasal 2 peraturan itu menjelaskan bahwa
muatan lokal merupakan bahan atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang
yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal
untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan
lokal di daerah tempat tinggalnya. Tujuannya agar para peserta didik mengenal,
mencintai, dan melestarikan lingkungan; alam, sosial, budaya, dan spiritual di
daerahnya.
Muatan kurikulum dalam implementasi Kurikulum 2013 terdiri atas
muatan kurikulum tingkat nasional, tingkat daerah, dan kekhasan satuan
pendidikan. Muatan kurikulum tingkat nasional terdiri atas sejumlah
mata pelajaran yang dikembangkan oleh pusat. Muatan kurikulum tingkat
daerah terdiri atas sejumlah bahan kajian mata pelajaran muatan lokal yang
ditentukan oleh daerah yang bersangkutan. Adapun muatan lokal pada satuan
pendidikan pengembangan mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan dengan mempertimbangkan sarana,
tenaga pengajar, dan kebutuhan peserta didik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 79 Tahun
2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013, materi kurikulum muatan lokal
hendaknya memuat materi yang menjadi potensi dan keunikan daerah.
Ada dua pola pengembangan kurikulum muatan lokal, yaitu (1) terintegrasi
dengan mata pelajaran, dan (2) menjadi mata pelajaran khusus. Dalam kaitan
itu makalah ini berjudul “Revitalisasi Kearifan Lokal Masyarakat sebagai
Landasan Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal”.
PEMBAHASAN
Pengertian Kearifan Lokal
Istilah ‘kearifan lokal’ (local wisdom) terdiri atas dua kata, yaitu ‘kearifan’
yang berarti ‘kebijaksanaan’ dan ‘lokal’ yang berarti “berkaitan dengan suatu
tempat”. Echols & Shadily (Taalami, ?) menjelaskan bahwa secara umum
kearifan lokal dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, terpelihara serta diikuti oleh
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa simpulan yang dapat ditindaklanjuti
oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat. Pertama, kearifan lokal dalam suatu masyarakat mengandung
nilai-nilai luhur yang menjadi acuan bagi masyarakat terutama generasi muda
untuk bersikap, berperilaku, dan berpikir dalam hidup dan kehidupan sehari-
hari. Untuk itu, kearifan lokal yang terdapat dalam kabanti masyarakat Buton
perlu disosialisasikan secara luas agar dapat menjadi panduan dalam hidup
dan kehidupan masyarakat Sulawesi Tenggara umumnya dan masyarakat
Buton pada khususnya. Kedua, banyak kearifan lokal masyarakat memiliki
potensi dan keunikan daerah sehingga daerah perlu menggunakan kearifan
lokal masyarakat sebagai landasan pengembangan kurikulum muatan lokal
pada jenjang pendidikan tertentu. Hal ini menjadi penting karena diharapkan
sebagai gerakan pemertahanan kearifan lokal di tengah-tengah pembauran
budaya, terutama dari budaya barat yang banyak mempengaruhi moralitas
DAFTAR PUSTAKA
Affandy, S. (2017). Penanaman nilai-nilai kearifan lokal dalam meningkatkan
perilaku keberagamaan peserta didik. Atthulab: Islamic Religion Teaching and
Learning Journal, 2(2), 192–207.
Endraswara, S. (2008). Metodologi penelitian sastra: Epistimologi, model, teori, dan
aplikasi. Yogyakarta: Medpress.
Gunawan, R. (2003). Kearifan lokal dalam tradisi lisan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ikram, A. 2005. Istiadat tanah negeri Buton. Jakarta: Jambatan.
Muchir, L. O. A. (2003). Sara Pataanguna: Memanusiakan manusia menjadi manusia
khalifatullah di bumi Kesultanan Buton. Bau-bau: Diknas Kabupaten Buton.
Muslich, M. (2011). Pendidikan karakter: Menjawab tantangan krisis multidimensional.
Jakarta: Bumi Aksara.
Rahyono, F. X. (2009). Kearifan budaya dalam kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sztompka, P. (2014). The sociology of change (alih bahasa Alimandan). Jakarta:
Prenada Media Group.
Thwaites, T., Davis, L., & Mules, W. (2009). Introducing cultural and media studies: A
semiotic approach (terj. S. Rahmana). Yogyakarta: Jalasutra.
Wibowo, A., & Gunawan. (2015). Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal di
sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zamroni, E. (2016). Counseling model based on gusjigang culture: Conceptual
framework of counseling model based on local wisdoms in Kudus. Guidena:
Jurnal Ilmu Pendidikan, Psikologi, Bimbingan dan Konseling. 6(2), 116. doi:
https://dx.doi.org/10.24127/gdn.v6i2.426.
Zubaedi. (2011). Desain pendidikan karakter: Konsepsi dan aplikasinya dalam lembaga
pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Group.
La Ode Balawa Dalam perspektif Islam, karya sastra ada yang terpuji
dan membangun, tetapi ada pula yang tercela dan
Jurusan Pendidikan Bahasa menghancurkan. Setiap guru sastra memiliki peran yang
dan Sastra Indonesia sangat penting dalam memilih dan mengembangkan karya
FKIP Universitas Halu Oleo
sastra yang terpuji dan membangun untuk diajarkan kepada
balawa@gmail.com peserta didik. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan
bagaimana konsep dan prinsip Islam tentang karya sastra
yang baik yang perlu menjadi acuan guru sastra dalam
merencanakan dan melaksanakan pembelajaran sastra
berbasis pendidikan nilai (value education) sesuai tuntutan
kurikulum satuan pendidikan dan tujuan pendidikan nasional
dewasa ini. Living values education (LVE) merupakan salah
satu pendekatan alternatif yang tepat digunakan oleh guru
sastra dalam meningkatkan mutu pembelajaran sastra
seperti yang diharapkan itu. Pembahasan masalah tersebut
disajikan secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan
studi kepustakaan.
kata kunci: karya sastra, Islam, pembelajaran sastra, living
values education (LVE)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2
147
PENDAHULUAN
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu
melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya
mereka suka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan, kecuali orang-orang
(penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama
Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-
orang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali
(Q. S. Asy-Syu’ara, 227).
Berdasarkan surah dalam kitab suci Al-Qur’an tersebut, Ahmadun
Y. Herfanda (Republika, 2018) berkesimpulan bahwa dalam Islam, penyair
“dikutuk” sekaligus “dimuliakan”. Kesimpulan Ahmadun ini sesuai pula dengan
penjelasan Syekh Al-Ghazali dalam kitab karyanya Ihya’-‘Ulimuddin yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ismail Yakub dengan judul
Ihya’ Al-Ghazali, Jilid IV (1964), bahwa dalam Islam dibolehkan mencipta
karya seni termasuk karya sastra yang mengandung hikmah dan tazkir,
tetapi terlarang menciptakan karya seni atau karya sastra dapat menyebabkan
seseorang melampaui batas-batas kebolehjadian dalam akidah dan kaidah
agamanya (Islam), larut ke dalam perbuatan yang sia-sia, terlambat dan
terhambat untuk menemukan kebenaran, atau karya yang memutarbalikkan
kebenaran dan/atau yang hanya mengimbau hawa nafsu (Al-Ghazali, 1964).
Terkait dengan masalah karya seni sastra yang terlarang, Quraish
Shihab berkomentar bahwa di dalam Al-Qur’an surah Asy-Syu’ara ayat 224
dan 226 menjelaskan bahwa para penyair (di zaman Nabi Muhammad saw.)
banyak yang berdusta. Kalimat yang mereka ucapkan memang indah, tetapi
uraiannya tidak jelas, tidak berbicara tentang kebutuhan manusia. Umumnya,
yang mereka bicarakan soal balas dendam, cinta yang berlebihan, dan ejekan
karena mereka dipengaruhi setan (Shihab, 2016). Bandingkan pula dengan
komentar Syekh Al-Ghazali tentang surah Luqman Ayat 6-7 berikut ini.
Dan (ada juga) di antara manusia (orang-orang) yang membeli ucapan
yang melengahkan untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah (tuntunan
Al-Qur’an) tanpa mengetahui dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itulah
yang bagi mereka azab yang menghinakan; dan apabila dibacakan kepadanya
ayat-ayat Kami, dia berpaling sambil menyombongkan diri seakan-akan
dia belum (pernah) mendengarnya. Seakan-akan di kedua telinganya ada
sumbatan, maka gembirakanlah dia dengan siksa yang pedih (Q. S. Luqman,
6-7)”.
PENUTUP
Dalam perspektif Islam, karya seni (sastra) ada yang terpuji dan mulia
sekaligus penciptanya dan ada pula yang tercela dan terkutuk sekaligus
penciptanya. Guru sastra memiliki tanggung jawab mulia untuk memilih
PUSTAKA ACUAN
Al-Ghazali, M. (1984). Ihya ’Al Ghazali (terj. I. Yakub). Jakarta Selatan: Faisan.
Al-Ghazali, M. (2012). Al-Ghazali menjawab 100 soal keislaman (terj. A. Abbas).
Tangerang: Lentera Hati.
Al-Syaikh, A. b. M. (2017). Tafsir Ibnu Katsir (terj. M. A. Ghaffar E.M., & A. I. Al-
Atsari). Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i.
Balawa, L. O. (2017). Pendidikan karakter dan penampilan karakter dalam
pembelajaran sastra Indonesia di sekolah. Dalam S. Udu (Ed.), Literasi, Sastra
dan Pengajarannya. Kendari: Oceania Press.
Darma, B. (1984). Sejumlah esai sastra. Jakarta: Karya Unipress.
Hayati, A. A. (2017). Konsep living values education pada materi hak dan kewajiban
warga negara melalui kegiatan konservasi mangrove mahasiswa Unswagati
Cirebon. Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III, 152–158. http://
eprints.uad.ac.id/9775/
Herfanda, A. Y. (2018). Penyair dimuliakan dalam Islam. Republika, 10 Juni. https:
//republika.co.id/berita/pa3fut313/ahmadun-yh-penyair-dimuliakan-dalam-
islam
Hidayatullah, T. (2019). Living values education: Alternatif pendekatan pendidikan
karakter dalam pencegahan ekstremisme. Misykat, 04(02), 87–126. https://pps.
iiq.ac.id/jurnal/index.php/MISYKAT/article/view/90
Komalasari, K., & Saripudin, D. (2017). A model of living values education-based
civic education textbooks in Indonesia. The New Educational Review, 47, 139–
150. https://tner.polsl.pl/issues/volume-472017/