Anda di halaman 1dari 166

Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa

Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa


“Penguatan Pengembangan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”
Kendari, 5–6 November 2020

Penyunting:
La Ode Adili
Amirudin
Ahid Hidayat

UHO EduPress
Kendari, 2021
Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa dan Sastra:
“Penguatan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”
Kendari, 5–6 November 2020

Penasihat | Advisory Board


Muhammad Zamrun F., Rektor Universitas Halu Oleo
Jamiludin, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo
Pengarah | Steering Committee
Mohamad Salam (Wakil Dekan I FKIP), Mursiddin T. (Wakil Dekan II FKIP), Mustamin Anggo
(Wakil Dekan III FKIP), La Ode Sahidin (Ketua Jurusan PBSI), Sri Suryana Dinar (Sekretaris
Jurusan PBSI), Zalili Sailan, Hilaluddin Hanafi, Haerun Ana, La Niampe, Nur Ikhsan,Sahlan, Erny
Harijaty, La Yani Konisi, Fahruddin Hanafi, La Ino, Roni Muhtar, La Ode Boa, M. Ridwan Badala,
La Ode Adili, Safaruddin, Muhidin, Siti Fatinah, Safiuddin
Panitia Pelaksana | Organizing Committee
Ketua: La Ode Adili; Wakil Ketua: Zulkifli Hidayatullah; Sekretaris: Harmin; Wakil Sekretaris:
Muhammad Rizal; Bendahara: Sulfiah; Wakil Bendahara: Hartina Hadrawi; Bidang Perlengkapan:
Yunus (Koordinator), Ambo Sakka, Rahmawati, Heriani; Bidang Acara: Amirudin Rahim
(Koordinator), La Ode Muhammad Sauf, La Ode Sudu, Teniati, Andi Indah; Bidang Humas dan
Promosi: La Ode Syukur (Koordinator), La Tike, La Ode Kunu, La Halisi, Oktaviana Barwati,
Rahmad; Bidang Konsumsi: Marwati (Koordinator), Emy Syahid, Nurfia, Amri Jannah, Hamsiah,
Bidang Administrasi dan IT: Andi Muhammad Ruum Sahban (Koordinator), Asran Laksana,
Ahmad Sahrir. Ali Mukti, Tamar; Bidang Dokumentasi dan Publikasi: Sumiman Udu, Saemina,
Arisandi, Alfianti, Sukriadi; Bidang Penggalangan Dana: Asniah (Koordinator), Wa Kalibi, Nurtia,
Ruth S. Pabunga, Marwiah Bintere, Idayana
Penelaah | Reviewers
Aris Badara, Irianto Ibrahim, La Ode Syukur
Penyunting | Editors
La Ode Adili, Amirudin, Ahid Hidayat

Penerbit
UHO EduPress
Kampus Hijau Bumi Tridarma
Jalan Eddy A. Mokodompit, Kendari 93231
WA : 0811 404 044
surel : press@uho.ac.id
x + 154 hlm., 17,5 cm x 25 cm
ISBN 978-623-91098-8-2 (e/pdf)
Juni, 2021

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku ini sebagian


atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan cara apa pun, baik secara mekanis
maupun elektronis, termasuk fotokopi, rekaman, dan lain-lain tanpa izin dari penerbit.
Daftar Isi

Muhammad Zamrun F. Sambutan Rektor Universitas Halu Oleo — vii


La Ode Adili Laporan Ketua Panitia — ix

E. Aminudin Aziz Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas


Bangsa — 1
La Ode Sidu Marafad Strategi Pemertahanan Bahasa Daerah pada Era
Globalisasi — 13
Muhammad Rapi Tang Model Pembelajaran Sastra, Alternatif dan Solusi
dalam Situasi Pembelajaran Online di Indonesia
— 19
Ketut Artawa Bahasa Indonesia di Ruang Publik: Kajian
Lanskap Linguistik — 31
Zalili Sailan Bias Gender dalam Bahasa Indonesia — 45
Barlian Pengembangan Muatan Lokal Pembelajaran
Budaya dalam Kurikulum — 55
Haerun Anna Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks
Multibudaya — 63
La Ode Sahidin Sastra antara Tuntunan dan Hiburan — 81
Sulfiah Negara Tanpa Bahasa adalah Negara Tanpa
Identitas — 91
Amirudin Pengembangan Keterampilan Menulis Mahasiswa
dan Tantangan Plagiarisme pada Era Milenial —
101
La Ode Adili Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa
Muna — 107
Sumiman Udu Perkembangan Sastra Indonesia pada Era New
Normal Covid-19 — 121
Sahlan Revitalisasi Kearifan Lokal Masyarakat dalam
Pengembangan Muatan Lokal Kurikulum 2013 —
135
La Ode Balawa Menjadi Guru Sastra dalam Perspektif Islam —
147

v
Sambutan Rektor Universitas Halu Oleo

Muhammad Zamrun F. Puji dan syukur kita panjatkan atas ke hadirat


Rektor Universitas Halu Oleo Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya
Kendari, Sulawesi Tenggara
yang diberikan kepada kita semua sehingga pada
hari ini kita tetap sehat dan dapat melaksanakan
seluruh aktivitas kita. Selawat dan salam mari selalu
kita curahkan kepada seluruh rasul-rasul Allah
Swt., terkhusus kepada Rasulullah Muhammad
saw., keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para
pengikutnya, khususnya kita yang hadir hari ini—
mudah-mudahan tetap dapat menjalankan tugas
dan amanah masing-masing walaupun masih pada
masa pandemi. Mari kita berdoa, semoga covid-19
ini segera dapat berlalu dan kita semua terhindar
dari wabah ini. Amin.
Pada masa pandemi ini, sebagai akademisi di
perguruan tinggi kita masih tetap melaksanakan
kegiatan tridarma perguruan tinggi. Walaupun
dengan segala keterbatasan, semuanya masih
bisa kita laksanakan. Di kampus, kita masih
tetap melaksanakan perkuliahan, praktikum,
ujian skripsi, KKN, wisuda, dan sebagainya—
alhamdulillah, semua itu bisa dilaksanakan dengan
baik.
Hampir semua universitas saat ini, termasuk
Universitas Halu Oleo, masih gencar melaksanakan
seminar melalui web atau webinar. Musim wabah
covid ini menuntut kita untuk selalu berinovasi
dan berkreasi. Kita tidak dapat membayangkan
bila wabah seperti ini terjadi sekitar 15 tahun lalu,
tentu semuanya akan lumpuh. Teknologi saat itu

vii
belum semaju saat ini. Hal ini merupakan hikmah; Allah Swt. memberikan
cobaan kepada kita sesuai dengan batas kemampuan.
Seminar hari ini berkaitan dengan Sumpah Pemuda yang diikrarkan
pada 28 Oktober 1928. Jadi, peringatan Bulan Bahasa dan Sastra berkaitan
dengan itu. Dari dulu hingga sekarang banyak yang terjadi dengan bahasa,
termasuk istilah-istilah yang baru muncul. Dalam seminar ini tentu akan
terjadi diskusi dan berbagi pendapat antara narasumber dan peserta seminar.
Semua ilmu harus beradaptasi dengan kemajuan, termasuk perkembangan
bahasa Indonesia.
Mudah-mudahan dari seminar hari ini dapat kita mengambil manfaat,
terutama dari para ahli bahasa seperti Kepala Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa—dapat memberikan penjelasan arah pembinaan bahasa
dewasa ini sesuai dengan visi dan misi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Semoga kegiatan seminar ini dapat memberi manfaat kepada
kita sekalian.

viii |
Laporan Ketua Panitia Seminar Nasional Bulan Bahasa

La Ode Adili Kita bersyukur kepada Allah Swt. Tuhan Yang


Ketua Panitia SNBB Maha Esa. Alhamdulillah, hingga pada saat ini,
FKIP Universitas Halu Oleo
kita masih diberikan rahmat dan karunia berupa
kesehatan dan kesempatan sehingga kita dapat
menghadiri acara pembukaan Seminar Nasional
Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan
oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Halu Oleo secara virtual atau daring.
Mewakili panitia, izinkanlah saya melaporkan
pelaksanaan kegiatan Seminar Nasional Bulan
Bahasa dan Sastra Tahun 2020.
Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra PBSI
FKIP UHO 2020 mengangkat tema “Penguatan
Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah sebagai Jati Diri Bangsa.” Seminar nasional
dalam rangka peringatan bulan bahasa dan sastra
tahun ini dilaksanakan secara daring atau virtual.
Tentu kita bisa memahami keadaan ini sebagai
akibat dari belum meredanya pandemi Covid-19.
Walaupun seminar ini dilaksanakan
secara daring, tentu tidak mengurangi nilai dan
substansi kegiatan seminar itu sendiri. Pendaftar
peserta seminar berjumlah 1.174 orang, berasal
dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Aceh,
Sumatera, Jawa, Bali, Makassar, Kalimantan,
Ambon, Nusa Tenggara, Papua, dan daerah-daerah
lain.
Seminar bulan bahasa dan sastra tahun
ini dilaksanakan selama dua hari dengan

ix
menghadirkan tiga belas pemakalah. Hari pertama—Kamis, 5 November
2020—akan diisi oleh empat pemakalah, yakni Prof. E. Aminudin Aziz
(Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia), Prof. La Ode Sidu Marafad (Universitas
Halu Oleo), Prof. Muhammad Rapi Tang (Program Pascasarjana Universitas
Negeri Makassar), dan Prof. Ketut Artawa (Program Pascasarjana Universitas
Udayana). Hari kedua—Jumat, 6 November 2020—akan diisi oleh sembilan
pemakalah, yakni Prof. Zalili Sailan, Prof. Barlian, Prof. Haerun Ana, La Ode
Sahidin, Sulfiah, Amirudin, La Ode Adili, Sahlan, dan La Ode Balawa—para
dosen di Universitas Halu Oleo.
Mewakili panitia, saya menyampaikan terima kasih atas kehadiran
narasumber dan seluruh peserta dalam seminar ini dan menyampaikan
permohonan maaf bila dalam pelaksanaan seminar ini banyak terdapat
kekurangan dan menyebabkan ketidaknyamanan. Kami berharap Bapak
Rektor Universitas Halu Oleo dapat memberikan sambutan sekaligus
membuka dengan resmi kegiatan Seminar Nasional Bulan Bahasa dan Sastra
Tahun 2020.

x|
Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas Bangsa

E. Aminudin Aziz Melalui bahasa, seseorang dapat menyatakan


Badan Pengembangan pikiran, keyakinan, kepercayaan, dan melakukan
dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan
penilaian terhadap sebuah gejala alam atau
dan Kebudayaan peristiwa yang sudah, sedang, dan/atau akan
dihadapi dalam hidupnya. Dengan bahasa pula
seseorang dapat menunjukkan rasa sayang, cinta,
penghargaan, empati, bujukan, hasutan, curiga,
benci, permusuhan, perlawanan, atau penghinaan
terhadap orang lain. Pernyataan-pernyataan
itu akan dinyatakan dalam konstruksi tuturan
yang konsisten dalam keberaturan susunannya
atau ketidakteraturan susunannya, baik secara
morfologi, sintaksis, semantik, maupun wacana.
Disadari bahwa sesuatu yang dikatakan
itu tidak bebas nilai dan tujuan. Atas dasar itu,
dapat dikatakan bahwa apa yang disampaikan
pada tahun 1930-an oleh Malinowski tentang
adanya fetikomunien atau kemudian dia juga
mempertukarkannya dengan istilah feti­komuni­
cation, menyatakan ada bahasa-bahasa ekpresi
yang fatis dan tidak memiliki tujuan apa-apa, tidak
memiliki nilai apa-apa, hanya sekadar basa-basi
saja. Tentu saja, dapat dikatakan bahwa dengan
bahasa, suatu pernyataan tidak pernah bebas nilai
dan selalu ada tujuannya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

1
BAHASA DAN PIKIRAN
Bila merujuk kepada teori, akan ditemukan sejumlah teori tentang pikiran
dan bahasa. Ada yang mengatakan bahasa menentukan pikiran atau ada yang
mengatakan pikiran itu justru menentukan konstruksi bahasa. Ada juga yang
mengatakan bahwa ada hubungan antara bahasa dan pikiran, tetapi hubungan
itu tidak saling menentukan. Hal tersebut dipelajari dalam sosiolinguistik
yang mengkaji bagaimana bahasa dan pikiran itu saling terkait satu sama lain.
Wilhelm von Humboldt memandang pikiran manusia bergantung pada
bahasa. Suatu masyarakat hidup pada ketentuan bahasa masyarakatnya itu
sendiri dan tidak dapat menyimpang lagi dari garis yang ditentukan oleh
bahasanya. Bila masyarakat mengubah pandangan hidupnya, berarti harus
mempelajari bahasa yang baru.
Edward Sapir & Benjamin Lee Whorf mengemukakan Whorfian
hypotheses berikut. Pertama, pandangan hidup suatu masyarakat ditentukan
oleh struktur bahasanya. Kedua, setiap bahasa menggambarkan cara berpikir
penuturnya. Ketiga, sistem linguistik setiap bahasa tidak hanya menyuarakan
ide, tetapi justru merupakan pembentuk ide, merupakan program untuk melihat
kegiatan mental seseorang, penentu analisis kesan, dan sintesis struktur mental
seseorang. Tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran. Keempat, untuk
menjelaskan bahasa memengaruhi pikiran manusia, Whorf mengambil contoh
bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena
orang Jepang mempunyai banyak kosakata dalam menjelaskan sebuah realitas.
Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail
tentang realitas. Kelima, orang yang menggunakan bahasa yang berbeda akan
mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap suatu hal. Bahasa adalah
kunci untuk memahami perbedaan cara pandang manusia terhadap dunia.
Pada tahun 1980-an, John Gumperz dan Levinson berbicara tentang
filsafat relativitas bahasa dan pikiran. Teori relativitas bahasa merupakan
bagian dari filsafat relativisme. Filsafat ini memandang bahwa bahasa
bukanlah sebuah entitas yang statis atau mutlak. Bahasa diyakini dapat
memengaruhi pikiran seseorang. Bahasa memengaruhi cara berpikir individu
dan bagaimana mereka melihat dunia atau realitas.

TEORI DAN FAKTA TENTANG KEINDONESIAAN


Sebuah fakta bahwa keindonesiaan kita ini dibangun pada dua kondisi.
Pertama, sebagai negara terjajah. Sebagai negara terjajah, karena istilah

2 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Indonesia saja muncul ketika Indonesia sedang dalam masa penjajahan
sekitar tahun 1850-an. Ketika itu, sekitar 25 tahun setelah selesainya Perang
Diponegoro. Akibat sebagai negara terjajah itu, muncul keragaman sikap
warga masyarakat. Ada yang memilih kooperatif dengan penjajah, ada yang
bertekad melawan untuk memperoleh kemerdekaan. Ini adalah fakta sejarah
yang tidak bisa diabaikan.
Kedua, sebab lain selain sebagai negara terjajah atau bangsa terjajah,
Indonesia juga memiliki keragaman suku bangsa. Hal itu mengakibatkan
perbedaan adanya perspektif berpikir, bersikap, dan bertindak. Kondisi itu
berpotensi menggagalkan cita-cita untuk membangun Indonesia yang jaya.
Perbedaan yang tajam antara satu suku dengan suku lain akan berakibat
sangat fatal. Memang, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam
dari segi suku bangsa. Keragaman bangsa itu dibuktikan salah satunya dengan
jumlah bahasa daerah yang sangat banyak.
Hasil pemetaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan
Bahasa) sampai tahun 2019 dan 2020, sudah diperoleh adanya 718 bahasa
daerah di Indonesia. Tentu jumlah yang besar ini memiliki nilai emosional
tinggi bagi para penuturnya. Daerah Kendari memiliki bahasa daerah sendiri,
pasti memiliki ikatan emosional dengan bahasa setempat. Sebagai orang Jawa
Barat lingkungan orang Sunda, tentu memiliki ikatan emosional dengan
bahasa Sunda. Orang Jawa juga pasti memiliki ikatan emosional yang sama
terhadap bahasanya. Demikian juga 718 warga penutur bahasa daerah lain.
Suatu fakta bahwa dahulu tidak dikenal istilah bahasa Indonesia, yang ada
adalah bahasa Melayu yang fungsinya sebagai lingua franca. Perjuangan para
pemuda saat itu untuk menjadikan bahasa Indonesia yang diambil dari bahasa
Melayu adalah bagian dari perjuangan untuk meraih kemerdekaan.
Banyak karya sastra dalam bahasa daerah yang berkembang pesat,
bahkan telah melebihi karya-karya sastra berbahasa Indonesia. Di dalam
bahasa daerah, orang sudah biasa menulis. Sementara, ketika bicara tentang
bahasa Indonesia, orang sebelumnya masih bicara tentang bahasa Melayu.
Karena itu, bahasa Indonesia dikatakan bangkit ketika Balai Pustaka berdiri
pada awal 1930-an.
Pengikraran yang sangat elitis oleh para pimpinan organisasi pemuda
bahwa bahasa Indonesia yang jelas-jelas diambil dari bahasa Melayu menjadi
bahasa persatuan tepat tanggal 28 Oktober 1928, berpotensi kuat menimbulkan
sentimen negatif dari para penutur bahasa non-Melayu. Sentimen tetap ada,

Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas Bangsa 3


tetapi karena lebih mementingkan kepentingan bangsa saat itu, para pemuda
berikrar menjadikan bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia, bukan bahasa
yang lain. Walaupun saat itu penutur bahasa Jawa, penutur bahasa Sunda,
penutur bahasa Madura, dan penutur bahasa Batak bisa saja jauh lebih banyak
dari bahasa Melayu yang saat itu sudah digunakan sebagai lingua franca. Atas
dasar kebesaran hati para pemuda, bahasa Indonesia diadopsi dan dinyatakan
sebagai bahasa persatuan.
Dampak atau implikasi bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa
persatuan, setidaknya secara teoretis bahasa Indonesia patut diduga bukan
bagian dari nilai budaya inti masyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia
merupakan bahasa baru yang labelnya disematkan kepada sebuah bangsa yang
sedang terjajah dan para pemudanya sedang berjuang mencapai kemerdekaan.
Menurut teori nilai budaya inti (culture core value), hal itu bukan merupakan
nilai budaya inti. Oleh karena itu, potensi kepunahan akan sangat kuat. Upaya
pemertahanan akan sangat berat. Kondisi seperti ini yang dihadapi bahasa
Indonesia; akan terlihat dampak globalisasi dan dampak penjajahan.
Derasnya arus pengaruh dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia
telah menunjukkan gempuran yang luar biasa terhadap bahasa Indonesia.
Menurut teori culture core value (Smolicz & Secombe, 1985), setiap masyarakat
memiliki budaya yang aspeknya dipegang teguh sehingga menjadi ciri utama
kehidupan dan diharapkan menjadi penanda keberadaan masyarakat tersebut.
Budaya tersebut termasuk di dalamnya bahasa, merupakan bagian inti, akan
selalu diupayakan tetap ada dan tidak boleh lenyap karena hilangnya budaya
tersebut sama dengan hilangnya masyarakat secara keseluruhan. Ketika
misalnya bahasa bukan merupakan nilai budaya inti dari bangsa Indonesia,
potensi kepunahannya akan menjadi besar. Karena itu, diperlukan politik
bahasa dan kebijakan pendukung supaya tidak terjadi kepunahan. Realitasnya,
penggunaan bahasa Indonesia di media massa dan di lingkungan masyarakat
harus diperkuat. Seperti halnya mencampuradukkan dengan bahasa asing,
khususnya bahasa Inggris. Kenyataan itu sangat tampak gejalanya.
Fokus komunikasi adalah lingkungan kultur bahasa Indonesia. Sering
didengar ungkapan-ungkapan berbahasa asing. Padahal, di dalam bahasa
Indonesia tersedia padanannya. Bahkan dalam bertutur bahasa daerah pun,
bahasa asing ini juga sudah masuk dalam tatanan berkomunikasi. Anehnya
lagi, sasaran komunikasi adalah orang setempat yang notabene jelas-jelas
para penutur bahasa Indonesia. Orang cenderung menggunakan bahasa

4 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


atau istilah asing. Gejala di dalam masa covid ini misalnya, orang lebih akrab
dengan istilah, misalnya face shield, social distancing, new normal. Padahal,
sudah ada padanan dalam bahasa Indonesia. Orang lebih akrab istilah rapid
test atau swab test, padahal itu sudah ada padanannya, uji cepat atau uji usap.
Akibatnya, menjadi bertambah berat beban perencanaan politik bahasa
nasional. Hal itu menunjukkan rendahnya sikap positif bahasa masyarakat
sebagai penutur bahasa sendiri.

TAKSONOMI BAHASA
Suatu fakta yang bisa ditemukan ketika berbicara tentang bahasa dan pikiran,
teori yang disebut dengan teori taksonomi bahasa. Taksonomi itu, dapat
diambil contoh beberapa saja. Istilah dalam sistem kekerabatan misalnya,
sistem kekerabatan dalam bahasa Sunda ada tujuh istilah—ada istilah
anak, bapak, kakek, nenek dan seterusnya ke atas itu dalam tujuh tingkatan.
Sementara, di dalam bahasa Inggris istilah itu tidak ditemukan. Dalam bahasa
Inggris hanya ada dua level, yakni son and daughter, father and mother. Bahasa
Arab juga memiliki yang berbeda. Kembali ke dalam contoh bahasa Inggris,
ketika menunjuk kepada kakek, tidak ada istilah khusus untuk kakek sehingga
digunakan istilah grandfather. Bahasa Inggris juga tidak memiliki istilah untuk
nenek sehingga muncullah istilah grandmother. Kemudian, kalau misalnya
untuk yang lebih atasnya lagi seperti bapaknya kakek (buyut), dalam bahasa
Inggris digunakan istilah great grandfather. Ini menunjukkan bagaimana mereka
sesungguhnya berbudaya. Berbeda dengan bahasa Arab, mungkin juga berbeda
dengan bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa daerah di Kendari yang pasti memiliki
keunikan. Keunikan itu menunjukkan bagaimana sesungguhnya kedekatan
hubungan antara seorang anak dengan seorang bapak/ibu dan keluarga ke atas
atau ke bawah sampai kepada cucu cicit dan seterusnya.
Spektrum warna itu juga menunjukkan hal yang sama. Ada sebuah
budaya yang hanya memiliki istilah hitam, putih, merah, dan biru. Namun, ada
juga bahasa yang tidak memiliki istilah warna untuk warna tertentu, misalnya
istilah untuk jingga. Orang Inggris tidak memiliki istilah jingga karena
mereka menyebutnya orange, sementara orange adalah nama buah. Demikian
juga, bahasa Indonesia tidak mempunyai istilah brown yang dipadankan
dalam bahasa Indonesia menjadi cokelat. Padahal, cokelat adalah nama buah.
Kemudian juga penunjuk waktu dan seterusnya yang menunjukkan bahwa
hidup dipengaruhi oleh budaya.

Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas Bangsa 5


Budaya adalah identitas bangsa Indonesia. Penamaan benda, untuk
orang Inuit, istilah salju itu menjadi sangat kompleks. Salju yang sudah jatuh
kemudian diinjak, kemudian salju itu apakah ada di atas iglo atau sudah turun
di angkasa di udara atau ada yang sudah dipegang atau turunnya apakah siang,
pagi, sore dan besarnya seperti apa. Bagi orang Inuit, itu sangat kompleks
penamaannya. Sementara bagi Indonesia, karena tidak hidup dengan salju,
hanya menamakan salju saja. Kemudian ‘kelapa’ bagi orang Fiji, bentuknya
seperti apa, warnanya bagaimana, menghadapnya ke barat atau ke timur,
apakah kelapanya dari pohon yang tinggi atau yang rendah, namanya berbeda-
beda. Demikian juga untuk istilah unta bagi orang Arab yang mempunyai
puluhan istilah, bagi kita hanya istilah unta saja. Kanguru juga sama bagi
orang Aborigin. Akan sangat mudah diidentifikasi, apakah betul itu adalah
hewan kanguru atau bukan? Bagi orang Indonesia, hanya kanguru. Bagi orang
Aborigin, harus dibedakan antara kanguru yang sedang lompat, yang sedang
diam, warnanya seperti apa, besarnya seperti apa, membawa anak atau tidak,
lompat menjauh kepada kita, lompat menjauh, bebeda-beda namanya. Istilah
beras juga sama di Indonesia ada bubur, nasi, bermacam-macam—sementara
orang Eropa hanya memiliki istilah rice atau paddy saja. Begitu pula istilah
kopi, cokelat, jeruk, dan sebagainya juga memiliki istilah. Hal-hal di atas
menunjukkan keragaman bahasa dan hubungan dengan pikiran.
Sebuah riset yang kami lakukan untuk melihat sebetulnya bahasa bagi
orang-orang Indonesia itu penting atau tidak. Kami melakukan penelitian
kepada empat penutur bahasa yang besar jumlahnya, yaitu bahasa Jawa,
Sunda, Minang, dan Batak. Dalam penelitian tersebut dilakukan pengujian
kepada penutur bahasa Indonesia, apakah bahasa Indonesia sebagai nilai
budaya inti atau bukan. Penelitian itu dilakukan pada tahun 2011. Hasil
penelitian tersebut dapat dirangkum pada Tabel 1.
Dapat dijelaskan bahwa bagi orang Jawa, bahasa ternyata menjadi
identitas paling utama. Sementara, bagi orang Sunda tidak, bagi orang Minang
juga tidak, bagi orang Batak juga tidak. Artinya bahwa, orang Jawa akan merasa
hilang jati dirinya kalau dia tidak bisa berbahasa Jawa. Sementara, orang Sunda
akan merasa menjadi orang Sunda yang sesungguhnya ketika berada hidup di
tatar Pasundan. Kemudian, dia dapat membayangkan bagaimana keindahan
alam Pasundan dengan gambaran musik kecapi suling. Orang Minang merasa
menjadi orang Minang yang sesungguhnya ketika bisa memasak, menikmati
makanan khas yang disebut dengan makanan khas Minang—sambal balado

6 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Tabel 1 Penilaian Responden tentang Aspek-Aspek Budaya Menurut Urutan
Kepentingannya

Urutan Kepentingan Menurut Penutur Bahasa


No. Aspek-Aspek Budaya
Jawa Sunda Minang Batak
1. Kemampuan berbahasa daerah 1 3 3 4
2. Ketika berpakaian adat 3 7 2 5
3. Ketika sedang menari/menyanyi 2 4 5 2
tradisi (kemampuan
menyanyi atau menari)
4. Ketika mendengar musik tradisional 4 1 4 3
5. Ketika sedang menyantap makanan 7 5 1 8
khas daerah asal
6. Ketika mendengar intonasi/gaya 5 6 8 1
bicara bahasa daerah
7. Ketika memiliki kesamaan agama 10 9 7 10
8. Ketika asal daerah dikenali 6 8 9 7
9. Ketika merayakan hari besar agama 9 10 10 9
atau tradisional
10. Ketika sedang mengenang 8 2 6 6
kehidupan di daerah asal

(Aziz, 2011)

Tabel 2 Aspek Budaya yang Membuat Orang Sunda Menjadi “Sunda Sejati”

Nilai Total Urutan Urutan


No. Aspek Budaya
(rata-rata) (%) (rata-rata) (%)
1 Hidup di Tatar Pasundan 2.02 75.23 1 1
2 Mampu bertutur dalam bahasa Sunda 2.07 65.82 2 3
dengan fasih
3 Memeluk agama Islam 2.56 70.43 3 2
4 Mendidik/mewarisi keturunan dengan 2.57 61.87 4 4
(menggunakan) bahasa Sunda
5 Mampu menikmati makanan khas Sunda 3.18 52.47 5 5
6 Mampu menikmati alunan musik 3.90 41.95 6 6
tradisional Sunda
7 Menikah dengan sesama Sunda 4.01 41.38 7 7
8 Mampu melantunkan lagu-lagu Sunda 4.48 35.82 8 8
9 Mampu membaca naskah/tulisan Sunda 5.11 34.34 9 9
10 Memakai pakaian Sunda 5.68 25.41 10 10

(Aziz, 2011)

Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas Bangsa 7


atau rendang. Bagi orang Batak, bukan bahasa, tempat tinggal, bukan juga
makanan. Bagi mereka, lebih kepada bagaimana cara gaya berbicara dan
intonasi orang-orang Batak yang khas.
Yang membuat orang Sunda menjadi “Sunda sejati” dapat dirangkum
dalam Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, dapat dijelaskan bahwa identitas utama
orang Sunda yang pertama adalah hidup di tatar Pasundan, kemudian yang
kedua memeluk agama Islam, lalu yang ketiga mampu bertutur bahasa Sunda
dengan fasih. Terkait dengan bahasa dan pikiran, hal itu juga merupakan
identitas.
Ketika mengonstruksi wacana, bahasa Indonesia umumnya adalah
memutar atau sirkular sehingga seperti istilah dalam bahasa Inggris bitting
around the bus (memutar-mutar). Bila akan mengatakan sesuatu kadang
berputar ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah (tidak secara langsung),
tidak straight forward. Hal ini berbeda dengan orang Inggris yang bahasa
wacananya itu sangat linier sehingga di dalam teori menulis, seperti dalam
pelajaran bahasa Inggris, selalu ada yang disebut topic sentence atau kalimat
utama. Kalimat utama tersebut diikuti oleh kalimat-kalimat pendukung. Hal
ini adalah aliran wacana dari budaya yang linier, sedangkan budaya Indonesia
“memutar-mutar”. Ada yang selalu menyebut bila berwacana, yakni membuat
pendahuluan seperti di dalam makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Bila
akan menyebutkan tentang keterampilan berbahasa, sering menyebut bahwa
berbahasa itu adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang perlu kita syukuri.
Pernyataan ini seperti bahasa sidratul muntaha, padahal seseorang sedang
menginjak bumi. Sesungguhnya yang akan dibicarakan adalah kompetensi
bahasa seorang atau beberapa orang atau kasus dari sebuah sekolah.
Ada juga teori wacana yang berpola digresif atau berpendar. Misalnya,
apa yang dilakukan atau diadopsi oleh orang-orang berpenutur bahasa Jerman.
Kemudian, ada juga yang paralel, yakni menyebutkan satu hal diikuti dengan
hal lain yang berbeda sama sekali. Hal itu seperti kebiasaan berwacananya
orang-orang Arab. Hal-hal itu juga merupakan keterikatan bahasa dan pikiran.
Fakta lain yang menunjukkan identitas dan bahasa sebagai wujud dari
pikiran seperti yang sering didengar saat ini yakni apa yang disebut dengan
bahasa semusim. Orang-orang yang berusia lima puluh tahun ke atas
mengenal betul fenomena bahasa Ali Topan atau bahasa prokem, kemudian
bahasa Debby Sehartian yang terkenal dengan kata “ember”, bahasa alay, anak
layang, dan yang terakhir fenomena terkini adalah anjay. Hal-hal itu adalah

8 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


bahasa semusim yang menunjukkan bagaimana hubungan bahasa, budaya,
dan pikiran.

WAJAH RUANG PUBLIK KITA


Wajah ruang publik saat ini betul-betul bisa disaksikan di tengah-tengah
hiruk-pikuknya kehidupan. Bahasa Inggris atau bahasa yang lain bahkan
bahasa Indonesia menjadi bagian dari penggunanya. Lihat saja orang yang
berulang tahun bisa dikatakan sebetulnya selamat ulang tahun, tetapi yang
kita katakan adalah happy milad; happy diambil dari bahasa Inggris, milad dari
bahasa Arab. Jadi, penggunaan bahasa sudah bercampur-campur. Sejumlah
foto (hlm. 10) menggambarkan wajah ruang publik kita. Bahkan, ada juga
yang mengatakan free wife translet bahasa Inggris, Jepang, mohon antri tetapi
tertulis entry please, halte ply ofer—sudah menulis salah, menggunakan bahasa
Inggris juga. Fried chicken ditulisnya pret ciken. Itulah wajah bahasa ruang
publik yang diisi oleh bahasa-bahasa seperti itu. Orang sekarang begitu akrab
dengan e-money, e-toll card. Mengapa bukan kartu atau uang elektronik?
Jangan-jangan, orang-orang saat ini sedang mengidap apa yang disebut
xenofili atau xenomania. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima,
ada definisi tentang ‘xenofili’, yaitu “orang yang tertarik kepada hal-hal
yang berasal dari luar negeri, seperti tata cara dan sebagainya”. Selanjutnya,
‘xenomania’ yang berarti “mempunyai kesukaan yang berlebihan terhadap
segala sesuatu yang asing atau berasal dari luar negeri”. Padahal, sedianya
mempunyai produk sendiri, tetapi lebih senang denga produk yang dari luar.
Itulah yang disebut dengan ‘xenofili’.
Diyakini bahwa bahasa Indonesia dan bahasa daerah membentuk watak
manusia Pancasila. Bahasa adalah identitas diri masyarakat dan bangsa yang
dapat ditemukan di dalam kearifan lokal yang lebih mudah dicerna dan
dipahami manakala dalam bahasa yang mudah dimengerti. Kita meyakini
bahwa nilai-nilai yang luhur itu, apabila dinyatakan dalam bahasa sendiri, jauh
lebih mudah dipahami, kemudian dilaksanakan oleh bangsa kita daripada
menggunakan bahasa asing. Inilah yang akan dilakukan oleh Badan Bahasa,
yakni menghimpun keragaman-keragaman itu ke dalam laboratorium
kebinekaan bahasa dan sastra untuk memfasilitasi pembelajaran bagi para
siswa. Dengan demikian, para siswa dapat saling menghargai keragaman
dan apa saja yang dapat ditemukan di dalam kebinekaan itu. Badan Bahasa
memiliki laboratorium kebahasaan yang sering dikunjungi banyak orang.

Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas Bangsa 9


Gambar 1 Wajah Ruang Publik Kita

10 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


KEKAYAAN BAHASA KITA
Hingga tahun 2019, Badan Bahasa telah memetakan 718 bahasa daerah di
Indonesia dari 2.467 daerah pengamatan. Program Badan Bahasa terkait
dengan ketahanan bahasa dan sastra daerah adalah bagaimana dapat
berkontribusi untuk penguatan bahasa Indonesia. Badan Bahasa menjadi
bagian dari program Gerakan Literasi Nasional yang tahun-tahun mendatang
akan ditingkatkan lagi. Pada tahun 2019, Badan Bahasa telah melakukan
pencetakan dan pengiriman buku dengan sasaran SD, SLTP, SLTA, TBM, dan
perpustakan di wilayah 3-T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Badan Bahasa
telah mendistribusi sejumlah 48.376 buah buku—SD 32.626 buku, SLTP
9.746 buku, SLTA 658 buku, dan perpustakaan 40 buku. Program tersebut
menunjukkan keberpihakan pada bahasa-bahasa daaerah, sastra daerah, dan
pengembangan bahasa Indonesia. Pada tahun 2020, Badan Bahasa mempunyai
target membuat program perlindungan bahasa, pengujian vitalisasi, dan
revitalisasi. Karena bahasa adalah milik masyarakat, masyarakatlah yang akan
lebih paham.
Cara mencontoh bahasa sejalan dengan teori Richard Hudson, yakni
wave theory, ‘teori gelombang’. Menurut teori ini, apabila tokoh-tokoh
memberikan contoh yang baik, masyarakat akan mengikuti bahasa yang
baik itu. Sayang, cara berbahasa tokoh-tokoh yang ada, baik di tingkat lokal,
regional, maupun nasional, banyak yang tidak menjadi panutan. Masyarakat
sekarang lebih banyak dicekoki dengan bahasa-bahasa para selebritas atau
para pesohor yang belum tentu bahasa-bahasa mereka adalah bahasa yang
patut dicontoh. Padahal, menurut teori gelombang, apabila contoh bahasanya
baik dan pengaruhnya besar karena dilakukan oleh tokoh di pusat-pusat
kekuasaan, pusat perdagangan, atau pusat-pusat pengaruh, dengan sendirinya
akan mudah ditiru oleh masyarakat awam.
Upaya yang sebaiknya ditempuh adalah menjadikan setiap orang menjadi
“duta bahasa”. Uapaya berikutnya adalah model ekonomis, peningkatan
mobilitas ekonomis, menggunakan bahasa Indonesia. Suatu fakta bahwa
bahasa Indonesia dalam produk-produk perdagangan selalu tersisih. Produk
Indonesia masih kalah dibanding dengan China, Thailand, dan Vietnam.
Negara-negara tersebut selalu mempertahankan bahasa mereka di dalam
produk yang mereka ekspor. Sementara, Indonesia langsung beralih ke bahasa
tujuannya, terutama bahasa Inggris. Semestinya, bahasa dapat menjadi konsep
lingua franca plus, yaitu menggunakan bahasa untuk kepentingan ekonomi.

Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas Bangsa 11


Indonesia adalah pengguna produk yang sangat besar, pangsa pasarnya
besar. Namun, mengapa Indonesia menjadi kalah di negara sendiri—di bumi
sendiri—sehingga produk-produk itu menjadi asing di dalam bacaan bahasa
Indonesia?

PENUTUP
Sekalipun bahasa Indonesia belum/bukan/tidak akan menjadi nilai budaya
inti masyarakat Indonesia secara kolektif, ia lambat laun akan memiliki posisi
yang menguat dalam setiap bentuk dan fungsinya. Setiap warga Indonesia
akan menemukan bahasa Indonesia sebagai salah satu ciri nasionalisme yang
akan mengokohkan integrasi bangsa dan bisa menapaki martabat tinggi dalam
pergaulan internasional. Ini adalah harapan kita tentang bahasa Indonesia
yang sangat ideal.

DAFTAR RUJUKAN
Aziz, E. A. (2011). Budaya inti, sikap bahasa, dan pembangunan karakter bangsa:
Kasus penutur bahasa-bahasa daerah utama di Indonesia. Prosiding Kongres
Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) 2011. Bandung: UPI
Press.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016) Kamus besar bahasa Indonesia
(edisi V). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hudson, R. A. (1980). Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Malinowski, B. (1936). The problem of meaning in primitive languages. Dalam C.
K. Ogden & I. A. Richards, The meaning of meaning (Supplement I: 296–336).
London: Kegan Paul.
Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. New York: Harcourt
Brace.
Smolicz, J. J. & Secombe, M. J. (1985). The Australian school through children’s eyes.
Melbourne: Melbourne University Press.
Whorf, B. (1956), Carroll, J. B. (ed.). Language, thought, and reality: Selected writings
of Benjamin Lee Whorf. Massachusetts: MIT Press.

12 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Strategi Pemertahanan Bahasa Daerah pada Era Globalisasi

La Ode Sidu Marafad Kebijakan bahasa sangat penting dalam kerangka menjaga
dan melestarikan bahasa-bahasa daerah yang ada di
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Sayangnya, pemerintah belum terlalu serius untuk
dan Sastra Indonesia mengurusi hal ini. Bahasa daerah di Indonesia berjumlah
FKIP Universitas Halu Oleo
ribuan. Namun, bahasa daerah yang sudah terdata baru
sekitar 700 bahasa. Diperkirakan jumlah bahasa daerah
yang belum tercatat masih lebih banyak daripada yang
sudah terdata. Jumlah bahasa daerah menggambarkan pula
ragam budaya di Indonesia karena setiap produk budaya
dilabel dengan bahasa daerah. Setiap bahasa daerah
memiliki fungsi, peran, dan manfaat bagi penuturnya.
Bahasa daerah memiliki fungsi yang sangat penting bagi
masyarakat penuturnya. bahasa daerah memiliki fungsi
dan peran strategis dalam kelestarian budaya lokal. Karena
itu, bahasa daerah sangat penting untuk dilestarikan,
dipelihara, dan dilindungi. Pemertahanan bahasa daerah
dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga, lingkungan
masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan pemerintah,
teknologi, media cetak, media elektronik, musik modern,
media seni dan media sastra, upacara-ritual, serta permainan
tradisional/permainan rakyat.
kata kunci: strategi, pemertahanan, bahasa daerah,
globalisasi

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

13
PENDAHULUAN
Bahasa daerah di Indonesia berjumlah ribuan. Namun, bahasa daerah yang
sudah terdata baru sekitar 700 bahasa. Diperkirakan jumlah bahasa daerah
yng belum tercatat masih lebih banyak daripada yang sudah terdata. Bahasa
daerah yang sudah terdata itu, di antaranya: bahasa Muna, bahasa Tolaki,
bahasa Moronene, bahasa Wawonii, bahasa Kulisusu, bahasa Wakatobi,
bahasa Tulambatu, bahasa Kodeoha, bahasa Menui, bahasa Wolio, bahasa
Cia-Cia, bahasa Bosoa, bahasa Makassar, bahasa Bugis, bahasa Toraja,
bahasa Kaili, bahasa Minahasa, bahasa Totemboa, bahasa Miangas, bahasa
Paso, bahasa Wanat, bahasa Tulehu, bahasa Hitu, bahasa Gotom, bahasa Kei,
bahasa Tanimbar, bahasa Sula, bahasa Sanana, bahasa Waigeo, bahasa Biak,
bahasa Genyem, bahasa Wamena, bahasa Nabire, Merauke, Jawa, bahasa
Madura, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Sumba, bahasa Sumbawa, bahasa
Flores, bahasa Kupang, bahasa Pura, bahasa Blagar, bahasa Lamholot, bahasa
Melayu, bahasa Batak, bahasa Mentawai, bahasa Palembang, bahasa Sasak,
bahasa Ngadha, dan bahasa Lio.
Jumlah bahasa daerah di atas menggambarkan pula ragam budaya di
Indonesia karena setiap produk budaya dilabel dengan bahasa daerah. Setiap
bahasa daerah memiliki fungsi, peran, dan manfaat bagi penuturnya. Fungsi
bahasa daerah di antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut ini: (1)
identitas suatu suku bangsa; (2) alat pemersatu suatu suku bangsa; (3) alat
komunikasi luas suatu suku bangsa; (4) sumber pemerkaya kosakata bahasa
Indonesia; (5) media seni dan sastra daerah; (6) media upacara-ritual suatu
suku bangsa; (7) bahasa mantra suatu suku bangsa; dan (7) alat pelestari
produk budaya suatu suku bangsa.
Pada umumnya, kondisi kebertahanan bahasa daerah di Indonesia
sekarang sudah memprihatinkan bagi pencinta dan pemerhati bahasa daerah.
Kenyataan di lapangan, jumlah penutur bahasa daerah—baik di kota maupun
di desa—semakin menurun. Bila diamati dengan saksama, penutur aktif
bahasa daerah sisa orang-orang dewasa dan orang-orang tua, nenek-nenek/
kakek-kakek yang ada di desa. Sementara anak-anak dan remaja sebagian
besar bukan lagi penutur aktif. Mereka memilih menggunakan bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi karena tidak lagi menguasai bahasa daerah.
Apa penyebab mereka tidak lagi menguasai bahasa daerah? Ada
beberapa faktor yang menyebabkan mereka tidak menguasai bahasa daerah.
Pertama, sikap berbahasa: (a) malu berbahasa daerah; (b) bahasa daerah

14 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


dianggap identik dengan kekunoan; (c) gengsi; dan (d) kebiasaan. Kedua,
tidak memperoleh bahasa daerah sejak kecil hingga besar. Ketiga, bahasa
komunikasi dalam lingkungan keluarga umumnya bahasa Indonesia.
Penyebabnya di antaranya adalah: (a) bahasa pengantar di TK dan SD adalah
bahasa Indonesia; (b) kawin-mawin antarsuku yang berbeda bahasa daerah;
(c) “ketidakpedulian” pihak keluarga; dan (d) mobilisasi penduduk begitu
tinggi—dari daerah satu ke daerah lain, dari negara satu ke negara lain—
sehingga bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi antarwarga dalam sebuah
suku cenderung ditinggalkan dan mengambil bahasa Indonesia atau bahasa
lain sebagai bahasa komunikasi. Kondisi ini merupakan kerikil-kerikil tajam
penghambat pelestarian bahasa daerah.
Secara alami, tentu hal ini akan berjalan terus dan tanpa disadari bahasa
daerah boleh jadi “terkikis habis”. Oleh karena itu, sebelum terlambat, sebelum
fatal, sadarlah kita, bangkitlah kita, mari bersama melestarikan bahasa daerah
pada era globalisasi ini dengan beragam strategi.

STRATEGI PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH


Lingkungan Keluarga
Setiap manusia normal, memiliki potensi untuk mampu berbahasa lebih
dari satu bahasa. Oleh karena itu, untuk mengatasi bahasa pengantar bahasa
Indonesia di TK dan SD, sebaiknya di lingkungan keluarga diajarkan dua
bahasa, yakni bahasa ibu bahasa daerah dan bahasa kedua adalah bahasa
Indonesia. Mengapa demikian? Karena bahasa daerah agaknya sulit dipelajari
setelah paham bahasa Indonesia. Sebaliknya, bahasa Indonesia lebih mudah
dipelajari walaupun sudah memiliki bahasa ibu bahasa daerah. Sungguh bijak
jika ada orang tua atau anggota keluarga mengajarkan bahasa ibu bahasa
daerah dan bahasa Indonesia. Sungguh bijak jika ada orang tua atau anggota
keluarga mewariskan bahasa ibu bahasa daerah sebagai identitas suku
bangsanya. Upaya ini merupakan salah satu upaya pemertahanan bahasa
daerah agar bahasa derah tetap lestari. Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan
bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.
Lingkungan Masyarakat
Jika pemertahanan bahasa daerah di lingkungan keluarga sudah kuat, di
lingkungan masyarakat sesungguhnya merupakan tindak lanjut upaya keluarga
itu. Pada forum-forum tertentu wajib juga digunakan bahasa daerah. Pada

Strategi Pemertahanan Bahasa Daerah di Era Globalisasi 15


situasi duduk adat atau pertemuan adat sebaiknya bahasa daerah dihidupkan
sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat juga hendaknya mendirikan lembaga-
lembaga yang berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersentuhan dengan
pelestarian bahasa daerah.
Lingkungan Sekolah
Bahasa pengantar di sekolah (TK, SD) sebaiknya digunakan dwibahasa/
multibahasa sesuai dengan kebutuhan. Alangkah bijaknya guru-guru yang
menguasai bahasa daerah dapat mewariskannya pula kepada anak didiknya.
Pembelajaran bahasa daerah hendaknya tidak hanya dibebankan kepada guru
muatan lokal, tetapi perlu dibelajarkan oleh semua guru yang menguasai bahasa
daerah dalam berbagai mata pelajaran. Sungguh elok jika ada siswa-siswa yang
terampil berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia, bahkan berbahasa asing.
Dalam era globalisasi ini, siswa tidak bisa lagi hanya diajarkan dalam satu
bahasa. Penguasaan bahasa asing sejak dini, era sekarang ini sangat penting.
Utaakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.
Lingkungan Pemerintah
Partisipasi pemerintah secara aktif dan nyata sungguh sangat diharapkan
oleh masyarakat penutur bahasa daerah. Pemerintah dapat menyusun
undang-undang kebahasaan berkaitan dengan pelestarian bahasa daerah.
Pemerintah dapat menyusun undang-undang penetapan hari-hari tertentu
sebagai waktu penggunaan bahasa daerah. Pada hari yang ditetapkan itu,
seluruh anggota masyarakat penutur bahasa daerah dapat berbahasa daerah.
Selain itu, Pemerintah dapat menyelenggarakan kegiatan budaya baik secara
periodik maupun secara insidentil berupa festival dan pergelaran budaya
berbahasa daerah. Pemerintah juga dapat memberikan penghargaan kepada
keluarga yang seluruh anggotanya mahir berbahasa daerah. Siswa yang
berprestasi dan mahir berbahasa daerah selayaknya diberi penghargaan
dan beasiswa. Semua ini merupakan upaya tindakan nyata yang berdampak
positif kepada keluarga dan masyarakat. Lebih penting lagi, pemerintah dapat
membuat undang-undang penetapan bahasa daerah sebagai salah satu mata
ujian dalam keperluan tertentu, sekelompok dengan bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris. Dengan demikian, mata ujian kebahasaan meliputi bahasa
Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing (Inggris). Mata ujian meliputi (a)
uji kemahiran berbahasa Indonesia, (b) uji kemahiran berbahasa daerah, dan
(c) uji kemahiran berbahasa Inggris (TOEFL). Hal ini sejalan dengan trigatra

16 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


lembaga bahasa pusat, “utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah,
dan kuasai bahasa asing.
Pemanfaatan Teknologi, Media Cetak, dan Media Elektronik
Kemajuan teknologi saat ini dapat dimanfaatkan dalam pembuatan materi
ajar muatan lokal bahasa daerah, pembelajaran bahasa daerah, penyusunan
kamus pelajar, kamus bahasa daerah–Indonesia, kamus bahasa daerah–
Inggris, kamus digital, dan lain-lain. Media cetak dapat dimanfaatkan sebagai
(a) media pemasyarakatan bahasa; dan (b) media pembelajaran bahasa.
Media elektronik dapat dimanfaatkan sebagai media pemasyarakatan bahasa
dan media pembelajaran bahasa.
Pemanfaatan Musik Modern, Seni, dan Sastra
Media musik modern dapat dimanfaatkan untuk (a) pemasyarakatan lagu-
lagu berbahasa daerah, dan (b) pengembangan lagu-lagu berbahasa daerah.
Media seni dapat dimanfaatkan dalam pemasyarakatan bahasa daerah dan
pengembangan bahasa daerah. Sastra daerah yang berbahasa daerah dapat
dimanfaatkan sebagai materi ajar dan materi lomba.
Pemanfaatan Upacara-Ritual dan Permainan Tradisional/Rakyat
Upacara-ritual dapat dimanfaatkan dalam pemasyarakatan bahasa daerah dan
memperkuat ketahanan bahasa daerah. Permainan tradisional/permainan
rakyat dapat dimanfaatkan sebagai media pemasyarakatan bahasa daerah dan
media pembelajaran bahasa daerah.

SIMPULAN
1) Bahasa daerah memiliki fungsi-fungsi dan peran strategis dalam kelestarian
budaya lokal.
2) Bahasa daerah sangat penting untuk dilestarikan, dipelihara, dan dilindungi.
3) Pemertahanan bahasa daerah dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga,
lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan pemerintah,
teknologi, media cetak, media elektronik, musik modern, media seni dan
media sastra, upacara-ritual, serta permainan tradisional/permainan rakyat.

REKOMENDASI
1) Di lingkungan keluarga, sebaiknya anggota keluarga menggunakan dua
bahasa: bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bagi keluarga yang mampu

Strategi Pemertahanan Bahasa Daerah di Era Globalisasi 17


berbahasa Inggris, bisa ditambah dengan bahasa Inggris atau bahasa asing
lain.
2) Pemerintah perlu menyusun undang-undang atau peraturan tentang
penggunaan bahasa daerah pada hari-hari tertentu.
3) Pemerintah perlu menyusun undang-undang atau peraturan tentang
penetapan bahasa daerah sebagai salah satu mata ujian dalam kebutuhan
tertentu. Dengan demikian, bahasa daerah sejajar atau sekelompok dengan
bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris (bahasa asing). Dengan demikian,
kelompok mata ujian bahasa meliputi (a) uji kemahiran berbahasa
Indonesia (UKBI); (b) uji kemahiran berbahasa daerah (UKBD); dan (c)
uji kemahiran berbahasa Inggris (TOEFL). Hal ini sejalan dengan trigatra
lembaga bahasa pusat, yakni (a) utamakan bahasa Indonesia, (b) lestarikan
bahasa daerah, dan (c) kuasai bahasa asing.
4) Di daerah perdesaan atau daerah tertentu, bahasa pengantar di TK,
sebaiknya digunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
5) Perlu ada kegiatan periodik/insidentil berupa pementasan/pergelaran
budaya berbahasa daerah.
6) Perlu ada berbagai lomba dalam bahasa daerah, seperti lomba puisi, lomba
menyanyi, lomba pidato, dan lomba bercerita.
7) Perlu pemberian penghargaan dari pemerintah kepada keluarga yang
secara konsisten dan berkelanjutan menggunakan bahasa daerah dan
bahasa Indonesia dalam lingkungan keluarga sehingga seluruh anggota
keluarga mahir berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia.
8) Perlu pemberian beasiswa dari pemerintah kepada para siswa yang
memiliki prestasi dan mahir berbahasa daerah dan bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A. (2010). Pengantar sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ellis, E. (1986). Bahasa daerah sebuah pengantar pembelajaran komunikatif. Jakarta:
Gramedia Utama.
Halim, A. (1981). Fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia. Dalam Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Politik bahasa nasional. Jakarta: Balai Pustaka.
Huda, N. (1999). Bahasa dan pengajaran. Malang: Penerbit IKIP Malang.
Nababan, P. W. (1993). Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia.
Purwo, B. K. (2000). Bangkitnya kebinekaan: Dunia linguistik dan pendidikan.Jakarta:
Mega Media.

18 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Model Pembelajaran Sastra, Alternatif dan Solusi
dalam Situasi Pembelajaran Online di Indonesia

Muhammad Rapi Tang Tujuan pembelajaran sastra adalah menanamkan, me­


numbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap
Jurusan Pendidikan Bahasa masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa
dan Sastra Indonesia hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks
Universitas Negeri Makassar individual, maupun sosial. Pada masa pandemi covid-19 ini
pembelajaran sastra mengalami kelesuan. Karena itu, para
guru atau dosen perlu melakukan inovasi dan kreativitas
dalam memlih model yang tepat dalam mengajarkan
sastra. Beberapa model pembelajaran yang diharapkan
dapat menjadi solusi adalah model Stratta, Taba, Moody,
dan Rodrigues-Badaczewski. Model strategi Stratta idenya
bersumber dari tulisan Leslie Stratta. Strategi pembelajaran
Stratta memiliki tiga langkah pokok, yakni (1) penjelajahan,
(2) interpretasi, dan (3) rekreasi. Model yang dikembangkan
oleh Taba merupakan model yang masuk pendekatan teknik
ilmiah.Taba membahas bagaimana anak-anak harus belajar
bagaimana berhubungan satu sama lain melalui hubungan
demokratis. Teori Taba mempercayai bahwa guru merupakan
faktor utama dalam mengembangkan kurikulum. Langkah-
langkah model Taba meliputi listing, grouping, labeling,
collection, generalizing, comparing, explaining, predicting,
dan closure. Model Moody mengajukan prinsip bahwa
pembelajar harus mengalami langsung dalam berhubungan
dengan karya sastra. Guru tidak boleh menjadi perantara
pengalaman tersebut, tetapi harus berperan sebagai
fasilitator bagi pembelajar dalam menentukan pengalaman
sastranya. Tahap pembelajaran Moody meliputi retelling a
story, retelling a story from a fresh angel, imaginary episode,
dan originalwriting. Model pembelajaran Rodrigues dan
Badaczewski menyatakan bahwa studi sastra telah menjadi
andalan tradisional pembelajaran bahasa di sekolah-sekolah
umum. Dalam kurikulum pembelajaran bahasa, selalu ada
sastra, begitu juga sebaliknya. Model pembelajaran Rodrigues
dan Badaczewski menawarkan delapan langkah dan model
pengajaran apresiasi sastra: (1) class discussions; (2) group
discussion; (3) one-to-one discussions; (4) role playing; (5)
dramatization of scenec; (6) media presentations; (7) interest
of value surveys; (8) creative writing; dan (9) literaly riviews.
kata kunci: model pembelajaran sastra, alternatif solusi,
pembelajaran online

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

19
PENDAHULUAN
Hakikat sastra pada dasarnya bukanlah ilmu. Sastra adalah cabang seni yang
ditentukan oleh faktor manusia dan penafsiran, khususnya masalah perasaan,
semangat, dan kepercayaan. Oleh karena itu, sastra mempunyai cakupan yang
sangat luas, tergantung dari sisi mana manusia memandangnya.
Dalam dunia pendidikan, kajian sastra mampu memberikan sumbangsih
yang cukup besar dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial, dan dalam sastra itu
sendiri. Sastra mampu menjawab apa yang pernah ada di muka bumi,  karena
sastra berasal dari hasil pengamatan tentang apa yang terjadi di sekelilingnya
sebagai opini yang harus diungkapkan serta hasil dari akibat pengalaman
batin. Sastra adalah hasil dari olah pikir, rasa, dan karsa manusia sehingga
sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.
Berdasarkan pengamatan, proses pembelajaran sastra di berbagai jenjang
pendidikan belum mendapatkan hasil yang maksimal jika ditinjau dari aspek
kreativitas dan humanitas. Padahal, aspek yang sangat diperlukan dalam
membuat sastra adalah kreativitas, baik sebagai pencipta maupun selaku
penikmat yang mengapresiasi karya sastra. Peranan pengajar sangat diperlukan
dalam menciptakan model pembelajaran sastra. Karena itu, seorang pengajar
haruslah mengetahui hakikat sastra serta hakikat pembelajaran sastra.
Proses pembelajaran sastra adalah suatu proses yang mempunyai
fungsi yang berbeda, proses yang sama, dan terpisah. Fungsi berbeda,
yakni meningkatkan daya apresiasi sastra bagi pembelajar sesuai dengan
tujuan pembelajaran. Proses yang sama, yakni pembelajaran dilaksanakan
sesuai dengan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif yang sering
diterapkan pada pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar bagi
pembelajar. Terpisah artinya materi pembelajaran sastra seharusnya berdiri
sendiri dan tidak terintegrasi dalam pembelajaran bahasa. Proses belajar ini
harus diefektifkan. Apabila proses pembelajaran sastra berlangsung efektif,
itu berarti telah terbina suatu hubungan yang unik antara pengajar dan
pembelajar. Proses itu adalah mata rantai yang menghubungkan keduanya
(Gordon dalam Sahabuddin, 1995: 2). Sama halnya dengan pembelajaran
sastra di sekolah, keberhasilannya ditentukan oleh guru dan siswa itu sendiri.
Pembelajaran sastra merupakan suatu proses memperkaya pengalaman
dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya.
Tujuan akhirnya adalah menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan
kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi serta pengenalan dan rasa

20 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


hormat terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual maupun sosial.
Pembelajaran sastra dimaksudkan pula agar pembelajar menjadi manusia
yang berkepribadian, sopan dan beradab, berbudi pekerti halus, memiliki rasa
kemanusiaan, berkepedulian sosial, memiliki apresiasi budaya dan penyaluran
gagasan, berimajinasi, serta berekspresi secara kreatif baik secara lisan maupun
tertulis. Selain itu, pembelajaran sastra juga dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra.
Secara khusus, pembelajaran sastra di perguruan tinggi bertujuan agar
mahasiswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman bersastra. Pengetahuan
tentang sastra mencakup pengetahuan tentang teori sastra, kritik sastra, dan
sejarah sastra, sedangkan pengalaman bersastra mencakup kegiatan berapresiasi
(reseptif) dan berekspresi (produktif). Cakupan pengetahuan tentang sastra
meliputi teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut
saling terkait dalam pengkajian sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra,
timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut—khususnya
bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif
sedangkan kritik sastra bersifat subjektif.
Pembelajaran sastra sangat penting karena dapat membantu
pembentukan watak. Dalam nilai pembelajaran sastra, ada dua tuntutan yang
dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan watak ini. Pertama,
pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam.
Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya
memiliki perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal yang bernilai dan
yang tak bernilai. Kedua, pembelajaran sastra hendaknya dapat memberikan
bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian yang
meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.
Kondisi nyata di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran sastra
kurang meningkatkan kreativitas dalam mengapresiasi, apalagi dalam situasi
pandemi covid-19. Mewabahnya virus tersebut mengharuskan pembelajaran
sastra yang selama ini dilaksanakan di ruang kelas dengan penuh kreativitas
dan inovasi beralih ke pembelajaran online dengan segala keterbatasan.
Fenomena pembelajaran sastra tersebut menuntut pengajar (guru dan
dosen) untuk melakukan inovasi dan kreativitas dalam memilih model yang
tepat dalam mengajarkan sastra secara online. Model pembelajaran yang
diharapkan dapat menjadi solusi adalah model Stratta, Taba, Moody, dan
Rodrigues-Badaczewski.

Model Pembelajaran Sastra, Alternatif dan Solusi .... 21


MODEL PEMBELAJARAN STRATTA
Salah satu model pembelajaran dalam sastra adalah model Stratta. Model
pembelajaran ini ditemukan oleh ahli pendidikan yang bernama Leslie Stratta.
Model ini dinamakan strategi Stratta karena idenya didapatkan dari tulisan
Leslie Stratta dalam bukunya Pattern of Language. Awalnya, nama model
pembelajaran ini memang Stratta, tetapi lama kelamaan namanya berubah
menjadi model pembelajaran kreatif dan produktif.
Sebuah model pembelajaran pasti memiliki karakteristik tersendiri
sebagai ciri khas yang unik dan membedakannya dengan yang lain.
Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, peran aktif pembelajar
dalam pembelajaran melalui pemberian kesempatan kepada pembelajar untuk
melakukan pembelajaran dari konsep bidang ilmu yang sedang dipelajari
serta menafsirkan hasil penjelajahannya. Kedua, pembelajar didorong untuk
menemukan atau merekonstruksi sendiri konsep yang sedang dipelajari
sehingga membekas dalam ingatan. Ketiga, untuk menjadi kreatif, siswa harus
bekerja keras, berdedikasi tinggi, dan percaya diri.
Model pembelajaran Stratta, menurut Wardani (1981), memiliki tiga
langkah pokok berikut ini. Pertama, penjelajahan. Langkah penjelajahan
sebelumnya diawali dengan orientasi untuk membahas tujuan, materi, waktu,
langkah, evaluasi, dan hasil akhir yang diharapkan dari pembelajar. Selanjutnya,
pembelajar diberi kesempatan untuk memahami dan menghayati isi sastra
secara langsung dengan cara membaca atau mendengarkan. Kedua, interpretasi.
Setelah menjelajahi sastra, pembelajar mulai menafsirkan isi yang disimak.
Pembelajar mencoba menafsirkan pesan yang terkandung dalam sastra. Pada
tahap ini, pembelajar mulai menafsirkan sejalan dengan pengalamannya.
Ketiga, rekreasi. Langkah ini merupakan pendalaman; setelah menafsirkan,
pembelajar diminta untuk mengkreasikan apa yang telah dipahaminya dengan
cara menyimpulkan yang disimak dengan bahasa yang baik dan benar. Rekreasi
tak berarti meniru, melainkan apa yang dihasilkan harus ada perbedaan dari
karya yang sebelumnya. Misalnya, pembelajar mengubah fiksi menjadi dialog
(dramatisasi). Pengkreasian kembali apa yang sudah dipahami akan menjadi
bekal pengayaan batin untuk memproduksi sastra.

MODEL PEMBELAJARAN TABA


Model yang dikembangkan oleh Taba adalah modifikasi dari model Tyler.
Khusus model Tyler tahun 1949 merupakan model yang masuk pendekatan

22 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


teknik ilmiah. Model yang dikembangkan Tyler ini merumuskan bagaimana
merancang kurikulum sesuai dengan tujuan suatu institusi pendidikan. Dalam
bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction, Tyler merumuskan
desain kurikulum berdasarkan jawaban atas empat pertanyaan pokok berikut
ini. Pertama, apakah tujuan pendidikan yang harus dicapai sekolah? Kedua,
pengalaman belajar apa yang dimiliki pembelajar agar tujuan itu tercapai?
Ketiga, bagaimana pengalaman itu diorganisasikan agar efektif? Keempat,
bagaimana kita mengevaluasi untuk mengetahui efektivitas kurikulum?
Berbeda dengan Tyler, Taba yang merupakan murid John Dewey
mengembangkan model Tyler. Disertasinya yang berjudul Dinamika
Pendidikan: Metodologi Pemikiran Pendidikan Progresif (1932) berfokus pada
pendidikan untuk demokrasi. Dia membahas bagaimana anak-anak harus
belajar bagaimana berhubungan satu sama lain melalui hubungan demokratis.
Dua gagasan kunci lain dalam disertasinya termasuk bagaimana pembelajaran
harus melibatkan proses yang dinamis, saling terkait, dan saling bergantung
serta bagaimana pendidik bertanggung jawab atas penyampaian dan evaluasi
kurikulum. Dia juga percaya bahwa kurikulum pendidikan harus fokus pada
pengajaran pembelajar untuk berpikir daripada hanya memuntahkan fakta.
Setelah bekerja dengan John Dewey, Benjamin Bloom, Ralph W. Tyler,
Deborah Elkins, dan Robert Havinghurst menulis sebuah buku berjudul
Curriculum Development: Theory and Practice (1962). Melalui tulisannya ini,
dia percaya bahwa guru harus ikut serta mengembangkan kurikulum yang
dinamakannya grassroots approach. Model ini mirip dengan model kurikulum
yang dikembangkan oleh Tyler, tetapi lebih sebagai representasi kurikulum
di sekolah. Taba berpendapat bahwa kurikulum haruslah didesain oleh
pemakainya yaitu guru. Taba memberikan informasi lebih rinci pada tiap
langkah proses pengembangan kurikulum di sekolah (Indah, 2020).
Modifikasi tersebut terutama dalam hal penekanannya pada pemusatan
perhatian kepada guru. Teori Taba memercayai bahwa guru merupakan faktor
utama dalam mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum yang
dilakukan oleh guru dan memosisikan pengajar sebagai motivator dalam
pengembangan kurikulum merupakan karakteristik model Taba. Identifikasi
sebagaimana disebutkan di atas merupakan hal penting untuk mengetahui
fondasi besar dari gagasan Hilda Taba. Alasan utamanya, pengajar sebagai
sumber utama tersebut menjadi pembeda dengan prinsip induktif atau dikenal
sebagai model terbalik di dalam pengembangan kurikulum (Erlita, 2016).

Model Pembelajaran Sastra, Alternatif dan Solusi .... 23


Endraswara (Purwoningsih, 2017: 56) berpendapat bahwa model Taba
terdiri atas seperangkat langkah terstruktur yang disebut fase. Model ini memiliki
tiga langkah, yaitu pembentukan konsep, penafsiran data, dan penerapan
prinsip. Dalam model pembelajaran ini, guru merupakan motor penggerak
yang memungkinkan terjangkaunya fase demi fase, melalui pertanyaan yang
disampaikan kepada pembelajar secara sambung-menyambung. Sasaran utama
model ini berupa pengembangan secara tuntas topik yang dibicarakan. Dengan
kata lain, guru mengajari pembelajar bagaimana seharusnya berpikir kritis
sebab model Taba berorientasi pada proses.
Pembentukan konsep diawali dengan kegiatan mempelajari materi yang
dibahas. Pada tahap ini, yang lebih dominan bekerja yaitu guru. Pada tahap ini
juga perlu dilakukan pengenalan terhadap objek yang akan dipelajari. Misalnya,
objek tersebut berupa teks pembelajaran, berarti pembelajar harus membaca
secara keseluruhan teks tersebut. Selanjutnya, penafsiran data dilakukan
atas perintah atau berdasarkan soal-soal yang diberikan oleh pengajar. Pada
tahap ini, pembelajar menjawab dan menganalisis soal-soal yang diberikan
oleh pengajar sesuai dengan data yang terdapat dalam teks pembelajaran.
Terakhir, penerapan prinsip yang dilakukan untuk mengaplikasikan konsep
materi yang sudah didapat pada tahap pembentukan konsep. Aplikasi konsep
tersebut diterapkan dalam objek pembelajaran yang berbeda atau objek baru.
Misalnya, jika objek pembelajaran tersebut berupa teks, aplikasikan konsep
yang sudah didapat untuk teks pembelajaran yang baru (Endraswara dalam
Purwoningsih, 2017: 56).
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan, yaitu sintaks menelaah cerita
fantasi atau rekaan. Penerapan model Taba dalam pembelajaran menelaah
teks cerita fantasi yang pertama yaitu tahap pembentukan konsep. Pada tahap
ini, pembelajar mendengarkan penjelasan guru terkait materi struktur dan
kaidah kebahasaan teks cerita fantasi yang dipelajari. Pembelajar kemudian
membaca teks cerita fantasi yang diberikan oleh guru.
Pada tahap penafsiran data, pembelajar menjawab dan menganalisis
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru seputar struktur dan
kaidah kebahasaan teks cerita fantasi. Terakhir, penerapan prinsip di dalam
kegiatan ini pembelajar mengaplikasikan konsep materi struktur dan kaidah
kebahasaan teks cerita fantasi yang sudah didapat pada tahap pembentukan
konsep. Konsep materi tersebut diaplikasikan dalam teks yang baru sehingga
pembelajar menelaah kembali struktur dan kaidah kebahasaan pada teks cerita

24 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


fantasi yang baru. Akan tetapi, model Taba mengalami perkembangan bersama
struktur perputaran waktu. Model induktif berkembang setiap waktu karena
model ini hampir berlangsung lama atau tidak singkat. Hal ini disebabkan
proses induktif adalah pengumpulan dan penyaringan informasi tanpa henti,
pembangunan gagasan, khususnya kategori-kategori yang menyediakan
kontrol konseptual atas daerah-daerah informasi, penciptaan hipotesis untuk
dieksplorasi dalam upaya memahami hubungan-hubungan yang lebih baik
atau menyediakan solusi untuk berbagai masalah dan perubahan menjadi
keterampilan yang memiliki aplikasi praktis.
Model Taba terdiri atas tujuh langkah (Taba, 1962). Pertama, listing;
tahap ini memiliki tujuan untuk mengantarkan pembelajar kepada materi
yang akan dipelajari dan mengajak pembelajar melakukan observasi. Hasil
observasi yang dilakukan digunakan sebagai data pada tahap selanjutnya.
Kedua, grouping; guru mendorong pembelajar untuk mempertimbangkan
data yang diperoleh dan membentuk kategori-kategori berdasarkan
kesamaan yang ada. Ketiga, labelling dilanjutkan dengan data collection;
pembelajar diminta untuk memberi nama atau label pada tiap kategori yang
telah disepakati. Guru membimbing pembelajar untuk membuat kategori
yang tepat dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan. Di antara tahap
tiga dan empat, ada tahapan yang harus dilakukan yaitu mengumpulkan
data mengenai tiap-tiap kategori yang ada. Tujuannya adalah untuk
mengorganisasi dan menunjukkan informasi data yang dimiliki. Keempat,
generalizing; diawali dengan meminta pembelajar untuk menganalisis data
yang ada. Kemudian, pembelajar diminta untuk menyimpulkan sesuai
dengan fakta yang ditemukan. Kelima, comparing; pembelajar diminta
untuk menganalisis lebih dalam. Pada tahap ini pembelajar dilibatkan dalam
analisis perbandingan antar kategori dalam membangun kesimpulan yang
lebih mendalam. Keenam, explaining; pada tahap ini, pembelajar diminta
untuk menjelaskan mengenai data yang diperoleh dan generalisasi yang
mereka bangun. Ketujuh, predicting yang dilanjutkan dengan closure. Pada
tahap ini, pembelajar diminta untuk memprediksi apa yang akan terjadi jika
ditemukan suatu sebab. Pembelajar diminta untuk berpikir lebih mendalam
dan ditantang menggunakan kreativitasnya dalam memanfaatkan informasi-
informasi yang ada untuk memprediksi suatu kasus. Pada akhirnya, model
Taba membawa pembelajar untuk merangkum dan menggeneralisasikan
mengenai materi yang dipelajari bersama.

Model Pembelajaran Sastra, Alternatif dan Solusi .... 25


Dalam penerapan model Taba, pada prinsipnya, diperlukan pengkajian
unsur-unsur sastra, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Pembelajar harus
digiring ke arah generalisasi dengan mengikuti pola pemikiran induktif.
Melalui model ini, peserta akan bebas terlibat dalam sebuah karya sastra.
Mereka dapat membaca sendiri, mendengarkan sebuah pembacaan sastra,
menyaksikan pentas drama, selanjutnya diminta memberi tanggapan. Dari
sekian tanggapan pembelajar, lalu dirangkum, dicari titik temunya, kemudian
disimpulkan.

MODEL PEMBELAJARAN MOODY


Model Moody adalah model pembelajaran sastra yang dikemukakan oleh
H. L. B. Moody dalam bukunya yang berjudul The Teaching of Literature. Ia
mengajukan prinsip bahwa pembelajar harus mengalami langsung dalam
berhubungan dengan karya sastra. Guru tidak boleh menjadi perantara
pengalaman tersebut, tetapi harus berperan sebagai fasilitator bagi pembelajar
dalam menentukan pengalaman sastranya. Selain itu, ia mengemukakan
bahwa pengajaran sastra tidak diperkenankan melupakan aspek bahasa karena
sastra merupakan seni kreatif yang menjadikan bahasa sebagai mediumnya
(Moody, 1971).
Pengaruh pembelajaran model Moody memiliki makna berikut ini.
Pertama, hasil belajar subjek didik harus ditempuh melalui artikulasi realitas
sasaran belajarnya. Kedua, realitas sasaran pengajaran terartikulasi oleh subjek
didik apabila realitas itu mampu membangkitkan minat, rasa ingin tahu, serta
sesuai dengan dasar pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Ketiga,
pemahaman suatu realitas secara potensial dapat dirumuskan oleh subjek didik
sejalan dengan pengenalan dan pengahayatannya pada realitas yang dijadikan
sasaran dan prakonsepsi yang sudah dipahami. Keempat, pemahaman yang
diperoleh oleh subjek didik dapat tumbuh dan berkesinambungan. Kelima,
proses belajar subjek didik diarahkan berdasarkan adaptasi lingkungan.
Pembelajaran model Moody berpijak pada keterampilan proses.
Sejalan dengan itu, Menurut Endraswara (Wardani, 2016), “pembelajaran
model Moody mengarah pada model pembelajaran sastra dengan cara
belajar pembelajar aktif dan kreatif ”. Artinya, dalam pembelajaran, guru
berperan sebagai fasilitator, dinamisator, dan organisator sehingga dapat
menuju iklim belajar yang efektif, sedangkan pembelajar berperan secara
aktif dan kreatif. Dalam pembelajaran model Moody, pembelajar dimotivasi

26 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


untuk memunculkan ide-ide sendiri dalam kegiatan menulis. Pemunculan
ide tersebut dapat melalui beberapa tahapan: (1) pengumpulan data, (2)
pengolahan ide, dan (3) mengungkapkan ide dan memacu kreativitas
pembelajar. Perlu ditekankan bahwa sumber belajar tidak hanya guru, tetapi
masih banyak lagi seperti, buku pelajaran, media elektronik, media masa,
pengalaman yang pernah dialami, dan sebagainya, yang bisa dimanfaatkan
oleh pembelajar sebagai sumber belajar.
Menurut Endraswara, terdapat empat tahapan dalam pembelajaran
dengan model Moody. Pertama, retelling a story; pembelajar menceritakan
kembali sebuah cerita yang diambil dari pengalaman guru maupun pembelajar.
Kedua, retelling a story from a fresh angel; pembelajar menceritakan kembali
dengan gaya pembelajar sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan
pandangan mereka. Ketiga, imaginary episode; dalam hal ini pembelajar sudah
dilatih untuk memahami konteks cerita. Keempat, original writing, pengajar
memberikan tema-tema pilihan. Tema yang dipilih juga berkaitan dengan
pengalaman pembelajar itu sendiri.
Tahapan-tahapan pembelajaran model Moody (1971) ini merupakan
tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil pembelajaran sesuai dengan
yang diharapkan. Maksud dari tahap pertama retelling a story adalah
setiap pembelajar harus menceritakan kembali apa yang pernah ia dengar
atau yang ia alami. Minat menceritakan kembali ini perlu ditumbuhkan
dengan cara melatih (proses) menulis dari apa yang mereka cerap. Untuk
pertama memulai peceritaan kembali, guru dapat memberikan pancingan-
pancingan pertanyaan. Tahap kedua yaitu retelling a story from a fresh angel
adalah pembelajar diminta untuk menceritakan sesuai dengan gaya bahasa
dan sesuai dengan kemampuannya. Tahap ketiga yaitu imaginary epiode,
pembelajar dilatih untuk memahami konteks cerita agar lebih mengerti
dengan cerita tersebut. Tahap keempat yaitu original writing, adalah penulisan
kreatif. Pembelajar menyusun cerita dengan menentukan tema dan dengan
kemampuan yang dimiliki.
Moody menjelaskan bahwa melalui pembelajaran apresiasi sastra,
pembelajar diharapkan memperoleh berbagai macam keuntungan, baik
yang menyangkut pengetahuan maupun yang menyangkut keterampilan
(berbahasa), dan berbagai kapasitas psikologis yang dibutuhkan oleh manusia
atau individu yang sedang berkembang (Alpian & Suryaman, 2016). Oleh
karena itu, Moody (1971) menyajikan enam langkah prosedural (sintaks)

Model Pembelajaran Sastra, Alternatif dan Solusi .... 27


dalam pembelajaran sastra, yaitu (1) pelacakan pendahuluan (preliminari
assessment), (2) penentuan tugas-tugas praktis (pratical decission), (3)
introduksi (introduction of the work), (4) presentasi karya (presentation of the
work), (5) diskusi (discussion), dan (6) penguatan (reinforcement/ testing).

MODEL PEMBELAJARAN RODRIGUES-BADACZEWSKI


Model pembelajaran Rodrigues & Badaczewski diambil dari nama
pencetusnya bernama Rodrigues & Badaczewski (1978: 5) sebagaimana
dinyatakan dalam bukunya Guide Book Teaching for Literature. Rodrigues
& Badaczewski (1978: 1–5) menyatakan bahwa studi sastra telah menjadi
andalan tradisional pembelajaran bahasa di sekolah-sekolah umum sejak
akhir abad XIX. Pendapat ini dapat dimanfaatkan oleh para guru bahasa,
sebab realitas pembelajaran bahasa memang menunjukkan hubungan
integratif antara materi sastra dan bahasa. Hal ini dilandasi asumsi bahwa
studi sastra dan bahasa adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Dalam
kurikulum pembelajaran bahasa selalu ada sastra, begitu juga sebaliknya.
Namun, memang harus diakui bahwa kurikulum sastra pada masa itu
menekankan sejarah sastra, biografi penulis, pengenalan judul-judul, serta
sinopsis. Penekanan belajar semacam ini mengakibatkan pembelajar kurang
bergaul langsung dengan sastra. Oleh karena itu, konteks belajar dengan
penuh penghayatan masih jauh dari harapan. Konteks belajar sastra belum
menyajikan pengalaman, melainkan masih berupa pengetahuan.
Model pembelajaran Rodrigues-Badaczewski dalam bukunya Guide
Book Teaching for Literature (1978) menawarkan sembilan langkah dan model
pengajaran apresiasi sastra, yaitu: (1) class discussions; (2) group discussion; (3)
one-to-one discussions; (4) role playing; (5) dramatization of scenec; (6) media
presentations; (7) interest of value surveys; (8) creative writing; dan (9) literaly
reviews (Endraswara, 2005: 96). Tawaran tersebut lebih banyak diarahkan
agar ada kreativitas pengajar terhadap pembelajar dalam menikmati karya
sastra lebih yang efektif. Karya sastra berupa puisi dan atau prosa setelah
didiskusikan dalam kelas dapat dimainkan (diperankan). Hal ini sekaligus
mengajak pembelajar berlatih drama. Akhir dari pembelajaran, diharapkan
subjek didik juga dapat mencipta dan mengkritik sastra.
Langkah tersebut juga menghendaki pengajaran proses. Hal ini akan
lebih cocok untuk membelajarkan prosa terlebih dahulu, baru ke genre puisi
dan drama. Langkah terakhir akan sampai pada timbangan atau kritik sastra.

28 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Tentu saja, kritik yang dimaksud masih dalam kerangka penikmatan sebuah
karya sastra (Endraswara, 2005: 97).

SIMPULAN
Beberapa model pembelajaran sastra sebagai solusi dan alternatif pada
situasi pembelajaran online, yaitu model pembelajaran Stratta, Taba, Moody,
dan Rodrigues-Badaczewski yang merupakan model pembelajaran sastra
yang berpusat pada pembelajar untuk meningkatkan kreativitas. Model-
model tersebut dapat diimplementasikan dengan basis learning centered,
yakni pembelajaran didominasi oleh pembelajar dengan penuh kebebasan
melalui proses diskusi dan pemeranan untuk mengembangkan kerja sama,
komunikasi, inovasi, dan kreativitas.
Implementasi model tersebut dapat dilakukan secara online dengan
memanfaatkan berbagai fitur internet dan media sosial. Materi dan bahan
ajar sastra, baik bentuk teks, gambar, dan audiovisual disajikan secara online,
kemudian pembelajaran membaca materi yang telah disajikan melalui online
tersebut. Setelah itu, pembelajar mengeksplorasi materi sampai pada tahap
memerankan atau memproduksi karya sastra yang selanjutnya ditampilkan
secara online pula.

DAFTAR PUSTAKA
Alpian, M. & Suryaman, M. (2016). Pengaruh motivasi, keyakinan diri, dan persepsi
siswa terhadap apresiasi karya sastra siswa SMP. LingTera, 3(1), 60-74. doi:http://
dx.doi.org/10.21831/lt.v3i1.8663
Aminuddin. (2004). Pengantar apresiasi karya sastra. Bandung: Sinar Baru.
Bernardin, H. J. & Russel, J. A. (1998). Human resource management: An experiential
approach. Singapore: McGraw-Hill.
Bruce, J., Weil, M. & Calhoun, E. (2015). Models of teaching (9 ed.). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Endraswara, S. (2005). Metode dan teori pengajaran sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Erlita. (2016). Pengembangan kurikulum model Taba. http: //erlitapunya cerita.
blogspot. com/2016/01/pengembangan-kurikulum-model-taba.html.
Freire, P. (2007). Pedagogy of the oppressed. New York: Continum.
Taba, H. (1962). Curriculum develompent theory and practice. New York: Harcourt,
Brace & Word.

Model Pembelajaran Sastra, Alternatif dan Solusi .... 29


Hosna, R. (2013). Pengembangan model pembelajaran sinektik di madrasah
ibtidaiyah. Jurnal Pendidikan Islam, 28 (2), 242–243.
Huda, M. (2014). Model-model pengajaran dan pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Indah, N. P. (2017). Penerapan model induktif dengan media gambar silluet dalam
pembelajaran menulis teks cerita pendek. Semantik, 6(1), 25–36. https://doi.
org/10.22460/semantik.v6i1.p25-36
Maeder, dkk. (1999). Pengajaran apresiasi sastra. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Moody, H. (1971). The teacher of literature. London: Longman.
Munandar, U. (2012). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurgiyantoro, B. (2008). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra. Yogyakarta:
BPFE.
Purwoningsih, N. I. (2017). Keefektifan model Suchman dan model Taba dalam
pembelajaran menelaah teks cerita fantasi pada peserta didik kelas VII MTs
Negeri 1 Semarang (Skripsi). Universitas Negeri Semarang, Fakultas Bahasa
dan Seni, Semarang. https://lib.unnes.ac.id/31704/1/2101413028.pdf.
Rahmanto, B. (1988). Metode pengajaran sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rodrigues, R. & Badaczewski, D. (1978). A guidebook for teaching literature. Boston:
Allyn and Bacon.
Sahabuddin. (1995). Proses belajar mengajar: Dua aspek dari suatu proses yang disebut
pendidikan. Ujung Pandang: FIP IKIP.
Saraswati. F. (2003). Nilai-nilai moral dalam cerpen Indonesia mutakhir. Banda Aceh:
Komunitas Sastra Nusantara.
Sumardjo, J. & Saini K. M. (2001). Apresiasi kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Supratiningsih. (2005). Apresiasi sastra: Bahan ajar diklat guru bahasa Indonesia
sekolah menengah atas. Jakarta: Depdiknas.
Suryaman, M. (1992). Model sinetik dan evaluasinya dalam pengajaran apresiasi
puisi di SMA. Pertemuan Ilmiah Nasional V Hiski. Bogor.
Tarigan, H. G. (1995). Prinsip-prinsip dasar sastra. Bandung: Angkasa.
Wardani, V. N. (2016). Keefektifan model sinektik dan model Moody dalam
pembelajaran menyusun teks cerita fabel berbantuan media gambar pada
peserta didik kelas VIII sekolah menengah pertama (Skripsi). Universitas
Negeri Semarang, Fakultas Bahasa dan Seni, Semarang. https://lib.unnes.
ac.id/28555/1/2101411080.pdf
Wardani. (1981). Pengajaran sastra. Penataran Lokakarya (P3G) Jakarta.

30 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Bahasa Indonesia di Ruang Publik: Kajian Lanskap Linguistik

Ketut Artawa Penggunaan tanda luar ruang adalah bagian dari praktik
sosial yang dapat berfungsi sebagai instrumen yang kuat
Prodi Doktor Linguistik dalam produksi dunia sosial. Tanda luar ruang ini bisa hadir
Fakutas Ilmu Budaya secara monolingual, bilingual, dan multilingual. Penggunaan
Universitas Udayana
bahasa di ruang publik memiliki fungsi simbolik sebagai
ketut_artawa@unud.ac.id penanda identitas sosial yang kuat. Penggunaan bahasa
dapat dilihat sebagai sistem semiotik yang bekerja sebagai
sistem pemosisian sosial dan hubungan kekuasaan karena
tidak ada pilihan yang netral di dunia sosial. Lanskap
Linguistik menyediakan cara memandang hubungan
penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa di ruang publik.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dalam tanda luar
tak resmi, penggunaan bahasa Indonesia tergambar jelas
keberadaanya dan pada tanda luar ruang bahasa Indonesia
juga berkontestasi dengan bahasa asing dan bahasa
daerah. Kombinasi penggunaan bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris dapat dikatakan sebagai implementasi status
bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mencerminkan
identitas nasional. Namun, dalam kontestasi ini ada juga
pola urutan penggunaan bahasa Inggris diikuti dengan
bahasa Indonesia dan ada juga tanda luar ruang yang
menggunakan multibahasa, Selain memberikan fungsi
informasi, penggunaan bahasa pada tanda luar ruang ini
juga memberikan makna simbolis akan dominasi kekuatan
arus globalisasi yang tecermin dalam penggunaan bahasa
di ruang publik.
kata kunci: ruang publik, lanskap linguistik, kontestasi
bahasa, fungsi informasi, fungsi simbolis

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

31
PENDAHULUAN
Status, fungsi, dan penggunaan bahasa Indonesia sudah diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 25 dari undang-undang
tersebut menyatakan bahwa (1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai
bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan
dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan
yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. (2) Bahasa
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri
bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta
sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. (3) Bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat
nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi
niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Berdasarkan Pasal 36, (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
nama geografi di Indonesia. (2) Nama geografi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) nama resmi. (3) Bahasa Indonesia
wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau
permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga
usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga
negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. (4) Penamaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau
bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau
keagamaan. Pasal 37 (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi
tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang
beredar di Indonesia. Pasal 38 (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi
lain yang merupakan pelayanan umum. (2) Penggunaan Bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/atau
bahasa asing. Pasal 39 (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi
melalui media massa. (2) Media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan
khusus atau sasaran khusus.

32 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Makalah ini dibuat untuk melihat penggunaan bahasa Indonesia
di ruang publik seperti yang ditampilkan oleh tanda luar ruang (outdoor
signs) dalam konteks undang-undang yang mengatur kebijakan bahasa di
Indonesia. Terdapat penggunaan bahasa di lingkungan sekitar kita dalam
bentuk teks yang ditampilkan di jendela toko, iklan komersial, poster,
pemberitahuan resmi, rambu lalu lintas, dan lain-lain. Sebagian besar
orang tidak punya waktu dan tidak terlalu memperhatikan tanda bahasa
yang mengelilinginya. Namun, dalam dua dekade terakhir, semakin banyak
peneliti telah mulai melihat lebih dekat dan mempelajari teks-teks bahasa
yang hadir di ruang publik tersebut yang dikenal dengan linguistic landscape
‘lanskap linguistik’.
Ada dua hal pertanyaan yang dibahas dalam makalah ini dilihat dari
kebijakan bahasa yang ada. Pertama, bagaimanakah eksistensi bahasa
Indonesia di ruang publik? Kedua, bagaimanakah kontestasi bahasa yang
ditampilkan oleh tanda luar ruang? Landry & Bourhis (1997: 26) membedakan
antara tanda-tanda komersial “swasta” dan “pemerintah”. Ben-Rafael dkk.
(2006: 10) membedakannya dengan istilah top-down untuk tanda resmi dan
bottom-up untuk tanda pribadi atau swasta. Ia menambahkan bahwa tanda-
tanda top-down merupakan bentuk komitmen umum terhadap budaya
dominan, sementara tanda-tanda bottom-up pribadi dirancang jauh lebih
bebas sesuai dengan strategi individu.

PENDEKATAN LANSKAP LINGUISTIK


Lanskap Linguistik (LL) didefinisikan oleh beberapa para cendikiawan LL.
Yang memberikan definisi untuk studi LL pertama kali adalah Landry &
Bourhis dengan menerbitkan sebuah artikel pada tahun 1997. Pada artikel
tersebut terdapat definisi LL dengan dua versi yang disebut oleh Gorter (2018)
sebagai ‘versi singkat’ dan ‘versi daftar’. Pada definisi singkat dikatakan bahwa
“LL mengacu pada visibilitas serta ciri khas bahasa pada tanda-tanda publik
dan komersial di suatu wilayah tertentu” (Landry & Bourhis 1997: 23). Pada
definisi daftar dikatakan bahwa “LL merupakan bahasa yang terdapat pada
rambu-rambu jalan umum, papan iklan, nama jalan, nama tempat, tanda toko
komersial, dan papan informasi publik di gedung-gedung pemerintah yang
bergabung membentuk LL suatu wilayah atau aglomerasi perkotaan tertentu”
(Landry & Bourhis 1997: 25). Dari dua definisi tersebut, definisi daftar cukup
menarik perhatian karena memiliki item umum yang terkait dengan tanda-

Bahasa Indonesia di Ruang Publik: Kajian Lanskap Linguistik 33


tanda tekstual di ruang publik. Diperhatikan lebih cermat, definisi tersebut
seperti katalog dari enam jenis tanda yang berbeda. Hal ini tentu saja akan
memungkinkan untuk menambahkan jenis tanda lain di ruang publik ke
dalam definisi daftar. Atas dasar itu, Gorter (2006: 2) kemudian merangkum
dan memberikan definisi singkat lainnya untuk LL, yaitu “penggunaan bahasa
dalam bentuk tertulis di ruang publik”. LL muncul sebagai bidang kajian yang
menjanjikan untuk studi bahasa dan masyarakat. Ditinjau secara terminologis,
kata landscape memiliki akar historis dalam bahasa Belanda yang secara
harfiah merupakan ‘sebidang tanah’. Di samping itu, dalam bahasa Inggris
diartikan sebagai ‘lukisan yang menggambarkan pemandangan di darat’
(Gorter 2006: 83). Sebagai cara untuk memikirkan kembali konsep landscape,
Leeman & Modan (2009) mengusulkan bahwa para peneliti LL harus lebih
mendasarkan diri pada penggunaan istilah dalam geografi budaya, baik
sebagai tempat dan cara memandang (lihat Jaworski & Thurlow 2010: 2-4).
Oleh sebab itu, bagian kedua dari kata land yaitu scape telah memunculkan
ide-ide kreatif dalam berbagai bentuk. Kata-scape telah diusulkan sebagai
alternatif yang ditambahkan ke studi-studi LL. Daftar kemungkinan yang
hampir tak terbatas dapat ditemukan dalam berbagai literatur LL.
Karya Landry & Bourhis (1997) adalah karya paling populer dan
sering dikutip dalam bidang LL karena makalah ini memberikan definisi
ringkas tentang linguistic landscape. Sama halnya dengan Monnier (1989),
Landry & Bourhis juga menyelidiki penggunaan bahasa di ruang publik
di Quebec. Dalam studi tersebut mereka menafsirkan hal pemeliharaan
bahasa dalam pengaturan dwibahasa dan secara eksplisit menghubungkan
LL dengan kerangka teoretis vitalitas etnolinguistik. Mereka membedakan
dua kesimpulan penting untuk pengembangan bidang LL. Pertama, mereka
menyarankan bahwa LL adalah faktor sosiolinguistik yang berbeda dari
jenis kontak bahasa lain dalam pengaturan multibahasa (Landry & Bourhis,
1997: 45) sehingga penelitian LL harus mempersiapkan landasan untuk
bidang yang terpisah. Kedua, mereka menyimpulkan bahwa LL suatu daerah
yang multibahasa dan multikultural memberikan kesan yang baik tentang
vitalitas etnolinguistik terhadap kelompok bahasa yang ada di daerah
itu karena LL dianggap penanda paling menonjol dari persepsi dalam
kelompok dibandingkan vitalitas di luar kelompok (Landry & Bourhis,
1997: 45). Kesimpulan-kesimpulan ini didasarkan pada pemahaman bahasa
dan masyarakat—penggunaan bahasa secara langsung dan eksklusif terkait

34 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


dengan kelompok-kelompok pengguna bahasa tertentu yang lebih baik
dan homogen, sementara visibilitas bahasa tertentu dianggap indikatif dari
vitalitas bahasa dan kelompok penggunanya.
Kesimpulan Landry & Bourhis dalam penelitiannya kemudian menjadi
berpengaruh dalam bidang LL, khususnya pada apa yang disebut gelombang
pertama studi LL. Salah satu implikasi pertama untuk pembentukan bidang
LL berasal dari publikasi edisi khusus International Journal of Multilingualism
yang kemudian diterbitkan sebagai buku volume yang diedit (Gorter, 2006).
Keempat bab dalam buku ini mewakili fase pertama dalam penelitian LL—
mereka berbagi pendekatan kuantitatif dan distributif sejalan dengan ide-ide
Landry & Bourhis tentang hubungan antara vitalitas etnolinguistik dan LL.
Hubungan semacam itu diasumsikan terkait dengan status sosial dan status
resmi bahasa dan komunitas masing-masing penuturnya. Dikatakan bahwa
pendekatan distribusi memberikan kesan kekuatan relatif dari kelompok
bahasa tertentu, vitalitas etnolinguistik mereka berdasarkan pada ada atau
tidak adanya tanda-tanda masing-masing di ruang publik. Dalam pendekatan
ini, tanda-tanda dalam kode linguistik yang berbeda di daerah tertentu
dikumpulkan, dihitung, dikategorikan, dan kemudian dibandingkan. Dengan
kata lain, titik analisis LL adalah distribusi geografis dan keberadaan teritorial
tanda linguistik.
LL muncul sebagai pendekatan yang menjanjikan untuk penelitian
tentang isu-isu yang terkait dengan globalisasi dan multibahasa. Kajian
LL merupakan kajian variasi penggunaan bahasa tulis pada sekelompok
masyarakat dalam satu wilayah tertentu. Secara teoretis, kajian LL ini dapat
dianalisis melalui dua fungsi utamanya, yaitu (1) fungsi informatif, dan (2)
fungsi simbolis (Landry & Bourhis, 1997). Pendekatan fungsi informatif
adalah kajian analisis fungsi visualisasi tanda sebagai sarana komunikasi
visual massal yang menjadi ciri pembeda suatu wilayah dengan wilayah
lainya. Di samping itu, kajian fungsi informatif juga memberikan indikasi
terkait jenis-jenis bahasa yang digunakan dalam suatu wilayah tertentu,
sedangkan pendekatan fungsi simbolis adalah pendekatan yang bersifat
abstrak, fundamental, dan prinsip atau salience terkait fungsi bahasa tanda
luar ruang sebagai sebuah identitas suatu wilayah yang dicirikan dari bahasa
yang digunakan yang bersifat implisit. Untuk dapat menjawab pertanyaan
dalam makalah ini, kombinasi kajian informatif dan simbolis tanda luar
ruang dijadikan sebagai dasar analisis.

Bahasa Indonesia di Ruang Publik: Kajian Lanskap Linguistik 35


HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada seksi ini penggunaan bahasa pada tanda luar ruang di ruang puklik
akan dibahas menjadi lima: (1) tanda luar ruang dengan bahasa Indonesia;
(2) tanda luar ruang dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; (3) tanda
luar ruang dengan bahasa Inggris dan Indonesia; (4) tanda luar ruang dengan
bahasa Inggris; (5) tanda luar ruang dengan multibahasa; dan (6) tanda luar
ruang dengan bahasa Bali.

Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Indonesia


Perbedaan antara lembaga resmi dan nonresmi juga telah terbukti menjadi
minat utama dalam studi LL. Landry & Bourhis (1997: 26) membedakan
antara tanda-tanda komersial “swasta” dan “pemerintah”. Ben-Rafael dkk.
(2006: 10) membedakannya dengan istilah top-down untuk tanda resmi dan
bottom-up untuk tanda pribadi atau swasta. Ia menambahkan bahwa tanda-
tanda top-down merupakan bentuk komitmen umum terhadap budaya
dominan, sementara tanda-tanda bottom-up pribadi dirancang jauh lebih
bebas sesuai dengan strategi individu. Tanda luar ruang ruang pada data
berikut dapat dikelompokkan ke dalam tanda luar ruang yang tidak resmi.
Walaupun bersifat tidak resmi, tanda ini menunjukkan penggunaan bahasa
Indonesia. Penggunaan ini sudah mencerminkan penggunaan bahasa
Indonesia yang sesuai dengan diamanatkan oleh undang-undang, yakni Pasal
38 ayat (1) yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam

Gambar 1 Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Indonesia

36 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi
lain yang merupakan pelayanan umum.

Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris


Fenomena bahasa Indonesia dan bahasa Inggris disandingkan dalam satu
tanda luar ruang merupakan hal yang menarik. Bahasa Indonesia adalah
bahsa nasional, yang mencerminkan identas nasional, bahasa Inggris adalah
bahasa asing dengan identitas global.

Gambar 2 Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris

Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia


Data tanda luar ruang menunjukkan hubungan antara bahasa Inggris dan
Indonesia; penggunaan bahasa Inggris disandingkan dengan bahasa nasional.
Pada tingkat yang agak berbeda, peningkatan penggunaan bahasa Inggris di
ruang publik di seluruh dunia dapat dilihat sebagai contoh proses yang terkait
dengan globalisasi ekonomi dan budaya. Melalui globalisasi, dunia telah
menjadi lebih terhubung, lebih konsumeris, dan semakin terkorporatisasi.
Hal ini kemudian juga menjadi perhatian dalam studi LL. Mungkin implikasi
yang lebih luas dari studi LL adalah menunjukkan arah baru dalam penelitian
bahasa Inggris dunia. Sebagaimana dicatat dalam diskusi oleh Bolton (2005),

Bahasa Indonesia di Ruang Publik: Kajian Lanskap Linguistik 37


Graddol (2006), dan Saraceni (2010), ruang lingkup bahasa Inggris dunia
tidak hanya terbatas pada diskusi fitur linguistik ‘varietas bahasa Inggris’
tertentu dalam penyebaran geografis mereka. Data berikut menunjukkan
bahwa kehadiran bahasa Inggris disandingkan dengan bahasa Indonesia.

Gambar 3 Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia

Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Inggris


Bahasa Inggris menjadi global dan dipengaruhi oleh penutur bahasa lain di
seluruh dunia, dengan kata lain yaitu bahasa Inggris versi atau variasi lokal. Pada
era pascamodern seperti sekarang, dunia telah mengakui bahwa globalisasi
sebagai kekuatan dalam perkembangan budaya, ekonomi, politik, dan lain-
lain. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya budaya populer, barang-barang
konsumsi, dan gaya hidup yang disukai secara global. Saat ini, masyarakat
global mungkin sudah tidak terlalu asing dengan pola linguistik di ruang
publik yang menggunakan bahasa Inggris, seperti nama tempat, restoran,
rambu jalan, nama jalan, atau toko. Dalam konteks ini, bahasa Inggris telah
menjadi lingua franca. Ini adalah semacam norma untuk dikomunikasikan
dengan wisatawan melalui lingua franca serta untuk mempromosikan citra
tempat sebagai ramah turis dan kosmopolitan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa penggunaan tanda luar ruang adalah bagian dari praktik
sosial yang dapat berfungsi sebagai instrumen yang kuat dalam produksi sosial
dunia tempat mereka menjadi bagian dari lanskap. Misalnya, fungsi simbolik

38 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


penggunaan bahasa dalam tanda-tanda publik dapat muncul sebagai penanda
identitas sosial yang kuat. Jelaslah bahwa tanda-tanda LL adalah penanda
simbolis potensial dari status dan kekuasaan. Penggunaan bahasa dapat
dilihat sebagai sistem semiotik yang beroperasi sebagai sistem pemosisian
sosial dan hubungan kekuasaan karena tidak ada pilihan yang netral di dunia
sosial. LL dapat menyediakan cara memandang hubungan kekuasaan dalam
komunitas tertentu, dan itu juga mencerminkan relatif kekuasaan dan status
bahasa yang berbeda dalam konteks sosiolinguistik tertentu. Kehadiran lebih
dari satu bahasa dalam sebuah isyarat memiliki implikasi pragmatis dalam
pemilihan bahasa dan digunakan dalam arti bahwa preferensi bahasa dapat
dicetak dalam ukuran font yang berbeda atau diberikan warna yang berbeda.
Tanda luar ruang penelitian memberikan bukti visual tentang efek globalisasi
pada bahasa. Bahasa Inggris telah memainkan peran sebagai sarana linguistik
globalisasi. Globalisasi adalah proses yang dimotivasi oleh perkembangan
dramatis transportasi, teknologi komunikasi, dan perdagangan internasional
yang paling berpengaruh aspek kehidupan dan bisnis termasuk pilihan dan
penggunaan bahasa. Ada bukti yang menunjukkan bahwa bahasa Inggris
dengan cepat menyebar melalui jalan-jalan di kawasan wisata. Bahasa Inggris
sudah menjadi lingua franca karena memiliki sesuatu berkaitan dengan
nilai simbolis bahasa Inggris bagi masyarakat setempat, sebagai bahasa
internasional berprestise atau penanda status. Fenomena ini juga terlihat jelas
dalam data tanda luar ruang berikut.

Gambar 4 Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Inggris

Bahasa Indonesia di Ruang Publik: Kajian Lanskap Linguistik 39


Tanda Luar Ruang dengan Multibahasa
Gorter (2006) memperkenalkan studi LL sebagai “pendekatan baru untuk
multibahasa,” sebagai cara inovatif untuk memeriksa salah satu topik
paling sentral dalam fokus perhatian studi sosiolinguistik pada umumnya.
Multibahasa dan penutur multibahasa menjadi karakteristik penting dari
studi LL. Graddol (2006) berpendapat bahwa secara historis kapitalisme atau
pascamodernitas telah menciptakan dunia menjadi semakin multibahasa.
Sejumlah penelitian telah terlibat dalam membahas praktik kombinasi bahasa
yang luas dan pencampuran tanda-tanda di ruang publik di seluruh dunia,
baik dari perspektif linguistik diskursif fungsional ataupun lebih struktural.
Reh (2004) menyiapkan kerangka kerja terperinci untuk menganalisis
multibahasa pada papan informasi publik yang menggabungkan berbagai
bahasa dalam hal pengaturan informasi dan terjemahannya. Reh (2004)
mengusulkan model untuk menggambarkan dan menganalisis teks
multibahasa di ruang publik. Dia mengatur informasi multibahasa menjadi
empat jenis, yaitu (1) complementary ‘saling melengkapi’, (2) duplicating
‘menggandakan’, (3) fragmentary ‘terpisah-pisah’, dan (4) overlapping
‘tumpang tindih’. Tanda luar ruang pada data berikut menggunakan lebih dari
dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa lain. Tanda
luar ruang berjenis ATM tidak menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Inggris, bahasa Cina, bahasa Jepang, dan bahasa
Korea dengan aksaranya. Fenomena multibahasa ini menunjukkan bahwa
pergerakan manusia dari satu negara ke negara lain sudah sudah berlangsung.
Ini berarti LL menjalankan fungsi informasi dan fungsi simbolisnya.

Gambar 5 Tanda Luar Ruang dengan Multibahasa

40 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Bali
Bahasa Bali berstatus sebagai bahasa daerah di Indonesia. Berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pada Pasal 36 dinyatakan bahwa
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia. (2)
Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu)
nama resmi. (3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan
atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks
perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi
yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia. (4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai
sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Kebijakan bahasa di Indonesia terkait dengan bahasa daerah telah
ditunjukkan oleh tanda luar ruang bahwa penggunaan bahasa dan aksara
daerah yang diizinkan oleh undang-undang. Data tanda luar ruang merupakan
contoh konret penggunaan bahasa daerah. Kebijakan bahasa dapat berfungsi
sebagai cara melindungi bahasa minoritas dengan menjamin visibilitasnya
dalam LL. Foto berikut menunjukkan nama tempat, yaitu kuburan dan pura
untuk orang Bali.

Gambar 6 Tanda Luar Ruang dengan Bahasa Bali

Dalam menghadapi pandemi Covid-19, hadirlah tanda luar ruang yang


menggunakan bahasa Bali. Ini bisa diinterpretasikan bahwa penyampaian
pesan tentang pandemi ini juga menggunakan sumber daya bahasa yang ada.
Penggunaan bahasa daerah Bali ditunjukkan oleh tanda luar ruang berikut.

Bahasa Indonesia di Ruang Publik: Kajian Lanskap Linguistik 41


Gambar 7 Pesan tentang Pandemi dengan Bahasa Bali

SIMPULAN
Pola penggunaan bahasa pada LL merupakan penggunaan bentuk linguistik
dengan bentuk kode tertentu. Dapat berbentuk monolingual, bilingual, atau
multilingual yang berfungsi sebagai penanda informasi dan penanda simbolik
sebuah wilayah. Pola penggunaan bahasa yang dihadirkan pada LL merupakan
kode kebahasaan merupakan simbol atau tanda dengan kode tersendiri dari
suatu kelompok sosial. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dalam tanda
luar tak resmi, penggunaan bahasa Indonesia tergambar jelas keberadaannya
dan pada tanda luar ruang bahasa Indonesia juga berkontestasi dengan bahasa
asing dan bahasa daerah. Kombinasi penggunaan bahasa Indonesia diikuti
oleh bahasa Inggris dapat dikatakan sebagai implementasi status bahasa
Indonesia sebagai bahasa yang mencerminkan identitas nasional. Namun,

42 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


dalam kontestasi ini ada juga pola urutan penggunaan bahasa Inggris diikuti
dengan bahasa Indonesia dan ada juga tanda luar ruang yang menggunakan
multibahasa. Selain memberikan fungsi informasi, data tanda luar ruang ini
juga memberikan informasi simbolis akan dominasi kekuatan arus globalisasi
yang tecermin dalam penggunaan bahasa di ruang publik.

DAFTAR PUSTAKA
Artawa, K., & Mulyawan, I. W. (2015). Keberadaan outdoor sign di kawasan wisata
Kuta (Kajian linguistic landscapes). Bali: Program Studi Sastra Inggris Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
Artawa, K., & Sartini, N. W. (2018). ‘Linguistic landscapes: A study of human
mobility and identity change.’ Dalam Kerr, T., Ndimande, B. van der Putten, J.
Johnson-Mardones, D. F., Arimbi, D. A., & Amalia, Y. S., Urban studies: Border
and mobility, proceedings of the 4th International Conference on Urban Studies
(ICUS 2017), December 8-9, 2017, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
(165–172). London: Taylor & Francis Group.
Backhaus, P. (2007). Linguistic landscapes: A comparative study of urban multilingualism
in Tokyo. Toronto: Multilingual Matters.
Ben-Rafael, E., Shohamy, E., Amara, M. H., & Trumper-Hecht, N. (2006). Linguistic
landscape as symbolic construction of the public space: The case of Israel.
Dalam D. Gorter (Ed.). Linguistic landscape: A new approach to multilingualism
(7–31). Clevedon: Multilingual Matters.
Blackwood, R., Lanza, E., & Woldemariam, H. (2016). Negotiating and contesting
identities in linguistic landscapes. London: Bloomsbury Publishing.
Gorter, D. (2006). Introduction: the study of the linguistic landscape as a new
approach to multilingualism. Dalam D. Gorter (Ed.). Linguistic landscape: A
new approach to multilingualism (1–6). Clevedon: Multilingual Matters.
Gorter, D. (2018). Methods and techniques for linguistic landscape research: About
definitions, core issues and technological innovations. Pre-final version in Putz
& Mundt 2018.
Landry, R., & Bourhis, R. Y. (1997). ‘Linguistic landscape and ethnolinguistic vitality:
An empirical study.’ Journal of Language and Social Psychology, 16(1), 23–49.
Reh, M. (2004). Multilingual writing:   A  reader-oriented typology–with examples
from Lira municipality (Uganda). International Journal of the Sociology of
Language, 170, 1–41.
Rosenbaum, Y., Nadel, E. Cooper, R. L., & Fishman, J. A. (1977). ‘English on Keren
Kayemet Street.’ Dalam J. A. Fishman, R. L. Cooper, & A. W. Conrad (Eds.). The
spread of English (179-196). Rowley MA: Newbury House.

Bahasa Indonesia di Ruang Publik: Kajian Lanskap Linguistik 43


Shohamy, E., & Gorter, D. (2009). Linguistic landscape: Expanding the scenery. New
York: Routledge.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. https://jdih.mkri.id/
mg58ufsc89hrsg/193fa997c8319d8606f1747565e49cf2de73ddebe.pdf

44 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Bias Gender dalam Bahasa Indonesia

Zalili Sailan Konsep gender adalah konsep yang digunakan untuk


mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat
Jurusan Pendidikan Bahasa dari segi pengaruh sosial budaya. Dalam hal ini, gender adalah
dan Sastra Indonesia suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions),
FKIP Universitas Halu Oleo
bukan sesuatu yang bersifat kodrati. Peran yang dilakukan
laki-laki dan perempuan ini tidak ada hubungannya sama
sekali dengan tanda-tanda biologis yang dibawa manusia
sejak lahir. Ekspresi berbahasa yang dilakukan masyarakat
sering kali memperlihatkan kecenderungan ketidaksetaraan
gender. Hal tersebut merupakan gejala alamiah; satu
kelompok berupaya mengekalkan dominasinya atas
kelompok yang lain. Bahasa Indonesia secara generik
terbebas dari bias gender. Namun, politik bahasa yang
belum tegas arahnya, justru membawa bahasa Indonesia
menjadi bahasa seksis. Berbagai penelitian yang mengkaji
bahasa dan gender menyimpulkan bahwa penutur bahasa
Indonesia sering memperlihatkan tuturan yang bias gender.
kata kunci: gender, bias, bahasa Indonesia

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

45
PENDAHULUAN
Salah satu kajian yang cukup menarik dalam bahasa dan budaya adalah
bahasa dan gender. Diskusi bahasa dan gender dianggap menarik karena dua
alasan. Pertama, bahasa memiliki sumbangan besar bagi proses konstruksi
sosial gender. Kedua, bahasa sangat terkait dengan mekanisme kekuasaan
yang memiliki implikasi pada pemberdayaan.
Bahasa dan gender memiliki daya tarik akademis karena tidak hanya
menjanjikan kemajuan teori linguistik dan sosial, tetapi juga memberikan
kritik sosial dan merupakan suatu program aksi politis yang bertujuan
mengeliminasi ketidaksetaraan hak sosial akibat perbedaan gender. Isu
gender sendiri akhir-akhir ini sering diangkat dalam forum-forum ilmiah,
walaupun istilah gender sering diartikan secara keliru. Terjadinya kerancuan
makna tentang apa yang disebut gender memperlihatkan pemahaman yang
tidak pada tempatnya di masyarakat.
Sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola, dan merawat
kebersihan rumah tangga—atau dengan kata lain urusan domestik,
melayani suami—sering kali dianggap kodrat perempuan. Sementara itu,
mencari nafkah urusan laki-laki sehingga di pedesaan sering kali ditemukan
perempuan terpolakan sebagai makhluk domestik.
Domestikasi perempuan juga dapat dilihat pada upacara pernikahan;
laki-laki cenderung menempatkan diri di ruang depan rumah sementara
perempuan cenderung menempatkan diri di rung tengah atau belakang. Hal
ini terkait dengan tugas-tugas yang dilabelkan kepada perempuan, bahwa
pada ruang tengah dan belakang terdapat pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga.
Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa
sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial (Sumarsono,
2002: 113). Dalam faktanya, secara sosial laki-laki dan perempuan berbeda
karena masyarakat menempatkan peranan sosial yang berbeda. Jadi ragam
bahasa antara pria dan wanita itu akibat dari perbedaan sikap sosial.

KONSEPTUALISASI GENDER
Gender diartikan sebagai konstruksi sosial kultural yang membedakan
karakteristik maskulin dan feminism. Gender berbeda dengan seks atau jenis
kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (More, 1988, 1994).

46 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Walaupun jenis kelamin laki-laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin
dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan gender feminism. Kaitan
antara jenis kelamin dengan gender bukanlah merupakan korelasi absolut
(mosse, 1996). Hal ini disebabkan maskulin dalam suatu kebudayaan dapat
diangap feminism dalam budaya lain. Dengan kata lain, kategori maskulin
atau feminism itu bergantung pada konteks sosial budaya setempat.
Ketimpangan gender adalah membagi atribut dan pekerjaan menjadi
maskulin dan feminism yang berdampak pada realitas sosial yakni
melahirkan suatu keadaan yang tidak seimbang karena pada akhirnya
perempuan menjadi tersubordinasi oleh laki-laki, terutama dalam
hubungannya dengan pembagian pekerjaan. Menurut Kesseler (1976:
10), pembagian kerja secara seksual bersumber dari pengalaman awal
manusia. Pada awal kehidupan manusia, berburu merupakan hal yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup dan pekerjaan itu hampir selalu
dilakukan oleh laki-laki. Perempuan dan anak-anak bergantung kepada
laki-laki untuk memperoleh daging.
Pengalaman awal laki-laki yang berbeda dengan perempuan kemudian
melahirkan anggapan yang berbeda terhadap dua jenis kelamin ini.
Beberapa ahli mengatakan bahwa subordinasi perempuan itu tidak hanya
bersifat kultural, tetapi juga berakar pada pembagian kerja berdasarkan
gender. Pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolis antara
perempuan dengan alam (nature). Perempuan dengan fungsi reproduksinya
diasosiasikan dengan domestik dan laki-laki di lingkungan publik akhirnya
melahirkan hubungan hierarkis, yakni laki-laki dianggap superior dan
perempuan inferior.
Nilai-nilai budaya yang membedakan peran laki-laki dan perempuan
dalam realitas sosial dapat ditemukan dalam berbagai basis kebudayaan
seperti dalam lembaga-lembaga sosial, ajaran-ajaran agama, mitos-mitos,
serta praktik sosial lain. Nilai-nilai budaya ini bersifat objektif karena
kebudayaan adalah milik publik (Geertz, 1992). Hubungan gender yang
terbentuk dalam berbagai aspek kehidupan sosial tidak lain merupakan
kelanjutan dari bentukan sosial yang telah mendapatkan pengesahan.
Jika hal tersebut ingin diubah, perubahan pola hubungan gender dapat
dilakukan dengan mengubah pola sosialisasi gender dan dengan legitimasi-
legitimasi sosial melalui berbagai pranata dan lembaga sosial. Terdapat dua
aliran tentang gender, yakni teori nurture dan teori nature. Di samping itu,

Bias Gender dalam Bahasa Indonesia 47


terdapat satu konsep teori yang mendapat ilham dari kedua konsep teoi
tersebut yang disebut dengan teori equilibrium (Murniati, 2004).

Teori Nurture
Teori ini membedakan antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil
konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang
berbeda. Hal ini menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan
peran dan kontribusinya dalam keluarga, masyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kaum penindas (borjuis) dan
perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Teori ini melahirkan paham
sosial konflik yang banyak dianut komunitas sosial yang menghilangkan strata
masyarakat (egalitarian). Paham sosial konflik memperjuangkan kesamaan
proporsional (perfec quality) dalam segala aktivitas masyarakat seperti di
bidang politik. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, disusunlah program
khusus (affirmative action) untuk memberikan peluang bagi pemberdayaan
perempuan agar termotivasi untuk meraih posisi yang selama ini didominasi
oleh kaum laki-laki.

Teori Nature
Teori ini menunjukkan adanya perbedaan perempuan dan laki-laki merupakan
kodrat sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi
dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas
yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang
tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.
Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang
bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang
memuaskan karena manusia memerlukan kemitraan dan kerja sama secara
struktural dan fungsional. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsi masing-masing. Dalam
kehidupan sosial ada pembagian tugas (division of labor), begitu dalam
kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami dan istri, siapa yang
menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi kepala rumah tangga. Dalam
organisasi sosial juga dikenal ada pemimpin dan ada bawahan (anggota) yang
masing-masing mempunyai tugas, fungsi, dan kewajiban yang berbeda dalam
mencapai tujuan.

48 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Keluarga sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan yang
menggambarkan perbedaan peran suami dan istri untuk saling melengkapi
dan saling membantu satu sama lain. Peranan keluarga sangat penting dalam
masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Keharmonisan hidup hanya dapat dibangun bila terjadi pembagian peran dan
tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki.

Teori Equilibrium (Keseimbangan)


Teori ini bersifat kompromistis, yang dikenal dengan keseimbangan
(equilibrium), menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan
dalam hubungan antara kaum perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak
mempertentangkan kaum perempuan dan laki-laki karena keduanya harus
bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis,
bukan pula struktural fungsional, melainkan dilandasi kebutuhan kebersamaan
guna membangun kemitraan yang harmonis karena setiap pihak punya
kelebihan sekaligus kekurangan. Kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu
diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerja sama yang setara.

BAHASA DAN GENDER


Dalam perbedaan penggunaan bahasa oleh kaum laki-laki dan perempuan
tidak bisa dikatakan sebagai suatu kecenderungan yang bersifat biologis
semata, tetapi faktor sosial dan budaya amat memegang peranan dan
menentukan dalam cara bagaimana kaum perempuan dan laki-laki (harus)
berbicara. Menurut teori linguistik, perbedaan-perbedaan jenis kelamin
tertentu dalam perilaku bahasa merupakan efek samping dari pengalaman
sosial pria dan wanita yang secara sistematis berbeda.
Bahasa perempuan berbeda dengan bahasa laki-laki. Perbedaan bahasa
antara laki-laki dan perempuan sangat erat hubungannya dengan masalah
kekuasaan. Perbedaan bahasa mereka bukan saja terletak pada perbedaan suara,
melainkan juga pada pemakaian atau pemilihan kata (leksikal), gramatikal,
dan cara penyamapaian (pragmatis). Sekadar ilustrasi, kita dapat membaca
hasil penelitian yang dilakukan oleh Otto Jespersen yang menemukan bahwa
laki-laki dan perempuan suku Ciberia menggunakan bahasa yang berbeda.

Bias Gender dalam Bahasa Indonesia 49


Bahasa yang digunakan oleh kaum laki-laki suku itu tidak pernah digunakan
oleh kaum perempuan walaupun mereka memahaminya. Sebaliknya, laki-laki
suku itu tidak pernah mempergunakan bahasa yang dipergunakan oleh kaum
perempuan sekalipun kaum laki-laki mengetahui bahasa yang dipergunakan
oleh kaum perempuan. Para ibu hanya mengajarkan bahasa kepada anak
perempuan, sedangkan anak laki-laki dibiarkan mengikuti bahasa ayah
mereka. Ada pula hasil penelitian Holmes pada suku Amazon, Indian.
Suami-istri suku ini biasanya memiliki bahasa yang berbeda karena laki-laki
diharuskan menikah dengan perempuan suku lain yang bahasanya berbeda.
Di Yana, suatu suku Indian Amerika Selatan, beberapa kata yang digunakan
oleh para lelaki lebih panjang bunyinya daripada kata yang digunakan oleh
kaum perempuan. Ha ini mirip dengan bahasa Jepang, terdapat kata yang
diucapkan oleh laki-laki lebih panjang dari yang dipakai oleh perempuan
(Kuntjara, 2003).
Dalam masyarakat Jawa, perempuan lebih sering dijadikan objek untuk
dilukiskan. Itu juga sebabnya mengapa banyak lukisan di museum lebih
banyak memilih objek perempuan dibanding dengan laki-laki. Pelukis laki-
laki pun lebih banyak dibanding dengan pelukis perempuan. Perempuan
lebih cocok dijadikan objek lukisan. Pendapat seperti ini tampak dari bahasa
yang menggambarkan perempuan (Kuntjara, 2003).
Perempuan mempunyai kedudukan yang sangat tersudut dalam hal
bahasa. Apabila perempuan berbicara tidak seperti lady, mereka akan
dikritik sebagai seorang yang tidak feminis. Namun, apabila berbicara
lemah lembut dan sopan, mereka juga akan dinilai kaum yang lemah yang
tidak mampu berpikir jernih dan berbicara masalah-masalah yang serius.
Kalem dan diam adalah sifat yang diharapkan oleh masyarakat dari anak
perempuan.
Banyak orang yang biasa mengenal suara pria dan wanita, karena secara
umum bisa dikatakan volume suara pria relatif lebih besar daripada wanita.
Secara umum bisa dikatakan volume suara pria relatif lebih besar daripada
wanita. Dalam dunia seni suara, kita kenal golongan suara wanita dan pria.
Pada wanita, misalnya ada suara alto dan sopran, pada pria ada suara tenor
dan bas. Semua itu tentu berhubungan dengan organ-organ tubuh penghasil
suara yang sedikit banyak berbeda pada laki-laki dan perempuan.
Kita bisa melihat dalam intonasi, misalnya intonasi “memanjang” pada
bagian akhir kalimat lebih banyak pada wanita. Dalam bahasa Indonesia kita

50 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


kenal istilah “suara manja” yang khas pada perempuan. Selain hal tersebut,
perbedaan dapat juga kita lihat dalam penggunaan gestur dan ekspresi
wajah. Kedua hal ini pasti ada di setiap masyarakat bahasa, tetapi berbeda
dari masyarakat ke masyarakat, berbeda antara laki-laki dan perempuan.

BIAS GENDER DALAM BAHASA INDONESIA


Pada umumnya, dalam bahasa Indonesia, nomina agentif tidak bergender.
Kata-kata yang mendeskripsikan profesi atau jabatan seseorang tidak
memberi informasi tentang gender orang yang dimaksud. Hanya ada
beberapa pengecualian, misalnya, ‘karyawan’ dan ‘karyawati’, ‘peragawan’ dan
‘pergawati’, serta ‘mahasiswa’ dan ‘mahasiswi’.
Dari kata sejenis itu pun hanya sebagian yang benar-benar digunakan
sebagai bentuk maskulin dan feminim secara ekslusif. Kata ‘mahasiswi’
misalnya, hanya merujuk pada perempuan, tetapi ‘mahasiswa’ digunakan
bukan hanya untuk laki-laki, melainkan juga untuk perempuan. Kalau
kita sedang membicarakan sekelompok mahasiswa yang terdiri atas
laki-laki dan perempuan, kita tidak perlu menyebutnya “mahasiswa dan
mahasiswi”. Sifat bahasa Indonesia dengan nomina agentif yang umumnya
tidak bergender sehingga tidak dibutuhkan strategi untuk menghilangkan
bias gender pada nomina agentif. Nomina agentif dalam bahasa Indonesia
sudah netral.
Dalam bahasa Indonesia, gender sama sekali tidak hadir sebagai kategori
gramatikal. Tentu saja ada kata yang merujuk pada manusia dengan gender
tertentu, misalnya ‘perempuan’, ‘laki-laki’, ‘ibu’, ‘abang’, ‘suami’. Namun, kata-
kata itu tidak diperlakukan berbeda secara gramatikal. Kata seperti ‘bencong’
pun tidak menimbulkan persoalan apa pun secara gramatikal, sebab orang
tidak perlu mengambil pilihan anatara bentuk gramatikal yang maskulin atau
yang feminin.
Ciri bahasa yang mungkin dapat dikatakan berbias gender adalah
panggilan ‘nyonya’ dan ‘nona’. Akan tetapi, kata ini jarang digunakan.
Panggilan antara sepasang suami-istri atau kekasih, khususnya panggilan
si perempuan untuk pasangan laki-lakinya, biasanya dipinjam dari istilah
kekerabatan, seperti ‘mas’, ‘kang’, ‘abang’. Panggilan semacam itu mungkin
dapat dikatakan seksis sebab mengisyaratkan adanya hubungan hierarkis
antara laki-laki dan perempuan seperti antara kakak dan adik. Dikatakan

Bias Gender dalam Bahasa Indonesia 51


demikian, sebab makna dan kandungan panggilan-panggilan tersebut
sangat bergantung pada budaya setempat (budaya daerah/etnis). Kalau kita
tidak ingin melakukan generalisasi yang berlebihan, ada atau tidak adanya
seksisme dalam panggilan semacam itu perlu diselidiki lebih lanjut untuk
setiap budaya Nusantara.
Penggunaan nama suami sebagai panggilan yang digunakan
perempuan yang sudah menikah telah dipopulerkan melalui pembentukan
Dharma Wanita. Paham yang ditanamkan oleh Dharma Wanita terhadap
anggotanya adalah bahwa peran utama perempuan adalah pendamping
suaminya.
Bahasa Indonesia pada dasarnya tidak mengenal genus/gender. Namun,
tidak berarti bahwa di Indonesia seksisme tidak ada hubungannya dengan
bahasa. Contoh yang bisa kita ungkapkan adalah kata ‘kepala’ dalam istilah
kepala keluarga tidak bergender. Namun, karena menurut nilai masyarakat
seorang kepala keluarga selalu laki-laki, kata itu tidak bisa digunakan untuk
seorang perempuan, meskipun secara de facto tidak sedikit rumah tangga
yang dikepalai seorang perempuan.
Gejala anomali lain dalam perjuangan kesetaraan gender dalam bahasa
justru bersifat seksis. Seperti munculnya berbagai nomina agentif khusus
perempuan, misalnya ‘pengarang perempuan’, ‘perempuan pengarang’,
‘sastrawati’, untuk sekadar menyebut satu contoh profesi saja. Tentu saja dalam
sebuah bahasa dengan nomina agentif yang tidak bergender seperti bahasa
Indonesia, kadang-kadang spesifikasi gender dibutuhkan. Akan tetapi, kata
seperti ‘sastrawati’ dan ‘pengarang perempuan’ justru terkesan seksis. Kata
‘sastrawati’ sebagai pasangan atau lawan kata ‘sastrawan’ menyalahi logika
bahasa Indonesia; ‘sastrawan’ sudah menjadi nomina agentif yang netral.
Artinya, istilah ini mencakup sastrawan laki-laki dan perempuan.
Istilah ‘pengarang perempuan’ yang akhir-akhir ini sangat populer di
berbagai media pun menyalahi aturan yang lazim digunakan dalam bahasa
Indonesia. Dalam bahasa Indonesia berlaku hukum D-M, bahwa yang
diterangkan disebut lebih dahulu, kemudian baru yang menerangkan
dicantumkan di belakangnya. Berdasarkan struktur bahasa Indonesia yang
disebut di atas, kata benda yang utama disebut/ditulis lebih dahulu kemudian
kata yang menyusul di belakangnya merupakan keterangan tentang kata
utama itu. Sebuah ‘baju’ disebut, kemudian diikuti oleh keterangan bahwa
baju itu berwarna ‘biru’. Seorang ‘dokter’ dibicarakan, dengan keterangan

52 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


bahwa dokter itu berjenis kelamin ‘perempuan’. Dengan menggunakan logika
ini, dalam istilah ‘perempuan pengarang’, kata utama adalah ‘perempuan’,
sedangkan ‘pengarang’ merupakan keterangannya. Frasa ‘perempuan
pengarang’ bukanlah seorang pengarang yang berjenis kelamin perempuan
melainkan seorang perempuan yang menjadi pengarang. Yang utama adalah
keperempuannya, kepengarangannya sekunder.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep gender adalah
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Dalam hal ini gender
adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukan sesuatu
yang bersifat kodrati. Peran yang dilakukan laki-laki dan perempuan ini tidak
ada hubungannya sama sekali dengan tanda-tanda biologis yang dibawa
manusia sejak lahir.
Ekspresi berbahasa yang dilakukan masyarakat sering memperlihatkan
kecenderungan ketidaksetaraan gender. Hal tersebut merupakan gejala
alamiah, yakni satu kelompok berupaya mengekalkan dominasinya atas
kelompok yang lain.
Bahasa Indonesia secara generik terbebas dari bias gender. Namun,
politik bahasa yang belum tegas arahnya justru membawa bahasa Indonesia
menjadi bahasa seksis. Berbagai penelitian yang mengkaji bahasa dan gender
menyimpulkan bahwa penutur bahasa Indonesia sering memperlihatkan
tuturan yang bias gender.

DAFTAR BACAAN
Budiman, K. (2000). Feminis laki-laki dan wacana gender. Magelang: Indonesia
Tera.
Fakih, M. (2001). Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Graddol, D., & Swann, J. (1989). Gender voices, Cambridge: Basil Blackwell.
Kuntjara, E. (2003). Gender, bahasa, dan kekuasaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Siregar, A., Pasaribu, R., & Prihastuti, I. (2002). Eksplorasi gender di ranah jurnalisme.
Yogyakarta: LP3Y & Galang Printika.

Bias Gender dalam Bahasa Indonesia 53


Sumarsono, & Pratama, P. (2000). Sosiolingustik. Yogyakarta: Sabda (Lembaga
Agama, Budaya, dan Perdamaian) bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Showalter, E. (Ed.). (1989). Spiking of gender. New York: Routledge.

54 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Pengembangan Muatan Lokal Pembelajaran Budaya
dalam Kurikulum

Barlian Kurikulum merupakan pengontrol suatu aktivitas pendidikan.


Dengan adanya kurikulum, pengembangan potensi peserta
Jurusan Pendidikan Sejarah didik menjadi lebih terarah. Pengembangan kurikulum
FKIP Universitas Halu Oleo, muatan lokal (KML) adalah suatu upaya untuk menghasilkan
kurikulum baru. Isi dan strategi penyampaian KML dikaitkan
dengan lingkungan alam, sosial, budaya, serta kebutuhan
pembangunan daerah. Pengembangan muatan lokal
dilakukan dengan menyisipkan unsur-unsur muatan lokal
ke dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
yang sudah ada. Komponen GBPP meliputi (1) tujuan
kurikuler, (2) tujuan pembelajaran, (3) isi pembelajaran, (4)
jam pembelajaran, (5) strategi pembelajaran, (6) penilaian,
dan (7) keterangan. Aspek pedoman hidup, jenis-jenis
pengetahuan, sikap, dan nilai tertentu merupakan hal yang
sangat penting bagi generasi penerus. Pengembangan
kurikulum perlu pula memperhatikan aspek sosial, politik,
dan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, sasaran
pendidikan diharapkan dapat memengaruhi perubahan
sosial. Penetapan materi pembelajaran muatan lokal dalam
kurikulum haruslah didasarkan pada kebutuhan masyarakat.
Pada akhirnya, warga masyarakat yang bersangkutan dapat
merasakan bahwa hal-hal yang diajarkan di sekolah kepada
anak-anak mereka akan bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Budaya sesungguhnya mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, dan adat serta kebiasaan
suatu anggota masyarakat. Prosedur dan implementasi
KML meliputi langkah-langkah: (1) desain model KML, (2)
analisis kebutuhan, (3) menentukan prioritas pembelajaran,
(4) pembuatan produk KML, (5) validasi produk KML,
(6) pembuatan bahan ajar, (7) uji coba produk, dan (8)
pembuatan produk akhir KML. Kegiatan-kegiatan yang
dikemukakan di atas adalah wujud dari upaya rekonstruksi
kurikulum.
kata kunci: kurikulum muatan lokal, rekonstruksi kurikulum,
pembelajaran budaya

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

55
PENDAHULUAN
Kurikulum adalah dasar sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan.
Tanpa kurikulum yang jelas, apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali,
maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak
efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi
yang maksimal.
Pengembangan kurikulum muatan lokal adalah kegiatan menghasilkan
kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan, pelaksanaan,
dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Isi kurikulum dan strategi
penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, sosial, budaya, serta
kebutuhan pembangunan daerah yang dapat difungsikan sebagai sumber
belajar dalam latar yang menyerupai tempat pembuatan produk.
Menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0209/U/1984, pengembangan muatan lokal dilakukan dengan “menyisipkan”
unsur-unsur muatan lokal ke dalam kurikulum, dalam hal ini Garis-garis
Besar Program Pembelajaran (GBPP) yang sudah ada. Jadi, tidak membuat
kurikulum/GBPP baru yang terpisah sama sekali dari GBPP yang sudah ada.
Secara umum, pola GBPP yang saat ini berlaku di sekolah (yang dapat
dijadikan rujukan) sebagai produk atau wujud dari kurikulum muatan lokal,
sebaiknya memiliki komponen-komponen berikut:
1) tujuan kurikuler;
2) tujuan pembelajaran;
3) isi pembelajaran: (a) pokok bahasan, dan (b) uraian;
4) jam pembelajaran: (a) teori, dan (b) praktik/lapangan;
5) strategi pembelajaran: (a) penyampaian pembelajaran; (b) pengorganisasian
pembelajaran; dan (c) pengelolaan pembelajaran;
6) penilaian; dan
7) keterangan.
Komponen-komponen produk yang disebutkan di atas disesuaikan
dengan pandangan Reigeluth & Stein (1983), Degeng (1989); khususnya
terhadap istilah ‘strategi pembelajaran’ menggantikan istilah ‘metode
pembelajaran’ dalam GBPP yang ada dalam kurikulum sekolah saat ini.

ASUMSI-ASUMSI DALAM PENGEMBANGAN KML


Abraham Maslow (1959) menyatakan, bahwa tingkat kelas sosial yang paling
rendah, termasuk siswa, berminat pada jenis pendidikan yang memenuhi

56 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


kebutuhan survival, dalam hal ini jenis latihan kerja, dan dasar-dasar
pendidikan bagi warga masyarakat. Dalam hubungan dengan latar belakang
pendidikan, warga masyarakat yang mempunyai latar belakang pendidikan
menengah atau yang lebih rendah, cenderung untuk memilih pendidikan
keterampilan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Scott (1978) menyatakan bahwa kurikulum pada hakikatnya merupakan
suatu seleksi yang bermakna dari kebudayaan suatu masyarakat. Aspek-aspek
tertentu dari suatu masyarakat yang berupa pedoman hidup, jenis-jenis
pengetahuan, sikap dan nilai tertentu, merupakan hal yang sangat penting
sehingga misinya terhadap generasi penerus tidak ditinggalkan begitu saja,
melainkan dipercayakan kepada guru yang terlatih yang tersebar di sekolah-
sekolah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengembangan
kurikulum harus senantiasa didasarkan atas perkembangan masyarakat.
Dalam konteks perubahan masyarakat, McNeil (1980) menyarankan
perlunya memperhatikan hubungan antara perkembangan sosial, politik, dan
ekonomi masyarakat dengan kurikulum sehingga diyakini bahwa pendidikan
dapat memengaruhi perubahan sosial. Kurikulum seperti ini disebutnya
sebagai “kurikulum rekonstruksi sosial” yang bertujuan menghadapkan para
siswa pada masalah-masalah kemanusiaan.
Beeby (1982) menyatakan bahwa pengembangan kurikulum harus
sesuai dengan keadaan lingkungan daerah dan wilayah tanpa terlalu banyak
menyimpang dari konsep kesatuan nasional dan standar kualitas yang telah
digariskan. Berdasarkan pernyataan Beeby ini, pada dasarnya pengembangan
kurikulum merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin ketinggalan
zaman. Secara substansial, di sini pulalah letak pentingnya pengembangan
muatan lokal dalam kurikulum sekolah.
Thorndike (Bell-Gredler, 1991) menyatakan bahwa bila materi yang
dipelajari tidak mempunyai arti bagi masyarakat, para siswa akan mengalami
kesukaran dalam proses penguasaan materi tersebut. Namun, bila siswa
dapat disadarkan akan faedah dari materi yang dipelajari, minat mereka akan
meningkat pada titik tertentu.
Barlian (1993) menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan dan
pembelajaran juga ditentukan oleh sejauh mana partisipasi masyarakat
dalam perencanaan pendidikan dan pembelajaran dimaksud. Oleh karena
itu, penetapan materi pembelajaran muatan lokal dalam kurikulum haruslah
didasarkan pada kebutuhan masyarakat sehingga warga masyarakat yang

Pengembangan Muatan Lokal Pembelajaran Budaya dalam Kurikulum .... 57


bersangkutan dapat merasakan bahwa hal-hal yang diajarkan di sekolah
kepada anak-anak mereka akan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0402/U/1987, muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isinya
dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan
sosial, dan lingkungan budaya, serta kebutuhan pembangunan daerah yang
perlu diajarkan kepada siswa.
Isi yang dimaksudkan dalam pengertian di atas, menurut Ibrahim
& Karyadi (1990: 86) adalah bahan pembelajaran yang digunakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran muatan lokal. Adapun media penyampaian
merupakan metode dan sarana yang digunakan dalam menyampaikan isi
muatan lokal.
Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0209/U/1984 dinyatakan ada delapan bidang yang dapat dikembangkan
sesuai dengan kondisi lokal setiap sekolah, terutama bagi jenjang sekolah
menengah atas, yakni: (1) teknologi industri, (2) komputer, (3) pertanian
dan kehutanan, (4) jasa, (5) kesejahteraan keluarga, (6) maritim, (7) budaya,
serta (8) pengetahuan agama. Menurut Barlian (2015), kedelapan bidang
yang dikemukakan dalam surat keputusan di atas dapat dikelompokkan ke
dalam tiga bidang/rumpun utama, yakni: (1) budaya, (2) keterampilan, dan
(3) lingkungan.

KONSEP BUDAYA DAN FUNGSI KML


Banyak orang memiliki persepsi yang berbeda tentang budaya. Budaya
terkadang diapresiasikan dengan literature, musik, seni, dan makanan. Budaya
sesungguhnya merupakan “complex whole which includes knowledge, belief,
art, law, morals, custom, and any other capabilities and habits acquired by
man as a member of society”, seluruh kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan setiap kemampuan lain, serta
kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Taylor
dalam Koentjaraningrat, 1990).
Bidang budaya, sebagaimana dikemukakan dalam Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0209/U/1984, meliputi
a) bahasa daerah (yang bersangkutan);
b) sastra daerah (yang bersangkutan);
c) seni daerah (yang bersangkutan);

58 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


d) sejarah budaya daerah (yang bersangkutan);
e) dan sebagainya.
Dalam hubungan ini, Barlian (2015) mengidentifikasi beberapa bidang
yang tergolong dalam rumpun budaya, yakni
f) adat istiadat daerah (setempat);
g) tarian daerah, sendra tari (setempat);
h) lagu daerah (setempat));
i) upacara-upacara/ritual daerah (setempat);
(j) dan lain-lain.
Merujuk Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0402/U/1987, fungsi pembelajaran muatan lokal adalah (a) untuk melestarikan
budaya yang terancam punah; dan (b) membantu anak didik untuk mencari
penghasilan di luar jam sekolah. Berdasarkan fungsi yang ditetapkan dalam
surat keputusan ini, tidak heran jika di beberapa daerah tertentu di Indonesia,
bahasa daerah tidak dijadikan sebagai muatan lokal. Bahkan, ada daerah yang
menjadikan bahasa Inggris sebagai muatan lokal.
Pembelajaran dalam kurikulum muatan lokal, menurut Barlian (2015)
berisikan tentang tiga hal: (1) budaya, bertujuan menumbuhkan rasa cinta;
(2) keterampilan, bertujuan menumbuhkan rasa penghargaan dan apresiasi;
serta (3) lingkungan, bertujuan menumbuhkan rasa kepedulian.

PROSEDUR DAN IMPLEMENTASI KML


Adapun prosedur pengembangan kurikulum muatan lokal (Barlian, 1993),
meliputi delapan langkah berikut ini.
1) Mendesain model KML mengikuti GBPP dengan modifikasi seperlunya.
Kegiatan akhir pada tahap ini adalah terwujudnya model KML dan
divalidasi oleh ahli kurikulum.
2) Melakukan need assessment sebagai dasar untuk melakukan pengembangan
KML. Data diperoleh dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tingkat
provinsi, Bappeda tingkat kabupaten, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
tingkat kabupaten, tokoh masyarakat di tingkat kabupaten, kepala sekolah,
Ketua LKMD, instansi teknis terkait, serta siswa sekolah yang menjadi
sasaran warga belajar KML.
3) Analisis data need sssessment, terutama untuk menentukan prioritas
pembelajaran sesuai pilihan masyarakat.

Pengembangan Muatan Lokal Pembelajaran Budaya dalam Kurikulum .... 59


4) Pembuatan produk (KML) berdasarkan hasil need assessment (berdasarkan
prioritas pilihan masyarakat).
5) Validasi produk KML berupa GBPP yang dihasilkan.
6) Pembuatan bahan ajar (bahan penyerta) berupa buku ajar oleh instansi
terkait. Pada tahap ini dilakukan pula validasi isi oleh perguruan tinggi
terkait. Di samping validasi isi, dilakukan pula validasi bahasa dari
perguruan tinggi terkait.
7) Uji-coba produk. Uji-coba dilakukan terhadap satu pokok bahasan/
subpokok bahasan kepada para siswa. Uji-coba dilakukan dalam tiga
tahapan, mengikuti pendapat Dick & Carey (1983), yakni: (a) uji-coba
perorangan, (b) uji-coba kelompok kecil, dan (c) uji-coba lapangan. Data-
data yang diperoleh dari serangkaian uji-coba, dianalisis, dan ditafsirkan
untuk merevisi produk.
8) Pembuatan produk akhir KML (bidang tertentu, sesuai dengan need
assessment) pada langkah kedua. Produk yang dihasilkan ada dua jenis,
yakni (a) kurikulum muatan lokal berupa GBPP sesuai bidang tertentu,
dan dilengkapi dengan (b) bahan ajar atau bahan penyerta berupa materi/
isi pembelajaran terurai KML tertentu.
Suryani (2020) yang meneliti KML di SD, Tun Sumarni (2020) yang
meneliti KML di SD, dan Halmina Ruslim (2020) yang meneliti KML di SMA
melaporkan hal yang berkenaan dengan implementasi pembelajaran KML di
sekolah yang mereka teliti.
1) Pembelajaran KML di sekolah dasar, yang diajarkan hanyalah bidang
budaya (bahasa daerah) setempat (suku dominan); sedangkan di SMA
adalah bidang keterampilan.
2) Pembelajaran KML bahasa daerah, buku ajarnya di-drop (dikirimkan, sudah
disediakan) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tingkat provinsi, dan
para guru tinggal mengajarkannya di kelas (bersifat top down). Sementara
itu di SMA, guru yang mengajarkan bidang keterampilan, tidak memiliki
buku ajar, tetapi membelajarkan siswanya dengan materi/isi pembelajaran
yang “terserah pengetahuan guru” saja.
3) Pembelajaran bahasa daerah tercantum di sekolah sebagai pembelajaran
KML, sedangkan pembelajaran bidang keterampilan di SMA dimasukkan
ke dalam mata pelajaran Prakarya.
4) Guru mata pelajaran KML bahasa daerah dan guru keterampilan, dalam
membelajarkan siswanya tidak memiliki pengetahuan memadai terhadap

60 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


bidang yang diajarkannya. Latar belakang pendidikan mereka bukan
berasal dari disiplin ilmu bahasa daerah dan/atau keterampilan.
5) Guru KML tidak pernah diikutkan dalam pelatihan/penataran tentang
KML yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tingkat
provinsi guna menyegarkan pengetahuan mereka tentang KML.
Strategi pembelajaran muatan lokal pembelajaran budaya dan
evaluasinya sebagai berikut.
1) Ketika guru tidak mampu membelajarkan siswa terhadap bidang KML
tertentu, termasuk bidang budaya, maka pihak sekolah harusnya menggaji
narasumber (bukan guru) yang dianggap lebih mampu (lebih tahu)
menguasai materi dimaksud.
2) Terhadap pembelajaran bahasa daerah, dari aspek siswa (yang suku/
etnisnya beragam), guru KML seharusnya mengelompokkan para siswa
dimaksud sesuai suku/etnis masing-masing, dan dibelajarkan dengan
bahasa daerah masing-masing; tentu saja oleh guru/narasumber yang
berbeda-beda pula.
3) Sistem evaluasi dalam pembelajaran muatan lokal selama ini harus
dibenahi, diperbaiki. Kebanyakan guru KML melakukan evaluasi dengan
ujian pengetahuan (aspek kognitif); padahal pembelajaran muatan lokal
seharusnya diuji dengan uji sikap (aspek afektif), dan uji keterampilan
(aspek psikomotorik). Oleh karena itu, nilai perolehan siswa dalam KML
adalah nilai kualitatif (baik, sedang, buruk); bukan berupa nilai kuantitatif
(rentang skor 1—100, atau rentang A—E). Penilaian kuantitatif dalam
pembelajaran muatan lokal adalah keliru dan harus diperbaiki.

DAFTAR PUSTAKA
Barlian. (1993). Pengembangan kurikulum muatan lokal tingkat SMA di Kabupaten
Muna (Tesis). Program Pascasarjana IKIP Malang, Malang.
Barlian. (2015). Rekonstruksi kurikulum: Bahan kuliah mahasiswa program magister
(S-2). Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo.
Beeby, C. E. (1982). Assessment of Indonesian education: A guide in planning (terj.
BP3K). Jakarta: Depdikbud.
Bell-Gredler, M. E. (1991). Belajar dan membelajarkan (terj. Munandir). Jakarta:
Rajawali bekerja sama dengan PAU-UT.
Degeng, I N. S. (1989). Ilmu pengajaran: Taksonomi variabel. Jakarta: Depdikbud.

Pengembangan Muatan Lokal Pembelajaran Budaya dalam Kurikulum .... 61


Depdikbud. (1984). Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor
0209/U/1984. Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. (1987). Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor
0412/U/1987. Jakarta: Depdikbud.
Dick, W., & Carey, L. (1985). The systematic design of instruction (2 ed.). Glenview-
Illinois: Scott, Foresman and Company.
Ibrahim, R., & Karyadi, B. (1990). Materi pokok pengembangan inovasi dan kurikulum:
Modul 1-6. Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat. (1990). Kebudayaan mentalitas dan pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Maslow, A. H. (1959). Motivation and personality. New York: Harper & Row,
Publishers.
McNeil, J. D. (1980). Curriculum: A comprehensive introduction (4 ed.). London:
Scott, Foresman and Company.
Reigeluth, C. M., & Stein, F. S. (1983). The Elaboration theory of instruction. Dalam
C. M. Reigeluth (Ed.), Instructional design–theorities and models: An overview
of their current status. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associaties.
Ruslim, H. (2020). Pembelajaran kriya anyam pada siswa kelas XI SMA Negeri
Besulutu Kabupaten Konawe (Tesis). Program Pascasarjana Universitas Halu
Oleo, Kendari.
Scott, S. E. (1978). Curriculum development in ethnic studies. Journal of Education.
5(3), 21–22.
Sumarni, T. (2020). Analisis implementasi pembelajaran muatan lokal bahasa daerah
Tolaki di Sekolah Dasar Negeri 17 Laeya Kabupaten Konawe Selatan (Tesis)
Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo, Kendari.
Suryani. (2020). Implementasi kurikulum muatan lokal tingkat sekolah dasar di
Kabupaten Konawe (Disertasi). Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo,
Kendari.

62 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya

Haerun Anna Krisis multidimensi menjadi tantangan berat bagi bangsa


Indonesia. Krisis itu menyadarkan kita betapa sistem
Jurusan Pendidikan Bahasa pendidikan yang kita lakukan selama ini belum mampu
dan Sastra Indonesia membentuk pribadi yang tangguh serta mengembangkan
FKIP Universitas Halu Oleo
pemikiran yang kreatif untuk memecahkan berbagai
nisrinahr@yahoo.co.id persoalan. Untuk mengantisipasi era globalisasi dengan
karakteristik suku dan budaya yang beragam ini diperlukan
suatu arah dan kebijakan pendidikan yang membumi
dan realistik yang dapat dilaksanakan di sekolah. Belum
siap dan memadainya pelaksanaan sistem desentralisasi
pendidikan dewasa ini disebabkan oleh kewenangan pusat
dan daerah yang belum optimal sehingga perlu penataan
sistem organisasi, manajemen, sumber daya finansial,
dan sebagainya. Tugas pendidikan adalah membantu
masyarakat menuju perubahan masyarakat Indonesia baru
yang terbuka, demokratis, dan berbudaya, meliputi (1)
pendidikan kepribadian, (2) pendidikan kewarganegaraan,
dan (3) pendidikan intelektual. Untuk itu, peran sekolah
dalam merekonstruksi masyarakat dapat berwujud dalam
berbagai tata nilai yang telah ada dalam masyarakat dengan
keunggulan lokalnya dapat didekatkan dan dikembangkan
dalam pembelajaran di sekolah dengan strategi struktural,
kultural, dan mobilitas sosial. Pentingnya pembelajaran
bahasa Indonesia konteks multikultur berkaitan dengan
(1) hakikat belajar bahasa, (2) tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia, dan (3) fungsi pembelajaran bahasa Indonesia.
kata kunci: pendidikan, multibudaya, desentralisasi, strategi.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

63
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu aspek yang mendasar dalam usaha
mempersiapkan sumber daya manusia dalam menghadapi proses dan dinamika
kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara di tengah-tengah
pluralitas. Pendidikan merupakan suatu sarana strategis untuk meningkatkan
kualitas suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa dapat ditandai dan diukur
dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak
terlepas dari kemajuan yang dimulai dan dicapai dari pendidikannya (Maksum
& Ruhendi, 2004). Untuk mengantisipasi era globalisasi dengan karakteristik
suku dan budaya yang beragam ini diperlukan suatu arah dan kebijakan
pendidikan yang membumi dan realistik untuk bisa dilaksanakan di sekolah.
Arah prioritas pendidikan harus lebih diarahkan pada pemecahan masalah-
masalah permanen pendidikan yang selama ini tak pernah terselesaikan.
Berbagai kasus yang terjadi di awal reformasi menunjukkan bahwa
masih banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Menurut Jalal dkk.
(2005), perubahan struktural belum selalu ditunjang oleh perubahan kultural
yang sesuai. Arah perubahan struktural yang terjadi adalah ditinggalkannya
model negara sebagai penentu masyarakat dan pendidikan, menuju suatu
sistem yang menempatkan negara dalam posisi yang berhubungan secara
interaktif dengan masyarakat, industri, dan pendidikan. Sementara itu, kultur
masyarakat memang tidak begitu saja dengan cepat dapat berubah menyertai
perubahan struktural yang terjadi. Sebagian masyarakat mengalami
kerancuan, bahkan kebingungan akan nilai-nilai dan norma.
Masalah krisis yang amat kompleks menjadi tantangan berat bagi
bangsa Indonesia ini menyadarkan kita betapa sistem pendidikan yang kita
lakukan selama ini belum mampu membentuk pribadi yang tangguh serta
mengembangkan pemikiran yang kreatif untuk memecahkan berbagai
persoalan. Menurut Tilaar (2006), peralihan kehidupan bermasyarakat
yang bebas, sayang sekali akhir-akhir ini berada dalam kondisi kebablasan
sehingga tidak jarang terjadi hal-hal positif yang telah tercapai sebelumnya
turut menjadi korban dari keinginan untuk membebaskan diri. Dalam masa
transisi sejak krisis ekonomi kemudian menjadi krisis multidimensional yang
dialami oleh masyarakat Indonesia, berdampak terhadap sistem pendidikan
nasional. Pendidikan dituntut dapat mempertanggungjawabkan tugas sesuai
dengan misinya kepada masyarakat yang ikut memiliki dan sekaligus harus
dan oleh pendidikan. Lemahnya kemampuan masyarakat dalam berbagai

64 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


bidang, misalnya kekurangan dalam bidang finansial, kemampuan sosial,
kultural, legal, dan kemauan politik untuk memprioritaskan pendidikan.
Sebagai sistem pendidikan nasional belum memiliki kemampuan yang cukup
untuk memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakatnya. Desentralisasi
pendidikan sudah dilaksanakan, tetapi dalam hal urusan pendidikan belum
mencapai tingkat kesiapan yang memadai. Masalahnya bukan hanya terletak
pada kewenangan pusat dan daerah, melainkan perlunya penataan sistem
organisasi, manajemen, sumber daya finansial, dan sebagainya.
Hakikat pembelajaran bahasa Indonesia adalah proses belajar
memahami dan memproduksi gagasan, perasaan, pesan, informasi, data, dan
pengetahuan untuk berbagai keperluan komunikasi keilmuan, kesastraan,
dunia pekerjaan, dan komunikasi sehari-hari, baik secara tertulis maupun
lisan. Dalam kaitannya dengan memahami dan memproduksi gagasan,
perasaan, pesan, informasi, data, dan pengetahuan untuk berbagai keperluan
tersebut, kegiatan berpikir mempunyai peranan sangat penting. Bahkan,
berpikir merupakan aktivitas sentral yang memungkinkan peserta didik
dapat memahami dan memproduksi gagasan dan lain-lain dengan baik. Oleh
karena itu, guru harus menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya
proses berpikir secara optimal. Proses berpikir optimal yang seharusnya
melekat dan terus-menerus terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia
harus disadari peserta didik dan guru dalam setiap episode pembelajaran.
Ketika guru menghadirkan sebuah teks, misalnya, isi teks itu akan dipahami
dengan baik bila peserta didik mampu dan mau berpikir (logis, kritis, dan
kreatif). Selanjutnya, peserta didik akan dapat memproduksi gagasan dan
lain-lain yang baru berdasarkan gagasan-gagasan yang ditemukan dalam
teks tersebut, bila peserta didik mampu dan mau berpikir dengan baik pula.
Realisasi kegiatan berpikir itu misalnya menghubung-hubungkan gagasan,
membandingkan gagasan, mempertentangkan gagasan, memilah-milah
gagasan, menafsirkan data, menyimpulkan hasil analisis, dan lain-lain
untuk memunculkan gagasan-gagasan baru atau aspek-aspek baru yang
akan dituangkan ke dalam tulisan atau paparan lisan dalam suatu peristiwa
berbahasa tertentu. Dengan demikian, kegiatan berbahasa dan berpikir
merupakan inti dalam pembelajaran berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia memiliki peran sentral untuk mempersatukan
bangsa dan sarana pengembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta
didik. Selain itu, penguasaan bahasa Indonesia oleh peserta didik juga akan

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya 65


menunjang keberhasilan mereka dalam mempelajari semua mata pelajaran.
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan membantu peserta
didik mengembangkan potensi pikir, rasa, dan karsa untuk mengenal dirinya,
budayanya, dan budaya orang lain, berpartisipasi dalam masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut, mengemukakan gagasan dan perasaan,
menemukan serta menggunakan kemampuan berpikir kritis, kreatif, inovatif,
dan imajinatif yang ada dalam diri peserta didik.

AKUNTABILITAS PENDIDIKAN PERSEKOLAHAN


Pendidikan mempunyai misi untuk menyiapkan manusia dan masyarakat
demokratis, religius, memiliki kemampuan untuk memahami, menghayati,
mengamalkan, dan mengembangkan secara terus-menerus nilai-nilai
budaya yang mengutamakan kemandirian dan keunggulan dalam kehidupan
bermasyarakat, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (Jalal dkk., 2001).
Dalam konsep masyarakat berbasis komunitas juga dikandung pengertian
bahwa pendidikan harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi arah
perubahan masyarakatnya, dan tugas pendidikan adalah membantu masyarakat
menuju perubahan yang diinginkan. Dalam kontes ini pendidikan diharapkan
mampu mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas sebagai tahap menuju
masyarakat Indonesia baru yang terbuka, demokratis, dan berbudaya.
Pemerintah telah melakukan berbagai usaha dalam pencerdasan anak
bangsa dengan berbagai terobosan, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah
di seluruh pelosok tanah air. Hal ini sangat menggembirakan karena diharapkan
kaum terpelajar dapat ditemukan di mana-mana. Banyaknya kaum terpelajar
menunjukkan bahwa misi pendidikan sekolah tercapai. Seperti diketahui,
misi pendidikan lembaga sekolah ada tiga, yaitu (1) pendidikan kepribadian,
(2) pendidikan kewarganegaraan, dan (3) pendidikan intelektual (Uno, 2007).
Dalam hal pendidikan kepribadian, sekolah membantu dan bekerja sama
dengan keluarga dan lembaga agama. Dalam hal pendidikan kewarganegaraan,
sekolah bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat.
Dalam hal pendidikan intelektual, sekolah melakukannya sendiri walaupun
memperoleh bantuan dari lembaga lain, sebab misi pendidikan intelektual
tersebut dilakukan secara berangkai sejak taman kanak-kanak sampai ke
perguruan tinggi.
Kegiatan pendidikan di sekolah secara makro menunjukkan bahwa
penciptaan program-program pendidikan memerlukan landasan berbagai

66 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


cabang ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Menurut Uno (2008), analisis
keilmuan interdisipliner diperlukan karena kegiatan pendidikan sebagai
objek ilmiah merupakan (a) gejala rohani, dalam arti perkembangan rohani
antara anak yang menjadi dewasa dalam konteks hubungan rohani antara
anak didik dengan pendidiknya; (b) peristiwa sosial, dalam arti merupakan
tindakan sosialisasi dari generasi tua ke generasi muda, merupakan hubungan
antarindividu, dan hubungan kelompok sosial dalam arti lokal, nasional, dan
internasional; dan (c) hubungan nilai norma, dalam arti kegiatan pendidikan
terjadi transaksi nilai atau simbolik yang asimetris dari kelompok pendidik ke
kelompok anak didik.
Pendidikan di sekolah bukanlah sekadar membuat peserta didik menjadi
sopan, taat, jujur, hormat, setia, sosial, dan sebagainya. Tidak juga bermaksud
hanya menjadikan mereka tahu ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta
mampu mengembangkannya. Mendidik adalah membantu peserta didik
dengan penuh kesadaran, baik dengan alat atau tidak, dalam kewajiban mereka
menumbuhkembangkan diri untuk meningkatkan kemampuan serta peran
dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan umat Tuhan. Mendidik
adalah upaya menciptakan situasi yang membuat peserta didik mau dan dapat
belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan
potensi-potensi lainnya secara optimal ke arah yang positif. Ini menunjukkan
bahwa pendidikan hanya dapat dilakukan dengan baik apabila dilakukan oleh
orang-orang yang profesional yang dapat menciptakan situasi yang kondusif.
Pendidikan adalah tindakan sadar dengan cara mendidik, mengajar,
dan melatih. Pada konteks yang lebih khusus, mendidik, mengajar, dan
melatih dapat dilakukan secara langsung dengan tahapan tertentu dengan
suatu struktur atau program tertentu yang biasa dikenal dengan pendidikan
berbasis pemerintah, pendidikan formal, nonformal, yang seluruh aktivitasnya
mengacu pada aturan formal, dan pendidikan berbasis masyarakat. Pada
konteks yang lebih umum, tindakan sadar dalam mendidik, mengajar, dan
melatih tidak terbatas hanya dilakukan secara langsung. Tindakan-tindakan
tersebut dilakukan secara tidak langsung dan berjalan begitu saja tanpa
ada kesengajaan, yakni anak didik berada dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan dapat juga terjadi melalui contoh-contoh, imbauan-imbauan,
atau keteladanan-keteladanan.
Pendidikan harus menentukan sikap yang pasti dalam pola ilmiah
pokoknya. Jenis apa pun pola ilmiah pokok yang ditentukan, hendaknya

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya 67


berorientasi pada pengembangan potensi kreatif siswa/mahasiswa. Potensi
kreatif hanya bisa ditumbuhkembangkan melalui koridor monodualistik:
pencerdasan spritual dan pencerdasan moral. Sasaran pencerdasan spritual
adalah membuka wawasan kehidupan sehingga bisa membentuk filsafat
hidup, sedangkan sasaran pencerdasan moral adalah menumbuhkan semangat
hidup sehingga orang tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan
hidup. Kedua koridor tersebut adalah jalan utama pendidikan menuju
pembudayaan kehidupan manusia Indonesia mendatang. Dengan demikian,
dapat dibuat suatu penilaian pendidikan sementara bahwa dunia pendidikan
kita sedang mengalami krisis; kebijakan penyelenggaraan pendidikan tidak
mampu menangkal kecerdasan global ekonomi kapitalis yang bersifat
material hedonistik, bahkan telah tercemari olehnya. Ketidakmampuannya itu
disebabkan oleh kehidupan sosial politik dan hukum yang tidak memberikan
kontribusi, namun, justru larut dalam moralitas hedonisme-materialistik
tersebut. Tanpa dukungan moralitas demokrasi yang berkeadilan, tidak
mungkin pendidikan mampu menjalankan visi dan misinya. Oleh sebab
itu, pendidikan tidak cukup hanya dipelajari secara ilmiah teoretis dengan
sasaran kecerdasan intelektual saja. Nilai-nilai hakiki pendidikan seharusnya
dipelajari secara saksama dengan sasaran kecerdasan spritual, untuk kemudian
dikembangkan di dalam kehidupan bermasyarakat dengan sasaran konkret
berupa kecerdasan emosional.

SEKOLAH SEBAGAI SARANA REKONSTRUKSI MASYARAKAT


Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berada di tengah-tengah masyarakat
hanya akan berhasil apabila ada kerja sama dan dukungan yang penuh pengertian
dari masyakat dan keluarga. Sistem sekolah terwujud dengan munculnya cara
interaksi sosial yang khas. Analisis perwujudan sekolah sebagai organisasi sosial
dicirikan oleh lima hal: (a) memiliki suatu penghuni yang tetap; (b) memiliki
struktur politik atau kebijakan umum tentang kehidupan sekolah; (c) memiliki
inti jaringan sosial; (d) mengembangkan perasaan atau semangat kebersamaan
sekolah; dan (e) memiliki suatu jenis kebudayaan atau subkebudayaan tersendiri
(Uno, 2007). Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa sekolah memiliki
peranan dalam merekonstruksi pendidikan masyarakatnya. Peran sekolah
dalam merekonstruksi masyarakat dapat berwujud dalam berbagai tata nilai
yang telah ada dalam masyarakat sebagai upaya mengembangkan kebudayaan.
Menurut Alfian (Uno, 2007), ada tujuh sistem nilai atau kebudayaan yang secara

68 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


universal dikembangkan di sekolah, yaitu (1) bahasa, (2) sistem teknologi,
(3) sistem mata pencarian hidup dan ekonomi, (4) organisasional, (5) sistem
pengetahuan, (6) religi, dan (7) kesenian.
Menurut Sihombing & Indarjo (2003), masyarakat adalah produk
lingkungan; lingkungan akan membentuk karakter masyarakatnya. Karena
pendidikan ada kaitannya dengan lingkungan tersebut, pendidikan selalu
berkaitan dengan masyarakat sehingga sesungguhnya pendidikan berada di
tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, kebermaknaan pendidikan
justru untuk masyarakat atau untuk semua. Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa lembaga pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat itu
sendiri. Lembaga pendidikan ada di masyarakat hidup bersama dengan
warga masyarakat. Antara masyarakat dan sekolah terdapat hubungan saling
membutuhkan. Masyarakat membutuhkan agar para siswa dan remaja dibina
di sekolah, sebaliknya sekolah membutuhkan agar masyarakat membantu
kelancaran proses belajar di sekolah dengan memberikan berbagai macam
fasilitas.
Menurut Pidarta (2007), sekolah tidak dibenarkan sebagai menara air,
yaitu melebur menjadi satu dengan masyarakat tanpa memberikan identitas
apa-apa. Ia juga tidak dibenarkan sebagai menara gading yang mengisolasi diri
terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan yang benar, apakah itu sekolah atau
perguruan tinggi, adalah ibarat menara penerang, yaitu berada di masyarakat
dan sekaligus memberi penerangan kepada masyarakat setempat. Lembaga
pendidikan harus tetap berakar pada masyarakat setempat, memperhatikan
ide-ide masyarakat setempat, melaksanakan aspirasi mereka, memanfaatkan
fasilitas setempat untuk belajar, dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan-
kebiasaan hidup masyarakat setempat. Sementara itu, berusaha meningkatkan
cara hidup dan kehidupan masyarakat dengan cara memberi penerangan,
menciptakan bibit unggul, menciptakan teknologi baru, dan menciptakan
suasana kondusif yang dilandasi iman dan takwa kepada Tuhannya.

PENDIDIKAN DI SEKOLAH DENGAN SISTEM DESENTRALISASI


Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagian
atau seluruhnya wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan
oleh unit atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat di bawahnya, atau
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari pemerintah kepada
masyarakat. Salah satu wujud dari desentraliasi adalah terlaksananya

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya 69


proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Ada tiga motif yang
melatarbelakangi desentralisasi pendidikan, yaitu (a) motif politik, (b) motif
pembiayaan (pendanaan), dan (c) motif efisiensi. Di sini tampak bahwa
motif desentralisasi pendidikan belum mengarah pada pemberdayaan sosial
budaya masyarakat. Selanjutnya, dikatakan oleh Zainuddin (2008) bahwa
tujuan desentralisasi pendidikan adalah (1) mengembangkan pendidikan itu
sendiri secara langsung; (2) mengembangkan sistem pelaksanaan pendidikan;
(3) mengubah sumber dan jumlah dana yang disediakan untuk pendidikan;
(4) memberikan keuntungan pada pemerintah pusat; dan (5) memberikan
keuntungan pada pemerintah daerah. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan
tidaklah mudah. Banyak hal yang menjadi rintangan dalam pelaksanaannya
Menurut Suryono (Abdurrahmansyah, 2001), ada beberapa kesulitan untuk
menjelaskan arah kebijakan otonomi di bidang pendidikan di Indonesia.
Pertama, kesulitan yang muncul karena ada dua bingkai otonomi yang
berbeda yaitu bingkai otonomi daerah dan bingkai otonomi pendidikan.
Kedua, kesulitan karena masih kurang jelasnya muatan otonomi pendidikan.
Ketiga, kesulitan pada usaha menangkap kebijakan itu sendiri (kebijakan
siapa dan pada level mana) sehingga sulit untuk ditentukan ke mana arahnya.
Ketumpangtindihan dalam menentukan kebijakan otonomi daerah dan
otonomi pendidikan ini menarik untuk dicermati sebagai acuan dalam
memformulasikan arah kebijakan dari setiap otonomi tersebut. Tidak
menutup kemungkinan, ketidakjelasan arah kebijakan itu justru menjadi batu
sandungan bagi efektivitas penerapan otonomi pendidikan.
Dalam pelaksanaan otonomi pendidikan dihadapkan pada
banyak persoalan yang ada di daerah, yaitu kemampuan daerah dalam
menyelenggarakan pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan
dana yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut, sumber
daya manusia yang belum optimal, sarana dan prasarana yang belum
memadai, dan sebagainya. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah
diamandemen, pemerintah pusat dan daerah diwajibkan menyediakan
anggaran pendidikan sebesar 20% dari anggaran pendapatan dan belanjanya.
Karena tidak semua daerah memiliki kekayaan alam dan sumber-sumber
keuangan yang memadai, tidak sedikit sekolah yang masih tinggi tarif
pendidikannya. Jika tidak, mutu pendidikan sekolah itu kurang karena
sumber keuangan yang kurang untuk membiayai kebutuhan pendidikan
di sekolah itu. Menurut Parcel (Zainuddin, 2008), ada tiga komponen

70 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


yang berhubungan dengan dentralisasi pendidikan, yaitu (a) educational
attainment, (b) social condutions, dan (c) occupational and income. Jika
kemampuan pemerintah daerah dalam pembiayaan pendidikan cukup besar,
desentralisasi pendidikan layak untuk dilaksanakan karena akan memperkuat
terhadap penyelenggaraan pendidikan. Namun, jika kemampuan daerah
dalam pembiayaan pendidikan kurang memadai, masih diperlukan adanya
intervensi dari pemerintah pusat agar pendidikan dapat berjalan dengan baik.
Dengan demikian, desentralisasi pendidikan pada akhirnya tidak sepenuhnya
dilaksanakan. Namun, jika daerah tidak mampu menyediakan sendiri biaya
pendidikan, pemerintah pusat harus menangani pendidikan itu agar dapat
berjalan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, desentralisasi pendidikan
tidak dapat dilaksanakan.
Kewenangan di bidang pendidikan bisa dirinci dari kewenangan
merumuskan atau membuat kebijakan nasional di bidang pendidikan,
melaksanakan kebijakan nasional, sampai mengevaluasi atau monitoring
kebijakan nasional tersebut. Tidak semua kewenangan tersebut dapat
didesentralisasikan. Kewenangan perumusan atau pembuatan kebijakan
nasional mengenai pendidikan yang meliputi kurikulum, persyaratan
pokok tentang jenjang pendidikan, standar kompetensi dan kompetensi
dasar, persyaratan pembukaan program studi baru, persyaratan guru/
pendidik di setiap jenjang pendidikan, dan kegiatan-kegiatan strategis lain
yang dipandang efektif dan efisien tetap menjadi kewenangan pusat dan
tetap sentralisasi, sedangkan kewenangan implementasi dilaksanakan oleh
pemerintah daerah atau masyarakat. Kebijakan yang berdimensi lokal adalah
semua hal yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah.
Kebjakan seperti ini biarkanlah rakyat daerah (baik melalui DPRD maupun
kelompok-kelompok kepentingan masyarakat lokal) dan pemerintah daerah
yang memutuskan. Memilih lokasi dan tempat berdirinya gedung sekolah,
menambah dan mengangkat guru, menentukan kurikulum lokal, dan
sebagainya diberi kewenangan kepada daerah yang menentukan. Akan tetapi,
pelaksanaannya tetap berlandaskan kebijakan, ketentuan, standardisasi, dan
ketetapan pemerintah pusat.

PENGELOLAAN PENDIDIKAN DALAM PENCERDASAN BANGSA


Penyelengaraan pendidikan nasional dilaksanakan secara terus-menerus dan
berkelanjutan, yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Pengaruh

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya 71


eksternal adalah adanya perkembangan dunia yang mengglobal yang berlaku
dalam dasawarsa ini, sedangkan pengaruh internal adalah kebudayaan dan
kehidupan masyarakat Indonesia. Hal tersebut akan berpengaruh pula pada
pembentukan watak dan kreativitas anak bangsa. Dalam kondisi seperti ini,
Ki Hajar Dewantara mengingatkan untuk menerapkan straregi Trikon dalam
pengelolaan pendidikan. Pertama, konvergen; maksudnya agar pendidikan
di Indonesia dapat berkembang dengan baik, dapat setara dengan kualitas
pendidikan di negara-negara maju maka sebaiknya ada adopsi nilai yang
dipinjam dari kebudayaan barat, meskipun demikian perlu diadakan filter
penggunaannya. Kedua, konsentris; maksudnya bahwa untuk mengembangkan
pendidikan di Indonesia, haruslah bertolak dari kebudayaan yang meng-
Indonesia, sehingga nilai-nilai luhur bangsa tetap tertanam dalam generasi
bangsa. Ketiga, kontinuitas, maksudnya bahwa pendidikan di Indonesia harus
dilakukan secara terus-menerus (Dimyati, 1989).
Strategi konvergensi tersebut paling banyak dipengaruhi oleh
pergolakan dunia yang apabila tidak diadaptasi dengan baik, dapat menjadi
ancaman terhadap kelangsungan pendidikan di Indonesia. Bila kita cermati
wacana sosial saat ini, tampaknya tiga bentuk masyarakat yaitu masyarakat,
agraris, industri, dan informasi benar-benar menjadi kenyataan. Dengan
karakteristik yang berbeda, tidak terasa model-model masyarakat itu telah
membawa konsekuensi logis tertentu manakala terjadi pergeseran dari satu
bentuk masyarakat ke bentuk masyarakat yang lain. Menurut Pidarta (2007),
pendidikan hendaknya mendahului mengadakan perubahan sehingga menjadi
contoh bagi faktor-faktor luar lainnya. Pendidikan tidak harus menyesuaikan
diri dengan pengaruh luar. Jika hal ini terjadi ia akan menjadi pengikut setia
tanpa inisiatif dan reaktif apa pun. Pendidikan akan selalu menjadi benda di
belakang terseret oleh faktor-faktor lingkungan tadi. Sebaliknya, pendidikan
tidak selalu mendahului perkembangan yang ada, sebab kemampuan
pendidikan juga terbatas. Oleh karena itu, cara yang mungkin dapat ditempuh
adalah melaksanakan kedua sistem pendekatan, yaitu sistem pendekatan
tertutup dan pendekatan terbuka. Di samping menyesuaikan terhadap
kemauan atau tekanan faktor-faktor yang ada dalam lingkungan, pendidikan
hendaknya mengadakan antisipasi terhadap arah gerak faktor-faktor luar
itu. Antisipasi ini yang akan dijadikan dasar untuk mengadakan pembaruan
dalam tubuh pendidikan itu sendiri sehingga pendidikan tampak memiliki
inisiatif dan kreasi yang bisa ditunjukkan kepada faktor-faktor luar dan

72 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


sekaligus berfungsi sebagai mercusuar terhadap lingkungannya. Pendidikan
memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi lingkungannya.

PENDIDIKAN BERBASIS LINGKUNGAN


Lingkungan merupakan hal yang sangat strategis untuk didekatkan pada anak
didik dalam pembelajaran. Pendidikan berbasis lingkungan difokuskan pada
bagaimana konsep-konsep dasar dan permasalahan hidup dapat diadopsi
oleh anak didik dalam pembelajaran.
Pendidikan berbasis lingkungan dalam implementasinya adalah
bagaimana memanfaatkan keunggulan lokal sejalan dengan kebijakan
nasional dan otonomi daerah yang bernuansa nasional dan global. Lebih jauh
dikatakan oleh Engkoswara (2007), bahwa keunggulan lokal adalah kekayaan
potensi yang dapat dikembangkan dan merupakan khasanah kehidupan yang
dewasa ini masih belum diberdayakan secara optimal bahkan tidak sedikit
yang ditinggalkan. Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah kondisi dan
kekuatan yang ada pada setiap daerah tertentu yang satu sama lain berbeda
tetapi masih dalam keutuhan nasional dan global bhinneka tunggal ika,
misalnya Jepara terkenal dengan lukisan, Sulawesi Tenggara terkenal dengan
jambu mete, dan Makassar terkenal dengan markisa. Potensi-potensi ini perlu
terus dikembangkan dan diperkenalkan dalam dunia pembelajaran di sekolah.
Mengingat negara kita yang multibudaya, hendaknya dalam pembelajaran
keunggulan-keunggulan lokal ini dapat didekatkan dan dikembangkan dalam
pembelajaran di sekolah. Dalam kaitan dengan pendidikan multibudaya ada
dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu (a) adanya dialog secara aktif dan
partisipatoris, dan (b) adanya toleransi antarsiswa, antara siswa dan guru, serta
antarguru. Toleransi ini dimaksudkan sebagai membudayakan sikap saling
menghormati, menghargai adanya perbedaan, baik perbedaan pendapat
atau ideologi yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Melalui pembelajaran
berbasis lingkungan ini diharapkan dapat terbentuk generasi yang memiliki
komitmen dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam,
sehingga kekayaan alam yang dimiliki dapat dinikmati oleh generasi masa
kini dan masa yang akan datang.

STRATEGI PENDIDIKAN MENGHADAPI PENGARUH GLOBALISASI


Pengaruh globalisasi tak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Globalisasi itu tampak seperti dalam bidang ekonomi, politik,

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya 73


kebudayaan, dan kehidupan remaja. Dalam bidang ekonomi, globalisasi ini
tecermin dari adanya (a) bantuan dana dari luar negeri, (b) penanaman modal
asing di Indonesia, (c) industri, dan perdagangan bebas, dan (d) ekonomi
moneter. Dalam bidang politik, globalisasi tecermin dengan adanya tokoh-
tokoh internasional yang sering mempermasalahkan HAM dan demokrasi.
Bidang kebudayaan yang sudah dimasuki globalisasi, di antaranya lagu-lagu
Barat dan cerita-cerita Barat yang masuk dalam berbagai media sehingga
seolah-olah tidak menghiraukan kesenian daerah atau Indonesia, dan budaya
konsumtif yang tidak puas belanja dalam negeri. Kehidupan remaja yang
sudah terpengaruh globalisasi di antaranya minum minuman keras, ikut-
ikutan menggunakan narkoba, bermain di diskotik, dan melakukan tindakan
kekerasan yang menyimpang dari kepribadian bangsa.
Tanggapan dan tindakan pendidikan terhadap kondisi masyarakat
seperti tersebut di atas perlu dilakukan secara serius. Pertama, tanggapan
terhadap kesadaran kesadaran masyarakat dan remaja terhadap pendidikan.
Kesadaran masyarakat dan remaja terhadap pendidikan cenderung positif
dan selektif. Kesadaran seperti itu tentu sudah baik, namun ada sejumlah
dari mereka yang dengan alasan tertentu bersikap positif tetapi tidak selektif.
Jalan yang ditempuh untuk membendung kelompok ini ada empat pilar, yaitu
(1) peningkatan mutu sekolah dan perguruan tinggi; (2) pemberian fasilitas
pendidikan yang memadai; (3) pengembangan kemitraan pendidikan dengan
dunia usaha dan masyarakat; dan (4) pengawasan mutu pendidikan yang
dilakukan secara konsekuen. Dengan cara demikian, pendidikan di sekolah
tidak hanya sekadar mencari ijazah, tetapi belajar untuk menjadi pandai dan
berkepribadian yang baik. Hanya mereka yang mempunyai kemampuan dapat
melanjutkan ke perguruan tinggi. Implikasi dari usaha ini adalah sekolah-
sekolah kejuruan akan lebih laku dibandingkan sekarang. Kedua, mengenai
tanggapan dan tindakan kita terhadap kebudayaan termasuk pendidikan yang
sudah dipengaruhi oleh globalisasi, sebagian besar masyarakat menekankan
pada upaya memperkuat jati diri yang bersumber pada Pancasila. Agar jati
diri kita kuat, Pancasila itu perlu lebih dioperasionalkan sehingga lebih mudah
dilaksanakan. Dengan demikian, jati diri kita menjadi bertambah kokoh.
Di samping itu, tindakan lain yang dapat mengurangi atau menghilangkan
pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan dan kehidupan para remaja
yaitu membuat pembatasan pada media masa terutama televisi yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan anak atau remaja, dan mendukung tindakan

74 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


pemerintah terhadap upaya memerangi perilaku negatif para remaja, seperti
memberantas minuman keras dan narkoba, mengurangi jumlah klub
malam, serta menangkap dan memberi hukuman terhadap yang berkelahi.
Ketiga, tanggapan dan tindakan kita terhadap kondisi masyarakat termasuk
pendidikan di masyarakat sebagai suatu tindakan yang selalu disadari oleh
pendidik, menjadi wadah proses belajar sehingga anak dapat berkembang
wajar sejak awal, membutuhkan pembenahan.
Selanjutnya, agar anak menjadi mandiri dan berkompetensi, perlu
dilakukan berbagai upaya terobosan dalam kegiatan pembelajaran. Bila
dalam belajar mereka sering dihadapkan pada masalah nyata terjadi di
masyarakat dan diberi kesempatan untuk memecahkannya, tentu tujuan itu
lama-kelamaan akan tercapai. Untuk itu, menurut Pidarta (2007), pendidikan
perlu direorganisasi sebagai berikut: (1) memasukkan materi pelajaran yang
diambil dari keadaan nyata di masyarakat atau keluarga; (2) metode belajar
yang mengaktifkan siswa, baik individual maupun kelompok; (3) beberapa
kali mengadakan survei di masyarakat tentang berbagai kebudayaan; (4) ikut
memecahkan masalah masyarakat dan keluarga; dan (5) memberi kesempatan
berinovasi atau kreatif menciptakan sesuatu yang lebih baik tentang hidup
dan kehidupan. Strategi pendidikan yang perlu dilakukan adalah strategi
lingkup nasional dan strategi lingkup global. Lingkup nasional ditandai
dengan dua fenomena yang substansial, yaitu (a) masih berlangsungnya
krisis multidimensi; dan (b) kuatnya tuntutan untuk dilakukannya reformasi
total dalam bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, dan kehidupan
beragama. Konsekuensi dari pendidikan nasional adalah bahwa pendidikan
dituntut untuk mampu membantu bangsa ini keluar dari krisis. Sementara
itu, globalisasi semakin nyata, dan gejala ini tidak lepas dari berbagai faktor, di
antaranya pesatnya perkembangan teknologi informasi, tumbuhnya berbagai
masalah kependudukan dan lingkungan, keterbatasan pemerintah dalam
memecahkan berbagai masalah nasional. Pesatnya perkembangan global
mengharuskan pendidikan menerapkan berbagai strategi yang mendasar,
misalnya (a) mutu dengan standar global supaya Indonesia bisa bersaing
secara global dengan dunia luar; dan (b) penggunaan berbagai cara belajar
dengan mendayagunakan berbagai sumber belajar.
Menurut Kuntowijoyo, dalam buku Reformasi Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah yang dikutip oleh Jalal dkk. (2001), strategi yang
perlu dilakukan dalam mengantisipasi perubahan masa depan Indonesia

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya 75


baru ada tiga. Pertama, strategi struktural untuk mengubah keterpilahan
negara dan masyarakat menuju ke suatu tahap menyatunya masyarakat
dan negara. Masyarakat politik tidak dengan sendirinya menjadi satu
dengan masyarakat madani, tanpa terjadinya perubahan struktural dalam
bentuk, misalnya pembentukan majelis perwakilan yang lebih representatif
serta pemilahan kedudukan eksekutif dan yudikatif untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih. Kedua, strategi kultural lebih menekankan
terjadinya perubahan perilaku individual dan cara berpikir. Hal ini berbeda
dengan perubahan struktural yang lebih menekankan pada perubahan
perilaku kolektif dan struktur politik. Ketiga, strategi mobilitas sosial bersifat
lebih alami, sesuai dengan perkembangan intelektualitas dan hati nurani
manusia dan masyarakatnya; hal ini sangat cocok untuk menciptakan
masyarakat etis. Pendukung masyarakat etis adalah mereka yang sekaligus
memiliki pengetahuan cukup dan iman yang mantap. Diyakini bahwa dengan
pendidikan, strategi mobilitas sosial dapat menghasilkan perubahan menunju
masyarakat etis secara lebih sadar dan tepat.
Dalam kehidupan masyarakat, jika diperhatikan secara saksama, tampak
jelas bahwa komersialisasi pendidikan berbanding lurus dengan krisis moral.
Hal ini disebabkan oleh adanya pendangkalan orientasi kependidikan sebagai
akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang material-kapitalistik. Untuk itu,
perguruan tinggi perlu memikirkan strategi yang efektif dan konkret dalam
mengatasi masalah itu. Dalam hal ini, menurut Suhartono (2008), paradigma
pendidikan perlu direkonstruksi. Konstruksi baru pendidikan dapat
dibangun berdasarkan wawasan kontekstual yang sedang berjalan dalam
kehidupan masyarakat. Persoalan yang muncul adalah apakah pendidikan
untuk teknologi dan industri atau teknologi dan industri untuk pendidikan.
Jawabnya bukan memilih salah satu, melainkan merumuskan kedua
persoalan itu ke dalam sistem simultan yang integral, dinamis, dan dialektis.
Persoalan tentang pendidikan untuk teknologi dan industri adalah wajar dan
tidak mengandung problem karena seluruh rangkaian kegiatan pendidikan
bermuara pada terciptanya teknologi dan industri. Ketika pendidikan
diselenggarakan hanya demi teknologi dan industri, berarti pendidikan
cenderung menjadi marginalisasi dan perusakan nilai hakiki pendidikan
itu sendiri. Dalam keadaan demikian, ada persoalan bahwa pendidikan bisa
kehilangan karakteristik spritualnya karena secara fungsional pendidikan
dinilai tidak ada relevansinya dengan pelipatgandaan produksi. Kekhawatiran

76 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


tersebut dapat diatasi dengan memutarbalikan perumusan masalah, yakni
menjadi teknologi dan industri untuk pendidikan. Ungkapan tersebut dapat
diartikan bahwa teknologi dan industri merupakan bukti faktual adanya
perkembangan kehidupan sosial yang sekaligus berfungsi dinamis dan
dialektis sebagai jalan menuju masyarakat terdidik.

PEMBELARAN BAHASA INDONESIA DALAM KONTEKS MULTIKULTURAL


Tujuan pengajaran bahasa dirumuskan dalam rangka mencapai fungsi
suatu bahasa. Dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia, baik dalam kedudukan sebagai bahasa nasional maupun sebagai
bahasa negara (lihat Undang-Undang No. 24 Tahun 2009), serta sastra
Indonesia sebagai hasil cipta intelektual dalam produk budaya, fungsi
mata pelajaran bahasa (dan sastra Indonesia), diarahkan sebagai (1)
sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa; (2) sarana peningkatan
pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan
budaya; (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih
dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) sarana
penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai
keperluan menyangkut berbagai masalah; (5) sarana pengembangan
penalaran; dan (6) sarana pemahaman beragam budaya Indonesia melalui
khazanah kesusasatraan Indonesia (Depdikbud, 1993/1994; Depdiknas,
2003; Depdiknas, 2006; lihat pula Kemendikbud, 2013a; Kemendikbud,
2013b; Kemendikbud, 2013)
Tujuan pengajaran bahasa Indonesia (dalam beberapa sumber sering
digunakan pembelajaran bahasa) dapat ditemukan dalam berbagai dokumen.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
—bandingkan dengan rumusan fungsi dan tujuan dalam Standar Kompetensi
Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (Depdiknas, 2003) dan bandingkan
dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar (Kemendikbud, 2013a;
Kemendikbud, 2013b; Kemendikbud, 2013c)—menyatakan pembelajaran
bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik
untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik
secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya
kesastraan insan Indonesia. Hal ini sejalan dengan hakikat belajar bahasa yang
utama adalah belajar berkomunikasi, meski ada beberapa tujuan seseorang
belajar bahasa terkait dengan fungsi pendidikan, antara lain tujuan integratif,

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya 77


instrumental, penalaran, dan kebudayaan. Pengajaran bahasa diarahkan pada
pemberian bantuan atau peluang agar peserta didik mampu mengenal dirinya,
budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan
menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada
dalam dirinya.
Pentingnya konteks multikultur dalam pembelajaran bahasa Indonesia
berkaitan dengan (1) hakikat belajar bahasa, (2) tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia, dan (3) fungsi pembelajaran bahasa Indonesia. Belajar bahasa
hakikatnya adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar
menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Pembelajaran bahasa
Indonesia bertujuan meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi
dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulis serta menimbulkan
penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia (Depdiknas, 2004).
Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
mengandung implikasi yang sangat luas. Pembelajaran bahasa Indonesia
dituntut mampu menyampaikan dan menyebarluaskan konsep-konsep
berbagai ilmu pengetahuan (bidang ilmu dasar, ilmu pengetahuan sosial,
dan ilmu pengetahuan budaya/humaniora) baik untuk keperluan lembaga
pendidikan formal maupun untuk keperluan yang lebih luas. Selain itu,
pembelajaran bahasa Indonesia juga dituntut mampu mengembangkan
konsep-konsep berbagai ilmu pengetahuan untuk mengantarkan masyarakat
dan bangsa Indonesia menuju ke arah peradaban dan kehidupan modern
sesuai dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir
(Alwi, 2002).

PENUTUP
Berdasarkan kajian teori dan pembahasan tersebut di atas, dapat dikemukakan
simpulan sebagai berikut.
1) Pendidikan multibudaya dapat dikembangkan menjadi suatu pengakuan,
penghargaan, dan keadilan terhadap suatu etnik atau bangsa.
2) Pembelajaran bahasa Indonesia dalam konteks multikultural di sekolah,
khususnya di tingkat sekolah menengah perlu dilakukan karena para
siswa hidup dalam masyarakat yang beragam. Sehubungan dengan
hal itu, pembelajaran bahasa Indonesia yang bertujuan meningkatkan
kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik

78 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


secara lisan maupun tulis serta menimbulkan penghargaan terhadap hasil
cipta manusia Indonesia, perlu mengangkat fenomena multibudaya.
3) Sekolah memiliki peranan dalam merekonstruksi pendidikan masyarakat­
nya. Peran sekolah dalam merekonstruksi masyarakat dapat dilihat
dalam berbagai tata nilai yang telah ada dalam masyarakat sebagai upaya
mengembangkan kebudayaan.
4) Penyelengaraan pendidikan nasional dilaksanakan secara terus-menerus
dan berkelanjutan, yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
5) Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan
sebagian atau seluruhnya wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya
dilakukan oleh unit atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat di bawahnya,
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari pemerintah kepada
masyarakat.
6) Untuk mengantisipasi era globalisasi dengan krakteristik suku dan budaya
yang beragam ini diperlukan suatu arah dan kebijakan pendidikan yang
membumi dan realistik untuk bisa dilaksanakan di sekolah.
7) Strategi pendidikan yang perlu dilakukan adalah strategi lingkup nasional
dan strategi lingkup global. Lingkup nasional ditandai dengan dua
fenomena yang substansial: (a) masih berlangsungnya krisis multidimensi;
dan (b) kuatnya tuntutan untuk dilakukannya reformasi total dalam bidang
ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, dan kehidupan beragama.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi dunia
pendidikan. Millah, Jurnal Studi Agama, 1(1), 55–69.
Alwi, H. (2002). Pemberdayaan bahasa Indonesia dalam menghadapi kemungkinan
timbulnya kecemburuan global. Seminar Internasional Prospek Pengembangan
Kajian Indonesia dalam Konteks Kemajemukan Budaya, 25 Juni 2002. Semarang.
Bakhtiar, A. (2007). Filsafat ilmu. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Kurikulum 2004 standar kompetensi mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sekolah menengah pertama dan madrasah
tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
Dimyati, M. (1989). Landasan pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti.
Engkoswara. (2007). Pendidikan berbasis unggul lokal. Dalam M. Ali, R. Ibrahim,
N. S. Sukmadinata, D. Sudjana, & W. Rasyidin (Eds.), Ilmu dan aplikasi
pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multibudaya 79


Jalal, F., & Supriadi, D. (2005). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah.
Jakarta: Adicita Karya Nusa.
Mohrman, S. A., & Wohlstetter, P. (1994). School-based management: Organizing for
high performance. San Francisco: Jossey-Bass Education.
Pidarta, M. (2007). Landasan kependidikan stimulus ilmu kependidikan bercorak
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Setiawan, B. (2008). Agenda pendidikan nasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Uno, H. B. (2007). Profesi kependidikan problema, solusi, dan reformasi pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Bumi Karsa.
Sihombing, & Indardjo. (2003). Pembiayaan pendidikan. t.t.: t.p
Suhartono, S. (2008). Filsafat ilmu pengetahuan persoalan eksistensi dan hakikat ilmu
pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sapardan, D. (2007). Pendidikan multibudaya. Dalam M. Ali, R. Ibrahim, N. S.
Sukmadinata, D. Sudjana, & W. Rasyidin (Eds.), Ilmu dan aplikasi pendidikan.
Bandung: Pedagogiana Press.
Tilaar, H. A. R. (2006). Standarisasi pendidikan nasional suatu tinjauan kritis. Jakarta:
Rineka Cipta.
Zainuddin, H. M. (2008). Reformasi pendidikan kritik kurikulum dan manajemen
berbasis sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

80 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Sastra antara Tuntunan dan Hiburan

La Ode Sahidin Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini membawa


pengaruh terhadap pembatasan ilmu pengetahuan.
Jurusan Pendidikan Bahasa Konsepsi mengenai sastra juga mengalami pergeseran di
dan Sastra Indonesia tengah masyarakat. Pada awalnya, fungsi karya sastra pada
FKIP Universitas Halu Oleo
umumnya dijadikan sebagai tuntunan. Namun, pada saat ini
fungsi tersebut sudah mulai terjadi perubahan, yakni menjadi
suatu hiburan. Karya-karya sastra, khususnya karya sastra
daerah memiliki ciri yang sama. Tokoh-tokoh yang melanggar
norma-norma yang ada di masyarakat di akhir cerita selalu
berakhir dengan tragis, berakhir dengan kesengsaraan,
bahkan berakhir dengan kematian. Sebaliknya, tokoh-tokoh
cerita yang selalu sabar selalu mendapat kebaikan di akhir
cerita. Cerita-cerita tersebut dapat dijadikan sebagai alat
pendidikan moral kepada manusia. Beberapa persitiwa
tragis yang dialami oleh tokoh-tokoh yang melanggar norma
serta tokoh-tokoh yang berkarakter sabar dapat dijadikan
sebagai tuntunan moral masyarakat.
kata kunci: sastra, tuntunan, hiburan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

81
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini membawa pengaruh terhadap
pembatasan ilmu pengetahuan. Semakin ke sini semakin sempit batasan ilmu
pengetahuan. Satu sisi ilmu pengetahuan semakin berkembang, di sisi lainnya
ilmu pengetahuan semakin mengerucut. Induk ilmu pengetahuan semakin
banyak menghasilkan sub-subilmu. Munculnya sub-subilmu mengarah pada
keahlian dalam sebuah kajian keilmuan tertentu.
Seseorang menekuni kajian ilmu tertentu akan menjadi ahli pada bidang
yang ditekuninya. Kita dapat melihat formasi bidang studi pada tingkat sekolah
dasar (SD) sampai perguruan tinggi. Pada jenjang SD, mata pelajaran yang ada
hanya empat bidang studi, yakni matematika, bahasa, ilmu pengatahuan alam
(IPA), dan ilmu pengetahuan sosial (IPS). Di sekolah menengah pertama (SMP)
dan sekolah menengah atas (SMA), mata pelajaran itu dikembangkan menjadi
beberapa mata pelajaran dan mulai penjurusan. Jurusan-jurusan yang ditetapkan
oleh pemerintah diharapkan siswa masuk pada jurusan sesuai dengan minat.
Pada saat penjurusan SMA, siswa yang ada di pelosok dan bahkan sebagian
siswa di kota berpendapat bahwa ilmu itu hanya tiga jurusan, yakni ilmu bahasa,
ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu pengetahuan alam. Banyak didapati siswa
yang memiliki keinginan untuk melanjutkan di perguruan tinggi mengalami
kesulitan disebabkan oleh spesifikasi ilmu yang belum dikenal oleh siswa.
Kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut juga
menimpa dunia kesusatraan. Konsepsi mengenai sastra juga mengalami
pergeseran di tengah masyarakat. Awalnya karya sastra pada umumnya
dijadikan sebagai tuntunan dan saat ini mulai terjadi perubahan ke hiburan.
Untuk itu lebih jauh perubahan ini akan dibahas pada pembahasan.

(Sumber: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/)

82 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


SASTRA SEBAGAI TUNTUNAN
Sebelum membahas lebih jauh mengenai sastra sebagai tuntunan, sebaiknya
kembali pada konsep dasar sastra secara etimilogi. Ada dua sumber acuan
sastra di Indonesia, yaitu dari bahasa Sanskerta dan bahasa Barat. Dalam
buku Teeuw (1984: 23) dijelaskan bahwa kata ‘sastra’ dalam bahasa Sanskerta
akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar,
‘memberikan petunjuk atau instruksi. Akhiran kata tra biasanya menunjukkan
alat, suasana. Maka dari itu, sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku
petunjuk, buku instruksi, dan pengajaran”. Alat yang dimaksud tidak harus
dalam bentuk tulisan. Misalnya bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara
semuanya berfungsi sebagai alat komunikasi di setiap daerah masing-masing,
walaupun bahasa itu tidak dalam bentuk tulisan. Kedua, dari bahasa-bahasa
Barat, Pradotokusumo (2001: 4) menjelaskan bahwa sastra terjemahan dari
bahasa asing, Inggris disebut literature, bahasa Jerman disebut literatur,
bahasa Prancis littérature, bahasa Belanda disebut literatuur. Semuanya itu
berasal dari bahasa Latin yakni literatura. Kata literatura ini juga sebenarnya
terjemahan dari bahasa Yunani dari kata grammatica. Kata literatura dan
grammatica masing-masing berasal dari kata littera dan gramma yang berarti
huruf atau tulisan. Dengan demikian, kata literature, literatur, littérature,
litterature berarti “segala suatu yang tertulis atau pemakaian bahasa dalam
bentuk tertulis”.
Konsep sastra tersebut berdasarkan etimologinya, sastra lama yang ada di
Indonesia mengacu pada konsep yang pertama, yakni sebagai alat penuntun.
Dalam sastra lama adanya tradisi tulis hanya dapat ditemukan setelah adanya
bangsa Eropa masuk ke Indonesia. Banyak karya sastra yang tersebar di
Indonesia yang belum ditulis sehingga karya sastra itu disebut sastra lisan. Kalau
mengacu pada konsep yang kedua, makna yang ada tidak sesuai, “tulisan lisan”
oral literature (Inggris), istilah oral literature sejauh ini belum ada, yang ada
hanyalah tradisi lisan (oral tradition). Oleh karena itu, istilah tradisi lisan dalam
karya sastra bisa diterima bila mengacu pada konsep sastra dari Sanskerta. Saat
ini, kalau kita mengarahkan jari kita pada gadget, maka kita akan disodorkan
berbagai macam definisi yang disampaikan oleh para ahli, seperti Mursal Esten,
Rene Wellek, Teeuw, dan ahli lain. Namun, pada kesempatan ini tidak perlu
membahasnya lebih jauh mengenai definisi sastra.
Berangkat dari definisi atau batasan sastra sebagaimana dipaparkan di
atas bahwa sastra itu adalah tulisan, ada baiknya mengenalkan pertama kali

Sastra Antara Tuntunan dan Hiburan 83


menulis adalah Nabi Idris a.s. Disebutkan di dalam kitab Qishashul Anbiya
karya Ibnu Katsir (seorang ahli tafsir pada abad XIV yang menafsirkan Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an dan Al-Qur’an dengan hadis) bahwa Idris a.s.—
yang pernah hidup bersama bapaknya selama 380 tahun—merupakan orang
yang pertama kali menulis. Dalam hadis Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami
r.a. dinyatakan bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya tentang penulisan
dengan kerikil, Rasulullah saw. menjawab, Idrislah yang pertama kali menulis
dengannya. Barang siapa mengikuti jejak tulisannya, maka itulah tulisannya”
(Ibnu Katsir, 2015: 92). Pada masa itu, tulisan yang ada tulisan-tulisan wahyu
sebagai tuntunan manusia. Kalaupun ada tulisan, maka tulisan itu adalah
tulisan hasil pikiran manusia yang berisi tuntunan hidup mereka.
Larangan menulis hal-hal lain selain wahyu dari Allah Swt. pada saat
hidup bersama Nabi Muhammad disampaikan oleh Rasulullah saw. Dari Abu
Sa’id Al Khudry bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah tulis riwayat
dariku, barang siapa menuslis riwayat dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia
menghapusnya.” Riwayat lain, dari Abu Hurairah bahwa ia berkata: Rasulullah
saw. keluar dan kami sedang menulis beberapa hadis, lalu beliau bertanya,
“Apa yang kalian tulis itu?” Kami menjawab, “Hadis-hadis yang kami dengar
dari Tuan.” Beliau bersabda, “Kitab selain kitabullah? Tahukah kalian, tidaklah
tersesat umat-umat sebelum kamu, kecuali kitab mereka tulis bersamaan
dengan kitab Taala (“Hadits tentang Larangan Menulis Hadits”, 2015).
Berdasarkan hadis itu, pada zaman sebelum Rasulullah saw., tulisan
selain wahyu dari Allah Swt. sudah ada. Di sini dapat dikatakan ada dua jenis
tuntunan, yaitu tuntunan yang bersumber dari wahyu yang dilakukan adalah
para nabi dan tuntunan yang bukan berasal dari wahyu. Kedua tuntunan ini
mengalami persebaran yang sama sehingga manusia mengambil dua petunjuk
ini. Di sini manusia mengambil petunjuk berdasarkan wahyu atau tidak.
Manusia sangat pandai berilustrasi dalam menjalani kehidupannya
untuk memenuhi ketenangan hidupnya. Misalnya saja, salah seorang kaum
Nabi Musa a.s. selamat dari kezaliman Firaun. Salah seorang dari mereka
bernama Samiri ingkar terhadap Nabi Musa a.s. membuat patung dari emas
yang di dalamnya berisi tanah bekas tapak kuda Malaikat Jibril a.s. Patung
buatan Samiri yang menyerupai anak sapi ini disembah oleh bani Israil (Q.
S. Thoha, 85). Kisah mengenai Samiri ini menunjukkan bahwa manusia bisa
melakukan apa yang dikehedakinya tanpa mengikuti petunjuk wahyu dari
Allah.

84 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Banyak kisah menjelaskan hal yang sama tentang pembangkangan.
Terkait dengan sastra, dalam cerita kita temukan cerita-cerita yang berkembang
di masyarakat. Cerita-cerita rakyat beragam bentuk. Cerita penekanan pada
ajaran moral sangat banyak, baik tokoh hewan maupun manusia. Cerita-
cerita yang berkembang di masyarakat di antaranya “Kura-Kura” dan “Malin
Kundang”. Kedua cerita ini sengaja diambil sebagai bentuk perwakilan cerita
fabel dan legenda.
Kedua cerita ini menjadi pengantar tidur bagi orang-orang tua dahulu.
Orang-orang tua sengaja mengangkat cerita ini saat mendampingi anak
mereka untuk dijadikan tuntunan hidup yang ditanamkan sejak dini. Dalam
cerita ini banyak nilai moral yang bisa dipetik oleh anak-anak dan harapannya
adalah dapat diamalkan oleh orang diri anak. Usia 7–11 tahun merupakan
masa yang tepat untuk menanamkan nilai kepada diri anak, usia emas bagi
orang tua untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, dan pada diri anak sendiri
akan tertanam (Piaget, 2010).
Cerita dua jenis hewan yang berbeda yakni kura-kura dan monyet
melakukan lomba lari yang secara logika sangat tidak masuk akal. Kedua
hewan ini memiliki karakter yang berbeda. Namun, di balik cerita ini, si
pencerita bukan tokoh hewan itu yang ingin ditonjolkan kepada anak-anak.
Dalam cerita ini yang ditonjolkan adalah sifat yang dimiliki oleh kedua hewan
ini. Monyet memiliki karakter yang berbeda dengan kura-kura. Monyet
memiliki sifat yang tidak terpuji, yakni licik, suka memperalat temannya
untuk kepentingan dirinya. Sebaliknya kura-kura sangat pemalu dan lamban
bergerak.
Tokoh monyet adalah hewan yang agresif berbanding terbalik dengan
tokoh kura-kura. Kura-kura sifat sangat pemalu, ketika disentuh masuk
dalam tempurungnya (rumah), jalannya pun sangat lamban. Dengan
kesombongannya, monyet mengajak kura-kura untuk lomba lari, kura-kura
pun melayani ajakan monyet. Alur-alur yang ada di dalam cerita, pencerita
atau si pembuat cerita sengaja menonjolkan keangkuhan monyet dan
mengangkat sosok makhluk yang begitu pemalu, jalannya sangat lamban
mampu mengalahkan monyet. Pada akhir cerita ini, hidup monyet berakhir
dengan tragis. Si pencerita ingin menunjukkan tuntunan hidup kepada siapa
pun yang mendengar cerita ini bahwa sekuat apa pun orang, jika bersifat
sombong dan suka meremehkan orang lain, tidak akan membawa keuntungan
bahkan akan selalu berakhir dengan tragis atau kematian.

Sastra Antara Tuntunan dan Hiburan 85


Karya-karya sastra, khususnya karya sastra daerah memiliki ciri yang
sama. Tokoh-tokoh yang melanggar norma-norma yang ada di masyarakat
pada akhir cerita selalu berakhir dengan tragis, berakhir dengan kesengsaraan,
atau bahkan berakhir dengan kematian. Cerita lain yang berakhir dengan
kematian secara tragis adalah cerita “Malin Kundang” yang berasal dari
Minangkabau. Cerita ini menjadi acuan orang tua bila menemukan anak
memperlakukan orang tuanya secara kasar. Bila melihat perilaku seperti itu,
banyak orang di sekitarnya melabelinya Malin Kundang.
Malin Kundang berasal dari keluarga miskin yang tinggal pada suatu
kampung. Berangkat dari kondisi miskin, Malin Kundang melihat ibunya
bersusah payah mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Karena merasa
kasihan, Malin Kundang pamit kepada ibunya untuk merantau dengan
menumpang pada saudagar. Di perantauan, Malin Kundang mendapatkan
kesuksesan dan menjadi orang kaya raya serta mempersunting gadis
idamannya. Di balik kesuksesannya itu, Malin Kundang lupa akan dirinya,
bahwa sebelumnya Malin Kundang adalah orang miskin dan meninggalkan
ibu dalam kondisi miskin di kampung halaman. Pada akhir cerita, Malin
Kundang menjadi orang sukses. Namun, di balik kesuksesannya itu, ia
menjadi sombong; ibunya yang miskin dan tua renta tidak diakui lagi sebagai
ibu yang melahirkannya. Akibat dari sifat sombong itu, ibu Malin Kundang
menjadi murka dan mengutuk Malin Kundang menjadi batu.
Kedua cerita dijadikan sebagai alat pendidikan moral kepada manusia.
Cerita kura-kura dan kera mengajarkan tentang keserakahan monyet, kura-
kura secara fisik tidak bernilai di mata kera, jalannya lambat dibanding dengan
kera. Sebaliknya, kera secara fisik memiliki banyak kelebihan dan pandai
memanjat pohon. Kelebihannya itu, kura-kura di mata kera tidak memberikan
manfaat. Sifat remeh terhadap kura-kura berujung pada kematian tragis pada
kera dengan memotong kemaluan sendiri.
Selanjutnya cerita mengisahkan seorang anak di masa kecilnya hidup
bersama ibunya yang secara ekonomi sangat miskin. Untuk itu, Malin
Kundang pergi mengadu nasib ke negeri orang. Di perantauan, nasib baik
berpihak kepada Malin Kundang; ia menikah dengan seorang gadis kaya raya.
Dengan kesuksesannya itu, Malin Kundang kembali ke kampung halaman
bersama istrinya. Tiba di kampung halaman, Malin Kundang disambut
dengan sosok ibu yang sudah tua renta. Sang ibu menyambut anaknya dengan
penuh kebahagiaan. Ingin rasanya ibu tua itu melepas rasa rindu kepada anak

86 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


yang telah lama meninggalkannya. Namun, anak yang dirindukan itu tidak
seperti yang diharapkan ibunya, yang ada adalah sifat kasar dan dan tidak
mengakui perempuan tua itu sebagai ibu. Dengan sikap kasarnya itu, anak
muda ini memicu kemarahan ibu dengan mengeluarkan kata kutukan kepada
Malin Kundang. Ibu tua itu mengeluarkan kutukan agar agar Malin Kundang
menjadi batu. Perlakuan kasar yang dilakukan seorang anak terhadap
ibunya menunjukkan sikap atau moral yang tidak terpuji. Cerita ini menjadi
pelajaran manusia bahwa doa ibu itu sangat mustajab. Kisah malin kundang
yang durhaka kepada ibunya menjadi petujuk bagi manusia. Tampilan kedua
tersebut perwakilan dari berbagai cerita yang berkembang di masyarakat.
Dua contoh cerita di atas merupakan jenis sastra lama, dan kedua
cerita itu dijadikan sebagai tuntunan moral masyarakat. Mungkin dalam diri
kita masing-masing mengatakan, mungkinkah cerita seperti itu dijadikan
tuntunan. Mana mungkin cerita kura-kura dan kera dapat dijadikan sebagai
tuntunan. Jawabannya adalah kita kembali pada masa lampau. Infomasi untuk
menentukan mana yang rasional dan tidak begitu sulit karena kurangnya
perbendaharaan pengetahuan. Batu yang menyerupai orang yang sujud yang
ada di Sumatra Barat masih dianggap sebagai tanda seseorang yang berbuat
kasar kepada orang tuanya. Batu yang menyerupai orang itu tetap menjadi
sejarah. Sama halnya dengan cerita fabel sampai kapan pun juga tetap
menjadi memori masyarakat bahwa orang yang tamak tidak akan memberi
keuntungan baginya.
Tokoh hewan lain dalam cerita fabel seperti tokoh kancil di Jawa dalam
cerita kancil dan buaya. Ahli folklor seperti Phllip Frick Mckean melakukan
penelitian dengan menggunakan metode difusionisme dan strukturalis
menggunakan dimensi nilai penting bagi bangsa Indonesia. Dalam kajiannya
tentang masyarakat Jawa, melalui tokoh Kancil diketahui bahwa orang Jawa
mendambakan keselarasan keadaan dan menghargai sifat cerdik yang tenang.
Dalam kondisi terdesak atau membahayakan keselamatan diminta tetap
tenang (Endaswara 2010: 12).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan sastra modern, seperti novel
atau roman, apakah karya sastra itu masih juga dapat disebut sebagai tuntunan?
Untuk menjawab itu harus dipisahkan mana sastra sebagai tuntunan, dan
mana yang hanya sekadar hiburan. Roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli
pada awal kemunculannya, sebagian masyarakat membaca novel itu dianggap
sebagai kisah nyata.

Sastra Antara Tuntunan dan Hiburan 87


Peralihan gaya pujangga dalam menghasilkan karya sastra sangat jauh
berbeda. Sastra lama, pada umumnya gaya saji pujangga menggunakan tokoh-
tokoh hewan (fabel) atau tokoh-tokoh setengah dewa, misalnya karya sastra
pada naskah Buton Hikayat Si Panjonga; tokoh-tokoh yang ada dalamnya
memiliki kekuatan magis, tokoh Waakaakaa terlahir dari Bambu. Hikayat
Si Panjonga ketika disuguhkan kepada masyarakat dan menjadi keyakinan
masyarakat kala itu. Berkembangnya cerita-cerita semacam itu menjadi bagian
dari pengakuan masyarakat terhadap kedudukan pemerintah di keraton atau
menjadi penguat legitimasi pemerintahan.
Setelah awal abad XX-an, gaya pujangga dalam menghasilkan karya
sastra berbeda dengan karya sastra sebelumnya atau sastra lama. Tokoh-
tokoh di dalamnya tidak lagi menampilkan manusia setengah dewa atau
tokoh fabel, tetapi tokoh-tokoh disuguhkan adalah tokoh manusia pada
umumnya. Gaya pujangga dalam menghasilkan karya sastra modern tersaji
dengan gaya yang berbeda. Misalnya saja Roman Sitti Nurbaya karya
Marah Rusli terbit pada tahun 1920-an disambut baik oleh masyarakat.
Keberterimaan masyarakat di samping alur cerita yang mengesankan,
juga tokoh-tokoh yang ditampilkan oleh pujangga adalah tokoh yang ada
di sekitar mereka, seperti Datuk Maringgih sosok orang kaya, nasib Sitti
Nurbaya tergadai karena orang tuanya terdera utang, dan lain-lain. Begitu
nyata alur cerita itu yang ditampilkan oleh pujangga, menggiring pembaca
merasakan dan bahkan terbawa ke dalam dunia nyata mereka. Persamaan
dunia nyata itu dapat terlihat dengan adanya makam Sitti Nurbaya, sehingga
roman Sitti Nurbaya dianggap sebagai cerita legenda (“Legenda Siti Nurbaya
di Tanah Minang”, 2012).

SASTRA SEBAGAI HIBURAN


Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, perkembangan ilmu pengetahuan
membuat dunia keilmuan semakin jelas sekat-sekatnya, seperti seorang
penguasa rumah kontrakan. Ukuran kamar atau rumah kontrakan bukan saja
dibatasi pada dapur, kamar sampai ruang tamu, tetapi halaman atau pekarangan
juga mengikuti ukuran dapurnya. Demikian juga ilmu pengetahuan, pada
awal-awal perkembangan ilmu pengetahuan tidak mengenal batasan
ilmu, sebut saja Plato dan Aristoteles. Siapa yang tidak mengenal Plato
dan Aristoteles dalam perkembangan ilmu pengetahuan, hampir seluruh
cabang ilmu mengacu pada pemikiran mereka. Menurut Hendra Gunawan

88 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


(2017), Aristoteles hidup sekitar 384–322 SM murid dari Plato dan guru dari
Aleksander Agung. Aristoteles dikenal karena karya dan pemikirannya dalam
bidang fisika, biologi, etika, politik, musik, bahasa, dan puisi. Aristoteles juga
mewariskan sistem logika yang mendasari pengambilan kesimpulan dalam
dialektika dan matematika.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan semakin jelas batasan-batasannya;
seorang ahli matematika belum tentu ahli Fisika, seorang ahli puisi belum
tentu ahli matematika, begitu seterusnya. Keahlian seseorang terhadap ilmu
tertentu tidak bisa dipaksakan untuk ahli pada bidang lain. Dengan batasan-
batasan itu, setiap kajian ilmu membuat batasan-batasan ilmu sesuai dengan
karakter ilmu itu sendiri. Kajian ilmu terkait dengan kemanusiaan disebut
ilmu humaniora, ilmu alam disebut sains, dan seterusnya. Semakin ke sini
ruang ilmu semakin mengerucut, sampai tahun 1990 ilmu itu dibagi empat,
yaitu (1) terkait dengan ilmu pengetahuan alam, gelar yang dipakai adalah
insinyur (Ir.); (2) terkait dengan ilmu-ilmu sosial, gelar yang dipakai adalah
doktorandus; (3) terkait dengan ekonomi, gelar yang dipakai adalah sarjana
ekonomi; dan (4) ilmu kesehatan, gelar yang dipakai adalah dokter.
Semakin mengerucutnya ruang-ruang ilmu pengetahuan, orang-
orang cenderung mempertahankan ilmu masing-masing. Apabila seseorang
menemukan ahli di bidang tertentu, seperti ahli di bidang sastra lalu
mengajar bidang matematika, maka orang ini dapat disebut sebagai pelacur
ilmu. Penyebutan ini dihubungkan dengan kondisi sekarang dianggap layak
karena keahlian kajian yang dimilikinya menyalahi apa yang dilakukan (salah
jalan/tersesat). Dalam kehidupan sekarang sangat tidak logis bila ahli sastra
mengajarkan bidang studi atau mata kuliah matematika, karena antara sastra
dan matematika adalah dua kajian ilmu yang berbeda.
Kondisi seperti itu juga dinikmati oleh penikmat karya sastra. Walau
karya sastra tersaji dalam dunia imajinasi, masyarakat tetap menggunakan
logikanya untuk menerima karya sastra itu. Alur cerita dan peristiwa-
peristiwa yang ditampilkan harus tersaji secara logis. Konsep yang ada pada
masyarakat pada hari ini, ketika membaca karya sastra pada umumnya hanya
sebatas leher ke atas. Artinya, sastra modern pada umumnya tidak sampai
ke dada atau menjadi sebuah keyakinan. Hal ini disebabkan oleh konsep
sastra yang disebutkan oleh Plato (Sardjono, 2001: 3), sastra hanyalah tiruan
atau gambaran dari kenyataan karena sifatnya demikian maka karya sastra
dianggap tidak berarti.

Sastra Antara Tuntunan dan Hiburan 89


KESIMPULAN
Karya sastra lama pada umumnya masyarakat masyarakat memahami tidak
hanya sebagai hiburan belaka, tetapi menjadi bagian dari keyakinan. Hal ini
dapat dilihat pada keyakinan masyarakat terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi, selalu diikuti dengan cerita. Cerita itu menjadi sebuah keyakinan dan
pada akhirnya menjadi sebuah tuntunan di masyarakat. Sebaliknya, sastra
modern pada umumnya tidak dapat dijadikan sebagai tuntunan tetapi pada
umumnya dijadikan sebagai hiburan bagi pembacanya.

RUJUKAN
Azwar, S. (2007). Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Yogyakarya: Pustaka
Pelajar.
Endaswara, S. (2010). Folklor Jawa: Macam, bentuk, dan nilainya. Jakarta: Penaku.
Gunawan, H. (2017). Siapa itu Aristoteles? https://anakbertanya.com/siapa-itu-
aristoteles/
Hadits tentang larangan menulis hadits. http://kajian-ayat-quran.blogspot.
com/2015/06/hadits-tentang-larangan-menulis-hadits.html
Katsir, I. (2015). Qishashul anbiya: Kisah para nabi (terj. M. S. Hasan). Surabaya:
Amelia.
Legenda Siti Nurbaya di tanah Minang. http://henirahma369.blogspot.com/2012/04/
legenda-siti-nurbaya-di-tanah-minang.html Novel: Sitti Nurbaya karya Marah
Rusli. https://riniintama.wordpress.com/3790-2/
Piaget, J., & Inhelder, B. (2010). Psikologi anak (terj. M. Jannah) Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pradotokusumo, P. S. (2001). Pengkajian sastra. Bandung: Wacana.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan ilmu sastra: Pengantar teori sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, R., & Warren, A. (1993). Teori kesusastraan (terj. M. Budianta). Jakarta:
Gramedia.

90 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Negara Tanpa Bahasa adalah Negara Tanpa Identitas

Sulfiah Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi. Pada


hakikatnya manusia sebagai makhluk sosial dalam
Jurusan Pendidikan Bahasa berkomunikasi antarsesama. Maka dari itu, bahasalah
dan Sastra Indonesia sebagai alat yang menghubungkan bahasa. C. M. B. Brann,
FKIP Universitas Halu Oleo
merujuk Afrika menyatakan bahwa ada empat arti berbeda
untuk bahasa nasional: (1) bahasa teritorial (ktonolek) dari
suatu masyarakat tertentu; (2) bahasa daerah koralek; (3)
bahasa umum atau masyarakat (demolek) digunakan di
sebuah negara; dan (4) Bahasa sentral (politolek) digunakan
oleh pemerintah dan mungkin memiliki nilai simbolis dan
biasa dikatakan bahasa yang resmi. Masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini yaitu negara tanpa bahasa
adalah negara tanpa identitas. Tujuan penulisan makalah ini
untuk memaparkan faktor apa saja yang terjadi jika negara
tanpa bahasa adalah negara tanpa identitas. Manfaat yang
diharapkan dalam makalah ini adalah (1) sebagai bahan
informasi dalam upaya pembinaan dan pengembangan
bahasa dalam membudayakan sikap berbahasa, dan
(2) sebagai bahan banding dan rujukan untuk makalah
selanjutnya. Hasil makalah tersebut menunjukkan negara
tanpa bahasa adalah negara tanpa identitas membahas
tentang perilaku budaya dalam berbahasa, unsur-unsur
pembentuk identitas, Unsur-unsur identitas nasional, Faktor-
faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional, dan
tujuh ciri bahasa manusia.
kata kunci: bahasa, identitas negara

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

91
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi. Pada hakikatnya manusia
sebagai makhluk sosial dalam berkomunikasi antarsesama; maka dari itu
bahasalah sebagai alat yang menghubungkan bahasa. Oleh karena itu, bahasa
bagi manusia menjadi alat primer, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia
hidup dengan berbahasa dan tanpa bahasa masyarakat tak mungkin terwujud.
David Crystal menegaskan bahwa negara tanpa bahasa adalah negara tanpa
hati. Oleh karena itu, bahasa menunjukkan bangsa, atau bahasa adalah jati
diri bangsa. Bahasa bagi manusia merupakan alat dan cara berpikir. Hal ini,
berarti manusia hanya mampu berpikir dengan bahasa. Berbagai kelengkapan
hidup manusia seperti kebudayaan, ilmu pengetahuan, serta teknologi dan
seni hanya dapat dibudidayakan dengan menggunakan bahasa.
Identitas berarti ciri-ciri, sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga
menunjukkan suatu keunikan serta membedakannya dengan hal-hal lain.
Nasional berasal dari kata nation yang memiliki arti ‘bangsa’, menunjukkan
kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat, cita-
cita, tujuan serta ideologi bersama. Jadi, identitas nasional adalah ciri-ciri
atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Sejalan dengan pendapat Wibisono (2005), identitas
nasional pada hakikatnya adalah manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa (nasional) dengan ciri-
ciri khas dan dengan yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain
dalam kehidupannya.
Bahasa nasional atau bahasa kebangsaan adalah suatu bahasa (atau varian
bahasa, contohnya dialek) yang memiliki sejenis hubungan de facto atau de jure
dengan seseorang dan mungkin melalui perluasan wilayah yang mereka duduki,
sebutan ini digunakan bermacam. Sebuah bahasa nasional bisa mewakili
identitas nasional suatu bangsa atau negara. Bahasa nasional secara alternatif
bisa merupakan sebuah penetapan yang diberikan pada suatu bahasa atau lebih
yang dituturkan sebagai bahasa pertama di wilayah sebuah negara.
C. M. B. Brann (1994), merujuk Afrika, menyatakan bahwa ada empat
arti berbeda untuk bahasa nasional: (1) bahasa teritorial (ktonolek) dari
suatu masyarakat tertentu; (2) bahasa daerah koralek; (3) bahasa umum atau
masyarakat (demolek) digunakan di sebuah negara; dan (4) bahasa sentral
(politolek) digunakan oleh pemerintah dan mungkin memiliki nilai simbolis
dan biasa dikatakan bahasa yang resmi.

92 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


PEMBAHASAN
Dalam berbahasa, manusia tidak hanya mengucapkan bunyi-bunyi bahasa
atau unit-unit bahasa secara terpisah (dicrete), akan tetapi merupakan
rangkaian atau ikatan kalimat secara berkesinambungan. Kesinambungan
tersebut ditopang oleh dua faktor utama berikut.
1) Sistem bahasa itu sendiri, artinya bahasa itu bukanlah sejumlah unsur
yang terkumpul secara tak beraturan melainkan sebaliknya. Bahasa adalah
sejumlah unsur yang beraturan yang terbentuk oleh suatu aturan atau
kaidah atau pola yang teratur dan berulang baik dalam tata bunyi, tata
bentuk kata maupun tata kalimat.
Contoh: Abdu memotong kambing
*Abdu dipotong kambing
Jadi, dari kedua kalimat di atas, yang tepat sesuai kaidah adalah “Abdu
memotong kambing”.
2) Kemampuan manusia membangun keseimbangan kalimat.
Dapat juga diberikan contoh antara bahasa Indonesia dan bahasa Asing
pada kata ‘beras’ dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-macam maknanya
yakni kata ‘beras’ apabila belum diolah maka dapat dikatakan ‘padi’, dan
apabila sudah dimasak dapat dikatakan ‘nasi’, dan apabila sudah dimasak
menjadi hancur atau lunak maka dapat dikatakan ‘bubur’, itulah ciri khas
bahasa Indonesia. Berbeda dengan bahasa asing misalnya, kata ‘beras’ dapat
dikatakan rice, walaupun sudah diolah tetap rice. Itulah keunikan bahasa
Indonesia berbeda dengan bahasa lain.
Di samping itu, untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang efisien,
efektif, dan komunikatif, setiap tuturan didukung pula oleh tata nilai, etika,
kesantunan, dan tata krama sesuai dengan budaya yang menaunginya.
Oleh karena itu, setiap masyarakat penutur bahasa tidak hanya dituntut
menggunakan kaidah-kaidah gramatikal, tetapi juga harus menguasai kaidah-
kaidah sosiokultural dan konteks pemakaian bahasa.
Sapir dan Worf (Wahab, 1995) menegaskan bahwa bahasa menentukan
perilaku budaya manusia. Ditegaskan keduanya, jika seseorang saat berbicara
menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik,
hal itu menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya,
jika seseorang memiliki pribadi yang tidak baik, meskipun ia berusaha
berbahasa secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain, pasti pada
suatu saat orang itu tidak akan mampu menutupi kepribadian buruknya

Negara Tanpa Bahasa Adalah Negara Tanpa Identitas 93


sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak
baik dan tidak santun.
Sapir & Worf menegaskan bahwa bahasa menentukan harkat, sikap,
dan perilaku seseorang. Perilaku yang dimaksudkan adalah perilaku budaya
yang mencakup tiga hal. Pertama, pengetahuan (knowledge); maksudnya
adalah bahasa memiliki simbol dan kaidah yang harus dipatuhi oleh
penuturnya. Kedua, sikap (behavior); pengguna bahasa memiliki unsur
perilaku terutama saat menyampaikan gagasan/pikiran, sikap, dan maksud.
Ketiga, hasil karya; bahasa menjadi wadah menyampaikan gagasan dan
pikiran, serta hasil pikiran yang berwujud tulisan atau ucapan dalam bentuk
karya yang bernilai.
Menurut saya, identitas nasional merupakan ciri khas dan jati diri suatu
bangsa yang harus dijaga dan dipertahankan, agar ciri khas tersebut tidak dapat
dihancurkan oleh bangsa lain dan kita harus menjadi negara sendiri sebagai
negara yang kuat. Oleh karena itu, untuk melakukan semua itu kita harus
mengetahui bagaimana kita harus bertindak sesuai dengan norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Kita tidak boleh melakukan hal-hal yang
dapat merusak identitas negara kita misalnya dari cara bertutur atau berkata,
cara berpakaian dan cara bersikap maka dari itu kita harus berpatokan pada
Pancasila, bhinneka tunggal ika, dan norma-norma yang berlaku.
Salah satu contoh bahwa bahasa bisa bersifat arbitrer (manasuka), artinya
tidak ada hubungan langsung antara lambang dengan yang dilambangkannya.
Misalnya, warna merah melambangkan keberanian dan warna putih
melambangkan kesucian. Berbeda dengan warna merah pada lampu lalu
lintas adalah lambang bahaya bagi pengemudi. Kartu merah pada permainan
sepak bola melambangkan pelanggaran berat bagi pemainnya. Semua contoh
tersebut adalah sama-sama merah, tetapi melambangkan hal yang berbeda.
Jadi, lambang merupakan tanda yang dipergunakan oleh suatu kelompok
sosial berdasarkan perjanjian dan untuk memahaminya harus dipelajari.
Kelompok sosial yang dimaksud yakni masyarakat pemakai bahasa apabila
untuk memahaminya maka dihubungkanlah dengan konteks percakapan
dalam bertutur.
Contoh lain lambang bahasa yang berwujud bunyi [sapi] dalam
bahasa Indonesia atau [cow] dalam bahasa Inggris dengan rujukannya yaitu
seekor binatang berkaki empat yang banyak dimanfaatkan manusia, tidak
ada hubungannya sama sekali. Demikian juga dengan lambang bahasa

94 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


yang berwujud bunyi [membaca] atau [reading] dengan rujukannya yaitu
salah satu kegiatan mengamati tulisan untuk memahami artinya, tidak
ada hubungan sama sekali maka dari itu dikatakan bahasa bersifat arbitrer
(manasuka).
Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk.
Kemajemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk
identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa. Suku bangsa
adalah gabungan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir),
yang sama coraknya dengan golongan unsur dan jenis kelamin. Agama
adalah suatu kepercayaan yang dianut seorang atau sekelompok orang;
orang tersebut menjalani ritual yang diajarkan oleh kepercayaannya. Bangsa
Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang
tumbuh dan berkembang di Nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik,
Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Kebudayaan adalah pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau
model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-
pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi
dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk
kelakuan) dan benda-benda kebudayaan sesuai dengan lingkungan yang
dihadapi. Bahasa merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain.
Bahasa dipahami sebagai sistem lambang yang secara dibentuk atas unsur-
unsur bunyi ucapan manusia dari yang digunakan sebagai sarana berinteraksi
antar manusia. Pengertian bahasa juga menunjuk kepada fakta bahwa untuk
memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang
mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Jadi hal ini merupakan bagian dari
pragmatik
Unsur-unsur identitas nasional dapat dirumuskan pembagiannya
menjadi tiga bagian. Pertama, identitas fundamental, contoh di Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar negara, dan
ideologi negara. Kedua, identitas instrumental yang berisi undang-undang
dan tata perubahannya. Bahasa, lambang negara, bendera negara, lagu
kebangsaan. Ketiga, identitas alamiah yang meliputi negara kepulauan
dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, serta agama dan kepercayaan
(agama).
Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional meliputi (a)
faktor objektif, dan (b) faktor subjektif. Faktor objektif yang meliputi faktor

Negara Tanpa Bahasa Adalah Negara Tanpa Identitas 95


geografis-ekologis dan demokratis. Faktor subjektif yaitu faktor historis
(sejarah), sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa.
Berikut ini tujuh ciri bahasa manusia.
1) Bahasa manusia memiliki sistem terpisah, tetapi saling terkait, baik pada
tata bunyi, tata bahasa, maupun isyarat. Maksudnya, dibentuk kalimat-
kalimat yang tidak terbatas jumlahnya yakni dari fonem, morfem, kata,
frasa, klausa, kalimat, dan wacana.
2) Bahasa manusia memungkinkan terkomunikasinya hal-hal baru. Misalnya,
satuan komunikasi yang dimiliki binatang bersifat tetap, binatang tidak
dapat menyampaikan konsep baru dengan alat komunikasinya. Kecakapan
binatang mengungkapkan isyarat melalui bunyi maupun gerak-gerik
adalah hasil latihan yang berulang. Sebagai contoh, seekor burung beo dapat
mengucapkan selamat pagi karena hasil latihan yang berulang. Burung
ini tidak dapat memperluas ucapan selamat pagi dengan pemikirannya
sendiri.
3) Manusia membedakan antara isi pesan yang dikomunikasikan dan label
yang mewakili isi pesan. Isi pesan yang dikomunikasikan dalam bahasa
manusia dapat berwujud ucapan (lisan) dan dapat berwujud tulisan.
4) Dalam komunikasi manusia bahasa lisan dapat dipertukarkan dengan
makna yang didengar. Bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia.
5) Bahasa bukan diturunkan melainkan dipelajari. Bahasa dapat digunakan
untuk menyatakan ekspresi diri sebagai alat komunikasi, sebagai alat
untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial dan sebagai alat untuk
mengadakan kontrol sosial.
6) Sesuatu yang diutarakan dapat merujuk ke masa lampau dan masa yang
akan datang. Sesuatu yang dikemukakan dengan bahasa dapat merujuk ke
waktu tertentu. Hal ini, sesuai dengan keperluan orang yang menggunakan
bahasa misalnya bunyi sinyal pintu kereta api tentu merujuk untuk waktu
saat itu juga ketika kereta akan lewat. Isyarat tidak dapat digunakan untuk
mengutarakan sesuatu yang merujuk ke masa lampau dan masa yang akan
datang.
7) Bahasa manusia dipelajari anak-anak dari orang dewasa dari generasi ke
generasi. Kecakapan berbahasa tidak mungkin datang begitu saja. Ada faktor
pendorong yang menyebabkan manusia merasa perlu mempelajarinya,
yakni faktor dorongan dari dalam dan dari luar. Pendorong dari dalam

96 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


adalah kebutuhan untuk mengemukakan perasaan, pikiran dan keinginan.
Sedangkan pendorong dari luar misalnya faktor kebutuhan akan eksistensi
diri di tengah masyarakat. Anda di tengah masyarakat yang menggunakan
bahasa yang sama dengan bahasa yang Anda gunakan pasti merasa lebih
nyaman dan lebih percaya diri.
Di samping itu, yang menjadi dasar bahwa negara tanpa bahasa adalah
negara tanpa identitas kalimat tersebut bahwa mencerminkan jati diri kita
untuk menggunakan bahasa persatuan kita yaitu bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, dapat tecermin dari perilaku budaya dari cara kita berbahasa atau
bertindak tutur, maka di dalam berbicara, baik penutur maupun peserta tutur
sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya,
penggunaan bahasanya, interpretasi-interpretasi terhadap tindakan dan
ucapan lawan tuturnya—hal ini dapat dilihat pada kajian ilmu pragmatik.
Sebagai bagian dari ilmu sosiolinguistik, sebagaimana dikemukakan oleh
Levinson (1983), pragmatik bermakna studi mengenai penggunaan bahasa
sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Ia menegaskan bahwa
pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dan konteks
yang mendasari penjelasan dan pengertian bahasa. Pengertian bahasa
berarti menunjuk kepada fakta bahwa untuk memahami pemakaian bahasa,
kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa
tersebut. Jadi pragmatik objek kajiannya adalah pada kemampuan pemakai
bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi
kalimat-kalimat itu.
Kajian bahasa dalam sudut pragmatik berarti akan memperhatikan
faktor-faktor yang mewadahi pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi dalam
kehidupan sehari-hari, yang meliputi tindak tutur, solidaritas, dan kesantunan.
Dapat juga dikatakan bahwa pragmatik adalah keterampilan menggunakan
bahasa menurut partisipan, topik pembicaraan, tujuan pembicaraan, situasi
dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu. Jadi semakin jelas bahwa
pragmatik identik dengan masalah pokok dalam sosiolinguistik, yakni siapa
yang berbicara, dengan bahasa apa, dengan siapa, kapan, dan dengan tujuan
apa.
Dilihat dari kegunaan dan fungsinya, pragmatik atau sosiolinguistik,
memiliki kegunaan yang sangat banyak dalam kehidupan praktis manusia,
sebab bahasa sebagai alat komunikasi verbal tentunya mempunyai aturan-
aturan tertentu. Dalam penggunaannya, pragmatik memberikan pengetahuan

Negara Tanpa Bahasa Adalah Negara Tanpa Identitas 97


bagaimana cara menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu.
Pragmatik akan memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi
dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus
kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu. Seorang anak dalam
keluarga tentu akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda jika
lawan bicaranya adalah ayah, ibu, kakak, atau adik. Seorang murid tentu harus
menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda pula terhadap guru,
terhadap teman sekelas, atau terhadap sesama murid yang kelasnya lebih
tinggi. Pragmatik juga akan menunjukkan bagaimana kita harus berbicara
bila kita berada di dalam masjid, di ruang perpustakaan, di taman, di pasar,
atau di lapangan sepak bola.
Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa
seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk
mengomunikasikan sesuatu kepada mitra bicaranya, dan berharap mitra
bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk
itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks,
jelas, dan mudah dipahami, padat dan singkat (concise), dan selalu pada
persoalan (straight forward) sehingga tidak menghabiskan waktu bicaranya
(Wijana, 1996).
Jika dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-
implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu
tidak ada, penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama atau
tidak bersifat kooperatif. Karena itu, dapat diasumsikan bahwa ada semacam
prinsip kerja sama yang harus dilakukan penutur kepada mitra tuturnya agar
proses komunikasi itu berjalan lancar.
Mengutip pendapat Grice & Austin, Dewa Putu Wijana (1996)
menyatakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsi-prinsip kerja sama
itu, setiap penutur harus mematuhi empat prisip kerja sama sebagai berikut.
1) Maksim kuantitas, yakni menghendaki setiap peserta pertuturan
memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan
oleh mitra tutur.
2) Maksim kualitas, yakni mewajibkan setiap setiap peserta pertuturan
mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta pertuturan hendaknya
didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila patuh pada prinsip
ini, jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa hal itu kurang
benar atau tidak benar.

98 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


3) Maksim relevansi, yakni mengharuskan setiap peserta pertuturan
memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.
4) Maksim pelaksanaan, yakni mengharuskan setiap peserta pertuturan
berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-
lebihan, serta runtut.

PENUTUP
Simpulan yang dapat dipetik dari uraian di atas bahwa negara tanpa bahasa
adalah negara tanpa identitas menggambarkan bahwa manusia tanpa bahasa
maka tidak saling mengenal antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain, dan kata dari identitas merupakan jati diri atau ciri khas seseorang
dalam berbahasa. Misalnya, antara bahasa Indonesia dan bahasa asing pada
kata ‘beras’ dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-macam maknanya yakni
bisa diartikan ‘beras’, apabila belum diolah dapat dikatakan ‘padi’, apabila sudah
dimasak dapat dikatakan ‘nasi’, dan apabila sudah dimasak menjadi hancur
atau lunak maka dapat dikatakan ‘bubur’; itulah ciri khas bahasa Indonesia.
Adapun dalam bahasa asing (Inggris) ‘beras’ dikatakan rice, walaupun sudah
diolah tetap rice. Itulah keunikan bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa
lain.

DAFTAR PUSTAKA
Austin, J. L. (1962). How to do things with words. Cambridge: Harvard University
Press.
Brann, C. M. B. (1994). The national language question: Concepts and terminology.
Logos, 14, 125–134.
Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness some universals in language usage.
Cambridge: Cambridge University Press.
Crystal, D. (1988). Cambridge encyclopedia of language. Cambridge: Cambridge
University Press.
Eelen, G. (2001). A critique of politeness theories. Manchester: St. Jeronie Publishing.
Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. Dalam P. Cole & J. L. Morgan (Eds.),
Syntax and semantics 3: Speech acts (41–58). New York: Academic Press.
Kridalaksana, H. (1982). Fungsi bahasa dan sikap bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.
Levinson, S. C. (1983). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1975). Indirect speech acts. Dalam P. Cole & J. L. Morgan (Eds.), Syntax
and semantics 3: Speech acts (59–82). New York: Academic Press.

Negara Tanpa Bahasa Adalah Negara Tanpa Identitas 99


Wahab, A. (1995). Pengajaran bahasa dan sastra. Surabaya: Airlangga University
Press.
Wibisono. (2005). Metode penelitian dan analisis data. Jakarta: Salemba Medika.
Wijana, I D. P. (1996). Dasar-dasar pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

100 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Pengembangan Keterampilan Menulis Mahasiswa
dan Tantangan Plagiarisme pada Era Milenial

Amirudin Rahim Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan apa dan bagaimana
pengembangan keterampilan menulis mahasiswa dan
Jurusan Pendidikan Bahasa tantangan plagiarisme pada era milenial. Kemudahan
dan Sastra Indonesia memperoleh sumber dan bahan tulisan pada era digital
FKIP Universitas Halu Oleo
dapat membuka pintu tindak plagiarisme pada tulisan
amirta.rahim@gmail.com yang dihasilkan oleh mahasiswa. Ini merupakan tantang
berat karena kasus-kasus yang telah terjadi merupakan
pelanggaran atas Undang-Undang Hak Cipta yang
mencoreng dunia akademik. Pengembangan komponen
pembelajaran (perkuliahan) merupakan tuntutan zaman,
meskipun penyebab terjadinya kasus plagiarisme
disebabkan oleh faktor lain yang berasar dari luar aspek
keterampilan menulis. Menjadikan pembelajaran menulis di
perguruan tinggi sebagai kelanjutan dari pembelajaran di
tingkat pendidikan dasar dan menengah dengan memutus
mata rantai terjadinya plagiarisme merupakan tawaran solusi
yang perlu dilakukan.
kata kunci: keterampilan menulis, plagiarisme

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

101
LATAR BELAKANG
Pada era milenium ketiga atau lebih dikenal dengan istilah era milenial ini,
teknologi digital telah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Salah satu
variabel penting yang ikut melejit dengan adanya teknologi digital adalah teks,
dari manual ke digital. Capaian ini memberi kemudahan kepada para penulis
untuk beralih dari piranti fisik ke piranti virtual. Buku-buku elektronik dalam
berbagai format dapat ditemukan dengan mudah di dunia maya.
Kemudahan yang disediakan oleh teknologi digital adalah melimpahnya
informasi dari mesin pencari (searching engine) seperti Google, Bing, Yahoo,
dan piranti lain. Hal ini bukan saja menyediakan kemudahan akses informasi,
melainkan juga memudahkan seseorang menyalin (copy) teks dari berbagai
sumber. Teks yang disalin untuk berbagai kebutuhan memiliki berbagai
kemungkinan ketika berada di tangan penyalin pertama dan seterusnya:
1) penyalin pertama teks menuliskan sumber teks secara jelas;
2) penyalin pertama teks tidak menuliskan sumber teks;
3) penyalin kedua teks menuliskan sumber teks dari penyalin pertama, tetapi
tidak mengetahui dengan pasti dari mana sumber penyalin pertama;
4) penyalin kedua menyalin dari dari penyalin pertama dan tidak memedulikan
asal usul sumber teks tersebut.
5) penyalin pertama, kedua, dan seterusnya sama sekali tidak peduli dengan
sumber teks yang disalinnya.
Sementara itu, tindak plagiarisme di bidang kepenulisan masih terus
terjadi. Sebagian kasus telah diproses secara hukum dan mendapat sanksi
pidana, sedangkan kasus lainnya tidak/belum dilakukan proses apa pun secara
hukum. Bahkan, di dunia akademik seperti di kampus-kampus di perguruan
tinggi pun masih dapat kita temukan tindak plagiarisme ini.
Dalam kegiatan akademik, kegiatan menulis terus dipacu untuk
ditingkatkan. Di jurusan atau program studi (pendidikan) bahasa dan sastra
disediakan mata kuliah yang khusus mengajarkan keterampilan menulis, baik
menulis ilmiah maupun menulis kreatif. Semua itu pada umumnya ditujukan
untuk kepentingan peningkatan keterampilan menulis, baik untuk penyelesaian
studi maupun untuk peningkatan kompetensi menulis mahasiswa. Pada saat
penyelesaian studi inilah para mahasiswa harus membuktikan kemampuan
dalam menulis, sejak menyusun proposal penelitian sampai penyusunan laporan
penelitian berupa skripsi. Selama proses itu, keterampilan menulis mahasiswa
diuji sebanyak dua atau tiga kali, yaitu melalui ujian seminar proposal, seminar

102 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


hasil penelitian, dan ujian skripsi. Sebelum itu, para mahasiswa juga telah
menjalani proses pembimbingan beberapa kali bersama dosen pembimbingnya.
Era digital yang menyediakan kemudahan memperoleh informasi
berupa teks, audio, atau video sering melahirkan kasus plagiarisme atau
penjiplakan yang melanggar hak cipta. Melalui lima kasus penyalinan di atas
pintu-pintu terjadinya tindak plagiarisme itu terbuka. Karena itu, tulisan ini
difokuskan untuk menjawab dua pertanyaan berikut. Pertama, apa yang perlu
dikembangkan dalam keterampilan menulis mahasiswa? Kedua, bagaimana
mengembangkan keterampilan menulis mahasiswa?

PLAGIAT, PLAGIARISME, DAN PLAGIATOR


Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa plagiat
adalah “pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya
seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, msl menerbitkan karya tulis
orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan” (Alwi, 2005: 881). Penjelasan
dalam KBBI ini sejalan dengan Heffernan dan Lincoln (dalam Tadjuddin,
2000: 5) yang mengatakan bahwa plagiat adalah perbuatan tidak jujur, yaitu
menyajikan kata-kata atau gagasan-gagasan milik orang lain seolah-olah
milik sendiri.
Biasanya, kegiatan plagiarisme ini terjadi karena jiplakan itu tanpa
identitas apa pun dari penulis yang menjadi dasar jiplakan itu. Apabila jiplakan
itu telah dilengkapi identitas, maka statusnya disebut kutipan. Tulisan itu
sendiri dikategorikan plagiat apabila kehilangan identitas aslinya dan diklaim
sebagai pendapat sendiri.
Fanany (dalam Tadjuddin, 2000: 6-10) membagi plagiat atas tiga bentuk,
yaitu (1) menjiplak kata demi kata; (2) menggunakan jalan pikiran orang lain
dalam menerangkan sebuah pokok pembicaraan; dan (3) menggunakan kata-
kata atau frasa kunci. Jiplakan bentuk pertama pada era kemajuan teknologi
komputer saat ini dapat berbentuk proses salin-tempel (copy-paste) yang
diambil dari satu tulisan atau berkas (file) tertentu dan dipindahkan ke berkas
lain dengan sangat mudah. Dukungan teknologi tersebut sepintas dapat
dimaknai sebagai “kemudahan”, tetapi hakikatnya adalah penjiplakan atau
plagiat. Peluang terjadinya plagiat sangatlah terbuka. Adapun bentuk kedua
dan ketiga ada kemungkinan akibat “terinspirasi” oleh tulisan tertentu dengan
tanpa kejujuran.

Pengembangan Keterampilan Menulis Mahasiswa .... 103


PENGEMBANGAN KETERAMPILAN MENULIS
Komponen Pengembangan
Memiliki keterampilan menulis pada era digital ini merupakan kewajiban
zaman yang tidak bisa dielakkan lagi karena teknologi digital itu berbasis teks,
suara, gambar, dan audiovisual. Realitas menunjukkan bahwa aktivitas media
sosial lewat internet menggunakan teks. Hal ini mengimplikasikan perlunya
menguasai keterampilan menulis untuk bisa berinteraksi lewat teks.
Pembelajaran menulis di tingkat pendidikan tinggi di Indonesia lebih
banyak menfokuskan diri pada aspek keterampilan. Fokus pada satu aspek
ini memang beralasan, karena sebagai suatu keterampilan berbahasa, menulis
lebih dominan aspek keterampilan (skill). Sejak perencanaan permbelajaran
sampai evaluasi pembelajaran ditujukan untuk mencapai keterampilan
menulis yang tinggi.
Pencapaian tujuan pembelajaran keterampilan menulis pada era digital
ini relatif tinggi. Ini berarti bahwa keterampilan menulis secara akademis
para mahasiswa makin menjadi lebih baik. Akan tetapi, jika ditinjau dari segi
orisinalitas gagasan atau ide penulisan, sering ditemukan adanya kelemahan
pada segi ini. Makin mudah proses salin-tempel teks, makin sering pula
ditemukan kasus penjiplakan teks dalam berbagai bentuk variasinya.
Kasus yang terjadi di kalangan mahasiswa (meskipun masih diperlukan
penelitian khusus) dalam menyusun karya tulis terdapat setidaknya dua
indikator. Pertama, ide penelitian yang dilakukan sekadar mengikut tren
penulisan skripsi yang ada. Kedua, kajian teori dan beberapa bagian lain
dalam format tulisan mahasiswa terindikasi penjiplakan. Indikator pertama
dapat ditelusuri dari lemahnya penyusunan latar belakang karya tulis dan
munculnya topik dan judul penelitian yang mirip pada saat bersamaan,
sedangkan indikator kedua dapat dilacak dari kemiripan teks antarkarya
tulis mahasiswa pada tema yang sama. Indikator pertama, pelakunya disebut
epigon, sedangkaan indikator kedua pelakunya disebut plagiator.
Trim (2016: 183) menganggap epigon lebih ringan daripada plagitor. Ia
mengatakan, “Hal ini yang paling dilarang keras dan diharamkan bagi penulis
yaitu melakukan tindakan jalan pintas dengan membajak karya-karya orang
lain, baik secara terang-terangan maupun tersamar. Ada saja kejahatan seperti
ini yang dilakukan orang-orang yang katanya berilmu, mulai mahasiswa ....”
Trim mengalami sendiri kasus plagiat atas karyanya yang berakhir dengan
permintaan maaf dari pelaku plagiat atas karyanya tersebut. Apa yang dialami

104 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


oleh Trim itu, saya pun pernah mengalaminya yang juga berujung hanya
dengan pemberian maaf kepada pelaku setelah mempertimbangkan berbagai
hal.
Terjadinya kasus plagiarisme oleh beberapa penulis karya ilmiah di
lembaga pendidikan tinggi murni masalah lain yang tidak ada hubungannya
dengan aspek keterampilan menulis. Oleh karena itu, komponen yang perlu
dikembangkan dalam pembelajaran menulis adalah aspek afektif (nilai dan
sikap) yang disebut kepribadian menulis. Menyimpulkan usulan Amirudin
(2011), ada sepuluh kepribadian menulis yang perlu ditanamkan kepada para
mahasiswa, yaitu (1) ikhlas, (2) profesional, (3) berakhlak mulia, (4) mandiri,
(5) berpikir ilmiah, (6) sistematis/teratur, (7) jujur, (8) disiplin, (9) efisien
waktu, (10) berguna. Sepuluh komponen untuk pengembangan kepribadian
menulis bagi para mahasiswa tersebut merupakan kelanjutan dari pendidikan
karakter yang diterapkan pada pendidikan dasar dan menengah.

Proses Pengembangan
Sebagai sebuah proses, keterampilan menulis mahasiswa merupakan
kelanjutan dari proses pembelajaran pada jenjang pendidikan sebelumnya,
yaitu jenjang pendidikan SMA, SMP, dan SD. Seirama dengan proses
perkembangan kepribadian peserta didik pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah, seharusnya sejak dini sudah ditanamkan karakter jujur
dan karakter-karakter lainnya yang sejenis. Hal ini juga sudah merupakan
tuntutan kurikulum seperti yang dikemukakan di atas (K-13), terutama pada
Komponen Inti (KI) 1 berupa sikap spiritual dan KI 2 berupa sikap sosial.
Hal yang jauh lebih penting adalah memutus mata rantai terjadinya
tindak plagiat, antara lain dengan tiga cara berikut: (1) dosen menjadi teladan
dalam orisinalitas dan kejujuran dalam menulis; (2) menggunakan aplikasi
teknologi untuk uji similaritas tulisan mahasiswa; dan (3) menguatkan teknik
sitasi yang benar.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama,
pembelajaran atau perkuliahan keterampilan menulis tidak cukup dengan
ditekankan pada aspek keterampilan, tetapi perlu diperkuat dasar afektifnya.
Muatan kurikulum diseimbangkan antara domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Kedua, menjadikan pembelajaran menulis sebagai kelanjutan

Pengembangan Keterampilan Menulis Mahasiswa .... 105


dari pembelajaran dari jenjang pendidikan sebelumnya dengan memutus
mata rantai terjadinya tindak plagiarisme.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, H. (2005). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional & Balai Pustaka.
Amirudin. (2011). Peningkatan keterampilan menulis argumentatif melalui model
halaqah (Studi pengembangan model pembelajaran dan kepribadian menulis
pada siswa kelas X SMA Kartika Kendari) (Disertasi). Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Tadjuddin, M. (2000). Orisinalitas gagasan dalam penulisan tesis dan disertasi.
Materi Kuliah Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Trim, B. (2016). Menulis pedia: Panduan menulis untuk mereka yang insaf menulis.
Bandung: Penerbit Nuansa.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Beserta
Penjelasannya. Bandung: Citra Umbara.

106 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Muna

La Ode Adili Memasuki era globalisasi, jumlah penutur bahasa Muna


semakin menurun. Kini sudah banyak anak-anak yang
Jurusan Pendidikan Bahasa menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu (B-
dan Sastra Indonesia 1). Kondisi seperti itu bukan hanya terjadi di perkotaan,
FKIP Universitas Halu Oleo
melainkan juga terjadi di perdesaan. Penyebab yang
laode.adili@uho.ac.id dominan adalah faktor perkawinan beda suku serta
keengganan dalam keluarga untuk menggunakan bahasa
Muna dalam berkomunikasi. Mencermati permasalahan itu,
ada gagasan agar bahasa Muna dapat dipelajari di dalam
lingkup pendidikan formal seperti pada masa berlakunya
Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2004 (KTSP). Agar bahasa
Muna dapat diajarkan di lingkungan pendidikan formal
dengan baik, perlu adanya Kurikulum Muatan Lokal Bahasa
Muna. Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa
Muna meliputi (1) perumusan KI dan KD; (2) penyusunan
silabus; (3) penyusunan bahan ajar; dan (4) penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Materi
pembelajaran bahasa Muna yang dapat dikembangkan
dalam kurikulum muatan lokal dengan memanfaatkan unsur-
unsur budaya dalam masyarakat Muna. Unsur-unsur budaya
tersebut meliputi: (1) sastra daerah Muna, (2) gaya bahasa
atau ungkapan, (3) ritual, (4) adat istiadat, (5) pengetahuan
tradisonal, (6) teknologi tradisional, (7) kesenian, (8)
permainan rakyat, (9) teka-teki, (10) cagar budaya, dan
(11) pariwisata. Pengembangan kurikulum muatan lokal
bahasa Muna perlu mendapat dukungan dari pemerintah,
terutama pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara. Dukungan tersebut dapat
berupa penyediaan peraturan daerah tentang pemberlakuan
kurikulum muatan lokal bahasa Muna. Adanya regulasi
tersebut dapat menjadi payung hukum bagi sekolah, baik
pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah, untuk
menyelenggarakan mata pelajaran Muatan Lokal Bahasa
Muna di sekolah masing-masing.
kata kunci: pengembangan, kurikulum muatan lokal,
bahasa Muna

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

107
PENDAHULUAN
Salah satu kebutuhan manusia yang paling utama adalah bahasa. Manusia tidak
dapat berkomunikasi dengan sesamanya tanpa bahasa. Manusia dapat beradaptasi
dengan orang lain karena adanya bahasa. Manusia juga dapat mengekspresikan
kemampuan yang ada dalam dirinya. Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa
dapat dibentuk, dibina, dan dikembangkan serta diwariskan kepada generasi
berikutnya. Dengan demikian, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat penuturnya.
Pada umumnya, bahasa daerah merupakan bahasa ibu, terutama anak
yang dilahirkan dari orang tua yang bahasa ibunya sama. Keberadaan bahasa
daerah merupakan sarana atau media untuk menurunkan peradaban manusia
dari masa lalu. Kepunahan suatu bahasa daerah akan menyebabkan hilangnya
peradaban yang luhur dari masyarakat pemilik bahasa itu.
Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun
oleh penuturnya. Bahasa daerah memiliki tiga fungsi, yakni (1) pembentuk
kepribadian suku bangsa; (2) peneguh jati diri kedaerahan; dan (3) sarana
pengungkapan serta pengembangan sastra dan budaya daerah dalam bingkai
keindonesiaan. Berdasarkan fungsi bahasa daerah tersebut, dapat dipahami
bahwa melalui penguasaan bahasa daerah yang baik dapat membentuk
kepribadian yang baik pula. Melalui penguasaan bahasa daerah yang baik
pula akan memperkuat identitas kedaerahan. Selanjutnya, melalui bahasa
daerah pula, sastra dan budaya daerah dapat diungkapkan dan dikembangkan
dengan baik oleh masyarakat pemilik bahasa daerah itu.
Kondisi penutur bahasa daerah, khususnya bahasa Muna saat ini sudah
memprihatinkan. Memasuki era globalisasi, jumlah penutur bahasa Muna
semakin menurun. Hal itu dapat dilihat pada kalangan anak-anak dan remaja
di perkotaan. Bahkan di perdesaan pun, sudah banyak ditemukan anak-anak
dan remaja yang enggan menggunakan bahasa Muna dalam berkomunikasi di
masyarakat. Mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi sehari-hari. Bahkan, di kalangan rumah tangga, sudah banyak
anak-anak yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu (B-1).
Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewajiban
untuk mengembangkan, membina, dan melindungi keberadaan bahasa
daerah. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2009 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan. Dalam Pasal 42 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib

108 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar
tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat
sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari
kekayaan budaya Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 kembali dipertegas
tentang upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan
sastra daerah. Dalam Pasal 12 ayat 2 disebutkan bahwa salah satu bentuk
pengembangan bahasa daerah adalah penyusunan bahan ajar bahasa daerah.
Bahan ajar bahasa daerah merupakan salah satu perangkat kurikulum muatan
lokal. Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat 2 disebutkan bahwa pembinaan
bahasa daerah dapat dilakukan melalui pengajaran bahasa daerah di wilayah
masing-masing pada pendidikan dasar dan menengah. Dilanjutkan pada ayat
3, bahwa bahasa daerah yang diajarkan adalah (a) bahasa asli daerah yang
bersangkutan, dan/atau (b) bahasa daerah dari daerah lain yang penuturnya
lebih banyak di wilayah tersebut.
Sejak berlakunya Kurikulum 1994, pembelajaran bahasa Muna dan
bahasa daerah lain di Sulawesi Tenggara berjalan dengan baik. Bahasa
daerah diajarkan pada pendidikan formal mulai jenjang pendidikan dasar
hingga pendidikan menengah. Demikian pula dalam kurikulum 2004/KTSP,
pembelajaran muatan lokal bahasa daerah berkembang dengan baik. Justru
pada masa KTSP ini, mata pelajaran muatan lokal bahasa daerah tercantum
secara eksplisit dalam kerangka kurikulum dasar.
Pembelajaran muatan lokal bahasa Muna dan bahasa daerah lain pada
pendidikan formal di Sulawesi Tenggara mengalami kemunduran setelah
berlakunya Kurikulum 2013. Mata pelajaran muatan lokal di dalam kerangka
Kurikulum 2013 kembali dihilangkan. Bahkan, regulasi dari pemerintah daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara yang mengatur tentang muatan lokal hingga saat
ini belum ada. Hal ini sangat berbeda dengan daerah Jawa, Sunda, Bali, dan
daerah lain. Daerah-daerah tersebut sangat sigap dalam upaya pembelajaran
muatan lokal bahasa daerah dalam pendidikan formal setelah berlakunya
Kurikulum 2013. Ketika berlaku Kurikulum 2013, daerah-daerah itu segera
menyusun peraturan daerah dan perangkat kurikulum pembelajaran muatan
lokal bahasa daerah.
Walaupun pembelajaran muatan lokal bahasa daerah tidak
dicantumkan secara eksplisit dalam struktur Kurikulum 2013, pemerintah
telah mengeluarkan peraturan tentang pembelajaran muatan lokal. Peraturan

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Muna 109


itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
79 tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Pada Pasal 4 ayat 1
disebutkan bahwa muatan lokal antara lain dapat berupa bahasa daerah.
Dijelaskan bahwa muatan lokal dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran
kelompok B, yakni mata pelajaran seni budaya, prakarya, dan atau penjaskes.
Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa apabila proses pengintegrasian tersebut
tidak dapat dilakukan, muatan pembelajaran terkait muatan lokal dapat
dijadikan mata pelajaran yang berdiri sendiri. Pada Pasal 5 dijelaskan bahwa
muatan lokal harus dirumuskan dalam bentuk kurikulum yang meliputi
kompetensi dasar, silabus, dan buku teks pelajaran atau bahan ajar.
Dapat dikemukakan bahwa keberadaan mata pelajaran muatan lokal
bahasa daerah, termasuk bahasa daerah Muna, perlu mendapat perhatian
serius. Pembelajaran bahasa daerah di sekolah adalah salah satu upaya untuk
mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa daerah agar terhindar
dari kepunahan. Untuk memudahkan pelaksanaan pembelajaran muatan
lokal bahasa daerah di sekolah, maka perlu dikembangkan dalam bentuk
kurikulum muatan lokal bahasa daerah.

KURIKULUM MUATAN LOKAL


Keberadaan suatu kurikulum dalam suatu sistem pendidikan memegang
peranan yang sangat penting. Depdiknas (2006) menyebutkan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Definisi kurikulum di atas mengandung pengertian bahwa sebuah
kurikulum memuat substansi perencanaan sebagai pedoman penyelenggaraan
pembelajaran pada satuan pendidikan. Perencanaan tersebut dimaksudkan
untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Kemdikbud (2014) menjelaskan bahwa muatan lokal adalah bahan kajian
atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses
pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa muatan lokal merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan
pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan
keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta
didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah tempat tinggalnya. Muatan
lokal bahasa Muna diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan

110 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk (a) mengenal
dan mencintai bahasa Muna; dan (b) melestarikan dan mengembangkan
bahasa Muna sebagai bentuk kearifan daerah yang berguna bagi diri dan
lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Mulyasa (2009) menjelaskan bahwa kurikulum muatan lokal adalah
kegiatan kurikuler yang mengembangkan kompetensi yang disesuaikan
dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Hal
itu sejalan dengan Kurikulum 2013, yakni mata pelajaran muatan lokal bahasa
Muna tidak dicantumkan secara eksplisit dalam struktur mata pelajaran.

KONSEP PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL


Kemdikbud (2016) menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum muatan
lokal harus memenuhi beberapa prinsip, yakni sebagai berikut.
1) Keselarasan. Dokumen kompetensi inti (KI)-kompetensi dasar (KD),
silabus, pedoman mata pelajaran, buku teks pelajaran, pembelajaran, dan
penilaian hasil belajar harus selaras dari aspek kompetensi dan lingkup
materi.
2) Mudah dipelajari. Lingkup kompetensi dan materi yang dirumuskan
dalam KD mudah dipelajari oleh peserta didik sesuai dengan tingkat
perkembangan psikologis dan aspek pedagogis.
3) Mudah diajarkan. Lingkup kompetensi dan materi yang dirumuskan pada
KD mudah diajarkan oleh guru sesuai dengan gaya belajar peserta didik,
karakteristik mata pelajaran, karakteristik kompetensi, dan sumber belajar
yang ada di lingkungan.
4) Terukur. Kompetensi dan materi yang diajarkan terukur melalui indikator
yang mudah dirumuskan dan layak dilaksanakan.
5) Bermakna untuk dipelajari. Kompetensi dan materi yang diajarkan
mempunyai kebermaknaan bagi peserta didik sebagai bekal kehidupan.

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL BAHASA MUNA


Landasan Filosofi
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas
peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi kurikulum, proses
pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, serta hubungan
peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya.

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Muna 111


Kurikulum muatan lokal bahasa Muna dikembangkan dengan landasan
filosofis yang memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta
didik menjadi manusia Indonesia berkualitas sebagaimana tercantum dalam
rumusan tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum muatan lokal bahasa Muna dikembangkan menggunakan
filosofi sebagai berikut. Pertama, pendidikan berakar pada budaya bangsa
untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang.
Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta
didik, kurikulum muatan lokal bahasa Muna mengembangkan kemampuan
peserta didik sebagai pewaris budaya bangsa dan orang yang peduli terhadap
permasalahan masyarakat dan bangsa masa kini. Kedua, peserta didik adalah
pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut pandangan filosofi ini, prestasi
bangsa di berbagai bidang kehidupan pada masa lampau adalah sesuatu yang
harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Ketiga,
pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan
kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini
mewajibkan kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama dengan
nama disiplin ilmu, selalu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
intelektual dan kecemerlangan akademik.
Dengan demikian, kurikulum muatan lokal bahasa Muna mengguna­
kan filosofi sebagaimana di atas guna mengembangkan kehidupan individu
peserta didik dalam beragama, seni, kreativitas, berkomunikasi, nilai, dan
berbagai dimensi inteligensi yang sesuai dengan diri peserta didik dan
diperlukan masyarakat, bangsa, dan umat manusia.

Landasan Teoretis
Kurikulum muatan lokal bahasa Muna dikembangkan atas teori “pendidikan
berdasarkan standar” dan teori kurikulum berbasis kompetensi. Pendidikan
berdasarkan standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas
minimal warga negara yang dirinci menjadi standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian pendidikan.
Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan
pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan
kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan, berketerampilan, dan bertindak.

112 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Karenanya, rancangan pembelajaran dalam kurikulum muatan lokal bahasa
Muna harus mencakup aspek sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan
keterampilan. Aspek sikap diajarkan dalam bentuk secara tidak langsung.
Pembelajarannya dalam bentuk pembiasaan atau keteladanan. Selanjutnya,
aspek pengetahuan dan keterampilan diajarkan secara langsung melalui tugas,
proyek, atau pembelajaran dalam kelas.

Landasan Psikologis
Salah satu muatan kurikulum adalah materi yang akan dipelajari oleh peserta
didik. Oleh karena itu, pengembangan materi kurikulum muatan lokal bahasa
Muna harus didasarkan pada aspek perkembangan psikologis peserta didik.
Hal itu memberi isyarat bahwa susunan materi dalam kurikulum muatan
lokal bahasa Muna harus didasarkan pada tingkat perkembangan psikologi
peserta didik sebagai pembelajar.
Landasan psikologis sangat penting diperhatikan dalam pengembangan
kurikulum muatan lokal bahasa Muna. Tingkat kesulitan materi dalam suatu
kurikulum akan menyebabkan tingkat persepsi peserta didik terhadap materi
pelajaran tersebut. Menurut Piaget (dalam Dahar, 2011), setiap individu
mengalami tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut.
1) Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun). Menurut Piaget, bayi lahir dengan
sejumlah refleks bawaan selain dorongan untuk mengeksplorasi dunianya.
Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut.
2) Periode praoperasional (usia 2–7 tahun). Pemikiran (pra-)operasi dalam
teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap
objek-objek. Ciri tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara
logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya
masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang
orang lain. Anak dapat mengklasifikasi objek menggunakan satu ciri,
seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-
beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-
beda. Tahapan praoperasional mengikuti tahapan sensorimotor dan
muncul antara usia 2–7 tahun. Dalam tahapan ini anak mengembangkan
keterampilan berbahasanya.
3) Periode operasional konkret (usia 7–11 tahun). Pada tahap ini, pada
umumnya anak-anak berada pada usia sekolah dasar. Pada tahap ini,

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Muna 113


seorang anak mulai dapat menggambarkan secara menyeluruh ingatan,
pengalaman dan objek yang dialami. Anak-anak melakukan adaptasi
dengan lingkungan disatukan dengan gambaran akan lingkungan itu.
Anak pada tahap ini mulai dapat melihat suatu objek atau persoalan
secara sedikit menyeluruh dengan melihat apek-aspeknya. Ia tidak hanya
memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat bersama-sama mengamati
titik-titik yang lain dalam satu waktu yang bersamaan.
4) Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa). Pada fase ini
anak-anak berada pada masa sekolah di SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dan
seterusnya. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari
informasi yang tersedia. Sifat pokok tahap operasi formal adalah pemikiran
deduktif hipotesis, induktif saintifik, dan abstrak reflektif.
Beberapa tahap perkembangan yang dijelaskan di atas tentu akan
menjadi landasan dalam pengembangan kurikulum muatan lokal bahasa
Muna. Pengembang kurikulum harus dapat memastikan bahwa konteks materi
pelajaran bahasa Muna harus sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis
peserta didik. Hal itu dimaksudkan agar kurikulum yang dikembangkan
dapat digunakan secara efektif dan efisien oleh para guru muatan lokal.

Landasan Yuridis
Landasan yuridis kurikulum muatan lokal bahasa Muna sebagai berikut.
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3) Undang-Undang No. 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional, beserta segala ketentuan yang dituangkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
4) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
5) Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57 Tahun 2014 tentang
Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta
Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.

114 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


7) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 79 Tahun 2014 tentang
Muatan Lokal Kurikulum 2013.
8) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2016 tentang
Standar Kompetensi Lulusan.
9) Peraturan Daerah Kabupaten Muna No. 12 Tahun 2012 tentang Pedoman
dan Penyelenggaraan Pendidikan.

PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL BAHASA MUNA


Pengembangan kurikulum muatan lokal bahasa Muna meliputi empat hal: (1)
perumusan KI dan KD; (2) penyusunan silabus; (3) penyusunan bahan ajar;
dan (4) penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Mulok Bahasa Muna
Tujuan kurikulum mencakup empat kompetensi, yaitu (1) kompetensi sikap
spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Kompetensi
tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan/
atau ekstrakurikuler. Rumusan kompetensi inti (KI) mata pelajaran muatan
lokal bahasa Muna mengadapatasi rumusan KI dalam Kurikulum 2013.
Kompetensi inti muatan lokal bahasa Muna meliputi kompetensi sikap
spiritual (KI 1), kompetensi sikap sosial (KI 2), kompetensi pengetahuan (KI
3), dan kompetensi keterampilan (KI 4). Rumusan kompetensi sikap spiritual
(KI 1), yakni menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
Selanjutnya, rumusan kompetensi sikap sosial (KI 2), yaitu menunjukkan
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri
dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru. Kedua kompetensi
tersebut dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching),
yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan
karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik.
Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang
proses pembelajaran berlangsung dan dapat digunakan sebagai pertimbangan
guru dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih lanjut.
Rumusan kompetensi pengetahuan (KI 3) adalah memahami
pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat, membaca)
dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan
Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan
di sekolah. Selanjutnya, rumusan kompetensi keterampilan (KI 4), yakni

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Muna 115


menyajikan pengetahuan factual dalam bahasa yang jelas dan logis dalam
karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam
tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.
Priyatni (2014) menjelaskan bahwa kompetensi dasar adalah kompetensi
setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari kompetensi inti.
Berdasarkan pendapat itu, kompetensi dasar dalam mata pelajaran muatan
lokal bahasa Muna adalah kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik
pada mata belajaran bahasa Muna pada jenjang kelas tertentu, baik pendidikan
dasar maupun pendidikan menengah.
Penguatan materi pelajaran muatan lokal bahasa Muna dalam
kompetensi dasar (KD) dirumuskan dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut. Pertama, pembelajaran tentang penggunaan bahasa Muna, baik
pada materi kebahasaan maupun nonkebahasaan, disajikan dalam konteks
yang sesuai dengan kaidah pemakaian bahasa Muna. Kedua, pemanfaatan
unsur-unsur kebudayaan Muna sebagai sumber belajar meliputi hal-hal
berikut: (a) sastra daerah Muna (kapu-kapuuna, kabhanti, mantra kabhasi,
kantola, dan lain-lain), (b) gaya bahasa atau ungkapan (falia, katangari), (c)
ritus (katoba, karia, kampua, kaghotino buku, kaghotino isa, dan lain-lain),
(d) adat istiadat (proses perkawinan), (e) pengetahuan tradisional (tenunan,
obat-obatan, makanan dan minuman, dan lain-lain), (f) teknologi tradisional
(mooru, demina, dan lain-lain), (g) kesenian (linda, gambusu, ruruunte, dan
lain-lain), (h) permainan rakyat (poase, pokadudi, pobunsu, pamanu, poengko,
poelo, pofotu, pokalego, dan lain-lain), (i) teka-teki (wata-wataangke), (j) cagar
budaya, dan (k) pariwisata, mata air, dan sebagainya.
Pemanfaatan unsur-unsur kebudayaan Muna sebagai sumber belajar
dimaksudkan agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat membentuk
wawasan, pengetahuan, dan kepribadian yang terpuji bagi peserta didik.
Selain itu, pemanfaatan berbagai jenis budaya Muna sebagai bahan
materi pembelajaran muatan lokal bahasa Muna juga dimaksudkan untuk
memperkuat jati diri peserta didik sehingga dapat menangkal pengaruh
negatif dari perkembangan revolusi industri (4,0) yang semakin pesat.

Silabus
Menurut Majid (2008), silabus adalah ancangan pembelajaran yang berisi
rencana bahan ajar mata pelajaran tertentu pada jenjang dan kelas tertentu,
sebagai hasil dari seleksi, pengelompokkan, pengurutan, dan penyajian

116 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


materi kurikulum yang dipertimabngkan berdasarkan ciri dan kebutuhan
daerah tertentu. Selanjutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(2016) menyebutkan bahwa silabus merupakan acuan penyusunan kerangka
pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. Dijelaskan lebih
lanjut bahwa silabus paling sedikit memuat sepuluh aspek berikut ini.
a) Identitas mata pelajaran.
b) Identitas sekolah, meliputi nama satuan pendidikan dan kelas.
c) Kompetensi inti, merupakan gambaran secara kategorial mengenai
kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata
pelajaran.
d) Kompetensi dasar, merupakan kemampuan spesifik yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang terkait muatan atau mata pelajaran.
e) Tema (khusus SD/MI/SDLB/Paket A).
f) Materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan,
dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator
pencapaian kompetensi.
g) Pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dan peserta
didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.
h) Penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
i) Alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur
kurikulum untuk satu semester atau satu tahun.
j) Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam
sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan.
Silabus digunakan sebagai acuan dalam pengembangan rencana
pelaksanaan pembelajaran.

Bahan Ajar
Iskandarwassid (2016) mengemukakan bahwa secara umum, bahan ajar
dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu fakta, konsep, prinsip, dan
keterampilan. Dijelaskan, fakta merupakan sifat suatu gejala, peristiwa, benda
yang nyata atau wujudnya dapat dilihat atau dirasa oleh indra. Fakta dapat
dipelajari melalui informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau kalimat,
istilah, atau pernyataan. Konsep atau pengertian merupakan serangkaian
perangsang yang mempunyai sifat-sifat yang sama. Prinsip adalah hubungan

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Muna 117


fungsional dari beberapa konsep. Selanjutnya, keterampilan merupakan suatu
pola kegiatan yang bertujuan dan memerlukan peniruan serta koordinasi
informasi yang dipelajari.
Majid (2008) mengemukakan bahwa bahan ajar adalah seperangkat
materi yang disusun secara sistematis sehingga tercipta lingkungan/suasana
yang memungkinkan peserta didik belajar dengan baik. Sejalan dengan itu,
Yaumi (2014) memberi batasan tentang bahan ajar, yaitu seperangkat bahan
pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk kebutuhan pembelajaran
yang bersumber dari bahan cetak, alat bantu visual, audio, video, multimedia,
dan animasi, serta komputer dan jaringan. Sebuah bahan ajar yang baik
paling tidak mencakup beberapa komponen, antara lain (1) petunjuk belajar
(petunjuk peserta didik/guru), (2) kompetensi yang akan dicapai, (3) informasi
pendukung, (4) latihan-latihan, (5) petunjuk kerja, dapat berupa lembar kerja
(LK), dan (6) evaluasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa bahan ajar
muatan lokal bahasa Muna adalah rangkaian materi pembelajaran bahasa
Muna yang disusun secara sistematis sebagai pedoman peserta didik/guru
dalam melalukan interaksi pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Komponen bahan ajar muatan lokal bahasa Muna mencakup
komponen seperti yang dikemukakan oleh Yaumi di atas.

Rencana Pembelajaran
Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan
pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih (Kemdikbud,
2016). Lebih lanjut dijelaskan bahwa RPP dikembangkan dari silabus untuk
mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai
kompetensi dasar (KD). Setiap pendidik pada satuan pendidikan berkewajiban
menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. RPP disusun berdasarkan
KD atau subtema yang dilaksanakan kali pertemuan atau lebih.
RPP terdiri atas dua belas komponen: (a) identitas sekolah yaitu nama
satuan pendidikan; (b) identitas mata pelajaran atau tema/subtema; (c) kelas/
semester; (d) materi pokok; (e) alokasi waktu ditentukan sesuai dengan

118 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan
jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus
dicapai; (f) tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD, dengan
menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan; (g) kompetensi dasar dan
indikator pencapaian kompetensi; (h) materi pembelajaran, memuat fakta,
konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-
butir sesuai dengan rumusan indikator ketercapaian kompetensi; (i) metode
pembelajaran, digunakan oleh pendidik untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai KD yang disesuaikan
dengan karakteristik peserta didik dan KD yang akan dicapai; (j) media
pembelajaran, berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan
materi pelajaran; (k) sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan
elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan; (l) langkah-
langkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan
penutup; dan (m) penilaian hasil pembelajaran.

PENUTUP
Pembelajaran bahasa Muna diarahkan untuk dua hal: (1) menyesuaikan
keberadaan bahasa dan sastra Muna sebagai unsur kebudayaan Muna untuk
mewujudkan keadaan masyarakat yang lebih berbudaya; dan (2) menggali
nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa dan sastra Muna sebagai bahan
masukan untuk pembangunan karakter dan ketahanan budaya nasional.
Strategi kebijakan terhadap pelindungan, pembinaan, dan pengembangan
bahasa dan sastra Muna dilaksanakan melalui upaya di lingkungan pendidikan
formal, meliputi (1) menyusun dan menyempurnakan kurikulum muatan
lokal bahasa dan sastra Muna sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
masyarakat; (2) menyediakan dan mengangkat guru mulok bahasa Muna yang
profesional sesuai dengan strata pendidikannya; (3) meningkatkan kualitas
guru mulok bahasa Muna yang profesional melalui pendidikan dan pelatihan;
(4) menyediakan bahan ajar, buku pelajaran, buku bacaan sastra daerah Muna,
dan media pembelajaran bahasa Muna; (5) meningkatkan kegiatan apresiasi
dan kompetisi mengenai penulisan dan penggunaan bahasa dan sastra Muna;
(6) melakukan kegiatan penelitian dan pengajian terhadap bahasa dan sastra
Muna; dan (7) meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap kegiatan
literasi bahasa dan sastra Muna yang memiliki nilai-nilai unggul.

Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Muna 119


REKOMENDASI
Beberapa rekomendasi dari makalah ini adalah sebagai berikut. Pertama,
dalam upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat merevisi Kurikulum 2013
dengan memasukkan muatan lokal bahasa daerah sebagai mata pelajaran
dalam struktur kurikulum nasional. Kedua, pemerintah kabupaten/kota dapat
bersinergi dengan Pemda Provinsi Sulawesi Tenggara agar menghasilkan
peraturan daerah yang mengatur tentang pemberlakuan kurikulum muatan
lokal bahasa daerah (Muna) sebagai mata pelajaran pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah. Ketiga, Universitas Halu Oleo dapat membuka jurusan
bahasa daerah sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah dan wujud
penguatan pengembangan bahasa daerah, terutama di Sulawesi Tenggara.
Keempat, pemerintah daerah dapat memfasilitasi upaya pengembangan bahan
ajar sehingga dapat digunakan dalam kurikulum muatan lokal bahasa daerah.

DAFTAR PUSTAKA
Dahar, R. W. (2011). Teori-teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Depdiknas. (2006). Model mata pelajaran muatan lokal SD/MI/SDLB-SMP/MTs/
SMPLB–SMA/MA/SMALB/SMK. Jakarta: Depdiknas.
Iskandarwassid & Sunendar, D. (2016). Strategi pembelajaran bahasa. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Kemdikbud. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 79 Tahun
2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud. (2016). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:
Kemdikbud.
Kemdikbud. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun
2016 tentang Standar Proses. Jakarta: Kemdikbud.
Kemdikbud. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun
2016 tentang KI dan KD. Jakarta: Kemdikbud.
Majid, A. (2008). Perencanaan pembelajaran: Mengembangkan standar kompetensi
guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2009). Implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan, kemandirian
guru dan kepala sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Priyatni, E. T. (2014). Desain pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013.
Jakarta: Bumi Aksara.
Yaumi, M. (2014). Prinsip-prinsip desain pembelajaran (Disesuaikan dengan
kurikulum 2013). Jakarta: Kencana.

120 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Perkembangan Sastra Indonesia
pada Era New Normal Covid-19

Sumiman Udu Perkembangan sastra pada era new normal pascapandemi


covid-19 memiliki dinamika yang bisa jadi salah satu
Jurusan Pendidikan Bahasa kekuatan dalam pengembangan sastra Indonesia. Di era
dan Sastra Indonesia new normal covid-19, sastra Indonesia memiliki peluang
FKIP Universitas Halu Oleo
untuk berkembang sebagaimana unsur kebudayaan
sumimanudu75@gmail.com lain. Sastra Indonesia berjalan melalui berbagai kegiatan
kesusastraan baik berupa pelatihan menulis secara tatap
muka dan seminar nasional dan internasional dalam bentuk
webinar. Berbagai kegiatan itu telah memberikan ruang
gerak perkembangan sastra Indonesia pada era new normal
sebagai sesuatu yang dapat berkembang. Menelusuri
perkembangan sastra Indonesia pada era normal covid-19
menggunakan pendekatan history comparative untuk
melihat perbandingan perkembangan sastra Indonesia saat
sebelum new normal dan setelah new normal. Pendekatan
sinkronis diakronis ini akan memperlihatkan data yang
dapat menjelaskan perkembangan sastra Indonesia
pada era new normal ini. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa perkembangan sastra Indonesia pada era new
normal mengalami perubahan media, yakni pelatihan
penulisan sastra Indonesia yang dilakukan secara online
melalui berbagai media seperti Zoom dan Google meet,
juga penulisan-penulisan sastra dilakukan oleh beberapa
organisasi melalui beberapa program bersama yang
dilakukan melalui webinar dan juga melalui program-
program online. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan
sastra Indonesia pada era normal tetap menyesuaikan
dengan perubahan kebudayaan manusia. Di era new normal
sastra masih tetap akan mendapatkan ruang membacanya
sendiri karena sastra Indonesia merupakan ruang inspirasi
dan ruang imajinatif yang dapat memberikan alternatif
kehidupan pada era new normal covid-19. Beberapa karya
sastra yang tumbuh pada era new normal melahirkan alur
berpikir yang baru sebagai alternatif peradaban manusia di
masa depan.
kata kunci: perkembangan, sastra Indonesia, era new
normal, covid-19

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

121
PENGANTAR
Masa pandemi covid-19 merupakan salah satu ruang untuk me-refresh
peradaban dan kesadaran manusia di dunia. Ini bukan hanya kemunculan
virus, tetapi ini merupakan momentum peradaban manusia, ruang refleksi
ketika manusia dihentakkan hanya dengan makhluk kecil yang tidak
kelihatan. Sejarah peradaban manusia telah mencatatkan berbagai legenda
dan cerita untuk mengabadikan setiap peradaban itu (Mansyur, 2020).
Berbagai peristiwa diabadikan dalam berbagai karya sastra, baik sastra lisan
maupun sastra tertulis telah mengabadikan kisah hubungan manusia dengan
berbagai pandemi (Muzakka, 2020). Bahkan, sebelum manusia mengenal
tulisan, banyak artefak yang mengabadikan itu. Berbagai lukisan di dinding
gua dan pahatan di batu telah memberikan informasi penting mengenai
perbagai peristiwa yang pernah terjadi di dalam peradaban manusia.
Pada era new normal covid-19, tentunya menjadi tantangan tersendiri
bagi sastrawan. Di tengah covid-19, banyak warga masyarakat tinggal di
rumah sehingga menjadi peluang untuk adanya prospek pasar literasi,
terutama karya sastra bagi para pembaca. Namun, di sisi yang lain, era new
normal covid-19 merupakan sebuah momentum sejarah bangsa ini dan
dunia. Melalui covid-19, pembangunan bangsa yang tidak pro pada pertanian
dan pangan akan menjadi momok bagi sebuah bangsa dan negara yang
ada. Melalui karya sastra, semua dinamika sosial budaya yang ada di dalam
masyarakat bisa jadi direkam oleh sastra yang ditulis pada era pandemi ini.
Hal ini dapat dilihat dari teori-teori yang bekerja dalam kajian-kajian sastra
sebagai sebuah refleksi dari masyarakat pendukungnya (Isenberg & Abrams,
1954). Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan sastra yang memuat
tentang pandemi akan menjadi salah satu momentum agar sastra dapat
membangun sejarah zaman. Hal ini sebagaimana terlihat dalam sejarah
sastra Indonesia yang mampu merekam jejak peradaban kita, termasuk
jejak berbagai bencana alam dan beberapa pandemi yang pernah terjadi di
bangsa ini. Dalam konteks sastra, sastra merupakan refleksi dari masyarakat
pendukungnya (Taussig, 2018). Sastra bekerja untuk merefleksikan apa yang
ada di dalam masyarakatnya (Isenberg & Abrams, 1954).
Dalam beberapa referensi bahkan bencana termasuk pandemi adalah
sebuah momentum kebangkitan sastra. Di era new normal, sastra sebaiknya
memegang peranan penting karena ini adalah momentum para sastrawan
membicarakan mengenai desain peradaban baru yang pas pada era new

122 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


normal seperti ini. Beberapa konsep untuk memutuskan rantai pandemi,
seperti jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan bisa menjadi isu yang dimuat
dalam karya sastra dalam pengembangan sastra pada era pandemi seperti ini.
Perkembangan sastra Indonesia pada era new normal dapat dilihat dari
beberapa aspek yang dapat menjelaskan kepada kita mengenai perkembangan
sastra Indonesia pada era new normal. Untuk itu, dalam artikel ini,
perkembangan sastra, dapat dilihat dari paradigma histori komparatif, yakni
melihat perkembangan sastra di Indonesia dalam konteks sebelum dan masa
pandemi. Paradigma histori komparatif merupakan pendekatan yang melihat
beberapa objek dalam konteks perbandingan sejarah. Melalui pendekatan ini,
akan terbuka ruang untuk membandingkan beberapa indikator perkembangan
sastra Indonesia dari masa sebelum pandemi dan era new normal saat ini.
Tentu paradigma ini akan melihat bagaimana perkembangan sastra dari
waktu sebelum pandemi dan sesudah pandemi atau new normal saat ini.

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA DI ERA NEW NORMAL


Pada era covid-19, dunia seakan di-refresh menjadi sebuah dunia yang baru.
Semuanya berubah, kehidupan manusia bergeser, dari kehidupan yang manual
menjadi kehidupan manusia yang berbasis teknologi informasi. Aplikasi
seperti Zoom tiba-tiba meledak dan menjadikan Amerika cemburu kepada
China yang membangun aplikasi itu (Astini, 2020). Perubahan hubungan
perilaku manusia yang sedang dikarantina tersebut menyebabkan ruang-
ruang virtual menjadi pilihan masyarakat global untuk berhubungan satu
sama lain. Dunia seakan berhenti dalam dunia nyata, tetapi lebih kencang
dalam dunia maya (Haqien dkk., 2020). Tentu, hal ini akan berdampak pada
berbagai institusi sosial, termasuk institusi sosial kita dalam bentuk karya
sastra—selain agama, pendidikan, dan ekonomi.
Perubahan itu, kemudian memberikan fakta bahwa geliat sastra juga telah
berjasa dalam menjelaskan berbagai bencana yang pernah ada di dunia dalam
berbagai tahap perkembangannya. Sastra telah merekam perjalan bencana
dengan baik, baik dalam bentuk puisi, prosa, maupun dalam bentuk drama.
Sejak sastra belum mengenal tulisan, hingga sastra sudah menggunakan
teknologi informasi generasi kelima pada era pandemi covid-19 ini (Rajkumar,
2020). Saat ini, berbagai teman-teman industri kreatif, telah melahirkan
banyak film-film pendek untuk mengekspresikan rekaman mereka tentang
pandemi yang terjadi saat ini.

Perkembangan Sastra Indonesia di Era New Normal Covid-19 123


Kalau diamati, perkembangan sastra Indonesia tentu bergerak meng­
ikuti tuntutan zaman pada era pandemi seperti ini. Perkembangan sastra
itu dapat diuraikan dalam konsep dari analisis histori komparatif dengan
tetap melihat peluang, tantangan, kekuatan, dan kelemahan dari setiap data
yang berhubungan dengan perkembangan sastra sehingga memudahkan
dalam memahami bagaimana gerak perkembangan sastra Indonesia pada
era new normal. Berikut ini akan ditampilkan analisis sederhana mengenai
perkembangan sastra Indonesia pada era pandemi.

Peluang Pengembangan Sastra Indonesia pada Era New Normal


Melihat ke belakang, perkembangan sastra Indonesia dewasa ini memperlihat­
kan adanya gairah yang menjanjikan. Hanya saja, perkembangan dunia
sastra akan lebih maju jika film dimasukkan sebagai bagian dari karya sastra.
Berbagai jenis sastra tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Namun,
kalau melihat perkembangan sastra pada era new normal ke depan, dapat kita
melihat jejak perkembangan sastra Indonesia secara utuh. Perkembangan
sastra Indonesia selama ini, banyak dibahas dengan menggunakan konsep
periodisasi yang dilakukan oleh Ajip Rosidi, Nugroho Notosusanto, H. B.
Jassin, semua menyusun perkembangan sastra Indonesia melalui pendekatan
perkembangan sejarah politik bangsa ini (Kuntowijoyo, 2004). Ini artinya
bahwa perubahan politik akan memberikan pengaruh pada konten-konten
sastra yang di ada di setiap zaman. Irwan Abdullah (2006) mengatakan bahwa
dunia seni dalam sebuah kebudayaan pada prinsipnya memiliki dua dimensi
yang penting, yaitu dimensi refleksi dan dimensi proyeksi. Dalam fungsinya
sebagai sebuah institusi sosial yang merefleksikan sebuah realitas di dalam
masyarakat, sastra adalah cermin kehidupan dari masyarakatnya (Isenberg &
Abrams, 1954). Di sini, perkembangan sastra tentu akan berjalan mengikuti
berbagai peristiwa di dalam masyarakat pendukungnya. Namun, di sisi yang
lain, sastra dapat memproyeksi model kehidupan di masa depan, khususnya
model kehidupan yang sesuai dengan new normal saat ini.
Sebagai contoh, berbagai peristiwa masa lalu semuanya sudah direkam
dalam berbagai genre sastra. Cerita rakyat lebih dulu memberikan penjelasan
kepada manusia berikutnya tentang sebuah realitas dalam sejarah kehidupan
manusia, sehingga sastra berjalan sebagai cermin dari peradaban manusia di
masa lalu (Ediwar, 2017). Dalam konteks itulah, sastra akan tetap tumbuh
dalam setiap pergerakan kebudayaan manusia.

124 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Dalam konteks era new normal pascapandemi covid-19, perkembangan
sastra Indonesia mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan
yang ada. Oleh karena itu, berbagai sastrawan di berbagai daerah di Indonesia
menulis berbagai karya sastra mereka. Ini adalah peluang untuk siapa pun
karena mereka berada lama di dalam rumah. Dengan demikian, menulis
adalah sebuah pekerjaan yang memungkinkan untuk dilakukan oleh semua
warga masyarakat, terutama para sastrawan. Bahkan, pada era pandemi
seperti ini, sastrawan seluruh dunia seakan mendapatkan ruang tersendiri
untuk melakukan berbagai workshop penulisan sastra dengan memanfaatkan
teknologi informasi. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada geliat kesusastraan
yang dilakukan oleh teman-teman Koalisi Masyarakat Puisi Sulawesi Selatan
yang melakukan gelar baca puisi dan diskusi virtual yang pesertanya bukan
hanya sastrawan dari dalam negeri, melainkan juga peserta dari beberapa
negara asia tenggara, seperti Timur Leste, Singapura, dan Brunai Darusalam
(Jaridun, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa masa pandemi covid-19
merupakan ruang yang dapat mengubah perspektif manusia, yang tadinya
masih diskusi di dalam satu ruang sempit, kali ini dengan memanfaatkan
teknologi informasi, para sastrawan dapat melakukan diskusi virtual yang
pesertanya tidak terbatas. Ini adalah peluang untuk berkembangnya sastra
Indonesia di tengah pandemi atau setelah pandemi atau yang biasa disebut
era new normal. Bahkan teman-teman HISKI Pusat menghadirkan buku
Sastra dan Pariwisata pada era pandemi seperti ini. Saat ini akan terbit lagi
satu buku yang mengangkat tema Sastra dan Jalur Rempah di Nusantara.
Hal ini menunjukkan bahwa era new normal merupakan ruang atau peluang
sebagai ruang produktivitas sastrawan; sastrawan tidak harus berhenti karena
bisa menghadirkan ruang-ruang virtual yang sangat mudah. Kita dapat
berseminar untuk atau melakukan workshop penulisan sastra melalui virtual.
Bahkan, pembelajaran sastra di sekolah dapat dihadirkan melalui media
elektronik. Tentu hal ini sangat penting untuk disadari bersama bahwa era
new normal dengan hadirnya teknologi sebagai produk atas pandemi ini,
telah memberikan alternatif dalam pengembangan sastra di Indonesia.

Tantangan Perkembangan Sastra Indonesia pada Era New normal


Era new normal tentu tidak hadir tanpa tantangan, tetapi justru hadir dengan
dinamikanya. Beberapa tantangan untuk perkembangan sastra Indonesia
pada era new normal ini adalah bahwa adanya keterbatasan teknis yang dapat

Perkembangan Sastra Indonesia di Era New Normal Covid-19 125


saja terjadi di berbagai daerah di Indonesia sehingga berbagai forum virtual
tidak akan pernah tuntas dalam memberikan pelatihan penulisan sastra atau
seminar-seminar yang menyangkut kritik sastra. Demikian juga dengan
diskusi yang dilaksanakan dalam berbagai seminar virtual. Semua akan
memberikan tantangan terutama bagi perkembangan sastra.
Di sisi yang lain, belum semua daerah memiliki infrastruktur internet
yang memadai. Konteks ini yang menjadi tantangan dalam perkembangan
sastra pada era new normal. Belum semua daerah di Indonesia memiliki
infrastruktur yang memadai sehingga perkembangan sastra bisa saja tidak
mencapai berbagai daerah. Keterbatasan jaringan internet ke berbagai daerah
tentu akan menjadi tantangan bagi pengembangan sastra di suatu daerah.
Sementara itu, di beberapa daerah yang infrastrukturnya sudah baik, aktivitas
bersastra akan mendapatkan ruang yang lebih besar. Dengan demikian,
diskusi virtual yang menjadi ciri dari era new normal tidak akan pernah
menggantikan pertemuan tatap muka di seluruh daerah di Indonesia.
Selain itu, perkembangan teknologi ini telah mengubah manusia
menjadi orang yang paling banyak membaca status di berbagai media sosial.
Masyarakat kita juga selalu terbiasa untuk membaca berbagai isu di media
sehingga mereka akan lupa untuk membaca novel-novel yang ada atau karya-
karya besar. Konteks inilah yang menjadi tantangan perkembangan sastra era
digital saat ini. Generasi milenial akan banyak menghabiskan waktu mereka
untuk mengakses media sosial, terutama membaca status. Sementara diskusi-
diskusi sastra hanya dilakukan melalui virtual sehingga penghayatan dalam
membaca sastra juga tidak didapatkan oleh pembaca.
Selanjutnya, tantangan perkembangan sastra Indonesia pada era new
normal covid-19 ini adalah adanya perkembangan buku sastra yang tersebar
di internet, yang memungkinkan rendahnya penghargaan pembaca pada
buku-buku yang dijual dalam bentuk hard copy. Ini membutuhkan pendanaan
untuk penulis, dan juga penerbitan buku-buku sastra. Di sisi lain, juga akan
berhadapan dengan kemampuan manusia untuk membaca buku-buku
elektronik yang sangat terbatas (Susanti & Santi, 2019). Manusia memiliki
tidak kemampuan untuk membaca buku-buku elektronik dalam waktu yang
lama karena ini berhubungan dengan alat indra kita. Untuk itu, perlu lagi
dicetak di tempat-tempat fotokopi, dan ini merupakan tantangan terbesar dari
perkembangan sastra pada era digital, termasuk pada era new normal ke depan.
Orang-orang cenderung melakukan plagiat atau pelanggaran hak intelektual

126 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


tanpa merasa berdosa. Perilaku ini berdampak pada tingkat produktivitas
penulis, untuk menulis buku-buku berikutnya. Mengapa? Karena buku itu
difotokopi atau dibagikan secara elektronik (Santoso, 2016). Di sini, Indonesia
masih membutuhkan komitmen bersama untuk menghindari perilaku curang
yang dapat berdampak pada berkurangnya orang-orang yang akan menulis
sastra karena tidak adanya perlindungan hak intelektual.
Persoalan mental dari malas membaca buku dan beralih ke membaca
status di berbagai media sosial tentu akan memengaruhi pasar sastra Indonesia.
Jika pasar lesu karena tidak ada yang mau membeli karya sastra, produktivitas
sastrawan juga akan berhenti. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan
pemerintah agar buku-buku sastra di Indonesia mendapatkan bantuan untuk
biaya percetakan, atau membeli karya-karya tersebut sehingga masyarakat
Indonesia dapat lebih leluasa dalam memanfaatkan buku-buku sastra di
Perpustakaan Nasional. Kebijakan pemerintah untuk membiayai penulisan
buku-buku termasuk sastra akan menjadi kekuatan dalam perkembangan
sastra pada era pandemi covid-19. Di sisi lain, adanya monopoli pemasaran
dari pengusaha besar, juga menjadi masalah dalam perkembangan sastra
Indonesia pada era new normal saat ini.
Di sisi lain, perkembangan sastra Indonesia tentu juga harus mampu
melakukan proyeksi-proyeksi ke depan sehingga sastra bukan hanya sebagai
sebuah refleksi, tetapi merupakan ruang inkubasi ide dan gagasan untuk bisa
menyesuaikan dengan era new normal. Sebagai contoh, perkembangan media
sosial seperti Youtube, Whatsapp, dan Instagram merupakan tantangan yang
kita hadapi bersama. Sastra harus terus-menerus mengikuti perkembangan
zaman, atau bahwa harus mampu menentukan masa depan, dengan gagasan-
gagasan baru yang lebih memberikan kontribusi dalam pengembangan sastra di
masa depan. Sastra harus memberikan kontribusi dalam pengembangan inovasi
dan ekonomi kreatif. Sastra harus menjadi kekuatan dalam pengembangan
inovasi dan ekonomi kreatif. Hal sebagaimana dikatakan oleh Sri Hartini (2019)
bahwa “Saat ini sastra Indonesia berkembang cukup pesat. Namun, jangan
sampai hal itu bikin tutup mata dengan perkembangan zaman. Semua harus
bisa adaptif dengan perkembangan komunikasi dan teknologi, termasuk sastra”.
Perkembangan sastra Indonesia harus menyesuaikan dengan isu-isu terkini,
sehingga bukan hanya merefleksi, melainkan dapat memproyeksi.
Bersastra harus mampu berwujud dalam sebuah ruang inovasi kreatif,
misalnya karya novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata mampu mendorong

Perkembangan Sastra Indonesia di Era New Normal Covid-19 127


inovasi dan ekonomi kreatif. Novel Laskar Pelangi kemudian berubah
menjadi film dan saat ini ada destinasi wisata yang dibangun dari konsep atau
latar novel Laskar Pelangi di Bangka Belitung. Konsep seperti ini menjadi
tantangan yang perlu dijawab oleh sastrawan, pencinta sastra, dan seniman
lain. Produk karya seni harus mampu melahirkan gagasan-gagasan baru dan
juga bisa berdampak ruang-ruang inovasi dan ekonomi kreatif.

Potensi Pengembangan Sastra Indonesia pada Era New Normal


Berbicara mengenai perkembangan sastra Indonesia pada era new normal
pascapandemi covid-19, kita dapat melihat kekuatan yang kita miliki. Bangsa
Indonesia memiliki bahan baku sastra yang sangat besar. Bahkan, Indonesia
dapat dikatakan sebagai negara super power di bidang kebudayaan (Gibbons,
2017). Indonesia memiliki potensi kebudayaan yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke yang merupakan bahan baku yang paling berharga dalam
pengembangan karya sastra Indonesia. Kalau semua kebudayaan ditulis dalam
bentuk sastra, sebagaimana tradisi lisan mengabadikan semua fenomena
kebudayaan dalam berbagai cerita rakyat, perkembangan sastra Indonesia
akan menjadi kekuatan kebudayaan yang akan mengguncang peradaban
global. Kita bisa belajar dari Korea Selatan, India, Amerika Serikat, serta
China yang sudah mampu memanfaatkan kekayaan budaya mereka dalam
pengembangan kebudayaan modern saat ini. Sebuah sastra lisan mengenai
ikan duyung di Korea Selatan dapat menjadi inspirasi dalam pembuatan film
Korea yang berjudul Legend of The Blue Sea (Jin & Park, 2016) yang kemudian
sukses dalam pasar film internasional.
Di sisi yang lain, potensi sumber daya budaya tersebut juga ditunjang
oleh kebijakan pemeritahan Joko Widodo yang telah mencanangkan
infrastruktur langit (infrastruktur teknologi informasi) untuk membangun
kesetaraan informasi ke berbagai pelosok negeri. Ini berarti bahwa semua
generasi milenial dan sastrawan yang sudah berkarya akan mendapatkan
berbagai bahan dalam penulisan sastra tanpa harus keliling Indonesia.
Ini adalah sebuah kekuatan, sebagai bahan baku sastra yang sekaligus
dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan sastra Indonesia dan
kebudayaan pada umumnya. Bahan-bahan ini dapat dikemas dalam sastra
yang beragam serta dapat berdampak pada pengembangan kebudayaan dan
ekonomi kreatif di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan dunia. Di India,
cerita rakyat—yang banyak mengandung sejarah lisan—mampu melahirkan

128 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


karya sastra kanon yaitu novel Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi karya John
Shors (2007), dan di tangan sutradara berbakat, kisah sejarah itu kemudian
mewujud dalam bentuk film yang berjudul Jodha Akbar. Kedua film di
atas tentu dapat menginspirasi penulisan novel dan skenario film pada era
pandemi seperti sejarah lisan Lambung Mangkurat dapat ditulis menjadi
sebuah novel yang menarik dari tangan Randu Alamsyah (2018) dengan judul
Lambung Mangkurat. Di tangannya, sejarah lisan itu mewujud menjadi karya
sastra yang menarik untuk dibaca. Kita masih menunggu sutradara yang bisa
mengolah novel tersebut menjadi sebuah film.
Di sisi yang lain, pelatihan mengenai penulisan sastra juga didukung
oleh perkembangan teknologi yang luar biasa untuk membangun generasi
milenial yang dapat menuliskan kebudayaannya. Ruang virtual ini dapat
diakses oleh siapa pun dari berbagai kebudayaan yang ada. Namun, karena
menulis adalah skill atau keterampilan, latihan mandiri yang terus-menerus
harus tetap dilakukan. Di tengah pandemi, ternyata produktivitas teman-
teman media sosial juga tidak pernah padam. Konten-konten bagus dapat
ditemukan, baik di berbagai media sosial maupun dalam berbagai website. Hal
ini menunjukkan bahwa pada era new normal, perkembangan sastra Indonesia
dapat menjadi sebuah kekuatan dan dapat tumbuh dan berkembang. Namun,
medianya akan mulai bergeser dari buku-buku yang diterbitkan secara hard
copy ke buku-buku sastra dalam bentuk soft copy.
Pada saat ini, ada beberapa karya seni dalam bentuk film yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat Sulawesi Tenggara. Misalnya, Anda
dapat menyaksikan karya kreatif film lokal Wakatobi berjudul Kajiama (Roki,
2020) dan film lokal Baubau berjudul Antara Dua (Kakolo Films, 2020) yang
merupakan ruang ekonomi kreatif sekaligus ruang bersatra pada era pandemi
seperti ini. Tentu, diskusi mengenai film sebagai bagian dari karya sastra adalah
sebuah diskusi yang sedang diperdebatkan, tetapi bagi kami, film adalah bagian
karya seni yang memiliki dimensi sastra yang perlu dihitung pada era digital
seperti ini. Dengan demikian, perkembangan kajian sastra, film hendaknya
dapat dijadikan sebagai objek material yang menarik untuk dikaji, karena saat
ini media berkarya seni, sudah disiapkan oleh berbagai media yang berbasis
teknologi informasi, Youtube, Instagram, Facebook, dan sebagainya.
Selain itu, kalau melihat perkembangan musik, yang merupakan
salah satu aspek pengembangan sastra, ini memperlihatkan tingginya
perkembangan musik yang ada di Indonesia. Media sosial yang merupakan

Perkembangan Sastra Indonesia di Era New Normal Covid-19 129


ruang baru ekonomi kreatif memberikan ruang baru dalam pengembangan
sastra, dalam bentuk lirik-lirik lagu yang berkembang saat ini. Musik-musik
akustik menjadi sesuatu yang gampang dan mudah dilakukan anak-anak
muda dan memiliki pasarnya sendiri. Ini merupakan salah satu kekuatan
dalam pengembangan sastra Indonesia pada era new normal saat ini.

Titik Kelemahan Perkembangan Sastra Indonesia pada Era New Normal


Kelemahan yang dapat muncul dari perkembangan sastra Indonesia pada era
new normal adalah terbatasnya interaksi manusia sehingga buku-buku tidak
memiliki lagi pasar yang luas. Karya-karya sastra semuanya hanya dalam
bentuk digital, sementara kemampuan membaca buku-buku digital sangat
terbatas. Namun, bukan berarti bahwa perkembangan sastra Indonesia pada
era new normal tidak berkembang, tetapi justru mendapatkan ruang untuk
berkembang karena diskusi dilakukan melalui berbagai media online, Zoom,
Google Meet, dan berbagai media lain.
Kurangnya interaksi manusia, menyebabkan melemahnya perekonomian
masyarakat, atau bahkan Indonesia akan menuju resesi ekonomi. Kondisi ini
tentunya akan berdampak pada industri sastra Indonesia; pasar-pasar lesu
sehingga akan berdampak pada produksi sastra. Oleh karena itu, kondisi
ini tentunya menghambat perkembangan sastra Indonesia baik secara
produktivitas dan juga dari aspek pemerintah daerah dan juga swasta. Dengan
demikian, salah satu sisi kelemahan perkembangan sastra Indonesia pandemi
ini, memungkinkan adanya berbagai kebijakan pemerintah daerah, misalnya
dengan membeli karya-karya para seniman, termasuk di luar sastra.
Kelemahan lainnya adalah, era digital membuat sastra tidak melalui
proses pengeditan yang ketat sehingga hampir karya-karya berkualitas sulit
untuk ditemukan. Namun, di balik kelemahan itu, pada era new normal hampir
semua etnis di Indonesia mendapatkan kesempatan untuk menulis karya sastra
berdasarkan kebudayaan daerah mereka. Dengan demikian, perkembangan
sastra Indonesia pada era new normal akan memberikan harapan baru, yaitu
sebuah kemajuan. Namun, kalau melihat sisi pemasaran karya sastra, bisnis
digital juga memegang peranan penting, untuk kemajuan industri sastra.
Jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, perkembangan sastra
Indonesia memperlihatkan adanya dinamika yang tentunya dipengaruhi oleh
covid-19. Oleh karena itu, diperlukan terobosan baik dari sisi konsep sastra
maupun dari sisi pemasaran.

130 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Banyaknya masyarakat yang bekerja dari rumah tentu berdampak dengan
tingkat produktivitas masyarakat sehingga akan berdampak pada daya beli.
Sastra sebagai salah satu ruang imajinatif dan ekonomi kreatif seharusnya dapat
memberikan wacana alternatif untuk memecahkan masalah-masalah sosial
pada era new normal seperti ini. Ini merupakan salah satu titik terlemah dari
gagasan-gagasan atau ide-ide yang diangkat dalam sastra Indonesia. Semestinya
sastra kita dapat memberikan imajinasi masa depan sehingga sastra bukan hanya
menampilkan sebuah karya yang merefleksi masa lalu, tetapi juga karya sastra
yang dapat memproyeksi masa depan. Bahkan Aristoteles telah membayangkan
bahwa sastra adalah karya kreatif yang dapat menampilkan gagasan baru yang
belum ada sebelumnya (Isenberg & Abrams, 1954).
Dengan adanya gagasan atau ide-ide baru dalam mengisi kekosongan
gagasan atau ide, sastra bukan hanya menyajikan keindahan, melainkan
gagasan besar untuk mendorong inovasi dan ekonomi kreatif. Dalam
konsep yang lain, sastra harus bermanfaat (Horace dalam Teeuw, 1967).
Sastra harus menghibur dan juga harus bermanfaat bagi masyarakat. Kalau
melihat perkembangannya pada era new normal ini, akan tergambar bahwa
perkembangan sastra Indonesia mengalami kelemahan, pada kekuatan gagasan
yang dapat menampilkan gagasan-gagasan baru. Sastra harus menampilkan
sebuah gagasan yang memberikan alternatif dalam pengembangan kebudayaan
Indonesia pada umumnya. Sastra harus menampilkan gagasan-gagasan baru
yang dibutuhkan masyarakat saat ini.
Kalau merujuk pada sastra lama, banyak ditemukan karya sastra lama,
seperti cerita Joko Sangkrip di Jawa Tengah mengajarkan tentang obat-obatan
dalam cerita tersebut, atau kita dapat melihat cerita kedatangan Syeh Abdul
Wahid dalam cerita yang menceritakan temulawak sebagai obat Ketika
anaknya menangis. Beberapa alternatif harus menjadi gagasan-gagasan
penting yang terbuat dalam karya sastra pada era pandemi seperti ini, baik
yang berhubungan dengan masalah penyakit (pandemi) maupun masalah-
masalah sosial lainnya yang ada di dalam masyarakat.

SASTRA SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF


Sastra memiliki cerita yang mampu menyentuh sampai ke kedalaman hati.
Sastra bukan hanya salah satu produk dari peradaban manusia, melainkan
bekerja pada ranah pemikiran dan kesadaran manusia. Sastra membangun
dialektika kesadaran berpikir dalam peradaban manusia. Sastra akan

Perkembangan Sastra Indonesia di Era New Normal Covid-19 131


menjelaskan tentang kehidupan sehingga kita gampang memahaminya.
Sebagai salah satu institusi sosial selain sekolah dan agama, sastra telah
berkontribusi dalam pengembangan peradaban manusia.
Di era new normal, sastra harus mampu mengambil jalannya. Ketika
jurnalistik terkontrol, mahasiswa bungkam dan bahkan para akademisi
terbungkam pula, sastra harus berdiri di depan untuk menjelaskan mengenai
fenomena kebudayaan yang terjadi (Cronk, 2009). Melalui sastra, seorang
penulis tidak hanya merefleksi apa yang telah terjadi di dalam masyarakat,
termasuk masa-masa pandemi atau new normal, tetapi juga dapat memberikan
proyeksi masa depan yang dapat diberikan kepada masyarakat (Abdullah,
2006). Di sini dapat dilihat bahwa perkembangan sastra harus mengarah
kepada pengembangan kebudayaan yang dapat memberikan alternatif
mengenai berbagai masalah yang menimpa kehidupan manusia, termasuk
dalam era pandemi seperti ini.
Perkembangan sastra pada masa pandemi dapat memberikan kontribusi
pada pengembangan kebudayaan secara umum, termasuk pada berbagai
bentuk inovasi kebudayaan dapat dimulai dari realitas kehidupan yang ada
di dalam dunia sastra. Bahkan, pada era new normal seperti ini, sastra dapat
menjadi kekuatan ruang-ruang inspirasi bagi masyarakat banyak. Sastra
harus mampu menyediakan gagasan-gagasan baru dalam pengembangan
kebudayaan pada umumnya. Di era new normal, sastra harus menyesuaikan
dengan perkembangan teknologi informasi. Sastra harus tumbuh dengan
manfaatkan kadaan saat ini. Para sastrawan harus mampu menggagas ide-
ide berskala nasional dan internasional. Pola-pola kritik sudah semestinya
harus lebih terbuka dengan memanfaatkan teknologi informasi sehingga
sastra antardaerah dan bahkan sastra antarnegara atau gabungan antara kota
dan desa menjadi pilihan alternatif dalam pengembangan sastra pada era new
normal ini. Sastra sudah harus mampu mengembangkan diri sebagai ruang
baru yang akan mengisi industri ekonomi kreatif.
Pengelolaan sastra, harus diarahkan pada pengelolaan sastra yang ada
di beberapa negara maju, seperti Belanda dan Prancis. Sebuah novel atau
tepatnya catatan harian Anne Frank menjadi salah satu museum yang banyak
dikunjungi wisatawan di Amsterdam, Belanda, menyajikan satu museum sastra,
yang menunjukkan bahwa negara-negara maju telah mengelola sastra dengan
konsep pariwisata. Di India, karya sastra Taj Mahal telah menjadi latar budaya
dari masjid Taj Mahal dan menjadi salah satu tujuan wisata masyarakat global.

132 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Di era new normal, sastra harus mampu menjadi ujung tombak
pembangunan gagasan. Melalui sastra bisa mengubah mindset masyarakat
karena sastra dapat menyentuh perasaan seseorang. Oleh karena itu, sastra
harus menjadi salah satu kekuatan dalam pengembangan ekonoomi kreatif
pada era pandemi seperti ini.

PENUTUP
Perkembangan sastra pada era new normal dapat dilihat dalam berbagai
pandangan guna menemukan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan
yang dihadapi oleh masyarakat sastra saat ini. Di era new normal seperti ini,
perkembangan teknologi yang begitu massif, dapat memberikan kontribusi
positif pada pengembangan sastra di Indonesia.
Perkembangan sastra Indonesia di tengah era new normal menunjukkan
bahwa sastra memiliki kelebihan dan kelemahan serta hambatan dan
keunggulan. Saat ini, dunia digital telah memberikan fasilitas kepada siapa
pun untuk mengembangkan diri hanya dengan menghubungkan dirinya
dengan internet. Semua bahan untuk menulis sastra tersedia dengan baik.
Sementara dari sisi kelemahannya, adalah era pandemi, memberikan dampak
ketika berbagai aktivitas fisik tidak dapat dilakukan sehingga keterlibatan
fisik menjadi kurang. Di sisi lain, era new normal adalah peluang untuk
munculnya ruang kreativitas bagi anak-anak milenial karena waktu tinggal di
rumah begitu besar. Selanjutnya, ada banyak masalah yang ditemukan pada
era new normal, perkembangan sastra bisa lebih baik dengan mengangkat isu-
isu yang lebih mendorong produktivitas yang dapat meningkatkan ekonomi
kreatif masyarakat. Kendalanya adalah belum adanya kesadaran untuk
mengembangkan sastra hingga pada ruang ekonomi kreatif.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. (2006). Konstruksi dan reproduksi kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Alamsyah, R. (2018). Lambung Mangkurat. Yogyakarta: Laksana. https: //www.goodreads.
com/book/show/44566150-lambung-mangkurat
Astini, N. K. S. (2020). Pemanfaatan teknologi informasi dalam pembelajaran tingkat
sekolah dasar pada masa pandemi Covid-19. Lampuhyang, 11(2), 13–25. https://
doi.org/10.47730/jurnallampuhyang.v11i2.194
Cronk, N. (2009). The Cambridge companion to Voltaire. Cambridge: Cambridge
University Press. https://doi.org/10.1017/CCOL9780521849739

Perkembangan Sastra Indonesia di Era New Normal Covid-19 133


Ediwar, E. (2017). Rekonstruksi dan revitalisasi kesenian rapa’i Aceh pasca tsunami.
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan, 17(1), 30–45. https://doi.org/10.24821/resital.
v17i1.1688
Gibbons, Z. (2017). UNESCO sebut Indonesia negara super power bidang budaya. https://
kwriu.kemdikbud.go.id/berita/unesco-sebut-indonesia-negara-super-power-
bidang-budaya/
Haqien, D. & Rahman, A. A. (2020). Pemanfaatan zoom meeting untuk proses
pembelajaran pada masa pandemi Covid-19. SAP (Susunan Artikel Pendidikan),
5 (1), 51–56.
Hartini, S. (2019). Sastra Indonesia dituntut adaptif terhadap perkembangan zaman.
https://kabar24.bisnis.com/read/20190928/79/1153341/sastra-indonesia-dituntut-
adaptif-terhadap-perkembangan-zaman
Isenberg, A. (1954). The Mirror and the lamp: Romantic theory and the critical tradition
by M. H. Abrams. The Journal of Aesthetics and Art Criticism, 12(4), 527. https://
doi.org/10.2307/426915
Jaridun, A. (2020). Bincang new normal, baca puisi internasional via virtual. https://
gesahkita.com/2020/06/05/bincang-new-normal-baca-puisi-internasional-via-
virtual/
Jin, H., & Park, S. H. (2016). The legend of the blue sea. Seoul: Culture Depot–Studio
Dragon. https: //www.youtube.com/watch?v=geArSz5oLMs
Kakolo Films. (2020). Antara dua. https: //www.youtube.com/watch?v=rjk-BTUUsF4
Kuntowijoyo. (2004). Sejarah/sastra. Humaniora, 16(1), 17–26. https://jurnal.ugm.ac.id/
jurnal-humaniora/article/view/803/645
Mansyur, M. (2020). Pandemi flu Spanyol di Banjarmasin, Karesidenan Borneo bagian
selatan dan timur (1918-1920). Yupa: Historical Studies Journal, 4(1), 9–19. https://
doi.org/10.30872/yupa.v4i1.205
Muzakka, M. (2020). Nilai-nilai profetik dalam dua lirik lagu karya Rhoma Irama kajian
terhadap lirik lagu “Akhlak” dan “Virus Corona”. Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan
Sastra, 15(1), 13–22. https://doi.org/10.14710/nusa.15.1.13-22
Rajkumar, R. P. (2020). COVID-19 and mental health: A review of the existing literature.
Asian Journal of Psychiatry, 52, 102066. https://doi.org/10.1016/j.ajp.2020.102066
Roki. (2020). Kajiama. https: //www.youtube.com/watch?v=sadcsc401LI&t=15s
Santoso, A. (2016). Rekor dunia plagiat ada di Indonesia, ratusan tulisan diplagiat
untuk SERP dan bisnis e-commerce. https://www.kompasiana.com/aptwi/
56e86fc95eafbd231ee0e7d7/rekor-dunia-plagiat-ada-di-indonesia-ratusan-
tulisan-diplagiat-untuk-serp-dan-bisnis-ecommerce
Shors, J. (2007). Taj Mahal: Kisah cinta abadi (terj. M. Rose). Bandung: Mizan Pustaka.
https://books.google.com.ec/books?id=GYTec4x6_HMC
Susanti, D., & Santi, S. (2019). Pemanfaatan taman bacaan masyarakat (TBM) dalam
meningkatkan minat baca remaja (studi kasus di TBM Gunung Ilmu). Comm-Edu
(Community Education Journal), 2(3), 220–226. https: //doi.org/10.22460/comm-
edu.v2i3.2828
Taussig, M. (2018). Mimesis and alterity: A particular history of the senses. London:
Routledge.
Teeuw, A. (1967). Modern Indonesian literature. Dordrecht: Springer Netherlands. https:
//doi.org/10.1007/978-94-015-0768-4

134 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Revitalisasi Kearifan Lokal Masyarakat
dalam Pengembangan Muatan Lokal Kurikulum 2013

Sahlan Kearifan lokal merupakan suatu pengetahuan (kecerdasan)


yang dihasilkan oleh suatu komunitas masyarakat untuk
Jurusan Pendidikan Bahasa mempertahankan hidupnya secara turun-temurun. Pada
dan Sastra Indonesia konteks ini, kearifan lokal merupakan wujud kecerdasan
FKIP Universitas Halu Oleo
yang dihasilkan oleh pengalaman hidup suatu masyarakat
yang selanjutnya menjadi kekuatan dan pendorong untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat yang
bersangkutan. Jadi, kearifan lokal merupakan seperangkat
pengetahuan yang dikembangkan oleh kelompok masya­
rakat yang tersimpan melalui pengalaman panjang dalam
ikatan hubungan yang saling menguntungkan dalam
mengelola alam dan kehidupan mereka. Keberagaman
budaya masyarakat menuntut perlu adanya pemahaman,
pelestarian, dan penerapan, terutama kalangan generasi
muda. Ada empat bentuk kearifan lokal masyarakat Buton
yang perlu dideskripsikan untuk dapat digunakan menjadi
landasan pengembangan kurikulum muatan lokal, yaitu
(1) falsafah bhinci-bhinciki kuli, (2) posuo, (3) pakande-
kandea, dan (4) pohamba-hamba. Upaya pelestarian
dan pengenalan kearifan lokal kepada generasi secara
dini akan dapat terealisasi jika dikembangkan melalui
pengembangan kurikulum muatan lokal. Ada dua cara yang
dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum muatan
lokal, yaitu (1) mengintegrasikan kearifan lokal sebagai
potensi dan keunikan daerah dalam materi kebahasaan, dan
(2) menjadikan kearifan lokal sebagai potensi dan keunikan
daerah menjadi mata pelajaran tersendiri dengan bobot dua
jam per minggu.
kata kunci: revitalisasi, kearifan lokal, pengembangan
muatan lokal

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

135
PENDAHULUAN
Kearifan lokal dalam dunia pendidikan menjadi aspek penting dalam
pengembangan pembelajaran. Hal ini tanpak pada Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013,
yang menekankan agar setiap satuan pendidikan mengembangkan muatan lokal
dalam implementasi Kurikulum 2013. Pasal 2 peraturan itu menjelaskan bahwa
muatan lokal merupakan bahan atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang
yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal
untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan
lokal di daerah tempat tinggalnya. Tujuannya agar para peserta didik mengenal,
mencintai, dan melestarikan lingkungan; alam, sosial, budaya, dan spiritual di
daerahnya.
Muatan kurikulum dalam implementasi Kurikulum 2013 terdiri atas
muatan kurikulum tingkat nasional, tingkat daerah, dan kekhasan satuan
pendidikan. Muatan kurikulum tingkat nasional terdiri atas sejumlah
mata pelajaran yang dikembangkan oleh pusat. Muatan kurikulum tingkat
daerah terdiri atas sejumlah bahan kajian mata pelajaran muatan lokal yang
ditentukan oleh daerah yang bersangkutan. Adapun muatan lokal pada satuan
pendidikan pengembangan mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan dengan mempertimbangkan sarana,
tenaga pengajar, dan kebutuhan peserta didik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 79 Tahun
2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013, materi kurikulum muatan lokal
hendaknya memuat materi yang menjadi potensi dan keunikan daerah.
Ada dua pola pengembangan kurikulum muatan lokal, yaitu (1) terintegrasi
dengan mata pelajaran, dan (2) menjadi mata pelajaran khusus. Dalam kaitan
itu makalah ini berjudul “Revitalisasi Kearifan Lokal Masyarakat sebagai
Landasan Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal”.

PEMBAHASAN
Pengertian Kearifan Lokal
Istilah ‘kearifan lokal’ (local wisdom) terdiri atas dua kata, yaitu ‘kearifan’
yang berarti ‘kebijaksanaan’ dan ‘lokal’ yang berarti “berkaitan dengan suatu
tempat”. Echols & Shadily (Taalami, ?) menjelaskan bahwa secara umum
kearifan lokal dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, terpelihara serta diikuti oleh

136 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


masyarakat. Dengan kata lain, kearifan lokal merupakan pandangan hidup
dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Secara konsep, istilah kearifan lokal dapat mengacu pada pendapat
Affandi (2017: 198) yang mendefinisikan kearifan lokal sebagai suatu
kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup, dan pandangan
hidup yang mengakomodasi kebijakan dan kearifan hidup. Hal ini sejalan
dengan Gunawan (2003) bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal
yang digunakan oleh suatu komunitas masyarakat lokal untuk bertahan hidup
dalam suatu lingkungan secara kolektif.
Rahyono (2009) mengemukakan bahwa kearifan merupakan sesuatu yang
dihasilkan dari sebuah kecerdasan manusia untuk digunakan oleh sesamanya
sebagai sarana pencerdasan pula. Kearifan dihasilkan dari proses pemikiran
dan pengambilan keputusan yang bijaksana yang tidak merugikan semua
pihak serta bermanfaat bagi siapa pun yang terjangkau oleh kearifan tersebut.
Kearifan dapat pula menjadi sarana pembelajaran bagi setiap komunitas
masyarakat untuk menjadi orang yang bijak, cerdas, dan memberi inspirasi
tentang bagaimana berperilaku baik dalam kehidupan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal
merupakan suatu pengetahuan (kecerdasan) yang dihasilkan oleh suatu
komunitas masyarakat untuk mempertahankan hidupnya secara turun-
temurun. Pada konteks ini, kearifan lokal merupakan wujud kecerdasan
yang dihasilkan oleh pengalaman hidup suatu masyarakat yang selanjutnya
menjadi kekuatan dan pendorong untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat yang bersangkutan. Jadi, kearifan lokal merupakan seperangkat
pengetahuan yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat yang
tersimpan melalui pengalaman panjang dalam ikatan hubungan yang saling
menguntungkan dalam mengelola alam dan kehidupan mereka.

Revitalisasi Kearifan Lokal


Potensi dan keunikan daerah memperlihatkan keragaman kearifan lokal yang
dapat dikembangkan menjadi bahan muatan kurikulum lokal sekolah pada
tingkat daerah. Keberagaman budaya masyarakat menuntut perlu adanya
pemahaman, pelestarian, dan penerapan, terutama kalangan generasi muda.
Keberagaman kearifan lokal masyarakat di Sulawesi Tenggara berkembang

Bahasa, Pikiran, dan Pembentukan Identitas Bangsa 137


pada kehidupan masyarakat Buton, Tolaki, Muna, dan Moronene. Kelompok
masyarakat itu terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok masyarakat yang
memiliki potensi dan keunikan sendiri.
Makalah ini mengambil bentuk kearifan lokal masyarakat Buton, daerah
yang memiliki jejak sejarah kesultanan yang lengkap di Sulawesi Tenggara. Ada
empat bentuk kearifan lokal masyarakat Buton yang perlu dideskripsikan untuk
dapat digunakan menjadi landasan pengembangan kurikulum muatan lokal,
yaitu (1) falsafah bhinci-bhinciki kuli, (2) posuo, (3) pakande-kandea, dan (4)
pohamba-hamba.

Revitalisasi Falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli


Falsafah hidup masyarakat Buton dikenal dengan sara patanguna, yaitu ‘bhinci-
bhinciki kuli’ yang memuat empat sikap hidup berikut: (a) pomaa-maasiaka,
‘sesama manusia harus selalu saling menyayangi’; (b) pomae-maeka, ‘sesama
manusia harus selalu saling menghormati’; (c) popia-piara, ‘sesama manusia
harus selalu saling memelihara’; dan (d) poangka-angkataka, ‘sesama manusia
harus selalu saling memuliakan’. Di bawah ini dijelaskan keempat sikap hidup
tersebut.
Apo ma-maasika ‘saling menyayangi’ memiliki nilai sosial yang sangat
tinggi, karena jabaran tersebut tidak sekadar jabaran yang bersifat konseptual,
akan tetapi ia harus menjadi panduan memperkuat ketahanan sosial dalam
kehidupan bermasyarakat. Di samping makna yang terkandung di dalamnya,
dibutuhkan pula wawasan berpikir, baik sebagai pemimpin maupun sebagai
pribadi. Pada konteks ini makna ‘sayang-menyayangi’ tidak hanya dimaknai
secara harfiah, melainkan setiap aspek saling berkaitan dengan aspek lain
sehingga dibutuhkan kepekaan sejauh mana kemampuan perasaan seseorang
menyayangi terhadap sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
Apo mae-maeka ‘takut menakuti’ adalah modus akhlak yang kedua
dari tiga pilar yang jabaran batinnya melalui moral religi yang tidak dapat
dilukiskan melalui ungkapan karena sifat kebergantungan pada sesama
manusia. dengan pendalaman dan penghayatan seseorang terhadap syariat
Islam yang menjadi landasan falsafah hidup masyarakat. Jika dimaknai secara
mendalam yang muda harus mempunyai rasa saling menghargai yakni yang
muda menghargai kepada yang tua karena Allah dan Rasulnya. Kemudian
yang dimaksudkan dengan tua di sini ialah yang lebih dari kita karena umur,
ilmu, pengalaman, serta pandangan atau wawasan hidup.

138 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Apo pia-piara ‘saling memelihara’ merupakan pilar ketiga dengan
cakupan akhlak yang mulia. Yang dimaksud dengan popia-piara adalah
saling memelihara hubungan antara satu dengan yang lain dalam umur dan
ilmu yang sama, termasuk anak-cucunya. Oleh karena itu, makna apo pia-
piara itu dapat dipahami jika seseorang mampu mendalami makna religius,
yaitu akhlaqul karimah. Esensi makna falsafah ini menyangkut kehormatan
dan harga diri. Jika salah seorang di antara kawan atau orang lain mendapat
suatu kebencian atau kekurangan, sifat kebersamaan lebih ditonjolkan dari
sifat kebencian. Artinya, kita sedapatnya tidak perlu membeberkan aib atau
kekurangan orang itu dan sedapatnya kita meredamnya.
Apo angka-angkataka ‘saling mengangkat’ yakni bersopan-sopan. bagi
yang sejajar saling mengandung makna sesama manusia saling memberi
kesempatan walaupun kita merasa memiliki banyak kelebihan dari orang lain.
Sebagai sesama hamba, kita harus menghormati dengan bijaksana dan penuh
disiplin serta menghargai keberhasilan orang lain. Apo angka-angkataka itu
adalah saling menghargai antara satu dengan yang lain dalam kekerabatan
yang melekat terhadap sesama manusia. Islam mengajarkan kepada manusia
bahwa orang Islam itu bersaudara. Persaudaraan ini bukan bersaudara karena
hubungan keluarga atau silsilah keturunan saja, tetapi untuk semua manusia
karena persamaan azali dari alam kejadiannya dan anasirnya. Jika seandainya
di antara mereka mendapat berkah/pujian, sesamanya harus bersyukur
kepada Allah atas pujian saudaranya itu dan patut untuk menyosialisasikan
kepada orang lain atau orang banyak.

Revitalisasi Kearifan Lokal Posuo


Istilah posuo berarti memingit anak perempuan yang sudah akil balig, dari usia
remaja (kabua-kabua) akan memasuki usia gadis (kalambe) yang dilakukan
secara meriah (kariayaa). Kemeriahan acara ditandai dengan suara gendang
tradisional (tawa-tawa, mbololo, ndengu-ndengu, dan katepa). Di samping
itu, diramaikan pula dengan lagu-lagu maludu yakni lagu pujian kepada Nabi
saw. Wanita yang akan posuo duduk bersila pada satu ruangan yang khusus
disediakan untuk itu di ruang tengah. Mereka dikelilingi oleh sanak keluarga,
handai tolan, dan undangan. Ibu-ibu dan para gadis yang hadir mengenakan
pakaian adat Buton. Begitu pula gadis-gadis yang akan masuk acara pingitan
dengan pakaian adat lengkap. Mereka akan mengikuti ritual selama delapan
hari delapan malam tanpa keluar rumah.

Revitalisasi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengembangan .... 139


Proses upacara ritual posuo dilaksanakan yakni para gadis yang akan
dipingit terlebih dahulu mereka dibawa bertamasya di suatu tempat. Misalnya,
di kebun yang sedang dipungut hasilnya, sambil bergembira memakan jagung
muda, mandi di sungai yang jernih airnya bersama sanak keluarga dan orang
tua. Yang demikian ini disebut akambeli-mbeliaka ‘dibawa bertamasya’.
Tujuannya agar para peserta memasuki acara posuo dimulai dengan perasaan
senang dan siap mengikuti prosesi secara fisik dan mental.
Prosesi posuo diawali peserta menemui paman atau bibi mereka yang
bertempat tinggal agak jauh (diasingkan) untuk beberapa lama. Sepeninggal
anak mereka, orang tua atau keluarga mempersiapkan pelaksanaan posuo.
Berkenaan dengan itu, orang tua yang posuo menyampaikan kepada sanak
keluarga tentang rencana hajatan mereka yang disebut kapaumba. Mulai saat
itu sanak keluarga akan berdatangan sambil membawa ‘sumbangan sukarela’,
baik dalam bentuk uang maupun bahan makananan. Di tempat itu dibangun
tempat acara dengan hiasan-hiasan tradisional yang menjadi ciri masyarakat
Buton seperti kain tirai yang berciri khas tradisi masyarakat.
Setelah berbagai persiapan penyelenggaraan posuo rampung, remaja
yang ‘diasingkan’ selama beberapa hari dipulangkan ke rumah. Pada saat
itulah mulai menyadari bahwa dirinya akan di-posuo. Kedatangannya
kembali ke rumah sering menimbulkan rasa haru karena tidak sedikit dari
para remaja perempuan calon posuo menangis dengan histeris. Mulai saat
itulah prosesi posuo berlangsung yang ditandai dengan malam ‘taangi’ atau
malam kembalinya calon posuo sebagai awal proses peralihan fase seorang
perempuan dari remaja (kabua-bua) menjadi dewasa (kalambe).
Pandangan masyarakat Buton, seorang remaja wanita harus digembleng
dengan tuntunan ajaran, baik aspek keagamaan maupun aspek kewanitaan.
Oleh karena itu, masyarakat Buton menggunakan kearifan lokal posuo sebagai
wahana pengemblengan remaja (kabua-bua) menuju usia dewasa (kalambe).
Maka sejak pauncura, yakni ritual prosesi posuo dimulainya acara peserta posuo
dipindahkan ke tempat tertentu, kamar khusus yang disebut suo di bawah
bimbingan seorang bhisa posuo. Pada prosesi ini peserta posuo mengurangi
makan dan minum lalu diajarkan tentang bagaimana kodrat wanita, baik
sebagai gadis maupun sebagai calon ibu yang akan melahirkan keturunan.
Mereka juga diberi tuntunan tentang kemanusiaan sebagai muslimah dan
sebagai pendamping suami setelah menikah. Pada kesempatan itu pula para
peserta posuo diajari akhlak dan budi pekerti sebab pada akhirnya mereka

140 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


akan menjadi guru yang paling pertama di dalam rumah tangganya. Hal lain
dinasihatkan tentang kehidupan seorang perempuan menurut ketentuan yang
disyariatkan oleh agama Islam.
Dengan pemberitahuan itu gadis peserta posuo menyambutnya dengan
tangis. Demikian pula keluarga dan orang tua peserta, ikut menangis sebagai
tanda syukur kepada Allah, bahwasanya sanak keluarga, khususnya orang
tuanya telah berbuat sesuatu untuknya. Bertepatan dengan mulainya tangis
itu, dimeriahkan dengan bertalunya pukulan gendang. Lalu disusul nyanyian
maludu secara bersama, oleh ibu-ibu yang tadinya duduk mengelilingi anak
gadis posuo itu. Sebagai pembukaan, ada yang memilih lagu maludu yang
dinamakan wulida yang seterusnya dinyanyikan sepanjang malam dan
siang. Setelah empat malam dipingit, dilakukan peralihan disebut baliyana
ympo—saat itu peserta posuo diislamkan. Jika ada peserta yang hendak
kawin, dilanjutkan pula dengan prosesi adat perkawinan. Para peserta posuo
diwajibkan menggunakan bedak tradisional di sekujur tubuh yang terbuat
dari bahan kunyit dan tepung beras ketan.
Dari uraian yang dikemukakan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
tradisi posuo sebagai tradisi masyarakat Buton merupakan bentuk kearifan
lokal yang menanamkan nilai-nilai religius, kegotong-royongan, tenggang
rasa, kebersamaan, kesopanan, kedisiplinan, dan pengabdian kepada kedua
orang tua.

Revitalisasi Kearifan Lokal Pakande-Kandea


Bentuk kearifan lokal pakande-kandea mengandung makna memberi makan.
Apabila dimaknai secara luas kearifan lokal pakande-kandea dalam konteks
masyarakat Buton merupakan suatu tradisi memberian makan secara
bersama-sama pada suatu tempat yang telah ditentukan. Pelaksanaan tradisi
pakande-kandea dilaksanakan secara terbuka yang melibatkan perseorangan
dan perwakilan kelompok berupa instansi, lembaga, dan utusan organisasi
kemasyarakatan. Dalam tradisi pakande-kandea, sajian makanan lebih
bernuansa lokal, dalam arti bahan yang digunakan untuk pengolahan makanan
yang disajikan merupakan hasil laut dan hasil bumi di wilayah Buton.
Bentuk kearifan lokal pakande-kandea pada konteks masyarakat Buton
berkembang dari waktu ke waktu. Berdasarkan hasil wawancara dengan
informan (10 Juni 2015), tradisi pakande-kandea terinspirasi kebiasaan para
sultan memberi makan rakyatnya yang kekurangan. Pada zaman modern

Revitalisasi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengembangan .... 141


ini para pejabat menggunakannya dengan istilah yang populer open house.
Masyarakat Buton awalnya melaksanakan tradisi pakande-kandea setelah hari
raya Idulfitri yang bertujuan untuk menjalin silaturahmi. Dalam perkembangan
selanjutnya, tradisi pakande-kandea dilaksanakan pada setiap kegiatan besar
seperti ulang tahun daerah, peringatan kemerdekaan, dan kegiatan-kegiatan
nasional yang dilaksanakan pemerintah daerah, terutama di Kota Baubau,
Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten
Buton Utara, Kabupaten Buton Tengah, dan Kabupaten Buton Selatan.
Kearifan lokal pakande-kandea telah menjadi tradisi masyarakat secara
turun-temurun sebagaimana telah terungkap dalam kabanti Ajonga Inda
Malusa yang mengajarkan agar masyarakat hendaknya saling memberikan
suguhan makanan dan minuman kepada orang lain. Jika menerima tamu di
rumah, tidak etis jika tuan rumah tidak menyuguhkan sesuatu kepada tamu
itu. Begitu pula sebaliknya, seorang tamu harus menghargai setiap suguhan
yang disajikan oleh tuan rumah. Hal ini merupakan bentuk tata krama
penerimaan tamu yang telah diterapkan oleh masyarakat Buton secara turun-
temurun. Bagi masyarakat Buton, seorang tamu yang tidak mencicipi suguhan
tuan rumah dapat menimbulkan perasaan tersinggung pada diri tuan rumah
dan dapat berkonotasi tidak menghargai apa yang disajikan. Begitu pula
sebaliknya, tamu merasa tidak nyaman apabila tidak sempat mencicipi apa
yang disuguhkan oleh tuan rumah pada saat bertamu.
Jika kita hubungkan dengan kearifan lokal, pakande-kandea tampaknya
mempunyai nuansa yang sama dalam perasaan penyajian makanan atau
minuman kepada setiap tamu yang berkunjung. Namun, pada kearifan lokal
pakande-kandea, perjamuan makanan dan minuman kepada tamu disajikan
dalam skala besar. Artinya, para peserta dalam tradisi pakande-kandea menjadi
simbol tuan rumah, sedangkan para pengunjung menjadi simbol orang yang
bertamu. Dalam konteks ini, kepuasan bagi seseorang yang menghidangkan
makanan atau minuman dapat terjadi jika hidangan mereka diminati oleh
banyak pengunjung. Dalam kegiatan pakande-kandea ini, setiap hidangan
dilayani oleh para gadis (kalambe) pilihan yang berpakaian adat Buton dengan
sifat yang ramah dan sopan.
Dalam konteks kearifan lokal, pakande-kandea tentu memiliki implikasi
terhadap keutuhan daerah. Tradisi pakande-kandea dapat merangkul orang
banyak dalam wadah persatuan masyarakat, mampu mendekatkan orang
yang hina dalam bingkai kebersamaan, dan mendekatkan orang yang jauh

142 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


dalam wujud solidaritas pada berbagai etnis. Dilihat pada konteks Kesultanan
Buton adalah masyarakat multietnis yang meliputi masyarakat Wolio, Ciacia,
Pancana, Wakatobi, Moronene, Bugis-Makasar, Kulisusu, dan Bajo.

Revitalisasi Kearifan Lokal Pohamba-Hamba


Tradisi pohamba-hamba pada umumnya dilakukan untuk membantu anggota
masyarakat yang melakukan suatu pekerjaan besar. Pekerjaan besar yang
dimaksud antara lain membersihkan kebun, mengerjakan rumah tinggal,
memindahkan rumah, menurunkan perahu besar, dan mempersiapkan
suatu hajatan (pesta). Pada konteks ini, setiap warga masyarakat yang datang
membantu, bekerja secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan atau upah
dari anggota masyarakat yang melakukan kegiatan tersebut.
Berdasarkan kebiasaan masyarakat pohamba-hamba, diterapkan dalam
tiga cara memberikan bantuan, yaitu (a) dengan dana atau bahan yang menjadi
kebutuhan dalam kegiatan itu; (b) dengan tenaga yakni membantu bekerja
penyelesaian kegiatan itu; dan (c) dengan ucapan atau pemikiran tentang
masalah yang dihadapi oleh orang yang mempunyai kegiatan itu. Ketiga
pola penerapan tradisi pohamba-hamba tersebut dilaksanakan sesuai dengan
tingkat kemampuan seseorang. Artinya, pada suatu kegiatan dari anggota
masyarakat, masyarakat lain membantu dengan bahan (uang), dengan tenaga,
dan sebagian lagi dengan pikiran. Perpaduan ketiga pola bantu-membantu
tersebut mempermudah serta memperlancar pelaksanaan tradisi pohamba-
hamba dalam masyarakat Buton. Tradisi pohamba-hamba telah diterapkan
masyarakat secara turun-temurun sebagai wujud nilai kebersamaan mereka.
Dalam perkembangannya, kelompok masyarakat tertentu menggunakan
tradisi pohamba-hamba dengan istilah yang lebih khusus dengan bentuk dan
jenis pekerjaan. Masyarakat petani misalnya di samping menggunakan istilah
pohamba-hamba sebagaimana yang digunakan masyarakat Wakatobi, dikenal
pula istilah pokadudu dan pokaowa sebagaimana yang digunakan masyarakat
Buton Tengah dan masyarakat Muna. Masyarakat Buton Utara menggunakan
istilah mekatambani. Seluruh istilah tersebut memiliki pola kegiatan yang
sama yakni mengerjakan sesuatu secara bersama-sama yang sering digunakan
dalam memersihkan kebun.
Agak berbeda dengan kelompok kerja yang dimaksudkan di atas, pada
konteks dasar tradisi pohamba-hamba dilakukan secara sukarela yaitu tidak
dilakukan secara bergilir. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tradisi ini

Revitalisasi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengembangan .... 143


diterapkan untuk mengerjakan rumah, menurunkan perahu, kegiatan pesta,
dan memindahkan rumah. Tradisi pohamba-hamba pada konteks yang kedua
ini lebih bernuansa ‘membantu’ dari pada ‘saling membantu’, sebab sifatnya
spontan, sukarela, dan bantuan tidak bersifat timbal balik. Orang yang berhajat
cukup menyampaikan tetangga atau keluarga di lingkungannya tentang
maksud kegiatan yang akan dilakukan. Mencermati eksistensi kearifan lokal
pohamba-hamba, sedikitnya dapat diidentifikasi beberapa nilai sosial yang
terkandung dalam tradisi ini. Pertama, tradisi pohamba-hamba mengemban
nilai-nilai kebersamaan (persatuan dan kesatuan). Kedua, pohamba-hamba
mengandung nilai-nilai solidaritas, kesetiakawanan sosial, dan empati.
Berdasarkan revitalisasi kearifan lokal pohamba-hamba tecermin
beberapa hal. Pertama, kearifan lokal dalam masyarakatnya dalam menyiasati
dan mengatasi masalah anggota masyarakat yang tidak dapat dilakukan
sendiri seperti menurunkan perahu, memindahkan rumah, atau melakukan
suatu hajatan. Dengan tradisi pohamba-hamba semua masalah yang
dihadapi menjadi dapat teratasi dalam waktu yang relatif singkat serta hasil
memuaskan. Kedua, kearifan lokal pohamba-hamba menjadi penanaman
nilai-nilai persatuan dan kekeluargaan pada anak-anak secara dini sehingga
memiliki peluang untuk membentuk jati dirinya dengan nilai-nilai sosial.
Ketiga, kearifan lokal masyarakat Buton dalam penanaman dan penerapan
nilai-nilai kebersamaan (persatuan dan kesatuan), nilai kegotong-royongan,
dan nilai-nilai empati dalam kehidupan sehari-hari menjadi suatu kekuatan
untuk berkiprah dalam berbagai ilmu dan teknologi.

Kearifan Lokal dalam Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal


Upaya pelestarian dan pengenalan kearifan lokal pada generasi secara dini
akan dapat terealisasi jika dikembangkan melelaui pengembangan kurikulum
muatan lokal. Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013,
yang menegaskan bahwa materi kurikulum muatan lokal hendaknya memuat
materi yang menjadi potensi dan keunikan daerah. Banyak kearifan lokal
berupa budaya yang dipandang sebagai keunikan daerah sehingga daerah atau
satuan pendidikan dapat mengembangkannya sebagai kurikulum muatan
lokal. Ada dua cara yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum
muatan lokal, yaitu (1) mengintegrasikan kearifan lokal sebagai potensi dan
keunikan daerah dalam materi kebahasaan; dan (2) menjadikan kearifan

144 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


lokal sebagai potensi dan keunikan daerah menjadi mata pelajaran tersendiri
dengan bobot dua jam per minggu.
Pada konteks ini, kearifan lokal yang berbentuk falsafah hidup,
kebudayaan, dan tradisi masyarakat seperti yang telah digambarkan di atas,
hanya cocok terintegrasi dalam pembelajaran bahasa terutama bahasa daerah.
Jadi, materi kurikulum muatan lokal yang cocok adalah kurikulum muatan
lokal bahasa dan budaya daerah Buton. Lingkup kearifan lokal yang diajarkan
meliputi (1) lingkungan bahasa dan budaya, (2) lingkungan sosial masyarakat,
dan (3) lingkungan alam. Pada lingkungan alam banyak kearifan lokal yang
merupakan potensi dan keunikan daerah, seperti kearifan lokal yang berkaitan
dengan pengelolaan hasil laut dan pengelolaan kebun atau hutan.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang terakhir ini banyak diminati oleh
daerah karena menjadi potensi dan keunikan daerah. Salah satu contoh
Kabupaten Buton Tengah sebagai daerah pesisir pemerintah daerah
menetapkan tiga kurikulum muatan lokal, yaitu (1) rumput laut sebagai muatan
lokal di SMP (2) bahasa dan budaya Pancana sebagai muatan lokal SD, dan
(3) perkebunan sayur mayur sebagai muatan lokal pendidikan luar sekolah.
Muatan lokal tersebut diterapkan berdasarkan beberapa pertimbangan
daerah, yaitu (1) potensi daerah (2) sarana penunjang, (3) tenaga pengajar,
dan (4) nilai ekonomi.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa simpulan yang dapat ditindaklanjuti
oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat. Pertama, kearifan lokal dalam suatu masyarakat mengandung
nilai-nilai luhur yang menjadi acuan bagi masyarakat terutama generasi muda
untuk bersikap, berperilaku, dan berpikir dalam hidup dan kehidupan sehari-
hari. Untuk itu, kearifan lokal yang terdapat dalam kabanti masyarakat Buton
perlu disosialisasikan secara luas agar dapat menjadi panduan dalam hidup
dan kehidupan masyarakat Sulawesi Tenggara umumnya dan masyarakat
Buton pada khususnya. Kedua, banyak kearifan lokal masyarakat memiliki
potensi dan keunikan daerah sehingga daerah perlu menggunakan kearifan
lokal masyarakat sebagai landasan pengembangan kurikulum muatan lokal
pada jenjang pendidikan tertentu. Hal ini menjadi penting karena diharapkan
sebagai gerakan pemertahanan kearifan lokal di tengah-tengah pembauran
budaya, terutama dari budaya barat yang banyak mempengaruhi moralitas

Revitalisasi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengembangan .... 145


generasi muda, agar kemorosotan moral generasi muda yang saat ini dirasakan
dapat diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA
Affandy, S. (2017). Penanaman nilai-nilai kearifan lokal dalam meningkatkan
perilaku keberagamaan peserta didik. Atthulab: Islamic Religion Teaching and
Learning Journal, 2(2), 192–207.
Endraswara, S. (2008). Metodologi penelitian sastra: Epistimologi, model, teori, dan
aplikasi. Yogyakarta: Medpress.
Gunawan, R. (2003). Kearifan lokal dalam tradisi lisan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ikram, A. 2005. Istiadat tanah negeri Buton. Jakarta: Jambatan.
Muchir, L. O. A. (2003). Sara Pataanguna: Memanusiakan manusia menjadi manusia
khalifatullah di bumi Kesultanan Buton. Bau-bau: Diknas Kabupaten Buton.
Muslich, M. (2011). Pendidikan karakter: Menjawab tantangan krisis multidimensional.
Jakarta: Bumi Aksara.
Rahyono, F. X. (2009). Kearifan budaya dalam kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sztompka, P. (2014). The sociology of change (alih bahasa Alimandan). Jakarta:
Prenada Media Group.
Thwaites, T., Davis, L., & Mules, W. (2009). Introducing cultural and media studies: A
semiotic approach (terj. S. Rahmana). Yogyakarta: Jalasutra.
Wibowo, A., & Gunawan. (2015). Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal di
sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zamroni, E. (2016). Counseling model based on gusjigang culture: Conceptual
framework of counseling model based on local wisdoms in Kudus. Guidena:
Jurnal Ilmu Pendidikan, Psikologi, Bimbingan dan Konseling. 6(2), 116. doi:
https://dx.doi.org/10.24127/gdn.v6i2.426.
Zubaedi. (2011). Desain pendidikan karakter: Konsepsi dan aplikasinya dalam lembaga
pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Group.

146 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Menjadi Guru Sastra dalam Perspektif Islam

La Ode Balawa Dalam perspektif Islam, karya sastra ada yang terpuji
dan membangun, tetapi ada pula yang tercela dan
Jurusan Pendidikan Bahasa menghancurkan. Setiap guru sastra memiliki peran yang
dan Sastra Indonesia sangat penting dalam memilih dan mengembangkan karya
FKIP Universitas Halu Oleo
sastra yang terpuji dan membangun untuk diajarkan kepada
balawa@gmail.com peserta didik. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan
bagaimana konsep dan prinsip Islam tentang karya sastra
yang baik yang perlu menjadi acuan guru sastra dalam
merencanakan dan melaksanakan pembelajaran sastra
berbasis pendidikan nilai (value education) sesuai tuntutan
kurikulum satuan pendidikan dan tujuan pendidikan nasional
dewasa ini. Living values education (LVE) merupakan salah
satu pendekatan alternatif yang tepat digunakan oleh guru
sastra dalam meningkatkan mutu pembelajaran sastra
seperti yang diharapkan itu. Pembahasan masalah tersebut
disajikan secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan
studi kepustakaan.
kata kunci: karya sastra, Islam, pembelajaran sastra, living
values education (LVE)

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: “Penguatan Pengembangan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”—Kendari, 5–6 November 2020 •
Penyunting: Ahid Hidayat • Universitas Halu Oleo Press, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-8-2

147
PENDAHULUAN
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu
melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya
mereka suka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan, kecuali orang-orang
(penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama
Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-
orang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali
(Q. S. Asy-Syu’ara, 227).
Berdasarkan surah dalam kitab suci Al-Qur’an tersebut, Ahmadun
Y. Herfanda (Republika, 2018) berkesimpulan bahwa dalam Islam, penyair
“dikutuk” sekaligus “dimuliakan”. Kesimpulan Ahmadun ini sesuai pula dengan
penjelasan Syekh Al-Ghazali dalam kitab karyanya Ihya’-‘Ulimuddin yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ismail Yakub dengan judul
Ihya’ Al-Ghazali, Jilid IV (1964), bahwa dalam Islam dibolehkan mencipta
karya seni termasuk karya sastra yang mengandung hikmah dan tazkir,
tetapi terlarang menciptakan karya seni atau karya sastra dapat menyebabkan
seseorang melampaui batas-batas kebolehjadian dalam akidah dan kaidah
agamanya (Islam), larut ke dalam perbuatan yang sia-sia, terlambat dan
terhambat untuk menemukan kebenaran, atau karya yang memutarbalikkan
kebenaran dan/atau yang hanya mengimbau hawa nafsu (Al-Ghazali, 1964).
Terkait dengan masalah karya seni sastra yang terlarang, Quraish
Shihab berkomentar bahwa di dalam Al-Qur’an surah Asy-Syu’ara ayat 224
dan 226 menjelaskan bahwa para penyair (di zaman Nabi Muhammad saw.)
banyak yang berdusta. Kalimat yang mereka ucapkan memang indah, tetapi
uraiannya tidak jelas, tidak berbicara tentang kebutuhan manusia. Umumnya,
yang mereka bicarakan soal balas dendam, cinta yang berlebihan, dan ejekan
karena mereka dipengaruhi setan (Shihab, 2016). Bandingkan pula dengan
komentar Syekh Al-Ghazali tentang surah Luqman Ayat 6-7 berikut ini.
Dan (ada juga) di antara manusia (orang-orang) yang membeli ucapan
yang melengahkan untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah (tuntunan
Al-Qur’an) tanpa mengetahui dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itulah
yang bagi mereka azab yang menghinakan; dan apabila dibacakan kepadanya
ayat-ayat Kami, dia berpaling sambil menyombongkan diri seakan-akan
dia belum (pernah) mendengarnya. Seakan-akan di kedua telinganya ada
sumbatan, maka gembirakanlah dia dengan siksa yang pedih (Q. S. Luqman,
6-7)”.

148 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Al-Ghazali berkomentar, “Demi hidup saya, perkataan yang berguna
maupun tidak berguna, untuk keperluan-keperluan tersebut dalam ayat di atas
adalah layak untuk mendapatkan balasan yang buruk. Adapun orang-orang
yang mengendurkan saraf-sarafnya yang tegang dengan cara mendendangkan
atau mendengarkan lagu-lagu yang lirik dan maknanya tidak bertentangan
dengan etika, maka tidak ada hubungannya sama sekali dengan ayat ini” (Al-
Ghazali, 2012).
Komentar Al-Ghazali di atas ini lebih ditujukan kepada penikmat karya
seni (sastra), bahwa baik syair yang isinya mengandung maanfaat maupun
yang tidak mengandung manfaat, bila digunakan untuk melengahkan dan
menyesatkan manusia dari jalan Allah (tuntunan Al-Qur’an) atau untuk
berolok-olok, semua itu merupakan perbuatan yang dilarang karena tergolong
perbuatan hina dan sesat.
Dari uraian di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan. Pertama,
penciptaan karya seni pada umumnya dan karya sastra pada khususnya
dibolehkan dalam ajaran Islam jika mengandung hikmah dan tazkir,
diciptakan oleh orang-orang beriman dan bertakwa dan suka beramal saleh,
tidak bertentangan dengan etika, bermanfaat dan hanya layak dimanfaatkan
membangun iman dan takwa serta akhlak mulia. Kedua, karya-karya seni pada
umumnya dan karya seni sastra pada khususnya yang diciptakan oleh orang-
orang yang tidak beriman dan berakhlak mulia, bertentangan dengan etika,
menyesatkan dan melalaikan dari tuntunan Al-Qur’an, yang dominan hanya
menghasut hawa nafsu duniawi yang menghancurkan iman dan takwa dan
akhlak manusia, itulah karya-karya seni (sastra) yang terlarang dan terkutuk
dan wajib ditinggalkan. Ketiga, baik karya seni (sastra) yang baik (tidak
terlarang) maupun karya sastra yang buruk (terlarang) jika dimanfaatkan
untuk tujuan bersenang-senang dan berolok-olok, untuk melengahkan
dan melalaikan orang-orang dari tuntunan agama (Al-Qur’an), termasuk
perbuatan dosa serta sesat dan menyesatkan.
Apa yang harus dilakukan oleh guru sastra dengan kenyataan karya
sastra seperti yang digambarkan di atas ini? Bagaimana menjadi guru sastra
yang mampu memaksimalkan pembelajaran sastra bagi peningkatan iman
dan takwa, pendidikan karakter, dan pengembangan akhlak peserta didik?
Bagaimana living values education (LVE) dapat menjadi pendekatan alternatif
yang efektif bagi pengembangan pembelajaran sastra berbasis iman dan takwa,
pendidikan karakter, dan pembinaan akhlak seperti yang diharapkan itu?

Menjadi Guru Sastra dalam Perspektif Islam 149


PEMBAHASAN
Dengan memperhatikan uraian pada bagian pendahuluan di atas, dapatlah
ditegaskan di sini bahwa menjadi guru sastra dalam perspektif Islam perlu
terus-menerus belajar meningkatkan (1) kompetensi iman dan takwa di
samping penguasaan bahan ajar berbasis pendidikan nilai (value education);
(2) kompetensi pedagogik berbasis pendidikan nilai; dan (3) kompetensi
spiritual dan kepribadian berorientasi keteladan akhlak yang mulia.

Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Iman dan Takwa (Imtak)


Untuk pengembangan bahan ajar berbasis iman dan takwa, pendekatan
pragmatik menjadi prinsip utama. Tugas sastra adalah memberi kenikmatan
dan kehikmatan. Dalam Ars Poetica, pujangga besar Yunani, Horatius (Teeuw,
1983) menyatakan bahwa tujuan penyair menulis sajak adalah memberi
nikmat dan berguna (dulce et utile).
Sastra memiliki tujuan yang sama dengan agama dan filsafat, yakni
memanusiakan manusia. Sastrawan dan kritikus sastra Indonesia, Budi
Darma (1984) pernah menyatakan bahwa meskipun dengan cara yang
berbeda, pada hakikatnya sastra mempunyai tujuan yang sama dengan peran
filsafat dan agama dalam kehidupan manusia ini, yaitu “menumbuhkan jiwa
humanitat—jiwa yang halus, manusiawi dan berbudaya”. Meskipun antara
bentuk dan isi karya sastra sama-sama penting, dalam seleksi karya sastra
untuk pembelajaran berbasis imtak isi lebih utama daripada bentuk. Dalam
kenyataan adanya pembagian atau pembedaan antara karya sastra serius
dan karya sastra populer, untuk pengambilan bahan ajar sastra berbasis
imtak golongan karya sastra serius lebih diprioritaskan daripada karya sastra
popular karena karya sastra serius dianggap lebih bermutu, baik bentuk
maupun isinya daripada karya sastra populer yang dianggap lebih cenderung
komersial selama ini.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah mempelajari dan memahami
secara mendalam biografi dan konsep kepenyairan (kredo) para sastrawan
atau penyair dan latar belakang penciptaan karyanya. Dengan memahami
semua itu (biografi, kredo, dan latar belakang penciptaan karya), guru
sastra akan semakin mudah dan lebih tepat dalam menentukan karya
mana oleh ciptaan siapa yang lebih tepat dipilih dan dikembangkan dalam
pembelajaran sastra sesuai karakter dan tingkat perkembangan peserta
didik.

150 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Dalam kegiatan kajian sastra dalam segala jenisnya dan dengan
pendekatan apa pun yang digunakan, aspek isi dan nilai selalu menjadi titik
tolak dan titik mangsa dalam kajian tersebut. Pembicaraan masalah bentuk
dan struktur karya sastra selalu dalam kaitannya dengan makna atau isi
karya sastra yang bersangkutan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
pembicaraan aspek bentuk, struktur, atau bahasa pada teks sastra selalu
dalam kaitan dengan isi, selalu dalam rangka memperjelas dan memperluas
nilai-nilai kehidupan yang ingin diungkapkan oleh pengarang karya yang
bersangkutan. Pembahasan nilai-nilai dalam karya sastra pun tidak hanya
terbatas pada penemuan informasi atau pengetahuan, tetapi yang lebih utama
adalah soal bagaimana internalisasi nilai-nilai itu ke dalam diri peserta didik
agar dapat diterapkan secara lebih baik dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Living Values Education (LVE):


Ancangan Alternatif Pembelajaran Sastra Berbasis Imtak
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pendidikan karakter adalah
living values education (LVE). Pendekatan LVE tidak hanya bertujuan untuk
mengajarkan nilai (values), tetapi menggali dan menghidupkan nilai-nilai atau
karakter murid dalam kehidupan (Hidayatullah, 2019). Setelah mengkaji lima
artikel digital yang membicarakan masalah LVE—“Living Values Education:
Alternatif Pendekatan Pendidikan Karakter dalam Pencegahan Ekstremisme”
(Hidayatullah, 2019); “Living Values Education dan Surat Cinta untuk Nabi:
Pendidikan Menghidupkan Nilai Damai di Indonesia” (Qomaruzzaman, Al-
Bustomi, & Busro, 2018); “Implementasi Pendidikan Nilai (Living Values
Education) dalam Pembelajaran IPS: Studi terhadap Pembentukan Karakter
Anak di Tingkat Sekolah Dasar” (Sukitman & Ridwan, 2016); “Manifestasi
Konsep Living Values Education pada Materi Hak dan Kewajiban Warga
Negara melalui Kegiatan Konservasi Mangrove Mahasiswa Unswagati
Cirebon” (Hayati, 2017); dan “A Model of Living Values Education-Based
Civic Education Textbooks in Indonesia” (Komalasari & Saripudin, 2017)—
diperoleh kesimpulan dan gambaran umum sebagai berikut ini.
Pertama, LVE merupakan salah satu pendekatan alternatif yang sangat
tepat bagi kemajuan pendidikan nilai (value education) dalam pembelajaran,
baik di tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah maupun di perguruan
tinggi. LVE juga tepat digunakan dalam pembelajaran sastra berbasis imtak
terhadap peserta didik yang berbeda-beda agama atau kepercayaannya.

Menjadi Guru Sastra dalam Perspektif Islam 151


Dengan pendekatan ini, perspektif agama atau nilai-nilai agama dalam
diri seorang muslim (misalnya) dikembangkan dengan model relasi dan
komunikasi dengan nilai-nilai dalam diri orang lain “yang berbeda agama”
dengan sikap saling menghormati dan saling menghargai dan semata-mata
untuk tujuan damai dan saling memahami.
Kedua, LVE sangat efektif digunakan oleh guru sastra dalam
memaksimalkan pemanfaatan karya sastra yang dibolehkan dalam Islam,
yang mengandung hikmah dan tazkir, yang menganjurkan perjuangan ke
jalan Allah (sesuai tuntutan kitab suci Al-Qur’an) karena pendekatan ini
tidak hanya mengajarkan nilai-nilai tetapi yang lebih utama adalah menggali
dan menghidupkan nilai-nilai (agama) yang terdapat dalam diri peserta
didik untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam
kesadaran dan suasana saling menghormati dan menghargai dengan orang
lain yang berbeda agama dengannya.
Ketiga, LVE merupakan pendekatan yang tepat bagi guru sastra dalam
mengimplementasikan peran karya sastra, pemilihan dan pengembangan
bahan ajar, serta perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sastra sesuai
pandangan agama Islam pada khususnya dan pandangan agama lain pada
umumnya dalam membangun karakter dan akhlak peserta didik sesuai tujuan
pendidikan ntuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Hal menarik dari pendekatan LVE ini ada dua, yaitu (1) kesesuaiannya
dengan prinsip-prisinsip pembelajaran inovatif yang tengah digalakkan dewasa
ini, seperti pembelajaran induktif, berpusat pda siswa, atau pembelajaran yang
mendorong kebiasaan berpikir kritis dan kreatif; dan (2) pengkajian nilai-
nilai dalam karya sastra tidak hanya berupa informasi dan/pengetahuan dari
hasil kajian teknis, tetapi justru lebih menyangkut soal bagaimana aktualisasi
nilai-nilai dari karya itu ke dalam diri siswa untuk kemudian dapat diamalkan
dalam kehidupan nyata peserta didik.

PENUTUP
Dalam perspektif Islam, karya seni (sastra) ada yang terpuji dan mulia
sekaligus penciptanya dan ada pula yang tercela dan terkutuk sekaligus
penciptanya. Guru sastra memiliki tanggung jawab mulia untuk memilih

152 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


dan mengembangkan karya sastra yang baik dan efektif bagi pengembangan
potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa, berakhlak
mulia, demokratis, dan cinta damai.
LVE merupakan ancangan alternatif dan solusi dalam kegelisahan dunia
pendidikan kita menghadapi kecenderungan munculnya krisis nilai-nilai
moral agama serta nilai-nilai kepribadian dan jati diri bangsa di kalangan
generasi bangsa kita dewasa ini. Tidak ada salahnya kita berharap, dengan
meningkatnya kesadaran guru sastra tentang tanggung jawab sastra dalam
“memanusiakan manusia” dan adanya terobosan-terobosan baru dalam
pemajuan pembelajaran sastra dewasa ini, posisi sastra untuk menjadi
salah satu mata pelajaran yang terpisah dari mata pelajaran bahasa kembali
mendapat perhatian serius pada masa-masa selanjutnya.

PUSTAKA ACUAN
Al-Ghazali, M. (1984). Ihya ’Al Ghazali (terj. I. Yakub). Jakarta Selatan: Faisan.
Al-Ghazali, M. (2012). Al-Ghazali menjawab 100 soal keislaman (terj. A. Abbas).
Tangerang: Lentera Hati.
Al-Syaikh, A. b. M. (2017). Tafsir Ibnu Katsir (terj. M. A. Ghaffar E.M., & A. I. Al-
Atsari). Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i.
Balawa, L. O. (2017). Pendidikan karakter dan penampilan karakter dalam
pembelajaran sastra Indonesia di sekolah. Dalam S. Udu (Ed.), Literasi, Sastra
dan Pengajarannya. Kendari: Oceania Press.
Darma, B. (1984). Sejumlah esai sastra. Jakarta: Karya Unipress.
Hayati, A. A. (2017). Konsep living values education pada materi hak dan kewajiban
warga negara melalui kegiatan konservasi mangrove mahasiswa Unswagati
Cirebon. Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III, 152–158. http://
eprints.uad.ac.id/9775/
Herfanda, A. Y. (2018). Penyair dimuliakan dalam Islam. Republika, 10 Juni. https:
//republika.co.id/berita/pa3fut313/ahmadun-yh-penyair-dimuliakan-dalam-
islam
Hidayatullah, T. (2019). Living values education: Alternatif pendekatan pendidikan
karakter dalam pencegahan ekstremisme. Misykat, 04(02), 87–126. https://pps.
iiq.ac.id/jurnal/index.php/MISYKAT/article/view/90
Komalasari, K., & Saripudin, D. (2017). A model of living values education-based
civic education textbooks in Indonesia. The New Educational Review, 47, 139–
150. https://tner.polsl.pl/issues/volume-472017/

Menjadi Guru Sastra dalam Perspektif Islam 153


Qomaruzzaman, B., Al-Bustomi, A. G., & Busro. (2018). Living values education dan
surat cinta untuk nabi: Pendidikan menghidupkan nilai damai di Indonesia.
Al-Tahrir, 18(1), 112–131. http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/tahrir/
article/view/1202
Shihab, Q. (2016). Kisah para penyair sesat. https: //mediaindonesia.com/read/
detail/50541-kisah-para-penyair-sesat
Soedarsono, S. (2008). Membangun kembali jati diri bangsa. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Sukitman, T., & Ridwan, M. (2016). Implementasi pendidikan nilai (living values
education) dalam pembelajaran IPS (Studi terhadap pembentukan karakter
anak di tingkat sekolah dasar). Profesi Pendidikan Dasar, 3(1), 30–41. http://
journals.ums.ac.id/index.php/ppd/article/view/2717
Teew, A. (1983). Membaca dan menilai sastra. Jakarta: Gramedia.

154 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Anda mungkin juga menyukai