Anda di halaman 1dari 113

LEMBAGA 

KUASA DALAM 
PERALIHAN HAK ATAS TANAH
Dr. UDIN NARSUDIN, SH., M.Hum., SpN.
• UDIN NARSUDIN
• S‐1 UNPAS BANDUNG
• Spesialis Notariat dan Pertanahan UI
• S‐2 Hukum Bisnis UGM
• S‐3 Ilmu Hukum UNPAD
• ‐Notaris dan PPAT Kota Tangsel
• ‐Dosen MKn UNPAS, Dosen MKn UNS SOLO, Dosen PDIH UKI
• ‐Ketua MKP IPPAT
PPAT harus
berwenang sepanjang
mengenai orang‐orang 
untuk kepentingan
siapa akta tersebut
dibuat. 

PPAT harus
PPAT harus
berwenang sepanjang
mengenai tempat, 
dimana akta itu
dibuat;
PPAT berwenang sepanjang
yang menyangkut akta
yang dibuatnya;

PPAT harus
berwenang sepanjang
mengenai waktu
pembuat akta itu.
Kewenangan PPAT
AKTA SURAT 
KUASA 
MEMBEBANKAN 
HAK 
TANGGUNGAN
AKTA 
AKTA TUKAR  PEMBAGIAN 
MENUKAR HAK 
AKTA 
BERSAMA AKTA 
PEMBERIAN 
PEMBERIAN  AKTA JUAL  HGB/HAK 
HAK 
TANGGUNGAN
BELI PAKAI DIATAS 
HAK MILIK
AKTA 
PEMASUKAN 
AKTA HIBAH KE DALAM 
PERUSAHAAN 
(INBRENG)
• Dalam Praktik Notaris dan PPAT Kita Mengenal Lembaga Kuasa Menurut Hukum. Apa
Maksudnya Dan Jenis‐jenis Kuasa Menurut Hukum Tersebut?
• Kuasa menurut hukum atau biasa juga dikenal legal mandatory adalah bahwa dalam
undang‐undang menetapkan seseorang atau badan hukum dengan sendirinya menurut
hukum berhak bertindak mewakili orang atau badan hukum tersebut tanpa
memerlukan surat kuasa. 
• Untuk orang yang berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum
kehadirannya sebagai wakil atau kuasa tidak memerlukan lagi surat kuasa, cukup bukti
bahwa yang bersangkutan terkait dengan badan hukum tersebut.
• Terdapat beberapa bentuk kuasa menurut hukum atau legal mandatory 
yaitu :
• 1. BHP sebagai Kurator Kepailitan.
• Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa
kurator atas asset perusahaan yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan
berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum tanpa perlu
surat kuasa dari debitor.
• 2. Direksi atau Pengurus Badan Hukum.
• UU PT menentukan bahwa yang berhak bertindak sendiri menurut hukum
mewakili kepentingan perseroan didalam dan diluar pengadilan adalah
direksi tanpa memerlukan surat kuasa dari perseroan.
• Jika berbentuk Yayasan perlu memperhatikan Pasal 37 ayat (1) UU Yayasan, 
yaitu bahwa yang harus berkedudukan sebagai legal mandatorynya adalah
organ pengurus yayasan yang bersangkutan, sedangkan Pembina atau
pengawas tidak boleh bertindak sebagai legal mandatory.
• Jika berbentuk Koperasi maka yang dapat bertindak sebagai legal 
mandatory adalah pengurus koperasinya.
• 3. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik.
• Apabila kita perhatikan Putusan MARI Nomor 779 K/Pdt/1992, bahwa
pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas nama
pimpinan pusat tanpa memerlukan kuasa khusus untuk itu. 
• Dalam praktik peradilan juga mengakui bahwa pimpinan cabang
perusahaan domestik, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa
menurut hukum sesuai dengan batas kualitas pelimpahan wewenang yang 
diberikan perusahaan pusat kepada cabang tersebut.
• 4. Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing. 
• Pimpinan perwakilan perusahaan asing yang ada di Indonesia dinyatakan
sebagai legal mandatory yang disejajarkan dengan wettelijke
vertegenwordig, berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut
hukum untuk mewakili kepentingan kantor perwakilan perusahaan
tersebut didalam dan diluar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa
khusus dari kantor pusat yang ada diluar negeri.
• 5. Direksi Perusahaan Perseroan.
• Menurut Pasal 1 angka (2) PP Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan 
Perseroan, bahwa Persero adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan UU 
No. 9/1969 tentang Penetapan Perppu No. 1/1969 tentang Bentuk Bentuk
Usaha Negara yaitu berbentuk PT sebagaimana yang dimaksud dalam UU 
PT yang seluruh atau sedikitnya 51 % saham yang dikeluarkan, dimiliki oleh 
Negara melalui penyertaan modal langsung. 
• Oleh karena itu prinsip‐prinsip PT berlaku terhadap BUMN sebagai Persero. 
Sehingga direksi berkedudukan sebagai kuasa menurut hukum untuk
mewakili perseroan didalam dan diluar pengadilan tanpa memerlukan
surat kuasa dari pihak manapun. Ketentuan kuasa menurut hukum ini juga 
berlaku tidak terbatas pada BUMN, tetapi juga meliputi Perusahaan 
Daerah.
• 6. Kurator atas Orang Gila.
• Berdasarkan Pasal 299 HIR, seseorang yang sudah dewasa tetapi tidak bisa
memelihara dirinya dan mengurus barangnya karena gila, dapat diminta
untuk diangkat sebagai kurator. Dengan demikian, kurator sah dan 
berwenang bertindak mewakili kepentingan orang yang berada di bawah
pengawasan tersebut sebagai kuasa menurut hukum.
• 7. Orangtua Terhadap Anak yang Belum Dewasa.
• Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUP, orangtua dengan sendirinya menurut
hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak‐anak sampai
mereka dewasa. Oleh karena itu, orang tua adalah kuasa yang mewakili
kepentingan anak‐anak yang belum dewasa kepada pihak ketiga maupun
didepan pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa dari anak tersebut.
• 8. Kejaksaan.
• Jaksa sebagai pengacara Negara berwenang mewakili BUMN atau BUMD, 
hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan Stbl. 
1922 Nomor 522, serta SEMA RI No. 4 tahun 2014 tentang Pemberlakuan
Hasil Rapat Pleno MARI Tahun 2013.
• 9. Wali Terhadap Anak di Bawah Perwalian.
• Berdasarkan Pasal 51 UUP, wali dengan sendirinya menurut hukum
menjadi kuasa untuk bertindak mewakili kepentingan anak yang berada
dibawah perwalian.  
• Dalam sejarah hukum yang merupakan bagian dari peradaban manusia, 
hukum Romawi kuno berlaku suatu asas, bahwa akibat dari suatu
perbuatan hukum hanya berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan
hukum itu sendiri.
• Hal ini berarti bahwa seseorang yang melakukan perbuatan hukum hanya
dapat mengikat dirinya sendiri dengan segala akibat hukum dari
perbuatannya itu. 
• Dengan demikian apabila seseorang menginginkan untuk memperoleh
sesuatu hak, maka ia sendiri yang harus melakukan perbuatan guna
memperoleh hak itu dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. 
• Sejalan dengan perkembangan tarap kehidupan dan meningkatnya
kebutuhan masyarakat, lambat laun Hukum Romawi melepaskan prinsip
dasar tersebut dan bersamaan dengan itu didalam masyarakat mulai
dikenal lembaga perwakilan, sehingga apabila seseorang karena sesuatu
hal tidak dapat melakukan sendiri perbuatan hukum guna memperoleh
sesuatu hak, maka ia dapat mengangkat orang lain utuk mewakilinya dalam
melakukan perbuatan hukum itu. 
• Disebutkan sebelumnya di dalam masyarakat mulai dikenal lembaga
perwakilan, namun dalam kenyataannya pada waktu itu yang berkembang
dalam lalu lintas hukum adalah lembaga perwakilan tidak langsung
(middelijke vertegenwoordiging). 
• Pada perwakilan tidak langsung yang bertindak sebagai subjek hukum
dalam melakukan perbuatan hukum yang berasangkutan adalah yang 
mewakili sendiri dan dengan demikian akibat hukum dari perbuatannya itu
hanya mengikat dirinya sendiri, oleh karena ia dalam melakukan perbuatan
hukum itu tidak bertindak untuk dan atas nama pihak lain. 
• Baru sesudah itu dilakukannya perbuatan hukum berikutnya, dimana ia
memindahkan hak‐hak yang diperolehnya dari perbuatan hukum yang 
dilakukannya itu kepada orang yang sesungguhnya berkepentingan pada 
perbuatan hukum itu. 
• Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas, bahwa pada perwakilan tidak
langsung unsur perwakilan hanya menyangkut hubungan intern antara
yang diwakili dan yang mewakili.
• Dalam hukum Perancis pada mulanya hanya dikenal lembaga perwakilan
tidak langsung (middellijke vertegenwoordiging), namun dengan terjadinya
perkembangan yang sangat pesat dalam dunia perdagangan dan karena
tuntutan lalu lintas hukum dalam berbagai bidang, maka prinsip dasar yang 
dianut sebelumnya lambat laun semakin ditinggalkan, untuk kemudian
didalam masyarakat dan lalu lintas hukum berkembang lembaga‐lembaga
perwakilan, baik berupa pemberian tugas disertai pemberian wewenang
(lastgeving), pernyataan pemberian kuasa (machtiging) maupun volmacht, 
yang semuanya itu diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan satu
perkataan yaitu Kuasa.
• PERWAKILAN (VERTEGENWOORDIGING)
• Apabila seseorang didalam melakukan suatu perbuatan hukum
menyatakan bahwa ia bertindak bukan untuk dirinya (kepentingannya) 
sendiri, akan tetapi untuk dan atas nama serta bagi kepentingan orang lain, 
maka kita dapat segera mengetahui bahwa yang bersangkutan didalam
melakukan perbuatan hukum itu mempergunakan suatu lembaga hukum
yang dikenal dan disebut perwakilan (vertegenwoordiging), yaitu suatu
lembaga hukum dimana akibat hukum dari perbuatan hukum yang 
dilakukan oleh pelakunya bukan menjadi tanggung jawabnya, akan tetapi
sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari pihak (orang) lain yang tidak
secara nyata melakukan perbuatan hukum itu.
• Gambaran diatas merupakan pengertian dari lembaga hukum yang 
dinamakan perwakilan, yang dulu tidak diakui berdasarkan prinsip dasar di 
dalam hukum, yang mengatakan bahwa suatu perbuatan hukum yang 
dilakukan seseorang adalah tanggung jawab dari orang yang 
melakukannya, akan tetapi dalam sistem hukum modern sekarang ini
diakui kehadirannya, sehingga dimungkinkan bahwa tanggung jawab atas
suatu perbuatan hukum dapat dibebankan kepada pihak (orang) lain yang 
tidak secara nyata melakukan perbuatan hukum itu, akan tetapi dengan
perantaraan orang lain.
• Lembaga perwakilan itu, apabila dilihat dari segi sifatnya, dapat dibedakan
dalam dua golongan, yaitu:
• 1. Perwakilan Tidak Langsung (Middellijke vertegen‐woordiging)
• Pada perwakilan tidak langsung, yang menerima tugas (lasthebber) 
bertindak atas namanya sendiri, bukan atas nama dari yang memberi tugas
(lastgever), sehingga pada hakekatnya dalam hal ini tidak terdapat
perwakilan (vertegenwoordiging). Hubungan hukum yang ada antara
lasthebber dan pihak ketiga dan dengan demikian pihak ketiga tidak dapat
langsung menghubungi lastgever dan demikian sebaliknya. Pihak ketiga
tidak mempunyai sangkut paut dengan hubungan intern antara lastgever
dan lasthebber. Apabila hubungan hukum yang terjadi antara lastgever dan 
lasthebber dapat dilakukan dengan cessie dari hak atas penyerahan (cessie
van het recht op levering) kepada lastgever.
• 2. Perwakilan Langsung (Onmiddellijke Vertegenwoordiging)
• Dalam hal perwakilan langsung (lasthebber) dalam hubungannya dengan
pihak ketiga menyebutkan nama lastgever, hal mana berarti bahwa
lasthebber bertindak untuk dan atas nama lastgever dan dengan demikian
dalam hal ini terdapat perwakilan (vertegenwoordiging).
• Perwakilan langsung dapat timbul berdasarkan :
• A. Perjanjian (overeenkomst), dan
• B. Undang‐undang (wettelijke Vertegenwoordiging).
• Perwakilan yang timbul berdasarkan perjanjian disebut volmacht (kuasa) 
lastgeving (pemberian tugas). Pasal 1792 KUHPerdata merupakan salah 
satu sumber timbulnya volmacht (kuasa).
• Selain penggolongan yang didasarkan pada segi sifatnya, lembaga
perwakilan ini didasarkan kepada sumbernya, dalam arti sebab atau dasar
yang menimbulkan perwakilan dapat diperinci dalam berbagai bentuk
perwakilan yaitu:
• 1. Perwakilan berdasarkan undang‐undang (wettelijke vertegenwoordiging)
• 2. Perwakilan berdasarkan kuasa atau pengangkatan
• 3.  Perwakilan pada badan hukum
• 4. Perwakilan berdasarkan pengurusan (bewindvoering)
• 5. Perwakilan berdasarkan syarat trustee (trustbeding)
• 6. Perwakilan pada perkumpulan‐perkumpulan (verenigingen)
• 7. Perwakilan langsung (onmiddellijke vertegenwoordging)
• 8. Zaakwaarneming. 
• PERWAKILAN BERDASARKAN UNDANG‐UNDANG (WETTELLJKE
VERTEGENWOORDIGING).

• Perwakilan berdasarkan undang‐undang timbul berdasarkan atau terletak


pada hubungan seperti misalnya hubungan antara bapak dan anak, dimana
perwakilan dijalankan oleh si bapak terhadap anaknya yang masih di 
bawah umur atau karena penunjukkan dari pihak penguasa, dimana si wali
mewakili anak yang berada di bawah perwaliannya (datieve voogdij).
• PERWAKILAN BERDASARKAN KUASA ATAU PENGANGKATAN.
• Lembaga kuasa diatur dalam Buku III KUHPerdata dengan judul “LASTGEVING’’.
• Kuasa adalah pernyataan dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada
orang atau badan hukum lain untuk dan atas namanya melakukan perbuatan hukum.
• Dengan perkataan “atas nama" dimaksudkan sebagai suatu pernyataan bahwa yang 
diberi kuasa itu berwenang untuk mengikat pemberi kuasa secara langsung dengan
pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan oleh penerima
kuasa berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kuasa
sendiri. Dengan perkatan lain, penerima kuasa dapat dan berwenang bertindak
dan/atau berbuat seolah‐olah ia adalah orang yang memberikan kuasa itu.
• Pasal 1792 KUHPerdata nemberikan batasan (definisi) mengenai "lastgeving", dimana
dikatakan, bahwa: "lastgeving adalah suatu persetujuan, dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan (macht) kepada orang lain yang menerimanya untuk atas
namanya melakukan suatu urusan".
• Perkataan “urusan" (een zaak) pada umumnya diartikan sebagai suatu
perbuatan hukum, sedang perkataan "atas namanya" mengandung arti
bahwa penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa.
• Dari gambaran hubungan yang dikemukakan di atas, maka dapat dilihat
bahwa yang diikat dengan penyelenggaraan/pelaksanaan urusan itu adalah
pemberi kuasa dan bukan sipenerima kuasa. 
• Dengan perkataan lain, akibat hukum dari pemberian kekuasaan itu yang 
timbul dari penyelenggaraan urusan itu menimpa diri pemberi kuasa.
• Unsur perwakilan dalam pemberian kuasa tidak akan ada, jika terhadap
pihak ketiga “lasthebber” itu bertindak seolah‐olah untuk kepentingan dan 
atas kehendaknya sendiri, seolah‐olah tidak ada orang lain yang 
menyuruhnya melakukan perbuatan hukum itu. Singkatnya pemberian
kuasa tanpa adanya unsur perwakilan hanyalah menyangkut hubungan
intern antara "lastgever" dan "lasthebber”.
• Setiap penerima kuasa dapat mewakilkan dirinya lagi oleh orang lain, 
kecuali hal ini dilarang secara tegas dalam kuasa yang bersangkutan.
• Pada umumnya kuasa tidak terikat pada persyaratan bentuk, kecuali oleh 
undang‐undang untuk suatu kuasa tertentu dinyatakan secara tegas terikat
pada persyaratan bentuk, seperti misalnya:
• ‐SKMHT, yang diatur dalam UU No. 4/1996 tentang hak tanggungan. 
• Ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT mengharuskan agar SKMHT dibuat
dalam bentuk tertulis, yaitu akta notaris atau akta PPAT yang membawa
konsekuensi logis bahwa pejabat yang berwenang untuk membuat akta
notaris adalah notaris dan pejabat yang berwenang untuk membuat akta
PPAT adalah PPAT. Baik notaris maupun PPAT dalam menjalankan
jabatannya sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya.
• SKMHT, baik dilakukan dengan akta notaris atau akta PPAT harus
memuat hal‐hal sesuai dengan persyaratan sebagaimana ditentukan
UUHT. 
• Dengan perkataan lain, perjanjian pemberian kuasa membebankan hak
tanggungan mempunyai sifat memaksa, dalam arti para pihak tidak
bebas untuk menentukan sendiri baik bentuk maupun isi dari perjanjian
pembuatan SKMHT‐nya.
• Akibat tidak dilakukan pembuatan akta SKMHT sesuai dengan ketentuan
tsb menyebabkan akta tersebut tidak mempunyai akibat hukum atau
batal demi hukum.
• Pemberian kuasa (lastgeving) adalah perjanjian konsensual (consencuele
overeenkomst). 
• Dalam pasal 1813 KUHPerdata dinyatakan, bahwa “pemberian kuasa yakni
hubungan hukum antara pemberi kuasa dan penerima kuasa berakhir
karena kematian, pengampuan (curatele) dan kepailitan”.
• Semuanya ini mengandung ketidak teraturan. Dikatakan demikian, oleh 
karena pada umumnya kematian tidak mengakhiri hubungan yang ada. 
• Para ahliwaris menggantikan tempat dari kontraktan yang meninggal dunia 
itu. Pada kepailitan terjadi likwidasi dari suatu hubungan dengan
mengkapitalisir tagihan dan hutang yang akan ada (toekomstige
vorderingen en schulden). Tidak sebagaimana halnya menurut ketentuan
dalam pasal 1813 KUHPerdata mengakhirinya begitu saja.
• Pembuat undang‐undang menganggap “pemberian kuasa" itu sebagai suatu perjanjian, 
dimana secara timbal‐balik hanya ditekankan kepada orangnya, sehingga tidak hanya
perubahan dalam diri orang‐orang yang bersangkutan, akan tetapi juga perubahan
dalam kedudukan orangnya dapat membebaskan pihak lainnya.
lalu apakah pasal 1813 KUHPerdata merupakan hukum yang memaksa (dwingend rech) 
atau merupakan "hukum yang mengatur" (regelend recht)?
Menurut para ahli dan yurisprudensi, pasal 1813 KUHPerdata merupakan hukum yang 
mengatur (regelend recht). Para pihak dapat menetapkan kuasa itu tidak dapat dicabut
kembali. 
• Jika hal itu ditetapkan, maka pembatalan secara sepihak tidak berlaku. Suatu janji yang 
telah diberikan, tidak dapat ditarik kembali. Suatu "syarat waktu yang membatalkan" 
(ontbindende tijdsbepaling) yang dibuat dalam suatu perjanjian pada hakekatnya
mengandung arti, bahwa hubungan hukum itu adalah tidak dapat dibatalkan sebelum
tanggal yang ditentukan. Hal ini juga berlaku untuk kuasa yang tidak dapat dicabut
kembali. Jadi para pihak dapat menentukan, bahwa pemberian kuasa itu tidak akan
berakhir karena kematian, curatele dan kepailitan.
• Namun dalam hal ini tentu perlu diperhatikan ketentuan‐ketentuan yang memaksa
dalam UUHT terkait SKMHT yang memberikan hak bagi penerima kuasa dengan
mengesampingkan pasal 1813 KUHperdata.
• Jika hal ini kita lihat kepada pasal 1813 KUHPerdata, terdapat dasar hukum yang kuat. 
Seperti misalnya kreditor dalam hubungannya dengan UUHT yang bertindak
berdasarkan kuasa dalam SKMT yang selanjutnya menghasilkan sht untuk keperluan
eksekusi apabila debitor wanprestasi.  
• Dalam contoh skmht tersebut tentu tidak masuk akal apabila para pihak
memperjanjikan, bahwa suatu kuasa yang diberikan bagi kepentingan penerima kuasa
begitu saja dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa.
• bahwa Kuasa itu baru akan batal, apabila hubungan hukum, kepada hubungan mana itu
merupakan assessoir, hapus (teniet gaat).
• demikian juga misalnya dengan terjadinya curatele atau kematian tidak berarti
berakhirnya/batalnya begitu saja kuasa itu. Oleh karena itu dapat disimpulkan pasal
1813 KUHPerdata merupakan hukum yang mengatur (regelendrecht).
• Ada pendapat yang mengatakan, bahwa pemberian suatu kuasa tidak boleh tidak dapat
dicabut kembali, dapat dipahami jika kita telusuri sejarah pemberian kuasa ini.
Sebagaimana kita ketahui, sistem hukum yang berlaku di negeri Belanda, yang pada 
dasarnya masih kita pergunakan di Indonesia, tidak mengenal ketentuan “kuasa yang 
tidak dapat dicabut (kembali)”. 
• Pembuat undang‐undang pada waktu itu di dalam menyusun peraturan mengenai
“lastgeving" berpegang pada prinsip yang berasal dari Hukum Romawi kuno, yakni
bahwa suatu pemberian tugas (lastgeving) oleh penerima tugas dilakukan untuk
kepentingan pemberi tugas secara cuma‐cuma. 
• Prinsip ini melalui Code Civil diambil oper dalam pasal 1831 KUHPerdata Belanda dan 
kemudian berdasarkan asas konkordansi dimasukkan dalam pasal 1794 KUHPerdata
Indonesia, dimana dikatakan bahwa pemberian kuasa (tugas) terjadi dengan cuma‐
cuma, kecuali diperjanjikan sebaliknya dan bersamaan dengan itu maka dalam Bab 16 
KUHPerdata diaturlah cara‐cara pencabutan kuasa itu.
• Kalau semua pemberian tugas (lastgeving) dilakukan semata‐mata untuk dan bagi
kepentingan pemberi tugas dengan cuma‐cuma, namun sejalan dengan perkembangan
kehidupan masyarakat dan bertambah kompleksnya hubungan‐hubungan didalam lalu‐
lintas hukum serta semakin didominirnya hubungan‐hubungan dalam masyarakat oleh 
kepentingan‐kepentingan yang bersifat kebendaan, maka lambat laun prinsip tersebut
tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga terjadilah pergeseran dari maknanya semula, 
yaitu dari suatu lembaga yang pada mulanya diciptakan mata‐mata memenuhi
kepentingan pemberi kuasa kesuatu upaya yang mau tidak mau harus diadakan untuk
memenuhi, tidak hanya kepentingan dari pemberi kuasa, akan tetapi juga kepentingan
penerima kuasa, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa kuasa tersebut tidak boleh
dicabut atau dibatalkan oleh pemberi kuasa, oleh karena pencabutan atau pembatalan
kuasa itu bertentangan dengan kepentingan penerima kuasa. 
• Maka sekarang timbulah suatu lembaga baru yang di dalam masyarakat dikenal sebagai
"Kuasa yang tidak dapat dicabut keimbali” (onherroepelijke volmacht).
• Yang dinamakan "pengangkatan" (aanstelling) adalah penugasan
(opdracht) untuk melakukan pekerjaan, yang menurut undang‐undang
atau kebiasaan didalamnya mengandung, wewenang mewakili
(vertegenwoordigingsbevoegdheid). 
• Wewenang untuk mewakili berdasarkan pengangkatan dapat dicabut
setiap waktu. Pengangkatan berakhir karena meninggalnya orang yang 
melakukan pengangkatan itu.
• Perbuatan hukum yang dilakukan oleh yang diberi kuasa setelah
meninggalnya pemberi kuasa adalah mengikat, sebegitu jauh tidak
diketahui tentang meninggalnya itu pada waktu perbuatan hukum itu
dilakukan.
• KUASA (VOLMACHT)
• Pasal 1795 KUHPerdata menentukan, bahwa "pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu mengenai satu atau lebih kepentingan
tertentu atau
secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.” Dari 
ketentuan tersebut di atas dapat dibedakan adanya dua jenis (macam) 
kuasa, yang secara umum disebut "Kuasa Umum" dan "Kuasa Khusus"
1. KUASA UMUM.
Dengan pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata‐kata umum
dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada seseorang yang 
diberi kuasa) untuk dan bagi kepentingan pemberi kuasa melakukan
perbuatan‐perbuatan dan tindakan‐tindakan yang mengenai pengurusan, 
meliputi segala macam kepentingan dari pemberi kuasa, tidak termasuk
perbuatan‐perbuatan atau tindakan‐tindakan yang mengenai pemilikan.
• Seseorang yang diberi kuasa (Kuasa Umum) untuk menjalankan perusahaan orang lain, 
mengandung arti kuasa, demi lancar jalannya perusahaan itu, melakukan segala
tindakan dan perbuatan yang mengenai pengurusan, tetapi tidak berwenang/berhak
untuk menjual atau memindah‐tangankan perusahaan itu.
• Dalam hubungannya dengan ketentuan dalam pasal 1795 KUHPerdata, dikaitkan
dengan pasal 1796 KUHPerdata, dapat dilihat bahwa perkataan "umum" dalam pasal
1795 KUHPerdata tidak mempunyai arti yang sama dengan perkataan “umum" dalam
pasal 1796 KUHPerdata. 
• Perkataan umum dalam pasal 1795 KUHPerdata mempunyai kaitan dengan
luas cakupan dari wewenang penerima kuasa, yakni meliputi segala
kepentingan dari pemberi kuasa, sedang perkataan “umum" dalam pasal
1796 KUHPerdata tekanannya adalah pada perkataan‐perkatan yang 
dipergunakan dalam menguraikan kewenangan yang diberikan itu, yaitu
yang dirumuskan dengan kata‐kata umum atau dengan perkataan lain, 
dengan kata‐kata yang tidak tegas, yang dapat memberikan penafsiran
yang berbeda‐beda.
• Perlu diperhatikan bahwa perkataan "umum dalam pasal 1795 KUHPerdata
mengandung arti meliputi segala kepentingan pemberi kuasa, namun
masih ada pembatasan, yakni kewenangan itu tidak meliputi hal‐hal yang 
bersifat sangat pribadi (hoogst persoonlijk), seperti misalnya pembuatan
surat wasiat.
• 2. KUASA KHUSUS.
Kuasa khusus hanya menyangkut/mengenai satu atau lebih kepentingan tertentu. Di 
dalam pemberian suatu kuasa khusus harus disebutkan secara tegas tindakan atau
perbuatan apa yang boleh dan dapat dilakukan oleh yang diberi kuasa, misalnya untuk
menjual sebidang tanah atau kuasa untuk membebankan hak tanggungan. 
• Tentu dapat juga ditambah dengan uraian mengenai perbuatan‐perbuatan hukum yang 
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perbuatan hukum yang dikuasakan
untuk dilakukan itu, misalnya dalam hal penjualan tanah, untuk itu menerima uang
penjualannya dan memberikan tanda terima serta menyerahkan tanah itu kepada
pembelinya. Perbuatan‐perbuatan hukum sedemikian merupakan bagian dari
perbuatan hukum yang pokok, sehingga logis, oleh karena seandainya pemiliknya
sendiri yang secara nyata melakukan penjualan itu, perbuatan‐perbuatan yang 
diuraikan di atas juga harus dilakukannya.
• Dalam beberapa hal tertentu undang‐undang mengharuskan suatu kuasa khusus.  
Misalnya skmht menurut UUHT dan Pasal 123 HIR menetapkan persyaratan, bahwa
kuasa untuk membela suatu perkara di muka Pengadilan harus bersifat khusus dan 
tertulis. 
• Syarat khusus ini terutama dititik‐beratkan pada penyebutan nama dari pihak lawan
dan/atau masalah yang hendak dibela. Pasal 147  RBW (Rechtsregl Buitengew)  
menetapkan persyaratan yang lebih luas, yakni bahwa kuasa itu harus berupa kuasa
yang dibuat dihadapan Notaris atau dengan akta yang dibuat oleh Panitera Pengadilan
Negeri yang bersangkutan atau dengan akta yang dibuat dibawah tangan yang 
"dilegalisir”.  Diadakannya syarat‐syarat tersebut dimaksudkan untuk menjamin
keabsahan dan kebenaran serta kepastian hukum tentang adanya pemberian kuasa itu.
• Disamping itu juga terdapat berbagai pasal dalam KUHPerdata yang 
berkaitan dengan kuasa, baik berupa kuasa umum maupun kuasa khusus, 
misalnya:
• ‐pasal 334 KUHPerdata tentang kuasa untuk mewakili seseorang yang 
masih di bawah umur oleh salah seorang anggota keluarganya; 
• ‐pasal 1683 KUHPerdata tentang kuasa untuk menyatakan menerima suatu
hibah, dengan persyaratan harus dengan akta otentik; 
• ‐pasal 1925 KUHPerdata tentang kuasa untuk memberikan pengakuan di 
muka pengadilan dan;
• ‐pasal 1934 KUHPerdata tentang kuasa untuk melakukan sumpah; 
demikian juga kuasa dalam melaksanakan perkawinan
• KUASA YANG TIDAK DAPAT DICABUT KEMBALI.
dalam praktek seiring dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat
dewasa ini dikenal apa yang dinamakan "kuasa yang tidak dapat dicabut kembali" 
(onherroepelijke volmacht). Dan tidak dapat disangkal, bahwa di dalam praktek adanya
lembaga "kuasa yang tidak dapat dicabut" ini sangat dibutuhkan dalam hal‐hal tertentu
dan menurut kenyataannya lazim dipergunakan.
• Yang menjadi pertanyan dalam hubungannya dengan lembaga kuasa, apakah itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku, mengingat bahwa
pemberian kuasa seperti itu mengandung arti mengurangi dan membatasi hak dan 
kekuasaan dari pemberi kuasa, juga dapat menimbulkan perbenturan antara hak
pemberi kuasa dengan wewenang penerima kuasa dan bahkan dapat terjadi bahwa apa
yang dilakukan oleh penerima kuasa berdasarkan kuasa itu justru tidak dikehendaki
oleh pemberi kuasa atau dengan perkataan lain bertentangan dengan kehendak dari
dan tidak untuk dan bagi kepentingan pemberi kuasa sendiri.
• Disamping itu perlu pula dipertanyakan, apakah tindakan hukum yang 
dilakukan oleh  penerima kuasa berdasarkan kuasa itu, yang pada 
hakekatnya merupakan tindakan hukum yang dilakukan atas kehendaknya
sendiri, masih dapat (dikwalifisir) sebagai tindakan hukum yang 
dilakukannya atas nama pemberi kuasa atau dengan perkataan lain 
tindakan hukum dari pemberi kuasa atau lebih tegas lagi, apakah penerima
kuasa dalam hal ini masih dapat dikatakan mewakili pemberi kuasa?
• Jawaban yang umum dikemukakan atas pertanyaan‐pertanyaan di atas
ialah bahwa lembaga "kuasa yang tidak dapat dicabut kembali” pada 
prinsipnya adalah bertentangan dengan sifat dan tujuan dari pemberian
suatu kuasa menurut peraturan perundang undangan yang berlaku, 
khususnya mengingat ketentuan dalam pasal 1813 KUHPerdata yang 
mengatur tentang cara berakhirnya suatu kuasa.
• Lain halnya apabila untuk dan guna pelaksanaan syarat‐syarat yang dalam
suatu perjanjian yang dibuat antara pihak‐pihak yang bersangkutan, 
dimana dibutuhkan adanya suatu kuasa khusus bagi terjaminnya proses 
pelaksanaan dari syarat‐syarat tersebut. 
• Dalam hal ini kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian pokoknya dan merupakan salah satu syarat penting yang harus
diadakan bagi terjaminnya pemenuhan syarat‐syarat lainnya yang 
ditetapkan dalam perjanjian itu. 
• Kuasa tersebut harus tetap berlaku dan tidak dapat dicabut kembali selama
perjanjian pokok masih berlaku dan mengikat bagi pihak‐pihak yang 
bersangkutan.
• Kuasa yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perjanjian pokok, 
seperti yang dimaksud di atas, sifatnya agak menyimpang dari kuasa‐kuasa pada 
umumnya. oleh karena “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali" diberikan bukan untuk
dan bagi kepentingan pemberi kuasa, akan tetapi untuk kepentingan dari yang diberi
kuasa. 
• Kuasa sedemikian, kalaupun itu dipergunakan untuk dan atas nama pemberi kuasa, 
namun akibat hukum yang timbul dari penggunaan kuasa itu adalah untuk pemegang
kuasa itu sendiri. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka timbul pertanyaan apakah
penerima kuasa dalam ini masih dapat dikatakan mewakili pemberi kuasa?
• penggunaan suatu kuasa (volmacht) harus memenuhi syarat, bahwa perbuatan hukum
berdasarkan suatu kuasa (volmacht) harus dilakukan untuk dan atas nama serta guna
kepentingan dari pemberi kuasa. Berdasarkan prinsip tersebut, maka kalaupun lembaga
"kuasa yang tidak dapat dicabut kembali" dianggap sebagai bertentangan dengan
maksud dan tujuan dari pemberian suatu kuasa menurut undang‐undang, penerima
kuasa di dalam melakuan perbuatan hukum berdasarkan kuasa itu tetap harus dianggap
sebagai mewakili pemberi kuasa.
• Undang‐undang tidak melarang penggunaan lembaga "kuasa yang tidak
dapat dicabut kembali" dan menurut kenyataannya dalam praktek
dipergunakan kuasa sedemikian dalam perjanjian‐perjanjian, walaupun
harus diakui adanya penggunaan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali
yang tidak atau kurang pada tempatnya.
• Menurut kenyataannya kuasa yang tidak dapat dicabut kembali dibutuhkan
dan berkembang dalam lalu‐lintas hukum dan dalam hal‐hal tertentu dapat
berfungsi dengan baik.
• Adanya dan diterimanya kuasa‐kuasa sedemikian di dalam lalu‐lintas
hukumdidasarkan pada prinsip hukum yang memberikan kebebasan
kepada pihak‐pihak yang bersangkutan untuk menetapkan syarat syarat
yang mereka setujui dalam perjanjian yang dibuat antara para pihak, asal
saja di dalam menetapkan syarat‐syarat itu tidak dilakukan dengan paksaan
atau penipuan dan tidak karena kekhilafan.
• Berdasarkan prinsip tersebut, tidak ada alasan untuk tidak
memperkenankan seseorang atas kehendak dan kemauannya sendiri
mengadakan dan membuat suatu perjanjian, dimana ia secara sukarela
mengikat dirinya dengan pihak lain berdasarkan kuasa yang tidak dapat
dicabut kembali, untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atas nama
orang yang memberi kuasa itu. 
• Dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dengan tegas dinyatakan, bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang‐undang
bagi mereka yang membuatnya.
• Didasarkan pada ketentuan tersebut, maka sebagaimana halnya dengan
undang‐undang, perjanjian yang dibuat secara sah antara para pihak harus
ditaati dan dipenuhi oleh para pihak yang bersangkutan, termasuk jika ada
kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, yang merupakan salah satu syarat
dalam perjanjian itu.
• Pada umumnya pemberian suatu kuasa dapat disamakan dengan
pemberian penawaran yang mengikat. Apabila suatu penawaran telah
diterima, maka terjadilah pengikatan antara pihak yang memberikan
penawaran dan pihak yang menerima penawaran itu, walaupun kelak
ternyata bahwa sebelum penawaran itu dilaksanakan, pemberi penawaran
mencabut penawarannya. 
• Dalam hal sedemikian penawaran yang telah diterima itu harus tetap
berlaku, walaupun ada perubahan dalam kehendak dari pihak yang 
memberikan penawaran. Setelah penawaran yang diberikan diterima, 
pihak yang memberikan penawaran secara kontraktuil terikat dan harus
dianggap telah melepaskan kewenangannya untuk membatalkan
kehendaknya semula.
• Pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali,  kuasa itu diberikan
sebagai jaminan hagi penerima kuasa, agar kuasa tersebut dapat
dipergunakan seterusnya hingga hal yang berkaitan dengan kuasa itu
terlaksana penyelesaiannya. 
• Dalam hal tersebut pemberian kuasa itu dilakukan untuk dan bagi
kepentingan penerima kuasa dan oleh karena itu, berdasarkan perjanjian
yang masih berlaku antara para pihak yang bersangkutan, tidak lagi dapat
dicabut atas dasar kehendak dari pemberi kuasa tanpa persetujuan dari
penerima kuasa. 
• Dasar hukum yang tidak dapat disangkal, bahwa setelah seseorang secara
sukarela atas kehendaknya sendiri menerima suatu syarat perjanıjian, 
syarat itu mengikat baginya, sekalipun ia kemudian menghendaki lain 
dengan mencabut syarat perjanjian tersebut. 
• Hak dan kewenangan/kekuasaan yang telah diperoleh penerima kuasa
berdasarkan perjanjian yang bersangkutan akan tetap dimiliki dan dapat
dipergunakan oleh penerima kuasa. Segala konsekwensi dari pelaksanaan
syarat‐syarat perjanjian itu tetap menjadi tanggung jawab dan dipikul oleh 
pemberi kuasa.
• Salah satu contoh dari kuasa (khusus) yang senantiasa memuat syarat tidak
dapat dicabut kembali, adalaH SKMHT yang dasar hukumnya diambil dari
ketentuan UUHT yang memperkenankan untuk diperjanjikan antara
kreditur‐pemegang HT dan debitor, dalam hal terjadi kelalaian di pihak
debitur, kepada kreditur diberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali
untuk menjual di muka umum objek ht yang diberikan kepadanya sebagai
jaminan (sht) dan dari hasil penjualannya mengambil pelunasan dari
hutang pokok, bunga dan biaya‐hiaya lainnya sesuai dengan diperjanjikan, 
dengan syarat untuk menyerahkan sisanya jika ada kepada debitor.
• Lalu apakah kreditor di dalam melakukan penjualan itu bertindak selaku
kuasa dan karenanya mewakili debitur atau melakukannya atas haknya
sendiri?
• Dalam hal ini terdapat dua teori, yakni teori mandaat (mandaatthe0rie) dan teori
eksekusi (executive theorie).
• Teori mandat :
• Bahwa dalam pelaksanaan penjualan yang dilakukan oleh kreditor (pemegang HT) 
terdapat unsur perwakilan, oleh karena kreditur di dalam melakukan penjualan itu
bertindak berdasarkan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali menurut ketentuan
dalam UUHT (bandingkan juga dengan pasal 1178 ayat (2) KuHPerdata). Menurut teori
ini ukuran untuk menetapkan adanya elemen perwakilan adalah cukup, asal saja
kreditor mempunyai kewenangan untuk menetapkan kedudukan hukum orang lain dan 
dalam hal ini adalah syarat‐syarat yang ditentukan dalam SHT (UUHT).
• Teori eksekusi:
• Bahwa dalam pelaksanaan penjualan tersebut tidak terdapat elemen perwakilan oleh 
karena dalam hal ini kreditur bertindak guna memperoleh haknya sendiri, bukan untuk
kepentingan debitor, bahkan dalam hal ini bertentangan dengan kepentingan debitor.
• KUASA MUTLAK
• disamping kuasa‐kuasa yang lazim kita kenal seperti misalnya kuasa umum, 
kuasa khusus, kuasa yang tidak dapat dicabut kembali dan lain‐lain jenis
kuasa,  dikenal juga "kuasa mutlak”.
• Istilah "kuasa mutlak" pada hakekatnya bukanlah merupakan suatu istilah
hukum. Secara etimologis pengertian pemberian kuasa mutlak ialah
pemberian suatu kuasa kepada seseorang, disertai hak dan kewenangan
serta kekuasaan yang sangat luas mengenai suatu objek tertentu, kuasa
mana oleh pemberi kuasa tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan batal
atau berakhir karena alasan‐alasan apapun, termasuk alasan‐alasan
dan/atau sebab‐sebab yang mengakhiri pemberian suatu kuasa ang 
dimaksud dalam pasal 1813 KUHPerdata.
• Penerima kuasa juga dibebaskan dari kewajiban untuk membErikan
pertanggungan jawab selaku kuasa kepada pemberi kuasa. Didasarkan
pada uraian di atas tentang pengertian mengenai "kuasa mutlak", maka
dapatlah dikatakan, bahwa penerima kuasa mempunyai hak penuh untuk
melakukan segala tindakan dan perbuatan terhadap objek yang 
hersangkutan, semuanya sebagaimana yang dapat dilakukan kuasa sendiri
selaku pemilik, sehingga karenanya penerima kuasa seakan‐akan bertindak
selaku pemilik yang sah dari objek yang bersangkutan.
• Istilah ini baru menjadi istilah "resmi" setelah dikeluarkannya Instruksi
Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Maret 1982 no. 14 tahun 1982, yang 
antara lain berisi larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai bukti
pemindahan hak atas tanah. 
• Di dalam perundang‐undangan kita tidak terdapat ketentuan yang 
mengatur kuasa mulak secara khusus. Lembaga yang dinamakan “kuasa
mutlak” ini timbul dari kebutuhan dalam praktek hukum, yang 
dimaksudkan guna keperluan mengatasi suatu kepentingan. 
• Yang dijadikan sebagai landasan hukum bagi pembuatan dan pemberian
kuasa sedemikian adalah kebebasan berkontrak yang dianut dalam Hukum
Perdata, yang pembatasannya diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata jo 
pasal 1320 КUHPerdata.
• Terdapat dua unsur dalam kuasa mutlak yang tidak ada dalam pemberian
kuasa
biasa, yakni:
• pertama unsur tidak dapat dicabut kembali dan ;
• kedua pembebasan dari penerima kuasa untuk memberikan
pertanggungan jawab selaku kuasa kepada pemberi kuasa.
• yang mana kedua unsur tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan
hukum tentang pemberian suatu kuasa dan keharusan bagi penerima
kuasa untuk memberikan pertanggungan jawab oleh penerima kuasa
kepada pemberi kuasa mengenai tindakan hukum yang dilakukannya
berdasarkan kuasa itu.
• Dalam hubungannya dengan kuasa mutlak ini, Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut
dikeluarkan sebagai usaha meniadakan perbuatan‐perbuatan hukum mengenai tanah
yang sering terjadi dalam masyarakat yang dapat mengganggu tercapainya Program 
Catur Tertib di bidang Pertanahan. 
• Adapun perbuatan hukum yang dimaksud dalam Instruksi itu ialah perbuatan
memindahkan/mengalihkan hak atas tanah secara terselubung, yaitu suatu transaksi
yang pada hakekatnya merupakan suatu pemindahan pengalihan hak atas tanah, akan
tetapi dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam PP 
24/1997, yaitu dengan membuat akta jual‐beli dihadapan PPAT, namun dilakukan
dengan memberikan kuasa mutlak kepada pembeli, yang berdasarkan kuasa tersebut
dapat melakukan segala tindakan dan perbuatan hukum mengenai tanah yang 
bersangkutan, semuanya sebagaimana yang dapat dilakukan oleh pemberi kuasa
sendiri selaku pemilik.
• Sebenarnya pemberian kuasa mutlak itu, apabila benar‐benar dipergunakan untuk
tujuannya yang sebenarnya dan untuk itu ada dasar hukumnya, tidak bertentangan
dengan peraturan perundang undangan yang ada dan memang sangat dibutuhkan
dalam masyarakat. Namun diakui ada pihak‐pihak yang menyalah‐gunakan lembaga
kuasa mutlak ini dan mempergunakannya untuk tujuan‐tujuan yang tidak benar dan 
bertentangan dengan peraturan yang berlaku. (terutama terkait perpajakan).
• Timbulnya lembaga kuasa mutlak ini adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam
masyarakat sebagai akibat dari ketentuan dalam pasal Pasal 37 ayat (1) PP 
24/1997: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat
didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. 
• Agar sesuatu perbuatan hukum yang dimaksud dapal direalisir dihadapan
PPAT, oleh peraturan perundang‐undangan yang berlaku ditetapkan
heberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu antara lain 
persyaratan bahwa Sertipikat Tanah dari tanah yang hendak dijual ituharus
sudah terdaftar/tertulis atas nama calon penjual.
• Mengingat kenyataan bahwa pengurusan balik nama Sertipikat Tanah 
ataupun pensertipikatan tanah pada umumnya memerlukan waktu yang 
lama, sedang pemilik tanah di satu pihak sangat memerlukan uang dengan
segera dan calon pembeli memerlukan tanah dalam waktu yang singkat, 
dapat dipahami bahwa mereka akan mencarikan jalan keluar bagi
tercapainya keinginan mereka dalam waktu yang sesingkat‐singkatnya.
• Maka di dalam praktik untuk mengatasi kesulitan tersebut oleh para pihak yang 
bersangkutan dibuatlah apa yang dinamakan "Pengikatan diri untuk melakukan jual‐
beli", mengawali jual belinya sendiri dihadapan PPAT, berdasarkan perjanjian
pendahuluan mana pihak (calon) penjual telah menerima sepenuhnya uang
penjualannya, sedang (calon) pembelinya telah pula dapat menguasai tanahnya secara
nyata. 
• Untuk menjamin kepentingan (calon) pembeli sepenuhnya, maka oleh (calon) penjual
kepadanya diberikan kuasa mutlak, sehingga nanti pada saatnya dapat melangsungkan
sendiri jual‐belinya dihadapan PPAT Dengan demikian (calon) pembeli akan bertindak di 
hadapan PPAT selaku kuasa dari penjual dan disamping itu ia pribadi akan bertindak
selaku pembeli atau dengan perkataan lain (calon) pembeli akan menjual kepada
dirinya sendiri. Sebagaimana telah dikatakan di atas, pembuatan perjanjian "Pengikatan
diri untuk melakukan jual‐beli" pada umumnya dilakukan, oleh karena ada syarat yang 
belum dipenuhi untuk dapat melangsungkan jual‐belinya dihadapan PPAT, sesuai
dengan ketentuan dalam PP 24/1997.
• Dalam hubungannya dengan perjanjian "Pengikatan diri untuk melakukan
jual beli”, apakah perjanjian sedemikian tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku, khususnya hukum pertanahan ?
• Menurut kenyataannya dalam praktik, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi maupun Mahkamah Agung pada prinsipnya menganggap perjanjian
sedemikian tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. 
• Juga BPN memandang perjanjian sedemikian tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku dan sejalan dengan itu juga kuasa mutlak
yang dikaitkan dengan perjanjian pengikatan diri untuk melakukan jual‐beli
oleh instansi tersebut dianggap tidak identik dengan kuasa yang dilarang
dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1982.
• MEMANG BENAR karena menurut kenyataannya kebutuhan praktek menuntut adanya
kuasa mutlak guna mengatasi kesulitan yang timbul dalam praktIk, asal saja untuk itu
ada dasar hukumnya. 
• Dasar hukum yang sah merupakan faktor yang essensial dan dalam hal ini dasar
hukumnya adalah perjanjian pokok berupa perjanjian pengikatan diri untuk melakukan
jual‐beli, yang tidak dapat dipisahkan dari kuasa mutlak tersebut. Berdasarkan
perjanjian pokok yang bersangkutan semua kepentingan (calon) penjual telah dipenuhi
dan yang belum terpenuhi adalah kepentingan dari (calon) pembeli. Untuk memenuhi
kepentingan dari (calon) pembeli, maka kepadanya oleh (calon) penjual diberikanlah
kuasa mutlak, agar dengan kuasa itu (calon) pembeli dapat melakukan segala tindakan
dan perbuatan bagi pemenuhan dari apa yang menjadi haknya, yang seharusnya sudah
langsung diperolehnya, andaikata (calon) penjual telah dapat memenuhi syarat untuk
dilangsungkannya pembuatan akta jual‐beli dihadapan PPAT.
• Dari uraian di atas mengenai kuasa mutlak, dapat dilihat dengan jelas, bahwa
pengertian pemberian kuasa menurut ketentuan dalam pasal 1792 KUHPerdata, yakni
memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk atas menyelenggarakan suatu
urusan, tidak lagi ditemukan. Dalam kuasa mutlak ini penerima kuasa diberikan
wewenang untuk melakukan tindakan‐tindakan hukum tertentu dan pemberi kuasa
berjanji serta mengikat diri bahwa ia tidak akan membantah tindakan‐tindakan yang 
dilakukan oleh penerima kuasa berdasarkan kuasa itu.
• Kuasa sedemikian yang dimuat dalam perjanjian Pengikatan Diri Untuk Melakukan
Jual‐Beli oleh masyarakat luas dipandang sebagai sesuatu yang sangat praktis dan 
eksistensi dari kuasa ini juga sudah diakui dan diterima oleh instansi‐instansi yang 
bersangkutan. Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan, dalam hal timbul
persoalan di depan Pengadilan, ialah untuk menyelidiki apakah (calon) pembeli benar‐
benar telah memenuhi kewajibannya terhadap (calon) penjual dan jika sudah
dipenuhi, maka sepatutnyalah ia memperoleh perlindungan hukum, oleh karena ia
telah menunjukkan itikad baiknya, walaupun akta jual‐belinya belum dilangsungkan
pembuatannya dihadapan PPAT.
• Juga dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1982 dapat dilihat bahwa
Pengikatan Diri Untuk Melakukan Jual‐Beli mengenai tanah secara tidak langsung diakui
dan diperbolehkan, terbukti dari diterimanya kuasa mutlak, asal saja kuasa sedemikian
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian pokok YAITU 
Pengikatan Diri Untuk Melakukan Jual‐Beli.
• Memang diakui adanya penyalahgunaan dari kuasa mutlak ini ataupun penggunaannya
untuk tujuan yang bertentangan dengan peraturan perundang‐undang yang berlaku
oleh orang‐orang yang tidak bertanggung jawab, lebih‐lebih lagi dimana pemberian
kuasa mutlak itu tidak mempunyai dasar hukum. Juga beberapa instansi Pemerintah
tidak terlepas dari penyalahgunaan lembaga kuasa ini, dengan merima dan 
mempergunakannya sebagai alat bukti untuk pemindahan hak atas tanah, tanpa
pembuatan akta pengalihannya dihadapan PPAT. 
• PERWAKILAN PADA BADAN BADAN HUKUM
• Dalam hubungannya dengan perwakilan pada badan‐badan hukum, pertanyaannya
yang sering timbul dan hingga sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan
ialah, apakah Direksi dari suatu perseroan terbatas adalah kuasa dari badan hukum
tersebut atau tidak.
• Sebagian besar menganut pendapat, bahwa kedudukan Direksi dari suatu perseroan
terbatas bukanlah sebagai pemegang kuasa badan hukum itu. 
• Sebagai alasan dikemukakan, bahwa dasar kewenangan direksi untuk bertindak dalam
mewakili badan itu ialah karena direksi organ atau alat perlengkapan dari badan 
tersebut.  Berkaitan segala sesuatu mengenai tempat, kedudukan dan wewenangnya
telah diatur dan ditetapkan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut. adanya
seorang atau lebih yang memegang jabatan selaku organ dan sualu perseroan
merupakan essensialia dari badan hukum itu.
• Teori orgaan dari PITLO ini dan sebagian besar dari para penulis lain mengenai
perwakilan pada badan‐badan hukum menurut kenyataannya dijadikan pegangan oleh 
para Notaris di dalam praktIk, sebagaimana dapat dilihat pada pembuatan akta‐akta
oleh para Notaris, seperti Kuasa Direksi, Kuasa Dagang, Kuasa Cabang, serta kuasa‐
kuasa lainnya yang sejenis dengan itu. Menurut PITLO wewenang untuk mewakili
terjadi baik berdasarkan perjanjian pada umumnya maupun berdasarkan perjanjian
kerja, yang dalam hal ini disebut kuasa (volmacht). 
• Kedua landasan hukum ini terdapat pada kewenangan Direksi suatu perseroan terbatas
atau dengan perkataan lain Direksi memperoleh wewenangnya baik karena
kedudukannya selaku pengurus maupun karena gaji yang pada umumnya diterima oleh 
Direksi suatu perseroan. Namun demikian tidak boleh diartikan, bahwa wewenang
Direksi bukanlah tak terbatas. Sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai anggaran
dasar perseroan terbatas, dalam hal‐hal tertentu Direksi diharuskan untuk terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari seorang Komisaris atau lebih ataupun dari
Dewan Komisaris.
• Jika timbul kesan seolah‐olah pada diri Pengurus melekat kekuasaan yang lebih luas, hal
itu menurut hukum adalah tidak mungkin dan bagi pihak ketiga tidak ada alasan untuk
mempercayainya.  Demikian juga kuasa yang diberikan secara tegas oleh RUPS, dapat
melebihi ketentuan dalam anggaran dasar atau undang‐undang, kecuali diadakan
perubahan terlebih dahulu mengenai itu dalam anggaran dasar yang bersangkutan. 
Hanya dalam hal anggaran dasar perseroan itu memberikan kemungkinan bagi
timbulnya keragu‐raguan, maka pihak ketiga dapat memanfaatkannya, apabila hal itu
menguntungkan bagi pihak ketiga yang bersangkutan.
• Apabila diperhatikan dengan baik, maka dapat dilihat bahwa di dalam praktik
tidak pernah terjadi di dalam suatu akta notaris (dalam komparisi) dicantumkan bahwa
Direksi bertindak sebagai kuasa dari suatu perseroan, akan tetapi yang dicantumkan
adalah Direksi bertindak mewakili dan karenanya untuk dan atas nama perseroan itu. 
Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum, bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak
mengikat mereka secara pribadi, akan tetapi mengikat badan hukum yang mereka
wakili itu.
• Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas, bahwa kedudukan hukum
Direksi suatu perseroan mempunyai dua landasan hukum, sebagaimana
yang dikemukakan di atas, yaitu sebagai wakil perseroan, sesuai dengan
ketentuan pasal 1792 dan seterusnya KUHPerdata dan sebagai pihak
sebagian yang dimaksud dalam pasal 1603 dan Seterusnya KUHPerdata.
• Direksi suatu perseroan terbatas terdiri dari PT, Firma atau bentuk
perusahaan lainnya. Badan‐badan sedemikian dapat mewakili suatu
perseroan dalam melakukan tindakan‐tindakan hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan serta bertindak selaku pihak dalam suatu
perjanjian. Terhadap kedudukan Direksi serupa ini berlaku ketentuan‐
ketentuan yang ditetapkan dalam anggaran dasarnya, pasal 1792 dan 
seterusnya KUHPerdata dan pasal 1603 dan seterusnya KUHPerdata
dengan segala akibat‐akibatnya.
• VOLLMAR mengatakan yang bertolak belakang dengan teori organ. Mengatakan bahwa
Direksi suatu perseroan terbatas adalah "pemegang kuasa" terhadap badan hukum itu, 
sehingga mengatakan:
‐bahwa sebagai pihak yang mewakili perseroan terbatas di dalam dan di luar
pengadilan, Direksi adalah pemegang kuasa, sehingga baginya berlaku ketentuan‐
ketentuan dari pasal 1792‐1819 КUHPerdata :
‐bahwa sebagai pihak yang bekerja pada perseroan terbatas, Direksi wajib mematuhi
semua ketentuan dalam anggaran dasar, keputusan‐keputusan rapat umum para 
pemegang saham dan segala peraturan perundang‐undangan yang mengatur perseroan
terbatas dan jika Direksi menerima gaji, hal itu bersifat seperti pihak dalam suatu
perjanjian kerja atau dengan perkataan lain, Direksi adalah pegawai menurut
pengertian undang‐undang, walaupun misalnya ia merupakan pemegang saham satu‐
satunya dalam perseroan, sehingga ketentuan dalam pasal 1601‐1603 KUHPerdata
berlaku baginya.
• Adanya seorang atau lebih yang memegang jabatan selaku organ dari suatu
perseroan merupakan essensialia dari perseroan itu. Mengenai itu dan 
segala sesuatu yang menyangkut tempat, kedudukan dan wewenangnya
diatur dan ditetapkan dalam anggaran dasarnya. 
• Dengan demikian untuk mengetahui siapa yang berhak untuk mewakili
suatu perseroan, bagaimana cara mewakilinya dan sampai seberapa jauh
wewenang dari yang mewakili itu, senantiasa perlu untuk memperhatikan
ketentuan‐ketentuan dalam anggarannya dan peraturan perundang‐
undangan yang mengatur tentang perseroan tidak hanya diharuskan untuk
perseroan‐perseroan yang didirikan menurut undang‐undang yang berlaku
di Indonesia, akan tetapi juga untuk perseroan‐perseroan asing.
• PERWAKILAN BERDASARKAN PENGURUSAN (BEWINDVOERING).
• perwakilan berdasarkan pengurusan (bewind) ialah dimana terjadi pengeluaran
(pemisahan) dari suatu harta tertentu dari kekuasaan pemiliknya, dengan menunjuk
seorang lain sebagai pengurus, melakukan pengurusan terhadap harta itu dalam batas‐
batas wewenang yang ditentukan oleh undang‐undang. Untuk kepentingan pemiliknya, 
akan tetapi bukan berdasarkan kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pemiliknya
kepada pengurus. 
• Pengurusan hanya mungkin dalam hal‐hal yang ditentukan oleh undang‐undang. 
Sebagai contoh dapat dikemukakan hibah kepada anak di bawah umur atau hibah
kepada "curandi". Kurator dalam kepailitan adalah juga pengurus. Dalam hal kepailitan
kurator mewakili para kreditur dan ia menjalankan hak‐hak yang mereka miliki
terhadap si pailit.
• PERWAKILAN BERDASARKAN SYARAT TRUSTEE (TRUSTBEDING).
• “Trustbeding" adalah suatu perjanjian segitiga, yang diadakan dalam
hubungannya dengan suatu pinjaman obligasi. Dalam hal ini Trustee 
mewakili hak‐hak dan kepentingan‐kepentingan dari para pemegang
obligasi terhadap peminjam. 
• Perbedaan Trustee dengan penerima kuasa ialah, bahwa Trustee hanya
dapat dicabut wewenangnya dengan persetujuan, tidak hanya dari para 
pemegang obligasi, akan tetapi juga dari peminjaman.
• PERWAKILAN PADA PERKUMPULAN‐PERKUMPULAN (VERENiGiNGEN).
• Suatu perkumpulan yang telah mempunyai status sebagai badan hukum diwakili oleh 
pengurusnya di dalam dan di luar pengadilan, dengan hak dan wewenang sebagaimana
itu diatur dan ditetapkan dalam anggaran dasarnya.
• Selama suatu perkumpulan belum mempunyai status sebagai badan hukum, maka
Pengurusnya hanya dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama
perkumpulan itu, apabila Pengurusnya telah memperoleh persetujuan untuk itu dari
rapat para anggota, dengan mengindahkan prosedur dan ketentuan‐ketentuan
mengenai itu, sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya. 
• Sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya, untuk dapat melakukan
perbuatan hukum yang mengenai pemilikan, perkumpulan harus dahulu
mempunyai status sebagai badan hukum. 
• Hal ini berarti, bahwa suatu perkumpulan yang belum mempunyai status 
sebagai badan hukum, belum dapat memiliki sesuatu kekayaan atas
namanya dan kalaupun Pengurusnya membeli suatu benda atas nama
perkumpulan, secara hukum benda itu adalah milik bersama dari seluruh
anggota perkumpulan.
• PERWAKILAN LANGSUNG (ONMIDDELLLJKE VERTEGENWOORDIGinG)
• Perwakilan langsung dapat timbul berdasarkan :
• A. Perjanjian (overeenkomst), dan
• B. Undang‐undang (wettelijke Vertegenwoordiging).
• Perwakilan yang timbul berdasarkan perjanjian disebut volmacht (kuasa) lastgeving
(pemberian tugas). Pasal 1792 KUHPerdata merupakan salah satu sumber timbulnya
volmacht (kuasa).
• “perwakilan tidak langsung”, dimana diterangkan, bahwa pada perwakilan tidak
langsung yang menerima tugas (lasthebber) bertindak atas namanya sendiri, bukan atas
nama dari yang memberi tugas (lastgever), sehingga pada hakekatnya dalam hal itu
tidak terdapat perwakilan (vertegenwoordiging). Sebagai contoh dapat dikemukakan, 
yakni seorang Komisioner.
• ZAAKWAARNEMING.
• ”Zaakwaarneming" mengandung di dalamnya hak mewakili, apabila tanpa
kuasa, pengangkatan, dilakukan perbuatan‐perbuatan oleh seseorang, semata‐mata
untuk kepentingan orang lain.
• Pada "zaakwaarneming" ini seseorang melakukan perbuatan pengurusan terhadap
harta kekayaan orang lain, tanpa pemberian kuasa terlebih dahulu, bahkan tanpa
sepengetahuan dari pemilik barang yang bersangkutan, sehingga dalam hal ini dapat
dikatakan terdapat suatu penerimaan kuasa secara diam‐diam sebagaimana yang 
dimaksud dalam pasal 1793 ayat (2) KUHPerdata.
UU mewajibkan yang bersangkutan untuk :
‐melanjutkan pelaksanaan pengurusan tersebut hingga selesai dengan sempurna;
‐mempertanggungjawabkan pengurusan tersebut kepada pemilik barang.
Pelaksanaan kuasa sedemikian bersifat cuma‐cuma.
• KUASA BLANGKO
• PASAL 16 BUTIR B UUJN YANG MERUPAKAN KETENTUAN UMUM ADANYA 
KEHARUSAN DIBUATNYA AKTA NOTARIS DALAM BENTUK MINUTA DAN 
MENYIMPANNYA SEBAGAI BAGIAN DARI PROTOKOL NOTARIS.
• KEMUNGKINAN UNTUK PENGELUARAN DALAM BENTUK IN ORIGINALI 
DIATUR DALAM PASAL 16 AYAT (4) UUJN: (4)  Akta originali sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari I (satu) rangkap, 
ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan
pada setiap akta tertulis kata‐ kata "berlaku sebagai satu dan satu berlaku
untuk semua". 
• Akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali yang dibuat dalam rangkap dua atau lebih
pada saat yang sama dicatat didalam daftar akta dengan satu nomor (pasal 58 ayat (3) 
UUJN.
• Akta originali adalah akta yang aslinya diserahkan kepada yang berkepentingan, 
sedangkan notaris atau pemegang protokol dari akta yang bersangkutan hanya
menyimpan turunannya saja. Pasal 42 UUJN menyebutkan dengan jelas tidak
diperkenankan adanya ruang dan sela kosong di dalam duatu minuta.
• Pengecualiannya terdapat dalam pasal 16 ayat (5) UUJN yang memperkenankan adanya
ruang dan sela kosong didalam suatu akta originali : akta originali yang berisi kuasa yang 
belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (rangkap).
• Dengan demikian pasal 16 ayat (5) UUJN adalah dasar hukum dapat dibuatnya akta
originali yang mengandung kuasa blangko
• Kuasa Jual Pada Pengakuan Utang Atau Persetujuan Kredit
• Pemberian kuasa yang diberikan dan ditanda‐tangani oleh debitor atau pemilik jaminan
kepada kreditor pada tanggal bersamaan dengan tanggal penanda‐tanganan akta
pengakuan utang atau perjanjian kredit untuk menjual barang jaminan secara dibawah
tangan, masih sering ditemukan dalam praktik.
• Ada yang dibuat secara terpisah dari akta pengakuan utang atau perjanjian kreditnya, 
atau malah seringkali mengandung larangan selbsteintritt sebagaimana diatur dalam
Pasal 1470 ayat (1) KUHPerdata yang melarang penerima kuasa menjadi pembeli pada 
penjualan dibawah tangan atas ancaman kebatalan, baik pembelian itu dilakukan oleha 
mereka sendiri maupun oleh orang‐orang perantara, kuasa‐kuasa mengenai barang‐
barang yang mereka dikuasakan menjualnya.  Tujuan larangan tersebut sebetulnya
adalah agar penerima kuasa tidak menyalahgunakan pemberian kuasa untuk manfaat
dirinya sendiri.
• Tindakan hukum (pemberian kuasa) semacam ini bertentangan dengan
asas yang bersifat “bertentangan dengan kepentingan umum (van 
operbare orde)” karena penjualan benda jaminan apabila tidak dilakukan
secara sukarela haruslah dilaksanakan dimuka umum secara lelang
menurut kebiasaan setempat sehingga pemberian kuasa jual seperti itu
adalah batal demi hukum.
• MARI No. 3309 K/PDT/1985 tanggal 29 Juli 1987: jual beli berdasarkan
kekuasaan yang termaktub dalam pasal 6 akta pengakuan hutang
tertanggal 25 april 1977 nomor 72 adalah tidak sah.
• LEMBAGA KUASA DALAM AKTA PPAT
• Peralihan hak atas tanah menurut Pasal 37 PP 24/1997 dapat dilakukan melalui
perbuatan hukum seperti jual beli, tukar‐menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum lainnya yang dibuktikan dengan Akta yang dibuat
oleh PPAT yang berwenang, sedang dalam Pasal 2 PP 37/1998 tentang PJPPAT dan Pasal
95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997, ditentukan jenis akta
yang dapat dibuat oleh PPAT antara lain perbuatan hukum mengenai jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, 
pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Pemberian Hak
Tanggungan dan Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
• Dalam kaitan dengan peralihan hak atas tanah tersebut maka yang termasuk perbuatan
hukum berupa:
• 1. Jual Beli
• 2. Tukar menukar
• 3. Hibah
• 4. Pemasukan dalam Perusahaan dan
• 5. Pembagian Hak Bersama
• 6. Penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang didahului dengan
likuidasi. (Pasal 43 ayat (2).
• Sebagai ketentuan formalnya, PPAT membuat akta dari perbuatan hukum peralihan hak
tersebut dengan bentuk, isi dan cara pembuatannya sebagaimana yang diatur dalam PP 
24/1997, PP  37/1998 jo Perkaban Nomor 1/2006.
• Dalam perbuatan hukum peralihan hak atas tanah ini, diatur ketentuan pembuatan
aktanya sebagaimana diatur dalam Pasal 39 PP 24/1997 sebagai berikut :
• (1) PPAT menolak membuat akta jika :
• a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar kepadanya tidak disampaikan sertipikat
asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar‐
daftar yang ada di Kantor Pertanahan atau :
• b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
• (1) Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat
keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
• (2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum
bersertipikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak di daerah yang 
jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan
dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau
• c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
• bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak
atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
• d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak 
yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
• e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin pejabat atau
instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan
perundang‐undangan yang berlaku; atau
• f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data 
fisik dan atau data yuridisnya; atau
• g. Tidak dipenuhinya syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang‐undangan yang bersangkutan.
• Dalam hal pembuatan akta PPAT, terdapat tahapan‐tahapan yang harus
dilakukan oleh PPAT yaitu:
• ‐Pasal 97 (1) Permen 16/2021 :
• (1) Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan
Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Pejabat Pembuat Akta Tanah 
wajib: 
• a. memastikan kesesuaian data fisik dan data yuridis pada Sertipikat dengan data 
elektronik pada pangkalan data melalui layanan informasi pertanahan elektronik; dan 
• b. memastikan dan yakin objek fisik bidang tanah yang akan dialihkan dan/atau
dibebani hak tidak dalam sengketa. 
• ‐Pasal 96 Perka BPN 8/2012 tentang Perubahan Atas PMNA/Ka BPN 3/1997 
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah : “Penyiapan dan pembuatan akta dilakukan oleh PPAT 
sendiri dan harus dilakukan dalam bentuk yang sesuai dengan ketentuan
yang telah ditentukan.”
• Pasal 98 Permen 16/2021:
• (1) Untuk membuat akta pemindahan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun dan mendaftarnya tidak diperlukan izin pemindahan hak, kecuali dalam
hal sebagai berikut:
a. pemindahan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang di dalam
Sertipikatnya dicatat bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan apabila telah
diperoleh izin dari instansi yang berwenang; 
• b. pemindahan Hak Pakai atas Tanah Negara. 
• (2)  Dalam hal izin pemindahan hak diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta pemindahan hak yang 
bersangkutan dibuat. 
• (3)  Izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperlukan lagi dalam hal: 
• a. pemindahan hak yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang; 
• b. pemasaran hasil pengembangan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai induk oleh perusahaan penyelenggara perumahan, kawasan
industri atau pengembangan lain yang sejenis; 
• c. peralihan hak karena lelang; atau
• d. dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum, proyek strategis nasional maupun kawasan ekonomi khusus. 
• Pasal 99 Permen 16/2021
(1) Dalam hal pemindahan Hak Atas Tanah untuk tanah pertanian maka sebelum dibuat
akta mengenai pemindahan Hak Atas Tanah, calon penerima hak harus membuat
pernyataan yang menyatakan: 
• a. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
Pemegang Hak Atas Tanah yang melebihi ketentuan batas maksimum penguasaan
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan; 
• b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
Pemegang Hak Atas Tanah absentee (guntai) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‐undangan;
• c. bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau
tanah absentee tersebut menjadi objek landreform; 
• d. bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat
hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan 
huruf b tidak benar. 
• (2) Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib menjelaskan kepada calon penerima
hak maksud dan isi pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
• Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta
PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum
atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai 
dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku.”
• ‐Pasal 101 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh 
sekurang‐kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang‐
undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu
perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak
atau kuasanya, keberadaan dokumen‐dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan
akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang 
bersangkutan.” 
• ‐Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “PPAT wajib membacakan akta kepada para 
pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud
pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai
ketentuan yang berlaku.”
• Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT : “PPAT dilarang
membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya
sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan 
dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam
perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri
maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.” 
• ‐Pasal 40 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah : 
“Selambat‐lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya
akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang 
dibuatkannya berikut dokumen‐dokumen yang bersangkutan kepada
Kantor Pertanahan untuk didaftar.” 
• ‐Pasal 40 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah : 
“Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka PPAT wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya
akta sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang 
bersangkutan.” 
• ‐Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan 
Retribusi Daerah :“Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, 
PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, ketentuan
ini menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat
menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”. 
• Pada praktiknya, jenis Surat Kuasa Multlak dilarang digunakan dalam
proses pemindahan hak atas tanah/jual beli tanah, sebagaimana diatur
dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 yang bertujuan mengatur
ketertiban umum dalam bertransaksi jual beli tanah. Huruf c, konsideran
Instruksi tersebut menyebutkan:
• “Maksud dari larangan tersebut, untuk menghindari penyalahgunaan
hukum yang mengatur pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan
hak atas tanah secara terselubung dengan menggunakan bentuk “kuasa
mutlak”. Tindakan demikian adalah salah satu bentuk perbuatan hukum
yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan tanah”.
• Bahwa Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982  latar belakangnya atau
dikeluarkan/diterbitkan dengan Pelaksanaan Landreform terutama kaitannya
dengan larangan kepemilikan tanah pertanian secara Absentee/Guntai (PP No. 224 
Tahun 1961 jo PP No. 41 Tahun 1964). 
• Akan tetapi Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 tersebut sekarang tidak berlaku
lagi karena telah dicabut dengan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 10 Tahun 2014 
tanggal 28 Agustus 2014 tentang Pencabutan Peraturan Perundang‐Undangan
Mengenai Pertanahan tertuang dalam lampiran angka 80.
• Akan tetapi harus juga diperhatikan dan dipedomani:
• SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE‐30/PJ/2014 TENTANG 
PENGAWASAN ATAS TRANSAKSI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU 
BANGUNAN MELALUI JUAL BELI . 
• Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak yang 
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang 
belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli.
• Ketika Notaris menerima Kuasa (Notaris/dibawah tangan) yang berdiri sendiri untuk
melakukan tindakan hukum yang akan dilakukan oleh Penerima Kuasa dalam Kuasa
tersebut maka perlu diperhatikan sebab‐sebab berakhirnya kuasa berdasarkan
KUHPerdata, antara lain :
• Pasal 1813 Pemberian kuasa berakhir:
• dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian
kuasanya oleh penerima kuasa; dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik
pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang 
memberikan atau menerima kuasa.
• Pasal 1814: Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya
dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan
untuk itu.
• Pasal 1815: Penarikan kuasa yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa tidak
dapat diajukan kepada pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak
penerima kuasa karena tidak mengetahui penarikan kuasa itu1 hal ini tidak mengurangi
tuntutan hukum dan pemberi kuasa terhadap penerima kuasa.
• Pasal 1816: Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu
urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa penerima kuasa yang 
pertama, terhitung mulai hari diberitahukannya pengangkatan itu kepada orang yang 
disebut belakangan.
• Pasal 1817: Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan
memberitahukan penghentian kepada pemberi kuasa.
• Akan tetapi bila pemberitahuan penghentian ini, baik karena Ia tidak
mengindahkan waktu maupun karena sesuatu hal lain akibat kesalahan
pemegang kuasa sendiri, membawa kerugian bagi pemberi kuasa, maka
pemberi kuasa ini harus diberikan ganti rugi oleh pemegang kuasa itu
kecuali bila pemegang kuasa itu tak mampu untuk meneruskan kuasanya
tanpa mendatangkan kerugian yang berarti bagi dirinya sendiri.
• Pasal 1818: Jika pemegang kuasa tidak tahu tentang meninggalnya pemberi
kuasa atau tentang suatu sebab lain yang menyebabkan berakhirnya kuasa
itu, maka perbuatan yang dilakukan dalam keadaan tidak tahu itu adalah
sah.
• Dalam hal demikian, segala perikatan yang dilakukan oleh penerima kuasa
dengan pihak ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.
• Pasal 1819: Bila pemegang kuasa meninggal dunia, maka para ahli warisnya harus
memberitahukan hal itu kepada pemberi kuasa jika mereka tahu pemberian kuasa itu, 
dan sementara itu mengambil tindakan‐tindakan yang perlu menurut keadaan bagi
kepentingan pemberi kuasa, dengan ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga, 
jika ada alasan untuk itu.
• •Ketentuan berakhirnya Kuasa tersebut menjadi tidak mengikat jika dalam akta Kuasa
tersebut dicantumkan klausula bahwa ketentuan berakhirnya kuasa tersebut
dikecualikan dalam kuasa ini, artinya tidak terikat oleh sebab‐sebab berakhirnya kuasa. 
Jika tidak disebutkan maka sebab‐sebab berakhirnya kuasa berlaku.
• TIDAK TERMASUK KUASA MUTLAK YAITU KUASA YANG MERUPAKAN BAGIAN DARI 
PERJANJIAN INDUK ANTARA LAIN PENGIKATAN JUAL BELI DENGAN PEMBAYARAN 
ANGSURAN/LUNAS, DENGAN KETENTUAN MANAKALA PEMBELI SUDAH MEMBAYAR 
LUNAS HARGA JUAL BELI MAKA PENJUAL TELAH MEMBERI KUASA KEPADA PEMBELI 
UNTUK MEWAKILI PENJUAL MELAKUKAN JUAL BELI DIHADAPAN PPAT.
• Apakah Kuasa yang terdapat dalam Akta Pengikatan Jual beli adalah
masuk kedalam kuasa mutlak ?
Kuasa yang dimuat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dipandang
sebagai sesuatu yang praktis dan eksistensi dari kuasa ini juga diakui dan 
diterima oleh instansi‐instansi terkait (BPN). Dalam hal tersebut yang perlu
diperhatikan, dalam hal timbul persoalan di pengadilan, ialah untuk
menyelidiki apakah calon pembeli benar‐benar telah memenuhi
kewajibannya kepada calon penjual dan jika sudah dipenuhi, maka
sepatutnya ia memperoleh perlindungan hukum, karena yang 
bersangkutan telah menunjukkan itikad baiknya, walaupun belum
dilangsungkan AJB dihadapan PPAT.
Dalam hubungannya dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, timbul
pertanyaan, apakah perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku ?
• Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian dan oleh karena itu harus
tunduk pada persyaratan‐persyaratan dan peraturan‐peraturan yang mengatur tentang
perjanjian, terutama syarat‐syarat yang harus dipenuhi, demikian juga mengenai akibat
hukumnya.
Dari berbagai ketentuan dalam KUHPerdata, diantaranya yang terpenting adalah Pasal
1233, 1320, 1338 dan 1339, dapat diambil kesimpulan, bahwa memperjanjikan sesuatu
dengan memahami persyaratan yang ditetapkan menurut hukum positif adalah
diperkenankan dan dapat dilakukan. Dengan demikian Perjanjian Pengikatan Jual
Beli mengenai tanah juga dengan disertai pemberian kuasa mutlak yang dibuat
dihadapan notaris jelas tidak dilarang dan kerena itu diperkenankan.
Dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli mengenai tanah secara tidak
langsung diakui dan diperbolehkan, terbukti dari diterimanyakuasa mutlak, asal
saja kuasa sedemikian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu
perjaniian pokok yaitu Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
• Bagaimana Sifat Kuasa Dalam Akta Pengikatan Jual Beli Dan Konsekwensi
Hukumnya?
• Berdasarkan Putusan MA. 2433 K/Pdt/2003, dinyatakan Hakim tidak membenarkan
suatu perjanjian yang bersifat “kuasa mutlak”. Sifat dari surat kuasa seperti ini adalah
penerima kuasa menerima kuasa penuh yang tidak dapat dicabut kembali atas sesuatu
barang. 
• Penerima kuasa dapat bertindak seolah‐oleh ia sebagai pemilik barang tersebut. Ia
dapat menjual atau menjaminkan atas nama pemilik semula. Dalam pertimbangan
putusan hakim tersebut menyatakan bahwa kuasa mutlak tidak dapat dibenarkan, 
karena pada hakekatnya perjanjian semacam itu merupakan perpindahan hak atas
tanah menurut PP. 24/1997. Perpindahan hak atas tanah menurut PP tersebut harus
dilakukan dihadapan PPAT. Putusan tersebut dimaknai bahwa Pasal 1338 KUHPerdata
tidak berlaku mutlak
• Demikian halnya Putusan MA. 1283 K/Put/2012, berdasarkan pasal 39 Pp. 24/97, Ppat
menolak untuk membuat suatu akta jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas
dasar surat kuasa mutlak. Yang pada hakikatnya adalah berisik perbuatan hukum
pemindahan hak, sehingga akta jual beli yang dibuatnya tersebut cacat hukum dan 
tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan mengikat.
• Lalu apakah Kuasa yang terdapat dalam Akta Pengikatan Jual beli adalah masuk
kedalam kuasa mutlak ?
Kuasa yang dimuat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dipandang sebagai sesuatu
yang praktis dan eksistensi dari kuasa ini juga diakui dan diterima oleh instansi‐instansi
terkait (BPN).
• Dalam hal tersebut yang perlu diperhatikan, dalam hal timbul persoalan di pengadilan, 
ialah untuk menyelidiki apakah calon pembeli benar‐benar telah memenuhi
kewajibannya kepada calon penjual dan jika sudah dipenuhi, maka sepatutnya ia
memperoleh perlindungan hukum, karena yang bersangkutan telah menunjukkan itikad
baiknya, walaupun belum dilangsungkan AJB dihadapan PPAT.
• Dalam hubungannya dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, timbul pertanyaan, apakah
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku ?
Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian dan oleh karena itu harus
tunduk pada persyaratan‐persyaratan dan peraturan‐peraturan yang mengatur tentang
perjanjian, terutama syarat‐syarat yang harus dipenuhi, demikian juga mengenai akibat
hukumnya.
• Dari berbagai ketentuan dalam KUHPerdata, diantaranya yang terpenting adalah Pasal
1233, 1320, 1338 dan 1339, dapat diambil kesimpulan, bahwa memperjanjikan sesuatu
dengan memahami persyaratan yang ditetapkan menurut hukum positif adalah
diperkenankan dan dapat dilakukan. Dengan demikian Perjanjian Pengikatan Jual Beli
mengenai tanah juga dengan disertai pemberian kuasa mutlak yang dibuat dihadapan
notaris jelas tidak dilarang dan kerena itu diperkenankan.
• Dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli mengenai tanah secara tidak
langsung diakui dan diperbolehkan, terbukti dari diterimanyakuasa mutlak, asal saja
kuasa sedemikian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjaniian
pokok yaitu Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
• Kuasa Untuk Menjual yang dibuat dihadapan Notaris dan sudah lebih dari
3 bulan, apakah masih berlaku?
• Sebagaimana difahami berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata
memungkinkan berakhirnya kuasa secara sepihak atau unilateral, dan hal‐
hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa tersebut adalah:
• 1. Pemberi kuasa menarik secara sepihak.
Ketentuan penarikan atau pencabutan kuasa oleh pemberi kuasa diatur
lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUHPerdata dan seterusnya, dengan
ketentuan:
‐pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
‐pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk:
1. mencabut secara tegas dengan tertulis atau;
2. meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa;
• ‐pencabutan secara diam‐diam berdasarkan Pasal 1816 KUHPerdata, caranya
pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan
yang sama. Tindakan itu berakhibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal
pemberian kuasa kepada kuasa yang baru, ditarik kembali secara diam‐diam.
Dalam kaitan dengan pencabutan secara sepihak seharusnya dilakukan secara terbuka
dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Tujuannya adalah agar dapat
memberikan perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, 
karena sejak itu setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama
pemberi kuasa tidak sah dan dianggap melawan hukum sehingga tidak dapat
dipertanggungjwabkan kepada pemberi kuasa. Apabila pencabutan tidak dilakukan
secara terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang 
beritikad baik, tetap mengikat kepada pemberikuasa.
• 2. Salah satu pihak meninggal.
Pasal 1813 KUHPerdata menegaskan dengan meninggalnya salah satu
pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. 
Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika
hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris harus dibuat
surat kuasa baru.
• 3. Penerima kuasa melepas kuasa.
Pasal 1817 KUHPerdata memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk
melepaskan kuasa yang diterimanya dengan syarat:
‐harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
‐pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak, artinya ukuran
berkaitan dengan layak atau tidak layak harus secara objektif apakah
pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa atau
tidak. 
• Bagaimana status penggunaan Akta Pengakuan Hutang dan Kuasa Menjual yang 
menjadi dasar hukum Akta Jual Beli dan akibat hukumnya?
• Dapat disampaikan bahwa apabila kita lihat dari kewenangan Notaris, maka harus
difahami bahwa Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut
dalam Pasal 15 UUJN dan ketentuan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 (dua) 
pemahaman, yaitu :
‐Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke
dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
‐Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. 
Sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya. Jika ada
orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka
orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan
penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
• Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari
jabatan notaris. Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat dibuktikan
ketidakbenarannya maka akta tersebut merupakan akta otentik yang 
memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak dengan didukung
oleh dokumen‐dokumen yang sah dan saksi‐saksi yang dapat
dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang‐undangan
yang berlaku.
• Lalu dimana salahnya?
Putusan MARI Nomor 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998: “Suatu akta
notaris sebagai akta otentik isinya memuat dua perbuatan hukum : yaitu
• 1. Pengakuan utang dan 
• 2. Kuasa menjual untuk menjual tanah, maka akta notaris ini telah
melanggar adagium, bahwa suatau akta otentik hanya berisi satu
perbuatan hukum saja. Akta notaris yang demikian itu tidak memiliki
executorial titel ex Pasal 224 HIR dan tidak sah. Demikian pula kuasa
mutlak bertentangan dengan Instruksi Mendagri No. 14/1982, sehingga
batal demi hukum”.
Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak
atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik akan
tetapi pembuatan akta tersebut berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
• Akan tetapi harus diingat bahwa Notaris bertanggung jawab terhadap para 
pihak yang bersangkutan manakala akta yang dihasilkannya misalnya :
‐suatu akta, karena adanya cacat dalam bentuk, hanya merupakan sebagai
suatu akta yang dibuat dibawah tangan ;
‐dalam semua hal dimana menurut Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata
terdapat kewajiban untuk membayar ganti rugi.
• Notaris diwajibkan untuk membayar ganti rugi, bunga dan biaya kepada
yang bersangkutan, apabila untuk hal tersebut terdapat alasan dan 
melanggar Pasal‐pasal sebagaimana tersebut diatas.
Bahwa pemberlakuan pasal 1365 tersebut harus dapat dibuktikan diantara
pelanggaran atau kelalaian dan kerugian yang diderita terdapat hubungan
kausal dan adanya pihak notaris yang bersangkutan kesalahan atau
kelalaian yang dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
• Oleh karenanya maka harus dibuktikan unsur‐unsur :
a. adanya kerugian yang diderita ;
b. adanya hubungan kausal antara kerugian yang diderita dan pelanggaran
atau kelalaian dari notaris ;
c. bahwa pelanggaran atau kelalaian itu disebabkan kesalahan yang dapat
dipertanggung jawabkan kepada notaris yang bersangkutan.
• Ngopi heula….

Anda mungkin juga menyukai