Anda di halaman 1dari 16

1.

INDUKTIVISME:
ILMU SEBAGAI PENGETAHUAN BERASAL DARI FAKTA-FAKTA
PENGALAMAN1

1. Pandangan tentang Ilmu yang luas penganutnya


Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang kebenarannya telah dibuktikan. Teori-teori
ilmiah ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh lewat
observasi dan experimen. Ilmu didasarkan pada apa yang dapat kita lihat, dengar, raba,
dan sebagainya. Pendapat atau minat subjektif dan dugaan-dugaan spekulatif perorangan
tidak mempunyai tempat di dalam ilmu. Ilmu itu objektif. Pengetahuan ilmiah atau
pengetahuan yang dapat dipercaya, karena ia telah dibuktikan kebenarannya secara
objektif.
Kekuatan progresif abad 17 telah menyadarkan para filsuf alam di abad pertengahan yang
berpegang pada karya-karya kuno, terutama karya-karya Aristoteles, dan juga Kitab Injil
sebagai sumber-sumber pengetahuan yang salah. Terdorong oleh sukses yang telah
dicapai oleh “para pembuat experimen besar” seperti Galileo, mereka makin memandang
pengalaman sebagai sumber pengetahuan.

2. Induktivisme Naif
Menurut pandangan induktivis naif, ilmu bertolak dari observasi. Pengamat ilmiah harus
memiliki organ-organ indera yang normal dan sehat, dan harus pula secara setia dan jujur
merekam apa yang ia lihat, dengar, dsb. Dalam hubungan dengan situasi yang
diamatinya, dan ia pun harus melakukan ini dengan suatu alam fikiran tanpa prasangka
sedikitpun. Pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan dunia, atau beberapa bagiannya,
dapat diperkuat atau ditetapkan sebagai kebenaran dengan cara penggunaan langsung
indera pengamatan tanpa prasangka apa pun. Pernyataan-pernyataan yang dihasilkan
dengan cara demikian itu (yang akan disebut keterangan-keterangan observasi) menjadi
dasar untuk menarik hukum-hukum dan teori-teori yang membentuk pengetahuan ilmiah.
Berikut ini adalah beberapa contoh keterangan observasi:
 Pada tanggal 1 Januari 1975 jam 12.00 tengah malam, Venus nampak pada posisi
sekian di langit.
 Sebatang tongkat yang sebagian tercelup di dalam air nampak bengkok.
 Tuan Smith memukul isterinya.
 Kertas litmus berubah menjadi merah bila dicelupkan ke dalam cairan
Keterangan-keterangan di atas, yang kebenarannya dapat dicek dengan observasi yang
cermat, merupakan keterangan-keterangan tunggal.
Berikut adalah contoh-contoh sederhana yang membentuk sebagian dari pengetahuan
ilmiah.
Dari Astronomi : Planit-planit bergerak menurut garis ellips mengitari suryanya.
Dari Fisika : Bila suatu sorotan sinar menembus dari media yang satu ke yang
lainnya, ia mengubah arah perjalannya sedemikian rupa
sehingga sinus dari sudut pembiasannya merupakan suatu ciri
konstan pasangan media tersebut.

1
Seri ini disarikan dari A.F. Chalmers, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, terjemahan Redaksi Hasta Mitra,
Jakarta: Hasta Mitra, 1982

1
Dari Psikologi : Binatang pada umumnya mempunyai suatu kebutuhan inheren
untuk melampiaskan sesuatu yang agresif.
Dari Kimia : Asam mengubah litmus menjadi merah.
Semua adalah keterangan umum yang mengungkapkan sifat atau perilaku beberapa aspek
alam semesta. Berlainan dengan keterangan tunggal, mereka mencakup semua kejadian
tertentu di semua tempat dan waktu. Keterangan-keterangan ini disebut keterangan
universal.
Generalisasi dari serangkaian terbatas keterangan observasi tunggal menjadi hukum
universal dibenarkan kalau memenuhi kondisi berikut:
1. Jumlah keterangan-observsi yang membentuk dasar suatu genaralisasi harus besar.
2. Observasi harus diulang-ulang pada variasi kondisi yang luas
3. Keterangan-observasi yang sudah dapat diterima, tidak boleh bertentangan dengan
hukum universal yang menjadi kesimpulannya.
Jadi bagi kaum induktivis naif, ilmu berdasarkan prinsip induksi dapat ditulis:
Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan
apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A
memiliki sifat B.
Dengan demikian, pengetahuan dibangun oleh induksi dengan dasar kokoh yang
diperoleh lewat observasi. Ketika jumlah fakta yang diperoleh lewat observasi dan
experimen meningkat, dan ketika fakta-fakta itu makin lengkap dan mendalam karena
ketrampilan kita dalam observasi dan experimen, maka makin banyak hukum dan teori
yang makin luas keumumannya dan ruang lingkupnya yang dibentuk dengan penjelasan
induktif yang cermat. Pertumbuhan ilmu itu berlangsung terus, berkembang maju dan
meningkat terus.
Jadi ciri utama ilmu adalah kemampuannya untuk menjelaskan dan meramalkan.

Hukum dan
teori

Induksi Deduksi

Fakta didapat Ramalalan dan


dari observasi penjelasan

3. Logika dan Penalaran Deduktif


Sekali seorang ilmuwan memiliki hukum-hukum dan teori-teori universal, maka dari situ
dimungkinkan baginya menarik konsekuensi-konsekuensi yang bisa digunakan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan dan ramalan-ramalan. Penjelasan dengan penarikan
semacam itu disebut penalaran deduktif.

4. Ramalan dan penjelasan menurut tafsiran induktivis


Bentuk umum dari semua penjelasan ilmiah dan ramalan ilmiah dapat diringkas seperti
berikut:

2
1. Hukum-hukum dan teori-teori
2. Kondisi-kondisi awal
3. Ramalan-ramalan dan keterangan-keterangan.

Apabila kita coba membayangkan betapa kemampuan dan jangkauan fikiran seorang
manusia super menggunakan metode ilmiah, tetapi normal menurut proses-proses logika
fikirannya, maka prosesnya adalah seperti berikut. Pertama, semua fakta diobservasi dan
direkam, tanpa melakukan pilihan atau dugaan a priori tentang arti penting saling
kaitannya antara fakta-fakta itu. Kedua, fakta-fakta yang telah diobservasi dan direkam
itu dianalisa, dibandingkan dan diklasifikasi, tanpa hipotesa-hipotesa atau dalil-dalil
(postulates), selain dari apa yang langsung terlibat secara wajar menurut logika fikiran.
Ketiga, dari analisa fakta-fakta ini, generalisasi akan ditarik secara induktif mengenai
hubungannya, dengan mengklasifikasikannya atau dengan cara kebetulan. Keempat,
riset selanjutnya akan dilakukan secara induktif maupun deduktif dengan menggunakan
penyimpulan dari yang telah dilakukan sebelumnya.

5. Appeal Induktivisme naif


Objektivitas ilmu induktivis ditarik dari fakta-fakta bahwa observasi maupun penalaran
induktif itu sendiri adalah objektif. Keterangan-keterangan observasi dapat ditetapkan
kebenarannya oleh setiap pengamat dengan menggunakan secara normal organ-organ
inderanya. Tidak ada unsur perorangan dan subjektif apa pun diperkenankan untuk
mencampurinya. Validitas keterangan-keterangan observasi, bila diperoleh secara tepat,
tidak akan tergantung pada selera, pendapat, harapan atau angan-angan si pengamat.
Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah berasal dari keterangan-keterangan observasi.
Semua kaum induktivis akan mengemukakan klaim bahwa sepanjang teori-teori ilmiah
dapat dibenarkan, maka pembenarannya didukung secara induktif atas dasar yang sedikit
banyak telah terjamin oleh pengalaman.

2. PROBLEM INDUKSI

1. Dapatkah prinsip induksi dibenarkan?

Menurut pandangan induktivis naif, ilmu bertolak dari observasi, dan observasi
memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya,
sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang
diperoleh melalui induksi
Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan
apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A
memiliki sifat B.

Persoalan: Bagaimana prinsip induksi itu dapat dijustifikasi?” Dua jawaban yang
diberikan induktivis. Pertama, dengan bantuan logika, kedua dengan bantuan
pengalaman.

3
Logika yang valid ditandai fakta bahwa bila premis argumen itu benar, maka
kesimpulannya pasti benar. Tetapi ini hanya berlaku untuk penalaran deduktif, belum
tentu berlaku untuk induktif. Argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang
valid secara logis. Bisa saja terjadi penyimpulan argumen induktif salah, sedangkan
premisnya benar, dan ini terjadi tanpa menjadi kontradiksi. Misal, sampai hari ini saya
telah melakukan pengamatan atas sejumlah besar burung gagak pada variasi kondisi yang
luas dan telah menyaksikan mereka semua hitam, dan berdasarkan fakta ini, saya
menyimpulkan bahwa “semua gagak berwarna hitam”. Ini adalah penyimpulan induktif
yang valid dan sempurna. Tetapi tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang saya
observasi kemudian tidak ada yang berwarna lain. Kalau hal itu terbukti, maka
kesimpulan “semua gagak berwarna hitam” adalah salah. Jadi, penyimpulan induktif-
awal yang jelas valid karena memenuhi kriteria yang telah dispesifikasi oleh prinsip
induksi, dapat membawa ke suatu kesimpulan yang salah, sekali pun fakta menunjukkan
bahwa semua premisnya benar. Tidak ada kontradiksi logis terlibat di dalam keterangan
bahwa semua gagak yang telah diobservasi terbukti hitam, dan juga bahwa tidak semua
gagak berwarna hitam, dengan demikian, jelas bahwa induksi tidak dapat dibenarkan
berdasarkan logika semata.
Prinsip induksi tidak dapat dibenarkan hanya dengan minta bantuan pada logika. Dengan
menyadari hal ini, sang induktivis kini terpaksa menurut pendiriannya sendiri,
menunjukkan bagaimana prinsip induksi itu dapat ditarik dari pengalaman. Induksi telah
diobservasi jalan dengan baik atas sejumlah besar kesempatan. Misalnya, hukum-hukum
optik ditarik dengan induksi dari hasil-hasil eksperiemen di dalam laboratorium, dan telah
digunakan dalam banyak kesempatan untuk membuat alat-alat optik seperti kamera,
teleskop, dsb. Alat-alat optik itu ternyata berfungsi dengan baik dan memuaskan. Daftar
ini dapat diperpanjang dengan ramalan dan penjelaan yang berhasil berkat hukum-hukum
dant teori-teori ilmiah itu telah ditarik secara induktif. Demikianlah cara prinsip induksi
mendapatkan justifikasi.
Pembenaran induksi seperti ini tidak dapat diterima, sebagaimana David Hume secara
konklusif mendemonstrasikannya pada pertengahan abad ke 18. Argumen untuk
mendapatkan pengakuan pembenaran induksi berputar-putar, karena ia justru
menggunakan argumen induktif yang validitasnya masih membutuhkan pembenaran.
Bentuk argumen untuk mendapat pembenaran itu adalah seperti berikut:
Prinsip induksi berhasil pada kesempatan x-1.
Prinsip induksi berhasil pada kesempatan x-2, dst.
Prinsip induksi selalu berhasil
Keterangan universal yang menyatakan sahnya prinsip induksi di sini disimpulkan dari
sejumlah keterangan tunggal yang direkam dari penerapan prinsip itu secara berhasil di
masa-masa yang lalu. Argumennya, oleh karena itu, adalah suatu argumen induktif dan
dengan demikian tidak dapat dipergunakan untuk membenarkan prinsip induksi. Kita
tidak dapat emmpergunakan induksi untuk membenarkan induksi. Kesulitan seperti ini
yang melekat pada cara pembenaran induksi, secara tradisional disebut: “problema
induksi”.
Di samping berputar-putar dalam usaha untuk membenarkan prinsip induksi, prinsip ini
menderita banyak kekuarangan dan kelemahan, yang berangkat dari kekaburan dan
kebimbangan dari tuntutannya bahwa “sejumlah besar” observasi harus dilakukan pada
“variasi keadaan yang luas”.

4
Berapa banyak observasi yang diperlukan untuk memenuhi “sejumlah besar” itu?
Haruskan sebatang logam tertentu dipanasi 10 x, 100x, atau berapa banyak kali sebelum
kita dapat menyimpulkan logam selalu memuai bila dipanasi? Maka bila prinsip induksi
ingin berperan sebagai panduan yang membawa ke kesimpulan ilmiah yang sah, maka
kata-kata “sejumlah besar” itu perlu dikualifikasi lebih terperinci dan tegas.
Posisi induktivis naif itu selanjutnya terancam kesulitan yang lebih besar lagi bila diteliti
tuntutannya bahwa observasi harus dilakukan pada variasi kondisi yang luas. Apa dan
bagaimana dapat dikualifikasi sebagai variasi kondisi yang berarti dan yang luas itu?
Sebab variasi-variasi yang mempunyai makna dapat dibedakan dengan jelas dari variasi-
variasi yang tidak perlu dengan minta bantuan pada pengetahuan teori tentang situasi
yang sudah kita miliki dan tentang berbagai macam pengoperasian mekanisme fisikal.
Akan tetapi, untuk menerima hal ini berarti mengakui bahwa teori memainkan peranan
vital mendahului observasi. Kaum induktivis naif tidak akan mengakuinya. Namun
mengejar terus permasalahan ini akan membawa kita ke kritik terhadap induktivisme
lebih lanjut. Anak kalimat “variasi kondisi yang luas” dalam prinsip induksi itu telah
menimbulkan persoalan-persoalan yang serius bagi kaum induktivis.

2. Mundur ke Probabilitas
Untuk menentang beberapa kritik, kaum induktivis naif menggunakan cara yang jelas
dapat melemahkan posisi mereka sendiri. Menurut mereka pengetahuan ilmiah bukanlah
pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin
besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi. Dan semakin besar variasi
kondisi di mana observasi dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil
generalisasi itu benar. Maka versinya menjadi:
Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan
apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A
probabel (bisa jadi) memiliki sifat B.
Namun cara pembenaran seperti ini akan memerlukan argumentasi yang nampaknya
justru membutuhkan pembenaran. Persoalan berhubungan dengan kesulitan yang
dijumpai bila mencoba menentukan secara persis bagaimana probabilitas suatu hukum
atau teori dilihat dari segi pembuktian yang terperinci.

3. Beberapa kemungkinan respon terhadap Problem Induksi


Ada beberapa kemungkinan respon terhadap problema induksi:
1> Skeptis: kalau kita dapat menerima ilmu didasarkan pada induksi, begitu pun
demonstrasi Hume yang telah menunjukkan bahwa induksi tidak dapat dibenarkan
dengan mengajukan appeal kepada logika atau pengalaman, lalu menyimpulkan
bahwa ilmu tidak dapat dibenarkan secara rasional. Hume sendiri menerima sikap
semacam itu, ia berpendapat bahwa kepercayaan dalam hukum-hukum dan teori-teori
tidak lebih dari kebiasaan psikologis yang kita miliki sebagai akibat dari ulangan-
ulangan observasi yang relevan.
2> Melemahkan tuntutan induktivis bahwa semua pengetahuan non-logis mesti berasal
dari pengalaman dan menentang masuk akalnya prinsip induksi atas dasar beberapa
pertimbangan lain. Bagaimanapun, menganggap prinsip induksi sebagai suatu hal
yang sudah “jelas”, tidaklah dapat diterima. Apa yang kita anggap sudah “jelas” itu

5
relatif dan terlalu banyak tergantung pada tingkat pendidikan kita, prasangka-
prasanga dan kebudayaan kita.
3> Penolakan terhadap anggapan bahwa ilmu didasarkan pada induksi. Kaum
falsifikasionis, terutama yang paling terkenal, Karl Popper, berusaha untuk
melakukan hal ini.

3. KETERGANTUNGAN OBSERVASI PADA TEORI

Ada dua asumsi penting di dalam pandangan induktivis naif tentang observasi. Yang
pertama adalah bahwa ilmu bertolak dari observasi. Yang kedua bahwa observasi
menghasilkan landasan yang kokoh dan dari situ pengetahuan dapat ditarik.

1. Pandangan populer tentang observasi


Dua hal yang ditekankan dalam gambaran garis besar tentang observasi via indera-
penglihatan merupakan titik-titik kunci bagi kaum induktivis. Pertama, seorang pengamat
sedikit-banyak dapat menangkap langsung beberapa sifat dari dunia luar selama sifat-sifat
itu terekam oleh otaknya dengan tindakan melihat. Kedua, bahwa dua pengamat yang
normal memandang objek atau adegan yang sama dari tempat yang sama akan “melihat”
yang sama. Suatu kombinasi sorotan sinarnya yang sama akan menyentuh mata tiap
pengamat, dan akan terfokus pada retina yang normal oleh lensa mata yang normal pula
sehingga melahirkan gambaran yang sama. Informasi-informasi yang sama pun dikirim
ke otak setiap pengamat via syaraf-syaraf optik mereka yang normal, mengakibatkan dua
pengamat itu “melihat” hal yang sama.

2. Pengalaman visual tidak ditentukan oleh gambar-gambar pada retina


Banyak bukti menunjukkan kenyataan justru bukan demikian. Dua pengamat memandang
objek yang sama dari tempat yang sama dan dalam keadaan fisik yang sama tidak harus
memiliki pengalaman visual yang sama, walaupun gambar-gambar yang diterima retina
masing-masing pada hakikatnya sama. Sebagaimana dikemukakan oleh N.R. Hanson:
“Melihat itu melebihi dari sekedar apa yang dijumpai oleh biji mata”.

Kebanyakan kita, bila pertama kali memandang gambar di atas, akan melihat tangga itu
dari permukaan bagian atas. Tetapi ini bukan satu-satunya cara tangga itu dapat dilihat.
Tanpa kesulitan, tangga itu bisa juga dilihat dari bagian bawah. Selanjutnya, bila seorang

6
memandang lukisan itu beberapa saat, umumnya ia mendapat di luar kehendaknya,
bahwa apa yang ia lihat itu sering berubah-ubah, dari tangga yang terlihat dari atas
berubah menjadi tangga yang terlihat dari bawah, dan kembali lagi bolak-balik.
Sifat gambar yang terbentuk pada retina secara relatif tergantung pada kebudayaan si pe-
ngamat. Apa yang dilihat seorang pengamat, artinya, pengalaman visual yang dimiliki
seorang pengamat ketika memandang suatu objek, tergantung sebagian pada pengalaman
di masa lalu, pengetahuan dan harapan-harapannya. Jadi, apa yang terlihat oleh para
pengamat, yakni pengalaman-pengalaman subjektif yang mereka alami, tidak ditentukan
semata-mata oleh gambar-gambar yang diterima retina mereka, melainkan tergantung
juga pada pengalaman, pengetahuan, harapan-harapan dan kesadaran umum batinnya.

3. Keterangan-keterangan observasi membutuhkan teori


Menurut pandangan induktivis tentang ilmu, dasar kokoh di atas mana hukum-hukum dan
teori-teori membangun ilmu, sebenarnya lebih merupakan keterangan observasi publik
daripada pengalaman subjektif pengamat individual. Pandangan subjektif menjadi
relevan untuk ilmu bila diformulasikan dan dikomunikasikan sebagai keterangan-
observasi yang dapat dimanfaatkan dan dikritik oleh para ilmuwan lainya. Pandangan
induktivis itu membutuhkan penarikan keterangan universal dari keterangan tunggal
lewat induksi. Penalaran induktif maupun deduktif melibatkan relasi-relasi antara
berbagai perangkat-keterangan, dan bukan antara keterangan dengan pengalaman
perseptual.
Sekali perhatian dipusatkan pada keterangan-observasi yang membentuk dasar kokoh
bagi ilmu, maka dapat dilihat bahwa berlawanan dengan klaim induktivis, suatu teori
mesti mendahului semua keterangan-observasi, keterangan-observasi itu mungkin sama
halnya dengan teori dalam pra-anggapan yang mendahuluinya.
Keterangan-observasi harus dibuat dalam bahasa suatu teori, betapa pun samarnya. Maka
keterangan-observasi selalu dibuat dalam bahasa suatu teori dan akan persis seperti
kerangka teoretis atau konseptual yang mereka manfaatkan. Konsep “daya” sebagaimana
digunakan dalam fisika adalah sesuatu yang sudah tertentu, karena ia memiliki makna
dari peranan yang dimainkannya di dalam teori yang tertentu, relatif otonom, yakni teori
mekanika Newtonian. Penggunaan kata yang sama di dalam bahasa sehari-hari (seperti:
“keadaan terpaksa”, “badai dan angin lembut”, “kekuatan argumentasi”, dsb.) tidaklah
tepat justru karena teori-teori bersangkutan beraneka ragam dan tidak cermat pula. Teori-
teori yang diformulasi secara cermat dan jelas merupakan prasyarat untuk keterangan-
observasi yang tepat. Dalam segi inilah teori-teori mendahului observasi. Klaim prioritas
teori mendahului observasi bertentangan dengan tesis induktivis yang menyatakan bahwa
makna dari banyak konsep dasar diperoleh melalui observasi.

4. Observasi dan Eksperimen dibimbing oleh Teori


Menurut induktivis yang paling naif, dasar pengetahuan ilmiah dibangun lewat observasi-
observasi yang dilakukan tanpa prasangka dan tidak memihak. Apabila diinterpretasikan
secara harfiah, posisi ini aneh dan tidak dapat dipertahankan. Heinrich Hetrz pada tahun
1888 mengadakan suatu experimen listrik yang memungkinkan ia pertama kali dapat
membuat dan mendeteksi gelombang-gelombang radio. Apabila Ia sepenuhnya tidak
memihak ketika melakukan observasi, maka ia wajib mencatat tidak hanya jarum
berbagai macam perkakas meteran, ada atau tidak adanya letik api di berbagai lokasi

7
yang kritis di dalam sirkuit-sirkuit listrik, dimensi-dimensi sirkuit, dsb., tetapi juga warna
dari perkakas meteran, dimensi laboratoriumnya, keadaan cuaca, ukuran sepatunya dan
sejumlah besar perincian-perincian “yang jelas sekali irrelevan”. Artinya: irrelevan
dengan teori yang menarik perhatian Hertz, dan yang membuatnya melakukan
eksperimen itu.
Contoh ini menunjukkan satu segi penting bahwa di dalam ilmu, teori mendahului
observasi. Observasi dan percobaan diadakan dengan maksud untuk menguji atau
mengungkap suatu teori, dan hanya observasi yang relevan dengan tugas penelitian itu
harus direkam.

5. Induktivisme tidak disalahkan secara konklusif


Kaum induktivis moderen dapat melepaskan diri dari kritik di atas dengan
mengemukakan klaim bahwa ilmu harus bertolak dari observasi tanpa memihak dan
tanpa prasangka, dengan membedakan antara cara teori mula-mula dipikirkan atau
ditemukan (logic of discovery) di satu pihak, dan cara teori itu dibenarkan atau diakui
(logic of justification) faedahnya di pihak lain.
Pemisahan cara penemuan dan cara pembenaran, memungkinkan kaum induktivis
menghindari kritik yang diarahkan pada klaim mereka bahwa ilmu bertolak dari
observasi. Tetapi legitimasi pemisahan dua cara itu harus dipertanyakan, namun,
walaupun kita perkenankan kaum induktivis memisahkan cara penemuan dari cara
pembenaran, posisi mereka tetap terancam oleh kenyataan bahwa keterangan observasi
itu bermuatan teori, dan oleh karenanya bisa salah. Kaum induktivis ingin membuat
pembedaan sangat tajam antara observasi langsung, yang mereka harapkan akan
membentuk dasar yang kokoh untuk pengetahuan ilmiah, dan teori-teori yang akan
dibenarkan dengan sejumlah dukungan induktif yang diterimanya dari dasar observasi
yang terjamin.

4. Memperkenalkan Falsifikasionisme

Teori diuraikan sebagai dugaan atau tebakan spekulatif dan coba-coba, yang diciptakan
secara bebas oleh intelek manusia dalam usaha mengatasi problema-problema yang
dijumpai teori-teori terdahulu, dan untuk memberikan keterangan yang cocok tentang
beberapa aspek dunia atau alam semesta. Sekali ia diajukan, teori spekulatif itu akan diuji
dengan keras dan tanpa belas kasihan oleh observasi dan eksperimen. Teori yang gagal
dan tidak tahan uji oleh observasi dan eksperimen, akan dibuang dan diganti dengan
dugaan-dugaan spekulatif lain dan seterusnya. Ilmu berkembang maju melalui percobaan
dan kesalahan, melalui dugaan dan penolakan.

1. Hal-hal logis untuk mendukung falsifikasionisme


menurut falsifikasionisme, beberapa teori dapat ditunjukkan sebagai salah dengan
meminta bantuan pada hasil observasi dan eksperimen. Kalau kita berasumsi keterangan-
observasi yang benar dapat diperoleh dengan satu atau lain cara, maka tidak pernah akan
mungkin dicapai hukum-hukum dan teori-teori universal dengan deduksi-deduksi logis
atas dasar itu saja. Di lain pihak, mungkin saja melakukan deduksi-deduksi logis yang
bertolak dari keterangan-observasi tunggal sebagai premis, untuk sampai pada ketidak-

8
benaran hukum dan teori universal dengan deduksi logis. Misalnya, apabila kita
menerima keterangan “Seekor burung gagak yang bukan hitam, diobservasi di tempat x
dan pada musim m”, maka secara logis penyimpulan pernyataan “semua burung gagak
berwarna hitam” tidak benar. Ketidakbenaran keterangan universal dapat dideduksi dari
keterangan tunggal yang cocok. Kaum falsifikasionis mengeksploitasi segi logis ini
setuntas-tuntasnya.

2. Falsifiabilitas sebagai criteria Teori.


Kaum falsifikasionis memandang ilmu sebagai suatu perangkat hipotesis yang
dikemukakan secara coba-coba dengan tujuan melukiskan secara akurat perilaku suatu
aspek dunia atau alam semesta. Akan tetapi, tidak satu pun hipotesis dapat berbuat
demikian. Ada satu syarat fundamental kalau suatu hipotesis atau suatu system hipotesis
mau diakui memiliki status sebagai hukum atau teori ilmiah. Apabila ia menjadi bagian
dari ilmu, maka suatu hipotesis akan harus falsifiable.
Suatu hukum atau teori ilmiah harus secara ideal memberikan informasi tentang
bagaimana dunia ini de fakto berperilaku, bukan tentang yang sekadar mungkin. Hukum
“Semua planet bergerak dalam garis ellips mengitari matahari” adalah ilmiah karena ia
mengemukakan klaim bahwa planit-planit dalam kenyataan bergerak dalam bentuk ellips,
dan mengesampingkan orbit-orbit yang berbentuk persegi atau oval. Karena hukum itu
membuat klaim yang pasti, maka ia mengandung informasi dan falsifiable.

3. Derajat falsifiabilitas, kejelasan dan kecermatan


Makin falsifiable suatu teori semakin baiklah teori itu. Teori yang sangat baik
mengemukakan klaim yang sangat luas jangkauannya tentang dunia, dan yang
konsekuensinya paling tinggi falsifiabilitasnya, dan dapat bertahan terhadap falsifikasi
jika diuji.
Maka kaum falsifikasionis menyambut baik usul-usul untuk melakukan dugaan-dugaan
spekulatif yang berani. Spekulasi-spekulasi tergesa-gesa digalakkan, asalkan falsifiable
dan ditolak bila terfalsifikasi. Sikap nekat itu belawanan dengan sikap hati-hati yang
dianjurkan oleh kaum induktivis naïf. Menurut kaum induktivis, hanya teori yang dapat
dibuktikan benar atau boleh-jadi benar dapat diterima sebagai ilmu.Tuntutan bahwa teori
harus tinggi falsifiabilitasnya mempunyai konsekuensi menarik, yaitu teori harus
dinyatakan dengan jelas dan cermat.

4. Falisifikasionisme dan kemajuan


Ilmu bertolak dengan problema-problema yang berhubungan dengan keterangan tentang
perilaku beberapa aspek dunia atau alam semesta. Hipotesa-hipotesa yang falsifiable
diusulkan untuk memecahkannya. Lalu hipotesa-hipotesa itu dikritik dan diuji. Beberapa
mungkin segera gugur, sedangkan lainnya mungkin lebih tahan uji. Yang tahan uji
dikritik dan diuji lebih lanjut dan lebih keras lagi. Bilamana ada hipotesis yang tahan uji
setelah diuji secara luas dan berat, dan akhirnya difalsifikasi, maka lahirlah problema
baru, yang diharapkan sudah terpisah jauh dari persoalan semula yang sudah dipecahkan.
Persoalan baru ini menuntut penemuan hipotesis-hipotesis baru, dst. Tidak pernah suatu
teori dapat dikatakan mutlak benar, betapa pun baiknya, tetapi dapat dikatakan dengan
penuh harapan bahwa teori yang sedang berlaku superior daripada pendahulu-

9
pendahulunya, dalam pengertian bahwa ia telah bertahan dalam ujian-ujian yang telah
memfalsifikasi pendahulu-pendahulunya.

5. Falsifikasionisme Sofistikit, Ramalan Baru dan Pertumbuhan Ilmu

1. Derajat falsifiabilitas relatif ketimbang absolut


Masih ada kondisi lain lagi yang dibutuhkan ilmu untuk berkembang maju. Suatu
hipotesa harus lebih falsifiable daripada hipotesis yang akan digantikannya. Pandangan
kaum falsifikaionis yang lebih sofistikit tentang ilmu, dengan penekanan pada
pertumbuhan ilmu, mengalihkan focus perhatian dari faedah suatu teori tunggal ke faedah
yang relatif dari teori-teori yang bersaing. Pertanyaannya “Apakah teori yang baru ini
memiliki daya hidup untuk menggantikan teori yang ditantangnya?” Secara ideal, kaum
falsifikasionis akan lebih suka kalau dapat mengatakan bahwa rangkaian teori yang
membentuk evolusi historis suatu ilmu terdiri dari teori-teori falsifiable, dan setiap teori
dalam rangkaian itu lebih falsifiable daripada pendahulunya.

2. Peningkatan falsifiabilitas dan modifikasi ad hoc


Tuntutan bahwa sebagai ilmu yang sedang berkembang maju, teori harus makin
falsifiable, dan sebagai konsekuensinya harus mengandung makin banyak isi dan makin
informatif sifatnya, mengesampingkan modifikasi-modifikasi di dalam teori yang
dirancang hanya untuk melindungi teori dari ancaman falsifikasi. Modifikai di dalam
suatu teori, misalnya dengan menambah satu dalil ekstra, atau mengadakan perubahan
dalam dalil yang sudah ada, yang belum atau masih akan diuji terhadap teori yang belum
dimodifikasi disebut modifikasi ad hoc.

3. Pandangan falsifikasionis tentang Konfirmasi dalam ilmu.


Ketika falsifikasionisme diperkenalkan sebagai alternatif induktivisme, falsifikasi, yaitu
kegagalan teori untuk bertahan menghadapi ujian-ujian dengan observasi dan
eksperiemen, dilukiskan sebagai satu kunci yang penting:
a. Pandangan ini membantah bahwa situasi logis boleh mengukuhkan suatu
kesalahan, tapi tidak boleh mengukuhkan kebenaran teori-teori berdasarkan
keterangan-observasi yang dapat diperoleh.
b. Dianjurkan, bahwa ilmu harus berkembang dengan dugaan-dugaan yang
berani, dan tinggi falsifiabilitasnya sebagai dasar untuk memecahkan
problema-problema, lalu diikuti dengan usaha-usaha keras untuk
memfalsifikasi usul-usul baru. Kemajuan yang berarti dalam ilmu terjadi
ketika dugaan-dugaan berani itu difalsifikasi.
c. Perkembangan kemajuan yang berarti ditandai dengan konfirmasi dugaan-
dugaan yang berani atau falsifikasi dugaan-dugaan yang berhati-hati. Kasus-
kasus jenis pertama adalah informatif dan memberikan sumbangan penting
kepada pengetahuan ilmiah, justru karena mereka menjadi pertanda tentang
penemuan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terdengar atau pun
terpikirkan. Falsifikasi dugaan-dugaan yang berhati-hati adalah informatif,
karena mereka menunjukkan bahwa apa yang dianggap semula benar tanpa
ada persoalan apa pun, ternyata salah

10
4. Keberanian, kebaharuan dan pengetahuan latar belakang
Dugaan dikatakan berani pada suatu tingkat perkembangan sejarah ilmu tertentu, tidak
usah dianggap berani lagi pada tingkat perkembangan sejarah selanjutnya. Suatu dugaan
dikatakan berani bila bertentangan dengan teori-teori yang pada umumnya sudah diterima
waktu itu. Jadi apabila kita meneyebut kumpulan teori ilmiah yang pada umumnya sudah
diterima dan berlaku dengan mantap pada suatu tingkat perkembangan sejarah ilmu
sebagai pengetahuan latar belakang waktu itu, maka kita dapat mengatakan bahwa suatu
dugaan adalah berani bila tuntutannya tidak berdasarkan pada pengetahuan latar belakang
waktu itu. Ramalan-ramalan pun akan dipandang baru apabila melibatkan suatu
fenomena yang belum pernah termasuk di dalamnya, atau barangkali mengesampingkan
secara eksplisit pengetahuan latar belakang waktu itu. Konfirmasi suatu dugaan berani
akan melibatkan falsifikasi beberapa bagian pengetahuan latar belakang yang
besangkutan dengan dugaan berani itu.

5. Perbandingan pandangan induktivis dan falsifikasionis tentang Konfirmasi


Kaum falsifikasionis sofistikit tetap mempertahankan bahwa teori dapat difalsifikasi dan
ditolak sementara disangkal bahwa teori akan pernah bisa ditentukan sebagai benar atau
boleh jadi benar. Tujuan ilmu ialah untuk memfalsifikasi teori dan menggantikannya
dengan teori yang lebih baik, teori yang mendemonstrasikan kemampuan lebih besar
untuk bertahan menghadapi ujian. Konfirmasi teori baru penting selama dia memberikan
bukti bisa memperbaiki teori yang digantikannya. Sekali usulan teori baru yang berani
berhasil menyisihkan rivalnya, maka tibalah gilirannya menjadi sasaran dari ujian berat,
ujian lebih lanjut yang dirancang denan bantuan teori yang berdasarkan dugaan yang
berani. Jadi ada perbedaan penting dengan pandangan induktivis mengenai arti
konfirmasi.

6. Keterbatasan Falsifikasionisme

1. Ketergantungan Observasi pada Teori dan falibilitas falsifikasi


Kum falsifikasionis naïf berkeras bahwa aktivitas ilmiah harus memikirkan usaha
memfalsifikasi teori dengan cara mengukuhkan kebenaran semua katerangan-observsi
yang tidak konsisten dengannya. Kaum falsifikasionis sofistikit mengakui pentingnya
peranan konfirmasi terhadap teori spekulatif, begitu pun peranan falsifikasi teori yang
sudah mantap. Namun keduanya mempunyai kesamaan, bahwa ada perbedaan kualitatif
yang penting antara status konfirmasi dan status falsifikasi. Dalam rangka pembuktian,
teori dapat konklusif difalsifikasi tetapi tidak pernah dapat ditetapkan sebagai benar atau
boleh jadi benar apa pun pembuktiannya.
Klaim kaum falsifikasionis secara serius ditentang oleh fakta bahwa keterangan-observasi
tergantung pada teori dan bisa salah atau fallible. Akibatnya, apabila satu atau sejumlah
keterangan universal membentuk suatu teori atau sebagian dari teori yang bertentangan
dengan keterangan observasi, boleh jadi keterangan observasinya yang salah jadi
falsifikasi teori yang besifat langsung dan konkusif tidak akan dapat dicapai.

2. Kompleksitas situasi pengujian yang realistis

11
Teori ilmiah yang realistis akan terdiri dari keterangan universal yang kompleks
ketimbang suatu keterangan tunggal seperti “Semua angsa putih”. Apabila suatu teori
akan diuji dengan eksperimen maka akan lebih banyak lagi melibatkan keterangan
mengenai teori yang sedang diuji itu. Teori membutuhkan tambahan asumsi pendukung,
misalnya, hukum-hukum dan teori-teori yang menguasai penggunaan alat yang
dipergunakan dalam ujian. Sebagai tambahan, untuk mendeduksi suatu ramalan yang
validitasnya harus diuji dengan experiemen, dibutuhkan tambahan kondisi-kondisi awal
seperti uraian tentang kerangka eksperimen yang akan dilaksanakan.
Suatu teori tidak dapat difalsifikasi secara konklusif, karena mungkin saja ada bagian dari
situasi pengujian yang kompleks (di luar teori yang sekarang diuji), yang sebenarnya
menyebabkan kekliruan ramalan. Hal-hal seperti ini tidak dapat dielakkan.

3. Falsifikasionisme tidak sesuai dengan sejarah


Kenyataan yang mengganggu kaum falsifikasionis ialah bhwa apabila metodologi mereka
dipegang teguh oleh para ilmuwan, maka teori-teori yang umumnya dianggap sebagai
teladan terbaik tidak akan pernah dikembangkan, karena mereka sudah ditolak selagi
masih kanak-kanak. Dalam teori ilmiah klasik, mungkin ada keterangan-observasi yang
secara umum dapat diterima baik pada waktu itu tetapi dianggap tidak konsisten terhadap
teorinya. Sekalipun demikian, teori-teori itu tidak ditolak, misalnya teori gravitasi
Newton, teori atom Bohr, teori kinetik Maxwell, teori Revolusi Copernicus.

7 Teori sebagai Struktur:


1. Program Riset

1. Program Riset Lakatos


o Program riset Lakatos (Imre Lakatos, “Methodology of Scientific Research
Programs”) adalah suatu struktur yang memberikan bimbingan untuk riset di masa
depan dengan cara positif maupun negatif. Heuristik Negatif adalah program
terperinci yang menetapkan bahwa asumsi-asumsi dasar yang melandasi program
itu seharusnya jangan sampai ditolak atau dimodifikasi. Ia dilindungi dari
ancaman falsifikasi oleh suatu lingkaran-pelindung yang terdiri dari hipotesa-
hipotesa pendukung, kondisi-kondisi awal, dsb. Heuristik positif meliputi
bimbingan garis besar yang menunjukkan bagaimana program riset itu dapat
dikembangkan. Perkembangan ini memerlukan perlengkapan bagi inti-pokok tadi
dengan asumsi-asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena yang sudah
dikenal lebih dulu dan meramalkan fenomena baru. Program riset itu progresif
atau degeneratif tergantung pada apakah mereka berhasil atau gagal memimpin ke
penemuan fenomena baru.
o Inti pokok program adalah yang menentukan ciri-ciri suatu program. Ia
merupakan hipotesa teoretis yang sangat umum yang akan menjadi dasar program
untuk dikembangkan.
o Inti pokok program dinyatakan tidak dapat difalsifikasi oleh “keputusan
metodologis protagonisnya”. Segala ketidaksesuaian antara riset dengan data
observasi berasal bukan dari asumsi yang membentuk inti pokok, melainkan dari

12
bagian lain struktur teori itu. Kerumitan asumsi-asumsi yang membentuk bagian
lain dari struktur teori itulah yang oleh Lakatos disebut “lingkaran pelindung”.
Lingkaran pelindung tidak hanya terdiri dari hipotesa-hipotesa pendukung yang
eksplisit melengkapi inti pokok itu, tetapi juga asumsi-asumsi yang mendaari
uraian kondisi-kondisi awal dan keterangan-keterangan observasi
o Heuristik negatif suatu program adalah tuntutan bahwa selama program masih
dalam perkembangan, inti pokok tetap tidak dimodifikasi dan tetap utuh. Seorang
ilmuwan yang mengadakan modifikasi terhadap inti pokok program sebenarnya
telah memilih keluar dari program riset bersangkutan.
o Heuristik positif adalah satu segi program riset yang menunjukkan kepada
ilmuwan apa yang harus dilakukan ketimbang apa yang tidak harus dikerjakan. Ia
lebih samar dan sulit dirinci secara khusus daripada heuristik negatif. Heuristik
positif menunjukkan bagaimana inti pokok program harus dilengkapi agar dapat
menerangkan dan meramalkan fenomena yang nyata. Lakatos mengatakan,
“Heuristik positif terdiri sebagian dari seperangkat saran atau isyarat tentang
bagaimana mengubah, mengembangkan ‘varian-varian yang dapat dibantah’ dari
suatu program riset, bagaimana memodifikasi dan meningkatkan lingkaran
pelindung yang dapat dibantah itu”.
o Jadi ada dua cara untuk menilai suatu program:
- Pertama, suatu program riset harus memiliki satu derajad koherensi yang
mengandung perencanaan yang pasti untuk program riset mendatang.
- Kedua, suatu program riset harus dapat menghasilkan penemuan
fenomena baru, paling kurang sekali-sekali.
Suatu program riset harus dapat memenuhi kedua syarat tersebut apabila ingin
dikualifikasi sebagai program riset ilmiah. Lakatos berpendapat bahwa Marxisme
dan psikologi Freudian sebagai program memenuhi criteria pertama, tetapi tidak
memenuhi criteria kedua, dan sosiologi modern merupakan program yang
mungkin memenuhi criteria kedua tetapi tidak memenuhi yang pertama.

2. Metodologi di dalam suatu program riset


Metodologi ilmiah harus ditelaah dari dua sudut pandang: yang satu berhubungan dengan
pekerjaan program riset yang sekali selesai (tunggal), yang kedua diperbandingkan
faedahnya dengan program riset saingannya.
o Pekerjaan program riset tunggal meliputi perluasan dan modifikasi-modifikasi
lingkaran pelindung dengan menambah dan menguraikan berbagai macam
hipotesa. Langkah ad hoc, modifikasi atau penambahan terhadap lingkaran
pelindung dari suatu program riset harus dapat diuji secara independen. Langkah
lain mungkin dengan mempertanyakan asumsi di dalam lingkaran pelindung,
seperti masalah pembiasan cahaya di dalam atmosfir bumi. Langkah ini akan sah
bila membuka kesempatan untuk pengujian-pengujian eksperimental baru yang
barangkali menghasilkan suatu keterangan tentang atmosfir bumi yang tidak
pernah diduga sebelumnya.

3. Perbandingan program-program riset

13
Pada umumnya dapat dikatakan, faedah program-program riset ditentukan oleh seberapa
jauh mereka berkembang atau mendegenerasi. Suatu program yang mendegenerasi akan
membuka jalan bagi rivalnya yang lebih maju.
Kesulitan utama dalam criteria menerima atau menolak program-program riset, berkaitan
dengan factor waktu. Berapa waktu diperlukan sebelum suatu program dapat ditentukan
mendegenerasi secara serius? Kesulitan ini membawa kesimpulan Lakatos bahwa orang
tidak pernah dapat membuat klaim mutlak bahwa suatu program riset “lebih baik”
daripada program rivalnya.

2. Paradigma Kuhn

1. Catatan awal
o Pandangan kedua mengenai teori ilmiah sebagai struktur yang kompleks adalah
pandangan Thomas Kuhn di dalam The Structure of Scientific Revolution. Satu
segi utama teorinya adalah penekanannya pada sifat revolusioner dari suatu
kemajuan ilmiah – revolusi yang membuang suatu struktur teori dan
menggantinya dengan yang lain – dan bertentangan dengan yang semula. Segi
penting lainnya adalah peran penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis
masyarakat ilmiah.
o Skema open-ended perkembangan ilmu:
Pra-ilmu – ilmu biasa (normal) – kritis – revolusi – ilmu biasa (normal) baru – krisis
baru – dst.
o Aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang mengawali
pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun dan terarah pada saat suatu
paradigma tunggal telah dianut oleh suatu masyarakat-ilmiah. Suatu paradigma
terdiri dari asumsi-asumsi teoretis yang umum dan hukum-hukum serta teknik-
teknik untuk penerapannya yang diterima oleh para anggota suatu masyarakat
ilmiah. Pekerja-pekerja di dalam suatu paradigma mempraktekkan apa yang
disebut ilmu-biasa (normal science). Para ilmuwan biasa akan menjelaskan dan
mengembangkan paradigma dalam usaha untuk mempertanggung-jawabkan dan
menjabarkan perilaku beberapa aspek yang revelan dengan dunia nyata ini,
sebagaimana diungkapkan lewat hasil-hasil eksperimen.
o Dalam berbuat demikian, meraka mau tidak mau akan menghadapi kesulitan dan
anomali-anomali. Bila anomali semakin bertambah dan semakin berat,
kepercayaan pada paradigma akan mengalami kemerosotan. Kalau kemerosotan
sudah menjadi ketidak-percayaan, situasi itulah yang disebut krisis.
o Krisis menyebabkan munculnya teori-teori atau paradigma-paradigma tandingan.
Kalau muncul teori/paradigma baru yang memenangkan kepercayaan para
ilmuwan, maka terjadilah revolusi ilmiah. Paradigma baru inilah yang kemudian
membimbing praktek ilmiah para ilmuwan dalam ilmu biasa.

2. Paradigma dan ilmu biasa


Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh suatu paradigma tunggal paradigma menetapkan
standar pekerjaan yang sah di dalam lingkungan yang dikuasai ilmu itu.paradigma
mengkoordinasi dan memimpin aktivitas “pemecahan teka-teki” grup-grup ilmuwan

14
biasa yang bekerja di dalamnya. Menurut Kuhn, eksistensi suatu paradigma yang mampu
mendukung tradisi ilmu biasa merupakan ciri yang membedakan ilmu dari non-ilmu.
o Paradigma sulit didefinisikan secara ketat. Definisi yang diajukan oleh Kuhn ada
21, namun sulit untuk menentukan mana yang menjadi definisi utama. Meskipun
begitu ada beberapa komponen yang dapat diidentifikasi di dalam paradigma:
 Hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoretis yang dapat dibandingkan dengan
kompenen-komponen inti pokok program riset Lakatos.
 Cara-cara yang baku dalam menggunakan hukum-hukum fundamental untuk
berbagai macam tipe situasi (metode-metode terapan, instrumentasi dan
teknik-teknik instrumen)
o Ilmu biasa melibatkan usaha-usaha terperinci untuk menjabarkan suatu paradigma
dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam. Kuhn menggambarkan
ilmu biasa sebagai kegiatan pemecahan teka-teki yang dibimbing oleh peraturan-
peraturan suatu paradigma. Kegagalan memecahkan teka-tekli (teoretis/
eksperimental) dipandang sebagai kegagalan ilmuwannya. Seorang ilmuwan biasa
harus tidak kritis terhadap paradigma di mana ia bekerja.
o Tidak ada sengketa yang bersifat fundamental di dalam ilmu biasa yang matang.
Sebab untuk dapat terlibat di dalam praktek ilmu biasa, ilmuwan menjalani latihan
untuk menggunakan paradigma tersebut, sehingga memiliki ketrampilan yang
memadai.

3. Krisis dan Revolusi


Meskipun para ilmuwan bekerja keras dan setia kepada paradigma yang dipeluknya, tetap
saja akan muncul kegagalan-kegagalan dan anomali-anomali teka-teki yang tidak dapat
dipecahkan.Satu atau dua anomali, dianggap sebagai hal yang wajar di dalam ilmu biasa.
Namun kalau jumlah dan intensitas anomali meningkat, dapat menimbulkan saat gawat,
sebab mulai mengikis kepercayaan ilmuwan pada paradigma tersebut. Saat itulah yang
disebut sebagai krisis.
Dalam situasi krisis, para ilmuwan biasa mulai terlibat dalam sengketa filosofis dan
metafisis dan mencoba membela penemuan baru mereka dengan argumen-argumen
fiolosofis dari posisi yang berdasarkan paradigma yang ada dianggap meragukan. Para
ilmuwan mulaii secara terbuka menyatakan ketidakpuasan dan kecemasannya terhadap
paradigma yang berkuasa.
Kegawatan suatu krisis menjadi mendalam bila suatu paradigma rival mulai muncul.
Paradigma baru itu akan sangat berlainan dan bahkan berlawan dengan yang lama.
Perbedaan radikal akan muncul dalam berbagai macam jenis.
 Masing-masing paradigma akan memandang dunia secara berbeda.
 Paradigma-paradigma yang bersaing akan memandang berbagai macam
pertanyaan sebagai sah dan penuh arti.
 Pradigma-paradigma itu mempunyuai komponen-kompopnen yang berbeda-beda
pula (praktek ilmiah, metode, paraturan, instrumen, etc.)
 Paradigma-paradigma itu juga mempunyai logika, bahasa dan standar yang
berbeda-beda, sehingga tidak ada argumen logis yang dapat mendemonstrasikan
superioritas satu paradigma atas lainnya.
 Keputusan memilih paradigma akan tergantung pada prioritas ilmuwan individual
atas berbagai factor: kesederhanaan, konsistensi, produktivitas.

15
 Jadi antar paradigma tidak ada ukuran yang sama (incommensurable) dan tidak
dapat saling dibandingkan (incompatible)

.
4. Fungsi ilmu biasa dan revolusi
o Periode ilmu biasa memberikan kesempatan bagi para ilmuwan untuk
mengembangkan detil dari suatu teori. Suatu paradigma mengandung kerangka
khusus dari mana dunia dipandng dan dijabarkan, dan ia pun mengandung
seperangkat teknik eksperimen dan teoretis yang memungkinkan paradigma
mengin\mbangi alam.
o Akan tetapi tidak ada alasan a priori untuk mengharapkan bahwa suatu paradigma
adalah sempurna. Tidak ada prosedur induktif untuk mencapai kesempurnaan
paradigma yang layak. Konsekuensinya, ilmu harus mengandung di dalan dirinya
suatu cara untuk mendobrak ke luar dari satu paradigma ke dalam pradigma lain yang
lebih baik. Inilah fungsi revolusi.
o Kemajuan melalui revolusi adalah alternatif Kuhn untuk kemajuan kumulatif
sebagaimana menjadi cirri pandangan induktivis tentang ilmu.

16

Anda mungkin juga menyukai