INDUKTIVISME:
ILMU SEBAGAI PENGETAHUAN BERASAL DARI FAKTA-FAKTA
PENGALAMAN1
2. Induktivisme Naif
Menurut pandangan induktivis naif, ilmu bertolak dari observasi. Pengamat ilmiah harus
memiliki organ-organ indera yang normal dan sehat, dan harus pula secara setia dan jujur
merekam apa yang ia lihat, dengar, dsb. Dalam hubungan dengan situasi yang
diamatinya, dan ia pun harus melakukan ini dengan suatu alam fikiran tanpa prasangka
sedikitpun. Pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan dunia, atau beberapa bagiannya,
dapat diperkuat atau ditetapkan sebagai kebenaran dengan cara penggunaan langsung
indera pengamatan tanpa prasangka apa pun. Pernyataan-pernyataan yang dihasilkan
dengan cara demikian itu (yang akan disebut keterangan-keterangan observasi) menjadi
dasar untuk menarik hukum-hukum dan teori-teori yang membentuk pengetahuan ilmiah.
Berikut ini adalah beberapa contoh keterangan observasi:
Pada tanggal 1 Januari 1975 jam 12.00 tengah malam, Venus nampak pada posisi
sekian di langit.
Sebatang tongkat yang sebagian tercelup di dalam air nampak bengkok.
Tuan Smith memukul isterinya.
Kertas litmus berubah menjadi merah bila dicelupkan ke dalam cairan
Keterangan-keterangan di atas, yang kebenarannya dapat dicek dengan observasi yang
cermat, merupakan keterangan-keterangan tunggal.
Berikut adalah contoh-contoh sederhana yang membentuk sebagian dari pengetahuan
ilmiah.
Dari Astronomi : Planit-planit bergerak menurut garis ellips mengitari suryanya.
Dari Fisika : Bila suatu sorotan sinar menembus dari media yang satu ke yang
lainnya, ia mengubah arah perjalannya sedemikian rupa
sehingga sinus dari sudut pembiasannya merupakan suatu ciri
konstan pasangan media tersebut.
1
Seri ini disarikan dari A.F. Chalmers, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, terjemahan Redaksi Hasta Mitra,
Jakarta: Hasta Mitra, 1982
1
Dari Psikologi : Binatang pada umumnya mempunyai suatu kebutuhan inheren
untuk melampiaskan sesuatu yang agresif.
Dari Kimia : Asam mengubah litmus menjadi merah.
Semua adalah keterangan umum yang mengungkapkan sifat atau perilaku beberapa aspek
alam semesta. Berlainan dengan keterangan tunggal, mereka mencakup semua kejadian
tertentu di semua tempat dan waktu. Keterangan-keterangan ini disebut keterangan
universal.
Generalisasi dari serangkaian terbatas keterangan observasi tunggal menjadi hukum
universal dibenarkan kalau memenuhi kondisi berikut:
1. Jumlah keterangan-observsi yang membentuk dasar suatu genaralisasi harus besar.
2. Observasi harus diulang-ulang pada variasi kondisi yang luas
3. Keterangan-observasi yang sudah dapat diterima, tidak boleh bertentangan dengan
hukum universal yang menjadi kesimpulannya.
Jadi bagi kaum induktivis naif, ilmu berdasarkan prinsip induksi dapat ditulis:
Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan
apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A
memiliki sifat B.
Dengan demikian, pengetahuan dibangun oleh induksi dengan dasar kokoh yang
diperoleh lewat observasi. Ketika jumlah fakta yang diperoleh lewat observasi dan
experimen meningkat, dan ketika fakta-fakta itu makin lengkap dan mendalam karena
ketrampilan kita dalam observasi dan experimen, maka makin banyak hukum dan teori
yang makin luas keumumannya dan ruang lingkupnya yang dibentuk dengan penjelasan
induktif yang cermat. Pertumbuhan ilmu itu berlangsung terus, berkembang maju dan
meningkat terus.
Jadi ciri utama ilmu adalah kemampuannya untuk menjelaskan dan meramalkan.
Hukum dan
teori
Induksi Deduksi
2
1. Hukum-hukum dan teori-teori
2. Kondisi-kondisi awal
3. Ramalan-ramalan dan keterangan-keterangan.
Apabila kita coba membayangkan betapa kemampuan dan jangkauan fikiran seorang
manusia super menggunakan metode ilmiah, tetapi normal menurut proses-proses logika
fikirannya, maka prosesnya adalah seperti berikut. Pertama, semua fakta diobservasi dan
direkam, tanpa melakukan pilihan atau dugaan a priori tentang arti penting saling
kaitannya antara fakta-fakta itu. Kedua, fakta-fakta yang telah diobservasi dan direkam
itu dianalisa, dibandingkan dan diklasifikasi, tanpa hipotesa-hipotesa atau dalil-dalil
(postulates), selain dari apa yang langsung terlibat secara wajar menurut logika fikiran.
Ketiga, dari analisa fakta-fakta ini, generalisasi akan ditarik secara induktif mengenai
hubungannya, dengan mengklasifikasikannya atau dengan cara kebetulan. Keempat,
riset selanjutnya akan dilakukan secara induktif maupun deduktif dengan menggunakan
penyimpulan dari yang telah dilakukan sebelumnya.
2. PROBLEM INDUKSI
Menurut pandangan induktivis naif, ilmu bertolak dari observasi, dan observasi
memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya,
sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang
diperoleh melalui induksi
Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan
apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A
memiliki sifat B.
Persoalan: Bagaimana prinsip induksi itu dapat dijustifikasi?” Dua jawaban yang
diberikan induktivis. Pertama, dengan bantuan logika, kedua dengan bantuan
pengalaman.
3
Logika yang valid ditandai fakta bahwa bila premis argumen itu benar, maka
kesimpulannya pasti benar. Tetapi ini hanya berlaku untuk penalaran deduktif, belum
tentu berlaku untuk induktif. Argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang
valid secara logis. Bisa saja terjadi penyimpulan argumen induktif salah, sedangkan
premisnya benar, dan ini terjadi tanpa menjadi kontradiksi. Misal, sampai hari ini saya
telah melakukan pengamatan atas sejumlah besar burung gagak pada variasi kondisi yang
luas dan telah menyaksikan mereka semua hitam, dan berdasarkan fakta ini, saya
menyimpulkan bahwa “semua gagak berwarna hitam”. Ini adalah penyimpulan induktif
yang valid dan sempurna. Tetapi tidak ada jaminan logis bahwa gagak yang saya
observasi kemudian tidak ada yang berwarna lain. Kalau hal itu terbukti, maka
kesimpulan “semua gagak berwarna hitam” adalah salah. Jadi, penyimpulan induktif-
awal yang jelas valid karena memenuhi kriteria yang telah dispesifikasi oleh prinsip
induksi, dapat membawa ke suatu kesimpulan yang salah, sekali pun fakta menunjukkan
bahwa semua premisnya benar. Tidak ada kontradiksi logis terlibat di dalam keterangan
bahwa semua gagak yang telah diobservasi terbukti hitam, dan juga bahwa tidak semua
gagak berwarna hitam, dengan demikian, jelas bahwa induksi tidak dapat dibenarkan
berdasarkan logika semata.
Prinsip induksi tidak dapat dibenarkan hanya dengan minta bantuan pada logika. Dengan
menyadari hal ini, sang induktivis kini terpaksa menurut pendiriannya sendiri,
menunjukkan bagaimana prinsip induksi itu dapat ditarik dari pengalaman. Induksi telah
diobservasi jalan dengan baik atas sejumlah besar kesempatan. Misalnya, hukum-hukum
optik ditarik dengan induksi dari hasil-hasil eksperiemen di dalam laboratorium, dan telah
digunakan dalam banyak kesempatan untuk membuat alat-alat optik seperti kamera,
teleskop, dsb. Alat-alat optik itu ternyata berfungsi dengan baik dan memuaskan. Daftar
ini dapat diperpanjang dengan ramalan dan penjelaan yang berhasil berkat hukum-hukum
dant teori-teori ilmiah itu telah ditarik secara induktif. Demikianlah cara prinsip induksi
mendapatkan justifikasi.
Pembenaran induksi seperti ini tidak dapat diterima, sebagaimana David Hume secara
konklusif mendemonstrasikannya pada pertengahan abad ke 18. Argumen untuk
mendapatkan pengakuan pembenaran induksi berputar-putar, karena ia justru
menggunakan argumen induktif yang validitasnya masih membutuhkan pembenaran.
Bentuk argumen untuk mendapat pembenaran itu adalah seperti berikut:
Prinsip induksi berhasil pada kesempatan x-1.
Prinsip induksi berhasil pada kesempatan x-2, dst.
Prinsip induksi selalu berhasil
Keterangan universal yang menyatakan sahnya prinsip induksi di sini disimpulkan dari
sejumlah keterangan tunggal yang direkam dari penerapan prinsip itu secara berhasil di
masa-masa yang lalu. Argumennya, oleh karena itu, adalah suatu argumen induktif dan
dengan demikian tidak dapat dipergunakan untuk membenarkan prinsip induksi. Kita
tidak dapat emmpergunakan induksi untuk membenarkan induksi. Kesulitan seperti ini
yang melekat pada cara pembenaran induksi, secara tradisional disebut: “problema
induksi”.
Di samping berputar-putar dalam usaha untuk membenarkan prinsip induksi, prinsip ini
menderita banyak kekuarangan dan kelemahan, yang berangkat dari kekaburan dan
kebimbangan dari tuntutannya bahwa “sejumlah besar” observasi harus dilakukan pada
“variasi keadaan yang luas”.
4
Berapa banyak observasi yang diperlukan untuk memenuhi “sejumlah besar” itu?
Haruskan sebatang logam tertentu dipanasi 10 x, 100x, atau berapa banyak kali sebelum
kita dapat menyimpulkan logam selalu memuai bila dipanasi? Maka bila prinsip induksi
ingin berperan sebagai panduan yang membawa ke kesimpulan ilmiah yang sah, maka
kata-kata “sejumlah besar” itu perlu dikualifikasi lebih terperinci dan tegas.
Posisi induktivis naif itu selanjutnya terancam kesulitan yang lebih besar lagi bila diteliti
tuntutannya bahwa observasi harus dilakukan pada variasi kondisi yang luas. Apa dan
bagaimana dapat dikualifikasi sebagai variasi kondisi yang berarti dan yang luas itu?
Sebab variasi-variasi yang mempunyai makna dapat dibedakan dengan jelas dari variasi-
variasi yang tidak perlu dengan minta bantuan pada pengetahuan teori tentang situasi
yang sudah kita miliki dan tentang berbagai macam pengoperasian mekanisme fisikal.
Akan tetapi, untuk menerima hal ini berarti mengakui bahwa teori memainkan peranan
vital mendahului observasi. Kaum induktivis naif tidak akan mengakuinya. Namun
mengejar terus permasalahan ini akan membawa kita ke kritik terhadap induktivisme
lebih lanjut. Anak kalimat “variasi kondisi yang luas” dalam prinsip induksi itu telah
menimbulkan persoalan-persoalan yang serius bagi kaum induktivis.
2. Mundur ke Probabilitas
Untuk menentang beberapa kritik, kaum induktivis naif menggunakan cara yang jelas
dapat melemahkan posisi mereka sendiri. Menurut mereka pengetahuan ilmiah bukanlah
pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin
besar jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi. Dan semakin besar variasi
kondisi di mana observasi dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil
generalisasi itu benar. Maka versinya menjadi:
Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan
apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A
probabel (bisa jadi) memiliki sifat B.
Namun cara pembenaran seperti ini akan memerlukan argumentasi yang nampaknya
justru membutuhkan pembenaran. Persoalan berhubungan dengan kesulitan yang
dijumpai bila mencoba menentukan secara persis bagaimana probabilitas suatu hukum
atau teori dilihat dari segi pembuktian yang terperinci.
5
relatif dan terlalu banyak tergantung pada tingkat pendidikan kita, prasangka-
prasanga dan kebudayaan kita.
3> Penolakan terhadap anggapan bahwa ilmu didasarkan pada induksi. Kaum
falsifikasionis, terutama yang paling terkenal, Karl Popper, berusaha untuk
melakukan hal ini.
Ada dua asumsi penting di dalam pandangan induktivis naif tentang observasi. Yang
pertama adalah bahwa ilmu bertolak dari observasi. Yang kedua bahwa observasi
menghasilkan landasan yang kokoh dan dari situ pengetahuan dapat ditarik.
Kebanyakan kita, bila pertama kali memandang gambar di atas, akan melihat tangga itu
dari permukaan bagian atas. Tetapi ini bukan satu-satunya cara tangga itu dapat dilihat.
Tanpa kesulitan, tangga itu bisa juga dilihat dari bagian bawah. Selanjutnya, bila seorang
6
memandang lukisan itu beberapa saat, umumnya ia mendapat di luar kehendaknya,
bahwa apa yang ia lihat itu sering berubah-ubah, dari tangga yang terlihat dari atas
berubah menjadi tangga yang terlihat dari bawah, dan kembali lagi bolak-balik.
Sifat gambar yang terbentuk pada retina secara relatif tergantung pada kebudayaan si pe-
ngamat. Apa yang dilihat seorang pengamat, artinya, pengalaman visual yang dimiliki
seorang pengamat ketika memandang suatu objek, tergantung sebagian pada pengalaman
di masa lalu, pengetahuan dan harapan-harapannya. Jadi, apa yang terlihat oleh para
pengamat, yakni pengalaman-pengalaman subjektif yang mereka alami, tidak ditentukan
semata-mata oleh gambar-gambar yang diterima retina mereka, melainkan tergantung
juga pada pengalaman, pengetahuan, harapan-harapan dan kesadaran umum batinnya.
7
yang kritis di dalam sirkuit-sirkuit listrik, dimensi-dimensi sirkuit, dsb., tetapi juga warna
dari perkakas meteran, dimensi laboratoriumnya, keadaan cuaca, ukuran sepatunya dan
sejumlah besar perincian-perincian “yang jelas sekali irrelevan”. Artinya: irrelevan
dengan teori yang menarik perhatian Hertz, dan yang membuatnya melakukan
eksperimen itu.
Contoh ini menunjukkan satu segi penting bahwa di dalam ilmu, teori mendahului
observasi. Observasi dan percobaan diadakan dengan maksud untuk menguji atau
mengungkap suatu teori, dan hanya observasi yang relevan dengan tugas penelitian itu
harus direkam.
4. Memperkenalkan Falsifikasionisme
Teori diuraikan sebagai dugaan atau tebakan spekulatif dan coba-coba, yang diciptakan
secara bebas oleh intelek manusia dalam usaha mengatasi problema-problema yang
dijumpai teori-teori terdahulu, dan untuk memberikan keterangan yang cocok tentang
beberapa aspek dunia atau alam semesta. Sekali ia diajukan, teori spekulatif itu akan diuji
dengan keras dan tanpa belas kasihan oleh observasi dan eksperimen. Teori yang gagal
dan tidak tahan uji oleh observasi dan eksperimen, akan dibuang dan diganti dengan
dugaan-dugaan spekulatif lain dan seterusnya. Ilmu berkembang maju melalui percobaan
dan kesalahan, melalui dugaan dan penolakan.
8
benaran hukum dan teori universal dengan deduksi logis. Misalnya, apabila kita
menerima keterangan “Seekor burung gagak yang bukan hitam, diobservasi di tempat x
dan pada musim m”, maka secara logis penyimpulan pernyataan “semua burung gagak
berwarna hitam” tidak benar. Ketidakbenaran keterangan universal dapat dideduksi dari
keterangan tunggal yang cocok. Kaum falsifikasionis mengeksploitasi segi logis ini
setuntas-tuntasnya.
9
pendahulunya, dalam pengertian bahwa ia telah bertahan dalam ujian-ujian yang telah
memfalsifikasi pendahulu-pendahulunya.
10
4. Keberanian, kebaharuan dan pengetahuan latar belakang
Dugaan dikatakan berani pada suatu tingkat perkembangan sejarah ilmu tertentu, tidak
usah dianggap berani lagi pada tingkat perkembangan sejarah selanjutnya. Suatu dugaan
dikatakan berani bila bertentangan dengan teori-teori yang pada umumnya sudah diterima
waktu itu. Jadi apabila kita meneyebut kumpulan teori ilmiah yang pada umumnya sudah
diterima dan berlaku dengan mantap pada suatu tingkat perkembangan sejarah ilmu
sebagai pengetahuan latar belakang waktu itu, maka kita dapat mengatakan bahwa suatu
dugaan adalah berani bila tuntutannya tidak berdasarkan pada pengetahuan latar belakang
waktu itu. Ramalan-ramalan pun akan dipandang baru apabila melibatkan suatu
fenomena yang belum pernah termasuk di dalamnya, atau barangkali mengesampingkan
secara eksplisit pengetahuan latar belakang waktu itu. Konfirmasi suatu dugaan berani
akan melibatkan falsifikasi beberapa bagian pengetahuan latar belakang yang
besangkutan dengan dugaan berani itu.
6. Keterbatasan Falsifikasionisme
11
Teori ilmiah yang realistis akan terdiri dari keterangan universal yang kompleks
ketimbang suatu keterangan tunggal seperti “Semua angsa putih”. Apabila suatu teori
akan diuji dengan eksperimen maka akan lebih banyak lagi melibatkan keterangan
mengenai teori yang sedang diuji itu. Teori membutuhkan tambahan asumsi pendukung,
misalnya, hukum-hukum dan teori-teori yang menguasai penggunaan alat yang
dipergunakan dalam ujian. Sebagai tambahan, untuk mendeduksi suatu ramalan yang
validitasnya harus diuji dengan experiemen, dibutuhkan tambahan kondisi-kondisi awal
seperti uraian tentang kerangka eksperimen yang akan dilaksanakan.
Suatu teori tidak dapat difalsifikasi secara konklusif, karena mungkin saja ada bagian dari
situasi pengujian yang kompleks (di luar teori yang sekarang diuji), yang sebenarnya
menyebabkan kekliruan ramalan. Hal-hal seperti ini tidak dapat dielakkan.
12
bagian lain struktur teori itu. Kerumitan asumsi-asumsi yang membentuk bagian
lain dari struktur teori itulah yang oleh Lakatos disebut “lingkaran pelindung”.
Lingkaran pelindung tidak hanya terdiri dari hipotesa-hipotesa pendukung yang
eksplisit melengkapi inti pokok itu, tetapi juga asumsi-asumsi yang mendaari
uraian kondisi-kondisi awal dan keterangan-keterangan observasi
o Heuristik negatif suatu program adalah tuntutan bahwa selama program masih
dalam perkembangan, inti pokok tetap tidak dimodifikasi dan tetap utuh. Seorang
ilmuwan yang mengadakan modifikasi terhadap inti pokok program sebenarnya
telah memilih keluar dari program riset bersangkutan.
o Heuristik positif adalah satu segi program riset yang menunjukkan kepada
ilmuwan apa yang harus dilakukan ketimbang apa yang tidak harus dikerjakan. Ia
lebih samar dan sulit dirinci secara khusus daripada heuristik negatif. Heuristik
positif menunjukkan bagaimana inti pokok program harus dilengkapi agar dapat
menerangkan dan meramalkan fenomena yang nyata. Lakatos mengatakan,
“Heuristik positif terdiri sebagian dari seperangkat saran atau isyarat tentang
bagaimana mengubah, mengembangkan ‘varian-varian yang dapat dibantah’ dari
suatu program riset, bagaimana memodifikasi dan meningkatkan lingkaran
pelindung yang dapat dibantah itu”.
o Jadi ada dua cara untuk menilai suatu program:
- Pertama, suatu program riset harus memiliki satu derajad koherensi yang
mengandung perencanaan yang pasti untuk program riset mendatang.
- Kedua, suatu program riset harus dapat menghasilkan penemuan
fenomena baru, paling kurang sekali-sekali.
Suatu program riset harus dapat memenuhi kedua syarat tersebut apabila ingin
dikualifikasi sebagai program riset ilmiah. Lakatos berpendapat bahwa Marxisme
dan psikologi Freudian sebagai program memenuhi criteria pertama, tetapi tidak
memenuhi criteria kedua, dan sosiologi modern merupakan program yang
mungkin memenuhi criteria kedua tetapi tidak memenuhi yang pertama.
13
Pada umumnya dapat dikatakan, faedah program-program riset ditentukan oleh seberapa
jauh mereka berkembang atau mendegenerasi. Suatu program yang mendegenerasi akan
membuka jalan bagi rivalnya yang lebih maju.
Kesulitan utama dalam criteria menerima atau menolak program-program riset, berkaitan
dengan factor waktu. Berapa waktu diperlukan sebelum suatu program dapat ditentukan
mendegenerasi secara serius? Kesulitan ini membawa kesimpulan Lakatos bahwa orang
tidak pernah dapat membuat klaim mutlak bahwa suatu program riset “lebih baik”
daripada program rivalnya.
2. Paradigma Kuhn
1. Catatan awal
o Pandangan kedua mengenai teori ilmiah sebagai struktur yang kompleks adalah
pandangan Thomas Kuhn di dalam The Structure of Scientific Revolution. Satu
segi utama teorinya adalah penekanannya pada sifat revolusioner dari suatu
kemajuan ilmiah – revolusi yang membuang suatu struktur teori dan
menggantinya dengan yang lain – dan bertentangan dengan yang semula. Segi
penting lainnya adalah peran penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis
masyarakat ilmiah.
o Skema open-ended perkembangan ilmu:
Pra-ilmu – ilmu biasa (normal) – kritis – revolusi – ilmu biasa (normal) baru – krisis
baru – dst.
o Aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang mengawali
pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun dan terarah pada saat suatu
paradigma tunggal telah dianut oleh suatu masyarakat-ilmiah. Suatu paradigma
terdiri dari asumsi-asumsi teoretis yang umum dan hukum-hukum serta teknik-
teknik untuk penerapannya yang diterima oleh para anggota suatu masyarakat
ilmiah. Pekerja-pekerja di dalam suatu paradigma mempraktekkan apa yang
disebut ilmu-biasa (normal science). Para ilmuwan biasa akan menjelaskan dan
mengembangkan paradigma dalam usaha untuk mempertanggung-jawabkan dan
menjabarkan perilaku beberapa aspek yang revelan dengan dunia nyata ini,
sebagaimana diungkapkan lewat hasil-hasil eksperimen.
o Dalam berbuat demikian, meraka mau tidak mau akan menghadapi kesulitan dan
anomali-anomali. Bila anomali semakin bertambah dan semakin berat,
kepercayaan pada paradigma akan mengalami kemerosotan. Kalau kemerosotan
sudah menjadi ketidak-percayaan, situasi itulah yang disebut krisis.
o Krisis menyebabkan munculnya teori-teori atau paradigma-paradigma tandingan.
Kalau muncul teori/paradigma baru yang memenangkan kepercayaan para
ilmuwan, maka terjadilah revolusi ilmiah. Paradigma baru inilah yang kemudian
membimbing praktek ilmiah para ilmuwan dalam ilmu biasa.
14
biasa yang bekerja di dalamnya. Menurut Kuhn, eksistensi suatu paradigma yang mampu
mendukung tradisi ilmu biasa merupakan ciri yang membedakan ilmu dari non-ilmu.
o Paradigma sulit didefinisikan secara ketat. Definisi yang diajukan oleh Kuhn ada
21, namun sulit untuk menentukan mana yang menjadi definisi utama. Meskipun
begitu ada beberapa komponen yang dapat diidentifikasi di dalam paradigma:
Hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoretis yang dapat dibandingkan dengan
kompenen-komponen inti pokok program riset Lakatos.
Cara-cara yang baku dalam menggunakan hukum-hukum fundamental untuk
berbagai macam tipe situasi (metode-metode terapan, instrumentasi dan
teknik-teknik instrumen)
o Ilmu biasa melibatkan usaha-usaha terperinci untuk menjabarkan suatu paradigma
dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam. Kuhn menggambarkan
ilmu biasa sebagai kegiatan pemecahan teka-teki yang dibimbing oleh peraturan-
peraturan suatu paradigma. Kegagalan memecahkan teka-tekli (teoretis/
eksperimental) dipandang sebagai kegagalan ilmuwannya. Seorang ilmuwan biasa
harus tidak kritis terhadap paradigma di mana ia bekerja.
o Tidak ada sengketa yang bersifat fundamental di dalam ilmu biasa yang matang.
Sebab untuk dapat terlibat di dalam praktek ilmu biasa, ilmuwan menjalani latihan
untuk menggunakan paradigma tersebut, sehingga memiliki ketrampilan yang
memadai.
15
Jadi antar paradigma tidak ada ukuran yang sama (incommensurable) dan tidak
dapat saling dibandingkan (incompatible)
.
4. Fungsi ilmu biasa dan revolusi
o Periode ilmu biasa memberikan kesempatan bagi para ilmuwan untuk
mengembangkan detil dari suatu teori. Suatu paradigma mengandung kerangka
khusus dari mana dunia dipandng dan dijabarkan, dan ia pun mengandung
seperangkat teknik eksperimen dan teoretis yang memungkinkan paradigma
mengin\mbangi alam.
o Akan tetapi tidak ada alasan a priori untuk mengharapkan bahwa suatu paradigma
adalah sempurna. Tidak ada prosedur induktif untuk mencapai kesempurnaan
paradigma yang layak. Konsekuensinya, ilmu harus mengandung di dalan dirinya
suatu cara untuk mendobrak ke luar dari satu paradigma ke dalam pradigma lain yang
lebih baik. Inilah fungsi revolusi.
o Kemajuan melalui revolusi adalah alternatif Kuhn untuk kemajuan kumulatif
sebagaimana menjadi cirri pandangan induktivis tentang ilmu.
16