OPINIO JURIS - Vol - 13d
OPINIO JURIS - Vol - 13d
ARTIKEL
RESENSI BUKU
Hukum Tentang Ekstradisi
AM. Sidqi
ISTILAH HUKUM
i
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
OPINIO JURIS
Volume 13 Mei—Agustus2013
Diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Sejak Oktober 2009
Penanggung Jawab
Linggawaty Hakim, SH, LL.M
Raudin Anwar, SH, LL.M
Redaktur
Yoshi Iskandar, SH; Kemal Haripurwanto, SH, LL.M; Amrih Jinangkung, SH, LL.M;
Elmar Iwan Lubis, SH; ADH. Irfan, SH; Drs.Sukarsono; Sudarsono, SH., MM.; Rofita,
SH.; Hendrar Pramudyo, SH.
Editor
AM. Sidqi, SIP; Santa Marelda Saragih, SH, MH.; Ratih Wulandari, SIP; Vina
Novianti, S.Hum; M. Ferdien, SH; Bibid Kuslandinu, SH.; Rike Octaviany, SH, LL.M.
Disain Grafis
AM. Sidqi, SIP; Drs. Didi Achmadi;
Sekretariat
Siti Fatimah, SH; Uki Subki, S.Sos, M.Si; Tasunah; Maisaroh, S.Sos
Alamat Redaksi:
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: opiniojuris@kemlu.go.id
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi...........................................................................................ii
i
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
PENGANTAR REDAKSI
Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat
menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan
wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian
internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
iii
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Abstrak
Sebagai negara dengan indeks persepsi korupsi yang rendah, negara
pihak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi,
dan peserta aktif dalam inisiatif pengembalian aset yang dicuri,
Indonesia perlu melakukan lebih banyak upaya dalam mengembalikan
aset-asetnya yang dicuri sebagai suatu bagian dari kebijakan nasional
untuk memerangi korupsi. Artikel ini membahas tiga hal yang
diperlukan untuk dipertimbangkan oleh Indonesia dalam pengembalian
aset yang dicuri, yaitu prasyarat pengembalian aset yang dicuri,
urgensi untuk membentuk hukum tentang pengembalian aset yang
dicuri dan rezim pengembalian aset yang dicuri. Dalam prasyarat
pengembalian aset yang dicuri, terdapat enam elemen yang dapat
mendukung pengembalian aset tersebut. Artikel ini juga memaparkan
urgensi pembentukan undang-undang tentang pengembalian aset yang
dicuri. Sementara dalam rezim pengembalian aset yang dicuri,
dijelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mendukung
pengembalian aset yang dicuri.
Abstract
As a country with a low rating in corruption perception index, a State
Party to the United Nations Convention Against Corruption, and an
active participant in the Stolen Asset Recovery Initiative, Indonesia
needs to take more efforts in recovering its stolen asset as a part of
national measure to fight against corruption.
1
Artikel ini disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “Pengembalian Aset
Curian dan Praktik Pelaksanaannya di Indonesia,” kerja sama antara Fakultas Hukum
UGM dengan Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Kemlu, 4 Desember 2012.
1
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Pengantar
Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery)
melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan.
Para pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang luar biasa luas
dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan
pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsi.
Permasalahan menjadi semakin sulit karena tempat penyembunyian
(safe haven) hasil kejahatan tersebut melampaui lintas batas wilayah
negara. Bagi negara-negara berkembang, menembus berbagai
permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan
hukum negara-negara besar akan terasa sulit. Terlebih jika negara
berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerja sama yang baik
dengan negara tempat aset curian disimpan. Belum lagi kemampuan
teknologi negara berkembang yang sangat terbatas. Padahal salah satu
sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan pelakunya memanfaatkan
2
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
2
Sambutan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Pembukaan Seminar Tentang
Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN
Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.
3
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
3
Negara di sini meliputi tiga kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif,
sebagaimana sistem separation of power atau pemisahan kekuasaan yang dikemukakan
oleh Montesquieu. Lihat selanjutnya dalam Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws,
diterjemahkan oleh M. Khoril Anam, Nusamedia, Bandung, hlm. 106.
4
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
4
Sadiganbayan adalah pengadilan khusus di Filipina untuk mengadili kejahatan korupsi
dan penyelewenagan lainnya yang dilakukan oleh pejabat publik.
5
Peter Mahmud Marzuki, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata,
Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008, hlm. 14.
5
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
6
Eddy, O.S Hiariej, 2005, Criminal Justice System In Indonesia, Between Theory and
Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research
Institute, hlm. 25.
6
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
adalah ”A term covering all those institution which respond officially to the
commission of offences, notably the police, prosecution authorities and the
court”7. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini tidak hanya
mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi
negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum yang satu
akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak
hukum yang lain8.
Dalam perkembangan selanjutnya, sistem peradilan pidana dengan
model due process mendominasi sistem peradilan pidana di berbagai
belahan dunia karena dianggap lebih menjamin hak asasi manusia, lebih
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, instrumen
hukum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan
pemberantasan suatu kejahatan juga mulai menggunakan due process of
law dalam sistem beracaranya.
Mengingat proses pengembalian aset akan berhadapan dengan lebih
dari satu sistem hukum, Indonesia sebaiknya menggunakan sistem
peradilan dengan model yang diterima secara universal, yakni due process
of law.
Sementara dalam sistem peradilan perdata, pada hakekatnya
memiliki karakteristik yang sama hampir di seluruh dunia, yaitu inisiatif
beracara datang dari para pihak, hakim bersifat pasif dan kebenaran yang
dicari adalah kebenaran formal yang terikat pada alat bukti yang sah
menurut undang-undang.
Prasyarat pengembalian aset berikutnya adalah kerja sama
kelembagaan, yakni kerja sama antarlembaga yudisial dan lembaga-
7
Michael Cavadino and James Dignan, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE
Publication Ltd. hlm. 7.
8
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”,
Scarman Center, University Of Leicester, hlm.24.
7
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
8
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
9
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
10
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
9
E.Utrecht, 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, hlm. 94.
10
Ibid., hlm. 108.
11
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
12
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Selain itu, ada pemikiran lain perihal proses acara pengembalian aset,
yakni dengan afdoening buiten process11 atau penyelesaian di luar proses.
Kendatipun tetap diakomodasi dalam hukum acara pidana, namun
afdoening buiten process tidak serumit “Permohonan Penyitaan,
Perampasan dan Pengembalian Aset”. Afdoening buiten process memiliki
dua bentuk, yaitu submissie dan compositie. Pada submissie, jika terdakwa
dan jaksa penuntut umum memaparkan persoalan kepada hakim karena
sulitnya pembuktian, maka akan diambil keputusan tanpa proses
pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan compositie dipergunakan oleh jaksa
penuntut umum. Di sini terdakwa dapat mencegah atau menghentikan
proses penuntutan dengan cara membayar sejumlah uang tertentu12.
Dalam konteks pengembalian aset, kiranya afdoening buiten process
yang lebih tepat adalah bentuk submissie. Jika pengembalian aset terkait
dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan, maka terdakwa
yang hartanya akan disita bersama-sama dengan dengan penuntut umum
mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan penetapan
agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga pengelolaan
aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya pembuktian
dari kedua belah pihak. Terhadap terdakwa yang hartanya telah disita
dan dikembalikan maka dapat dijatuhkan pidana yang lebih ringan.
Sementara jika pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan
tanpa pokok perkara pidana yang sedang diperiksa, maka orang atau
pihak yang hartanya akan disita bersama-sama dengan jaksa pengacara
negara mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan
penetapan agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga
11
Afdoening buiten process diatur dalam pasal 82 sampai pasal 84 WvS 1993 dan hanya
dikhususkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang ancaman pidananya hanya denda.
12
Jan Remmelink, Op.Cit., hlm.442 – 443.
13
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli, 2003, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, dalam
Makalah Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap
Sistem Hukum Nasional, Diselenggarakan oleh; Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, di Bali tanggal; 14-15 Juni 2006.
________________, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Bassiouni, Cherif M., 2003, Introduction to International Criminal Law, Transnational
Publishers, Inc., Ardsley, New York.
Cavadino, Michael and Dignan James, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE
Publication Ltd.
14
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And
Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation
Research Institute.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Sambutan Pembukaan Seminar Tentang
Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN
Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata,
Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008.
Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Montesquieu, C.S.B.D., 2007, The Spirit Of Laws, diterjemahkan oleh M.khoril Anam,
Nusamedia, Bandung.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Stolpe, Oliver, 2008, Legal Framework on Asset Recovery – The UN Convention Against
Corruption.
The International Bank For Reconstruction and Development / The World Bank, 2007,
Stolen Asset Recovery ( StAR) Initiatives: Challenges, Opportunities and Action
Plan, Washington, 2007.
United Nations Convention Against Corruption.
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”,
Scarman Center, University Of Leicester.
Utrecht, E., 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia.
15
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Abstrak
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang apakah Piagam ASEAN
bertentangan dengan UUD 1945 telah memberikan gambaran lebih
mengenai politik hukum Indonesia terhadap hubungan antara
perjanjian internasional dan hukum nasional. Dalam putusan MK,
yang disertai dengan opini berbeda (dissenting opinion) dari
beberapa hakim, dinyatakan bahwa MK memiliki kewenangan untuk
menguji Piagam ASEAN secara materiil. Pernyataan tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam perspektif hukum formal,
Piagam ASEAN dipandang telah menjadi bagian dari hukum nasional
dengan ratifikasi melalui undang-undang. Alasan ini yang kemudian
dikaji oleh penulis berdasarkan teori-teori di dalam hukum
internasional dan praktik-praktik di negara lain.
tidak dapat diuji oleh MK. Dapat tidaknya perjanjian internasional diuji
oleh pengadilan nasional hanya dapat dijawab setelah Indonesia
menetapkan status perjanjian internasional dalam hukum nasional1.
Sayangnya UUD 45 yang telah diubah di era reformasi ini tidak
menyediakan politik hukum ini. MK telah mengisi sebagian kekosongan
konstitutional ini. Menurut penulis, saran MK ini harus ditindaklanjuti
dengan amandemen Pasal 11 UUD 45 karena materi putusan MK ini
adalah materi Konstitusi.
1
Damos Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik, Bandung,
2010.
21
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Abstrak
Teknologi komunikasi dan informasi telah merubah tingkah laku
masyarakat dan kebudayaan secara global. Lebih lanjut, pengembangan
teknologi informasi telah mengarah kepada suatu dunia baru tanpa
batas dan menyebabkan perubahan-perubahan social yang terjadi
dengan pesat. Internet mengalihkan cara komunikasi yang bersifat
konvensial kepada suatu fenomena sosial dalam
Ruang publik untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan
dengan dunia maya dimana satu pihak capat berkomunikan dengan
yang lain tanpa dibatasi oleh batas-batas atau bahkan lintas negara
(transnasional). Proses yang mengarah pada kemudahan dan manfaat
dalam internet tidak selalu menjadi permasalahan karena dalam dunia
maya juga terdapat permasalahan hukum yang timbul dalam bentuk
kejahatan telematika. Dalam hal ini, negara perlu bekerjasama
bersama-sama dalam menetapkan rejim yurisdiksi ekstrateritorial
dalam hukum telematika untuk menetapkan kepastian hukum dalam
implementasi dari peraturan hukum untuk semua kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dalam dunia maya.
Abstract
Information and communication technology (ICT) has changed the
behavior of human society and civilization globally. In addition to that,
the development of information technology has led to a new world
without borders (borderless) and cause significant social changes
occurred too rapidly. The internet shifts the conventional way of
communication to a new social phenomenon in the public space to
communicate, a new world called the cyberspace where one party can
communicate with others without being limited by borders or even
cross country (transnational). The process leading to simplicity and
goodness in the internet was not always the case because in cyberspace
there are also legal issues that arise in the form of cybercrime. In this
22
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
1
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2006, hlm. 1
2
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, hlm. 115
3
Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2012, hlm. 44
23
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
4
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT.
Tata Nusa, Jakarta, 2012, hlm. 32
5
Ibid.
24
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
6
Ibid.
7
Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business,
Harvindo, Jakarta, 2004, hlm. 1
8
Didik J. Rachbini, “Mitos dan Implikasi Globalisasi” : Catatan untuk Bidang Ekonomi
dan Keuangan, Pengantar Edisi Indonesia dalam Hirst, Paul dan Grahame Thompson,
Globalisasi adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor, 2001, hlm. 2
25
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
9
International Review of Law Computers and Technology, Insider Cyber-Threat:
Problems and Perspectives, Volume 14, 2001, hlm. 105-113.
26
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
10
Agus Rahardjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 20
11
Business Dictionary, http://www.businessdictionary.com/definition/netizen.html,
netizen is citizen of cyberspace a dedicated internet user, diakses pada tanggal 31
Desember 2012 pukul 16.58 WIB
12
Josua Sitompul, op.cit, hlm. 31
13
Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population
Stats, http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember 2012
pukul 15.24 WIB
27
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
14
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 304
28
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
internet; the law of information technology; the telecommunication law; dan lex
informatica.15
Pada sudut pandangan secara praktis, dapat dipahami misalnya
dalam kegiatan e-commerce memerlukan “sense of urgency” untuk
dicarikan jalan keluar atas akibat-akibat atau permasalahan hukum yang
muncul. Di sisi lain, dengan memperhatikan pula praktik di negara lain,
nampaknya akan lebih bijaksana apabila tidak dibatasinya secara sempit
ruang lingkup dari cyberlaw itu sendiri.16
Cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru akan lebih
memudahkan untuk dipahami dengan mengetahui ruang lingkup
pengaturannya. Cyberlaw dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus
(sui generis) atas kegiatan-kegiatan di dalam cyberspace (ruang siber),
antara lain mencakup hak cipta, merek (trademark), fitnah atau
pencemaran nama baik (defamation), privacy, duty of care, criminal liability,
procedural issues, electronic contracts, digital signature, electronic commerce,
electronic government, pornografi, dan pencurian (theft).17
Ruang siber dengan realitas virtual, di satu sisi memang menawarkan
manusia untuk hidup dalam dunia alternatif, dunia yang dapat
mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang bahkan dapat
lebih nyata dari realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari
kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang
lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Ruang siber telah
membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan,
kesenangan, kemudahan, dan penjelajahan seperti teleshoping,
15
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi
(Regulasi dan Konvergensi), Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 129
16
Ibid.
17
Ibid.
29
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
18
Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model Pengaturan
Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia),
Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008,
hlm. 6-7
19
Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2009, hlm. 3-4 lihat juga Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi
Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh
Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hlm. 10
30
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
20
Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000, hlm. 201
21
Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define
and Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana Journal of Global Legal Studies:
Vol. 10: Iss 2, 2003, hlm. 249
22
Ibid, hlm. 259-260
31
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
23
Ibid. hlm. 7
24
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime, CV. Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2009, hlm. 23
25
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, hlm. 259
26
Widodo, loc.cit.
32
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
27
Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth
United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di
Wina tanggal 10-17 April 2000
28
Rudi Lumanto, Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet
Infrastructure, Serangan Siber ke Situs Indonesia 40 Ribu Kali/Hari,
http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribu-
kalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
29
Ibid.
33
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Pada tahun 2012 yang lalu, New York Times, sebuah media massa
terkemuka AS melaporkan serangan siber yang dilakukan AS dan Israel
terhadap Iran, bahkan Presiden Barack Obama secara langsung dan diam-
diam memerintahkan serangan cyber menggunakan virus komputer
Stuxnet terhadap Iran untuk melumpuhkan program nuklir Iran.30
Bukti lain adalah serangan Malware Stuxnet pada instalasi pengayaan
nuklir di Natanz, Iran tahun 2009. Stuxnet mampu menyusup masuk dan
menyabotase sistem dengan cara memperlambat atau mempercepat
motor penggerak, bahkan membuatnya berputar jauh di atas kecepatan
maksimum yang bisa menghancurkan sentrifuse sehingga tidak dapat
memproduksi bahan bakar Uranium. Malware Stuxnet diakui sebagai
serangan paling cerdas, paling canggih, dan paling hebat yang pernah
dibuat yang pernah dibuat manusia.31
Menteri Telekomunikasi Republik Islam Iran, Reza Taghipour
menyatakan akan melayangkan gugatan atau membawa masalah ini ke
tingkat internasional atas serangan siber ke lembaga pemerintah Iran
yang dianggapnya sebagai “state cyberterrorism against the country”
tersebut kepada organisasi internasional terkait. Pengaduan Iran atas
serangan siber tersebut akan dilayangkan kepada organisasi internasional
terkait melalui Kementerian Luar Negeri Iran dan di berbagai pertemuan
khusus seperti dalam sidang the International Telecommunication Union di
Jenewa, dimana wakil Iran akan menyatakan protes resmi Tehran terkait
masalah ini.32
30
http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks
iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
31
http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks
iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul
13.42 WIB
32
http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/,
diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
34
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
35
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
33
Ahmad M. Ramli, op.cit, hlm. 19
36
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
34
Josua Sitompul, op.cit., hlm. 135-136
35
Ibid, hlm. 136
36
Ibid.
37
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
37
Danrivanto Budhijanto, op.cit., hlm. 133
38
Josua Sitompul, op.cit., hlm.137
38
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
39
Ibid.
40
Ibid.
41
Ibid.
39
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
42
Sigid Suseno, Yurisdiksi Terhadap Tindak Pidana Siber dalam Perundang-Undangan
Indonesia dihubungkan dengan Konvensi Dewan Eropa 2001, dalam Buku Yudha Bhakti,
et. al, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska, Jakarta, 2012,
hlm. 518
43
Ibid.
44
Ibid, hlm. 520
40
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
which covers the behavior of persons and control of resources within the
territorial boundaries of the state; dan 2) dimensi pelaksanaan kedaulatan ke
luar (external sovereignty), which precludes any interfence by outsiders in
domestic affairs unless these are conceded voluntarily by its government.45
Negara berdaulat ke dalam berarti berdaulat dalam mengurus urusan
internal organisasi negaranya, yang mencakup wewenang dan
kedaulatan kesatuan kekuasaan negara. Kedaulatan wewenang yang
dimaksud adalah kesanggupan dan hak negara untuk melakukan segala
sesuatu di dalam negara yang bersangkutan. Dalam hal ini negara tidak
hanya mempunyai banyak wewenang, tetapi juga negara berwenang
untuk menambah atau mengurangi wewenang itu. Artinya, bahwa di
dalam wilayah suatu negara tidak ada lembaga lain yang juga memiliki
kedaulatan wewenang selain pemerintahan negara itu sendiri. Di dalam
satu wilayah negara hanya terdapat satu pusat kekuasaan, sementara
semua wewenang lain tunduk terhadap pusat kekuasaan tersebut.46
Di sisi lain, kedaulatan negara ke luar dapat diartikan bahwa tidak
ada pihak lain dari luar negara yang berhak untuk mengatur sesuatu
dalam wilayah negara yang bersangkutan. Kedaulatan ke luar
diwujudkan dalam dua prinsip utama, yaitu 1) prinsip kekebalan; 2)
prinsip kesamaan kesanggupan semua negara untuk menciptakan
hukumnya sendiri dan untuk bertindak menurut hukumnya itu.
Sementara prinsip kekebalan maksudnya bahwa setiap negara tidak
boleh dimasuki dalam bentuk apapun oleh negara lain. Artinya negara
dilarang mengambil tindakan hukum atau kekuasaan dalam wilayah
45
J. D. Montgomery, Sovereign in Transtition, How Governments Respond Sovereignty
under Challange, Transaction Publishers, USA and UK, 2002, hlm. 3
46
Max Boli Sabon, Kongruensi Hak atas Pembangunan, Pasal 33 UUD 1945, dan Tipe
Negara Hukum, serta Implikasinya terhadap Tipe Negara Hukum Materil, Disertasi pada
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung 2006, hlm. 197
42
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kekuasaan negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan. Semua
negara tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama untuk menetapkan
undang-undang dalam wilayahnya dan bertindak atas nama negaranya
sendiri ketika berhadapan dengan negara-negara lain.47
Dari paparan-paparan tersebut di atas, dapat diperoleh suatu
pemahaman bahwa apabila diteliti secara seksama pemaknaan
pelaksanaan kedaulatan baik ke dalam maupun ke luar, konteksnya
adalah ketika negara berhadap-hadapan dengan negara, dalam konteks
terdesak, terganggu, atau terancamnya kedaulatan negara yang
bersangkutan.
Makna kedaulatan sebagaimana dipaparkan di atas sudah tidak
relevan lagi diterapkan secara mutlak. Artinya pengertian kedaulatan
sebagai sesuatu yang tidak dapar dibagi-bagi hanya tepat ketika
hubungan internasional antar negara belum sehebat, seintensif, dan
serumit saat ini, yang ditandai dengan dunia yang semakin tanpa batas
(borderless state). Pemahaman kedaulatan di era globalisasi harus diubah
sesuai dengan tuntutan zamannya, tanpa harus meruntuhkan nilai-nilai
kedaulatan itu sendiri.
Pandangan tersebut di atas sejalan dengan yang dikatakan John D.
Montgomery sebagai berikut:
“Four centuries ago, sovereignty had the ambitious goal of providing
absolute security for the state as part of accepted internasional system.
It erected the strongest possible legal barricade against foreign invasion
or lesser interference with the will of the sovereign. A respected
twentieth-century political philosopher described its original function
in these vigorous terms: non est potestas super terram quae comparetur
ei [there is no power on earth to compare to it] (Maclver, 1926: 15).
Today its objectives are subtler but more attainable: it accepts and
47
Ibid.
43
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
adapts to foreign and domestic influences even when they challange the
very nature of the state (Esman, chapter 14 this volume). Its claims rest
on ethical as well as legal grounds. Contemporary theorists of
international jurisprudence argue that the highest moral justification
for sovereignty today is its potential to protect human dignity and
human right, not just the state itself (McCorquodale, 1996). These
aspirations expand and trancend the philosophical roots of traditional
conservative, state-bounded sovereignty (huntington, 1999/2000).”48
Daftar Pustaka
Buku
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam system hukum Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2006
Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002
Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000
48
John D. Montgemery, op.cit.
44
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Websites
www.internetneutral.com/terms.htm, diakses tanggal 11 November 2011
http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/,
diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks
iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013
pukul 13.42 WIB
http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks
iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribu-
kalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population Stats,
http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember
2012 pukul 15.24 WIB
Kamus
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, M.A., Fifth Edition, St.Paul Minn, West
Publishing Co, 1979
46
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menelusuri dinamika dari prinsip rebus
sic stantibus dalam hukum perjanjian. Artikel ini akan membahas
bagaimana para ahli berpandangan terhadap prinsip ini, bagaimana
kaitan hukum internasional dengan prinsip tersebut dan bagaimana
prinsip tersebut diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat
internasional. Pada akhirnya, prinsip rebus sic stantibus dapat
dijadikan dasar untuk memutuskan, membatalkan atau menangguhkan
implementasi suatu perjanjian internasional.
Abstract
This article aims to explore the dynamics of the principle of rebus sic
stantibus in the law of treaty. It will explore how experts view toward
this principle, how the international law deals with it, and how it is
implemented in reality in international society. Finally, it is concluded
that the principle of rebus sic stantibus may be invoked as a ground in
terminating, withdrawing or suspending the implementation of a
treaty.
1
Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Edisi Khusus, November 2011.
47
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Negara merupakan aktor utama dan pertama dalam memainkan
hubungan kerja sama internasional. Di era globalisasi2 hubungan kerja
sama internasional semakin ramai dengan keberadaan dan diakuinya
organisasi internasional sebagai salah satu pelaku dalam hubungan
internasional. Hubungan kerja sama internasional yang dilakukan antar
subyek hukum internasional utamanya antar negara pun semakin
meningkat. Adanya perbedaan sistem kenegaraan, bentuk negara,
2
Sebenarnya tidak cukup jelas, kapan era globalisasi dimulai. Ada pendapat, bahwa apa
yang terjadi dalam globalisasi bukan merupakan sesuatu yang baru. Hubungan antar
negara dengan negara lain dalam berbagai bidang sudah dimulai sejak banyaknya
negara-negara merdeka, yaitu setelah diadakanya Perjanjian Westphalia tahun 1648.
Pendapat lain mengatakan bahwa, globalisasi merupakan fenomena baru dalam
masyarakat internasional. Karena globalisasi merupakan revolusi global pertama dan
merupakan lompatan yang signifikan menuju kenyataan baru ditandai dengan
ditemukannya pesawat jet dan komputer yang kemudian dipergunakan secara meluas,
dan pada gilirannya memudahkan manusia berkomunikasi atau berinteraksi dari
manapun mereka berasal. Dari sisi ekonomi, globalisasi ditandai oleh adanya intensitas
perdagangan antar negara meluas dan migrasi serta investasi ekonomi meningkat.
Globalisasi mempunyai makna yang bermacam-macam, seperti internasionalisasi, yaitu
meningkatnya intensitas interaksi lintas batas dan saling ketergantungan antar negara;
Liberalisasi, yaitu sebagai suatu proses untuk memindahkan larangan-larangan yang
dibuat oleh negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegrasi;
Universalisasi yaitu menyebarnya berbagai macam obyek dan pengalaman dari
masyarakat di seluruh dunia; Westernisasi yaitu proses peniruan budaya barat atau
bahkan proses memaksakan sistem budaya, sistem politik dan sistem ekonomi negara-
negara Barat dalam panggung dunia. Oleh Sheila L. Croucher, globalisasi secara
sederhana dapat digambarkan sebagai “a process of blending or homogenization by
which the people of the world are unified into a single society and function together.
This process is a combination of economic, technological, socialculture and political
forces”. Sheila L Croucher, Globalization and Belonging: The politics of identity in a
Changing World, Roman & Littlefield, hlm. 10. Yulius P. Hermawan (editor),
Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional; Aktor, Isu dan Metodologi,2007,
Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 130-132.
48
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
3
Sebagaimana dikutip oleh Sam Suhaedi Admawiria, bahwa hukum internasional adalah
fakta, karena ada fakta pergaulan hidup bangsa-bangsa. State cannot live a life to itself
alone. It is a member of community of states. Sam Suhaedi Admawiria, Pengantar
Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968, hlm.xvi.
4
Treaty merupakan istilah umum untuk menyebut Perjanjian Internasional. Istilah lain
untuk menyebut perjanjian internasional adalah Convention, Agreement, Arangement,
Declaration, Protokol, Proces Verbal, Modus Vivendi, Exchane of Notes, dan
sebagainya. Penggunaan istilah dalam pembuatan perjanjian internasional tergantung
kesepakatan Negara-negara pihak, Konvensi Wina 1969 sebagai sumber hukum
pembuatan perjanjian internasional tidak mewajibkan kepada pembuat perjanjian
internasional untuk menggunakan istilah tertentu.
49
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
5
Sebelum dikeluarkanya Statuta Mahkamah Internasional, sebagaimana dikemukakan
oleh Starke bahwa ; “The material sources of international law fall into five principles
categories or forms: custom, treaties, decisions of judicial or arbitral tribunals, juristic
works, and decisions or determinations of organs of international constitutions”.
Kemudian berdasarkan Article 38 par. 1 of International Court of Justice, that : The
Court whose function is to decide in accordance with international law such disputes
as are submitted to it, shall apply: 1). international conventions, whether general or
particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; 2).
international custom, as evidence of a general practice accepted as law; 3). the general
principles of law recognized by civilized nations; 4). subject to the provisions of Article
59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the
various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Starke,
1989, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworth, London, page 32;
Article 38 par. 1, Statute of International Court of Justice.
50
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
6
Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara (subyek
perjanjian adalah Negara)
7
Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara dengan
organisasi internasional atau antar organisasi internasional lain.
51
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
pasangan dari asas pacta sunt servanda adalah asas itikad baik.
Pelaksanaan janji-janji tersebut tentunya harus dilaksanakan dengan
penuh kesadaran, rasa tanggung jawab dan memperhatikan kepentingan
para pihak, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam kesepakatan8. Oleh
karena itu, demi untuk menghindari atau mencegah timbulnya sengketa,
maka perlu dilakukan pemahaman terhadap asas-asas dari perjanjian
atau perjanjian internasional.
Di pihak lain berlakunya atau beroperasinya suatu perjanjian,
termasuk juga perjanjian internasional juga dapat dipengaruhi atau harus
memperhatikan asas hukum yang lain, seperti asas pacta tertiis nec nocent
nec prosunt9, asas non-retroaktive10, asas rebus sic stantibus11, dan norma jus
8
Lihat juga pendapat dari Wery dan Subekti, sebagaimana dikutip oleh Siti Ismijati
Jenie dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UGM, dengan judul
Pidatonya Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas
Hukum Umum di Indonesia, Yogyakarta, 2007, hlm.5-6. Menurut Wery, bahwa
pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, bahwa kedua belah pihak (pihak-pihak
peserta perjanjian) harus berlaku satu sama lain seperti patutnya di antara orang-
orang (pihak-pihak) yang sopan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-
akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingannya sendiri
saja namun juga melihak kepentingan pihak lain. Cetak miring merupakan penegasan
dari penulis dalam kaitannya dengan perjanjian internasional.
Sedangkan menurut Subekti, bahwa pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik adalah
melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan. Pelaksanaan perjanjian harus dinilai berdasarkan ukuran obyektif. Atau
dengan lain perkataan pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar.
9
Bahwa perjanjian hanya membebankan hak dan kewajiban bagi para pihak
perjanjian internasional, bukan pada pihak ketiga, dalam hukum perjanjian sering
disebut dengan prinsip Pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Lihat Brownlie,
Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979, hlm.
619. Asas ini telah menjadi bagian dari hukum internasional positif, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 34 Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986. Pasal 34
Konvensi Wina 1969 “A treaty does not create either obligations or rights for a third
State without its consent.”
52
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Pasal 34 Konvensi Wina 1986 A treaty does not create either obligations or rights
for a third State or a third organization without the consent of that State or that
organization
10
Ketentuan hukum tidak dapat diterapkan atau diberlakukan atas suatu peristiwa
hukum masa lampau, yaitu masa sebelum ketentuan hukum itu dinyatakan berlaku.
Dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 keberadaan asas Non-retroactive terdapat
dalam Pasal 4 jo Pasal 28.
Pasal 4 Konvensi Wina 1969 dan 1986, .......the Convention applies only to treaties
which are concluded by States after the entry into force of the present Convention
with regard to such States.
Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan 1986, Unless a different intention appears from
the treaty or is otherwise established, its provision do not bind a party in relation to
any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the
date of the entry into force of the treaty with respect to that party
11
Pengertian dan makna asas rebus sic stantibus akan diuraikan dalam pembahasan
berikutnya dalam paper ini.
12
Norma jus cogens merupakan suatu norma dasar hukum internasional umum
(peremtory norm of general international law). Dalam Pasal 53 jo Pasal 64 Konvensi
Wina 1969 dinyatakan bahwa suatu perjanjian batal apabila pada saat pembentukan
perjanjian tersebut bertentangan dengan suatu norma dasar hukum internasional
umum.
53
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas dalam tulisan ini akan dikaji :
1. Bagaimana eksisitensi asas rebus sic stantibus dalam masyarakat
internasional.
2. Bagaimanakah penerapan asas rebus sic stantibus dalam
masyarakat internasional.
II. P E M B A H A S A N
A. Ruang lingkup Perjanjian internasional
Sebagaimana di singgung di atas, bahwa dengan semakin intensifnya
hubungan antar negara, perjanjian merupakan hukum yang harus
dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak pembuat perjanjian13. Kata
”perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota
13
Praktek negara-negara mengadakan perjanjian internasional sudah lama dikenal di
dalam masyarakat internasional. Seperti hasil kesepakatan atau perdamaian
Westphalia yang dituangkan dalam bentuk konvensi multilateral.
54
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
14
Dalam konteks perjanjian internasional, tentunya yang dimaksud dengan anggota
masyarakat adalah anggota masyarakat internasional yang beranggotakan Negara-
negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya. Lihat
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003.
15
Ko Swan Sik, Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional,
dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4, Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2006, hlm. 474 – 476.
55
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
16
Konvensi ini mulai berlaku efektif dan telah menjadi hukum internasional positif
pada hari ke tigapuluh sesudah penyimpanan instrumen ke tiga puluh ratifikasi atau
keikutsertaan, yaitu tepatnya sejak tanggal 27 Januari 1980. Sumaryo Suryokusumo,
Hukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah Magister Ilmu Hukum, yanpa tahun,
hlm. 10.
17
Beberapa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan oleh Mohd. Burhan Tsani,
dalam bukunya Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty Yogyakarta, 1990, hlm.
64-65. Sumaryo Suryokusumo, Loc. Cit., hlm. 11.
Menurut Oppenheim, International treaties are conventions, or contracts, between
two or more states concerning various matters of interest.
D.P. O’Connell, Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang
diatur oleh hukum internasional sebagai pembeda dengan persetujuan menurut
hukum nasional, yang terhadap konsekuensi hukum pembuatan perjanjian
internasional, bentuk dan caranya adalah tidak penting.
56
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
57
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
dibuat oleh subyek hukum internasinal dalam bentuk tertulis serta dalam
pembuatannya tunduk pada rejim hukum internasional. Tentang isi suatu
perjanjian menyangkut apapun yang disepakati oleh para pihak,
sepanjang tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan norma-norma
atas asas-asas hukum internasional.
19
Mochtar Kusumaatmadja, menterjemahkan general principle of law dengan asas
hukum umum. Vadross, beliau mengatakan bahwa asas pacta sunt servanda
merupakan suatu asas hukum umum (general principle of law). Mochtar
Kusumatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm.148;
Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968,
hlm.58.
20
Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 32.
58
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
21
Sebagaimana dikutip oleh Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2000, hlm.36.
22
Dalam Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.5.
23
Mr. drs. J.J. H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra
Aditya, Bandung, 1999, hlm.121.
24
Asas hukum umum menunjuk berlakunya asas tersebut pada seluruh bidang hukum.
Sedangkan asas hukum universal menunjuk berlakunya asas tersebut kapan saja dan
di mana saja, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat. Oleh Scholten ditunjukan
adanya asas hukum khusus, yaitu asas hukum yang berlaku pada satu bidang hukum
saja. Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit., hlm. 6.
59
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
tidak diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, maka
asas hukum itu berada di belakang sistem hukum25.
Berdasarkan pemikiran Scholten yang demikian, maka bisa dijumpai
adanya beberapa asas hukum yang dituangkan dalam kaidah hukum,
baik yang berupa undang-undang maupun perjanjian internasional.
Demikian sebaliknya, ada beberapa asas hukum yang tidak dituangkan
dalam peraturan perundangan atau perjanjian internasional.
25
Ibid., hlm.122.
26
Makna dari asas tersebut adalah;” perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya
mengikat selama tidak ada perbahan vital dalam keadaan-keadaan yang berlaku pada
waktu traktat diadakan”.
27
RC Hengorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH
Publishing Co, New Delhi, 1982, hlm. 232.
28
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional I,
Binacipta, Bandung, 1969, hlm. 90, 123.
60
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
29
http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, Pacta Sunt Servanda dan
Rebus Sic
Stantibus dalam Hukum Perjanjian, diakses tanggal 22 Pebruari 2008
30
Ibid.
61
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
31
Op. Cit., hlm. 102
32
Op. Cit.., hlm 123.
33
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional II,
Binacipta, Bandung, 1970, hlm. 78.
34
Bierley, Hukum Bangsa-Bangsa, terjemahan Moh. Radjab, Bhratara, Jakarta, 1963,
hlm.244
62
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
societas ibi ius, bahwa di mana ada masyarakat disana ada hukum.
Demikian juga terhadap penerimaan asas rebus sic stantibus berdasarkan
sejarah hukum mengalami pergeseran seiring dengan berjalannya waktu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Rosenn:
35
http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, Pacta Sunt Servanda dan
Rebus Sic Stantibus dalam Hukum Perjanjian, diakses tanggal 22 Pebruari 2008
36
Ibid.
63
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
64
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
sic stantibus itu, dan lebih suka mendasarkan pada doktrin ”perubahan
keadaan yang fundamental” (fundamental change of circumtances) dengan
alasan persamaan derajat dan keadilan serta membuang kata-kata rebus
sic stantibus, karena menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan37.
Oleh karena itu pada akhirnya makna yang terkandung dalam asas rebus
sic stantibus oleh Konvensi Wina dirumuskan dengan menggunakan
istilah ”fundamental change of circumtances” (perubahan fundamental atas
suatu keadaan). Bahkan oleh Mahkamah Internasional, dalam kasus
Fisheries Jurisdiction, dikatakan bahwa keberadaan asas rebus sic stantibus
dalam Pasal 62 tersebut hanyalah bersifat merumuskan hukum
kebiasaan38.
Dalam peraturan perundangan Indonesia, keberadaan asas rebus sic
stantibus mendapatkan pengakuan dalam Pasal 18 Undang Undang
Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian internasional. Dikatakan oleh
Pasal 18 bahwa: ” perjanjian internasional berakhir apabila terdapat
purubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian”39.
37
D.J. Harris, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, 1983, hlm.
624.
38
Peter malanczuk, Akehurst’s Medern Introduction to International Law, Routledge,
London and New York, 1997, hlm. 145.
39
Bunyi Pasal 18 UU No.24 tahun 2000 selengkapnya adalah, “Perjanjian internasional
berakhir apabila:
a. terdapat kesepakatan para perjanjian internasionalhak melalui prosedur yang
ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. salah satu perjanjian internasionalhak tidak melaksanakan atau melanggar
ketentuan perjanjian;
e. dibuat suatu perjanjian baru yang mengantikan perjanjian lama;
f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. obyek perjanjian hilang;
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
66
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
40
Pasal 1381 Perikatan hapus karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan hutang, kompensasi, percampuran
utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau
pembatalan, berlakunya syarat batal, dan karena kadaluwarsa.
67
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
41
Sam Suhaedi Admawirea, Loc.Cit, hlm. 122.
68
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
42
Bierly, loc.cit., hlm 245.
43
Hugh M Kindred, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada,
Emond Montgomery Publications Limited, 1987, hlm. 171.
44
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit., hlm. 140.
69
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
45
Ibid.
46
Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hlm. 141
70
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
47
Mieke Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969
tentang Hukum Perjanjian internasional, makalah, Fakultas Hukum UNPAD, 1981;
Pasal 62 Konvensi Wina 1969
71
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Serikat kepada International Load Line Convention pada tahun 1930 karena
perang dunia kedua48.
Berdasarkan doktrin dan praktek diatas, kemudian muncul
pernyataan, apakah sebuah konflik senjata dapat serta merta
menyebabkan terhentinya atau memunculkan penundaan berlakunya
perjanjian internasional ? Jawaban untuk pertanyaan ini dapat dilihat dari
beberapa praktek negara-negara dan konflik senjata yang terjadi setelah
perang dunia kedua.
Negara Perancis dapat dikatakan menganut faham yang cukup keras,
di mana menurut beberapa pendapat hukum di Perancis, deklarasi
perang saja cukup untuk memberikan dampak bagi sebuah perjanjian
internasional. Dapat dikatakan bahwa Perancis tidak akan menunggu
terjadinya konflik senjata untuk mengambil keputusan baik menunda
maupun melakukan penundaan terhadap sebuah perjanjian internasional.
Faham ini sedikit berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh Inggris di
mana dampak terhadap sebuah perjanjian internasional akan muncul jika
terjadi konflik senjata. Inggris melakukan penundaan perjanjian
internasional atas dasar konflik senjata pada tahun 1795 ketika Inggris
menyatakan bahwa Konvensi Nootka Sound 1790 tidak berlaku lagi
karena perang yang terjadi antara Inggris dan Spanyol.
Lain halnya dengan Perancis dan Inggris, negara Belanda menganut
faham yang cenderung lebih lunak. Hal ini dapat dilihat dari praktek
negara Belanda yang menunda pelaksanaan seluruh perjanjian
internasional bilateral dengan negara Suriname ketika terjadi pergolakan
pada tahun 1982. Sementara itu, negara Italia, berdasarkan putusan
Pengadilan Kasasi yang menyatakan bahwa konflik senjata dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keadaan yang kemudian
48
Indonesia and Law, Perjanjian Internasional dan Konflik Bersenjata, http://
forums.blogspot.com/2007/03.
72
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
49
Ibid.
50
Ibid.
73
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
74
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
51
Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu
Kumpulan Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006, hlm. 182.
52
Pada saat ditandatanganinya Perjanjian antara Indonesia dan Australia ini, wilayah
Timor Timur menjadi bagian wilayah Indonesia, sehingga wilayah landas kontinen di
sebelah selatan Timor Timur berada di bawah kedaulatan Indonesia.
53
Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan secara rinci tentang apa isi perjanjian Celah
Timor, karena penekanan dalam tulisan ini adalah terjadinya perubahan keadaan
yang fundamental yang dapat mempengaruhi keberlangsungan perjanjian
internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan
Australia.
75
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
54
Pasal 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa: ”sementara persetujuan
penetapan batas landas kontinen belum tercapai negara-negara yang bersangkutan
dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya untuk
mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya
masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai
persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis
batas landas kontinen yang final”.
55
Bahwa perjanjian tidak membebankan hak dan kewajiban bagi pihak ke-tiga. Dalam
kasus ini perjanjian Celah Timor tidak akan berlaku bagi Timor Leste sebagai pihak
ke-tiga, karena perjanjian tersebut hanya menikat bagi Indonesia dan Australia.
76
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
III. K E S I M P U L A N
Berdasarkan uraian di atas berkaitan dengan keberadaan asas dalam
perjanjian intenasional, khususnya asas rebus sic stantibus, dapat tarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa keberadaan kedua asas tersebut telah lama dikenal dalam
masyarakat, termasuk masyarakat internasional. Bahkan beberapa
ahli terkemuka telah memberi dukungan atas keberadaan asas
tersebut, dan bahkan dewasa ini asas tersebut telah menjadi bagian
dari hukum positif, baik dalam taraf nasional Indonesia maupun
dalam taraf internasional. Ini artinya keberadaan asas rebus sic
stantibus barada dalam sustu sistem hukum.
Penerimaan, keberadaan dan penggunaan asas pacta sunt servanda
adalah mengawali berlakunya suatu perjanjian. Artinya keberadaan
dan penerimaan asas pacta sunt servanda dijadikan sebagai dasar
beroperasinya atau berlakunya suatu perjanjian. Tanpa adanya
56
Article 2 point 1b, Vienna Convention on Succession of States in Respect of
Treaties,1978: “succession of states means the replacement of one state by another
in the responsibility for the international relations of territory”.
77
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
78
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Daftar Pustaka
Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional I, Binacipta,
Bandung, 1969.
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional II, Binacipta,
Bandung, 1970.
Bierley, Hukum Bangsa-Bangsa, terjemahan Moh. Radjab, Bhratara, Jakarta, 1963.
Brownlie, Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979,
Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986.
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina
1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986.
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000
D.J. Harris, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, 1983 .
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien,
Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2006,
Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH Publishing Co,
New delhi, 1982.
Hugh M Kindred, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada,
Emond Montgomery Publications Limited, 1987
Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda, The Principle and its application in Petroleum
Production Sharing Contract, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2005
Martin Dixon and Robert MC Corquodale, Cases and Materials on International Law,
Third Edition, Blackstone Press Limited, Aldine Place, London, 2000.
Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990.
Mieke Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969
tentang Hukum Perjanjian internasional, makalah, Fakultas Hukum UNPAD.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2003,
Peter Malanczuk, Akehurst’s Medern Introduction to International Law, Routledge,
London and New York, 1997.
Professor Aziz T Saliba LLM dari Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do
Oeste de Minas, Brazil menulis komentarnya berjudul Comparative Law Europe
pada Contracts Law and Legislation Volume 8, Number 3 September 2001,
dalam http://Pihilawyers.com/blog/?p
Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968
Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Bernagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan
Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006 .
Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus menjadi Asas
Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum
UGM, Yogyakarta, 2007.
Starke, Introduction to International Law, Butterword, London, 1989,
79
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Dokumen:
Jurnal Hukum Internasional, , Volume 3 Nomor 4, Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Lembaga Pengkajian Hukum Internasional.
Kamus Umum Bahasa Indonesia
http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, diakses tanggal 22 Pebruari
2008
Undang Undang Nomor 37 Tahuhn1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
United Nations Convention on the Law of The Sea 1982.
Vienna Convention on The Law Of Treaties, 1969.
Vienna Convention on The Law Of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations, 1986
Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978.
80
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Abstrak
Dengan pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing,
penegakan putusan arbitrase internasional dapat diberlakukan di
Indonesia, karena hukum acara yang mengatur tentang putusan
arbitrase telah menjadi jelas. Untuk pengelolaan masalah keputusan
arbitrase internasional yang lebih baik dalam hierarki perundang-
undangan, pada tanggal 12 Oktober 1999 diundangkan Undang-
Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam
Undang-Undang tersebut, terdapat bagian khusus yang membahas
Arbitrase Internasional. Artikel ini membahas bagaimana
perkembangan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
Indonesia sebelum Indonesia menjadi anggota Konvensi New York
1958 hingga saat ini, dengan menganalisis putusan arbitrase
internasional dan perintah pengadilan setelah berlakunya Undang-
Undang Arbitrase.
Abstract
With the enactment of Supreme Court Law No. 1 Year 1990 on the
Procedures for the Implementation of Foreign Arbitral Awards, the
enforcement of international arbitral awards can begin to be
implemented in Indonesia, because the procedural law governing the
procedure of the arbitration decision is clear. To better manage the
problem of international arbitral decision in the hierarchy of legislation,
on 12 October 1999 promulgated the Law of Arbitration and
Alternative Dispute Resolution. In that Law, there is a special section
that discusses the International Arbitration. This article examines how
the development of the implementation of international arbitral awards
in Indonesia before Indonesia became a member of New York
81
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
1
Ricardo Simanjuntak, “Konflik Yurisdiksi Antara Arbitrase Dan Pengadilan Negeri”,
dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 85.
82
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
(BUMN) atau Perusahaan Negara di satu pihak dengan pihak asing, baik
dalam bentuk Kerja Sama Operasi(KSO)/Joint Operation Contract (JOC)
atau lain-lain usaha bersama dan perjanjian yang bersifat ”internasional”,
dipakai klausul mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan
umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan di luar negeri2.
Walaupun dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia yang
dipilih untuk menyelesaikan sengketa, namun pelaksanaan pemeriksaan
arbitrasenya dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan pemeriksaan
dan proses arbitrase berlangsung di luar negeri, ketika putusan arbitrase
diucapkan dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah pihak dari
Indonesia, maka hal ini akan berakibat pihak yang menang dalam proses
arbitrase tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional
tersebut di Indonesia.
Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sangat terkait
dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan.
Pengadilan-pengadilan mempunyai peranan penting dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun
para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang
bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur
tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak
bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut3. Dalam proses
pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat
memaksakan pelaksanaan putusannya4, melainkan lembaga pengadilan
2
Sudargo Gautama (a), Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 1.
3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional, cetakan kedua,
(Jakarta : N.V. Van Dorp & Co, 1954), hal. 74.
4
Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang untuk mengeksekusi putusannya sendiri.
Hal tersebut dikarenakan:
83
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
6
Hikmahanto Juwana (a), “Pembatalan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan
Nasional”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 72.
85
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
7
Erman Rajagukguk (Lihat: Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan,
(Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hal. 38-40.
8
Sudargo Gautama (b), Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1991), hal. 2.
86
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
9
Dalam kasus ini, Pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan asas resiprositas
yang dianut di dalam Konvensi New York 1958. Untuk mempelajari perkara ini, lihat:
Tineke L.T. Longdong, Asas Ketertiban Umum & Konvensi New York 1958. (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 227.
87
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
10
Ibid., hal. 238.
88
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
US$ 617,046 berikut bunga 6,5% per tahun sejak 15 Desember 1991, sudah
didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, namun permohonan exequatur ditolak oleh
Mahkamah Agung11.
Penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI ini telah
memberi kesan buruk, mengingat tatacara/prosedur sudah dilakukan
oleh pelaku usaha dan juga tidak ada ketertiban umum yang dilanggar.
Salah satu contoh perkara yang ditolak pelaksanaan putusan arbitrase
internasionalnya karena melanggar ketertiban umum adalah perkara
Yani Haryanto vs. E.D.& F.Man (Sugar) Ltd12 (perusahaan yang
berkedudukan di Inggris). E.D. & F. Man (Sugar) Ltd (dalam hal ini
sebagai Penjual) telah memperoleh suatu putusan arbitrase dari The
Council of the Refined Sugar Association, Arbitration Center di London
yang telah menyalahkan pihak Yani Haryanto (sebagai pembeli) telah
melakukan default dalam melangsungkan kontrak pengimporan atau
pembelian gula pasir untuk diimpor ke Indonesia. Di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, pihak Yani Haryanto mengajukan gugatan perdata
melawan pihak E.D. & F Man sebagai Penjual yang berkedudukan di
London. Penggugat mendalilkan dengan surat gugatannya tanggal 8
Agustus 1988 bahwa kontrak bersangkutan adalah bertentangan dengan
Keppres RI No.43/1974 tanggal 14 Juli 1971 mengenai “penyelenggaraan
koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan kebijaksanaan dalam
bidang pengadaan penyaluran dan pemasaran gula pasir” dan keputusan
Presiden RI No. 39/1978 tanggal 6 November 1978 Badan Urusan Logistik
(selanjutnya disingkat dengan BULOG). Oleh karena itu menurut Pasal
1320 KUH Perdata ayat (4) agar perjanjian dianggap sah harus ada sebab
11
Ibid., hal. 239.
12
Mahkamah Agung RI No. 1203K/Pdt/1990 jo. Perdata No.
736/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST jo.PT Jkt No. 485/Pdt/1989/PT DKI.
89
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
13
Tinneke L. Longdong, Op. Cit., hal. 244.
14
Ibid., hal. 231.
90
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Holdings Pte. Ltd., yang berasal dari Saudi Arabia (Penetapan Mahkamah
Agung RI No. 1 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1993, 3 Juni 199315.
Dari beberapa contoh perkara di atas, dapat dikatakan bahwa setelah
Mahkamah Agung RI mengeluarkan Perma, pelaksanaan putusan
arbitrase internasional di Indonesia mulai mendapat kepastian, karena
hukum acara yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan
arbitrase internasional sudah jelas. Untuk mengatur pelaksanaan putusan
arbitrase internasional dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia,
pada 12 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terdiri dari
XI Bab dan 82 Pasal. Pada Bab VI UU Arbitrase tersebut mengatur tentang
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Perlu dilakukan kajian mendalam, apakah setelah berlakunya UU
Arbitrase benar-benar tidak ada hambatan atau kendala lagi dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mengingat
bahwa setelah berlakunya UU Arbitrase, masih terdapat penolakan
terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional oleh Mahkamah
Agung RI dengan alasan ketertiban umum, yaitu pada perkara Bankers
Trust Company vs. PT Mayora Indah16 dan perkara Bankers Trust
Company vs. The Jakarta International Hotel & Development Tbk. Selain
15
Ibid., hal. 231-235.
16
PT Mayora Indah melawan Bankers Trust Company, Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan No. 489/PDT.G/1999/PNJS, tanggal 5 Oktober 1999. Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi DKI No. 211/PDT/2000/PT DKI, tanggal 20 Juli 2000. Jo Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 001/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST., tanggal 3
Februari 2000 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 01 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal
5 September 2000.
91
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
17
Antara lain Putusan Arbitrase London No. 6795, tanggal 15 Desember 2006, Putusan
Arbitrase London No. 6796, tanggal 15 Desember 2006, Putusan Arbitrase Italia, No.
0408/0553, Livorno, 16 Agustus 2004, Putusan Arbitrase Singapura, SIAC No. 0057 of
2005, 20 Agustus 2007, Putusan Arbitrase London, tanggal 26 Februari 2007, Putusan
London Maritime Arbitration Association, pendaftaran tanggal 16 Februari 2009.
18
Putusan Arbitrase The Cocoa Merchants Associated of Amerika Incorporation, 26
Oktober 1999, dengan Penetapan Eksekusi No. 143/2000, tanggal 4 September 2000.
19
Putusan Arbitrase London Intl Arbitration No. 775/1998, dengan Penetapan Eksekusi
No. 05/2001, tanggal 16 April 2001.
20
Putusan Arbitrase Korean Commercial Arbitration International Board, no. 98113-
0011, dengan Penetapan Eksekusi No. 25/2001, tanggal 18 April 2001.
21
Putusan Arbitrase The Cocoa Merchants Associated of America Inc, No. 00/04 dan
00/05, dengan penetapan eksekusi No. 44/2001 dan 45/2001.
22
Putusan No. 86/PDT-G/2002, tanggal 19 Agustus 2002, dengan Ketua Majelis Hakim
H. Herri Swantoro, SH.
92
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
23
Antara lain di Hongkong, Singapura, Texas dan Kanada.
24
Dalam kasus diatas, pihak PT Pertamina EP dan PT Pertamina (Persero) mengajukan
Kasasi Ke Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung No. 904 K/PDT.SUS/2009,
tanggal 9 Juni 2010, telah menguatkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
93
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
25
Putusan Arbitrase SIAC No. 62 of 2008, tanggal 07 Mei 2009. Pendaftaran di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 5/PNJP/2009, tanggal 1 September 2009. Penolakan
oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tertanggal 28 Oktober 2009 dan diperkuat
dengan Putusan Mahkamah Agung No. 01/K/Pdt.Sus/2010, tanggal 26 April 2010.
94
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
RESENSI BUKU
Judul : Hukum tentang Ekstradisi
Penulis buku : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M
Penerbit : Fikahati Aneska
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : x + 389
Tahun penerbitan : 2011
Pembuat resensi : AM. Sidqi
Masalah Pidana (mutual legal assistance treaty), yakni dengan Australia dan
RRT; dan satu perjanjian penyerahan pelanggar hukum yang melarikan
diri antara Indonesia dengan Hongkong.
Buku yang terbit pada tahun 2011 ini disusun dalam empat bab, yakni
asal-usul dan karakteristik ekstradisi (bab I); prinsip umum ekstradisi
yang diakui dalam hukum internasional dan beberapa pengecualian (bab
II); perkembangan praktik ekstradisi dan perbandingan model-model
ekstradisi (bab III); dan pentutup yang berisi pandangan dan sikap
penulis terhadap perkembangan ekstradisi dan masalah yang berkaitan
dengan berbagai model hukum tentang ekstradisi (bab IV).
Romli Atmasasmita mengkritik pengertian ekstradisi yang sering
diucapkan banyak orang termasuk praktisi hukum, tetapi belum
dipahami makna sesungguhnya dari pengertian istilah tersebut. Sering
disebutkan bahwa ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi
(extradition, l’extradition) berasal dari bahasa latin, yaitu “extradere”. Ex
berarti keluar, sedangkan tradere berarti menyerahkan. Kata bendanya
adalah extraditio artinya penyerahan. Sedangkan menurut Romli,
pemaknaan pengertian istilah tersebut sangat menyesatkan karena tidak
benar.
Romli mendefinisikan ekstradisi secara etimologis berasal dari dua
suku kata, yaitu “extra” dan “tradition”. Sehingga demikian, ekstradisi
berarti suatu konsep hukum yang berlawanan dengan “tradisi” yang
telah berabad-abad dipraktikan antarbangsa-bangsa. Praktik tradisi
tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi pelindung
(asylum) bagi siapa saja yang memohon perlindungan, dan tradisi untuk
memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara tuan rumah atas
mereka yang memohon perlindungan tersebut. Praktik asylum yang
mendahului ekstradisi menunjukan bahwa ekstradisi merupakan
kekecualian dari asylum.
Dalam catatan sejarah, ekstradisi telah dipraktikan sejak tahun 1280
SM antara Raja Ramses II dari Mesir dan Raja Hattusili III dari Hitites,
97
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
99
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
ISTILAH HUKUM
Kemal Haripurwanto
Money laundering
The federal crime of transferring illegally obtained money through legitimate
persons or accounts so the its original source cannot be traced.
Kejahatan mentransfer uang yang diperoleh secara ilegal melalui orang
atau rekening yang sah sehingga sumber aslinya tidak dapat ditelusuri.
100
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Locus delicti
The place where the tort, offence, or injury has been committed.
Tempat di mana kesalahan, pelanggaran atau tindakan yang
mengakibatkan kerugian telah dilaksanakan. Tempat terjadinya
perbuatan pidana.
Tempus delicti
Tempus Delicti yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi
waktu terjadinya perbuatan pidana.
Ius ad bellum
Jus (or ius) ad bellum is the title given to the branch of law that defines the
legitimate reasons a state may engage in war and focuses on certain criteria that
render a war just. The principal modern legal source of jus ad bellum derives
from the Charter of the United Nations, which declares in Article 2: “All
members shall refrain in their international relations from the threat or the use of
force against the territorial integrity or political independence of any state, or in
any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations”; and in
Article 51: “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of
individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of
the United Nations.”
Yakni seperangkat ketentuan yang harus diterapkan sebelum peperangan
dimulai untuk menentukan justifikasi atas dilakukannya kekerasan
bersenjata atau apakah kekerasan bersenjata tersebut dapat dibenarkan
101
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Ius Bello
Ius in bello is the set of laws that come into effect once a war has begun. Its
purpose is to regulate how wars are fought, without prejudice to the reasons of
how or why they had begun. So a party engaged in a war that could easily be
defined as unjust would still have to adhere to certain rules during the
prosecution of the war, as would the side committed to righting the initial
injustice. This branch of law relies on customary law, based on recognized
practices of war, as well as treaty laws (such as the Hague Regulations of 1899
and 1907), which set out the rules for conduct of hostilities. Other principal
documents include the four Geneva Conventions of 1949, which protect war
victims
Ius in bello yakni seperangkat ketentuan yang berlaku ketika telah terjadi
peperangan dan menentukan bagaimanakah alat dan cara berperang
serta perlindungan para korban perang harus dilakukan. Untuk
mengetahui ketentuan ini, dapat dilihat ketentuan-ketentuan pokok
Hukum Humaniter yang terdapat dalam Hukum Den Haag dan Hukum
Jenewa.
Ius gentium
The ius gentium or jus gentium (Latin, "law of nations") is a concept of
international law within the ancient Roman legal system and Western law
traditions based on or influenced by it. The ius gentium is not a body of statute
law or a legal code, but rather customary law thought to be held in common by all
gentes ("peoples" or "nations") in "reasoned compliance with standards of
international conduct."
Ius gentium atau jus gentium (Latin, "hukum bangsa-bangsa") adalah
sebuah konsep hukum internasional dalam sistem hukum Romawi kuno
dan tradisi hukum Barat didasarkan pada atau dipengaruhi olehnya. Ius
gentium bukanlah undang-undang atau kode hukum, tetapi hukum yang
diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat bangsa.
102
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
TENTANG PENULIS
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum
Edward Omar Sharif Hiariej merupakan Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Lahir di Ambon, 10 April
1973. Meraih gelar Sarjana Hukum dari UGM (1998), Master Hukum
UGM (2004), dan Doktor Hukum UGM (2009), serta dikukuhkan sebagai
Guru Besar Hukum Pidana pada 2012. Dapat dikontak melalui
edward.omar@mail.ugm.ac.id.
103
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
104
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Ketentuan Penulisan:
1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi,
catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah,
font Book Antiqua 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New
Roman ukuran 10;
2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris;
3. Setiap naskah harus disertai abstraksi dalam dua bahasa (Indonesia dan
Inggris). Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata.
4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote);
5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak
sedang dikirimkan ke penerbit lain;
6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak
mengubah maksud dan isi tulisan;
7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan
rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim;
8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat
penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan,
pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;
9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan
kompensasi finansial;
10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi.
105